Revisi Proposal Rafiq

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 38

TINJAUAN KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH TENTANG

JUAL BELI MAKANAN TANPA PENCANTUMAN HARGA


DI CAFÉ HUTAN KOTA PALU

Proposal Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Seminar Proposal


Pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu

Oleh:
Muhammad Rafiq
NIM: 19. 3. 07.0006

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA
PALU SULAWESI TENGAH
2023
Halaman Persetujuan Pembimbing

Proposal yang berjudul “Tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Tentang Jual Beli Makanan Tanpa Pencantuman Harga Di Cafe Hutan Kota Palu”

oleh mahasiswa atas nama Muhammad Rafiq NIM: 19.3.07.0006, mahasiswa

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri

(UIN) Datokarama Palu, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi Proposal

Skripsi yang bersangkutan, maka masing-masing pembimbing memandang bahwa

Proposal Skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat diajukan

untuk diseminarkan.

Palu, 28 Agustus 2023 M


11 Safar 1445 H

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Nasaruddin, M. Ag Dr. Sitti Aisya, S.E.I., M.E.I.


NIP: 19641231 199203 1 024 NIP. 19791024 201101 2 007

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang .................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................5
D. Penegasan Istilah ..............................................................................6
E. Garis-garis Besar Isi .......................................................................6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...........................................................................9


A. Penelitian Terdahulu ......................................................................9
B. Tinjauan Teori .............................................................................12
1. Jual Beli Menurut Islam ...........................................................12
2. Jual Beli Menurut KHES .........................................................24
C. Kerangka Pemikiran .....................................................................28

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................29


A. Pendekatan dan Desain Penelitian ...............................................29
B. Lokasi Penelitian ..........................................................................29
C. Kehadiran Peneliti ........................................................................29
D. Data dan Sumber Data .................................................................30
E. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................31
F. Teknik Analisis Data ....................................................................32
G. Pengecekan Keabsahan Data........................................................33

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, manusia adalah makhluk yang

senantiasa bergantung dan terikat serta saling membutuhkan kepada yang lain.

Secara naluriah, manusia saling tolong menolong dan setiap orang memiliki

kepentingan terhadap orang lain, sehingga menimbulkan hubungan antara hak dan

kewajiban. Setiap orang mempunyai hak yang wajib diperhatikan oleh orang lain

dan dalam waktu yang sama juga menuntut kewajiban yang wajib ditunaikan.

Hubungan hak dan kewajiban itu diatur dalam kaidah-kaidah hukum yang bertujuan

untuk menghindari terjadinya bentrokan berbagai kepentingan. Kaidah-kaidah

hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam kehidupan

bermasyarakat itu disebut dengan Mu’amalah.1

Jual beli atau bisnis adalah aktivitas yang biasa dilakukan oleh semua orang

dalam masyarakat sehari-hari. Namun, tidak semua orang Muslim menjalankan jual

beli sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Bahkan ada pula yang tidak tahu
sama sekali tentang ketentutanketentuan yang ditetapkan oleh hukum Islam dalam

hal jual beli (bisnis). Dalam al-Qur'an dan Hadis, yang merupakan panduan hukum

utama dalam Islam, terdapat banyak contoh dan aturan yang mengatur prinsip-

prinsip bisnis yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tidak hanya berlaku bagi

penjual, tetapi juga bagi pembeli. Saat ini, banyak penjual yang lebih fokus pada

keuntungan pribadi tanpa memperhatikan norma-norma hukum Islam. Mereka

cenderung hanya mengejar keuntungan materi dunia tanpa memperhitungkan

berkah dari usaha yang mereka lakukan.2

1
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2004), 11.

2
Shobirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”, BISNIS 3 no. 2 (Desember 2015) 240.

1
2

Jual beli menjadi kegiatan rutin yang dilakukan setiap waktu oleh semua

manusia. Akan tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam belum tentu semua

muslim melaksanakannya, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali tentang

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual tidak jelas,

sepertimengandung unsur paksaan, tipuan, mudarat, serta adanya syarat-syarat lain

yang membuat jual beli itu rusak dalam rukun dan syarat jual beli sesuai dengan

syar’i.3

Al-Qur`an dan hadits banyak memberikan contoh atau mengatur mengenai

bisnis yang baik menurut Islam. Hal ini sudah dijelaskan dalam Q.S An-Nisa>/3 ayat

29.
ُ ْ
ْ‫ك ْمۗ َو َلا َت ْق ُت ُلوْٓا‬ َ ْ َ ً َ َ َ ْ ُ َ ْ َ َّ َ ْ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ٰ َ ْ َّ َ َ ٰٓ
َ ُّ
‫اض ِمن‬ ِ ‫يايها ال ِذين امنوا لا تأكلوْٓا اموالكم بينكم ِبالب‬
ٍ ‫اط ِل ِال ْٓا ان تكون ِتجارة عن تر‬
ً ُ َ َ ‫َ ْ ُ ُ َّ ه‬
َ ‫انف َسك ْمۗ ان‬
٢٩ ‫اّٰلل كان ِبك ْم َر ِح ْيما‬ ِ
Terjemahnya:
”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil kecali dalam perdagangan yang berlaku
atau dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang ke padamu”.4
Dijelaskan bahwa pada ayat di atas, Islam membolehkan adanya jual beli

menggunakan prosedur yang telah ditentukan sesuai dengan hokum Islam, yang
didalamnya tidak mengandung riba, gharar, maisir, dan lainnya yang dilarang

syariat Islam. Kegiatan jual beli harus didasari suka saling suka dan tidak

merugikan salah satu pihak, karena jual beli adalah kegiatan nyata yang pasti

dilakukan manusia dengan manusia lainnya.5

3
Abdul Rahman Ghazali, dan kawan-kawan, Fiqih Muamalah (Jakata: Kencana Prenada
Media Group, 2010), 77.

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Al-Qur’an dan


4

Terjemahnya, 2019), 83.

Faizatul Jamilah, “Jual Beli Makanan Di Rumah Makan Tanpa Pencantuman Harga Di
5

tinjau Dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Studi Pada Rumah Makan Vemas Kec. Mataram
Baru Kab. Lampung Timur)” (Skripsi Tidak Diterbitkan, Program Studi Mu’amalah, Institut Agama
Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017), 5.
3

Dalam hal jual beli, Islam juga telah menetapkan aturan-aturan hukumnya

seperti yang telah diajarkan oleh Nabi saw., baik mengenai rukun, syarat, maupun

jual beli yang diperbolehkan ataupun yang tidak diperbolehkan. Transaksi jual beli

merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan

hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pembeli, maka dengan

sendirinyadalam perbuatan hukum itu harus terpenuhi rukun dan syaratnya.6

Dengan perkembangan dunia jual beli yang semakin maju, pembeli perlu

lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi, dan sebaiknya harga ditetapkan

sesuai dengan standar umum. Karena transaksi melibatkan dua pihak yang berbeda,

yakni penjual dan pembeli, penting untuk menjaga transparansi harga agar pembeli

memiliki hak untuk mengetahui nilai barang atau makanan yang akan dibelinya.

Transparansi di sini mengacu pada keharusan setiap akad dilakukan dengan

tanggung jawab yang terbuka oleh semua pihak yang terlibat.7

Pertumbuhan industri kuliner, khususnya sektor café, telah menjadi fenomena

yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu tren yang semakin

berkembang adalah praktik jual beli makanan tanpa mencantumkan harga, yang
umumnya ditemui di berbagai kafe, termasuk di Café Hutan Kota Palu. Sebagian

besar menu tidak mencantumkan harga, terutama untuk menu khusus atau promosi,

Beberapa konsumen menunjukkan kebingungan terkait harga makanan yang tidak

dicantumkan, tetapi sebagian besar konsumen tetap melanjutkan transaksi tanpa

mempertanyakan hal ini.

Dapat dinyatakan bahwa transaksi jual beli semacam ini dapat dianggap

melibatkan unsur penyamaran karena kekurangan transparansi harga dalam

6
Fitri Wulandari, “Etika Bisnis Islami”, Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah 1 no. 1 (Maret
2003) 145.

7
Husnul Khatimah, “Praktik Jual Beli Tanpa Pencantuman Harga Makanan Menurut Fiqh
Muamala Dan ‘Urf (Studi Kasus Warung Makan Seafood Di Kecamatan Kartasura)”, AL-HAKIM 2
no. 1 (Mei 2020), 29.
4

pelaksanaannya, yang dapat menyebabkan pembatalan perjanjian karena tidak

terpenuhinya unsur-unsur kerelaan. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 29 KHES

bahwa akad yang sah sebagaimana di maksud dalam pasal 27 huruf (a) adalah akad

yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf,

dilakukan dibawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau

penyamaran.

Hal tersebut dapat menimbulkan kekecewan pada pembeli terutama bila

harga yang harus dibayarkan ternyata jauh dari yang diperkirakan, pembeli juga

merasa dirugikan sehingga dalam jual beli tersebut tidak tercapai unsur kerelaan.

Dalam perspektif ekonomi syariah, jual beli harus dilakukan dengan transparansi

dan keadilan. Pencantuman harga menjadi sarana penting untuk mencapai

transparansi tersebut. Namun, praktik jual beli tanpa mencantumkan harga, yang

marak terjadi di kafe-kafe modern, menimbulkan pertanyaan serius terkait dengan

kepatuhan terhadap prinsip-prinsip ekonomi syariah.

Jadi ada beberapa hal yang melatarbelakangi dalam melakukan penelitian di

Café Hutan Kota Palu yang terletak di Kota Palu, dikarenakan jual beli tersebut
dapat tergolong jual beli yang tidak transparan karena tidak adanya pencantuman

harga pada makanan yang dijualnya. Adapun sebab yang lain yaitu dikarenakan

pemilik warung makan tersebut merupakan orang yang beragama Islam, yang

seharusnya mereka mengetahui tentang tata cara bagaimana bermu’amalah yang

baik dan benar sehingga tidak mengandung unsur ketidakjelasan dan ketidakadilan

antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu, agama Islam memberi peraturan yang

sebaik-baiknya agar terciptanya kemaslahatan manusia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas,


maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
5

1. Bagaimana pelaksanaan jual beli makanan di Cafe Hutan Kota Palu?

2. Apa faktor yang melatarbelakangi tidak dicantumkanya harga di Cafe

Hutan Kota Palu?

3. Bagaimana tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terhadap jual

beli makanan tanpa pencantuman harga di Cafe Hutan Kota Palu?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai

oleh penulis ialah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan jual beli makanan di Cafe

Hutan Kota Palu.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi tidak

dicantumkanya harga di Cafe Hutan Kota Palu

c. Untuk mengetahui tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tentang

jual beli makanan tanpa pencantuman harga di Cafe Hutan Kota Palu.

2. Kegunaan penelitian
Dalam penelitian ini ada 2 signifikansi yang akan dicapai yaitu aspek

keilmuwan yang bersifat teoritis dan aspek praktis yang bersifat fungsional:

a. Secara Teoritis

penelitian ini sangat bermanfaat, karena dapat menambah wawasan dan

ilmu pengetahuan mengenai sistem jual beli yang terus berkembang di

masyarakat, serta diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai

bagaimana praktik jual beli yang sesuai dengan hukum Islam.

b. Secara Praktis

penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat memenuhi tugas akhir


guna memperoleh gelar S.H pada Fakultas Syari’ah UIN Datokarama Palu.
6

D. Penegasan Istilah

Untuk menghindari intreprestasi yang berbeda-beda di kalangan pembaca

serta memperoleh gambaran yang jelas dan menghindari salah pengertian dari

maksudjudul di atas, maka perlu penegasan beberapa istilah yang terdapat di

dalam judul proposal skripsi ini, maka penulis menegaskan di bawah ini tentang

pengertiannya sebagai berikut:

1. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan

dsb).8 Hukum Ekonomi Syariah merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tindakan

atau perilaku manusia secara faktual dan empiris, terutama dalam konteks produksi,

distribusi, dan konsumsi, dengan merujuk pada prinsip-prinsip Islam yang berasal

dari al-Qur'an, as-Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Tujuannya adalah

mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.9 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

(KHES) adalah Salah satu cara positif untuk menerapkan hukum Islam adalah

dengan melakukan penyesuaian sesuai dengan situasi saat ini di dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).10

2. Pencantuman Harga

Pencantuman ialah proses; cara; perbuatan mencantumkan.11 Harga ialah

manfaat yang diperoleh dari suatu barang atau jasa oleh individu atau kelompok

pada suatu waktu dan lokasi tertentu. Sebagaimana dalam KHES harga adalah

“Kompilasi”, Wikikamus Free Dictionary. https://id.wiktionary.org/wiki/kompilasi (11


8

November 2023).

9
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama (Jakarta: Kencana Predata Media Group, 2012), 29.

Nashihul Ibad Elhas, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dalam Tinjauan
10

Umum Hukum Islam”, Jurnal At-Tsaman 2 no. 1 (Mei 2020), 62.

11
“Pencantuman,” Wikipedia the Free Encylopedia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pencantuman (11 November 2023).
7

jumlah uang yang harus dibayarkan untuk barang dagangan12. Jadi, Pencantumam

Harga adalah mencantumkan lebal harga pada barang yang menunjukkan nilai dari

sebuah barang. Dalam penelitian ini harga pada menu di café hutan kota Palu.

E. Garis-Garis Besar Isi

Bab I, sebagai bab pendahuluan menguraikan beberapa hal yakni latar

belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pengertian judul, dan

garis-garis besar isi proposal skripsi.

Bab II, membahas tentang kajian pustaka yang meliputi Hukum Ekonomi

Syariah dan Konsep Jual Beli dalam Islam.

Bab III, membahas tentang metode penelitian yang digunakan meliputi

Jenis penelitian, lokasi dan kehadiran peneliti, data dan sumber data, teknik

pengumpulan data, teknik analisis data dan pengecekkan keabsahan data.

12
Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Bandung: Fokus Media, 2008), 19.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu diperlukan untuk menegaskan, melihat kelebihan dan

kelemahan berbagai teori yang dgunakan penulis lain dalam pengkajian

permasalahan yang sama.

1. Skripsi yang ditulis oleh Qanita Sabilah Haq dengan judul “Jual Beli Makanan

Di Kedai Tanpa Pencantuman Harga Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah (Studi Pada Kedai Abdullah Goro Assalam Kec. Kartasura Kab.

Sukoharjo).13

Adapun masalah yang terdapat di dalam skripsi yang ditulis oleh Qanita

Sabilah Haq yaitu terkait kedai yang kurang transaparan karena dalam daftar

menu tidak dicantumkan harga tetapi dengan cara pembayaran seikhlasnya.

Adapun sebab yang lain yakni pemilik kedai tersebut beragama muslim, yang

mana seharusnya paham dengan cara jual beli yang dianjurkan syariat Islam

Metode dalam Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang


merupakan penelitian lapangan yang sumber datanya diperoleh langsung

Teknik pengumpulan data penelitian menggunakan observasi, wawancara dan

dokumentasi. Dibutuhkan sebanyak 3 orang narasumber dari pelanggan dan 1

narasumber pemilik kedai untuk mendapatkan data yang akan dianalisis

menggunakan teknik analisis deskriptif dengan metode induktif.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Pelaksanaan jual beli makanan

di Kedai Abdullah Goro Assalam Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo yaitu para

Qanita Sabilah Haq, “Jual Beli Makanan Di Kedai Tanpa Pencantuman Harga Ditinjau
13

Dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Studi Pada Kedai Abdullah Goro Assalam Kec. Kartasura
Kab. Sukoharjo)” (Skripsi Tidak Diterbitkan, Jurusan Hukuman Ekonomi Syariah, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2020).

9
10

pelanggan yang datang dipersilakan untuk makan sesuai porsi yang cukup bagi

pelanggan. Kemudian setelah selesai, pelanggan langsung menuju kotak infaq

yang telah disediakan untuk membayar makanan yang sudah di makan.

Nominal pembayaran harga makanan hanyalah sesuai dengan keikhlasan

pelanggan, karena tidak ada harga khusus yang ditetapkan oleh penjual.

Jadi persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah sama

sama membahas tentang jual beli tanpa pencantuman harga, Adapun

perbedaannya terletak pada pada subjek yang diteliti yang mana penelitian dari

Qanita Sabilah Haq dilaksanakan di Kedai Abdullah Goro Assalam Kec.

Kartasura Kab. Sukoharjo sedangkan penulis melakukakn penelitian di café

hutan kota palu.

2. Skripsi yang ditulis oleh Fauziatul Jamilah dengan judul “Jual Beli Makanan

Di Rumah Makan Tanpa Pencantuman Harga Di Tinjau Dari Kompilasi

Hukum Ekonomi Syari’ah (Studi pada Rumah Makan Vemas Kec. Mataram

Baru Kab. Lampung Timur).14

Adapun masalah yang terdapat di dalam skripsi yang ditulis oleh


Fauziatul Jamilah yaitu karena rumah makan tersebut ramai dikunjungi

berbagai macam pembeli, jual beli tersebut juga tergolong jual beli yang

kurang transparan karena tidak adanya pencantuman harga pada menu

makanan yang dijualnya. Adapun sebab yang lain yaitu dikarenakan pemilik

rumah makan tersebut merupakan orang yang beragama Islam, yang

seharusnya mereka tahu tentang tata cara bagaimana bermu’amalah yang baik

dan benar sehingga tidak mengandung unsur ketidakjelasan.

14
Faizatul Jamilah, “Jual Beli Makanan Di Rumah Makan Tanpa Pencantuman Harga Di
tinjau Dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Studi Pada Rumah Makan Vemas Kec. Mataram
Baru Kab. Lampung Timur)” (Skripsi Tidak Diterbitkan, Program Studi Mu’amalah, Institut Agama
Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017).
11

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) yaitu suatu

penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari lokasi atau lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan jual

beli makanan tanpa pencantuman harga dalam kompilasi hukum ekonomi

syariah diperbolehkan. Sebagaimana yang tercantum pada pasal 78 KHES

yang berbunyi beberapa hal yang termasuk ke dalam jual beli, sekalipun tidak

disebutkan secara tegas dalam akad dalam huruf (a) dalam proses jual beli

biasanya disertakan segala sesuatu yang menurut adat setempat biasa berlaku

dalam barang yang dijual, meskipun tidak secara spesifik dicantumkan. Dan

pada pasal 81 KHES ayat (5) tatacara penyerahan sebagaimana di maksud pada

ayat (4) wajib memperhatikan kebiasaan dan kepatutan dalam masyarakat.

Jadi persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah sama

sama membahas tentang jual beli tanpa pencantuman harga, Adapun

perbedaannya terletak pada pada subjek yang diteliti yang mana penelitian dari

Qanita Sabilah Haq dilaksanakan di Rumah Makan Vemas Kec. Mataram Baru
Kab. Lampung Timur sedangkan penulis melakukakn penelitian di café hutan

kota palu.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Husnul Khatimah dengan judul “Praktik Jual

Beli Tanpa Pencantuman Harga Makanan Menurut Fiqh Muamala Dan ‘Urf

(Studi Kasus Warung Makan Seafood Di Kecamatan Kartasura)”.15

Adapun masalah dalam penelitian ini yang ditulis oleh Husnul Khatimah

yaitu Pada dasarnya jual beli pada umunya sama saja, akan tetapi perbedaannya

adalah pada jual beli ini yaitu dengan tidak adanya pencantuman harga

15
Husnul Khatimah, “Praktik Jual Beli Tanpa Pencantuman Harga Makanan Menurut Fiqh
Muamala Dan ‘Urf (Studi Kasus Warung Makan Seafood Di Kecamatan Kartasura)”, AL-HAKIM 2
no. 1 (Mei 2020).
12

makanan pada menu makanan. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan

(field research) yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan, di mana peristiwa

yang menjadi objek penelitian berlangsung.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan akadnya dalam

praktik jual beli tanpa pencantuman harga makanan ini menurut fiqh muamalah

sebagian besar telah memenuhi rukun dan syarat jual beli, namun terdapat

kecacatan pada akad jual beli yang dilakukan bahwa adanya ketidakjelasan

antara penjual kepada pembeli dengan tidak mencantumkan harga pada menu

makanan yang dijual sehingga harga yang disebutkan oleh penjual di luar dari

pemikiran pembeli yang dapat mengakibatkan pembeli tidak ridha dan terpaksa

melakukan pembayaran karena pembayaran dilakukan setelah makanan selesai

dimakan.

Jadi persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah sama

sama membahas tentang jual beli tanpa pencantuman harga, Adapun

perbedaannya terletak pada pada subjek yang diteliti yang mana penelitian dari

dilaksanakan di Kasus Warung Makan Seafood Di Kecamatan Kartasura


sedangkan penulis melakukakn penelitian di café hutan kota palu.

B. Kajian Teori

1. Jual Beli Menurut Islam

a. Pengertian Jual Beli

Dari segi etimologi, jual beli adalah pertukaran barang dengan barang.

Dalam konteks syariah, itu berarti pertukaran harta dengan harta sesuai dengan

prosedur tertentu (aqad).16 Sedangkan secara terminologi, jual beli merujuk

pada pertukaran barang dengan barang lain atau pertukaran harta yang

bermanfaat dengan persetujuan bersama melalui akad tertentu.17

16
Moh. Rifa’i, Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 402.
13

Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan jual beli menurut istilah adalah

Menukar barang yang memiliki nilai setara dengan cara yang sah dan khusus,

baik melalui ijab-qabul atau mu'athaa (tanpa ijab-qabul), yakni ijab-qabul atau

mu’athaa (tanpa ijab qabul).18 Imam Syafi’i memberikan definisi jual beli yaitu

Pada dasarnya, praktik jual beli diizinkan apabila didasari oleh kesepakatan

atau kerelaan (keridhaan) dari kedua pihak yang sah untuk melakukan transaksi

jual beli barang yang diperbolehkan.19

Jual beli dikemukakan oleh ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah

al-Zuhaily, jual beli adalah “saling tukar harta dengan harta melalui cara

tertentu”. Atau “tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan

melalui cara tertentu yang bermanfaat. Definisi lain dikemukakan Ibn

Qudamah (salah seorang ulama Malikiyah), jual beli adalah “saling menukar

harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan”.20

Berdasarkan pendapat para Ulama di atas, dapat diambil beberapa

kesimpulan dari definisi jual beli, antara lain:

1) Jual beli adalah Jual beli itu seperti menukar harta dengan harta yang lain,
entah itu berupa uang atau barang. Yang penting, tujuannya adalah agar

harta yang ditukar itu menjadi milik kita.

2) Jual beli merupakan akad mu’awadhah yaitu adanya hubungan timbal

balik antara kedua belah pihak, di mana salah satu pihak memberikan

17
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Atthahiriyah, 1976), 268.

18
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillathuhu, Jilid V, terj Abdul Hayyie alKattani,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), 25.

Imam Syafi’I, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, al-Umm, terj. Imron Rosadi,
19

Amiruddin dan Imam Awaluddin, Ringkasan kitab Al Umm, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013),
1.

20
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana, 2010), 67.
14

imbalan atas sesuatu yang ditukar dengan pihak lain.

Dalam praktik jual beli, harus memenuhi berbagai persyaratan, rukun,

dan hal-hal lain yang terkait. Jika syarat dan rukun tersebut tidak terpenuhi,

maka jual beli tersebut dianggap tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Yang

dimaksud dengan "benda" adalah segala sesuatu yang bisa dinilai, termasuk

barang dan uang. Sifat benda tersebut juga harus dapat dinilai, yaitu benda-

benda yang memiliki nilai dan dapat digunakan sesuai dengan ketentuan

syariah.21

Tujuannya adalah menjaga agar proses jual beli dalam kehidupan

masyarakat tetap memenuhi kriteria kehalalan dan keabsahan sesuai dengan

ajaran Islam. Etika dalam jual beli melibatkan beberapa prinsip, seperti

memperdagangkan barang-barang yang diperbolehkan dan menghindari

barang yang haram. Selain itu, dilarang melakukan penipuan, menimbun

barang, bersumpah, menaikkan harga barang yang telah ditetapkan, atau

mencari laba yang berlebihan. Pedagang Muslim juga diwajibkan untuk

membayar zakat atas keuntungan yang diperoleh jika memenuhi syarat yang
telah ditetapkan oleh agama. Lebih dari itu, mereka wajib tetap mematuhi

perintah-perintah agama meskipun sibuk dengan aktivitas dagang mereka.22

b. Dasar Hukum Jual Beli

Dasar hukum jual beli dalam Islam bersumber dari Al-Quran dan hadis.

Beberapa ayat Al-Quran dan hadis yang menjadi landasan untuk praktik jual

beli antara lain adalah sebagai berikut.

1) Al-Qur’an

Q.S. al-Baqarah/2 ayat 275 :

21
Yusuf Al-Qardawi, Hudal Islam, Fatwa Mu‟ashirah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996),
374-375.

22
Ibid.
15

َ ‫اّٰلل ْال َب ْي َع َو َحَّر‬ َ


٢٧٥ ………ۗ‫الر ٰبوا‬ ‫م‬ ُ ‫َوا َحَّل ه‬
ِ
Terjemahnya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…”23

Q.S. an- Nisa>/3 ayat 29


ُ َ َ ْ ُ َ ْ َ َّ
ْۗ‫تج َار ًة َع ْن َت َراض م ْنكم‬ َ ْ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ٰ َ ْ َّ َ َ ٰٓ
ُّ
ِ ٍ ِ ‫يايها ال ِذين امنوا لا تأكلوْٓا اموالكم بينكم ِبالب‬
ِ ‫اط ِل ِال ْٓا ان تكون‬
ً ُ َ َ ‫َ َ ْ ُ ُ ْ َ ْ ُ ُ َّ ه‬
َ ‫َولا تقتلوْٓا انف َسك ْمۗ ان‬
٢٩ ‫اّٰلل كان ِبك ْم َر ِح ْيما‬ ِ
Terjemahnya:
”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecali dalam perdagangan yang
berlaku atau dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang ke padamu”.24
Ayat al-Qur’an tersebut menjelaskan bahwa hukum jual beli

diperbolehkan (mubah) dan dihalalkan oleh Allah swt., asalkan tidak

melibatkan unsur riba yang diharamkan. Dalam praktik jual beli, penting untuk

didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak dan tidak menggunakan cara yang

dilarang oleh al-Qur’an dan Sunnah. Isi kandungan ayat tersebut juga

mencerminkan larangan memakan harta secara tidak adil, yang dapat

mencakup larangan terhadap transaksi atau perpindahan harta yang tidak

membawa masyarakat kepada keberhasilan, tetapi malah dapat mengakibatkan


keburukan dan kehancuran, seperti praktik riba, perjudian, jual beli dengan

penipuan, dan sejenisnya.25

Penghalalan Allah swt. terhadap jual beli itu mengandung dua makna,

salah satunya adalah bahwa setiap transaksi jual beli antara dua individu pada

barang yang boleh diperdagangkan diperbolehkan oleh Allah selama dilakukan

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Al-Qur’an dan


23

Terjemahnya, 2019), 47.

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Al-Qur’an dan


24

Terjemahnya, 2019), 83.

25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an), Jilid
I, (Ciputat: Penerbit Lentera hati, 2000), 413.
16

dengan kesepakatan dan persetujuan bersama.26 Oleh karena itu, Allah

menganjurkan agar kita melakukan bisnis dengan prinsip kesepakatan dan

persetujuan bersama. Terdapat ayat lain dalam Qur’an Surat al-Jumu’ah/62

ayat 10:
ُ َّ َّ َ ‫ه‬ ُ ‫ه‬ ْ َ َْ َ ْ َ ُ ٰ َّ َ ُ َ َ
َ ‫اّٰلل َو ْاذك ُروا‬
ْ‫اّٰلل كث ْي ًرا ل َعلكم‬ َُ
ِ ‫ف ِاذا ق ِضي ِت الصلوة فانت ِش ُر ْوا ِفى الا ْر ِض َو ْابتغ ْوا ِم ْن فض ِل‬
ِ
َ ُ ُْ
١٠ ‫تف ِلح ْون‬
Terjemahanya:
“apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.”27
Potongan ayat tersebut menjelaskan tentang keseimbangan yang

merupakan ciri khas dari pendekatan Islam (manhaj Islami). Keseimbangan ini

melibatkan harmoni antara tuntutan kehidupan dunia, seperti pekerjaan,

kelelahan, aktivitas, dan usaha, dengan perhatian pada proses spiritual, yaitu

ruh yang berserah diri dalam beribadah dan meninggalkan sejenak kegiatan

yang sibuk dan mengalihkan perhatian. Keseimbangan ini juga memerlukan

konsentrasi hati dan kemurnian dalam berzikir kepada Allah. Aktivitas berzikir

ini dianggap penting karena tanpa itu, hati tidak mungkin dapat menjalin
hubungan, menerima, dan menunaikan tanggung jawab besar dalam hidup.

Jadi, ketiga ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt. memberikan izin

kepada manusia untuk melakukan transaksi jual beli demi memenuhi

kebutuhan hidupnya. Namun, tentu saja transaksi jual beli tersebut harus sesuai

dengan ketentuan atau aturan yang telah Allah berikan dalam agama Islam.

Allah juga menyerukan manusia untuk mencari karunia-Nya dan senantiasa

ingat kepada-Nya dalam segala aktivitas kehidupan.

Imam Syafi’I, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, al-Umm, terj. Imron Rosadi,
26

Amiruddin dan Imam Awaluddin, Ringkasan kitab Al Umm, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013),
1.

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Al-Qur’an dan


27

Terjemahnya, 2019), 554.


17

2) Hadis

Hadis yang menerangkan tentang jual beli yaitu.

ُُ َ َ ْ َ َ
ْ ُ َ ُ َ َ َ َ ُ َ ْ ََ َ َ َ َ
‫الرج ِل ِب َي ِد ِه َوكل َب ْي ٍع َمب ُر ْو ٍر‬ ‫ُس ِئل النب ُي صلى اّٰلل عل ْيهِ َو َسل َم أ ُي الك ْس ِب أطيب ؟ قال عمل‬
ِ
Artinya:
Dari Rifa‟ah bin Rafi‟i r.a., bahwasanya Nabi saw. pernah ditanya,
“Pekerjaan apa yang paling baik?”, maka Beliau menjawab: “Pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik.” (H.R.
Al-Bazzar dan dianggap shahih menurut Hakim.28
3) Ijma’

Umat sepakat bahwa praktik jual beli dan penerapannya telah

berlangsung (diperbolehkan) sejak zaman Rasulullah hingga saat ini.

Pernyataan ini sejalan dengan salah satu prinsip fiqh yang disampaikan oleh

Madzhab Syafi'i yang menyatakan:


ْ َّ َ ْ ْ َ َ ُ َ ُ َّ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ ْ ُ ُْ ُ ْ َ َْ
‫الصحة حتى َيق ْو َم د ِل ْيل على ال ُبطل ِان َوالتح ِر ْي ِم‬
ِ ‫ات‬
ُ
ِ ‫والأصل ِفي العقودِ والمعامل‬
Artinya:
“Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil
yang mengharamkannya.”29
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada

prinsipnya, hukum pelaksanaan jual beli adalah boleh (mubah). Tidak hanya
dalam batas-batas tertentu yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi dalam jual

beli juga terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi. Salah satu prinsip

tersebut adalah perlunya didasarkan pada kesepakatan atau persetujuan dan

kerelaan kedua belah pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.30

c. Rukun dan Syarat Jual Beli

Apabila suatu pekerjaan tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka

pekerjaan tersebut akan dibatalkan karena tidak sesuai dengan ketentuan

28
Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, terj. Achmad
Sunarto, Terjemah Kitab Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), 303.

29
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), 48.

30
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Amzah, 2010), 5.
18

syara’.31 Dalam transaksi jual beli, terdapat rukun dan syarat yang harus

dipenuhi agar jual beli dianggap sah atau tidak sesuai dengan syara. Karena

transaksi jual beli melibatkan perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan

hak atas barang dari penjual ke pembeli, maka otomatis, dalam perbuatan

hukum tersebut harus memenuhi rukun dan syaratnya.

1) Rukun Jual Beli

Menurut pandangan Hanafi, rukun jual beli terdiri dari ijab (ungkapan

membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut

pandangan mereka, rukun dalam jual beli hanya terletak pada kerelaan (Ridha)

kedua belah pihak untuk menjalankan transaksi jual beli. Namun, karena

kerelaan merupakan aspek hati yang sulit untuk diamati secara langsung, perlu

adanya indikasi yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak

yang terlibat dalam transaksi jual beli. Menurut pandangan mereka, indikasi

tersebut dapat tercermin melalui ijab dan qabul, atau melalui pertukaran barang

dan harga barang (ta'athi).32 Akan tetapi menurut jumhur ulama rukun jual beli

sebagai berikut.
a. Adanya orang yang berakad al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)

b. Adanya Shigaht (lafal ijab dan kabul)

c. Adanya barang yang di beli

d. Adanya nilai tukar pengganti barang.33

2) Syarat Sah Jual Beli

Adapun syarat jual beli sebagai berikut:

a. Syarat-syarat orang yang berakad

31
Rachmat Syafe’i, Fiqh Mu’amalah (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 76.

32
Nasrun Haroen, Fiqih Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 115.

33
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana, 2010), 71.
19

Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Berakal. Oleh sebab itu tidak sah orang gila dan anak kecil yang belum

mumayyiz melakukan akad.

2. Yang melakukan akad itu ialah orang yang berbeda. Tidak sah

hukumnya seseorang yang melakukan akad dalam waktu yang

bersamaan maksudnya seseorang sebagi penjual sekaligus pembeli.34

b. Syarat yang berkaitan dengan ijab dan kabul.

Para ulama fiqh sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah

kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan tersebut dapat terlihat dari ijab dan

qabul yang terjadi. Menurut pandangan mereka, ijab dan qabul perlu

dinyatakan dengan jelas dalam transaksi yang mengikat kedua belah pihak,

seperti akad jual beli, sewa-menyewa, dan pernikahan. Namun, terkait

dengan transaksi yang hanya mengikat satu pihak, seperti wasiat, hibah,

dan wakaf, tidak perlu adanya qabul, karena akad semacam itu cukup

dengan ijab saja. Bahkan, menurut Ibn Taimiyah (ulama fiqh Hanbali) dan
ulama lainnya, ijab pun tidak dianggap diperlukan dalam konteks wakaf. 35

Syarat ijab Kabul adalah sebagai berikut:

1. Orang yang mengucapkan ijab dan qabul telah balig dan berakal.

2. Kabul sesuai denga ijab. Misalnya, penjual mengatakan: “saya jual

buah ini dengan harga sekian”, kemudian pembeli menjawab “saya

beli buah ini dengan harga sekian”

3. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua belah

34
Ibid., 71-72.

35
Ibid., 72.
20

pihak saling bertatap muka dalam transaksi jual beli.36

c. Syarat-syarat barang yang diperjual belikan (Ma’qud ‘Alaih)

Syarat-syarat yang berkaitan terhadap barang yang diperjual beliakan

adalah sebagai berikut:

1. Kehadiran barang yang akan diperjualbelikan adalah suatu keharusan.

Jika ternyata barang yang hendak dijual tidak ada, maka penjual harus

bersedia untuk memperoleh barang tersebut.

2. Barang harus dapat dimanfaatkan dan memberikan manfaat bagi

manusia.

3. Barang yang diperjualbelikan harus merupakan hak milik sendiri atau

hak milik orang lain dengan kuasa atasnya.

4. Barang yang dijual harus merupakan hak milik sendiri atau hak milik

orang lain dengan kuasa atasnya.37

d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)

1. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

2. Boleh diserahkan pada waktu akad


3. Apabila jual beli yang dilakukan dengan saling mempertukarkan

(barter), maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang

haram.38

Adapun syarat-syarat sahnya jual beli yang dituturkan oleh ulama mazhab

diantaranya sebagi berikut:

1. Menurut mazhab Hanafi syarat jual beli itu ada empat kategori yaitu:

a) Orang yang berakad harus mumayyiz dan berbilang.

36
Ibid., 72-73.

37
Ibid., 75-76.

38
Ibid., 76.
21

b) Sighatnya harus dilakukan di satu tempat, harus sesuia, dan harus didengar

oleh kedua belah pihak.

c) Opjeknya dapat dimanfaatkan, suci, milik sendiri, dapat diserahterimakan.

d) Harga harus jelas.

2. Menurut mazhab Maliki syarat jual beli yaitu:

a) Orang yang melakukan akad harus mumayyiz, cakap hukum, berakal

sehat dan pemilik barang.

b) Pengucapan lapadz harus dilaksanakan dalam satu majelis, antara ijab

dan qabul tidak terputus.

c) Barang yang diperjual belikan harus suci, bermanfaat, diketahui oleh

penjual dan pembeli, serta dapat diserahterimakan.

3. Menurut mazhab Syafi’iyah syarat jual beli yaitu:

a) Orang yang berakad harus mumayyiz, berakal, kehendak sendiri,

beragama Islam.

b) Objek yang diperjual belikan harus suci, dapat diserahterimakan, dapat

dimenfaatkan secara syara’, hak milik sendiri, berupa meteri dan sifat-
sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.

c) Ijab dan qabul tidak terputus dengan percakapan lainnya, harus jelas,

tidak dibatasi periode tertentu.

4. Menurut mazhab Hanbali syarat jual beli yaitu

a. Orang yang berakad harus mubaligh dan berakal sehat (kecuali

barangbarang yang ringan), adanya kerelaan.

b. Sighatnya harus berlangsung dalam satu majlis, tidak terputus, dan

akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu.

c. Objeknya berupa harta, milik para pihak, dapat diserahterimakan,


dinyatakan secara jelas, harga dinyatakan secara jelas, tidak ada halangan
22

syara’.39

d. Macam-macam Jual Beli

Jual beli dapat dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan sudut

pandang yang berbeda. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Jual beli dilihat dari sisi obyek dagangan, dibagi menjadi.

a. Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Jual beli

sebagaimana yang dilakukan layaknya masyarakat umum di sekeliling

kita.

b. Jual beli ash sharf; yaitu penukaran uang dengan uang. Saat ini seperti

yang dipraktekkan dalam penukaran mata uang asing.

c. Jual beli muqabadlah; jual beli barter, jual beli dengan menukarkan

barang dengan barang.

2) Jual beli dilihat dari sisi cara standarisasi harga.

a. Jual beli yang memberi peluang bagi calon pembeli untuk menawar

barang dagangan, dan penjual tidak memberikan informasi harga beli.

b. Jual beli amanah, jual beli di mana penjual memberitahukan harga beli
barang dagangannya dan mungkin tidaknya penjual memperoleh laba.

Jual beli jenis ini dibagi lagi menjadi tiga jenis:

- Murabahah yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang

diketahui. Penjual menjual barang dagangannya dengan

menghendaki keuntungan yang akan diperoleh.

- wadli’ah yaitu menjual barang dengan harga di bawah modal dan

jumlah kerugian yang diketahui. Penjual dengan alasan tertentu

siap menerima kerugian dari barang yang ia jual.

- Jual beli tauliyah; yaitu jual beli dengan menjual barang yang

39
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillathuhu, Jilid V, terj. Abdul Hayyie alKattani,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), 58-71.
23

sesuai dengan harga beli penjual. Penjual rela tidak mendapatkan

keuntungan dari transasksinya.

c. Jual Beli muzayadah (lelang) yakni jual beli dengan cara penjual

menawarkan barang dagangannya, lalu pembeli saling menawar

dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu

si penjual akan menjual degan harga tertinggi dari para pembeli

tersebut. Saat ini jual beli ini dikenal dengan nama lelang, pembeli

yang menawar harga tertinggi adalah yang dipilih oleh penjual, dan

transaksi dapat dilakukan.

d. Jual beli munaqadlah (obral) yakni pembeli menawarkan untuk

membeli barang dengan kriteria tertentu lalu para penjual berlomba

menawarkan daganganannya. Kemudian si pembeli akan membeli

dengan harga termurah dari barang yang ditawarkan oleh para penjual.

e. Jual beli muhathah Jual beli barang dimana penjual menawarkan

diskon kepada pembeli. Jual beli jenis ini banyak dilakukan oleh super

market/mini market untuk menarik pembeli.


3) Jual beli dilihat dari sisi cara pembayarannya dibagi menjadi:

a. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.

b. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.

c. Jual beli dengan pembayaran tertunda.

d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama

tertunda.40

e. Konsep Penentuan Harga dalam Jual Beli

Dalam fiqh Islam, di kenal dua istilah berbeda, mengenai harga suatu

barang, yaitu as-Saman dan as-Sir. As-Saman adalah patokan harga satuan

40
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah (Yogyakarta: Logung Pustaka,2009), 55-57.
24

barang, sedangkan as-Sir adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar.41

Ulama membagi as-sir kepada dua macam, yaitu:

1) Harga yang berlaku secara alami adalah harga yang terbentuk tanpa

campur tangan pemerintah maupun ulah para pedagang. Dalam konteks

harga alami ini, pemerintah tidak diizinkan untuk ikut campur tangan,

karena intervensi pemerintah dapat membatasi hak-hak para pedagang.42

2) Harga suatu komoditas ditetapkan oleh pemerintah setelah

mempertimbangkan modal dan keuntungan yang wajar bagi pedagang atau

produsen, serta memperhatikan kondisi ekonomi riil dan daya beli

masyarakat.43

Dalam ranah ekonomi Islam, setiap individu diperbolehkan untuk

berbisnis. Namun, dilarang untuk terlibat dalam praktik ikhtikar, yang

mengacu pada pengambilan keuntungan di atas tingkat normal dengan cara

mengurangi pasokan barang untuk menaikkan harganya.44

2. Jual Beli Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah

a. Pengertian Jual Beli


Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) pasal 20 ayat

(2), dijelaskan bahwa istilah bai' merujuk pada transaksi jual beli antara

barang dengan barang, atau pertukaran barang dengan uang.45

b. Rukun dan Syarat Jual Beli

41
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jakarta: Gema Insani, 2003), 90.

42
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama), 139.

43
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jakarta: Gema Insani, 2003), 90.

44
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonosia, 2002), 42.

Mahkamah Agung RI, Buku II Tentang Akad Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,
45

(Bandung: Fokus Media, 2008), 10.


25

Adapun yang menjadi rukun dan syarat jual beli menurut pasal 56

KHES ada tiga, yaitu pihak-pihak, objek, dan kesepakatan.46

1) Pihak-pihak

KHES pasal 57, pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian jual beli

terdiri atas penjual, pembeli, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam

perjanjian tersebut.47

2) Objek

KHES Pasal 76, bahwa syarat objek barang yang diperjual belikan

yaitu:

a. Barang yang diperjual belikan harus ada

b. Barang yang diperjualbelikan harus dapat diserahkan

c. Barang yang diperjualbelikan harus berupa barang yang memiliki

nilai/harga tertentu

d. Barang yang diperjualbelikan harus halal

e. Barang yang diperjualbelikan harus diketahui oleh pembeli

f. Kekhususan barang yang diperjual belikan harus diketahui


g. Penunjukan dianggap memenuhi syarat kekhususan barang yang

diperjual belikan apabila barang itu ada ditempat jual beli.

h. Sifat barang yang dapat diketahu secara langsung oleh pembeli tidak

memerlukan penjelasan lebih lanjut

i. Barang yang diperjual belikan harus ditentukan secara pasti pada

waktu akad.48

46
Mahkamah Agung RI, Buku II Tentang Akad Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,
(Bandung: Fokus Media, 2008), 25.

47
Ibid., 25.

48
Ibid., 29-30.
26

KHES pasal 58, bahwa objek jual beli terdiri atas benda yang

berwujud maupun benda yang tidak berwujud, benda bergerak atau benda

tidak bergerak, dan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar.49 Pada

pasal 77 KHES Barang atau benda yang menjadi sebab terjadinya transaksi

jual beli, dalam hal ini harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:50

a. Barang yang terukur menurut porsi, jumlah, berat, atau panjang, baik

berupa satuan maupun keseluruhan.

b. Barang yang ditakar atau ditimbang sesuai jumlah yang telah

ditentukan, sekalipun kapasitas dari takaran dan timbangan tidak

diketahui.

c. Satuan komponen dari barang yang sudah dipisahkan dari komponen

lain yang telah terjual.

3) Kesepakatan

KHES pasal 59 ayat (1) Kesepakatan dapat dilakukan dengan

tulisan, lisan, isyarat. Dan ayat (2) Kesepakatan sebagaimana yang

dimaksud dalam ayat (1) memiliki makna hukum yang sama. Kemudian
pada pasal 60 KHES, kesepakatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

dan harapan masing-masing pihak, baik kebutuhan hidup maupun

pengembangan usaha.51

Selanjutnya pada pasal 62 KHES, penjual dan pembeli wajib

menyepakati nilai objek jual beli yang diwujudkan dalam harga.

Kemudian pada pasal 63 KHES angka (1) penjual wajib menyerahkan

objek jual beli sesuai dengan harga yang telah disepakati, angka (2)

49
Mahkamah Agung RI, Buku II Tentang Akad Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,
(Bandung: Fokus Media, 2008), 25.

50
Ibid., 30.

51
Ibid., 26.
27

pembeli wajib menyerahkan atau benda yang setara nilainnya dengan

objek jual beli. Setelah itu pada pasal 64 KHES, jual beli terjadi dan

mengikat ketika objek jual beli diterima pembeli, sekalipun tidak

dinyatakan secara langsung.52

Sebagaimana yang tercantum pada pasal 70 KHES, bahwa ijab dan

qabul menjadi batal apabila salah satu pihak menunjukan

keidaksungguhan dalam mengucapkan ijab qabul, baik dalam perkataan

maupun perbuatan, sehingga tidak ada alasan utuk melanjutkan jual beli.53

Dalam hubunganya dengan ijab dan qabul, bahwa syarat-syarat sah akad

dalam kompilasi hukum ekonomi syariah adalah:

a. Akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur

ghalah atau khilaf, dilakukan dibawah ikrah atau paksaan, taghrir atau

tipuan, dan ghubn atau penyamaran.

b. Akad yang disepakati harus memuat ketentuan kesepaktan mengikat

diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, terhadap suatu hal

tertentu, dan sebab yang halal menurut syar’iat Islam.54


c. Berakhirnya Akad Jual Beli

Menurut pasal 75 KHES, berakhirnya akad apabila:

1) Penjual dan pembeli dapat mengakhiri akad jual beli.

2) Mengakhiri akad jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh kesepakatan para pihak.

52
Mahkamah Agung RI, Buku II Tentang Akad Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,
(Bandung: Fokus Media, 2008), 26-27.

53
Ibid., 28.

54
Ibid., 18.
28

3) Selesainya akad jual beli harus dilakukan dalam satu rangkaian

kegiatan forum.55

C. Kerangka Pemikiran

Kerangka pikir adalah sebuah konsep penelitian yang dibuatkan berdasarkan

pola pikir penelitian sendiri dengan maksud dapat mempermudah langka penelitian

dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut.56

Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah


Tentang Jual Beli Tanpa Pencantuman
Harga Di Café Hutan Kota Palu

Praktik Jual Beli Di Café Kompilasi Hukum Ekonomi


Hutan Kota Palu Syari’ah

Hasil Penelitian
1. Pelaksanaan jual beli makanan di Cafe
Hutan Kota Palu.
2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
tidak dicantumkanya harga di Cafe
Hutan Kota Palu
3. Tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah tentang jual beli makanan
tanpa pencantuman harga di Cafe Hutan
Kota Palu.

55
Ibid., 29.

56
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2015), 34.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk

mendapatkan pemahaman mendalam tentang praktik jual beli makanan tanpa

pencantuman harga di Café Hutan Kota Palu. Pendekatan kualitatif dipilih karena

memungkinkan penelitian untuk mengeksplorasi konteks, dinamika, dan makna di

balik praktik bisnis tersebut.

Penelitian ini akan menggunakan desain studi kasus. Studi kasus

memungkinkan penelitian untuk memerinci dan menganalisis fenomena tertentu

dalam konteks nyata, dalam hal ini, praktik jual beli makanan tanpa pencantuman

harga di Café Hutan Kota Palu. Studi kasus juga memberikan fleksibilitas dalam

pengumpulan dan analisis data, memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi

perbedaan konteks dan perspektif yang mungkin mempengaruhi praktik tersebut.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Café Hutan Kota di Kota Palu,Tepatnya di


Jalan Jabal Nur, Talise, Kecamatan Mantikulore. Alasan memilih lokasi penelitian

tersebut karena belum ada yang mengangkat judul seperti di atas, sehingga penulis

tertarik untuk melakukan penelitian di Café tersebut, dan sebelumnya belum ada

yang meneliti terkait judul yang diangkat oleh penulis, khususnya di Café hutan

kota Palu.

C. Kehadiran Peneliti

Pada bagian ini peneliti sebagai instrument penelitian sekaligus

pengumpulan data. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan untuk penelitian
kualitatif mutlak di perlukan. Adapun posisi penelitian dalam hal ini telah di ketahui

29
30

oleh pihak-pihak tertentu, khususnya petugas pemilik Café itu sendiri. Kehadiran

peneliti dalam lapangan untuk memberikan informasi dan data yang benar-benar

sesuai dengan pembahasan yang ada, namun tidak menutup kemungkinan akan

memerlukan waktu tambahan apabila situasi dan kondisi yang tidak menghendaki

untuk memperoleh data-data yang di butuhkan dalam penelitian ini.

Kehadiran peneliti dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai

kreatifitas peneliti selama melakukan penelitiankarena salah satu ciri utama

penelitian kualitatif yaitu menjadi instrumen penelitiannya adalah manusia dengan

tidak ada jarak antara peneliti dan yang diteliti sehingga akan diperoleh pemahaman

objek yang diteliti.

D. Data dan Sumber Data

Keberhasilan suatu penelitian sangat bergantung pada data dan sumber data

yang digunakan. Suatu penelitian tidak bisa dianggap ilmiah jika tidak didukung

oleh data yang dapat dipercaya. Moleong menegaskan bahwa dalam penelitian

kualitatif, sumber data utamanya adalah kata-kata dan tindakan, sedangkan data
tambahan seperti dokumen juga memiliki peran penting.57 Sumber data dalam

penelitian ini dikategiorikan dalam dua bentuk yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dilapangan sumber data

primer diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada narasumber atau

informan yang dipilih di lapangan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah bahan rujukan kepustakaan yang menjadi pendukung

dalam penelitian, baik berupa, buku-buku, artikel dan jurnal.

57
Joko P. Subagyo, metode penelitian dalam teori dan praktek, (Jakarta : RumekaCipta
1997), 88.
31

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian. Karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Untuk

mendapatkan data dalam penelitian, maka perlu adanya teknilk yang di pergunakan

dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan terhadap fakta-fakta yang

dibutuhkan oleh peneliti. Observasi adalah dasar ilmu pengetahuan, karena para

ilmuan bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang

dihasilkan melalui kegiatan observasi. Observasi sebagai salah satu teknik dalam

pengumpulan data penelitian, memberikan manfaat bagi penelitian.58

2. Wawancara

Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk

memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara adalah percakapan

dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara


(interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.59 Dalam hal ini peneliti

mewawancarai pemilik Café tersebut yang berkaitan dengan judul yang diangkat

oleh peneliti.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah cara mengumpulkan data melalui penelaahan

sumber tertulis seperti buku, laporan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya

yang memuat data atau informasi yang diperlukan peneliti.60 Dalam penelitian ini

58
Rifa’I Abubakar, Pengantar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: SUKA-Press, 2021),
90.

59
Ibid., 67.

60
Ibid., 114.
32

penulis menggunakan dokumentasi yang diambil langsung dari objek penelitian

lokasi.

F. Teknik Ananlisi Data

Teknik analisis data melibatkan usaha untuk merangkum secara sistematis

semua informasi dari wawancara, dokumentasi, dan sumber lainnya. Tujuannya

adalah meningkatkan pemahaman peneliti terhadap topik penelitian dan

menyajikannya sebagai temuan. Analisis data dalam penelitian berlangsung

bersamaan dengan proses pengumpulan data. Diantaranya adalah melalui tiga tahap

model air, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.61 Tahapan analisis data

dalam penelitian ini terdiri dari tiga langkah sebagai berikut.

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemustan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari

catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung terus menerus selama

penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana

terlihat dari kerangka konseptual penelitian, permasalahan studi, dan pendekatan


pengumpulan data yang dipilih peneliti.62

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun,

sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data kualitatif dapat berupa teks naratif

berbentuk catatan lapangan, matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Bentuk-bentuk ini

menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah

61
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 144.

62
Ahmad Rijali, “Analisis Data Kualitatif”, Jurnal AlHadharah 17, no. 33 (Januari-Juni
2018), 91.
33

diraih, sehingga memudahkan untuk melihat apa yang sedang terjadi, apakah

kesimpulan sudah tepat atau sebaliknya melakukan analisis kembali.63

3. Verifikasi Data

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman

melibatkan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Sejak awal, peneliti berusaha

untuk menggali makna dari data yang telah dikumpulkannya. Kesimpulan awal

biasanya masih kabur dan bersifat sementara, dapat berubah jika tidak ada bukti

yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun, jika

kesimpulan yang diajukan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid

dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data lebih

lanjut, maka kesimpulan tersebut dapat dianggap kredibel.64

G. Pengecekan Keabsahan Data

Pelaksanaan pemeriksaan data didasarkan atas derajat kepercayaan

(credibility). Derajat Kepercayaan (credibility) atau validitas internal dalam

penelitian kualitatif merupakan ukuran tentang kebenaran data yang diperoleh

dengan instrumen, yakni apakah instrumen itu sungguh-sungguh mengukur


variabel yang sebenarnya. Bila ternyata instrumen tidak mengukur apa yang

sebenarnya diukur, maka data yang diperoleh tidak sesuai dengan kebenaran seperti

yang diharuskan dalam penelitian, dan dengan sendirinya hasil penelitian tidak

dapat dipercaya, jadi tidak memenuhi syarat kredibilitas.65 Adapun metode

pengecekan keabsahan data yang diterapkan dalam penelitian ini dilakukan melalui:

1. Meningkatkan Ketekunan

63
Ahmad Rijali, “Analisis Data Kualitatif”, Jurnal AlHadharah 17, no. 33 (Januari-Juni
2018), 94.

64
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2013), 345.

65
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif (Bandung: Tarsito, 2002), 105.
34

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan dengan lebih teliti

dan berkesinambungan. Dengan peningkatan ketekunan, peneliti dapat melakukan

pengecekan ulang terhadap keakuratan data yang ditemukan, memastikan

kebenaran atau kesalahan. Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan

adalah dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau

dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti. Dengan

membaca ini maka wawasan peneliti akan semakin luas dan tajam, sehingga dapat

digunakan untuk memeriksa data yang ditemukan itu benar/dipercaya atau tidak.66

2. Menggunakan bahan referensi

Bahan referensi di sini merujuk pada pendukung yang digunakan untuk

memvalidasi data yang ditemukan oleh peneliti. Sebagai contoh, hasil wawancara

dapat didukung dengan rekaman wawancara untuk menambah kredibilitas dan

kepercayaan pada data tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

rekaman wawancara dan foto-foto hasil observasi sebagai bahan referensi untuk

menjadi bukti konkret jika suatu saat diperlukan.

3. Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan

data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan

demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data,

Triangulasi sumber untuk mengkaji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. sedangkan,

Triangulasi teknik yaitu untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.67

66
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2013), 272.

67
Ibid., 274.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Rifa’i. Pengantar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: SUKA-Press,


2021.

Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga


Keuangan Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka,2009.

Al-Qardawi, Yusuf. Hudal Islam, Fatwa Mu‟ashirah. Surabaya: Risalah Gusti,


1996.

Al-Asqalani, Al-Hafidh Ibnu Hajar. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. terj.
Achmad Sunarto, Terjemah Kitab Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka
Amani, 1995.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillathuhu. Jilid V. terj Abdul Hayyie


alKattani, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press, 2004.

Elhas, Nashihul Ibad. “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dalam


Tinjauan Umum Hukum Islam”. Jurnal At-Tsaman 2 no. 1 (Mei 2020).

Ghazali, Abdul Rahman, et al., eds. Fiqih Muamalah. Jakata: Kencana Prenada
Media Group, 2010.

Haroen, Nasrun. Fiqih Mu’amalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Haq, Qanita Sabilah. “Jual Beli Makanan Di Kedai Tanpa Pencantuman Harga
Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Studi Pada Kedai
Abdullah Goro Assalam Kec. Kartasura Kab. Sukoharjo).” Skripsi Tidak
Diterbitkan, Jurusan Hukuman Ekonomi Syariah, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2020.

Ja’far, Khumedi. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Aspek Hukum Keluarga dan
Bisnis). Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Raden
Intan Lampung, 2015.

Jamilah, Faizatul. “Jual Beli Makanan Di Rumah Makan Tanpa Pencantuman


Harga Di tinjau Dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Studi Pada
Rumah Makan Vemas Kec. Mataram Baru Kab. Lampung Timur).” Skripsi
Tidak Diterbitkan, Program Studi Mu’amalah, Institut Agama Islam Negeri
Raden Intan Lampung, 2017.

Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Al-Qur’an dan


Terjemahnya, 2019.

Khatimah, Husnul. “Praktik Jual Beli Tanpa Pencantuman Harga Makanan


Menurut Fiqh Muamala Dan ‘Urf (Studi Kasus Warung Makan Seafood Di
Kecamatan Kartasura)”. AL-HAKIM 2 no. 1 (Mei 2020).

35
36

“Kompilasi.” Wikikamus Free Dictionary. https://id.wiktionary.org/wiki/kompilasi


(11 November 2023).

Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah, Dalam Perspektif Kewenangan


Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Predata Media Group, 2012.

Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqih Mu’amalah. Jakarta: Amzah, 2010.

Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito, 2002.

“Pencantuman,” Wikipedia the Free Encylopedia.


https://id.wikipedia.org/wiki/Pencantuman (11 November 2023).”

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Atthahiriyah, 1976.

Redaksi, Tim. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Bandung: Fokus Media, 2008.

RI, Mahkamah Agung. Buku II Tentang Akad Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,
Bandung: Fokus Media, 2008.

Rifa’i, Moh. Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Rijali, Ahmad. “Analisis Data Kualitatif”. Jurnal AlHadharah 17, no. 33 (Januari-
Juni 2018).

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif, 1996.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an),


Jilid I. Ciputat: Penerbit Lentera hati, 2000.

Shobirin. “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”. BISNIS 3, no. 2 (Desember 2015).
Subagyo, Joko P. metode penelitian dalam teori dan praktek. Jakarta: RumekaCipta
1997.

Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: Ekonosia, 2002.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit


Alfabeta, 2015.

Syafe’i, Rachmat. Fiqh Mu’amalah. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Syafi’I, Imam, al-Umm. terj. Imron Rosadi, Amiruddin dan Imam Awaluddin,
Ringkasan kitab Al Umm. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.

Utomo, Setiawan Budi. Fiqh Aktual. Jakarta: Gema Insani, 2003.

Wulandari, Fitri. “Etika Bisnis Islami”. Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah 1 no. 1
(Maret 2003).

Anda mungkin juga menyukai