Brian.s 030743404 Hkum4408
Brian.s 030743404 Hkum4408
Brian.s 030743404 Hkum4408
Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Bontang, 11 Juli 2021
Yang Membuat Pernyataan
Brian Salviantono
No Soal
1 Islam memiliki 3 (tiga) sendi utama yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Sendi syariah merupakan
seperangkat norma ilahi yang mengatur tentang interaksi. Interaksi yang dimaksud adalah hubungan
antara manusia dengan tuhannya, antar sesama manusia, manusia dengan benda mati dan alam
sekitarnya. Sumber syariah adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijtihad. Ketiga sumber syariah ini
merupakan sumber primer dalam pembentukan dan penegakan hukum Islam terkait interaksi yang
akan, sedang atau sudah dilakukan.
Pertanyaan:
1) Buatlah analisis perbedaan-perbedaan antar sumber-sumber primer hukum Islam sehingga
terbentuk klasifikasi terhadap sumber-sumber hukum Islam tersebut! Klasifikasikan berdasarkan
sumber, kekuatan hukum, dan fungsinya.
2) Ijtihad merupakan sumber hukum dalam Islam yang menggunakan akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk berijtihad. Beratnya syarat-syarat berijtihad menjadi alasan pada masa
sekarang dan akan datang dilakukannya ijtihad kolektif. Berikan analisis saudara terkait ijtihad
kolektif dan hasil/akibatnya.
2 1) Wakaf dan wasiat merupakan dua hal yang sudah terdapat pengaturannya dalam Hukum Islam.
Keduanya pula memiliki persamaan dan perbedaan masing-masing tetapi pada kasus tertentu,
wasiat menjadi dasar atas suatu pelaksanaan wakaf. Oleh karena itu, terdapat hubungan antara
wakaf dengan wasiat.
Pertanyaan: Buatlah perbandingan antara wakaf dengan wasiat dengan merinci persamaan dan
perbedaannya!
2) Tuan X berumur 30 tahun, berprofesi sebagai seorang arsitek, ia memiliki seorang istri dan 2 anak.
Tuan X sewaktu sakit membuat wasiat secara lisan dengan disaksikan oleh istrinya langsung bahwa
ia akan mewakafkan seluruh hartanya untuk keperluan umat Islam pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Pertanyaan: Buatlah analisis mengenai keabsahan wakaf wasiat tersebut!
3 Studi Kasus
Tuan X meninggal dunia meninggalkan harta warisan dengan ahli waris sebagai berikut: Istri, 2 anak
laki-laki, 1 anak perempuan, ayah, ibu, nenek, kakek, 3 saudara laki-laki sekandung.
Pertanyaan:
1) Kategorikan ahli waris yang termasuk pada ahli waris Dzawil Furudh dan Ashabah pada kasus di
atas!
2) Pada kasus di atas, tentukan ahli waris yang pasti dapat bagian harta warisan! Berikan analisisnya!
4 Berdasarkan Pasal 130 HIR/154 RBg mengatur bahwa mediasi merupakan bagian dari tahapan yang
wajib dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa perdata di pengadilan (termasuk di pengadilan
agama). Terkait prosedur mediasi di pengadilan berpedoman pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 yang
menggantikan PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
Pertanyaan:
Buatlah analisis mengenai perbandingan pengaturan mengenai prosedur mediasi di pengadilan yang
terdapat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang:
1) Waktu pelaksanaan mediasi;
2) Iktikad baik dan Iktikad tidak baik;
3) Keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat.
Jawaban
1 A. analisis perbedaan-perbedaan antar sumber-sumber primer hukum Islam sehingga terbentuk
klasifikasi berdasarkan sumber, kekuatan hukum, dan fungsinya terhadap sumber-sumber hukum
Islam tersebut
Definisi Sumber Hukum Islam
Kata sumber menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah asal dari segala sesuatu
(Poerwadarminta, 1976:974). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah asal atau tempat di
mana pengambilan hukum Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam di tanah air, sumber hukum Islam
kadang-kadang disebut dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam.
Sumber Hukum Islam
Mengenai apa saja yang menjadi sumber hukum Islam, kita dapat menemukan dalam Al-Quran
Surat An Nisa ayat 59 dan hadis Mu'az bin Jabal.
• Dalam surat An Nisa : 59
اّللِ َو ْاليَ ْو ِٰٓم َٰٓ ِن كُ ْنت ُ ْٰٓم تُؤْ مِ نُ ْو
ٰٰٓ ِن ب ْٰٓ ل ا ٰٰٓ ٰٓش ْيءٰٓ فَ ُرد ُّْوهُٰٓ اِلَى
َّ ّللاِ َو
ِٰٓ الرسُ ْو َ ي ْٰٓ ل َواُولِىٰٓ ْاْلَ ْم ِٰٓر مِ ْنكُ ْٰٓم فَا
ْٰٓ ِِن تَنَازَ ْعت ُ ْٰٓم ف َّ ّٰٓللا َواَطِ ْيعُوا
َٰٓ الرسُ ْو َٰٓ يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذي
َٰٰٓ ْٰٓن ا َمنُ ْوآٰ اَطِ ْيعُوا
ًٰٓن تَأ ْ ِويْل
ُٰٓ س َ
َ ِْك َخيْرٰٓ َّواح َٰٓ ْاْلخِ ِٰٓر ذل
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada Surat An Nisa': 59 disebutkan bahwa setiap muslim wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak
Rasul dan kehendak Ulil `Amri. Kehendak Allah adalah menjauhi Larangan-Nya dan melaksanakan
perintah-Nya sesuai yang diturunkan melalui Al-Quran. Perintah menaati Rasul adalah menjalankan
perintah yang diberikan Rasul melalui sunah. Dalam hal ini, Sunah tersebut paralel dengan Al-Quran
yang berasal dari Allah SWT. Ulil `Amri adalah orang yang mempunyai kekuasaan berupa ilmu
pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utama, yaitu Al-Quran dan
Hadis.
• Hadis Mu'az bin Jabal.
Hadis Mu'az bin Jabal yaitu berupa percakapan antara Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya
Mu'az bin Jabal. Percakapan ini muncul saat Mu'az bin Jabal akan pergi ke Yaman untuk menjadi
Gubernur disana, sebelum sahabatnya pergi, Rasul menguji dengan bertanya sumber hukum yang
akan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Berikut ini potongan percakapan antara Rasul dan Mu'az bin Jabal.
Rasul : "Dengan pedoman apa engkau akan memutus suatu urusan?"
Mu'az : "Dengan kitabullah"
Rasul : "Kalau tidak ada dalam Al-Quran?"
Mu'az : "Dengan sunah Rasulullah"
Rasul : "Kalau dalam sunah juga tidak ada?"
Mu'az : "Saya berijtihad dengan pikiran saya"
Rasul : "Maha Suci Allah yang telah memberikan bimbingan kepada utusan Rasulnya dengan satu
sikap yang disetujui Rasulnya.” (Rasjidi dalam Abdul Ghofur Anshori, 2008:126)
Berdasarkan Al-Quran Surat An-Nisa dan Hadis yang berasal dari Mu'az bin Jabal tersebut
dapat kita tarik kesimpulan bahwa sumber hukum Islam terdiri dari tiga jenis. Sumber hukum Islam
tersebut adalah Al-Quran, As-Sunah, dan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber hukum Islam tersebut memiliki jenjang yang bertingkat. Al-Quran, Sunah, kemudian
baru Ijtihad. Dalam menentukan suatu hukum, maka pertama kali dicari melalui Al-Quran, apabila
tidak ada dicari dalam Sunah, apabila masih tidak ditemukan maka menggunakan Ijtihad dengan dasar
Al-Quran dan Sunah. Dalam hal ini, Ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan
Sunah, kemudian Sunah tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran.
Klasifikasi Sumber Hukum Islam
1) Al-Quran
Al-Quran secara etimologis berasal dari kata qara-a yang berarti membaca, menelaah,
mempelajari, menyampaikan, mengumpulkan dan melahirkan. Kemudian, berubah menjadi kata
benda Quran yang berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari. Secara
terminologis, ada beberapa pengertian Al-Quran. Pengertian tersebut berasal dari istilah ahli
kalam, pengertian tersebut di antaranya:
"Al-Quran itu adalah sifat yang Qadim yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang hikamiyah
(penuh hikmah) dari ayat pertama Al Fatihah dan berakhir An Nas."
"Al-Quran itu adalah lafaz yang diturunkan kepada Nabi dari Surat Al Fatihah sampai An Nas" (Dr.
Mardani. 2010: 133)
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa pengertian Al-Quran
adalah kitab bacaan yang berasal dari Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
yang berawal dari Al Fatihah sampai An-Nas.
Al-Quran merupakan kitab umat Islam yang menjadi tuntunan dalam hubungan antara
manusia dengan Penciptanya, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam
sekitarnya. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, dengan makna yang benar, agar
menjadi hujjah (bukti) bagi Nabi Muhammad SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga
sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia. Selain hal tersebut terdapat
keuntungan lain, yaitu mendapatkan pahala apabila membacanya.
Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara dan membicarakan hukum, kebanyakan bersifat umum
tidak membicarakan soal-soal yang kecil. Meskipun dengan serba singkat, Al-Quran sudah
melingkupi semua persoalan yang bertalian dengan dunia dan akhirat. Jadi dengan demikian, Al-
Quran menjadi sumber pertama dan utama dalam hukum Islam. Selain hal tersebut, Al-Quran
menjadi dalil pokok hukum Islam. Dari Al-Quran ditimba norma-norma hukum bagi kemaslahatan
umat manusia. Dengan Al-Quran kita mendapat petunjuk dan bimbingan untuk memutuskan
problematika yang ada dalam hidup dan kehidupan.
Al-Quran sebagai sumber hukum
Al-Quran adalah sumber hukum pertama dan utama. Di dalam Al-Quran mengandung
kaidah yang fundamental dan perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Al-Quran
berarti bacaan, sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari.
Al-Quran dihimpun antara tepian lembaran mushaf yang dimulai dengan surat AI-Fatihah
dan ditutup dengan surat An-Nas yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir (berurutan),
baik secara lisan maupun tulisan dari generasi ke generasi, dan tetap terpelihara dari perubahan
dan penggantian apapun. (Abdul Wahhad Khallaf, 1994: 18)
Al-Quran merupakan wahyu yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim, sebagai korektor dan penyempurna kitab sebelumnya.
Sayid Husein Nasr berkata bahwa Al-Quran memiliki tiga petunjuk bagi manusia, petunjuk tersebut
adalah:
a. ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yang
mendiaminya termasuk ajaran tentang keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral
atau akhlak;
b. Al-Quran berisi sejarah atau kisah-kisah hidup manusia jaman dulu termasuk kejadian para Nabi,
berisi pula tentang petunjuk di hari kemudian atau akhirat;
c. Al-Quran berisi pula sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa karena mengandung
sesuatu yang berbeda dengan yang kita pelajari secara rasional.
Kekuatan hukum Al-Quran
Al-Quran nilai kebenarannya adalah qath’I (absolut), karena Al-Quran merupakan wahyu
yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi setiap
muslim. Al-Quran sudah pasti otentik lafadznya. Apabila Al-Quran berbicara mengenai akidah atau
hal-hal gaib maka setiap muslim harus senantiasa untuk mengimaninya.
Al-Quran terdiri dari 114 surat, 91 surat turun di Mekah dan 23 surat turun di Madinah.
Menurut Abdul Wahab Khallaf hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran pada garis besarnya dapat
dibagi menjadi tiga macam.
a. Hukum-hukum yang bertalian dengan keyakinan yang menjadi kewajiban bagi orang yang
mukhalaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama,
karena telah dewasa dan berakal (akil balig), serta telah mendengar seruan agama). Dalam hal
ini, bertalian dengan Allah SWT, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, dan hari kiamat.
b. Hukum-hukum yang bertalian dengan akhlak, ialah yang menjadi kewajiban bagi setiap mukhalaf
untuk berakhlak dengan akhlak yang mulia dan menjauh dari akhlak yang buruk.
c. Hukum-hukum yang bertalian dengan apa saja yang diperbuat atau dikatakan oleh setiap
mukhalaf dalam pergaulan hidupnya, baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan
Penciptanya, dengan sesama dan dengan lingkungannya. Selanjutnya, inilah yang disebut
dengan hukum syariah dan inilah yang disebut dengan fiqh atau hukum Islam.
Selanjutnya, Abdul Wahab mengemukakan hukum-hukum yang berhubungan dengan
pergaulan hidup ini dalam Al-Quran ada dua macam:
a. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, ibadah lain yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Hukum ini bersifat tetap dan tidak bisa
berubah-ubah.
b. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan hidup antarsesama manusia. Hukum tersebut disebut
dengan muamalah. Dalam hukum ini mengatur mengenai beberapa bidang, meliputi Hukum
Perdata, Hukum Pidana, hukum Acara Perdata dan Pidana, Hukum Konstitusi, Hukum
Intemasional dan Hukum Keuangan atau Ekonomi. Hukum yang berkaitan dengan masyarakat
ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan. Atas dasar itu hukum tersebut dapat dipakai
pada semua tempat dan waktu.
Sementara itu, hukum yang dikandung dalam Al-Quran ini meliputi tiga macam (Abdul
Wahhad Khallaf dalam Abdul Ghofitr Anshori, 2008:135).
a. Hukum-hukum I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap
subjek hukum, yaitu mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-
Nya, hari akhir, serta qadha dan qadhar.
b. Hukum moralitas, hukum ini berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan perhiasan oleh
setiap subjek hukum, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal yang tercela.
c. Hukum amaliyah, berkaitan dengan sesuatu yang timbul dari subjek hukum, baik berupa
perkataan, perbuatan, perjanjian hukum dan pembelanjaan. Hukum amaliyah dibagi menjadi
dua macam. Yang pertama adalah hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhannya. Kemudian, yang kedua adalah muamalah, yaitu mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya.
Fungsi Al-Quran
Fungsi dari Al-Quran adalah sebagai pedoman hidup manusia dalam hubungannya dengan
sang Pencipta, sesama manusia dan alam sekitar. Al-Quran berisi mengenai ajaran yang memberi
pengetahuan tentang berbagi hal baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, sejarah
hidup manusia jaman dahulu dan sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa karena
maknanya sangat dalam. Al-Quran turun selama jangka waktu 23 tahun, 10 tahun di kota Madinah
dan 12 tahun, 2 bulan, 22 hari di Mekah.
2) As-Sunah / Al Hadis
Sunah secara etimologi memiliki arti jalan atau metode. Menurut ulama ahli hadis, sunah
adalah perkataan, perbuatan, legalisasi, sifat akhlak dan anggota badan yang sumbernya dari
Rasulullah SAW. Sementara itu, menurut ulama ushul fikih, sunah adalah perkataan, perbuatan
dan legalisasi terhadap suatu perkataan dan perbuatan yang datang dari Rasulullah SAW. (Hafidz
Abdurrahman dalam Abdul Ghofur Anshori, 2008: 139).
Berdasarkan pengertian di atas kita dapat mendefinisikan bahwa sunah adalah segala
perbuatan, perkataan dan keizinan dari Nabi Muhammad SAW.
Selain sunah dikenal juga dengan istilah hadis. Hadis secara bahasa bermakna sesuatu yang
baru, dekat dan khabar. Hadis secara istilah diartikan sebagai kabar yang bersumber dari nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapannya. (Miftah Fardl & Agus
Syihabuddinn dalam Abdul Ghofur Anshori, 2008: 140).
Para ahli berpendapat bahwa Sunah dan hadis memiliki perbedaan, akan tetapi ada juga yang
tidak membedakan keduanya. Menurut ahli yang berpendapat ada perbedaan, perbedaan
tersebut adalah sunah berasal dari Nabi Muhammad SAW yang diucapkan dan dilakukan secara
terus menerus, diturunkan dari generasi ke generasi dan diikuti oleh sahabat-sahabat. Sementara
itu, hadis berkonotasi segala peristiwa yang diambil dari Nabi Muhammad, walaupun hanya sekali
saja beliau melakukan atau mengatakannya. Akan tetapi, dalam kebiasaan hukum Islam, hadis dan
sunah hanya berbeda dari sisi penggunaan, tidak berbeda dari isi dan tujuannya.
Sunah/Hadis sebagai sumber hukum
Sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Sunah berfungsi sebagai
penopang dan penyempuma Al-Quran dalam menjelaskan hukum-hukumnya. Apabila sunah tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan dalam hal cara
shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji, dan lain-lain. Sebab ayat Al-Quran dalam hal tersebut
hanya berbicara secara global dan umum, penjelasan secara terperinci ditemui dalam sunah.
Dasar hukum penggunaan sunah sebagai sumber hukum terdapat dalam ayat Al-Quran. Ayat
tersebut adalah Qs. An Nisa:80 yang berbunyi :
Referensi:
1) Ashary, H. M. 2013. Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2) Irma Devita Purnamasari. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah hukum Waris.
Bandung: Penerbit Kaifa, 2012
3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
4 Analisis mengenai perbandingan pengaturan mengenai prosedur mediasi di pengadilan yang
terdapat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang:
1) Waktu pelaksanaan mediasi
2) Iktikad baik dan Iktikad tidak baik
3) Keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat.
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di
tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampakkan pihak ketiga sebagai mediator dalam
menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada ditengah”
juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama,
sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Dari segi terminologi terdapat banyak pendapat yang memberikan penekanan yang berbeda
tentang mediasi. Meski banyak yang memperdebatkan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud
dengan mediasi, namun setidaknya ada beberapa batasan atau definisi yang bisa dijadikan acuan.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan, pengertian mediasi disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1, yaitu: “Mediasi adalah proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu mediator”.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun
2008, karena PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dianggap belum optimal dalam memenuhi kebutuhan
pelaksanaan mediasi yang lebih berdayaguna dan mampu meningkatkan keberhasilan mediasi di
Pengadilan.
Dalam rangka menyempurnakan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, maka PERMA Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mengatur lebih rinci beberapa hal yang belum diatur
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, antara lain sebagai berikut:
1) Waktu Pelaksanaan Mediasi
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008, proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh)
hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Pada PERMA
Nomor 1 Tahun 2016, Proses Mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya pemberitahuan putusan sela Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Hal ini berarti
bahwa batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 (empat puluh) hari menjadi 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.
2) Iktikad baik dan Iktikad tidak baik
Berhubungan dengan masalah pengaturan iktikad baik dan akibat hukum para pihak yang
tidak beriktikad baik dalam proses mediasi, dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 penjabarannya tidak
rinci seperti di dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008, pada pasal
12 berbunyi :
(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.
(2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh
mediasi dengan iktikad tidak baik.
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016, pada pasal 7 berbunyi:
(1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik.
(2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad
baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan:
a. tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi
tanpa alasan sah;
b. menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan
berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturutturut tanpa alasan sah;
c. ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan
sah;
d. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume
Perkara pihak lain; dan/atau
e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan
sah.
Apabila penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2016, maka berdasarkan Pasal 23 PERMA
Nomor 1 Tahun 2016, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 22 PERMA Nomor 1 Tahun 2016.
Penggugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
pula kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator menyampaikan laporan penggugat tidak
beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan
perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi.
Berdasarkan laporan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Hakim Pemeriksa
Perkara mengeluarkan putusan yang merupakan putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat
diterima disertai penghukuman pembayaran Biaya Mediasi dan biaya perkara.
Biaya Mediasi sebagai penghukuman kepada penggugat dapat diambil dari panjar biaya
perkara atau pembayaran tersendiri oleh penggugat dan diserahkan kepada tergugat melalui
Kepaniteraan Pengadilan.
Apabila Tergugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2), dikenai kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator menyampaikan laporan tergugat
tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi
dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya
Mediasi.
Berdasarkan laporan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebelum melanjutkan
pemeriksaan, Hakim Pemeriksa Perkara dalam persidangan yang ditetapkan berikutnya wajib
mengeluarkan penetapan yang menyatakan tergugat tidak beriktikad baik dan menghukum tergugat
untuk membayar Biaya Mediasi.
Biaya Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari biaya perkara
yang wajib disebutkan dalam amar putusan akhir. Dalam hal tergugat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dimenangkan dalam putusan, amar putusan menyatakan Biaya Mediasi dibebankan kepada
tergugat, sedangkan biaya perkara tetap dibebankan kepada penggugat sebagai pihak yang kalah.
Dalam perkara perceraian di lingkungan peradilan agama, tergugat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihukum membayar Biaya Mediasi, sedangkan biaya perkara dibebankan kepada
penggugat. Pembayaran Biaya Mediasi oleh tergugat yang akan diserahkan kepada penggugat melalui
kepaniteraan Pengadilan mengikuti pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi.
Ketentuan Pasal 7, Pasal 22 dan Pasal 23 inilah yang nyata berbeda dari ketentuan PERMA
No.1 Tahun 2008. Disinilah ruh esensial dan indikasi efektifitas proses Mediasi dalam menyelesaikan
perkara. Dengan adanya i’tikad baik inilah maka proses mediasi akan berjalan dengan efektif dan
efisien.
3) Keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat.
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008, pada pasal 16 berbunyi :
(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat
membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
(2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak
mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli.
(3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh
para pihak berdasarkan kesepakatan.
Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016, pada pasal 26 berbunyi:
(1) Atas persetujuan Para Pihak dan/atau kuasa hukum, Mediator dapat menghadirkan seorang atau
lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat.
(2) Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak
mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian ahli dan/atau tokoh masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pada Perma tahun 2008, mediator hanya dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam
bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat. Sedangkan pada Perma tahun 2016 mediator dapat
menghadirkan ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama atau tokoh adat dalam dapat membantu dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat.
Referensi :
1. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
2. PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
3. Umam, Khotibul. 2015. Hukum Islam Dan Acara Peradilan Agama. Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka.
4. Syahrizal Abbas. 2011. Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta:
Kencana.
5. Mariah. S.M. Purba. 2018. Rekonstruksi Perma No.1 Tahun 2016 Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Peradilan. Jurnal Hukum Volume 13 no.1 Januari-Juni 2018, P-ISSN : 2615-3416, E-ISSN
: 2615-7845, diakses pada tanggal 11 Juli 2021.