Complete Withcover

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 150

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/361611930

Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Strategi

Book · March 2022

CITATIONS READS

3 11,727

11 authors, including:

Mansur Mansur
UIN Sunan Ampel Surabaya
16 PUBLICATIONS 41 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Mansur Mansur on 29 June 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Wahab Syakhirul Alim, Sardjana Orba Manullang, Firman Aziz, Sukron Romadhon,
Anna Marganingsih, Mansur, Endah Marendah Ratnaningtyas, Kuswarini
Sulandjari, Hanifah, Renny Wulandari, Yusuf Efendi.

Pemberdayaan Masyarakat:
Konsep dan Strategi
Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Strategi

Penulis:

Wahab Syakhirul Alim, Sardjana Orba Manullang, Firman Aziz, Sukron Romadhon, Anna
Marganingsih, Mansur, Endah Marendah Ratnaningtyas, Kuswarini Sulandjari, Hanifah, Renny
Wulandari, Yusuf Efendi.

Editor:

Dr.Wawan Herry Setyawan, M.Pd.

Yusuf Efendi, S.Pd.I, M.A

ISBN: 978-623-99691-1-0

Cover Image: Freepik.com

This cover has been designed using resources from Freepik.com

Diterbitkan oleh

PT. Gaptek Media Pustaka


www.gaptek.id
Alamat: Jl. A. W. Syahrani No.47 Samarinda 75124,
Email: [email protected]

Cetakan pertama, Maret 2022

Hak Cipta dilindungi undang-undang pada penulis.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, tanpa izin tertulis dari Penulis.
Isi diluar tanggung jawab penerbit dan percetakan
KATA PENGANTAR

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani, memelihara, melindungi, dan meningkatkan
kesejahteraannya sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan
keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan
organisasi masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat,
peningkatan keswadayaan masyarakat. Sebagai kegiatan yang bersinggungan langsung dengan
masyarakat dan berpusat pada masyarakat, maka perlu adanya suatu konsep dan strategi sebagai
gambaran dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan untuk
memudahkan dan mensukseskan seorang fasilitator atau pendamping dan juga masyarakat sebagai
subyek dalam kegiatan pemberdayaan.

Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, tentunya perlu suatu konsep dan strategi
untuk bisa memahami situasi dan kondisi serta karakterisitik masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan
untuk meindaklanjuti problematika sosial dan juga menangani konflik dalam komunitas. Sebagai
kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, pemilihan strategi dan pendekatan dalam
pemberdayaan sangatlah diperlukan. Ada beberapa pendekatan yang bisa dipilih oleh fasilitator
sebagai suatu cara dalam melaksanakan pemberdayaan, diantaranya ; Rapid Rural Appraisal(RRA),
Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Action Research (PAR), Agro Ecosystem Analysis ,
Asset-Based Community Development (ABCD), Environmental Scanning (ES), Logical Framework
Approach (LFA), Participatory Impact Monitoring (PIM), Zielobjective Orientierte Project Planning
(ZOPP), Participatory Learning And Action (PLA.

Pemilihan strategi pendekatan yang tepat, akan sangat membantu seorang fasilitator dalam
menyusun tahapan pemberdayaan, pemecahan teknis kegiatan pemberdayaan, dan sebagai sarana
guna membangun komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Agar kegiatan pemberdayaan bisa
terlaksana dengan lancar, maka tidak hanya melibatkan masyarakat dan fasilitator pemberdayaan
saja, akan tetapi juga perlu melibatkan stakeholder baik itu dari internal maupun external. Adapun
yang disebut sebagai stakeholder internal adalah pihak pemerintah desa dan juga masyarakat
tersebut. Sedangkan stakeholder external yaitu pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, para
pengusaha, dan perguruan tinggi. Kedudukan stakeholders memiliki peran yang penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Pemilihan stakeholder yang tepat dapat menciptakan kesesuaian antara
isu program atau pengembangan masyarakat dengan bidang stakeholder tersebut. Akan lebih baik
jika stakeholder yang terlibat juga memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama mengenai isu program
sehingga dengan pemilihan yang tepat dapat diketahui pihak mana saja yang akan dilibatkan dan
seberapa besar pengaruh dari stakeholder tersebut.

Jika tujuan, pandangan atau kepentingan dari stakeholder tidak memiliki kesamaan maka proses
maupun kerjasama akan lebih sulit bahkan mengalami hambatan. Hal seperti ini dapat menimbulkan
konflik yang seharusnya dihindari. Stakeholder sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam
pengambilan keputusan di level administratif, diharapkan faham terhadap apa yang menjadi tanggung
jawab dan ketelibatannya dalam upaya mewujudkan tujuan program pemberdayaan masyarakat yang
berkelanjutan. Sehingga setelah program berakhir, masyarakat dan stakeholder dapat terus bersama-
sama menjalankan praktik baik yang sudah muncul.

Kediri, Maret 2022

Editor
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR PENYUSUN ii

BAB I PENGANTAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1


BAB 2 MASYARAKAT 13
BAB 3 PROBLEMATIKA SOSIAL DI MASYARAKAT 26
BAB 4 KONFLIK KOMUNITAS 34
BAB 5 TAHAPAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 48
BAB 6 STRATEGI DAN PENDEKATAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 57
BAB 7 PEMECAHAN TEKNIS DALAM PEMBERAYAAN MASYARAKAT 77
BAB 8 KOMUNIKASI SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 86
BAB 9 PERAN FASILITATOR DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 99
BAB 10 PERAN STAKEHOLDERS DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 131
BAB 11 PENUTUP 141
BAB I
PENGANTAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Kajian Teori Tentang Pemberdayaan Masyarakat


1. Pengertian Pemberdayaan
Kata daya merupakan kata dasar dari istilah pemberdayaan yang memiliki
makna kekuatan, dan merupakan terjemahan dari kata empowerment. Berangkat dari
makna kata dasar tersebut maka kata pemberdayaan memiliki makna memberikan
daya upaya atau kekuatan kepada kelompok marjinal, kelompok yang berada pada
garis kemiskinan (ketidakberdayaan), kelompok yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, rumah, pendidikan, dan kesehatan dalam
kehidupan sehari-hari mereka (Hamid, 2018). Memberikan kekuatan bagi masyarakat
lemah merupakan suatu keniscayaan bagi pemerintah, baik itu pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah karena mereka diamanatkan oleh Undang-Undang dan
ideologi negara untuk memberdayakan masyarakat. Namun demikian ia tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah semata, ia juga membutuhkan dukungan dari
berbagai pihak utamanya masyarakt itu sendiri yang merupakan bagian dari objek
sasaran dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam melaksanakan berbagai program
kerja pemerintah dalam pemberdayaan (Hastuti & Setyawan, 2021).
Adapun beberapa pengertian pemberdayaan menurut para ahli adalah
a. Pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat dan
mengoptimalkan keberdayaan (dalam arti kemampuan dan keunggulan bersaing)
kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk didalamnya (Mardikanto and
Soebiato, 2013).
b. Gunawan (2009) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah tindakan sosial
sebuah komunitas di dalam penduduk dimana ia mengorganisasikan dirinya
dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif agar mampu menyelesaikan
persoalan sosial atau memenui kebutuhan sosial dengan kemampuan dan sumber
daya yang dimiliki (dalam Hamid, 2018).
c. Widjayanti (2011) mengatakan bahwa pemberdayaan memiliki makna
membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan
masyarakat untuk meningkatkan dan menentukan masa depan lebih baik.

1
d. Menurut Suharto (dalam Hamid, 2018) pemberdayaan bertitik tekan pada
kemampuan yang lemah pada diri seseorang atau kelompok, sehingga diharapkan
mampu:
1) Memenuhi kebutuhan pokok/dasar mereka sehingga mampu merasakan
kebebasan dalam arti bebas dalam hal kelaparan, kebodohan dan kesakitan.
2) Meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang-barang dan jasa yang
berkualitas sesuai kebutuhan dengan cara menjangkau dan mengolah sumber
daya produktif.
3) Mengambil peran dalam segala kegiatan pembangunan dan berbagai
keputusan kebijakan yang mampu meningkatkan kesejateran mereka.

2. Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan data hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statiktik (2021) tercatat sebesar 270,20 juta jiwa atau bertambah 32,56 juta jiwa
dibandingkan SP2010, sedangkan sebaran penduduk Indonesia menurut wilayah
masih terkonsentrasi di pulau jawa sebesar 56,10% atau sebanyak 151,59 juta jiwa.
Melonjaknya angka kepadatan penduduk ini tentunya mempengaruhi meningkatnya
angka kemiskinan yang terjadi secara tidak langsung, perihal tersebut tidak hanya
terdampak pada masyarakat pedesaan yang notabene masyarakat agraria, namun juga
pada masyarakat perkotaan yang memiliki basis sektor perkantoran dan industri.
Perihal tersebut ditegas oleh Jhingan (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk yang pesat pada suatau negara menyebabkan terjadinya ketidakberdayaan
masyarakat dalam kemiskinan (dalam Mulyaman, 2016; Shalahuddin et al., 2021).
Selain melonjaknya angka pertumbuhan penduduk, Hamid (2018) menambahkan
bahwa pemicu kemiskinan yaitu 1) lapangan pekerjaan yang belum tersedia, 2)
terjadinya urbanisasi yang cukup besar, dan 3) kebijakan pembangunan daerah yang
belum menjangkau kaum marginal. Adapun Sumodiningrat (2009) menjelaskan
bahwa perspektif dalam mengatasi tingginya angka kemiskinan adalah berdasarkan
prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis mekanisme pasar, tertib
hukum, dan saling percaya yang menciptakan rasa aman (dalam Hamid, 2018).
Sehingga atas dasar prinsip tersebut maka pola pendekatakan yang digunakan dalam
mengatasi meningkatnya angka kemiskinan perlu menggunakan pemberdayaan
masyarakat partisipatif yang memposisikan masyarakat binaan sebagai pelaku utama

2
sedangkan pemerintah memposisikan diri sebagai fasilitator dan motivator dalam
pendampingan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani,
memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan
masyarakat merupakan upaya non konstruktif yang memfasilitasi peningkatan
pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk mengidentifikasi, merencanakan dan
menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan potensi lokal dan fasilitas yang ada,
baik dari lintas sektor instansi maupun LSM dan tokoh masyarakat. Menurut
Chamber (1995) pemberdayaan merupakan pemberdayaan ekonomi dalam rangka
membangun suatu paradigm dalam suatu pembangunan yang bersifat people
centered, participatory, empowerment and sustainable (Noor, 2011; Saptaria &
Setyawan, 2021). Dijelaskan lebih lanjut bahwasanya pemberdayaan masayarakat
tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka, namun lebih
kepada bagaimana mereka mampu mengusahakan dan memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki agar pertumbuhan ekonomi naik dan mensejahterakan.
Dalam perkembangannya pemberdayaan masyarakat mengalami perubahan
yang cukup dinamis mengikuti perkembangan zaman, lebih lanjut Bahri (2019)
menawarkan pemberdayaan masayarakat berkelanjutan yang bertumpu pada tiga
aspek penting, yaitu inpu, proses dan output. Lebih lanjut ia menjelaskan;
a. Aspek input
Pada aspek input ini, pemberdayaan masyarakat berkelanjutan berpijak pada
empat bentuk yaitu sumberdaya individu, sumberdaya keluarga, sumberdaya
kelompok dan sumberdaya kelembagaan
b. Aspek proses
Pada aspek proses, terdapat empat aktivitas pada proses pemberdayaan
masyarakat berkelanjutan yaitu perubahan sikap (attitude), peningkatan
pengetahuan (knowledge), pengautan keterampilan (skill) dan pengelolaan
sumberdaya terkait.
c. Aspek output
Pada aspek output, maka perihal yang diharapkan dalam pemberdayaan
masyarakat berkelanjutan adalah individu, keluarga, kelompok dan kelembagaan
yang berdaya.

3
Pada masa kini, terdapat tuntutan yang besar bagi pelaku pemberdayaan dalam
rangka mewujudkan cita-cita yang diinginkan, yakni tuntutan untuk memiliki
kemampuan yang kuat dan memadai. Mereka tidak hanya dituntut untuk memiliki
kemampuan yang kaya melainkan juga mampu untuk memiliki kemampuan dalam
merancang program pemberdayaan (Widjajanti, 2011). Widjjanti (2011)
menambahkan bahwa modal utama terlasananya program pemberdayaan tidak hanya
bergantung pada kuantitas modal manusia (human capital) namun juga pada
tingkatan kualitasnya. Karena ia memainkan peran yang sangat signifikan dan
merupakan suatu aset yang berhubungan dengan inteletualitas yang diharapkan
mampu melakukan hubungan / interaksi antarsesama secara baik, menguntungkan
dan berkelanjutan.

B. Sejarah Pemberdayaan di Indonesia


Perubahan penyelenggaraan demokrasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan
implikasi yang sangat signifikan terhadap berbagai sektor, terutamanya pada sistem dan
kekuasaan pemerintah yang semula menganut sistem sentralistis kemudian beralih pada
sistem otonomi daerah atau desentralisasi. Perubahan tersebut tercetak dan tertulis
dengan jelas dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian berubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004,
sebagai pengganti UU Nomor 5 Tahun 1974 (Noor, 2011). Perubahan mendasar ini
dengan nyata memberikan dampak yang sangat besar pada beberapa sektor pelaku
pembangunan, mulai dari pelaku, pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksana,
pengawasan pembangunan yang masih belum siap akan perubahan tersebut, perihal
tersebut terlihat pada konteks praktek penyelenggaraanya yang belum optimal seperti
kurang kreativitas dan minimnya partisipasi atau keterlibatan masyarakat secara kritis
dan rasional (Noor, 2011).
Dengan adanya beberapa persoalan yang mengemuka dalam pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat ini, maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan. Noor
(2011) merekap beberapa kebijakan pemerintah tersebut, yakni:
1. GBHN Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada GBHN Tahun 1999 tersebut dinyatakan “mengembangkan otonomi daerah
secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat,
lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hokum, lembaga keagamaan, lembaga

4
adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah
NKRI”.
2. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan “hal-hal yang
mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan
masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreatifitas serta meningkatkan
peran serta masyarakat”.
3. UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS)
Tahun 200-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat
pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan organisasi
masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat,
peningkatan keswadayaan masyarakat.
4. Badan Pemberdayaan menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program
pemberdayaan masyarakat dalam rangka menterjemahkan tugas yang diemban pada
bidang pemberdayaan masyarakat.
a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat.
b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah mengembangkan kemampuan dan
kemandirian serta secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan
lingkungannya secara mandiri, dalam arti bahwa mereka harus mampu mencapai
kemajuan sehingga bisa membangun dan memelihara kelangsungan hidup
berdasarkan kekuatannya sendiri secara berkelanjutan.

C. Prinsip Pemberdayaan
Kata prinsip bermakna asas yakni suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar
berpikir, bertindak, dan sebagainya (Kamus Bahasa Indonesia, 2008). Dalam kaitannya
dengan pemberdayaan maka prinsip merupakan suatu komitmen yang telah dirancang
dan disepakati bersama dengan seluruh stake holder yang ada untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Menurut Aswas (dalam Bito et al., 2021) terdapat setidaknya beberapa
prinsip dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat sebagai bahan acuan bagi pelaku
dan masyarakat binaanya sehingga program pemberdayaan yang dimaksud mampu
menjawab kebutuhan masyarakat binaan dan dapat berjalan dengan benar dan tepat
sesuai dengan hakikat dan konsep pemberdayaan. Adapun prinsip yang dimaksud adalah:
1. Dilaksanakan dengan penuh demokratis dan keikhlasan.

5
2. Program kegiatan pemberdayaan hendaknya berbasis pada kebutuhan, masalah serta
potensi sumber daya yang dimiliki pada masyarakat binaan. Pada tahapan ini,
menjadi pentinf dalam melakukan identifikasi dan sosialisasi dengan melibatkan
partisipasi masyarakat binaan.
3. Memposisikan masyarakat binaan sebagai unsur subjek/pelaku pada kegiatan
pemberdayaan sehingga mampu menjadi dasar awal dalam menentukan tujuan,
pendekatan, dan bentuk kegiatan pemberdayaan yang tepat.
4. Merevitalisasi modal sosial seperti kearifan local yang tercermin dalam nilai-nilai
budaya, gotong royong, saling menghargai dan saling menghormati.
5. Dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan
6. Memperhatikan keragaman tradisi yang mengakar kuat pada masyarakat binaan
7. Memperhatikan aspek kehidupan sosial dan ekonomi pada masyarakat binaan
8. Tidak ada unsur diskriminasi terutama pada kaum perempuan
9. Menggunakan pendekatan partisipatif pada masyarakat binaan dalam menetapkan
waktu, materi, metode kegiatan dan sebagainya
10. Membangkitkan partisipasi masyarakat binaan pada hal yang bersifat fisik (materi,
tenaga, bahan) dan non fisik (saran, waktu, dukungan)
11. Pelaku pemberdayaan berposisi sebagai fasiliator yang memiliki kompetensi sesuai
dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat binaan. Serta mau
bekerjasama dengan instansi terkait.
Sedangkan menurut Effendi (2008), (dalam Bahri, 2019) terdapat 9 prinsip
pemberdayaan masyarakat, yaitu:
1. Prinsip Partisipasi
Segala tahapan kegiatan pemberdayaan harus melibatkan masyarakat binaan.
2. Prinsip sustainable
Hasil dari pemberdayaan yang didapatkan mampu dilestarikan oleh masyarakat
binaan agar mampu melanjutkan program kegiatan secara berkelanjutan.
3. Prinsip demokratisasi
Memberikan kesempatan kepada masyarakat binaan agar mampu menentukan jenis
strategi daerah pembangunan sesuai dengan kebutuhan kapasitas yang mereka miliki.
4. Prinsip transparansi
Keterlibatan beberapa pihak dan masyarakat binaan dalam keungan dilakukan secara
transparan atau terbuka agar dapat dipantau dan diawasi oleh semua pihak.
5. Prinsip akuntabilitas
6
Pengelolaan keuangan dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
6. Prinsip desentralisasi
Prinsip ini berkehendak untuk tidak lagi segala petunjuk dan aturan-aturan
tersentralisasi pada pemerintah, namun lebih kepada bagaimana masyarakat binaan
mampu perencanaan (planning), pembagian tugas (organizing), pelaksanaan
(actuating), pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluasi).
7. Prinsip acceptable
Bantuan yang diberikan kepada masyarakat binaan hendknya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan kultur sehingga dapat dikelola sebaik mungkin dan
didayagunakan oleh mereka sebagai pelaksana dan pengelola.
8. Prinsip profitable
Mendidik masyarakat binaan agar mampu mengelola kegiatan pemberdayaan secara
ekonomis, dan bisa mensejahterakan anggotanya dari kegiatan yang dilakukan.
9. Prinsip replicable
Pengelolaan dana dan hasil pelestarian dapat dikembangkan pada aspek yang lebih
luas.

D. Peran dan Fungsi Pelaku Pemberdayaan


Dalam melaksanakan suatu pemberdayaan masayarakat, maka pelaku
pemberdayaan perlu kiranya memahami dan memiliki sikap yang telah dirumuskan oleh
Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak pendidikan nasional, karena pelaku pemberdayaan
ini merupakan ujung tombak langsung yang berhadapan dengan berbagai karakteristik
dan pola yang berbeda dalam masyarakat. Adapun konsep yang ditawarkan oleh beliau
adalah
1. Hing ngarsa sung tulada (berada di depan) adalah mampu memberikan suri tauladan
atau contoh sebagai panutan bagi masyarakat binaan.
2. Hing madya mangun karsa (berada di tengah) mampu mendorong segala kemampuan
yang meliputi kreatifitas, inovasi berinisatif, dan motivasi untuk terus
mengembangkan dan memajukan masyarakat binaan.
3. Tut wuri handayani (berada di belakang) bersedia membuka ruang diskusi dan
menghargai berbagai pandangan dalam rangka memajukan dan mensejahterakan
masyarakat binaan.
Sebagai pelaku pemberdayaan maka diharapakan pada prosesnya, ia mampu
menempatkan diri dengan cara menempatkan dirinya di depan dalam memberikan contoh
7
bagaimana suatu program pengembangan untuk masyarakat dilakukan dengan baik
(menawarkan suatu konsep pemberdayaan), namun pada waktu lainnya ia juga
diharapkan mampu bersama-sama (berbaur) dengan masyarakat binaan dalam
mensukseskan program kerja yang telah dirancang bersama-sama sesuai dengan kondisi
masaarakat dan sumber daya yang ada. Pada saat lain pula yakni berada di belakang,
maka ia diharapkan mampu memberikan dorongan dan motivasi kepada masyarakat
binaan agar program dapat terealisasi dengan baik (Hamid, 2018; ).
Hamid (2018) juga menawarkan konsep bagaimana seorang pelaku pemberdayaan
bekerja dalam rangka mensukseskan program yang telah dicanangkan, yakni:
1. Mampu memposisikan masyarakat binaan sebagai mitra bukan hanya sebagai objek
program pemberdayaan saja.
2. Menjadi seorang pendengar yang baik dalam menerima segala kritikan dan keluh
kesah dari masyarakat binaannya.
3. Dalam menjalin suatu komunikasi dengan masyarakat binaan, ia mampu untuk tidak
menonjolkan sikap lebih tahu atau menggurui.
4. Memahami tingkat psikologi masyarakat binaan dalam berkomunikasi dan bertindak
5. Menguasai materi yang akan disampaikan dan dengan sabar untuk melakukan
pengulangan setiap tahapan sehingga mereka mampu melakukannya secara mandiri.
6. Tidak hanya selalu berorientasi atau fokus pada hasil akhir suatu kegiatan, namun
setiap tahapan pada prosesnya dimulai dari perencanaan (planning), pembagian tugas
(organizing), pelaksanaan (actuating), pengawasan (controlling) dan evaluasi
(evaluasi) program masyarakat binaan yang dapat dilaksanakan, diikuti dan dipahami
oleh mereka.

E. Tujuan Pemberdayaan bagi Masyarakat


Program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara bertahap
dan berkelanjutan sangat diharapkan mampu untuk mengangkat taraf kehidupan
masyarakat binaan sebagai objek sasaran menjadi lebih sejahtera, berdaya, mampu
memenuhi kebutuhan dasar hidup dan bisa menciptakan suatu kemandirian yang
berkelanjutan. Dengan kata lain, kemandirian tidak hanya berorientasi pada aspek
ekonomi semata, namun juga secara sosial, budaya, hak bersuara/berpendapat, bahkan
sampai pada kemandirian masyarakat dalam menentuan hak-hak politiknya (Hamid,
2018). Menurut Mardikanto dan Poerwoko (2012) terdapat beberapa tujuan
pemberdayaan (dalam Hamid, 2018), yaitu:
8
1. Better Education
Perbaikan pendidikan hendaknya menjadi elemen dari tujuan pemberdayaan, karena
ia merupakan pondasi dasar dalam pemberdayaan keberlanjutan. Perbaikan
pendidikan hendaknya tidak hanya mencakup perbaikan maeri, metode, waktu,
tempat dan interaksi antara fasilitator dengan masyarakat binaan, namun tak elbih
pentingnya yakni mendorong masyarakat binaan untuk terus belajar tanpa batas
waktu dan umur.
2. Better Accessibility
Pada aspek perbaikan aksesibilitas maka diharapkan mampu memperbaiki
aksesibilitas pada sumber informasi, keuangan, penyediaan produk, peralatan dan
lembaga pemasaran.
3. Better Action
Dengan adanya perbaikan pendidikan dan aksessibilitas yang beragama (SDA, SDM,
Sumber daya lainnya) maka diharapkan mampu melahirkan tindakan yang semakin
membaik
4. Better Institution
Untuk menjalin kemitraan usaha, maka perlu adanya perbaikan kelembagaan. Perihal
ini akan berdampak pada meningkatnya posisi tawar yang kuat pada masyarakat.
5. Better Business
Dengan bermodalkan empat usaha dan tujuan yang dilakukan diatas, maka secara
langsung dan nyata akan berdampak pada perbaikan usaha atau bisnis yang
dikembangkan
6. Better Income
Dengan adanya perbaikan usaha atau bisnis yang terus dikembangkan maka
diharapkan mampu memperbaiki pendapatan yang diperoleh baik ada cakupan
keluarga maupun kelompok.
7. Better Environment
Perbaikan pendapatan yakni modal yang dimiliki maka juga akan berdampak pada
perbaikan lingkungan baik secara fisik maupun sosial.
8. Better Living
Disaat pendapatan masyarakat atau keluarga dan perbaikan lingkungan meningkat,
maka tentunya akan mampu menciptakan situasi kehidupan yang lebih baik.
9. Better Community

9
Perbaikan masyarakat akan tercipta dikala lingkungan yang baik secara fisik dan
sosial dan situasi keidupan yang lebih baik dapat terwujud.

Daftar Pustaka

Bahri, E. S. (2019) Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan. Kediri: FAM Publishing.


Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk
Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School.
ELEMENTARY: Islamic Teacher Journal, 9(1).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835
Hamid, H. (2018) Manajemen Pemberdayaan Masyarakat. Edited by T. S. Razak. Makassar:
De La Macca.
Hastuti, S. W. M., & Setyawan, W. (2021). Community Service in Study Potential
Technology of Education Tour and Business Prospects of Traders in Tulungagung.
Mitra Mahajana: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 134–144.
http://www.uniflor.ac.id/e-journal/index.php/mahajana/article/view/952
Kamus Bahasa Indonesia (2008) PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN
NASIONAL JAKARTA. Jakarta: Pusat Bahasa.
Mardikanto, T. and Soebiato, P. (2013) Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif
Kebijakan Publik. edisi ke-2. Bandung: Alfabeta.
Mulyaman, R. (2016) Masyarakat, Wilayah, dan Pembangunan. Edited by W. Gunawan.
Bandung: UNPAD Press.
Noor, M. (2011) ‘Pemberdayaan Masyarakat’, Jurnal Ilmiah CIVIS, I(2), pp. 87–99. doi:
10.31227/osf.io/weu8z.
Saptaria, L., & Setyawan, W. H. (2021). Desain Pembelajaran Technopreneurship Untuk
Meningkatkan Motivasi Berwirausaha Mahasiswa Uniska Kediri. Prima Magistra:
Jurnal Ilmiah Kependidikan, 2(1), 77–89.
https://doi.org/https://doi.org/10.37478/jpm.v2i1.880
Shalahuddin, Y., Rahman, F., & Setyawan, W. H. (2021). Pemodelan Simulasi Untuk
Praktikum Teknik Otomasi Industri Berbasis Matlab/Simulink Di SMKN 1 Kediri.
Jurnal Pelayanan Dan Pengabdian Masyarakat (Pamas), 5(1), 15–26.
https://doi.org/https://doi.org/10.52643/pamas.v5i1.1061
Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik (ed.) (2021) Statistik Indonesia 2021. Badan
Pusat Statistik. Available at: https://www.bps.go.id/publication/download.html.

10
Widjajanti, K. (2011) ‘Jurnal Ekonomi Pembangunan Model pemberdayaan masyarakat’,
Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(1), pp. 15–27.

11
Biografi Penulis:

Wahab Syakhirul Alim, M.Pd.


Penulis merupakan dosen IAIN Madura pada Prodi Tadris Bahasa Inggris. Suami dari Siti
Aisa dan memiliki tiga anak; Jiehan Najwa Nabila, Khalid Dzakwan Hafidz, dan Jamine
Ameera Qaila Az-Zahrah. Penulis terlibat aktif dalam kepenulisan karya ilmiah berupa buku;
adapun buku yang pernah ditulis bersama adalah English For
Islamic Studies, Adaptasi Kebiasaan Baru Masyarakat Indonesia
Pada Era Pandemi Covid 19`: Tinjauan Berbagai Disiplin Ilmu,
Pendidikan Karakter, Mudahnya Memahami Metode Penelitian, dan
jurnal (bisa di akses di Google Scholar) serta opini (Radar Madura).
Penulis juga terlibat aktif dalam pemberdayaan masyarakat melalui
Takmir Masjid Bustanul Jadid sebagai Ketua Umum dan Pengurus
NU Ranting Parteker Pamekasan sebagai Katib Rais Syuriah.
Penulis dapat dihubungi melalui email: wahab-
[email protected]. Sinta ID: 6745562. Orchid ID: 0000-0003-4286-1418 dan Google
Scholar: SjOq4mQAAAAJ.

12
BAB 2
MASYARAKAT

A. Pengertian Masyarakat
Ada satu kata kunci yang perlu kita ketahui sebelum kita menggunakan kata
“masyarakat”. Manusia itu pada dasarnya adalah mahluk sosial, dan memiliki
naluri atau keinginan yang terdalam untuk hidup dengan orang lain. Naluri atau
keinginan manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness
sehingga manusia disebut juga social animal (=hewan sosial) (Soerjono Soekanto dan
Budi Sulistyowati, 2017). Hal ini terjadi disebabkan, semenjak manusia dilahirkan,
manusia mempunyai dua hasrat atau kepentingan pokok, yaitu:
1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya
(masyarakat).
2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Apabila dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya seperti hewan, manusia
tak akan pernah mampu untuk dapat hidup sendiri. Seekor anak ayam, walau tanpa
induk, mampu mencari makan sendiri; demikian pula hewan-hewan lain seperti
kucing, anjing, harimau dan sebagainya. Dengan kata lain Manusia tanpa Manusia
lain pasti mati. Bayi, misalnya harus diajari makan, berjalan, bermain-main dan
lain-lainnya. Jadi sejak lahir, manusia berhubungan dengan manusia lainnya
(Budiman & Samani, 2021).
Dari butir 1 di atas, dan dihubungkan dengan keterbatasan manusia, maka
ada keinginan manusia berinteraksi dengan manusia lain disekelilingnya (dan ini
bisa disebut sebagai Masyarakat).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1990),
masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh
suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Awal dari masyarakat berasal dari
hubungan antar-individu, kemudian kelompok yang lebih besar menjadi suatu
kelompok besar orang yang disebut masyarakat. Pengertian masyarakat secara
umum adalah suatu kesatuan yang selalu berubah yang hidup karena proses
masyarakat, masyarakat terbentuk melalui hasil interaksi yang terus-menerus antar-
individu. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu ditemui kehidupan individu
dengan masyarakat yang saling memengaruhi.
Kata “masyarakat” sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “Syaraka” yang
bermakna ikut dalam berpartisipasi. Dalam bahasa Inggris, kata “masyarakat”
disebut “society”, yang bermakna sekumpulan orang-orang yang membentuk
sistem dan terdapat komunikasi di dalamnya (Yusran Razak, 2010).
Adapun pengertian masyarakat berdasarkan pendapat ahli adalah sebagai
berikut:

13
1. Richard T. Schaefer dan Robert P. Lamm Schaefer dan Lamm
Kedua ahli tersebut berpendapat bahwa pengertian masyarakat adalah
sejumlah besar orang-orang yang bertempat tinggal dalam satu wilayah
yang sama, relatif independen serta sejumlah orang di luar wilayah
tersebut, dan mempunyai budaya yang relatif sama.
2. John J. Macionis
Masyarakat merupakan sejumlah orang-orang yang berinteraksi di dalam
wilayah tertentu serta mempunyai budaya bersama.
3. Adam Smith
Masyarakat dapat terdiri atas jenis-jenis manusia yang berbeda-beda dan
mempunyai fungsi yang berbeda pula, yang terbentuk serta dilihat dari
segi fungsi tidak dari rasa cinta dan sejenisnya, dan hanya ada rasa untuk
saling menjaga satu sama lain supaya tidak saling menyakiti.
4. An-Nabhani
Pengertian masyarakat, menurut An-Nabhani, merupakan sekelompok
individu yang mempunyai pemikiran perasaan, dan aturan yang sama,
serta dapat terjadi interaksi antar sesama karena adanya kesamaan untuk
kebaikan masyarakat dan warga masyarakat itu sendiri.
5. Selo Soemardjan
Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah sekumpulan orang yang
telah hidup bersama serta dapat menghasilkan kebudayaan.
Dapat dikatakan Masyarakat adalah sekumpulan orang yang terdiri atas
berbagai kalangan, baik itu merupakan golongan mampu maupun tidak mampu,
yang tinggal pada wilayah yang sama, serta mempunyai hukum adat, norma dan
peraturan-peraturan untuk ditaati (Karyoto et al., 2020).

B. Karakteristik Masyarakat
Untuk menentukan identitasnya, masyarakat mempunyai ciri-ciri yang khas
((Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, 2017). Adapun daftar ciri-ciri
masyarakat adalah sebagai berikut.
- Hidup Berkelompok
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mampu hidup sendiri.
Ketidakmampuan itu mendorong manusia hidup berkelompok. Sebab,
manusia senantiasa membutuhkan bantuan orang lain. Konsep tersebut
mengantarkan masing-masing individu hidup bermasyarakat.
- Melahirkan Kebudayaan
Ketika manusia membentuk kelompok, mereka selalu berusaha mencari
jalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia akan berupaya
menyatukan pikiran dan pengalaman bersama agar terbentuk suatu
rumusan yang dapat menjadi pedoman tingkah laku mereka, yakni

14
kebudayaan. Selanjutnya, budaya itu dipelihara dan diwariskan ke
generasi-generasi berikutnya.
- Mengalami Perubahan
Beragam latar belakang yang menyatukan tiap-tiap individu menjadi
suatu masyarakat, membuat manusia mengalami perubahan. Perubahan
ini dianggap sebagai upaya masyarakat menyesuaikan diri dengan
keadaan zaman. Sebagai contoh, masyarakat beralih menggunakan surat
elektronik untuk menggantikan surat kertas, ketika menerima pengaruh
perkembangan teknologi (Erna. Widjajati, 2018).
- Berinteraksi
Interaksi adalah hal yang mendasar dari terbentuknya masyarakat.
Interaksi ditempuh untuk mencapai keinginan, baik pribadi maupun
kolektif. Dengan berinteraksi, masyarakat membentuk suatu entitas sosial
yang hidup.
- Terdapat Kepemimpinan
Masyarakat cenderung mengikuti peraturan yang diberlakukan di
wilayahnya. Contohnya, dalam lingkup keluarga, kepala keluarga
mempunyai wewenang tertinggi untuk mengayomi keluarganya. Istri dan
anak patuh kepada ayah atau suaminya. Hal itu menunjukkan bahwa
dalam masyarakat, ada peran pemimpin yang membantu menyatukan
individu-individu.
- Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial menempatkan seseorang pada kedudukan dan perannya
di dalam masyarakat. Ketidakseimbangan hak dan kewajiban masing-
masing individu atau kelompok menimbulkan adanya penggolongan
masyarakat dalam kelas-kelas tertentu. Dalam kehidupan bermasyarakat,
stratifikasi sosial didasari atas kasta sosial, usia, suku, pendidikan, dan
beberapa aspek lain yang memicu keberagaman (Kamanto Sunarto, 2004).

C. Sejarah Terbentuknya Masyarakat


Bila dalam sub bab B telah digambarkan mengenai Karakteristik atau ciri-ciri
masyarakan, maka dalam Sub bab C akan digambarkan sejarah terbentuknyanya
masayarakat menurut para ahli.

C.1 Terbentuknya Masyarakat Menurut Gerhard Leinski

- Pemburu dan Peramu


Masyarakat pemburu dan peramu adalah bentuk masyarakat paling
sederhana. Kegiatan mereka umumnya sekadar berburu hewan
(memburu) serta mengumpulkan hasil tanaman non budidaya dengan

15
teknologi berupa peralatan sederhana (meramu). Teknologi yang
diterapkan hanya mampu mengelola alam secara pasif, sebagian besar
kegiatan sosial mereka habiskan untuk mencari makanan berupa hewan
buruan ataupun tanam-tanaman demi pemenuhan kebutuhan subsisten.
Di Indonesia sendiri masih ada ditemukan beberapa suku yang dapat dikategorikan
masyarakat pemburu-peramu misalnya di Kalimantan, antara lain: Punan
Tubu dan Punan Malinau (sebelah utara Kalimantan Timur); Kayan-
Tabang-Segah-Kelai (sebelah tengah-selatan Kalimantan Timur);
Hovongan dan Kereho (perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, danTimur);
Buket (ujung barat Kalimantan Timur dekat perbatasan dengan
Kalimantan Barat); Buket (ujung timur Kalimantan Barat, dekat
perbatasan Kalimantan Timur dan Serawak). Ditempat lain di Indonesia
juga masih ada Masyarakat pemburu dan peramu antara lain Orang
Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Orang Rimba di
Sumatra (Orang Kubu Nomaden) (Sardjana Orba Manullang, 2020).
- Hortikultural dan Pastoral (Pra Agraris)
Masyarakat hortikultural menerapkan teknologi peralatan tangan
untuk mengkoleksi hasil pertanian, sedangkan masyarakat pastoral
menerapkan teknologi domestikasi hewan. Masyarakat hortikultural dan
pastoral masih dapat ditemukan di wilayah Asia, Amerika Selatan, dan
Afrika. Masyarakat pastoral hidup nomadik dengan menggembala ternak,
sementara masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman
permanen. Mereka baru pindah tatkala tanah tempat tumbuhnya tanaman
tidak lagi subur atau ditemukan tanah garapan baru yang lebih subur dan
mampu menampung jumlah populasi mereka. Perbedaannya dengan
masyarakat yang lebih kemudian (masyarakat agraris, akan dibahas setelah ini) adalah
jangkauan wilayah kekuasaannya yang relatif kecil karena pertumbuhan
populasi masyarakat fase ini yang belum terlalu signifikan.
- Agraris
Masyarakat agraris dicirikan kegiatan cocok tanam berskala besar.
Cocok tanam skala besar dimungkinkan akibat ditemukannya teknologi
pembantu produksi manusia, semisal tenaga hewan (sapi untuk menarik
bajak, kuda untuk menarik pedati). Masyarakat ini juga ditengarai telah
menemukan teknologi irigasi, teknik baca tulis, dan penggunaan peralatan
yang terbuat dari logam. Lewat bantuan bajak, teknik irigasi, dan
peralatan logam, masyarakat agraris dapat menetap di suatu wilayah,
tidak perlu lagi berpindah layaknya masyarakat hortikultural. Mereka
mampu melakukan refertilization (pengolahan/ pemupukkan) tanah
garapan. Populasi masyarakat agraris semakin menumpuk di suatu
wilayah karena lahan tanaman dapat digunakan oleh beberapa generasi

16
dengan tingkat kesuburan yang berkurang lambat. Produksi cocok-tanam
masyarakat agraris berlipat ganda dibandingkan hortikultural.
Peningkatan material-surplus membuat peningkatan serupa pada jumlah
manusia yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan produksi
subsisten. Waktu luang mereka manfaatkan untuk menemukan teknologi
baru. Didalam masyarakat agraris, jaringan perdagangan tumbuh lebih
pesat, dan uang mulai digunakan sebagai alat tukar. Indonesia
merupakan masyarakat agraris. Luas wilayah masyarakat ini – daratan
dan lautan – mencapai 1.904.569 km2. Dari luas total tersebut, 24%
merupakan daratan. Dari total daratan ini, 67 juta hektar (35%) digunakan
sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta hektar (65%)
digunakan untuk areal budidaya, and baik untuk pertanian maupun non
pertanian. Sebanyak 53, 71 juta hektar lahan dari 123 juta hektar area
budidaya digunakan sebagai lahan pertanian. Dalam konteks ini,
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris ketika 43, 33% (hampir
setengah) luas lahan daratan yang dapat dibudidaya digunakan untuk
pertanian. Namun, masyarakat agrarisini lambat laun mulai tergusur oleh
terbentuknya jenis masyarakat baru yang sudah mulai menggejala yaitu
Masyarakat industrial. (Sardjana Orba Manullang, 2020)
- Industrial
Masyarakat industrial adalah masyarakat dengan ciri utama produksi
barang makanan, pakaian, bahan bangunan dengan bantuan teknologi
mesin yang digerakkansumber daya energi non hewani (sumber daya
baru). Penggunaan energi hewan yang marak di tahap masyarakat agraris
berkurang penggunaannya. Teknologi mesin yang operasinya didukung
sumber daya energi baru (bahan bakar fosil), membuat proses produksi
jauh lebih cepat dengan hasil jauh lebih banyak ketimbang yang bisa
dilakukan masyarakat sebelumnya. Material-surplus dalam masyarakat
ini terjadiberkali-kali lipat. Apalagi dengan turut ditemukannya teknologi
kereta uap, kapal uap, listrik, rel-rel besi, juga komunikasi kawat, yang
kesemuanya memungkinkan proses distribusi hasil produksi semakin
cepat dan ekstensif. Perluasan pasar dan pencarian sumber daya
mendorong munculnya imperialisme. Imperialisme memungkinkan
pemilik alat produksi dari bangsa imperial mencapai keuntungan yang
semakin besar. Akibatnya, ketimpangan sosial di dalam masyarakat
industri jauh lebih besar dan rumit lagi. Untuk sebagian masyarakat
Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masyarakat industrial sudah
atau paling tidak mulai terbentuk. Kendati masih terlokalisir di wilayah
sentra pabrik dan kegiatan perdagangan, masyarakat industrial Indonesia
nyata menampakkan wujudnya. Hingga kini pun telah dilihat, bahwa

17
dalam alur pikir Lenski ternyata masyarakat Indonesia ditengarai
beragam jenis masyarakat, tidak mono (satu) jenis.
- Posindustrial (Modern)
Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan produksi untuk
menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya teknologi
komputer. Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada pabrik dan
mesin penghasil barang material, makamasyarakat posindustri fokus pada
pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya bergantung
pada komputer dan peralatan elektronik lain. Setyawan (2017)
mengatakan Teknologi utamanya digunakan untuk memproduksi,
memproses, menyimpan, dan menerapkan informasi. Jika individu
masyarakat industri belajar keahlian teknis, maka individu masyarakat
posindustri mengembangkan kemampuan teknologi informasi
menggunakan komputer dan perangkat teknologi informasi lain sebagai
alat bantu kerja. Masyarakat posindustri cenderung mengembangkan
softskill ketimbang hardskill.
Percepatan pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat
masyarakat industri. Produksi barang lewat tenaga manusia dalam
masyarakat posindustri lebih sedikit. Akibatnya, terjadi peralihan besar-
besaran tenaga kerja untuk menjalani profesi guru, penulis, sales, penjual
pulsa, operator telepon, termasuk bisnis on-line (e-business dan e-commerce).
Industri yang berkembang mengarah pada produksi soft-skill ketimbang
hard-skill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian merenggangnya
kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan
akibat aktivitas masyarakat sebelumnya (industrial) (Megasari Gusandra
Saragih & Sardjana Orba Manullang, 2020)
Kelima masyarakat evolutif menurut Lenski ada di Indonesia, berkelindan
satu sama lain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain. Masyarakat
pemburu dan peramu hingga kini masih dapat ditemui di pedalaman Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Kendati jumlahnya kian sedikit, terhimpit proses
pembukaan wilayah olehmasyarakat pendatang, mereka tetap masyarakat Indonesia yang
punya hak hidup, bermata pencaharian, serta mengembangkan kebudayaannya.
Masyarakat hortikultural Indonesia ditandai konsep umum perladangan berpindah.
Masyarakat seperti ini terutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan
Sulawesi. Masyarakat pastoral terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah
Indonesia yang punya padang rumputyang luas guna mempraktekkan kehidupan
menggembala. Masyarakat agraris (termasuk nelayan) masih merupakan elemen
terbesar masyarakat Indonesia dan ini ditandai masih adanya Kementerian
Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, kendati ditandai perhatian
mereka yang setengah hati. Masyarakat industrial menempati ruang hidup di kota-

18
kota besar. Masyarakat Posindustrial menggejala dikota-kota industri Indonesia,
yang kendati kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat
seiring mewabahnya penggunaan teknologi telepon seluler, dan didukung
pengembangan kabel internet.

C.2 Terbentuknya Masyarakat Menurut Karl Max

Dalam pembentukan masyarakat, Max menggunakan peran konflik (Yoyok


Hendarso, 2019). Menurut perspektif ini, sejarah masyarakat ditandai pertentangan
kelas. Klasifikasi Lenski atas kelima jenis masyarakat yang didasarkan pengaruh
teknologi (material) atas cara produksi, membuat analisis masyarakat lewat
perspektif konflik lebih mudah dipahami. Marx adalah teoretisi konflik paling
terkemuka, dan bahkan sejak awal telah meringkas perubahan masyarakat versi
Lenski ke dalam konsepnya: Materialisme historis. Konsep ini menjelaskan bahwa
sejarah masyarakat tidak lain tersusun berdasarkan cara-cara produksi material.
Materialisme historis beroperasi dalam kaidah materialismedialektis. Materialisme
dialektis menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiaptahapan perkembangan
masyarakat menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling bertentangan.
Masyarakat baru kemudian muncul sebagai buah pertentanganantar struktur
masyarakat lama. Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan masyarakat
melainkan cara-cara produksi material-lah yang menciptakan gagasan. Justru cara-
cara produksi-lah yang menciptakan aneka gagasan manusia seputar masyarakat.
Inilah penjelasan singkatmengenai materialisme historis. Karena Marx
menggunakan cara produksi ekonomi sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan
masyarakat maka ia dikenal menganut determinisme ekonomi.

C.3 Terbentuknya Masyarakat Menurut Max Weber

Max Weber mengakui peran teknologi bagi perkembangan masyarakat


(Fithriatus Shalihah, 2017; Rifai et al., 2020). Namun, Weber tidak sepakat dengan
determinisme ekonomi Marx. Jika Marx menganut materialisme historis, maka
Weber dapat dikatakan menganut idealism historis. Bagi Weber, masyarakat
terbentuk lewat gagasan atau cara berpikir manusia. Dalam hal ini, Weber bertolak
belakang dengan Marx yang justru mengasumsikan gagasan tidak lebih proyeksi
cara-cara produksi ekonomi.

D. Makna partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan


Makna Partisipasi masyarakat adalah proses yang menggambarkan bahwa
seluruh lapisan masyarakat dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif
pembangunan.

19
Bila didalam Sub Bab A telah dibicarakan mengenai Pengertian Masyarakat,
dalam Sub Bab B digambarkan mengenai Karakteristik masyarakat juga dalam Sub
Bab C dikutip pendapat para ahli mengenai Sejarah Terbentuknya Masyarakat,
maka dalam Sub Bab D ini digambarkan mengenai makna partisipasi masyarakat

Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan atau pembangunan


adalah bentuk bagian dan keikutsertaan masyarakat dalam progam pemberdayaan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Agustian B. Prasetya, 2019). Partisipasi
masyarakat adalah suatu keterlibatan masyarakat di semua tahapan proses
perkembangan yang ada di dalam suatu kelompok masyarakat. Pentingnya
pastisipasi masyarakat dalam suatu program pembangunan karena sebenarnya
anggota masyarakat sendirilah yang mengetahui sepenuhnya tentang permasalahan
mereka, antara lain: (Manullang & Nurwanty, 2022)

- Keadaan lingkungan sosial ekonomi masyarakat

- Kemampuan untuk menganalisis sebab akibat dari berbagai kejadian yang


terjadi dalam masyarakat.

- Kemampuan untuk merumuskan solusi untuk mengatasi permasalahan


dan kendala yang dihadapi masyarakat

- Kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya pembangunan yang


dimiliki untuk meningkatkan produksi dan produktifitas dalam
pembangunan.

D.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat Bentuk partisipasi masyarakat dalam


pemberdayaan atau pembangunan adalah bentuk bagian dan keikutsertaan
masyarakat dalam progam pemberdayaan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut:


(Maruf et al., 2022)

- Partisipasi pikiran

Partisipasi ini dilakukan masyarakat dengan memberikan sumbangan ide


atau gagasan yang dimiliki oleh masyarakat.

- Partisipasi tenaga

Partisipasi ini dilakukan masyarakat dengan memberikan sumbangan


tenaga.

20
- Partisipasi harta

Partisipasi ini dapat dilakukan masyarakat dengan memberikan


sumbangan berupa harta atau uang dan makanan yang dapat membantu
pelaksanaan pembangunan.

Selain itu, bentuk-bentuk pastisipasi dapat dibagi menjadi beberapa


pengertian, antara lain:

- Partisipasi dapat bersifat transitif atau intrasintif.

- Partisipasi bermoral atau tidak bermoral. Partisipasi memenuhi sisi moral


apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan etika.

- Partisipasi yang bersifat dipaksa dan bersifat bebas.

- Partisipasi yang bersifat manipulatif atau spontan.

D.2 Tahapan Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat

Dalam melaksanakan tahapan untuk pelaksanaan partisipasi masyarakat


harus melihatnya sebagai suatu proses kegiatan yang berawal dari implementasi
awal, implementasi, dan implementasi akhir (Sastrawan Manullang, 2018).
Bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dari tahapan pelaksanaan sebagai
berikut: (Manullang, 2021)
- Perencanaan
Pada tahapan ini partisipasi masyarakat dapat diketahui melalui keaktifan
menghadiri sosialisasi, musyawarah, penyuluhan, dan pelatihan yang
diadakan pemerintah desa. Dalam tahap perencanaan tersebut
masyarakat juga ikut menyumbang pikiran. Adapun hasil dari pastisipasi
ini, merupakan terbentuknya organisasi kepengurusan tingkat desa.
- Pelaksanaan
Pada tahapan ini partisipasi masyarakat dapat diketahui melalui
keikutsertaan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang bersih.
- Penilaian
Pada tahapan ini keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana. Juga sejauh mana hasil
dari pembangunan tersebut dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.

D.3 Faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat

21
Terdapat beberapa faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan program pemberdayaan, meliputi: (Ismail Marzuki, 2021)
- Komitmen anggota masyarakat terhadap pembangunan partisipasi adalah
kuat, rasa kebersamaan, kesadaran, dan keikhlasan anggota masyarakat
yang tinggi.
- Sarana untuk menunjang pembangunan partisipatif (tenaga, dana, dan
bahan).
- Program kegiatan pembangunan partisipasi adalah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat.
Sedangkan faktor-faktor penghambat meliputi: (Novianti, 2021)
- Sosialisasi mengenai partisipatif belum dilakukan kepada seluruh
kelompok.
- Koordinasi kegiatan pembangunan partisipatif belum dilaksanakan secara
positif.
- Perumusan program dan kegiatan pembangunan partisipatif lebih
merupakan datar keinginan, bukan program dan kegiatan yang
dibutuhkan masyarakat.
Visi mengandung tantangan yang besar yang harus dihadapi oleh
organisasi,dan dianggap sebagi bintang petunjuk (guiding star) yang mengarahkan
langkah setiap orang untuk mewujudkannya. Tanpa adanya visi yang jelas maka
organisasi tersebut akan bergerak dengan setengah-setengah atau ragu-ragu dan
mudah terombang-ambingkan oleh tekanan eksternal.
Dengan mempelajari apa itu masyarakat, karakteristik dan sejarah
masyarakat maka ini akan membuat lebih mudah untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat.

Daftar Pustaka
Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning: A
New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education, 10(2),
15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15
Hendarso, Yoyok (2019). Sosiologi Hukum: Buku Materi Pokok. Jakarta : Penerbit
Universitas Terbuka.
Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf

22
Karyoto, N., Sisbiantoro, D., Setyawan, W. H., & Huda, M. (2020). Effectiveness
Legal Formal of Education Culture Heritage at Van Den Bosch Fort in
Indonesian. B-SPACE 2019: Proceedings of the First Brawijaya International
Conference on Social and Political Sciences, BSPACE, 26-28 November, 2019,
Malang, East Java, Indonesia, 434.
https://books.google.co.id/books?id=VkUqEAAAQBAJ&dq=Effectiveness+Legal+Formal+
of+Education+Culture+Heritage+at+Van+Den+Bosch+Fort+in+Indonesian&lr=&hl=id&so
urce=gbs_navlinks_s
Manullang, Sastrawan (2018). Teori dan Praktek Analisis Stake Holder. Bogor: IPB
Press

Manullang, Sardjana Orba. (2019) Sosiologi Hukum. Jakarta: Bidik Phronesis


Publishing.

Manullang, Sardjana Orba. (2020) Mengenal Hukum Lingkungan: Hubungan


Manusia & Lingkungan. Jakarta: CV Cendekia.

Manullang, Sardjana Orba. (2020) Sosiologi Hukum Untuk Mahasiswa Fakultas


Hukum. Jakarta: CV Cendekia.

Manullang, Sardjana Orba (2021). “Perubahan Sosial Masyarakat Pedesaan Di


Era Teknologi.” Cross-Border vol. 4, no. 1. , hlm. 83–88.
http://journal.iaisambas.ac.id/index.php/Cross-Border/article/view/519

Manullang, S. and Nurwanty, I. (2022) “Kajian Sosiologi Hukum Budaya Scan


Aplikasi Peduli Lindungi Pada Kawasan Publik di Kota Besar”, Binamulia
Hukum, 10(2), pp. 187-193. https://doi.org/10.37893/jbh.v10i2.631.

Maruf, Irma Rachmawati et al. (2022). “Covid-19 Vaccine Act According to World
Health Experts and Institutes”. Budapest International Research and Critics
Institute-Journal (BIRCI-Journal) Volume 5, No 1, February 2022, Page: 2342-
2354

Marzuki, Ismail (2021). Pengantar Ilmu Sosial. Medan: Kita Menulis

Novianti, T., Manullang, S. and Joka, M. R. (2021) “Ganti Rugi Pembebasan Tanah
Untuk Pembangunan Jalan Tol Kisaran Tebing Tinggi”, Krisna Law, 3(3), pp. 1-
14. doi: http://10.37893/krisnalaw.v3i3.494

Prasetya, Agustian B. (2019). Manajemen Pengetahuan Konsep Dasar dan Aplikasi:


Mengelola Pengetahuan Manusia Di Sektor Publik, Swasta dan Pendidikan.
Jakarta: Mahara Publishing.

Razak. Yusran (2010). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Laboratorium Sosiologi


Agama.

23
Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723

Saragih, Megasari Gusandra & Sardjana Orba Manullang. (2020) Marketing Era
Digital. Medan: Penerbit Andalan.

Setyawan, W. H. (2017). Pemanfaatan Teknologi Mobile Learning dalam


Pengembangan Profesionalisme Dosen. Al-Ulum, 17(2), 389–414.
https://doi.org/https://doi.org/10.30603/au.v17i2.240

Shalihah, Fithriatus. (2017). Buku Ajar Sosiologi Hukum. Depok: Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono & B Sulistyawati. (2017) Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:


Rajawali

Sunarto, Kamanto. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE


Universitas Indonesia.

Tim Penyusun (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Widjajati, Erna. (2018). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Jalur.

24
Biografi Penulis:
Sardjana Orba Manullang

Lektor di Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, juga sebagai


Advokat serta Konsultan Kekayaan Intelektual. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar di bidang sosiologi dan hukum di
Universitas Indonesia berkecimpung sebagai Advokat / konsultan
hukum, khususnya bidang Keperdataan dan bisnis, juga sebagai
anggota Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Pengetahuan
bisnis/manajemen dipelajari ketika menjadi peserta Wijayata
Manajemen di PPM. dan diperkaya sewaktu mengikuti Hukum Bisnis di Universitas
Padjadjaran dan pendidikan kenotariatan di Universitas Diponegoro dan diakhir dengan
menyelesaikan disertasi dibidang Hukum.
Mengingat dasar pendididikan adalah sosiologi dan hukum dan juga lebih satu
dasawarsa mengikuti salah satu LSM Lingkungan terbesar di Indonesia, maka banyak
berkecimpung dibidang sosiologi/hukum dan juga mengikuti permasalahan sosial dan
kemayarakatan khususnya di bidang lingkungan.
Beberapa kali sudah menjadi saksi-ahli baik di Pengadilan maupun di luar Pengadilan
untuk bidang ilmu yang dikuasainya. Saat ini sedang mendalami masalah hukum dan
sosial khususnya yang berkaitan dengan hal kekinian termasuk tetapi tidak terbatas pada
teknologi informasi dan media sosial. (untuk korespondensi dapat dihubungi di
[email protected] )

25
BAB 3
PROBLEMATIKA SOSIAL DI MASYARAKAT

1. Pengertian problematika sosial


Masyarakat Indonesia sebagian besar berada tinggal di perbatasan antara
pedesaan dengan perkotaan. Masyarakat yang tinggal di daerah demikian sering
disebut dengan masyarakat pinggiran (suburb). Masyarakat pinggiran sering
diidentifikasikan dengan masyarakat semimaju, semimodern, atau istilah sekarang
lebih dikenal dengan penamaan masyarakat madani. Keadaan masyarakat pinggiran
(suburb) memang bervariasi ada yang tergolong ekonomi kaya, namun ada juga
yang tergolong ekonomi miskin. Hal ini dapat terjadi karena letak geografis,
mudahnya arus informasi, mudahnya transformasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta kemudahan dalam moda transportasi, baik transportasi umum
maupun transportasi pribadi. Di samping itu, tentu saja peran dari stakeholder dan
keberadaan potensi sumber daya alam (SDA) serta sumber daya manusia (SDM)
sangat dibutuhkan di sini (Hastuti & Setyawan, 2021).
Tampaknya dan faktanya potensi-potensi tersebut sampai saat ini belum
dikembangkan dan dikelola secara maksimal khususnya melalui pembinaan dan
pengembangan, baik SDM, SDA, maupun pola atau sistem yang menunjang
pembangunan pendidikan, ekonomi, atau kesehatan. Pembinaan dan
pengembangan di daerah dapat terjadi melalui kesadaran diri manusianya (SDM
daerah) dengan berpendidikan yang baik, juga peran dan fungsi stakeholder yang
dilakukan di daerah itu baik pula (good governance). Tampaknya berbagai upaya
peningkatan sudah dilakukan pihak terkait untuk meningkatkan mutu daerahnya.
Sayangnya, upaya peningkatan tersebut belum terealisasi dengan baik khususnya
peran serta masyarakat.
Permasalahan sosial merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan tetapi
terjadi di dalam masyarakat karena dapat mengganggu ketenteraman masyarakat
sehingga diperlukan adanya tindakan nyata sebagai hasil dari kesepakatan bersama
untuk mengatasi atau memperbaiki masalah tersebut. Permasalahan sosial dianggap
sebagai sebuah persoalan, baik kecil maupun besar, karena menyangkut tata
kelakuan yang bersifat immoral atau berlawanan dengan hukum yang sifatnya
dapat merusak suatu individu atau suatu kelompok tertentu. Penyelesaian
permasalahan sosial tidak mungkin ditelaah tanpa adanya pertimbangan ukuran-
ukuran dari masyarakat mengenai apa yang dianggap buruk atau baik.
Permasalahan sosial biasanya terjadi akibat adanya interaksi sosial antarindividu,
antara individu dengan suatu kelompok, dan atau antara kelompok dengan
kelompok lain. Adanya interaksi sosial tersebut biasanya berkisar pada nilai adat
istiadat suatu daerah, ideologi, dan tradisi yang ditandai dengan adanya proses

26
sosial yang disosiatif. Permasalahan sosial memang biasanya timbul akibat adanya
perkembangan masyarakat, masalah tersebut semakin melebar dengan cepat karena
adanya guncangan di dalam masyarakat atau suatu kelompok sehingga terjadinya
kekagetan budaya (cultural shock) dan atau kesenjangan budaya (cultural lag).
Permasalahan sosial umumnya juga timbul karena adanya ketidaksesuaian
antara unsur-unsur kebudayaan dan atau masyarakat, yang mana perbedaan
keduanya dapat membahayakan kehidupan individu atau masyarakat, sehingga
perbedaan keduanya dianggap menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan
pokok warga kelompok sosial yang berikutnya dapat menyebabkan kepincangan
ikatan sosial. Kemudian, permasalahan sosial akan menimbulkan hubungan yang
tidak baik antar unsur masyarakat, unsur-unsur kebudayaan, antara masyarakat
dan kebudayaan, dan terjadi pula bentrokan dan ketidaksesuaian, sehingga
hubungan antar-sosial terganggu dan mengakibatkan hancurnya kehidupan suatu
kelompok.
Permasalahan Sosial Menurut Pakar
Beberapa pengertian permasalahan sosial menurut pakar dapat dijelaskan
sebagai berikut. Kesatu, Soerjono Soekanto dalam Malihah dan Kolip (2010) menilai
suatu masalah sosial merupakan ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan
atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Kedua, Vincent
Parillo Parillo dalam Soetomo dalam Malihah dan Kolip (2010) menuturkan
pengertian masalahan sosial merupakan suatu masalah yang bertahan untuk suatu
periode waktu tertentu. Tetapi suatu kondisi dianggap sebagai masalah sosial
namun terjadi dalam waktu singkat dan menghilangkan bukan termasuk masalah
sosial. Ketiga, Lesli dalam Malihah dan Kolip (2010) berpendapat bahwa pengertian
masalahan sosial merupakan suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan
atau tidak disukai dan karena perlu penyelesaian untuk mengatasi atau
memperbaiki masalah tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan permasalahan
sosial adalah permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar tempat
tinggal yang bisa diakibatkan karena perbedaan dalam memandang masalah
kebudayaan dan kemasyarakatan, baik secara langsung maupun tidak.
Faktor Penyebab Permasalahan Sosial
Permasalahan sosial di masyarakat tentu saja terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut kemudian akan menjadi masalah sosial yang
berkembang di masyarakat dan berisiko menyebabkan perpecahan dalam suatu
kelompok masyarakat. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab terjadinya
permasalahan sosial menurut Koentjaraningrat (1990), Alatas (2009), Sucipto (2009),
Malihah dan Kolip (2010). Kesatu, faktor ekonomi. Faktor ekonomi disebut
sebagai faktor yang mana ada suatu masyarakat atau individu yang tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidupnya secara layak, khususnya secara materi. Masalah

27
ekonomi ini tidak lagi dipandang sebagai kondisi kekurangan dalam mencukupi
kebutuhan secara ekonomi, akan tetapi juga dalam pengaturan, distribusi, dan
produksi yang mempengaruhi kondisi ekonomi bangsa dan kemudian berimbas
pada kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Saat ini faktor ekonomi adalah
faktor penyebab terbesar masalah sosial.
Kedua, faktor sosial. Faktor sosial adalah salah satu faktor yang menjadi
permasalahan ekonomi merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang
ada di dalam masyarakat dan kemudian menjadi suatu perbedaan yang sangat
mencolok di dalam masyarakat. Fenomena ini terjadi hampir di semua negara,
termasuk di Indonesia. Kesenjangan sosial atau faktor sosial yang ada di Indonesia
lebih terlihat antara orang kaya, baik pejabat maupun pengusaha, dengan rakyat
biasa. Biasanya permasalahan faktor sosial ini menjadi penyebab terjadinya
kesenjangan sosial. Salah satunya adalah terjadinya kemiskinan dan kurangnya
lapangan pekerjaan.
Ketiga, faktor budaya. Faktor permasalahan sosial selanjutnya yakni berasal
dari faktor budaya. Faktor budaya biasanya disebabkan karena adanya
ketidaksesuaian pelaksanaan norma, nilai, dan kepentingan sosial pada pola
masyarakat yang heterogen atau multikultural. Contoh faktor budaya yang biasanya
terjadi di antaranya adalah kenakalan remaja, konflik antar-suku, diskriminasi,
gender, pernikahan dini, perceraian, hingga eksploitasi lingkungan. Dalam masalah
tersebut, budaya sangat berperan dari faktor masalah sosial karena kebudayaan
yang semakin berkembang justru menimbulkan peran terhadap masalah sosial.
Munculnya berbagai budaya luar dianggap sebagai budaya baru yang ternyata
menerabas dan membuat masyarakat berperilaku tidak disiplin dan menerapkan
budaya yang tidak diharapkan masyarakat secara luas. Pengaruh budaya baru atau
budaya luar saat ini sangat dirasakan oleh kita semua.
Keempat, faktor permasalah sosial selanjutnya yakni faktor psikologis. Faktor
psikologis merupakan masalah pola pikir suatu masyarakat atau pribadi tertentu
yang bersinggungan dengan tatanan kehidupan sosial. Contoh masalah yang
bersumber dari faktor psikologis ini biasanya adanya pemahaman mengenai
penyimpangan dari ajaran agama yang jika diamati secara detail tidak masuk akal
dan munculnya raja-raja palsu, juga munculnya gerakan separatis anti-pemerintah,
misalnya munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kelima, faktor permasalah sosial yang lainnya adalah faktor biologis. Faktor
biologis merupakan masalah sosial yang timbul akibat adanya ketidaksesuaian
keadaan lingkungan yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan kondisi biologis
di dalam masyarakat. Contoh faktor biologis ini terjadi di masa kini dan sangat
relevan, yakni terjadinya pandemi Covid-19.
Keenam, faktor terakhir yakni adanya permasalahan sosial yang dipicu
karena sebuah teknologi. Kemajuan teknologi dianggap jadi hal yang luar biasa dan

28
membantu banyak pekerjaan serta memudahkan beberapa kelompok masyarakat.
Akan tetapi, tidak serta-merta teknologi menguntungkan semua pihak. Kemudahan
teknologi ternyata bisa memicu adanya permasalahan sosial, terutama bagi yang
hidupnya bergantung dengan hal-hal yang bersifat manual atau ketinggalan zaman.
Contoh yang paling dekat saat ini adalah kemudahan memesan makanan atau
bepergian menggunakan ojek online. Bagi masyarakat luas dan juga yang bekerja di
perusahaan ojek online tentu akan dimudahkan dengan adanya teknologi ini. Akan
tetapi, hal ini jadi masalah bagi orang yang berprofesi menarik becak, ojek
pangkalan, dan juga penjual makanan yang tidak dapat menggunakan teknologi
termutakhir karena jualannya akan lebih sepi dibandingkan yang lain. Faktor
teknologi sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat (Setyawan, 2017).
Bentuk-bentuk Permasalahan Sosial
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya permasalah sosial tadi tentu
tidak lepas dari bentuk masalah sosial yang ada. Bentuk masalah sosial tersebutlah
kemudian yang memunculkan adanya faktor permasalahan sosial sehingga masalah
sosial menjadi melebar dan berisiko menimbulkan perpecahan. Berikut ini adalah
berbagai bentuk masalah sosial yang kerap terjadi di sekitar masyarakat. Kesatu,
kemiskinan. Permasalahan sosial terkait kemiskinan merupakan suatu kondisi yang
mana terjadinya ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan,
pakaian, dan tempat berlindung, serta kesehatan. Kemiskinan disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuhan dasar atau sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Saat ini, masalah kemiskinan sudah menjadi masalah global yang dialami
oleh beberapa negara. Masalah kemiskinan dalam bermasyarakat atau di ruang
lingkup yang lebih luas kemudian menjadi masalah sosial karena mulai mewabah
dan bertambah banyak. Jika masalah kemiskinan ini dibiarkan, maka angka
kriminalitas kemiskinan juga meningkat karena berbagai penyebab sosial dan
masalah ekonomi (Soeprajitno et al., 2019a, 2019b).
Kemiskinan menjadi masalah sosial ketika stratifikasi dalam masyarakat
menciptakan tingkatan atau garis-garis pembatas. Kemiskinan muncul karena
adanya batasan pemisah dalam interaksi atau komunikasi. Contoh permasalahan
kemiskinan di Indonesia. Saat ini, masalah kemiskinan masih menjadi permasalahan
sosial yang besar di Indonesia. Saat ini hasil survei menunjukkan bahwa ada
kenaikan pengangguran di Indonesia mencapai 2,67 persen dari jumlah awal yakni
sekitar 28 juta orang atau sekitar mengalami kenaikan 9,77 juta orang. Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) 7,07 persen karena dampak dari pandemi Covid-19.
Faktor pengangguran tersebut menjadi salah satu faktor kemiskinan pada
permasalahan ekonomi. Masyarakat pada dasarnya membutuhkan alat pemenuhan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga saat ini, memang tidak ada tindakan
yang bisa secara langsung dilakukan untuk menghapus kemiskinan di Indonesia,
terlebih jika masalah kemiskinan ini mendarah daging. Selain faktor pengangguran,

29
faktor kemiskinan juga bisa terjadi karena dua faktor, yakni faktor internal dan
eksternal. Faktor internal merupakan orang dengan kategori miskin ini tidak
berusaha mencari pekerjaan yang layak atau pendapatan dan tidak berusaha
mengubah hidupnya keluar dari lingkungan kemiskinan. Sementara itu, faktor
eksternal salah satunya terjadinya perubahan struktur sosial, kebijakan pemerintah,
dan sebagainya.
Kedua, pengangguran. Masalah pengangguran ini juga termasuk ke dalam
faktor ekonomi terjadinya permasalahan sosial. Pengangguran biasanya disebabkan
karena jumlah lapangan pekerjaan yang kurang atau para pencari kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Pengangguran hingga saat
ini sering menjadi masalah utama dalam perekonomian. Hal ini karena masalah
pengangguran menyebabkan muncul kurangnya produktivitas, menurunnya
pendapatan masyarakat, dan menyebabkan masalah kemiskinan secara global.
Masalah pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek
psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat
pengangguran yang terlalu tinggi juga jadi permasalahan sosial karena akan
menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Ketiga, kriminalitas. Istilah kriminalitas berasal dari bahasa
Inggris crime yang artinya kejahatan. Dalam permasalahan ekonomi, bukan tidak
mungkin kriminalitas jadi pemicu utamanya. Hal ini karena ada berbagai tindakan
yang sudah diatur menurut undang-undang yang masuk ke ranah kriminalitas.
Beberapa tindakan yang termasuk unsur kriminalitas di dalam undang-undang
mulai dari ucapan yang tidak sesuai, tingkah laku yang melanggar norma-norma
sosial, serta mengganggu keselamatan masyarakat, baik secara ekonomi, politik,
maupun psikologis. Sesuai dengan pandangan teori faktor permasalahan sosial,
lingkungan sosial, dan kekuatan-kekuatan sosial sebagai faktor penyebab
munculnya kejahatan, kriminalitas berkembang karena berkembangnya teknologi
dan meningkatnya pertumbuhan suatu negara. Saat hal tersebut terjadi, pemerintah
akan terus berupaya mengembangkan berbagai kualitas negara dan taraf keamanan,
akan tetapi tingkat kejahatan juga semakin meningkat dengan kualitas perbuatan
yang semakin berat. Bahkan kejahatan dapat menandingi kekuatan hukum yang
berlaku. Terlebih lagi pada masa modern atau pandemi seperti saat ini.
Adanya tingkah laku kriminalitas dianggap sebagai suatu bentuk kriminalitas
sebab hal ini dirasa sudah membudaya dan sudah menjadi rahasia umum yang
dapat ditebak. Misalnya, praktik korupsi, uang pelican, atau suap untuk
mempercepat penyelesaian masalah, tanda bakti atau gratifikasi, dan sebagainya.
Ada pula tindakan kriminalitas yang diistilahkan dengan cybercrime yakni sebuah
perbuatan yang melanggar hukum karena dilakukan dengan perantara internet
yang berbasis kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi. Karakteristik

30
kejahatan dunia maya ini berbeda dengan kejahatan dunia nyata, baik dari ruang
lingkup, pelaku, sifat, dan modus. Kejahatan dunia maya jauh saat ini jauh lebih
sadis.
Permasalahan sosial di Indonesia yang juga masih terjadi adalah kriminalitas.
Contohnya adalah karena masalah pengangguran, maka tindakan kriminal bisa
terjadi. Contohnya mencuri atau menjambret demi bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Terjadinya pembunuhan karena adanya kecemburuan dan kesenjangan
sosial, dan lain sebagainya.
Keempat, kesenjangan sosial. bentuk permasalahan sosial selanjutnya adalah
terjadinya kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial merupakan suatu kondisi yang
mana ada ketidakseimbangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang
kemudian menjadi suatu perbedaan yang mencolok. Biasanya, kesenjangan sosial
terjadi antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin, pejabat dengan rakyat biasa,
dan sebagainya. Faktor kesenjangan sosial umumnya terjadi karena adanya
kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan. Kesenjangan sosial juga menjadi
permasalahan sosial sebab menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial yang bisa
meledak menjadi konflik sosial. Realitas di masyarakat menunjukkan demikian.
Di Indonesia sendiri telah terjadi berbagai macam konflik sosial. Contohnya
konflik horizontal yang sebenarnya menjadi dasar akar permasalahan asalnya
adalah adanya kesenjangan sosial yang berimplikasi menimbun kecemburuan sosial.
Masalah sosial ini lebih pada permasalahan sosial ekonomi secara umum. Pada satu
sisi, ada kelompok masyarakat yang hidup mewah dan berkecukupan, namun di sisi
lain ada masyarakat yang hidup kekurangan dan mengalami segala keterbatasan
ekonomi. Hal ini jadi masalah ketika ada kemudahan akses-akses bagi masyarakat
yang berkecukupan dibandingkan dengan masyarakat yang pas-pasan.
Beberapa konflik sosial yang terjadi di Indonesia juga terjadi karena adanya
sentimentil suku, agama, penduduk asli dan pendatang, dan sebagainya. Dari
masalah sosial ini, akibatnya muncul konflik terbuka yang memberikan dampak
pada relasi sosial sehingga memunculkan stigma, prasangka-prasangka, dan
sentimental yang berujung kecemburuan sosial. Contoh permasalahan kesenjangan
sosial di Indonesia, misalnya antara kemudahan akses yang didapat oleh orang kaya
dan juga kesulitan akses untuk orang miskin. Hal ini dipengaruhi karena faktor
ekonomi dan juga pengaruh letak geografis serta faktor demografis masyarakat di
Indonesia.
Kelima, penyakit (baik pandemi maupun endemi). Penyakit bisa
menimbulkan terjadinya permasalahan sosial. Faktor ini sangat relevan dengan
yang saat ini terjadi. Munculnya pandemi Covid-19 membuat berbagai masalah
sosial baru yang berdampak pada masalah ekonomi, kriminalitas, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, permasalahan sosial yang berasal dari munculnya penyakit, baik
pandemi maupun endemi ini, menjadi berbagai fasilitas kesehatan kurang bisa

31
diakses karena adanya berbagai batasan, sehingga akhirnya banyak masyarakat
yang tidak tertolong. Terjadi pula masalah kekurangan pangan karena banyak
lapangan kerja yang ditutup karena berbagai aturan pembatasan, warung-warung
kecil yang juga kekurangan pelanggan, dan masih banyak lagi. Hal ini terjadi karena
adanya wabah penyakit menular. Contoh permasalahan penyakit menular di
Indonesia. Permasalahan sosial yang sangat relevan di tahun ini adalah terjadinya
pandemi Covid-19. Masih terjadinya pandemi Covid-19 yang terjadi sampai saat ini
menyebabkan berbagai dampak bagi masyarakat, mulai dari masalah ekonomi,
pengangguran, pendidikan, masalah sosial, dan sebagainya.
Keenam, kenakalan remaja. Kenakalan remaja juga termasuk permasalahan
sosial karena sebagai bentuk pengabaian sosial yang akhirnya menyebabkan
perilaku menyimpang. Kenakalan remaja bisa meliputi semua perilaku
menyimpang dari norma-norma masyarakat yang berlaku, terjadinya pelanggaran
baik secara budaya maupun hukum pidana. Biasanya, kasus kenakalan remaja di
antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, merokok, minum minuman
keras, balap liar, dan sebagainya. Pelanggaran status ini biasanya tidak tercatat
secara kuantitas karena dianggap bukan sebagai kasus pelanggaran hukum.
Sementara itu, kasus seks pra-nikah di kalangan remaja, aborsi, dan sebagainya
dianggap perilaku menyimpang yang melanggar norma-norma masyarakat.
Kenakalan remaja saat ini adalah masalah serius.
Kasus kenakalan remaja biasanya disebabkan karena belum matangnya emosi
remaja yang ditandai dengan penilaian situasi kritis terhadap kepercayaan diri dan
kemampuan diri sendiri dalam mengambil sikap, bertindak, dan sebagainya. Kasus
kenakalan remaja yang menjadi permasalahan sosial ini dianggap sebagai kegagalan
dalam pemenuhan tugas perkembangan. Beberapa remaja yang gagal dalam
mengembangkan kontrol diri yang sudah dimiliki remaja lain seusianya selama
masa perkembangan. Di sinilah tugas kita Bersama.
Ketujuh, pendidikan yang tidak merata. Terjadinya pendidikan yang tidak
merata memicu terjadinya permasalahan sosial karena menjadi salah satu dampak
negatif bagi bangsa. Kurang meratanya pendidikan bisa memicu kebodohan secara
global. Contohnya, saat ini masyarakat Indonesia bisa dibilang masih terbelenggu
kebodohan menurut survei karena dirasa masih memiliki kualitas sumber daya
manusia yang rendah. Selain itu, kurang meratanya pendidikan di Indonesia juga
jadi penyebab mengapa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia masih
rendah. Hal ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang kurang mampu dan
terisolasi secara geografis sehingga tidak dapat menjangkau pendidikan dan
kesulitan mendapat akses pendidikan yang layak. Tidak bisa dipungkiri, maju atau
tidaknya sebuah negara ditentukan dengan kualitas pendidikan dan kualitas SDM.
Jika sebuah negara ingin maju dari segala bidang, maka negara tersebut salah

32
satunya harus memiliki SDM yang berkualitas dan semua itu dapat diraih ketika
tingkat pendidikan di negara tersebut baik.

Daftar Pustaka

Alatas, Vivi Alatas. (2009). Memahami Masalah Kemiskinan di Indonesia. Artikel. Tempo.
No. 20/VII/Jan 16-22. 2007. 8 Januari 2009.

Hastuti, S. W. M., & Setyawan, W. (2021). Community Service in Study Potential


Technology of Education Tour and Business Prospects of Traders in
Tulungagung. Mitra Mahajana: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 134–144.
http://www.uniflor.ac.id/e-journal/index.php/mahajana/article/view/952

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Malihah, Elly dan Usman Kolip. (2010). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Setyawan, W. H. (2017). Pemanfaatan Teknologi Mobile Learning dalam


Pengembangan Profesionalisme Dosen. Al-Ulum, 17(2), 389–414.
https://doi.org/https://doi.org/10.30603/au.v17i2.240

Soeprajitno, E. D., Setyawan, W. H., & Wihara, D. S. (2019a). Dampak Pelatihan


“Service Excellence” Terhadap Kinerja Karyawan Bank Perkreditan Rakyat
(Bpr) Kota Kediri. Jurnal MEBIS (Manajemen Dan Bisnis), 4(2), 94–102.
https://doi.org/10.33005/mebis.v4i2.58

Soeprajitno, E. D., Setyawan, W. H., & Wihara, D. S. (2019b). Faktor Utama Yang
Mempengaruhi Nasabah Dalam Mengambil Kredit Di Bank Perkreditan Rakyat
(Bpr) Kota Kediri. Capital: Jurnal Ekonomi Dan Manajemen, 3(1), 48–59.
https://doi.org/DOI: http://doi.org/10.25273/capital.v3i1.5063

Sucipto, Juwana Bin. (2009). Masyarakat Multikultural. Makalah, Rabu 29 April


2009.

Biodata Penulis:

Firman Aziz

33
BAB 4
KONFLIK KOMUNITAS

A. Pengertian Konflik Komunitas


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah konflik diartikan adanya
percekcokan, perselisihan, pertentangan, ketegangan atau pertentangan di dalam
cerita rekaan atau drama–pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam
diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya. Sedangkan istilah
komunitas diartikan kelompok organisme—orang dan sebagainya—yang hidup dan
saling berinteraksi di dalam daerah tertentu, baik dalam masyarakat maupun
paguyuban (Kemendikbud, 2016). Hal yang sama juga dikemukakan Webster,
(1974:213) dalam Daniel Carolus Kambey terdapat kata konflik diterjemahkan dari
bahasa Inggris yakni Conflict berarti: pertarungan (a fight), perbuatan kekerasan
(struggle), persengketaan (a controversy), perlawanan yang aktif (active opposition
hostility) (Sunarta, 2010).
Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin ‘con’ yang berarti
bersama dan ‘fligere’ yang diartikan benturan atau tabrakan. Dengan demikian
konflik yang dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan,
kemauan dan lain sebagainya dengan melibatkan dua belah pihak atau lebih
(Mulyadi, 2002). Dalam kehidupan sosial kita tentu tidak lepas dengan konflik, baik
perorangan maupun kelompok atau komunitas. Setiap konflik antar anggota dalam
kelompok, tidak selalu bentuk dan sifatnya sama. dengan demikian resolusi konflik
juga bervariasi dan di sesuaikan dengan situasi dan kondisi, baik dalam bentuk, sifat
dan begitu juga langkah-langkah penyelesaiannya. Konflik antara dua kelompok
dan antara berbagai kelompok antagonistis yang demikian itu saling menetralisir
dan sesungguhnya berfungsi mempertahankan sistem sosial (Margaret M Poloma,
2004).
Menurut Liliweri, terdapat beberapa bentuk terjadi konflik sosial. Pertama,
adanya pertentangan alamiah antar individu atau kelompok yang disebabkan
perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Kedua, adanya pertentangan
antara dua pihak atau lebih—individual atau kelompok—yang memiliki sasaran-
sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan atau perbuatan yang tidak
sama. Ketiga, adanya pertentangan atau pertikaian karena perbedaan kebutuhan,
nilai dan motivasi yang terlibat di dalamnya. Keempat, adanya sesuatu proses yang
terjadi ketika satu pihak secara negatif memengaruhi pihak lain, kekerasan fisik
yang mereka lakukan membuat perasaan dan fisik orang lain terganggu. Kelima,
adanya pertentangan yang bersifat fungsional yakni adanya pertentangan yang
mendukung atas tujuan kelompok, namun karena disfungsional dengan
menghilangkan tampilan kelompok. Keenam, adanya proses mendapatkan

34
monopoli ganjaran kekuasaan, pemilikan dengan menyingkirkan atau melemahkan
para pesaing. Ketujuh, adanya suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak
secara antagonis. Kedelapan, adanya kekacauan ransangan yang kontradiktif dalam
arti individu (Suheri Harahap, 2012).
Seperti halnya konflik komunitas di Indonesia, pasca reformasi tahun 1998,
terdapat beberapa konflik antar komunitas, baik agama, ras, suku, adat-istiadat.
Seperti konflik sosial yang muncul akibat kesalahpahaman diberbagai daerah di
Indonesia. Kalau kita ingat konflik tahun 1999 hingga 2002, dengan konstalasi
politik nasional yang begitu menyita perhatian publik karena politik nasional
mengalami reformasi pemerintahan, di daerah juga mengalami gesekan, baik secara
struktural maupun kultural. Konflik yang timbul akibat isu yang berkembang pasca
reformasi, mengingatkan kita pada konflik sosial di Ambon, Poso dan Kalimantan
Barat antara etnis Dayak dengan Madura pada tahun 1999-2003, Tasikmalaya, Jawa
Barat pada tahun 1996 hingga 2001. Konflik di Indonesia pada umumnya selalu
melibatkan dua kelompok yang secara sosiologis berbeda satu dengan yang lainnya.
Bito et al., (2021) Misalnya, di Kalimantan Barat konflik antara etnik Madura,
Melayu dan Dayak. Sedangkan Konflik sosial di Poso dan di Ambon, melibatkan
dua kelompok agama yang berbeda (Antonius Atosökhi Gea, 2010).
Fenomena konflik yang terjadi di Indonesia, menunjukan adanya konflik
secara horizontal antara komunitas social dengan komunitas lainnya. Walaupun
diketahua bersama bahwa timbulnya perselisihan individu lalu berkembang
menjadi konflik komunitas. Konflik muncul karena akibat adanya kesamaan dan
perbedaan identitas, baik dalam keluarga, sosial, politik maupun ekonomi.
Kesamaan latarbelakang secara sosial atau identitas menjadi basis sosial untuk
melakukan mobilisasi. Dengan mobilisasi ini, konflik memiliki karakter secara
kolektif. Seperti penelitian yang dilakukan Yustinus dan Antonius tentang konflik
sosial yang bersifat horizontal antara kelompok yakni antara kelompok masyarakat
Dalong dengan kelompok masyarakat Tanah Dereng (Antonius Atosökhi Gea, 2010).
Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam konflik
komunitas, dengan melihat gejala-gejala yang terjadi dalam konflik horizontal antar
komunitas yang menjadi perhatian dalam beberapa penelitian, tentunya perbedaan
konflik-konflik horizontal sebagaimana yang terjadi selama ini di Indonesia.
Perbedaan itu disebabkan dua aspek yakni karakteristik sosial dari kelompok yang
berkonflik dan sumber daya yang diperebutkan (Antonius Atosökhi Gea, 2010).

B. Jenis-Jenis Konflik dalam Komunitas


1. Konflik Keluarga
Adanya konflik yang beragam dalam rumah tangga, menjadi cikal bakal
terjadi hancurnya sebuah rumah tangga, motif atau penyebabnya diantaranya
adanya sikap cemburu, perselingkuhan, anak, masa lalu—sebut saja mantan—dan

35
lain sebagainya. Membina rumah tangga seperti harapan semua orang yaitu
keluarga yang penuh dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah (Sari & Setiawan,
2021). Harapan untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah adalah suatu
proses. Keluarga sakinah bukan berarti keluarga yang diam tanpa masalah, namun
lebih kepada adanya seni dalam mengelola konflik yang terjadi dalam keluarga.
Meskipun konflik dalam keluarga sulit untuk menghindar, namun dalam
kehidupan sehari-hari tentu saja tidak seorangpun menginginkan konflik terjadi
dalam rumah tangganya. Sebaliknya, dalam hubungan diharapkan keharmonisan
dan rasa tentram (Naufal Hanifa, 2019).
Perlu kiranya dalam rumah tangga untuk mengelola suatu konflik yang
mengancam keharmonisan rumah tangga. Pada kenyataannya memang konflik
dalam rumah tangga selalu ada. Bagaimanapun bentuk konflik tersebut, kecil
ataupun besar pasti ada penyelesaiannya. Apabila konflik dapat diselesaikan secara
sehat maka masing-masing pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran
yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan dan pengendalian emosi dan
egois pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga (Naufal
Hanifa, 2019).
Dalam keluarga harus ada toleransi yang kuat, namun ketika hal tersebut
tidak ada maka toleransi dalam melakukan pekerjaan di rumah bisa menimbulkan
konflik. Maka sebaiknya kedua belah pihak saling membantu untuk meringankan
tugas masing-masing. Misalnya, ketika suami membantu istri memasak, mengasuh
anak, menemani anak, tentu ada perasaan berbeda ketika pekerjaan dilakukan
bersama. Hingga pekerjaan yang terasa berat akan terasa ringan. Nafkah merupakan
kewajiban yang harus diberikan oleh suami atas istrinya—baik jasmani maupun
rohani. Pemberian nafkah yang halal akan mendukung terciptanya keluarga yang
harmonis dan tumbuh berkembang menuju keluarga yang harmonis.
Dalam menjalankan harmoni rumah tangga, pasangan suami istri tentu akan
mengalami persoalan yang hamper sama dengan pasangannya. Pertama, persoalan
anak. Adanya perselisihan dalam keluarga pada awal-awal tahun pernikahannnya,
ujian sebagai orang tua dapat dibagi menjadi, misalnya usia anak pertama tidak jauh
berbeda dengan usianya dengan anak sebelumnya, atau sebaliknya dalam rumah
tangga yang sekian lama dalam pernikahan, namun masih belum dikarunia seorang
anak. Meskipun realitasnya memiliki anak merupakan keinginan dan dambaan
setiap suami istri dalam rumah tangga—terutama keluarga baru menikah. Namun,
apabila salah satu pihak diketahui tidak bisa memberikan keturunan, maka bisa
menjadi sebab atau pemicu terjadinya konflik keluarga. Konflik tentang punya anak
atau tidak punya anak ini menyangkut perjanjian atau persetujuan mengenai tujuan
hubungan itu sendiri (Margaret M Poloma, 2004).
Namun, disisi lain ketika pasangan yang telah dikarunia anak kecil, lalu
dikaruniai anak kembali dengan selisih umur yang tidak jauh maka berakibat pada

36
konflik dalam keluarga. Kehadiran anak sebagai amanah yang dititipkan oleh Tuhan
pada kedua orang tuanya. Sehingga orang tua wajib memelihara, menyayangi dan
berbuat yang terbaik hingga anak siap menerima estafet menjadi penerus dan
harapan bangsa. Perkembangan anak secara fisikologis maupun psikologis, pasti
memiliki dunianya sendiri. Hal itu ditandai dengan banyaknya gerak--aktif, penuh
semangat (agresif), suka bermain pada setiap tempat dan waktu, tidak mudah letih
dan cepat bosan. Keluarga yang dilandasi dengan nilai-nilai tersebut akan menjadi
tempat terbaik bagi anak-anak, sehingga dapat tumbuh dan berkembang optimal
(Naufal Hanifa, 2019).
Kedua, Perasaan kurang dihargai. Percekcokan dalam keluarga yang
diketahui adanya pihak ketiga dalam rumah tangga atau permasalahan lain seperti
adanya ikut campur mertua. Perasaan kurang dihargai bisa muncul ketika seorang
suami atau istri tidak terlalu diindahkan kata-katanya, keinginannya atau hasil
pekerjaannya oleh pasangan. Egoisme individual timbul akibat adanya perasaan
kurang dihargai oleh pasangannya, sehingga hal tersebut menjadi salah satu motif
adanya pihak ketiga dalam rumah tangga. Atau ketika salah satu pasangan—suami
atau istri—ternyata menyeleweng atau selingkuh dengan pasangan lain.
Keberadaan orang ketiga—wanita atau pria—memang akan menjadi sumbu
terjadinya konflik rumah tangga dan menjadi salah satu sebab retaknya perkawinan.
Selain itu, adanya keterlibatan keluarga besar atau kerabat pada permasalahan-
permasalahan yang terjadi, dapat menjadi memicu terjadinya konflik, baik karena
terdorong niat yang baik dan tulus atau niat yang buruk atau jelek. Diketahui
bersama bahwa adanya hubungan antara anggota keluarga ataupun dari kedua
orang tua berpengaruh besar dalam kehidupan rumah tangganya (Naufal Hanifa,
2019).
Ketiga, adanya masalah komunikasi. Seringkali kita menemukan dalam
konflik rumah tangga karena permasalahan kecil yang dibesar-besarkan, misalnya;
tidak setuju atau kurangnya memahami sebuah hobi dari pasangannya. Komunikasi
dianggap sebagai masalah terpenting dalam kebahagiaan keluarga, adanya
kesenjangan komunikasi seringkali memicu timbulnya permasalahan lain yang lebih
kompleks dan perlu disadari bahwa apapun permasalahan dalam keluarga—suami,
isteri dan anak—solusinya adanya komunikasi yang baik. Dalam teori komunikasi
interpersonal, bahwa secara personal seseorang dituntut untuk memiliki sikap
keterbukaan, pemahaman, penerimaan membuka peluang sukses bagi pemecahan
masalah keluarga. Selain itu, secara psikologis seseorang pasti memiliki privasi yang
tidak ingin digangu oleh orang lain, sekalipun dengan pasangannya. Ketika
seseorang sedang ingin menikmati privasi, maka hendaknya pasangannya dapat
memahami atas hobi atau kebiasaan yang tentunya memiliki nilai positif dalam
keluarga, baik berupa hobi sejak kecil, atau kebiasaan lainnya yang bersifat positif.
Misalnya, ketika suami memiliki kebiasaan berkumpul dengan sesama teman

37
dilingkungannya tentu akan merasa jengkel ketika kebiasaanya dipermasalahkan
oleh istri. Atau seorang istri ingin berkumpul dengan keluarganya dalam waktu
tertentu akan merasa kesal ketika keinginannya tidak dituruti oleh suami (Naufal
Hanifa, 2019).

2. Konflik SARA (Suku, Agama, Ras & Antar Golongan)


Konflik SARA yang berkembang akhir-akhir ini timbul atas beberapa faktor
yang dianggap menjadi motif terjadinya konflik antar kelompok atau komunitas—
suku, agama, ras dan antar golongan—dalam masyarakat. Dalam catatan Rahmah
Ida dan L. Dyson bahwa munculnya konflik antar komunitas dipengaruhi oleh
beberapa factor diantaranya; (1) political power stress yang diderita kekuatan-
kekuatan yang selama ini―sebagai akibat dibelenggunya kebebasan masyarakat
oleh kekuasaan Orde Baru (ORBA); (2) Perubahan rezim politik ketatanegaraan
yang memberikan kebebasan kuat kepada setiap orang dan kelompok sosial untuk
mengekspresikan keinginannya secara lebih bebas; (3) social-economic distress yang
diderita banyak orang akibat krisis ekonomi sejak tahun 1997, yang dampaknya
masih sangat terasa hingga saat ini; (4) Timbulnya kesadaran atas kebutuhan dan
penghargaan sosial atas eksistensi kelompok/identitas yang makin menguat di
kalangan komunitas lokal di berbagai kawasan di Indonesia (Rachmah Ida &
Laurentius Dyson, 2015).
Menurut Varshney bahwa kita harus bisa mengambil pelajaran atas konflik
yang terjadi di Indonesia sejak 1990 hingga 2003 yang cenderung pada konflik
horizontal sebagai dampak reformasi pasca rezim Orde Baru lengser tahun 1998.
Menurut Varsney, bahwa angka tertinggi terjadinya konflik agama dan etnik di
Indonesia meningkat tajam sejak tahun 2000, diperkirakan jumlah korban meninggal
sekitar 722 jiwa manusia (Rachmah Ida & Laurentius Dyson, 2015).
Berdasarkan jenisnya, konflik yang terjadi di Indonesia sebagian besar
merupakan konflik yang berlatarbelakang SARA (Suku, Agama, Ras & Antar
Golongan). Seperti konflik sosial berlatar belakang Agama di Ambon (1999-2002), di
Poso (1998-2001) kemudian konflik bermotif suku atau etnis di Sampit (2001) yaitu
antara suku Dayak dan Suku Madura sebagai pendatang serta konflik di Lampung
Selatan (2012) dan di Sampang Madura (2012) yang memiliki motif SARA di
dalamnya (Rachmah Ida & Laurentius Dyson, 2015).
Konflik yang tidak jauh dari tempat tinggal penulis seperti di Sampang Jawa
Timur, dikethui bersama bahwa konflik ini terkait dengan persoalan inter/intra-
religius? Studi yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina (YWP), Magister
Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM) dan The
Asia Foundation (TAF) tahun 2009, menemukan sebanyak 832 insiden konflik
keagamaan yang terjadi di Indonesia dalam rentang periode Januari 1990 hingga
Agustus 2008. Pola persebaran konflik keagamaan di Indonesia yang lebih luas dan

38
besar dampaknya dibandingkan dengan aksi kekerasan. Studi ini menunjukkan
adanya pola persebaran konflik keagamaan tertinggi yakni DKI Jakarta 308, disusul
Jawa Barat 102, Sulawesi Tengah 76 dan urutan keempat Jawa Timur 65 insiden.
Jenis aksi kekerasan secara horizontal antar komunitas yang berlatar belaknga SARA
berupa penyerangan, bentrokan dan kerusuhan/amuk massa. Dari data ini
memperlihatkan bahwa aksi massa merupakan bentuk yang dipandang paling
efektif oleh masyarakat dalam merespons isu-isu konflik keagamaan, termasuk di
Jawa Timur. Berkenaan dengan aksi massa, jenis aksi penyerangan merupakan
insiden kekerasan yang tertinggi, disusul oleh bentrokan dan kerusuhan/amuk
massa (Rachmah Ida & Laurentius Dyson, 2015).
Konflik inter religius Sunni-Syiah yang terjadi di Sampang tahun 2012,
merupakan konflik atas eksistensi kelompok/identitas yang makin menguat di
kalangan komunitas keagamaan tertentu di Sampang. Secara sosio-budaya,
perbedaan identitas dan religius di kalangan kelompok-kelompok sosial yang hidup
bersama di kawasan ini menjelaskan atas terjadinya konflik komunitas (Rachmah
Ida & Laurentius Dyson, 2015).
Dalam studi kasus yang pernah di lakukan di Sampang, bahwa ajaran antara
Sunni-Syiah yang berbeda ini menjadi penyebab perselisihan dan mempengaruhi
tingkah laku yang berbeda pula dalam komunikasi intra-religius. Fokus kajian pada
studi ini, ingin melihat sejauhmana konflik yang terjadi antara pengikut Sunni dan
Syiah di Sampang. Dengan komunikasi intra-religius atas kedua keyakinan yang
berbeda dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat yang selama ini telah hidup
berdampingan di desa-desa yang terlibat konflik (Rachmah Ida & Laurentius Dyson,
2015). Adanya konflik intra religius—Sunni-Syiah—yang terjadi di Sampang
Madura, maka perlu kiranya mengetahui akar permasalahan secara lebih mendalam
atas persepsi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan pada komunitas-
komunitas yang berkonflik yakni Muslim Sunni dan Syiah di Kecamatan Omben
dan Karang Penang, Sampang.
3. Konflik Politik
Dalam pembahasan tentang konflik politik, kita tentu akan mengalami
kesulitan dalam menerjemahkan istilah komunitas politik. Tentu yang sangat lazim
dan lumrah kita pelajari yaitu organisasi politik atau politik aliran. Sedangkan
masyarakat Indonesia dalam menjalankan sistem demokrasi masih tergantung pada
pola politik aliran yang dilatarbelakangi oleh etnisitas (Imam Hidayat, 2012). Kita
dapat belajar secara seksama bahwa sangat tidak menguntungkan dalam pembinaan
persatuan dan kesatuan bangsa yaitu dengan adanya politik aliran. Walaupun
sistem politik ini pernah terjadi pada masa-masa pasca kemerdekaan sampai awal
tahun 1970-an.

39
Konflik politik dalam organisasi atau komunitas politik biasanya berawal
adanya kepentingan yang muncul dari peristiwa politik. Adapun sebab-sebab yang
mendorong terdinya konflik:
a. Latar belakang sosial, budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh
yang sangat kuat.
b. Kesalahpahaman antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.
c. Adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan
mekanisme yang ada dalam organisasi.
d. Merasa tidak puas atas keputusan yang ada dalam kelompok politik,
sikap tidak senang dan frustasi.
e. Adanya sikap egosime atau harga diri yang berlebihan dan berakibat
pada usaha untuk menunjukkan identiasnya.
f. Adanya usaha untuk membuat rekayasa dan permainan yang bersifat
manipulatif (Imam Hidayat, 2012).

4. Konflik Ekonomi
Secara teoritis terlihat bahwa faktor ekonomi menjadi fokus analisis yang
dipakai untuk menjelaskan kemunculan konflik sebagai realitas sosial. Dalam
perspektif teoritis yang dikembangkan oleh Marx yang didasarkan atas sistem
kepemilikan dan kelas untuk menjelaskan tentang adanya perbedaan struktur sosial
atas—borjuis—dan bawah—proletar—yang menimbulkan konflik dengan motif
ekonomi dalam masyarakat. Berdasarkan teori Marx yang kemudian muncul istilah
dikotomi antara kelas borjuis dan kelas proletar. Perbedaan akses—jaringan—
terhadap sumber daya ekonomi, selaras dengan kemampuan menguasai terhadap
sumber daya politik. Penguasaan sumberdaya atau hegemoni atas kekuasaan
ekonomi oleh kelompok kecil—eksklusif—telah menciptakan struktur kekuasaan
atas modal yang disebut sebagai struktur kekuasaan kapitalis, mereka bekerja secara
sistematis dan professional untuk melayani kepentingan kelas status quo (Pheni
Chalid, 2005).
Dalam perspektif ini, bahwa fungsi negara sebagai entitas pengelola
kekuasaan politik hanya sebagai alat dominasi kelas kapitalis yang berfungsi
menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol politik yang menyebabkan sistem
budaya dan pandangan hidup dalam kekuasaan. Secara kritis mengatakan bahwa
negara hanya mewakili dan melestarikan kepentingan pemilik modal dari pada
membela kepentingan rakyat kelas bawah. pada kenyataannya bahwa Konflik dapat
dikelompokkan ke dalam kategori sifat, motif dan bentuk. Berdasarkan sifatnya,
konflik bersifat laten dan manifes. Berdasarkan motifnya, konflik terbagi ke dalam
dua kategori rasional dan emosional (Budiman & Samani, 2021).
Sedangkan berdasarkan bentuknya, konflik dibedakan menjadi vertikal dan
horisontal. Konflik yang selalu melibatkan dua belah pihak yang berlawanan, baik

40
antar pribadi atau antar kelompok atau antar komunitas sosial yang lebih luas.
Adakalanya, konflik melibatkan dua pihak yang memiliki posisi berimbang, atau
terdapat pihak-pihak yang berkonflik berada dalam posisi yang tidak berimbang.
Konflik menjadi laten dan tidak jelas keberadaannya ketika pertentangan diantara
pelaku konflik tidak jelas, namun telah ada dalam diri pelaku konflik, seperti stigma
negatif terhadap kelompok atau komunitas tertentu (Pheni Chalid, 2005).

5. Konflik Budaya
Disisi lain konflik muncul dalam perspektif budaya, hal ini menjelaskan
bahwa konflik dalam masyarakat diakibatkan karena adanya perbedaan budaya.
Dalam catatan sejarah pertentangan manusia bahwa konflik terjadi karena persoalan
latar belakang sosial yang menyebabkan adanya perbedaan budaya yang
melahirkan penilaian stereotipe. Masing-masing kelompok sosial-budaya melihat
adanya budaya yang sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan
otonomi budaya. Perdebatan tentang pendekatan primordial antar komunitas.
Argumentasi banyak kalangan yang menolak bahwa terdapat masalah serius bila
hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek budaya semata. Dalam pandangan
instrumentalis, pemakaian simbol budaya merupakan sarana yang efektif untuk
menjalin ikatan dan menyatukan kepentingan serta bertindak bersama (Pheni
Chalid, 2005).

C. Penyebab dan Dampak Konflik dalam Komunitas


a. Penyebab Konflik dalam Komunitas
1) Kesalahpahaman Antar Anggota Komunitas
Terjadinya kesalahpahaman, baik antar indivu, individu dengan komunitas
maupun antar komunitas. Perbedaan cara pandang dalam menerima informasi
berakibat pada yang lengkap dan jelas tetapi tidak disampaikan tepat waktu juga
dapat menimbulkan konflik. Sedangkan dari sisi penerima informasi/pesan, semua
pesan telah diterima secara komplit/utuh, jelas, tepat waktu, tetapi salah dalam
memahami dan menterjemahkan informasi yang diterima tersebut (Sunarta, 2010).
2) Persaingan Kekuasaan
Soal jabatan dalam komunitas tertentu menjadi konflik yang sering muncul,
baik secara formal, non formal maupun informal. Secara sederhana kita dapat
mengilustrasikan konflik yang rasional adalah pertentangan mengenai perebutan
lahan usaha (Pheni Chalid, 2005). Namun, dalam suatu komunitas biasanya minim
terjadinya konflik komunitas, karena terbentuknya suatu komunitas terdorong oleh
keinginan bersama yang kuat untuk hidup secara kolektif, tanpa mengutamakan
kepentingan pribadi atau keluarga tertentu.
Berdasarkan perspektif utilitirianisme, sikap individu yang selalu
mempertimbangkan aspek kepentingan pribadinya dalam berhubungan dengan

41
sesamanya, hanya karena pertimbangan rasional. Mereka akan melakukan
kerjasama apabila mendatangkan keuntungan (Harianto et al., 2020). Jadi, dapat
dikatakan bahwa kepentingan adalah unsur penting dalam kehidupan sosial. Ada
berbagai macam kepentingan yang memunculkan berbagai macam dorongan
keinginan. Ibarat mata uang, interaksi sosial antara individu atau kelompok, di satu
sisi akan melahirkan kesepakatan yang bersifat fungsional. Di sisi lain, Interaksi
sosial akan menciptakan ketidaksepakatan dan konflik. Satu kelompok akan
membela sekaligus mempertahankan kepentingan kelompoknya. Kondisi ini pada
akhirnya menciptakan konfik yang merupakan bagian dari struktur sosial (Pheni
Chalid, 2005).
3) Wewenang dan Tanggungjawab
Dalam sebuah komunitas pasti memiliki program kegiatan yang tentu akan
memberi tanggungjawab kepada anggota untuk menjalankannya. Posisi dan
tanggungjawab yang diberikan tentunya sesuai dengan kapasitas masing-masing
anggota. Ketika salah seorang anggota tidak menjalankan sesuai dengan wewenang
dan tanggungjawabnya maka berakibat pada yang lainnya. Sumber masalah yang
kecil dan bersifat personal berdampak pada eksistensi komunitas. Namun, masih
ada kewenangan ketua atau apapun namanya dapat mengatasi konflik dalam
komunitasnya, ketika konflik personal dibiarkan maka akan meluas dan
menyebabkan terganggunya pencapaian kinerja organisasi secara umum.

b. Dampak Konflik dalam Komunitas


1) Dampak Positif
Kekuatan dalam komunitas ketika memiliki dinamika dan jalinan yang akrab
antar anggota. Adanya komunikasi yang intensif antar sesama anggota komunitas,
baik yang terlibat konflik maupun yang lain. Konflik antar komunitas dapat
diselesaikan dengan damai dan adil serta akan membawa keharmonisan dan
kebersamaan komunitas. membantu meningkatkan solidaritas in-group
(meningkatkan kohesivitas kelompok) dalam bentuk memperbaiki kepaduan
integritas (Suheri Harahap, 2012).
Pengalaman atas orang yang pernah berkonflik tentu akan memahami
dampak yang diakibatkan, sehingga pengalaman masa lalu dapat dijadikan sebagai
pelajaran berharga dalam berkomunikasi dalam komunitas. Ketika terjadi konflik
serupa, maka satu sama lain antar anggota akan saling berusaha memahami dan
menyesuaikan dengan komunitas yang baru.
Konflik yang muncul akibat ketidak puasan atas diberlakukannya peraturan
tentang hak dan kewajiban anggota dalam komunitas.
Konflik yang timbul tetapi bisa diredam dan dikelola secara baik—
manajemen konflik—maka akan melahirkan ide cemerlang dalam membangun,
cerdas, kreatif, dan inovatif demi kebaikan komunitas, baik jangka pendek maupun

42
jangka panjang. Konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integritas
dalam kelompok (Margaret M Poloma, 2004).
Anggota dalam komunitas yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu
konflik, dapat mengambil hikmah dan bisa belajar bagaimana menghadapi
perbedaan sifat, sikap, dan perilaku orang lain di tempat kerja (Sunarta, 2010).
2) Dampak Negatif
Hubungan komunikasi dalam komunitas mengalami gangguan
(misscommunication).
Shalahuddin et al., (2021) Program kegiatan yang sebelumnya dilakukan
seperti bekerjasama, baik internal maupun antar komunitas akan
terhalang/terhambat.
Secara personal yang mengalami akan senstif dan rentan tersulut adanya
situasi yang memancing kedua belah pihak untuk berkonflik.
Secara sosial akan memiliki dampak atas ketidaknyamanan yang dirasakan
lingkungan komunitas.
Adanya perasaan cemas, stres, apatis, dan fruutasi terhadap situasi yang
sedang dihadapi. Situasi dan kondisi psikologis seseorang tentunya dapat
menyebabkan menurunnya etos kerja yang akhirnya merugikan komunitas
(Sunarta, 2010).

D. Penyelesaian Konflik Berbasis Komunitas


a. Kekuasaan
Konflik antar komunitas/ kelompok dalam masyarakat telah lama menjadi
api dalam sekam, proses penyelesaiannya pun seringkali berdasarkan pendekatan
kekuasaan (powerbased approach), belum berorientasi ke arah community-based
apprroach. Walaupun memiliki kekuatan legal, akan tetapi proses penyelesaian
konflik yang berdasarkan pendekatan kekuasaan masih banyak kekurangannya.
Diantaranya masih menggunakan cara-cara represif dan lebih mengandalkan
kekuatan senjata daripada kekuatan social capital yang ada, prosesnya bersifat top-
down, dan sangat bias kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat
bawah.(Muhammad Zuhdan, 2013)
Menurut Locke, hukum-hukum yang dibentuk oleh negara konstitutional
diyakini akan mampu menciptakan masyarakat yang teratur dan jauh dari konflik
(Muhammad Zuhdan, 2013). Begitu juga Max Weber yang berasumsi sama bahwa
untuk mengatur benturan kepentingan masyarakat perlu sebuah kekuatan fisik legal
formal, yaitu negara birokrasi. Ketika kekuatan negara dan kekerasan yang
digunakan untuk mendukung legitimasi kekuasaan, cara-cara ini dianggap paling
efektif untuk mengatur benturan kepentingan di masyarakat. Ketika resolusi konflik
lewat rasionalisasi orde birokrasi dianggap logis, maka ia menganggap masyarakat
kapitalis Eropa saat itu perlu sebuah institusi yang rasional dan represif, guna

43
mengatur hubungan sosial yang semakin materialis dan kompetitif. (Muhammad
Zuhdan, 2013)
b. Kontrak Sosial
Ketika perhatian kita pada penyelesaian konflik komunitas maka langkah
dalam Peralihan paradigma dari pendekatan kekuasaan menuju komunitas perlu
diterapkan, walaupun mengalami perdebatan secara konseptual. Misalnya, Thomas
Hobbes pernah menegasikan kapasitas masyarakat dalam mengatur dirinya sendiri.
Dalam bukunya Leviathan, Hobbes pernah memiliki gagasan besar tentang
keberadaan masyarakat secara swadaya tidak akan mampu mengatur benturan
kepentingan di masyarakat by itself, sehingga perlu “Leviathan” sebagai kekuatan
pemaksa. Sama halnya dengan pemikiran John Locke yang berasumsi bahwa untuk
menciptakan masyarakat yang relatif jauh dari benturan kepentingan antar individu
atau kelompok, maka perlu adanya sebuah kontrak sosial yang diwujudkan dalam
bentuk negara konstitusional (Muhammad Zuhdan, 2013).
Selanjutnya Ralf Dahrendrof mengatakan bahwa untuk mengantisipasi
konflik perlu adanya pengorganisasian terhadap kelompok-kelompok sosial secara
lebih baik. Model pengorganisasian terhadap kelompok sosial dianggap mampu
membangun mekanisme kontrol sosial yang efektif, sekaligus menghindari
kecenderungan terjadinya konflik dimasa yang akan datang (Margaret M Poloma,
2004). Sementara Jack Rothman mengatakan bahwa untuk meminimalisir konflik
sosial perlu dilakukan beberapa tindakan yang sangat mengandalkan nilai-nilai
kemasyarakatan, diantaranya; Pertama, tindakan persuasif, langkah ini dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa menghadapi realita sosial,
politik, dan ekonomi. Kedua, tindakan normatif, konsep ini ditujukan untuk
membangun persepsi bersama, menghindari prasangka dengan mengutamakan
nilai perdamaian dan menghormati norma atau nilai lokal yang selama ini dipegang
bersama. Ketiga, memberi reward berupa insentif kepada komunitas tertentu atas
keberhasilanya menjaga keamanan dan ketertiban. Modal sosial merupakan elemen
penting dalam mengelola konflik berbasis komunitas, sekaligus menggambarkan
kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial
(Muhammad Zuhdan, 2013).
Secara umumnya kita ketahui terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk
menyelesaikan konflik komunitas. Pertama, Negosiasi. Istilah ini digunakan untuk
menyelesaikan masalah melalui diskusi—musyawarah mufakat—antar kedua belah
pihak yang bersengketa. Secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa
dengan hasil yang diterima oleh pihak tersebut. Kedua, Mediasi. Upaya
penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral—mampu diterima
oleh kedua belah pihak—dalam hal ini tidak memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan, akan tetapi hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa
dalam mencapai kata sepakat dan diterima oleh kedua belah pihak. Ketiga,

44
Pengadilan. Sebagai lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk
mengadili, pengadilan memiliki kewenangan menerima, memeriksa, dan memutus
perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Keempat, Arbitrase. Merupakan cara yang dilakukan dengan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil
keputusan.

Daftar Pustaka

Antonius Atosökhi Gea, Y.S.R., 2010. Konflik Pertanian Antara Komunitas di Desa
Watu Nggelek Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT
Tahun 1996 – Sekarang. Dalam Jurnal Humaniora, Faculty of Cultural Sciences,
Universitas Gadjah Mada, No. 2, Vol. 1, 284–302.

Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk
Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School.
ELEMENTARY: Islamic Teacher Journal, 9(1).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835

Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning:


A New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education,
10(2), 15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15

Harianto, G. P., Rusijono, R., Masitoh, S., & Setyawan, W. H. (2020). Collaborative-
Cooperative Learning Model to Improve Theology Students’characters: Is it
Effective? Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(2). https://doi.org/10.21831/cp.v39i2.31272

Imam Hidayat, 2012. Teori-Teoti Politik, 3rd ed. SETARA Press, Malang.

Kemendikbud, 2016. komunitas. https://www.kemdikbud.go.id

Margaret M Poloma, 2004. Sosiologi Kontemporer, PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Muhammad Zuhdan, 2013. Manajemen Konflik Berbasis Komunitas Studi Kasus


Community Oriented Policing (COP) di Malioboro Yogyakarta. Dalam Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, No. 2, Vol. 17, hal. 130–1443.

Mulyadi, 2002. Konflik Sosial di Tinjau dari Struktur dan Fungsi. Dalam Jurnal
Humaniora, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, No. 3,

45
Vol. 14.

Naufal Hanifa, 2019. Penyelesaian Konflik Keluarga pada Komunitas Pengemis:


Studi di Kota Malang. Dalam Jurnal SAKINA, Journal Family Studies, UIN
Maulana Malik Ibrahim, No.3, Vol.2.

Pheni Chalid, 2005. Otonomi Daerah (Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik),


Pertama. ed. Kemitraan, Jakarta.

Rachmah Ida & Laurentius Dyson, 2015. Konflik Sunni-Syiah dan dampaknya
terhadap komunikasi intra-religius pada komunitas di Sampang-Madura,
Dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Unair, No. 1, Vol. 28, hal.
33–49.

Sari, H. P., & Setiawan, W. H. (2021). Peningkatan Teknologi Pendidik Pesantren


Anak Sholeh melalui MEMRiSE: Coaching & Training. Prima Abdika: Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 1(3), 81–90. http://e-
journal.uniflor.ac.id/index.php/abdika/article/view/1123

Shalahuddin, Y., Rahman, F., & Setyawan, W. H. (2021). Pemodelan Simulasi Untuk
Praktikum Teknik Otomasi Industri Berbasis Matlab/Simulink Di SMKN 1
Kediri. Jurnal Pelayanan Dan Pengabdian Masyarakat (Pamas), 5(1), 15–26.
https://doi.org/https://doi.org/10.52643/pamas.v5i1.1061

Suheri Harahap, 2012. Konflik Agama dan Etnis di Indonesia. Dalam Jurnal Ilmiah
Kajian Sosiologi Agama (JISA), UINSU, No. 2. Vol. 1.

Sunarta, 2010. Konflik Dalam Organisasi (Merugikan Sekaligus Menguntungkan),


Dalam Jurnal Efisiensi, Kajian Ilmu Administrasi, UNY, No. 1, Vol. 10.

Webster, D. N. (1974) ‘The Public Defender, the Sixth Amendment, and the Code of
Professional Responsibility: The Resolution of a Conflict of Interest’, Am. Crim.
L. Rev., 12, p. 739.

46
Biodata Penulis:

Sukron Romadhon
Penulis lahir di kabupaten Pamekasan, 05 Februari 1982.
Penulis merupakan Dosen di Institut Agama Islam Negeri Madura
dalam bidang Ilmu_ilmu Sosial, penulis menyelesaikan gelar
Sarjana dalam bidang Komunikasi Penyiaran Islam di Institut
Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo (2005) sekarang
UNUJA, sedangkan gelar Magister of Sains dalam bidang
Ilmu_Ilmu Sosial di Universitas Airlangga Surabaya (2008).

47
BAB 5
TAHAPAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses pengembangan masyarakat untuk
mencapai keadilan sosial dalam masyarakat. Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai
suatu proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama untuk kepentingan
bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan
sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun
kembali kekuatan dalam komunitas. Pemberdayaan secara makro diartikan sebagai upaya
mengurangi ketidakmerataan dengan memperluas kemampuan manusia (melalui, misalnya,
pendidikan dasar umum dan pemeliharaan kesehatan, bersama dengan perencanaan yang
cukup memadai bagi perlindungan masyarakat) dan memperbaiki distribusi modal-modal
yang nyata (misal lahan dan akses terhadap modal) (Purbantara, 2019).
Tolak ukur keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah bila masyarakat menjadi
lebih sejahtera, lebih mampu secara ekonomi dan memiliki kemampuan menciptakan kultur
serta politis. Pencapaian keberhasilan pemberdayaan masyarakat tak lepas dari intervensi
berbagai pihak dan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut mengadaptasi dari
tahapan pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Adi (2013) meliputi; tahap
pengkajian, tahap pelaksanaan dan pemberdayaan, tahap pengembangan program dan tahap
penyusunan laporan program. Berikut uraian setiap tahap dalam pemberdayaan masyarakat:
A. Tahap Kajian
Tahap kajian dalam pemberdayaan masyarakat didahului dengan persiapan. Persiapan
yang dimaksud adalah kegiatan mengonsolidasikan program pemberdayaan masyarakat yang
akan dilakukan. Persiapan meliputi persiapan petugas dan persiapan lapangan. Pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat memerlukan orang yang berperan sebagai community worker atau
orang yang dapat membantu individu, kelompok, keluarga, organisasi serta masyarakat dalam
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi (Zastrow dalam Purbantara: 2019). Oleh karena
itu, perlu dipersiapkan orang-orang atau petugas yang relevan dengan program pemberdayaan
masyarakat tersebut. Bila petugas telah dipilih atau ditunjuk, selanjutnya sebagai sebuah tim
pelaku perubahan diperlukan penyamaan persepsi antar anggota mengenai pendekatan apa
yang akan dipilih untuk melakukan pengembangan masyarakat. Selain itu, lapangan untuk
kegiatan pemberdayaan masyarakat juga harus dipersiapkan melalui studi kelayakan baik
secara formal maupun informal terhadap daerah yang akan dijadikan sasaran. Petugas harus
memperoleh izin formal dari pihak terkait untuk daerah yang ingin dikembangkan.

48
Selanjutnya, petugas harus menjalin kontak dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat agar
interaksi selanjutnya dengan masyarakat dapat terjalin dengan baik (Rifai et al., 2020).
Kegiatan persiapan menjadi dasar kegiatan selanjutnya yaitu pengkajian. Pengkajian
merupakan proses identifikasi masalah atau kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki
komunitas sasaran. Pada proses ini pelibatan aktif masyarakat sangat perlu untuk menggali
agar permasalahan yang muncul merupakan permasalahan nyata yang mereka hadapi.
Petugas dalam hal ini berperan memfasilitasi warga untuk melakukan analisis situasi dan
menyusun prioritas permasalahan yang mereka sampaikan. Proses pengkajian perlu dilakukan
dengan baik disertai dengan diagnosis permasalah yang cermat dan lugas agar dapat menjadi
dasar yang tepat bagi proses selanjutnya yaitu perencanaan (Budiman & Samani, 2021;
Herry Setyawan et al., 2019).
Perencanaan merupakan suatu proses pelibatan kelompok warga secara partisipatif
untuk memikirkan alternatif solusi permasalahan yang mereka hadapi. Alternatif solusi yang
dihasilkan merupakan program-program kegiatan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya,
petugas membantu masing-masing kelompok warga untuk merumuskan dan menentukan
program atau kegiatan yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Petugas
lapangan dan masyarakat pada tahap ini semestinya sudah dapat menuangkan gagasan tujuan
jangka pendek yang akan dicapai dan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Chabib Sholeh (2014) mengemukakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah
untuk meningkatkan harkat dan martabat hidup manusia yang mencakup perbaikan ekonomi,
mental, fisik, politik, keamanan, kesehatan dan sosial budaya. Tujuan tersebut dapat dicapai
dengan menetapkan sasaran-sasaran antara lain perbaikan kelembagaan, perbaikan
pendapatan, perbaikan lingkungan hidup, perbaikan akses (inovasi, teknologi, permodalan
atau kredit, sarana dan prasarana produksi, peralatan dan mesin, serta energi listrik yang
sangat diperlukan dalam proses produksi), perbaikan tindakan, perbaikan usaha produktif dan
perbaikan-perbaikan bidang lainnya.
Pengkajian dan perencanaan erat kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan yaitu
pemandirian masyarakat. Dalam proses mendampingi masyarakat dalam membuat analisis
masalah yang dihadapi, masyarakat dibantu untuk menemukan alternatif solusi dan
menyusun strategi untuk memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimiliki. Beberapa
strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan diterapkan dalam pemberdayaan
masyarakat diantaranya; menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling), memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat

49
(empowering) dan perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
dalam konsep pemberdayaan masyarakat (Noor: 2011).
B. Tahap Pelaksanaan dan Pemberdayaan
Tahap pelaksanaan dan pemberdayaan merupakan tahap yang sangat penting dalam
proses pemberdayaan masyarakat, karena realisasi perencanaan dapat melenceng dalam
pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerjasama antara pelaku perubahan dan warga
masyarakat, maupun kerjasama antarwarga.
Menurut Anwas (2014: 58-60), dalam kegiatan pemberdayaan khususnya yang
ditujukan kepada masyarkat, aparat/agen pemberdayaan perlu memegang beberapa prinsip
dalam pemberdayaan masyarakat, yang menjadi acuan dalam pelaksanaan sehingga kegiatan
dapat berjalan dengan benar dan tepat, sesuai dengan hakikat dan konsep pemberdayaan.
Beberapa prinsip pemberdayaan masyarakat yang dimaksud meliputi:
1. Pemberdayaan dilaksanakan dengan penuh demokratis, penuh keikhlasan, tidak ada
unsur paksaan, karena setiap masyarakat mempunyai masalah, kebutuhan, dan potensi
yang berbeda, sehingga mereka mempunyai hak yang sama untuk diberdayakan
2. Setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat sebaiknya berdasarkan pada kebutuhan,
masalah, dan potensi yang dimiliki kelompok sasaran. Hal ini dapat diketahui dengan
jelas jika proses identifikasi dan sosialisasi pada tahap awal berlangsung dengan
melibatkan penuh kelompok sasaran.
3. Sasaran utama pemberdayaan adalah masyarakat, sehingga harus diposisikan sebagai
subjek/pelaku dalam kegiatan pemberdayaan, dan menjadi dasar utama dalam
menetapkan tujuan, pendekatan, dan bentuk-bentuk kegiatan pemberdayaan.
4. Menumbuhkan kembali nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, seperti jiwa gotong
royong, yang muda menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua
menyayangi yang lebih muda, karena hal ini menjadi modal sosial dalam
pembangunan.
5. Dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, karena merupakan sebuah
proses yang membutuhkan waktu, dilakukan secara logis dan sederhana menuju ke
hal yang lebih kompleks.
6. Memperhatikan keragaman karakter, budaya dan kebiasaan kebiasaan masyarakat
yang sudah mengakar atau berlangsung lama secara turun temurun
7. Memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama aspek sosial dan
ekonomi
8. Tidak ada unsur diskriminasi, utamanya terhadap perempuan
50
9. Selalu menerapkan proses pengambilan keputusan secara partisipatif, seperti
penetapan waktu, materi, metode kegiatan dan lain-lain
10. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk, baik yang bersifat fisik
(materi, tenaga, bahan) maupun non fisik (saran, waktu, dukungan)
11. Aparat/agen pemberdayaan bertindak sebagai Fasilitator yang harus memiliki
kemampuan/kompetensi sesuai dengan potensi, kebutuhan, masalah yang dihadapi
masyarakat. Mau bekerjasama dengan semua pihak/institusi maupun lembaga
masyarakat /LSM yang terkait.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat memerlukan strategi agar program yang
direncanakan dapat dicapai dengan sukses. Strategi pemberdayaan masyarakat pada dasarnya
mempunyai tiga arah, yaitu:
1. Pemihakan dan pemberdayaan masyarakat
2. Pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan
yang mengembangkan peran serta masyarakat
3. Modernisasi melalui penajam arah perubahan struktur sosial ekonomi (termasuk
kesehatan), budaya dan politik yang bersumber pada partisipasi masyarakat
(Mardikanto dan Poerwoko dalam Hamid: 2019)
Dengan demikian pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan dengan strategi
sebagai berikut:
1. Menyusun instrumen pengumpulan data. Dalam kegiatan ini informasi yang
diperlukan dapat berupa hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
referensi yang ada, dan dari hasil temuan pengamatan lapangan;
2. Membangun pemahaman dan komitmen untuk mendorong kemandirian individu,
keluarga dan masyarakat
3. Mempersiapkan sistem informasi, mengembangkan sistem analisis, intervensi,
monitoring dan evaluasi pembedayaan individu, keluarga dan masyarakat
(Mardikanto dan Poerwoko dalam Hamid: 2019).
Tahap pelaksanaan dan pemberdayaan diupayakan sedekat mungkin dengan apa yang
direncanakan. Oleh karena itu, setiap kegiatan dalam program direncanakan sedemikian rupa
sehingga jelas, mudah dipahami, realistis, dan spesifik, sehingga dapat diukur pencapainnya.

C. Tahap Pengembangan Program


Pengembangan Program Pemberdayaan Masyarakat dapat dilaksanakan melalui
proses evaluasi. Evaluasi merupakan proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap
51
program yang sedang berjalan. Proses evaluasi ini sebaiknya melibatkan warga untuk
melakukan pengawasan secara internal agar dalam jangka panjang diharapkan dapat
terbentuk suatu sistem dalam masyarakat yang lebih mandiri dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada. Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan umpan balik
bagi perbaikan kegiatan.
Masyarakat dilibatkan untuk menilai hasil pembangunan yang telah dilaksanakan,
apakah memberikan hasil guna (manfaat bagi masyarakat) ataukah justru masyarakat
dirugikan dengan proses yang telah dilaksanakan, merupakan inti dari proses evaluasi (Alfitr
dalam Hamid: 2018);
1. Mitigasi, yaitu kelompok masyarakat dapat terlibat dalam mengukur sekaligus
mengurangi dampak negatif pembangunan;
2. Monitoring, tahap yang dilakukan agar proses pembangunan yang dilaksanakan dapat
berkelanjutan. Dalam tahap ini, dimungkinkan juga adanya penyesuaian berkaitan
dengan situasi dan informasi yang terakhir dalam kegiatan pembangunan yang telah
dilaksanakan.
D. Tahap Penyusunan Laporan Program
Laporan program disusun sebagai bentuk akuntabilitas pelaksana program
pemberdayaan masyarakat atas program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan.
Laporan yang disampaikan terkait dengan aspek input, proses, maupun output kegiatan
(Fauzy; 2021). Penyusunan Laporan Program perlu mengacu pada kriteria tertentu untuk
menjamin kualitas pelaporan program. Kriteria yang dimaksud dapat berupa kriteria
administratif dan kriteria substantif. Secara spresifik, kiteria administratif penyusunan
Laporan Poragram dapat berupa berikut:
1. Tipe huruf menggunakan Times New Roman ukuran 12.
2. Teks menggunakan jarak baris 1,15 spasi dan perataan teks menggunakan rata kiri
dan kanan.
3. Layout menggunakan ukuran kertas A-4, satu kolom, margin kiri 4 cm, margin kanan,
atas, dan bawah masing-masing 3 cm.
Sedangkan Kriteria Substantif penyusunan Laporan Program dapat terdiri dari daftar
isi berikut:
Halaman Judul
Halaman Judul memuat Judul Pelaksanaan Program, Judul Pemberdayaan
Masyarakat, Nama Tim, Tahun Pelaksanaan
Halaman Pengesahan
52
Laporan yang baik adalah laporan yang telah mendapat pengesahan dari pihak yang
memiliki otoritas terhadap laporan tersebut. Halaman Pengesahan dapat terdiri dari
Judul Program, Identitas Ketua dan Anggota, Biaya Kegiatan dan Jangka Waktu
Pelaksanaan Kegiatan, dan diotorisasi dengan Tanda Tangan Ketua Pelaksana dan
Pihak yang menyetujui Program Tersebut.
Kata Pengantar
Kata pengantar berisi kata pendahuluan atau pandangan umum secara singkat dan
jelas sebagai pembuka laporan program. Kata pengantar biasanya mengungkapkan
rasa syukur atau terima kasih dari penulis kepada pihak yang telah membantunya
menyelesaikan laporan program.
Ringkasan
Ringkasan berisi uraian singkat program pemberdayaan masyarakat yang telah
dilaksanakan.
Daftar Isi
Daftar Isi merupakan bagian penting bagian penting dalam laporan ini yang berfungsi
sebagai panduan bagi pembaca isi dari laporan dan letak halaman sesuai dengan isi.
Bab 1. Pendahuluan
Pendahuluan meliputi latar belakang yang menggambarkan realitas masalah mitra dan
alternatfi solusi masalah, rumusan, tujuan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat
serta manfaat dan potensi pengembangannya. Pendahuluan hendaknya merujuk pada
berbagai sumber pustaka, pandangan singkat dari para penulis/peneliti lain yang
pernah melakukan pembahasan topik terkait untuk menerangkan kemutakhiran dan
kreativitas substansi pekerjaan.
Bab 2. Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
Bagian ini menguraikan secara umum profil masyarakat mitra terutama kondisi dan
potensi wilayah dari aspek fisik, sosial, ekonomi maupun lingkungan yang relevan
dengan kegiatan yang akan dilakukan. Berisi juga hubungan antara masalah yang
dihadapi dengan ruang lingkup yang telah ditetapkan, identifikasi masalah dan
alternatif pemecahan masalah.
Bab 3. Metode Pelaksanaan
(Metode berisi tentang cara penyelesaian permasalahan mitra, program yang
dilakukan dan dievaluasi dengan menggunakan teknik survei/observasi/pengukuran,
termasuk waktu, durasi pelaksanaan program, dan tempat. Selain itu metode juga
menjelaskan bahan dan alat yang digunakan, teknik untuk memperoleh
53
data/informasi, serta pengolahan data dan analisis yang dilakukan. Acuan (referensi)
pada metode harus dimunculkan jika metode yang ditawarkan kurang dikenal atau
unik (Setyawan & Nawangsari, 2021).
Bab 4. Hasil yang Dicapai dan Potensi Keberlanjutan
(Bagian ini menjelaskan berbagai hal terkait hasil yang dicapai, kinerja program,
kemanfaatan program secara ekonomi, sosial, seni budaya dan ketahanan. Penjelasan
dapat disajikan dalam bentuk tabel dan atau gambar. Penulis diharapkan dapat
memberikan interpretasi dan memunculkan ketajaman analisis hasil yang diperoleh
serta upaya keberlanjutan program).
Bab 5. Penutup
Kesimpulan dan Saran. Secara umum kesimpulan menunjukkan jawaban atas
permasalhan dan tujuan yang telah dikemukakan dalam pendahuluan.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka berisi informasi tentang sumber pustaka yang dirujuk dalam laporan
program. Setiap pustaka yang dirujuk dalam naskah harus muncul dalam daftar
pustaka, begitu juga sebaliknya setiap pustaka yang ditulis dalam daftar pustaka harus
pernah dirujuk dalam naskah. Format penulisan rujukan pustaka mengikuti Harvard
style dimana nama belakang penulis dan tahun diurutkan berdasar abjad
Lampiran
1. Penggunaan dana
2. Bukti-bukti pendukung kegiatan
Sebaiknya, selain menyusun laporan, pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
juga dipublikasikan. Publikasi yang dimaksud berupa artikel yang kemudian diterbitkan pada
jurnal nasional atau jurnal bereputasi. Selain itu juga dapat dibagikan dalam seminar-seminar
nasional atau internasional dan melalui media cetak dan atau elektronik. Dengan demikian
program pemberdayaan tersebut dapat menjadi rujukan, referensi dan inspirasi bagi
masyarakat luas terlebih bagi keberlanjuta pembangunan.

Daftar Pustaka
Adi, I. R. 2013. Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya
Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press.

Anwas, M. Oos, 2014. Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global. Alfabeta. Bandung.

Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning:


A New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education,

54
10(2), 15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15

Fauzy, Akhmad. 2021. Buku Pedoman 1 Program Kreativitas Mahasiswa Pedoman


Umum Kemdikbud – Direktorat Belmawa.
https://simbelmawa.kemdikbud.go.id/portal/wp-content/uploads/2021/02/Pedoman-PKM-
2021.pdf [Diakses tanggal 24 Januari 2022]

Hamid, Hendrawati. 2018. Manajemen Pemberdayaan Masyarakat. Makasar : De La


Macca
http://eprints.ipdn.ac.id/5504/1/Buku%20Manajemen%20Pemberdayaan%20Masyarakat%20PD
F.pdf [Diakses tanggal 20 Januari 2022]

Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf

Noor, Munawar . 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume I,


No 2, Juli 2011. http://journal.upgris.ac.id/index.php/civis/article/viewFile/591/541 [Diakses
Tanggal 12 Januari 2022]

Purbantara, Arif. 2019. Modul KKN Tematik Desa Membangun Pemberdayaan


Masyarakat Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal
dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723

Setyawan, W. H., & Nawangsari, T. (2021). Pengaruh E-Module Speaking Berbasis


Website Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara. Aksara: Jurnal Ilmu
Pendidikan Nonformal, 7(2), 339–346.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.37905/aksara.7.2.339-346.2021

Sholeh, Chabib. 2014. Dialektika Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.


Bandung : Fokus Media

55
Biodata Penulis

Anna Marganingsih. Penulis adalah Dosen Pendidikan Ekonomi pada


Program Studi Pendidikan Ekonomi di STKIP Persada Khatulistiwa
Sintang, Kalimantan Barat sejak tahun 2007. Penulis juga menjadi
Tutor pada Program Studi Manajemen Universitas Terbuka sejak tahun
2018. Penulis menyelesaikan studi Sarjana Strata-1 bidang Akuntansi di
Universitas Sanata Dharma dan Magister bidang Pendidikan Ekonomi
di Universitas Tanjungpura Pontianak.
Selama ini Penulis telah mengikuti sejumlah pelatihan: Penulisan Buku Ajar,
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi berbasis KKNI, Pelatihan Teknik Instruksional
(PEKERTI), Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi, Kurikulum Merdeka Belajar Kampus
Merdeka.
Penulis mengampu sejumlah mata kuliah pada Program Studi Pendidikan Ekonomi
seperti; Kewirausahaan, Pengantar Akuntansi, Kewirausahaan Sosial, dan Matematika
Ekonomi. Selain itu Penulis juga merupakan Tim Ahli AMDAL Bidang Ekonomi dan Sosial
di Kabupaten Sintang dan Bendahara Umum Dewan UKM Kabupaten Sintang.

56
BAB 6
STRATEGI DAN PENDEKATAN
DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Pengertian Strategi Dan Pendekatan


1. Pengertian Strategi
Suatu keberhasilan berkaitan dengan penggunaan strategi. Karena keberhasilan
sebuah manajemen akan tergantung kepada strategi apa yang digunakan. Strategi
berasal dari kata “stratos” dan “agein”. Dalam bahasa Yunani kuno stratos bermakna
tentara. Sedangkan kata”agein” memiliki makna pemimpin. Sehingga apa yang
dimaksud dengan strategi yaitu adalah memimpin tentara. Lalu ada istilah strategos
yang artinya adalah memimpin tentara tingkat atas. Jadi strategi adalah konsep militer
yang bisa diartikan sebagai seni berperang para jenderal atau suatu rancangan yang
terbaik untuk memenangkan peperangan (Suprapto, 2019).

Menurut Karl von Clausewitz (1780-1831) sebagaimana dikutip oleh Cangara


strategi dirumuskan sebagai suatu seni menggunakan sarana pertempuran untuk
mencapai tujuan perang. ada ungkapan “to win the war, not to win the battle” Yang
dipahami dalam bahasa Indonesia” memenangkan perang, bukan memenangkan
pertempuran” (Cangara, 2017). Jadi pentingnya satu strategi adalah memenangkan
perang, sedangkan aktif adalah untuk memenangkan pertempuran. Anderson (1968)
merumuskan strategi sebagai suatu seni yang melibatkan kemampuan inteligensi
untuk membawa semua sumber daya yang ada dalam mencapai tujuan dengan
memperoleh keuntungan yang besar dan efisien (Suprapto, 2019).

Sumber daya strategi pemberdayaan tidaklah sekedar mendapatkan hasil


melainkan juga ga ga melalui prosesnya dalam tingkat MPASI yang tinggi yang yang
berdasarkan kebutuhan dan potensi masyarakat untuk mencapai tujuan tim
pemberdayaan dapat mengeksplorasi potensi, problem dan kebutuhan masyarakat.
karena banyaknya potensi dan kebutuhan dalam satu komunitas maka tim
pemberdayaan bisa merumuskan skala prioritas yang yang dianggap sangat mendesak
untuk dikembangkan. dalam menyusun perencanaan pemberdayaan maka secara
bersama-sama dirumuskanlah seperti tujuan, materi, metode alat dan evaluasi si yang

57
yang mengacu kepada kebutuhan. apa yang harus dibicarakan bersama adalah
memecahkan problem yang sedang dihadapi (Margolang, 2018).

Pelibatan anggota masyarakat merupakan dalam tahap perencanaan hal ini


merupakan salah satu metode untuk mendorong mereka secara aktif terlibat dalam
jam-jam berdayaan. dalam keterlibatan tersebut mengandung ikatan emosional dalam
menyukseskan agenda pemberdayaan (Askar, 2019). dalam kegiatan sehari-hari
strategi sering dimaknai sebagai bagai tindakan tertentu atau langkah-langkah ah
Yang yang dilakukan demi tercapainya sebuah tujuan atau manfaat yang dikehendaki,
oleh karena itu itu pemahaman strategi sering merujuk pada metode, teknik atau taktik
(Shalahuddin et al., 2021).
Secara teori, strategi sering dimaknai dengan beragam pendekatan seperti
(Suprapto, 2019:122-123):

a. Strategi Sebagai Suatu Rencana


Dalam suatu rencana, strategi diposisikan sebagai pedoman atau au Kompas yang
dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan untuk tercapainya tujuan atau goals yang telah
ditetapkan. untuk itu dalam rumusan strategi perlu memperhatikan unsur kekuatan
kelemahan internal, peluang dan ancaman eksternal yang yang diterapkan oleh
kompetitor.

b. Strategi Sebagai Kegiatan


Dalam suatu kegiatan, strategi adalah wujud dari upaya-upaya setiap individu,
organisasi atau perusahaan untuk mengalahkan kompetitor demi terwujudnya tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya.

c. strategi sebagai suatu instrumen


Strategi sebagai suatu instrumen adalah alat yang dipakai oleh para pimpinan,
organisasi/ perusahaan khususnya bagi seorang manajer utama sebagai pedoman
sekaligus sebagai pilot pelaksanaan kegiatan

d. Strategi Sebagai Suatu Sistem


Sebagai suatu sistem, memiliki makna bencana yang terbaru dan dan tindakan-
tindakan yang yang menyeluruh yang difokuskan untuk menyelesaikan tantangan-
tantangan agar mencapai tujuan.

e. Strategi Sebagai Pola Pikir

58
Strategi sebagai pola pikir diartikan sebagai suatu tindakan yang didasari oleh
pemahaman yang luas tentang kondisi pangan dan internal dalam rentang waktu yang
panjang serta keahlian dalam pengambilan keputusan untuk memilih solusi terbaik
yang yang bisa dilakukan kan dengan memaksimalkan potensi untuk memanfaatkan
peluang yang tersedia yang secara simultan menutupi kelemahan guna menekan
ancaman-ancaman.
Dari berbagai macam pengertian tentang strategi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa potensi merupakan suatu proses sekaligus alat yang penting yang
berkaitan dengan pengendalian dan pelaksanaan kegiatan yang diterapkan untuk
memenangkan persaingan demi tercapainya tujuan. jadi di dalam istilah lain bahwa
fungsi strategi merupakan jembatan antara perencanaan dengan tujuan yang yang
hendak dicapai. oleh karena itu, perencanaan program membutuhkan strategi untuk
mencapai tujuan (Sari & Setiawan, 2021).
Dalam kaitannya dengan program pemberdayaan masyarakat agar mencapai
tujuan dirumuskan sebuah strategi sebagai berikut (Mardikanto and Soebiato, 2017):

1. Menyusun alat pengumpulan data. dalam program ini data yang dibutuhkan kan
bisa berupa Apa hasil reset yang telah dilakukan terdahulu, referensi yang tersedia,
hasil-hasil temuan atau observasi.
2. Menyamakan persepsi, dan komitmen untuk mendukung independensi individu,
keluarga dan masyarakat.
3. Merancang sistem informasi, mengembangkan sistem analisis, monitoring dan
evaluasi pemberdayaan individu, keluarga dan masyarakat.

Secara keseluruhan strategi yang diterapkan dalam program dapat juga disebut
sebagai ide besar (the big idea) sebagai pendekatan yang yang dirumuskan dalam
kondisi tertentu dari posisi saat ini yang disusun berlandaskan analisis masalah dan
tujuan yang yang ditetapkan. Strategi ini kongkritnya dituangkan dalam bentuk
taktik.
Taktik dilandasi oleh tujuan dan sasaran yang akan dibidik dalam agenda
pemberdayaan sehingga peran kreativitas dan inovatif sangat dibutuhkan dalam
membidik tujuan dan sasaran. tetapi penentuan taktik bukanlah hal yang yang
demikian rumit (Harianto et al., 2020).

B. Karakteristik Strategi Dan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat

59
Menurut Prof. Dr. Maskoeri Bakri, karakteristik pendekatan pemberdayaan
masyarakat adalah berkelanjutan, demokratis, pemberdayaan dan partisipasi yang
merata (Bakri, 2017:33). Sedangkan menurut soedijanto (2001) yang dikutip oleh
Prof. Dr. Ir. Totok Mardikanto, M.S. menambahkan karakteristik ; kesukarelaan,
otonom, keswadayaan, egaliter, demokrasi, keterbukaan kebersamaan, akuntabilitas,
dan desentralisasi. Untuk lebih jelasnya akan diurai sebagai berikut (Mardikanto and
Soebiato, 2019:108-109):

Partisipatif adalah keterlibatan semua pihak terkait mulai dari pengambilan


keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pemanfaatan hasil
kegiatan yang distribusinya dilakukan secara merata. Dengan begitu memungkinkan
pengembangan potensi, aset dan kekuatan yang dimiliki masyarakat bisa dilakukan
secara maksimal, bahkan melalui keterlibatan ini masyarakat bisa memberikan
feedback dalam pengembangan program atau kurikulum perguruan tinggi dan
stakeholder lainnya (Ansori et al., 2021:14).

Kesukarelaan artinya motivasi dalam keterlibatan seseorang berdasarkan


kesukarelaan dan tidak adanya pemaksaan. Hal ini harus dilandasi oleh kemauannya
sendiri untuk memperbaiki dan menemukan pemecahan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.

Otonom artinya menghindar dari ketergantungan yang dipunyai oleh setiap


perorangan, kelompok dan institusi. Masyarakat memiliki hak dan kekuasaan untuk
menentukan arah kebijakannya sendiri. Program yang bersumber dari stakeholder
hanya bersifat masukan atau usulan saja. Tidak harus diterapkan. Walaupun suatu
program kesannya menguntungkan bagi masyarakat, keputusan akhir tetap di tangan
masyarakat itu sendiri (Mahmudi et al., 2007:221-234).

Keswadayaan adalah keberanian masyarakat untuk melaksanakan kegiatan


dengan tanggung jawab penuh tanpa mengharap sokongan pihak luar. Ketika
masyarakat mampu melaksanakan program dengan kemampuannya sendiri berarti
masyarakat tersebut telah memiliki swadaya. Swadaya daya meningkatkan
kepercayaan diri dan memberikan efek berani dalam menanggung semua resiko.
Dalam setiap kegiatan pasti mengandung resiko. Resiko harus dihadapi dengan
realistis sebagai bagian tidak terpisahkan dari kesuksesan (Mardikanto and Soebiato,
2017).

60
Egaliter, para pemangku kebijakan (stakeholder) berkedudukan sejajar dan
setara sehingga tidak ada posisi yang ditinggikan atau merasa direndahkan. Egaliter
berarti kesetaraan kedudukan antara masyarakat dengan pihak lain seperti program
pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan, BUMN dan sebagainya. Dengan demikian
nilai tawar (bargaining position) masyarakat berimbang dan tidak ada yang
direndahkan.

Demokrasi, diberikan kebebasan berpendapat dan kesamaan hak untuk


menyampaikan pendapatnya dan saling menghargai berbagai perbedaan dan pendapat
diantara stakeholder. Termasuk membangun suasana yang nyaman untuk
menyampaikan kebebasan berpendapat adalah bagian dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi akan terbangun dengan baik jika semua elemen bersinergi untuk sama-
sama menyampaikan pendapat dan berani menghadapi perbedaan. Perbedaan
pendapat harus mendapatkan posisi yang sama dengan kesamaan usulan atau
pendapat yang lain. Dan orang yang berbeda pendapat harus dilindungi bersama oleh
masyarakat juga (Indrajit et al., 2014:43-44).

Keterbukaan, harus dilandasi dengan kejujuran, saling percaya dan saling


peduli. Keterbukan akan mempererat rasa persahabatan antar masyarakat dan
stakeholder. Sebaliknya, basa-basi akan mendorong hangusrnya pertemanan. Selama
keterbukaan terjaga, maka program pendek, menengah dan jangka panjang terus
meningkat dan berkemajuan. Ada yang mengatakan, bahwa jangan khawatir dengan
semua kekurangan selama ada keterbukaan dalam kepemimpinan. Keterbukaan
menempati posisi strategis dalam pemberdayaan masyarakat, karena di dalamnya
mengandung sikap amanah, saling mempercayai dan saling peduli sesama (Sunyoto,
1998).

Kebersamaan, untuk membangun sinergitas perlu adanya saling berbagi rasa


dan saling membantu sehingga terbentuklah kebersamaan (Bito et al., 2021).

Akuntabilitas artinya kegiatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara


terbuka dan dan bisa diawasi oleh siapapun.

Desentralisasi yaitu memberikan kewenangan pada setiap daerah atau


komunitas untuk mengoptimalkan sumber daya sebesar-besarnya bagi kemakmuran
masyarakat dan keberlanjutannya (Soetomo, 2011:72).

61
C. Ragam Pendekatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat

Ada beberapa ragam pendekatan pemberdayaan masyarakat yang dikenal


selama ini dan penulis akan menjelaskan hanya 4 macam pendekatan yang utama saja,
yaitu : Participatory Action Research (PAR), Asset Based Community Development
(ABCD), Service Learning (SL), dan Community Based Participatory Research
(CBPR) (Ansori et al., 2021:102-194).

1. Participatory Action Research (PAR)


Paradigma
Participatory Action Research (PAR) merupakan jenis kemitraan dalam
pemberdayaan masyarakat secara partisipatif melalui sistem kolaborasi yang
mencakup penelitian pendidikan dan tindakan yang berorientasi kepada transformasi
sosial . Pendekatan PAR mengakui keberagaman pengetahuan di lembaga formal,
individu, lokasi atau komunitas, bahkan orang-orang yang dipinggirkan dan ditindas
diyakini dapat mengungkapkan secara bijak data-data yang valid tentang sejarah,
struktur sosial dan akibat-akibat yang muncul dari perubahan yang terjadi. Jadi
produksi pengetahuan dalam pendekatan PAR bertolak belakang dengan tradisi
keilmuan yang ada di dalam lembaga-lembaga formal akademik yang berdasarkan
realitas objektif sehingga segala sesuatunya dapat diukur, dianalisis dan diprediksi
hanya oleh personal yang berkualifikasi tertentu secara akademik. Pendekatan PAR
merupakan kontra hegemonik dalam melahirkan pengetahuan (Ansori et al.,
2021:102-103).

Pendekatan PAR lahir dan berkembang diinspirasi oleh pemikiran tokoh-tokoh


dunia seperti Karl Marx, Jurgen Habermas, Antonio Gramsci, Paulo Freire. Melalui
pemikiran Marx bahwa masyarakat lokal perlu dilibatkan dalam refleksi kritis
terhadap hegemoni struktural dari dominasi kelas sosial tertentu untuk melakukan
perlawanan terhadap perlakukan yang terjadi. Para praktisi PAR juga dipengaruhi
oleh teori partisipasi Antonio Gramsci yang memperjuangkan kelas. Menurut
Gramsci, unjuk diri secara pribadi maupun kolektif bisa membendung distribusi
kekuasaan yang tidak merata dalam komunitas masyarakat. Konsepsi ini menjadi
katalisator bagi para praktisi PAR atas perubahan sosial tersebut. Begitu pula dengan
teori kritisnya Gramsci dapat menggerakkan para pemerhati PAR dalam

62
menggerakkan sektor sosial, politik, budaya dan ekonomi dalam konteks
kehidupannya sehari-hari. Di samping hal tersebut para pemerhati PAR terinspirasi
oleh pendapat Jurgen Habermas dalam melahirkan pengetahuan masyarakat. Pendapat
Hubermas tersebut dapat menguatkan pengertian bahwa terjadi banyak kepentingan
dalam membentuk pengetahuan masyarakat. Sehingga bisa dipahami bahwa klaim
pengetahuan tercipta tidak berdasarkan kepentingan dominan melainkan banyak
kepentingan. Pengaruh yang lain juga pemikiran Paulo Freire tentang teori kesadaran.
Bagi Freire, kesadaran kritis merupakan tonggak utama dalam perubahan personal dan
sosial dan menjadi modal yang strategis bagi unifikasi teori dan praktik dalam dunia
demokratis. Dari sinilah kemudian lahir model pendidikan orang dewasa (Pedagogi)
dan orang-orang tertindas, serta orang-orang yang lemah dan belum mendapatkan
kesempatan menempuh pendidikan yang memadai (Ansori et al., 2021:103).

Sejarah Dan Perkembangan PAR

Dalam sejarah PAR, Kurt Lewin dianggap sebagai pencetus awal istilah
action research yang dikembangkan pada tahun 1940-an. Lewin berkeyakinan bahwa
dalam dinamika kelompok, orang-orang yang dapat memahami kenyataan
kehidupannya sendiri sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan memperbaiki
kondisinya. Lewin menyadari bahwa satu-satunya cara untuk maju dalam ilmu sosial
adalah menggunakan tindakan yang dilakukan kan bersama kelompok sosial alami di
lingkungan nyata masyarakat proses ini akan dipengaruhi oleh ragam perilaku
individu dan sosial mulai dari faktor psikologis, fisiologis, budaya dan sebagainya.
Faktor-faktor tersebut oleh disebut sebagai laboratorium kecil buatan masyarakat
(Ansori et al., 2021:113-114).

Sementara di Brazil pada tahun 1970-an seorang tokoh pendidik emansipatoris


yang bernama Paulo Reina mengembangkan penelitian berbasis partisipasi
masyarakat dalam kita pengetahuan dan perubahan sosial. Freire sangat tertarik
dalam mengembangkan kesadaran kritis kelompok miskin dan terpinggirkan untuk
meningkatkan kesadaran mereka terhadap kekuatan-kekuatan yang yang
membelenggu kehidupannya kemudian melalui kesadaran kritis tersebut akan
meningkat menjadi katalisator bagi terwujudnya reaksi “politik” mereka terhadap
ketidakadilan (Ansori et al., 2021:113-114).

63
Gerakan feminisme yang terjadi pada tahun 1980-an melengkapi
perkembangan PAR dalam perspektif yang telah berevolusi yaitu penolakan pada
teori, penelitian dan etika yang yang merendahkan kontribusi wanita dalam penelitian
ilmu sosial. Aktivis feminisme memberikan rencana kerja yang jelas bagi program-
program PAR dalam mengedepankan wanita sebagai aktor perubahan sosial
(Mahmudi et al., 2007).

Beberapa aktivis membedakan antara participatory research dengan


action research. Participatory research berfokus pada pembelajaran untuk
meningkatkan “suara” sebagai warga negara dan menaikkan kekuatan dalam banyak
konteks. Sedangkan action research menitikberatkan pada interaksi sosial atau bentuk
lain dari perubahan sosial.

Pada awal tahun 1970-an pendekatan PAR banyak berkembang di Afrika,


India, dan Amerika Latin. Di India, pendekatan PAR menjadi praktik epistemologi
baru yang merepresentasikan perjuangan rakyat dan pengetahuan lokal seperti yang
dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Di Tanzania, ada tokoh yang bernama Marja Liisa
Schwantz, dikenal sebagai orang pertama kali menggunakan istilah participatory
research dalam upaya mengintegrasikan pengetahuan dan keahlian masyarakat pada
proyek-proyek pembangunan yang dilasanakan oleh masyarakat lokal. Sedangkan di
India, dikembangkan oleh Rajesh Tandon dengan pendekatan serupa apa dengan
nama Community Based Research (Ansori et al., 2021). Di Kolombia, adalah
Orlando Fals-Border dan lainnya yang menyelesaikan beberapa proyek dengan
sebutan participatory action research (Afandi et al., 2017). Kegiatan tersebut
berusaha mengembangkan prosedur alternatif dalam penelitian untuk menjadi motor
dan perubahan sosial radikal. Dengan demikian periode awal diwarnai dengan kritik
terhadap ilmu-ilmu sosial sekaligus sebagai gerakan revolusioner dalam pembebasan
dan transformasi sosial (Sunyoto, 1998:19-20).

Prinsip-prinsip Kerja PAR

Ada 16 prinsipsi kerja PAR yang menjadi pemandu utama dalam pelaksanaan
kerja PAR bersama masyarakat, yaitu (Ansori et al., 2021:305-311):

a. Melakukan refleksi yang dihasilkan dari perubahan sosial untuk meningkatkan


sumber daya yang ada secara berkesinambungan.

64
b. Siklus yang dihasilkan harus dilahirkan dari partisipasi murni, dimulai analisa
sosial, rencana aksi, aksi, evaluasi, refleksi (teoritisasi pengalaman) dan kemudian
analisa sosial, begitu seterusnya (Afandi and Wigati, 2019:55-56).

c. Kerjasama yang melibatkan semua stakeholder untuk meningkatkan kemampuan


dan secara terus-menerus memperbanyak kelompok yang melakukan perubahan
juga.

d. Upaya penyadaran kritis terhadap situasi yang mereka alami dilakukan secara
sinergis dan melibatkannya di semua proses research, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan refleksi.

e. Upaya menciptakan pemahaman bersama secara cerdas terhadap situasi dan


kondisi yang berkembang di masyarakat dalam mendiskusikan tindakannya
sebagai upaya untuk melakukan perubahan sosial yang signifikan (Mahmudi et al.,
2007).

f. Melibatkan sebanyak mungkin orang yang dalam memahami kehidupan mereka.


Masyarakat dipandang lebih tahu dalam memahami persoalan yang mereka hadapi.
Untuk itu usulan-usulan mereka dihargai dan diambil berdasarkan pengalaman
mereka sendiri.

g. Usulan, pengalaman, gagasan dan asumsi masyarakat ataupun individu


ditempatkan pada posisi layak diuji. Pengujian tentang gagasan, pengalaman dan
asumsi itu harus siap sedia diuji dan dibuktikan keakuratannya berdasarkan fakta-
fakta dan keterangan yang juga diperoleh dari masyarakat itu sendiri.

h. Dalam melakukan pengujian, mensyaratkan membuat rekaman proses secara


cermat mulai dari proses analisa sosial, kemudian hasil-hasil rekaman proses itu
diramu sedemikian rupa untuk mendapatkan data tentang usulan, penilaian, reaksi
dan kesan individu atau masyarakat terhadap persoalan yang terjadi untuk
kemudian secara bersama-sama dianalisis secara kritis.

i. Menjadikan semua pengalaman individu dan kelompok yang terlibat sebagai objek
riset. Semua proses perekaman terhadap refleksi dan pengalaman terus dilakukan
melalui ragam media yang ada.

j. Terjadinya proses politik dalam arti luas. Proses perubahan sosial di tengah
masyarakat akan mengganggu keberadaan individu ataupun kelompok yang sedang

65
menikmati situasi yang mungkin membelenggu, menindas dan mendominasi
masyarakat. Aktivis perubahan sosial harus sanggup meyakinkan mereka secara
bijak bahwa perubahan sosial tersebut adalah untuk kepentingan mereka sendiri di
masa depan.

k. Adanya analisis relasi sosial secara kritis. Memperbanyak pelibatan kelompok


yang bekerja sama secara partisipatif dalam mengungkap pengalaman mereka
dalam membuat keputusan, berkomunikasi dan menemukan solusi demi
terbentuknya pemahaman yang lebih baik dan rasional.

l. Dalam relasi-relasi yang lebih luas harus dimulai dari isu yang kecil. Kesuksesan
dalam meneliti dan mengadakan perubahan terhadap persoalan yang kecil
merupakan indikator keberhasilan seseorang yang dalam menyelesaikan problem
yang lebih besar.

m. Mulai dari siklus proses yang kecil (analisa sosial, rencana aksi, aksi, evaluasi,
refleksi, analisa sosial dst.).

n. Memulai kolaborasi dari kelompok kecil dan secara signifikan merambah pada
kekuatan-kekuatan kritis besar lainnya.

o. Semua orang harus mencermati dan membuat rekaman proses. Dalam hal ini PAR
sangat mengutamakan keakuratan fakta, data dan keterangan langsung dari
individu ataupun kelompok, karena semua bukti-bukti tersebut harus direkam dan
dicatat sejak awal hingga akhir oleh semua stakeholder yang terlibat dalam proses
perubahan sosial.

p. Dalam kerja sosial semua orang harus memberikan alasan yang rasional.
Pendekatan PAR mendasarkan pada adanya fakta-fakta yang betul-betul terjadi di
lapangan.

2. Asset Based Community Development (ABCD)


Paradigma
Asset Based Community Development (ABCD) adalah metodologi
pemberdayaan berkelanjutan yang dilandaskan pada aset, kekuatan dan potensi yang
dipunyai masyarakat. Jadi di dalam pendekatan ini pembangunan digerakkan oleh
masyarakat. Masyarakatlah yang diposisikan sebagai subjek dalam pembangunan.
Strategi pendekatan ABCD ini dimulai dari aset yang ada dan dimiliki oleh

66
komunitas, kapasitas, basis asosiasi dan kelembagaan sosial, dan tidak didasarkan
pada aset yang tidak ada atau tidak dimulai dari masalah atau kebutuhan masyarakat.
Pendekatan ABCD melibatkan semua sumber daya yang ada, keterampilan dan
pengalaman masyarakat sebagai pijakan utama untuk meningkatkan kualitas hidup
dalam semua aspek. Metodologi ABCD ini berlandaskan prinsip bahwa pengakuan
terhadap potensi, kekuatan, bakat dan aset individu serta aset masyarakat dapat
menginspirasi perilaku positif untuk melakukan perubahan daripada secara khusus
fokus pada kebutuhan dan masalah. perspektif dalam memandang gelas setengah
penuh bukan berarti untuk menyangkal masalah yang sedang dihadapi masyarakat
tetapi untuk menyatukan energi setiap individu agar terus berpartisipasi dengan cara
yang lebih bermakna bagi pengembangan aset mereka sendiri. Artinya fokus
energinya ditujukan pada isi gelas dan bukan pada kosongnya gelas (Ansori et al.,
2021:122-124).

Sejarah dan Perkembangan ABCD

Adalah John McKnight dan Jody Kretzmann dari Institute for Policy di
Northwestern University di Evanston illinois, yang mengembangkan hasil risetnya
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pada tahun 1993. Pada mulanya
pendekatan ABCD ini merupakan alternatif dari pendekatan pembangunan yang
berdasarkan kebutuhan. Dalam temuan risetnya, John McKnight dan Jody Kretzmann
membandingkan dua pendekatan dalam menyelesaikan masalah kemiskinan (Indrajit
et al., 2014). Cara pertama, memfokuskan program pada kebutuhan komunitas
dengan melihat permasalahan yang dihadapinya, sedangkan cara kedua, melalui
pengembangan kapasitas berbasis aset yang dipunyai oleh komunitas (Ansori et al.,
2021:135-138).

Pendekatan ABCD ini berkembang di Amerika Utara sebagai inovasi dari


strategi pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat di perkotaan dan komunitas
pedesaan. Yang menarik perhatian dari pendekatan ABCD ini adalah adanya beberapa
kelompok aktivis yang kecewa terhadap pendekatan berbasis kebutuhan yang begitu
mengakar dalam layanan pemerintah dan swasta (Ahmad, 2007).

Seiring dengan meningkatnya minat masyarakat melalui pendekatan ABCD


pendekatan ini berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam lembaga-lembaga pembangunan internasional dengan pendekatan berbasis aset

67
diantaranya adalah sustainable livelihood approach (pendekatan mata pencaharian
berkelanjutan) yang yang didirikan oleh Department for International development
(DFID), Inggris dan secara signifikan juga dikembangkan oleh United Nation
Development Program (UNDP) yang dalam rencana kerjanya saat ini digunakan
oleh Ford Foundation (FF) (Ansori et al., 2021:136-138)..

Prinsip-prinsip Kerja ABCD

Metodologi ABCD dibangun atas empat prinsip utama yaitu (Ansori et al.,
2021:140-143):

a. ABCD adalah pendekatan yang yang berfokus pada aset dan potensi masyarakat
daripada masalah dan kebutuhan. Banyak pendekatan yang digunakan
sebelumnya yang diawali dengan analisis kebutuhan atau berfokus pada masalah
yang dihadapi masyarakat, yang pada gilirannya mengarah kepada pelabelan
masyarakat atau individu yang kurang berfungsi. Semakin disfungsional suatu
komunitas maka makan banyak dana diinvestasikan dan dikendalikan oleh pihak
eksternal (Ahmad, 2007).

b. Pendekatan yang mengidentifikasi dan memobilisasi aset, keterampilan, dan


minat individu atau komunitas. aset yang dimiliki masyarakat dapat dipetakan
dan dimobilisasi sebagai berikut :

• Keterampilan individu dan komunitas


• organisasi dan jaringan komunitas
• lembaga non-pemerintah yang tidak mencari untung, lembaga bisnis yang
sudah terhubung dengan masyarakat
• aset alam, aset fisik dan aset fisik infrastruktur
• aset ekonomi lokal yang didalamnya juga ada ekonomi informal dan ekonomi
tradisional
• cerita, budaya dan warisan nilai dan tradisi masyarakat (aset sosial)

c. Pendekatan yang pengembangannya digerakkan oleh komunitas. Prinsip ini


adalah membangunkan komunitas dari dalam keluar. Penekanan digerakkannya
aset oleh komunitas bukan ditunjukan oleh peran kepemimpinan lembaga
eksternal melainkan oleh internal masyarakat.

68
d. Pendekatan ABCD dalam pengembangan masyarakat didorong oleh hubungan
yang dibangun oleh masyarakat. Komunikasi dan jejaring sosial yang terjadi
dalam masyarakat adalah aset dan menjadi hak masyarakat sendiri Konsep ini
dipahami sebagai modal sosial karena menempatkan jaringan informan dan
menggunakan kekuatan mereka sebagai upaya untuk memobilisasi aset
(Setyawati et al., 2020).

3. Service Learning (SL)

Paradigma
Service learning (SL) adalah pendidikan berbasis pengalaman melalui peran
mahasiswa dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dilakukan secara
terstruktur. Orientasi dari service learning adalah pengembangan pembelajaran dan
pengembangan kapasitas mahasiswa yang dirancang secara khusus. Pendekatan SL
merupakan pendidikan yang berbasis pengalaman yang dilaksanakan melalui jalan
pembelajaran dengan siklus aksi dan refleksi (Kambau et al., 2016:10). Siklus ini
diawali dari kerjasama mahasiswa dengan pihak lain dalam menerapkan
pengetahuannya untuk memecahkan masalah masyarakat yang kemudian
direfleksikan untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang lebih spesifik
tentang permasalahan yang dihadapi. Proses refleksi inilah yang kemudian menjadi
media pembelajaran. Artinya bentuk pelayanan (service) terhadap masyarakat inilah
yang kemudian difungsikan sebagai sarana pembelajaran (learning) bahkan
pengembangan keilmuan dalam hubungan timbal balik yang terjadi. Dalam refleksi
pengalaman dalam ranah masyarakat di dalamnya tersedia teks akademik yang sangat
kaya dan tidak hanya terbatas pada teks tertulis yang dapat dijadikan bahan
pembelajaran ketika refleksi dirancang yang kemudian diimplementasikan dengan
tepat. Maka hal ini akan menggerakkan perhatian mahasiswa untuk mendapatkan
interpretasi baru tentang berbagai peristiwa sebagai teks akademik. dengan demikian
SL sebenarnya adalah menyatukan antara tujuan-tujuan service dengan tujuan-tujuan
learning dengan maksud bahwa proses pemberian pelayanan kepada masyarakat itu
juga merupakan proses pembelajaran bersama (Ansori et al., 2021:143-148).

Sejarah Dan Perkembangan Service Learning (SL)


Pendekatan SL memiliki sejarah kemunculannya yang cukup lama, tepatnya
sejak tahun 1903 di tingkat perguruan tinggi di Universitas Cincinnati, Amerika

69
Serikat. Kemudian konsep SL ini telusuri kembali oleh John Dewey kaitannya
dengan pendidikan berbasis pengalaman untuk mengintegrasikan layanan masyarakat
dengan kurikulum sekolah seperti saat ini. Adalah Southern Regional Education
Board pada akhir tahun 1960-an memunculkan istilah service learning yang tertuju
pada integrasi tugas-tugas akademik yang dibutuhkan dalam pengembangan
pendidikan. Baru pada tahun 1993 The national and community service trust,
mendorong eksistensi program service learning di wilayah Amerika Serikat yang
pada akhirnya diakui dan dan berkembang di penjuru AS (Ansori et al., 2021).

Pada periode berikutnya di Amerika Serikat tepatnya oleh Campus Compact


didirikan pada tahun 1985 oleh Presiden Brown, Universitas George Town dan
Universitas Stanford serta Ketua Komisi Pendidikan Amerika yang selanjutnya pada
tahun 1990 dimana The Community Service Act di Amerika memperoleh bantuan
proyek Learn and serve America, yang dikemudian hari dalam implementasinya
disebut sebagai service-learning hingga saat ini (Kambau et al., 2016:23-24).

Pada tahun 1990 konsep Service Learning mulai dikenal di Kanada tepatnya di
Universitas ST. Francis Xavier yang kemudian memperluas cakupan programnya
dengan mendirikan service learning program office di kampusnya. Kemudian pada
tahun 2004 McConnel Foundation menginisiasi berdirinya lembaga nasional yang
mensupport konsep service learning yang kemudian bekerjasama dengan institusi
pendidikan yaitu Canadian Allianz For Community Service Learning, dan mendanai
10 universitas untuk menjadi pilot project Service Learning dalam waktu 5 tahun.
Sehingga pada tahun 2005 didirikanlah pengelola service learning berskala nasional
yang hanya fokus di universitas saja (Kambau et al., 2016:21-22).

Prinsip-pronsip SL
Di antara prinsip-prinsip SL yang harus diimplementasikan sehingga dapat
berjalan efektif dan berkelanjutan adalah (Ansori et al., 2021:156-158):

• Secara bersama-sama ikut berbuat dan bertanggung jawab dalam melibatkan


berbagai pihak.
• Kesempatan dan peluang yang terstruktur bagi pihak-pihak yang terkait dalam SL
diberi kesempatan untuk merefleksikan pengalaman layanan mereka.
• Tujuan-tujuan learning diartikulasikan sebagai service yang jelas kepada semua
pihak.
• Memberikan keleluasaan masyarakat untuk mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan-
nya.

70
• Memberikan klarifikasi tanggung jawab kepada organisasi dan orang yang terlibat
dalam SL.
• Mengenali perubahan-perubahan situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan
sehingga dapat menyesuaikan ketersediaan penyedia layanan dan kebutuhan
layanan.
• Komitmen kelembagaan yang tulus, aktif dan berkelanjutan.
• Berkomitmen dalam pengawasan, pelatihan, pemantauan, dukungan pengakuan
dan evaluasi untuk fungsi dan tujuan dari servis dan learning.
• Adanya komitmen waktu dan proses pembelajaran yang sesuai kepentingan terbaik
semua pihak.
• Partisipasi oleh dan dengan populasi yang beragam sangat diharapkan
komitmennya.
Jadi unsur-unsur pokok dalam proses ini adalah : service (pelayanan) -
learning (belajar) - reflection (refleksi).

4. Community Based Participatory Research (CBPR)

Paradigma
CBPR merupakan pendekatan penelitian yang multidisipliner dan begitu
berbeda dengan ragam pendekatan yang dikembangkan dalam ilmu positivistik dan
empiris, seperti yang terdapat dalam pendekatan participatory action research
(Afandi et al., 2017). Ciri khas utama CBPR adalah mengintegrasikan berbagai jenis
pendekatan dalam proses penelitian, melibatkan komunitas, tidak terpusat pada
aturan-aturan formal pihak-pihak eksternal tetapi berpihak pada pengaturan-
pengaturan internal dalam komunitas (Ansori et al., 2021:170-171).

Dalam pendekatan CBPR berbagai pihak dilibatkan dalam proses penelitian


termasuk di dalamnya kepentingan non-akademik untuk melaksanakan proyek
penelitian berdasarkan masalah dalam suatu komunitas dengan melibatkannya
berbagai pihak. Maka CBPR menghendaki adanya kolaborasi pembagian kekuatan
dan interaksi yang dinamis antar komponen di dalamnya. Pijakan yang digunakan
dalam pengembangan proyek penelitian berawal dari bawah ke atas (Bottom up),
dengan memprioritaskan pada komunitas yang paling banyak dipengaruhi masalah
(Soetomo, 2011:75). Hal ini bertujuan agar dapat menciptakan perubahan-perubahan
yang diinginkan oleh masyarakat. Ragam pendekatan yang digunakan dalam PBB
mempunyai karakteristik yang khusus yaitu bersifat siklus, meliputi penelitian,
intervensi dan perubahan kebijakan yang dikembangkan dari berbagai metode
penelitian. Aspek-aspek yang yang menjadi fokus CBPR adalah masalah yang

71
berkaitan dengan : trust (kepercayaan), power (kekuasaan), cultural diversity
(keanekaragaman budaya) dan equity (kesetaraan) (Ansori et al., 2021:171-173).

Secara metodologi, pendekatan CBPR adalah pendekatan penelitian yang


berfokus pada masalah yang memiliki fleksibilitas. Dalam pelaksanaan terjadinya
fleksibelitas bertolak dari tujuan dilakukannya penelitian ini dengan menggunakan
pendekatan CBPR, yaitu terwujudnya perubahan sosial dalam komunitas atau
terciptanya aksi-aksi komunitas yang sekaligus bertujuan untuk mengeksplorasi,
menggambarkan, mengevaluasi, menggerakkan, membangkitkan atau kombinasi
diantara berbagai tujuan tersebut (Ansori et al., 2021:176-180)..

Sejarah Dan Perkembangan CBPR


Benih-benih paradigmatik yang menjadi pijakan dan cikal bakal lahirnya
pendekatan CBPR adalah paradigma transformatif. Hal ini dilakukan oleh sosiolog
dan aktivis feminis Jane Adam, yang terlibat dalam penelitian berbasis komunitas
wanita imigran di Chicago. Pendekatan ini juga dipengaruhi oleh pemikiran tokoh
teori kritis Karl Marx dan Friedrich Engels yang menampilkan prinsip-prinsip
penelitian berbasis komunitas. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran
pekerja yang diperas di bawah hegemoni kapitalisme. Teori sosial kritis dan teori
feminis kemudian berperan sebagai kerangka teoritis dalam banyak proyek CBPR
hingga saat ini (Ansori et al., 2021:181-182).

Pemikiran lain juga dipengaruhi oleh John dewey dan Paulo freire yang secara
langsung mempengaruhi filosofi CBPR mengembangkan pembelajaran dengan
metode belajar melalui praktik langsung (learning by doing). Melalui proses belajar
praktek ini pembelajar tidak hanya terbatas pada hal fisik tetapi juga terlibat dalam
aspek mental emosional, sehingga hal ini mempengaruhi perolehan pengetahuan,
penghayatan dan internalisasi dalam pembentukan sikap dan skill (Ansori et al.,
2021:182-183).

Prinsip-prinsip CBPR
Prinsip-prinsip CBPR didasarkan pada tempat, konteks, tujuan dan peserta
yang terlibat dalam proses. Prinsip-prinsip ini kemudian dikembangkan dan
berkembang di berbagai belahan dunia (Ansori et al., 2021:184-188).

• Mengenal masyarakat sebagai satu unit identitas komunitas sebagai unit identitas
dipahami sebagai bentuk hubungan emosional antara individu dengan individu lain

72
melalui sistem simbol, nilai dan norma yang sama kepentingan bersama, dan
komitmen untuk memenuhi kebutuhan bersama identitas komunitas ini dapat
dibatasi secara geografis, teknik kelompok kesetaraan gender kelompok pekerja,
pengrajin tradisional dan sebagainya

• Membangun berdasarkan kekuatan dan sumber daya yang ada dalam komunitas
pembangunan komunitas. Tidak melibatkan sumber daya yang ada di luar
komunitas seperti keterampilan individu, organisasi, jejaring sosial dan sumber
daya lain.

• Memfasilitasi kemitraan yang kolaboratif dan adil dalam semua fase penelitian,
yang melibatkan proses pemberdayaan dan pembagian power untuk mengatasi
ketimpangan sosial (Soetomo, 2011:88-89). Semua mitra dapat partisipasi, berbagi
dan mengontrol semua tahapan penelitian yang kemudian menerapkan hasilnya
untuk menyelesaikan masalah dalam komunitas itu. semua pihak yang terlibat di
dalam penelitian ini didasarkan pada adanya hubungan saling percaya dan saling
menghormati, menciptakan proses-proses pemberdayaan, membangun komunikasi
terbuka, dan berbagi informasi, pengambilan keputusan kekuatan dan sumber daya
untuk mengatasi ketimpangan sosial .

• Mendorong terjadinya pembelajaran dan penguatan kapasitas diantara semua


Mitra. CBPR mendorong pertukaran keterampilan, pengetahuan dan kapasitas
timbal-balik di antara semua Mitra yang terlibat dalam proses belajar bersama.

• Mengintegrasikan dan mengupayakan terjadinya keseimbangan antara generasi


pengetahuan dan intervensi untuk saling menguntungkan bagi semua Mitra

• Melibatkan Pengembangan sistem dengan menggunakan proses siklus dan


berulang. orientasi pengembangan sistem dalam pendekatan CBPR ini mengacu
pada kompetensi masing-masing Mitra untuk melibatkan diri dalam siklus dan
semua tahapan penelitian.

• Menyebarluaskan hasil kepada semua Mitra dan melibatkan semua Mitra dalam
penyebaran hasil yang lebih luas. Pendekatan CBPR ini menekankan pada
tersebarnya temuan-temuan penelitian kepada semua Mitra dengan menggunakan
metode yang mudah dimengerti.

73
• Melibatkan proses jangka panjang dan komitmen untuk berkelanjutan. untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi pendekatan CBPR menekankan pada ada
proses jangka panjang dan komitmen untuk berkelanjutan.

• Bekerja untuk memastikan ketelitian dan validitas penelitian dan untuk


memperluas ukuran validitas penelitian dengan menggunakan patokan relevansi
penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, A. et al. (2017) Modul Riset Transformatif, Jakarta: Dwi Putra Pustaka Jaya.
sidoarjo: Dwi Putra Pustaka Jaya.

Afandi, A. and Wigati, S. (2019) Belajar Siaga Bencana Tanah Longsor :


Pengorganisasian Komunitas Dusun Rawan Bencana Tanah Longsor Di Desa
Sumurup Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek. Yogyakarta: Aseni.

Ahmad, M. (2007) ‘Asset Based Communities Development (ABCD): Tipologi KKN


Partisipatif UIN Sunan Kalijaga’, Jurnal Aplikasi Llmu-Ilmu Agama, 8(2).

Ansori, M. et al. (2021) Pendekatan-Pendekatan University Community


Engagement. Surabaya: UIN SUNAN AMPEL PRESS.

Askar, A. (2019) ‘Dimensi Keterlibatan Masyarakat Dalam Program Pembangunan’,


Jurnal Sosio Sains, 5(1), pp. 53–61.

Bakri, M. (2017) Pemberdayaan Masyarakat Pendekatan RRA dan PRA. II. Surabaya:
Visipress Media.

Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk
Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School.
ELEMENTARY: Islamic Teacher Journal, 9(1).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835

Cangara, H. (2017) Perencanaan dan Strategi Komunikasi, Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Harianto, G. P., Rusijono, R., Masitoh, S., & Setyawan, W. H. (2020). Collaborative-
Cooperative Learning Model to Improve Theology Students’characters: Is it
Effective? Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(2). https://doi.org/10.21831/cp.v39i2.31272

Hastuti, S. W. M., & Setyawan, W. (2021). Community Service in Study Potential


Technology of Education Tour and Business Prospects of Traders in
Tulungagung. Mitra Mahajana: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 134–144.
http://www.uniflor.ac.id/e-journal/index.php/mahajana/article/view/952

Indrajit, W. et al. (2014) ‘Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan : Gagasan


Manajemen Pengembangan Masyarakat untuk Memutus Mata Rantai

74
Kemiskinan’. Malang: Instrans Publishing.

Kambau, R. A. et al. (2016) Panduan Implementasi Service Learning Di UIN


Alauddin Makassar. Makassar: Nur Khairunnisa Press.

Mahmudi, A. et al. (2007) ‘Gamang : lembaga pendidikan Islam menghadapi


perubahan sosial’, Seri penerbitan hasil penelitian aksi partisipatif, p. 311 p.

Mardikanto, T. and Soebiato, P. (2017) Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif


Kebijakan Publik Alfabeta, Cv. Bandung. Bandung: Alfabeta.

Margolang, N. (2018) ‘Pemberdayaan Masyarakat’, Dedikasi: Journal of Community


Engagment, 1(2/Juli). doi: 10.31227/osf.io/weu8z.

Sari, H. P., & Setiawan, W. H. (2021). Peningkatan Teknologi Pendidik Pesantren


Anak Sholeh melalui MEMRiSE: Coaching & Training. Prima Abdika: Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 1(3), 81–90. http://e-
journal.uniflor.ac.id/index.php/abdika/article/view/1123

Setyawati, M. et al. (2020) ‘Modul Pelatihan Data Analyses Workshop


Pengembangan Literasi di Madrasah dengan Pendekatan ABCD’. Kanzum
Books.

Shalahuddin, Y., Rahman, F., & Setyawan, W. H. (2021). Pemodelan Simulasi Untuk
Praktikum Teknik Otomasi Industri Berbasis Matlab/Simulink Di SMKN 1
Kediri. Jurnal Pelayanan Dan Pengabdian Masyarakat (Pamas), 5(1), 15–26.
https://doi.org/https://doi.org/10.52643/pamas.v5i1.1061

Soetomo (2011) Pemberdayaan Masyarakat Mungkinkah Muncul Antitesisnya? IV.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sunyoto, U. (1998) Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, pustaka pelajar.


VII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suprapto, T. (2019) Pemberdayaan Masyarakat Informasi: Konsep Dan Aplikasi. I.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

75
Biodata Penulis

Mansur, M.H.I., CE., CHCS. Lahir di Pamekasan, 24 Pebruari


1974. Sejak tahun 2013 menjadi Dosen Tetap pada STAI
Miftahul Ulum Pamekasan Madura. Tahun 2014-2016 menjadi
Sekretaris Prodi Ahwal As-Syakhsyiyyah dan tahun 2016
sampai sekarang menjadi Ketua Prodi Ekonomi Syariah pada
Perguruan tinggi yang sama, sekaligus menjadi Editor in Chief
Jurnal PARTISIPATIF (Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat).
Menjadi Ketua Forum Program Studi Ekonomi Syariah
(FORSES) Kopertais IV Surabaya, mulai 2017 sampai
sekarang.
Menerima Bantuan Pengabdian Berbasis Riset Tahun Anggaran 2020 dari Kemenag R.I.
dengan judul Penelitian “Pendampingan Anak Pesisir Broken Home Melalui Pendekatan
Budaya Tradisional Ul-Daul Sebagai Upaya Trauma Healing Kekerasan Rumah Tangga Di
Desa Baddurih Pademawu Pamekasan Madura”. Sejak tanggal 07 Januari 2021 didapuk
sebagai Ketua Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (Pusat PPM) dengan
jumlah 9 perwakilan cabang di seluruh Indonesia.

76
BAB 7
PEMECAHAN TEKNIS DALAM PEMBERAYAAN MASYARAKAT

A. Pengelolaan Program Bersama Komunitas


Dalam pengelolaan program bersama ini yang dimaksud dengan:
1. Perencanaan adalah suatu proses menentukan hal-hal yang ingin dicapai (tujuan) di
masa depan serta menentukan berbagai tahapan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut.
2. Perencanaan partisipatif adalah sebuah metode perencanaan pembangunan dengan
melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.
Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri
di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan
solusi yang paling menguntungkan.
3. Community Development (Pengembangan Masyarakat) adalah kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk meningkatkan kondisi
socialekonomi (kesejahteraan) dan budaya (peradaban) yang lebih baik dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Coperate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan) adalah suatu tindakan atau konsep (mekanisme) yang dilakukan oleh
perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab
mereka terhadap social dan lingkungan sekitar (termasuk para pemangku
kepentingan) dimana perusahaan itu berada untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
4. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan juga mengurus urusan pemerintahannya. Desa juga
merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, serta kultural
yang terdapat di suatu daerah yang memiliki hubungan dan pengaruhnya secara
timbal balik.
5. Pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya untuk mengembangkan kemandirian
dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya
melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai
dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa
6. Kajian desa adalah proses identifikasi potensi wilayah desa yang dilakukan untuk
memperoleh data keadaan wilayah (desa) dan ekosistem dengan menggunakan data
primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari informasi langsung
masyarakat yang terkait, sedangkan data sekunder diperoleh dari monografi desa dan
atau dari sumber-sumber lain yang relevan.
7. RPJM Desa atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa adalah Rencana
Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun. Dalam RPJMDes
terdapat arah kebijakan pembangunan desa, rencana kegiatan yang meliputi
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa dan apa saja kegiatan pemberdayaan masyarakat yang bakal
dilakukan pemerintah desa.

77
8. BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
desa melalui penyertaan modal langsung yang berasal dari kekayaan desa. BUMDes
harus lahir atas kehendak seluruh warga desa yang diputuskan melalui Musyawarah
Desa (Musdes). Musdes adalah forum tertinggi melahirkan berbagai keputuan utama
dalam BUMDes mulai dari nama lembaga, pemilihan pengurus hingga jenis usaha
yang bakal dijalankan.
9. Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah suatu metode untuk memahami desa
secara partisipatif, dalam upaya memahami permasalahan dan upaya antisipasi yang
dibutuhkan, berdasarkan pada potensi dan kendala sumber daya yang tersedia. Metode
ini digunakan untuk memfasilitasi masyarakat untuk saling berbagi pengetahuan dan
pengalaman; menganalisis kondisi kehidupannya; dan membuat rencana kegiatan
berdasarkan hasil analisisnya
10. Logical Framework Analysis (LFA) adalah instrumen (alat bantu) analisis dan
manajemen yang dapat menjelaskan analisis situasi yang menjadi alasan atau
argumentasi penting suatu program, kaitan logis sebab-akibat secara hirarki,
hubungan antara tujuan yang akan dicapai dengan proses yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan, identifikasi potensi-potensi resiko yang akan dihadapi dalam
pelaksanaan program, mekanisme bagaimana hasil-hasil kerja (output) dan dampak
program (outcome) akan dimonitor dan dievaluasi.

B. Monitoring dan Evaluasi


Dari empat fungsi manajemen secara umum, maka fungsi perencanaan (planning) dan
pengendalian (controlling) memiliki peran yang sangat penting. Fungsi perencanaan intinya
berisi tentang proses atau tahapan apa saja yang akan dilakukan, untuk mewujudkan tujuan
yang telah ditetapkan sesuai dengan periode waktu tertentu (Herry Setyawan et al., 2019).
Sedangkan proses pengendalian berusaha untuk mengevaluasi, apakah tujuan dapat dicapai,
dan apabila tidak dapat dicapai, apa saja yang menjadi faktor penyebabnya, sehingga dapat
dilakukan upaya-upaya perbaikannya.
Dalam proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, tahapan monitoring
(pemantauan) dan evaluasi merupakan hal yang sangat penting. Dengan hal ini dapat
diketahui efektifitas dan efisinsi (tujuan utama dari manajemen) program atau kegiatan yang
dilaksanakan.
Monitoring menurut Suharto (2010:118-119) adalah pemantauan secara terus menerus
pada proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Monitoring dapat dilakukan dengan cara
mengikuti langsung kegiatan atau membaca hasil laporan dari pelaksanaan kegiatan.
Monitoring adalah proses pengumpulan informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi selama
proses implementasi atau penerapan program.
Menurutt Dunn (2003:28) pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang
relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya.
Pemantauan membantu menilai beberapa hal, yaitu:
1. Tingkat kepatuhan
2. Menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program
3. Mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan
4. Menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan.

78
Selanjutnya dijelaskan oleh Robbin and Coutler (2003:496) bahwa penendalian
(controlling) merupakan proses monitoring terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan
sumber daya organisasi untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan tersebut akan
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan tindakan koreksi dapat dilakukan untuk
memperbaiki penyimpangan yang telah terjadi (Budiman & Samani, 2021).
Menurut Siswanto (2012:139-142) pengendalian manajemen adalah suatu usaha yang
sistematik untuk:
1. Menetapkan standar kinerja dengan sasaran perencanaan,
2. Mendesain sistem umpan balik informasi,
3. Membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditetapkan,
4. Menentukan apakah terdapat penyimpangan dan mengukur signifikasi penyimpangan
tersebut,
5. Mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua
sumber daya yang sedang digunakan sedapat mungkin dilakukan secara efektif dan
efisien untuk mencapai sasaran dan tujuan.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Siswanto bahwa, dalam setiap pengendalian, terdapat
empat elemen pokok yang satu sama lainnya berlangsung dalam urutan yang kronoligis dan
kontinyu, serta diantara keempat elemen pokok tersebut berhubungan. Keempat elemen
pengendalian tersebut adalah:
1. Kondisi atau karakteristik yang dikendalikan,
2. Instrumen atau metode sensor untuk mengukur kondisi atau karakteristik yang
dikendalikan,
3. Kelompok, unit, atau instrumen kendali yang akan membandingkan data yang diukur
dengan pekerjaan yang direncanakan, dan mengarahkan mekanisme perbaikan untuk
memenuhi kebutuhan,
4. Kelompok atau mekanisme yang bergerak dan mampu mengadakan inovasi dalam
sistem operasi.
Sedangkan evaluasi adalah mengukur berhasil atau tidaknya program yang
dilaksanakan, apa sebab berhasilnya dan apa sebab kegagalannya, serta bagaimana tindak
selanjutnya. Kegiatan evaluasi senantiasa didasarkan pada hasil dari monitoring. Evaluasi
adalah penidentifikasian keberhasilan dan/atau kegagalan suatu rencana kegiatan atau
program. Secara umum dikenal dua tipe evaluasi, yaitu
1. On-going evaluation atau evaluasi terus menerus.
2. Ex-post evaluation atau evaluasi akhir.
Tipe evaluasi yang pertama didasarkan pada interval periode waktu tertentu, misalnya per
tri-wulan atau per-semester, selama proses implementasi (biasanya pada akhir phase atau
tahap suatu rencana).
Tipe evaluasi yang kedua dilakukan setelah implementasi suatu program atau rencana.
Berbeda dengan monitoring, evaluasi biasanya lebih difokuskan pada pengidentifikasi
mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program.
Selanjutnya dikemukakan oleh Mardikanto dan Soebiato (2012:264) bahwa evaluasi
dalam kehidupan sehari sering diartikan sebagai padanan istilah dari penilaian, yaitu suatu
tindakan pengambilan keputusan untuk menilai suatu objek, keadaan, peristiwa, atau kegiatan

79
tertentu yang sedang diamati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika, tanpa kita sadari,
setiap saat kita telah melakukan evaluasi, baik di rumah, di perjalanan, di tempat pekerjaan,
dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka beberapa pokok pengertian tentang
evaluasi, mencakup:
1. Evaluasi adalah kegiatan pengamatan dan analisis terhadap sesuatu kegiatan,
peristiwa, gejala alam, atau suatu obyek.
2. Membandingkan segala sesuatu yang kita amati dengan pengalaman atau pengetahuan
yang telah kita ketahui dan atau miliki.
3. Melakukan penilaian, atas segala sesuatu yang diamati, berdasarkan hasil
perbandingan atau pengukuran yang dilakukan.
Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa evaluasi harus obyektif dalam arti
harus:
1. Dilakukan berdasarkan data atau fakta, bukan berdasarkan pra-duga atau intuisi
seseorang (yang melakukan evaluasi).
2. Menggunakan pedoman-pedoman tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

C. Tujuan Monitoring dan Evaluasi


Kegiatan monitoring atau pemantauan, pengendalian, dan evaluasi dalam pelaksanaan
program atau kegiatan pemberdayaan masyarakat, mempunyai kedudukan sangat penting,
sebagai upaya untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kegiatan, sekaligus merumuskan
dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik yang bersifat fisik maupun non
fisik, dengan mengaitkannya antara perencanaan dengan pelaksaan sesuai dengan prinsip-
prinsip dalam manajemen. Untuk itu, semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan
perlu memahami tentang dilaksanakan monitoring dan evaluasi.
Adapun tujuan dilaksanakannya monitoring menurut Suharto (2010:118-119) adalah
untuk:
1. Mengtahui bagaimana masukan (input) sumber-sumber dalam rencana digunakan.
2. Bagaimana kegiatan-kegiatan dalam implmentasi dilaksanakan.
3. Apakah rentang waktu implementasi terpenuhi secara tepat atau tidak.
4. Apakah setiap dalam perencanaan dan implementasi berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Sedangkan tujuan dilaksanakannya evaluasi adalah untuk:
1. Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan.
2. Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran.
3. Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin terjadi di
luar rencana (externalities)

80
D. Prinsip Monitoring dan Evaluasi Secara Partisipatif
Lahirnya perencanaan partisipatif dilatarbelakangi karena banyaknya kegagalan
pembangunan sosial kemasyarakatan yang dijalankan oleh pemerintah. Hal ini diakibatkan
penyusunan perencanaan yang sifatnya “top-down” khususnya yang terjadi pada era sebelum
reformasi, bagaimana proses perencanaan yang hampir seluruhnya di dominasi oleh para
aparat dan pengambil kebijakan, yang tidak mungkin dapat memahami sekian banyak
permasalahan, kebutuhan serta potensi yang dimiliki masyarakat, maupun potensi
daerah/wilayah (kearifan lokal) yang akan menjadi lokasi pembangunan/program. Memasuki
era reformasi, pemerintah dan pemerintah daerah telah menyadari betul panyebab kegagalan
pembangunan kemasyarakatan, termasuk program pemberdayaan masyarakat dimasa lalu,
sehingga belajar dari semua kegagalan tersebut, lahirlah kebijakan agar para perencana dalam
menyusun suatu perencanaan harus menempatkan diri sebagai seorang
fasilitator/pendamping. Dalam kedudukannya sebagai fasilitator, para aparat perencana telah
dibekali pengetahuan dan keterampilan, bagaimana seharusnya melakukan pendekatan
kepada masyarakat dan stakeholder/pihak-pihak yang terkait lainnya, agar acuan utama yang
digunakan sebagai bahan penyusunan perencanaan adalah betul-betul berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat (bottom-up), pendekatan ini dikenal dengan istilah perencanaan
partisipatif.
Menurut Riandono dkk (2011:15), perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas
sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal (PRA),
Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan
pembangunan (penyelesaian masalah), mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian
masalah sampai pada penetapan skala prioritas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, secara
garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat
dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah yang
dihadapi, memikirkan bagaiman a cara mengatasinya, menemukan rasa percaya diri dalam
mengatasi masalah, sampai pada tahap mengambil keputusan tentang alternatif pemecahan
masalah yang mereka hadapi (Saptaria & Setyawan, 2021). Ada 3 (tiga) alasan utama
mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat untuk mendapatkan informasi tentang
kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadiran mereka
program pembangunan akan gagal.
2. Masyarakat akan lebih mudah mempercayai kegiatan atau program pembangunan jika
mereka terlibat secara langsung, mulai dari proses persiapan dan perencanaan, karena
masyarakat akan lebih mengetahui seluk beluk program, sehinggga akan lahir rasa
memiliki terhadap program/ kegiatan yang akan dilaksanakan
3. Timbulnya anggapan bahwa, suatu hak demokrasi jika masyarakat dilibatkan dalam
proses pembangunan mulai dari awal sampai berakhirnya kegiatan.
Hanif Nurholis (dalam Ridwan, 2013:9) mengemukakan bahwa, perencanaan partisipatif
adalah suatu model perencanaan pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat. Dalam
hal ini, masyarakat yang aktif melibatkan diri dalam melakukan beberapa hal seperti:

1. Identifikasi masalah,
2. Perumusan masalah,

81
3. Pencarian dan penetapan alternatif pemecahan masalah,
4. Penyusunan agenda pemecahan masalah,
5. Terlibat dalam proses penggodogan (kontroversi),
6. Ikut memantau implementasi kegiatan,
7. Ikut aktif melakukan evaluasi kegiatan/program.
Hal yang paling mendasar dalam melakukan monitering dan evaluasi adalah untuk
mengetahui terlebih dahulu kegiatan dan obyek apa saja yang dapat dijadikan bahan atau
sasaran monotoring dan evaluasi. Menurut Owen dan Rogers, dalam Suharto (2010:119-120)
ada lima objek atau sasaran yang dapat dijadikan bahan monotoring dan evaluasi:
1. Program: Program adalah seperangkat aktivitas atau kegiatan yang ditujukan untuk
mencapai suatu perubahan tertentu terhadap kelompok sasaran tertentu.
2. Kebijakan: Kebijakan adalah ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam
mencapai tujuan tertentu.
3. Organisasi: Organisasi adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang bersepakat
untuk melakukan kegiatan tertentu demi mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
perusahaan, kementrian pemerintahan atau lembaga swadaya masyarakat.
4. Produk atau Hasil: Produk adalah keluaran atau output yang dihasilkan dari suatu
proses kegiatan tertentu. Misalnya, buku atau pedoman pelatihan, makanan, barang
barang yang diberikan kepada klien dalam suatu pelayanan sosial.
5. Individu: Individu yang dimaksud dalam hal ini adalah orang atau manusia yang ada
dalam suatu organisasi atau masyarakat. Umumnya monotoring dan evaluasi tehadap
individu difokuskan kepada kemampuan atau performa yang dimiliki oleh orang yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam organisasi atau
masyarakat.
Beberapa unsur dari kegiatan monitoring dan evaluasi menurut Hikmat (2010:229-231)
terdiri dari: rancangan metode evaluasi partisipatif, teknik dan prosedur, instrumentasi,
pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta pelaporan. Praktisi pembangunan
harus memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan monitoring
dan evaluasi internal. Sementara itu, teknik-teknik PRA yang perlu dikembangkan dan
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Bagian Alur Input-Output
Bagian alur input-output dapat digunakan untuk menggambarkan dan menilai
penggunaan dan interaksi antara faktor-faktor yang penting dalam proses mobilisasi potensi
sosial dan hasil program pemberdayaan masyarakat.
2. Kalender Musim dan Profil Perubahan
Kalender musim dapat digunakan untuk memperluhatkan pemanfaatan waktu sepanjang
tahun. Profl perubahan potensi sosial dapat dibuat untuk jangka waktu yang lebih panjang
guna menunjukkan perubahan dalam hal: perubahan pranata, perkembangan sumber daya
manusia, perkembangan organisasi sosial/LSM, dan pekembangan hasil proyek (Karyoto et
al., 2020).

82
Gambaran perubahan yang didukung oleh hasil uraian dari bagan alur input-outout ini
sangat berguna untuk menunjukkan keadaan transisi dan hubungan antara perubahan-
perubahan yang berbeda yang timbul di masyarakat.
Fokus perhatiannya adalah, mengamati proses pengembangan yang dilaksanaka
bersama antara pendamping (para praktisi) pembangunan dan masyarakat dalam hal:
1. Pengaktifan sumber
2. Perluasan kesempatan
3. Pengakuan terhadap keberhasilan
4. Mengintergrasikan kemajuan-kemajuan yang dicapai
Indikator keberhasilan terapan PRA dalam perencanaan partisipatif dapat diketahui
melalui pengamatan terhadap perilaku masyarakat yang menunjukkan keberdayaan dilihat
dari dua dimensi, yakni aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi.
Aktualisasi diri mencakup:
1. Ekspresi diri setiap anggota masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, baik
pada tahap dialod, penemuan, maupun pengembangan untuk program selanjutnya.
2. Internalisasi penilaian yang merupakan hasil ekspresi diri yang dihargai dan dijadikan
pertimbangan keputusan kelompok.
Koaktualsai eksistensi mengandung makna bahwa gejala-gejala perilaku yang
menunjukkan adaya aktualisasi bersama dalam kelompok, komunitas, atau masyarakat yang
berimplikasi pada eksistensi kelompok/komunitas/masyarakat dalam mengatasi berbagai
permasalahan sosial di lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning:
A New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education,
10(2), 15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15

Departemen Agribisnis FEB IPB, Pelatihan Program Pengembangan desa binaan,


Bogor,26-29 Sep 2002

Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf

http://teori-kebijakan –publik.html

Hikmat, H. (2021) Strategi pemberdayaan masyarakat, Bandung:Huberman Utama


Press

Ir. Hendrawati Hamid, M.Si, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat 2018

Karyoto, N., Sisbiantoro, D., Setyawan, W. H., & Huda, M. (2020). Effectiveness
Legal Formal of Education Culture Heritage at Van Den Bosch Fort in

83
Indonesian. B-SPACE 2019: Proceedings of the First Brawijaya International
Conference on Social and Political Sciences, BSPACE, 26-28 November, 2019, Malang,
East Java, Indonesia, 434.
https://books.google.co.id/books?id=VkUqEAAAQBAJ&dq=Effectiveness+Legal+For
mal+of+Education+Culture+Heritage+at+Van+Den+Bosch+Fort+in+Indonesian&lr=&
hl=id&source=gbs_navlinks_s

Prijono dan Pranarka, Negara, Masyarakat, dan Keadilan Sosial,Yayasan Obor


Indonesia, Jakarta, 2021, hal 37

Saptaria, L., & Setyawan, W. H. (2021). Desain Pembelajaran Technopreneurship


Untuk Meningkatkan Motivasi Berwirausaha Mahasiswa Uniska Kediri. Prima
Magistra: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 2(1), 77–89.
https://doi.org/https://doi.org/10.37478/jpm.v2i1.880

Soetomo 2008, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, PustakaPelajar,


Yogyakarta

Sukasmanto dkk, Promosi Otonomi Desa, 2004, IRE Press, Yogyakarta. Hal :73

84
PENULIS
Endah Marendah Ratnaningtyas, lahir di Yogyakarta pada 14 November 1972 dan sekarang
menetap di Yogyakarta. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri
13 Pagi Rawamangun, Jakarta Timur, pada lulus tahun 1984, dan
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 109 Jakarta Timur lulus tahun
1987, dan SMA Negeri 48 Jakarta Timur lulus pada tahun 1990.
Kemudian mlanjutkan Strata 1 di Intitut Manajemen Koperasi
Indonesia (IKOPIN) Bandung, lulus tahun 1994, tahun 1997
melanjutkan studi Strata dua di Universitas Borobudur Jakarta,
mengambil konsentrasi magister manajemen dan lulus tahun 2000.
Sekarang, tengah menempuh studi strata tiga dan sedang dalam proses
desertasi di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) konsentrasi strategik manajemen. Saat
ini sebagai dosen tetap di Universitas Mahakarya Asia, (UNMAHA) Yogyakarta. Juga
sebagai dosen LB di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Juga bergabung di LSP Talenta
sebagai Assesor dan Trainer.

Penulis bisadihubungi melalui: [email protected]

85
BAB 8
KOMUNIKASI SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pengantar

Dalam kehidupan, manusia tidak terlepas dengan manusia lainnya. Diantara


manusia saling ingin menyampaikan pikiran/gagasan dan atau perasaan. Diantara
manusia saling ingin memahami pikiran/gagasan, dan atau perasaan. Gagasan dan
perasaan disampaikan melalui saluran dengan cara tertentu sesuai dengan maksud dan
tujuannya. Itulah yang dimaksud dengan komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Lasswell dalam Effendy (2009), komunikasi adalah proses penyampaian
pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek
tertentu. Jenis komunikasi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya:
penyampaiannya, ruang lingkup, tujuan, fungsinya, kelangsungan, jenis pesan, arah,
pelaku, sifat, maupun menurut jalan informasi. Salah satu jenis komunikasi adalah
komunikasi sosial.

Pemberdayaan masyarakat adalah menyiapkan masyarakat berupa sumber


daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri
masyarakat di dalam menentukan masa depannya, serta berpartisipasi dan
mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri (Ife, 1995).
Partisipasi masyarakat merupakan komponen utama dalam pemberdayaan
masyarakat. Menumbuhkan, mengembangkan dan menggalang partisipasi
masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya, kesempatan pengetahuan, keahlian
untuk masa depannya merupakan propes pemberdayaan masyarakat. Proses tersebut
dapat berlangsung melalui komunikasi sosial.

A. Pengertian Komunikasi Sosial

Pada proses pemberdayaan masyarakat dibutuhkan partisipasi aktif dari


seluruh warga masyarakat, sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
evaluasi untuk mewujudkan tercapainya perubahan yang dikehendaki. Partisipasi
masyarakat juga dapat menimbulkan reaksi berupa sikap dan tindakan melalui
komunikasi. Untuk itu komunikasi sosial merupakan salah satu aspek penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Berikut adalah beberapa pengertian komunikasi sosial :

86
The American Speech-Language-Hearing Association, dalam Raharjo dan Kartika
(2019), komunikasi sosial merupakan kemunculan yang sinergis antara interaksi
sosial, sosial kognisi, pragmatis (verbal dan nonverbal), dan pemrosesan bahasa yang
reseptif dan ekspresif.

Ruben (1975), dalam Raharjo dan Kartika (2019) mendefinisikan komunikasi


sosial sebagai proses yang mendasari sebuah fenomena atau gejala yang terjadi
sebagai sebuah konsekuensi simbolisasi masyarakat dan pemanfaatan simbol serta
difusi.

Astrid S Susanto (1979), komunikasi sosial adalah suatu kegiatan komunikasi yang
lebih diarahkan kepada pencapaian suatu situasi integrasi sosial. Karena itu kegiatan
komunikasi sosial adalah lebih intensif daripada komunikasi massa. Titik pangkal dari
suatu komunikasi sosial karenanya adalah komunikator dan komunikan perlu
sependapat tentang bahan/materi yang akan dibahas dalam kegiatan komunikasi yang
akan dilangsungkan. Ditinjau dari segi ini, suatu komunikasi sosial akan berhasil bila
kedua belah pihak yang terlibat dalam proses komunikasi ini menganggap ada
manfaatnya untuk mengadakan kegiatan komunikasi tersebut. Melalui komunikasi
sosial terjadilah aktualisasi pada masalah-masalah yang dibahas. Selain itu kesadaran
dan pengetahuan tentang materi yang dibahas makin meluas dan bertambah.
Komunikasi sosial adalah sekaligus suatu proses sosialisasi. Melalui komunikasi
sosial, kelangsungan hidup sosial dari suatu kelompok sosial akan terjamin. Melalui
komunikasi sosial dicapailah stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-nilai baru
yang diagungkan oleh suatu masyarakat melalui komunikasi sosial, kesadaran
bermasyarakat dipupuk, dibina, diperluas. Melalui komunikasi sosial masalah-
masalah sosial dipecahkan melalui consensus (Bito et al., 2021).

International Association of Communication Activists, dalam Raharjo dan


Kartika (2019) istilah komunikasi sosial merujuk pada penggunaan media sosial;
atau bidang studi yang mengeksplorasi bagaimana informasi dapat dirasakan,
ditransmisikan, dan dipahami, serta dampaknya bagi masyarakat. Karena itu,
komunikasi sosial lebih menekankan pada bidang politik dan sosial.

Tjiptono dan Anastasia Diana (2001) berpendapat, bahwa komunikasi sosial


meruapakan upaya untuk menyampaikan maksud tertentu kepada orang lain sehingga
orang bisa memahami maksud yang disampaikan. Komunikasi juga dapat diartikan

87
proses pengiriman (berarti) dari pengirim ke penerima, menggunakan media tertentu
(Harianto et al., 2020).

Muzafer Sherif, komunikasi sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri dua
atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan
teratur, sehingga diantara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, dan
norma-norma tertentu (Muzafer Sherif, dalam Santoso, 2006).

Vera dan Wihardi, 2012, komunikasi sosial juga dapat diartikan menjadi suatu
aktivitas komunikasi untuk tujuan integrasi sosial

Bungin (2006), komunikasi sosial adalah salah satu bentuk komunikasi yang lebih
intensif, dimana komunikasi terjadi secara langsung antara komunikator dengan
komunikan, sehingga situasi komunikasi berlangsung dua arah dan lebih diarahkan
kepada pencapaian suatu situasi integrasi sosial, melalui kegiatan ini terjadilah
aktualisasi dari berbagai masalah yang dibahas. Komunikasi sosial sekaligus suatu
proses sosialisasi dan untuk pencapaian stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-
nilai lama dan baru yang diagungkan oleh suatu masyarakat. Melalui komunikasi
sosial kesadaran masyarakat dipupuk, dibina dan diperluas. Melalui komunikasi
sosial, masalah-masalah sosial dipecahkan melalui konsensus

Setyabudi, at al. ( 2021), komunikasi sosial adalah kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai suatu keadaan sosial yang padu, sehingga komunikasi sosial berlangsung
intensif, seringkali terdiri dari tindak komunikasi, misalnya komunikasi massa,
komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan lainnya. Dengan komunikasi
sosial masalah-masalah yang penting dalam masyarakat menjadi aktual dan
mendapatkan perhatian yang cukup dari anggota masyarakat, sehingga diharapkan
dapat tercapai tujuan tertentu.

Sutaryo (2005), komunikasi sosial adalah suatu proses interaksi diman seseorang
atau suatu lembaga menyampaikan amanat kepada pihak lainsupaya pihak lain itu
dapat menangkap maksud yang dikehendakipenyampai.

B. Karkteristik Komunikasi Sosial


Komunikasi sosial menurut Deddy Mulyana (2005), merupakan salah satu
fungsi dari komunikasi, selain komunikasi ekspresif, komunikasi ritual, dan
komunikasi instrumental. Komunikasi sosial dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
: a. Komunikasi formal. Dalam komunikasi sosial formal, baik perencanaan maupun

88
gagasan dikirim ke dalam sebuah organisasi atau firma atau institusi. Dalam
komunikasi sosial formal orang berbicara tentang subyek yang sama sebagai bagian
dari profesi mereka; b. Komunikasi informal. Dalam komunikasi sosial informal,
orang menempatkan pandangan mereka tentang berbagai subyek yang mungkin
mereka sukai atau minati dan membagi pandangan mereka kepada yang lainnya.
Orang akan menikmati partisipasi mereka dan dengan suka rela seseorang akan
berkomunikasi dengan orang lain. Menurut Mujiono (2012), Komunikasi sosial
setidaknya mengisyaratkan bahwa berkomunikasi untuk membangun konsep diri,
aktualisasi diri, untuk kepentingan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar
dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur, dan
memupuk hubungan dengan orang lain.
Komunikasi sosial memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai, misalnya
sosialisasi, penyebaran informasi, penyebaran ide-ide atau cara yang dianggap
penting. Isi komunikasi sosial umumnya merupakan hal-hal m yang penting bagi
masyarakat luas, baik yang harus diketahui oleh masyarakat dengan cepat atau
bertahap. Isi pesan biasanya menyangkut berbagai permasalahan masyarakat,
misalnya kesehatan, lingkungan hidup, kependidikan, serta program pemerintah
lainnya. Sasaran komunikasi sosial bisa merupakan satu kelompok yang tinggal pada
wilayah tertentu, atau tersebar. Sasaran juga dapat berbagai kelompok atau seluruh
masyarakat. Pesan dan cara penyampaikaan disesuaikan dengan sasaran yang hendak
dicapai (Setyabudi, at al. (2021),
Menurut Hendropuspito (2005), komunikasi sosial dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis menurut sudut pandang tertentu. Jenis-jenis komunikasi
sosial:
a. Komunikasi langsung (direct communication) dan komunikasi tidak langsung
(indirect communication). Komunikasi langsung (direct communication) juga
disebut komunikasi dari muka ke muka (face to face). Pengirim amanat berhubungan
langsung dengan penerima, komunikasi. Jenis ini biasanya sering dilakukan oleh
masyarakat dan pengirim amanat dapat langsung menerima tanggapanya, selain itu
jenis komunikasi ini memberikan suasana tersendiri lebih akrab dan saling percaya.
Komunikasi tidak langsung (indirect communication) terjadi apabila dalam
berkomunikasi menggunakan satu atau lebih perantara. Komunikasi ini terjadi dalam
situasi tertentu misalnya karena jarak dan karena sifat amanat itu sendiri dirasa kurang
sesuai jika disampaikan oleh si pengirim atau karena dua pihak yang bermusuhan.
89
b. Komunikasi satu arah dan komunikasi timbal balik. Komunikasi satu arah
(one-way communication) terjadi apabila penyampaian amanat itu datang dari satu
jurusan, jadi tidak mungkin ada tanggapan langsung dari penerima. Bentuk
komunikasi ini menciptakan hubungan yang kaku karena tidak mungkin ada
tanggapan langsung. Komunikasi timbal balik (reciprocal communication) terjadi
apabila pihak penerima bisa memberi tanggapan langsung pada pemberi, misalnya
berbicara lewat telepon, musyawarah. Bentuk komunikasi ini dapat mempererat
hubungan dan menjalin hubungan persaudaraan.
c. Komunikasi bebas dan komunikasi fungsional. Komunikasi bebas (nonorganik)
tidak terikat pada formalitas yang harus ditaati. Satu-satunya ikatan yaitu kode sosial-
kultural, misalnya komunikasi dalam pergaulan biasa dimana kedua belah pihak harus
mengenal aturan sopan santun. Komunikasi fungsional (institutional) terikat pada
aturan yang bersangkutan. Komunikasi ini bersifat fungsional dan struktural, misalnya
pejabat pemerintahan terhadap bawahannya, formalitas tertentu seperti penata laksana
(protokoler) (Rifai et al., 2020).
d. Komunikasi individual dan komunikasi massal. Komunikasi individual
ditunjukkan kepada satu orang yang sudah dikenal. Pihak komunikanbukan anonim,
tapi orang yang dikenal baik oleh pihak komunikator.Hasil komunikasi memiliki
bobot tersendiri. Komunikasi massal (mass communication) ditunjukkan pada umum
yang tidak dikenal. Pihak komunikan terdiri dari berbagai massa dengan berbagai
sosio-kultural, ras dan usia
Fungsi Komunikasi Sosial. Ada beberapa fungsi komunikasi sosial yaitu (Sutaryo,
2005):
a. Memberi Informasi. Informasi perlu disampaikan kepada warga masyarakat
karena kenyataan menunjukkan bahwa:
1) Manusia hanya dapat maju dan berkembang apabila dia mengetahui nilai-nilai
yang perlu dicapai.
2) Tidak semua orang memiliki pengetahuan yang sama mengenai nilai-nilai yang
sudah berhasil dicapai, mengenai sarana-sarana yang harus dipakai, dan bahaya-
bahaya yang harus disingkirkan.
3) Setiap orang mempunyai hak asasi untuk mendapat informasi yang berguna bagi
hidupnya.
b. Memberi Bimbingan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, komunikasi
berfungsi memberikan bimbingan-bimbingan kepada masyarakat Bimbingan yang
90
bernilai tinggi akan menumbuhkan gairah kerja, selain itu jika ada masyarakat yang
menyimpang dari pola-pola kelakuan yang benar dapat dikembalikan kejalan yang
benar. Bimbingan disampaikan lewat pesan (amanat) yang sifatnya menuntun,
menyetujui, menolak, mencela, menegur, mendukung atau menentang, mengajak atau
menganjurkan, memberi petunjuk mengenai prioritas tertentu diantara tindakan yang
harus dilaksanakan. (Sutaryo, 2005).
Fungsi komunikasi sosial tidak terlepas dengan fungsi komunikasi secara
umum. Adapun fungsi komunikasi adalah sebagai berikut (Cangara, 2018):
1. Informasi, komunikasi berfungsi untuk mengumpulkan dan menyimpan data,
fakta, pesan serta opini yang berkenaan dengan aspek pembangunan masyarakat.
2. Sosialisasi, komunikasi juga berfungsi sebagai alat sosialisasi yang memudahkan
anggota masyarakat saling berinteraksi.
3. Motivasi, komunikasi juga berfungsi sebagai motivasi yang mendorong setiap
individu di dalam masyarakat untuk berperan aktif dalam rangka membangun.
4. Kebudayaan, Komunikasi berfungsi untuk memajukan kebudayaan.
5. Hiburan, komunikasi juga merupakan salah satu media hiburan yang penting bagi
masyarakat ditengah-tengah hiruk pikuknya pembangunan.
6. Integrasi, komunikasi menciptakan integrasi, artinya komunikasi mampu
menjembatani perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu di dalam masyarakat.
7. Inovasi, komunikasi juga mendorong lahirnya inovasi. Dalam hal ini inovasi hadir
karena adanya kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat terkait potensi yang dimiliki
(Setyawan, 2017).

C. Elemen Komunikasi Sosial

Deddy Mulyana (2005). Kegiatan komunikasi sosial terjadi dalam dua hal yang
pertama: dalam konteks komunikasi interpersonal, yaitu interaksi yang terjadi antar
individu secara langsung dan tatap muka dalam suatu lingkungan sosial, yang kedua:
dalam konteks komunikasi massa, yaitu interaksi yang terjadi berdasarkan pengalaman
masing-masing individu dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas yang didapatkan
melalui saluran-saluran komunikasi media atau media massa.
Komunikasi interpersonal maupun komunikasi masa merupakan proses di
mana komponen-komponen saling terkait, termasuk di dalamnya komunikasi sosial.
Para peserta komunikasi saling beraksi dan bereaksi sebagai satu kesatuan dan

91
keseluruhan, Elemen dalam komunikasi menurut Tommy Suprarto (2009) dalam Panuju
(2018), adalah :
1. Komunikator. Komunikator adalah mengirim atau penyampai pesan.
2. Pesan (message). Merupakan sesuatu, entah dalam bentuk ide, abstraksi realitas atau
bahkan hal yang bersifat ekspektasi (harapan) yang disampaikan oleh komunikator
kepada penerima.
3. Saluran (Source). Merupakan sarana atau media yang digunakan oleh komunikator
kepada komunikan.
4. Komunikan (penerima). Merupakan penerima pesan, baik bersifat individual,
kelompok, massa, maupun anggota organisasi.
5. Hambatan atau gangguan. Dalam setiap komunikasi pasti ada faktor yang
menyebabkan proses komunikasi tidak berjalan efektif, tidak seperti yang diinginkan,
dan bahkan acap kali menimbulkan salah pengertian. Gangguan bisa berasal dari
komunikator, isi pesan, media yang digunakan, maupun pada penerimanya.
6. Umpan balik (feedback). Merupakan respons, tanggapan, ataupun reaksi atas suatu
pesan. Umpan balik bisa dalam bentuk yang netral, ada yang mendukung (positif), dan
ada yang menolak (negatif).
7. Efek. Merupakan akibat yang timbul dari komunikasi, baik berupa emosi, pikiran
maupun perilaku.
8. Situasi. Merupakan keadaan yang ada atau terjadi pada saat berlangsung komunikasi.
Situasi ini bisa berupa suhu, cuaca, tata ruang, sikap peserta komunikasi, dan tujuan
tujuan berkomunikasi.
9. Selektivitas. Merupakan filter yang digunakan peserta komunikasi untuk menyaring
pesan. Baik berupa nilai-nilai budaya, mitos, prasangka, dan lainnya.
10. Lingkungan. Merupakan pihak lain yang ikut campur atau intervensi dalam
komunikasi.
D. Membangun Komunikasi Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat
Payne (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada
hakikatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan kekuatan (daya) untuk
mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan
diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan
tindakan. Pemberdayaan dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas,
pengembangan rasa percaya diri untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer

92
kekuatan dari lingkungannya. Sebagai suatu proses, pemberdayaan adalah usaha yang
terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia.
Freire dalam Djaka Waskita (2005), pemberdayaan individu masyarakat dapat
dilakukan melalui proses penyadaran pada mereka terhadap situasi dan kondisi
lingkungan, kebutuhan, keinginan, dan kemampuan. Proses penyadaran tersebut
harus dilakukan melalui proses dialog. Sedangkan proses dialog merupakan proses
komunikasi dua arah yang berkelanjutan sehingga menemukan suatu pemahaman
dan pengertian yang membentuk suatu kesadaran. Kesadaran ini akan terjadi pada
pihak-pihak yang berdialog. Menurut Freire, menjadi manusia berarti menjalin
hubungan dengan sesama dan dengan dunia sekitarnya sebagai realitas objektif yang
tidak tergantung kepada siapapun. Integrasi dengan lingkungan berbeda dengan
adaptasi, untuk itu dia “seseorang tidaklah utuh bila dia kehilangan kemampuan
memilih, bila pilihannya adalah pilihan orang lain, dan bila keputusan keputusannya
berasal dari luar dan bukan merupakan keputusan sendiri”. Menurut Bessette diacu
Hadiyanto (2009), pemberdayaan tidak akan berjalan efektif jika tidak ditunjang
dengan sistem informasi yang baik dan memadai. Van de Fliert (2014), dalam
Nindatu 2019, bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari
komunikasi pembangunan. Komunikasi Pembangunan Partisipatif (Kombangpar)
sebagai pendekatan alternatif dapat dipandang sebagai “sarana ampuh” untuk
memfasilitasi proses-proses partisipatif bila sejalan dengan dinamika pembangunan
di tingkat lokal (Hadiyanto, 2009).
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukkan bahwa komunikasi merupakan
unsur penting di dalam pemberdayaan masyarakat. Dengan memahami esensi
komunikasi sosial, meliputi : pengertian, karakteristik serta elemen-elemennya,
maka komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat merupakan komunikasi sosial
yang perlu dibangun dalam pemberdayaan masyarakat.
Komunikasi sosial dalam pemberdayaan masyarakat merupakan
penyampaian dan penerimaan pesan/maksud diantara anggota masyarakat atau
dengan steak holder, agen perubahan dan fasilitator pemberdayaan masyarakat,
secara personal, kelompok, massal, dan secara formal, serta non formal. Dengan
komunikasi tersebut terbina partisipasi masyarakat secara terpadu, terstruktur dan
berkesinambungan, dalam proses penggunakan sumberdaya yang dimiliki serta
mengatasi masalah untuk mencapai tujuan yaitu memperbaiki kehidupan
masyarakat.
93
Komunikasi Pemberdayaan merupakan usaha untuk memajukan ekonomi
masyarakat yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia yang ada dan pengelolahan sumber daya di sekitar.
Dalam rangka memajukan tersebut perlu melibatkan elemen-elemen komunikasi
seperti, komunikator, pesan yang disampaikan, saluran yang ditujukan ke
masyarakat, komunikan dan feedback dari masyarakat itu sendiri, (Setyabudi, at al.
2021).
Keberhasilan sebuah kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat
akan ditentukan oleh komunikasi yang partisipatif. Adanya komunikasi yang
partisipatif memungkinkan anggota komunitas penerima program (partisipan)
memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan
masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat. . Dengan
komunikasi partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas masyarakat
dapat lebih tergali. Dengan pendekatan partisipatif diharapkan dapat berkembangnya
aktifitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial sebagai
anggota komunitas itu sendiri. (Suparjan et al. 2003).
Elemen komunikasi pemberdayaan masyarakat sesuai dengan elemen
komunikasi secara umum. Elemen-elemen komunikasi pemberdayaan masyarakat
meliputi (Dewi, 2020) : Komunikator dalam komunikasi pemberdayaan dikenal
dengan istilah fasilitator/penyuluh ; Pesan dalam komunikasi pemberdayaan
merupakan informasi yang didapatkan dari hasil diskusi fasilitator dan masyarakat
dengan mengusung mutual understanding dan metode bottom up; Saluran dalam
komunikasi pemberdayaan merupakan media yang digunakan dalam proses
memberikan daya kepada masyarakat; Komunikan dalam komunikasi pemberdayaan
merupakan komunitas yang sesuai dengan konsep tipologi komunitas atau obyek
pemberdayaan masyarakat; Feedback merupakan proses mutual understanding (MU)
dalam proses pemberian daya pada masyarakat.
Dalam komunikasi pemberdayaan perlu ditetapkan siapa yang mengawali
komunikasi, kepada siapa, dengan apa, melalui siapa pesan disampaikan. Untuk itu
dapat digunakan model komunikasi. Model Komunikasi adalah gambaran yang
sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen
komunikasi dengan komponen lainnya (Muhammad, 1992). Beragam model
komunikasi antara pelaku pemberdayaan dengan penerima manfaat, diantaranya (
Dewi, 2020 ): 1. Model Komunikasi Pemberdayaan Vertikal. Kegiatan
94
pemberdayaan menggunakan komunikasi bersifat satu arah. Ide, gagasan dari pihak
eksternal disampaikan kepada penerima manfaat menerima program yang ditawarkan
oleh pelaku pemberdayaan. Program pemberdayaan sesuai dengan kebutuhan sasaran
ditetapkan berdasarkan riset ; 2. Model Komunikasi Pemberdayaan Konvergen.
Pada model ini, proses dan kegiatan pemberdayaan dilakukan melalui proses diskusi
panjang dengan masyarakat terkait kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Diskusi
melibatkan seluruh elemen masyarakat, sehingga pada akhirnya tercipta Mutual
Understanding atau kesamaan persepsi dan keinginan; 3. Model Komunikasi
Pemberdayaan Partisipatoris. Pada model ini, kegiatan pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan inisiatif seluruh elemen masyarakat dengan bersama-sama untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Kegiatan dan aktivitas riset dilakukan oleh inisiator
dan masyarakat terlibat penuh, sehingga program yang dirancang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat ; 4. Model Komunikasi Pemberdayaan Difusi Inovasi.
Model ini sering menjadi rujukan untuk studi komunikasi pembangunan dan
komunikasi pertanian. Namun demikian model ini juga dapat diaplikasikan dalam
bidang pendidikan, kesehatan, indsutri, kependudukan dan keluarga berencana. model
ini diasumsikan sebagai tahapan dalam penyebarluasan sebuah gagasan atau ide-ide
baru (inovasi).

Penutup

Komunikasi sosial merupakan unsur penting di dalam pemberdayaan


masyarakat. Dalam rangka terbinanya partisipasi masyarakat secara terpadu,
terstruktur dan berkesinambungan, dalam penggunakan sumberdaya, dan mengatasi
masalah untuk memperbaiki kehidupannya, perlu dibangun komunikasi sosial dalam
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari
komunikasi pembangunan. Komunikasi Pembangunan Partisipatif merupakan
“sarana ampuh” dalam pemberdayaan masrakat. Untuk membangun komunikasi
sosial dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan model komunikasi dengan
menyertakan elemen-elemen komunikasi yang disesuaikan dengan kondisi
masyarakat penerima manfaat.

95
DAFTAR PUSTAKA
American Speech-Languge-Hearing Association. Type, degree, and configuration of hearing
loss. Rockville: American Speech-LanguageHearing Association; 2015
Astrid, S. 1979. Komunikasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Bina Cipta

Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk
Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School.
ELEMENTARY: Islamic Teacher Journal, 9(1).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835

Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana


Dewi, M. (2020) . Komunikasi Pemberdayaan. Yogyakarta : Penerbit Komunikasi
UII Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia
Effendy, OU. (2009). Ilmu Komunikasi -Teori dan Praktek. Bandung : Penerbit PT Remaja
Rosdakarya
Fliert E.V. (2014). Global Handbooks in Media and Communication Research The
Handbook of Development Communication and Social Change. Wilkins KW, Tufte T,
Obregon R, editor. West Sussex (UK): Wiley Blackwell
Freire, P. (1984). Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia

Harianto, G. P., Rusijono, R., Masitoh, S., & Setyawan, W. H. (2020). Collaborative-
Cooperative Learning Model to Improve Theology Students’characters: Is it
Effective? Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(2).
https://doi.org/10.21831/cp.v39i2.31272

Hadiyanto. 2009. Desain Pendekatan Komunikasi Partisipatif dalam Pemberdayaan Peternak


Domba Rakyat. Jurnal Media Peternakan, hlm. 145-154 ISSN 0126-0472 Vol. 32 No. 2
Hendropuspito, D. 2005. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Ife, Jim. (1995). Community Development: Creating Community Alternatives, Vision,
Analysis and Practice. Australia: Longman.
Lasswell, H. D. (1948). The structure and function of communication in society. In L. Bryson
(Ed.), The communication of ideas. New York: Harper and Row.
Mulyana, D. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Offset
Mudjiono, Y. (2012). Komuniasi Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.2, No.1, April 2012
Muhammad, A. (1992). Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara
Nindatu, P I. (2019). Komunikasi Pembangunan Melalui Pemberdayaan Masyarakat Untuk
Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Perspektif Komunikasi. Program Studi Ilmu
Komunikasi dan Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta Vol. 3 No. 2 Desember 2019

96
Panuju, R. (2018). Pengantar Studi (Ilmu) Komunikasi - Komunikasi sebagai Kegiatan
Komunikasi sebagai Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group.
Payne, M. (1997). Modern Social Work Theory. Edisi Kedua. London : McMillanPress Ltd
Raharjo, TB & T, Kartika. (2019). Komunikasi Sosial dan Pembangunan Sebuah Kajian
tentang Masyarakat Perambah Hutan di Kawasan TNBBS). Bandar lampung: Pusaka
Media

Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723

Ruben, B D & John Y. Kim. (1975) : General Systems Theory and Human Communication.
Rochelle Park, N. J.: Hayden Book Company
Santoso, S. (2006). Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi aksara
Setyabudi, D., W N, Rahmat., H D Sulistyani. (2021). Komunikasi Sosial. Tangerang
Selatan: Penerbit Universitas Terbuka

Setyawan, W. H. (2017). Pemanfaatan Teknologi Mobile Learning dalam


Pengembangan Profesionalisme Dosen. Al-Ulum, 17(2), 389–414.
https://doi.org/10.30603/au.v17i2.240

Sutaryo. (2005). Sosiologi Komunikasi. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran


Suprapto, Tommy. 2009. Pengantar Teori & Manajemen Komunikasi. Jakarta: PT Buku Kita
Suparjan. 2003. Pengembangan Masyarakat: dari Pembangunan sampai Pemberdayaan.
Yogyakarta: Aditya Media
Tjiptono, F & A, Diana. (2001). Total Quality Manajement, Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi
Offset
Vera, N., & Wihardi, D. (2012). “Jagongan” sebagai bentuk komunikasi sosial pada
masyarakat Solo dan manfaatnya bagi pembangunan daerah. Jurnal Ilmiah Komunikasi
Makna, 2(2), 40-46
Waskita, D. (2005). Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan. Jurnal Organisasi dan
Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 32-40

97
Biodata Penulis

Dr. Kuswarini Sulandjari, Ir., M.P., Staf pengajar pada Program Studi
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Singaperbangsa Karawang.
Pendidikan Strata Satu pada Departemen Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Stara Dua pada Pragram Pasca
Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Tingkat Doktoral pada Program
Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung.

98
BAB 9
PERAN FASILITATOR DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Pengertian fasilitator
Pemberdayaan masyarakat selalu berkaitan dengan fasilitator, karena fasilitatorlah
yang menjalankan proses-proses pemberdayaan masyarakat tersebut dan salah satu fungsi
dari fasilitator adalah sebagai pendamping masyarakat dalam menjalankan program-program
pemberdayaan masyarakat, karena itu istilah fasilitator bukan hal yang asing bagi
masyarakat.
Ada banyak pakar yang mendifisikan istilah fasilitator ini, diantaranya pendapat
Hunter et al (1993) dalam Hanifah et al (2021) fasilitator adalah pemandu proses, seseorang
yang membuat sebuah proses lebih mudah atau lebih yakin untuk menggunakannya.
fasilitator adalah seseorang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan bersama
mereka, membuat rencana guna mencapai tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu
dalam diskusi. Beberapa fasilitator akan mencoba membantu kelompok dalam mencapai
consensus pada setiap perselisihan yang sudah ada sebelumnya atau muncul dalam rapat
sehingga memiliki dasar yang kuat untuk tindakan di masa depan. (sumber: wikipedia).
Pendapat Rosida (2018) dalam Hanifah et al (2021) fasilitator adalah sekelompok orang yang
mendampingi, memberi semangat, pengetahuan, bantuan dan saran suatu kelompok dalam
memecahkan masalah sehingga kelompok lebih maju. Dari pendapat-pedapat diatas maka
dapat dikatakan bahwa seorang fasilitator mempunyai tugas untuk merencanakan proses
pemberdayaan sehingga proses tersebut menjadi mudah untuk di berikan kepada masyarakat.
Perencanaan proses pemberdayaan bisa berupa kegiatan-kegiatan atau program-program yang
dibuat, yaitu bagaimana membuat perencanaannya, bagaimana cara untuk melakukan
sosialisasinya, apa saja persiapan yang harus dilakukan. Juga bagaimana pelaksanannya,
bagaimana cara melakukan pengawasannya dan bagaimana cara pemeliharaan program
tersebut agar berkelanjutan, dengan melibatkan seluruh masyarakat untuk bisa ikut serta aktif
dalam program tersebut, untuk kebutuhan dan kepentingan bersama agar menjadi lebih baik
dan kuat untuk masa depan bersama. Fasilitator dalam menyampaikaian kegiatan-kegiatan
memberdayaan dengan cara melakukan komunikasi yang aktif dan interaktif pada semua
masyarakat, juga dengan menggunakan strategi-strategi dan media yang tepat sesuai dengan
yang diperlukan masyarakat, sehingga bisa membuat masyarakat berani dan percaya diri,

99
didalam menyampaikan pendapatnya juga bercerita pengalamannya selama ini sehingga
diskusi dan komunikasi bisa berajalan secara efektif (Budiman & Samani, 2021).
Richard G Weaver dan John D. Farrell (1999) dalam Hanifah et al (2021) mengatakan
bahwa, fasilitator yang efektif adalah orang yang tahu bagaimana memanfaatkan dirinya
sebagai instrumen untuk membuat kelompok yang difasilitasinya lebih berhasil. Begitu juga
menurut Barker (2012) dalam Hanifah et al (2021) fasilitator diartikan sebagai tanggung
jawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional dan tradisional,
dengan menggunakan strategi khusus untuk mencapai tujuan. Juga pendapat Bens (2012)
dalam Hanifah et al (2021) tentang fasilitator, fasilitator adalah seseorang yang terlibat dalam
kegiatan fasilitasi. Mereka membantu sekelompok orang memahami tujuan umum mereka
dan membantu mereka untuk merencanakan bagaimana untuk mencapai tujuan, dalam
melakukannya. Beberapa penjelasan tentang fasilitator diatas, dapat dikatakan bahwa,
seorang fasilitator mempunyai berbagai macam tugas sehingga harus bisa berperan
multifungsi, karena itu fasilitator harus memiliki berbagai macam kompetensi pada dirinya
yaitu memiliki keterampilan dan pengetahuan serta materi-materi yang akan dismpaikan
sesuai dengan yang diperlkukan oleh masyarakat. Berbagai macam peran fasilitator tersebut
adalah bisa berperan sebagai advokasi, bisa sebagai edukator, inovator, sebagai diseminasi
inovasi, sebagai motivator dan sebagai mediator untuk masyarakat. Begitu juga fasilitator
harus bisa memahami kebutuhan dan kemampuan masyarakat, sehingga kegiatan yang dibuat
sesuai dengan kebutuhan mereka dan nantinya diharapkan pelaku kegiatan itu masyarakat
sendiri. Diharapkan dari ide-ide mereka sendiri untuk melakukan kegiatan dan nantinya
diharapkan masyarakat bisa mengelola sendiri program-program pemberdayaan untuk tujuan
mereka bersama menjadi berdaya (Sari & Setiawan, 2021).

B. Peran Dan Tujuan Fasilitator Dalam Pemberdayaan


a. Tujuan Fasilitator Dalam Pemberdayaan
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari pemberdayaan
masyarakat ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, dengan cara
fasilitator mengajak masyarakat untuk terlibat didalam kegiata-kegiatan proses pemberdayaan
masyarakat, sehingga bisa merubah perilaku mereka untuk mencapai kualitas hidup yang
lebih baik dan sejahtera. Nantinya diharapkan peran masyarakat dalam proses pemberdayaan
akan bertambah lebih banyak dan akhirnya masyrakat menjadi madiri. Dimana fasilitator
akan mendorong masyakat untuk berani menyampaikan pendapat mereka, berani
100
menyampaikan ide-ide mereka dan juga mempunyai kemampuan serta keberanian untuk
memilih program-program kegiatan yang sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat sendiri.
Karena itu masyarakat membutuhkan fasilitator untuk membantu memfasilitasi mereka, agar
berhasil mencapai tujuan sesuai dengan apa yang diperjuangkan, untuk meningkatkan taraf
hidup yang lebih baik dan sejahtera. Fasilitator sebagai pelaksana atau pekerja proses
pemberdayaan masyrakat. Hal ini sesuai dengan pendapat, Lippit (1958) dan Rogers (1983)
dalam Meygita Yohan Pratiwi (2019) menyebut fasilitator sebagai agen perubahan (change
agent), yaitu seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga pemberdayaan masyarakat
berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
(calon) penerima manfaat dalam mengadopsi inovasi.
Pendapat dari Soerjono Soekanto dalam Meygita Yohan Pratiwi (2019) menyatakan,
pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-
lembaga kemasyarakatan. Fasilitator memang sebagai agen perubahan (change agent) dalam
proses pemberdayaan masyarakat, karena itu harus mampu mengajak masyarakat untuk
melakukan perubahan dan membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka
hadapi, dimana perubahan masyarakat kearah yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan
bersama. Karena tujuan adanya fasilitator adalah sebagai agen perubahan, maka fasilitator
perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum melakukan proses pemberdayaan
masyarakat. Fasilitator harus memiliki kompetensi, keahlian dan berbagai macam
keterampilan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan rumusan
Havelock, agen perubahan adalah orang yang membantu terlaksananya perubahan sosial atau
suatu inovasi berencana. (Meygita Yohan Pratiwi, 2019). Tujuan fasilitator dalam
memfasilitasi masyarakat adalah untuk bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan proses
pemberdayaan, yaitu melakukan sosialisasi program yang dibuat, menjalankan rencana
kegiatan yang sudah dibuat, inovasi yang dibuat sesuai dengan kebutuhan. Juga melakukan
identifikasi permasalahan yang ada di masyarakat, dapat berdialog dengan semua lapisan
masyarakat, dapat memotivasi masyarakat, membangun struktur kelompok, menjalankan
program-program kegiatan yang sudah di buat sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta
bagaimana mengembangkan potensi-potensi yang ada di masyarakat secara mandiri.
Kegiatan pemberdayaan ini dilakukan secara terus-menerus (berkesinambungan), dengan
melakukan evaluasai serta mengkaji hasil dari kegiatan-kegiatan dengan tujuan untuk
meningkatkan keberhasilan dari program-program pemberdayaan masyarakat tersebut.

101
Karena tingkat keikutsertaan masyarakat dalam memberikan respon terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam proses pemberdayaan masyarakat, itu tergantung
dari bagaimana kemampuan fasilitator dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut. Agar
tujuan fasilitator sebagai agen perubahan (change agent) dapat tercapai, maka seorang
fasilitator harus mampu membatu menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Fasilitator juga harus bisa menjadi narasumber yang baik. Fasilitator harus mampu mengajak
masyarakat berdaya dan peran memasilitasi secara bertahap dikurangi, sehingga masyarakat
bisa mandiri, yaitu mampu menjalankan kegiata-kegiatan atas ide-ide mereka sendiri sesuai
dengan kebutuhan mereka. Fasilitator bersama-sama dengan masyarakat melakukan
identifikasi, menganalisis kebutuhan masyarakat dan menggali kekuatan diri/potensi,
sehingga fasilitator akan tahu apa yang benar-benar dibutuhkan mereka untuk kegiatan
pemberdayaan. Diharapkan nantinya masyarakat akan mampu melakukan sendiri kegiatan-
kegiatan pemberdayaan, untuk menyelesaikan masalah mereka bersama untuk kehidupan
lebih baik. Sikap seorang fasilitator harus sopan dan berpenampilan sesuai dengan norma
masyarakat yang ada disana. Seorang fasilitator juga harus memiliki sikap empati (bisa
menghargai pendapat/pandangan orang lain), sikap empati ini diperlukan agar fasilitator
mudah untuk duduk bersama masyarakat, untuk dapat mendengarkan apa yang disampaikan
mereka, dalam membuat rencana kegiatan bersama masyarakat. Masyarakat juga diberi
kesempatan untuk dapat membuat beberapa alternatif kegiatan dan menentukan pilihannya
sesuai dengan keinginan mereka untuk hidup sejahtera. Seorang fasilitator diharapkan
mempunyai keahlian dalam berkomukasi, hal ini diperlukan agar nantinya pada waktu
memfasilitasi, pesan yang disampaikan akan efektif dan dapat diterima oleh masyarakat.
Fasilitator diharapkan nantinya bisa menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat,
sehingga bisa medorong semua masyarakat untuk ikut serta dan aktif dalam diskusi,
masyarakat juga akan mampu mengemukakan pendapatnya dalam kelompok, sesuai dengan
cara dan kemampuan masing-masing masyarakat, sehingga proses pengambilan keputusan
bisa dilakukan bersama. Diharapkan dengan terjalinnya komunikasi yang baik antara
masyarakat dan fasilitator maka kegiatan-kegiatan pemberdayaan akan berjalan dengan baik
(Herry Setyawan et al., 2019).
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas tentang tujuan adanya fasilitator dan juga
menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang harus di persiapkan oleh seorang fasilitator dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang
fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat bukan hal yang mudah, ada beberapa kualifikasi
yang harus dipenuhi untuk menjadi fasilitator. Juga harus melakukan persiapan sebelum
102
kegiatan fasilitasi di mulai, diantaranya harus memiliki berbagai macam keterampilan,
pengetahuan dan memiliki wawasan yang cukup luas yang berhubungan dengan kegiatan
proses pemberdayaan dan diharapkan fasilitator nantinya akan mempunyai kemampuan
terbaiknya dalam memfasilitasi masyarakat.

b. Peran fasilitator Dalam Pemberdayaan


Peran seorang fasilitator itu sangat diperlukan untuk menjalankan keberlangsungan kegiatan-
kegiatan dalam program pemberdayaan masyarakat dan fasilitator mempunyai pengaruh
besar terhadap kegiatan-kegiatan dalam proeses pemberdayaan. Sesuai dengan pendapat yang
di sampaikan Soekanto (1990) dalam Kartini Eva.CN (2010) Soekanto berpendapat bahwa:
peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai proses. Tepatnya adalah bahwa
seseorang yang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat dan menjalankan
suatu peran. Peranan merupakan proses dinamis dari kedudukan dan status. Dengan demikian
seseorang yang menjalankan peranan adalah mereka yang melaksanakan hak dan kewajiban,
tugas dan fungsinya sesuai dengan kedudukan atau status yang dimiliki. Karena itu seorang
fasilitator dalam melakukan fasilitasi harus mempunyai kemampuan komunikasi yang sangat
baik sehingga semua informasi, ide-ide, inovasi dan gagasan tentang hal-hal yang baru yang
disampaikan ke masyarakat, dapat membuat masyarakat mau berubah. Juga bisa merubah
sikap mereka, pengetahuan mereka menjadi lebih baik dan juga perilaku mereka menjadi
lebih baik dengan tujuannya untuk bisa merubah kehidapan mereka, dari kehidupan mereka
yang ada pada saat ini, untuk kehidupan mereka yang lebih baik, bisa mandiri dan sejahtera.
Sehubungan dengan hal tersebuat maka untuk melaksanakan tugasnya sebagai agen
perubahan (change agent), fasilitator mempunyai beberapa peran yang harus dijalankan,
karena itu sebagai tanggung jawabnya dalam melakukan kegiatan proses pemberdayaan
masyrakat (Hastuti & Setyawan, 2021).
Secara garis besar ada beberapa peran utama fasilitator dalam pemberdaya
masyarakat, menurut pendapat Ryandono (2014) dalam Hendrawati Hamid (2018), peran
utama tersebut yaitu:
a. Sebagai pembangkit kesadaran akan pentingnya arti perubahan
b. Sebagai motivator penggerak perubahan
c. Sebagai mediator dengan berbagai pemangku kepentingan
Adanya 3 (tiga) tahapan peran fasilitator dalam proses pemberdayaan masyarakat menurut
Levin (1943) dalam Ara auza (2019) ke 3 (tiga) tahapan peran tersebut terdiri atas kegiatan-
kegiatan:
103
a. pencairan diri dengan masyarakat sasaran.
b. menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan.
c. pemantapan hubungan dengan masyarakat sasaran.
Menurut pendapat Mardikanto (2010) dalam Ara auza (2019) ada 7 (tujuh) peran fasilitator
dalam proses pemberdayaan masyarakat, ke tujuh peran ini disebut edfikasi, yaitu akronim
dari:
a. Peran edukasi
yaitu berperan sebagai pendidik dalam arti untuk mengembangkan proses belajar-bersama
penerima manfaatnya, dan terus menanamkan pentingnya belajar sepanjang hayat kepada
masyarakat penerima manfaatnya.
b. Peran deseminasi inovasi
yaitu peran penyebarluasan informasi/inovasi dari “luar” kepada masyarakat penerima
manfaatnya, atau sebaliknya dan dari sesama warga masyarakat kepada warga masyarakat
yang lain (di dalam maupun antar sistem sosial yang lain).
c. Peran fasilitasi
yaitu memberikan kemudahan dan atau menunjukkan sumber-sumber kemudahan yang
diperlukan oleh penerima manfaat dan pemangku kepentingan pembangunan yang lain.
d. Peran konsultasi
yaitu sebagai penasehat atau pemberi alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat penerima menfaatnya dan pemangku kepentingan yang lain.
e. Peran advokasi
fasilitator berperan untuk memberikan bantuan yang berkaitan dengan
rumusan/pengambilan keputusan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat
penerima manfaat (terutama bagi kelompok kelas-bawah).
f. Peran supervisi
fasilitator berperan sebagai supervisor pelaksanaan kegiatan advokasi dan
pemberdayaan masyarakat yang ditawarkan dan atau dilaksanakan oleh masyarakat penerima
manfaat.
g. Peran pemantauan (monitoring) dan evaluasi
fasilitator berperan untuk melakukan pengamatan, pengukuran, dan penilaian atas
proses dan hasil-hasil pemberdayaan masyarakat, baik selama kegiatan berlangsung (on-
going), maupun pada saat sebelum (formatif) dan setelah kegiatan dilaksanakan (ex-
post/sumatif).

104
Ada beberapa peran fasilitator dalam proses pemberdayaan masyarakat menurut
Lippit (1958) dalam Ara auza (2019) jadi peran-peran tersebut adalah:
a. Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
tahapan ini, setiap fasilitator harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
mencakup:
a) Diagnosa masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang benar-benar diperlukan
(real need) masyarakat sasaran.
b) Pemilihan obyek perubahan yang tepat, dengan kegiatan awal yang benar-
benar diyakini pasti berhasil dan memiliki arti yang sangat strategis bagi
berlangsungnya perubahan-perubahan lanjutan di masa-masa berikutnya.
c) Analisis tentang motivasi dan kemampuan masyarakat sasaran untuk
melakukan perubahan, sehingga upaya perubahan yang direncanakan
mudah diterima dan dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya (dana,
pengetahuan/keterampilan, dan kelembagaan) yang telah dimiliki
masyarakat penerima manfaatnya.
d) Analisis sumberdaya yang tersedia dapat digunakan oleh fasilitator untuk
perubahan seperti yang direncanakan.
e) Pemilihan peran bantuan yang paling tepat yang akan dilakukan oleh
fasilitator, baik berupa bantuan keahlian, dorongan/dukungan untuk
melakukan perubahan, pemben-tukan perubahan, pembentukan
kelembagaan, atau mem-perkuat kerjasama masyarakat atau menciptakan
suasana tertentu bagi terciptanya perubahan.
b. Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Dalam tahapan ini,
kegiatan yang harus dilakukan oleh fasilitator adalah:
a) Menjalin hubungan yang akrab dengan masyarakat sasaran.
b) Menunjukkan kepada masyarakat sasaran tentang pentingnya perubahan-
perubahan yang harus dilakukan, dengan menunjukkan masalah-masalah
dan kebutuhan-kebutuhan yang belum dirasakan oleh masyarakat
sasarannya.
c) Bersama-sama masyarakat, menentukan kegiatan memobilisasi sumberdaya
(mengumpulkan dana, menyelenggarakan pelatihan, membentuk dan
mengembangkan kelembagaan), dan memimpin (mengambil inisiatif,
mengarahkan, dan memimbing), perubahan yang direncanakan.
c. Memantabkan hubungan dengan masyarakat sasaran, melalui upaya-upaya:
105
a) Terus menerus menjalin kerjasama dan hubungan baik dengan masyarakat
sasaran, terutama tokoh-tokohnya (baik tokoh formal maupun tokoh
informal).
b) Bersama-sama tokoh-tokoh masyarakat memantabkan upaya-upaya
perubahan dan merancang tahapan-tahapan perubahan yang perlu
dilaksanakan untuk jangka Panjang.
c) Terus-menerus memberikan sumbangan terhadap perubahan-perubahan
yang propesional melalui kegiatan penelitian dan rumusan konseptual.
Seorang fasilitator harus mempunyai peran ganda ini menurut pendapat Mosher (1968) dalam
Ara auza (2019) ada peran ganda yang harus dilakukan fasilitator dalam memfasilitasi
kegiatan proses pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:
a. Guru, yang berperan untuk mengubah perilaku (sikap, pengetahuan, dan
ketrampilan) masyarakat penerima manfaatnya.
b. Penganalisis, yang selalu melakukan perngamatan terhadap keadaan
(sumberdaya alam, perilaku masyarakat, dan kemampuan dana, dan
kelembagaan yang ada) dan masalah-masalah serta kebutuhan-kebutuhan
masyarakat penerima manfaatnya, dan melakukan analisis tentang alternatif
pemecahan masalah/ pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
c. Penasehat, untuk memilih alternatif perubahan yang paling tepat, yang secara
teknis dapat dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan dapat diterima
oleh nilai-nilai sosial budaya setempat.
d. Organisator, yang harus mampu menjalin hubungan baik dengan segenap
lapisan masyarakat (terutama tokoh-tokohnya), mampu menumbuhkan
kesadaran dan menggerakkan partisipasi masyarakat, mampu berinisiatif bagi
terciptanya perubahan-perubahan serta dapat memobilisasi sumberdaya,
mengarahkan dan membina kegiatan-kegiatan, maupun mengembangkan
kelembagaan-kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan perubahan-
perubahan yang telah direncanakan.
ASTD (1998) dalam Wahjudin Sumpeno (2017) mengemukakan empat fungsi utama
pendamping atau fasilitator kegiatan pemberdayaan masyarakat yaitu:
a. Narasumber (resource person)
Fasilitator sebagai narasumber (resource person) karena keahliannya berperan sebagai
sumber informasi sekaligus mengelola, menganalisis dan mendesiminasikan dalam berbagai
cara atau pendekatan yang dianggap efektif.
106
b. Pelatih (trainer)
Fasilitator sebagai pelatih (trainer) melakukan tugas pembimbingan, konsultasi, choaching
dan penyampai materi untuk peningkatan kapasitas dan perubahan perilaku pembelajar.
Tugas fasilitator sebagai pelatih sangat menonjol dalam setiap kegiatan training, lokakarya,
seminar dan diskusi. Penguasaan terhadap pola perubahan perilaku baik pengetahuan,
keterampilan dan sikap menjadi penting untuk menentukan proses (metodologi) dan hasil dari
suatu pembelajaran.
c. Mediator,
Peran mediator dilakukan ketika terjadi ketegangan dan konflik antar kelompok yang
berlawanan, Peran mediasi akan dilakukan oleh fasilitator untuk menjembatani perbedaan
dan mengoptimalisasikan berbagai sumber daya yang mendukung terciptanya perdamaian.
d. Penggerak.
Fasilitator sebagai penggerak lebih berperan sebagai pihak yang memberikan dorongan atau
motivator kelompok agar secara swadaya membangun dirinya dan berpartisipasi dalam
pembangunan.
Menurut pendapat Durotul Yatimah, fasilitator memiliki peranan yang penting
didalam pemberdayaan masyarakat. (Durotul Yatimah, 2019). Peran penting fasilitator
tersebut, sebagai berikut:
a. Sebagai pemandu proses (process guide) yang terbuka, inklusif, dan adil sehingga
setiap individu berpartisipasi aktif secara seimbang dan membangun situasi yang
nyaman agar masyarakat berpartisipasi secara aktif. Pemandu proses yang bersikap
netral pada substansi (content neutral). Fasilitator dalam hal ini tidak mengambil
posisi pada topik yang sedang dibicarakan, ia bersikap netral, tidak memiliki
kepentingan pada hasil yang dicapai dari diskusi tersebut.
Sebagai pemandu proses, fasilitator berperan sebagai berikut:
a) Memberi semangat atau mengaktifkan (Social animation)
b) Menengahi dan menghubungkan (Mediation and negotiation)
c) Mendorong (Support)
d) Memfasilitas atau memperlancar kelompok (building consensus)
e) Penggunaan ketrampilan dan sumber–sumber (utilization of skill and resources)
f) Mengatur (organizing)
b. Sebagai Tool Giver atau pemberi alat bantu. Untuk memudahkan sebuah proses
pencapaian tujuan, fasilitator dapat menciptakan alat-alat bantu sederhana agar
proses diskusi menjadi lebih lancar.
107
Fasilitator berperan sebagai pemberi alat bantu untuk memberdayakan masyarakat.
Dalam hal pekerjaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
a) Pengumpulan data dan analisis data
b) Pemakaian computer
c) Penyajian laporan secara tertulis dan lisan
d) Penanganan proyek pembangunan secara fisik dan pengendalian uan
c. Sebagai Process Educator. Fasilitator melakukan peran-peran yang bersifat
pendidikan, diantaranya dalam bentuk pembelajaran terus menerus dari fasilitator
untuk memperbaiki ketrampilan,cara berfikir, cara berinteraksi serta cara
menyelasaikan masalah pada kehidupan masyarakat.
Peran-peran sebagai pendidik itu meliputi:
a) Membangun kesadaran (Conciousness raising)
b) Memberi penjelasan (Informing)
c) Mempertentangkan untuk aktif / dinamisasi kelompok (Confronting)
d) Pelatihan (Training)
d. Sebagai wakil atau perwakilan. Peran ini dilakukan oleh fasilitator dalam berinteraksi
dengan lembaga luar atas nama masyarakat. Peran ini diantaranya meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a) Usaha mendapatkan sumber-sumber
b) Melakukan advokasi atau pembela masyarakat
c) Membuat mitra atau networking
d) Sharing pengalaman dan pengetahuan menjadi juru bicara masyarakat.

C. Sikap Dan Keterampilan Fasilitator Dalam Pemberdayaan


a. Sikap Fasilitator Dalam Pemberdayaan
Kegiatan yang dilakukan didalam proses pemberdayaan masyarakat
sebaiknya di mulai dari adanya masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Karena untuk
dapat meidentifikasi masalah yang benar-benar ada di masyarakat, untuk menggali potensi
yang dimiliki masyarakat, untuk mendapat informasi tersebut, diperlukan adanya partisipasi
masyarakat dalam ikut serta proses pemberdayaan, dari awal mulai jalannya kegiatan sampai
berakhirnya kegiatan proses pemberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat
penting dalam ikut serta pada seluruh kegiatan program pemberdayaan masyarakat,
keikutsertaan masyarakat dalam semua kegiatan dengan kesadaran sendiri untuk terlibat
dalam, proses perencanaan, proses meidentifikasi masalah, serta ikut serta dalam menggali
108
potensi yang ada di masyarakat, ikut dalam pembuatan metode, proses pengelolaan, ikut serta
dalam memilih serta membuat keputusan untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Juga dalam mengawasi program, ikut serta dalam melakukan evaluasi dari perubahan yang
dilakukan, serta menikmati hasil dan memelihara program tersebut agar berkelanjutan. Oleh
karena partisipasi masyarakat di dalam kegiatan proses pemberdayaan masyaratat sangat
dibutuhkan, maka menurut pendapat Kaho (1995) dalam Kartini Eva C.N (2010)
mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang yaitu: a)
Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, b) Partisipasi dalam pelaksanaan, c)
Partisipasi dalam pemanfaatan hasil, d) Partisipasi dalam evaluasi. Dari berbagai penjelasan
yang sudah disampaikan tersebut, agar proses fasilitasi yang dilakukan oleh fasiltator dapat
berjalan dengan baik, yaitu terlihat dari masyarakat yang mampu sendiri dalam
menyelesaikan masalah kehidupan mereka. Karena itu fasilitator harus mempunyai berbagai
macam sikap dan kemampuaan kompetensi yang memadai yang harus dimiliki.
Seorang fasilitator harus memiliki beberapa sikap dasar, hal ini sesuai dengan yang
ada di USAID (2009:34) dalam Durotul Yatimah (2015), dijelaskan bahwa ada empat sikap
dasar dari fasilitator tersebut, sebagai berikut:
a) Minat:
Minat dapat diartikan suatu keinginan atau suatu dorongan yang muncul dari
dalam diri seseorang pada suatu objek tertentu. Fasilitator dalam melakukan peran
memfasilitasi dengan bermacam-macam kegiatan proses pemberdayaan, harus mampu
menumbuhkan minatnya atau gairahnya terhadap kegiatan tersebut. Sehingga kegiatan-
kegiatan proses pemberdayaan akan dapat dijalankan dengan sepenuh hati dan hasilnya akan
lebih baik. Fasilitator juga harus mampu menumbuhkan minat masyarakat dalam mengikuti
bermacam-macam kegiatan tersebut, sehingga masyarakat juga akan termotivasi untuk
melakukan kegiatan-kegiatan bersama fasilitator sesuai dengan pilihan mereka. Dengan
tumbuhnya minat ini fasilitaor dengan mudah memberi masukan-masukan, pengetahuan-
pengetahuan yang mereka butuhkan juga pemikiran-pemikiran yang baru, sehingga
masyarakat menilai bahwa semua itu akan berguna untuk mereka, dan mereka akan
mengikututi kegiatan dengan semangat dan mendapatkan manfaat, untuk kehidupan mereka
untuk menjadi lebih baik.
b) Empati
Seorang fasilitator harus memiliki sikap empati yaitu kemampuan fasilitator untuk
bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat dengan berbeda karakter yang difasilitasi,
dengan sikap empati ini diharapkan fasilitator dapat menjaga dan membangun hubungan baik
109
dengan masyarakat tersebut. Cara untuk menunjukkan sikap empati yaitu dengan cara
mendengarkan dengan baik apa yang disampaiaknan mereka. Sehingga bisa memahami
perasaan dan apa yang mereka pikirkan, dapat pula menggali potensi yang mereka milik,
masyarakat bisa menceritakan keluhan-keluhannya kepada fasilitator. Mampu menempatkan
diri sendiri berada pada posisi mereka sehingga masyarat akan meminta fasilitator
memberkan masukan/nasehat serta pertimbangan-pertimbang yang mereka butuhkan untuk
menyelesaiakn masalah yang mereka hadapi bersama-sama. Diharapkan dengan adanya sikap
empati dari fasilitator maka akan terjalin interaksi komunikasi dengan aktif antara fasilitator
dan masyarakat, jika terjalin komukasi yang baik tersebut maka masyakat akan percaya
dengan fasilitator. Sehingga fasilitator akan berhasil untuk mendapatkan informasi tetang
masalah-masalah yang mereka hadapi, hal-hal apa saja yang mereka kehendaki, kesulitan-
kesulitan apa saja yang mereka hadapi, bisa memahami perasaan mereka, apa saja yang
mereka butuhkan serta bagaimana cara pandang mereka terhadap kehidupan mereka, yang
berbeda-beda tersebut.
c) Percaya pada kelompok
Seorang fasilitator dalam melakukan fasilitasi kepada kelompok masyarakat yang
mempunyai karakter yang berbeda, harus mampu membuat kelompok masyarakat tersebut
berhasil mencapai tujuan dengan cara komunikasi kelompok yang efektif. Dengan
memberikan kesempatan dan kepercaya kepada kelompok masyarakat untuk memilih, dan
berpartisipasi mengikuti kegiatan-kegiatan sesuai dengan kemampuan atau kompetensi
mereka, mengajak masyarakat untuk memahami hal-hal mengenai kehidupan, membatu
mereka untuk berfikir kritis dan rasional. Juga memberi kesempatan kepada kelompok
masyarakat untuk menyesaikan secara mandiri masalah-masalah yang mereka hadapi untuk
mencapai tujuan hidup lebih baik. Hal ini berarti fasilitasi yang dilakukan fasilitator adalah
untuk mempermudah dan mendampingi kelompok masyarakat yang melakukan kegiata-
kegiatan sekaligus sebagai sasaran proses pemberdayaan masyarakat.
d) Berfikir Positif
Seorang fasilitator harus berpikir positif dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan
pemberdayaan masyarakat, dengan berbagai karekter dan kemampuan masyarakat yang
berdeda-beda. Berpikir positip merupakan suatu cara berfikir yang dimulai dari hal-hal yang
baik-baik saja, bisa menumbuhkan semangat untuk membuat perubahan-peruhanan, juga
membuat kita berhasil dalam kegiatan-kegiatan yang dibuat untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik. Seorang fasilitator harus berfikir bahwa semua masyakat, dengan berbagai
karekter dan kemampuan yang berdeda-beda, itu mempunyai potensi yang dapat di gali dan
110
dikembangkan dengan optimal. Fasilitator juga harus mampu menjalin komunikasi yang baik
dengan masyarakat, fasilitator harus menghargai adanya pebedaan yang terjadi pada setiap
masyarakat, fasilitator juga harus proaktif. Sehingga akan terjadi interaksi yang baik, yang
akan menghasilkan harmonisasi dan keseimbangan dalam menjalankan kegiatan proses
pemberdayaan juga diharapkan akan menghasilkan hasil yang optimal. Dengan berfikir
positif, memiliki pemikiran yang positif, memiliki pandangan kedepan yang positif maka
akan membantu fasilitator dalam membuat rancangan kegiatan, bagaimana mengembangkan
kegiatan proses pemberdayaan tersebut dan akan mendapatka hasil kinerja yang positif serta
diharapkan sesuai dengan tujuan yang akan mereka capai.

b. Keterampilan Fasilitator Dalam Pemberdayaan


Masyarakat dengan berbagai ragam karakter memiliki beberapa keterbatasan yaitu keterbatas
pengetahuan yang mereka miliki, keterbatasan dalam mencari bagaimana cara untuk
memecahkan masalah-masalah mereka, sehingga akan mengakibatkan alternatif pilihan untuk
menyelesaikan masalah-masalah mereka juga terbatas, untuk menyelesaikan masalah
terbebut maka masyarakat memerlukan seorang fasilitator sebagai pendamping. Seorang
fasilitator harus mampu melakukan pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok
masyarakat, dengan metode yang sederhana sehingga bisa mengikuti perkembangan
kelompok masyarakat. Fasilitator juga harus mempunyai kompetensi yang bagus,
kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat, juga mempunyai kemampuan
dan berperilaku yang baik sesuai dengan yang dibutuhkan dalam kegiatan pemberdayaan
masyarakat.
Keterampilan fasilitator merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang fasilitator dalam
menguasai pekerjaannya.
Biasanya fasilitator memfasilitasi kelompok masyarakat, dimana kelompok masyarakat
tersebut perlu untuk digali ide-ide mereka, gagasan-gasan mereka, permasalahan yang
mereka hadapi juga sumber alam yang terdapat disana untuk bisa dimanfaatkan. Fasilitator
mengajak diskusi dengan cara menyampaikan beberapa pertanyaan-pertanyaan serta
melakukan analisis untuk menemukan permasalahan-permasalahan kelompok yang
sebenarnya mereka hadapi. Karena itu menurut Pendapat Husaini dan Marlinae, ada enam
keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang fasilitator. (Husaini dan Marlinae.L,
2016), keterampilan dasar tersebut adalah:
a) Seni Bertanya: ORID

111
Seorang fasilitator perlu sekali mendapatkan informasi dan data-data yang akurat, yang
benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya, tentang kebutuhan apa saja yang
kelompok masyarakat perlukan, serta dukungan dan kegiatan seperti apa yang mereka
butuhkan juga permasalahan apa saja yang ada pada mereka. Informasi dan data-data tersebut
dapat di peroleh dengan cara melakukan metode diskusi kelompok multi arah, curah pendapat
atau dengan berdialog langsung ke pada masyarakat cara ini sudah biasa digunakan. Diskusi
kelompok bukan peorangan tujuannya untuk mendapatkan informasi untuk hal-hal yang
penting saja dan yang bener-bener ingin diketahui oleh fasilitator. Bisa saja tentang perilaku
dan sikap kelompok, meidentifikasi permasalahan yang ada dalam masyarakat dan menggali
potensi serta ide-ide yang muncul dari kelompok masyarakat yang nantinya bisa digunakan
untuk pengambilan keputusan bersama. Menghargai pendapat dan pengembangan program
yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang pasti fasilitator harus netral dalam memandu
diskusi tersebut untuk menjaga obyektifitasnya. Dalam diskusi tersebut fasilitator bisa
bertanya tentang hal apa saja, yang sesuai dengan yang akan di bicarakan dan diharapkan
fasilitator tidak memberikan jawaban atas masalah mereka, karena pertanyaan-pertanyaan
yang dibuat fasifilitator bisa digunakan untuk menggali informasi dan data-data yang
dibutuhkan tersebut.
Dalam memfasilitasi diskusi kelompok masyarakat fasilitator menggunakan model ORID
(Objective, Reflective, Interpretative, Decisional), dengan cara ini diharapkan akan terjalin
komunikasi yang efektif, yang akan terlihat dari adanya hubungan yang baik antara individu
masyarakat dan diharapkan juga akan menghasilkan output yang solutif. Cara ini digunakan
juga untuk mempermudah terjadinya komunikasi antara fasilitator dengan masyarakat dalam
kelompok, menggali pendapat, setiap anggota masyarakat diharuskan ikut serta dalam
menyampaikan permasalahannya yang mereka hadapi, menyampaikan gagasan-gagasannya,
juga usulan-usulan penyelesaian masalah. Fasilitator harus menampung semua informasi,
dan-data dengan persepsi yang berbeda-beda ini dan mendiskusikannya, diharap nantinya
akan didapatkan hasil dan dibuat rencana aksi yang sesuai dengan kehidupan nyata mereka.
Diagram alir yang ada dibawah ini, diagram alir model ORID (Objective, Reflective,
Interpretative, Decisional), diagram alir ini bisa digunakan oleh fasilitator sebagai acuan
untuk menjalankan model ORID.

112
Sumber: Andi Agustang, 2016

Gambar 1: Diagram Alir model ORID

Sumber: Andi Agustang, 2016


Gambar 2: Diagram Alir model ORID

113
b) Seni Menggali Lebih Dalam (Probing)
Dialog yang terjadi dengan penuh keakraban dalam diskusi antara fasilitator dengan
masyarakat secara individu maupun kelompok, dapat membantu masyarakat untuk saling
memahami satu sama lain juga untuk dapat mengidentifikasi permasalahan semua masyarakat
secara kolektif. Menggali lebih dalam (Probing) adalah salah satu teknik yang digunakan
oleh fasilitator untuk mendukung peserta supaya menjelaskan lebih dalam lagi pendapatnya.
Teknik probing ini juga di gunaka dengan tujuan agar dalam forum diskusi kelompok tidak
terjadi pembicaraan yang berlarut-larut, setiap peserta memberikan ide-idenya, menceritakan
masalah-masalahnya, gagasan-gagasannya, juga diskusinya akan terfokus dan berarti, juga
terjadi kedalaman pemahaman secara bersama-sama.
Selain digunakan komunikasi verbal bisa juga digunakan komunikasi non-verbal misalnya
tersenyum, tetap berdiam diri, anggukan kepala tanda setuju, menaikkan ibu jari tanda
“jempolan”, mengangkat alis, kerlingan mata, tepuk tangan, dan menjaga kontak mata
langsung. Komukasi ini dapat digunakan untuk melakukan teknik probing, dengan cara ini
diharapkan peserta akan semangat dalam mengemukakan ide-idenya atau gagasan-
gagasannya lebih lanjut. Caranya bisa dengan mengajukan pertanyaan kalimat sederhana atau
kalimat permintaan langsung, contoh kalimatnya:
• “Kenapa seperti itu?”
• “O ya?” atau “Baiklah…”,
• “Coba contohnya, bagaimana?”
c) Seni Membuat Ikhtisar (Parafrase)
Teknik ini digunakan untuk mengetahui dan menilai apakah kalimat-kalimat yang diucapan
oleh pembicara ditanaengkap atau tidak oleh peserta yang mendengarkan. Dengan cara
mengulang menggunakan bahasa anda sendiri, kalimat apa yang sudah di ucapkan peserta
lain. Kadang kalimat yang di ucapkan oleh peserta itu bertele-tele, tidak jelas, banyak ide
sehingga konsepnya tidak jelas maka perlu dilakukan parafrase. Jadi dapat dikatakan bahwa
teknik ini digunakan untuk mengulang pendapat dengan menggunakan bahasa anda sendiri
dan diperlukan untuk memeriksa pemahaman peserta.
Untuk memeriksa pemahaman yang ada pada fasilitator dan peserta dengan pembicara maka
bisa dilakukan dengan teknik parafrase ini, dengan cara fasilitator mengulang kalimat-
kalimat apa saja yang di ucapkan oleh pembicara, kemudian diikuti dengan peserta lain juga
akan saling memeriksa pemahaman mereka atas apa yang dimaksud oleh pembicara tersebut.
Jika fasilitator dan peserta salah dalam memahami ucapan pembicara, maka mereka semua
bisa langsung memperbaiki kesalah pahaman yang terjadi pada mereka. Beberapa hal yang

114
perlu diperhatikan dalam menggunakan teknik parafrase ini adalah digunakan pada saat ada
peserta yang tidak mendengar apa yang disampaikan oleh pembicara. Tidak boleh merubah
ataupun menambahkan kalimat yang diucapkan pembicara, bila memungkinkan gunakan
kalimat pembicara setepat mungkin, tidak dibolehkan merubah atau menambah kalimat
pembicara.
Kalimat yang digunakan untuk teknik paraphrase adalah:
• “Baik bapak/ibu…, kalau tidak salah, tadi anda mengatakan bahwa…”
• “Yang saya tangkap dari pendapat yang saudara sampaikan adalah …”
• “Saya memahami yang saudara sampaikan, lebih kurang adalah …”
d) Seni Mengaitkan Pernyataan dan Komentar (referencing back)
Dalam proses fasilitasi diharapkan terjadi komunikasi yang efektif, komunikasi akan
dikatakan efektif apabila pesan yang disampaikan oleh pembicara atau fasilitator sama
maknanya dengan pesan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima pesan (peserta). Salah
satu cara agar bisa berkomunikasi secara efektif antara lain dapat dilakukan oleh fasilitator
dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah difahami oleh peserta. Kadang
susah bagi fasilitator untuk bisa membuat komunikasi efektif, dikarenakan masyarakat atau
kelompok masyarakat yang ikut dalam kegiatan pemberdaya memiliki berbagai
keberagaman, yaitu peserta tersebut mempunyai gaya dan juga karakteristik komunikasi
personal antara satu orang dengan orang lain berbeda. Karena itu mengamati peserta
merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan oleh seorang fasilitator dalam
kelompok diskusi. Hal ini disebabkan adanya peserta yang suaranya pelan sekali, banyak
sekali yang menjadi pendengar, sedikit peserta yang mau berbicara, bicaranya panjang lebar
dan tidak focus, kadanga ada peserta yang tidak bisa mendengar, sehingga tidak bisa
mendengarkan pendapat yang sudah disampaikan sebelumnya, akibatnya peserta akan
mengulangi pembicaraan-pembicaraan atau ide-ide tersebut yang sudah ada dengan cara yang
beda.
Seorang fasilitator perlu menggunakan teknik mengaitkan pernyataan dan komentar
(referencing back) untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Yang dimaksud dengan
teknik mengaitkan pernyataan dan komentar (referencing back) yaitu teknik untuk mengkait-
kaitkan pernyataan peserta dengan pernyataan peserta yang lain sebelum-sebelumnya. Teknik
referencing back ini digunakan untuk mendorong peserta agar bisa saling mendengarkan satu
dengan yang lainnya, mendorong peserta untuk membangun juga mengetahui di atas salah

115
satu ide yang lain, teknik ini dapat juga digunakan untuk menunjukkan ketidak setujuan dan
untuk menunjukkan perbedaan yang ada di antara pendapat-pendapat peserta.
Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan teknik referencing back ini yaitu sebagai
bentuk perhatian dari fasilitator terhadap semua komentar yang muncul dari semua peserta.
Menunjukkan fasilitator itu mendengarkan serta menyimak dengan cara aktif setiap pendapat
yang muncul dari peserta, juga mendorong peserta untuk bisa mendengar dengan lebih teliti
dan mampu mengkait-kaitkan komentar-komentar mereka dengan peserta yang lain. Juga
menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mendengarkan pendapat juga ide-ide yang
muncul dari setiap peserta dan memberikan perhatian pada semua peserta juga semua
komentar-komentar mereka.
e) Seni Mengamati (Observing)
Fasilitator dalam mefasilitasi perlu melakukan pengamatan pada kelompok masyarakat yang
ikut dalam kegiatan pemberdayaan. Melakukan pengamatan dengan teknik mengamati
(Observing) adalah kemampuan untuk mengamati apa yang sedang terjadi tanpa menghakimi
tanda-tanda non-verbal seseorang dan kelompok secara obyektif. Perilaku non-verbal ini
perlu diamati karena bisa mengungkapkan pesan yang sangat kuat, dengan melakukan
pengamatan yang baik maka fasilitator akan dibantu untuk mendapatkan gambaran tentang
bagaimana sikap peserta, bagaimana perasaan para peserta dan juga bisa memantau
bagaimana proses-proses, dinamika serta partipasi peserta dalam kelompok. Seorang
fasilitator perlu sekali mengembangkan kemampuan komunikasinya terutama dalam
mengamati macam-macam komunikasi non-verbal, ini bisa fasilitator lakukan tanpa diketahui
oleh para peserta dalam waktu yang cukup pendek.
Seorang Fasilitator dalam memfasilitasi perlu melakukan pengamatan pada peserta,
pengamatan akan memberikan kesempatan bagi fasilitator untuk mengetahui apa yang
dipikirkan orang lain tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari perilakunya.
Fasilitator juga bisa mengecek berbagai pendapat bukan hanya pada apa yang dikatakan,
melainkan juga pada bahasa non-verbalnya karena seringkali pendapat juga dipengaruhi oleh
bagaimana cara pendapat tersebut diungkapkan. Bagaimana cara melakukan teknik
mengamati (Observing) untuk kelompok, dengan mencari informasi tentang:
• Siapa mengatakan apa?
• Siapa melakukan apa?
• Siapa melihat siapa ketika mengatakan sesuatu?
• Siapa menghindari terjadinya kontak mata?

116
• Siapa duduk di dekat siapa?
• Bagaimana tingkat energi kelompok?
• Bagaimana tingkat minat kelompok?
Sedangkan cara melakukan teknik mengamati (Observing) untuk individu/perorangan,
fasilitator dapat menggunakan komunikasi non-verbal, karena bisa menyampaikan kondisi
emosi seseorang kapada orang lain yang sedang mengatinya, dengan cara mengamati:
bagaimana postur tubuhnya, bagaimana gaya komunikasinya, bagaimana kontak matanya,
seperti apa gerakan tubuhnya, bagaimana intonasi suaranya dan bagaimana ekspresi wajahya.
f) Seni Menyimak (Active Listening)
Menurut Tarigan (2008) dalam Umi Hijriyah (2016) menyimak adalah suatu proses kegiatan
mendengarkan lambing-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta
interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna
komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
Keterampilan menyimak ini harus di miliki oleh seorang fasilitator, karena fasilitator dalam
memfasilitasi perlu melakukan kegiatan menyimak, dengan kegiatan menyimak ini
diharapkan fasilitator dapat menerima pesan secara utuh dari semua peserta. Juga mampu
memahami dan memaknai bentuk-bentuk bahasa tertulis dan non-verbal yang disampaikan
oleh peserta, jadi fasilitator diharapkan bisa memahami suatu informasi yang disampaikan
peserta. Seorang fasilitator harus mempunyai kemampuan untuk bisa menyusun kalimat
efektif pada saat memandu diskusi, yaitu kalimat yang tepat mengenai sasaran peserta.
Kalimat efektif ini memiliki ciri-ciri: (1) Kalimatnya utuh yang terlihat dari lengkap atau
tidaknya unsur-unsur kalimat, (2). Kalimatnya berpautan yang terlihat dari hubungan
pertalian unsur-unsur kalimatnya harus jelas dan juga logis, (3) Pemusatan perhatian kalimat
terlihat dari adanya peletakan bagian kalimat yang penting pada awal kalimat atau pada akhir
kalimat dan ciri terahir dari kalimat efektif adalah (4). kehematan. Dari penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang mudah untuk difahami, kalimatnya
tidak bertele-tele dan juga sistematis, kalimatnya tidak multitafsir dan maksud kalimatnya
sesuai dengan pemikiran fasilitator. Dengan kalimat efektif yang digunakan oleh fasilitator
maka diharapkan mampu membangkitkan kembali gagasan-gagasan dari peserta yang sesuai
dengan pemikiran fasilitator.
Menurut Poerwadarminta (1984) dalam Umi Hijriyah (2016) “Menyimak adalah
mendengar atau memerhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang”. Begitu juga
menurut Umi Hijriyah, menyimak merupakan proses pendengaran, mengenal dan

117
menginterprestasikan lambang-lambang lisan, sedangkan mendengar adalah suatu proses
penerimaan bunyi yang datang dari luar tanpa banyak memerhatikan makna itu. (Umi
Hijriyah, 2016). Selama memfasilitasi diskusi dalam kelompok, seorang fasilitator pasti akan
melakukan sejumlah interaksi dengan peserta. Interaksi ini bisa dimulai dari suatu pertanyaan
atau persoalan yang diajukan oleh peserta ataupun yang diajukan oleh fasilitator, yang pada
akhirnya bisa memunculkan masalah-masalah baru. Berhasil atau tidaknya seorang fasilitator
dalam menyelesaikan interaksi dalam dikusi ini, akan berdampak pada efektif tidaknya
fasilitator dalam memandu diskusi tersebut. Seorang fasilitator harus mampu untuk
meningkatkan kualitas komunikasi dalam kelompok, juga bisa membantu anggota kelompok
untuk bisa saling menyimak dengan lebih baik. Cara menyimak yang dilakukan fasilitator
akan mempunyai arti yang sangat penting sekali bagi peserta yang berbicara dan bisa juga
membantu meningkatkan kualitas komunikasi yang terjalin antara fasilitator dengan peserta.
Menurut Suyatno Sukandar, ada enam teknik yang berkaitan dengan seni menyimak
yang harus dikuasai oleh seorang fasilitator dalam proses menyimak yaitu: teknik
mengurutkan (stacking), teknik menarik keluar (drawing people out), teknik mengumpulkan
gagasan (gathering ideas), teknik mengembalikan ke jalurnya (tracking). teknik
menyeimbangkan (balancing) dan yang terahir teknik diam sejenak (intentional silence).
(Suyatno Sukandar, 2017). Penjelasan dari beberapa teknik seni menyimak tersebut, adalah
sebagai berikut:
a. Mengurutkan (Stacking)
Apabila terdapat beberapa peserta dalam diskusi yang bermaksut ingin berbicara atau
menyampaikan pendapat, tetapi pada saat mereka berbicara ternyata waktunya bersamaan.
Maka fasilitator harus bisa mengatur semua peserta agar tidak berbicara pada waktu yang
bersamaan, yaitu dengan menggunakan teknik mengurutkan (stacking). Jadi yang dimaksud
dengan teknik mengurutkan (stacking) adalah semacam proses untuk menyusun urutan
berbicara perserta, ketika ada beberapa peserta yang ingin berbicara tetapi bersamaan
waktunya. Cara yang digunakan fasilitator untuk mengurutkan (stacking) adalah dengan
membuat urutan atau giliran peserta yang ingin berbicara atau menyampaikan pendapatnya,
dengan cara mendata nama-nama semua peserta yang ingin berbicara, setelah itu fasilitator
membacakan urutan peserta yang akan berbicara yang sudah dibuat, kemudian fasilitator
akan membacakan satu-persatu dan mempersilakan peserta untuk berbicara sesuai dengan
urutannya. Setelah semua peserta sudah mendapatkan gilirannya untuk berbicara sesuai
dengan urutannya, maka fasilitator akan memeriksa masih adakah peserta lain yang ingin
berbicara. Jika masih ada peserta lain yang ingin berbicara, maka fasilitator harus melakukan
118
proses pengurutan yang sudah dilakukan dengan cara yang sama. Dengan menggunkan teknik
mengurutkan (stacking) ini diharapkan didalam diskusi setiap peserta akan mendapat giliran
berbicara sesuai dengan porsinya, peserta tidak berebut dalam berbicara karena fasilitator
sudah membuat urutan bicara peserta dan diharapkan semua peserta bisa mendengarkan atau
menyimak apa yang disampaikan oleh peserta lainnya, tanpa ada gangguan yang dilakukan
oleh peserta lain yang berebut untuk mendapatkan kesempatan berbicara.
Langkah-langkah dan contoh kalimat yang digunakan fasilitator:
• Langkah 1: “untuk peserta yang ingin berbicara, mohon untuk angkat
tangan”.
• Langkah 2: “Rani urutan pertama, Tedi yang kedua, lalu Edi yang ketiga”.
• Langkah 3: (sesudah Rani selesai berbicara) “Siapa yang kedua? Tedi?
Silakan”.
• Langkah 4: (Setelah peserta terakhir selesai berbicara) “Apa masih ada
yang ingin berbicara?”
b. Menarik Keluar (Drawing people out)
Fasilitator menyadari bahwa setiap peserta dalam kegiatan diskusi itu memiliki karakteristik
yang berbeda antara satu peserta dengan peserta yang lainnya, begitu juga dengan gaya
komunikasi personal mereka juga tidak ada yang sama atau berbeda antara satu peserta
dengan peserta yang lainnya. Hal ini membuat ada perbedan sikap pada peserta, yaitu ada
peserta yang bila ditanya baru dia berbicara, tidak berani berbicara (malu) di depan publik,
ada yang pesimis, bersuara pelan sekali dan tidak terdengar jelas, sehingga susah buat mereka
berbicara dengan tujuan untuk menjelaskan ide-ide dan gagasan-gagasannya yang mereka
punya. Sehingga mereka juga tidak bisa menjawab dengan jelas dan lengkap atas pertanyaan-
pertanyaan yang di sampaikan oleh fasilitator. Seorang fasilitator harus mempunyai cara,
bagaimana untuk bisa menggali lebih jauh dengan cara menarik keluar gagasan-gaasan dan
ide-ide peserta yang belum bisa dikatakan.
Teknik yang tepat untuk menyelesaikan masyalah ini adalah menarik keluar (drawing people
out), adalah menggali lebih jauh adalah cara mendukung orang supaya menjelaskan lebih
lanjut ide-ide atau gagasan-gagasannya. Dengan menggunakan teknik ini diharapkan tidak
ada lagi peserta yang mengalami kesulitan dalam berbicara untuk menyampaikan ide-ide dan
gagasan-gagasan mereka. Semua peserta dapat menyampaikan dengan baik ide-ide dan
gagasan-gagasan mereka. Bagaimana cara fasilitator dalam mempraktekkan cara ini yaitu
pertama fasilitator menggunakan teknik membahasakan Kembali (Paraphrasing), dengan

119
membuat kalimat untuk Paraphrasing kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan tidak
langsung terbuka, dapat dilihat contoh dibawah ini:
• “Baik bapak/ibu…, kalau tidak salah, tadi anda mengatakan bahwa…
• “Coba, Bapak/ibu, jelaskan lebih lanjut?”
• Atau dengan cara lain, setelah semua peserta selesai berbicara maka sambut
dengan kata sambung seperti, "Karena…" atau "Jadi,…"
c. Mengumpulkan Gagasan (Gathering Ideas)
Untuk menentukan apa saja kebutuhan peserta juga untuk membuat
program-program apa saja yang akan dilakukan dalam fasilitasi pendampingan untuk peserta.
Seorang fasilitator harus melakukan kegiatan untuk menganalisis, apa saja kebutuhan
masyarakat dan apa saja harapan-harapan mereka. Kegiatan menganalisis pasti membutuhkan
dukungan data dan informasi yang didapat dari peserta. Seorang fasilitator dalam
memfasilitasi diskusi akan berusaha untuk memotivasi peserta, supaya dengan sadar mau
berbagi cerita, yaitu cerita pengalaman mereka, menyampaikan ide-ide dan gagasan-gagasan
mereka. Fasilitator harus mampu mencatat semua semua informasi dan data-data, ide-ide
mereka dan gagasan-gagasan mereka. Sehingga fasilitator perlu menggunakan suatu cara,
untuk bisa mengumpulkan semua gagasan yang belum didiskusikan, atau gagasan-gagasan
peserta yang sudah dilakukan pembahasan. Fasilitator perlu menggunakan teknik
mengumpulkan gagasan (gathering ideas) adalah cara untuk mendaftar gagasan secara cepat
dan hanya untuk dikumpulkan saja. Keterampilan mengumpulkan gagasan yang di lakukan
fasilitator adalah menyatukan antara gerakan fisik, teknik memantulkan (mirroring) dan
teknik parafrase. Untuk proses yang lebih cepat bisa digunakan teknik memantulkan
(mirroring).
Untuk menggunakan teknik ini pengumpulan semua gagasan peserta dengan menggunakan
perpaduan teknik memantulkan (mirroring) dan teknik parafrase. Agar proses
mengumpulkan gagasan lebih cepat maka fasilitator bisa menggunakan teknik memantulkan
(mirroring). Dalam teknik memantulkan ini fasilitator berfungsi sebagai pemantul, yaitu
orang yang memantulkan ucapan atau gagasan peserta. Pada saat fasilitator memantulkan
ucapan pesrta, maka peserta merasa diperhatikan dan peserta akan ikut menyampaikan
gagasannya dengan cara singkat. Tujuan dari fasilitotor menggunakan teknik memantulkan
ini yaitu untuk menumbuhkan kepercayaan peserta, agar diskusi yang berjalan lambat
menjadi lebih cepat, untuk menegaskan bahwa fasilitator itu netral artinya tidak ingin

120
memihak, juga untuk menyakinkan peserta, bahwa fasilitator benar-benar mendengarkan
ucapan peserta.
Cara menggunaka teknik memantulkan (mirroring).:
• Bila peserta mengatakan satu kalimat, maka pantulkan (persis seperti yang
diucapkan) setiap kata-kata, setepat mungkin.
• Jika peserta mengatakan lebih dari satu kalimat, maka pantulkan kata kata
kunci, kalimat pendek atau kata yang penting saja.
• Selalu Gunakan kata kata dari peserta, jangan gunakan kata kata dari
fasilitator.
• Jika peserta berkata dengan berapi-api, maka pantulkan dan berbicaralah
dengan suara yang tenang
Cara menggunakan teknik mengumpulkan gagasan (gathering ideas), adalah:
• Dimulai dengan menjelaskan secara singkat tugas yang akan dikerjakan.
Kemudian melakukan curah pendapat. Mengumpulkan sebanyak mungkin
dari semua gagasan yang ada.
• Menuliskan semua gagasan yang disampaikan oleh semua peserta dengan
menggunakan teknik memantulkan atau teknik membahasakan kembali
(parafrase).
• Jika semua peserta sudah merasa cukup dengan proses ini, maka fasilitator
meakhiri proses ini. Lalu berikan apresiasi pada semua gagasan yang
mereka sampaikan.
d. Mengembalikan ke jalurnya (Tracking)
Faslitator dalam memfasilitasi proses diskusi, diharapkan mampu membangun kerjasama
yang baik antara dirinya dengan peserta dan antara peserta dengan peserta. Sehingga akan
terbangun suasana diskusi yang efektif, yang bisa mendorong peserta untuk bertukar ide dan
gagasan, juga terjadi proses saling belajar, dengan membuat semua peserta merasa dihargai
dan dianggap penting. Fasilitator harus siap untuk menerima perbedaan gagasan-gagasan,
antara satu peserta dengan peserta lainnya dan juga mempunyai pandangan positif pada setiap
peserta, sehingga untuk bisa menghargai pengetahuan dan pengalam peserta. Untuk
memberikan penghargaan kepada peserta, maka fasilitator perlu mengenali satu persatu
kontribusi gagasan-gagasan yang sudah diberikan oleh peserta. Karena itu fasilitator perlu
suatu cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, terutama cara untuk menyelesaikan
masalah, munculnya berbagai macam gagasan-gagasan yang benar berbeda, dari setiap

121
peserta atau munculnya pemikiran-pemikiran yang berbeda dari setiap peserta, pada waktu
yang bersamaan dalam sebuah diskusi. Fasilitator bisa menggunakan teknik mengembalikan
ke jalurnya (tracking), untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Teknik ini digunakan sebagai salah satu cara agar fasilitator mampu mengendalikan diskusi
supaya tetap ada pada jalurnya. Sehingga peserta yang bingung akan menjadi tenang
walaupun gagasannya, tidak mendapat penghargaan dari peserta lain. Dalam kondisi diskusi
yang seperti ini maka semua peserta perlu difasilitasi, agar dapat mengikuti semua topik
diskusi yang akan dibicarakan. Sebagian peserta biasanya beranggapan bahwa apa yang
orang (individu) nilai penting, harus dipilih menjadi topik diskusi. Diharapkan dengan
menggunakan teknik mengembalikan ke jalurnya (tracking), semua peserta mampu untuk
menikmati dan menerima kondisi pada saat proses diskusi berjalan. Seorang fasilitator harus
bersikap adil pada semua peserta, bila ada peserta yang ingin menjelaskan bahwa gagasan dia
itu penting maka fasilitator harus memfasilitas, yaitu memberi kesempatan pada pesrta
tersebut untuk menjelaskan gagasannya dan fasilitator juga harus memberikan kesempatan
yang sama untuk peserta lain yang mempunyai gagasan yang berbeda.
Cara melakukan teknik mengembalikan ke jalurnya (tracking) antara lain:
• Meminta peserta untuk kembali ke topik awal diskusi
• Membacakan semua gagasan-gagasan yang muncul dalam diskusi
• Bertanya ke pada kelompok untuk membuktikan ketepatan gagasan-
gagasannya.
Contoh kalimat meminta pendapat peserta, apa gagasan yang disebutkan sudah sesuai atau
belum.

• Langkah 1: “baiklah, sepertinya ada 3 gagasan yang berlangsung


bersamaan pada waktu diskusi tadi. Saya ingin menyakinkan supaya
tidak terlewatkan.”
• Langkah 2: “Kelihatannya gagasan pertama adalah kasus (A), gagasan
yang kedua adalah kasus (B), kemudian gagasan yang ketiga adalah
kasus (C)”.
• Langkah 3: “Apakah, semua gagasan yang saya sampaikan sudah benar?
e. Menyeimbangkan (Balancing),
Kelebihan dari proses diskusi yang dilakukan oleh fasilitator pada saat memfasilitasi adalah
suasan diskusi hidup, hal ini dikarenakan semua peserta mencurahkan pikiran dan
perhatiannya pada masalah yang sedang di diskusikan, dapat meningkatan sikap saling

122
menghargai pendapat orang lain, berfikir kritis, sikap toleransi, sistematis dari individu
peserta. Semua peserta harus berkontribusi penuh dalam mengikuti proses diskusi tersebut,
dari mulai proses berfikir sampai pada proses terahir yaitu membuat kesimpulan, sehingga
kesimpulan diskusi yang mereka buat mudah untuk dipahami dan membantu peserta untuk
mampu mengambil keputusan yang paling baik serta tidak terjabak dari pemikiran individu
yang sempeit.
Ada juga kelemahan dari proses diskusi yang dilakukan oleh fasilitator pada saat
memfasilitasi adalah ada peserta yang acuh tak acuh, ada juga peserta yang kurang
berpartisipasi secara aktif, juga ada peserta yang tidak ikut bertanggung jawab, dalam proses
pembuatan keputusan hasil diskusi dan ada beberapa peserta yang mengalami kesulitan
dalam mengungkapkan ide-ide mereka. juga gagasan-gagasan mereka secara sistematis. Pada
saat diskusi berlangsung, pendapat yang paling kuat dalam proses diskusi biasanya datang
dari peserta yang mengusulkan gagasannya untuk menjadi topik diskusi. Mungkin ada
sebagian besar peserta yang mempunyai pendapat yang berbeda, tetapi belum mau atau
belum berani berbicara untuk menyampaikan pendapatnya. Ada juga peserta yang takut kalau
pendapatnya itu nanti tidak akan disetujui oleh peserta lain, sehingga peserta tersebut tidak
mau berbicara dalam forum diskusi. Beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa
peserta yang diam dalam mengikuti diskusi bukan berarti dia setuju dengan pendapat yang
disampaikan oleh peserta yang lain, dan juga belum tentu mereka tidak mempunya pendapat
sendiri. Bisa juga karena mereka takut ada yang tidak sukai dengan mereka atau mereka tidak
ingin berargumentasi. Seorang fasilitator harus mampu menyelesaikan masalah ini, yaitu
dengan menngunakan teknik menyeimbangkan (balancing).
Teknik menyeimbangkan (balancing) ini adalah salah satu cara untuk menyeimbangkan
proses diskusi, dengan cara fasilitator membantu memfasilitasi peserta untuk menyampaikan
gagasan-gagasan mereka yang belum terungkap. Fasilitator harus meapresiasi pendapat
apapun yang di sampaikan peserta dalam forum diskusi.
Beberapa contoh kalimat yang digunakan untuk teknik balancing:
• “Baiklah, kita sudah mendengar gagasan dari ke 3 peserta. Apakah ada
peserta yang mempunyai gagasan yang lain?”
• “Mungkin ada cara lain dalam melihat kasus ini?”
• “Adakah peserta yang mempunyai gagasan lain?”
• “Apa semua peserta juga setuju?”
f. Diam sejenak (intentional silence)

123
Dinamika kelompok disebabkan karena adanya peserta dengan berbagai karakteriteristik,
yaitu seperti Ada peserta yang selalu berbicara, ada peserta yang mulai jemu, rendahnya
partisipasi peserta, debat kusir antara dua peserta, ada peserta yang diam saja, ada peserta
yang berisik dan bersenda gurau, keterlambatan peserta, peserta yang meulang ulang
pembicaraan, ada peserta yang ribut urusan remeh, dan lainnya. Fasilitator harus berfikir
kritis, sehingga mampu berfikir dengan baik, bagaimana caranya menyelesaikan masalah
tersebut, dengan kemampuan memfasilitasi dan kompetensi yang dimiliki seorang fasilitator
bisa mempunyai kemampuan untuk mengelola kelompok dengan baik. Fasilitator perlu cara
untuk menyelesaikan masalah tersebut, dengan menggunakan teknik diam sejenak
(intentional silence).
Teknik diam sejenak (intentional silence) adalah berhenti untuk bicara selama beberapa detik
atau menunggu sebentar agar si pembicara dapat menemukan apa yang akan di bicarakan.
Rasa percaya dapat dibangun dengan cepat dalam berbagai macam situasi, dapat dilakukan
dengan cara mengetahui apa saja kelebihan-kelebihan yang kita dimiliki juga kelemahan-
kelemahan apa saja yang kita dimiliki, diharapkan dengan memahami diri kita sendiri ini
akan tumbuh keyakinan yang kuat sekali sehingga bisa dengan memanfaatkan kelebihan-
kelebihan kita, dengan melakukan segala upaya untuk membangun rasa percaya diri kita.
Banyak peserta yang butuh keadaan tenang untuk bisa menggali potensi dirinya yaitu
menggali perasaannya atau pemikirannya. Mungkin ada peserta yang perlu untuk berhenti
bicara beberapa detik sebelum bicara sesuatu takut bisa menimbulkan resiko, ada juga peserta
yang sulit sekali berkonsentrasi pada saat mengikuti diskusi. Tujuan digunakan teknik diam
sejenak (intentional silence) untuk memberi kesempatan pada peserta, untuk bisa berfikir
lebih dalam dengan cara memikirkan hal-hal apa saja yang ingin dikatakan.
Cara melakukan teknik diam sejenak (intentional silence) dengan:
• Hening, diam sejenak selama 5 detik
• Tetap diam, Jaga kontak mata dengan pembicara, perhatian kita semua
hanya tertuju pada pembicara.
• Tidak boleh berkata apa-apa, tidak juga “ya….” atau “hmmm…” Tidak
boleh menggeleng-menggelengkan kepala, menganggukan kepala, dan
juga menggaruk-garuk. Perhatian tetap tertuju pada pembicaraan.
• Untuk menjaga tetap hening, fasilitator bisa memberi isyarat ke semua
peserta dengan “angkat tangan”

124
D. Persamaan Fasilitator Dengan Pendamping
Dalam buku ini penulis sudah menjelaskan berbagai pendapat dari berberapa pakar
manajemen tetang definisi atau pengertian fasilitator, juga peran fasilitator pada sub bab (A)
dan sub.bab (B) diatas. Penulis akan membahas persamaan fasilitator dengan pendamping
dari sisi peran saja pada sub.bab (D) ini.
Pendamping adalah orang yang melakukan pendampingan, proses pendampingan
sangat diperlukan dalam kegiata-kegiatan proses pemberdayaan masyarakat. Arti
pendampingan menurut Direktorat Bantuan Sosial adalah suatu proses pemberian kemudahan
yang diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses pengambilan
kepuutusan, sehinggan kemandirian dapat diwujudkan. (Direktorat Bantuan Sosial, 2007).
Sedangkan menurut Anwas (2014) dalam Hendrawati Hamid (2018) pendampingan ini
diperlukan sebagai agen pemberdayaan yang tugasnya tidak untuk menggurui, tetapi lebih
tepatnya adalah sebagai fasilitator, komunikator, dinamisator dan pembimbing masyarakat
dilapangan. Pendamping dapat di artikan orang yang membantu menyelesaikan masalah
sosial yang dihadapi oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang sedang mendapatkan
masalah tersebut. Jadi peran pendamping memfasilitasi masyarakat atau kelompok
masyarakat untuk bersama-sama melakukan cara meidentifikasi masalah mereka, serta
bagaimana pilihan-pilihan penyelesaiannya masalahnya, juga meimplementasikan apa yang
di sepakati bersama. Pendamping juga sebagai agen perubahan (change agent), dalam
melakukan pendampingan tidak boleh membuat masyarakat bergantung pada kegiatan-
kegiatan yang dibuat pendanping tetapi harus bisa membuat masyarakat mampu mandiri,
membuat masyarakat meningkat kemampuannya dan masyarakat mempunyai kemampuan
untuk melakukan perubahan hidup menjadi lebih baik atau sejahtera dan berkelanjutan.
Pendapingan merupakan kegiatan yang dilakukan pendamping bersama masyarakat,
untuk meidentifikasi masalah-masal yang benar-benar mereka alami, kemudian mediskusikan
dan mencari pilihahan-pilihan penyelesaian seperti apa saja, yang bertujuan untuk
meningkatan kapasitas dan kreatifitas masyraakat. Juga bertujuan untuk penyetaraan
masyarakat, agar dapat mengembangkan potensi dirinya agar bisa mencapai kehipan yang
sejahtera dan lebih baik. Karena itu perlua adanya pendamping yang bisa melakukan berbagai
peran. Menurut Hendrawati Hamid ada empat peran pendamping dalam kegiatan proses
pemberdayaan adalah sebagai fasilitator, komunikator, dinamisator (penggerak) dan
pembimbing masyarakat. (Hendrawati Hamid, 2018).
a. Fasilitator
125
Pendampingan tidak hanya dilakukan oleh fasilitator dan pendamping saja tapi perlu
keterlibatan masyarakat atau kelompok masyarakat, untuk di kembangkan berbagai potensi
yang ada di mereka, karena mereka yang paling tahu potensi-potensi apa saja yang mereka
miliki, dan masalah-masalah apa saja yang mereka hadapi. Peran pendamping sebagai
fasilitator, merupakan peran untuk memfasilitasi masyarakat atau kelompok masyarakat,
untuk melakukan perubahan-perubahan yang sudah di diskusikan dan disepatati bersama.
Membantu masyarakat untuk dapat mambatu dirinya sendiri agar dapat menangani
permasalahan yang mereka hadapi. Jika individu masyarakat dalam kelompok berbeda tujuan
maka seorang pendamping harus mampu mengelola dengan baik proses pertukaran informasi,
sehingga bisa dihasilkan satu keputusan yaitu keputusan mereka untuk tujuan bersama.
Pendampin dalam memfasilitasi harus mampu mengajak masyarakat untuk ikut serta
dan bekerja sama dalam proses penggembangan potensi masyarakat. Karena masyarakat yang
terdiri dari berbagai ragam karakter, sehingga menimbulkan perbedaan nilai, perbedaan
kompetensi dan perbedaan kepentingan, maka pendamping harus bisa dengan baik
menangani konflik yang mungkin terjadi pada mereka. Hindari terjadinya konflik dalam
menyelesaikan masalah apapun yang terjadi pada masyarakat. Pendamping harus siap dengan
segala macam dukungan yang diperlukan masyarat, untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
pemberdayaan. Proses pemberdayaan masyarakat biasanya lebih efektif dan efisien bila
dilakukan dalam kelompok, karena itu seoorang pendampin harus mampu mengelola
kelompok dengan baik, bagaimana dan apa saja kegiatan-kegiatan untuk kelompok
masyarakat yang didampingi. Seorang pendampin harus mampu membatu masyarakat atau
kelompok masyarakat, untuk mengajari bagaimana cara mengenali dan menggali serta
memanfakan potensi dan sumberdaya yang ada, yang belum pernah dimanfaatkan secara
optimal. Pendampin bersama masyarakat melakukan pengorganisasian yaitu mendorong
masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan proses pemberdayaan masyarakat. Seorang
pendamping dalam melakukan perannya sebagai fasilitator ini, harus berusaha memberi
pengarahan-pengarahan tentang penggunaan berbagai macam strategi, berbagai macam
teknik dan pendekatan dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
b. Komunikator
Seorang pendamping harus mempunyai pemikiran positif kedepan, bahwa semua
program kegiatan-kegiatan yang dirancang dan dikelola bersama masyarakat, akan membuat
semua masyarakat berpartisipasi dan ikut serta dalam proses pemberdayaan tersebut. Karena
itu dibutuhkan adanya proses komukasi yang intensif dan efektif, pendamping harus
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, tidak cukup hanya dengan komunikasi
126
verbal tetapi juga diperlukan juga kominikasi non-verbal. Adanya komunikasi secara efektif
ini maka diharapkan pendamping mampu menyampaikan informasi dan pesan, dengan jelas
menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan dan gagasan yang bisa meintervensi masyarakat.
Diharapkan semua informasi dan pesan-pesan itu dapat diterima oleh masyarakat dan dapat
merubah perilaku masyarakat menjadi lebih baik.
Seorang pendamping mampu menerima dan mendengarkan pada saat semua individu
dalam kelompok atau masyarakat yang mengikuti kegiatan-kegiatan menyampaikan
informasi, data yang berbeda-beda, bisa menjadi pendengar yang baik dan aktif, bisa
menghargai perbedaan pendapat, diharapkan akan terjadi pertukaran informasi di antara
keduanya. Juga menyampaikan segala informasi yang didapat dari berbagai sumber dari luar,
informasi ini digunakan untuk membuat pilihan-pilihan pemecahan masalah dan program
kegiatan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat semua.
c. Dinamisator (penggerak)
Untuk membuat program-program kegiatan pemberdayan, program pendampingan
yang benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka seorang
pendamping perlu memulai dengan melakukan analisis awal yaitu apa saja kebutuhan,
masalah-masalan dan harapan masyarakat. Pendamping hanya berperan sebagai penggerak,
menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dan sebagai motivator saja, dengan
cara berusaha memotivasi dan memberikan dorongan ke masyarakat agar secara mandiri
masyarakat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Maka diperlukan pendamping yang
mampu mengidentifikasi sumberdaya yang ada, kesabaran yang tinggi harus dimiliki oleh
seorang pendamping, berfikir positif bahwa tiap orang memiliki potensi yang dapat
dikembangkan, sikap optimis, mampu menumbuhkan semangat pada masyarakat untuk hari
esok yang lebih baik. Berfikiran terbuka, dapat menerima pendapat orang-orang yang ada
sekitarnya, memiliki kreatifitas yang tinggi, stabilnya emosi, memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang bagus, memiliki semangat, berkomitmen, kepribadian terbuka, empati,
inovatif, mampu membangun struktur kelompok, diskusi, negosiasi, melatih, menganalisa
dan kemampuan komunikasi yang bagus. Dengan semua kemapuan yang dimiliki
pendamping tersebut diatas, diharapkan pendamping akan mampu menggerakkan masyarakat
dan menciptakan peluang-peluang program yang inovatif serta memanfaatkan sumberdaya
yang ada untuk mengembangkan kegiatan pemberdayaan yang benar-benar dibutuhkan
masyarakat.
d. Pembimbing Masyarakat

127
Melalui usah proses pemberdayaan masyarakat, pendamping mempunyai tugas utama
untuk bisa memotivasi atau mendorong seluruh masyarakat, untuk bisa memiliki kemampuan
diri, untuk bisa menggunakan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki secara optimal.
Serta diharapkan semua masyarakat bisa berkontribusi dan berpartisipasi penuh dalam semua
program yang inovatif kegiatan proses pemberdayaan, dari mulai proses perencanaannya,
proses pelaksanaanya dan proses pengawasan serta pelestarian kegiatan-kegiatan tersebut.
Karena itu pendamping perlu sekali memberikan semua informasi-informasi dan data-data
yang dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup banyak dan
keterampilannya, sehingga masyarakat bisa membuat keputusan yang tepat untuk
menggambil tindakan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dari penjelasan berbagai peran yang dilakukan seorang pendampin dalam pemberdayaan
masyarakat, yaitu peran sebagai fasilitator, sebagai komunikator, sebagai dinamisator
(penggerak) dan sebagai pembimbing masyarakat. Ternyata fasilitator juga memiliki peran
yang sama seperti yang dilakukan pendangping dalam pembrdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Agustang. (2017). Teknologi Partisipasi Metode Fasilitasi Pembuatan Keputusan


Partisipatif. Diterbitkan oleh: CV. Multi Global

Ara auza ,S.Sos.,MM (2019) Program Nasional Pemberdayaan Masyrakat (PNPM)


February 27, 2019 . Posted on by araauza :
http://araauza.blog.uma.ac.id/2019/02/27/program-nasional-pemberdayaan-masyarakat-
pnpm/

Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning:


A New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education,
10(2), 15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15

Direktorat Bantuan Sosial. (2007). Pedoman Pendamping Pada Rumah Perlindungan dan
trauma center. Jakarta: Departemen Sosial. hlm. 4
https://perpustakaan.kemsos.go.id/elib/index.php?p=show_detail&id=3514&keywords=

Durotul Yatimah. (2015). Strategi Fasilitasi Perubahan Sosial . 15 Sptember 2015


Firman Suryana Sugiana, Jajat, S. Ardiwinata, Joni Rahmat Pramudia. (2020). Peran
Pendamping Dalam Meningkatkan Kemandirian Wirausaha Melalui Pemanfaatan
Program Dana Desa. Universitas Pendidikan Indonesia, Vol. 2, No. 2, Indonesian
Journal Of Adult and Community Education I-SSN:2686-6153

Hastuti, S. W. M., & Setyawan, W. (2021). Community Service in Study Potential


Technology of Education Tour and Business Prospects of Traders in
Tulungagung. Mitra Mahajana: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 134–144.

128
http://www.uniflor.ac.id/e-journal/index.php/mahajana/article/view/952

Husaini,SKM.,M.Kes, Lenie Marlinae,SKM.,MK. (2016). Pemberdaya Masyarakat Bidang


Kesehatan. Banjarbaru.
Hendrawati Hamid,M.Si. (2018). Manajemen Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit: De La
Macca. Cetakan ke-1. (Anggota IKAPI Sulsel) Jln. Borong raya No. 75 A Lt. 2
Makassar 9022.

Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf

Kartini Eva Christina Nahampu. (2010). Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional
Pemberdaya Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) Di Kecamatan Tarutung
Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara Medan.

Meygita Yohan Pratiwi. (2019). Fasilitator dalam Pemberdayaan Lansia pada Program Bina
Keluarga Lansia (Studi Kasus pada Bina Keluarga Lansia Mugi Waras), skripsi .
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Sari, H. P., & Setiawan, W. H. (2021). Peningkatan Teknologi Pendidik Pesantren


Anak Sholeh melalui MEMRiSE: Coaching & Training. Prima Abdika: Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 1(3), 81–90. http://e-
journal.uniflor.ac.id/index.php/abdika/article/view/1123

Suyatno Sukandar. (2017). Pedoman Fasilitator, Penilaian Efektifitas Pengelolaan Kawasan


Konservasi. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal
Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosintem,, Penerbit: Direktorat Kawasan
Konservasi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosintem,
Umi Hijriyah, M. Pd. (2016). Menyimak Strategi Dan Implikasinya Dalam Kemahiran
Berbahasa. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IAIN Raden Intan
Lampung. ISBN: 978-602-423-005-0
Wahjudin Sumpeno. (2017). Fasilitator Jenius, Kiat-Kiat Efektif Mendampingi Masyarakat.
diterbitkan: Pimpinan Pusat Relawan Pemberdaya Desa Nusantara (PP-RPDN).
Wawan Herry Setyawan, Ir.Hanifah,M.M. el al. (2021). Belajar Menjadi Fasilitator
Pemberdaya Masyarakat. Penerbit: Priima Edukasi (CV. Prima Edukasi) Dusun Bancar
RT.18/RW.08 Singkalanyar, Kec. Prambon, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur 64484.
ISBN: 978-623-95940-6-0

129
Biodata Penulis
Ir.Hanifah.M.M mulai mengajar pada tahun 1994 sampai 2019
sebagai dosen tidak tetap pada jurusan Teknik Kimia di Institut
Teknologi Indonesia di Serpong dan dari tahun 2018 sampai
sekarang sebagai dosen tetap di STIE Bisnis Indonesia di
Jakarta (STIEBI). Selain sebagai tenaga pengajar, sejak tahun
2019 sampai sekarang sebagai Penyuluh Antikorupsi dan
Fasilitator dari LSP P2 KPK. Dan juga sebagai Asesor
Kompetensi dari LSP P3 Pembangun Penyuluh Intergritas
Bangsa. Pendidikan sarjana dari Istitut Teknologi Sepuluh November di Surabaya, berhasil
mendapatkan gelar Insinyur di bidang ilmu Teknik Kimia. Melanjutkan Pendidikan pasca
sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta mendapat Gelar Magister Keuangan.

130
BAB 10
PERAN STAKEHOLDERS DALAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT

A. Pengertian Stakeholders
Stakeholders adalah kata yang biasa kita temukan dalam ekonomi, pendidikan dan
lainnya. Stakeholders adalah pihak yang berkepentingan dengan perusahaan dan dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh bisnis. Awalnya penyebutan kata stakeholders ini
adalah istilah penyebutan bagi individu atau kelompok yang berkecimpung langsung dalam
sebuah bisnis. Namun seiring perubahan mindset banyak lembaga bisnis dan berjalannya
waktu, arti stakeholders kini mencakup banyak pihak lain. Stakeholders atau dalam Bahasa
Indonesia diartikan sebagai pemangku kepentingan yang memiliki definisi beragam. Dari
aspek semantik, menurut Hornby (1995) dikutip dalam (Izzah, 2017) didefinisikan sebagai
perorangan, organisasi dan sejenisnya yang memiliki peran dalam bisnis industri. Sedangkan
dalam implementasi program pembangunan, Race dan Millar (2006) dikutip dalam (Izzah,
2017) mengemukakan bahwa Stakeholders digunakan untuk mewakili definisi mengenai
komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari aktivitas atau
kebijakan, dimana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut.
Misalnya saja partisipasi stakeholders dalam bidang pariwisata dapat memberikan
dampak ekonomi bagi masyarakat setempat misalnya saja dari masyarakat dapat
menyediakan jasa makanan dan minuman, jasa penginapan, jasa pemandu dan jasa
penyewaan alat wisata (Amalyah et al., 2016). Ini adalah salah satu pengaruh positif dari
adanya pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat, dari pemberdayaan masyarakat dapat
meningkatkan kesejahteraan (Christanto, 2015), dan produktivitas masyarakat (Mahendra,
2017). Dalam setiap pemberdayaan masyarakat stakeholder lokal sangat berperan penting,
terlebih dalam pariwisata, Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) Blau (1964)
dalam (Shafieisabet & Haratifard, 2020) pemangku kepentingan lokal menentukan dukungan
mereka untuk pengembangan pariwisata tergantung pada kesan mereka tentang efek positif
atau negatifnya (Lee, 2013). Stakeholder seperti penduduk lokal maupun para aktor kunci
merasakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh TCBS (Timburi Cocha Biological Station)
berkontribusi untuk mencapai setidaknya delapan SDGs, memberdayakan masyarakat,
terutama dengan mengakui nilai-nilai budaya dan leluhur. Hal ini mendukung pembangunan

131
berkelanjutan dan ekonomi masyarakat. Stakeholder seperti TBS telah memberikan
kontribusi kepada masyarakat rata-rata tahuanan sebesar USD 5.000 dalam 8 tahun terakhir,
disamping manfaat sosial dan budaya lainnya yang diberikan dari berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh TCBS(Izurieta et al., 2021).

B. Karakteristik Stakeholders Pemberdayaan Masyarakat


Dikatakan sebagai stakeholders jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai
kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap organisasi. (Shafieisabet & Haratifard,
2020) menguraikan tentang posisi kekuasaan, pemberdayaan, dan partisipasi pemangku
kepentingan lokal (untuk pariwisata).
Tabel. Tipe kekuasaan dalam pemberdayaan masyarakat
Tipe Kekuasaan Fokus Utama Deskripsi Proses Jenis partisipasi
Pemberdayaan pemangku
kepentingan
lokal pariwisata
Power over Dominasi (pemaksaan) Aktivitas Wajib (non Partisipasi pasif
generatif) (workable man)
Power on Agensi (ketergantungan) Melakukan aktivitas Komunikasi
secara tidak sadar
(generatif)
Power with Kemitraan kolektif Melakukan kegiatan Partisipasi Aktif
dalam menanggapi
kebutuhan individu
dan sosial (generatif)
Power within Kemandirian Melakukan aktivitas Empowerment (
secara sadar working man)
(generatif)
Source: Rowland’s Power Theory 1997 and an analysis of related literature, 2019 dalam
(Shafieisabet & Haratifard, 2020).

(Shafieisabet & Haratifard, 2020) mengungkapkan bahwa karena langkah-langkah


pemberdayaan non-generatif di Iran yang didasarkan pada pemberdayaan dalam kekuasaan
dan kondisi yang berwibawa (berlawanan terhadap pandangan Blau dan Rowland) tidak ada
pengaruh dan tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberdayaan pemangku
kepentingan pariwisata lokal dan partisipasi dalam proses pembangunan pariwisata
berkelanjutan. Dengan kata lain, menurut pandangan Rowland, ketika pemberdayaan bersifat
generatif, partisipasi dalam proses pembangunan berkelanjutan berlangsung. Namun di Iran
parisipasi pemangku kepentingan lokal dalam pengembangan pariwisata telah rendah (Rifai
et al., 2020).

132
Dapat disimpulkan tipe kharakteristik stakeholder dalam pemberdayaan masyarakat
berdasarkan tingkat kekuasaan yang dimilikinya. Ketika memiliki Power on maka fokus
utama kegiatan adalah berupa peraturan yang dapat memaksa yang dapat membangkitkan
permberdayaan dan partisipasi masyarakat, namun tingkatan dari power on, power with dan
power within juga saling bersinergi menjawab tantangan sosial dan ekonomi.

C. Peran dan Tugas Stakeholders dalam Pemberdayaan Masyarakat


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) peran diartikan sebagai seperangkat tingkah
yang diharapkan dimiliki sebagai seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang
yang berkedudukan di masyarakat. Dalam rujukan lain, makna peran turut dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto. Olehnya, peran diartikan sebagai sebuah aspek dinamis dari suatu
kedudukan atau status di dalam masyarakat. Jika suatu individu memenuhi hak serta
kewajiban yang sesuai dengan kedudukan yang dimilikinya, maka dia bisa disebut
menjalankan peranannya (Saptaria & Setyawan, 2021).

1. Peran Stakeholder Dalam Pemberdayaan Masyarakat


Kedudukan stakeholders memiliki peran yang penting dalam pemberdayaan
masyarakat. Pemilihan stakeholder yang tepat dilakukan agar tercipta kesesuaian antara isu
program atau pengembangan masyarakat dengan bidang stakeholder tersebut. Akan lebih
baik jika stakeholder yang terlibat juga memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama mengenai
isu program sehingga dengan pemilihan yang tepat dapat diketahui pihak mana saja yang
akan dilibatkan dan seberapa besar pengaruh dari stakeholder tersebut.
Jika tujuan, pandangan atau kepentingan dari stakeholder tidak memiliki kesamaan
maka proses maupun kerjasama akan lebih sulit bahkan mengalami hambatan. Hal seperti ini
dapat menimbulkan konflik yang seharusnya dihindari. Stakeholder sebagai pihak yang
memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan di level administratif, diharapkan paham
terhadap apa yang menjadi tanggung jawab dan ketelibatannya dalam upaya mewujudkan
tujuan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Sehingga setelah program
berakhir, masyarakat dan stakeholder dapat terus bersama-sama menjalankan praktik baik
yang sudah muncul.
Beberapa cara menjalin kemitraan dengan stakeholder yakni sebagai berikut:
a. Menjalin komunikasi yang baik
b. Melakukan diskusi secara berkala
c. Membuat perencanaan
d. Menjaga hubungan baik

133
Stakeholder adalah mitra yang unik, kita perlu menjaga kedekatan namun juga perlu menjaga
program agar bisa berjalan dengan baik. Semua yang terlibat dalam program harus dapat
saling bekerjasama dengan harapan hasil yang optimal. Adapun peran dari macam-macam
stakeholder dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat
Dukungan pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan merupakan prasyarat bagi pembangunan
karena akan mengatur konteks proses pembangunan yang dapat mempengaruhi seluruh
bagian proses lainnya.
b. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pelor dan Heliany 2018, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara umum diartikan
sebagai sebuah organisasi yang didirikan perorangan ataupun kelompok orang yang
secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Menurut Afan Gaffar, civil society
mempersyaratkan adanya organisasi sosial seperti partai politik atau kelompok
kepentingan, yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi yang mampu mengisi
public spere yang ada diantara negara dan rakyat, sehingga akhirnya kekuasaan Negara
menjadi terbatasi. Public Sphere atau ruang publik diartikan sebagai suatu ruang Negara
dan masyarakat dimana warga masyarakat dapat dengan leluasa melakukan aktivitas
sosial, politik dan ekonomi tanpa didominasi oleh sekelompok kecil orang. Organisasi
sosial-politik tersebut harus bersifat mandiri dan mampu melihat kebutuhan dari
masyarakat, sehingga masyarakat yang cenderung belum mendapatkan pengakuan hak-
haknya, bisa mendapatkan haknya baik dari segi sosial-politik, advokasi maupun
kesejahteraan umum.

c. Peran Pengusaha dalam Pemberdayaan Masyarakat


Setiap perusahaan memiliki tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan perlu
menyeimbangkan hubungan antara bisnis dan stakeholder sehingga sebuah perusahaan harus
memiliki sebuah tanggung jawab perusahaan yang dapat dilakukan kepada karyawan,
konsumen, pemasok, pemegang saham, maupun lingkungan serta komunitas tertentu. Untuk
para stakeholder ini harus bisa membuat keputusan berdasarkan hasil dari strategi
corporeate social responsibility (CSR) yang mereka lakukan sebuah organisasi.

d. Peran Perguruan Tinggi Sebagai Salah Satu Stakeholder


134
Peran Universitas telah dirangkung dalam Magna Charta Universitatum dan diumumkan 18
September 1988 di Bologna, Italia dalam bahasa Inggris
“The University is an autonomous institution at the heart of societies organised
because of geography and historical heritage, it produces, examine, apprises and
hand down culture by research and teaching. To meet the needs of the world around
it, its research
and teaching must be morally and intellectually independent of all political authority
and economic power, dikutip dari Susanto Imam Rahayu, Kompas, 27 Agustus, 2018
dalam buku Elfindri dkk, 2019.
Dari arti diatas dapat kita simpulkan bahwa Perguruan Tinggi (PT) merupakan lembaga
utama di daerah yang memiliki peran dalam mewujudkan generasi masyarakat sesuai dengan
tujuan pembangunan, oleh karenanya PT harus mudah diakses dan dapat mempertahankan
mutunya dan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan daerah sehingga keberadaan PT
dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Peran PT dapat di tuangkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggai yang kita ketahui
adalah Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Untuk pemberdayaan masyarakat
dapat diwujudkan melalui Pengabdian Masyarakat oleh PT. Dalam UU Pendidikan Tinggi
No. 12/2012 bahwa unsur pengabdian masyarakat adalah salah satu dharma yang dijalankan
oleh institusi PT, Pengabdian pada Masyarakat tidaklah melekat ke dalam tugas wajib
individual dosen, namun mengamanatkannya diwujudkan oleh fungsi institusi pendidikan
tinggi.
Dalam pelaksanaannya, terdapat kendala institusi dan kendala dari praktik
pembelajaran oleh dosen kepada mahasiswa, maka berbagai aspek berikut juga mengalami
keterbatasan, dalam melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Hal yang sering
terabaikan adalah sebagai berikut:
a. Relevansi iptek dengan realitas persoalan masyarakat;
b. Kapasitas adopsi masyarakat;
c. Keuntungan bagi masyarakat;
d. Preferensi dan kebiasaan masyarakat;
Untuk pelaksanaan Pengabdian pada Masyarakat, PT harus juga memperhatikan keterkaitan
dengan Tingkat Kesiapan Teknologi yaitu dengan tiga penciri : sesuai kebutuhan (relevant),
terjangkau (affordable) dan bisa diterima (acceptable).
Elfindri, dkk 2019 menerangkan bahwa perlu adanya pencerahan tentang keterkaitan antara
Program Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) dengan konsep Kesiapan Teknologi (TKT).
135
Mereka menjelaskan bahwa pengalaman mengajarkan jika para cendikiawan keliru, maka
kekeliruan itu cepat menulari publik dan meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Contoh
sederhana dari teknologi tepat guna (TTG) yang merupakan padanan dari appropriate
technology. Makna asalnya adalah teknologi yang cocok dan berguna bagi masyarakat atau
pihak lain sebagai pengguna teknologi (technology users).
Namun karena popularisasi (TTG) pada awalnya dengan memberikan contoh berupa produk
teknologi sederhana yang dibuat oleh kalangan awam dan/atau perguruan tinggi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat pedesaan (dan masyarakat yang secara finansial kurang
beruntung lainnya), maka pemahaman publik (termasuk mayoritas komunitas akademisi)
tentang TTG menjadi sangat sempit, yakni dibatasi hanya sebagai teknologi sederhana, tidak
termasuk teknologi canggih. Ini keliru.
TTG itu harusnya dipahami sebagai teknologi yang (1) secara substansi sesuai dengan
kebutuhan pengguna, (2) secara finansial terjangkau dan menguntungkan, serta (3) secara
sosio-kultural bisa diterima. Pengembang teknologinya bisa siapa saja. Pengguna
teknologinya bisa siapa saja. Yang penting tiga pencirinya terpenuhi: sesuai kebutuhan
(relevant), terjangkau (affordable) dan bisa diterima (acceptable).
Salah tafsir seperti pengalaman TTG ini bisa dihindari untuk kasus pengaitan antara PkM
dengan TKT. Untuk itu perlu diawali dengan memahami tentang apa yang dimaksud dengan
pengabdian kepada masyarakat dan tingkat kesiapan teknologi. Pengabdian kepada
Masyarakat dalam tulisan ini dibatasi sebagai kegiatan pengabdian masyarakat yang
dilakukan oleh komunitas akademisi di perguruan tinggi.

Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program


Dilansir dari GreatDay untuk dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya
pedusunan dari segala aspek baik dari segi ketahanan ekonomi, sosial maupun ekologi, perlu
adanya bantuan dari lembaga-lembaga sosial yang bisa membuat program pemberdayaan
masyarakat desa yang nantinya diharapkan mampu membina mereka bersaing di era global
saat ini. Program tersebut diantaranya:
1) Program Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Ekonomi :
a. UMKM
Pemerintah memiliki peran dalam melakukan pemberdayaan masyarakat melalui
bantuan permodalan, subsidi bunga, penempatan dana pemerintah pada bank umum
mitra untuk mendukung perluasan kredit modal kerja dan restrukturisasi kredit
UMKM, penjaminan kredit modal kerja UMKM, Banpres Produktif Usaha Mikro
136
(BPUM), Bantuan Tunai PKL dan Warung (BT-PKLW) dan insentif PPh Final
UMKM ditanggung pemerintah.
Perguruan Tinggi dapat memberikan peran dalam mendampingin UMKM dalam
pemanfaatan maksimal bantuan pemerintah dengan memberikan bimbingan,
pelatihan, workshop yang memang sesuai dengan kebutuhan dari UMKM.
b. BUMDes
Perguruan Tinggi dapat bekerja sama dengan pemerintah desa untuk mendampingi
BUMDes. Pendampingan tersebut sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada
masyarakat berupa : pendampingan pelaporan, pendampingan pengelolaan BUMDes
dan lain sebagainya.
2) Program Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Pertanian :
Peran PT dalam bidang pertanian dapat dilakukan misalnya dengan, memanfaatkan
pekarangan menjadi lahan pertanian, peningkatan hasil panen, pembentukan kelompok
tani, sosialisasi kelompok wanita tani, penyuluhan pertanian,
3) Program Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan :
Adapun maksud dari program ini adalah memberikan pengetahuan kepada masyarakat,
mengembangkan sikap dan perilaku masyarakat agar mampu dalam mengatasi masalah
kesehatan. PT dapat melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat seperti
memotivasi tokoh masyarakat dalam pembentukan kader kesehatan atau pembentukan
kelompok yang peduli terhadap kesehatan dengan program kerja berlanjut seperti
kegiatan penyuluhan posyandu, sampah rumah tangga, kebersihan diri dan lain
sebagainya, pondok bersalin, pos obat desa dan lainnya.
4) Program Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Pendidikan :
Bisa diwujudkan dengan kampung inggris, seminar anti narkoba untuk anak sekolah,
pelatihan saham untuk anak sekolah, pelatihan penggunaan teknologi bagi anak sekolah
dan lainnya.
5) Program Pemberdayaan di Bidang Agama :
Bimbingan agama secara gratis, pendidikan TPA Gratis, dll
6) Program Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Hukum/Politik :
Pengenalan cara mengikuti pilkada/pilpres, pemahaman ideologi pancasila kepada kaum
milenial, Seminar pembahasan RUU,
7) Pemberdayaan Masyarakat Bidang Sosial dan Budaya :
Sanggar tari, workhop Pengawasan Dana Sosial Masyarakat, Pelatihan IT untuk aparat
Desa.
137
D. Kesimpulan
Dalam meningkatkat taraf hidup masyarakat, stakeholders maupun stokeholders harus saling
bekerjasama dengan masyarakat. Pemberdayaan tidak akan berjalan efektif dan efisien, tidak
berjalan maksimal apabila kerjasama antara pihak yang berkepentingan tidak dapat terjalin.
Jalinan kerjasama juga didasari dari komunikasi yang baik, tidak memberatkan salah satu
pihak, saling menguntungkan dan memberikan dampak yang lebih luas dengan keberlanjutan
pemberdayaaan berikutnya. Dengan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing
stakeholder berdasarkan tingkatan kekuasaan, dapat saling menunjang kebutuhan dan
tantangan sosial dan ekonomi lokal hingga nasional. Peran stakeholder seperti Pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat, Pengusaha, dan Perguruan Tinggi dapat saling bersinergi
dalam menjawab tantangan tersebut.

Referensi
Amalyah, R., Hamid, D., & Hakim, L. (2016). Peran Stakeholder Pariwisata Dalam
Pengembangan Pulau Samalona Sebagai Destinasi Wisata Bahari. Jurnal Administrasi
Bisnis S1 Universitas Brawijaya, 37(1), 158–163.

Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning:


A New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education,
10(2), 15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15

Christanto, D. B. (2015). Pengaruh Keberhasilan Program Nasional Pemberdayaan


Masyarakat Mandiri Pedesaan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Di Desa
Gundi Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang,
4(3), 118–134.
Izurieta, G., Torres, A., Patiño, J., Vasco, C., Vasseur, L., Reyes, H., & Torres, B. (2021).
Exploring community and key stakeholders’ perception of scientific tourism as a
strategy to achieve SDGs in the Ecuadorian Amazon. Tourism Management
Perspectives, 39(May). https://doi.org/10.1016/j.tmp.2021.100830

Izzah, H. S. (2017). Peran Stakeholders Dalam Proses Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil
Dan Menengah (Umkm) Alas Kaki Unggulan Melalui Program Pembiayaan Usaha
Syariah (Pusyar) Di Kota Mojokerto. 1–15.
Lee, T. H. (2013). Influence analysis of community resident support for sustainable tourism
development. Tourism Management, 34, 37–46.
https://doi.org/10.1016/j.tourman.2012.03.007

Mahendra, B. P. (2017). Analisis Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat


Mandiri Perkotaan (Pnpm Mp) Terhadap Produktifitas Kerja Dan Kesejahteraan
Masyarakat. International Journal of Social Science and Business, 1(1), 1.

138
https://doi.org/10.23887/ijssb.v1i1.10165

Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723

Saptaria, L., & Setyawan, W. H. (2021). Desain Pembelajaran Technopreneurship


Untuk Meningkatkan Motivasi Berwirausaha Mahasiswa Uniska Kediri. Prima
Magistra: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 2(1), 77–89.
https://doi.org/https://doi.org/10.37478/jpm.v2i1.880

Shafieisabet, N., & Haratifard, S. (2020). The empowerment of local tourism stakeholders
and their perceived environmental effects for participation in sustainable development of
tourism. Journal of Hospitality and Tourism Management, 45(October 2019), 486–498.
https://doi.org/10.1016/j.jhtm.2020.10.007

https://www.gramedia.com/literasi/stakeholder/
https://greatdayhr.com/id-id/blog/program-pemberdayaan-masyarakat/ diakses 18
Januari 2022

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pemerintah-terus-perkuat-umkm-
melalui-berbagai-bentuk-bantuan/

https://belajarkreatif.org/contoh-pemberdayaan-masyarakat-di-bidang-pertanian-
yang-bisa-dilakukan/

https://www.kosngosan.com/2020/10/contoh-pemberdayaan-masyarakat.html

https://padana.id/2020/08/stakeholder-teman-tumbuh-masyarakat/

Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas & Pengembangan Masyarakat ; sebagai Upaya
Pemberdayaan Masyarakat (Edisi Revisi 2012),

Eva Rachmawati, Pemberdayaan Masyarakat dalam pengembangan Wisata, Syiah Kuala


University Press.

139
Biografi Penulis:
Renny Wulandari SE.,M.Si.,Ak.,Ca. Lulus S1 di Program
Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Panca Bhakti
Pontianak tahun 2008. Lulus S2 di Program Magister Akuntansi
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Saat ini adalah
dosen tetap Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Panca Bhakti. Mengampu mata kuliah Akuntansi
Pajak dan Akuntansi Syariah. Pernah menjabat sebagai
Pembantu Dekan III tahun 2018 – 2021 di Fakultas Ekonomi
Universitas Panca Bhakti. Serta anggota aktif Ikatan Akuntan
Indonesia wilayah Kalimantan Barat. Saat ini sedang menempuh
kuliah Program Doktoral Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Airlangga Surabaya, dan ini merupakan buku
pertama yang dikerjakan bersama tim. Semoga bermanfaat.

140
BAB 11
PENUTUP
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani, memelihara, melindungi,
dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor
25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004
dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan
masyarakat merupakan upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi,
sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat,
penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan
masyarakat. Sebagai kegiatan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan berpusat
pada masyarakat, maka perlu adanya suatu konsep dan strategi sebagai gambaran dalam
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan
dan mensukseskan seorang fasilitator atau pendamping dan juga masyarakat sebagai subyek
dalam kegiatan pemberdayaan.
Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, tentunya perlu suatu
konsep dan strategi untuk bisa memahami situasi dan kondisi serta karakterisitik masyarakat.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk meindaklanjuti problematika sosial dan juga menangani
konflik dalam komunitas. Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat,
pemilihan strategi dan pendekatan dalam pemberdayaan sangatlah diperlukan. Ada beberapa
pendekatan yang bisa dipilih oleh fasilitator sebagai suatu cara dalam melaksanakan
pemberdayaan, diantaranya ; Rapid Rural Appraisal(RRA), Participatory Rural Appraisal
(PRA), Participatory Action Research (PAR), Agro Ecosystem Analysis , Asset-Based
Community Development (ABCD), Environmental Scanning (ES), Logical Framework
Approach (LFA), Participatory Impact Monitoring (PIM), Zielobjective Orientierte Project
Planning (ZOPP), Participatory Learning And Action (PLA.
Pemilihan strategi pendekatan yang tepat, akan sangat membantu seorang fasilitator
dalam menyusun tahapan pemberdayaan, pemecahan teknis kegiatan pemberdayaan, dan
sebagai sarana guna membangun komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Agar
kegiatan pemberdayaan bisa terlaksana dengan lancar, maka tidak hanya melibatkan
masyarakat dan fasilitator pemberdayaan saja, akan tetapi juga perlu melibatkan stakeholder
baik itu dari internal maupun external. Adapun yang disebut sebagai stakeholder internal
adalah pihak pemerintah desa dan juga masyarakat tersebut. Sedangkan stakeholder external
yaitu pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, para pengusaha, dan perguruan tinggi.
141
Kedudukan stakeholders memiliki peran yang penting dalam pemberdayaan masyarakat.
Pemilihan stakeholder yang tepat dapat menciptakan kesesuaian antara isu program atau
pengembangan masyarakat dengan bidang stakeholder tersebut. Akan lebih baik jika
stakeholder yang terlibat juga memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama mengenai isu
program sehingga dengan pemilihan yang tepat dapat diketahui pihak mana saja yang akan
dilibatkan dan seberapa besar pengaruh dari stakeholder tersebut.
Jika tujuan, pandangan atau kepentingan dari stakeholder tidak memiliki kesamaan
maka proses maupun kerjasama akan lebih sulit bahkan mengalami hambatan. Hal seperti ini
dapat menimbulkan konflik yang seharusnya dihindari. Stakeholder sebagai pihak yang
memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan di level administratif, diharapkan faham
terhadap apa yang menjadi tanggung jawab dan ketelibatannya dalam upaya mewujudkan
tujuan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Sehingga setelah program
berakhir, masyarakat dan stakeholder dapat terus bersama-sama menjalankan praktik baik
yang sudah muncul.

142
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai