Hak Atas Tanah
Hak Atas Tanah
Hak Atas Tanah
Disusun oleh :
Faras Ramadhan (D1A021137)
Dosen Pengampu :
Arief Rahman.SH.. M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
Hak Atas Tanah
Hak atas tanah merupakan hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan emikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi (Pasal 4 Ayat 2 UUPA).
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut-hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam pasal 53.
A. Hak Milik
1. Pengertian Hak Milik Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA pengertian hak milik
adalah sebagai berikut: hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa
sifat-sifat hak milik membedakan dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak turun-
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak
berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-
gugat. Kata-kata turun–temurun berarti bahwa hak milik atas tanah tidak hanya berlangsung
selama hidup pemegang hak, akan tetapi apabila terjadi peristiwa hukum yaitu dengan
meninggalnya pemegang hak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Kata terkuat berarti bahwa
hak milik atas tanah dapat dibebani hak atas tanah lainnya, misalnya dibebani dengan Hak
Guna Bangunan, hak pakai, dan hak lainnya. Hak milik atas tanah ini wajib didaftarkan.
Sedangkan kata terpenuh berarti bahwa hak milik atas tanah telah memberi wewenang yang
luas kepada pemegang hak dalam hal menggunakan tanahnya.
Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang menjadi subyek hak milik adalah sebagai berikut:
Pemegang hak milik atas tanah pada prinsipnya hanya dipunyai oleh perorangan,
yaitu sebagai warga negara Indonesia tunggal. Oleh karena itu, hak milik pada dasarnya
diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal.
Berdasarkan ketentuan pada ayat (2) dengan pertimbangan tertentu, hak milik dapat dipunyai
oleh badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963, yaitu sebagai berikut :
a. Bagi Bank Negara dapat diberikan hak milik atas tanah yang dipergunakan
sebagai tempat bangunan yang diperlukan guna menunaikan tugasnya serta
untuk perumahan pegawainya;
b. Perkumpulan Koperasi Pertanian dapat mempunyai hak milik atas tanah
pertanian yang luasnya tidak lebih dari batas maksimum sebagai ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 Tentang Pengadaan Tanah.
c. Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah
yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan
dengan usaha keagamaan dan sosial.
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah;
(2) Selain menurut cara yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hak milik terjadi
karena:
Terjadinya hak milik menurut hukum adat dapat dilakukan dengan cara membuka
tanah baru, contohnya pembukaan tanah ulayat. Ketentuannya akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972 Tentang
Pelimpahan wewenang Hak Atas Tanah, memberikan kewenangan kepada para
Bupati/Walikotamadya (sekarang Kepala Kantor Pertanahan) dan Camat/Kepala Kecamatan
untuk memberi keputusan mengenai permohonan izin membuka tanah. Akan tetapi dengan
surat tertanggal 22 Mei 1984 Nomor 593/570/SJ diinstruksikan oleh Menteri Dalam Negeri
kepada para Camat untuk tidak menggunakan kewenangan tersebut.
Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan Undang-Undang artinya Undang-
Undang yang menetapkan hak milik tersebut. Contohnya hak milik atas tanah yang berasal
dari konversi tanah bekas milik adat. Tanah milik adat pada hakekatnya merupakan tanah
hak, akan tetapi menurut hukum tanah nasional yang berlaku di Indonesia pada tanggal 24
September 1960 tanah milik adat dapat menjadi hak milik jika telah dikonversikan.
Konversi adalah penyesuaian suatu tanah hak menurut hukum yang lama menjadi sesuatu
hak atas tanah menurut hukum yang baru. Penyesuaian hak ini juga terjadi pada hak-hak atas
tanah yang tunduk pada hukum Barat (eigendom, Erfpacht, dan opstal). Adapun konversi
hak-hak Barat tersebut dapat menjadi hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi UUPA.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPA menentukan bahwa hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain. Kata beralih mempunyai arti bahwa hak milik dapat beralih
kepada pihak lain karena adanya peristiwa hukum. Apabila terjadi peristiwa hukum yaitu
dengan meninggalnya pemegang hak maka hak milik beralih dari pemegang hak ke ahli
warisnya, sehingga ahli waris wajib melakukan pendaftaran peralihan hak karena pewarisan
tanah. Adapun kata dialihkan mempunyai arti bahwa hak milik dapat dialihkan karena adanya
perbuatan hukum, misalnya jual-beli, tukar-menukar, hibah, inbreng, kepada pihak lain
5. Hapusnya Hak Milik
b. Tanahnya musnah Istilah musnah dalam hal ini dipahami dalam pengertian yuridis,
yaitu secara fisik tanah tersebut tidak dapat dipergunakan secara layak sesuai dengan
isi/kewenangan haknya. Contohnya tanah yang hilang terkikis erosi sungai maupun pantai.
Meskipun secara fisik bidang tanah tersebut masih dapat ditemukan, akan tetapi karena sudah
tidak dapat mendukung penggunaannya secara layak, maka haknya hapus menjadi tanah
negara.
B. Hak Guna-Usaha
Hak guna usaha diatur dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA sebagai salah satu hak atas tanah.
Sedangkan secara khusus, hak guna usaha oleh UUPA dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal
34 kemudian disebut pula dalam Pasal 50 dan Pasal 52 UUPA.
Hak guna usaha dalam pengertian hukum barat Pasal 720 B.W. adalah suatu hak
kebendaan untuk mengenyang kenikmatan yang penuh (polle geenot) atas suatu benda yang
tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar pacht atau canon tiap
tahun, sebagai pengakuan eigendom kepada kepada yang mempunyai baik berupa uang
maupun hasil natura.
Hak guna usaha dalam pengertian sekarang, ditetapkan dalam Pasal 28 ayat 1 UUPA
“hak untuk mengusahakan tanah, yang dikuasai lansung oleh Negara dalam jangka waktu
tertentu yang dipergunakan untuk keperluan perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan.”
Hak guna usaha jangka waktunya terbatas dari ketentuan Pasal 29 UUPA “Menurut
sifat dan tujuannya hak guna usaha itu waktu berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 tahun
atau 35 tahun dengan kemungkinan memperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah
cukup lama untuk keperluan pengusaha dan tanaman yang berumur panjang. Penetapan
jangka waktu 35 tahun misalnya, mengingat pada tanaman kelapa sawit.”
PP Nomor 4 tahun 1996 Pasal 8 ayat 1 dan 2 mengatur bahwa HGU diberikan untuk
jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Sesuai
jangka waktu HGU dan perpanjangannya berakhir, maka dapat diberikan pembaharuan HGU
diatas tanah yang sama kepada pemegang hak.
Sesuai dengan Pasal 30 ayat 1 UUPA maka yang dapat mempunyai HGU adalah
Orang atau badan hukum yang memiliki HGU dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal 30, dalam waktu satu tahun wajib
melaporkan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Menurut Chomzah (2002 : 18) “Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus demi hukum,
dengan ketentuan bahwa hak hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan yang
diterapkan dengan peraturan pemerintah.” Hapusnya hak guna usaha menurut Pasal 34
UUPA dikarenakan.
Pemegang hak guna usaha berhak untuk menguasai dan menggunakan tanah yang
dipunyainya untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau
peternakan. Untuk mendukung usahanya tersebut, maka pemegang hak guna usaha berhak
untuk menguasai dan menggunakan sumber air dan sumber daya alam lainnya yang terdapat
di atas tanah tersebut dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku dan kepentingan
masyarakat sekitar.
Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah, yaitu melalui keputusan
pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian hak guna usaha wajib
didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan dan terjadi sejak didaftarkan. Adapun
tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah tanah negara. Apabila tanah
tersebut berupa kawasan hutan, maka pemberian hak guna usaha dapat dilakukan setelah
tanah tersebut dikeluarkan dari status kawasan hutan. Apabila tanah yang akan diberikan
dengan hak guna usaha sudah dikuasai dengan hak tertentu yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka pemberian hak guna usaha dapat dilaksanakan setelah dilakukan
pelepasan hak atas tanah itu. Demikian pula apabila di atas tanah yang akan diberikan hak
guna usaha terdapat tanaman atau bangunan milik pihak lain yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut berhak untuk mendapatkan ganti
rugi dari pemegang hak guna usaha.
Hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Penyertaan dalam modal;
4. Hibah;
5. Pewarisan.
Peralihan hak guna usaha wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Apabila
peralihan hak guna usaha dilakukan melalui jual beli (kecuali lelang), tukar menurkar,
penyertaan dalam modal dan hibah, maka wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah. Sedangkan terhadap peralihan hak yang dilakukan melalui jual beli secara lelang
wajib dibuktikan melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan hak guna usaha
terjadi karena pewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan
waris.
1) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat yang tidak
dipenuhi.
2) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir.
3) Dicabut untuk kepentingan umum.
4) Tanah ditelantarkan
5) Tanahnya musnah
Pasal 36 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna
bangunan adalah:
1) Warganegara Indonesia;
2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
1) Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya;
2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang ditetapkan
dalam keputusan dan perjanjian pemberian haknya;
3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup;
4) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan kepada
negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak guna
bangunan itu hapus;
5) Menyerahkan sertipikat hak guna bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
6) Bagi pemegang hak guna bangunan yang letak tanahnya mengurung atau menutup
pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, yang
bersangkutan juga wajib untuk memberikan jalan ke luar atau jalan air atau
kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung.
Ada tiga jenis tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan, yaitu tanah negara,
tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Untuk tanah negara, hak guna bangunan
diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk
tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Sedangkan
untuk tanah hak milik, terjadinya hak guna bangunan adalah melalui pemberian oleh
pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap
pemberian hak guna bangunan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.
1) Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan
tujuan pemberian hak tersebut;
2) Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, yaitu
merupakan warganegara Indonesia atau badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4) Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
bersangkutan;
5) Untuk hak guna bangunan yang berasal dari tanah hak pengelolaan,
diperlukan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan.
6) Permohonan perpanjangan atau pembaruan hak guna bangunan diajukan
selambat-lambatnya dua tahun sebelum jangka waktunya berakhir dan wajib
dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
7) Untuk hak guna bangunan atas tanah hak milik, jangka waktunya adalah
paling lama tiga puluh tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, maka
hak guna bangunan dapat diperbarui atas kesepakatan antara pemegang hak
guna bangunan dengan pemegang hak milik. Pembaruan tersebut dimuat
dalam akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib
didaftarkan.
Hak guna bangunan dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara:
1) Jual beli;
2) Tukar menukar;
3) Penyertaan dalam modal;
4) Hibah;
5) Pewarisan.
Peralihan hak guna bangunan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk peralihan
hak guna bangunan yang dilakukan melalui jual beli (kecuali lelang), tukar menurkar,
penyertaan dalam modal dan hibah, peralihan hak guna bangunan tersebut wajib dilakukan
dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan terhadap peralihan
hak guna bangunan yang dilakukan melalui jual beli secara lelang cukup dengan Berita Acara
Lelang. Peralihan hak guna bangunan yang terjadi karena pewarisan harus dibuktikan dengan
surat wasiat atau surat keterangan waris. Perlu diperhatikan bahwa peralihan hak guna
bangunan atas tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik.
Hapusnya hak guna bangunan atas tanah negara mengakibatkan tanah tersebut menjadi
tanah negara. Hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan
tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang hak pengelolaan. Hapusnya hak guna
bangunan atas tanah hak milik mengakibatkan tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan
pemegang hak milik.
D. Hak Pakai
Hak pakai diatur dalam Pasal 41 – 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Hal-hal yang ditentukan
di dalam UUPA tersebut kemudian dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (selanjutnya
disebut PP 40/1996). Pasal 41 ayat (1) UUPA menentukan sebagai berikut:
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-
menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Salah satu keistimewaan hak pakai terdapat di subyeknya yang jauh lebih beragam
dibanding hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Pasal 42 UUPA menentukan
bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah (Pasal 39 PP40/1996):
1. Warganegara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
4. Badan-badan keagamaan dan sosial;
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
Menurut ketentuan Pasal 52 PP 40/1996, hak dari pemegang hak pakai adalah:
Pemegang hak pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan
dengan hak pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk
memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan
untuk keperluan tertentu.
Pasal 50 PP 40/1996 mengatur kewajiban pemegang hak pakai adalah sebagai berikut:
Pasal 51 PP40/1996 menentukan kewajiban tambahan bagi pemegang hak yang tanahnya
mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan
air juga wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan
atau bidang tanah yang terkurung tersebut.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 PP40/1996, ada tiga jenis tanah yang dapat
diberikan dengan hak pakai, yaitu:
1. Tanah negara;
2. Tanah hak pengelolaan;
3. Tanah hak milik.
Terjadinya hak pakai atas tanah negara adalah melalui keputusan pemberian hak oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk. Terjadinya hak pakai atas hak pengelolaan adalah melalui
keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang hak pengelolaan. Sedangkan untuk hak pakai atas tanah hak milik terjadi melalui
pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
AKta Tanah. Setiap pemberian hak pakai tersebut wajib didaftarkan dalam buku tanah pada
Kantor Pertanahan.
Hak pakai atas tanah negara dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan diberikan untuk
jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
yang tidak ditentukan selama tanah tersebut digunakan untuk keperluan tertentu. Keperluan
tertentu yang dimaksud adalah hak pakai yang diberikan kepada:
Setelah jangka waktu hak pakai atau perpanjangannya berakhir, maka dapat diberikan
pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama. Adapun syarat perpanjangan atau
pembaharuan hak pakai atas tanah negara dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan adalah
sebagai berikut:
1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan sifat dan
tujuan pemberian hak;
2. Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
4. Untuk hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat diperpanjang atau
diperbaharui atas usul pemegang hak pengelolaan;
5. Permohonan diajukan paling lambat dua tahun sebelum hak pakai berakhir.
Hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima
tahun dan tidak dapat diperpanjang. Setelah hak pakai berakhir, hak pakai dapat diperbaharui
atas kesepakatan pemegang hak pakai dan pemegang hak milik melalui pemberian hak pakai
baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap perpanjangan dan
pembaharuan hak pakai wajib didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan.
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Penyertaan dalam modal;
4. Hibah;
5. Pewarisan.
Peralihan hak pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Apabila peralihan hak
pakai dilakukan melalui jual beli (kecuali lelang), tukar menurkar, penyertaan dalam modal
dan hibah, maka wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan
terhadap peralihan hak yang dilakukan melalui jual beli secara lelang wajib dibuktikan
melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan hak pakai terjadi karena pewarisan,
maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.
Perlu diketahui bahwa peralihan hak pakai atas tanah negara harus mendapatkan izin dari
pejabat yang berwenang. Pengalihan hak pakai atas tnaha hak pengelolaan harus dilakukan
dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan, sedangkan pengalihan hak pakai
atas tanah hak milik harus mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang hak milik tanah
tersebut.
Terhadap tanah yang hak pakainya hapus karena ketentuan tersebut, maka tanahnya
menjadi tanah negara.
Menurut Urip Santoso, Hak Sewa untuk Bangunan adalah yang dimiliki seseorang
atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas hak milik orang lain
dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati oleh pemilik tanah dan pemegang hak sewa bangunan.
Dalam hak sewa untuk bangunan, pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan
kosong kepada penyewa dengan maksud agar penyewa dapat mendirikan bangunan di atas
tanah tersebut. Oleh sebab itu menurut hukum bangunan tersebut merupakan milik penyewa,
kecuali ada perjanjian lain. Hal ini berbeda dengan hak sewatas bangunan, yaitu penyewa
menyewa bangunan di atas tanah hak orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa dan
dalam jangka waktu tertentu. Hak sewa atas bangunan ini dapat contohkan seperti seseorang
yang menyewa rumah atau juga menyewa ruko.
Hak sewa bangunan pada dasarnya merupakan semacam hak pakai yang bersifat
khusus. Hak sewa tersebut hanya boleh diadakan untuk mendirikan bangunan. Tanah untuk
pertanian tidak boleh disewakan karena bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) UUPA yang
menegaskan bawha berdasarkan prinsip land reform telah mewajibkan seorang pemilik tanah
pertanian untuk mengerjakannya sendiri. Selain tanah pertanian, Tanah yang dikuasai oleh
negara pun tidak dapat disewakan berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA karena
negara bukan milik tanah.
Hak sewa untuk bangunan terjadi dengan perjanjian persewaan tanah yang tertulis
antara pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan. Untuk menjamin
kekuatan hukum perjanjian tersebut dapat dibuat akta dari PPAT dan didaftarkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pemegang hak sewa untuk bangunan
tidak diperbolehkan mengalihkan hak sewa kepada pihak lain tanpa izin dari pemilik tanah.
Pelanggaran terhadap larangan ini dapat berakibat terputusnya hubungan sewa menyewa
antara pemegang hak sewa untuk bangunan dengan pemilik tanah.
Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan diatur dalam pasal 46 UUPA yaitu
“Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga-negara
Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Hak membuka hutan yakni
memanfaatkan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh seluruh warga negara indonesia
dan memiliki hak untuk pembukaan kawasan hutan. Menurut Boedi Harsono hak memnbuka
tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya bukan hak atas tanah dalam arti yang
sesungguhnya.
Dikatakan demikian karena kedua hak tersebut tidak memberi wewenang untuk
menggunakan tanah. Tujuan dari dimasukkannya kedua hak ini ke dalam UUPA adalah
semata-mata untuk menselaraskan UUPA dengan hukum adat.
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67 UU Kehutanan). Selain itu, masyarakat juga
berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang undangan
(pasal 68(2) huruf (a) UU Kehutanan).
G. Hak-Hak Lain
Masih terdapat hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Hak-hak yang bersifat
sementara tersebut antara lain: hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak
sewa tanah pertanian (Pasal 53 UUPA). Hak-hak tersebut bersifat sementara karena suatu
saat lembaga hukum tersebut tidak akan ada lagi. Hal ini disebabkan karena hak-hak tersebut
dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional. Hak gadai, hak usaha bagi
hasil dan hak sewa tanah dipandang membuka peluang untuk terjadinya pemerasan,
sedangkan hak menumpang juga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai hukum agraria
Indonesia karena mengandung sisa unsur feodal. Harus diakui hingga saat ini hak-hak
tersebut belum sepenuhnya hapus, namun hak-hak tersebut harus tetap diatur untuk mebatasi
sifatnya yang bertentangan dengan UUPA.