Brian.s 030743404 Hkum4408

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 18

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : Brian Salviantono

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 030743404

Tanggal Lahir : 08 Juni 1992..…………………………………………………………………..

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4408/Hukum Islam Dan Acara Peradilan Agama

Kode/Nama Program Studi : 311/Ilmu Hukum ……………………………………………………..

Kode/Nama UPBJJ : 50/SAMARINDA

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/11 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Brian Salviantono


NIM : 030743404
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4408/Hukum Islam Dan Acara Peradilan Agama
Fakultas : FHISIP
Program Studi : Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : Samarinda

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Bontang, 11 Juli 2021
Yang Membuat Pernyataan

Brian Salviantono
No Soal
1 Islam memiliki 3 (tiga) sendi utama yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Sendi syariah merupakan
seperangkat norma ilahi yang mengatur tentang interaksi. Interaksi yang dimaksud adalah hubungan
antara manusia dengan tuhannya, antar sesama manusia, manusia dengan benda mati dan alam
sekitarnya. Sumber syariah adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijtihad. Ketiga sumber syariah ini
merupakan sumber primer dalam pembentukan dan penegakan hukum Islam terkait interaksi yang
akan, sedang atau sudah dilakukan.
Pertanyaan:
1) Buatlah analisis perbedaan-perbedaan antar sumber-sumber primer hukum Islam sehingga
terbentuk klasifikasi terhadap sumber-sumber hukum Islam tersebut! Klasifikasikan berdasarkan
sumber, kekuatan hukum, dan fungsinya.
2) Ijtihad merupakan sumber hukum dalam Islam yang menggunakan akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk berijtihad. Beratnya syarat-syarat berijtihad menjadi alasan pada masa
sekarang dan akan datang dilakukannya ijtihad kolektif. Berikan analisis saudara terkait ijtihad
kolektif dan hasil/akibatnya.
2 1) Wakaf dan wasiat merupakan dua hal yang sudah terdapat pengaturannya dalam Hukum Islam.
Keduanya pula memiliki persamaan dan perbedaan masing-masing tetapi pada kasus tertentu,
wasiat menjadi dasar atas suatu pelaksanaan wakaf. Oleh karena itu, terdapat hubungan antara
wakaf dengan wasiat.
Pertanyaan: Buatlah perbandingan antara wakaf dengan wasiat dengan merinci persamaan dan
perbedaannya!
2) Tuan X berumur 30 tahun, berprofesi sebagai seorang arsitek, ia memiliki seorang istri dan 2 anak.
Tuan X sewaktu sakit membuat wasiat secara lisan dengan disaksikan oleh istrinya langsung bahwa
ia akan mewakafkan seluruh hartanya untuk keperluan umat Islam pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Pertanyaan: Buatlah analisis mengenai keabsahan wakaf wasiat tersebut!
3 Studi Kasus
Tuan X meninggal dunia meninggalkan harta warisan dengan ahli waris sebagai berikut: Istri, 2 anak
laki-laki, 1 anak perempuan, ayah, ibu, nenek, kakek, 3 saudara laki-laki sekandung.
Pertanyaan:
1) Kategorikan ahli waris yang termasuk pada ahli waris Dzawil Furudh dan Ashabah pada kasus di
atas!
2) Pada kasus di atas, tentukan ahli waris yang pasti dapat bagian harta warisan! Berikan analisisnya!
4 Berdasarkan Pasal 130 HIR/154 RBg mengatur bahwa mediasi merupakan bagian dari tahapan yang
wajib dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa perdata di pengadilan (termasuk di pengadilan
agama). Terkait prosedur mediasi di pengadilan berpedoman pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 yang
menggantikan PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
Pertanyaan:
Buatlah analisis mengenai perbandingan pengaturan mengenai prosedur mediasi di pengadilan yang
terdapat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang:
1) Waktu pelaksanaan mediasi;
2) Iktikad baik dan Iktikad tidak baik;
3) Keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat.
Jawaban
1 A. analisis perbedaan-perbedaan antar sumber-sumber primer hukum Islam sehingga terbentuk
klasifikasi berdasarkan sumber, kekuatan hukum, dan fungsinya terhadap sumber-sumber hukum
Islam tersebut
Definisi Sumber Hukum Islam
Kata sumber menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah asal dari segala sesuatu
(Poerwadarminta, 1976:974). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah asal atau tempat di
mana pengambilan hukum Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam di tanah air, sumber hukum Islam
kadang-kadang disebut dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam.
Sumber Hukum Islam
Mengenai apa saja yang menjadi sumber hukum Islam, kita dapat menemukan dalam Al-Quran
Surat An Nisa ayat 59 dan hadis Mu'az bin Jabal.
• Dalam surat An Nisa : 59
‫اّللِ َو ْاليَ ْو ِٰٓم‬ َٰٓ ‫ِن كُ ْنت ُ ْٰٓم تُؤْ مِ نُ ْو‬
ٰٰٓ ِ‫ن ب‬ ْٰٓ ‫ل ا‬ ٰٰٓ ٰٓ‫ش ْيءٰٓ فَ ُرد ُّْوهُٰٓ اِلَى‬
َّ ‫ّللاِ َو‬
ِٰٓ ‫الرسُ ْو‬ َ ‫ي‬ ْٰٓ ‫ل َواُولِىٰٓ ْاْلَ ْم ِٰٓر مِ ْنكُ ْٰٓم فَا‬
ْٰٓ ِ‫ِن تَنَازَ ْعت ُ ْٰٓم ف‬ َّ ٰٓ‫ّللا َواَطِ ْيعُوا‬
َٰٓ ‫الرسُ ْو‬ َٰٓ ‫يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذي‬
َٰٰٓ ٰٓ‫ْن ا َمنُ ْوآٰ اَطِ ْيعُوا‬
ًٰٓ‫ن تَأ ْ ِويْل‬
ُٰٓ ‫س‬ َ
َ ْ‫ِك َخيْرٰٓ َّواح‬ َٰٓ ‫ْاْلخِ ِٰٓر ذل‬
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada Surat An Nisa': 59 disebutkan bahwa setiap muslim wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak
Rasul dan kehendak Ulil `Amri. Kehendak Allah adalah menjauhi Larangan-Nya dan melaksanakan
perintah-Nya sesuai yang diturunkan melalui Al-Quran. Perintah menaati Rasul adalah menjalankan
perintah yang diberikan Rasul melalui sunah. Dalam hal ini, Sunah tersebut paralel dengan Al-Quran
yang berasal dari Allah SWT. Ulil `Amri adalah orang yang mempunyai kekuasaan berupa ilmu
pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utama, yaitu Al-Quran dan
Hadis.
• Hadis Mu'az bin Jabal.
Hadis Mu'az bin Jabal yaitu berupa percakapan antara Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya
Mu'az bin Jabal. Percakapan ini muncul saat Mu'az bin Jabal akan pergi ke Yaman untuk menjadi
Gubernur disana, sebelum sahabatnya pergi, Rasul menguji dengan bertanya sumber hukum yang
akan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Berikut ini potongan percakapan antara Rasul dan Mu'az bin Jabal.
Rasul : "Dengan pedoman apa engkau akan memutus suatu urusan?"
Mu'az : "Dengan kitabullah"
Rasul : "Kalau tidak ada dalam Al-Quran?"
Mu'az : "Dengan sunah Rasulullah"
Rasul : "Kalau dalam sunah juga tidak ada?"
Mu'az : "Saya berijtihad dengan pikiran saya"
Rasul : "Maha Suci Allah yang telah memberikan bimbingan kepada utusan Rasulnya dengan satu
sikap yang disetujui Rasulnya.” (Rasjidi dalam Abdul Ghofur Anshori, 2008:126)
Berdasarkan Al-Quran Surat An-Nisa dan Hadis yang berasal dari Mu'az bin Jabal tersebut
dapat kita tarik kesimpulan bahwa sumber hukum Islam terdiri dari tiga jenis. Sumber hukum Islam
tersebut adalah Al-Quran, As-Sunah, dan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber hukum Islam tersebut memiliki jenjang yang bertingkat. Al-Quran, Sunah, kemudian
baru Ijtihad. Dalam menentukan suatu hukum, maka pertama kali dicari melalui Al-Quran, apabila
tidak ada dicari dalam Sunah, apabila masih tidak ditemukan maka menggunakan Ijtihad dengan dasar
Al-Quran dan Sunah. Dalam hal ini, Ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan
Sunah, kemudian Sunah tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran.
Klasifikasi Sumber Hukum Islam
1) Al-Quran
Al-Quran secara etimologis berasal dari kata qara-a yang berarti membaca, menelaah,
mempelajari, menyampaikan, mengumpulkan dan melahirkan. Kemudian, berubah menjadi kata
benda Quran yang berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari. Secara
terminologis, ada beberapa pengertian Al-Quran. Pengertian tersebut berasal dari istilah ahli
kalam, pengertian tersebut di antaranya:
"Al-Quran itu adalah sifat yang Qadim yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang hikamiyah
(penuh hikmah) dari ayat pertama Al Fatihah dan berakhir An Nas."
"Al-Quran itu adalah lafaz yang diturunkan kepada Nabi dari Surat Al Fatihah sampai An Nas" (Dr.
Mardani. 2010: 133)
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa pengertian Al-Quran
adalah kitab bacaan yang berasal dari Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
yang berawal dari Al Fatihah sampai An-Nas.
Al-Quran merupakan kitab umat Islam yang menjadi tuntunan dalam hubungan antara
manusia dengan Penciptanya, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam
sekitarnya. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, dengan makna yang benar, agar
menjadi hujjah (bukti) bagi Nabi Muhammad SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga
sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia. Selain hal tersebut terdapat
keuntungan lain, yaitu mendapatkan pahala apabila membacanya.
Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara dan membicarakan hukum, kebanyakan bersifat umum
tidak membicarakan soal-soal yang kecil. Meskipun dengan serba singkat, Al-Quran sudah
melingkupi semua persoalan yang bertalian dengan dunia dan akhirat. Jadi dengan demikian, Al-
Quran menjadi sumber pertama dan utama dalam hukum Islam. Selain hal tersebut, Al-Quran
menjadi dalil pokok hukum Islam. Dari Al-Quran ditimba norma-norma hukum bagi kemaslahatan
umat manusia. Dengan Al-Quran kita mendapat petunjuk dan bimbingan untuk memutuskan
problematika yang ada dalam hidup dan kehidupan.
Al-Quran sebagai sumber hukum
Al-Quran adalah sumber hukum pertama dan utama. Di dalam Al-Quran mengandung
kaidah yang fundamental dan perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Al-Quran
berarti bacaan, sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari.
Al-Quran dihimpun antara tepian lembaran mushaf yang dimulai dengan surat AI-Fatihah
dan ditutup dengan surat An-Nas yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir (berurutan),
baik secara lisan maupun tulisan dari generasi ke generasi, dan tetap terpelihara dari perubahan
dan penggantian apapun. (Abdul Wahhad Khallaf, 1994: 18)
Al-Quran merupakan wahyu yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim, sebagai korektor dan penyempurna kitab sebelumnya.
Sayid Husein Nasr berkata bahwa Al-Quran memiliki tiga petunjuk bagi manusia, petunjuk tersebut
adalah:
a. ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yang
mendiaminya termasuk ajaran tentang keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral
atau akhlak;
b. Al-Quran berisi sejarah atau kisah-kisah hidup manusia jaman dulu termasuk kejadian para Nabi,
berisi pula tentang petunjuk di hari kemudian atau akhirat;
c. Al-Quran berisi pula sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa karena mengandung
sesuatu yang berbeda dengan yang kita pelajari secara rasional.
Kekuatan hukum Al-Quran
Al-Quran nilai kebenarannya adalah qath’I (absolut), karena Al-Quran merupakan wahyu
yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi setiap
muslim. Al-Quran sudah pasti otentik lafadznya. Apabila Al-Quran berbicara mengenai akidah atau
hal-hal gaib maka setiap muslim harus senantiasa untuk mengimaninya.
Al-Quran terdiri dari 114 surat, 91 surat turun di Mekah dan 23 surat turun di Madinah.
Menurut Abdul Wahab Khallaf hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran pada garis besarnya dapat
dibagi menjadi tiga macam.
a. Hukum-hukum yang bertalian dengan keyakinan yang menjadi kewajiban bagi orang yang
mukhalaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama,
karena telah dewasa dan berakal (akil balig), serta telah mendengar seruan agama). Dalam hal
ini, bertalian dengan Allah SWT, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, dan hari kiamat.
b. Hukum-hukum yang bertalian dengan akhlak, ialah yang menjadi kewajiban bagi setiap mukhalaf
untuk berakhlak dengan akhlak yang mulia dan menjauh dari akhlak yang buruk.
c. Hukum-hukum yang bertalian dengan apa saja yang diperbuat atau dikatakan oleh setiap
mukhalaf dalam pergaulan hidupnya, baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan
Penciptanya, dengan sesama dan dengan lingkungannya. Selanjutnya, inilah yang disebut
dengan hukum syariah dan inilah yang disebut dengan fiqh atau hukum Islam.
Selanjutnya, Abdul Wahab mengemukakan hukum-hukum yang berhubungan dengan
pergaulan hidup ini dalam Al-Quran ada dua macam:
a. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, ibadah lain yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Hukum ini bersifat tetap dan tidak bisa
berubah-ubah.
b. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan hidup antarsesama manusia. Hukum tersebut disebut
dengan muamalah. Dalam hukum ini mengatur mengenai beberapa bidang, meliputi Hukum
Perdata, Hukum Pidana, hukum Acara Perdata dan Pidana, Hukum Konstitusi, Hukum
Intemasional dan Hukum Keuangan atau Ekonomi. Hukum yang berkaitan dengan masyarakat
ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan. Atas dasar itu hukum tersebut dapat dipakai
pada semua tempat dan waktu.
Sementara itu, hukum yang dikandung dalam Al-Quran ini meliputi tiga macam (Abdul
Wahhad Khallaf dalam Abdul Ghofitr Anshori, 2008:135).
a. Hukum-hukum I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap
subjek hukum, yaitu mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-
Nya, hari akhir, serta qadha dan qadhar.
b. Hukum moralitas, hukum ini berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan perhiasan oleh
setiap subjek hukum, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal yang tercela.
c. Hukum amaliyah, berkaitan dengan sesuatu yang timbul dari subjek hukum, baik berupa
perkataan, perbuatan, perjanjian hukum dan pembelanjaan. Hukum amaliyah dibagi menjadi
dua macam. Yang pertama adalah hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhannya. Kemudian, yang kedua adalah muamalah, yaitu mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya.
Fungsi Al-Quran
Fungsi dari Al-Quran adalah sebagai pedoman hidup manusia dalam hubungannya dengan
sang Pencipta, sesama manusia dan alam sekitar. Al-Quran berisi mengenai ajaran yang memberi
pengetahuan tentang berbagi hal baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, sejarah
hidup manusia jaman dahulu dan sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa karena
maknanya sangat dalam. Al-Quran turun selama jangka waktu 23 tahun, 10 tahun di kota Madinah
dan 12 tahun, 2 bulan, 22 hari di Mekah.
2) As-Sunah / Al Hadis
Sunah secara etimologi memiliki arti jalan atau metode. Menurut ulama ahli hadis, sunah
adalah perkataan, perbuatan, legalisasi, sifat akhlak dan anggota badan yang sumbernya dari
Rasulullah SAW. Sementara itu, menurut ulama ushul fikih, sunah adalah perkataan, perbuatan
dan legalisasi terhadap suatu perkataan dan perbuatan yang datang dari Rasulullah SAW. (Hafidz
Abdurrahman dalam Abdul Ghofur Anshori, 2008: 139).
Berdasarkan pengertian di atas kita dapat mendefinisikan bahwa sunah adalah segala
perbuatan, perkataan dan keizinan dari Nabi Muhammad SAW.
Selain sunah dikenal juga dengan istilah hadis. Hadis secara bahasa bermakna sesuatu yang
baru, dekat dan khabar. Hadis secara istilah diartikan sebagai kabar yang bersumber dari nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapannya. (Miftah Fardl & Agus
Syihabuddinn dalam Abdul Ghofur Anshori, 2008: 140).
Para ahli berpendapat bahwa Sunah dan hadis memiliki perbedaan, akan tetapi ada juga yang
tidak membedakan keduanya. Menurut ahli yang berpendapat ada perbedaan, perbedaan
tersebut adalah sunah berasal dari Nabi Muhammad SAW yang diucapkan dan dilakukan secara
terus menerus, diturunkan dari generasi ke generasi dan diikuti oleh sahabat-sahabat. Sementara
itu, hadis berkonotasi segala peristiwa yang diambil dari Nabi Muhammad, walaupun hanya sekali
saja beliau melakukan atau mengatakannya. Akan tetapi, dalam kebiasaan hukum Islam, hadis dan
sunah hanya berbeda dari sisi penggunaan, tidak berbeda dari isi dan tujuannya.
Sunah/Hadis sebagai sumber hukum
Sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Sunah berfungsi sebagai
penopang dan penyempuma Al-Quran dalam menjelaskan hukum-hukumnya. Apabila sunah tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan dalam hal cara
shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji, dan lain-lain. Sebab ayat Al-Quran dalam hal tersebut
hanya berbicara secara global dan umum, penjelasan secara terperinci ditemui dalam sunah.
Dasar hukum penggunaan sunah sebagai sumber hukum terdapat dalam ayat Al-Quran. Ayat
tersebut adalah Qs. An Nisa:80 yang berbunyi :

ٰٓۚ ‫ظا‬ َ ٰٓ‫س ْلن َك‬


ً ‫علَ ْي ِه ْمٰٓ َح ِف ْي‬ َ ‫ن ت ََولٰى فَ َمآٰ اَ ْر‬
ْٰٓ ‫ّللا ٰۚٓ َو َم‬ َ َ‫الرسُ ْو َلٰٓ فَقَ ْٰٓد ا‬
َٰٰٓ َٰٓ‫طاع‬ ْٰٓ ‫َم‬
َّ ‫ن يُّطِ ِٰٓع‬
Artinya :
Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan
barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.
Ayat tersebut memberikan landasan bahwa sunah merupakan sumber hukum Islam karena
yang datang dari Nabi Muhammad SAW sesungguhnya datang dari Allah SWT. Sunah merupakan
sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran, dalam hal ini apabila akan mengkaji suatu kasus
sebelum menggunakan Sunah harus terlebih dahulu menggunakan Al-Quran. Apabila menemui inti
hukum dari suatu kasus dalam AI-Quran maka menggunakan hukum tersebut karena Al-Quran
merupakan sumber utama dan pokok dari hukum Islam.
Kekuatan hukum Sunah/Hadis
Al-Quran dan hadis sama-sama menjadi sumber hukum, akan tetapi keduanya memiliki
beberapa perbedaan. Apabila suatu hukum tidak ditemui dalam Al-Quran, maka harus dicari dalam
sumber hukum lain. Sumber hukum tersebut adalah sunah.
Setelah mempelajari pengertian dan sunah sebagai sumber hukum Islam, disini akan
diterangkan mengenai hubungan antara sunah dan Al-Quran. Sunah dan Al-Quran memiliki
hubungan yang sangat integral, keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang Iainnya.
Keduanya disampaikan untuk umat dahulu sampai umat yang akan datang tanpa terputus. Hanya
mungkin penyampaian dan periwayatnya berbeda. Sunah menjelaskan isi Al-Quran baik yang
eksplisit maupun implisit sehingga tidak ditemui makna yang berlawanan antara satu dengan yang
lainnya.
Sunah/hadis nilai kebenarannya adalah zhanni (kecuali hadis mutawatir), seluruh ayat Al-
Quran harus dijadikan pedoman hidup, akan tetapi tidak semua hadis harus dijadikan pedoman
hidup. Karena ada hadis sahih, hadis hasan, dan hadis dhaif. Al-Quran sudah pasti otentik
lafadznya, sedangkan hadis tidak. Apabila Al-Quran berbicara mengenai akidah atau hal-hal gaib
maka setiap muslim harus senantiasa untuk mengimaninya, akan tetapi hadis tidak seluruhnya kita
harus mengimani.
Fungsi Sunah/Hadis
Fungsi hadis secara umum adalah untuk menjelaskan kandungan yang terdapat dalam Al-
Quran yang memiliki makna sangat dalam dan global. Secara garis besar ada empat macam fungsi
(bayan) hadis terhadap Al-Quran. Bayan tersebut adalah:
a. Bayan tafsir
Bayan tafsir menerangkan ayat-ayat yang sangat umum. Contoh : Hadis "shalatlah kamu
sebagaimana melihatku shalat." (HR. Bukhari) adalah tafsiran dart ayat Al-Quran yang umum
Surat Al-Baqarah ayat 43 yang artinya, "dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat, dan rukuklah
beserta orang-orang yang rukuk".
b. Bayan taqrir
Bayan taqrir berfungsi untuk memperkokoh dan menguatkan pernyataan Al-Quran. Contoh:
Hadis "Berpuasalah jika kalian telah melihat bulan, dan berbukalah jika kalian melihatnya pula.
Dan apabila bulan tertutup (awan) dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah bulan
Sya'ban menjadi 30 hari"(HR. Bukhari) memperkokoh Surat Al Baqarah 185 yang artinya, "(Masa
yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadhan yang padanya diturunkan Al-Quran,
menjadi petunjuk bagi sekalian manusia, dan menjadi keterangan-keterangan yang
menjelaskan pertunjuk, dan (menjelaskan) perbedaan antara yang benar dengan yang salah.
Oleh itu, kesiapa dart antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau
mengetahuinya), maka hendaklah is berpuasa bulan itu dan sesiapa yang sakit atau dalam
musafir maka (bolehlah ia berbuka, kemudian wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain....".
c. Bayan taudhih
Bayan taudhih menerangkan maksud dan tujuan ayat Al-Quran. Contoh: pemyataan Nabi
Muhammad "Allah tidak mewajibkan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu
yang sudah dizakati" adalah penjelasan dari Surat At taubah ayat 34 yang artinya, "Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah
maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih"
3) Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat. Menurut Abdul
Hamid Hakim, ijtihad berati bersungguh-sungguh sekuat-kuatnya untuk memperoleh hukum
tertentu yang diambil dari Al-Quran dan Sunah.
Pendapat ahli lain mengatakan bahwa Ijtihad berati penggunaan akal sekuat mungkin untuk
menentukan suatu hukum tertentu yang secara eksplisit terdapat dalam Al-Quran dan Sunah.
Sementara itu, orang yang melakukan Ijtihad disebut dengan mujtahid. Mujtahid adalah seorang
ahli fikih yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh persangkaan yang kuat
terhadap suatu hukum agama dengan jalan mengambil sumber dari Al-Quran dan Sunah atau suatu
dalil yang sudah diakui kebenarannya. (Hasbi Ash-Shiddiegy, 1963: 38).
Ijtihad sebagai sumber hukum dan kekuatan hukum Ijtihad
Sumber hukum Islam selanjutnya adalah Ijtihad. Kedua sumber hukum Islam yang telah
dijelaskan sebelumnya adalah Al-Quran dan Sunah. Al-Quran adalah sumber hukum Islam pokok
dan utama, yang berasal langsung dari Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW
bersama kaumnya melalui perantara malaikat Jibril. Selanjutnya, sunah adalah wahyu Allah yang
diberikan secara tidak langsung, yakni melalui lisan Nabi Muhammad. Pada mulanya hanya Nabi
yang dapat memutuskan suatu perkara yang dialami oleh umat muslim, sesekali para sahabat
dapat memutuskan, akan tetapi kemudian menanyakan kepada Nabi dan kemudian diputuskan
oleh beliau.
Seiring berkembangnya jaman yang pesat, masalah-masalah yang timbul pada saat ini tidak
ditemukan pada jaman Nabi Muhammad SAW dahulu. Pada saat ini jauh setelah turunnya wahyu
yang terakhir, persoalan yang dihadapi di semakin kompleks dan menuntut adanya pemikiran oleh
para ahli untuk menemukan hukum suatu persoalan yang tidak dijumpai pada masa dahulu dengan
dasar sumber hukum yang telah ada. Maka dari itu munculah Ijtihad untuk menyelesaikan perkara
yang belum diketahui hukumnya karena belum pernah dijumpai kasus tersebut pada masa
sebelumnya.
Dalam menentukan suatu hukum, maka pertama kali dicari melalui Al-Quran, apabila tidak
ada dicari dalam Sunah, apabila masih tidak ditemukan maka menggunakan Ijtihad dengan dasar
Al-Quran dan Sunah. Dalam hal ini, Ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan
Sunah, kemudian Sunah tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran
Pada dasarnya, Ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak dan absolut.
Keputusan yang ditetapkan berdasarkan ljtihad mungkin berlaku bagi satu orang, tetapi tidak
berlaku bagi orang lain. Keputusan dari mujtahid tidak boleh bertentangan Al-Quran dan Sunah
karena keduanya merupakan sumber pokok dari hukum Islam.
Ijtihad memiliki batasan, yaitu tidak boleh dilakukan dalam ranah hukum akidah (ibadah)
karena sudah memiliki arti yang jelas dan pasti. Ijtihad hanya dapat dilakukan pada ranah syara'
yang berbentuk perbuatan fisik dan furu' (cabang). Orang yang melakukan ljtihad (mujtahid)
memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal tersebut dikarenakan apabila melakukan Ijtihad
akan menemukan suatu hukum baru yang belum ada sebelumnya, sehingga ditakutkan akan
terjadi suatu penyelewengan demi kepentingan pribadi atau golongan seorang mujtahid.
Fungsi Ijtihad
Adapun fungsi ijtihad, di antaranya adalah:
a. Fungsi ijtihad al-ruju’ (kembali)
Mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan sunnah dari segala interpretasi yang
kurang relevan.
b. Fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan)
Menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan Islam semangat agar mampu menjawab
tantangan zaman.
c. Fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan)
Memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan
adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi
hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’: 59 : “Jika
kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan Rasul-
Nya”.
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada Al-Qur’an dan sunnah ketika terjadi
perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama terhadap masalah yang nash-nya tidak tegas.
Demikian juga sabda Nabi Muhammad Saw: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu
ia melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala. Jika ia
bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka ia
mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash).
Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita
bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa dilakukan secara individual (ijtihad fardi)
yang hasil rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.
B. Berikan analisis terkait ijtihad kolektif dan hasil/akibatnya.
Seorang mujtahid dalam melakukan Ijtihad memiliki metode-metode yang digunakan untuk
mengetahui hukum dalam suatu perkara yang belum diputuskan sebelumnya. Secara garis besar
terdapat enam metode Ijtihad. Metode tersebut adalah Ijma', Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan,
Istishab, dan Ulf.
Salah satu metode Ijtihad adalah Ijma’. Ijma adalah salah satu sumber hukum Islam yang
penting dan pokok. Ijma' sering ditempatkan dalam sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan
Sunah. Ijma' dapat diartikan sebagai konsensus, ijtihad kolektif. Ijma' adalah kesepakatan para
ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah yang belum ada hukumnya. Inti dari
metode ini adalah kesepakatan dari para ulama muslim.
Apabila dalam suatu periode terdapat suatu masalah dan belum ditemukan hukumnya,
kemudian para ulama bersepakat untuk menentukan suatu hukum, maka hal tersebut dapat
dikatakan sebagai Ijma'. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Ijma' memiliki beberapa syarat yang harus
dipenuhi, syarat tersebut adalah:
a. Adanya jumlah mujtahid pada suatu masa itu. Ijma' dapat dikatakan apabila dalam periode
tersebut terdapat lebih dari satu mujtahid, tidak bisa dikatakan ijma' apabila dalam periode
tersebut hanya terdapat dua mujtahid apalagi hanya terdapat satu mujtahid. Pada jaman
Rasulullah tidak dijumpai Ijma' karena pada saat itu hanya Rasulullah yang berwenang
melakukan tafsir terhadap suatu hukum yang ditentukan oleh Al-Quran dan Sunah.
b. Adanya kesepakatan Para mujtahid terhadap suatu hukum yang masih belum jelas. Kesepakatan
itu tidak memandang negeri, kelompok atau kebangsaan mereka. Dalam hal ini, tidak bisa
dikatakan Ijma' apabila terbatas hanya kesepakatan mujtahid dalam suatu negara, misalnya
negara Irak, negeri Mekah dan Madinah.
c. Kesepakatan tersebut dikemukakan masing-masing oleh mujtahid dalam suatu pertemuan
dengan cara lisan maupun tertulis, kemudian diambil suatu kesepakatan setelah terjadi kongres
tersebut.
d. Kesepakatan berdasarkan jumlah kesepakatan terbanyak mujtahid yang setuju tidak dapat
dikatakan Ijma'. Misalnya, dalam suatu kongres terdapat 100 mujtahid, ada 60 mujtahid yang
setuju dengan suatu hukum dan 40 tidak setuju dengan suatu keputusan tersebut. Kesepakatan
dari 60 mujtahid tersebut tidak dapat dikatakan Ijma' karena bukan kesepakatan bulat dari
mujtahid.
Apabila keempat syarat ini terpenuhi maka ljma' terhadap suatu hukum tersebut harus ditaati
dan tidak boleh ditentang. Selanjutnya, mujtahid tidak boleh menggunakan Ijma' dari ulama
terdahulu sebagai objek ijtihad karena hukum yang telah ditetapkan bersifat qath (pasti), karena
tidak ada peluang untuk menentangnya atau menghapuskannya.
Karena hasil kesepakatan seluruh ulama mujtahid, kebenarannya sudah dianggap memenuhi
jiwa syar’i seperti dalam surat An Nisa’ ayat 59: “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah RasulNya, dan Ulil Amri diantara kamu”.
Kesepakatan ulil amri termasuk didalamnya para mujtahid wajib diikuti karena dasarnya Al-
Quran, dan didalam surat lain dinyatakan, al-Nisa’ ayat 82 : “Padahal kalau mereka menyerahkanya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)“ (An Nisa:82).”
Kemudian banyak hadits yang menjelaskan dan mendukng bahwa hasil kesepakatan ulama
mujtahid itu yang menunjukan bahwa tidak mungkin mujtahid itu akan berbuat bohong,
diantaranya hadits yang di riwayatkan oleh Abu Daud ”tidak mungkin umatku bersepakat dalam
kesalahan”.
Dari uraian tentang Ijihad kolektif (ijma') di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa
sebagian besar ulama sepakat, Ijma' adalah merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah
Al-Quran dan al-hadits. Eksistensinya dapat dijadikan hujjah bagi permasalahan hukum yang tidak
terdapat nash atau terdapat nash yang nilainya dzonni, sehingga dengan telah di ijma'kannya, maka
berubahlah kedudukkan nash yang dzonni itu menjadi qoth'i.
Ijma' tidak dipandang sah kecuali apabila ada sandarannya, sebab ijma' bukan merupakan
dalil yang berdiri sendiri. Fatwa ulama atau keputusan hukum berdasarkan ijma' tanpa sandaran
adalah keliru. Ijma’ memiliki rukun dan masih mungkin untuk dilakukan jika terdapat beberapa
faktor pendukung. Namun demikian umumnya sulit untuk diwujudkan, kecuali ijma' sahabat yang
para fuqoha tidak meragukannya lagi.
Adapun hukum orang yang mengingkari ijma' terdapat dua pendapat, yaitu sebagian
mengkafirkan dan sebagian lagi tidak menganggap kafir. Hal ini tergantung daripada kualitas ijma'
itu sendiri.
Referensi :
1. Umam, Khotibul. 2015. Hukum Islam Dan Acara Peradilan Agama. Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka.
2. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Halal Pustaka.
3. Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab. 2008. Hukum Islam Dinamika dan Perkembangan
di Indonesia. Yogyakarta: Kreasi Total Media.
4. Mardani. 2010. Pengantar Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
5. Khallaf, Abdul Wahhab. 2004. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama.
6. Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1963. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
7. Zakaria, Syafe'i. 1997. Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam (Kajian tentang Kehujjahan Ijma' dan
Pengingkarannya). Jurnal Al Qalam NO. 67/XIll/1997, diakses pada tanggal 11 Juli 2021.
2 1) Analisis Perbandingan melalui persamaan dan perbedaan antara wakaf dengan wasiat
Persamaan pertama antara wakaf dan wasiat adalah keduanya sama-sama mengalihkan
kepemilikan yang merupakan harta benda pribadinya dari seseorang kepada orang lain atau
lembaga lain dan akadnya dilakukan sebelum pewasiat dan pemberi wakaf itu wafat. Hal ini dapat
dilihat dari Definisi Wakaf dapat ditemui pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 yang berbunyi: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.” Terkait pewakafan, terdapat mekanisme ikrar wakaf. Ikrar wakaf
dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (“PPAIW”)
dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan
dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Senada dengan yang diungkapkan oleh Pasal 194 ayat 1 dan 2 Lampiran Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa:
1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Sedangkan perbedaan dari keduanya dapat diidentifikasi melalui waktu penyerahannya,
dimana wasiat dilakukan setelah wafat dan wakaf dilakukan sebelum wafat. Penyerahan wasiat
hanya dapat dilakukan setelah pewasiat wafat dapat dengan jelas ditemukan pada Pasal 194 ayat 3
Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi: Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru
dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Sedangkan terkait penyerahan wakaf, menurut Amir Syarifuddin Pengalihan wakaf dapat
dilakukan secara sepihak, cukup dilakukan dengan ucapan atau pernyataan dari pemiliknya yang
telah memenuhi kecakapan hukum untuk bertindak dan berbuat baik yang menunjukkan bahwa
harta itu telah dilepaskan dari pemiliknya dan digunakan untuk kepentingan agama dan masyarakat.
Sehingga pengalihan kepemilikan dari wakaf tidak harus menunggu yang mewakafkan meninggal
dunia.
Perbedaan wasiat dan wakaf juga dapat dilihat dari sisi penerima dan jumlah yang diterima.
Pasal 195 ayat (2) KHI menyatakan bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Pernyataan
persetujuan tersebut dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua
orang saksi di hadapan notaris
Terkait tidak berhaknya pemberian wasiat pada ahli waris Mohammad Daud Ali berpendapat
memang pewaris pada waktu akan meninggal tidak berhak menentukan siapa-siapa yang akan
memperoleh harta yang ditinggalkannya, berapa bagian masing-masing dan bagaimana cara
mengalihkan harta itu. Sebab, semuanya telah ditentukan dan wajib dilaksanakan. Lebih lanjut
dijelaskan, tetapi pewaris diberikan kemerdekaan atau kebebasan oleh Allah mengenai harta yang
akan ditinggalkannya, kemerdekaan itu hanya terbatas pada pengalihan sepertiga harta yang akan
ditinggalkan untuk seseorang yang dikehendakinya. Batas itu ditentukan untuk menjaga agar hak
ahli waris yang telah ditentukan Allah tidak terlanggar. Sehingga dapat disimpulkan wasiat dilarang
ditujukan kepada ahli waris karena pada dasarnya besaran bagian yang didapat ahli waris sudah
ditentukan, dan wasiat juga dapat ditujukan kepada seseorang yang dikehendali pewasiat selama
selama tidak melebihi sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris
menyetujuinya.
Terkait dengan larangan penerima wakaf ataupun batasan jumlah wakaf, maka berkaitan erat
dengan keabsahan wakaf. Wakaf haruslah memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebut dalam
Pasal 6 UU Wakaf yang berbunyi:
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
1) Wakif;
2) Nazhir;
3) Harta Benda Wakaf;
4) Ikrar Wakaf;
5) peruntukan harta benda wakaf;
6) jangka waktu wakaf
Penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut terurai sebagai berikut:
1) Wakif, yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Jika wakif peorangan, maka syaratnya
harus dewasa, berakal sehat, tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum dan sebagai
pemilik sah dari harta yang diwakafkan.
2) Nazhir, yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nadzir bisa berupa perorangan, organisasi, atau
badan hukum.
3) Harta Benda Wakaf, yaitu harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka
panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.
4) Ikrar Wakaf, yaitu pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan
kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif
kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (“PPAIW”) dengan disaksikan oleh
2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar
wakaf oleh PPAIW.
5) Peruntukan Harta Benda Wakaf, yaitu kehendah dari wakif terkait peruntukan harta benda yang
diwakafkan. Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk akta ikrar wakaf sesuai
dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang
dihadiri oleh nazhir, mauquf alaih, dan sekurang-kurangnya 2 orang saksi. Pernyataan kehendak
wakif tersebut bisa dalam bentuk wakaf-khairi atau wakaf ahli. (Pasal 30 ayat (1) dan (4) PP
42/2006). Dalam buku Fikih Wakaf yang diterbitkan Kementerian Agama, diuraikan bahwa wakaf
khairi, yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau
kemasyarakatan (kebajikan umum). Sedangkan wakaf-ahli, yaitu wakaf yang ditujukan kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga
disebut wakaf dzurri
6) Jangka waktu wakaf yang pada prinsipnya diberlakukan selamanya, artinya tidak berbatas waktu.
Wakaf yang berjangka waktu hanya diberlakukan untuk wakaf yang berupa uang tunai, misalkan
untuk pemberian beasiswa.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak adanya batasan jumlah harta untuk diwakafkan
seperti halnya wasiat sehingga dapat membuat wakaf tidak sah. Terkait boleh atau tidaknya ahli
waris menerima wakaf, maka dapat ditemui bahwa pada wakaf terdapat dua jenis wakaf yaitu
wakaf-khairi atau wakaf ahli. Dimana wakaf-ahli, adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-
orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan.
Kesimpulan
WASIAT WAKAF
Definisi Pengalihan Kepemilikan Harta Pengalihan Kepemilikan
Harta
Waktu Akad Sebelum Pewasiat Wafat Sebelum Pemberi Wakaf
Wafat
Waktu Penyerahan Setelah Pewasiat Wafat Sebelum Pemakaf Wafat
Penerima Selain Ahli Waris Dapat Diberikan Pada
Individu Maupun Lembaga
Nilai Harta Maksimal 1/3 Dari Harta, Tidak Ada Ketentuan
Kecuali Disetujui Ahli Waris (Bebas)

2) Analisis mengenai keabsahan wakaf wasiat berdasarkan studi kasus


Sebelum membahas konsep wakaf dan wasiat, pada kasus tersebut kita harus memahami
terlebih dahulu konsep ahli waris. Merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli
waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan
atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama
menurut ayahnya atau lingkungannya.
Sedangkan Definisi Wakaf dapat ditemui pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 yang berbunyi: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.”
Lebih lanjut Pasal 194 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang wasiat dalam hukum islam dimana rang
yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Pemilikan terhadap harta
benda baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Jika merujuk kasus diatas, dapat dilihat bahwa Tuan X mewasiatkan secara lisan untuk
mewakafkan seluruh hartanya. Pertama-tama kita harus melihat keabsahan wasiat dari Tuan X
tersebut. Merujuk pada Pasal 195 ayat (2) KHI, yang menyatakan bahwa wasiat hanya
diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris
menyetujuinya. Pernyataan persetujuan tersebut dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi
atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris. Batas itu ditentukan untuk menjaga
agar hak ahli waris yang telah ditentukan Allah tidak terlanggar. Namun tetap pewaris yang dalam
kasus ini adalah Tuan X diberikan kemerdekaan atau kebebasan oleh Allah mengenai harta yang
akan ditinggalkannya, kemerdekaan itu hanya terbatas pada pengalihan sepertiga harta yang akan
ditinggalkan untuk seseorang yang dikehendakinya. Sehingga Tuan X hanya dibenarkan untuk
mewasiatkan 1/3 hartanya untuk diwakafkan, karena pada kasus tersebut tidak ada informasi
terkait pesertujuan anak dan istrinya.
Kemudian untuk memperoleh keabsahan wakaf dari Tuan X, wakaf tersebut haruslah
memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebut dalam Pasal 6 UU Wakaf yang berbunyi:
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
1) Wakif;
2) Nazhir;
3) Harta Benda Wakaf;
4) Ikrar Wakaf;
5) peruntukan harta benda wakaf;
6) jangka waktu wakaf
Penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut terurai sebagai berikut:
1) Wakif, yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Jika wakif peorangan, maka syaratnya
harus dewasa, berakal sehat, tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum dan sebagai
pemilik sah dari harta yang diwakafkan.
2) Nazhir, yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nadzir bisa berupa perorangan, organisasi, atau
badan hukum.
3) Harta Benda Wakaf, yaitu harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka
panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.
4) Ikrar Wakaf, yaitu pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan
kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif
kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (“PPAIW”) dengan disaksikan oleh
2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar
wakaf oleh PPAIW.
5) Peruntukan Harta Benda Wakaf, yaitu kehendah dari wakif terkait peruntukan harta benda yang
diwakafkan. Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk akta ikrar wakaf sesuai
dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang
dihadiri oleh nazhir, mauquf alaih, dan sekurang-kurangnya 2 orang saksi. Pernyataan kehendak
wakif tersebut bisa dalam bentuk wakaf-khairi atau wakaf ahli. (Pasal 30 ayat (1) dan (4) PP
42/2006).
6) Jangka waktu wakaf yang pada prinsipnya diberlakukan selamanya, artinya tidak berbatas waktu.
Wakaf yang berjangka waktu hanya diberlakukan untuk wakaf yang berupa uang tunai, misalkan
untuk pemberian beasiswa.
Selain itu, merujuk pada ketentuan fiqh, imam mazhab sependapat bahwa suatu perbuatan
wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya, yaitu adanya wakif (orang yang
mewakafkan), mauquf-bih (harta benda yang akan diwakafkan), mauquf-alaih (tujuan atau sasaran
peruntukan yang hendak menerima wakaf atau manfaat wakaf), dan shighat atau pernyataan wakaf
atau ijab qabul.
jika merujuk hukum positif, pelaksanaan wakaf harus dilakukan dengan ikrar yang dinyatakan
secara lisan dan/atau tulisan dengan disaksikan 2 orang saksi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (“PPAIW”), serta dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf. Selanjutnya, PPAIW atas nama
nazhir (pihak penerima harta benda wakaf) mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang
berwenang. Kemudian menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf, yang lalu disampaikan
oleh PPAWI kepada nazhir.
Terkait dengan ikrar wakaf yang dilakukan secara lisan Tuan X yang dilakukan didepan istrinya,
maka diasumsikan bahwa Tuan X belum membuat Akta Ikrar Wakaf. Hal ini tentu akan
mengakibatkan kesulitan dalam proses pembuktian saat terjadi sengketa terkait dengan wakaf tuan
X ini. Yang dapat dijadikan bukti hanyalah orang-orang yang menyaksikan langsung peristiwa wakaf.
Namun ketika saksi tersebut meninggal dunia, pasti akan sulit mencari bukti lain. Selain bukti
tertulis, hal lain yang dapat dijadikan bukti yaitu pengakuan disertai sumpah dari wakif dan nazhir
yang masih hidup. Dan jika kedua pihak tersebut telah meninggal dunia, maka bukti terkuat untuk
membuktikan tanah wakaf tersebut yaitu Akta Ikrar Wakaf atau Akta Penggantian Akta Ikrar Wakaf
(“APAIW”) dan sertifikat atas tanah wakaf tersebut.
Namun jika merujuk pada Pasal 2 UU Wakaf menyebutkan: “Wakaf sah apabila dilaksanakan
menurut syariah.” Maka, status wakaf yang tidak memiliki Akta Ikrar Wakaf seperti yang dilakukan
tuan X adalah tetap sah. Karena untuk menentukan sah atau tidaknya suatu wakaf adalah keinginan
wakif untuk mewakafkan tanahnya. Sebab pencatatan dan pensertifikatan wakaf hanyalah
administrasi saja, bukan menjadi unsur yang menentukan sah atau tidaknya wakaf. Bahkan para
fuqaha tidak mencantumkan nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, hal ini karena mereka
berpendapat bahwa itu merupakan ibadah tabarru’ atau pemberian yang bersifat sunnah saja.
Kesimpulan dari kasus diatas adalah wakaf Tuan X melalui wasiatnya adalah Sah meskipun
dilakukan dengan lisan dihadapan istrinya. Namun besaran wakaf yang menyatakan seluruh harta
tuan X diwakafkan adalah adalah tidak dapat dilakukan, karena adanya hak ahli waris
didalamnya. Harta Tuan X yang dapat diwasiatkan untuk diwakafkan adalah maksimal 1/3 dari
total harta tuan X kecuali adanya persetujuan dari ahli waris secara lisan di hadapan dua orang
saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.
Referensi:
1) Mohammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di Indonesia,
Edisi Keenam. Jakarta. 1998.
2) Amir Syarifuddin. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2003, hal. 235-236
3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
5) Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf Kementrian Agama Republik Indonesia 2013
6) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
7) Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama, 2006;
8) Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi. Hukum Wakaf (Kajian Kontempoter Pertama dan Terlengkap
tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf). Jakarta: Dompet
Dhuafa Republika dan IIman Press, 2004, hal. 585 – 587
9) Abdul Manan. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2017, hal. 304
3 Ilustrasi Kasus:
Tuan X meninggal dunia meninggalkan harta warisan dengan ahli waris sebagai berikut: Istri, 2 anak
laki-laki, 1 anak perempuan, ayah, ibu, nenek, kakek, 3 saudara laki-laki sekandung.
A. Kategori ahli waris yang termasuk pada ahli waris Dzawil Furudh dan Ashabah pada kasus diatas
Merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli waris dipandang
beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya
atau lingkungannya.
Dalam hukum waris islam, terdapat pula pembagian ahli waris menjadi ahli waris dzawil
furudh dan ahli waris ashabah. Ahli waris dzawil furudh adalah ahli waris yang saham atau bagiannya
sudah ditentukan secara pasti dalam bentuk pecahan melalui Al Quran dan/atau Al Hadist.
Berdasarkan Q.S An-Nisa (4):11 dan 12, termasuk ahli waris dzawil furudh adalah:
1) Anak Perempuan apabila seorang maka ia mendapatkan ½ bagian;
2) Anak perempuan apabila dua orang atau lebih, maka mereka secara bersama-sama akan
mendapatkan 2/3 bagian. Perolehan 2/3 dari total harta warisan nantinya dibagi sama rata;
3) Ibu mendapat 1/6 bagian, jika pewaris meninggalkan anak atau meninggalkan beberapa orang
saudara (2 orang saudara/lebih) dan sebaliknya jika mereka tidak ada, maka ibu akan
mendapatkan 1/3 bagian;
4) Ayah mendapatkan 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan anak dan apabila tidak ada anak, maka
ayah mendapatkan 1/3 bagian;
5) Suami/duda mendapatkan ½ bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan mendapatkan ¼
bagian jika pewaris meninggalkan anak
6) Istri/janda mendapatkan ¼ bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan mendapat 1/8 jika
pewaris tidak meninggalkan anak, dan mendapat 1/8 jika pewaris meninggalkan anak (Ashary,
2013:52)
Adapun ahli waris ashabah adalah ahli waris yang saham atau bagiannya tidak ditentukan secara
pasti dalam nash Al-Quran maupun hadist, melainkan yang bersangkutan akan mendapatkan sisa
harta setelah dibagikan kepada ahli waris dzawil furudh (Ashary, 2013:53). Termasuk dalam ahli
waris ashabah adalah anak laki-laki (ashabah binafsi), anak perempuan bersama anak laki-laki
(ashabah bil ghair), ayah apabila mewaris bersama janda/duda dan ibu pewaris, serta saudara laki-
laki (ashabah binafsi) dan saudara perempuan bersama saudara laki-laki (ashabah bil ghair) dalam
hal pewaris tidak memiliki anak (termasuk keturunannya: cucu) dan/atau ayah.
Berdasarkan uraian diatas, yang termasuk ahli waris Dzawil Furudh adalah:
1) Istri, dalam kasus ini istri/janda Tuan X akan mendapatkan 1/8 bagian karena Tuan X
meninggalkan 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan
2) ibu,dalam kasus ini Ibu Tuan X akan mendapatkan 1/6 bagian karena tuan X meninggalkan anak
dan 3 saudara laki-laki sekandung
3) Ayah,dalam kasus ini Ibu Tuan X akan mendapatkan 1/6 bagian seperti Ibu Tuan X karena tuan X
meninggalkan anak
Sedangkan, yang termasuk ahli waris Ashabah adalah:
1. 2 (dua) anak laki-laki, dimana perbandingan anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1
2. 1 (satu) anak perempuan, dimana perbandingan anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1
3. 3 (tiga) saudara laki-laki sekandung tuan X
4. Kakek dan Nenek, dalam hal masih adanya sisa harta tuan X setelah ahli waris dzawil furudh
telah mendapatkan bagiannya, dan kelompok derajat pertama yaitu anak dan keturunan Tuan
X telah mendapatkan bagiannya pula, maka Kakek dan Nenek pun mendapatkan bagiannya
sebagai kelompok derajat kedua.
B. Ahli waris yang pasti dapat bagian harta warisan berdasarkan Kasus diatas
Dalam konsep waris islam, ahli waris yang pasti mendapatkan bagian dari harta warisan karena
saham atau bagiannya sudah ditentukan secara pasti dalam bentuk pecahan melalui Al Quran
dan/atau Al Hadist disebut dengan Ahli waris dzawil furudh. Berdasarkan uraian diatas, yang
termasuk ahli waris Dzawil Furudh dari Tuan X adalah:
1) Istri, dalam kasus ini istri/janda Tuan X akan mendapatkan 1/8 bagian karena Tuan X
meninggalkan 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan
2) ibu,dalam kasus ini Ibu Tuan X akan mendapatkan 1/6 bagian karena tuan X meninggalkan anak
dan 3 saudara laki-laki sekandung
3) Ayah,dalam kasus ini Ibu Tuan X akan mendapatkan 1/6 bagian seperti Ibu Tuan X karena tuan X
meninggalkan anak

Referensi:
1) Ashary, H. M. 2013. Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2) Irma Devita Purnamasari. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah hukum Waris.
Bandung: Penerbit Kaifa, 2012
3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
4 Analisis mengenai perbandingan pengaturan mengenai prosedur mediasi di pengadilan yang
terdapat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang:
1) Waktu pelaksanaan mediasi
2) Iktikad baik dan Iktikad tidak baik
3) Keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat.

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di
tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampakkan pihak ketiga sebagai mediator dalam
menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada ditengah”
juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama,
sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Dari segi terminologi terdapat banyak pendapat yang memberikan penekanan yang berbeda
tentang mediasi. Meski banyak yang memperdebatkan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud
dengan mediasi, namun setidaknya ada beberapa batasan atau definisi yang bisa dijadikan acuan.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan, pengertian mediasi disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1, yaitu: “Mediasi adalah proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu mediator”.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun
2008, karena PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dianggap belum optimal dalam memenuhi kebutuhan
pelaksanaan mediasi yang lebih berdayaguna dan mampu meningkatkan keberhasilan mediasi di
Pengadilan.
Dalam rangka menyempurnakan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, maka PERMA Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mengatur lebih rinci beberapa hal yang belum diatur
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, antara lain sebagai berikut:
1) Waktu Pelaksanaan Mediasi
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008, proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh)
hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Pada PERMA
Nomor 1 Tahun 2016, Proses Mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya pemberitahuan putusan sela Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Hal ini berarti
bahwa batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 (empat puluh) hari menjadi 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.
2) Iktikad baik dan Iktikad tidak baik
Berhubungan dengan masalah pengaturan iktikad baik dan akibat hukum para pihak yang
tidak beriktikad baik dalam proses mediasi, dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 penjabarannya tidak
rinci seperti di dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008, pada pasal
12 berbunyi :
(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.
(2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh
mediasi dengan iktikad tidak baik.
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016, pada pasal 7 berbunyi:
(1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik.
(2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad
baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan:
a. tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi
tanpa alasan sah;
b. menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan
berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturutturut tanpa alasan sah;
c. ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan
sah;
d. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume
Perkara pihak lain; dan/atau
e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan
sah.
Apabila penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2016, maka berdasarkan Pasal 23 PERMA
Nomor 1 Tahun 2016, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 22 PERMA Nomor 1 Tahun 2016.
Penggugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
pula kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator menyampaikan laporan penggugat tidak
beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan
perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi.
Berdasarkan laporan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Hakim Pemeriksa
Perkara mengeluarkan putusan yang merupakan putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat
diterima disertai penghukuman pembayaran Biaya Mediasi dan biaya perkara.
Biaya Mediasi sebagai penghukuman kepada penggugat dapat diambil dari panjar biaya
perkara atau pembayaran tersendiri oleh penggugat dan diserahkan kepada tergugat melalui
Kepaniteraan Pengadilan.
Apabila Tergugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2), dikenai kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator menyampaikan laporan tergugat
tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi
dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya
Mediasi.
Berdasarkan laporan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebelum melanjutkan
pemeriksaan, Hakim Pemeriksa Perkara dalam persidangan yang ditetapkan berikutnya wajib
mengeluarkan penetapan yang menyatakan tergugat tidak beriktikad baik dan menghukum tergugat
untuk membayar Biaya Mediasi.
Biaya Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari biaya perkara
yang wajib disebutkan dalam amar putusan akhir. Dalam hal tergugat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dimenangkan dalam putusan, amar putusan menyatakan Biaya Mediasi dibebankan kepada
tergugat, sedangkan biaya perkara tetap dibebankan kepada penggugat sebagai pihak yang kalah.
Dalam perkara perceraian di lingkungan peradilan agama, tergugat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihukum membayar Biaya Mediasi, sedangkan biaya perkara dibebankan kepada
penggugat. Pembayaran Biaya Mediasi oleh tergugat yang akan diserahkan kepada penggugat melalui
kepaniteraan Pengadilan mengikuti pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi.
Ketentuan Pasal 7, Pasal 22 dan Pasal 23 inilah yang nyata berbeda dari ketentuan PERMA
No.1 Tahun 2008. Disinilah ruh esensial dan indikasi efektifitas proses Mediasi dalam menyelesaikan
perkara. Dengan adanya i’tikad baik inilah maka proses mediasi akan berjalan dengan efektif dan
efisien.
3) Keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat.
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008, pada pasal 16 berbunyi :
(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat
membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
(2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak
mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli.
(3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh
para pihak berdasarkan kesepakatan.
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016, pada pasal 26 berbunyi:
(1) Atas persetujuan Para Pihak dan/atau kuasa hukum, Mediator dapat menghadirkan seorang atau
lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat.
(2) Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak
mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian ahli dan/atau tokoh masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pada Perma tahun 2008, mediator hanya dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam
bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat. Sedangkan pada Perma tahun 2016 mediator dapat
menghadirkan ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama atau tokoh adat dalam dapat membantu dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat.

Referensi :
1. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
2. PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
3. Umam, Khotibul. 2015. Hukum Islam Dan Acara Peradilan Agama. Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka.
4. Syahrizal Abbas. 2011. Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta:
Kencana.
5. Mariah. S.M. Purba. 2018. Rekonstruksi Perma No.1 Tahun 2016 Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Peradilan. Jurnal Hukum Volume 13 no.1 Januari-Juni 2018, P-ISSN : 2615-3416, E-ISSN
: 2615-7845, diakses pada tanggal 11 Juli 2021.

Anda mungkin juga menyukai