Makalah SP-QH 10

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 17

HADITST MUTAWATIR, MASYHUR DAN AHAD

Dosen Pengampu : Pan Suaidi, M.A

Mata Kuliah : Strategi Pembelajaran Al-Qur’an Hadits

Disusun oleh :

Kelompok 10

Hafizah Andhara 2101010064

M. Yuga Raihansyah 2101010003

Sutan Bilal Hafidz Al-Maulana Srg 2101010152

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS AL-WASHILIYAH MEDAN

T.A. 2023-2024
KATA PENGATAR

Puji Syukur kami pamjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
nikmat karunia serta hidayah-nya, sehingga makalah ini dapat di susun hingga
selesai dengan cepat waktu. Tak lupa shalawat serta salam mudah-mudahan selalu
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Tidak lupa pula kami ucapkan dosen pada mata kuliah kuliah Strategi Pembelajaran
Al-Qur’an Haditst yang telah memberikan tugas serta waktu kepada kami untuk
mempresentasikan hasil dari tugas makalah kami.

Kami selaku penulis juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita dan dapat menambah pengetahuan. Kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharap kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, 27 Maret 2024

KELOMPOK 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR................................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Pengertian Periwayatan Hadits ................................................................. 3

2.2 Pengertian Perawi Menurut Hadits ........................................................... 4

2.3 Periwayatan Hadits Dengan Lafadz Dan Makna ...................................... 5

2.4 Pengertian Hadits Mutawatir .................................................................... 7

2.5 Pengertian Hadits Ahad .......................................................................... 10

2.6 Pengertian Hadits Masyhur ..................................................................... 11

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 13

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama Islam agama yang realitas dan komprehensif (luas dan lengkap). Allah
SWT., mewajibkan mentaati rasul-nya dan mengikuti perintahnya. Rasul SAW
sendiri juga menegaskan hal itu, dalam berbagai haditsnya dan dalam berbagai
moment atau kesempatan. Beliau tidak hanya menegaskan kewajiban mengikuti
perintah semata, tetapi juga mengisyaratkan akan munculnya pendapat Sebagian
orang yang mengatakan bawah Al-Qur’an telah dihadapan mereka, sehingga
mereka akan mengamalkannya dan mencukupkan diri dengannya. Jauh-jauh hari
Nabi SAW, telah memperingatkan munculnya pemikiran seperti ini. Sebab Al-
Qur’an pada umumnnya turun menjelaskan hukum-hukum secara umum.
Sedangkan hukum praktis dan terperinci, memerlukan rujukan yang valid yagn
berasal dari sunnah atau dari hadits sang nabi.

Hadits juga adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Setelah
berkedudukan sebagai sumber, ia juga berfungsi sebagai petunjuk (hudan linnas),
penjelas, pemerincian, dan penafsiran Al-Qur’an. Sebagai patokan dalam
pengambilan hukum Islam tentu banyak aturan yang diberlakukan dalam
menentukan validlitas sebuah hadits. Ada banyak hal yang harus dikaji dalam
memahami hadits, baik dalam aspek system transmisi (sanad, maupun konten
(matan) nya. Dengan begitu kita dapat mencari tahu seluruh aspek dalam hadits dan
proses periwayatannya, mulai dari proses dan bentuk-bentuk periwayatan, dan
periwayatan hadits secara maknawi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari periwayatan hadits?


2. Apa pengertian dari perawi?
3. Apa yang dimaksud dengan periwayatan hadits dengan lafaz dan makna?
4. Apa pengertian dari hadits Mutawatir?

1
2

5. Apa pengertian dari hadits mashyur?


6. Apa pengertian dari hadits ahad?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengertian dari periwayatan hadits.


2. Mengetahui pengertian dari perawi.
3. Mengetahui apa itu periwayatan hadits dengan lafaz dan makna.
4. Mengetahui pengertian dari hadits Mutawatir.
5. Mengetahui pengertian dari hadits Mashyur.
6. Mengetahui pengertian dari hadits Ahad.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Periwayatan Hadits

Kata riwayat berasal dari bahasa Arab yaitu ‫رواية‬. Kata ‫ رواية‬adalah bentuk
Mashdar dari kata ‫ يروى – رواية‬- ‫ روى‬semakna dengan kata ‫ نقال‬-‫ ينقل‬- ‫ نقل‬dan ‫ ذكرا‬-
‫ يذكر‬-‫ذكر‬. Kalimat ‫ رواية الحديث‬artinya adalah ‫( نقله وذكره‬memindahkannya dan
menyebutkannya).1

Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita dari


seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari
seorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam kumpulan hadits.
Pemindah hadits itu dinamai rawi, rawi pertama adalah shahabi dan rawi terakhir
adalah orang yang membukukannya.2

Pengertian periwayatan secara umum adalah seperti yang dikemukakan oleh


Abdul Majid Khon dalam bukunya Takhrij dan Metode Memahami Hadits, beliau
mengutip pendapat dari Muhammad Ibrahim Al-Hafrawi mengatakan, bahwa
riwayah adalah:

‫الرواية هي االخبار عن شيئ عام للناس ال ترافع فيه الى الحكام‬

“Periwayatan adalah pemberitaan tentang sesuatu yang bersifat umum untuk


manusia tidak terkait pelaporan kepada hakim”.3

Sedangkan Periwayatan yang lebih spesifik lagi, yaitu periwayatan hadits,


defenisinya adalah seperti yang dikemukakan oleh Nuruddin ‘Itr dalam bukunya
‘Ulumul Hadits (terjemahan), beliau mengatakan bahwa periwayatan hadits adalah:

‫الرواية عند المحدثين حمل الحديث ونقله واسناده الى من عزي اليه بصيغة من صيغ االداء‬

1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al-Masyriq,
1975), hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan metode Memahami Hadits, (Jakarta; Amzah, 2014), hal 22

3
4

“Periwayatan (hadits) menurut para ahli hadits (muhadditsin) adalah


membawa dan menyampaikan hadits dengan menyandarkannya kepada orang
yang menjadi sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat
periwayatan”.4

Periwayatan hadits itu adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits


kepada serangkaian periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu.5

Atau periwayatan hadits adalah tata cara penerimaan, penyampaian dan


pelestarian hadits. Dalam defenisi di atas ada tiga komponen penting dalam
periwayatan hadits, yaitu mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits),
menyampaikan hadits (ada’ al-hadits) dan dhabthul hadits (melestarikan hadits).6

Tata cara mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits) adalah


penjelasan tentang cara syarat yang harus dimiliki seseorang yang hendak
mendengar riwayat hadits dari guru-gurunya untuk selanjutnya disampaikan kepada
orang lain, seperti syarat ketentuan umur dan lain sebagainya. Tata cara
menyampaikan hadits (ada’ al-hadits) adalah penjelasan tentang sistem
penyampaian hadits oleh seorang guru kepada muridnya dan syarat-syarat
seseorang yang boleh menyampaikan hadits dan meriwayatkannya. Tata cara
melestarikan hadits (dhabthul hadits) adalah bagaimana seorang murid memelihara
(menghafal) secara benar dan meyakinkan riwayat hadits yang pernah diterimanya
dari gurunya untuk kemudian disampaikan kepada orang lain.7

2.2 Pengertian Perawi Menurut Hadits

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadits Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau
menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Rawi harus benar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam.
Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa,

4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
6
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang:UIN-Malang Press, 2006), hal 173
7
Ibid
5

mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan


mampu menyampaikan hadits dengan tepat.

Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan


kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak
meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa
lapadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut
sangat diperlukan ummat Islam.

Perawi harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits


tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat –
kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna
(Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan
itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi
cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku
Nabi.

2.3 Periwayatan Hadits Dengan Lafadz Dan Makna

1. Periwayatan Hadits Dengan Lafadz

Utang Ranuwijaya mengatakan periwayatan hadits dengan lafzah adalah


periwayatan hadits yang redaksi atau atau matannya persis sama seperti yang
diwurudkan oleh Rasulullah SAW. Menurut defenisi ini berarti apa yang
diriwayatkan oleh para perawi harus sama dengan apa yang disebutkan oleh Nabi
SAW, tanpa ada penambahan atau pengurangan walaupun satu huruf.8

Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat, seperti
yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya seluruh sahabat
Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan
ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab tersendiri, yang salah
satu sebabnya adalah adanya ancaman Nabi SAW bagi orang yang berdusta atas
dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi mengancam dengan siksaan
yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya periwayatan dengan lafazh ini, maka

8
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, hal 69
6

Umar bin Khaththab pernah berkata “Barang siapa yang pernah mendengar hadits
dari Rasulullah SAW, kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar,
orang itu selamat.” Ucapan Umar ini merupakan peringatan kepada perawi hadits
untuk meriwayatkan hadits Nabi sesuai dengan yang didengar yakni periwayatan
secara lafazh, sehingga mereka terhindar dari ancaman api neraka.9

Di antara para sahabat Nabi yang paling keras mengharuskan periwayatan


hadits dengan jalan lafazh ialah Ibnu Umar yang pernah suatu hari ketika seorang
sahabat (Ubay bin Abi Amir) menyebutkan hadits lima prinsip dasar Islam, ia
meletakkan zakat pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menyuruh ia meletakkan
pada urutan keempat sebagamana yang ia (Ibnu Umar) dengar dari Rasulullah
SAW.10

2. Periwayatan Hadits dengan makna

Periwayatan hadits dengan makna atau dikenal dengan periwayatan


ma’nawi artinya adalah periwayatan yang redaksi matannya tidak persis sama
dengan yang didengar perawi dari Rasulullah SAW, namun isi atau maknanya
sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tanpa ada perubahan
sedikitpun. Dari defenisi di atas tersebut dapat dipahami bahwa periwayatan dengan
makna adalah periwayatan dengan lafazh, dalam hal ini yang dipelihara adalah
makna hadits bukan lafazhnya.11

Di antara para sahabat yang membolehkan periwayatan dengan makna ini


adalah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda’, dan
Abu Hurairah. Kemudian dari kalangan tabi’in: Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi, Amr
bin Dinar, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, dan Ikrimah. Ibnu Sirin seperti yang
dikutip Utang Ranuwijaya, telah berkata: Aku mendengar hadits dari sepuluh orang
dalam makna yang sama, akan tetapi dengan redaksi lafazh yang berbeda. Pendapat
ini mengindikasikan bahwa jenis hadits yang diriwayatkan dengan cara inilah yang
banyak jumlahnya.12

9
Ibid, hal 71
10
Ibid, hal 71-72
11
Ibid, hal 72
12
Ibid, hal 72-73
7

Jumhur ulama, termasuk Imam Mazhab yang empat, berpendapat bolehnya


meriwayatkan hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam ilmu
hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal-lafal hadits manakala
bercampur aduk, sebab hadits yang dapat diriwayatkan dengan maknanya saja harus
memenuhi dua kriteria, yaitu lafal hadits bukan bacaan ibadah dan hadits tersebut
tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata yang sarat makna) yang diucapkan Nabi
SAW.13

2.4 Pengertian Hadits Mutawatir

Mutawatur menurut berarti mutatabi yakni yang dating berikutnya atau


beirirng-iringan yang diantara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Sedangkan
pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi antara lain
sebagai berikut:

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar yang menurut adat


mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.

Ada juga yang mengatakan : “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat (Thabaqat)”.

Sementara Nur ad-Din mendefinisikan: “hadits yang diriwayatkan oleh


sejumlah orang yang terhindar dari kesepakatan mereka berdusta (sejak awal
sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada anca indra”.

1. Syarat-syarat hadits mutawatir

Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir ini yang terlebih dahulu merincinya ulama
ushul. Sementara para ahli hadits tidak begitu banyak merinci pembahasan tentang
hadits mutawatir dan syarat-syarat tersebut. Karena menurut ulama ahli hadits
khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya tidak termasuk ke dalam pembahasan
‘Ilmu Al-Isnad’ yaitu sebuah disiplin ilmu yang membicarakan tentang sahih atau
tidaknya hadits, diamalkan atau tidaknya, dan juga membicarakan sifat-sifat rijal-
nya yakni para pihak yang banyak berkecimpung dalam periwayatan hadits dan tata

13
Nuruddin’Itr, Ulumul Hadits, hal 223
8

cara penyimpanan. Padahal dalam kajian hadits mutawatir tidak di bicarakan


masalah-masalah tersebut. Karena bila telah di ketahui statusnya sebagai mutawatir
maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandunganya, dan tidak boleh ada
keraguan, sekalian di antara perawainya adalah orang kafir.

Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul suatu hadits dapat ditetapkan
sebagai hadits mutawatir bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi

Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang


membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat, ada yang
menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah tertentu.
Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu yang penting dalam
jumlah itu menurut adat dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang
diberikan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut
ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai
jumlah tertentu itu.

Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits agar bisa


disebut hadits mutawatir tidak boleh berjumlah 4 orang, lebih dari itu lebih baik.
Ia menetapkan sekurang-kurang nya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan
dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul „Azmi. Ulama lain menentukan
12 orang mendasarkan firman Allah:

Artinya: Dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin (QS.
Al-maidah 5:12).

Sebagian ulama menetapkan sekuarang-kurangnya 20 orang. Dalam (QS. AL-


anfal 8:65)

Artinya: Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi
orang-orang mukmin yang mengikutimu.

Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini
sesuai dengan hadits riwayat Al-Tabrani dan Ibn „Abbas, ia berkata: “Telah masuk
9

Islam bersama Rasullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian


„Umar masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam.

Selain pendapat tesebut, ada juga menetapkan jumlah perawi dalam hadits
mutawatir sebanyak 70 orang sesuai dengan firman Allah SWT: dalam (QS. Al-
Anfal 8:64)

Artinya: Dan Nabi musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon taubat dari kami) pada waktu yang telah kami tentukan.

Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di ata, sebenarnya


bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang di jadikan ukuran
untuk menetapkan sedikit atau banyak jumlah Hadits mutawatir tersebut bukan
pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya Ilmu Daruri. Sekalipun jumlah
perawinya tidak banyak (tapi melebihi batas minimal yakni 5 orang) asalkan telah
memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan
kebohongan, sudah dapat dimasukan dalam hadits mutawatir.

b. Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat


berikutnya

Jumlah perawi hadits mutawatir antara thabaqat (lapisan/tingkatan) dengan


thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian bila suatu hadits di riwayatkan
oleh dua puluh orang sahabat, kemudian di terima sepuluh tabi‟in dan hanya di
terima lima tabi’in tidak dapat di golongkan sebagai hadits mutawatir, sebab jumlah
perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.

c. Berdasarkan Tanggapan Panca Indra

Artinya berita yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengaran


atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu berita itu hasil renungan atau
rangkuman dari suatu peristiwa dari suatu peristiwa lain ataupun istinbat dari
dalil yang lain, maka tidak dapat di katakan hadits mutawatir.
10

2.5 Pengertian Hadits Ahad

Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir dan tidak pula sampai pada derajat
mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits berikut ini.

Artinya: Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.14

Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah banyak ulama antara lain
sebagai berikut:

Artinya: Hadits yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadits
mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga,empat, lima atau seterusnya dari
bilangan-bilangan yangtidak memberi pengertian bahwa hadits itu
denganbilangan tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.15

Ada juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir, hadits selain hadits mutawatir,
atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai
kepada qath‟i dan yaqin.16

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak
sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.17 Sedangkan menurut Hasbi ash-
Shiddiqi, hadits ahad didefinisikan sebagai “khobar yang jumlah perawinya tidak
sampai sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga,
empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah
perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.18 Jumhur
ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan

14
Rahman, Ikhtisar, hal 86
15
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor; Ghalia Indonesia, 2010), hal 91
16
Suparta, Ilmu, hal 108
17
Sahrani, Hadits, hal 93
18
Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Semarang: Rasail Media Group 2013),
hal 182-183
11

maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Al-Syafi‟i dan Imam Ahmad
memakai hadits ahad asalkan syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi.19

2.6 Pengertian Hadits Masyhur

Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu' (sesuatu yang sudah


tersebar dan populer) Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi antara lain:

Artinya: Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, tetapi
bilangannya tidak mencapai derajat bilangan mutawatir.20

Ada juga yang mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas yaitu:

Artinya: Hadits yang mempunyai jalan yang terbatas, tetapi labih dari dua
jalan dan tidak sampai kepada batas hadits mutawatir.21

Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas di kalangan


masyarakat, lawan dari masyhur adalah majhul yaitu hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak terkenal dalam kalangan ahli ilmu.22 Ada
ulama yang memasukkan seluruh hadits yang telah populer dalam masyarakat,
sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali baik berstatus sahih atau da‟if ke
dalam hadits masyhur.23

Ulama Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan


ketenangan hati, dekat pada keyakinan dan wajib untuk diamalkan, tetapi bagiyang
menolaknya, tidak dikaitkan kafir. Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih,
hasan dan da‟if, yang dimaksud dengan hadits masyhur yang telah memenuhi ke
tentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya seperti hadits dari Ibn
Umar:

Artinya: Bagi siapa yang hendak melaksanakan salat Jum'at hendaklah ia


mandi.

19
Suparta, Ilmu, hal 109
20
Sahrani, Hadits, hal. 93.
21
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 134.
22
TM Hasbi Ash Shiddieqy. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal.
68
23
Sahrani, Hadits, hal. 94
12

Contoh lain adalah hadits dari 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash yang
mendengar langsung dari Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya: Sesungguhnya Allah SWT. Tidakakan mencabut ilmu pengetahuan


dengan langsung mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi Allah mencabutnya dengan
mencabut ulama, sehingga apabila tiada seorang alim yang tertinggal, manusia
akan menjadikan orang-orang yang jahil sebagai pemimpin. Mereka (para
pemimpin) ditanya soal-soal agama dan mereka memberikanfatwa tanpa
berdasarkan pada ilmu. Karenanya mereka sesat dan menyesatkan.24

Adapun yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits


masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai
sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW.:

Artinya: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan.25

Adapun yang dimaksud dengan hadits mashyur da‟if adalah hadits masyhur
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun
pada matannya seperti hadits:

Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah
mengenal Tuhannya.26

24
Sahrani, Hadits, hal. 95.
25
Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 85
26
Sahrani, Hadits, hal. 95.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita dari
seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari
seorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam kumpulan hadits.
Pemindah hadits itu dinamai rawi, rawi pertama adalah shahabi dan rawi terakhir
adalah orang yang membukukannya.

Mutawatur menurut berarti mutatabi yakni yang dating berikutnya atau


beirirng-iringan yang diantara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Sedangkan
pengertian hadits mutawatir menurut istilah ialah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat.

Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu' (sesuatu yang sudah


tersebar dan populer) Adapun menurut istilah ialah Hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang perawi atau lebih, tetapi bilangannya tidak mencapai derajat bilangan
mutawatir

Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir dan tidak pula sampai pada derajat
mutawatir.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma’luf, Louwis bin Naqula Dhahir. 1975. Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam.
Beirut: Dar Al-Masyriq.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu


Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Hassan, Abdul Qadir. 2007. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro.

Husti, Ilyas. 2007. Studi Ilmu Hadits. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau

Ichwan , Mohammad Nor. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Semarang: Rasail


Media Group.

Khon, Abdul Majid. 2014. Takhrij dan Metode Memahami Hadits. Jakarta: Amzah.

Sahrani, Sohari. 2002. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.

Suparta Munzier & Utang Ranuwijaya. 1993. Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grapindo
Persada.

Thahhan, Mahmud. 2006. Intisari Ilmu Hadits. Malang:UIN-Malang Press.

14

Anda mungkin juga menyukai