MAKALAH Fiqih Rahn
MAKALAH Fiqih Rahn
MAKALAH Fiqih Rahn
RAHN/GADAI
“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih II”
Dosen pengampu:
M. Syaifuddin Shobirin, M.Pd. I
Disusun oleh:
Bunga Shuhaila Rachmadini 2201012512
Rizki Amalia Putri 2201012522
Sasqia Dwi Kurniawati 2201012583
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................3
A. Pengertian Rahn/gadai.................................................................3
B. Dalil Al-Qur’an dan Hadits.........................................................6
C. Hukum Rahn/gadai......................................................................8
D. Rukun, Syarat dan Cara Transaksi Rahn/gadai..........................7
E. Transaksi akad Rahn/gadai Konveksional..................................
BAB III PENUTUP...............................................................................10
A. Kesimpulan..................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari
kegiatan ekonomi, karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang
harus dipenuhi. Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut
kegiatan ekonomi. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk mencapai
aktivitas ekonomi dapat dikatakan sama tuanya sejarah manusia itu
sendiri. Manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan dalam hidupnya.
Hal ini merupakan fitrah yang mutlak dan tidak bisa dihilangkan dari
setiap manusia.
Islam juga mengatur aktivitas ekonomi tidak hanya untuk
pemeluknya tetapi untuk umat seluruh dunia. Hal ini karena Islam
merupakan agama yang syamil mukammil yaitu agama yang tidak hanya
menyeluruh atau konprehensif tetapi juga universal. Komprehensif berarti
Islam merangkul seluruh aspek kehidupan baik ritual maupun sosial.
Syari'at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-
menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara
pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga
kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan
sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta
barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan
kepadanya.
Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu
kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai sendiri telah ada sejak
zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun tela
mempraktikkannya.
Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih
berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga
yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan
sekarang muncul pula Pegadaian Syariah. Di dalam Islam, pegadaian itu
iv
tidak dilarang, namun harus sesuai dengan Syariát Islam, seperti tidak
memungut bunga dalam praktik yang dijalankan.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian rahn/gadai?
2. Apa dalil Al –Qur’an dan hadits ?
3. Bagaimana hukum rahn/gadai?
4. Apa saja rukun, syarat dan cara transaksi rahn/gadai?
5. Bagaimana transaksi akad rahn/gadai konveksional?
6. Apa perbedaan
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian rahn/gadai
2. Untuk mengetahui dalil Al-Qur’an / hadits
3. Unutk mengetahui hokum rahn/gadai
4. Untuk mengetahui rukun, syarat, dan cara transaksi rahn/gadai
5. Intuk mengetahui transaksi atau akad rahn/gadai konveksional
D.
1
Sharia Economic Law P-issn, ‘Studi Implementasi Akad Rahn ( Gadai Syariah ) Pada Lembaga
Keuangan Syariah’, 1.2 (2018), 174–86.
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rahn/Gadai
Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan
jaminan yang disebut Ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai
tanggungan utang. Ar-rahn menurut bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs
yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa
Rahn adalah terkurung atau terjerat, di samping itu juga Rahn diartikan
pula secara bahasa dengan tetap, kekal, dan jaminan. Rahn menurut istilah
adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan
secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah
ditebus. 2
Gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi
milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis
sehingga pihak yang menahan (murtahin) jaminan untuk mengambil
kembali seluruh utangnya dari barang dimaksud, bila pihak tidak
membayar utang pada waktu yang telah ditentukanan.
Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu
barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai
menurut pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga
dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat
diterima.
Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan
benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang
dapat dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak
dibayar.
Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini
mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan
menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan
2
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1
vi
murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia
menuntut haknya.
Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu
merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang
memiliki nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan marhun
bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.
Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun
bih dalam hal ini gadai syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai
semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik
rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali
dengan seizin rahin tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas,
Zainuddin Ali lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang
diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut:
a. Ulama Syafi'iyah Mendefinisikan Rahn adalah menjadikan suatu
barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari
harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
b. Ulama Hanabilah Mengungkapkan Rahn adalah suatu benda yang
dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya,
bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
c. Ulama Malikiyah Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta
(Mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
d. Ahmad Azhar Basyir Mendefinisikan Rahn adalah perjanjian
menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara'
sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya
tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
e. Muhammad Syafi'i Antonio Mendefinisikan Rahn adalah menahan
salah satu yaitu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan
vii
(marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya.
Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak
yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli
Hukum Islam di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan
barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai
jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima
tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak
dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu,
tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk
menyerahkan harta benda berupa emas, perhiasan, kendaraan dan harta
benda lainnya sebagai jaminan atau agunan kepada seseorang lembaga
pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah.
Barang yang dapat digadaikan, yaitu semua barang bergerak,
seperti barang-barang perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga,
mesin, tekstil, dan lain-lain. Adapun barang yang tidak dapat digadaikan
adalah barang milik pemerintah, surah berharga, hewan dan tanaman,
bahan makanan dan benda yang mudah busuk, benda-benda yang kotor,
benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari satu tempat
ke tempat lain memerlukan izin, barang yang karena ukurannya yang
besar, maka tidak dapat disimpan di tempar gadai, barang yang tidak tetap
harganya. 3
3
Herman Surya Siregar and Koko Koirudin, Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2019).
viii
B. Dalil dalam Al-Qur’an dan hadits
Dalil hukum yang menjadi landasan gadai adalah ayat-ayat Al-
Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW, dan Ijma’ ulama’. Hal ini
diungkapkan sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam
membangun konsep gadai adalah sebagai berikut:4
َف ْل َؤ َّل ُك َت ُد ْو َك ًب َف ٰه ٌن َّم ْق ُبْو َض ٌۗة َف ْن َا َو ِا ْن ُك ْنُت ْم َع ٰل ى َس َف َّو َل ْم
ِا ِم َن َب ْع ُض ْم َب ْع ًض ا ُي ِّد ا ِذ ى ِج ا اِت ا ِر ٍر
ْك ُت َف َّن ٓٗه ٰا َق ْل ۗٗه ّٰل َّش َۗة َر َّب ۗٗه َو اَل َتْك ُت اْؤ ُت َن َا َم اَنَت ٗه َو ْل َي َّت الّٰل َه
ُم وا ال َه اَد َو َم ْن َّي ْم َه ا ِا ِث ٌم ُب َو ال ُه ِب َم ا ِق ِم
َت ْع َم ُل ْو َن َع ْيٌم
ِل
Artinya:”Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak
mendapatkan seorang penulis, maka hendaknya ada barang jaminan
yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya.
Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena barang
siapa menyembunyikannya, ungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah: 283)
Syekh Muhammad Ali As-Sayis berpendapat bahwa ayat
tersebut merupakan petunjuk bagi umat islam untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian ketika hendak melakukan transaksi utang-
piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain. Caranya
dengan menjaminkan (gadai)sebuah barang kepada orang yang
berpitang. Selain itu, ketika transaksi dilakukan dalam perjalanan
(musafir), maka transaksi harus dicatat da nada saksi dari transaksi
tersebut.
b. Hadits Nabi Muhammad SAW
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam
membuat rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad
saw. yang antara lain diungkapkan sebagai berikut.5
4
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 3
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Mekar Surabaya: 2004), h. 71
ix
1) Hadis A'isyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
yang berbunyi:
َث َن َث َن
تذاكرنا عند إبراهيم: َح َّد ا َم سَّد ٌد َح َّد ا عبد الواحد حدثنا األعمش قال
َح َّد َث َن ا األسود عن َع ا ِع َش َة َر ِض َي:الرهن والَق يَل من الَّس َل ِف َف َق ال إبراهيم
ِب
َّل ْش َت َل َّل َأ َّل
ال ُه َع ْن َه ا َّن النبَّي َص ى ُهللا َع ْي ِه َو َس َم ا رى ِم ْن َي هودي طعاما إلى أجل ورهنه
درعه
2) Hadis dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah yang berbunyi:
ُه َل َق ْد َر َه َن َر ُس وَل الَّل َص َّل ى ُهللا َع َل ْي َو َس َّل ُم ْر َع ُه ْنَد َي: َع ْن َأ َن َق اَل
وِد ِّي ِع ِد ِه ِه ِس
َش َف َأ َخ َذ َأِل
ْه ِل ِه ِم ْنُه ِع ير بلمدينة
x
digadai boleh ditungggangi sesuai biayanya, dan susu
hewan boleh diminum apabila digadaikan."(HR. Bukhari)
4) Hadis riwayat Ibnu Majah, yang berbunyi:
ْب ُن ُمْلْخ َت َع ْن ْس َح َق ْب حد ثنا ُم َح َّم ُد ْب ُن ُح ْي َح َّد َن ْب
ِإ ا ِن راِش ٍد. َ ث ا ِإ َر اِه يُم ا اِر. َم ٍد
َع الُّز ْه َع ْن َس ي ْب اُمْلَس َع ْن َأ ي ُه َر ْي َر َة َأ َّن َر ُس وَل الَّل َص َّل ى الَّل ُه
ِه ِب ِّي ِب ِع ِد ِن ِر ِّي ِن
اَل َي ْغ َل ُق الَّر ْه ُن: َع َل ْي َو َس َّل ْم َق اَل
ِه
Hadis dari Muhammad bin Humait, hadis dari
Ibrahim bin Muhtar dari Ishaq bin Rasyid, dari Zuhri, dari
Sa'id bin Musayab dari Abi Hurairah, Sesungguhnya
Rasulullah saw. bersabda: "Tidak boleh menyembunyikan
barang gadai.
c. Jumhur Ulama’
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai.
Hal ini dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw.
yang menggadaikian baju besinya untuk mendapatkan makanan
dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari
contoh Nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari
yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada
seseorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi
Muhammad saw, yang tidak mau memberatkan para sahabat yang
biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan
oleh Nabi Muhammad saw, kepada mereka.
C. Hukum Rahn/Gadai
Menggadai barang boleh hukumnya baik di dalam hadlar
(kampung) maupun didalam safar (perjalanan). Hukum ini di sepakati oleh
umum mujtahidin. 8
Jaminan itu tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul. Dan tidak
harus dengan serah terima jika keduanya sepakat bahwa barang jaminan
itu berada di tangan yang berpiutang (pemegang surat hipotik) maka
hukumnya boleh. Dan jika keduanya sepakat barang jaminan itu berada di
tangan seorang adil, maka hukumnya juga boleh. Dan jika keduanya
8
Teuku Muhammad Hasby Shiddieqy, “Hukum-Hukum Fiqih Islam” Semarang PT. Pustaka Rizki
Putri, 1997, h. 362
xi
masing-masing menguasai sendiri maka hakim menyerahkannya kepada
orang yang adil. Semua barang (benda) yang boleh di jual boleh pula
dijaminkan.9
Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh
dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal
barang jaminan itu bisa langsung di pegang/dikuasai (al-qabdh) secara
hukum oleh pemberi hutang. Maksudnya karena tidak semua barang
jaminan dapat dipegang/dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung,
maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin barang
dalam keadaan status al- marhun (menjadi agunan utang). Misalnya
apabila barang itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai (al-
qabdh) surat jaminan tanah.
Para ulama’ sepakat bahwa rahn/gadai diperbolehkan, tetapi tidak
diwajibkan sebab gadai hanya jaminan jika kedua belah pihak tidak saling
mempercayai. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 283 hanyalah
irsyad (anjuran baik saja) kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat
tersebut dinyatakan, yang artinya:
“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya).”(QS.
Al-Baqarah: 283)
Hukum rahn secara umum terbagi menjadi dua yaitu: shahih dan
ghairu shahih (fasid). Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi
persyaratan. Sedangkan Rahn fasid ialah rahn yang tidak memenuhu
persyaratan tersebut.10
D. Rukun, Syarat dan Cara Transaksi Rahn/gadai
1. Rukun rahn/gadai
Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang
sangat terkait dengan akad sebelumnya, yakni akad utang piutang
(Al-Dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak akan mungkin
seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada
9
Hafid Abdullah, “Kunci Fiqih Syafi’i” Semarang, CV. As-syifa’, h. 144
10
Helmi Karim, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2001, h. 139
xii
utang yang dimilikinya. Utang piutang itu sendiri adalah
hukumnya mubah bagi yang berutang dan sunnah bagi yang
mengutangi karena sifatnya menolong sesama. Hukum ini bisa
menjadi wajib manakala orang yang berutang benar-benar sangat
membutuhkannya. Dalam menjalankan gadai syariah harus
memenuhi rukun gadai syariah, rukun gadai tersebut adalah:
a. Ar-Rahn (yang menggadaikan)
b. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
c. Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
d. Al-marhun bih (utang)
e. Sighat, Ijab, dan Qabul.11
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan
transaksi gadai pada dasarnnya berjalan di atas dua akad transaksi
yaitu:
1) Akad Rahn,
Yang dimaksud adalah menahan harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pimjaman yang
diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dalam akad gadai syariah disebutkan bila
waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui
agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin.
2) Akad Ijarah
Merupakan akad pemindahan hak guna atas barang
dan atau jasa melalui upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui
akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk sewa atas
11
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Ekonisia,
Yogayakarta: 2003), h. 160.
xiii
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah
melakukan akad.12
Menurut Sayyid Sabiq, bahwa gadai itu baru dianggap sah
apabila memenuhi empat syarat yaitu:
a) Orangnya sudah dewasa
b) Berfikiran sehat
c) Barang yang digadaikan sudah ada saat terjadi akad gadai
d) Barang gadaian dapat diserahkan atau dipegang oleh
penggadai barang atau benda yang dijadikan jaminan itu
dapat berupa emas.13
Jika semua ketentuan di atas terpenuhi, sesuai dengan
ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan
tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah. Harta yang diagunkan
disebut al-marhun (yang diagunkan). Harta agunan itu harus
diserahterimakan oleh ar-rahi Dengan serah terima itu agunan akan
berada dibawah al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk yang
bisa pindah seperti kulkas dan barang elektronik, perhia
semisalnya, maka serah terimanya adalah sesuatu dari harta itu,
yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan
al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak,
seperti rumah, tanah, lahan sawah, dan lain-lain.14
Sedangkan Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan
rukun, menurut jumhur ulama, rukun rahn ada 4 (empat), yaitu:
Shigat (lafadz ijab dan qabul)
Orang yang berakad (rahin dan murtahin)
Harta yang dijadikan marhun dan
Utang (marhum bih)
12
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Ekonisia,
Yogayakarta: 2003), h. 161
13
Heri Sudarsono, Ibid. 162
14
Heri Sudarsono, Ibid. h. 16
xiv
Ulama Hanabilah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab
(pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang)
dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima
barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih
sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh
(penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin,
marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan
rukunnya.15
2. Syarat rahn/gadai
a. Syarat Rahin dan Murtahin
Syarat yang terkait dengan orang yang berakad,
adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama
Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja.
Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan
antara yang baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn,
dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya.
Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi yang berakad adalah
ahli tasharuf, artinya membelanjakan harta dan dalam hal
ini memahami persoalan yang berkaitan dengan rahn.16
b. Syarat Sight (Lafadz)
Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak
boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa
yang akan datang, karena akad rahn itu sama dengan akad
jual- beli. Apabila akad itu dibarengi dengan, maka
syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin
mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih telah
habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu
diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun itu boleh
murtahin manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan
15
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Ekonisia,
Yogayakarta: 2003), h. 16
16
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Cet. 1 Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002), h. 255
xv
Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang
mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu
dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan
tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam
contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan
tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat
yang dibolehkan itu misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak
murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh 2 (dua) orang
saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan
bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh
tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.17
c. Syarat Marhun Bih (Utang)
1) Merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepadamurtahin
2) Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu
3) Marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu
4) Memungkinkan pemanfaatan
5) Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung
jumlahnya.18
d. Marhun (Benda Jaminan Gadai)
1) Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang
denga marhun bih
2) Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan
(halal) tertentu
3) Marhun itu jelas dan tertentu
4) Marhun itu milik sah rahin
5) Marhun itu tidak terkait dengan hak orang lain
6) Marhun itu merupakan harta yang utuh, tidak
bertebaran dalam Beberapa tempat
17
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Cet. 1 Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002), h. 256
18
Nasrun Haroen, Ibid. h. 257
xvi
7) Marhun itu boleh diserahkan, materinya maupun
manfaatnya.19
3. Cara transaksi rahn/gadai
Mekanisme operasional gadai syariah sangat penting untuk
diperhatikan, karena jangan sampai operasi gadai syariah tidak
efektif dan efisien. Mekanisme operasional gadai Syariah haruslah
tidak menyulitkan calon nasabah yang akan meminjam uang atau
akan melakukan akad utang-piutang.
Akad yang dijalankan termasuk jasa dan produk yang dijual
juga harus berlandaskan syariah (Al-Qur'an, Al- Hadist, dan Ijma
Ulama), dengan tidak melakukan kegiatan usaha yang mengandung
unsur riba, maisir, dan gharar. Oleh karena itu, pengawasannya
harus melekat, baik internal terutama keberadaan Dewan Pengawas
Syariah (DPS) sebagai penanggung jawab yang berhubungan
dengan aturan syariahnya maupun eksternal pegadaian syariah,
yaitu masyarakat Muslim utamanya, serta yang tidak kalah
pentingnya adanya perasaan selalu mendapatkan pengawasan dari
yang membuat aturan syariah itu sendiri, yaitu Allah Swt.
Pedoman Operasional Gadai Syariah (POGS) perum
pegadaian, pada dasarnya dapat melayani produk dan jasa sebagai
berikut:
a. Pemberian pinjaman/pembiayaan atas dasar hukum gadai
syariah, Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai
syariah berarti mensyaratkan pemberian pinjaman atas
dasar penyerahan barang bergerak oleh rahin.
Konsekuensinya bahwa jumlah pinjaman yang diberikan
kepada masing-masing peminjam sangat dipengaruhi oleh
nilai barang bergerak dan tidak bergerak yang akan di
gadaikan.
b. Penaksiran Nilai Barang,
19
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Cet. 1 Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002), h. 258
xvii
Pegadaian syariah dapat memberikan jasa
penaksiran atas nilai suatu barang. Jasa ini dapat diberikan
gadai syariah karena perusahaan ini mempunyai peralatan
penaksir, serta petugas yang sudah berpengalaman dan
terlatih dalam menaksir nilai suatu barang yang akan
digadaikan. Barang yang akan ditaksir pada dasarnya,
meliputi semua barang bergerak dan tidak bergerak yang
dapat digadaikan. Jasa taksiran diberikan kepada mereka
yang ingin mengetahui kualitas, terutama perhiasan, seperti:
emas, perak, dan berlian. Masyarakat yang memerlukan
jasa ini, biasanya dengan ingin mengetahui nilai jual wajar
atas barang berharganya yang akan dijual. Atas jasa
penaksiran yang diberikan, gadai syariah memperoleh
penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos penaksiran).
c. Penitipan Barang (Ijarah)
Penggadaian syariah dapat menyelenggarakan jasa
penitipan barang (ijarah), karena perusahaan ini
mempunyai tempat penyimpanan barang bergerak, yang
cukup syariah, terutama digunakan menyimpan barang
yang digadaikan. Mengingat gudang dan tempat
penyimpanan lain ini tidak selalu dimanfaatkan penuh,
maka kapasitas menganggur tersebut dapat dimanfaatkan
untuk memberikan jasa lain, berupa penitipan barang. Jasa
titipan/penyimpanan, sebagai fasilitas pelayanan barang
berharga dan lain-lain agar lebih aman, seperti: barang/surat
berharga (sertifikat motor, tanah, ijasah, dll).20
d. Gould Counter Gerai Emas
Yaitu tempat penjualan emas yang menawarkan
keunggulan kualitas dan keunggulan. Gerai ini mirip
dengan gerai emas Galeri 24 yang ada di pegadaian
20
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta), 2011, h. 154
xviii
konvensional. Emas yang di jual di gerai ini dilengkapi
dengan sertifikat jaminan, sehingga dapat memikat warga
masyarakat kalangan menengah keatas.
Jasa ini menyediakan fasilitas tempat penjualan emas
eksekutif yang terjamin sekali kualitas dan keasliannya,
Gould counter ini semacam toko gerai emas 24, setiap
perhiasan masyarakat yang dibeli ditoko perhiasan
pegadaian akan dilampiri sertifikat jaminan, untuk
mengubah image dengan mencoba menangkap pelanggan
kelas menengah keatas. Dengan sertifikat itulah masyarakat
akan merasa yakin dan terjamin keaslian dan kualitasnya
dan lain-lain.
E. Transaksi Akad Rahn/gadai Konveksional
Gadai konvensional merupakan praktik gadai yang umum
dilakukan masyarakat. Sebelum mengajukan gadai konvensional, barang
jaminan akan ditaksir terlebih dahulu sebelum pinjaman disetujui. Setelah
pinjaman disetujui, nasabah menandatangani perjanjian mengenai batas
waktu pengembalian dana pinjaman beserta bunga yang harus dibayarkan.
Saat orang meminjam ke Pegadaian konvensional, tentunya akan
dikenakan biaya dan bunga dari pinjamannya. Serupa dengan perbankan,
bunga Pegadaian juga relatif bervariasi. Bunga pinjaman di Pegadaian
konvensional bisa berbeda-beda setiap nasabah karena disesuaikan dengan
besaran pinjaman, jenis kredit, dan tenor yang dipilih oleh nasabah.
Akad gadai syariah disesuaikan dengan bentuk pinjaman debitur.
Misalnya, akad rahn, ijarah, qardh, hasan, mudharabah, ba’I muqayyadah,
dan musyarakah. Sedangkan gadai konvensional hanya menerapkan utang
piutang dan penyerahan barang jaminan. Akad gadai konvensional hampir
sama dengan gadai syariah yaitu dengan akad hasan dan akad ijarah.
Tetapi didalam teknisnya terdapat perbedaan yaitu adanya
pemungutan bunga yang dilakukan di pegadaian konvensional, yang
menurut hukum Islam adalah riba. Sehingga bisa dikatakan praktek yang
xix
dilakukan dipegadaian konvensional tersebut masih terdapat unsurunsur
yang dilarang oleh Islam sedangkan dalam sistem gadai syariah
menggunkan sistem bagi hasil tetapi dalam pelaksanaan prinsip syariahnya
belum dibarengi dengan ketentuan-ketentuan yang murni dari ajaran
Islam. Secara administrasi peratuan dalam pegadaian syariah sebagian
mengadopsi dari peratuaran-peraturan perum pegadaian dan sebagian yang
lain mengadopsi dari ajaran-ajaran islam.21
Berikut merupakan produk pegadaian konvensional :
1. Gadai Emas
Gadai emas adalah produk Pegadaian konvensional yang
bisa dibilang paling populer karena paling banyak dipilih
nasabah. Sesuai namanya, nasabah meminjam uang ke
Pegadaian dengan menggadaikan aset berupa emas sebagai
jaminan atau barang gadai, baik berupa emas perhiasan
maupun produk emas batangan murni 24 karat. Selain
bunga atau sewa modal, nasabah juga akan dikenakan biaya
administrasi yang besarannya disesuikan dengan plafon
pinjaman yang dipilih nasabah.
2. Gadai Tabungan Emas
Pegadaian Gadai Tabungan Emas adalah pemberian kredit
dengan sistem gadai yang diberikan ke seluruh golongan
nasabah untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif
dengan jaminan titipan emas (saldo Tabungan Emas) yang
ada di Pegadaian. Sesuai namanya, yang jadi barang
jaminan adalah saldo tabungan emas milik nasabah.
Tabungan Emas Pegadaian adalah layanan penitipan saldo
emas yang memudahkan masyarakat untuk berinvestasi
emas. Produk Tabungan Emas Pegadaian memungkinkan
21
Zeni Rosyidah, Studi Komparatif Sistem Gadai Antara Gadai Konvensional Dan Gadai Syariah
(Rahn) Dalam Perspektif Hukum Islam, IAIN Tulung Agung.
xx
nasabah melakukan investasi emas secara mudah, murah,
aman dan terpercaya.
3. Gadai Non-Emas
Gadai non-emas adalah fasilitas menggadaikan barang
selain emas untuk mendapatkan pinjaman di Pegadaian.
Barang yang digadaikan antara lain gadget, barang
elektronik, maupun barang rumah tangga lainnya.
4. Gadai Kendaraan
Pegadaian Gadai Kendaraan adalah kredit dengan sistem
gadai untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif dengan
barang jaminan berupa kendaraan bermotor baik kendaraan
roda dua maupun roda empat.
Persamaan dan Perbedaan Gadai Syariah dan Konvensional
Persamaan Perbedaan
Hak gadai atas Gadai (rahn) dalam hokum islam dilakukan
pinjaman uang secara suka rela atas dasar tolong-menolong
tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai
menurut hukum perdata disamping
berprinsip tolong-menolong juga menarik
keuntungan dengan cara menarik bunga.
Adanya agunan Dalam hukum perdata hak gadai hanya
sebagai jaminan berlaku pada benda yang bergerak saja,
utang sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku
pada seluruh benda, baik benda/harta
bergerak maupun tidak bergerak.
Tidak boleh Gadai rahn tidak ada istilah bunga.
mengambil manfaat
dari barang yang
digadaikan tersebut
xxi
Biaya yang Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan
digadaikan melalui suatu lembaga yang di Indonesia
ditanggung oleh para yang disebut Perum Penggadaian, rah
pemberi gadai menurut hukum Islam dapat dilaksanakan
tanpa melalui suatu lembaga.
Apabila batas waktu
pinjaman uang habis,
barang yang
digadaikan boleh
dijual atau dilelang
xxii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi
milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis
sehingga pihak yang menahan (murtahin) jaminan untuk mengambil
kembali seluruh utangnya dari barang dimaksud, bila pihak tidak
membayar utang pada waktu yang telah ditentukanan.
Para ulama’ sepakat bahwa rahn/gadai diperbolehkan, tetapi tidak
diwajibkan sebab gadai hanya jaminan jika kedua belah pihak tidak saling
mempercayai.
Mekanisme operasional gadai syariah sangat penting untuk
diperhatikan, karena jangan sampai operasi gadai syariah tidak efektif dan
efisien. Mekanisme operasional gadai Syariah haruslah tidak menyulitkan
calon nasabah yang akan meminjam uang atau akan melakukan akad
utang-piutang.
Gadai konvensional merupakan praktik gadai yang umum
dilakukan masyarakat. Sebelum mengajukan gadai konvensional, barang
jaminan akan ditaksir terlebih dahulu sebelum pinjaman disetujui. Setelah
pinjaman disetujui, nasabah menandatangani perjanjian mengenai batas
waktu pengembalian dana pinjaman beserta bunga yang harus dibayarkan.
Akad gadai syariah disesuaikan dengan bentuk pinjaman debitur.
Misalnya, akad rahn, ijarah, qardh, hasan, mudharabah, ba’I muqayyadah,
dan musyarakah. Sedangkan gadai konvensional hanya menerapkan utang
piutang dan penyerahan barang jaminan.
Gadai syariah dalam hukum islam dilakukan hak gadai atas
pinjaman uang secara suka rela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari
keuntungan, sedangkan gadai konvensional disamping berprinsip tolong-
menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga.
xxiii
xxiv
DAFTAR PUSTAKA
Sharia Economic Law P-issn, ‘Studi Implementasi Akad Rahn ( Gadai Syariah )
Pada Lembaga Keuangan Syariah’, 1.2 (2018)
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.
Herman Surya Siregar and Koko Koirudin, Fikih Muamalah Teori Dan
Implementasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2019)
Zeni Rosyidah, Studi Komparatif Sistem Gadai Antara Gadai Konvensional Dan
Gadai Syariah (Rahn) Dalam Perspektif Hukum Islam, IAIN Tulung Agung.
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta), 2011,
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Cet. 1 Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002),
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
(Ekonisia, Yogayakarta: 2003),
Hafid Abdullah, “Kunci Fiqih Syafi’i” Semarang, CV. As-syifa’, h. 144
Helmi Karim, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2001
Teuku Muhammad Hasby Shiddieqy, “Hukum-Hukum Fiqih Islam” Semarang
PT. Pustaka Rizki Putri, 1997
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Mekar Surabaya: 2004),
xxv