Konstruksi Pengalam - Mutia Irhamni - 237009014

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

JL3T (Journal of Linguistics, Literature and Language Teaching)

Vol. x No. x (xxxx), pp. xx-xx


https://doi.org/10.32505/jl3t.vxix.xxxx

Konstruksi Pengalam Pada Verba Bahasa Minangkabau : Analisis Semantik


Mutia Irhamni1, Mulyadi 2
1
Magister Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
2
Magister Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,Medan


email: [email protected]

Received: ABSTRAK (11pt)


01 January Konstruksi pengalam adalah fenomena dimana subjek dipetakan
2020
sebagai pasien dan objek sebaga stimulus. Namun dalam kaidah sintaksis
Revised: dapat sebaliknya. Adapun berunsur datif. Dengan memahami ketiga
02 February
2020 konsep ini pada takaran semantis, maka dapat dipetakan setiap bahasa
memiliki stuktur semantis dan sintaksis yang berkaitan erat satu sama lain.
Accepted:
03 March Kajian ini berfokus kepada konstruksi pengalam pada Bahasa
2020 Minangkabau. Metode penelitian adalah menyusun instrumen penelitian
dengan mengobservasi percakapaan sehari –hari penutur Bahasa
Minangkabau dari hasil observasi, dapat diamati bahwa verba konstruksi pengalam pada
Bahasa Minangkabau dengan verba afeksi dan kognisi berpola sebagai S – A O – P, S- EXP O-
ST, ST – O- EXP – S, A-S , O-ST- Datif. Dalam analisis verba pengalam harus diketahui
bahwa verba yang dapat berkorespondensi pada verba pengalam adalah verba keadaan, dalam
setiap kajian lintas bahasa verba keadaan bersifat netral. Konsep konstruksi Bahasa
Minangkabau dalam peran semantis, turut mengubah konsep morfemis suatu verba dan juga
mengubah struktur kaidahnya. Pada penganalisisan, ditemukan bahwa beberapa verba
memiliki kesinambungan jika dilekatkan kepada unsur datif dan berterima secara
gramatikal.Tujuan penelitian ini ialah menemukan pola struktur pengalam serta mampu
melihat hubungan keterkaitan sintaksis dan semantis pada kajian bahasa.

Keywords: Konstruksi Pengalam ; Peran Semantis ; Pengalam ; Stimulus

PENDAHULUAN (12pt)

Pada kajian peran semantis fenomena konstruksi pengalam dapat mempengaruhi


subjek yang berfungsi sebagai agen yang berkorespondensi sebagai pengalam dan
stimulus yang berfungsi sebagai objek. Pada fenomena tataran sintaksis, subjek yang
berkorespondensi sebagai pengalam didistribusikan oleh verba mental dan kognitif
Lihat: (Croft:1993),(Dowty:1991),(Primus:1999), (La,Polla 1999:114) verba pengalam
adalah verba yang berkaitan dengan subjek mengalami suatu hal, merasakan sensasi,
dan mengalami tindakan mental oleh pemicu (stimulus) dari objek kalimat. Lebih
lanjut , pengalam juga dapat didefinisikan sebagai suatu argumen yang mengenai
keadaan mental ditandai dengan konstruksi predikatnya. Lihat : (Mulyadi : 2009),
(Bossong: 1998), (Dahl, E., & Fedriani, C. :2012)
Hasil dari dua kategorial ini dikategorikan 'terbalik' dan 'digeneralisasi'. Konstruksi
terbalik adalah konstruksi di mana stimulus dikodekan sebagai subjek dan pengalam
direpresentasikan secara aktif mengambil bagian dalam situasi tersebut, sedangkan

1
Article Title... (3 Words)

konstruksi generalisasi dipahami sebagai konstruksi di mana pengalam diekspresikan


sebagai subjek dan dengan demikian berasimilasi dengan peran agen.

Menurut Novita, S., & Mulyadi. (2019). Dalam penelitian yang berjudul ‘’A Semantic
analysis of experiential construction in Hokkien’’."Konstruksi pengalam adalah proses atau
metode yang digunakan untuk membentuk makna yang memiliki pengalam sebagai
partisipan manusia yang secara tidak sengaja mengalami keadaan mental atau fisik.
Konsep pengalaman menjelaskan 5 subdomain kata kerja pengalaman, yaitu sensasi
tubuh (haus, lapar, sakit, gatal), emosi (marah, senang, takut), hasrat (keinginan),
kognisi (berpikir, mengetahui, mengingat), dan persepsi (melihat, merasakan,
mendengar), serta bentuk kata sifat pengalaman, yaitu ingin tahu, pandai, pelupa, dan
bingung. Setiap bahasa memiliki istilah emosi yang bersifat buruk, baik, dan netral
serta dapat digambarkan melalui gejala di luar tubuh, seperti merah dan pucat.’’
Peran semantis pengalam animasi (animacy hierarcy) dalam pengkajian semantis akan
diketahui bahwa argumen benda atau hewan tetap dikodekan sebagi pengalam dan
stimulus pada kategorial semantis. Dengan penanda sintaksis relative pronoun (kata
ganti relative) pada penelitian Menurut Dahl, E., & Fedriani, C. (2012) dalam penelitian
‘’The argument structure of experience: experiential constructions in early Vedic, Homeric Greek
and early Latin construction in Hokkien’’ .‘’Peran semantik secara umum mewakili
prototipe berdasarkan kelompok karakteristik persyaratan leksikal. Secara khusus, agen
prototipe didefinisikan sebagai manusia atau setidaknya partisipan bernyawa yang
secara sadar dan sukarela menyebabkan partisipan lain dalam situasi tersebut
mengalami perubahan mental atau fisik yang tidak disengaja yang timbul dari atau
disebabkan oleh beberap astimulus yang secara karakteristik secara tidak sengaja
terlibat dalam situasi tersebut’’

Konstruksi stimulus dalam semantis diikat sebagai argumen yang memicu atau
menjadi target dari respon psikologis pengalam atau entitas yang diserap oleh
pengalam. Lihat: (Kearns, 2000: 190) dan Kutscher, 2005: 1-2). Penandaan konstruksi
pengalam disebutkan sebagai status ambivalen, jika subjek berkorespondensi pada
pengalam atau stimulus berkorespondensi pada objek atau sebaliknya. Dan, beberapa
peneliti linguistik juga menyebut istilah pengalam sebagai ‘’volitional undergoers’’ (pelaku
kehendak.

Sejalan dengan penelitian –penelitian sebelumnya, Verhoeven (2007:35),


pengalam dapat berbentuk kata sifat sebagai berikut: puas, ingin tahu, bangga, kagum,
pandai, cerdas, pelupa, bingung, bodoh, kuat, rapuh, perkasa, buta, gembira,
bersemangat, marah, takut, pemalu. Kata –kata sifat dalam semantis, juga data
ditandai sebagai verba dalam kajian analisis semantis. Dikarenakan verba
menunjukkan makna waktu dan proses.

2
First Author, Second Author, Third Author

Beberapa ahli linguistik berpendapat bahwa konstruksi pengalam adalah konsruksi


morfosintaksis dimana adjektifa dan verba bersinonim dalam penganalisisan
semantisnya.Konstruksi didefinisikan sebagai metode dan cara serta proses untuk
memberikan makna akurasi terhadap kalimat. Chandralal (2010) telah diketahui
bahwa konstruksi adalah proses, metode, atau cara di mana kata-kata digunakan
secara keseluruhan dan disusun secara terstruktur untuk membentuk kalimat yang
bermakna, di sisi lain, konstruksi verbal seperti cinta, iri hati, dan takut cenderung
memiliki kesatuan morfosintaksis yang jauh lebih sedikit ekspresi yang jauh lebih
sedikit daripada, misalnya, kata kerja prototipikal agentif seperti 'membunuh',
'menghancurkan', atau 'membangun' baik di dalam maupun lintas bahasa.

Konstruksi pengalam dapat didistribusikan dalam makna sintaksis intransitive,


transitive, kausatif dan pasif. Pengkajian sintaksis diketahui, akan memberikan warna
fenomenologi yang berbeda dalam pengkajian lintas budaya. Kalimat dapat
didistribusikan sebagai berikut:
1. (A) Saya lapar (S#A)
(B)Saya kelaparan karena aroma masakannya (S#EXP)

2.(A) Karmila takut (S#P)


(B) Ibu menakuti Karmila (O#EXP)

Dalam dua kalimat Bahasa Indonesia diatas, kalimat intransitive 1(a) memiliki peran
derivasi sebagai agen. Sedangkan kalimat 1(b) adalah transitive dimana subjek dikenai
peran semantis sebagai pengalam dan dua argumen yang diletakkan setelah konjungsi
adalah stimulus. Peran stimulus adalah peran yang dikenai sebagai pemicu terjadi
reaksi terhadap argumen subjek.Dan hal tersebut, secara morfologis, ‘’kelaparan’’
memiliki makna semantis yang berperan sebagai pengalam jika diikuti argumen dan
pasien, tanpa objek.

Kalimat ke-dua, (A)subjek berkorespondensi sebagai pasien pada kalimat intransitive


lalu pada kalimat (B) transitive, subjek berganti menjadi pengalam,dikarenakan
argumen ‘’ibu’’ pemicu dari agumen ‘’Karnila’’ menjadi takut,dan penambahan
argument subjek ‘’ibu’’ adalah kategori agen. Maka dapat disimpulkan, baik konstruksi
pengalam sebagai subjek atau pengalam sebagai objek diperlukan analisis
fenomenologi terkait bahasa ergative atau akusatif pada kajian lintas bahasa.
Terkait konstruksi pada peran pengalam dapat dikategorikan dengan sub –kategori
penandaan subjek –objek, animasi hierarki, dan pengkajian dalam kalimat
menggunakan kalimat transitive, intransitive, pasif dan akusatif.
Penandaan subjek –objek pada kalimat verba pengalam dapat di identifikasi dalam
pernyataan dari Croft (1993), Butt et al. (2006) and Malchukov and de Swart (2009)

3
Article Title... (3 Words)

Salah satu konstruksi di mana subjek dan objek dapat dibedakan adalah dalam klausa
relatif konstruksi. Kepala NP dalam klausa relatif bisa menjadi subjek atau objek. Tapi
pemarkah transitif dan pemarkah intransitif dapat digunakan untuk membedakan
kepala subjek NP dari kepala objek NP. NP subjek dan NP objek adalah
diklasifikasikan sebagai kata benda bernyawa.
Perhatikan contoh berikut ini :
Anjing gigit kucing
agen pasien

kucing yang digigit anjing sudah mati


Pengalam stimulus

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling penting dalam kajian
linguistik, karena dalam linguistik bahasa dikaji dalam komunikasi, struktur bahasa
dan konteks tuturan. Bahasa daerah dapat direvitalisasi dalam rangka penelitian
bahasa. Untuk itu, penelitian terkait bahasa amat penting, guna melestarikan eksistensi
bahasa itu sendiri. Melalui kajian linguistik,kita dapat memahami peran bahasa,
memperkaya pengetahuan dari aspek bahasa, dan meningkatkan kemampuan analisis
bahasa. Lihat: Crystal, David. (2005), Fromkin, Victoria, et al. (2010), dan Yule,
George. (2014).
Bahasa Minangkabau dikaji dalam struktur sintaksis dan tipologi tergolong ergative,
dikarenakan subjek pada kalimat transitive dan subjek pada kalimat transitive pada
kedua hal tersebut, dikaitkan secara berbeda, dalam arti harfiahnya, memiliki
pemarkahan untuk menjelaskan ke-ergativan bahasa tersebut.
Perhatikan contoh kalimat –kalimat berikut:
1.Ambo sadang mambaco tampang
1 –saya
st
Prog-sedang V-membaca Obj-buku
‘saya sedang membaca buku’

2.Tampang sadang dibaco (dek) ambo


3 - buku
rd
Prog- sedang V-dibaca Obj-saya
‘Buku sedang dibaca (oleh) saya’

3.Bayi lalok
3 – Bayi
rd
V- tidur
‘bayi tidur’

4. Amak malaloan bayi


3 –amak
rd
v- menidurkan Obj- bayi
‘Ibu menidurkan bayi’

4
First Author, Second Author, Third Author

Pada kalimat (1) dan (2) konstruksi kalimat pasif membentuk kata kerja dengan
morfologis berbeda, dan dengan urutan semantis berbeda. Hal ini menunjukkan
bahasa ergativitas dalam Bahasa Minangkabau.Pada kalimat (2) dan (3) kalimat
intransitive diperlakukan berbeda pada kalimat transitive dengan tambahan
argumen pada subjek.Karena memerlukan pemarkahan pada kata kerjanya. Tidak
semua bahasa bisa memperlakukan predikat setara pada pergantian kalimat
transitive, intransitive, pasif, aktif dan kausatif.

Begitu pula, konstruksi pengalam yang terdapat pada Bahasa Minangkabau, verba
–verba yang berkorespondensi menemukan peran semantisnya terkait dengan subjek
dan predikatnya. Pada contoh verba aktivitas kaki dalam Bahasa Minangkabau :
1. a. Ambo malompek
1st –saya V-melompat
‘saya melompat’
2. b. Ambo malompati punggung inyo
1 –saya V-melompati
st
Obj –Punggung Dia
‘Saya melompati punggung dia ‘
3. c. Ambo malompek –lompek kegirangan
1 –Saya V-melompat –lompat
st
Adj- Kegirangan

Dalam ketiga contoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa verba ‘’lompek’’adalah
verba agentif, dimana subjek melakukan aksi, sehingga peran semantis derafatif-nya
adalah agen sedangkan peran semantis dasarnya adalah aktor.Verba –verba yang
menerangkan afeksi, persepsi dan kognisi cenderung memiliki tipe klasifikasi dari
pengalam. Pada contoh verba persepsi dalam Bahasa Minangkabau dijelaskan sebagai
berikut :
1. Dera mancaliak Mutia tasanyum
3 – Dera
rd
V- Melihat 3 –Mutia V-tersenyum
rd

‘ Dera melihat Mutia tersenyum’ maka verba ‘’mancaliak’’ tersusun pada peran
semantis agen .
2. Badri manikmati padusi tu banyanyi
3 – Badri V- menikmati perempuan itu V-bernyanyi
rd

‘Badri menikmati perempuan itu bernyanyi’


Dalam konteks diatas, maka kita temukan verba ‘’manikmati’’ adalah verba
pengalam. Karena argumen subjek dikenai sensasi kognisi yang membuat dirinya
‘menikmati’ sesuatu. Dan dikalimat, stimuli dari argumen subjek adalah padusi
‘perempuan’
3. Ambo maraso panek dek baraja
1 –saya V-merasa Adj-penat karena V-belajar
st

‘Saya merasa penat karena belajar’


Argumen ‘’saya’’ dikenai sensasi mental dan psikis dari adjektifa lelah yang
ditandai sebagai pengalam. Namun verba ‘merasa’ tidak wajib diletakkan pada

5
Article Title... (3 Words)

kalimat. Jika diletakkan, maka harus dengan adjektifa untuk menandai sebagai
pengalam.
Dengan menganalisis konstruksi peran semantis dalam verba terkhususnya
‘’pengalam’’ maka kita dengan mudah mengetahui konstruksi semantis dan sintaksis
serta interpretasi utuh pada kalimat. Dengan pengujian verba –verba kognisi dan
mental atau volisi.
Sejumlah penelitian yang terkait tentang konstruksi pengalam pada penelitian yang
ditulis oleh Novita, Sherly & Mulyadi,. (2019). A Semantic Analysis of Experiencer
Construction in Hokkien. berfokus pada pemahaman tentang bagaimana makna dibentuk
dalam bahasa Hokkien melalui penggunaan kata kerja pengalam dan kata sifat untuk
menggambarkan pengalaman manusia. Penelitian ini mengeksplorasi konsep
pengalam di berbagai subdomain, termasuk sensasi tubuh, emosi, keinginan, kognisi,
dan persepsi. Penelitian ini juga membahas peran pengalam dalam bahasa dan
bagaimana argumen – argumen berinteraksi dengan berbagai jenis predikat pengalam

Penelitian ini menggunakan pendekatan Natural Semantic Metalanguage (NSM), yang


bertujuan untuk memberikan parafrase reduktif yang disebut dengan eksplanasi yang
menangkap makna konsep yang sedang dianalisis. Dengan menggunakan pendekatan
ini, penulis menganalisis data yang dikumpulkan dari percakapan di antara penutur
asli bahasa Hokkien di Medan, yang memungkinkan mereka untuk mengamati,
berpartisipasi, dan mentranskripsikan bahasa tersebut ke dalam bentuk tertulis.
Dan penelitian oleh Dahl (2012) berjudul The Argument Structure of Experience:
Experiential Construction in Early Verdic, Homeric Greek, and Old Latin, ia menyimpulkan
Predikat eksperiensial berbeda secara signifikan dari verba transitif prototipikal, seperti
predikat agentif, dalam hal struktur argumen dan ekspresi sintaksisnya. Predikat
pengalaman melibatkan asimetri semantik yang kurang khas antara pengalam dan
stimulus dibandingkan dengan hubungan agen dan pasien.
Berbagai macam pola realisasi argumen yang terkait dengan kata kerja pengalaman di
berbagai bahasa mencerminkan sifat unik dari predikat pengalaman. Kata kerja ini
menunjukkan pilihan realisasi argumen yang beragam karena sifat semantik yang
dimiliki oleh pengalam dan stimulus, yang mengarah pada asimilasi morfosintaksis ke
struktur seperti agen.

METODE PENELITIAN (12pt)

Metode penelitian digunakan untuk kegiatan pengumpulan data, menganalisis


data dan menjawab pertanyaan dari permasalahan penelitian. Menurut Creswell
(2014) metode penelitian adalah langkah –langkah sistematis yang dilakukan peneliti
untuk merumuskan pertanyaan seputar penelitian,merancang studi
penelitian,mengumpulkan data, menganalisis data dan menginformasikan
hasil.Langkah –langkah dalam metode penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mencari jawaban yang terstruktur, konkrit melalui fenomena –fenomena bahasa yang
dapat diteliti.

6
First Author, Second Author, Third Author

Pengumpulan data verba pengalam, dilakukan dengan tehnik Sudaryanto (2015)


Langkah pertama dalam prosedur pengumpulan data adalah merancang instrumen
pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Peneliti mengobservasi
percakapan penutur Bahasa Minangkabau, berinteraksi secara langsung, dan
menuliskan pokok –pokok observasi untuk pengklasifikasian data. Peneliti juga
melakukan wawancara interaktif kepada formant dengan menggunakan Bahasa
Minangkabau. Hasil observasi wawancara direkam lalu dituliskan dan diklasifikasikan
kepada verba –verba kognitif, mental dan volisi dalam Bahasa Minangkabau.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah pengumpulan data sesuai dengan
metode yang telah dipilih. Metode dalam instrument data adalah wawancara interaktif
terkait objek penelitian dan observasi langsung terhadap penutur Bahasa
Minangkabau. Dari kedua hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai pola
struktur bahasa dan pola unsur semantis dan bagaimana penggunaanya dalam bahasa
lisan dan tertulis secara struktural.
Langkah ke-tiga peneliti menganalisis data yang telah dikumpulkan melalui
serangkaian tehnik pada pola semantis dengan teori MSA(meta bahasa semantik alami)
Mulyadi, & Siregar, Rumnasari. (2006) menjelaskan prosedur metode penelitian MSA
Sebagai berikut: Teori MSA diterapkan pada beberapa data bahasa Indonesia untuk
menjelaskan model aplikasinya. Dalam analisis makna diikuti prosedur penelitian
berikut: (1) menentukan makna asali dari kata-kata yang akan dianalisis, (2) mencari
polisemi yang tepat dari maknanya, (3) mengungkapkan properti semantis yang lain di
dalam makna kata tersebut disertai bukti-bukti sintaksis dan semantis, (4)
membandingkan properti semantis kata-kata yang dianggap bertalian untuk
memperlihatkan persamaan dan perbedaan maknanya, dan (5) membentuk SMU
berdasarkan properti semantis yang ditemukan, dan (6) memparafrase atau
mengeksplikasi makna kata-kata tersebut.
Maka dalam penelitian ini, kalimat yang berkorespondensi pada verba pengalam akan
di paraphrase atau dieksplikasikan dalam makna –makna tertentu untuk mencri
kesesuainnya pada konstruksi verba pengalam.
Penyesuaian kriteria formant dirujuk pada kriteria Creswell (2015) berikut: 1)Seorang
penutur asli dan lahir serta besar di komunitas tertentu 2) Berusia 25 tahun ke atas,
dan dapat berkomunikasi dengan baik 3) Bersedia memberikan informasi yang sesuai
dengan objek penelitian 4) Mengetahui struktur dasar Bahasa asli.
Menurut Creswell (2015), ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan
dalam penyesuaian formant, yaitu keterkaitan (relevance), kesatuan
(comprehensiveness), keterandalan (dependability), dan ketahahan (confirmability).
Keterkaitan mengacu pada sejauh mana kriteria formant yang digunakan sesuai
dengan tujuan penelitian. Kesatuan merujuk pada kesesuaian kriteria formant dengan
kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian. Keterandalan mengacu pada
konsistensi dari kriteria formant yang digunakan dalam penelitian, sedangkan
ketahahan mengacu pada objektivitas dan ketepatan dari kriteria formant yang
digunakan.

7
Article Title... (3 Words)

FINDINGS AND DISCUSSION (12pt)

Konstruksi pengalam pada Bahasa Minangkabau di tandai dengan dua unsur. Unsur
yang pertama adalah subjek sebagai pengalam, dan objek sebagai pengalam atau datif.
Pada uraian akan dijelaskan bagaimana unsur –unsur ini berkoreferensial pada tingkat
sintaksis dan semantisnya. Pada data verba afeksi dalam Bahasa Minangkabau
menggambarkan pergantian struktur sintaksis dan morfologis .

Subjek dan Objek Sebagai Pengalam dan Datif

Verba afeksi

1. Ambo kagum wajahnyo S # EXP

1st –saya V-kagum Obj –wajahnyo

2. Ambo takagum –kagum dek wajahnyo S # EXP

1st –saya V- takagum –kagum Conj-karena Obj –wajahnyo

3. Wajahnyo dikagumi ambo O# EXP

Wajah 3rd -nya - V-dikagumi – 1st – saya

4. Wajahnya mangaguman S# P

Wajah 3rd –nya V-mengagumkan

Pada ke –empat data tersebut dapat terlihat perubahan morfologis yang kuat, jika kita
amati data (1) posisi (ambo) menempati pasien dengan stimuli (wajah) pengalam
(ambo) merasa kagum dengan paras yang ia lihat. Sementara pada data (2) verba
reduplikasi (terkagum –kagum) juga menempati posisi yang sama, yaitu pengalam
(ambo) merasa bahwa stimuli wajah seseorang, membuat dirinya terkagum –kagum
maka di data pertama dan kedua, pengalam masih menempati posisis subjek. Lalu
ketika dibalik objek menjadi subjek, yang berarti stimuli terletak di depan, dan verba
menyiratkan fungsi sintaksis pasif, yang terjadi, pengalam berpindah posisi menjadi
objek. Dan data ke (4) subjek (wajahnya) menempati posisi semantis pasien, karena
dikenai verba afeksi, dimana verba yang menggambarkan dan menjelaskan perasaan.
Sehingga dapat diketahui bahwa verba ‘’mengaguman’’ (mengagumkan) adalah wujud
penilaian seseorang.

Verba afeksi selanjutnya dapat dilihat pada verba ‘’kesal’’ (mangka : )

1.Inyo mambuek den mangka O# EXP

3rd – dia V- membuat 1st saya V- kesal

8
First Author, Second Author, Third Author

2.Inyo mangka S# EXP

3rd – dia V- Kesal

Pada verba (mangka) ‘’kesal’’ dapat dikatakan bahwa kalimat intransitif pada
data (2) menunjukkan sebagai pengalam, dan pada kalimat transitif,
menunjukkan bahwa verba (mangka) dapat berkorespondensi sebagai pengalam
pada strata objek ataupun subjek.

Interpretasi yang sama juga dapa dilihat dari verba ‘’tagang’ (tegang) dimana
dalam pengkajian semantik, sebuah sistem kata yang tergolong kata sifat
memiliki peran dalam subjek kalimat, sehingga yang tergolong adjektifa dapat
berkorespondensi sebagai verba.

1. Film itu managangkan untuak nyo O# EXP

Film – P- itu V –menegangkan –Prep – Untuk 3rd nya

2. Ambo tagang mancaliak film tu S# EXP

1st – Saya V- Tegang V-melihat Obj- film P- itu

Dapat dikatakan bahwa perubahan morfologis pada kedua data dapat terlihat dengan
jelas, ketika data pertama (1) verba mengalami pemarkahan sedangkan verba kedua
adalah verba tunggal, yang tidak mengalami pemarkahan. Fenomenanya, ketika
stimuli berada pada subjek kalimat, maka pengalam berada pada objek kalimat, dan
menjadi rancu apabila tidak ada fungsi datif pada kalimat. Jika dikatakan,

‘’Film itu menegangkan saya’’

‘’film itu menegangkan untuk saya’’

Tetapi jika kita terjemahkan kepada bahasa yang lain seperti Bahasa Inggris misalnya,
akan dibubuhi kata kerja bantu, sehingga fungsi datif dalam kalimat memiliki
penurunan fungsi, dikarenakan tidak merusak struktur kaidahnya.

The movie was suspenseful *for me (film itu menegangkan untuk saya)

Lalu pada Bahasa Minangkabau terdapat dua argument pada data (2) terlihat leksikal
(tagang) dan (mancaliak) yang berarti dapat di interpretasikan, bahwa pengalam
merasa tegang setelah melihat film (stimuli) .

Dua argumen verba atau lebih pada fungsi subjek sebagai pengalam dapat dilihat pada
contoh –contoh verba afeksi sebagai berikut:

1.Ambo *maraso anggan bajumpa co padusi rancak S# EXP

9
Article Title... (3 Words)

1st – saya V-merasa V-enggan V-berjumpa Conj – dengan Obj – perempuan cantik

2. Inyo maraso malu dek dipandang kakasihnyo S# EXP

O# ST – Datif

3rd – dia V-merasa V-malu Conj-karena V-dipandang Obj- kekasihnya

3. Urang –urang tu indak maraso manyelekkan abak S# EXP

1st – kami tidak V-merasa V- menjelekkan Obj – ayah

4. Ambo meraso dipermaluan co orangtuanyo S# EXP

O# ST – Datif

1st –saya V-merasa V- dipermakulan Prep -Oleh Obj – orangtuanya

Pada data – data (1-4) menunjukkan bahwa verba afeksi dapat berkorespondensi
terhadap fungsi datif pada kalimat. Struktur kalimat transitif, mewadahi beberapa
data –data diatas, serta fungsi datif dan kalimat transitif dilekatkan kepada kalimat
aktif dan pasif pada Bahasa Minangkabau. Dengan adanya dua argument yang
pasti dapat mempengaruhi perubahan peran semantis didalamnya. Pada contoh
kalimat nomor (3) jika dihilangkan salah satu argument, maka peran semantisnya
berbeda.

‘’Urang –urang tu indak manyelekkan abak’’

1st – kami tidak V- menjelekkan Obj – ayah

Maka fungsi peran semantisnya juga berbeda, Subjek (kami) berperan sebagai agen
atau berderivasi sebagai actor, sedangkan pasien adalah objek dari (ayah) maka
dapat disimpulkan, bahwa pada Bahasa Minangkabau dalam konstruksi pengalam
jika ada dua argumen pada kalimat, dapat memberikan perubahan peran semantis
pada actor yang mungkin sebagai pengalam dalam dua argumen, jika di reduksi
pola kalimatnya, maka peran semantis mungkin berganti menjadi agen atau pasien.

Argumen ‘’merasa’’ dapat dianalisis penggunaanya kepada subjek yang cocok


untuk digunakan. Disinilah verba afeksi, dapat dikatakan hanya digunakan untuk
pengalam persepsi personal, akan menjadi rancu apabila digunakan kepada selain
manusia.

Pada contoh lihat data dibawah ini:

Kuciang maraso gameta: saalah diagiahan obek tu

3rd – kucing V-merasa V-gemetar setelah V-diberikan Obj – obat itu S# EXP

10
First Author, Second Author, Third Author

Kita tidak bisa merasakan perasaan dari aktor (kucing) sehingga tidak sesuai
pengkajian semantik, apabila dibubuhi dengan kata (merasa) sehingga kata tersebut,
hanya bisa dipakai sebagai peran pengalam manusia yang merasakan sensasi personal.

Maka dalam konstruksi pengalam, tidak hanya memperhatikan bagaimana fungsi


sintaksis namun harus melihat keseluruhan dari peran subjek dan agen, apakah
berterima dan berkorespondensi pada kalimat. Karena sintaksis dan pola kalimatnya
sangat berpengaruh pada peran semantisnya, terutama pada konstruksi pengalam itu
sendiri.

Verba Kognisi

Verba kognisi adalah verba yang menyiratkan proses seseorang untuk memperoleh
pengetahuan atau informasi. Untuk perbandingan, diberikat data –data sebagai
berikut:
1. Dek usahanyo amak bahasia menginsyafkan adiak dari kacanduan rokok S# A
O#P
Conj –karena 3 Ibu V- berhasil V- menginsyafkan 3 – adik Prep- dari Comp –
rd rd

Kecanduan rokok

2. Adiak insyaf dari kacanduan rokok S# EXP

O # ST - Datif

3rd – adik V- Insyaf Prep – dari Comp – kecanduan rokok

Dapat kita lihat, bahwa perubahan semantik, pada verba kognisi (insyaf) pada data
(1) subjek berkorespondensi sebagai agen, dengan objek berkorespondensi sebagai
pasien. Namun pada data (2) subjek mengalami peran semantik pengalam, dengan
stimulus sebagai objek dengan fungsi datif. Fungsi datif dalam kalimat, adalah
menandai objek langsung atau tidak langsung dari kalimat. Pengalam dapat
menduduki fungsi datif ataupun objek dalam kalimat.

Pada contoh lihat kedua kalimat berikut:

1.Ambo sada indak pinta S# EXP

1st – saya V-sadar Comp – tidak pintar

2.Abak manyadaan ambo untuak manjadi pinta S # A

O # EXP - Datif

11
Article Title... (3 Words)

3rd – ayah V-menyadarkan 1st saya Prep – untuk – Comp – menjadi pintar

Pada kalimat pertama, dapat kita lihat bahwa kata (sadar) berkorespondensi sebagai
subjek pengalam, sedangkan ciri pengalam datif dapat kita temui saat subjek atau objek
pengalam dikenai kata tak langsung. Dalam kalimat (2) adanya penambahan argumen
dan penambahan morfologis pada kata kerja, serta objek tidak langsung, memberikan
tanda bahwa hal tersebut adalah ciri –ciri datif. Maka, diasumsikan bahwa kata
(menyadarkan) ‘’manyadaan’’ dapat berkorespondesi pada pengalam datif.

Konstruksi pengalam pada setiap bahasa di dunia memiliki polaritas yang berbeda –
beda, untuk itu perlu dicatat bahwa konstruksi pengalam hanya dapat diobservasi pada
verba keadaan. Dengan mencatat performansi morfologis, sintaksis dan peran
semantisnya. Dalam Bahasa Minangkabau, dapat ditarik kesimpulan bahwa
konstruksi pengalam pada Bahasa Minangkabau, dalam analisis ini memiliki pola :

S# A ------ O # P S# EXP -------- O# ST –

S# ST -------- O# EXP –

S # A -----------O # EXP - Datif

KESIMPULAN (12pt)

Bahasa Minangkabau dalam konstruksi pengalam memiliki karakteristik sebagai


pengalam dalam peran subjek, pengalam dalam peran objek dan stimulus dalam peran
datif. Dapat dianalisis bahwasannya, pergantian peran secara semantis juga akan
menggantikan fungsi sintaksisnya. Dalam Bahasa Minangkabau konstruksi pengalam
pada penelitian ini dianalisis verba keadaan afeksi dan kognisi dari data hasil
pengamatan percakapan antara penutur Minangkabau. Agen yang dipetakan sebagai
subjek (pengalam) atau objek yang dipetakan sebagai (stimulus) atau bisa dikeduanya
berkorespondensi pada kalimat. Pengalam adalah orang yang merasakan suatu sensasi,
perasaan dan emosi dan stimulus adalah hal yang memicu reaksi sensasi dan perasaan.
Pada konstruksi pengalam dalam Bahasa Minangkabau diketahui beberapa hal: 1)
verba afeksi ‘’merasa’’ (meraso) hanya dapat melibatkan dan mewakili sensasi dan

12
First Author, Second Author, Third Author

perasaan dari manusia, tidak dapat diwakilkan pada tipe (animacy hierarcy)
2)penambahan dua argument verba dapat merubah peran semantis, pada contoh verba
(merasa) ‘’maraso’’ 3) beberapa verba mental seperti (tagang) ‘’tegang’’ lebih berterima
jika ditambahkan fungsi datif. Dalam konstruksi pengalam Bahasa Minangkabau,
unsur datif ditemukan pada objek pengalam pada verba (menjadi) dan disandikan
dengan adjektifa bertaraf yang menggambarkan kualitas. Konstruksi pengalam pada
unsur datif dalam pengkajian bahasa tentu berbeda dengan bahasa yang lainnya.
Tujuan dan fungsi konstruksi pengalam adalah untuk menemukan makna yang kuat
dalam hubungan subjek –objek objek –subjek pada kalimat serta peran semantis yang
menaunginya. Dengan hal itu, dapat diasumsikan bahwa mengetahui peran semantis
dapat meningkatkan pemahaman antara bagaimana struktur sintaksis membangun
kalimat –kalimat dalam bahasa tertentu.

REFERENCES (12pt)

Ardiantari, D. P. S. (2023). Natural Semantic Metalanguage Analysis of


English Speech Act Verb ‘Inform’. International Journal of Language
and Literature, 7(2), 107–113. https://doi.org/10.23887/ijll.v7i2.47339
Bossong, G. (1998). Le marquage de l’experient dans les langues de l’Europe.
(pp. 259-294). Berlin: Mouton de Gruyter. Actance et Valence dans les
Langues de l’Europe. https://doi.org/10.1515/9783110804485.25

Croft, W. (1993). Case Marking and the Semantics of Mental Verbs. (pp. 55-
72). Dordrecht: Kluwer Academic. https://doi.org/10.1007/978-94-011-
1972-6_5
Dahl, E., & Fedriani, C. (2012). The argument structure of experience:
experiential constructions in early Vedic, Homeric Greek and early
Latin1. Transactions of the Philological Society, 110(3), 342–362.
https://doi.org/10.1111/j.1467-968x.2012.01313.x
Dixon, R. M. W. (1979). Ergativity. Language (Vol. 55, pp. 59-138).
https://doi.org/10.2307/412519
Fedriani, C. (2014). Experiential Construction in Latin. Leiden: Koninklijke
Brill. https://doi.org/10.1163/978900425783

Novita, S., & Mulyadi. (2019). A Semantic analysis of experiential


construction in Hokkien. International Journal of Linguistics, 11(1), 95.
https://doi.org/10.5296/ijl.v11i1.14279
Primus, B. (1999). Animacy, generalized semantic roles, and differential
object marking. In Studies in theoretical psycholinguistics (pp. 65–90).
https://doi.org/10.1007/978-94-007-1463-2_4

Mulyadi. (2009). Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa


Indonesia. [Online Journal]. Retrieved from
https://www.researchgate.net/
Dralal, Dileep. (2010) Dative Subject Construction and its Conceptual
Representation. University Press

ChanComrie, B. (1978). Ergativity. Austin: University of Texas Press.

13
Article Title... (3 Words)

Croft, W. (1991). Syntactic-categories and Grammatical Relations: The


Cognitive Organization of Information. Chicago: The University of
Chicago Press

Dowty, D. (1991). Thematic proto-roles and argument selection. Language,


67, 547-619.

Dowty, David R. 1989. On the semantic content of the notion ‘thematic


role’. In Gennaro Chierchia, et al (eds.), Properties, types, and meaning,
vol. 2: Semantic issues, 69–129. Dordrecht: Kluwer.
Efron Erwin Yohanis Loe Verba “Melukai” Dalam Bahasa Rote Dialek
Dengka: Kajian Meta Semantik Alami (MSA) SASDAYA, Gadjah
Mada Journal of Humanities, Vol. 1, No. 2 (May 2017), pp. 219-234

Foley, W. A., & van Valin Jr., R. D. (1985). Language Typology and
Syntactic Description. Cambridge: Cambridge University Press.

Goddard, Cliff. 1996. Semantic Theory andSemantic Universal (Cliff


Goddard Convensor) Cross Linguistic Syntax from Semantic Point of
View (NSM Approach) 1-5 Australia

Hubert Lehmann. 1991. Towards a Core Vocabulary for a Natural Language


System. In Fifth Conference of the European Chapter of the Association
for Computational Linguistics, Berlin, Germany. Association for
Computational Linguistics.

Halliday, M.A., & Matthiessen, C.M. (2006). Construing Experience


through Meaning : A Language-based Approach to Cognition.
Klein, K., & Kutscher, S. (2005). Lexical Economy and Case Selection of
Psych-Verbs in German.

Kridalaksana, Harimukti.2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia

Mulyadi. 1998. ‚Struktur Semantik Verba Bahasa Indonesia‛ Tesis S2.


Linguistik Denpasar

Mulyadi, & Siregar, Rumnasari. (2006). APLIKASI TEORI


METABAHASA MAKNA ALAMI DALAM KAJIAN MAKNA.
Logat. 2. 69-.

Rozas, Naaes. (2007). A usage-based approach to prototypical transitivity.

Sudipa. I Nengah. 2010. Struktur Semantik Verba Bahasa Bali “Masarӗ-


Majujuk‛.Disajikan pada Seminar Internasional Bahasa dan Budaya
Austronesia V, Juli 2010. Denpasar

14
First Author, Second Author, Third Author

Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.


Yogyakarta: Sanata Dharma University Press

Tomozawa, H. (2002). A Semantic Analysis of Causative and Experiential


HAVE. Hitotsubashi journal of arts and sciences, 43, 1-9.

Valin, R.D., & Lapolla, R.J. (1999). Syntax: Structure, Meaning, and
Function.

Verhoeven, L. (2007). Early bilingualism, language transfer, and


phonological awareness. Applied Psycholinguistics, 28(3), 425–439.
Wierzbicka, Anna. 1996. Semantics: Primes and Universal. Oxford: Oxford
University Press

15

Anda mungkin juga menyukai