Makalah Pembelajaran Berbicara
Makalah Pembelajaran Berbicara
Makalah Pembelajaran Berbicara
Dosen Pengampu:
Aan Anjasmara, S.Pd., M.Pd
Disusun Oleh
Nama : Lena Sulistia Agustrianti
Kelas : 20230110031
KELAS PBSIC-01
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KUNINGAN
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas limpahan
rahmatnya, penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Aan Anjasmara, S.Pd., M.Pd sebagai
dosen pengampu mata kuliah Pembelajaran Berbicara yang telah membantu memberikan
arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan saya. Maka dari itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Hakikat Berbicara.....................................................................................................................3
2.2 Mengapa Manusia Berbicara...................................................................................................5
2.3 Sebaiknya Berbicara atau Diam Itu Emas.............................................................................6
2.4 Tujuan Berbicara.....................................................................................................................8
BAB III PENUTUP................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hakikat berbicara
2. Untuk mengetahui mengapa manusia itu berbicara
3. Untuk mengetahui sebaiknya berbicara atau diam itu emas
4. Untuk mengetahui apa tujuan dari berbicara
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Berbicara
Berbicara adalah salah satu kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui
media bahasa. Berbicara adalah bentuk tindak tutur yang berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap disertai dengan gerak-gerik tubuh dan ekspesi raut muka. Berbagai definisi
telah dikemukakan untuk memberikan makna berbicara. Sesuai fungsinya, berbicara adalah
media yang digunakan manusia untuk berkomunikasi.
Implikasi berbicara dalam kontek komunikasi pada dasarnya adalah hakikat berbicara yang
meliputi:
a. Berbicara merupakan ekspresi kreatif dan tingkah laku;
b. Berbicara dan menyimak merupakan komunikasi yang seiring;
c. Dalam kontek komunikasi dengan lawan berbicara, berbicara adalah komunikasi
resiprokal;
d. Berbicara adalah wujud individu berkomunikasi;
e. Berbicara adalah pancaran kepribadian dan tingkah laku intelektual;
f. Berbicara adalah keterampilan yang diperoleh melalui usaha belajar;
g. Berbicara menjadi media untuk memperluas ilmu pengetahuan.
Berbicara merupakan kegiatan ekspresi kreatif dengan melibatkan berbagai anggota
tubuh. Anggota tubuh secara spontan ikut berperan mengekspresikan dan menegaskan makna
pembicaraan. Gerakan tangan, tubuh, dan raut muka secara serempak membangun satu
kesatuan ekspresi mengikuti tuturan yang keluar dari pembicara. Raut muka dan gerak tubuh
memiliki fungsi dan ekspresi yang berbeda. Mata, hidung, bibir, alis, dan sebagainya
membangun makna tersendiri. Mata melotot dapat diartikan marah, mata sayu dapat diartikan
sedih. Bibir, muka, dan hidung dapat memberikan makna bahwa seseorang sedang serius,
sedih, maupun gembira. Dalam kegiatan berbicara manusia juga memfungsikan organ lain
dalam tubuh untuk mengekspresikan makna pembicaraan. Tentang fungsi ekspresi dan
bahasa tubuh akan dibicarakan lebih lanjut pada kegiatan belajar 4.
Berbicara sebagai kegiatan komunikasi melibatkan sebuah proses berbicara silih
berganti antara pembicara dan lawan bicara. Artinya berbicara terjadi saling berbalas gantian
berbicara. Pada saat pembicara mengeluarkan tuturan, pendengar berperan sebagai
pendengar, dan sebaliknya pada saat pendengar mengambil alih kegiatan berbicara,
pembicara sebelumnya berubah fungsi menjadi penyimak.
Bentuk resiprokal ini membentuk kegiatan percakapan yang saling memberi dan
menerima respon pembicaraan. Pembicara memberikan informasi dan lawan bicara menerima
informasi. Kejadian ini secara sistematis berlangsung dalam percakapan yang membentuk
sebuah keinginan menyamakan persepsi dari tuturan yang silih berganti. Inilah yang disebut
sebuah proses komunikasi.
Kegiatan resiprokal berbicara tentu mengarah pada tema berbicara yang sama, yang
membedakan adalah materi tuturan dari setiap pembicara yang berbeda. Pembicara dan lawan
bicara memiliki pemikiran tersendiri untuk menyampaikan informasi, demikian pula lawan
bicara akan bereaksi terhadap informasi yang diterima. Pembicaraan akan berakhir ketika
3
keduanya memiliki pemahaman yang sama. Pemahaman yang berbeda dapat menciptakan
perbedaan persepsi yang berbeda pula. Perbedaan ini melahirkan mis communication, di
antara pembicara dan lawan bicara. Keduanya saling berkeyakinan terhadap persepsi yang
dianggapnya benar. Bentuk pembicaraan ini terlihat jelas ketika terjadi pada peristiwa
berbicara yang disebut berdebat.
Berbicara dapat disebut juga sebagai tindak tutur dalam berkomunikasi. Ditinjau dari
proses komunikasi ini, berbicara menjadi sarana untuk saling menyampaikan pesan dan
menangkap pesan. Kegiatan menangkap atau menerima pesan berbicara dilakukan secara
bergantian (resiprokal) dan dapat berlangsung secara terus-menerus. Pesan yang disampaikan
dalam tindak tutur berbicara ini disertai tingkah laku dengan berbagai ekspresi.
Tingkah laku dan ekspresi dalam berbicara berlangsung sejalan. Kegiatan yang
berlangsung secara resiprokal dalam berkomunikasi mendorong terjadinya ekspresi dan
tingkah laku yang bervariatif. Tingkah laku dan ekspresif ini berlangsung sangat cepat dan
spontan. Ekspersi wajah, mata melotot, tangan mengepal, badan menunduk, dan lain
sebagainya dilakukan pembicara tanpa pernah dipikirkan terlebih dahulu. Hal yang sama juga
berlangsung pada bagaimana pembicara mendapatkan ide, gagasan, kosa kata yang dipilih
dalam menyampaikan pembicaraannya, semua berlangsung tanpa disadari. Namun demikian,
hal berbeda dapat terjadi pada orang-orang yang telah terlatih berbicara, akan mampu
mengendalikan tindak tuturnya melalui kontrol yang lebih temporal. Apa yang akan
dituturkan dipikirkan terlebih dahulu. Inilah yang membedakan seseorang yang memiliki
intelektualitas yang tinggi dalam berbicara.
Melalui kegiatan komunikasi, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan
berimajinasi. Berbagai informasi yang berkembang dan diterima dan dikembangkan melaui
proses berpikir inilah, manusia dapat meningkatkan kualitas hidup. Dengan kata lain,
berbicara menjadi sarana untuk mengekspresikan ide, gagasan, imajinasi yang dimiliki
kepada orang lain. Di sinilah terjadinya proses transfer dan produktif ilmu pengetahuan
terjadi. Artinya, secara personal kegiatan berbicara seperti ini merupakan kegiatan individu
dalam berkomunikasi.
Berbicara juga dapat diartikan sebagai pancaran kepribadian dan tingkah laku. Artinya,
seseorang dalam berbicara selalu diikuti oleh apa yang ada dalam diri pembicara, dan hal ini
ditunjukkan dalam perilaku. Sebuah ilustrasi tuturan, “Ah, saya tertipu, omongannya nggak
ada yang benar!”. Tuturan pembicaraan ini berimplikatur bahwa pancaran kejujuran yang
selama ini diharapkan dalam tindak berbicara, dinilai tidak ada yang sesuai dengan perilaku
yang ditunjukkan. Kepribadian dan tingkah laku dapat dilihat dari tindak tutur dalam
berbiacara. Pembicaran yang handal akan memahami apakah lawan bicara yang dihadapi
jujur atau seorang pembohong.
Kemampuan berbicara dapat dipelajari. Mempelajari keterampilan berbicara
merupakan sebuah upaya untuk dapat bertutur dengan baik. Dimulai dari pengucapan vokal-
vokal, meningkat sampai dalam bentuk tuturan bermakna dilakukan dengan berlatih.
Demikian juga, manusia dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam bentuk yang lebih
komplek dapat tingkatkan melalui usaha latihan. Almarhum Zainuddin MZ sebagai mubalig
sejuta umat, tidak serta merta menjadi penceramah yang mahir berakwah tanpa melalui
proses latihan berbicara yang panjang. Demikian juga, seorang guru yang terampil mengajar
tentu diawali dengan berlatih berkomunikasi dengan orang lain.
4
2.2 Mengapa Manusia Berbicara
Begitu bayi manusia dilahirkan dari rahim ibunya, yang dilakukan pertama kali adalah
menangis. Menangis sebagai ekspresi menandakan dirinya telah hadir sebagai manusia yang
dikehendaki oleh orang-orang yang menantinya. Suara yang dikeluarkan dalam lengkingan
tangis menjadi pertanda bahwa bayi tersebut memiliki potensi kemampuan berbicara.
Suara tangisan bayi adalah pertanda bahwa dikemudian hari sesuai perkembangan
umur dan fisik, akan berubah menjadi suara-suara yang bermakna. Dengan dibantu orang-
orang di sekelilingnya, kemampuan bersuara dilatih dari hanya bentuk rengekan secara
perlahan menjadi bunyi vokal-vokal yang bermakna. Secara bertahap sang bayi akan
menguasai bunyi-bunyi vokal yang tidak jelas menjadi jelas, meningkat dalam penguasaan
kata demi kata kata, dan kalimat demi kalimat, serta tuturan yang lebih luas. Tuturan tersebut
makin hari menunjukkan kejelasan makna. Saat itulah orang-orang di sekelilingnya
mengatakan bahwa sang bayi telah mulai bisa berbicara. Dengan kata lain sang bayi yang
tumbuh dan berkembang telah bisa menguasai bahasa. Kemampuan berbicara akan terus
tumbuh dan berkembang seiring dengan waktu dan lingkungan.
Penguasaan kosa kata menjadi cepat meningkat ketika usia anak-anak, remaja, dan
dewasa. Prof. Mujiyono Wiryoyotinoyo (2010:151) melakukan penelitian dalam disertasinya
terhadap kemampuan pragmatik anak usia sekolah dasar menyimpulkan bahwa bentuk
lingual interaksi personal anak usia sekolah dasar ternyata sudah cukup kompleks. Hasil
penelitian tersebut dimaknai bahwa kemampuan berbicara seseorang mengalami
perkembangan yang luar biasa.
Bagaimana manusia memperoleh bahasa dikemukakan Krashen (Nurhadi dan
Roekhan, 1990:6) yang membuat hipotesis teori pemerolehan bahasa dan belajar. Menurut
hipotesis ini dalam proses penguasaan suatu bahasa ada perbedaan antara belajar bahasa
(learning linguistic) dan pemerolehan bahasa (acquisition linguistic). Dalam hipotesis belajar
linguistik usaha memperoleh bahasa dijelaskan sebagai usaha sadar untuk secara formal dan
eksplisif menguasai bahasa yang dipelajari terutama yang berkenaan dengan pengetahuan
tentang kaidah. Sedangkan yang dimaksud pemerolehan bahasa adalah penguasaan atas suatu
bahasa melalui bawah sadar atau alamiah dan terjadi tanpa kehendak secara terencana. Proses
ini tidak melalui usaha belajar yang formal maupun eksplisif.
Dalam teori intereksi, yang meneliti munculnya bahasa, bahwa manusia berbicara
karena adanya perasaan sakit yang luar biasa yang dialami dirinya. Rasa sakit inilah yang
mendorong manusia mengekspresikannya melalui teriakan-teriakan. Teriakan-teriakan ini
sebagai ekspresi yang spontan keluar dari mulutnya. Sementara itu manusia yang
mendengarkan teriakan tersebut berusaha memahami apa yang dirasakan oleh orang lain.
Bagian ini tidak membahas tentang teori ini, namun melihat dari sisi peristiwa berbicara yang
menandakan bahwa ketika ada dorongan dalam diri manusia akan berbicara kepada orang
lain dengan tujuan agar orang lain memahami dan merasakan apa yang dirasakannya.
Selanjutnya dijelaskan dalam teori interaksionis yang menjelaskan bagaimana manusia
memperoleh bahasa karena menggabungkan pentingnya faktor bawaan, dan faktor
lingkungan. Dalam teori ini penguasaan bahasa terjadi karena adanya kebutuhan seseorang
5
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Teori itu memberikan peran lebih banyak pada
latihan yang bersifat interaktif seperti bertanya dan menjawab (Wiryotinoyo, 2010:42)
Berbicara juga terjadi ketika manusia berimajinasi tentang sesuatu hal. Bentuk
imajinasi sebagai hasil kerja berpikir kemudian disampaikan kepada orang lain melalui
berbicara. Dorongan untuk mengucapkan hasil imajinasi inilah sebagai salah satu kenapa
manusia ingin berbicara.
Manusia dalam kehidupan sehari-hari memerlukan bahasa sebagai media untuk
berbicara. Berbicara menjadi bagian dalam keseharian manusia yang hidup sebagai makhluk
sosial, makhuk berbudaya, dan berpengetahuan. Sebagai makhluk sosial, manusia
berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi tersebut dapat berlangsung apabila komunikasi
yang dilakukan dapat berlangsung dalam pemahaman yang sama terhadap bahasa. Perbedaan
pemahaman akan menimbulkan persepsi yang berbeda, sehingga komunikasi menjadi tidak
berjalan. Manusia menyatakan ide, gagasan, pendapat, dan sebagainya dalam berbagai
eskspresi dengan tujuan agar makna pembicaraan dapat dipahami lawan bicara. Ngurah Oka
(1990) menggunakan istilah berbicara dengan bertutur dengan menyatakan bahwa dalam
hidupnya manusia memang tidak ada henti-hentinya bertutur. Bermacam-macam hal yang
dituturkannya. Demikian pula corak serta ragam yang digunakannya. Meskipun demikian jika
dibanding-bandingkan kegiatan tutur yang mereka gunakan, maka akan tampak adanya
seperangkat kesamaan dasar dalam hal-hal tertentu. Kesamaan tersebut meliputi kesamaan
bahasa yang digunakan.
Berbagai peristiwa berbicara telah dilakukan manusia. Bahkan, jika misalnya diminta
kembali untuk mengulangi pembicaraan yang telah dilakukan pada waktu lima hari
sebelumnya, manusia tidak akan mampu mengingat kembali. Hal ini disebabkan kegiatan
berbicara merupakan ekspresi yang bebas dan terkadang tidak terencana. Manusia memiliki
keterbatasan mengingat kembali tuturan apa yang telah dilakukan. Kalaulah dapat mengingat
apa yang telah dibicarakan sebelumnya, tentu tidak akan sama pada saat mengulangi. Hal ini
disebabkan situasi, kondisi, dan ekspresi serta lawan berbicara sudah berbeda. Dengan
kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia melakukan kegiatan berbicara karena dua hal.
Pertama, adanya dorongan dalam dirinya. Dorongan ini muncul dari hasil proses berpikir
Kedua, disebabkan respon atas hal-hal yang diperoleh dari panca indera. Respon tersebut
diolah dalam otak dan diekspresikan kembali dalam tuturan yang disebut dengan berbicara.
Didorong oleh pikiran, perasaan, dan imajinasi dalam dalam dirinya dikeluarkan dalam
tindak tutur berbicara. Misalnya, didorong oleh rasa haus, seseorang mengekspresikan rasa
hausnya dengan tuturan “minta minum, Bu!, dan ketika air yang diminumnya terasa kurang
manis sesuai selera yang dikehendaki, munculah tuturan berikutnya, “minumannya kurang
manis, Bu!”. Contoh lain, seseorang akan memberikan respon ketika mendengarkan tuturan
“Kamu bodoh!”. Respon atas tuturan yang diterima dapat dilakukan dalam berbagai gaya,
intonasi, ritme yang beragam, misalnya: “Ya, memang saya bodoh!”, “Enak saja, ngomongin
saya bodoh, emang kamu saja yang pinter?”, dan sebagainya.
6
menasihati anaknya, guru memarahi siswa, dan lain sebagainya. Semua peristiwa tadi
mengharuskan seseorang harus bicara. Lalu perhatikan lawan bicara sebagai penyimak dari
peristiwa itu: kenapa mahasiswa diam ketika dosen mengajar, sang anak diam ketika
dinasihati orang tua, dan siwa diam ketika dimarahi guru.
Peristiwa tadi menggambarkan bahwa telah terjadi peristiwa pasif dalam berbicara.
Pasif dalam peristiwa ini tidak berarti diam, namun penyimak menghargai pembicara.
Persoalan mendasar dalam peristiwa berbicara adalah kenapa seseorang diam saja ketika
situasi mengharuskan berbicara. Diam bukan berarti emas. Contoh fakta ini banyak dialami
oleh seseorang, tidak berani berbicara ketika diminta untuk berbicara. Misalnya, ketika
mahasiswa diminta bertanya kepada dosen sewaktu perkuliahan, menyampaikan usul dalam
rapat, gelagapan dan menolak ketika diminta untuk memberikan sambutan pada suatu acara.
Peristiwa yang dicontohkan itu menunjukkan bahwa penolakan atau ketidakmauan berbicara
dilakukan dengan memilih diam, tidak dapat dikatakan emas, namun sebagai bentuk
ketidakmampuan seseorang berbicara.
Sebuah ilustrasi contoh peristiwa berbicara, ketika mahasiswa sedang mengikuti
perkuliahan, ternyata terdapat bagian yang tidak dimengerti apa yang disampaikan dosen.
Mahasiswa akan “menyimpan” ketidakmengertiannya itu berlarut-larut, padahal dosen telah
memberikan kesempatan untuk “bertanya”.. Akibat dari ketidakberanian bertanya tersebut
mahasiswa menjadi tidak memahami pembicaraan dosen. Ilustrasi tadi menggambarkan
bahwa kenapa mahasiswa tidak berani berbicara. Berikut ini juga memberikan sebuah contoh
cerita ilustrasi mengapa seseorang memilih diam dari pada harus berbicara.
7
memilih untuk berbicara. Berbicara menjadi sesuatu yang gampang dan tidak menjadi
persoalan ketika diminta untuk berbicara. Dengan berbicara dirinya dapat mengekspresikan
apa yang harus dikatakannya. Seseorang yang telah memiliki keterampilan berbicara, setelah
mengakhiri pembicaraan justru merasa tidak puas ketika dirasakan ada yang terlupakan.
Seseorang yang berpengalaman dalam berbicara akan merefleksi kembali pembicaraannya
dari sisi kelengkapan materi, intonasi, dan gaya sewaktu berbicara.
Refleksi pembicaraan dilakukannya dengan pertanyaan retoris:
“Seharusnya tadi saya mengatakan ini!”,
“Mahasiswa tadi sudah paham, nggak ya?”,
“Suara saya tadi seharusnya lebih tegas!”.
Manusia sering dihinggapi perasaan takut dan cemas ketika diminta berbicara dalam
situasi tertentu. Mereka menjadi pasif dan diam. Memilih diam dianggap aman dari sebagaian
orang. Akan tetapi, akan menjadi berbeda ketika mereka melakukan kegiatan berbicara yang
tidak dalam situasi resmi, perasaan cemas dan takut itu tidak pernah muncul. Berbicaranya
mengalir dalam berbagai gaya ekspresi, meski tuturannya tidak sesuai dengan kaidah bahasa.
Mengapa demikian? Persoalan inilah yang harus diatasi dalam melatih keterampilan
berbicara. Mampukah saya bicara? Jawabnya pasti: Anda akan mampu berbicara! Lupakan
pepatah “diam itu emas” dengan berlatih berbicara.
8
mengungkapkan pendapat yang sama. Ungkapan persetujuan bentuk berbicara dapat diartikan
lebih luas, seperti memberikan penegasan, mendukung, dan menandaskan. Respon yang
berupa penolakan dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan, tidak sejalan, tidak sependapat,
bertentangan, beda pendapat (dalam bahasa hukum disebut desenting opinion, dan
sebagainya).
Menghibur orang lain diartikan keinginan untuk merubah isi hati dan pikiran orang
agar terhibur. Orang sedang sedih, gembira, atau senang adalah ekspresi yang dapat dilihat
dan dikenali ciri- cirinya. Orang yang berhadapan dalam situasi ini memerlukan rangsangan
dari luar. Rangsangan tersebut berupa informasi pembicaraan yang bersifat menyenangkan.
Kata-kata menghibur tidak hanya diartikan mengandung kelucuan dan humoristis. Bentuk
perhatian dan nasihat juga bisa diartikan menghibur. Berbicara yang bertujuan untuk
menghibur dilandasi keinginan agar lawan bicara senang, gembira tidak sedih, atau terlepas
dari perasaan emosional kesedihan dan beban pikiran.
Ilustrasi pembicaraan yang menghibur dapat dicontohkan ketika seorang penceramah
yang memberikan kesejukan siraman rohani. Seorang sahabat yang memberikan nasihat
kepada temannya, atau seorang pelawak yang mengundang tawa pendengar. Bentuk berbicara
seperti ini hampir ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbicara dengan tujuan menyampaikan informasi kepada orang lain memiliki
kemiripan dengan berbicara yang didasari mengekspresikan pikiran, ide, maupun pendapat.
Perbedaan yang paling mendasar terletak pada sumber pembicaraan. Sumber pembicaraan
untuk menyampaikan informasi dapat berasal dari dalam dirinya, maupun berasal dari sumber
lain. Memberikan informasi berarti menyampaikan berita kepada orang lain tentang sesuatu
hal agar diketahui lawan bicara. Sumber berita dan isi berita mempengaruhi sifat informasi
yang akan disampaikan. Berdasarkan keduanya, informasi dapat disebut sebagai berita,
pesan, ajakan, maupun perintah.
Tujuan berbicara yang terakhir adalah untuk membujuk. Membujuk adalah
mempengaruhi orang lain agar mengikuti pemikiran maupun pendapat yang sama dengan
pembicara. Kegiatan berbicara yang bertujuan untuk membujuk memerlukan kemampuan
berbicara yanag berbeda dengan bentuk berbicara yang lain. Hasil akhir membujuk adalah
lawan bicara merubah jalan pikiran atau pendirian yang selama ini diyakini kebenarannya.
Argumentasi dan alasan pembicaraan harus mampu meyakinkan lawan bicara. Dalam
kegiatan jual beli, penjual dan pembeli sama- sama mencari kesepakatan yang dilakukan
dengan sama-sama mempengaruhi. Dalam dunia politik dan ekonomi terdapat istilah
negosiasi. Istilah negosiasi pada dasarnya adalah kegiatan berbicara untuk saling mencari
kesepakatan dan saling mempengaruhi atau membujuk. Dalam dunia kejahatan terdapat
sebuah kasus penipuan. Penipuan terjadi karena seseorang baru menyadari ketika merasa
ditipu. Fokus yang dibicarakan dalam bagian ini bukan kasus penipuannya, namun kenapa
seseorang bisa ditipu. Orang tertipu karena kemahiran penipu dalam membujuk, merayu, dan
mempengaruhi melalui pembicaraan yang meyakinkan sehingga akal pikiran lawan bicara
dapat mengikuti alur pikiran pembicara.
Pemahaman terhadap tujuan berbicara inilah yang perlu dipahami oleh pembicara dan
lawan bicara. Untuk apa menghabiskan waktu berlama-lama untuk berbicara jika tidak ada
tujuan yang inginkan. Waktu terbuang dengan percuma, dan Anda tidak memperoleh
informasi apa pun juga.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keterampilan berbicara perlu dikuasai oleh setiap manusia. Berbicara sebagai refleksi
jalan pikiran dan implementasi berkomunikasi. Setiap kehidupan manusia diawali dengan
peristiwa tindak tutur berbicara. Oleh karena itu diam itu emas tidak sejalan dengan
pengembangan penguasaan kemampuan berbicara. Manusia harus berbicara, manusia harus
berkomunikasi menjadi alasan terpenting dalam kegiatan berbicara.
Sejalan dengan makin kompleksnya kehidupan manusia, berimplikasi kepada makin
kompleknya tujuan manusia berbicara. Kemahiran berbicara diawali dengan mengembangkan
sebuah strategi komunikasi yang bertolak dari untuk apa berbicara itu. Pembicara yang baik
akan bertolak dari hal ini, yaitu tujuan berbicara.
Berbicara tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata, akan tetapi melibatkan bahasa
tubuh yang digunakan untuk menekankan makna pembicaraan. Bahasa tubuh akan
memberikan fungsi penekanan ekspresi sehingga peristiwa berbicara menjadi lebih
komunikatif.
10
DAFTAR PUSTAKA
Carnegie, Dale. Tanpa tahun. Public Speaking For Success. Terjemahan oleh Jamine Amelia
Putri. 2009. Ragam Media. Cangara, Hafied. Tanpa tahun. Pengantar Ilmu
Komunikasi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Dzulfikar, Erwin. 2012. Menjadi Pembicara Hebat dari Pemula Menjadi Mempesona. Bantul.
Kreasi Wacana. Hamdani, Caesar. 2012. Panduan Sukses Public Speaking Dahsyat
Memukau. Yogyakarta: Araska.
King, Larry. 2010. Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Dimana Saja. Jakarta. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Maggio, Rosalie. 2012. Sukses Berbicara dengan Siapa
Saja. Jakarta. PT. Gramedia
Wiryotinoyo, Mujiyono.2010. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Malang.
Universitas Negeri Malang (UM Press).
11