Makalah Fiqih

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQIH/USHUL FIQIH

QIYAS SEBAGAI SUMBER KEUANGAN ISLAM

Dosen Pengampu: Sholihin Gultom, SHI, MHI.

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Aditya Sundawa (0501233212)

Bunga Agustina (0501232073)

Salsabila (0501223325)

PRODI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah Subhanahu Wata’ala karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul tentang “ Qiyas Sebagai Sumber Keuangan Islam” ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat. kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Medan, 1 April 2024

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Seiring dengan perkembangan zaman, permasalahan tentang hukum-hukum Islam yang
belum pernah ada status hukumnya saling banyak bermunculan. Ketika persoalan atau
masalah-masalah itu muncul, para ulama dan fuqaha mencoba memecahkan persoalan ini
dengan menggunakan al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama dalam menjawab berbagai
persoalan tersebut. Dan ketika al-Quran dan Hadist tidak menjelaskan secara terperinci atas
hukum tersebut, maka para ulama‟ atau fuqaha mencoba untuk melakukan ijtihad sendiri.
Salah satu metode ijtihad yang digunakan oleh para ulama‟ dan fuqaha adalah dengan
menganalogikan secara deduktif terhadap masalah yang belum ada kejelasan hukumnya
dengan permasalahan yang sudah ada ketentuannya dari al-Qu‟an dan Sunnah.
Analogi deduktif ini disebut dengan qiyas. Pada prinsipnya, qiyas memberi pemahaman
kepada para ulama bahwa dua kasus yang berbeda dapat dipecahkan dengan mengacu pada
aturan yang sama. Qiyas merupakan salah satu metode istinbat (menggali) hukum yang populer
di kalangan mazhab Syafi‟i. Dalam urutannya, mazhab Syafi‟i menempatkan qiyas berada di
urutan keempat setelah al-Qur‟an, Hadist, dan Ijmak. Imam Syafi‟i sebagai pelopor mujtahid
yang menggunakan qiyas sebagai satu-satunya jalan untuk menggali hukum, mengatakan
bahwa yang dinamakan ijtihad adalah qiyas. Beliau mengatakan bahwa ijtihad dan qiyas
merupakan dua kata yang memiliki makna yang sama. Artinya, dengan cara qiyas, berarti para
mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuai dengan sumbernya, al-Qur‟an dan
hadist. Sebab, hukum Islam, kadang tersurat jelas dalam nash al-Qur‟an atau hadist secara
eksplisit, kadang juga bersifat tersirat secara implisit. Hukum Islam adakalanya dapat diketahui
melalui redaksi nash, yakni hukumhukum yang secara tegas tersurat dalam al-Qur‟an dan
hadist, adakalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nas, yang
demikian itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.
Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu
peristiwa dengan peristiwa lain dan yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya
persamaan hukum („illat). Dengan adanya persamaan kuasa inilah, maka kasus yang pertama
itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam Syafi‟i sebagai perintis pertama
metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada Qiyas.
Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya
terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu‟, dan „illat.
Persoalan-persolan yang bisa diselesaikan dengan menggunakan sumber qiyas bukan
hanya permasalahan tentang hal yang sifatnya ubudiyah saja, akan tetapi qiyas juga bisa
digunakan sebagai sumber dalam berbagai permasalahan, termasuk diantaranya tentang
masalah perekonomian. Seperti yang sering kita ketahui, perkembangan tentang ekonomi
menjadi angin segar bagi manusia, akan tetapi perkebangan itu pula yang harus dikaji
keabsahannya secara hukum. Karena itulah tulisan ini akan membahas qiyas sebagai salah satu
metode penggalian hukum dalam aspek ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN QIYAS
Kata Qiyas secara etimilogi berarti qadr (ukuran, bandingan. Apabila orang arab
berkata qistu hadza bi dzaka, maka maksudnya saya mengukur ini dengan itu.7 Adapun secara
terminology, terdapat beberapa definisi qiyas yang dirumuskan ulama, diantaranya adalah
Menurut Ibnu As-Subki, menyatakan bahwa Qiyas adalah Menyamakan hukum sesuatu
dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan‟illah hukum menurut mujtahid yang
menyamakan hukumnya. Adapun menurut Wahabah Zuhaili, Qiyas adalah menghubungkan
atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang
ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan „illat antara keduanya,
Dari beberapa definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
qiyas adalah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Diartikan pula sebagai proses pemindahan
hukum yang terdapat pada pokok kepada cabang (dari ashl‟ ke furu‟) karena adanya illat
hukum yang sama, atau adanya illat yang tidak dapat diketahui dengan pendekatan kebahasaan
(logika liguistik). Syarat utama dalam pendekatan anlogi atau qiyas adalah adanya persamaan
illat hukum. Dengan demikian, pendekatan analogis akan lebih mengutamakan logika induktif,
karena dari kasus khusus ke kasus yang sifatnya umum. Dalam qiyas terdapat proses
generalisasi, sehingga memerlukan penalaran yang serius dan proses analisis ke berbagai sudut
pandang, pemaknaan bahasa, pemahaman peristiwa asal, dan sifat-sifat hukum yang
dikategorikan memiliki indikasi yang serupa.
Qiyas merupakan penerapan hukum analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa
karena prinsip persamaan „illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Oleh karenannya,
sebagaimana yang diungkapkan Abu Zahrah, asas Qiyas menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan
analogis itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah
tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkannya.

DASAR HUKUM PENGGUNAAN QIYAS


Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil syara‟, muhammad abu zahrah
membagi menjadi 3 kelompok:
1. Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil hukum syara‟. Mereka
menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukunya dalam nash alqur‟an dan
sunnah dan ijma‟ ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak
melampaui batas kewajaran.
2. Kelompok ulama zhahiriyah dan syi‟ah dan imamiyah yang menolak penggunaan qiyas
secara mutlak. Zahiriah juga menolak penemuan „ilat atas suatu hukum dan
menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara‟.
3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara mudah mereka pun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan „ilatdiantara keduanya: kadang-
kadang memberikan kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas sehingga qiyas itu dapat
dapat membatasi keumuman sebagian ayat alqur‟an dan sunnah.11 Dalil yang
dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil hukum syara‟:

1. Al-Qur'an Qs An-Nisa’: 59
Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana di pahami dari beberapa ayat alquran
seperti dalam surat An-Nisa:

َ ٰٓ‫ٰٓم ْن ُك ْمٰٰٓٓفَا ِْنٰٓتَنَازَ ْعت ُ ْمٰٓفِ ْي‬


ُٰٓ‫ش ْيءٍ ٰٓفَ ُرد ُّْوه‬ ْ ‫َٰٓواُو ِل‬
ِ ‫ىٰٓاْلَ ْم ِر‬ َ ‫س ْول‬ ُ ‫وآٰالر‬
َّ ُ‫ٰٓوا َ ِط ْيع‬ َٰٰٓ ُ‫ٰٓيا َ ُّي َهآٰالَّ ِذيْنَ ٰٓآٰ َمنُ ْٰٓوآٰا َ ِط ْيع‬
َ ‫وآّٰللا‬
ٰٓ ً ‫س ُنٰٓتَأ ْ ِوي‬
‫ْل‬ َ ْ‫ٰٓواَح‬ ْ ‫اّللٰٓ َو ْال َي ْو ِم‬
َّ ‫ٰٓاْلٰٓ ِخ ِٰٓرٰٓذٰٓلِكَ ٰٓ َخي ٌْر‬ ِٰٰٓ ‫س ْو ِلٰٓا ِْنٰٓ ُك ْنت ُ ْمٰٓتُؤْ ِمنُ ْونَ ٰٓ ِب‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ٰٓو‬ ِٰٰٓ َ‫اِل‬
َ ‫ىّٰٓللا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.” (Q.S An-Nisa‟: 59).
Penjelasan ayat itu diantaranya dapat dilihat dalam keterangan yang diriwayatkan dari tsalab.
Ia berkata bahwa al-„itibar dalam bahasa arab berarti mengembalikan hukum sesuatu kepada
yang sebanding dengannya. Ia dinamai “ashal” yang kepadanya dikembalikan bandingannya
secara ibarat.
2. Hadist
Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang
dikemukakan sahabat kepadanya, seperti: "Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah
Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar
melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal
dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar,
laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu
kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada
manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam
keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk
menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya
kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya
wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan
hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada
Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW
menggunakan qiyas aulawi.
3. Perbuatan Sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut
para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang
lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu
beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam
shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala
pemerintahan.
4. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap
peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash
sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini
sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya
diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum
dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

UNSUR-UNSUR QIYAS (RUKUN QIYAS)


Rukun Qiyas Qiyas yang merupakan salah satu sumber hukum mempunyai beberapa
rukun. Adapun Rukun Qiyas yang disepakati oleh para ulama fiqh ada empat macam:
1. Ashl, seacara bahasa ashl merupakan lafaz musytarok yang bisa diartikan asas, dasar,
sumber, dan pangkal. Sedangkan yang dimaksud ashl dalam pembahasan qiyas ini
adalah kasus lama yang dijadikan obyek penyerupaan atau kasus yang sudah ada
ketetapan hukumnya secara tekstual dalam nash maupun ijma‟. Artinya ashl
merupakan tempat atau kejadian atau kasus yang dijadikan sebagai ukuran,
pembanding atau disamai.17 Sebagai salah satu rukun qiyas, Ashl juga harus memenuhi
beberapa syarat yaitu:
a. Hukum Ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak kemungkinan dinaskh-
kan.
b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara‟ bukan akli. Karenan apa-apa yang
ditetapkan memlalui jalur akli dan lugawi bukan hukum syara‟ yang bisa dijadikan
qiyas.
c. Ashl itu bukan merupakan far‟u dari ashl lainnya. Artinya, ketetapan hukum pada
Ashl bukanlah berdasarkan qiyas, melainkan dikarenakan ada nash ataupum ijma‟
d. Dalil yang menetapkan „Illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum.
e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
f. Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas. Artinya, qiyas tidak boleh
keluar dari kaidah umum dan menjadi pengecualian. Sebab, jika ia keluar dari
kaidah umum, maka otomatis ashl tersebut tidak bisa dijadikan sandaran qiyas.

2. Far‟u, disebut juga musyabbah atau yang diserupakan, maqis atau diqiyaskan. Secara
etimologis, far‟u berarti cabang. Sedangkan dalam kontwk qiyas, far‟u diartikan
sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada ashl karena tidak ada nash yang secara
jelas menyebutkan hukumnya. Maka dari itu far‟u akan diproses untuk disamakan ashl.
Sebagaimana far‟u juga memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi yakni:
a. Far‟u belum ditetapkan hukumnya berdasarkan nash ataupun ijma‟. Sebab, qiyas
tidak berlaku bagi pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya.
b. Ditemukan „illat ashl pada far‟u. kadar kesamaan „illat ini haruslah sempurna.
Keduanya harus sama persis baik dari segi substansinya ataupun jenisnya.
c. Kadar „illat yang terdapat pada far‟u tidak boleh kurang dari kadar „illat yang
terdapat pada ashl. Yakni, setidaknya „illat yang terdapat pada far‟u sama dengan
„illat pada ashl dengan tanpa ada selisih pada kekurngannya.
d. Dalam far‟u tidak ditemukan adanya sesuatu yang lebih kuat atau seimbang yang
menentang atau menghalang-halangi untuk disamakan dengan hukum ashl.
e. Hukum pada far‟u tidak mendahului ketetapan hukum ashl.

3. Hukmu al-ashl (hukum asal), yang dimaksud hukmu al-ashl adalah hukum atas suatu
peristiwa yag sudah ditetapkan didalam nash dan dikehendaki untuk menentapka
hukum itu kepada cabangnya. Adapun syarat yang harus dipenuhi hukmu al-ashl
sebagai berikut:
a. Hukum asal itu adalh hukum syara‟ yang masih berhubungan dengan amal
perbuatan manusia.
b. Hukum asal yang terdapat didalam nash dapat dilacak „illat hukumnya, misalnya,
kahmr dapat dilacak „illat hukumnya yaitu memabukkan dan bisa merusak akal
pikiran.
c. Harus berupa hukum yang ma‟qul (rasional/dapat dicerna akal pikiran) sebab dan
alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab
itu. Sebaiknya, hukum yang tidak rasional yang tidak mampu ditangkap sebab-
sebabnya oleh akal, seperti hukum tentang tayammum dan jumlah rakaat sholat,
maka tidak berlaku qiyas.

4. Al-illah, yang dimaksud al-illah dalam konteks qiyas adalah suatu sifat yang empirik
atau nyata kebenarannya yang terdapat pada peristiwa asal. Agar suatu al-„illah sah,
dijadikan sebagai landasan qiyas harus memenuhi beberapa syarat, yakni:
a. Illah yang dijadikan landasan memiliki kesesuaian dengan maqasyid syariah (tujuan
hukum)
b. Harus kongkret tidak samar-samar, tidak spekulatif.
c. Harus berupa sesuatu yang bisa dijadikan bentuk, jarak atau kadar timbangannya
jika berupa barang yang dihitung sehingga tidak jauh berbeda dengan
pelaksanaannya.

PEMBAGIAN QIYAS
Pembagian Qiyas dalam hubungannya dengan keberadaan ‘illat, dapat dilihat dari dua
aspek, pertama aspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’ dan kedua aspek jelas dan tidaknya
‘illat.
1. Aspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’, bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian :
a. Qiyas Aulawi, yaitu Qiyas dimana ‘illat pada far’ lebih kuat dari ‘illat pada hukum
ashal. Contoh dalam surat al-Zalzalah : 6-7, Dalam ayat ini ditemukan hukum pujaan
dan celaan bagi orang yang berbuat baik dan berbuat baik sebesar dzarrah saja, yaitu
pada :
• Ashal, pada ashal ditemukan ‘illat pada hukum pujaan dan celaan bagi orang yang
beramal baik dan buruk sebesar dzarrah saja.
• Far’, pada far’ ditemukan ‘illat pada hukum beramal baik yang lebih besar dan
beramal jelek yang lebih berat dari sebesar dzarrah yang ada pada ashal.
• ‘Illat-nya adalah pujaan dan celaan.
• Logikanya adalah amal baik yang lebih besar dari dzarrah berstatus lebih terpuja
dan amal jelek yang lebih besar dari sebesar dzarrah berstatus lebih celaka.

Contoh dalam hadits riwayat Imam Muslim, sabda Rasulullah “sesungguhnya Allah
mengharamkan darah orang mukmin dan berprasangka kepadanya kecuali dengan
prasangka baik”. Jika berprasangka buruk terhadapnya dengan tetap menunjukkan
sikap-sikap permusuhan, maka hukumnya tentu lebih berat.
• Ashal, pada ashal ditemukan ketentuan hukum haram dalam bentuk larangan
berburuk sangka, tetapi tidak ada sikap permusuhan.
• Far’, pada far’ ditemukan hukum haram dalam bentuk berburuk sangka, tapi disertai
dengan sikap-sikap permusuhan.
• ‘Illat-nya adalah keimanan, sedang fungsi keimanannya sebagai pelindung dari
tindakan berburuk sangka kepada orang lain, sekalipun tidak disertai sikap
permusuhan.
• Logikanya adalah hukum larangan arau keharaman yang ada pada far’ dalam
berburuk sangka yang diikuti sikap permusuhan lebih kuat dan lebih besar dari
ashal.
b. Qiyas Musawi, yaitu Qiyas dimana ‘illat pada hukum far’ sama dengan ‘illat pada
hukum ashal. Contoh dalam surat an-Nisa : 25, “...tapi jika mereka telah kawin, jika
melakukan perbuatan keji, maka hukumannya seperdua hukuman wanita yang telah
kawin.” Ayat ini sebagai contoh kasus pezina wanita yang bertsatus budak, yang
hukumannya separo dari hukuman pezina wanita yang berstatus merdeka. Jika terjadi
kasus pezina laki-laki yang berstatus budak, maka kasus ini dapat diqiyaskan kepada
kasus pezina wanita yang berstatus budak, sebab ber’illat sama, yaitu :
• Ashal, ‘illatnya adalah status budak pada pezina wanita.
• Far’, ‘illatnya adalah status budak pada pezina laki-laki.
• Logikanya adalah lantaran keduanya sama-sama menjadi pelaku perzinaan dan
berstatus budak, maka hukuman keduanya sama, yaitu seperdua dari hukuman
pezina yang berstatus merdeka.
c. Qiyas Adna, yaitu Qiyas dimana ‘illat pada hukum far’ kurang jelas dari ‘illat pada
hukum ashal. Contoh perasan buah-buahan seperti anggur yang diqiyaskan dengan
khamr, illatnya adalah :
• Ashal, kuatnya ‘illat memabukan pada khamr.
• Far’, lemahnya ‘illat memabukkan pada perasan buah-buahan lainnya.
• Logikanya adalah kuatnya ‘illat memabukkan pada perasan buahbuahan lain lebih
ringan daripada illat memabukkan pada khamr.
2. Aspek jelas dan tidaknya ‘illat, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian :
a. Qiyas Ma’na atau Qiyas fi Ma’na Ashliy, yaitu Qiyas di mana ashalnya satu nash,
karena fr; semakna dengan ashalnya.
Makna dan tujuan hukum furu’ sudah tercakup dalam kandungan hukum ashal,
sebagaimana tiga macam Qiyas di atas. Kandungan hukum furu’ sudah merupakan
bagian dari pengertian hukum ashal. Oleh sebab itu, korelasi antara keduanya jelas dan
tegas.
b. Qiyas Syabah, yaitu Qiyas yang hukum far’nya dapat diketahui dengan cara
mengqiyaskannya pada salah satu dari beberapa ashal dalam beberapa nash yang
keadaannya lebih mirip dengan far’. Dalam masalah ini, seorang mujtahid harus
menentukan unsur dan hukum asal yang lebih dekat serta lebih sesuai dengan tujuan
pembuat hukum.
Sebagai contoh ialah minuman yang terbuat dari perasan tebu. Kalau ingin
mengetahui hukumnya, kita harus kembali kepada sumber hukum asal. Dalam hal ini
terdapat beberapa hukum asal yang bisa menjadi sandaran. Apakah kepada khamr
dengan pertimbangan pada tahap tertentu memabukkan atau kepada minuman biasa
yang mubah dengan pertimbangan bahwa menurut tabiatnya, perasan tebu tidak
memabukkan.

IMPLEMENTASI QIYAS DALAM EKONOMI KEUANGAN ISLAM


Dinamika akad-akad dalam ekonomi islam khususnya dalam keuangan kontemporer
mengalami perkembangan dan inovasi. Oleh karenanya, dibutuhkan kejelian dalam menelisik
dan merumuskan epistimologinya. Dalam konteks ini, para praktisi perbankan syariah berusha
kreatif dalam menawarkan produk-produk akad syariah. Salah satu dari sekian aplikasi konsep
Qiyas dalam dunia ekonomi islam antara lain.
1. Mengqiyaskan sewa-menyewa dengan jual beli. Menurut Sahroni, para ulama
menyamakan antara sewa-menyewa (ijarah) dengan jual beli. Kesamaan antara
keduanya adalah sama-sama jual. Yang berbeda adalah objeknya, tetapi dari sisi akad
adalah sama. Jual beli terletak pada objeknya adalah barang sedangkan sewa menyewa
objeknya adalah jasa/manfaat. Dengan demikian, ketentuan yang mengatur jual beli
juga berlaku pada sewa menyewa.
2. Mengqiyaskan Ajir (orang yang menyewakan tenaganya) dengan al-wakil bil urjah
(orang yang diberikan wewenang dengan imbalan upah). Keduanya sama-sama
memperoleh upah sekalipun keduanya memiliki karakteristik dasar yang berbeda dan
keduanya sama-sama disebut akad lazim. Dengan demikian, ketentuan bolehnya
mengambil imbalan fee yang berlaku pada ajir berlaku juga pada al-wakil bil urjah,
yaitu bahwa orang yang diberi wewenang boleh mengambil upah sebagai imbalan atas
jasanya.
3. Mengqiyaskan khiyar naqd dengan khiyar syarth. Keduanya bisa diqiyaskan karena
memiliki „illat yang sama, yaitu syarat yang membolehkan untuk membatalkan jual
beli. Dalam buku-buku fiqih, yang disebut dengan khiyar naqd adalah seorang penjual
mensyaratkan kepada pembeli untuk membayara dalam jangka waktu tertentu sesuai
yang disepakati. Kata penjual kepada pembeli, jika pembeli tidak bisa membayar sesuai
dengan yang disepakati, maka tidak terjadi jul beli. Sedangkan khiyar syarth adalah
seorang penjual memberikan persyaratan jangka waktu pembayaran kepada pembeli
jika bermaksud membelinya. Pada keduanya ada kesamaan, yaitu sama-sama
memberikan kesempatan untuk berfikir dan memutuskan untuk membeli atau tidak.
Oleh karena itu, ketentuan yang berlaku pada khiyar naqd juga berlaku pada khiyar
syarth.
4. Qiyas bunga bank terhadap praktik riba. Memahami bunga bank dari aspek legal dan
formal dan secara induktif, berdasarkan pelanggaran riba yang diambil dari teks nash,
dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini,
beerpegang pada konsep bahwa setiap utang piutang yang disyaratkan adanya
tambahan atau manfaat modal adalah riba, meskipun tidak berlipat ganda. Oleh karena
itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap hukumnya haram. Karena berdasarkan
teori qiyas, dan dalam hal ini praktik riba sebagai ashl dan bung bank sebagai furu‟
keduanya, disatukan dalam „illat yang sama yaitu adanya tambahan atau bunga tampa
disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank hukumnya haram sebagaimana
diharamkannya riba.
5. Qiyas dalam sistem pertukaran uang (money changer), salah satu bentuk penerapan
sumber hukum islam pada transaksi money changer yang sesuai dengan menggunakan
ushul fiqih, yakni qiyas, qiyas adalah suatu usaha untuk mengategorikan suatu makna
(cabang) kepada makna lain (pokok), karena makna cabang itu ada kemiripannya
dengan makna pokok, kemudian diproyeksikan, baik sifat illat hokum cabang tersebut
lebih utama atau serupa.
Kegiatan transaksi money changer dianalogikan dengan pertukaran gandum dengan
barang sejenis pada masa Rasulullah SAW, yang transaksinya dilakukan dengan tunai.
“juallah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan
syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus sama dengan
sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan
dengan secara tunai”.
Dan hal-hal yang dapat menimbulkan riba adalah jika seseorang menjual benda
yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu
dari dua macam mata uang, emas dan perak dengan sejenis atau bahan makanan seperti
beras dengan beras, gabah dengan gabah dan lainnya maka disyaratkan:
1. Sama nilainya (tamasul)
2. Sama ukurannya menurut syara‟, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya.
3. Sama-sama tunai (taqabut) di majis akad.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Qiyas adalah sumber hukum keempat dalam Islam, terlepas dari pertentangan yang
terjadi di kalangan ulama tentang kehujjahan Qiyas, metode pengambilan hukum ini
memberikan ruang jalan yang lebar bahwa seluruh persoalan yang kita hadapi bisa dicarikan
dasar hukumnya. Dengan cara ini berarti tidak ada alasan bagi kita untuk membiarkan sesuatu
tanpa kejelasan hukum. Meski hal ini menjadi alasan bagi kalangan yang menolak Qiyas, meski
mendasarkan penolakannya kepada firman Allah SWT., tapi secara logika pula tidak mungkin
sesutau dibiarkan tanpa keputusan hanya karena masalah itu idak terbahas dalam nash. Meski
demikian, metode Qiyas sebagai sumber hukum keempat harus tetap mengedepankan
ketetapan yang ada pada tiga sumber hukum sebelumnya. Menilik pada macam-macam ‘illat,
maka penggalian hukum lewat jalan Qiyas, harus dilaksanakan secara betul. Tidak bisa secara
gegabah kita mengatakan ‚dengan megqiyaskan kepada…‛ atau‚ seperti yang ada pada…..‛
dan sejenisnya, karena ini menyangkut penetapan suatu hukum.
Dinamika perkembangan dan inovasi akad-akad keuangan syariah dalam ekonomi
Islam, tentunya akan semakin bertambah modelnya sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh
karenanya, menjadi tantangan yang harus dijawab oleh para sarjana muslim agar tidak menjadi
kerisauan bagi ummat ketika aplikasi akad-akad keuangan syariah tersebut dikemas secara
modern sehingga dalam satu sisi harus menggunakan metode Qiyas untuk menentukan status
hukumnya. Proyek mulia ini, misalnya, dapat dirumuskan dalam ensiklopedi akad-akad
keuangan syariah kontemporer yang menggunakan metode Qiyas dalam menentukan ashl dan
furu’-nya perspektif hukum Islam.
Qiyas adalah cara menetapkan hukum atas suatu kasus atau peristiwa yang belum
disebut di dalam nash dengan cara menyamakannya dengan kasus atau peristiwa yang
penetapannya sudah ada dalam Al-Qur‟an maupun Hadist. Adapun Rukun Qiyas menurut para
ulama fiqh menetapkan ada empat macam: (1) Ashl, seacar bahasa merupakan lafaz musytarok
yang bisa diartikan asas, dasar, sumber, dan pangkal. (2) Far‟u, disebut juga musyabbah atau
yang diserupakan, maqis atau diqiyaskan. Secara etimologis, far‟u berarti cabang. Sedangkan
dalam kontwk qiyas, far‟u diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada ashl karena
tidak ada nash yang secara jelas menyebutkan hukumnya. (3) Hukmu alashl (hukum asal), yang
dimaksud hukmu al-ashl adalah hukum atas suatu peristiwa yag sudah ditetapkan didalam nash
dan dikehendaki untuk menentapka hukum itu kepada cabangnya. (4) Al-illah, yang dimaksud
al-illah dalam konteks qiyas adalah suatu sifat yang empirik atau nyata kebenarannya yang
terdapat pada peristiwa asal.
Adapun Qiyas dari segi pembagaiannya ada tiga, Qiyas Awlawi, Qiyas Musawin dan
Qiyas Adna Salah satu dari sekian implementasi konsep Qiyas dalam dunia perekonomi islam
antara lain adalah:
1. Mengqiyaskan sewa-menyewa dengan jual beli
2. Mengqiyaskan Ajir (orang yang menyewakan tenaganya) dengan al-wakil bil urjah
(orang yang diberikan wewenang dengan imbalan upah).
3. Mengqiyaskan khiyar naqd dengan khiyar syarth.
4. Qiyas bunga bank terhadap praktik riba
5. Qiyas dalam sistem pertukaran uang (money changer)

Anda mungkin juga menyukai