Makalah SP-QH 10
Makalah SP-QH 10
Makalah SP-QH 10
Disusun oleh :
Kelompok 10
T.A. 2023-2024
KATA PENGATAR
Puji Syukur kami pamjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
nikmat karunia serta hidayah-nya, sehingga makalah ini dapat di susun hingga
selesai dengan cepat waktu. Tak lupa shalawat serta salam mudah-mudahan selalu
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Tidak lupa pula kami ucapkan dosen pada mata kuliah kuliah Strategi Pembelajaran
Al-Qur’an Haditst yang telah memberikan tugas serta waktu kepada kami untuk
mempresentasikan hasil dari tugas makalah kami.
Kami selaku penulis juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita dan dapat menambah pengetahuan. Kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharap kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
KELOMPOK 10
i
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR................................................................................................. i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam agama yang realitas dan komprehensif (luas dan lengkap). Allah
SWT., mewajibkan mentaati rasul-nya dan mengikuti perintahnya. Rasul SAW
sendiri juga menegaskan hal itu, dalam berbagai haditsnya dan dalam berbagai
moment atau kesempatan. Beliau tidak hanya menegaskan kewajiban mengikuti
perintah semata, tetapi juga mengisyaratkan akan munculnya pendapat Sebagian
orang yang mengatakan bawah Al-Qur’an telah dihadapan mereka, sehingga
mereka akan mengamalkannya dan mencukupkan diri dengannya. Jauh-jauh hari
Nabi SAW, telah memperingatkan munculnya pemikiran seperti ini. Sebab Al-
Qur’an pada umumnnya turun menjelaskan hukum-hukum secara umum.
Sedangkan hukum praktis dan terperinci, memerlukan rujukan yang valid yagn
berasal dari sunnah atau dari hadits sang nabi.
Hadits juga adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Setelah
berkedudukan sebagai sumber, ia juga berfungsi sebagai petunjuk (hudan linnas),
penjelas, pemerincian, dan penafsiran Al-Qur’an. Sebagai patokan dalam
pengambilan hukum Islam tentu banyak aturan yang diberlakukan dalam
menentukan validlitas sebuah hadits. Ada banyak hal yang harus dikaji dalam
memahami hadits, baik dalam aspek system transmisi (sanad, maupun konten
(matan) nya. Dengan begitu kita dapat mencari tahu seluruh aspek dalam hadits dan
proses periwayatannya, mulai dari proses dan bentuk-bentuk periwayatan, dan
periwayatan hadits secara maknawi.
1
2
Kata riwayat berasal dari bahasa Arab yaitu رواية. Kata روايةadalah bentuk
Mashdar dari kata يروى – رواية- روىsemakna dengan kata نقال- ينقل- نقلdan ذكرا-
يذكر-ذكر. Kalimat رواية الحديثartinya adalah ( نقله وذكرهmemindahkannya dan
menyebutkannya).1
الرواية عند المحدثين حمل الحديث ونقله واسناده الى من عزي اليه بصيغة من صيغ االداء
1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al-Masyriq,
1975), hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan metode Memahami Hadits, (Jakarta; Amzah, 2014), hal 22
3
4
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadits Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau
menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
Rawi harus benar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam.
Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa,
4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
6
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang:UIN-Malang Press, 2006), hal 173
7
Ibid
5
Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat, seperti
yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya seluruh sahabat
Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan
ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab tersendiri, yang salah
satu sebabnya adalah adanya ancaman Nabi SAW bagi orang yang berdusta atas
dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi mengancam dengan siksaan
yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya periwayatan dengan lafazh ini, maka
8
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, hal 69
6
Umar bin Khaththab pernah berkata “Barang siapa yang pernah mendengar hadits
dari Rasulullah SAW, kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar,
orang itu selamat.” Ucapan Umar ini merupakan peringatan kepada perawi hadits
untuk meriwayatkan hadits Nabi sesuai dengan yang didengar yakni periwayatan
secara lafazh, sehingga mereka terhindar dari ancaman api neraka.9
9
Ibid, hal 71
10
Ibid, hal 71-72
11
Ibid, hal 72
12
Ibid, hal 72-73
7
Ada juga yang mengatakan : “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat (Thabaqat)”.
Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir ini yang terlebih dahulu merincinya ulama
ushul. Sementara para ahli hadits tidak begitu banyak merinci pembahasan tentang
hadits mutawatir dan syarat-syarat tersebut. Karena menurut ulama ahli hadits
khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya tidak termasuk ke dalam pembahasan
‘Ilmu Al-Isnad’ yaitu sebuah disiplin ilmu yang membicarakan tentang sahih atau
tidaknya hadits, diamalkan atau tidaknya, dan juga membicarakan sifat-sifat rijal-
nya yakni para pihak yang banyak berkecimpung dalam periwayatan hadits dan tata
13
Nuruddin’Itr, Ulumul Hadits, hal 223
8
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul suatu hadits dapat ditetapkan
sebagai hadits mutawatir bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Artinya: Dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin (QS.
Al-maidah 5:12).
Artinya: Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi
orang-orang mukmin yang mengikutimu.
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini
sesuai dengan hadits riwayat Al-Tabrani dan Ibn „Abbas, ia berkata: “Telah masuk
9
Selain pendapat tesebut, ada juga menetapkan jumlah perawi dalam hadits
mutawatir sebanyak 70 orang sesuai dengan firman Allah SWT: dalam (QS. Al-
Anfal 8:64)
Artinya: Dan Nabi musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon taubat dari kami) pada waktu yang telah kami tentukan.
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir dan tidak pula sampai pada derajat
mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits berikut ini.
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah banyak ulama antara lain
sebagai berikut:
Artinya: Hadits yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadits
mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga,empat, lima atau seterusnya dari
bilangan-bilangan yangtidak memberi pengertian bahwa hadits itu
denganbilangan tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.15
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir, hadits selain hadits mutawatir,
atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai
kepada qath‟i dan yaqin.16
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak
sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.17 Sedangkan menurut Hasbi ash-
Shiddiqi, hadits ahad didefinisikan sebagai “khobar yang jumlah perawinya tidak
sampai sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga,
empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah
perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.18 Jumhur
ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan
14
Rahman, Ikhtisar, hal 86
15
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor; Ghalia Indonesia, 2010), hal 91
16
Suparta, Ilmu, hal 108
17
Sahrani, Hadits, hal 93
18
Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Semarang: Rasail Media Group 2013),
hal 182-183
11
maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Al-Syafi‟i dan Imam Ahmad
memakai hadits ahad asalkan syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi.19
Artinya: Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, tetapi
bilangannya tidak mencapai derajat bilangan mutawatir.20
Artinya: Hadits yang mempunyai jalan yang terbatas, tetapi labih dari dua
jalan dan tidak sampai kepada batas hadits mutawatir.21
19
Suparta, Ilmu, hal 109
20
Sahrani, Hadits, hal. 93.
21
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 134.
22
TM Hasbi Ash Shiddieqy. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal.
68
23
Sahrani, Hadits, hal. 94
12
Contoh lain adalah hadits dari 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash yang
mendengar langsung dari Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan.25
Adapun yang dimaksud dengan hadits mashyur da‟if adalah hadits masyhur
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun
pada matannya seperti hadits:
Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah
mengenal Tuhannya.26
24
Sahrani, Hadits, hal. 95.
25
Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 85
26
Sahrani, Hadits, hal. 95.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita dari
seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari
seorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam kumpulan hadits.
Pemindah hadits itu dinamai rawi, rawi pertama adalah shahabi dan rawi terakhir
adalah orang yang membukukannya.
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir dan tidak pula sampai pada derajat
mutawatir.
13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’luf, Louwis bin Naqula Dhahir. 1975. Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam.
Beirut: Dar Al-Masyriq.
Husti, Ilyas. 2007. Studi Ilmu Hadits. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau
Khon, Abdul Majid. 2014. Takhrij dan Metode Memahami Hadits. Jakarta: Amzah.
Suparta Munzier & Utang Ranuwijaya. 1993. Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grapindo
Persada.
14