Complete Withcover
Complete Withcover
Complete Withcover
net/publication/361611930
CITATIONS READS
3 11,727
11 authors, including:
Mansur Mansur
UIN Sunan Ampel Surabaya
16 PUBLICATIONS 41 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Mansur Mansur on 29 June 2022.
Pemberdayaan Masyarakat:
Konsep dan Strategi
Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Strategi
Penulis:
Wahab Syakhirul Alim, Sardjana Orba Manullang, Firman Aziz, Sukron Romadhon, Anna
Marganingsih, Mansur, Endah Marendah Ratnaningtyas, Kuswarini Sulandjari, Hanifah, Renny
Wulandari, Yusuf Efendi.
Editor:
ISBN: 978-623-99691-1-0
Diterbitkan oleh
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani, memelihara, melindungi, dan meningkatkan
kesejahteraannya sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan
keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan
organisasi masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat,
peningkatan keswadayaan masyarakat. Sebagai kegiatan yang bersinggungan langsung dengan
masyarakat dan berpusat pada masyarakat, maka perlu adanya suatu konsep dan strategi sebagai
gambaran dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan untuk
memudahkan dan mensukseskan seorang fasilitator atau pendamping dan juga masyarakat sebagai
subyek dalam kegiatan pemberdayaan.
Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, tentunya perlu suatu konsep dan strategi
untuk bisa memahami situasi dan kondisi serta karakterisitik masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan
untuk meindaklanjuti problematika sosial dan juga menangani konflik dalam komunitas. Sebagai
kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, pemilihan strategi dan pendekatan dalam
pemberdayaan sangatlah diperlukan. Ada beberapa pendekatan yang bisa dipilih oleh fasilitator
sebagai suatu cara dalam melaksanakan pemberdayaan, diantaranya ; Rapid Rural Appraisal(RRA),
Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Action Research (PAR), Agro Ecosystem Analysis ,
Asset-Based Community Development (ABCD), Environmental Scanning (ES), Logical Framework
Approach (LFA), Participatory Impact Monitoring (PIM), Zielobjective Orientierte Project Planning
(ZOPP), Participatory Learning And Action (PLA.
Pemilihan strategi pendekatan yang tepat, akan sangat membantu seorang fasilitator dalam
menyusun tahapan pemberdayaan, pemecahan teknis kegiatan pemberdayaan, dan sebagai sarana
guna membangun komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Agar kegiatan pemberdayaan bisa
terlaksana dengan lancar, maka tidak hanya melibatkan masyarakat dan fasilitator pemberdayaan
saja, akan tetapi juga perlu melibatkan stakeholder baik itu dari internal maupun external. Adapun
yang disebut sebagai stakeholder internal adalah pihak pemerintah desa dan juga masyarakat
tersebut. Sedangkan stakeholder external yaitu pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, para
pengusaha, dan perguruan tinggi. Kedudukan stakeholders memiliki peran yang penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Pemilihan stakeholder yang tepat dapat menciptakan kesesuaian antara
isu program atau pengembangan masyarakat dengan bidang stakeholder tersebut. Akan lebih baik
jika stakeholder yang terlibat juga memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama mengenai isu program
sehingga dengan pemilihan yang tepat dapat diketahui pihak mana saja yang akan dilibatkan dan
seberapa besar pengaruh dari stakeholder tersebut.
Jika tujuan, pandangan atau kepentingan dari stakeholder tidak memiliki kesamaan maka proses
maupun kerjasama akan lebih sulit bahkan mengalami hambatan. Hal seperti ini dapat menimbulkan
konflik yang seharusnya dihindari. Stakeholder sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam
pengambilan keputusan di level administratif, diharapkan faham terhadap apa yang menjadi tanggung
jawab dan ketelibatannya dalam upaya mewujudkan tujuan program pemberdayaan masyarakat yang
berkelanjutan. Sehingga setelah program berakhir, masyarakat dan stakeholder dapat terus bersama-
sama menjalankan praktik baik yang sudah muncul.
Editor
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR PENYUSUN ii
1
d. Menurut Suharto (dalam Hamid, 2018) pemberdayaan bertitik tekan pada
kemampuan yang lemah pada diri seseorang atau kelompok, sehingga diharapkan
mampu:
1) Memenuhi kebutuhan pokok/dasar mereka sehingga mampu merasakan
kebebasan dalam arti bebas dalam hal kelaparan, kebodohan dan kesakitan.
2) Meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang-barang dan jasa yang
berkualitas sesuai kebutuhan dengan cara menjangkau dan mengolah sumber
daya produktif.
3) Mengambil peran dalam segala kegiatan pembangunan dan berbagai
keputusan kebijakan yang mampu meningkatkan kesejateran mereka.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan data hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statiktik (2021) tercatat sebesar 270,20 juta jiwa atau bertambah 32,56 juta jiwa
dibandingkan SP2010, sedangkan sebaran penduduk Indonesia menurut wilayah
masih terkonsentrasi di pulau jawa sebesar 56,10% atau sebanyak 151,59 juta jiwa.
Melonjaknya angka kepadatan penduduk ini tentunya mempengaruhi meningkatnya
angka kemiskinan yang terjadi secara tidak langsung, perihal tersebut tidak hanya
terdampak pada masyarakat pedesaan yang notabene masyarakat agraria, namun juga
pada masyarakat perkotaan yang memiliki basis sektor perkantoran dan industri.
Perihal tersebut ditegas oleh Jhingan (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk yang pesat pada suatau negara menyebabkan terjadinya ketidakberdayaan
masyarakat dalam kemiskinan (dalam Mulyaman, 2016; Shalahuddin et al., 2021).
Selain melonjaknya angka pertumbuhan penduduk, Hamid (2018) menambahkan
bahwa pemicu kemiskinan yaitu 1) lapangan pekerjaan yang belum tersedia, 2)
terjadinya urbanisasi yang cukup besar, dan 3) kebijakan pembangunan daerah yang
belum menjangkau kaum marginal. Adapun Sumodiningrat (2009) menjelaskan
bahwa perspektif dalam mengatasi tingginya angka kemiskinan adalah berdasarkan
prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis mekanisme pasar, tertib
hukum, dan saling percaya yang menciptakan rasa aman (dalam Hamid, 2018).
Sehingga atas dasar prinsip tersebut maka pola pendekatakan yang digunakan dalam
mengatasi meningkatnya angka kemiskinan perlu menggunakan pemberdayaan
masyarakat partisipatif yang memposisikan masyarakat binaan sebagai pelaku utama
2
sedangkan pemerintah memposisikan diri sebagai fasilitator dan motivator dalam
pendampingan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani,
memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan
masyarakat merupakan upaya non konstruktif yang memfasilitasi peningkatan
pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk mengidentifikasi, merencanakan dan
menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan potensi lokal dan fasilitas yang ada,
baik dari lintas sektor instansi maupun LSM dan tokoh masyarakat. Menurut
Chamber (1995) pemberdayaan merupakan pemberdayaan ekonomi dalam rangka
membangun suatu paradigm dalam suatu pembangunan yang bersifat people
centered, participatory, empowerment and sustainable (Noor, 2011; Saptaria &
Setyawan, 2021). Dijelaskan lebih lanjut bahwasanya pemberdayaan masayarakat
tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka, namun lebih
kepada bagaimana mereka mampu mengusahakan dan memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki agar pertumbuhan ekonomi naik dan mensejahterakan.
Dalam perkembangannya pemberdayaan masyarakat mengalami perubahan
yang cukup dinamis mengikuti perkembangan zaman, lebih lanjut Bahri (2019)
menawarkan pemberdayaan masayarakat berkelanjutan yang bertumpu pada tiga
aspek penting, yaitu inpu, proses dan output. Lebih lanjut ia menjelaskan;
a. Aspek input
Pada aspek input ini, pemberdayaan masyarakat berkelanjutan berpijak pada
empat bentuk yaitu sumberdaya individu, sumberdaya keluarga, sumberdaya
kelompok dan sumberdaya kelembagaan
b. Aspek proses
Pada aspek proses, terdapat empat aktivitas pada proses pemberdayaan
masyarakat berkelanjutan yaitu perubahan sikap (attitude), peningkatan
pengetahuan (knowledge), pengautan keterampilan (skill) dan pengelolaan
sumberdaya terkait.
c. Aspek output
Pada aspek output, maka perihal yang diharapkan dalam pemberdayaan
masyarakat berkelanjutan adalah individu, keluarga, kelompok dan kelembagaan
yang berdaya.
3
Pada masa kini, terdapat tuntutan yang besar bagi pelaku pemberdayaan dalam
rangka mewujudkan cita-cita yang diinginkan, yakni tuntutan untuk memiliki
kemampuan yang kuat dan memadai. Mereka tidak hanya dituntut untuk memiliki
kemampuan yang kaya melainkan juga mampu untuk memiliki kemampuan dalam
merancang program pemberdayaan (Widjajanti, 2011). Widjjanti (2011)
menambahkan bahwa modal utama terlasananya program pemberdayaan tidak hanya
bergantung pada kuantitas modal manusia (human capital) namun juga pada
tingkatan kualitasnya. Karena ia memainkan peran yang sangat signifikan dan
merupakan suatu aset yang berhubungan dengan inteletualitas yang diharapkan
mampu melakukan hubungan / interaksi antarsesama secara baik, menguntungkan
dan berkelanjutan.
4
adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah
NKRI”.
2. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan “hal-hal yang
mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan
masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreatifitas serta meningkatkan
peran serta masyarakat”.
3. UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS)
Tahun 200-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat
pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan organisasi
masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat,
peningkatan keswadayaan masyarakat.
4. Badan Pemberdayaan menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program
pemberdayaan masyarakat dalam rangka menterjemahkan tugas yang diemban pada
bidang pemberdayaan masyarakat.
a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat.
b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah mengembangkan kemampuan dan
kemandirian serta secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan
lingkungannya secara mandiri, dalam arti bahwa mereka harus mampu mencapai
kemajuan sehingga bisa membangun dan memelihara kelangsungan hidup
berdasarkan kekuatannya sendiri secara berkelanjutan.
C. Prinsip Pemberdayaan
Kata prinsip bermakna asas yakni suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar
berpikir, bertindak, dan sebagainya (Kamus Bahasa Indonesia, 2008). Dalam kaitannya
dengan pemberdayaan maka prinsip merupakan suatu komitmen yang telah dirancang
dan disepakati bersama dengan seluruh stake holder yang ada untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Menurut Aswas (dalam Bito et al., 2021) terdapat setidaknya beberapa
prinsip dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat sebagai bahan acuan bagi pelaku
dan masyarakat binaanya sehingga program pemberdayaan yang dimaksud mampu
menjawab kebutuhan masyarakat binaan dan dapat berjalan dengan benar dan tepat
sesuai dengan hakikat dan konsep pemberdayaan. Adapun prinsip yang dimaksud adalah:
1. Dilaksanakan dengan penuh demokratis dan keikhlasan.
5
2. Program kegiatan pemberdayaan hendaknya berbasis pada kebutuhan, masalah serta
potensi sumber daya yang dimiliki pada masyarakat binaan. Pada tahapan ini,
menjadi pentinf dalam melakukan identifikasi dan sosialisasi dengan melibatkan
partisipasi masyarakat binaan.
3. Memposisikan masyarakat binaan sebagai unsur subjek/pelaku pada kegiatan
pemberdayaan sehingga mampu menjadi dasar awal dalam menentukan tujuan,
pendekatan, dan bentuk kegiatan pemberdayaan yang tepat.
4. Merevitalisasi modal sosial seperti kearifan local yang tercermin dalam nilai-nilai
budaya, gotong royong, saling menghargai dan saling menghormati.
5. Dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan
6. Memperhatikan keragaman tradisi yang mengakar kuat pada masyarakat binaan
7. Memperhatikan aspek kehidupan sosial dan ekonomi pada masyarakat binaan
8. Tidak ada unsur diskriminasi terutama pada kaum perempuan
9. Menggunakan pendekatan partisipatif pada masyarakat binaan dalam menetapkan
waktu, materi, metode kegiatan dan sebagainya
10. Membangkitkan partisipasi masyarakat binaan pada hal yang bersifat fisik (materi,
tenaga, bahan) dan non fisik (saran, waktu, dukungan)
11. Pelaku pemberdayaan berposisi sebagai fasiliator yang memiliki kompetensi sesuai
dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat binaan. Serta mau
bekerjasama dengan instansi terkait.
Sedangkan menurut Effendi (2008), (dalam Bahri, 2019) terdapat 9 prinsip
pemberdayaan masyarakat, yaitu:
1. Prinsip Partisipasi
Segala tahapan kegiatan pemberdayaan harus melibatkan masyarakat binaan.
2. Prinsip sustainable
Hasil dari pemberdayaan yang didapatkan mampu dilestarikan oleh masyarakat
binaan agar mampu melanjutkan program kegiatan secara berkelanjutan.
3. Prinsip demokratisasi
Memberikan kesempatan kepada masyarakat binaan agar mampu menentukan jenis
strategi daerah pembangunan sesuai dengan kebutuhan kapasitas yang mereka miliki.
4. Prinsip transparansi
Keterlibatan beberapa pihak dan masyarakat binaan dalam keungan dilakukan secara
transparan atau terbuka agar dapat dipantau dan diawasi oleh semua pihak.
5. Prinsip akuntabilitas
6
Pengelolaan keuangan dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
6. Prinsip desentralisasi
Prinsip ini berkehendak untuk tidak lagi segala petunjuk dan aturan-aturan
tersentralisasi pada pemerintah, namun lebih kepada bagaimana masyarakat binaan
mampu perencanaan (planning), pembagian tugas (organizing), pelaksanaan
(actuating), pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluasi).
7. Prinsip acceptable
Bantuan yang diberikan kepada masyarakat binaan hendknya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan kultur sehingga dapat dikelola sebaik mungkin dan
didayagunakan oleh mereka sebagai pelaksana dan pengelola.
8. Prinsip profitable
Mendidik masyarakat binaan agar mampu mengelola kegiatan pemberdayaan secara
ekonomis, dan bisa mensejahterakan anggotanya dari kegiatan yang dilakukan.
9. Prinsip replicable
Pengelolaan dana dan hasil pelestarian dapat dikembangkan pada aspek yang lebih
luas.
9
Perbaikan masyarakat akan tercipta dikala lingkungan yang baik secara fisik dan
sosial dan situasi keidupan yang lebih baik dapat terwujud.
Daftar Pustaka
10
Widjajanti, K. (2011) ‘Jurnal Ekonomi Pembangunan Model pemberdayaan masyarakat’,
Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(1), pp. 15–27.
11
Biografi Penulis:
12
BAB 2
MASYARAKAT
A. Pengertian Masyarakat
Ada satu kata kunci yang perlu kita ketahui sebelum kita menggunakan kata
“masyarakat”. Manusia itu pada dasarnya adalah mahluk sosial, dan memiliki
naluri atau keinginan yang terdalam untuk hidup dengan orang lain. Naluri atau
keinginan manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness
sehingga manusia disebut juga social animal (=hewan sosial) (Soerjono Soekanto dan
Budi Sulistyowati, 2017). Hal ini terjadi disebabkan, semenjak manusia dilahirkan,
manusia mempunyai dua hasrat atau kepentingan pokok, yaitu:
1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya
(masyarakat).
2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Apabila dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya seperti hewan, manusia
tak akan pernah mampu untuk dapat hidup sendiri. Seekor anak ayam, walau tanpa
induk, mampu mencari makan sendiri; demikian pula hewan-hewan lain seperti
kucing, anjing, harimau dan sebagainya. Dengan kata lain Manusia tanpa Manusia
lain pasti mati. Bayi, misalnya harus diajari makan, berjalan, bermain-main dan
lain-lainnya. Jadi sejak lahir, manusia berhubungan dengan manusia lainnya
(Budiman & Samani, 2021).
Dari butir 1 di atas, dan dihubungkan dengan keterbatasan manusia, maka
ada keinginan manusia berinteraksi dengan manusia lain disekelilingnya (dan ini
bisa disebut sebagai Masyarakat).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1990),
masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh
suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Awal dari masyarakat berasal dari
hubungan antar-individu, kemudian kelompok yang lebih besar menjadi suatu
kelompok besar orang yang disebut masyarakat. Pengertian masyarakat secara
umum adalah suatu kesatuan yang selalu berubah yang hidup karena proses
masyarakat, masyarakat terbentuk melalui hasil interaksi yang terus-menerus antar-
individu. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu ditemui kehidupan individu
dengan masyarakat yang saling memengaruhi.
Kata “masyarakat” sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “Syaraka” yang
bermakna ikut dalam berpartisipasi. Dalam bahasa Inggris, kata “masyarakat”
disebut “society”, yang bermakna sekumpulan orang-orang yang membentuk
sistem dan terdapat komunikasi di dalamnya (Yusran Razak, 2010).
Adapun pengertian masyarakat berdasarkan pendapat ahli adalah sebagai
berikut:
13
1. Richard T. Schaefer dan Robert P. Lamm Schaefer dan Lamm
Kedua ahli tersebut berpendapat bahwa pengertian masyarakat adalah
sejumlah besar orang-orang yang bertempat tinggal dalam satu wilayah
yang sama, relatif independen serta sejumlah orang di luar wilayah
tersebut, dan mempunyai budaya yang relatif sama.
2. John J. Macionis
Masyarakat merupakan sejumlah orang-orang yang berinteraksi di dalam
wilayah tertentu serta mempunyai budaya bersama.
3. Adam Smith
Masyarakat dapat terdiri atas jenis-jenis manusia yang berbeda-beda dan
mempunyai fungsi yang berbeda pula, yang terbentuk serta dilihat dari
segi fungsi tidak dari rasa cinta dan sejenisnya, dan hanya ada rasa untuk
saling menjaga satu sama lain supaya tidak saling menyakiti.
4. An-Nabhani
Pengertian masyarakat, menurut An-Nabhani, merupakan sekelompok
individu yang mempunyai pemikiran perasaan, dan aturan yang sama,
serta dapat terjadi interaksi antar sesama karena adanya kesamaan untuk
kebaikan masyarakat dan warga masyarakat itu sendiri.
5. Selo Soemardjan
Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah sekumpulan orang yang
telah hidup bersama serta dapat menghasilkan kebudayaan.
Dapat dikatakan Masyarakat adalah sekumpulan orang yang terdiri atas
berbagai kalangan, baik itu merupakan golongan mampu maupun tidak mampu,
yang tinggal pada wilayah yang sama, serta mempunyai hukum adat, norma dan
peraturan-peraturan untuk ditaati (Karyoto et al., 2020).
B. Karakteristik Masyarakat
Untuk menentukan identitasnya, masyarakat mempunyai ciri-ciri yang khas
((Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, 2017). Adapun daftar ciri-ciri
masyarakat adalah sebagai berikut.
- Hidup Berkelompok
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mampu hidup sendiri.
Ketidakmampuan itu mendorong manusia hidup berkelompok. Sebab,
manusia senantiasa membutuhkan bantuan orang lain. Konsep tersebut
mengantarkan masing-masing individu hidup bermasyarakat.
- Melahirkan Kebudayaan
Ketika manusia membentuk kelompok, mereka selalu berusaha mencari
jalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia akan berupaya
menyatukan pikiran dan pengalaman bersama agar terbentuk suatu
rumusan yang dapat menjadi pedoman tingkah laku mereka, yakni
14
kebudayaan. Selanjutnya, budaya itu dipelihara dan diwariskan ke
generasi-generasi berikutnya.
- Mengalami Perubahan
Beragam latar belakang yang menyatukan tiap-tiap individu menjadi
suatu masyarakat, membuat manusia mengalami perubahan. Perubahan
ini dianggap sebagai upaya masyarakat menyesuaikan diri dengan
keadaan zaman. Sebagai contoh, masyarakat beralih menggunakan surat
elektronik untuk menggantikan surat kertas, ketika menerima pengaruh
perkembangan teknologi (Erna. Widjajati, 2018).
- Berinteraksi
Interaksi adalah hal yang mendasar dari terbentuknya masyarakat.
Interaksi ditempuh untuk mencapai keinginan, baik pribadi maupun
kolektif. Dengan berinteraksi, masyarakat membentuk suatu entitas sosial
yang hidup.
- Terdapat Kepemimpinan
Masyarakat cenderung mengikuti peraturan yang diberlakukan di
wilayahnya. Contohnya, dalam lingkup keluarga, kepala keluarga
mempunyai wewenang tertinggi untuk mengayomi keluarganya. Istri dan
anak patuh kepada ayah atau suaminya. Hal itu menunjukkan bahwa
dalam masyarakat, ada peran pemimpin yang membantu menyatukan
individu-individu.
- Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial menempatkan seseorang pada kedudukan dan perannya
di dalam masyarakat. Ketidakseimbangan hak dan kewajiban masing-
masing individu atau kelompok menimbulkan adanya penggolongan
masyarakat dalam kelas-kelas tertentu. Dalam kehidupan bermasyarakat,
stratifikasi sosial didasari atas kasta sosial, usia, suku, pendidikan, dan
beberapa aspek lain yang memicu keberagaman (Kamanto Sunarto, 2004).
15
teknologi berupa peralatan sederhana (meramu). Teknologi yang
diterapkan hanya mampu mengelola alam secara pasif, sebagian besar
kegiatan sosial mereka habiskan untuk mencari makanan berupa hewan
buruan ataupun tanam-tanaman demi pemenuhan kebutuhan subsisten.
Di Indonesia sendiri masih ada ditemukan beberapa suku yang dapat dikategorikan
masyarakat pemburu-peramu misalnya di Kalimantan, antara lain: Punan
Tubu dan Punan Malinau (sebelah utara Kalimantan Timur); Kayan-
Tabang-Segah-Kelai (sebelah tengah-selatan Kalimantan Timur);
Hovongan dan Kereho (perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, danTimur);
Buket (ujung barat Kalimantan Timur dekat perbatasan dengan
Kalimantan Barat); Buket (ujung timur Kalimantan Barat, dekat
perbatasan Kalimantan Timur dan Serawak). Ditempat lain di Indonesia
juga masih ada Masyarakat pemburu dan peramu antara lain Orang
Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Orang Rimba di
Sumatra (Orang Kubu Nomaden) (Sardjana Orba Manullang, 2020).
- Hortikultural dan Pastoral (Pra Agraris)
Masyarakat hortikultural menerapkan teknologi peralatan tangan
untuk mengkoleksi hasil pertanian, sedangkan masyarakat pastoral
menerapkan teknologi domestikasi hewan. Masyarakat hortikultural dan
pastoral masih dapat ditemukan di wilayah Asia, Amerika Selatan, dan
Afrika. Masyarakat pastoral hidup nomadik dengan menggembala ternak,
sementara masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman
permanen. Mereka baru pindah tatkala tanah tempat tumbuhnya tanaman
tidak lagi subur atau ditemukan tanah garapan baru yang lebih subur dan
mampu menampung jumlah populasi mereka. Perbedaannya dengan
masyarakat yang lebih kemudian (masyarakat agraris, akan dibahas setelah ini) adalah
jangkauan wilayah kekuasaannya yang relatif kecil karena pertumbuhan
populasi masyarakat fase ini yang belum terlalu signifikan.
- Agraris
Masyarakat agraris dicirikan kegiatan cocok tanam berskala besar.
Cocok tanam skala besar dimungkinkan akibat ditemukannya teknologi
pembantu produksi manusia, semisal tenaga hewan (sapi untuk menarik
bajak, kuda untuk menarik pedati). Masyarakat ini juga ditengarai telah
menemukan teknologi irigasi, teknik baca tulis, dan penggunaan peralatan
yang terbuat dari logam. Lewat bantuan bajak, teknik irigasi, dan
peralatan logam, masyarakat agraris dapat menetap di suatu wilayah,
tidak perlu lagi berpindah layaknya masyarakat hortikultural. Mereka
mampu melakukan refertilization (pengolahan/ pemupukkan) tanah
garapan. Populasi masyarakat agraris semakin menumpuk di suatu
wilayah karena lahan tanaman dapat digunakan oleh beberapa generasi
16
dengan tingkat kesuburan yang berkurang lambat. Produksi cocok-tanam
masyarakat agraris berlipat ganda dibandingkan hortikultural.
Peningkatan material-surplus membuat peningkatan serupa pada jumlah
manusia yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan produksi
subsisten. Waktu luang mereka manfaatkan untuk menemukan teknologi
baru. Didalam masyarakat agraris, jaringan perdagangan tumbuh lebih
pesat, dan uang mulai digunakan sebagai alat tukar. Indonesia
merupakan masyarakat agraris. Luas wilayah masyarakat ini – daratan
dan lautan – mencapai 1.904.569 km2. Dari luas total tersebut, 24%
merupakan daratan. Dari total daratan ini, 67 juta hektar (35%) digunakan
sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta hektar (65%)
digunakan untuk areal budidaya, and baik untuk pertanian maupun non
pertanian. Sebanyak 53, 71 juta hektar lahan dari 123 juta hektar area
budidaya digunakan sebagai lahan pertanian. Dalam konteks ini,
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris ketika 43, 33% (hampir
setengah) luas lahan daratan yang dapat dibudidaya digunakan untuk
pertanian. Namun, masyarakat agrarisini lambat laun mulai tergusur oleh
terbentuknya jenis masyarakat baru yang sudah mulai menggejala yaitu
Masyarakat industrial. (Sardjana Orba Manullang, 2020)
- Industrial
Masyarakat industrial adalah masyarakat dengan ciri utama produksi
barang makanan, pakaian, bahan bangunan dengan bantuan teknologi
mesin yang digerakkansumber daya energi non hewani (sumber daya
baru). Penggunaan energi hewan yang marak di tahap masyarakat agraris
berkurang penggunaannya. Teknologi mesin yang operasinya didukung
sumber daya energi baru (bahan bakar fosil), membuat proses produksi
jauh lebih cepat dengan hasil jauh lebih banyak ketimbang yang bisa
dilakukan masyarakat sebelumnya. Material-surplus dalam masyarakat
ini terjadiberkali-kali lipat. Apalagi dengan turut ditemukannya teknologi
kereta uap, kapal uap, listrik, rel-rel besi, juga komunikasi kawat, yang
kesemuanya memungkinkan proses distribusi hasil produksi semakin
cepat dan ekstensif. Perluasan pasar dan pencarian sumber daya
mendorong munculnya imperialisme. Imperialisme memungkinkan
pemilik alat produksi dari bangsa imperial mencapai keuntungan yang
semakin besar. Akibatnya, ketimpangan sosial di dalam masyarakat
industri jauh lebih besar dan rumit lagi. Untuk sebagian masyarakat
Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masyarakat industrial sudah
atau paling tidak mulai terbentuk. Kendati masih terlokalisir di wilayah
sentra pabrik dan kegiatan perdagangan, masyarakat industrial Indonesia
nyata menampakkan wujudnya. Hingga kini pun telah dilihat, bahwa
17
dalam alur pikir Lenski ternyata masyarakat Indonesia ditengarai
beragam jenis masyarakat, tidak mono (satu) jenis.
- Posindustrial (Modern)
Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan produksi untuk
menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya teknologi
komputer. Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada pabrik dan
mesin penghasil barang material, makamasyarakat posindustri fokus pada
pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya bergantung
pada komputer dan peralatan elektronik lain. Setyawan (2017)
mengatakan Teknologi utamanya digunakan untuk memproduksi,
memproses, menyimpan, dan menerapkan informasi. Jika individu
masyarakat industri belajar keahlian teknis, maka individu masyarakat
posindustri mengembangkan kemampuan teknologi informasi
menggunakan komputer dan perangkat teknologi informasi lain sebagai
alat bantu kerja. Masyarakat posindustri cenderung mengembangkan
softskill ketimbang hardskill.
Percepatan pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat
masyarakat industri. Produksi barang lewat tenaga manusia dalam
masyarakat posindustri lebih sedikit. Akibatnya, terjadi peralihan besar-
besaran tenaga kerja untuk menjalani profesi guru, penulis, sales, penjual
pulsa, operator telepon, termasuk bisnis on-line (e-business dan e-commerce).
Industri yang berkembang mengarah pada produksi soft-skill ketimbang
hard-skill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian merenggangnya
kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan
akibat aktivitas masyarakat sebelumnya (industrial) (Megasari Gusandra
Saragih & Sardjana Orba Manullang, 2020)
Kelima masyarakat evolutif menurut Lenski ada di Indonesia, berkelindan
satu sama lain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain. Masyarakat
pemburu dan peramu hingga kini masih dapat ditemui di pedalaman Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Kendati jumlahnya kian sedikit, terhimpit proses
pembukaan wilayah olehmasyarakat pendatang, mereka tetap masyarakat Indonesia yang
punya hak hidup, bermata pencaharian, serta mengembangkan kebudayaannya.
Masyarakat hortikultural Indonesia ditandai konsep umum perladangan berpindah.
Masyarakat seperti ini terutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan
Sulawesi. Masyarakat pastoral terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah
Indonesia yang punya padang rumputyang luas guna mempraktekkan kehidupan
menggembala. Masyarakat agraris (termasuk nelayan) masih merupakan elemen
terbesar masyarakat Indonesia dan ini ditandai masih adanya Kementerian
Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, kendati ditandai perhatian
mereka yang setengah hati. Masyarakat industrial menempati ruang hidup di kota-
18
kota besar. Masyarakat Posindustrial menggejala dikota-kota industri Indonesia,
yang kendati kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat
seiring mewabahnya penggunaan teknologi telepon seluler, dan didukung
pengembangan kabel internet.
19
Bila didalam Sub Bab A telah dibicarakan mengenai Pengertian Masyarakat,
dalam Sub Bab B digambarkan mengenai Karakteristik masyarakat juga dalam Sub
Bab C dikutip pendapat para ahli mengenai Sejarah Terbentuknya Masyarakat,
maka dalam Sub Bab D ini digambarkan mengenai makna partisipasi masyarakat
- Partisipasi pikiran
- Partisipasi tenaga
20
- Partisipasi harta
21
Terdapat beberapa faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan program pemberdayaan, meliputi: (Ismail Marzuki, 2021)
- Komitmen anggota masyarakat terhadap pembangunan partisipasi adalah
kuat, rasa kebersamaan, kesadaran, dan keikhlasan anggota masyarakat
yang tinggi.
- Sarana untuk menunjang pembangunan partisipatif (tenaga, dana, dan
bahan).
- Program kegiatan pembangunan partisipasi adalah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat.
Sedangkan faktor-faktor penghambat meliputi: (Novianti, 2021)
- Sosialisasi mengenai partisipatif belum dilakukan kepada seluruh
kelompok.
- Koordinasi kegiatan pembangunan partisipatif belum dilaksanakan secara
positif.
- Perumusan program dan kegiatan pembangunan partisipatif lebih
merupakan datar keinginan, bukan program dan kegiatan yang
dibutuhkan masyarakat.
Visi mengandung tantangan yang besar yang harus dihadapi oleh
organisasi,dan dianggap sebagi bintang petunjuk (guiding star) yang mengarahkan
langkah setiap orang untuk mewujudkannya. Tanpa adanya visi yang jelas maka
organisasi tersebut akan bergerak dengan setengah-setengah atau ragu-ragu dan
mudah terombang-ambingkan oleh tekanan eksternal.
Dengan mempelajari apa itu masyarakat, karakteristik dan sejarah
masyarakat maka ini akan membuat lebih mudah untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat.
Daftar Pustaka
Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning: A
New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education, 10(2),
15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15
Hendarso, Yoyok (2019). Sosiologi Hukum: Buku Materi Pokok. Jakarta : Penerbit
Universitas Terbuka.
Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf
22
Karyoto, N., Sisbiantoro, D., Setyawan, W. H., & Huda, M. (2020). Effectiveness
Legal Formal of Education Culture Heritage at Van Den Bosch Fort in
Indonesian. B-SPACE 2019: Proceedings of the First Brawijaya International
Conference on Social and Political Sciences, BSPACE, 26-28 November, 2019,
Malang, East Java, Indonesia, 434.
https://books.google.co.id/books?id=VkUqEAAAQBAJ&dq=Effectiveness+Legal+Formal+
of+Education+Culture+Heritage+at+Van+Den+Bosch+Fort+in+Indonesian&lr=&hl=id&so
urce=gbs_navlinks_s
Manullang, Sastrawan (2018). Teori dan Praktek Analisis Stake Holder. Bogor: IPB
Press
Maruf, Irma Rachmawati et al. (2022). “Covid-19 Vaccine Act According to World
Health Experts and Institutes”. Budapest International Research and Critics
Institute-Journal (BIRCI-Journal) Volume 5, No 1, February 2022, Page: 2342-
2354
Novianti, T., Manullang, S. and Joka, M. R. (2021) “Ganti Rugi Pembebasan Tanah
Untuk Pembangunan Jalan Tol Kisaran Tebing Tinggi”, Krisna Law, 3(3), pp. 1-
14. doi: http://10.37893/krisnalaw.v3i3.494
23
Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723
Saragih, Megasari Gusandra & Sardjana Orba Manullang. (2020) Marketing Era
Digital. Medan: Penerbit Andalan.
Shalihah, Fithriatus. (2017). Buku Ajar Sosiologi Hukum. Depok: Rajawali Pers.
Tim Penyusun (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
24
Biografi Penulis:
Sardjana Orba Manullang
25
BAB 3
PROBLEMATIKA SOSIAL DI MASYARAKAT
26
sosial yang disosiatif. Permasalahan sosial memang biasanya timbul akibat adanya
perkembangan masyarakat, masalah tersebut semakin melebar dengan cepat karena
adanya guncangan di dalam masyarakat atau suatu kelompok sehingga terjadinya
kekagetan budaya (cultural shock) dan atau kesenjangan budaya (cultural lag).
Permasalahan sosial umumnya juga timbul karena adanya ketidaksesuaian
antara unsur-unsur kebudayaan dan atau masyarakat, yang mana perbedaan
keduanya dapat membahayakan kehidupan individu atau masyarakat, sehingga
perbedaan keduanya dianggap menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan
pokok warga kelompok sosial yang berikutnya dapat menyebabkan kepincangan
ikatan sosial. Kemudian, permasalahan sosial akan menimbulkan hubungan yang
tidak baik antar unsur masyarakat, unsur-unsur kebudayaan, antara masyarakat
dan kebudayaan, dan terjadi pula bentrokan dan ketidaksesuaian, sehingga
hubungan antar-sosial terganggu dan mengakibatkan hancurnya kehidupan suatu
kelompok.
Permasalahan Sosial Menurut Pakar
Beberapa pengertian permasalahan sosial menurut pakar dapat dijelaskan
sebagai berikut. Kesatu, Soerjono Soekanto dalam Malihah dan Kolip (2010) menilai
suatu masalah sosial merupakan ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan
atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Kedua, Vincent
Parillo Parillo dalam Soetomo dalam Malihah dan Kolip (2010) menuturkan
pengertian masalahan sosial merupakan suatu masalah yang bertahan untuk suatu
periode waktu tertentu. Tetapi suatu kondisi dianggap sebagai masalah sosial
namun terjadi dalam waktu singkat dan menghilangkan bukan termasuk masalah
sosial. Ketiga, Lesli dalam Malihah dan Kolip (2010) berpendapat bahwa pengertian
masalahan sosial merupakan suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan
atau tidak disukai dan karena perlu penyelesaian untuk mengatasi atau
memperbaiki masalah tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan permasalahan
sosial adalah permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar tempat
tinggal yang bisa diakibatkan karena perbedaan dalam memandang masalah
kebudayaan dan kemasyarakatan, baik secara langsung maupun tidak.
Faktor Penyebab Permasalahan Sosial
Permasalahan sosial di masyarakat tentu saja terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut kemudian akan menjadi masalah sosial yang
berkembang di masyarakat dan berisiko menyebabkan perpecahan dalam suatu
kelompok masyarakat. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab terjadinya
permasalahan sosial menurut Koentjaraningrat (1990), Alatas (2009), Sucipto (2009),
Malihah dan Kolip (2010). Kesatu, faktor ekonomi. Faktor ekonomi disebut
sebagai faktor yang mana ada suatu masyarakat atau individu yang tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidupnya secara layak, khususnya secara materi. Masalah
27
ekonomi ini tidak lagi dipandang sebagai kondisi kekurangan dalam mencukupi
kebutuhan secara ekonomi, akan tetapi juga dalam pengaturan, distribusi, dan
produksi yang mempengaruhi kondisi ekonomi bangsa dan kemudian berimbas
pada kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Saat ini faktor ekonomi adalah
faktor penyebab terbesar masalah sosial.
Kedua, faktor sosial. Faktor sosial adalah salah satu faktor yang menjadi
permasalahan ekonomi merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang
ada di dalam masyarakat dan kemudian menjadi suatu perbedaan yang sangat
mencolok di dalam masyarakat. Fenomena ini terjadi hampir di semua negara,
termasuk di Indonesia. Kesenjangan sosial atau faktor sosial yang ada di Indonesia
lebih terlihat antara orang kaya, baik pejabat maupun pengusaha, dengan rakyat
biasa. Biasanya permasalahan faktor sosial ini menjadi penyebab terjadinya
kesenjangan sosial. Salah satunya adalah terjadinya kemiskinan dan kurangnya
lapangan pekerjaan.
Ketiga, faktor budaya. Faktor permasalahan sosial selanjutnya yakni berasal
dari faktor budaya. Faktor budaya biasanya disebabkan karena adanya
ketidaksesuaian pelaksanaan norma, nilai, dan kepentingan sosial pada pola
masyarakat yang heterogen atau multikultural. Contoh faktor budaya yang biasanya
terjadi di antaranya adalah kenakalan remaja, konflik antar-suku, diskriminasi,
gender, pernikahan dini, perceraian, hingga eksploitasi lingkungan. Dalam masalah
tersebut, budaya sangat berperan dari faktor masalah sosial karena kebudayaan
yang semakin berkembang justru menimbulkan peran terhadap masalah sosial.
Munculnya berbagai budaya luar dianggap sebagai budaya baru yang ternyata
menerabas dan membuat masyarakat berperilaku tidak disiplin dan menerapkan
budaya yang tidak diharapkan masyarakat secara luas. Pengaruh budaya baru atau
budaya luar saat ini sangat dirasakan oleh kita semua.
Keempat, faktor permasalah sosial selanjutnya yakni faktor psikologis. Faktor
psikologis merupakan masalah pola pikir suatu masyarakat atau pribadi tertentu
yang bersinggungan dengan tatanan kehidupan sosial. Contoh masalah yang
bersumber dari faktor psikologis ini biasanya adanya pemahaman mengenai
penyimpangan dari ajaran agama yang jika diamati secara detail tidak masuk akal
dan munculnya raja-raja palsu, juga munculnya gerakan separatis anti-pemerintah,
misalnya munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kelima, faktor permasalah sosial yang lainnya adalah faktor biologis. Faktor
biologis merupakan masalah sosial yang timbul akibat adanya ketidaksesuaian
keadaan lingkungan yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan kondisi biologis
di dalam masyarakat. Contoh faktor biologis ini terjadi di masa kini dan sangat
relevan, yakni terjadinya pandemi Covid-19.
Keenam, faktor terakhir yakni adanya permasalahan sosial yang dipicu
karena sebuah teknologi. Kemajuan teknologi dianggap jadi hal yang luar biasa dan
28
membantu banyak pekerjaan serta memudahkan beberapa kelompok masyarakat.
Akan tetapi, tidak serta-merta teknologi menguntungkan semua pihak. Kemudahan
teknologi ternyata bisa memicu adanya permasalahan sosial, terutama bagi yang
hidupnya bergantung dengan hal-hal yang bersifat manual atau ketinggalan zaman.
Contoh yang paling dekat saat ini adalah kemudahan memesan makanan atau
bepergian menggunakan ojek online. Bagi masyarakat luas dan juga yang bekerja di
perusahaan ojek online tentu akan dimudahkan dengan adanya teknologi ini. Akan
tetapi, hal ini jadi masalah bagi orang yang berprofesi menarik becak, ojek
pangkalan, dan juga penjual makanan yang tidak dapat menggunakan teknologi
termutakhir karena jualannya akan lebih sepi dibandingkan yang lain. Faktor
teknologi sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat (Setyawan, 2017).
Bentuk-bentuk Permasalahan Sosial
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya permasalah sosial tadi tentu
tidak lepas dari bentuk masalah sosial yang ada. Bentuk masalah sosial tersebutlah
kemudian yang memunculkan adanya faktor permasalahan sosial sehingga masalah
sosial menjadi melebar dan berisiko menimbulkan perpecahan. Berikut ini adalah
berbagai bentuk masalah sosial yang kerap terjadi di sekitar masyarakat. Kesatu,
kemiskinan. Permasalahan sosial terkait kemiskinan merupakan suatu kondisi yang
mana terjadinya ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan,
pakaian, dan tempat berlindung, serta kesehatan. Kemiskinan disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuhan dasar atau sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Saat ini, masalah kemiskinan sudah menjadi masalah global yang dialami
oleh beberapa negara. Masalah kemiskinan dalam bermasyarakat atau di ruang
lingkup yang lebih luas kemudian menjadi masalah sosial karena mulai mewabah
dan bertambah banyak. Jika masalah kemiskinan ini dibiarkan, maka angka
kriminalitas kemiskinan juga meningkat karena berbagai penyebab sosial dan
masalah ekonomi (Soeprajitno et al., 2019a, 2019b).
Kemiskinan menjadi masalah sosial ketika stratifikasi dalam masyarakat
menciptakan tingkatan atau garis-garis pembatas. Kemiskinan muncul karena
adanya batasan pemisah dalam interaksi atau komunikasi. Contoh permasalahan
kemiskinan di Indonesia. Saat ini, masalah kemiskinan masih menjadi permasalahan
sosial yang besar di Indonesia. Saat ini hasil survei menunjukkan bahwa ada
kenaikan pengangguran di Indonesia mencapai 2,67 persen dari jumlah awal yakni
sekitar 28 juta orang atau sekitar mengalami kenaikan 9,77 juta orang. Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) 7,07 persen karena dampak dari pandemi Covid-19.
Faktor pengangguran tersebut menjadi salah satu faktor kemiskinan pada
permasalahan ekonomi. Masyarakat pada dasarnya membutuhkan alat pemenuhan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga saat ini, memang tidak ada tindakan
yang bisa secara langsung dilakukan untuk menghapus kemiskinan di Indonesia,
terlebih jika masalah kemiskinan ini mendarah daging. Selain faktor pengangguran,
29
faktor kemiskinan juga bisa terjadi karena dua faktor, yakni faktor internal dan
eksternal. Faktor internal merupakan orang dengan kategori miskin ini tidak
berusaha mencari pekerjaan yang layak atau pendapatan dan tidak berusaha
mengubah hidupnya keluar dari lingkungan kemiskinan. Sementara itu, faktor
eksternal salah satunya terjadinya perubahan struktur sosial, kebijakan pemerintah,
dan sebagainya.
Kedua, pengangguran. Masalah pengangguran ini juga termasuk ke dalam
faktor ekonomi terjadinya permasalahan sosial. Pengangguran biasanya disebabkan
karena jumlah lapangan pekerjaan yang kurang atau para pencari kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Pengangguran hingga saat
ini sering menjadi masalah utama dalam perekonomian. Hal ini karena masalah
pengangguran menyebabkan muncul kurangnya produktivitas, menurunnya
pendapatan masyarakat, dan menyebabkan masalah kemiskinan secara global.
Masalah pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek
psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat
pengangguran yang terlalu tinggi juga jadi permasalahan sosial karena akan
menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Ketiga, kriminalitas. Istilah kriminalitas berasal dari bahasa
Inggris crime yang artinya kejahatan. Dalam permasalahan ekonomi, bukan tidak
mungkin kriminalitas jadi pemicu utamanya. Hal ini karena ada berbagai tindakan
yang sudah diatur menurut undang-undang yang masuk ke ranah kriminalitas.
Beberapa tindakan yang termasuk unsur kriminalitas di dalam undang-undang
mulai dari ucapan yang tidak sesuai, tingkah laku yang melanggar norma-norma
sosial, serta mengganggu keselamatan masyarakat, baik secara ekonomi, politik,
maupun psikologis. Sesuai dengan pandangan teori faktor permasalahan sosial,
lingkungan sosial, dan kekuatan-kekuatan sosial sebagai faktor penyebab
munculnya kejahatan, kriminalitas berkembang karena berkembangnya teknologi
dan meningkatnya pertumbuhan suatu negara. Saat hal tersebut terjadi, pemerintah
akan terus berupaya mengembangkan berbagai kualitas negara dan taraf keamanan,
akan tetapi tingkat kejahatan juga semakin meningkat dengan kualitas perbuatan
yang semakin berat. Bahkan kejahatan dapat menandingi kekuatan hukum yang
berlaku. Terlebih lagi pada masa modern atau pandemi seperti saat ini.
Adanya tingkah laku kriminalitas dianggap sebagai suatu bentuk kriminalitas
sebab hal ini dirasa sudah membudaya dan sudah menjadi rahasia umum yang
dapat ditebak. Misalnya, praktik korupsi, uang pelican, atau suap untuk
mempercepat penyelesaian masalah, tanda bakti atau gratifikasi, dan sebagainya.
Ada pula tindakan kriminalitas yang diistilahkan dengan cybercrime yakni sebuah
perbuatan yang melanggar hukum karena dilakukan dengan perantara internet
yang berbasis kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi. Karakteristik
30
kejahatan dunia maya ini berbeda dengan kejahatan dunia nyata, baik dari ruang
lingkup, pelaku, sifat, dan modus. Kejahatan dunia maya jauh saat ini jauh lebih
sadis.
Permasalahan sosial di Indonesia yang juga masih terjadi adalah kriminalitas.
Contohnya adalah karena masalah pengangguran, maka tindakan kriminal bisa
terjadi. Contohnya mencuri atau menjambret demi bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Terjadinya pembunuhan karena adanya kecemburuan dan kesenjangan
sosial, dan lain sebagainya.
Keempat, kesenjangan sosial. bentuk permasalahan sosial selanjutnya adalah
terjadinya kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial merupakan suatu kondisi yang
mana ada ketidakseimbangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang
kemudian menjadi suatu perbedaan yang mencolok. Biasanya, kesenjangan sosial
terjadi antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin, pejabat dengan rakyat biasa,
dan sebagainya. Faktor kesenjangan sosial umumnya terjadi karena adanya
kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan. Kesenjangan sosial juga menjadi
permasalahan sosial sebab menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial yang bisa
meledak menjadi konflik sosial. Realitas di masyarakat menunjukkan demikian.
Di Indonesia sendiri telah terjadi berbagai macam konflik sosial. Contohnya
konflik horizontal yang sebenarnya menjadi dasar akar permasalahan asalnya
adalah adanya kesenjangan sosial yang berimplikasi menimbun kecemburuan sosial.
Masalah sosial ini lebih pada permasalahan sosial ekonomi secara umum. Pada satu
sisi, ada kelompok masyarakat yang hidup mewah dan berkecukupan, namun di sisi
lain ada masyarakat yang hidup kekurangan dan mengalami segala keterbatasan
ekonomi. Hal ini jadi masalah ketika ada kemudahan akses-akses bagi masyarakat
yang berkecukupan dibandingkan dengan masyarakat yang pas-pasan.
Beberapa konflik sosial yang terjadi di Indonesia juga terjadi karena adanya
sentimentil suku, agama, penduduk asli dan pendatang, dan sebagainya. Dari
masalah sosial ini, akibatnya muncul konflik terbuka yang memberikan dampak
pada relasi sosial sehingga memunculkan stigma, prasangka-prasangka, dan
sentimental yang berujung kecemburuan sosial. Contoh permasalahan kesenjangan
sosial di Indonesia, misalnya antara kemudahan akses yang didapat oleh orang kaya
dan juga kesulitan akses untuk orang miskin. Hal ini dipengaruhi karena faktor
ekonomi dan juga pengaruh letak geografis serta faktor demografis masyarakat di
Indonesia.
Kelima, penyakit (baik pandemi maupun endemi). Penyakit bisa
menimbulkan terjadinya permasalahan sosial. Faktor ini sangat relevan dengan
yang saat ini terjadi. Munculnya pandemi Covid-19 membuat berbagai masalah
sosial baru yang berdampak pada masalah ekonomi, kriminalitas, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, permasalahan sosial yang berasal dari munculnya penyakit, baik
pandemi maupun endemi ini, menjadi berbagai fasilitas kesehatan kurang bisa
31
diakses karena adanya berbagai batasan, sehingga akhirnya banyak masyarakat
yang tidak tertolong. Terjadi pula masalah kekurangan pangan karena banyak
lapangan kerja yang ditutup karena berbagai aturan pembatasan, warung-warung
kecil yang juga kekurangan pelanggan, dan masih banyak lagi. Hal ini terjadi karena
adanya wabah penyakit menular. Contoh permasalahan penyakit menular di
Indonesia. Permasalahan sosial yang sangat relevan di tahun ini adalah terjadinya
pandemi Covid-19. Masih terjadinya pandemi Covid-19 yang terjadi sampai saat ini
menyebabkan berbagai dampak bagi masyarakat, mulai dari masalah ekonomi,
pengangguran, pendidikan, masalah sosial, dan sebagainya.
Keenam, kenakalan remaja. Kenakalan remaja juga termasuk permasalahan
sosial karena sebagai bentuk pengabaian sosial yang akhirnya menyebabkan
perilaku menyimpang. Kenakalan remaja bisa meliputi semua perilaku
menyimpang dari norma-norma masyarakat yang berlaku, terjadinya pelanggaran
baik secara budaya maupun hukum pidana. Biasanya, kasus kenakalan remaja di
antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, merokok, minum minuman
keras, balap liar, dan sebagainya. Pelanggaran status ini biasanya tidak tercatat
secara kuantitas karena dianggap bukan sebagai kasus pelanggaran hukum.
Sementara itu, kasus seks pra-nikah di kalangan remaja, aborsi, dan sebagainya
dianggap perilaku menyimpang yang melanggar norma-norma masyarakat.
Kenakalan remaja saat ini adalah masalah serius.
Kasus kenakalan remaja biasanya disebabkan karena belum matangnya emosi
remaja yang ditandai dengan penilaian situasi kritis terhadap kepercayaan diri dan
kemampuan diri sendiri dalam mengambil sikap, bertindak, dan sebagainya. Kasus
kenakalan remaja yang menjadi permasalahan sosial ini dianggap sebagai kegagalan
dalam pemenuhan tugas perkembangan. Beberapa remaja yang gagal dalam
mengembangkan kontrol diri yang sudah dimiliki remaja lain seusianya selama
masa perkembangan. Di sinilah tugas kita Bersama.
Ketujuh, pendidikan yang tidak merata. Terjadinya pendidikan yang tidak
merata memicu terjadinya permasalahan sosial karena menjadi salah satu dampak
negatif bagi bangsa. Kurang meratanya pendidikan bisa memicu kebodohan secara
global. Contohnya, saat ini masyarakat Indonesia bisa dibilang masih terbelenggu
kebodohan menurut survei karena dirasa masih memiliki kualitas sumber daya
manusia yang rendah. Selain itu, kurang meratanya pendidikan di Indonesia juga
jadi penyebab mengapa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia masih
rendah. Hal ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang kurang mampu dan
terisolasi secara geografis sehingga tidak dapat menjangkau pendidikan dan
kesulitan mendapat akses pendidikan yang layak. Tidak bisa dipungkiri, maju atau
tidaknya sebuah negara ditentukan dengan kualitas pendidikan dan kualitas SDM.
Jika sebuah negara ingin maju dari segala bidang, maka negara tersebut salah
32
satunya harus memiliki SDM yang berkualitas dan semua itu dapat diraih ketika
tingkat pendidikan di negara tersebut baik.
Daftar Pustaka
Alatas, Vivi Alatas. (2009). Memahami Masalah Kemiskinan di Indonesia. Artikel. Tempo.
No. 20/VII/Jan 16-22. 2007. 8 Januari 2009.
Malihah, Elly dan Usman Kolip. (2010). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Soeprajitno, E. D., Setyawan, W. H., & Wihara, D. S. (2019b). Faktor Utama Yang
Mempengaruhi Nasabah Dalam Mengambil Kredit Di Bank Perkreditan Rakyat
(Bpr) Kota Kediri. Capital: Jurnal Ekonomi Dan Manajemen, 3(1), 48–59.
https://doi.org/DOI: http://doi.org/10.25273/capital.v3i1.5063
Biodata Penulis:
Firman Aziz
33
BAB 4
KONFLIK KOMUNITAS
34
monopoli ganjaran kekuasaan, pemilikan dengan menyingkirkan atau melemahkan
para pesaing. Ketujuh, adanya suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak
secara antagonis. Kedelapan, adanya kekacauan ransangan yang kontradiktif dalam
arti individu (Suheri Harahap, 2012).
Seperti halnya konflik komunitas di Indonesia, pasca reformasi tahun 1998,
terdapat beberapa konflik antar komunitas, baik agama, ras, suku, adat-istiadat.
Seperti konflik sosial yang muncul akibat kesalahpahaman diberbagai daerah di
Indonesia. Kalau kita ingat konflik tahun 1999 hingga 2002, dengan konstalasi
politik nasional yang begitu menyita perhatian publik karena politik nasional
mengalami reformasi pemerintahan, di daerah juga mengalami gesekan, baik secara
struktural maupun kultural. Konflik yang timbul akibat isu yang berkembang pasca
reformasi, mengingatkan kita pada konflik sosial di Ambon, Poso dan Kalimantan
Barat antara etnis Dayak dengan Madura pada tahun 1999-2003, Tasikmalaya, Jawa
Barat pada tahun 1996 hingga 2001. Konflik di Indonesia pada umumnya selalu
melibatkan dua kelompok yang secara sosiologis berbeda satu dengan yang lainnya.
Bito et al., (2021) Misalnya, di Kalimantan Barat konflik antara etnik Madura,
Melayu dan Dayak. Sedangkan Konflik sosial di Poso dan di Ambon, melibatkan
dua kelompok agama yang berbeda (Antonius Atosökhi Gea, 2010).
Fenomena konflik yang terjadi di Indonesia, menunjukan adanya konflik
secara horizontal antara komunitas social dengan komunitas lainnya. Walaupun
diketahua bersama bahwa timbulnya perselisihan individu lalu berkembang
menjadi konflik komunitas. Konflik muncul karena akibat adanya kesamaan dan
perbedaan identitas, baik dalam keluarga, sosial, politik maupun ekonomi.
Kesamaan latarbelakang secara sosial atau identitas menjadi basis sosial untuk
melakukan mobilisasi. Dengan mobilisasi ini, konflik memiliki karakter secara
kolektif. Seperti penelitian yang dilakukan Yustinus dan Antonius tentang konflik
sosial yang bersifat horizontal antara kelompok yakni antara kelompok masyarakat
Dalong dengan kelompok masyarakat Tanah Dereng (Antonius Atosökhi Gea, 2010).
Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam konflik
komunitas, dengan melihat gejala-gejala yang terjadi dalam konflik horizontal antar
komunitas yang menjadi perhatian dalam beberapa penelitian, tentunya perbedaan
konflik-konflik horizontal sebagaimana yang terjadi selama ini di Indonesia.
Perbedaan itu disebabkan dua aspek yakni karakteristik sosial dari kelompok yang
berkonflik dan sumber daya yang diperebutkan (Antonius Atosökhi Gea, 2010).
35
lain sebagainya. Membina rumah tangga seperti harapan semua orang yaitu
keluarga yang penuh dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah (Sari & Setiawan,
2021). Harapan untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah adalah suatu
proses. Keluarga sakinah bukan berarti keluarga yang diam tanpa masalah, namun
lebih kepada adanya seni dalam mengelola konflik yang terjadi dalam keluarga.
Meskipun konflik dalam keluarga sulit untuk menghindar, namun dalam
kehidupan sehari-hari tentu saja tidak seorangpun menginginkan konflik terjadi
dalam rumah tangganya. Sebaliknya, dalam hubungan diharapkan keharmonisan
dan rasa tentram (Naufal Hanifa, 2019).
Perlu kiranya dalam rumah tangga untuk mengelola suatu konflik yang
mengancam keharmonisan rumah tangga. Pada kenyataannya memang konflik
dalam rumah tangga selalu ada. Bagaimanapun bentuk konflik tersebut, kecil
ataupun besar pasti ada penyelesaiannya. Apabila konflik dapat diselesaikan secara
sehat maka masing-masing pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran
yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan dan pengendalian emosi dan
egois pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga (Naufal
Hanifa, 2019).
Dalam keluarga harus ada toleransi yang kuat, namun ketika hal tersebut
tidak ada maka toleransi dalam melakukan pekerjaan di rumah bisa menimbulkan
konflik. Maka sebaiknya kedua belah pihak saling membantu untuk meringankan
tugas masing-masing. Misalnya, ketika suami membantu istri memasak, mengasuh
anak, menemani anak, tentu ada perasaan berbeda ketika pekerjaan dilakukan
bersama. Hingga pekerjaan yang terasa berat akan terasa ringan. Nafkah merupakan
kewajiban yang harus diberikan oleh suami atas istrinya—baik jasmani maupun
rohani. Pemberian nafkah yang halal akan mendukung terciptanya keluarga yang
harmonis dan tumbuh berkembang menuju keluarga yang harmonis.
Dalam menjalankan harmoni rumah tangga, pasangan suami istri tentu akan
mengalami persoalan yang hamper sama dengan pasangannya. Pertama, persoalan
anak. Adanya perselisihan dalam keluarga pada awal-awal tahun pernikahannnya,
ujian sebagai orang tua dapat dibagi menjadi, misalnya usia anak pertama tidak jauh
berbeda dengan usianya dengan anak sebelumnya, atau sebaliknya dalam rumah
tangga yang sekian lama dalam pernikahan, namun masih belum dikarunia seorang
anak. Meskipun realitasnya memiliki anak merupakan keinginan dan dambaan
setiap suami istri dalam rumah tangga—terutama keluarga baru menikah. Namun,
apabila salah satu pihak diketahui tidak bisa memberikan keturunan, maka bisa
menjadi sebab atau pemicu terjadinya konflik keluarga. Konflik tentang punya anak
atau tidak punya anak ini menyangkut perjanjian atau persetujuan mengenai tujuan
hubungan itu sendiri (Margaret M Poloma, 2004).
Namun, disisi lain ketika pasangan yang telah dikarunia anak kecil, lalu
dikaruniai anak kembali dengan selisih umur yang tidak jauh maka berakibat pada
36
konflik dalam keluarga. Kehadiran anak sebagai amanah yang dititipkan oleh Tuhan
pada kedua orang tuanya. Sehingga orang tua wajib memelihara, menyayangi dan
berbuat yang terbaik hingga anak siap menerima estafet menjadi penerus dan
harapan bangsa. Perkembangan anak secara fisikologis maupun psikologis, pasti
memiliki dunianya sendiri. Hal itu ditandai dengan banyaknya gerak--aktif, penuh
semangat (agresif), suka bermain pada setiap tempat dan waktu, tidak mudah letih
dan cepat bosan. Keluarga yang dilandasi dengan nilai-nilai tersebut akan menjadi
tempat terbaik bagi anak-anak, sehingga dapat tumbuh dan berkembang optimal
(Naufal Hanifa, 2019).
Kedua, Perasaan kurang dihargai. Percekcokan dalam keluarga yang
diketahui adanya pihak ketiga dalam rumah tangga atau permasalahan lain seperti
adanya ikut campur mertua. Perasaan kurang dihargai bisa muncul ketika seorang
suami atau istri tidak terlalu diindahkan kata-katanya, keinginannya atau hasil
pekerjaannya oleh pasangan. Egoisme individual timbul akibat adanya perasaan
kurang dihargai oleh pasangannya, sehingga hal tersebut menjadi salah satu motif
adanya pihak ketiga dalam rumah tangga. Atau ketika salah satu pasangan—suami
atau istri—ternyata menyeleweng atau selingkuh dengan pasangan lain.
Keberadaan orang ketiga—wanita atau pria—memang akan menjadi sumbu
terjadinya konflik rumah tangga dan menjadi salah satu sebab retaknya perkawinan.
Selain itu, adanya keterlibatan keluarga besar atau kerabat pada permasalahan-
permasalahan yang terjadi, dapat menjadi memicu terjadinya konflik, baik karena
terdorong niat yang baik dan tulus atau niat yang buruk atau jelek. Diketahui
bersama bahwa adanya hubungan antara anggota keluarga ataupun dari kedua
orang tua berpengaruh besar dalam kehidupan rumah tangganya (Naufal Hanifa,
2019).
Ketiga, adanya masalah komunikasi. Seringkali kita menemukan dalam
konflik rumah tangga karena permasalahan kecil yang dibesar-besarkan, misalnya;
tidak setuju atau kurangnya memahami sebuah hobi dari pasangannya. Komunikasi
dianggap sebagai masalah terpenting dalam kebahagiaan keluarga, adanya
kesenjangan komunikasi seringkali memicu timbulnya permasalahan lain yang lebih
kompleks dan perlu disadari bahwa apapun permasalahan dalam keluarga—suami,
isteri dan anak—solusinya adanya komunikasi yang baik. Dalam teori komunikasi
interpersonal, bahwa secara personal seseorang dituntut untuk memiliki sikap
keterbukaan, pemahaman, penerimaan membuka peluang sukses bagi pemecahan
masalah keluarga. Selain itu, secara psikologis seseorang pasti memiliki privasi yang
tidak ingin digangu oleh orang lain, sekalipun dengan pasangannya. Ketika
seseorang sedang ingin menikmati privasi, maka hendaknya pasangannya dapat
memahami atas hobi atau kebiasaan yang tentunya memiliki nilai positif dalam
keluarga, baik berupa hobi sejak kecil, atau kebiasaan lainnya yang bersifat positif.
Misalnya, ketika suami memiliki kebiasaan berkumpul dengan sesama teman
37
dilingkungannya tentu akan merasa jengkel ketika kebiasaanya dipermasalahkan
oleh istri. Atau seorang istri ingin berkumpul dengan keluarganya dalam waktu
tertentu akan merasa kesal ketika keinginannya tidak dituruti oleh suami (Naufal
Hanifa, 2019).
38
besar dampaknya dibandingkan dengan aksi kekerasan. Studi ini menunjukkan
adanya pola persebaran konflik keagamaan tertinggi yakni DKI Jakarta 308, disusul
Jawa Barat 102, Sulawesi Tengah 76 dan urutan keempat Jawa Timur 65 insiden.
Jenis aksi kekerasan secara horizontal antar komunitas yang berlatar belaknga SARA
berupa penyerangan, bentrokan dan kerusuhan/amuk massa. Dari data ini
memperlihatkan bahwa aksi massa merupakan bentuk yang dipandang paling
efektif oleh masyarakat dalam merespons isu-isu konflik keagamaan, termasuk di
Jawa Timur. Berkenaan dengan aksi massa, jenis aksi penyerangan merupakan
insiden kekerasan yang tertinggi, disusul oleh bentrokan dan kerusuhan/amuk
massa (Rachmah Ida & Laurentius Dyson, 2015).
Konflik inter religius Sunni-Syiah yang terjadi di Sampang tahun 2012,
merupakan konflik atas eksistensi kelompok/identitas yang makin menguat di
kalangan komunitas keagamaan tertentu di Sampang. Secara sosio-budaya,
perbedaan identitas dan religius di kalangan kelompok-kelompok sosial yang hidup
bersama di kawasan ini menjelaskan atas terjadinya konflik komunitas (Rachmah
Ida & Laurentius Dyson, 2015).
Dalam studi kasus yang pernah di lakukan di Sampang, bahwa ajaran antara
Sunni-Syiah yang berbeda ini menjadi penyebab perselisihan dan mempengaruhi
tingkah laku yang berbeda pula dalam komunikasi intra-religius. Fokus kajian pada
studi ini, ingin melihat sejauhmana konflik yang terjadi antara pengikut Sunni dan
Syiah di Sampang. Dengan komunikasi intra-religius atas kedua keyakinan yang
berbeda dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat yang selama ini telah hidup
berdampingan di desa-desa yang terlibat konflik (Rachmah Ida & Laurentius Dyson,
2015). Adanya konflik intra religius—Sunni-Syiah—yang terjadi di Sampang
Madura, maka perlu kiranya mengetahui akar permasalahan secara lebih mendalam
atas persepsi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan pada komunitas-
komunitas yang berkonflik yakni Muslim Sunni dan Syiah di Kecamatan Omben
dan Karang Penang, Sampang.
3. Konflik Politik
Dalam pembahasan tentang konflik politik, kita tentu akan mengalami
kesulitan dalam menerjemahkan istilah komunitas politik. Tentu yang sangat lazim
dan lumrah kita pelajari yaitu organisasi politik atau politik aliran. Sedangkan
masyarakat Indonesia dalam menjalankan sistem demokrasi masih tergantung pada
pola politik aliran yang dilatarbelakangi oleh etnisitas (Imam Hidayat, 2012). Kita
dapat belajar secara seksama bahwa sangat tidak menguntungkan dalam pembinaan
persatuan dan kesatuan bangsa yaitu dengan adanya politik aliran. Walaupun
sistem politik ini pernah terjadi pada masa-masa pasca kemerdekaan sampai awal
tahun 1970-an.
39
Konflik politik dalam organisasi atau komunitas politik biasanya berawal
adanya kepentingan yang muncul dari peristiwa politik. Adapun sebab-sebab yang
mendorong terdinya konflik:
a. Latar belakang sosial, budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh
yang sangat kuat.
b. Kesalahpahaman antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.
c. Adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan
mekanisme yang ada dalam organisasi.
d. Merasa tidak puas atas keputusan yang ada dalam kelompok politik,
sikap tidak senang dan frustasi.
e. Adanya sikap egosime atau harga diri yang berlebihan dan berakibat
pada usaha untuk menunjukkan identiasnya.
f. Adanya usaha untuk membuat rekayasa dan permainan yang bersifat
manipulatif (Imam Hidayat, 2012).
4. Konflik Ekonomi
Secara teoritis terlihat bahwa faktor ekonomi menjadi fokus analisis yang
dipakai untuk menjelaskan kemunculan konflik sebagai realitas sosial. Dalam
perspektif teoritis yang dikembangkan oleh Marx yang didasarkan atas sistem
kepemilikan dan kelas untuk menjelaskan tentang adanya perbedaan struktur sosial
atas—borjuis—dan bawah—proletar—yang menimbulkan konflik dengan motif
ekonomi dalam masyarakat. Berdasarkan teori Marx yang kemudian muncul istilah
dikotomi antara kelas borjuis dan kelas proletar. Perbedaan akses—jaringan—
terhadap sumber daya ekonomi, selaras dengan kemampuan menguasai terhadap
sumber daya politik. Penguasaan sumberdaya atau hegemoni atas kekuasaan
ekonomi oleh kelompok kecil—eksklusif—telah menciptakan struktur kekuasaan
atas modal yang disebut sebagai struktur kekuasaan kapitalis, mereka bekerja secara
sistematis dan professional untuk melayani kepentingan kelas status quo (Pheni
Chalid, 2005).
Dalam perspektif ini, bahwa fungsi negara sebagai entitas pengelola
kekuasaan politik hanya sebagai alat dominasi kelas kapitalis yang berfungsi
menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol politik yang menyebabkan sistem
budaya dan pandangan hidup dalam kekuasaan. Secara kritis mengatakan bahwa
negara hanya mewakili dan melestarikan kepentingan pemilik modal dari pada
membela kepentingan rakyat kelas bawah. pada kenyataannya bahwa Konflik dapat
dikelompokkan ke dalam kategori sifat, motif dan bentuk. Berdasarkan sifatnya,
konflik bersifat laten dan manifes. Berdasarkan motifnya, konflik terbagi ke dalam
dua kategori rasional dan emosional (Budiman & Samani, 2021).
Sedangkan berdasarkan bentuknya, konflik dibedakan menjadi vertikal dan
horisontal. Konflik yang selalu melibatkan dua belah pihak yang berlawanan, baik
40
antar pribadi atau antar kelompok atau antar komunitas sosial yang lebih luas.
Adakalanya, konflik melibatkan dua pihak yang memiliki posisi berimbang, atau
terdapat pihak-pihak yang berkonflik berada dalam posisi yang tidak berimbang.
Konflik menjadi laten dan tidak jelas keberadaannya ketika pertentangan diantara
pelaku konflik tidak jelas, namun telah ada dalam diri pelaku konflik, seperti stigma
negatif terhadap kelompok atau komunitas tertentu (Pheni Chalid, 2005).
5. Konflik Budaya
Disisi lain konflik muncul dalam perspektif budaya, hal ini menjelaskan
bahwa konflik dalam masyarakat diakibatkan karena adanya perbedaan budaya.
Dalam catatan sejarah pertentangan manusia bahwa konflik terjadi karena persoalan
latar belakang sosial yang menyebabkan adanya perbedaan budaya yang
melahirkan penilaian stereotipe. Masing-masing kelompok sosial-budaya melihat
adanya budaya yang sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan
otonomi budaya. Perdebatan tentang pendekatan primordial antar komunitas.
Argumentasi banyak kalangan yang menolak bahwa terdapat masalah serius bila
hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek budaya semata. Dalam pandangan
instrumentalis, pemakaian simbol budaya merupakan sarana yang efektif untuk
menjalin ikatan dan menyatukan kepentingan serta bertindak bersama (Pheni
Chalid, 2005).
41
sesamanya, hanya karena pertimbangan rasional. Mereka akan melakukan
kerjasama apabila mendatangkan keuntungan (Harianto et al., 2020). Jadi, dapat
dikatakan bahwa kepentingan adalah unsur penting dalam kehidupan sosial. Ada
berbagai macam kepentingan yang memunculkan berbagai macam dorongan
keinginan. Ibarat mata uang, interaksi sosial antara individu atau kelompok, di satu
sisi akan melahirkan kesepakatan yang bersifat fungsional. Di sisi lain, Interaksi
sosial akan menciptakan ketidaksepakatan dan konflik. Satu kelompok akan
membela sekaligus mempertahankan kepentingan kelompoknya. Kondisi ini pada
akhirnya menciptakan konfik yang merupakan bagian dari struktur sosial (Pheni
Chalid, 2005).
3) Wewenang dan Tanggungjawab
Dalam sebuah komunitas pasti memiliki program kegiatan yang tentu akan
memberi tanggungjawab kepada anggota untuk menjalankannya. Posisi dan
tanggungjawab yang diberikan tentunya sesuai dengan kapasitas masing-masing
anggota. Ketika salah seorang anggota tidak menjalankan sesuai dengan wewenang
dan tanggungjawabnya maka berakibat pada yang lainnya. Sumber masalah yang
kecil dan bersifat personal berdampak pada eksistensi komunitas. Namun, masih
ada kewenangan ketua atau apapun namanya dapat mengatasi konflik dalam
komunitasnya, ketika konflik personal dibiarkan maka akan meluas dan
menyebabkan terganggunya pencapaian kinerja organisasi secara umum.
42
jangka panjang. Konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integritas
dalam kelompok (Margaret M Poloma, 2004).
Anggota dalam komunitas yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu
konflik, dapat mengambil hikmah dan bisa belajar bagaimana menghadapi
perbedaan sifat, sikap, dan perilaku orang lain di tempat kerja (Sunarta, 2010).
2) Dampak Negatif
Hubungan komunikasi dalam komunitas mengalami gangguan
(misscommunication).
Shalahuddin et al., (2021) Program kegiatan yang sebelumnya dilakukan
seperti bekerjasama, baik internal maupun antar komunitas akan
terhalang/terhambat.
Secara personal yang mengalami akan senstif dan rentan tersulut adanya
situasi yang memancing kedua belah pihak untuk berkonflik.
Secara sosial akan memiliki dampak atas ketidaknyamanan yang dirasakan
lingkungan komunitas.
Adanya perasaan cemas, stres, apatis, dan fruutasi terhadap situasi yang
sedang dihadapi. Situasi dan kondisi psikologis seseorang tentunya dapat
menyebabkan menurunnya etos kerja yang akhirnya merugikan komunitas
(Sunarta, 2010).
43
mengatur hubungan sosial yang semakin materialis dan kompetitif. (Muhammad
Zuhdan, 2013)
b. Kontrak Sosial
Ketika perhatian kita pada penyelesaian konflik komunitas maka langkah
dalam Peralihan paradigma dari pendekatan kekuasaan menuju komunitas perlu
diterapkan, walaupun mengalami perdebatan secara konseptual. Misalnya, Thomas
Hobbes pernah menegasikan kapasitas masyarakat dalam mengatur dirinya sendiri.
Dalam bukunya Leviathan, Hobbes pernah memiliki gagasan besar tentang
keberadaan masyarakat secara swadaya tidak akan mampu mengatur benturan
kepentingan di masyarakat by itself, sehingga perlu “Leviathan” sebagai kekuatan
pemaksa. Sama halnya dengan pemikiran John Locke yang berasumsi bahwa untuk
menciptakan masyarakat yang relatif jauh dari benturan kepentingan antar individu
atau kelompok, maka perlu adanya sebuah kontrak sosial yang diwujudkan dalam
bentuk negara konstitusional (Muhammad Zuhdan, 2013).
Selanjutnya Ralf Dahrendrof mengatakan bahwa untuk mengantisipasi
konflik perlu adanya pengorganisasian terhadap kelompok-kelompok sosial secara
lebih baik. Model pengorganisasian terhadap kelompok sosial dianggap mampu
membangun mekanisme kontrol sosial yang efektif, sekaligus menghindari
kecenderungan terjadinya konflik dimasa yang akan datang (Margaret M Poloma,
2004). Sementara Jack Rothman mengatakan bahwa untuk meminimalisir konflik
sosial perlu dilakukan beberapa tindakan yang sangat mengandalkan nilai-nilai
kemasyarakatan, diantaranya; Pertama, tindakan persuasif, langkah ini dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa menghadapi realita sosial,
politik, dan ekonomi. Kedua, tindakan normatif, konsep ini ditujukan untuk
membangun persepsi bersama, menghindari prasangka dengan mengutamakan
nilai perdamaian dan menghormati norma atau nilai lokal yang selama ini dipegang
bersama. Ketiga, memberi reward berupa insentif kepada komunitas tertentu atas
keberhasilanya menjaga keamanan dan ketertiban. Modal sosial merupakan elemen
penting dalam mengelola konflik berbasis komunitas, sekaligus menggambarkan
kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial
(Muhammad Zuhdan, 2013).
Secara umumnya kita ketahui terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk
menyelesaikan konflik komunitas. Pertama, Negosiasi. Istilah ini digunakan untuk
menyelesaikan masalah melalui diskusi—musyawarah mufakat—antar kedua belah
pihak yang bersengketa. Secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa
dengan hasil yang diterima oleh pihak tersebut. Kedua, Mediasi. Upaya
penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral—mampu diterima
oleh kedua belah pihak—dalam hal ini tidak memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan, akan tetapi hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa
dalam mencapai kata sepakat dan diterima oleh kedua belah pihak. Ketiga,
44
Pengadilan. Sebagai lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk
mengadili, pengadilan memiliki kewenangan menerima, memeriksa, dan memutus
perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Keempat, Arbitrase. Merupakan cara yang dilakukan dengan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil
keputusan.
Daftar Pustaka
Antonius Atosökhi Gea, Y.S.R., 2010. Konflik Pertanian Antara Komunitas di Desa
Watu Nggelek Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT
Tahun 1996 – Sekarang. Dalam Jurnal Humaniora, Faculty of Cultural Sciences,
Universitas Gadjah Mada, No. 2, Vol. 1, 284–302.
Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk
Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School.
ELEMENTARY: Islamic Teacher Journal, 9(1).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835
Harianto, G. P., Rusijono, R., Masitoh, S., & Setyawan, W. H. (2020). Collaborative-
Cooperative Learning Model to Improve Theology Students’characters: Is it
Effective? Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(2). https://doi.org/10.21831/cp.v39i2.31272
Imam Hidayat, 2012. Teori-Teoti Politik, 3rd ed. SETARA Press, Malang.
Mulyadi, 2002. Konflik Sosial di Tinjau dari Struktur dan Fungsi. Dalam Jurnal
Humaniora, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, No. 3,
45
Vol. 14.
Rachmah Ida & Laurentius Dyson, 2015. Konflik Sunni-Syiah dan dampaknya
terhadap komunikasi intra-religius pada komunitas di Sampang-Madura,
Dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Unair, No. 1, Vol. 28, hal.
33–49.
Shalahuddin, Y., Rahman, F., & Setyawan, W. H. (2021). Pemodelan Simulasi Untuk
Praktikum Teknik Otomasi Industri Berbasis Matlab/Simulink Di SMKN 1
Kediri. Jurnal Pelayanan Dan Pengabdian Masyarakat (Pamas), 5(1), 15–26.
https://doi.org/https://doi.org/10.52643/pamas.v5i1.1061
Suheri Harahap, 2012. Konflik Agama dan Etnis di Indonesia. Dalam Jurnal Ilmiah
Kajian Sosiologi Agama (JISA), UINSU, No. 2. Vol. 1.
Webster, D. N. (1974) ‘The Public Defender, the Sixth Amendment, and the Code of
Professional Responsibility: The Resolution of a Conflict of Interest’, Am. Crim.
L. Rev., 12, p. 739.
46
Biodata Penulis:
Sukron Romadhon
Penulis lahir di kabupaten Pamekasan, 05 Februari 1982.
Penulis merupakan Dosen di Institut Agama Islam Negeri Madura
dalam bidang Ilmu_ilmu Sosial, penulis menyelesaikan gelar
Sarjana dalam bidang Komunikasi Penyiaran Islam di Institut
Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo (2005) sekarang
UNUJA, sedangkan gelar Magister of Sains dalam bidang
Ilmu_Ilmu Sosial di Universitas Airlangga Surabaya (2008).
47
BAB 5
TAHAPAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses pengembangan masyarakat untuk
mencapai keadilan sosial dalam masyarakat. Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai
suatu proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama untuk kepentingan
bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan
sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun
kembali kekuatan dalam komunitas. Pemberdayaan secara makro diartikan sebagai upaya
mengurangi ketidakmerataan dengan memperluas kemampuan manusia (melalui, misalnya,
pendidikan dasar umum dan pemeliharaan kesehatan, bersama dengan perencanaan yang
cukup memadai bagi perlindungan masyarakat) dan memperbaiki distribusi modal-modal
yang nyata (misal lahan dan akses terhadap modal) (Purbantara, 2019).
Tolak ukur keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah bila masyarakat menjadi
lebih sejahtera, lebih mampu secara ekonomi dan memiliki kemampuan menciptakan kultur
serta politis. Pencapaian keberhasilan pemberdayaan masyarakat tak lepas dari intervensi
berbagai pihak dan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut mengadaptasi dari
tahapan pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Adi (2013) meliputi; tahap
pengkajian, tahap pelaksanaan dan pemberdayaan, tahap pengembangan program dan tahap
penyusunan laporan program. Berikut uraian setiap tahap dalam pemberdayaan masyarakat:
A. Tahap Kajian
Tahap kajian dalam pemberdayaan masyarakat didahului dengan persiapan. Persiapan
yang dimaksud adalah kegiatan mengonsolidasikan program pemberdayaan masyarakat yang
akan dilakukan. Persiapan meliputi persiapan petugas dan persiapan lapangan. Pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat memerlukan orang yang berperan sebagai community worker atau
orang yang dapat membantu individu, kelompok, keluarga, organisasi serta masyarakat dalam
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi (Zastrow dalam Purbantara: 2019). Oleh karena
itu, perlu dipersiapkan orang-orang atau petugas yang relevan dengan program pemberdayaan
masyarakat tersebut. Bila petugas telah dipilih atau ditunjuk, selanjutnya sebagai sebuah tim
pelaku perubahan diperlukan penyamaan persepsi antar anggota mengenai pendekatan apa
yang akan dipilih untuk melakukan pengembangan masyarakat. Selain itu, lapangan untuk
kegiatan pemberdayaan masyarakat juga harus dipersiapkan melalui studi kelayakan baik
secara formal maupun informal terhadap daerah yang akan dijadikan sasaran. Petugas harus
memperoleh izin formal dari pihak terkait untuk daerah yang ingin dikembangkan.
48
Selanjutnya, petugas harus menjalin kontak dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat agar
interaksi selanjutnya dengan masyarakat dapat terjalin dengan baik (Rifai et al., 2020).
Kegiatan persiapan menjadi dasar kegiatan selanjutnya yaitu pengkajian. Pengkajian
merupakan proses identifikasi masalah atau kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki
komunitas sasaran. Pada proses ini pelibatan aktif masyarakat sangat perlu untuk menggali
agar permasalahan yang muncul merupakan permasalahan nyata yang mereka hadapi.
Petugas dalam hal ini berperan memfasilitasi warga untuk melakukan analisis situasi dan
menyusun prioritas permasalahan yang mereka sampaikan. Proses pengkajian perlu dilakukan
dengan baik disertai dengan diagnosis permasalah yang cermat dan lugas agar dapat menjadi
dasar yang tepat bagi proses selanjutnya yaitu perencanaan (Budiman & Samani, 2021;
Herry Setyawan et al., 2019).
Perencanaan merupakan suatu proses pelibatan kelompok warga secara partisipatif
untuk memikirkan alternatif solusi permasalahan yang mereka hadapi. Alternatif solusi yang
dihasilkan merupakan program-program kegiatan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya,
petugas membantu masing-masing kelompok warga untuk merumuskan dan menentukan
program atau kegiatan yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Petugas
lapangan dan masyarakat pada tahap ini semestinya sudah dapat menuangkan gagasan tujuan
jangka pendek yang akan dicapai dan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Chabib Sholeh (2014) mengemukakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah
untuk meningkatkan harkat dan martabat hidup manusia yang mencakup perbaikan ekonomi,
mental, fisik, politik, keamanan, kesehatan dan sosial budaya. Tujuan tersebut dapat dicapai
dengan menetapkan sasaran-sasaran antara lain perbaikan kelembagaan, perbaikan
pendapatan, perbaikan lingkungan hidup, perbaikan akses (inovasi, teknologi, permodalan
atau kredit, sarana dan prasarana produksi, peralatan dan mesin, serta energi listrik yang
sangat diperlukan dalam proses produksi), perbaikan tindakan, perbaikan usaha produktif dan
perbaikan-perbaikan bidang lainnya.
Pengkajian dan perencanaan erat kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan yaitu
pemandirian masyarakat. Dalam proses mendampingi masyarakat dalam membuat analisis
masalah yang dihadapi, masyarakat dibantu untuk menemukan alternatif solusi dan
menyusun strategi untuk memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimiliki. Beberapa
strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan diterapkan dalam pemberdayaan
masyarakat diantaranya; menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling), memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
49
(empowering) dan perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
dalam konsep pemberdayaan masyarakat (Noor: 2011).
B. Tahap Pelaksanaan dan Pemberdayaan
Tahap pelaksanaan dan pemberdayaan merupakan tahap yang sangat penting dalam
proses pemberdayaan masyarakat, karena realisasi perencanaan dapat melenceng dalam
pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerjasama antara pelaku perubahan dan warga
masyarakat, maupun kerjasama antarwarga.
Menurut Anwas (2014: 58-60), dalam kegiatan pemberdayaan khususnya yang
ditujukan kepada masyarkat, aparat/agen pemberdayaan perlu memegang beberapa prinsip
dalam pemberdayaan masyarakat, yang menjadi acuan dalam pelaksanaan sehingga kegiatan
dapat berjalan dengan benar dan tepat, sesuai dengan hakikat dan konsep pemberdayaan.
Beberapa prinsip pemberdayaan masyarakat yang dimaksud meliputi:
1. Pemberdayaan dilaksanakan dengan penuh demokratis, penuh keikhlasan, tidak ada
unsur paksaan, karena setiap masyarakat mempunyai masalah, kebutuhan, dan potensi
yang berbeda, sehingga mereka mempunyai hak yang sama untuk diberdayakan
2. Setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat sebaiknya berdasarkan pada kebutuhan,
masalah, dan potensi yang dimiliki kelompok sasaran. Hal ini dapat diketahui dengan
jelas jika proses identifikasi dan sosialisasi pada tahap awal berlangsung dengan
melibatkan penuh kelompok sasaran.
3. Sasaran utama pemberdayaan adalah masyarakat, sehingga harus diposisikan sebagai
subjek/pelaku dalam kegiatan pemberdayaan, dan menjadi dasar utama dalam
menetapkan tujuan, pendekatan, dan bentuk-bentuk kegiatan pemberdayaan.
4. Menumbuhkan kembali nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, seperti jiwa gotong
royong, yang muda menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua
menyayangi yang lebih muda, karena hal ini menjadi modal sosial dalam
pembangunan.
5. Dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, karena merupakan sebuah
proses yang membutuhkan waktu, dilakukan secara logis dan sederhana menuju ke
hal yang lebih kompleks.
6. Memperhatikan keragaman karakter, budaya dan kebiasaan kebiasaan masyarakat
yang sudah mengakar atau berlangsung lama secara turun temurun
7. Memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama aspek sosial dan
ekonomi
8. Tidak ada unsur diskriminasi, utamanya terhadap perempuan
50
9. Selalu menerapkan proses pengambilan keputusan secara partisipatif, seperti
penetapan waktu, materi, metode kegiatan dan lain-lain
10. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk, baik yang bersifat fisik
(materi, tenaga, bahan) maupun non fisik (saran, waktu, dukungan)
11. Aparat/agen pemberdayaan bertindak sebagai Fasilitator yang harus memiliki
kemampuan/kompetensi sesuai dengan potensi, kebutuhan, masalah yang dihadapi
masyarakat. Mau bekerjasama dengan semua pihak/institusi maupun lembaga
masyarakat /LSM yang terkait.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat memerlukan strategi agar program yang
direncanakan dapat dicapai dengan sukses. Strategi pemberdayaan masyarakat pada dasarnya
mempunyai tiga arah, yaitu:
1. Pemihakan dan pemberdayaan masyarakat
2. Pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan
yang mengembangkan peran serta masyarakat
3. Modernisasi melalui penajam arah perubahan struktur sosial ekonomi (termasuk
kesehatan), budaya dan politik yang bersumber pada partisipasi masyarakat
(Mardikanto dan Poerwoko dalam Hamid: 2019)
Dengan demikian pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan dengan strategi
sebagai berikut:
1. Menyusun instrumen pengumpulan data. Dalam kegiatan ini informasi yang
diperlukan dapat berupa hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
referensi yang ada, dan dari hasil temuan pengamatan lapangan;
2. Membangun pemahaman dan komitmen untuk mendorong kemandirian individu,
keluarga dan masyarakat
3. Mempersiapkan sistem informasi, mengembangkan sistem analisis, intervensi,
monitoring dan evaluasi pembedayaan individu, keluarga dan masyarakat
(Mardikanto dan Poerwoko dalam Hamid: 2019).
Tahap pelaksanaan dan pemberdayaan diupayakan sedekat mungkin dengan apa yang
direncanakan. Oleh karena itu, setiap kegiatan dalam program direncanakan sedemikian rupa
sehingga jelas, mudah dipahami, realistis, dan spesifik, sehingga dapat diukur pencapainnya.
Daftar Pustaka
Adi, I. R. 2013. Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya
Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press.
54
10(2), 15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15
Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf
Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723
55
Biodata Penulis
56
BAB 6
STRATEGI DAN PENDEKATAN
DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
57
yang mengacu kepada kebutuhan. apa yang harus dibicarakan bersama adalah
memecahkan problem yang sedang dihadapi (Margolang, 2018).
58
Strategi sebagai pola pikir diartikan sebagai suatu tindakan yang didasari oleh
pemahaman yang luas tentang kondisi pangan dan internal dalam rentang waktu yang
panjang serta keahlian dalam pengambilan keputusan untuk memilih solusi terbaik
yang yang bisa dilakukan kan dengan memaksimalkan potensi untuk memanfaatkan
peluang yang tersedia yang secara simultan menutupi kelemahan guna menekan
ancaman-ancaman.
Dari berbagai macam pengertian tentang strategi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa potensi merupakan suatu proses sekaligus alat yang penting yang
berkaitan dengan pengendalian dan pelaksanaan kegiatan yang diterapkan untuk
memenangkan persaingan demi tercapainya tujuan. jadi di dalam istilah lain bahwa
fungsi strategi merupakan jembatan antara perencanaan dengan tujuan yang yang
hendak dicapai. oleh karena itu, perencanaan program membutuhkan strategi untuk
mencapai tujuan (Sari & Setiawan, 2021).
Dalam kaitannya dengan program pemberdayaan masyarakat agar mencapai
tujuan dirumuskan sebuah strategi sebagai berikut (Mardikanto and Soebiato, 2017):
1. Menyusun alat pengumpulan data. dalam program ini data yang dibutuhkan kan
bisa berupa Apa hasil reset yang telah dilakukan terdahulu, referensi yang tersedia,
hasil-hasil temuan atau observasi.
2. Menyamakan persepsi, dan komitmen untuk mendukung independensi individu,
keluarga dan masyarakat.
3. Merancang sistem informasi, mengembangkan sistem analisis, monitoring dan
evaluasi pemberdayaan individu, keluarga dan masyarakat.
Secara keseluruhan strategi yang diterapkan dalam program dapat juga disebut
sebagai ide besar (the big idea) sebagai pendekatan yang yang dirumuskan dalam
kondisi tertentu dari posisi saat ini yang disusun berlandaskan analisis masalah dan
tujuan yang yang ditetapkan. Strategi ini kongkritnya dituangkan dalam bentuk
taktik.
Taktik dilandasi oleh tujuan dan sasaran yang akan dibidik dalam agenda
pemberdayaan sehingga peran kreativitas dan inovatif sangat dibutuhkan dalam
membidik tujuan dan sasaran. tetapi penentuan taktik bukanlah hal yang yang
demikian rumit (Harianto et al., 2020).
59
Menurut Prof. Dr. Maskoeri Bakri, karakteristik pendekatan pemberdayaan
masyarakat adalah berkelanjutan, demokratis, pemberdayaan dan partisipasi yang
merata (Bakri, 2017:33). Sedangkan menurut soedijanto (2001) yang dikutip oleh
Prof. Dr. Ir. Totok Mardikanto, M.S. menambahkan karakteristik ; kesukarelaan,
otonom, keswadayaan, egaliter, demokrasi, keterbukaan kebersamaan, akuntabilitas,
dan desentralisasi. Untuk lebih jelasnya akan diurai sebagai berikut (Mardikanto and
Soebiato, 2019:108-109):
60
Egaliter, para pemangku kebijakan (stakeholder) berkedudukan sejajar dan
setara sehingga tidak ada posisi yang ditinggikan atau merasa direndahkan. Egaliter
berarti kesetaraan kedudukan antara masyarakat dengan pihak lain seperti program
pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan, BUMN dan sebagainya. Dengan demikian
nilai tawar (bargaining position) masyarakat berimbang dan tidak ada yang
direndahkan.
61
C. Ragam Pendekatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat
62
menggerakkan sektor sosial, politik, budaya dan ekonomi dalam konteks
kehidupannya sehari-hari. Di samping hal tersebut para pemerhati PAR terinspirasi
oleh pendapat Jurgen Habermas dalam melahirkan pengetahuan masyarakat. Pendapat
Hubermas tersebut dapat menguatkan pengertian bahwa terjadi banyak kepentingan
dalam membentuk pengetahuan masyarakat. Sehingga bisa dipahami bahwa klaim
pengetahuan tercipta tidak berdasarkan kepentingan dominan melainkan banyak
kepentingan. Pengaruh yang lain juga pemikiran Paulo Freire tentang teori kesadaran.
Bagi Freire, kesadaran kritis merupakan tonggak utama dalam perubahan personal dan
sosial dan menjadi modal yang strategis bagi unifikasi teori dan praktik dalam dunia
demokratis. Dari sinilah kemudian lahir model pendidikan orang dewasa (Pedagogi)
dan orang-orang tertindas, serta orang-orang yang lemah dan belum mendapatkan
kesempatan menempuh pendidikan yang memadai (Ansori et al., 2021:103).
Dalam sejarah PAR, Kurt Lewin dianggap sebagai pencetus awal istilah
action research yang dikembangkan pada tahun 1940-an. Lewin berkeyakinan bahwa
dalam dinamika kelompok, orang-orang yang dapat memahami kenyataan
kehidupannya sendiri sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan memperbaiki
kondisinya. Lewin menyadari bahwa satu-satunya cara untuk maju dalam ilmu sosial
adalah menggunakan tindakan yang dilakukan kan bersama kelompok sosial alami di
lingkungan nyata masyarakat proses ini akan dipengaruhi oleh ragam perilaku
individu dan sosial mulai dari faktor psikologis, fisiologis, budaya dan sebagainya.
Faktor-faktor tersebut oleh disebut sebagai laboratorium kecil buatan masyarakat
(Ansori et al., 2021:113-114).
63
Gerakan feminisme yang terjadi pada tahun 1980-an melengkapi
perkembangan PAR dalam perspektif yang telah berevolusi yaitu penolakan pada
teori, penelitian dan etika yang yang merendahkan kontribusi wanita dalam penelitian
ilmu sosial. Aktivis feminisme memberikan rencana kerja yang jelas bagi program-
program PAR dalam mengedepankan wanita sebagai aktor perubahan sosial
(Mahmudi et al., 2007).
Ada 16 prinsipsi kerja PAR yang menjadi pemandu utama dalam pelaksanaan
kerja PAR bersama masyarakat, yaitu (Ansori et al., 2021:305-311):
64
b. Siklus yang dihasilkan harus dilahirkan dari partisipasi murni, dimulai analisa
sosial, rencana aksi, aksi, evaluasi, refleksi (teoritisasi pengalaman) dan kemudian
analisa sosial, begitu seterusnya (Afandi and Wigati, 2019:55-56).
d. Upaya penyadaran kritis terhadap situasi yang mereka alami dilakukan secara
sinergis dan melibatkannya di semua proses research, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan refleksi.
i. Menjadikan semua pengalaman individu dan kelompok yang terlibat sebagai objek
riset. Semua proses perekaman terhadap refleksi dan pengalaman terus dilakukan
melalui ragam media yang ada.
j. Terjadinya proses politik dalam arti luas. Proses perubahan sosial di tengah
masyarakat akan mengganggu keberadaan individu ataupun kelompok yang sedang
65
menikmati situasi yang mungkin membelenggu, menindas dan mendominasi
masyarakat. Aktivis perubahan sosial harus sanggup meyakinkan mereka secara
bijak bahwa perubahan sosial tersebut adalah untuk kepentingan mereka sendiri di
masa depan.
l. Dalam relasi-relasi yang lebih luas harus dimulai dari isu yang kecil. Kesuksesan
dalam meneliti dan mengadakan perubahan terhadap persoalan yang kecil
merupakan indikator keberhasilan seseorang yang dalam menyelesaikan problem
yang lebih besar.
m. Mulai dari siklus proses yang kecil (analisa sosial, rencana aksi, aksi, evaluasi,
refleksi, analisa sosial dst.).
n. Memulai kolaborasi dari kelompok kecil dan secara signifikan merambah pada
kekuatan-kekuatan kritis besar lainnya.
o. Semua orang harus mencermati dan membuat rekaman proses. Dalam hal ini PAR
sangat mengutamakan keakuratan fakta, data dan keterangan langsung dari
individu ataupun kelompok, karena semua bukti-bukti tersebut harus direkam dan
dicatat sejak awal hingga akhir oleh semua stakeholder yang terlibat dalam proses
perubahan sosial.
p. Dalam kerja sosial semua orang harus memberikan alasan yang rasional.
Pendekatan PAR mendasarkan pada adanya fakta-fakta yang betul-betul terjadi di
lapangan.
66
komunitas, kapasitas, basis asosiasi dan kelembagaan sosial, dan tidak didasarkan
pada aset yang tidak ada atau tidak dimulai dari masalah atau kebutuhan masyarakat.
Pendekatan ABCD melibatkan semua sumber daya yang ada, keterampilan dan
pengalaman masyarakat sebagai pijakan utama untuk meningkatkan kualitas hidup
dalam semua aspek. Metodologi ABCD ini berlandaskan prinsip bahwa pengakuan
terhadap potensi, kekuatan, bakat dan aset individu serta aset masyarakat dapat
menginspirasi perilaku positif untuk melakukan perubahan daripada secara khusus
fokus pada kebutuhan dan masalah. perspektif dalam memandang gelas setengah
penuh bukan berarti untuk menyangkal masalah yang sedang dihadapi masyarakat
tetapi untuk menyatukan energi setiap individu agar terus berpartisipasi dengan cara
yang lebih bermakna bagi pengembangan aset mereka sendiri. Artinya fokus
energinya ditujukan pada isi gelas dan bukan pada kosongnya gelas (Ansori et al.,
2021:122-124).
Adalah John McKnight dan Jody Kretzmann dari Institute for Policy di
Northwestern University di Evanston illinois, yang mengembangkan hasil risetnya
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pada tahun 1993. Pada mulanya
pendekatan ABCD ini merupakan alternatif dari pendekatan pembangunan yang
berdasarkan kebutuhan. Dalam temuan risetnya, John McKnight dan Jody Kretzmann
membandingkan dua pendekatan dalam menyelesaikan masalah kemiskinan (Indrajit
et al., 2014). Cara pertama, memfokuskan program pada kebutuhan komunitas
dengan melihat permasalahan yang dihadapinya, sedangkan cara kedua, melalui
pengembangan kapasitas berbasis aset yang dipunyai oleh komunitas (Ansori et al.,
2021:135-138).
67
diantaranya adalah sustainable livelihood approach (pendekatan mata pencaharian
berkelanjutan) yang yang didirikan oleh Department for International development
(DFID), Inggris dan secara signifikan juga dikembangkan oleh United Nation
Development Program (UNDP) yang dalam rencana kerjanya saat ini digunakan
oleh Ford Foundation (FF) (Ansori et al., 2021:136-138)..
Metodologi ABCD dibangun atas empat prinsip utama yaitu (Ansori et al.,
2021:140-143):
a. ABCD adalah pendekatan yang yang berfokus pada aset dan potensi masyarakat
daripada masalah dan kebutuhan. Banyak pendekatan yang digunakan
sebelumnya yang diawali dengan analisis kebutuhan atau berfokus pada masalah
yang dihadapi masyarakat, yang pada gilirannya mengarah kepada pelabelan
masyarakat atau individu yang kurang berfungsi. Semakin disfungsional suatu
komunitas maka makan banyak dana diinvestasikan dan dikendalikan oleh pihak
eksternal (Ahmad, 2007).
68
d. Pendekatan ABCD dalam pengembangan masyarakat didorong oleh hubungan
yang dibangun oleh masyarakat. Komunikasi dan jejaring sosial yang terjadi
dalam masyarakat adalah aset dan menjadi hak masyarakat sendiri Konsep ini
dipahami sebagai modal sosial karena menempatkan jaringan informan dan
menggunakan kekuatan mereka sebagai upaya untuk memobilisasi aset
(Setyawati et al., 2020).
Paradigma
Service learning (SL) adalah pendidikan berbasis pengalaman melalui peran
mahasiswa dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dilakukan secara
terstruktur. Orientasi dari service learning adalah pengembangan pembelajaran dan
pengembangan kapasitas mahasiswa yang dirancang secara khusus. Pendekatan SL
merupakan pendidikan yang berbasis pengalaman yang dilaksanakan melalui jalan
pembelajaran dengan siklus aksi dan refleksi (Kambau et al., 2016:10). Siklus ini
diawali dari kerjasama mahasiswa dengan pihak lain dalam menerapkan
pengetahuannya untuk memecahkan masalah masyarakat yang kemudian
direfleksikan untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang lebih spesifik
tentang permasalahan yang dihadapi. Proses refleksi inilah yang kemudian menjadi
media pembelajaran. Artinya bentuk pelayanan (service) terhadap masyarakat inilah
yang kemudian difungsikan sebagai sarana pembelajaran (learning) bahkan
pengembangan keilmuan dalam hubungan timbal balik yang terjadi. Dalam refleksi
pengalaman dalam ranah masyarakat di dalamnya tersedia teks akademik yang sangat
kaya dan tidak hanya terbatas pada teks tertulis yang dapat dijadikan bahan
pembelajaran ketika refleksi dirancang yang kemudian diimplementasikan dengan
tepat. Maka hal ini akan menggerakkan perhatian mahasiswa untuk mendapatkan
interpretasi baru tentang berbagai peristiwa sebagai teks akademik. dengan demikian
SL sebenarnya adalah menyatukan antara tujuan-tujuan service dengan tujuan-tujuan
learning dengan maksud bahwa proses pemberian pelayanan kepada masyarakat itu
juga merupakan proses pembelajaran bersama (Ansori et al., 2021:143-148).
69
Serikat. Kemudian konsep SL ini telusuri kembali oleh John Dewey kaitannya
dengan pendidikan berbasis pengalaman untuk mengintegrasikan layanan masyarakat
dengan kurikulum sekolah seperti saat ini. Adalah Southern Regional Education
Board pada akhir tahun 1960-an memunculkan istilah service learning yang tertuju
pada integrasi tugas-tugas akademik yang dibutuhkan dalam pengembangan
pendidikan. Baru pada tahun 1993 The national and community service trust,
mendorong eksistensi program service learning di wilayah Amerika Serikat yang
pada akhirnya diakui dan dan berkembang di penjuru AS (Ansori et al., 2021).
Pada tahun 1990 konsep Service Learning mulai dikenal di Kanada tepatnya di
Universitas ST. Francis Xavier yang kemudian memperluas cakupan programnya
dengan mendirikan service learning program office di kampusnya. Kemudian pada
tahun 2004 McConnel Foundation menginisiasi berdirinya lembaga nasional yang
mensupport konsep service learning yang kemudian bekerjasama dengan institusi
pendidikan yaitu Canadian Allianz For Community Service Learning, dan mendanai
10 universitas untuk menjadi pilot project Service Learning dalam waktu 5 tahun.
Sehingga pada tahun 2005 didirikanlah pengelola service learning berskala nasional
yang hanya fokus di universitas saja (Kambau et al., 2016:21-22).
Prinsip-pronsip SL
Di antara prinsip-prinsip SL yang harus diimplementasikan sehingga dapat
berjalan efektif dan berkelanjutan adalah (Ansori et al., 2021:156-158):
70
• Memberikan klarifikasi tanggung jawab kepada organisasi dan orang yang terlibat
dalam SL.
• Mengenali perubahan-perubahan situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan
sehingga dapat menyesuaikan ketersediaan penyedia layanan dan kebutuhan
layanan.
• Komitmen kelembagaan yang tulus, aktif dan berkelanjutan.
• Berkomitmen dalam pengawasan, pelatihan, pemantauan, dukungan pengakuan
dan evaluasi untuk fungsi dan tujuan dari servis dan learning.
• Adanya komitmen waktu dan proses pembelajaran yang sesuai kepentingan terbaik
semua pihak.
• Partisipasi oleh dan dengan populasi yang beragam sangat diharapkan
komitmennya.
Jadi unsur-unsur pokok dalam proses ini adalah : service (pelayanan) -
learning (belajar) - reflection (refleksi).
Paradigma
CBPR merupakan pendekatan penelitian yang multidisipliner dan begitu
berbeda dengan ragam pendekatan yang dikembangkan dalam ilmu positivistik dan
empiris, seperti yang terdapat dalam pendekatan participatory action research
(Afandi et al., 2017). Ciri khas utama CBPR adalah mengintegrasikan berbagai jenis
pendekatan dalam proses penelitian, melibatkan komunitas, tidak terpusat pada
aturan-aturan formal pihak-pihak eksternal tetapi berpihak pada pengaturan-
pengaturan internal dalam komunitas (Ansori et al., 2021:170-171).
71
berkaitan dengan : trust (kepercayaan), power (kekuasaan), cultural diversity
(keanekaragaman budaya) dan equity (kesetaraan) (Ansori et al., 2021:171-173).
Pemikiran lain juga dipengaruhi oleh John dewey dan Paulo freire yang secara
langsung mempengaruhi filosofi CBPR mengembangkan pembelajaran dengan
metode belajar melalui praktik langsung (learning by doing). Melalui proses belajar
praktek ini pembelajar tidak hanya terbatas pada hal fisik tetapi juga terlibat dalam
aspek mental emosional, sehingga hal ini mempengaruhi perolehan pengetahuan,
penghayatan dan internalisasi dalam pembentukan sikap dan skill (Ansori et al.,
2021:182-183).
Prinsip-prinsip CBPR
Prinsip-prinsip CBPR didasarkan pada tempat, konteks, tujuan dan peserta
yang terlibat dalam proses. Prinsip-prinsip ini kemudian dikembangkan dan
berkembang di berbagai belahan dunia (Ansori et al., 2021:184-188).
• Mengenal masyarakat sebagai satu unit identitas komunitas sebagai unit identitas
dipahami sebagai bentuk hubungan emosional antara individu dengan individu lain
72
melalui sistem simbol, nilai dan norma yang sama kepentingan bersama, dan
komitmen untuk memenuhi kebutuhan bersama identitas komunitas ini dapat
dibatasi secara geografis, teknik kelompok kesetaraan gender kelompok pekerja,
pengrajin tradisional dan sebagainya
• Membangun berdasarkan kekuatan dan sumber daya yang ada dalam komunitas
pembangunan komunitas. Tidak melibatkan sumber daya yang ada di luar
komunitas seperti keterampilan individu, organisasi, jejaring sosial dan sumber
daya lain.
• Memfasilitasi kemitraan yang kolaboratif dan adil dalam semua fase penelitian,
yang melibatkan proses pemberdayaan dan pembagian power untuk mengatasi
ketimpangan sosial (Soetomo, 2011:88-89). Semua mitra dapat partisipasi, berbagi
dan mengontrol semua tahapan penelitian yang kemudian menerapkan hasilnya
untuk menyelesaikan masalah dalam komunitas itu. semua pihak yang terlibat di
dalam penelitian ini didasarkan pada adanya hubungan saling percaya dan saling
menghormati, menciptakan proses-proses pemberdayaan, membangun komunikasi
terbuka, dan berbagi informasi, pengambilan keputusan kekuatan dan sumber daya
untuk mengatasi ketimpangan sosial .
• Menyebarluaskan hasil kepada semua Mitra dan melibatkan semua Mitra dalam
penyebaran hasil yang lebih luas. Pendekatan CBPR ini menekankan pada
tersebarnya temuan-temuan penelitian kepada semua Mitra dengan menggunakan
metode yang mudah dimengerti.
73
• Melibatkan proses jangka panjang dan komitmen untuk berkelanjutan. untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi pendekatan CBPR menekankan pada ada
proses jangka panjang dan komitmen untuk berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, A. et al. (2017) Modul Riset Transformatif, Jakarta: Dwi Putra Pustaka Jaya.
sidoarjo: Dwi Putra Pustaka Jaya.
Bakri, M. (2017) Pemberdayaan Masyarakat Pendekatan RRA dan PRA. II. Surabaya:
Visipress Media.
Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk
Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School.
ELEMENTARY: Islamic Teacher Journal, 9(1).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835
Harianto, G. P., Rusijono, R., Masitoh, S., & Setyawan, W. H. (2020). Collaborative-
Cooperative Learning Model to Improve Theology Students’characters: Is it
Effective? Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(2). https://doi.org/10.21831/cp.v39i2.31272
74
Kemiskinan’. Malang: Instrans Publishing.
Shalahuddin, Y., Rahman, F., & Setyawan, W. H. (2021). Pemodelan Simulasi Untuk
Praktikum Teknik Otomasi Industri Berbasis Matlab/Simulink Di SMKN 1
Kediri. Jurnal Pelayanan Dan Pengabdian Masyarakat (Pamas), 5(1), 15–26.
https://doi.org/https://doi.org/10.52643/pamas.v5i1.1061
75
Biodata Penulis
76
BAB 7
PEMECAHAN TEKNIS DALAM PEMBERAYAAN MASYARAKAT
77
8. BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
desa melalui penyertaan modal langsung yang berasal dari kekayaan desa. BUMDes
harus lahir atas kehendak seluruh warga desa yang diputuskan melalui Musyawarah
Desa (Musdes). Musdes adalah forum tertinggi melahirkan berbagai keputuan utama
dalam BUMDes mulai dari nama lembaga, pemilihan pengurus hingga jenis usaha
yang bakal dijalankan.
9. Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah suatu metode untuk memahami desa
secara partisipatif, dalam upaya memahami permasalahan dan upaya antisipasi yang
dibutuhkan, berdasarkan pada potensi dan kendala sumber daya yang tersedia. Metode
ini digunakan untuk memfasilitasi masyarakat untuk saling berbagi pengetahuan dan
pengalaman; menganalisis kondisi kehidupannya; dan membuat rencana kegiatan
berdasarkan hasil analisisnya
10. Logical Framework Analysis (LFA) adalah instrumen (alat bantu) analisis dan
manajemen yang dapat menjelaskan analisis situasi yang menjadi alasan atau
argumentasi penting suatu program, kaitan logis sebab-akibat secara hirarki,
hubungan antara tujuan yang akan dicapai dengan proses yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan, identifikasi potensi-potensi resiko yang akan dihadapi dalam
pelaksanaan program, mekanisme bagaimana hasil-hasil kerja (output) dan dampak
program (outcome) akan dimonitor dan dievaluasi.
78
Selanjutnya dijelaskan oleh Robbin and Coutler (2003:496) bahwa penendalian
(controlling) merupakan proses monitoring terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan
sumber daya organisasi untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan tersebut akan
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan tindakan koreksi dapat dilakukan untuk
memperbaiki penyimpangan yang telah terjadi (Budiman & Samani, 2021).
Menurut Siswanto (2012:139-142) pengendalian manajemen adalah suatu usaha yang
sistematik untuk:
1. Menetapkan standar kinerja dengan sasaran perencanaan,
2. Mendesain sistem umpan balik informasi,
3. Membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditetapkan,
4. Menentukan apakah terdapat penyimpangan dan mengukur signifikasi penyimpangan
tersebut,
5. Mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua
sumber daya yang sedang digunakan sedapat mungkin dilakukan secara efektif dan
efisien untuk mencapai sasaran dan tujuan.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Siswanto bahwa, dalam setiap pengendalian, terdapat
empat elemen pokok yang satu sama lainnya berlangsung dalam urutan yang kronoligis dan
kontinyu, serta diantara keempat elemen pokok tersebut berhubungan. Keempat elemen
pengendalian tersebut adalah:
1. Kondisi atau karakteristik yang dikendalikan,
2. Instrumen atau metode sensor untuk mengukur kondisi atau karakteristik yang
dikendalikan,
3. Kelompok, unit, atau instrumen kendali yang akan membandingkan data yang diukur
dengan pekerjaan yang direncanakan, dan mengarahkan mekanisme perbaikan untuk
memenuhi kebutuhan,
4. Kelompok atau mekanisme yang bergerak dan mampu mengadakan inovasi dalam
sistem operasi.
Sedangkan evaluasi adalah mengukur berhasil atau tidaknya program yang
dilaksanakan, apa sebab berhasilnya dan apa sebab kegagalannya, serta bagaimana tindak
selanjutnya. Kegiatan evaluasi senantiasa didasarkan pada hasil dari monitoring. Evaluasi
adalah penidentifikasian keberhasilan dan/atau kegagalan suatu rencana kegiatan atau
program. Secara umum dikenal dua tipe evaluasi, yaitu
1. On-going evaluation atau evaluasi terus menerus.
2. Ex-post evaluation atau evaluasi akhir.
Tipe evaluasi yang pertama didasarkan pada interval periode waktu tertentu, misalnya per
tri-wulan atau per-semester, selama proses implementasi (biasanya pada akhir phase atau
tahap suatu rencana).
Tipe evaluasi yang kedua dilakukan setelah implementasi suatu program atau rencana.
Berbeda dengan monitoring, evaluasi biasanya lebih difokuskan pada pengidentifikasi
mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program.
Selanjutnya dikemukakan oleh Mardikanto dan Soebiato (2012:264) bahwa evaluasi
dalam kehidupan sehari sering diartikan sebagai padanan istilah dari penilaian, yaitu suatu
tindakan pengambilan keputusan untuk menilai suatu objek, keadaan, peristiwa, atau kegiatan
79
tertentu yang sedang diamati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika, tanpa kita sadari,
setiap saat kita telah melakukan evaluasi, baik di rumah, di perjalanan, di tempat pekerjaan,
dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka beberapa pokok pengertian tentang
evaluasi, mencakup:
1. Evaluasi adalah kegiatan pengamatan dan analisis terhadap sesuatu kegiatan,
peristiwa, gejala alam, atau suatu obyek.
2. Membandingkan segala sesuatu yang kita amati dengan pengalaman atau pengetahuan
yang telah kita ketahui dan atau miliki.
3. Melakukan penilaian, atas segala sesuatu yang diamati, berdasarkan hasil
perbandingan atau pengukuran yang dilakukan.
Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa evaluasi harus obyektif dalam arti
harus:
1. Dilakukan berdasarkan data atau fakta, bukan berdasarkan pra-duga atau intuisi
seseorang (yang melakukan evaluasi).
2. Menggunakan pedoman-pedoman tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
80
D. Prinsip Monitoring dan Evaluasi Secara Partisipatif
Lahirnya perencanaan partisipatif dilatarbelakangi karena banyaknya kegagalan
pembangunan sosial kemasyarakatan yang dijalankan oleh pemerintah. Hal ini diakibatkan
penyusunan perencanaan yang sifatnya “top-down” khususnya yang terjadi pada era sebelum
reformasi, bagaimana proses perencanaan yang hampir seluruhnya di dominasi oleh para
aparat dan pengambil kebijakan, yang tidak mungkin dapat memahami sekian banyak
permasalahan, kebutuhan serta potensi yang dimiliki masyarakat, maupun potensi
daerah/wilayah (kearifan lokal) yang akan menjadi lokasi pembangunan/program. Memasuki
era reformasi, pemerintah dan pemerintah daerah telah menyadari betul panyebab kegagalan
pembangunan kemasyarakatan, termasuk program pemberdayaan masyarakat dimasa lalu,
sehingga belajar dari semua kegagalan tersebut, lahirlah kebijakan agar para perencana dalam
menyusun suatu perencanaan harus menempatkan diri sebagai seorang
fasilitator/pendamping. Dalam kedudukannya sebagai fasilitator, para aparat perencana telah
dibekali pengetahuan dan keterampilan, bagaimana seharusnya melakukan pendekatan
kepada masyarakat dan stakeholder/pihak-pihak yang terkait lainnya, agar acuan utama yang
digunakan sebagai bahan penyusunan perencanaan adalah betul-betul berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat (bottom-up), pendekatan ini dikenal dengan istilah perencanaan
partisipatif.
Menurut Riandono dkk (2011:15), perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas
sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal (PRA),
Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan
pembangunan (penyelesaian masalah), mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian
masalah sampai pada penetapan skala prioritas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, secara
garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat
dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah yang
dihadapi, memikirkan bagaiman a cara mengatasinya, menemukan rasa percaya diri dalam
mengatasi masalah, sampai pada tahap mengambil keputusan tentang alternatif pemecahan
masalah yang mereka hadapi (Saptaria & Setyawan, 2021). Ada 3 (tiga) alasan utama
mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat untuk mendapatkan informasi tentang
kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadiran mereka
program pembangunan akan gagal.
2. Masyarakat akan lebih mudah mempercayai kegiatan atau program pembangunan jika
mereka terlibat secara langsung, mulai dari proses persiapan dan perencanaan, karena
masyarakat akan lebih mengetahui seluk beluk program, sehinggga akan lahir rasa
memiliki terhadap program/ kegiatan yang akan dilaksanakan
3. Timbulnya anggapan bahwa, suatu hak demokrasi jika masyarakat dilibatkan dalam
proses pembangunan mulai dari awal sampai berakhirnya kegiatan.
Hanif Nurholis (dalam Ridwan, 2013:9) mengemukakan bahwa, perencanaan partisipatif
adalah suatu model perencanaan pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat. Dalam
hal ini, masyarakat yang aktif melibatkan diri dalam melakukan beberapa hal seperti:
1. Identifikasi masalah,
2. Perumusan masalah,
81
3. Pencarian dan penetapan alternatif pemecahan masalah,
4. Penyusunan agenda pemecahan masalah,
5. Terlibat dalam proses penggodogan (kontroversi),
6. Ikut memantau implementasi kegiatan,
7. Ikut aktif melakukan evaluasi kegiatan/program.
Hal yang paling mendasar dalam melakukan monitering dan evaluasi adalah untuk
mengetahui terlebih dahulu kegiatan dan obyek apa saja yang dapat dijadikan bahan atau
sasaran monotoring dan evaluasi. Menurut Owen dan Rogers, dalam Suharto (2010:119-120)
ada lima objek atau sasaran yang dapat dijadikan bahan monotoring dan evaluasi:
1. Program: Program adalah seperangkat aktivitas atau kegiatan yang ditujukan untuk
mencapai suatu perubahan tertentu terhadap kelompok sasaran tertentu.
2. Kebijakan: Kebijakan adalah ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam
mencapai tujuan tertentu.
3. Organisasi: Organisasi adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang bersepakat
untuk melakukan kegiatan tertentu demi mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
perusahaan, kementrian pemerintahan atau lembaga swadaya masyarakat.
4. Produk atau Hasil: Produk adalah keluaran atau output yang dihasilkan dari suatu
proses kegiatan tertentu. Misalnya, buku atau pedoman pelatihan, makanan, barang
barang yang diberikan kepada klien dalam suatu pelayanan sosial.
5. Individu: Individu yang dimaksud dalam hal ini adalah orang atau manusia yang ada
dalam suatu organisasi atau masyarakat. Umumnya monotoring dan evaluasi tehadap
individu difokuskan kepada kemampuan atau performa yang dimiliki oleh orang yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam organisasi atau
masyarakat.
Beberapa unsur dari kegiatan monitoring dan evaluasi menurut Hikmat (2010:229-231)
terdiri dari: rancangan metode evaluasi partisipatif, teknik dan prosedur, instrumentasi,
pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta pelaporan. Praktisi pembangunan
harus memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan monitoring
dan evaluasi internal. Sementara itu, teknik-teknik PRA yang perlu dikembangkan dan
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Bagian Alur Input-Output
Bagian alur input-output dapat digunakan untuk menggambarkan dan menilai
penggunaan dan interaksi antara faktor-faktor yang penting dalam proses mobilisasi potensi
sosial dan hasil program pemberdayaan masyarakat.
2. Kalender Musim dan Profil Perubahan
Kalender musim dapat digunakan untuk memperluhatkan pemanfaatan waktu sepanjang
tahun. Profl perubahan potensi sosial dapat dibuat untuk jangka waktu yang lebih panjang
guna menunjukkan perubahan dalam hal: perubahan pranata, perkembangan sumber daya
manusia, perkembangan organisasi sosial/LSM, dan pekembangan hasil proyek (Karyoto et
al., 2020).
82
Gambaran perubahan yang didukung oleh hasil uraian dari bagan alur input-outout ini
sangat berguna untuk menunjukkan keadaan transisi dan hubungan antara perubahan-
perubahan yang berbeda yang timbul di masyarakat.
Fokus perhatiannya adalah, mengamati proses pengembangan yang dilaksanaka
bersama antara pendamping (para praktisi) pembangunan dan masyarakat dalam hal:
1. Pengaktifan sumber
2. Perluasan kesempatan
3. Pengakuan terhadap keberhasilan
4. Mengintergrasikan kemajuan-kemajuan yang dicapai
Indikator keberhasilan terapan PRA dalam perencanaan partisipatif dapat diketahui
melalui pengamatan terhadap perilaku masyarakat yang menunjukkan keberdayaan dilihat
dari dua dimensi, yakni aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi.
Aktualisasi diri mencakup:
1. Ekspresi diri setiap anggota masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, baik
pada tahap dialod, penemuan, maupun pengembangan untuk program selanjutnya.
2. Internalisasi penilaian yang merupakan hasil ekspresi diri yang dihargai dan dijadikan
pertimbangan keputusan kelompok.
Koaktualsai eksistensi mengandung makna bahwa gejala-gejala perilaku yang
menunjukkan adaya aktualisasi bersama dalam kelompok, komunitas, atau masyarakat yang
berimplikasi pada eksistensi kelompok/komunitas/masyarakat dalam mengatasi berbagai
permasalahan sosial di lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, A., & Samani, M. (2021). The Development of Direct-Contextual Learning:
A New Model on Higher Education. International Journal of Higher Education,
10(2), 15–26. https://doi.org/doi:10.5430/ijhe.v10n2p15
Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf
http://teori-kebijakan –publik.html
Karyoto, N., Sisbiantoro, D., Setyawan, W. H., & Huda, M. (2020). Effectiveness
Legal Formal of Education Culture Heritage at Van Den Bosch Fort in
83
Indonesian. B-SPACE 2019: Proceedings of the First Brawijaya International
Conference on Social and Political Sciences, BSPACE, 26-28 November, 2019, Malang,
East Java, Indonesia, 434.
https://books.google.co.id/books?id=VkUqEAAAQBAJ&dq=Effectiveness+Legal+For
mal+of+Education+Culture+Heritage+at+Van+Den+Bosch+Fort+in+Indonesian&lr=&
hl=id&source=gbs_navlinks_s
Sukasmanto dkk, Promosi Otonomi Desa, 2004, IRE Press, Yogyakarta. Hal :73
84
PENULIS
Endah Marendah Ratnaningtyas, lahir di Yogyakarta pada 14 November 1972 dan sekarang
menetap di Yogyakarta. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri
13 Pagi Rawamangun, Jakarta Timur, pada lulus tahun 1984, dan
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 109 Jakarta Timur lulus tahun
1987, dan SMA Negeri 48 Jakarta Timur lulus pada tahun 1990.
Kemudian mlanjutkan Strata 1 di Intitut Manajemen Koperasi
Indonesia (IKOPIN) Bandung, lulus tahun 1994, tahun 1997
melanjutkan studi Strata dua di Universitas Borobudur Jakarta,
mengambil konsentrasi magister manajemen dan lulus tahun 2000.
Sekarang, tengah menempuh studi strata tiga dan sedang dalam proses
desertasi di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) konsentrasi strategik manajemen. Saat
ini sebagai dosen tetap di Universitas Mahakarya Asia, (UNMAHA) Yogyakarta. Juga
sebagai dosen LB di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Juga bergabung di LSP Talenta
sebagai Assesor dan Trainer.
85
BAB 8
KOMUNIKASI SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pengantar
86
The American Speech-Language-Hearing Association, dalam Raharjo dan Kartika
(2019), komunikasi sosial merupakan kemunculan yang sinergis antara interaksi
sosial, sosial kognisi, pragmatis (verbal dan nonverbal), dan pemrosesan bahasa yang
reseptif dan ekspresif.
Astrid S Susanto (1979), komunikasi sosial adalah suatu kegiatan komunikasi yang
lebih diarahkan kepada pencapaian suatu situasi integrasi sosial. Karena itu kegiatan
komunikasi sosial adalah lebih intensif daripada komunikasi massa. Titik pangkal dari
suatu komunikasi sosial karenanya adalah komunikator dan komunikan perlu
sependapat tentang bahan/materi yang akan dibahas dalam kegiatan komunikasi yang
akan dilangsungkan. Ditinjau dari segi ini, suatu komunikasi sosial akan berhasil bila
kedua belah pihak yang terlibat dalam proses komunikasi ini menganggap ada
manfaatnya untuk mengadakan kegiatan komunikasi tersebut. Melalui komunikasi
sosial terjadilah aktualisasi pada masalah-masalah yang dibahas. Selain itu kesadaran
dan pengetahuan tentang materi yang dibahas makin meluas dan bertambah.
Komunikasi sosial adalah sekaligus suatu proses sosialisasi. Melalui komunikasi
sosial, kelangsungan hidup sosial dari suatu kelompok sosial akan terjamin. Melalui
komunikasi sosial dicapailah stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-nilai baru
yang diagungkan oleh suatu masyarakat melalui komunikasi sosial, kesadaran
bermasyarakat dipupuk, dibina, diperluas. Melalui komunikasi sosial masalah-
masalah sosial dipecahkan melalui consensus (Bito et al., 2021).
87
proses pengiriman (berarti) dari pengirim ke penerima, menggunakan media tertentu
(Harianto et al., 2020).
Muzafer Sherif, komunikasi sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri dua
atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan
teratur, sehingga diantara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, dan
norma-norma tertentu (Muzafer Sherif, dalam Santoso, 2006).
Vera dan Wihardi, 2012, komunikasi sosial juga dapat diartikan menjadi suatu
aktivitas komunikasi untuk tujuan integrasi sosial
Bungin (2006), komunikasi sosial adalah salah satu bentuk komunikasi yang lebih
intensif, dimana komunikasi terjadi secara langsung antara komunikator dengan
komunikan, sehingga situasi komunikasi berlangsung dua arah dan lebih diarahkan
kepada pencapaian suatu situasi integrasi sosial, melalui kegiatan ini terjadilah
aktualisasi dari berbagai masalah yang dibahas. Komunikasi sosial sekaligus suatu
proses sosialisasi dan untuk pencapaian stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-
nilai lama dan baru yang diagungkan oleh suatu masyarakat. Melalui komunikasi
sosial kesadaran masyarakat dipupuk, dibina dan diperluas. Melalui komunikasi
sosial, masalah-masalah sosial dipecahkan melalui konsensus
Setyabudi, at al. ( 2021), komunikasi sosial adalah kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai suatu keadaan sosial yang padu, sehingga komunikasi sosial berlangsung
intensif, seringkali terdiri dari tindak komunikasi, misalnya komunikasi massa,
komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan lainnya. Dengan komunikasi
sosial masalah-masalah yang penting dalam masyarakat menjadi aktual dan
mendapatkan perhatian yang cukup dari anggota masyarakat, sehingga diharapkan
dapat tercapai tujuan tertentu.
Sutaryo (2005), komunikasi sosial adalah suatu proses interaksi diman seseorang
atau suatu lembaga menyampaikan amanat kepada pihak lainsupaya pihak lain itu
dapat menangkap maksud yang dikehendakipenyampai.
88
gagasan dikirim ke dalam sebuah organisasi atau firma atau institusi. Dalam
komunikasi sosial formal orang berbicara tentang subyek yang sama sebagai bagian
dari profesi mereka; b. Komunikasi informal. Dalam komunikasi sosial informal,
orang menempatkan pandangan mereka tentang berbagai subyek yang mungkin
mereka sukai atau minati dan membagi pandangan mereka kepada yang lainnya.
Orang akan menikmati partisipasi mereka dan dengan suka rela seseorang akan
berkomunikasi dengan orang lain. Menurut Mujiono (2012), Komunikasi sosial
setidaknya mengisyaratkan bahwa berkomunikasi untuk membangun konsep diri,
aktualisasi diri, untuk kepentingan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar
dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur, dan
memupuk hubungan dengan orang lain.
Komunikasi sosial memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai, misalnya
sosialisasi, penyebaran informasi, penyebaran ide-ide atau cara yang dianggap
penting. Isi komunikasi sosial umumnya merupakan hal-hal m yang penting bagi
masyarakat luas, baik yang harus diketahui oleh masyarakat dengan cepat atau
bertahap. Isi pesan biasanya menyangkut berbagai permasalahan masyarakat,
misalnya kesehatan, lingkungan hidup, kependidikan, serta program pemerintah
lainnya. Sasaran komunikasi sosial bisa merupakan satu kelompok yang tinggal pada
wilayah tertentu, atau tersebar. Sasaran juga dapat berbagai kelompok atau seluruh
masyarakat. Pesan dan cara penyampaikaan disesuaikan dengan sasaran yang hendak
dicapai (Setyabudi, at al. (2021),
Menurut Hendropuspito (2005), komunikasi sosial dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis menurut sudut pandang tertentu. Jenis-jenis komunikasi
sosial:
a. Komunikasi langsung (direct communication) dan komunikasi tidak langsung
(indirect communication). Komunikasi langsung (direct communication) juga
disebut komunikasi dari muka ke muka (face to face). Pengirim amanat berhubungan
langsung dengan penerima, komunikasi. Jenis ini biasanya sering dilakukan oleh
masyarakat dan pengirim amanat dapat langsung menerima tanggapanya, selain itu
jenis komunikasi ini memberikan suasana tersendiri lebih akrab dan saling percaya.
Komunikasi tidak langsung (indirect communication) terjadi apabila dalam
berkomunikasi menggunakan satu atau lebih perantara. Komunikasi ini terjadi dalam
situasi tertentu misalnya karena jarak dan karena sifat amanat itu sendiri dirasa kurang
sesuai jika disampaikan oleh si pengirim atau karena dua pihak yang bermusuhan.
89
b. Komunikasi satu arah dan komunikasi timbal balik. Komunikasi satu arah
(one-way communication) terjadi apabila penyampaian amanat itu datang dari satu
jurusan, jadi tidak mungkin ada tanggapan langsung dari penerima. Bentuk
komunikasi ini menciptakan hubungan yang kaku karena tidak mungkin ada
tanggapan langsung. Komunikasi timbal balik (reciprocal communication) terjadi
apabila pihak penerima bisa memberi tanggapan langsung pada pemberi, misalnya
berbicara lewat telepon, musyawarah. Bentuk komunikasi ini dapat mempererat
hubungan dan menjalin hubungan persaudaraan.
c. Komunikasi bebas dan komunikasi fungsional. Komunikasi bebas (nonorganik)
tidak terikat pada formalitas yang harus ditaati. Satu-satunya ikatan yaitu kode sosial-
kultural, misalnya komunikasi dalam pergaulan biasa dimana kedua belah pihak harus
mengenal aturan sopan santun. Komunikasi fungsional (institutional) terikat pada
aturan yang bersangkutan. Komunikasi ini bersifat fungsional dan struktural, misalnya
pejabat pemerintahan terhadap bawahannya, formalitas tertentu seperti penata laksana
(protokoler) (Rifai et al., 2020).
d. Komunikasi individual dan komunikasi massal. Komunikasi individual
ditunjukkan kepada satu orang yang sudah dikenal. Pihak komunikanbukan anonim,
tapi orang yang dikenal baik oleh pihak komunikator.Hasil komunikasi memiliki
bobot tersendiri. Komunikasi massal (mass communication) ditunjukkan pada umum
yang tidak dikenal. Pihak komunikan terdiri dari berbagai massa dengan berbagai
sosio-kultural, ras dan usia
Fungsi Komunikasi Sosial. Ada beberapa fungsi komunikasi sosial yaitu (Sutaryo,
2005):
a. Memberi Informasi. Informasi perlu disampaikan kepada warga masyarakat
karena kenyataan menunjukkan bahwa:
1) Manusia hanya dapat maju dan berkembang apabila dia mengetahui nilai-nilai
yang perlu dicapai.
2) Tidak semua orang memiliki pengetahuan yang sama mengenai nilai-nilai yang
sudah berhasil dicapai, mengenai sarana-sarana yang harus dipakai, dan bahaya-
bahaya yang harus disingkirkan.
3) Setiap orang mempunyai hak asasi untuk mendapat informasi yang berguna bagi
hidupnya.
b. Memberi Bimbingan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, komunikasi
berfungsi memberikan bimbingan-bimbingan kepada masyarakat Bimbingan yang
90
bernilai tinggi akan menumbuhkan gairah kerja, selain itu jika ada masyarakat yang
menyimpang dari pola-pola kelakuan yang benar dapat dikembalikan kejalan yang
benar. Bimbingan disampaikan lewat pesan (amanat) yang sifatnya menuntun,
menyetujui, menolak, mencela, menegur, mendukung atau menentang, mengajak atau
menganjurkan, memberi petunjuk mengenai prioritas tertentu diantara tindakan yang
harus dilaksanakan. (Sutaryo, 2005).
Fungsi komunikasi sosial tidak terlepas dengan fungsi komunikasi secara
umum. Adapun fungsi komunikasi adalah sebagai berikut (Cangara, 2018):
1. Informasi, komunikasi berfungsi untuk mengumpulkan dan menyimpan data,
fakta, pesan serta opini yang berkenaan dengan aspek pembangunan masyarakat.
2. Sosialisasi, komunikasi juga berfungsi sebagai alat sosialisasi yang memudahkan
anggota masyarakat saling berinteraksi.
3. Motivasi, komunikasi juga berfungsi sebagai motivasi yang mendorong setiap
individu di dalam masyarakat untuk berperan aktif dalam rangka membangun.
4. Kebudayaan, Komunikasi berfungsi untuk memajukan kebudayaan.
5. Hiburan, komunikasi juga merupakan salah satu media hiburan yang penting bagi
masyarakat ditengah-tengah hiruk pikuknya pembangunan.
6. Integrasi, komunikasi menciptakan integrasi, artinya komunikasi mampu
menjembatani perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu di dalam masyarakat.
7. Inovasi, komunikasi juga mendorong lahirnya inovasi. Dalam hal ini inovasi hadir
karena adanya kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat terkait potensi yang dimiliki
(Setyawan, 2017).
Deddy Mulyana (2005). Kegiatan komunikasi sosial terjadi dalam dua hal yang
pertama: dalam konteks komunikasi interpersonal, yaitu interaksi yang terjadi antar
individu secara langsung dan tatap muka dalam suatu lingkungan sosial, yang kedua:
dalam konteks komunikasi massa, yaitu interaksi yang terjadi berdasarkan pengalaman
masing-masing individu dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas yang didapatkan
melalui saluran-saluran komunikasi media atau media massa.
Komunikasi interpersonal maupun komunikasi masa merupakan proses di
mana komponen-komponen saling terkait, termasuk di dalamnya komunikasi sosial.
Para peserta komunikasi saling beraksi dan bereaksi sebagai satu kesatuan dan
91
keseluruhan, Elemen dalam komunikasi menurut Tommy Suprarto (2009) dalam Panuju
(2018), adalah :
1. Komunikator. Komunikator adalah mengirim atau penyampai pesan.
2. Pesan (message). Merupakan sesuatu, entah dalam bentuk ide, abstraksi realitas atau
bahkan hal yang bersifat ekspektasi (harapan) yang disampaikan oleh komunikator
kepada penerima.
3. Saluran (Source). Merupakan sarana atau media yang digunakan oleh komunikator
kepada komunikan.
4. Komunikan (penerima). Merupakan penerima pesan, baik bersifat individual,
kelompok, massa, maupun anggota organisasi.
5. Hambatan atau gangguan. Dalam setiap komunikasi pasti ada faktor yang
menyebabkan proses komunikasi tidak berjalan efektif, tidak seperti yang diinginkan,
dan bahkan acap kali menimbulkan salah pengertian. Gangguan bisa berasal dari
komunikator, isi pesan, media yang digunakan, maupun pada penerimanya.
6. Umpan balik (feedback). Merupakan respons, tanggapan, ataupun reaksi atas suatu
pesan. Umpan balik bisa dalam bentuk yang netral, ada yang mendukung (positif), dan
ada yang menolak (negatif).
7. Efek. Merupakan akibat yang timbul dari komunikasi, baik berupa emosi, pikiran
maupun perilaku.
8. Situasi. Merupakan keadaan yang ada atau terjadi pada saat berlangsung komunikasi.
Situasi ini bisa berupa suhu, cuaca, tata ruang, sikap peserta komunikasi, dan tujuan
tujuan berkomunikasi.
9. Selektivitas. Merupakan filter yang digunakan peserta komunikasi untuk menyaring
pesan. Baik berupa nilai-nilai budaya, mitos, prasangka, dan lainnya.
10. Lingkungan. Merupakan pihak lain yang ikut campur atau intervensi dalam
komunikasi.
D. Membangun Komunikasi Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat
Payne (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada
hakikatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan kekuatan (daya) untuk
mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan
diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan
tindakan. Pemberdayaan dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas,
pengembangan rasa percaya diri untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer
92
kekuatan dari lingkungannya. Sebagai suatu proses, pemberdayaan adalah usaha yang
terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia.
Freire dalam Djaka Waskita (2005), pemberdayaan individu masyarakat dapat
dilakukan melalui proses penyadaran pada mereka terhadap situasi dan kondisi
lingkungan, kebutuhan, keinginan, dan kemampuan. Proses penyadaran tersebut
harus dilakukan melalui proses dialog. Sedangkan proses dialog merupakan proses
komunikasi dua arah yang berkelanjutan sehingga menemukan suatu pemahaman
dan pengertian yang membentuk suatu kesadaran. Kesadaran ini akan terjadi pada
pihak-pihak yang berdialog. Menurut Freire, menjadi manusia berarti menjalin
hubungan dengan sesama dan dengan dunia sekitarnya sebagai realitas objektif yang
tidak tergantung kepada siapapun. Integrasi dengan lingkungan berbeda dengan
adaptasi, untuk itu dia “seseorang tidaklah utuh bila dia kehilangan kemampuan
memilih, bila pilihannya adalah pilihan orang lain, dan bila keputusan keputusannya
berasal dari luar dan bukan merupakan keputusan sendiri”. Menurut Bessette diacu
Hadiyanto (2009), pemberdayaan tidak akan berjalan efektif jika tidak ditunjang
dengan sistem informasi yang baik dan memadai. Van de Fliert (2014), dalam
Nindatu 2019, bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari
komunikasi pembangunan. Komunikasi Pembangunan Partisipatif (Kombangpar)
sebagai pendekatan alternatif dapat dipandang sebagai “sarana ampuh” untuk
memfasilitasi proses-proses partisipatif bila sejalan dengan dinamika pembangunan
di tingkat lokal (Hadiyanto, 2009).
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukkan bahwa komunikasi merupakan
unsur penting di dalam pemberdayaan masyarakat. Dengan memahami esensi
komunikasi sosial, meliputi : pengertian, karakteristik serta elemen-elemennya,
maka komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat merupakan komunikasi sosial
yang perlu dibangun dalam pemberdayaan masyarakat.
Komunikasi sosial dalam pemberdayaan masyarakat merupakan
penyampaian dan penerimaan pesan/maksud diantara anggota masyarakat atau
dengan steak holder, agen perubahan dan fasilitator pemberdayaan masyarakat,
secara personal, kelompok, massal, dan secara formal, serta non formal. Dengan
komunikasi tersebut terbina partisipasi masyarakat secara terpadu, terstruktur dan
berkesinambungan, dalam proses penggunakan sumberdaya yang dimiliki serta
mengatasi masalah untuk mencapai tujuan yaitu memperbaiki kehidupan
masyarakat.
93
Komunikasi Pemberdayaan merupakan usaha untuk memajukan ekonomi
masyarakat yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia yang ada dan pengelolahan sumber daya di sekitar.
Dalam rangka memajukan tersebut perlu melibatkan elemen-elemen komunikasi
seperti, komunikator, pesan yang disampaikan, saluran yang ditujukan ke
masyarakat, komunikan dan feedback dari masyarakat itu sendiri, (Setyabudi, at al.
2021).
Keberhasilan sebuah kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat
akan ditentukan oleh komunikasi yang partisipatif. Adanya komunikasi yang
partisipatif memungkinkan anggota komunitas penerima program (partisipan)
memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan
masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat. . Dengan
komunikasi partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas masyarakat
dapat lebih tergali. Dengan pendekatan partisipatif diharapkan dapat berkembangnya
aktifitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial sebagai
anggota komunitas itu sendiri. (Suparjan et al. 2003).
Elemen komunikasi pemberdayaan masyarakat sesuai dengan elemen
komunikasi secara umum. Elemen-elemen komunikasi pemberdayaan masyarakat
meliputi (Dewi, 2020) : Komunikator dalam komunikasi pemberdayaan dikenal
dengan istilah fasilitator/penyuluh ; Pesan dalam komunikasi pemberdayaan
merupakan informasi yang didapatkan dari hasil diskusi fasilitator dan masyarakat
dengan mengusung mutual understanding dan metode bottom up; Saluran dalam
komunikasi pemberdayaan merupakan media yang digunakan dalam proses
memberikan daya kepada masyarakat; Komunikan dalam komunikasi pemberdayaan
merupakan komunitas yang sesuai dengan konsep tipologi komunitas atau obyek
pemberdayaan masyarakat; Feedback merupakan proses mutual understanding (MU)
dalam proses pemberian daya pada masyarakat.
Dalam komunikasi pemberdayaan perlu ditetapkan siapa yang mengawali
komunikasi, kepada siapa, dengan apa, melalui siapa pesan disampaikan. Untuk itu
dapat digunakan model komunikasi. Model Komunikasi adalah gambaran yang
sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen
komunikasi dengan komponen lainnya (Muhammad, 1992). Beragam model
komunikasi antara pelaku pemberdayaan dengan penerima manfaat, diantaranya (
Dewi, 2020 ): 1. Model Komunikasi Pemberdayaan Vertikal. Kegiatan
94
pemberdayaan menggunakan komunikasi bersifat satu arah. Ide, gagasan dari pihak
eksternal disampaikan kepada penerima manfaat menerima program yang ditawarkan
oleh pelaku pemberdayaan. Program pemberdayaan sesuai dengan kebutuhan sasaran
ditetapkan berdasarkan riset ; 2. Model Komunikasi Pemberdayaan Konvergen.
Pada model ini, proses dan kegiatan pemberdayaan dilakukan melalui proses diskusi
panjang dengan masyarakat terkait kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Diskusi
melibatkan seluruh elemen masyarakat, sehingga pada akhirnya tercipta Mutual
Understanding atau kesamaan persepsi dan keinginan; 3. Model Komunikasi
Pemberdayaan Partisipatoris. Pada model ini, kegiatan pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan inisiatif seluruh elemen masyarakat dengan bersama-sama untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Kegiatan dan aktivitas riset dilakukan oleh inisiator
dan masyarakat terlibat penuh, sehingga program yang dirancang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat ; 4. Model Komunikasi Pemberdayaan Difusi Inovasi.
Model ini sering menjadi rujukan untuk studi komunikasi pembangunan dan
komunikasi pertanian. Namun demikian model ini juga dapat diaplikasikan dalam
bidang pendidikan, kesehatan, indsutri, kependudukan dan keluarga berencana. model
ini diasumsikan sebagai tahapan dalam penyebarluasan sebuah gagasan atau ide-ide
baru (inovasi).
Penutup
95
DAFTAR PUSTAKA
American Speech-Languge-Hearing Association. Type, degree, and configuration of hearing
loss. Rockville: American Speech-LanguageHearing Association; 2015
Astrid, S. 1979. Komunikasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Bina Cipta
Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk
Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School.
ELEMENTARY: Islamic Teacher Journal, 9(1).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835
Harianto, G. P., Rusijono, R., Masitoh, S., & Setyawan, W. H. (2020). Collaborative-
Cooperative Learning Model to Improve Theology Students’characters: Is it
Effective? Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(2).
https://doi.org/10.21831/cp.v39i2.31272
96
Panuju, R. (2018). Pengantar Studi (Ilmu) Komunikasi - Komunikasi sebagai Kegiatan
Komunikasi sebagai Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group.
Payne, M. (1997). Modern Social Work Theory. Edisi Kedua. London : McMillanPress Ltd
Raharjo, TB & T, Kartika. (2019). Komunikasi Sosial dan Pembangunan Sebuah Kajian
tentang Masyarakat Perambah Hutan di Kawasan TNBBS). Bandar lampung: Pusaka
Media
Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723
Ruben, B D & John Y. Kim. (1975) : General Systems Theory and Human Communication.
Rochelle Park, N. J.: Hayden Book Company
Santoso, S. (2006). Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi aksara
Setyabudi, D., W N, Rahmat., H D Sulistyani. (2021). Komunikasi Sosial. Tangerang
Selatan: Penerbit Universitas Terbuka
97
Biodata Penulis
Dr. Kuswarini Sulandjari, Ir., M.P., Staf pengajar pada Program Studi
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Singaperbangsa Karawang.
Pendidikan Strata Satu pada Departemen Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Stara Dua pada Pragram Pasca
Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Tingkat Doktoral pada Program
Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung.
98
BAB 9
PERAN FASILITATOR DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. Pengertian fasilitator
Pemberdayaan masyarakat selalu berkaitan dengan fasilitator, karena fasilitatorlah
yang menjalankan proses-proses pemberdayaan masyarakat tersebut dan salah satu fungsi
dari fasilitator adalah sebagai pendamping masyarakat dalam menjalankan program-program
pemberdayaan masyarakat, karena itu istilah fasilitator bukan hal yang asing bagi
masyarakat.
Ada banyak pakar yang mendifisikan istilah fasilitator ini, diantaranya pendapat
Hunter et al (1993) dalam Hanifah et al (2021) fasilitator adalah pemandu proses, seseorang
yang membuat sebuah proses lebih mudah atau lebih yakin untuk menggunakannya.
fasilitator adalah seseorang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan bersama
mereka, membuat rencana guna mencapai tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu
dalam diskusi. Beberapa fasilitator akan mencoba membantu kelompok dalam mencapai
consensus pada setiap perselisihan yang sudah ada sebelumnya atau muncul dalam rapat
sehingga memiliki dasar yang kuat untuk tindakan di masa depan. (sumber: wikipedia).
Pendapat Rosida (2018) dalam Hanifah et al (2021) fasilitator adalah sekelompok orang yang
mendampingi, memberi semangat, pengetahuan, bantuan dan saran suatu kelompok dalam
memecahkan masalah sehingga kelompok lebih maju. Dari pendapat-pedapat diatas maka
dapat dikatakan bahwa seorang fasilitator mempunyai tugas untuk merencanakan proses
pemberdayaan sehingga proses tersebut menjadi mudah untuk di berikan kepada masyarakat.
Perencanaan proses pemberdayaan bisa berupa kegiatan-kegiatan atau program-program yang
dibuat, yaitu bagaimana membuat perencanaannya, bagaimana cara untuk melakukan
sosialisasinya, apa saja persiapan yang harus dilakukan. Juga bagaimana pelaksanannya,
bagaimana cara melakukan pengawasannya dan bagaimana cara pemeliharaan program
tersebut agar berkelanjutan, dengan melibatkan seluruh masyarakat untuk bisa ikut serta aktif
dalam program tersebut, untuk kebutuhan dan kepentingan bersama agar menjadi lebih baik
dan kuat untuk masa depan bersama. Fasilitator dalam menyampaikaian kegiatan-kegiatan
memberdayaan dengan cara melakukan komunikasi yang aktif dan interaktif pada semua
masyarakat, juga dengan menggunakan strategi-strategi dan media yang tepat sesuai dengan
yang diperlukan masyarakat, sehingga bisa membuat masyarakat berani dan percaya diri,
99
didalam menyampaikan pendapatnya juga bercerita pengalamannya selama ini sehingga
diskusi dan komunikasi bisa berajalan secara efektif (Budiman & Samani, 2021).
Richard G Weaver dan John D. Farrell (1999) dalam Hanifah et al (2021) mengatakan
bahwa, fasilitator yang efektif adalah orang yang tahu bagaimana memanfaatkan dirinya
sebagai instrumen untuk membuat kelompok yang difasilitasinya lebih berhasil. Begitu juga
menurut Barker (2012) dalam Hanifah et al (2021) fasilitator diartikan sebagai tanggung
jawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional dan tradisional,
dengan menggunakan strategi khusus untuk mencapai tujuan. Juga pendapat Bens (2012)
dalam Hanifah et al (2021) tentang fasilitator, fasilitator adalah seseorang yang terlibat dalam
kegiatan fasilitasi. Mereka membantu sekelompok orang memahami tujuan umum mereka
dan membantu mereka untuk merencanakan bagaimana untuk mencapai tujuan, dalam
melakukannya. Beberapa penjelasan tentang fasilitator diatas, dapat dikatakan bahwa,
seorang fasilitator mempunyai berbagai macam tugas sehingga harus bisa berperan
multifungsi, karena itu fasilitator harus memiliki berbagai macam kompetensi pada dirinya
yaitu memiliki keterampilan dan pengetahuan serta materi-materi yang akan dismpaikan
sesuai dengan yang diperlkukan oleh masyarakat. Berbagai macam peran fasilitator tersebut
adalah bisa berperan sebagai advokasi, bisa sebagai edukator, inovator, sebagai diseminasi
inovasi, sebagai motivator dan sebagai mediator untuk masyarakat. Begitu juga fasilitator
harus bisa memahami kebutuhan dan kemampuan masyarakat, sehingga kegiatan yang dibuat
sesuai dengan kebutuhan mereka dan nantinya diharapkan pelaku kegiatan itu masyarakat
sendiri. Diharapkan dari ide-ide mereka sendiri untuk melakukan kegiatan dan nantinya
diharapkan masyarakat bisa mengelola sendiri program-program pemberdayaan untuk tujuan
mereka bersama menjadi berdaya (Sari & Setiawan, 2021).
101
Karena tingkat keikutsertaan masyarakat dalam memberikan respon terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam proses pemberdayaan masyarakat, itu tergantung
dari bagaimana kemampuan fasilitator dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut. Agar
tujuan fasilitator sebagai agen perubahan (change agent) dapat tercapai, maka seorang
fasilitator harus mampu membatu menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Fasilitator juga harus bisa menjadi narasumber yang baik. Fasilitator harus mampu mengajak
masyarakat berdaya dan peran memasilitasi secara bertahap dikurangi, sehingga masyarakat
bisa mandiri, yaitu mampu menjalankan kegiata-kegiatan atas ide-ide mereka sendiri sesuai
dengan kebutuhan mereka. Fasilitator bersama-sama dengan masyarakat melakukan
identifikasi, menganalisis kebutuhan masyarakat dan menggali kekuatan diri/potensi,
sehingga fasilitator akan tahu apa yang benar-benar dibutuhkan mereka untuk kegiatan
pemberdayaan. Diharapkan nantinya masyarakat akan mampu melakukan sendiri kegiatan-
kegiatan pemberdayaan, untuk menyelesaikan masalah mereka bersama untuk kehidupan
lebih baik. Sikap seorang fasilitator harus sopan dan berpenampilan sesuai dengan norma
masyarakat yang ada disana. Seorang fasilitator juga harus memiliki sikap empati (bisa
menghargai pendapat/pandangan orang lain), sikap empati ini diperlukan agar fasilitator
mudah untuk duduk bersama masyarakat, untuk dapat mendengarkan apa yang disampaikan
mereka, dalam membuat rencana kegiatan bersama masyarakat. Masyarakat juga diberi
kesempatan untuk dapat membuat beberapa alternatif kegiatan dan menentukan pilihannya
sesuai dengan keinginan mereka untuk hidup sejahtera. Seorang fasilitator diharapkan
mempunyai keahlian dalam berkomukasi, hal ini diperlukan agar nantinya pada waktu
memfasilitasi, pesan yang disampaikan akan efektif dan dapat diterima oleh masyarakat.
Fasilitator diharapkan nantinya bisa menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat,
sehingga bisa medorong semua masyarakat untuk ikut serta dan aktif dalam diskusi,
masyarakat juga akan mampu mengemukakan pendapatnya dalam kelompok, sesuai dengan
cara dan kemampuan masing-masing masyarakat, sehingga proses pengambilan keputusan
bisa dilakukan bersama. Diharapkan dengan terjalinnya komunikasi yang baik antara
masyarakat dan fasilitator maka kegiatan-kegiatan pemberdayaan akan berjalan dengan baik
(Herry Setyawan et al., 2019).
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas tentang tujuan adanya fasilitator dan juga
menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang harus di persiapkan oleh seorang fasilitator dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang
fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat bukan hal yang mudah, ada beberapa kualifikasi
yang harus dipenuhi untuk menjadi fasilitator. Juga harus melakukan persiapan sebelum
102
kegiatan fasilitasi di mulai, diantaranya harus memiliki berbagai macam keterampilan,
pengetahuan dan memiliki wawasan yang cukup luas yang berhubungan dengan kegiatan
proses pemberdayaan dan diharapkan fasilitator nantinya akan mempunyai kemampuan
terbaiknya dalam memfasilitasi masyarakat.
104
Ada beberapa peran fasilitator dalam proses pemberdayaan masyarakat menurut
Lippit (1958) dalam Ara auza (2019) jadi peran-peran tersebut adalah:
a. Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
tahapan ini, setiap fasilitator harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
mencakup:
a) Diagnosa masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang benar-benar diperlukan
(real need) masyarakat sasaran.
b) Pemilihan obyek perubahan yang tepat, dengan kegiatan awal yang benar-
benar diyakini pasti berhasil dan memiliki arti yang sangat strategis bagi
berlangsungnya perubahan-perubahan lanjutan di masa-masa berikutnya.
c) Analisis tentang motivasi dan kemampuan masyarakat sasaran untuk
melakukan perubahan, sehingga upaya perubahan yang direncanakan
mudah diterima dan dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya (dana,
pengetahuan/keterampilan, dan kelembagaan) yang telah dimiliki
masyarakat penerima manfaatnya.
d) Analisis sumberdaya yang tersedia dapat digunakan oleh fasilitator untuk
perubahan seperti yang direncanakan.
e) Pemilihan peran bantuan yang paling tepat yang akan dilakukan oleh
fasilitator, baik berupa bantuan keahlian, dorongan/dukungan untuk
melakukan perubahan, pemben-tukan perubahan, pembentukan
kelembagaan, atau mem-perkuat kerjasama masyarakat atau menciptakan
suasana tertentu bagi terciptanya perubahan.
b. Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Dalam tahapan ini,
kegiatan yang harus dilakukan oleh fasilitator adalah:
a) Menjalin hubungan yang akrab dengan masyarakat sasaran.
b) Menunjukkan kepada masyarakat sasaran tentang pentingnya perubahan-
perubahan yang harus dilakukan, dengan menunjukkan masalah-masalah
dan kebutuhan-kebutuhan yang belum dirasakan oleh masyarakat
sasarannya.
c) Bersama-sama masyarakat, menentukan kegiatan memobilisasi sumberdaya
(mengumpulkan dana, menyelenggarakan pelatihan, membentuk dan
mengembangkan kelembagaan), dan memimpin (mengambil inisiatif,
mengarahkan, dan memimbing), perubahan yang direncanakan.
c. Memantabkan hubungan dengan masyarakat sasaran, melalui upaya-upaya:
105
a) Terus menerus menjalin kerjasama dan hubungan baik dengan masyarakat
sasaran, terutama tokoh-tokohnya (baik tokoh formal maupun tokoh
informal).
b) Bersama-sama tokoh-tokoh masyarakat memantabkan upaya-upaya
perubahan dan merancang tahapan-tahapan perubahan yang perlu
dilaksanakan untuk jangka Panjang.
c) Terus-menerus memberikan sumbangan terhadap perubahan-perubahan
yang propesional melalui kegiatan penelitian dan rumusan konseptual.
Seorang fasilitator harus mempunyai peran ganda ini menurut pendapat Mosher (1968) dalam
Ara auza (2019) ada peran ganda yang harus dilakukan fasilitator dalam memfasilitasi
kegiatan proses pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:
a. Guru, yang berperan untuk mengubah perilaku (sikap, pengetahuan, dan
ketrampilan) masyarakat penerima manfaatnya.
b. Penganalisis, yang selalu melakukan perngamatan terhadap keadaan
(sumberdaya alam, perilaku masyarakat, dan kemampuan dana, dan
kelembagaan yang ada) dan masalah-masalah serta kebutuhan-kebutuhan
masyarakat penerima manfaatnya, dan melakukan analisis tentang alternatif
pemecahan masalah/ pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
c. Penasehat, untuk memilih alternatif perubahan yang paling tepat, yang secara
teknis dapat dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan dapat diterima
oleh nilai-nilai sosial budaya setempat.
d. Organisator, yang harus mampu menjalin hubungan baik dengan segenap
lapisan masyarakat (terutama tokoh-tokohnya), mampu menumbuhkan
kesadaran dan menggerakkan partisipasi masyarakat, mampu berinisiatif bagi
terciptanya perubahan-perubahan serta dapat memobilisasi sumberdaya,
mengarahkan dan membina kegiatan-kegiatan, maupun mengembangkan
kelembagaan-kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan perubahan-
perubahan yang telah direncanakan.
ASTD (1998) dalam Wahjudin Sumpeno (2017) mengemukakan empat fungsi utama
pendamping atau fasilitator kegiatan pemberdayaan masyarakat yaitu:
a. Narasumber (resource person)
Fasilitator sebagai narasumber (resource person) karena keahliannya berperan sebagai
sumber informasi sekaligus mengelola, menganalisis dan mendesiminasikan dalam berbagai
cara atau pendekatan yang dianggap efektif.
106
b. Pelatih (trainer)
Fasilitator sebagai pelatih (trainer) melakukan tugas pembimbingan, konsultasi, choaching
dan penyampai materi untuk peningkatan kapasitas dan perubahan perilaku pembelajar.
Tugas fasilitator sebagai pelatih sangat menonjol dalam setiap kegiatan training, lokakarya,
seminar dan diskusi. Penguasaan terhadap pola perubahan perilaku baik pengetahuan,
keterampilan dan sikap menjadi penting untuk menentukan proses (metodologi) dan hasil dari
suatu pembelajaran.
c. Mediator,
Peran mediator dilakukan ketika terjadi ketegangan dan konflik antar kelompok yang
berlawanan, Peran mediasi akan dilakukan oleh fasilitator untuk menjembatani perbedaan
dan mengoptimalisasikan berbagai sumber daya yang mendukung terciptanya perdamaian.
d. Penggerak.
Fasilitator sebagai penggerak lebih berperan sebagai pihak yang memberikan dorongan atau
motivator kelompok agar secara swadaya membangun dirinya dan berpartisipasi dalam
pembangunan.
Menurut pendapat Durotul Yatimah, fasilitator memiliki peranan yang penting
didalam pemberdayaan masyarakat. (Durotul Yatimah, 2019). Peran penting fasilitator
tersebut, sebagai berikut:
a. Sebagai pemandu proses (process guide) yang terbuka, inklusif, dan adil sehingga
setiap individu berpartisipasi aktif secara seimbang dan membangun situasi yang
nyaman agar masyarakat berpartisipasi secara aktif. Pemandu proses yang bersikap
netral pada substansi (content neutral). Fasilitator dalam hal ini tidak mengambil
posisi pada topik yang sedang dibicarakan, ia bersikap netral, tidak memiliki
kepentingan pada hasil yang dicapai dari diskusi tersebut.
Sebagai pemandu proses, fasilitator berperan sebagai berikut:
a) Memberi semangat atau mengaktifkan (Social animation)
b) Menengahi dan menghubungkan (Mediation and negotiation)
c) Mendorong (Support)
d) Memfasilitas atau memperlancar kelompok (building consensus)
e) Penggunaan ketrampilan dan sumber–sumber (utilization of skill and resources)
f) Mengatur (organizing)
b. Sebagai Tool Giver atau pemberi alat bantu. Untuk memudahkan sebuah proses
pencapaian tujuan, fasilitator dapat menciptakan alat-alat bantu sederhana agar
proses diskusi menjadi lebih lancar.
107
Fasilitator berperan sebagai pemberi alat bantu untuk memberdayakan masyarakat.
Dalam hal pekerjaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
a) Pengumpulan data dan analisis data
b) Pemakaian computer
c) Penyajian laporan secara tertulis dan lisan
d) Penanganan proyek pembangunan secara fisik dan pengendalian uan
c. Sebagai Process Educator. Fasilitator melakukan peran-peran yang bersifat
pendidikan, diantaranya dalam bentuk pembelajaran terus menerus dari fasilitator
untuk memperbaiki ketrampilan,cara berfikir, cara berinteraksi serta cara
menyelasaikan masalah pada kehidupan masyarakat.
Peran-peran sebagai pendidik itu meliputi:
a) Membangun kesadaran (Conciousness raising)
b) Memberi penjelasan (Informing)
c) Mempertentangkan untuk aktif / dinamisasi kelompok (Confronting)
d) Pelatihan (Training)
d. Sebagai wakil atau perwakilan. Peran ini dilakukan oleh fasilitator dalam berinteraksi
dengan lembaga luar atas nama masyarakat. Peran ini diantaranya meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a) Usaha mendapatkan sumber-sumber
b) Melakukan advokasi atau pembela masyarakat
c) Membuat mitra atau networking
d) Sharing pengalaman dan pengetahuan menjadi juru bicara masyarakat.
111
Seorang fasilitator perlu sekali mendapatkan informasi dan data-data yang akurat, yang
benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya, tentang kebutuhan apa saja yang
kelompok masyarakat perlukan, serta dukungan dan kegiatan seperti apa yang mereka
butuhkan juga permasalahan apa saja yang ada pada mereka. Informasi dan data-data tersebut
dapat di peroleh dengan cara melakukan metode diskusi kelompok multi arah, curah pendapat
atau dengan berdialog langsung ke pada masyarakat cara ini sudah biasa digunakan. Diskusi
kelompok bukan peorangan tujuannya untuk mendapatkan informasi untuk hal-hal yang
penting saja dan yang bener-bener ingin diketahui oleh fasilitator. Bisa saja tentang perilaku
dan sikap kelompok, meidentifikasi permasalahan yang ada dalam masyarakat dan menggali
potensi serta ide-ide yang muncul dari kelompok masyarakat yang nantinya bisa digunakan
untuk pengambilan keputusan bersama. Menghargai pendapat dan pengembangan program
yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang pasti fasilitator harus netral dalam memandu
diskusi tersebut untuk menjaga obyektifitasnya. Dalam diskusi tersebut fasilitator bisa
bertanya tentang hal apa saja, yang sesuai dengan yang akan di bicarakan dan diharapkan
fasilitator tidak memberikan jawaban atas masalah mereka, karena pertanyaan-pertanyaan
yang dibuat fasifilitator bisa digunakan untuk menggali informasi dan data-data yang
dibutuhkan tersebut.
Dalam memfasilitasi diskusi kelompok masyarakat fasilitator menggunakan model ORID
(Objective, Reflective, Interpretative, Decisional), dengan cara ini diharapkan akan terjalin
komunikasi yang efektif, yang akan terlihat dari adanya hubungan yang baik antara individu
masyarakat dan diharapkan juga akan menghasilkan output yang solutif. Cara ini digunakan
juga untuk mempermudah terjadinya komunikasi antara fasilitator dengan masyarakat dalam
kelompok, menggali pendapat, setiap anggota masyarakat diharuskan ikut serta dalam
menyampaikan permasalahannya yang mereka hadapi, menyampaikan gagasan-gagasannya,
juga usulan-usulan penyelesaian masalah. Fasilitator harus menampung semua informasi,
dan-data dengan persepsi yang berbeda-beda ini dan mendiskusikannya, diharap nantinya
akan didapatkan hasil dan dibuat rencana aksi yang sesuai dengan kehidupan nyata mereka.
Diagram alir yang ada dibawah ini, diagram alir model ORID (Objective, Reflective,
Interpretative, Decisional), diagram alir ini bisa digunakan oleh fasilitator sebagai acuan
untuk menjalankan model ORID.
112
Sumber: Andi Agustang, 2016
113
b) Seni Menggali Lebih Dalam (Probing)
Dialog yang terjadi dengan penuh keakraban dalam diskusi antara fasilitator dengan
masyarakat secara individu maupun kelompok, dapat membantu masyarakat untuk saling
memahami satu sama lain juga untuk dapat mengidentifikasi permasalahan semua masyarakat
secara kolektif. Menggali lebih dalam (Probing) adalah salah satu teknik yang digunakan
oleh fasilitator untuk mendukung peserta supaya menjelaskan lebih dalam lagi pendapatnya.
Teknik probing ini juga di gunaka dengan tujuan agar dalam forum diskusi kelompok tidak
terjadi pembicaraan yang berlarut-larut, setiap peserta memberikan ide-idenya, menceritakan
masalah-masalahnya, gagasan-gagasannya, juga diskusinya akan terfokus dan berarti, juga
terjadi kedalaman pemahaman secara bersama-sama.
Selain digunakan komunikasi verbal bisa juga digunakan komunikasi non-verbal misalnya
tersenyum, tetap berdiam diri, anggukan kepala tanda setuju, menaikkan ibu jari tanda
“jempolan”, mengangkat alis, kerlingan mata, tepuk tangan, dan menjaga kontak mata
langsung. Komukasi ini dapat digunakan untuk melakukan teknik probing, dengan cara ini
diharapkan peserta akan semangat dalam mengemukakan ide-idenya atau gagasan-
gagasannya lebih lanjut. Caranya bisa dengan mengajukan pertanyaan kalimat sederhana atau
kalimat permintaan langsung, contoh kalimatnya:
• “Kenapa seperti itu?”
• “O ya?” atau “Baiklah…”,
• “Coba contohnya, bagaimana?”
c) Seni Membuat Ikhtisar (Parafrase)
Teknik ini digunakan untuk mengetahui dan menilai apakah kalimat-kalimat yang diucapan
oleh pembicara ditanaengkap atau tidak oleh peserta yang mendengarkan. Dengan cara
mengulang menggunakan bahasa anda sendiri, kalimat apa yang sudah di ucapkan peserta
lain. Kadang kalimat yang di ucapkan oleh peserta itu bertele-tele, tidak jelas, banyak ide
sehingga konsepnya tidak jelas maka perlu dilakukan parafrase. Jadi dapat dikatakan bahwa
teknik ini digunakan untuk mengulang pendapat dengan menggunakan bahasa anda sendiri
dan diperlukan untuk memeriksa pemahaman peserta.
Untuk memeriksa pemahaman yang ada pada fasilitator dan peserta dengan pembicara maka
bisa dilakukan dengan teknik parafrase ini, dengan cara fasilitator mengulang kalimat-
kalimat apa saja yang di ucapkan oleh pembicara, kemudian diikuti dengan peserta lain juga
akan saling memeriksa pemahaman mereka atas apa yang dimaksud oleh pembicara tersebut.
Jika fasilitator dan peserta salah dalam memahami ucapan pembicara, maka mereka semua
bisa langsung memperbaiki kesalah pahaman yang terjadi pada mereka. Beberapa hal yang
114
perlu diperhatikan dalam menggunakan teknik parafrase ini adalah digunakan pada saat ada
peserta yang tidak mendengar apa yang disampaikan oleh pembicara. Tidak boleh merubah
ataupun menambahkan kalimat yang diucapkan pembicara, bila memungkinkan gunakan
kalimat pembicara setepat mungkin, tidak dibolehkan merubah atau menambah kalimat
pembicara.
Kalimat yang digunakan untuk teknik paraphrase adalah:
• “Baik bapak/ibu…, kalau tidak salah, tadi anda mengatakan bahwa…”
• “Yang saya tangkap dari pendapat yang saudara sampaikan adalah …”
• “Saya memahami yang saudara sampaikan, lebih kurang adalah …”
d) Seni Mengaitkan Pernyataan dan Komentar (referencing back)
Dalam proses fasilitasi diharapkan terjadi komunikasi yang efektif, komunikasi akan
dikatakan efektif apabila pesan yang disampaikan oleh pembicara atau fasilitator sama
maknanya dengan pesan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima pesan (peserta). Salah
satu cara agar bisa berkomunikasi secara efektif antara lain dapat dilakukan oleh fasilitator
dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah difahami oleh peserta. Kadang
susah bagi fasilitator untuk bisa membuat komunikasi efektif, dikarenakan masyarakat atau
kelompok masyarakat yang ikut dalam kegiatan pemberdaya memiliki berbagai
keberagaman, yaitu peserta tersebut mempunyai gaya dan juga karakteristik komunikasi
personal antara satu orang dengan orang lain berbeda. Karena itu mengamati peserta
merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan oleh seorang fasilitator dalam
kelompok diskusi. Hal ini disebabkan adanya peserta yang suaranya pelan sekali, banyak
sekali yang menjadi pendengar, sedikit peserta yang mau berbicara, bicaranya panjang lebar
dan tidak focus, kadanga ada peserta yang tidak bisa mendengar, sehingga tidak bisa
mendengarkan pendapat yang sudah disampaikan sebelumnya, akibatnya peserta akan
mengulangi pembicaraan-pembicaraan atau ide-ide tersebut yang sudah ada dengan cara yang
beda.
Seorang fasilitator perlu menggunakan teknik mengaitkan pernyataan dan komentar
(referencing back) untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Yang dimaksud dengan
teknik mengaitkan pernyataan dan komentar (referencing back) yaitu teknik untuk mengkait-
kaitkan pernyataan peserta dengan pernyataan peserta yang lain sebelum-sebelumnya. Teknik
referencing back ini digunakan untuk mendorong peserta agar bisa saling mendengarkan satu
dengan yang lainnya, mendorong peserta untuk membangun juga mengetahui di atas salah
115
satu ide yang lain, teknik ini dapat juga digunakan untuk menunjukkan ketidak setujuan dan
untuk menunjukkan perbedaan yang ada di antara pendapat-pendapat peserta.
Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan teknik referencing back ini yaitu sebagai
bentuk perhatian dari fasilitator terhadap semua komentar yang muncul dari semua peserta.
Menunjukkan fasilitator itu mendengarkan serta menyimak dengan cara aktif setiap pendapat
yang muncul dari peserta, juga mendorong peserta untuk bisa mendengar dengan lebih teliti
dan mampu mengkait-kaitkan komentar-komentar mereka dengan peserta yang lain. Juga
menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mendengarkan pendapat juga ide-ide yang
muncul dari setiap peserta dan memberikan perhatian pada semua peserta juga semua
komentar-komentar mereka.
e) Seni Mengamati (Observing)
Fasilitator dalam mefasilitasi perlu melakukan pengamatan pada kelompok masyarakat yang
ikut dalam kegiatan pemberdayaan. Melakukan pengamatan dengan teknik mengamati
(Observing) adalah kemampuan untuk mengamati apa yang sedang terjadi tanpa menghakimi
tanda-tanda non-verbal seseorang dan kelompok secara obyektif. Perilaku non-verbal ini
perlu diamati karena bisa mengungkapkan pesan yang sangat kuat, dengan melakukan
pengamatan yang baik maka fasilitator akan dibantu untuk mendapatkan gambaran tentang
bagaimana sikap peserta, bagaimana perasaan para peserta dan juga bisa memantau
bagaimana proses-proses, dinamika serta partipasi peserta dalam kelompok. Seorang
fasilitator perlu sekali mengembangkan kemampuan komunikasinya terutama dalam
mengamati macam-macam komunikasi non-verbal, ini bisa fasilitator lakukan tanpa diketahui
oleh para peserta dalam waktu yang cukup pendek.
Seorang Fasilitator dalam memfasilitasi perlu melakukan pengamatan pada peserta,
pengamatan akan memberikan kesempatan bagi fasilitator untuk mengetahui apa yang
dipikirkan orang lain tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari perilakunya.
Fasilitator juga bisa mengecek berbagai pendapat bukan hanya pada apa yang dikatakan,
melainkan juga pada bahasa non-verbalnya karena seringkali pendapat juga dipengaruhi oleh
bagaimana cara pendapat tersebut diungkapkan. Bagaimana cara melakukan teknik
mengamati (Observing) untuk kelompok, dengan mencari informasi tentang:
• Siapa mengatakan apa?
• Siapa melakukan apa?
• Siapa melihat siapa ketika mengatakan sesuatu?
• Siapa menghindari terjadinya kontak mata?
116
• Siapa duduk di dekat siapa?
• Bagaimana tingkat energi kelompok?
• Bagaimana tingkat minat kelompok?
Sedangkan cara melakukan teknik mengamati (Observing) untuk individu/perorangan,
fasilitator dapat menggunakan komunikasi non-verbal, karena bisa menyampaikan kondisi
emosi seseorang kapada orang lain yang sedang mengatinya, dengan cara mengamati:
bagaimana postur tubuhnya, bagaimana gaya komunikasinya, bagaimana kontak matanya,
seperti apa gerakan tubuhnya, bagaimana intonasi suaranya dan bagaimana ekspresi wajahya.
f) Seni Menyimak (Active Listening)
Menurut Tarigan (2008) dalam Umi Hijriyah (2016) menyimak adalah suatu proses kegiatan
mendengarkan lambing-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta
interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna
komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
Keterampilan menyimak ini harus di miliki oleh seorang fasilitator, karena fasilitator dalam
memfasilitasi perlu melakukan kegiatan menyimak, dengan kegiatan menyimak ini
diharapkan fasilitator dapat menerima pesan secara utuh dari semua peserta. Juga mampu
memahami dan memaknai bentuk-bentuk bahasa tertulis dan non-verbal yang disampaikan
oleh peserta, jadi fasilitator diharapkan bisa memahami suatu informasi yang disampaikan
peserta. Seorang fasilitator harus mempunyai kemampuan untuk bisa menyusun kalimat
efektif pada saat memandu diskusi, yaitu kalimat yang tepat mengenai sasaran peserta.
Kalimat efektif ini memiliki ciri-ciri: (1) Kalimatnya utuh yang terlihat dari lengkap atau
tidaknya unsur-unsur kalimat, (2). Kalimatnya berpautan yang terlihat dari hubungan
pertalian unsur-unsur kalimatnya harus jelas dan juga logis, (3) Pemusatan perhatian kalimat
terlihat dari adanya peletakan bagian kalimat yang penting pada awal kalimat atau pada akhir
kalimat dan ciri terahir dari kalimat efektif adalah (4). kehematan. Dari penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang mudah untuk difahami, kalimatnya
tidak bertele-tele dan juga sistematis, kalimatnya tidak multitafsir dan maksud kalimatnya
sesuai dengan pemikiran fasilitator. Dengan kalimat efektif yang digunakan oleh fasilitator
maka diharapkan mampu membangkitkan kembali gagasan-gagasan dari peserta yang sesuai
dengan pemikiran fasilitator.
Menurut Poerwadarminta (1984) dalam Umi Hijriyah (2016) “Menyimak adalah
mendengar atau memerhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang”. Begitu juga
menurut Umi Hijriyah, menyimak merupakan proses pendengaran, mengenal dan
117
menginterprestasikan lambang-lambang lisan, sedangkan mendengar adalah suatu proses
penerimaan bunyi yang datang dari luar tanpa banyak memerhatikan makna itu. (Umi
Hijriyah, 2016). Selama memfasilitasi diskusi dalam kelompok, seorang fasilitator pasti akan
melakukan sejumlah interaksi dengan peserta. Interaksi ini bisa dimulai dari suatu pertanyaan
atau persoalan yang diajukan oleh peserta ataupun yang diajukan oleh fasilitator, yang pada
akhirnya bisa memunculkan masalah-masalah baru. Berhasil atau tidaknya seorang fasilitator
dalam menyelesaikan interaksi dalam dikusi ini, akan berdampak pada efektif tidaknya
fasilitator dalam memandu diskusi tersebut. Seorang fasilitator harus mampu untuk
meningkatkan kualitas komunikasi dalam kelompok, juga bisa membantu anggota kelompok
untuk bisa saling menyimak dengan lebih baik. Cara menyimak yang dilakukan fasilitator
akan mempunyai arti yang sangat penting sekali bagi peserta yang berbicara dan bisa juga
membantu meningkatkan kualitas komunikasi yang terjalin antara fasilitator dengan peserta.
Menurut Suyatno Sukandar, ada enam teknik yang berkaitan dengan seni menyimak
yang harus dikuasai oleh seorang fasilitator dalam proses menyimak yaitu: teknik
mengurutkan (stacking), teknik menarik keluar (drawing people out), teknik mengumpulkan
gagasan (gathering ideas), teknik mengembalikan ke jalurnya (tracking). teknik
menyeimbangkan (balancing) dan yang terahir teknik diam sejenak (intentional silence).
(Suyatno Sukandar, 2017). Penjelasan dari beberapa teknik seni menyimak tersebut, adalah
sebagai berikut:
a. Mengurutkan (Stacking)
Apabila terdapat beberapa peserta dalam diskusi yang bermaksut ingin berbicara atau
menyampaikan pendapat, tetapi pada saat mereka berbicara ternyata waktunya bersamaan.
Maka fasilitator harus bisa mengatur semua peserta agar tidak berbicara pada waktu yang
bersamaan, yaitu dengan menggunakan teknik mengurutkan (stacking). Jadi yang dimaksud
dengan teknik mengurutkan (stacking) adalah semacam proses untuk menyusun urutan
berbicara perserta, ketika ada beberapa peserta yang ingin berbicara tetapi bersamaan
waktunya. Cara yang digunakan fasilitator untuk mengurutkan (stacking) adalah dengan
membuat urutan atau giliran peserta yang ingin berbicara atau menyampaikan pendapatnya,
dengan cara mendata nama-nama semua peserta yang ingin berbicara, setelah itu fasilitator
membacakan urutan peserta yang akan berbicara yang sudah dibuat, kemudian fasilitator
akan membacakan satu-persatu dan mempersilakan peserta untuk berbicara sesuai dengan
urutannya. Setelah semua peserta sudah mendapatkan gilirannya untuk berbicara sesuai
dengan urutannya, maka fasilitator akan memeriksa masih adakah peserta lain yang ingin
berbicara. Jika masih ada peserta lain yang ingin berbicara, maka fasilitator harus melakukan
118
proses pengurutan yang sudah dilakukan dengan cara yang sama. Dengan menggunkan teknik
mengurutkan (stacking) ini diharapkan didalam diskusi setiap peserta akan mendapat giliran
berbicara sesuai dengan porsinya, peserta tidak berebut dalam berbicara karena fasilitator
sudah membuat urutan bicara peserta dan diharapkan semua peserta bisa mendengarkan atau
menyimak apa yang disampaikan oleh peserta lainnya, tanpa ada gangguan yang dilakukan
oleh peserta lain yang berebut untuk mendapatkan kesempatan berbicara.
Langkah-langkah dan contoh kalimat yang digunakan fasilitator:
• Langkah 1: “untuk peserta yang ingin berbicara, mohon untuk angkat
tangan”.
• Langkah 2: “Rani urutan pertama, Tedi yang kedua, lalu Edi yang ketiga”.
• Langkah 3: (sesudah Rani selesai berbicara) “Siapa yang kedua? Tedi?
Silakan”.
• Langkah 4: (Setelah peserta terakhir selesai berbicara) “Apa masih ada
yang ingin berbicara?”
b. Menarik Keluar (Drawing people out)
Fasilitator menyadari bahwa setiap peserta dalam kegiatan diskusi itu memiliki karakteristik
yang berbeda antara satu peserta dengan peserta yang lainnya, begitu juga dengan gaya
komunikasi personal mereka juga tidak ada yang sama atau berbeda antara satu peserta
dengan peserta yang lainnya. Hal ini membuat ada perbedan sikap pada peserta, yaitu ada
peserta yang bila ditanya baru dia berbicara, tidak berani berbicara (malu) di depan publik,
ada yang pesimis, bersuara pelan sekali dan tidak terdengar jelas, sehingga susah buat mereka
berbicara dengan tujuan untuk menjelaskan ide-ide dan gagasan-gagasannya yang mereka
punya. Sehingga mereka juga tidak bisa menjawab dengan jelas dan lengkap atas pertanyaan-
pertanyaan yang di sampaikan oleh fasilitator. Seorang fasilitator harus mempunyai cara,
bagaimana untuk bisa menggali lebih jauh dengan cara menarik keluar gagasan-gaasan dan
ide-ide peserta yang belum bisa dikatakan.
Teknik yang tepat untuk menyelesaikan masyalah ini adalah menarik keluar (drawing people
out), adalah menggali lebih jauh adalah cara mendukung orang supaya menjelaskan lebih
lanjut ide-ide atau gagasan-gagasannya. Dengan menggunakan teknik ini diharapkan tidak
ada lagi peserta yang mengalami kesulitan dalam berbicara untuk menyampaikan ide-ide dan
gagasan-gagasan mereka. Semua peserta dapat menyampaikan dengan baik ide-ide dan
gagasan-gagasan mereka. Bagaimana cara fasilitator dalam mempraktekkan cara ini yaitu
pertama fasilitator menggunakan teknik membahasakan Kembali (Paraphrasing), dengan
119
membuat kalimat untuk Paraphrasing kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan tidak
langsung terbuka, dapat dilihat contoh dibawah ini:
• “Baik bapak/ibu…, kalau tidak salah, tadi anda mengatakan bahwa…
• “Coba, Bapak/ibu, jelaskan lebih lanjut?”
• Atau dengan cara lain, setelah semua peserta selesai berbicara maka sambut
dengan kata sambung seperti, "Karena…" atau "Jadi,…"
c. Mengumpulkan Gagasan (Gathering Ideas)
Untuk menentukan apa saja kebutuhan peserta juga untuk membuat
program-program apa saja yang akan dilakukan dalam fasilitasi pendampingan untuk peserta.
Seorang fasilitator harus melakukan kegiatan untuk menganalisis, apa saja kebutuhan
masyarakat dan apa saja harapan-harapan mereka. Kegiatan menganalisis pasti membutuhkan
dukungan data dan informasi yang didapat dari peserta. Seorang fasilitator dalam
memfasilitasi diskusi akan berusaha untuk memotivasi peserta, supaya dengan sadar mau
berbagi cerita, yaitu cerita pengalaman mereka, menyampaikan ide-ide dan gagasan-gagasan
mereka. Fasilitator harus mampu mencatat semua semua informasi dan data-data, ide-ide
mereka dan gagasan-gagasan mereka. Sehingga fasilitator perlu menggunakan suatu cara,
untuk bisa mengumpulkan semua gagasan yang belum didiskusikan, atau gagasan-gagasan
peserta yang sudah dilakukan pembahasan. Fasilitator perlu menggunakan teknik
mengumpulkan gagasan (gathering ideas) adalah cara untuk mendaftar gagasan secara cepat
dan hanya untuk dikumpulkan saja. Keterampilan mengumpulkan gagasan yang di lakukan
fasilitator adalah menyatukan antara gerakan fisik, teknik memantulkan (mirroring) dan
teknik parafrase. Untuk proses yang lebih cepat bisa digunakan teknik memantulkan
(mirroring).
Untuk menggunakan teknik ini pengumpulan semua gagasan peserta dengan menggunakan
perpaduan teknik memantulkan (mirroring) dan teknik parafrase. Agar proses
mengumpulkan gagasan lebih cepat maka fasilitator bisa menggunakan teknik memantulkan
(mirroring). Dalam teknik memantulkan ini fasilitator berfungsi sebagai pemantul, yaitu
orang yang memantulkan ucapan atau gagasan peserta. Pada saat fasilitator memantulkan
ucapan pesrta, maka peserta merasa diperhatikan dan peserta akan ikut menyampaikan
gagasannya dengan cara singkat. Tujuan dari fasilitotor menggunakan teknik memantulkan
ini yaitu untuk menumbuhkan kepercayaan peserta, agar diskusi yang berjalan lambat
menjadi lebih cepat, untuk menegaskan bahwa fasilitator itu netral artinya tidak ingin
120
memihak, juga untuk menyakinkan peserta, bahwa fasilitator benar-benar mendengarkan
ucapan peserta.
Cara menggunaka teknik memantulkan (mirroring).:
• Bila peserta mengatakan satu kalimat, maka pantulkan (persis seperti yang
diucapkan) setiap kata-kata, setepat mungkin.
• Jika peserta mengatakan lebih dari satu kalimat, maka pantulkan kata kata
kunci, kalimat pendek atau kata yang penting saja.
• Selalu Gunakan kata kata dari peserta, jangan gunakan kata kata dari
fasilitator.
• Jika peserta berkata dengan berapi-api, maka pantulkan dan berbicaralah
dengan suara yang tenang
Cara menggunakan teknik mengumpulkan gagasan (gathering ideas), adalah:
• Dimulai dengan menjelaskan secara singkat tugas yang akan dikerjakan.
Kemudian melakukan curah pendapat. Mengumpulkan sebanyak mungkin
dari semua gagasan yang ada.
• Menuliskan semua gagasan yang disampaikan oleh semua peserta dengan
menggunakan teknik memantulkan atau teknik membahasakan kembali
(parafrase).
• Jika semua peserta sudah merasa cukup dengan proses ini, maka fasilitator
meakhiri proses ini. Lalu berikan apresiasi pada semua gagasan yang
mereka sampaikan.
d. Mengembalikan ke jalurnya (Tracking)
Faslitator dalam memfasilitasi proses diskusi, diharapkan mampu membangun kerjasama
yang baik antara dirinya dengan peserta dan antara peserta dengan peserta. Sehingga akan
terbangun suasana diskusi yang efektif, yang bisa mendorong peserta untuk bertukar ide dan
gagasan, juga terjadi proses saling belajar, dengan membuat semua peserta merasa dihargai
dan dianggap penting. Fasilitator harus siap untuk menerima perbedaan gagasan-gagasan,
antara satu peserta dengan peserta lainnya dan juga mempunyai pandangan positif pada setiap
peserta, sehingga untuk bisa menghargai pengetahuan dan pengalam peserta. Untuk
memberikan penghargaan kepada peserta, maka fasilitator perlu mengenali satu persatu
kontribusi gagasan-gagasan yang sudah diberikan oleh peserta. Karena itu fasilitator perlu
suatu cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, terutama cara untuk menyelesaikan
masalah, munculnya berbagai macam gagasan-gagasan yang benar berbeda, dari setiap
121
peserta atau munculnya pemikiran-pemikiran yang berbeda dari setiap peserta, pada waktu
yang bersamaan dalam sebuah diskusi. Fasilitator bisa menggunakan teknik mengembalikan
ke jalurnya (tracking), untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Teknik ini digunakan sebagai salah satu cara agar fasilitator mampu mengendalikan diskusi
supaya tetap ada pada jalurnya. Sehingga peserta yang bingung akan menjadi tenang
walaupun gagasannya, tidak mendapat penghargaan dari peserta lain. Dalam kondisi diskusi
yang seperti ini maka semua peserta perlu difasilitasi, agar dapat mengikuti semua topik
diskusi yang akan dibicarakan. Sebagian peserta biasanya beranggapan bahwa apa yang
orang (individu) nilai penting, harus dipilih menjadi topik diskusi. Diharapkan dengan
menggunakan teknik mengembalikan ke jalurnya (tracking), semua peserta mampu untuk
menikmati dan menerima kondisi pada saat proses diskusi berjalan. Seorang fasilitator harus
bersikap adil pada semua peserta, bila ada peserta yang ingin menjelaskan bahwa gagasan dia
itu penting maka fasilitator harus memfasilitas, yaitu memberi kesempatan pada pesrta
tersebut untuk menjelaskan gagasannya dan fasilitator juga harus memberikan kesempatan
yang sama untuk peserta lain yang mempunyai gagasan yang berbeda.
Cara melakukan teknik mengembalikan ke jalurnya (tracking) antara lain:
• Meminta peserta untuk kembali ke topik awal diskusi
• Membacakan semua gagasan-gagasan yang muncul dalam diskusi
• Bertanya ke pada kelompok untuk membuktikan ketepatan gagasan-
gagasannya.
Contoh kalimat meminta pendapat peserta, apa gagasan yang disebutkan sudah sesuai atau
belum.
122
menghargai pendapat orang lain, berfikir kritis, sikap toleransi, sistematis dari individu
peserta. Semua peserta harus berkontribusi penuh dalam mengikuti proses diskusi tersebut,
dari mulai proses berfikir sampai pada proses terahir yaitu membuat kesimpulan, sehingga
kesimpulan diskusi yang mereka buat mudah untuk dipahami dan membantu peserta untuk
mampu mengambil keputusan yang paling baik serta tidak terjabak dari pemikiran individu
yang sempeit.
Ada juga kelemahan dari proses diskusi yang dilakukan oleh fasilitator pada saat
memfasilitasi adalah ada peserta yang acuh tak acuh, ada juga peserta yang kurang
berpartisipasi secara aktif, juga ada peserta yang tidak ikut bertanggung jawab, dalam proses
pembuatan keputusan hasil diskusi dan ada beberapa peserta yang mengalami kesulitan
dalam mengungkapkan ide-ide mereka. juga gagasan-gagasan mereka secara sistematis. Pada
saat diskusi berlangsung, pendapat yang paling kuat dalam proses diskusi biasanya datang
dari peserta yang mengusulkan gagasannya untuk menjadi topik diskusi. Mungkin ada
sebagian besar peserta yang mempunyai pendapat yang berbeda, tetapi belum mau atau
belum berani berbicara untuk menyampaikan pendapatnya. Ada juga peserta yang takut kalau
pendapatnya itu nanti tidak akan disetujui oleh peserta lain, sehingga peserta tersebut tidak
mau berbicara dalam forum diskusi. Beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa
peserta yang diam dalam mengikuti diskusi bukan berarti dia setuju dengan pendapat yang
disampaikan oleh peserta yang lain, dan juga belum tentu mereka tidak mempunya pendapat
sendiri. Bisa juga karena mereka takut ada yang tidak sukai dengan mereka atau mereka tidak
ingin berargumentasi. Seorang fasilitator harus mampu menyelesaikan masalah ini, yaitu
dengan menngunakan teknik menyeimbangkan (balancing).
Teknik menyeimbangkan (balancing) ini adalah salah satu cara untuk menyeimbangkan
proses diskusi, dengan cara fasilitator membantu memfasilitasi peserta untuk menyampaikan
gagasan-gagasan mereka yang belum terungkap. Fasilitator harus meapresiasi pendapat
apapun yang di sampaikan peserta dalam forum diskusi.
Beberapa contoh kalimat yang digunakan untuk teknik balancing:
• “Baiklah, kita sudah mendengar gagasan dari ke 3 peserta. Apakah ada
peserta yang mempunyai gagasan yang lain?”
• “Mungkin ada cara lain dalam melihat kasus ini?”
• “Adakah peserta yang mempunyai gagasan lain?”
• “Apa semua peserta juga setuju?”
f. Diam sejenak (intentional silence)
123
Dinamika kelompok disebabkan karena adanya peserta dengan berbagai karakteriteristik,
yaitu seperti Ada peserta yang selalu berbicara, ada peserta yang mulai jemu, rendahnya
partisipasi peserta, debat kusir antara dua peserta, ada peserta yang diam saja, ada peserta
yang berisik dan bersenda gurau, keterlambatan peserta, peserta yang meulang ulang
pembicaraan, ada peserta yang ribut urusan remeh, dan lainnya. Fasilitator harus berfikir
kritis, sehingga mampu berfikir dengan baik, bagaimana caranya menyelesaikan masalah
tersebut, dengan kemampuan memfasilitasi dan kompetensi yang dimiliki seorang fasilitator
bisa mempunyai kemampuan untuk mengelola kelompok dengan baik. Fasilitator perlu cara
untuk menyelesaikan masalah tersebut, dengan menggunakan teknik diam sejenak
(intentional silence).
Teknik diam sejenak (intentional silence) adalah berhenti untuk bicara selama beberapa detik
atau menunggu sebentar agar si pembicara dapat menemukan apa yang akan di bicarakan.
Rasa percaya dapat dibangun dengan cepat dalam berbagai macam situasi, dapat dilakukan
dengan cara mengetahui apa saja kelebihan-kelebihan yang kita dimiliki juga kelemahan-
kelemahan apa saja yang kita dimiliki, diharapkan dengan memahami diri kita sendiri ini
akan tumbuh keyakinan yang kuat sekali sehingga bisa dengan memanfaatkan kelebihan-
kelebihan kita, dengan melakukan segala upaya untuk membangun rasa percaya diri kita.
Banyak peserta yang butuh keadaan tenang untuk bisa menggali potensi dirinya yaitu
menggali perasaannya atau pemikirannya. Mungkin ada peserta yang perlu untuk berhenti
bicara beberapa detik sebelum bicara sesuatu takut bisa menimbulkan resiko, ada juga peserta
yang sulit sekali berkonsentrasi pada saat mengikuti diskusi. Tujuan digunakan teknik diam
sejenak (intentional silence) untuk memberi kesempatan pada peserta, untuk bisa berfikir
lebih dalam dengan cara memikirkan hal-hal apa saja yang ingin dikatakan.
Cara melakukan teknik diam sejenak (intentional silence) dengan:
• Hening, diam sejenak selama 5 detik
• Tetap diam, Jaga kontak mata dengan pembicara, perhatian kita semua
hanya tertuju pada pembicara.
• Tidak boleh berkata apa-apa, tidak juga “ya….” atau “hmmm…” Tidak
boleh menggeleng-menggelengkan kepala, menganggukan kepala, dan
juga menggaruk-garuk. Perhatian tetap tertuju pada pembicaraan.
• Untuk menjaga tetap hening, fasilitator bisa memberi isyarat ke semua
peserta dengan “angkat tangan”
124
D. Persamaan Fasilitator Dengan Pendamping
Dalam buku ini penulis sudah menjelaskan berbagai pendapat dari berberapa pakar
manajemen tetang definisi atau pengertian fasilitator, juga peran fasilitator pada sub bab (A)
dan sub.bab (B) diatas. Penulis akan membahas persamaan fasilitator dengan pendamping
dari sisi peran saja pada sub.bab (D) ini.
Pendamping adalah orang yang melakukan pendampingan, proses pendampingan
sangat diperlukan dalam kegiata-kegiatan proses pemberdayaan masyarakat. Arti
pendampingan menurut Direktorat Bantuan Sosial adalah suatu proses pemberian kemudahan
yang diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses pengambilan
kepuutusan, sehinggan kemandirian dapat diwujudkan. (Direktorat Bantuan Sosial, 2007).
Sedangkan menurut Anwas (2014) dalam Hendrawati Hamid (2018) pendampingan ini
diperlukan sebagai agen pemberdayaan yang tugasnya tidak untuk menggurui, tetapi lebih
tepatnya adalah sebagai fasilitator, komunikator, dinamisator dan pembimbing masyarakat
dilapangan. Pendamping dapat di artikan orang yang membantu menyelesaikan masalah
sosial yang dihadapi oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang sedang mendapatkan
masalah tersebut. Jadi peran pendamping memfasilitasi masyarakat atau kelompok
masyarakat untuk bersama-sama melakukan cara meidentifikasi masalah mereka, serta
bagaimana pilihan-pilihan penyelesaiannya masalahnya, juga meimplementasikan apa yang
di sepakati bersama. Pendamping juga sebagai agen perubahan (change agent), dalam
melakukan pendampingan tidak boleh membuat masyarakat bergantung pada kegiatan-
kegiatan yang dibuat pendanping tetapi harus bisa membuat masyarakat mampu mandiri,
membuat masyarakat meningkat kemampuannya dan masyarakat mempunyai kemampuan
untuk melakukan perubahan hidup menjadi lebih baik atau sejahtera dan berkelanjutan.
Pendapingan merupakan kegiatan yang dilakukan pendamping bersama masyarakat,
untuk meidentifikasi masalah-masal yang benar-benar mereka alami, kemudian mediskusikan
dan mencari pilihahan-pilihan penyelesaian seperti apa saja, yang bertujuan untuk
meningkatan kapasitas dan kreatifitas masyraakat. Juga bertujuan untuk penyetaraan
masyarakat, agar dapat mengembangkan potensi dirinya agar bisa mencapai kehipan yang
sejahtera dan lebih baik. Karena itu perlua adanya pendamping yang bisa melakukan berbagai
peran. Menurut Hendrawati Hamid ada empat peran pendamping dalam kegiatan proses
pemberdayaan adalah sebagai fasilitator, komunikator, dinamisator (penggerak) dan
pembimbing masyarakat. (Hendrawati Hamid, 2018).
a. Fasilitator
125
Pendampingan tidak hanya dilakukan oleh fasilitator dan pendamping saja tapi perlu
keterlibatan masyarakat atau kelompok masyarakat, untuk di kembangkan berbagai potensi
yang ada di mereka, karena mereka yang paling tahu potensi-potensi apa saja yang mereka
miliki, dan masalah-masalah apa saja yang mereka hadapi. Peran pendamping sebagai
fasilitator, merupakan peran untuk memfasilitasi masyarakat atau kelompok masyarakat,
untuk melakukan perubahan-perubahan yang sudah di diskusikan dan disepatati bersama.
Membantu masyarakat untuk dapat mambatu dirinya sendiri agar dapat menangani
permasalahan yang mereka hadapi. Jika individu masyarakat dalam kelompok berbeda tujuan
maka seorang pendamping harus mampu mengelola dengan baik proses pertukaran informasi,
sehingga bisa dihasilkan satu keputusan yaitu keputusan mereka untuk tujuan bersama.
Pendampin dalam memfasilitasi harus mampu mengajak masyarakat untuk ikut serta
dan bekerja sama dalam proses penggembangan potensi masyarakat. Karena masyarakat yang
terdiri dari berbagai ragam karakter, sehingga menimbulkan perbedaan nilai, perbedaan
kompetensi dan perbedaan kepentingan, maka pendamping harus bisa dengan baik
menangani konflik yang mungkin terjadi pada mereka. Hindari terjadinya konflik dalam
menyelesaikan masalah apapun yang terjadi pada masyarakat. Pendamping harus siap dengan
segala macam dukungan yang diperlukan masyarat, untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
pemberdayaan. Proses pemberdayaan masyarakat biasanya lebih efektif dan efisien bila
dilakukan dalam kelompok, karena itu seoorang pendampin harus mampu mengelola
kelompok dengan baik, bagaimana dan apa saja kegiatan-kegiatan untuk kelompok
masyarakat yang didampingi. Seorang pendampin harus mampu membatu masyarakat atau
kelompok masyarakat, untuk mengajari bagaimana cara mengenali dan menggali serta
memanfakan potensi dan sumberdaya yang ada, yang belum pernah dimanfaatkan secara
optimal. Pendampin bersama masyarakat melakukan pengorganisasian yaitu mendorong
masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan proses pemberdayaan masyarakat. Seorang
pendamping dalam melakukan perannya sebagai fasilitator ini, harus berusaha memberi
pengarahan-pengarahan tentang penggunaan berbagai macam strategi, berbagai macam
teknik dan pendekatan dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
b. Komunikator
Seorang pendamping harus mempunyai pemikiran positif kedepan, bahwa semua
program kegiatan-kegiatan yang dirancang dan dikelola bersama masyarakat, akan membuat
semua masyarakat berpartisipasi dan ikut serta dalam proses pemberdayaan tersebut. Karena
itu dibutuhkan adanya proses komukasi yang intensif dan efektif, pendamping harus
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, tidak cukup hanya dengan komunikasi
126
verbal tetapi juga diperlukan juga kominikasi non-verbal. Adanya komunikasi secara efektif
ini maka diharapkan pendamping mampu menyampaikan informasi dan pesan, dengan jelas
menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan dan gagasan yang bisa meintervensi masyarakat.
Diharapkan semua informasi dan pesan-pesan itu dapat diterima oleh masyarakat dan dapat
merubah perilaku masyarakat menjadi lebih baik.
Seorang pendamping mampu menerima dan mendengarkan pada saat semua individu
dalam kelompok atau masyarakat yang mengikuti kegiatan-kegiatan menyampaikan
informasi, data yang berbeda-beda, bisa menjadi pendengar yang baik dan aktif, bisa
menghargai perbedaan pendapat, diharapkan akan terjadi pertukaran informasi di antara
keduanya. Juga menyampaikan segala informasi yang didapat dari berbagai sumber dari luar,
informasi ini digunakan untuk membuat pilihan-pilihan pemecahan masalah dan program
kegiatan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat semua.
c. Dinamisator (penggerak)
Untuk membuat program-program kegiatan pemberdayan, program pendampingan
yang benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka seorang
pendamping perlu memulai dengan melakukan analisis awal yaitu apa saja kebutuhan,
masalah-masalan dan harapan masyarakat. Pendamping hanya berperan sebagai penggerak,
menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dan sebagai motivator saja, dengan
cara berusaha memotivasi dan memberikan dorongan ke masyarakat agar secara mandiri
masyarakat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Maka diperlukan pendamping yang
mampu mengidentifikasi sumberdaya yang ada, kesabaran yang tinggi harus dimiliki oleh
seorang pendamping, berfikir positif bahwa tiap orang memiliki potensi yang dapat
dikembangkan, sikap optimis, mampu menumbuhkan semangat pada masyarakat untuk hari
esok yang lebih baik. Berfikiran terbuka, dapat menerima pendapat orang-orang yang ada
sekitarnya, memiliki kreatifitas yang tinggi, stabilnya emosi, memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang bagus, memiliki semangat, berkomitmen, kepribadian terbuka, empati,
inovatif, mampu membangun struktur kelompok, diskusi, negosiasi, melatih, menganalisa
dan kemampuan komunikasi yang bagus. Dengan semua kemapuan yang dimiliki
pendamping tersebut diatas, diharapkan pendamping akan mampu menggerakkan masyarakat
dan menciptakan peluang-peluang program yang inovatif serta memanfaatkan sumberdaya
yang ada untuk mengembangkan kegiatan pemberdayaan yang benar-benar dibutuhkan
masyarakat.
d. Pembimbing Masyarakat
127
Melalui usah proses pemberdayaan masyarakat, pendamping mempunyai tugas utama
untuk bisa memotivasi atau mendorong seluruh masyarakat, untuk bisa memiliki kemampuan
diri, untuk bisa menggunakan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki secara optimal.
Serta diharapkan semua masyarakat bisa berkontribusi dan berpartisipasi penuh dalam semua
program yang inovatif kegiatan proses pemberdayaan, dari mulai proses perencanaannya,
proses pelaksanaanya dan proses pengawasan serta pelestarian kegiatan-kegiatan tersebut.
Karena itu pendamping perlu sekali memberikan semua informasi-informasi dan data-data
yang dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup banyak dan
keterampilannya, sehingga masyarakat bisa membuat keputusan yang tepat untuk
menggambil tindakan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dari penjelasan berbagai peran yang dilakukan seorang pendampin dalam pemberdayaan
masyarakat, yaitu peran sebagai fasilitator, sebagai komunikator, sebagai dinamisator
(penggerak) dan sebagai pembimbing masyarakat. Ternyata fasilitator juga memiliki peran
yang sama seperti yang dilakukan pendangping dalam pembrdayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bantuan Sosial. (2007). Pedoman Pendamping Pada Rumah Perlindungan dan
trauma center. Jakarta: Departemen Sosial. hlm. 4
https://perpustakaan.kemsos.go.id/elib/index.php?p=show_detail&id=3514&keywords=
128
http://www.uniflor.ac.id/e-journal/index.php/mahajana/article/view/952
Herry Setyawan, W., Budiman, A., Septa Wihara, D., Setyarini, T., & Nurdyansyah,
R. (2019). R., & Barid Nizarudin Wajdi, M.(2019). The effect of an android-based
application on T-Mobile learning model to improve students’ listening
competence. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1).
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1175/1/012217/pdf
Kartini Eva Christina Nahampu. (2010). Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional
Pemberdaya Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) Di Kecamatan Tarutung
Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara Medan.
Meygita Yohan Pratiwi. (2019). Fasilitator dalam Pemberdayaan Lansia pada Program Bina
Keluarga Lansia (Studi Kasus pada Bina Keluarga Lansia Mugi Waras), skripsi .
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
129
Biodata Penulis
Ir.Hanifah.M.M mulai mengajar pada tahun 1994 sampai 2019
sebagai dosen tidak tetap pada jurusan Teknik Kimia di Institut
Teknologi Indonesia di Serpong dan dari tahun 2018 sampai
sekarang sebagai dosen tetap di STIE Bisnis Indonesia di
Jakarta (STIEBI). Selain sebagai tenaga pengajar, sejak tahun
2019 sampai sekarang sebagai Penyuluh Antikorupsi dan
Fasilitator dari LSP P2 KPK. Dan juga sebagai Asesor
Kompetensi dari LSP P3 Pembangun Penyuluh Intergritas
Bangsa. Pendidikan sarjana dari Istitut Teknologi Sepuluh November di Surabaya, berhasil
mendapatkan gelar Insinyur di bidang ilmu Teknik Kimia. Melanjutkan Pendidikan pasca
sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta mendapat Gelar Magister Keuangan.
130
BAB 10
PERAN STAKEHOLDERS DALAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
A. Pengertian Stakeholders
Stakeholders adalah kata yang biasa kita temukan dalam ekonomi, pendidikan dan
lainnya. Stakeholders adalah pihak yang berkepentingan dengan perusahaan dan dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh bisnis. Awalnya penyebutan kata stakeholders ini
adalah istilah penyebutan bagi individu atau kelompok yang berkecimpung langsung dalam
sebuah bisnis. Namun seiring perubahan mindset banyak lembaga bisnis dan berjalannya
waktu, arti stakeholders kini mencakup banyak pihak lain. Stakeholders atau dalam Bahasa
Indonesia diartikan sebagai pemangku kepentingan yang memiliki definisi beragam. Dari
aspek semantik, menurut Hornby (1995) dikutip dalam (Izzah, 2017) didefinisikan sebagai
perorangan, organisasi dan sejenisnya yang memiliki peran dalam bisnis industri. Sedangkan
dalam implementasi program pembangunan, Race dan Millar (2006) dikutip dalam (Izzah,
2017) mengemukakan bahwa Stakeholders digunakan untuk mewakili definisi mengenai
komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari aktivitas atau
kebijakan, dimana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut.
Misalnya saja partisipasi stakeholders dalam bidang pariwisata dapat memberikan
dampak ekonomi bagi masyarakat setempat misalnya saja dari masyarakat dapat
menyediakan jasa makanan dan minuman, jasa penginapan, jasa pemandu dan jasa
penyewaan alat wisata (Amalyah et al., 2016). Ini adalah salah satu pengaruh positif dari
adanya pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat, dari pemberdayaan masyarakat dapat
meningkatkan kesejahteraan (Christanto, 2015), dan produktivitas masyarakat (Mahendra,
2017). Dalam setiap pemberdayaan masyarakat stakeholder lokal sangat berperan penting,
terlebih dalam pariwisata, Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) Blau (1964)
dalam (Shafieisabet & Haratifard, 2020) pemangku kepentingan lokal menentukan dukungan
mereka untuk pengembangan pariwisata tergantung pada kesan mereka tentang efek positif
atau negatifnya (Lee, 2013). Stakeholder seperti penduduk lokal maupun para aktor kunci
merasakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh TCBS (Timburi Cocha Biological Station)
berkontribusi untuk mencapai setidaknya delapan SDGs, memberdayakan masyarakat,
terutama dengan mengakui nilai-nilai budaya dan leluhur. Hal ini mendukung pembangunan
131
berkelanjutan dan ekonomi masyarakat. Stakeholder seperti TBS telah memberikan
kontribusi kepada masyarakat rata-rata tahuanan sebesar USD 5.000 dalam 8 tahun terakhir,
disamping manfaat sosial dan budaya lainnya yang diberikan dari berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh TCBS(Izurieta et al., 2021).
132
Dapat disimpulkan tipe kharakteristik stakeholder dalam pemberdayaan masyarakat
berdasarkan tingkat kekuasaan yang dimilikinya. Ketika memiliki Power on maka fokus
utama kegiatan adalah berupa peraturan yang dapat memaksa yang dapat membangkitkan
permberdayaan dan partisipasi masyarakat, namun tingkatan dari power on, power with dan
power within juga saling bersinergi menjawab tantangan sosial dan ekonomi.
133
Stakeholder adalah mitra yang unik, kita perlu menjaga kedekatan namun juga perlu menjaga
program agar bisa berjalan dengan baik. Semua yang terlibat dalam program harus dapat
saling bekerjasama dengan harapan hasil yang optimal. Adapun peran dari macam-macam
stakeholder dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat
Dukungan pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan merupakan prasyarat bagi pembangunan
karena akan mengatur konteks proses pembangunan yang dapat mempengaruhi seluruh
bagian proses lainnya.
b. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pelor dan Heliany 2018, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara umum diartikan
sebagai sebuah organisasi yang didirikan perorangan ataupun kelompok orang yang
secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Menurut Afan Gaffar, civil society
mempersyaratkan adanya organisasi sosial seperti partai politik atau kelompok
kepentingan, yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi yang mampu mengisi
public spere yang ada diantara negara dan rakyat, sehingga akhirnya kekuasaan Negara
menjadi terbatasi. Public Sphere atau ruang publik diartikan sebagai suatu ruang Negara
dan masyarakat dimana warga masyarakat dapat dengan leluasa melakukan aktivitas
sosial, politik dan ekonomi tanpa didominasi oleh sekelompok kecil orang. Organisasi
sosial-politik tersebut harus bersifat mandiri dan mampu melihat kebutuhan dari
masyarakat, sehingga masyarakat yang cenderung belum mendapatkan pengakuan hak-
haknya, bisa mendapatkan haknya baik dari segi sosial-politik, advokasi maupun
kesejahteraan umum.
Referensi
Amalyah, R., Hamid, D., & Hakim, L. (2016). Peran Stakeholder Pariwisata Dalam
Pengembangan Pulau Samalona Sebagai Destinasi Wisata Bahari. Jurnal Administrasi
Bisnis S1 Universitas Brawijaya, 37(1), 158–163.
Izzah, H. S. (2017). Peran Stakeholders Dalam Proses Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil
Dan Menengah (Umkm) Alas Kaki Unggulan Melalui Program Pembiayaan Usaha
Syariah (Pusyar) Di Kota Mojokerto. 1–15.
Lee, T. H. (2013). Influence analysis of community resident support for sustainable tourism
development. Tourism Management, 34, 37–46.
https://doi.org/10.1016/j.tourman.2012.03.007
138
https://doi.org/10.23887/ijssb.v1i1.10165
Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., &
Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723
Shafieisabet, N., & Haratifard, S. (2020). The empowerment of local tourism stakeholders
and their perceived environmental effects for participation in sustainable development of
tourism. Journal of Hospitality and Tourism Management, 45(October 2019), 486–498.
https://doi.org/10.1016/j.jhtm.2020.10.007
https://www.gramedia.com/literasi/stakeholder/
https://greatdayhr.com/id-id/blog/program-pemberdayaan-masyarakat/ diakses 18
Januari 2022
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pemerintah-terus-perkuat-umkm-
melalui-berbagai-bentuk-bantuan/
https://belajarkreatif.org/contoh-pemberdayaan-masyarakat-di-bidang-pertanian-
yang-bisa-dilakukan/
https://www.kosngosan.com/2020/10/contoh-pemberdayaan-masyarakat.html
https://padana.id/2020/08/stakeholder-teman-tumbuh-masyarakat/
Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas & Pengembangan Masyarakat ; sebagai Upaya
Pemberdayaan Masyarakat (Edisi Revisi 2012),
139
Biografi Penulis:
Renny Wulandari SE.,M.Si.,Ak.,Ca. Lulus S1 di Program
Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Panca Bhakti
Pontianak tahun 2008. Lulus S2 di Program Magister Akuntansi
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Saat ini adalah
dosen tetap Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Panca Bhakti. Mengampu mata kuliah Akuntansi
Pajak dan Akuntansi Syariah. Pernah menjabat sebagai
Pembantu Dekan III tahun 2018 – 2021 di Fakultas Ekonomi
Universitas Panca Bhakti. Serta anggota aktif Ikatan Akuntan
Indonesia wilayah Kalimantan Barat. Saat ini sedang menempuh
kuliah Program Doktoral Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Airlangga Surabaya, dan ini merupakan buku
pertama yang dikerjakan bersama tim. Semoga bermanfaat.
140
BAB 11
PENUTUP
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani, memelihara, melindungi,
dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor
25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004
dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan
masyarakat merupakan upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi,
sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat,
penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan
masyarakat. Sebagai kegiatan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan berpusat
pada masyarakat, maka perlu adanya suatu konsep dan strategi sebagai gambaran dalam
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan
dan mensukseskan seorang fasilitator atau pendamping dan juga masyarakat sebagai subyek
dalam kegiatan pemberdayaan.
Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, tentunya perlu suatu
konsep dan strategi untuk bisa memahami situasi dan kondisi serta karakterisitik masyarakat.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk meindaklanjuti problematika sosial dan juga menangani
konflik dalam komunitas. Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat,
pemilihan strategi dan pendekatan dalam pemberdayaan sangatlah diperlukan. Ada beberapa
pendekatan yang bisa dipilih oleh fasilitator sebagai suatu cara dalam melaksanakan
pemberdayaan, diantaranya ; Rapid Rural Appraisal(RRA), Participatory Rural Appraisal
(PRA), Participatory Action Research (PAR), Agro Ecosystem Analysis , Asset-Based
Community Development (ABCD), Environmental Scanning (ES), Logical Framework
Approach (LFA), Participatory Impact Monitoring (PIM), Zielobjective Orientierte Project
Planning (ZOPP), Participatory Learning And Action (PLA.
Pemilihan strategi pendekatan yang tepat, akan sangat membantu seorang fasilitator
dalam menyusun tahapan pemberdayaan, pemecahan teknis kegiatan pemberdayaan, dan
sebagai sarana guna membangun komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Agar
kegiatan pemberdayaan bisa terlaksana dengan lancar, maka tidak hanya melibatkan
masyarakat dan fasilitator pemberdayaan saja, akan tetapi juga perlu melibatkan stakeholder
baik itu dari internal maupun external. Adapun yang disebut sebagai stakeholder internal
adalah pihak pemerintah desa dan juga masyarakat tersebut. Sedangkan stakeholder external
yaitu pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, para pengusaha, dan perguruan tinggi.
141
Kedudukan stakeholders memiliki peran yang penting dalam pemberdayaan masyarakat.
Pemilihan stakeholder yang tepat dapat menciptakan kesesuaian antara isu program atau
pengembangan masyarakat dengan bidang stakeholder tersebut. Akan lebih baik jika
stakeholder yang terlibat juga memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama mengenai isu
program sehingga dengan pemilihan yang tepat dapat diketahui pihak mana saja yang akan
dilibatkan dan seberapa besar pengaruh dari stakeholder tersebut.
Jika tujuan, pandangan atau kepentingan dari stakeholder tidak memiliki kesamaan
maka proses maupun kerjasama akan lebih sulit bahkan mengalami hambatan. Hal seperti ini
dapat menimbulkan konflik yang seharusnya dihindari. Stakeholder sebagai pihak yang
memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan di level administratif, diharapkan faham
terhadap apa yang menjadi tanggung jawab dan ketelibatannya dalam upaya mewujudkan
tujuan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Sehingga setelah program
berakhir, masyarakat dan stakeholder dapat terus bersama-sama menjalankan praktik baik
yang sudah muncul.
142
View publication stats