Desy Rosanti

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

PENGATURAN PELAKSANAAN SEWA RAHIM (SURROGACY)

BERDASARKAN HUKUM DI INDONESIA


Desy Rosanti
E-mail: [email protected]
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni


E-mail: [email protected]
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Abstract
This article aims to determine the legal regulations governing surrogacy based on the law in Indonesia.
The type of research used is a type of normative research that uses primary and secondary legal materials
in its assessment. Technique in collecting legal materials are obtained through literature. Based on the
research and discussion that there are only a few regulations that explicitly and implicitly prohibit, such
as Law Number 36 of 2009 concerning health and Government Regulation Number 61 of 2014 concerning
Reproductive Health. But there are no strict and clear sanctions if there were parties who violate them. So
this has made some regions in Indonesia have done it secretly or in a family manner.
Keywords: Surrogacy; Legal Regulation; Law Number 36 of 2009 Concerning Health.

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui peraturan hukum yang mengatur sewa rahim berdasarkan hukum yang
ada di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif yang menggunakan bahan
hukum primer dan sekunder dalam pengkajiannya. Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut didapatkan
melalui studi kepustakaan. Berdasarkan penelitian dan pembahasan dihasilkan bahwa ada beberapa peraturan
yang secara implisit dan eksplisit melarang, seperti pada Undang-Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Namun
tidak ada sanksi yang tegas dan jelas apabila terdapat pihak yang melanggarnya. Sehingga hal ini membuat
beberapa daerah di Indonesia sudah ada yang melakukannya secara diam-diam atau kekeluargaan.
Kata kunci: Sewa Rahim; Peraturan Hukum; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

A. Pendahuluan
Manusia selain sebagai makhluk sosial di dalam hidupnya membutuhkan proses bergaul untuk
memenuhi kebutuhan lahiriah dan batiniahnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan batiniah, manusia
menyalurkan hasratnya melalui suatu ikatan perkawinan yang sah. Melalui perkawinan, manusia akan
mendapat keturunan karena setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah (Sonny Dewi Judiasih dkk, 2016: 1). Namun tidak setiap pasangan
suami istri dengan mudah dikaruniai anak. Salah satu hal yang menyebabkan adalah adanya kondisi di
mana salah satu atau bahkan kedua pasangan suami istri mempunyai kelainan pada alat reproduksinya
(Sonny Dewi Judiasih dkk, 2016: 1). Langkah yang paling sering ditempuh oleh pasangan suami istri
yang tidak memiliki anak adalah melalui pengangkatan anak (adopsi). Tetapi tidak sedikit pasangan
yang tetap kukuh menghendaki anak yang memiliki hubungan langsung dengan genetik mereka.
Seiring majunya bidang sains dan teknologi, di bidang kedokteran ditemukan metode untuk mengatasi
permasalahan di mana sang istri masih memiliki sel telur yang baik namun tidak bisa mengandung,
metode tersebut ialah cara kehamilan di luar rahim (in vitro fertilization). In vitro fertilization (IVF)
terdiri dari dua, salah satunya dikenal dengan istilah sewa rahim (surrogacy).
Surrogacy is a means of overcoming childlessness for couples unable to carry their own
pregnancies due to infertility, medical conditions, or sexuality (Celia Burell, Leroy C.Edozien, Seminars

6
Desy Rosanti dan Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni. Pengaturan Pelaksanaan Sewa Rahim (Surrogacy)...

in Fetal&Neonatal Medicine, Vol. XIX/2014). Menurut Nabahah (2007: 2), sewa rahim merupakan
proses mendapatkan keturunan selain melalui bayi tabung yang menggunakan rahim wanita lain untuk
mengandungkan benih ovum dan sperma (embrio) dari pasangan suami istri, hingga si anak lahir. Setelah
anak itu lahir, diberikan kembali kepada pasangan suami istri yang memiliki benih untuk memelihara
dan menganggap anak tersebut sebagai anak mereka. Wanita yang bersedia disewa rahimnya untuk
mengandungkan benih serta melahirkan anak disebut sebagai ibu pengganti (surrogate mother).
Awalnya, surrogacy terjadi karena pihak istri yang tidak bisa mengandung karena suatu hal yang
terjadi pada rahimnya sehingga peran istri dialihkan pada wanita lain untuk menggantikan fungsinya
sebagai ibu dalam mengandung dan melahirkan (Sonny Dewi Judiasih dkk, 2016: 2). Namun seiring
perkembangannya, surrogacy terjadi karena alasan perempuan yang tidak ingin mengalami perubahan
bentuk tubuh pasca melahirkan serta dijadikannya ladang bisnis (Desriza Ratman, 2012: 38). Di Afrika
Selatan, seorang Ibu melahirkan anak kembar tiga hasil pencangkokan embrio putrinya dan suaminya.
Hal ini karena sang putri yang tidak memiliki kandungan sejak lahir (Luthfi As-Syaukani, 1998: 158).
Di Indonesia, tepatnya di Mimika-Papua, pasangan suami istri tidak mempunyai keturunan karena
gangguan pada istri yang tidak mungkin mengandung, tetapi sel telurnya masih dihasilkan. Atas saran
dokter di RS Dr. Soetomo Surabaya, dilakukannya sewa rahim, dalam hal ini kakak si istri yang menjadi
ibu pengganti (Agnes Sri Rahayu, “Penerapan Hak Reproduksi Perempuan Terhadap Perjanjian Sewa
Menyewa Rahim dalam Kerangka Hukum Perdata Indonesia” (Unika Soegiapranata, Semarang, 2009)
hal. 99).
Terkait peraturan sewa rahim di Indonesia, dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, mengatur diperbolehkannya bayi tabung yang menggunakan rahim istri dari
mana ovum itu berasal, sehingga secara implisit melarang sewa rahim. Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi secara eksplisit melarang sewa rahim, yaitu pada Pasal 43
ayat (3) huruf b di mana dilarang menanam embrio pada rahim perempuan lain dan masih ada beberapa
peraturan lagi yang melarang seperti Peraturan Menteri Kesehatan dan Fatwa MUI. Meskipun melarang,
ke semua peraturan tersebut tidak terdapat sanksi sebagai antisipasi bagi pihak yang melanggar.
Berdasarkan uraian demikian, penulis tertarik melakukan kajian terkait pengaturan pelaksanaan
sewa rahim (surrogacy) berdasarkan hukum di Indonesia. Pokok permasalahan dari kasus yang pernah
terjadi ialah adanya pihak yang melakukan sewa rahim di Indonesia karena peraturan yang ada masih
dianggap belum sempurna dikarenakan tidak terdapatnya sanksi sehingga membuka celah untuk semakin
banyak dilakukan. Hal tersebut yang akan dibahas di dalam artikel ini.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dengan pendekatan undang-
undang. Jenis data sekunder meliputi bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan
hukum melalui studi kepustakaan. Teknis analisis yang digunakan adalah metode deduktif.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang kedokteran beberapa dasawarsa
terakhir ini bisa dikatakan sangat pesat. Salah satu hasil kemajuan tersebut yang kini mulai banyak
diterapkan di beberapa negara ialah jenis IVF dengan teknik sewa rahim (surrogacy). Pada dasarnya,
sewa rahim terjadi karena seorang wanita yang masih memiliki sel telur yang sehat, tetapi tidak dapat
mengandung karena terdapat kelainan pada rahimnya. Praktek ini terjadi baik di negara berkembang
maupun negara maju. Alasannya pun berbeda, bagi negara berkembang, sewa rahim lebih bertujuan
pada faktor ekonomi, di mana wanita yang menjadi ibu pengganti dapat memenuhi kebutuhannya dari
hasil ia menyewakan rahim. Bagi negara maju, sewa rahim dilakukan karena faktor estetika, di mana
wanita yang ingin memiliki anak tidak ingin bentuk tubuhnya berubah setelah melahirkan (Desriza
Ratman, 2012: 3).

7
Jurnal Repertorium Volume VII No. 1 Januari - Juni 2020

Terkait jenis sewa rahim/ibu pengganti (surrogate mother), terdapat tiga klasifikasi, yaitu:
1. Traditional Surrogacy
Bayi yang dilahirkan dari surrogate mother membawa gen dari surrogate mother itu karena
ovum berasal dari surrogate mother itu sendiri kemudian dibuahi oleh sperma yang berasal dari
seorang laki-laki lain bukan pasangan surrogate mother, setelah surrogate mother melahirkan sang
bayi, kemudian diserahkan untuk diasuh oleh laki-laki pemilik sperma dan pasangannya. Jenis
surrogacy ini dapat dilakukan di negara-negara yang memperbolehkan hubungan sesama jenis
secara legal (homo sexual). (Sonny Dewi Judiasih, 2016: 14-15).
2. Gestational Surrogacy
Jenis ini merupakan jenis yang paling umum dan paling banyak dilakukan dalam surrogacy.
Dalam jenis ini, surrogate mother mengandung sel telur wanita lain (wanita yang ingin memiliki
anak), di mana sel telur tersebut telah dibuahi dengan sperma dari suami si wanita pemilik sel telur
atau donor lain melalui proses yang dinamakan pembuahan in vitro. Akibatnya, sang surrogate
mother tidak memiliki hubungan biologis langsung dengan sang jabang bayi.
3. Intended Mother
Intended mother dapat diartikan sebagai wanita lajang atau yang memiliki pasangan yang
menginginkan kehamilan dilakukan oleh wanita lain yang menyetujui untuk dihamili dengan janin
dari sel telurnya sendiri maupun dari hasil donasi melalui suatu perjanjian bisnis.“Intended mother”
diartikan pula sebagai “ibu yang menginginkan kehamilan” yang mana hak atas anak akan dialihkan
kepadanya setelah sang anak lahir (Sonny Dewi Judiasih, 2016: 16).
Menurut Salim (1993: 8), sewa rahim atau ibu pengganti (surrogate mother) merupakan salah satu
dari delapan jenis teknologi bayi tabung. Ada delapan jenis bayi tabung dan empat di antaranya adalah
sewa rahim, yakni:
1. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami istri, lalu embrionya
ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother);
2. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya berasal dari istri lalu
embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother;
3. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami, sedangkan ovumnya berasal dari donor,
kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother;
4. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum berasal dari donor, kemudian embrionya
ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother.
Beberapa negara melegalkan sewa rahim karena dinilai memberi manfaat baik yaitu membantu
pasangan suami istri yang ingin memiliki anak, tetapi tak sedikit yang melarangnya karena dianggap
bertentangan dengan kebijakan publik. Indonesia adalah salah satu negara yang melarang sewa rahim.
Dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya
kehamilan di luar cara alamiah yang boleh dilakukan pasangan suami istri ialah bayi tabung, yang
menggunakan rahim istri dari mana ovum itu berasal. Kemudian Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
039 Menkes/SK/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu salah satu
poinnya berbunyi,”Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun” secara eksplisit melarang
surogasi. Tetapi Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dicabut dan tidak berlaku setelah muncul
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi
dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah. Peraturan baru tersebut bahkan sama sekali
tidak mengatur sewa rahim, hanya kehamilan di luar cara alamiah yang menggunakan rahim dari mana
ovum itu berasal saja yang diatur (bayi tabung).
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi secara eksplisit melarang
penanaman embrio pada rahim perempuan lain. Fatwa MUI pada 26 Mei 2006 juga mengharamkan
sewa rahim karena akan menimbulkan terkait masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan
dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu pengganti) (Sonny Dewi Judiasih dkk, 2016: 60-61). MUI

8
Desy Rosanti dan Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni. Pengaturan Pelaksanaan Sewa Rahim (Surrogacy)...

hanya membolehkan bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang
sah, lalu embrio ditanamkan ke dalam rahim istri tersebut (tidak ada pihak ketiga).
Menurut penulis, peraturan yang ada terkait sewa rahim masih belum sempurna. Hal ini dikarenakan
belum adanya sanksi yang tegas sebagai antisipasi bila ada pihak yang melakukannya. Tetapi memang
sudah beberapa daerah di Indonesia melakukan sewa rahim meski dengan cara kekeluargaan. Ini
salah satu bukti tidak adanya sanksi yang mengatur sehingga masyarakat pun tidak takut untuk tetap
melakukan sewa rahim di Indonesia. Selain itu, bagi peraturan yang secara eksplisit melarang, menurut
penulis masih belum lengkap. Seperti pada Pasal 43 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi secara eksplisit melarang penanaman embrio pada rahim
perempuan lain. Kata “perempuan” di sini masih rancu. Menurut Sonny Dewi Judiasih dkk (2016:
18), anak yang lahir dari seorang ibu pengganti yang sudah menikah, merupakan anak sah. Apabila
sewa rahim dilakukan dengan syarat bahwa ibu pengganti sudah memiliki suami, seharusnya ini bukan
menjadi larangan karena anak yang dilahirkan pun statusnya adalah anak sah.
Di lain sisi, sewa rahim merupakan sebuah perjanjian karena di dalamnya terdapat dua pihak
yang saling mengikatkan diri. Telah adanya peraturan perundang-undangan yang melarang surrogacy,
bila berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata terkait syarat sah perjanjian, maka perjanjian sewa rahim
keberlakuannya tidak sah, karena tidak memenuhi syarat keempat yaitu sebab yang halal, meskipun
sewa rahim telah memenuhi syarat ke 1 dan 2. Terkait syarat sah perjanjian ke 3 mengenai adanya
hal tertentu, dalam hal ini obyek perjanjian, Desriza Ratman mengemukakan bahwa rahim tidak dapat
dijadikan obyek perjanjian karena ia bukanlah benda atau barang sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 499 KUH Perdata.
Menanggapi hal tersebut, penulis beranggapan bahwa sewa rahim memenuhi syarat ke 3.
Berdasarkan pengertian benda dalam Pasal 499 KUH Perdata, benda terdiri dari barang dan hak-
hak. Benda memiliki arti yang lebih luas yaitu mencakup benda berwujud dan tidak berwujud (hak).
Sedangkan barang, lebih konkrit yang hanya mencakup benda berwujud saja. Rahim berbentuk seperti
buah pir dengan berat sekitar 30-50 gram terletak di tengah rongga panggul (https://honestdocs.id/letak-
rahim-normal-dan-abnormal diakses pada 20 Maret 2019 Pukul 06:46 WIB). Menurut penulis rahim
merupakan barang karena berwujud dan dimiliki oleh wanita, sehingga hal ini sesuai dengan Pasal 499
KUH Perdata mengenai pengertian benda. Namun demikian, mengacu pada peraturan yang ada saat
ini bahwa telah dilarang sewa rahim, meski penulis beragumentasi bahwa sewa rahim memenuhi unsur
syarat sah perjanjian ke 3, tetap saja keberlakuan perjanjian sewa rahim tidak sah dan batal demi hukum
karena bertentangan dengan peraturan yang sudah ada.
Mengingat kasus yang terjadi di Mimika-Papua ini membuktikan bahwa telah terdapat pihak yang
melaksanakan sewa rahim. Apabila semakin banyak sewa rahim yang dilakukan, maka semakin banyak
anak yang dilahirkan dari sewa rahim. Padahal dalam peraturan yang sudah terbentuk tidak ada satupun
peraturan yang mengatur terkait status dan hak yang akan didapat oleh anak hasil dari sewa rahim.
Anak juga merupakan manusia sehingga tetap memiliki hak asasi dalam hidupnya. Untuk mengetahui
status anak hasil sewa rahim masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan terkait hak-haknya masih berpedoman pada hak anak secara umum yaitu pada Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, serta Konvensi-konvensi PBB terkait anak.
Sewa rahim tidak selamanya membawa dampak yang buruk. Jika dilakukan dengan benar dan
adanya peraturan yang secara ketat memfasilitasinya, sewa rahim memberi dampak positif. Salah
satunya adalah sebagai jalan alternatif bagi pasangan suami istri yang tidak memiliki anak karena rahim
istri yang tidak mungkin untuk mengandung tetapi masih memiliki sel telur yang sehat dan ingin tetap
memiliki anak yang mempunyai hubungan genetik. Rahim yang dimiliki oleh perempuan sebagai organ
reproduksi dapat digunakan untuk proses pembuahan, masa mengandung, dan persalinan yang semua
proses tersebut sarat akan nilai-nilai moral. (Khairatunnisa, Lex Privatum, Vol III/No.1/Jan-Mar/2015).
Memang apabila ditinjau terkait dengan moral, muncul persoalan mengenai identitas anak hasil dari
sewa rahim kelak. Apakah dibenarkan seorang anak yang dilahirkan dari ibu pengganti, meski benihnya

9
Jurnal Repertorium Volume VII No. 1 Januari - Juni 2020

bukan berasal dari si ibu pengganti tersebut kemudian diserahkan begitu saja kepada pasangan suami
istri yang menyewa rahim.
Untuk meminimalisir terjadinya persoalan yang menyangkut antara surrogate mother dengan
pasangan suami istri yang ingin memiliki anak dan nantinya dengan anak yang telah dilahirkan, musti
dibentuk suatu peraturan yang secara jelas dan tegas mengatur sewa rahim. Memperbolehkan atau tidak,
haruslah ada ketentuan seperti sanksinya. Jika membolehkan, harus ada syarat-syarat ketat di dalamnya
agar tidak sembarang orang dapat melakukannya, misalnya:
1. Sewa rahim berlaku bagi pasangan yang sudah menikah lebih dari 10 tahun yang tak kunjung
memiliki anak
2. Pasangan yang hendak menempuh sewa rahim harus dapat memberikan bukti secara kesehatan
bahwa tidak bisa memiliki anak.
3. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (ibu pengganti) harus jelas identitasnya dan sudah menikah.
Serta mendapat persetujuan dari suami untuk melalukan sewa rahim.
4. Ditentukan waktu kapan bayi akan diserahkan kepada orang tua biologisnya. Hal ini untuk
menghindari terjadinya perebutan anak.

D. Simpulan
Indonesia telah memiliki beberapa peraturan yang melarang dilakukannya sewa rahim. Akan
tetapi, peraturan yang ada tersebut dinilai masih belum sempurna karena belum adanya sanksi sebagai
antisipasi bila terdapat pihak yang melanggar. Serta bila ditinjau dari segi hukum perjanjian, pengaturan
sewa rahim dapat menggunakan dasar hukum pasal-pasal KUH Perdata yang terkait dengan perjanjian.
Melalui Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa untuk saat ini sewa rahim hanya memenuhi syarat subyektif
yaitu syarat ke 1 dan 2, sedangkan syarat ke 3 dan 4 tidak memenuhi karena berdasarkan peraturan di
Indonesia yang ada saat ini bahwa sewa rahim merupakan tindakan yang dilarang sehingga dianggap
bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut.

E. Saran
Sebaiknya dengan ditemukannya hasil kemajuan di bidang kedokteran berupa metode sewa rahim
(surrogacy), Indonesia harus lebih terbuka dan lebih memandang secara realisitis bahwa banyak pasangan
suami istri yang sebenarnya masih memiliki benih yang sehat dan memungkinkan untuk memiliki anak,
tetapi karena rahim istri yang tidak dapat mengandung atau sejak lahir ia tidak memiliki kandungan,
mengakibatkan pupus harapan untuk memiliki anak. Pemerintah bersama badan legislatif sebaiknya
segera membentuk peraturan yang secara khusus mengatur sewa rahim. Di dalam peraturan tersebut
harus jelas seperti jika membolehkan sewa rahim, harus adanya syarat-syarat yang ketat yang tidak
sembarang orang dapat melakukannya dan jika tidak membolehkan, harus adanya sanksi bila dalam
pelaksanaannya terdapat pihak yang melanggar.

F. Daftar Pustaka
Buku
Desriza Ratman. 2012. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum, Bolehkah Sewa Rahim di
Indonesia?. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Luthfi As-Syaukani. 1998. Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fiqih Kontemporer. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Nabahah, Radin Seri, bt. Ahmad Zabidi. 2007. Penyewaan Rahim Menurut Pandangan Islam.
Salim HS. 1993. Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Sonny Dewi Judiasih dkk. 2016. Aspek Hukum Sewa Rahim dalam Perspektif Hukum Indonesia. Bandung:
PT Refika Aditama.

10
Desy Rosanti dan Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni. Pengaturan Pelaksanaan Sewa Rahim (Surrogacy)...

Jurnal
Celia Burrell, Leroy C. Edozien. “Surrogacy in Modern Obstetric Practice”. Seminars in Fetal&Neonatal
Medicine, Vol. XIX, 2014.
Fajar Bayu Setiawan, Himma Asihsalista, Nikki Ramadhani M. “Kedudukan Kontrak Sewa Rahim dalam
Hukum Positif Indonesia”. Private Law edisi 01 Maret-Juni 2013.
Khairatunnisa. “Keberadaan Sewa Rahim dalam Perspektif Hukum Perdata”. Lex Privatum, Vol III No.1,
Jan-Mar 2015.
Nancy E. Reame, RN, PhD. “The Surrogate Mother as a High-Risk Obstetric Patient”. Women’s Health
Issues, Vol.I No.3, Summer, 1991.
Nancy W. Machinton. “Surrogate Motherhood: Boon or Baby Selling The Unresolved Questions”. Marquette
Law Review, Vol. LXXI, 1987.
Seema Mohapatra. “A Race to the Bottom? Dalam Globalization and Transnational Surrogacy in India edited
by Sayantani Das Gupta et al”. Lexington Books, Plymouth UK, 2015).

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Burgerlijk Wetboek Nomor 23 tahun 1847 (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi dengan
Bantuan Atas Kehamilan di Luar Cara Alamiah

Internet
Letak Rahim Normal dan Abnormal (https://honestdocs.id/letak-rahim-normal-dan-abnormal diakses pada
20 Maret 2019 Pukul 06:46 WIB).

11

Anda mungkin juga menyukai