Sejarah Sastra Angkatan 60
Sejarah Sastra Angkatan 60
Sejarah Sastra Angkatan 60
Pada periode 60-an muncul adanya angkatan, yaitu angkatan ’66. Lahirnya angkatan
’66 ini didahului adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang
disebabkan ulah teror politik yang dilakukan PKI dan ormas-ormas yang bernaung di
bawahnya. Angkatan ’66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila
dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya
angkatan ’66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura.
Munculnya nama angkatan ’66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah
horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ’66 lahir
setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penanaman angkatan ’66 ini pun mengalami
adu pendapat. Sebelum nama angkatan ’66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan
Manifest Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan
yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap
penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan
merasa keberatan dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan bahwa
sastrawan yang tidak ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan
merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan
dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan.
1) Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah
Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional
kami.
2) Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector kebudayaan
yang lain. stiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan
kodratnya.
3) Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat
bangsa-bangsa.
4) Pancasila dalah falsafah kebudayaan kami.
Manifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar Berita
Republik (Jakarta). Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa
pengarang antar lain H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bokor
Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin. Pasca diumumkan, manifest tersebut
didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra tidak tinggal diam. Dengan
menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai oleh
mereka, mereka menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang menandatanganinya.
Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang. Penandatanganan manifest
tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan untuk mengumumkan karya-
karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.
Terbitan yang menjadi tempat menulis dituntut untuk ditutup. Salah satunya
majalah Sastra yang didirikan H.B.Jassin. Angkatan 66 dalam sastra Indonesia mencakup
kurun waktu tahun 1963-1970-an. Disamping itu, karya tahun 1966 ini tidak hanya bercirikan
protes sosial, politik, ekonomi melainkan juga bercirikan agama. Hal ini dimaksud pengarang
untuk membedakan dirinya dari pengarang lekra yang cenderung ateis. Hal ini dapat dilihat
dengan jelas pada karya Taufik Ismail, yang semula menulis puisi demontrasi, kemudian
menulis puisi-puisi yang bersumber dari Tarikh dan Hadith.
2. KARAKTERISTIK PERIODE 60
ii
Arti penting sajak angkatan ’66 pertama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan
curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa
penindasan.
Mulai dikenal gaya epik (ercerita)
Puisinya menggambarkan kemuraman hati, hidup yang menderita
Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya perekonomian yang
buruk, pengangguran, dan kemiskinan
Cerita dengan latar belakang perang mulai berkurang, dan pertentangan dalam politik
pemerintahan lebih banyak mengemuka
Aliran yang mendominasi yaitu aliran determinisme yaitu suatu aliran yang
melukiskan peristiwa dari sudut paksaan nasib (sudut jeleknya) dan nasib itu sendiri
ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar, kemiskinan, penyakit, darah keturunan,
dalam hubungan sebab akibat.
3. TOKOH SASTRAWAN
iii
Masih banyak pengarang dan penyairangkatan 66 lainnya yang mempunyai andil
besar dalam mempertahankan Pancasila antara lain :
1) Taha Mochtar 8) Iswi Sawitri
2) Arifin C. Noer 9) Abdul Wahid
3) Bokor Hutasuhut 10) Situmcang
4) Bur Rasuanto 11) Satyagraha Hocrip
5) Ayip Rosidi 12) Masnur Samin
6) W.S.Rendra 13) Subagio Sastro Wardoyo dan lain-lainnya.
7) NH.Dhini
Sastrawan-sastrawan ini dapat di golongkan ke angkatan pejuang dalam membela Negara
untuk tetap tegaknya Pancasila dan UUD 45.
Judul : “ZIARAH”
Pengarang : Iwan Simatupang
Angkatan : 1966
Penerbit : Djambatan
Tebal : 148 Halaman
Kepengarangan :
Iwan Aimatupang Dilahirkan di Sobolga 18 Januari 1928, meninggal di Jakarta 4
Agustus 1970. Nama lengkapnya Iwan Martua Lokot Dongan Simatupang. Mendapat
pendidikan HBS di Medan, sekolah dokter di Surabaya (tidak selesai), lalu belajar
antropologi dan filsafat di RIJK – Universiteit Leiden, dan Paris. Dikenal sebagai wartawan
dan sastrawan. Sebagai penulis ia sudah memulainya pada tahun 1952 di Majalah Siasat dan
Mimbar Indonesia. Terkenal karena 2 novelnya Merahnya Merah (1968) dan Ziarah (1970).
Ia juga menulis drama, antara lain Cactus dan Kemerdekaan dan Petang di Taman. Dua
novelnya yang lain Kering (1972) dan Kooooong (1975), terbit setelah ia meninggal.
Merahnya Merah mendapat hadiah nasional 1970, dan Ziarah dalam terjemahan bahasa
Inggris mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977.
Komentar novel :
Novel ini menceritakan tentang kisah seorang pelukis yang pada awalnya tidak mau
menerima kenyataan bahwa istrinya sudah meninggal. Dia sering berperilaku yang aneh-
iv
aneh, seperti minum arak kemudian dia meneriakkan nama istrinya keras-keras, tertawa
keras-keras. Namun setelah mendapatkankan pekerjaan dari seorang Opseter pekuburan
Kotapraja untuk mengapur tembok pekuburan. Perilaku anehnya berubah, tapi orang-orang
di Kotanya menganggap itu tidak wajar sehingga mereka menjadi berperilaku aneh.
Novel Ziarah merupakan tipe novel sastra karena pengarang banyak menggunakan
ungkapan-ungkapan ataupun konotasi,dan majas-majas terutama majas personifikasi serta
terdapat juga istilah-istilah berbau filsafat yang diolah menjadi kesatuan kalimat yang benar-
benar membawa pembaca ke arah pemikiran-pemikiran logis dan membenamkan pembaca
dalam novel yang memiliki keindahan ilmu filsafat dari pengarang sendiri.
Bahasa dalam novel ini sangat penuh dengan ungkapan-ungkapan dan majas-majas
sehingga menimbulkan keindahan bahasa namun konotasi dan majas-majas personifikasi,
agak sulit dipahami oleh orang awam karena mengajak pembaca untuk sedikit berpikir karena
banyak sentuhan filsafat. Alur dalam novel ini memang sedikit membingungkan pembaca,
pengarang sengaja menggunakan alur “Flash Back”. Pembaca diajak untuk mengernyitkan
dahi karena cerita di awal novel bukanlah awal cerita, melainkan awal cerita baru diceritakan
di bagian berikut dalam novel. Alias pembaca diajak ke waktu sebelumnya oleh pengarang
dengan sentuhan filsafat
Ini jelas terlihat di awal novel saat disebutkan sang pelukis begitu kehilangan setelah
ditinggal mati istrinya, tetapi di bagian belakang malah pembaca diajak untuk mengikuti
kisah pertemuan pelukis dengan istri, kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona,
dan saat-saat terakhir istrinya mati. Bukan hanya pelukis dan istri saja, tetapi pengarang juga
mengajak pembaca untuk mengikuti kisah balik kehidupan opseter sebelum menjadi opseter.
5. HEBOH SASTRA
Heboh sastra (1968) merupakan peristiwa dalam sastra Indonesia yang merupakan
reaksi atas cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin (pseudonim), dimuat di
majalah Sastra, Agustus 1968.
Cerpen tersebut dianggap menghina Tuhan dan agama Islam. Akibatnya, Kejaksaan
Tinggi Sumatra Utara di Medan menyita majalah Sastra pada tanggal 12 Oktober 1968.
Kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi oleh sekelompok orang. Atas penyitaan
majalah Sastra itu muncul reaksi para pengarang Medan yang merasa tidak mengerti
tindakan Kejaksaan Tinggi. Dalam penerbitan stensilan “Responsi” para pengarang Medan
mengkritik tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dari sudut hukum dan sastra.
v
Pengarang pemberi reaksi adalah Sori Siregar, Z. Pangaduan Lubis, Rusli A. Malem, Zakaria
M. Passe, dan Djohan Nasution.
Setelah menerima berita dari Medan, para pengarang dan seniman Jakarta, membuat
pernyataan protes atas larangan peredaran majalah Sastra. Mereka adalah Trisno Sumardjo
(Ketua Dewan Kesenian Jakarta), Djajakusuma (Ketua Badan Teater Nasional Indonesia),
Umar Kayam ( Dirjen Film, Radio, dan TV), Taufik Ismail (penyair Angkatan ’66), Slamet
Sukirnanto (penyair anggota DPR/MPRS), dan wakil Ikatan Muhammadiyah dalam
Presidium KAMI. Tajuk rencana harian KAMI tanggal 14 Oktober 1968 mengulas seputar
pelarangan tersebut. Di sana disebutkan bahwa “kesusastraan hanya bisa tumbuh jika ada
kemerdekaan mencipta; kesusastraan bisa kerdil atau mati jika kemerdekaan dibatasi”.
vi
DAFTAR RUJUKAN
Sutresna, Ida Bagus. 2006. Sejarah sastra Indonesia. Singaraja: Universitas Pendidikan
Ganesha.
Irfan.T.https://tirto.id/heboh-sastra-indonesia-mengadili-imajinasi-jassin-masuk-bui-cGhB.
Tanggal unduh : 25 Oktober 2019.
Pradopo.R.D. 1988. Beberapa gagas-an dalam bidang kritik sastra Indonesia modern.
Klaten: Dwi Dharma.
vii