Bab I Ketahanan Pangan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketahanan pangan telah menjadi isu sen-tral dalam kerangka
pembangunan pertanian dan pembangunan nasional, ditunjukkan antara lain
dengan dijadikannya isu ketahanan pangan sebagai salah satu fokus
kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian dalam Kabinet Persatuan
Nasional (1999-2004) di samping fokus lainnya yaitu pengembangan
agribisnis (Anonimous, 1999). Selain itu dibentuknya lembaga khusus yang
menangani masalah ketahanan pangan yaitu Badan Urusan Ketahanan Pangan
tingkat eselon I di lingkup Departemen Pertanian pada tahun 2000 kemudian
pada tahun 2001 dirubah menjadi Badan Bimbingan Masai Ketahanan Pangan
menunjukkan pula pentingnya penanganan masalah ketahanan pangan.
Lembaga ini diharapkan dapat memantapkan sistem ketahanan pengan untuk
kepentingan dalam negeri, mengingat adanya perubahan lingkungan strategis
intenasional dan domestik. Ketidakpastian dan ketidak stabilan produksi
pangan nasional, tidak otomatis dapat mengandalkan kepada ketersediaan
pangan di pasar dunia.
Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam
pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi
manusia sehingga pangan sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi
nasional. Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam
jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan
aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari
sepanjang waktu. Dengan demikian ketahanan pangan mencakup tingkat
rumah tangga dan Tingkat nasional (Anonimous, 1999). Dalam pengertian
kebijakan operasional pembangunan, Departemen Pertanian menterjemahkan
ketahanan pangan menyangkut ketersediaan, aksesibilitas (keterjangkauan),
dan stabilitas pengadaannya. Di samping aspek produksi, ketahanan pangan

1
mensyaratkan pendapatan yang cukup bagi masyarakat untuk mengakses
bahan pangan, keamanan pangan, serta aspek distribusi.
Dalam era globalisasi dan perdaganganbebas yang sangat kompetitif di
pasar internasional, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam
merumuskan kebijakan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan
penduduk. Kebijakan pangan yang dimaksud antaralain adalah upaya
mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan ragam komoditas pangan
dan upaya peningkatan diversifikasi konsumsi pangan. Dengan sumberdaya
yang terbatas, kebijakan untuk meningkatkan pangan dalam kaitannya
mempertahankan ketahanan pangan, berbagai sumberdaya perlu digunakan
untuk menghasilkan komoditas pangan yang kompetitif dalam harga dan mutu
terhadap produk impor. Dalam kondisi demikian kegiatan produksi pangan
harus berorientasi pada pasar internasional.
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan secara konsisten selama ini
telah mampu menyediakan berbagai jenis pangan. Berdasarkan data Neraca
Bahan Makanan (NBM), selama kurun waktu 1993-1996 seperti dilaporkan
oleh Ariani dkk. (2000) untuk pangan pokok yang meningkat ketersediaannya
per kapita adalah beras, jagung, ubikayu. Sebagai gambaran ketersediaan
beras pada tahun 1993 sebesar 150,2 kg menjadi 159,8 kg/kapita/tahun pada
tahun 1996; jagung dari 28,9 kg pada tahun 1993 meningkat menjadi 57,2
kg/kapita/ tahun pada tahun 1996; dan ketersediaan ubikayu tahun 1993
sebesar 36,3 kg meningkat menjadi 61,8 kg/kapita/tahun pada tahun 1996.
Bila data ketersediaan tersebut dibandingkan dengan data konsumsi
rill penduduk, maka tidak semua ketersediaan dapat diserap untuk konsumsi
penduduk. Seperti pada beras, Tingkat ketersediaannya tahun 1996 sebesar
159,8 kg/kapita/tahun, tetapi hanya dikonsumsi sebesar 111,7 kg/kapita/tahun.
Kecenderungan ini juga terjadi pada pangan pokok lain seperti jagung,
ubikayu dan ubijalar (Erwidodo dkk., 1997). Bila pangan tersebut
dikonversikan dalam bentuk energi, maka persediaan energi juga meningkat

2
yaitu dari 2899 kalori pada tahun 1993 menjadi 3193 kalori/kapita/hari tahun
1996, yaitu melebihi standar kebutuhan yang besamya dipatok 2500
kalori/kapita/hari.
Namun demikian, adanya kelebihan ketersediaan pangan di tingkat
wilayah (nasional, regional) tidak menjamin adanya ketahanan pangan di
tingkat individu atau rumah tangga. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh
meningkatnya kasus-kasus kurang gizi dan rawan pangan sejak terjadinya
krisis ekonomi. Oleh karena itu, faktor akses invididu dalam menjangkau
kebu- tuhan pangan yang diperlukan merupakan faktor kunci ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga. Akses individu terhadap pangan yang
dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh daya bell, tingkat pendapatan, harga
pangan, proses distribusi pangan, kelembagaan di tingkat local dan faktor
sosial lainnya.
Berdasar urgensi, kompleksitas permasalahan dan berbagai upaya
yang diperlukan untuk mencapai ketahanan pangan, tulisan ini bertujuan
untuk mengkaji berbagai aspek tentang ketahanan pangan. Kajian dilakukan
melalui studi pustaka dari berbagai hasil penelitian dan tulisan yang terkait
dengan permasalahan ketahanan pangan yang mencakup aspek-aspek: (1)
Definisi dan komponen ketahahan pangan (2) Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan (3) Kebijakan atau Upaya untuk mencapai
ketahanan pangan (4) Indicator ketahanan pangan, dan (5) Upaya pemantauan
ketahanan pangan (SKPG, SIDI).
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Definisi dan komponen ketahahan pangan ?
2. Apa saja Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan ?
3. Apa Kebijakan atau Upaya untuk mencapai ketahanan pangan ?
4. Apa Indicator ketahanan pangan ?
5. Apa saja Upaya pemantauan ketahanan pangan (SKPG, SIDI) ?
C. Tujuan Makalah

3
1. Untuk mengetahui Definisi dan komponen ketahahan pangan ?
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan ?
3. Untuk mengetahui Kebijakan atau Upaya untuk mencapai ketahanan
pangan ?
4. Untuk mengetahui Indicator ketahanan pangan ?
5. Untuk mengetahui Upaya pemantauan ketahanan pangan (SKPG, SIDI) ?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Komponen Ketahanan Pangan


1. Definisi Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan merupakan tantangan yang mendapatkan
prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad millennium ini.
Apabila melihat penjelasaan PP 68/2009 tersebut, Upaya mewujudkan
ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan
local yang mengandung keragamaan antar daerah. Bustanul Arifin (2009).
Ketahanan Pangan merupakan situasi dimana semua rumah
tangga mempunyai akse baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh
pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan Dimana rumah tangga tidak
beresiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Pencapaian
ketahanan pangan di Indonesia terkait dengan salah satu tujuan UUD 1945
dalam alinea keempat yaitu mencapai kesejahteraan umum. Hal tersebut
berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan pangan yang
memadai, stabilitas, dan akses terhadap pangan-pangan utama. FAO
(2012).
Ketahanan Pangan merupakan kondisi tersediannya pangan yang
memenuhi kebutuhan setiap orang saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan
produktif. Makna yang terkandung dalam ketahanan pangan mencakup
dimensi fisik (ketersediaan), ekonomi (daya beli), gizi (pemenuhan
kebutuhan gizi individu), nilai budaya dan religious, keamanan pangan
(kesehatan), dan waktu (tersedia secara berkesinambungan). Martiano &
Hardinsyah 2012).

5
Ketahanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhnya
pangan bagi setiap masyarakat yang tercermin dari tersediannya pangan
yang cukup, baik jumlah mutunya, aman merata, terjangkau, dan berbasis
pada keragamaan sumber daya local. Ketahanan pangan merupakan suatu
sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi.
Subsistemketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk
memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas,
keragamaan, maupun keamananya.Undang-Undang Republik Indonesia
(Nomor 7 Tahun 2009).
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan,
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman. Undang-Undang Republik Indonesia (Nomor 18 Tahun 2012)
Pangan merupakan kebutuhan paling utama bagi setiap manusia
untuk dikonsumsi setiap harinya untuk dapat hidup sehat, aktif, produktif
secara berkelanjutan maka diperlukan ketahanan pangan. Berdasarkan UU
No. 18/2012 tentang Pangan dijelaskan bahwa Ketahanan Pangan
merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
2. Komponen Ketahanan Pangan
World Bank (2009), Ariani (2009) dan Hanani (2009)
menegaskan bahwa ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga
komponen utama yaitu (1) ketersediaan dan stabilitas pangan (food
availability andstability), (2) kemudahan memperoleh pangan (food

6
accessibility), dan (3) pemanfaatan pangan (food utilization). Ini berarti
bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi, yang
terdiri dari subsistem ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan
konsumsi pangan. Dengan demikian, kuat atau lemahnya ketahanan
pangan akan sangat tergantung dari sinergi dan interaksi dari ketiga
subsistem tersebut.
Keharusan mengintegrasikan tiga subsistem (ketersediaan
pangan, distribusi pangan, dan konsumsi pangan) membuat upaya
menciptakan ketahanan pangan bersifat kompleks. Hal tersebut perlu
melibatkan peran lintas institusi sektoral dan membutuhkan pendekatan
multidisiplin. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan ketahanan
pangan membutuhkan konsep, perencanaan, program, dan strategi
implementasi yang komprehensif dan matang (Purwanto, 2009). Dalam
konteks ini maka kelembagaan pangan dengan struktur organisasi yang
jelas dan memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan kerja yang
harmonis di antara beragam institusi sektoral menjadi syarat mutlak untuk
membangun ketahanan pangan (Khudori, 2012).
Lebih dari itu, agar bisa berhubungan kerja secara harmomis,
tiap instansi membutuhkan manajemen moderen berdasarkan prinsip
koordinasi, integrasi, simplikasi, sinkronisasi serta mekanisasi (KISS Me).
Penerapan prinsip KISS Me pada manajemen setiap institusi akan mampu
mengurangi terjadinya tumpang tindih tugas ataupun kesenjangan bidang
tugas. Dengan menerapkan prinsip KISS Me, diharapkan hubungan kerja
antar institusi akan semakin terarah yang kemudian akan berdampak
secara positifterhadap peningkatan ketahanan pangan (Setiadji, 2012).
Setiap institusi sektoral juga perlu memiliki sumber daya
manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berkualitas akan menjamin
institusi sektoral untuk mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan
baik (Boediono, 2012). Dalam konteks ini, peningkatan kualitas sumber

7
daya manusia, terutama dalam sikap dan kompetensinya, menjadi sentral
untuk membentuk institusi sektoral yang mampu bekerja secara
terkoordinasi dengan institusi sektorallainnya untuk mendukung upaya
mewujudkan ketahanan pangan.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan
Ketahanan Pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap
orang berhak memperoleh makanan yang layak dan sesuai dengan
kebutuhannya Berdasarkan Undang-Undang No 18 tahun 2012, yang
dimaksud dengan ketahanan pangan adalah ”kondisi terpenuhinya pangan
bagi negar sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,
dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.”
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan suatu daerah. Faktor
yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga adalah
jumlah anggota keluarga dan pengeluaran RT. Penelitian yang dilakukan oleh
Sulistyowati (2014) tentang faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan
rumah tangga miskin di Kecamatan Srandakan Bantul menyatakan bahwa
faktor jenis kelamin dan jenis pekerjaan tidak berpengaruh terhadap tingkat
ketahanan pangan. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan
pangan RTM di Srandakan antara lain umur kepala RTM, status perkawinan,
jumlah anggota keluarga dan pendapatan. Dan faktor yang paling dominan
mempengaruhi ketahanan pangan RTM yaitu jumlah anggota keluarga dan
pendapatan rumah tangga.
Supriyanto (2014) menyatakan bahwa faktor pendapatan kepala
keluarga dan Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap ketahanan
pangan, sedangkan kemampuan memenuhi kebutuhan keuangan (simpanan)

8
berpengaruh negatif tehadap tingkat ketahanan pangan. Jumlah anggota
keluarga, umur kepala keluarga tidak mempengaruhi Tingkat ketahanan
pangan rumah tangga tani.

C. Kebijakan atau Upaya untuk mencapai ketahanan pangan


1. Alternatif Arah Kebijkan
Untuk menghadapi tantangan dan permasalahan seperti diuraikan di atas
agar dapat dicapai ketahanan pangan berkelanjutan menuju 2025, perlu ada
penyesuaian atau perubahan arah kebijakan yang saat ini diimplementasikan.
Perubahan pendekatan arah kebijakan yang disarankan meliputi tujuan, cara,
dan sasaran Pembangunan ketahanan pangan.
Pertama, tujuan untuk mencapai swasembada pangan diubah menjadi
mencapai kemandirian pangan. Dengan pendekatan swasembada, seringkali
untuk pencapaiannya dilakukan dengan mengabaikan prinsif efisiensi usaha
dan kelayakan teknis, ekonomi, ataupun sosial, sehingga dapat terjadi
misalokasi sumber daya untuk pembangunan. Dengan pendekatan
kemandirian pangan, sesuai arahan UU Pangan, pencapaiannya dapat
dilakukan dengan meningkatkan kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beranekaragam dengan memanfaatkan potensi
sumber daya (alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal) secara
bermartabat. Praktik operasional pencapaiannya dapat dilakukan dengan
menerapkan prinsip keunggulan komparatif atau kompetitif, dan prinsip
efisiensi dan dayasaing Dengan pendekatan ini, dalam RPJMN harus sudah
ditetapkan rancangan pengembangan produksi pangan ke dalam tiga
kelompok komoditas, yaitu: (a) jenis komoditas bpangan yang dapat
dikembangkan tidak hanya mencapai swasembada tetapi juga mengisi pasar
ekspor (promosi ekspor), (b) jenis pangan yang memiliki potensi untuk
dikembangkan sehingga dapat memenuhi

9
seluruh kebutuhan dalam negeri dengan pemanfaatan teknologi yang telah
tersedia dan dapat diimplementasikan segera (substitusi impor), dan (c)
beberapa jenis pangan yang memang sebagian atau seluruhnya terpaksa harus
diimpor karena ada permintaan untuk pangan tersebut di dalam negeri, namun
Indonesia belum memiliki dayasaing untuk memproduksinya.
Kedua, cara pencapaian ketahanan pangan melalui peningkatan produksi
pangan diubah menjadi peningkatan pendapatan petani dan masyarakat
perdesaan. Untuk melaksanakan pendekatan ini, UU Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah memberikan tuntunan
cara memberdayakan petani untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan
daya saing (Suryana, 2013c). Untuk para petani kecil yang mengusahakan
lahan rata-rata kurang dari 1,0 ha, dalam Upaya meningkatkan efisiensi dan
keuntungan petani, rekayasa sosial-ekonomi seperti usahatani korporas
(corporate farming), usahatani koperasi (cooperative farming), atau
pendekatan sekolah lapang (field school approach) dapat dipertimbangkan
untuk diterapkan secara luas.
Ketiga, sasaran pemenuhan konsumsi pangan secara kuantitas diubah
menjadi pemenuhan konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang dan
aman (B2SA). Untuk itu perlu dilakukan promosi penganekaragaman pangan
dari sisi penyediaan dan sisi pe manfaatannya. Pengembangan sumber pangan
dan jenis makanan baru yang mempunyai cita rasa, citra, dan harga yang
bersaing perlu dilakukan. Di sisi lain, kampanye diversifikasi konsumsi
pangan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya
mengkonsumsi pangan B2SA perlu dijadikan gerakan nasional. Untuk itu,
pemanfaatan teknologi pangan dalam rangka pengembangan produk pangan
baru atau memperkenalkan pola konsumsi dan pemanfaatan pangan berbasis
sumber pangan lokal menjadi suatu keharusan.
Dengan ketiga pendekatan baru untuk menuju ketahanan pangan
Indonesia berkelanjutan 2025, strategi umum Pembangunan ketahanan pangan

10
adalah untuk: (1) mengembangkan kapasitas nasional dalam peningkatan
produksi pangan secara mandiri dan berkelanjutan; (2) mempromosikan diver-
sifikasi pangan berbasis sumber daya pangan lokal untuk mencapai pola
konsumsi pangan B2SA; (3) menyediakan pangan yang cukup dari sisi
jumlah, keragaman, kualitas, dan keamanan, dengan tingkat harga terjangkau
daya beli masyarakat luas, serta menjaga stabilitas harga pangan pokok; dan
(4) menyediakan pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan
melalui pendistribusian bantuan pangan atau pangan bersubsidi.
Strategi menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan 2025
dikelompokkan menurut subsistem dalam sistem ketahanan pangan seperti
diatur dalam UU Pangan, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan,
dan pemanfaatan pangan. Seluruh strategi yang ditawarkan dalam artikel ini
dirancang sejalan dengan arahan dari UU Pangan (Suryana, 2013b).
2. Strategi Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan merupakan subsistem pertama dari tiga subsistem
dalam system ketahanan pangan dan pangkal dari Upaya menujudkan
kemandirian dan kedaulatan pangan. Modal utama dalam mewujudkan
ketersediaan pangan adalah kekayaan sumber daya yang beragam,
ketersediaan teknologi, dan pengembangan kemitraan strategis dengan
berbagai komponen pemangku kepentingan. Empat strategi yang diajukan
dalam membangun ketersediaa pangan adalah sebagai berikut.
Pertama, membangun penyediaan pangan berasal dari produksi
domestik dan cadangan pangan nasional. Bila dari kedua sumber pangan
tersebut tidak dapat memenuhi atau mencukupi kebutuhan, pangan dapat
diimpor dengan jumlah sesuai kebutuhan (UU Pangan pasal 14 dan 15).
Untuk itu perlu upaya: (a) meningkatkan produksi pangan penting secara
ekonomi, sosial, dan politik dengan menggunakan sumber daya domestic
secara optimal; (b) membangun Cadangan pangan pokok pemerintah pusat
dan daerah serta masyarakat yang kuat; dan (c) bila diperlukan, menetapkan

11
kebijakan impor pangan yang dirancang secara cermat untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat, namun tidak berdampak negatif terhadap
agribisnis pangan domestik.
Kedua, untuk memberdayakan usaha pangan skala kecil yang menjadi
ciri dominan pada ekonomi pertanian Indonesia, perlu dilakukan: (a)
menyelaraskan atau mengintegrasikan aktivitas usaha pangan skala kecil ke
dalam rantai pasok pangan (food supply chain) dan (b) upaya menghimpun
usahatani skala kecil sehingga mencapai skala ekonomi dengan menerapkan
rekayasa sosial-ekonomi seperti corporate farming atau contract farming
dalam satu luasan skala tertentu, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Ketiga, mempercepat diseminasi teknologi dan meningkatkan kapasitas
petani dalam mengadopsi teknologi tepat-guna untuk peningkatan
produktivitas tanaman dan efisiensi usaha. Salah satu langkah operasional
yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas penyuluh dan petani,
baik dari
aspek teknis maupun kapabilitas manajerial dalam mengelola usahatani.
Keempat, mempromosikan pengurangan kehilangan pangan melalui
pemanfaatan teknologi penanganan, pengolahan, dan distribusi pangan.
Peningkatan aksesibilitas petani secara fisik dan ekonomi terhadap teknolog
pengolahan pangan tersebut mutlak diperlukan. Selain itu, perlu upaya untuk
mengurangi pemborosan pangan melalui Gerakan pengurangan pemborosan
pangan secara sistematis dan masif ke berbagai lapisan masyarakat dengan
pendekatan sosial budaya.
3. Strategi Keterjangkauan Pangan
Subsistem ketejangkauan pangan terkait dengan aksesibilitas perseorangan
terhadap pangan baik dari aspek fisik ataupun aspek ekonomi. Aspek fisik
terkait dengan kualitas prasarana dan sarana transportasi, system distribusi
dan logistik pangan, dan kebijakan pemasaran dan perdagangan pangan.
Aspek ekonomi terkait dengan daya beli perseorangan dan rumah tangga yang

12
dicerminkan oleh pendapatan dan sistem kekerabatan dalam mengatasi
masalah pangan dalam suatu keluarga besar.
Dengan demikian, strategi keterjangkauan pangan meliputi: (1)
memperkuat dan memfasilitasi pengembangan pemasaran dan perdagangan
pangan yang efisien serta pengembangan pasar pangan di perdesaan; (2)
menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan pokok melalui pengelolaan
Cadangan pangan pokok pemerintah pusat dan daerah, dan memanfaatkan
instrumen kebijakan perdagangan internasional pangan dengan men-
dahulukan pertimbangan kepentingan nasional namun juga selaras dengan
kesepakatan internasional; (3) merevitalisasi sistem ke- lembagaan lumbung
pangan masyarakat menjadi sistem cadangan pangan Masyarakat yang
dikelola dengan prinsip efisiensi ekonomi, namun tetap mempunyai fungsi
sosial; dan (4) menyalurkan bantuan pangan ataupun pangan bersubsidi sesuai
pola konsumsi pangan setempat bagi yang masyarakat miskin dan kekurangan
pangan.
4. Strategi Pemanfaatan Pangan
Kualitas pemanfaatan pangan dipengaruhi oleh daya beli, selera,
pengetahuan dan kesadaran gizi masyarakat, dan ketersediaan pangan itu
sendiri Pemanfaatan pangan merupakan muara dari suatu sistem ketahanan
pangan karena akan menentukan kualitas perseorangan untuk dapat hidup
sehat, aktif dan produktif. Karena itu, strategi pemanfaatan pangan tidak kalah
pentingnya dengan dua strategi sebelumnya dalam sistem ketahanan pangan.
Strategi pemanfaatan pangan terdiri dari: (1) mempromosikan
diversifikasi konsumsi pangan berdasarkan potensi sumberdaya pangan lokal,
keragaman makanan daerah, dan kearifan lokal, dengan acuan pola konsumsi
pangan B2SA; (2) memperbaiki status gizi masyarakat melalui pengayaan
atau fortifikasi untuk zat gizi tertentu pada pangan yang dikonsumsi sebagian
besar masyarakat, seperti beras, minyak goreng, dan garam dan; (3)
mengupayakan agar tercipta kemampuan untuk menjamin pangan yang

13
diedarkan atau diperdagangkan kepada masyarakat mempunyai karakteristik
aman, higienis, berkualitas, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat.

D. Indicator Ketahanan Pangan


Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa definisi ketahanan pangan
berubahubah dan menyangkut aspek yang sangat luas, sehingga indikator,
cara dan data yang digunakan oleh peneliti atau para pakar untuk mengukur
ketahanan pangan juga sangat beragam. Soekirman (1996) mengemukakan
bahwa untuk mengukur ketahanan pangan di Indonesia tidak hanya pada
tingkat agregatif nasional atau regional tetapi juga dapat diukur pada tingkat
rumah tangga dan individu.
Menurut Suhardjo (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga dapat
dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain: (1) Tingkat kerusakan
tanaman, ternak, perikanan; (2) Penurunan produksi pangan; (3) Tingkat
ketersediaan pangan di rumah tangga; (4) Proporsi pengeluaran pangan
terhadap pengeluaran total; (5) Fluktuasi harga-harga pangan utama yang
umum dikonsumsi rumah tangga; (6) Perubahan kehidupan sosial (misalnya
migrasi, menjual/menggadaikan harta miliknya, peminjaman); (7) Keadaan
konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas) dan (8) Status
gizi. Berkaitan dengan indikator (7) dan (8) di atas, Kodyat (1997) juga
mengemukakan bahwa indikator ketahanan pangan dapat dilihat dari
konsumsi pangan rumah tangga dan keadaan gizi masyarakat.
Sementara itu Soetrisno (1997) mengungkapkan bahwa mengacu pada
pengertian ketahanan pangan sesuai dengan UdangUndang Pangan No. 7
tahun 1996 dan rencana Aksi KTT Pangan Dunia, maka indikator yang dapat
digunakan selain yang telah disebutkan terdahulu adalah angka indeks
ketahanan pangan rumah tangga, angka rasio antara stok dengan konsumsi
pada berbagai ngkatan wilayah, skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk

14
tingkat ketersediaan dan konsumsi, kondisi keamanan pangan, keadaan
kelembagaan cadangan pangan masyarakat dan tingkat cadangan pangan
pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan. Berkaitan dengan stok pangan,
salah satu indikator penting dalam ketahanan pangan baik di tingkat nasional
maupun rumah tangga adalah kemampuan untuk melakukan stok pangan
(Suryana dkk., 1996).
Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan bahwa penentu utama
ketahanan pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari
tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Sementara
itu penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan,
ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan
pangan tersebut. Menurut FAO (1996) salah satu kunci terpenting dalam
mendukung ketahanan pangan adalah tersedianya dana yang cukup (negara
dan rumah tangga) untuk memperoleh pangan.
Indikator ketahanan pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran
pangan. Hukum Working 1943 yang dikutip oleh Pakpahan dkk. (1993)
menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan negatif
dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan pangan mempunyai
hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti
semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin
rendah ketahanan pangannya. Pengukuran seperti ini juga digunakan oleh
Rachman dan Suhartini (1996) dalam mengkaji ketahanan pangan masyarakat
berpendapatan rendah di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

E. Upaya Pemantauan Ketahanan Pangan (SKPG, SIDI).


Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan.merupakan kebijakan turunan dari Undang-undang No. 7 tahun 1996
tentang Pangan. Melalui kebijakan Ketahanan Pangan, pemerintah
menegaskan perlunya peran dari seluruh sektor baik pemerintah maupun

15
masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan.Peraturan Menteri Pertanian
No. 43 tahun 2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
merupakan salah satu kebijakan pelaksana dari kebijakan Ketahanan Pangan.
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) merupakan salah satu upaya
untuk mencegah terjadinya masalah pangan dengan caramemantau situasi
pangan dan gizi. SKPG merupakan serangkaian proses meliputi pengumpulan,
pemrosesan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi untuk
mengantisipasi kejadian rawan pangan dan gizi.

Berdasarkan data BPS tahun 2012, pada tahun 2011 masih terdapat 42,08
juta penduduk atau sekitar 17,41% dari seluruh penduduk di Indonesia
mengalami kondisi sangat rawan pangan. Data BPS tahun 2013 menunjukkan
persentase angka rawan pangan pada tahun 2012 mencapai sekitar 19,46%
atau 47,64 juta penduduk dari seluruh penduduk di Indonesia mengalami
kondisi sangat rawan pangan. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya sebesar 5,56 juta penduduk. Berdasarkan data Global Food
Security Index 2012, yang dirilis Economic Intelligent Unit, indeks keamanan
pangan Indonesia berada di bawah 50 (0-100).Posisi Indonesia jauh lebih
buruk dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina.
Kondisi rawan pangan disebabkan oleh banyak faktor. Rawan pangan
kronis disebabkan oleh ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi
standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada waktu yang lama
karena keterbatasan ekonomi. Rawan pangan transien disebabkan oleh faktor
alam seperti kekeringan, banjir, hama, paceklik, cuaca ekstrim, gempa bumi,
dan sebagainya yang terjadi diluar kemampuan manusia untuk mencegah atau
menghindarinya. Rawan pangan transien bersifat mendadak dan sementara.
Pemantauan kondisi rawan pangan dan gizi sangat diperlukan untuk
melihat tingkat kerawanan pangan dan gizi. Sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan maupun penanggulangan kerawanan pangan. Salah satu

16
cara untuk memantau kondisi pangan dan gizi dapat dilakukan melalui SKPG.
SKPG dilaksanakan oleh kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah pusat
melalui pokja/tim SKPG yang dibentuk oleh pemerintah di masingmasing
tingkatannya. Dari serangkaian proses dalam SKPG dihasilkan Peta Rawan
Pangan yang dijadikan sebagai acuan untuk melakukan berbagai intervensi.
Intervensi tersebut berupa kebijakan ataupun program untuk mengatasi
masalah krisis pangan atau untuk acuan pengelolaan pangan dan gizi dalam
jangka panjang.
Peta Rawan Pangan dibuat dengan menganalisis tiga aspek, yakni: aspek
ketersediaan pangan, aspek akses terhadap pangan, dan aspek pemanfaatan
pangan. Aspek ketersediaan pangan mengacu pada jumlah produksi pertanian
yang dihasilkan untuk mencukupi kebutuhan pangan baik secara bulanan
maupun tahunan.Aspek akses pangan mengacu pada jumlah rumah tangga
miskin.Aspek pemanfaatan pangan mengacu pada jumlah balita dengan gizi
buruk di suatu wilayah. Untuk menvisualisasikan tingkat rawan pangan suatu
wilayah digunakan tiga warna yakni: warna hijau untuk wilayah dengan
kondisi aman pangan, warna kuning untuk kondisi waspada, dan warna merah
untuk kondisi terindikasi rawan pangan. Keefektifan Peta Rawan Pangan
untuk mengukur tingkat kerawanan pangan suatu wilayah akan dipengaruhi
oleh efektivitas dari pelaksanaan SKPG.
Dalam perkembangan selanjutnya masalah pangan dan gizi dapat terjadi
setiap waktu dan tidak hanya tergantung pada kegagalan produksi. Oleh
karena itu dalam periode 1990–1997, SKPG dikembangkan dengan lingkup
yang lebih luas ke seluruh Indonesia, dengan komponen kegiatan terdiri dari :
1. Sistem Isyarat Dini untuk Intervensi (SIDI)
2. Pemantauan Status Gizi, dan
3. Jejaring Informasi Pangan dan Gizi (JIPG)

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari istilah food security telah
dikenal luas di dalam forum pangan dunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat
evaluasi yang penting dalam kebijaksanaan pangan, konsep keta- hanan
pangan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Pada
tahun 1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi perhatian dalam ketahanan
pangan, namun mulai tahun 1980-an beralih ke akses pangan pada tingkat
rumah tangga dan individu, dan pada tahun tahun 1990-an telah memasukkan
aspek kelestarian lingkungan.
B. Saran
Diharapkan pembaca dan mahasiswa/ mahasiswi dapat lebih
memahami tentang Ketahanan Pangan. Kami juga menyadari masih ada
kekurangan dari isi makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang sangat kami
butuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2012, Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan.

Anonim 2009, Undang-Undang RepublikIndonesia No. 7 Tahun 2009tentang


Ketahanan PanganNasional.

Anonimous. 1997. Deklarasi Roma Tentang Keta-hanan Pangan Dunia dan Rencana
Tindak Lanjut KTT Pangan Dunia. Terjemahan oleh Bulog. Jakarta.

Anonimous. 1999. Program Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional


1999 2004. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ariani, M.; H.P. Saliem, S.H. Suhartini; Wahida dan M.H. Sawit. 2000. Dampak
Krisis Ekonomi terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Laporan
Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Erwidodo; M. Ariani dan T. Sudaryanto.1997 Penawaran, Permintaan dan Konsumsi


Serealia, Kacang-kacangan dan Umbi- umbian di Indonesia. Makalah
disampaikan pada Pra-WKNPG VI, Sub Tema : Penawaran, Permintaan dan
Konsumsi Pangan, Jakarta, 18 November.

World Bank. 2009. Food for Indonesia, Jakarta: World Bank.

Ariani, M. 2010. Penguatan Ketahanan Pangan Daerah untuk Mendukung


Ketahanan Pangan Nasional, Bogor: Pusat Analisis Sosial-Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian

19
Hanani, N. 2009. Optimalisasi dan Efektivitas Dewan Ketahanan Pangan (DKP)
Kabupaten/Kota dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan. Jakarta: Dewan
Ketahanan Pangan.

Boediono. 2012. "Pendidikan Kunci Pembangunan". Kompas, 27 Agustus.

Setiadji, A. 2012. Implementasi Hubungan Kerja Antar Instansi Untuk Ketahanan


Pangan Dapat Meningkatkan Kemandirian Bangsa,
http://agussetiadji.blogspot. com/2012/06/implementasi-hubungan-kerja-
antar.html, diakses 1 November 2012.

Purwanto dan Yustika, A.E. 2009. "Kebijakan Peningkatan Ketahanan Pangan dan
Produktivitas Sektor Pertanian", dalam Purwanto (ed.) Pengurangan
Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan, Jakarta: LIPI, pp. 59-90.

Khudori. 2012. Kelembagaan Pangan, Kompas, 27 September.

Undang-Undang Ketahanan Pangan No 18tahun 2012: Ketentuan Umum Pasal 1ayat


(4). Didapatkan:http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/03/UU-Nomor-
18-Tahun-2012.pdf

Supriyanto, Teguh. 2014 di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali. “Analisis


tingkat ketahanan pangan rumah tangga tani Desa MandiriPangan”. Skripsi.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Susilowati, Heni. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan


Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Srandakan Bantul. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.

Suryana, A. 2013c. UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan


Pemberdayaan Petani. Disampaikan dalam Acara Kuliah Umum Mahasiswa
FEM-IPB, 13 Nopember 2013. Bogor.

20
Suryana, A. 2013b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Disampaikan dalam Kuliah Umum Mahasiswa Sarjana dan Pasca Sarjana
Jurusan Agribisnis IPB. 14 Desember 2013. Bogor.

Soekirman. 1996. Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya.


Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan pangan Rumah Tangga,
Yogyakarta, 26-30 Mei.

Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga.
Yogyakarta, 26-30 Mei.

Kodyat, B. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Diversifikasi Pangan Dalam Rangka


Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Pra-WKNPG VI, di
Bulog, Jakarta 26-27.

Soetrisno 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII.
Makalah disampaikan pada Seminar PraWKNPG VI. Jakarta, 26-27 Juni.

Suryana, A., I.W. Rusastra dan S.H. Suhartini. 1996. Pemberdayaan Ekonomi
Keluarga Dalam Rangka Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga, Yogyakarta,
26-30 Mei.

Sawit, M.H. dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan.
Makalah Pembanding pada Pra-WKNPG VI, di Bulog, Jakarta, 26-27 Juni.

FAO. 1996. World Food Summit, FAO, Rome.

Pakpahan, A; H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafa'at. 1993. Penelitian Tentang
Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series
No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

21
Rachman, H.P.S. dan S.H. Suhartini. 1996. Ketahanan Pangan Masyarakat
Berpendapatan Rendah di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro
Ekonomi 15(2):36-53. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

22

Anda mungkin juga menyukai