Ekologi Adat Komunitas Ammatoa Chusnul C Full Chapter Download PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 57

Ekologi Adat Komunitas Ammatoa

Chusnul C
Visit to download the full and correct content document:
https://ebookstep.com/product/ekologi-adat-komunitas-ammatoa-chusnul-c/
More products digital (pdf, epub, mobi) instant
download maybe you interests ...

Ekologi dan Sosioantropologi Gizi Nurul Muslihah

https://ebookstep.com/product/ekologi-dan-sosioantropologi-gizi-
nurul-muslihah/

Ekologi Anarkisme Kumpulan Esai Murray Bookchin

https://ebookstep.com/product/ekologi-anarkisme-kumpulan-esai-
murray-bookchin/

Resiliensi Komunitas Pesantren terhadap Radikalisme


Irfan Abubakar

https://ebookstep.com/product/resiliensi-komunitas-pesantren-
terhadap-radikalisme-irfan-abubakar/

Karang Biologi Reproduksi Ekologi Prof. Dr. Thamrin

https://ebookstep.com/product/karang-biologi-reproduksi-ekologi-
prof-dr-thamrin/
YukBelajarSaham untuk Pemula Komunitas Investor Saham
Pemula (Isp)

https://ebookstep.com/product/yukbelajarsaham-untuk-pemula-
komunitas-investor-saham-pemula-isp/

Ilmu Keperawatan Komunitas dan Keluarga Wibowo Hanafi


Ari Susanto

https://ebookstep.com/product/ilmu-keperawatan-komunitas-dan-
keluarga-wibowo-hanafi-ari-susanto/

Manusia dan Gunung Teologi Bandung Ekologi Pepep Dw

https://ebookstep.com/product/manusia-dan-gunung-teologi-bandung-
ekologi-pepep-dw/

Mangrove Biologi Ekologi Rehabilitasi dan Konservasi


Rignolda Djamaluddin

https://ebookstep.com/product/mangrove-biologi-ekologi-
rehabilitasi-dan-konservasi-rignolda-djamaluddin/

Antologi Fabel Islami Komunitas Penulis Sd Al Quran An


Nur

https://ebookstep.com/product/antologi-fabel-islami-komunitas-
penulis-sd-al-quran-an-nur/
Chusnul C

EKOLOGI ADAT
Komunitas
AM M AT OA
Chusnul C

EKOLOGI ADAT
Komunitas
AM M AT OA
IV EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA
EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA V
Ekologi Adat Komunitas Ammatoa
©Januari 2021

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


All right reserved

PENULIS & FOTOGRAFER


Chusnul C

EDITOR
Samsul Maarif

KURATOR FOTO
Nico Haryono

DESAIN SAMPUL & LAYOUT


Sabiq Gida an Ha dz

PENERBIT
CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies)
Program Studi Agama dan Lintas Budaya
Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta
Telp/Fax: 0274544976 | www.crcs.ugm.ac.id | Email: [email protected]

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Chusnul C
Ekologi Adat Komunitas Ammatoa
/Chusnul C;
Cet. I—Yogyakarta: CRCS, 2021
20 + 124 hlm. 14 x 20 cm

ISBN: 978-623-72890-5-0

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG. DILARANG MEMPERBANYAK KARYA


TULIS INI DALAM BENTUK DAN DENGAN CARA APAPUN TANPA IZIN TERTULIS
DARI PENERBIT.

VI EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan


kehadirat Allah SWT karena atas kehendakNya
sehingga penulisan buku fotogra tentang
Ammatoa Kajang ini dapat diselesaikan.
Buku dengan judul Ekologi Adat Ammatoa
Kajang ini memuat tentang potensi seni, budaya
dan alam serta kearifan lokal yang dapat
dikembangkan dan dilestarikan melalui kegiatan
kepariwisataan sehingga jelas korelasi antara
kebudayaan dan kepariwisataan.
Semoga apa yang disajikan dalam buku ini
bisa menjadi acuan dan memberikan gambaran
s e c ar a u mu m me nge n ai Kaw a s an Ad at
Ammatoa.
Akhir kata, apresiasi dan ucapan terima kasih
kepada penyusun buku ini dan semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan sehingga dapat
bermanfaat bagi pembaca dalam memahami dan
menambah wawasan tentang Suku Kajang di
Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi
Selatan.

Bulukumba, 01 Desember 2020

Muh. Ali Saleng, SH.,M.Si


KEPALA DINAS PARIWISATA
KABUPATEN BULUKUMBA

EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA VII


Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan


kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-
Nya sehingga buku fotogra yang berjudul
' E kol o g i Ad at A m m ato a Kaj ang ' d ap at
diselesaikan dengan baik. Buku ini
meng gamb arkan kehidup an kes ehar i an
masyarakat Ammatoa sebagai komunitas adat,
termasuk di dalamnya ritual, kesenian tradisi,
dan nilai-nilai loso yang terkandung dalam
setiap laku keseharian warga Ammatoa.
Keseluruhan pengetahuan lokal yang dimiliki,
sebagaimana dijelaskan dalam buku ini,
ditujukan untuk melestarikan tradisi dan alam.
Pengetahuan lokal Ammatoa yang masih kami
praktikkan, kesenian dan kebudayaan yang kami
miliki, adalah aset tak ternilai harganya. Dalam
konteks ini, aset yang kami miliki diharapkan
menjadi daya tarik kuat untuk pengembangan
ekowisata berbasis komunitas.
Buku ini, diharapkan mampu menjadi salah
satu acuan bagi tamu ekowisata, atau masyarakat
p ad a umumnya untu k mu l ai mengena l
komunitas adat Ammatoa. Secara spesi k, saya
berharap buku fotogra ini mampu memacu
semangat anak-anak muda Ammatoa sebagai
generasi masa depan pemilik adat tradisi

VIII EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


Ammatoa untuk mengembangkan ekowisata.
Apresiasi yang sebesar-besarnya kepada
fotografer dan segenap tim penyusun yang apik
menghadirkan kami dalam buku ini. Akhir kata,
selamat menikmati sajian fotogra buku ini.

Tanah Toa, 3 Desember 2020

Abdul Salam Nur, S.E


KEPALA DESA TANAH TOA

EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA IX


X EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA
EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA XI
Belajar Ekologi Adat
Ammatoa Kajang

Ekologi adat adalah semesta gagasan dan praktik


kehidupan komunitas adat yang menekankan
keterkaitan dan keterikatan manusia dengan
alamnya secara tak terpisahkan secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Manusia dan alam
dipahami dalam relasi antar-subyek secara
dinamis. Manusia melestraikan alam,
sebagaimana sebaliknya, untuk keseimbangan
relasi dan keutuhan eksistensi keduanya.
Komunitas adat Ammatoa Kajang, Bulukumba,
Sul-Sel mengajarkannya secara turun menurun,
melintasi sejarah dengan ragam dinamika
pertemuannya dengan gagasan dan praktik
kehidupan luar, melalui transmisi lisan yang
beragam bentuk, ritual-ritual dengan segala
bentuk, makna dan tujuannya, hingga praktik
kehidupan sehari-harinya. Mereka mewariskan
ekologi adatnya, tidak hanya pada anggota
komunitasnya, tetapi juga kepada semuanya,
khususnya yang tertarik mempelajarinya, hingga
detik ini.
Foto esai ini hanya secuil dari hasil
pembelajaran CRCS UGM yang fungsinya
minimal dokumentasi yang semoga jadi alat
untuk mengawali untuk kelanjutan pembelajaran
kami, dan yang tertarik. Ini adalah satu di antara
yang kami dokumentasikan selama program riset

XII EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


"Ekowisata untuk pelestarian ekologi adat..."
(2018-sekarang) di komunitas Ammatoa Kajang,
dengan sponsor Lembaga Pengelola Dana
Penelitian (LPDP), Kementerian Keuangan RI.
Kami berterima kasih kepada komunitas adat
Ammatoa, khususnya para pemudanya, aparat
desa Tanah Toa, Dinas Pariwisata dan Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemkab
Bulukumba, serta Lakpesdam NU Bulukumba,
atas ketulusannya berkolaborasi bersama kami
sebagai tim. Terima kasih juga kepada semua
anggota tim, khususnya Chusnul C. yang
mendokumentasikan hasil pembelajaran kami
ini. Semoga karya ini manfaat bagi semuanya.

Tim Riset

Samsul Maarif
KETUA PERISET, CRCS SPs UGM
Muhammad
PRODI PARIWISATA SPs UGM
IGP Suryadharma
UNY

EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA XIII


Komunitas Adat Ammatoa Kajang
dalam Merangkai Harmoni:
Sebuah Pengantar

Komunitas adat Ammatoa Kajang berpegang


teguh pada nilai-nilai tradisi 'Pasang ri Kajang'
yang diajarkan secara turun temurun. Nilai-nilai
luhur Ammatoa yang termaktub dalam Pasang
kemudian berjumpa dengan berbagai nilai non-
tradisional yang datang dari luar seperti Islam
dan modernisme. Dengan berbagai cara, warga
Ammatoa mencoba membuka diri, berkenalan
dan memadupadankan dengan pengetahuan
non-tradisional. Maka, komunitas adat
Ammatoa hari ini adalah mereka yang bersetia
menjalankan nilai-nilai luhur Pasang, namun
tidak anti dengan hidup dengan cara-cara
modern.
Mereka membangun berbagai instrumen
modern seperti masjid, klinik kesehatan, sekolah,
d a n p a s a r. Me r e k a m e n g g u n a k a n a l a t
transportasi dan telekomunikasi seperti mobil,
motor, leptop, dan gawai. Jalanan telah beraspal
dan listrik telah masuk desa. Berbagai macam
atribut modern diterima dan dimaknai ulang
sesuai dengan ajaran Pasang dan tata aturan adat.
Namun aturan adat hanya membolehkan atribut
modern masuk di Kawasan Luar, dan melarang
penggunaannya di Kawasan Dalam.
Warga Ammatoa yang tinggal di Kawasan
Dalam boleh menggunakan atribut modern
selama mereka berada di Kawasan Luar dan
begitupun sebaliknya. Mereka menggunakan

XIV EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


mobil dan motor di Kawasan Luar, dan
melanjutkan dengan menunggangi kuda atau
berjalan kaki ketika berada di Kawasan Dalam.
Mereka boleh mengenakan alas kaki di Luar, dan
mencopotnya ketika berada di Dalam. Mereka
diizinkan menggunakan pakaian berwarna
cerah, tetapi harus mengenakan pakaian yang
memiliki warna dasar hitam ketika di Dalam.
Aturan adat tersebut masih berlaku dan dipatuhi
oleh warga Ammatoa. Dengan demikian, nilai-
nilai tradisional dan non-tradisional bisa berjalan
beriringan.
Selain aturan adat mengenai pembolehan dan
pelarangan penggunaan atribut modern,
pembagian wilayah adat menjadi Kawasan
Dalam dan Kawasan Luar secara tradisional
dimaksudkan untuk menyaring nilai-nilai dan
pengetahuan non-tradisional. Dengan demikian,
tidak semua nilai-nilai dan pengetahuan non-
tradisional yang datang dari luar mereka terima
begitu saja. Nilai dan pengetahuan non-
tradisional bisa diterima hanya jika substansi
nilainya bisa dimaknai ulang sesuai ajaran
Pasang. Mereka menerima sistem ekonomi
modern, tetapi hanya karena sistem tersebut
termasuk di dalamnya penggunaan alat tukar
uang, bisa dimaknai ulang sebagai media berbagi
rezeki.
Buku ini adalah potret kehidupan komunitas
adat Ammatoa yang dipresentasikan melalui
foto-foto yang terbagi dalam empat bagian:
atmosfer desa adat Ammatoa, harmonisasi Islam
dan adat, ritual keseharian komunitas adat
Ammatoa, serta kesenian budaya Ammatoa
Kajang. Bagian pertama menggambarkan warga
Ammatoa sehari-hari: belanja pagi di pasar,
bentuk rumah panggung, makanan sehari-hari,
dan berbagai akti tas harian lainnya. Bagian
kedua berisi tentang harmonisasi antara Islam

EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA XV


dan adat. Beberapa foto menggambarkan warga
Ammatoa yang mengenakan pakaian serba hitam
termasuk jilbab, tanda bahwa mereka mengikuti
aturan adat sekaligus tanda bahwa mereka
Muslim. Dalam ritual kematian, jenazah
dimandikan, disholatkan, dan dimakamkan
secara Islam tetapi sekaligus diupacarai dengan
ritual adat.
Bagian ketiga menggambarkan berbagai ritual
Ammatoa. Mereka memiliki berbagai jenis ritual
dari ritual keseharian seperti baca doang, ritual
tahunan seperti addingingi, ritual khusus seperti
ritual pemilihan ketua adat, dan masih banyak
lainnya. Di antara berbagai ritual yang mereka
praktikkan, ritual Addingingi menjadi salah satu
ritual inti komunitas Ammatoa. Dalam buku ini
terdapat beberapa foto prosesi ritual tersebut
namun sebagai ritual inti, pengambilan gambar
selama prosesi ritual tidak diperbolehkan. Selain
ritual addingingi, buku ini juga memuat foto-foto
ritual akalomba yang merupakan ritual inisiasi
anak, dan ritual baca doang yang dilihat dari
prosesinya merupakan ritual yang paling
sederhana di antara berbagai ritual lainnya.
Sementara bagian keempat berisi tentang
kesenian dan budaya Ammatoa seperti tarian,
musik, cerita rakyat, tenun, dan permainan
tradisional. Masing-masing bagian saling
melengkapi dan tidak terpisahkan satu sama lain.
Foto-foto dalam buku ini diambil dalam acara
tahunan festival budaya dan kesenian Kajang.
Berbagai kesenian dan kebudayaan Ammatoa
tidak saja dipraktikan dalam festival tahunan
namun dalam kehidupan sehari-hari. Musik
tradisional Ammatoa juga dimainkan di tempat-
tempat nongkrong atau di setiap acara ritual
sebagaimana sarung tenun Kajang yang selalu
dipakai dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam acara-acara ritual.

XVI EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


Buku ini adalah upaya kecil kami dalam
m e n du ku n g k omu n it a s a d at A m m at o a
melestarikan ajaran leluhur Pasang ri Kajang dan
tradisi adat mereka. Upaya tersebut merupakan
bagian dari program pengembangan ekowisata
b e r b as is komu n it as ( C ommunit y ba s ed
Ecotourism) di Komunitas Adat Ammatoa
Kajang, yang disponsori oleh Lembaga Pengelola
Dana Penelitian (LPDP), atas kerja sama CRCS,
Sekolah Pascasarjana UGM dengan Dinas
Pariwisata dan Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (DLHK) Kabupaten Bulukumba serta
Pemerintah Desa Tanah Toa. Semoga buku ini
dapat memberi gambaran sekilas mengenai
k o mu n i t a s a d at A m m at o a K aj a n g d a n
mendukung program pengembangan ekowisata
Ammatoa Kajang. Salam.

Yogyakarta, 22 Desember 2020

Chusnul C

EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA XVII


XVIII EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA
Daar Isi
Kata Pengantar

2 Atmosfer Desa Adat Tanah Toa

38 Adat dan Islam dalam


Harmoni Keseharian
56 Memaknai Ritual Sehari-hari
59 Ritual Addingingi
65 Ritual Akalomba
77 Ritual Kematian
93 Seni dan Budaya Komunitas
Adat Ammatoa Kajang

Biodata Penulis

EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA XIX


EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA 1
Atmosfer Desa
Adat Tanah Toa

2 EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


DESA TANAH TOA merupakan satu di antara
lima desa yang masuk dalam Kawasan Adat
Ammatoa. Kawasan adat terbagi menjadi dua,
yakni Kawasan Dalam dan Kawasan Luar.
Keduanya memiliki aturan yang berbeda namun
saling melengkapi dan menopang satu sama lain.
Pembagian Kawasan Dalam dan Luar adalah
untuk menjaga adat dan tradisi Ammatoa
termasuk di dalamnya menjaga hutan adat
Ammatoa.

EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA 3


Kawasan Dalam merupakan wilayah yang
melarang penggunaan barang-barang modern
seperti listrik, alas kaki, sumur, aspal dan masih
banyak lainnya termasuk dilarang mengenakan
pakaian yang berwarna mencolok. Kawasan
Dalam menjadi titik pusat eksistensi masyarakat
adat Ammatoa dan karenanya, ketua adat
Ammatoa tinggal di Kawasan Dalam. Sebaliknya,
di Kawasan Luar, masyarakat diperbolehkan
untuk menggunakan barang-barang modern
yang dilarang digunakan di Kawasan Dalam.
Mereka juga diperbolehkan untuk mendirikan
rumah batu, membuat sumur tanah, dan
menikmati berbagai jenis modernitas.
Kawasan Dalam dan Luar, sekali lagi memiliki
fungsi yang berbeda dengan aturan yang berbeda
namun saling melengkapi satu sama lain. Di
Kawasan Dalam, segalanya serba tradisional,
sementara di Kawasan Luar segala hal baru
dimungkinkan. Sekalipun demikian, mereka
yang tinggal di Kawasan Dalam tetap dapat
menikmati modernitas. Untuk itu, mereka hanya
perlu ke Kawasan Luar.
Masyarakat yang tinggal di Kawasan Dalam
memiliki cara hidup yang berbeda dengan yang
tinggal di Kawasan Luar namun mereka sama-
sama tetap menjalankan nilai-nilai adat. Bagi
mereka, tinggal di Kawasan Dalam atau Luar
bukanlah soal dan sama sekali tidak
mencerminkan siapa yang lebih ber-adat. Hal
yang paling penting bagi mereka adalah
bagaimana mereka berperilaku, bagaimana
mereka mengimpelemntasikan ajaran dan nilai-

4 EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA 5
nilai 'Pasang ri Kajang' yang menekankan pada
relasi antar subyek. Dengan menekankan relasi
antar subyek, maka apakah tinggal di Kawasan
Dalam atau Luar bukanlah permasalahan,
namun relasi keduanya yang paling ditekankan.
Ajaran Pasang ri Kajang mereka praktikan
dalam kehidupan sehari-sehari. ketika mereka
mempraktikan prinsip kamase-kamasea atau
bersahaja, mereka juga menghindari prinsip
kalumanyang atau hidup secara berlebih-
lebihan., di sisi lain mereka juga menghindari
prinsip kalumanyang atau hidup secara berlebih-
lebihan. Mereka yang tinggal di Kawasan Luar
boleh memiliki mobil, motor, televisi dan
berbagai barang modern yang dianggap mewah,
namun itu tidak berarti bahwa mereka tidak
mempraktikan prinsip kamase-kamasea. Makna
sederhana pada konsep kamase-kamasea yakni
tidak adanya rasa tergantung pada apa yang
mereka miliki dan hidup dalam kebijaksanaan.
Sebaliknya, mereka yang tinggal di Kawasan
Dalam tidak otomatis mempraktikan prinsip
kamase-kamasea. Bisa jadi, mereka yang tinggal
di Kawasan Dalam justru mempraktikan
kalumanyang. Misalnya ketika mereka menebang
pohon di hutan tanpa izin adat, atau bahkan
menebang kayu melebihi apa yang mereka
butuhkan.

6 EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA


EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA 7
8 EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA
EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA 9
10 EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA
EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA 11
12 EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA
EKOLOGI ADAT KOMUNITAS AMMATOA 13
Another random document with
no related content on Scribd:
The Project Gutenberg eBook of Martin Eden
This ebook is for the use of anyone anywhere in the United
States and most other parts of the world at no cost and with
almost no restrictions whatsoever. You may copy it, give it away
or re-use it under the terms of the Project Gutenberg License
included with this ebook or online at www.gutenberg.org. If you
are not located in the United States, you will have to check the
laws of the country where you are located before using this
eBook.

Title: Martin Eden


romanzo

Author: Jack London

Translator: Gian Dàuli

Release date: April 10, 2024 [eBook #73373]

Language: Italian

Original publication: Milano: Modernissima, 1925

Credits: Barbara Magni and the Online Distributed Proofreading


Team at http://www.pgdp.net (This file was produced
from images made available by The Internet Archive)

*** START OF THE PROJECT GUTENBERG EBOOK MARTIN


EDEN ***
MARTIN EDEN
JACK LONDON

MARTIN EDEN
ROMANZO

A cura di GIAN DÀULI

MODERNISSIMA
MILANO (13) — Via Vivaio, 10
PROPRIETÀ LETTERARIA
Impresso da FED. SACCHETTI e C. in Milano
Copyright 1925 by
Casa Editrice «MODERNISSIMA»
PRINTED IN ITALY
INDICE
Pubblicammo prima i due romanzi: «Il Richiamo della foresta» e
«Zanna Bianca», volutamente, per mostrare la potenza visiva e
intuitiva del London, e la vastità della sua esperienza d’osservatore,
e cioè, accanto all’artista sempre vigile, la forza volitiva e
l’irrefrenabile impeto avventuroso dell’uomo.
I due primi volumi sono il poema delle forze vergini e delle creature
primitive, della lotta disperata e crudele, eppur grandiosa, delle cose
vive contro la insidia della morte. Simbolo di questa tragedia è il lupo
che, ucciso il rivale, ulula, col muso verso le stelle, il tormento
millenario della carne che dilania e divora, per non essere dilaniata e
divorata, ma che sa, tuttavia, come la vittoria finale spetti, non già
alla vita, ma alla morte.
La vita contro la morte!
Par di udire l’antico canto caldeo drammatizzato in una
rappresentazione favolosa di animali e di uomini, fra le solitudini
nevose e le foreste vergini dell’Alaska.

«L’Angelo della morte ha ucciso lo scannatore che scannò


il bue, il bue che bevve l’acqua, l’acqua che spense il
fuoco, il fuoco che bruciò il bastone, il bastone che battè il
cane, il cane che morse il gatto, il gatto che divorò il
capretto, l’unico figlio della capra!
Chad Gadya! Chad Gadya!«

Chad Gadya! Chad Gadya! E chi verrà ad uccidere l’Angelo della


Morte?
«E il Santo Uno, sia Egli benedetto, viene e uccide l’Angelo della
Morte». conclude l’antico canto caldeo, e il London ripete la profezia.
Per lui, il Santo Uno è l’Amore!
***

L’Amore.
Forse nessuno l’ha sentito, desiderato, cercato, sofferto, cantato
come Jack London.
Per l’amore egli è vissuto, per l’amore è morto: per questa essenza
divina che illumina e pacifica il mondo. L’amore che accomuna tutte
le creature viventi, gli uomini, gli animali, le piante, i macigni, le
stelle; l’amore che riempie l’infinito, supera la morte e scioglie ogni
mistero: l’amore, vita, bellezza, luce!
Quest’innamorato dell’amore, finì, così, coll’amare la vita degli altri
più della propria; al punto che la terra gli parve angusta e la propria
forza impari a un sogno che abbracciava l’universo.
La giovinezza di Jack London fu come un razzo infocato lanciato
nelle tenebre del mondo, come uno sprazzo di luce abbagliante che
ascende, prodigiosamente, poi precipita, e si spegne. A vent’anni è
già un uomo maturo; a trenta, vecchio; a quaranta, scomparso.
Anche per lui l’Angelo della Morte viene prima del Santo Uno e gli
strozza in gola il suo Chad Gadya.
Ma quanta intensità di vita, quanta luce d’ideali, quanta grandezza
morale e spirituale in quei suoi quarant’anni! e quale miseria, la
nostra, al confronto!
Bastano questi quattro possenti volumi — e ne ha scritti più di
quaranta — per rivelarci tutta l’angustia del nostro orizzonte e la
povertà dell’animo nostro di letterati che cianciamo d’amore e d’arte
e di lotte politiche e sociali; scettici, egoistici, meschini.

***
Non a caso, ripeto, pubblicammo prima «Il Richiamo della foresta» e
«Zanna Bianca», cioè il poema della vita selvaggia. Volevamo,
mediante «una folata d’aria gelida, purificatrice», far sentire
l’ossigeno agli sparuti e intristiti uomini che fanno da padroni nelle
patrie accademie dell’arte; e dare almeno un guizzo al loro lucignolo
dell’ideale, fumoso e pestilenziale; alla gentaccia inorpellata, irretita
negl’intrighi eppure altosonante, per mostrare la differenza che
passa tra il volo di un’aquila e lo starnazzare di un’anitra.
E col terzo volume, «Il Tallone di Ferro», ci proponemmo di mostrare
l’uomo nell’artista, e come non vi sia artista grande dove non è
grandezza d’uomo e altezza morale e spirituale, altruismo, in una
parola, cioè sogno del bene assoluto, universale, e dedizione di tutta
una vita a questo sogno.
«Il Tallone di Ferro» è il crogiolo ardente che fonde in un’orribile
massa d’odio le miserie, le vergogne, le crudeltà dell’epoca nostra.
Non più canto, ma urlo: non l’urlo per i proprî dolori, ma per i dolori
degli altri.
I dolori degli altri.
Ecco, in sintesi, una realtà e una fede sofferte con cuore tra cristiano
e prometeico: una fede e un programma di redenzione. I dolori degli
altri sono il problema della torbida e perigliosa vita contemporanea.
E qui, il cuore di London, uomo, non è inferiore alla mente
dell’artista. Egli ci rivela, nel Tallone di Ferro, la sua forza e la sua
dolcezza, il suo coraggio e la sua saggezza, e ci addita la via che
ogni uomo onesto deve seguire; una via che non mena ai facili onori
e alle più facili ricchezze, premii plutocratici, ma con gli umili, i
denutriti, con le creature dell’abisso, conduce alla verità e al cielo
della bontà. Oggi, il mondo è tale, che «vive pericolosamente» colui
che difende la propria rettitudine, secondo gli immortali principî di
bontà, libertà e giustizia, ch’è più facile sentire che definire.
Il London ci mostra che la lotta è mortale, e che, sebbene nolenti e
riluttanti, come ieri dovemmo partecipare ad una guerra non nostra,
così domani dovremo partecipare alla rivoluzione degli altri; ma ci
mostra anche che nella libertà di scelta del nostro posto di
combattimento, sta il giudizio dell’anima nostra, e la sua salvezza.
***

Ed ora che dai primi tre volumi ci è dato il modo di conoscere l’artista
e l’uomo, ecco in «Martin Eden» la sua vita.
Ogni commento è inutile, ogni chiarificazione superflua: davanti ad
una vita vissuta con così semplice e profonda umanità, e
rappresentata con tale scultorea, precisa evidenza, ciascuno di noi
può vedere il meglio del proprio cuore e riconoscere la propria
anima.
Ma benchè in «Martin Eden» il London racconti la propria anima di
scrittore e tutto il tormento per realizzare il suo sogno d’arte, temo
che molti letterati e critici italiani stenteranno a riconoscersi in Martin
Eden, e considereranno forse questo romanzo autobiografico, o
come «noioso», o, addirittura, come falso, perchè qui è la vita e non
una meschina parodia della vita; perchè qui è l’arte, e non
virtuosismo, mestiere, commercio.
No, questi volumi del London non sono fatti per animucce letterate.
Vanno per il mondo a cercare cuori che non abbiano ancora perduto
il sentimento romantico e cavalleresco della vita; a cercar cuori in cui
canti ancora una canzone, in cui palpiti ancora una fede. Cuori che,
per fortuna dell’anima nostra e dell’Umanità, esistono ancora. I
fratelli di Martin Eden sono fuori delle accademie, fuori dei partiti
politici, fuori delle consorterie e delle camorrette di vanità; fuori della
gazzarra che infuria per le piazze e per le vie. Essi vivono in
solitudine, ma in solitudine lavorano, meditano e soffrono. Oh
potessero conoscersi tutti, ed unirsi per raccogliere e riagitare la
fiaccola che cadde bruscamente dalle mani di Jack London,
quarantenne!

***
Veramente, Martin Eden ci dice che la fiaccola non gli cadde dalle
mani, ma che egli la gettò perchè credette che gli fosse venuto meno
l’amore. Senza l’amore, la gloria gli apparve vana, e la vita
insopportabile. Jack London morì come Martin Eden, sprofondato
volontariamente e disperatamente negli abissi dell’Oceano?
Noi non sappiamo come Jack London sia morto.
Però se tale non fu la sua morte, certo egli tale l’immaginò e
desiderò. E forse non v’è uomo di genio che nella sua vita non abbia
pensato, almeno una volta, a questa suprema sfida, a questo atto
sereno di volontà dell’uomo che sfugge al ricatto dell’istinto per
varcare, sdegnoso d’ogni legge umana e divina, la soglia del
Mistero.
Per due cose soltanto l’uomo può sentirsi proletario dell’Eternità: per
l’Amore e per la Gloria. Ma se esse mancano o tradiscono, come
adattarsi ad accrescere, sino a vedere decadere in sè ogni bellezza
ed ogni forza, il numero dei morti-vivi o dei vivi che non vivono?
Anche se il Santo Uno ritarda, sia benedetto l’Angelo della morte, il
liberatore!
Il tristo Angelo strozzò in gola a Jack London quarantenne il canto
del Chad Gadya, ma non l’uccise. Le sue opere serbano l’impronta
eterna del suo cuore e del suo genio, e tramandano, con la bellezza,
fede e speranza agli uomini.
Passi, dunque, in altre mani la sua fiaccola e su altre labbra il Chad
Gadya: il Santo Uno verrà, l’Angelo della Morte sarà ucciso; e
Prometeo, dal cuore incatenato, sarà finalmente libero fra uomini
liberi e padroni della propria anima.
Rapallo, aprile del 1925.
Gian Dàuli.
MARTIN EDEN

CAPITOLO I.

Arturo aprì la porta ed entrò, seguito da un giovane che si tolse, con


gesto goffo, il berretto. Costui indossava un rozzo vestito da
marinaio, che stonava in mondo singolare con quell’hall grandioso.
Il copricapo lo imbarazzava molto, e già egli se lo ficcava in tasca,
quand’ecco Arturo toglierglielo dalle mani, con un gesto così
naturale, che il giovanotto intimidito ne apprezzò l’intento: «Si
capisce!... — disse fra sè, — mi ha aiutato a trarmi d’impaccio.»
Camminava sulle calcagna dell’altro, ondeggiando colle spalle e
inarcando le gambe sull’impiantito, senza volerlo, come per resistere
a un rullìo immaginario. Quelle sale spaziose sembravano troppo
anguste al suo cammino, ed egli era addirittura spaventato dal
timore di collusioni delle sue larghe spalle con gli stipiti delle porte o
con i ninnoli delle mensole. Si scostava bruscamente da un oggetto
per isfuggirne un altro e si esagerava i pericoli che in realtà erano
solo nella sua immaginazione. Fra il pianoforte a coda e la grande
tavola centrale sulla quale erano accatastati innumerevoli libri,
avrebbero potuto procedere di fronte una mezza dozzina di persone;
eppure egli vi s’arrischiò con angoscia. Non sapeva dove tener le
mani e le braccia che gli pendevano pesantemente lungo i fianchi, e
quando nell’immaginazione atterrita gli si prospettò la possibilità di
sfiorare col gomito i libri della tavola, egli scartò così bruscamente,
che mancò poco non rovesciasse lo sgabelletto del pianoforte.
L’andatura disinvolta di Arturo lo colpì, e per la prima volta egli
s’avvide che la sua differiva da quella degli altri uomini. Una punta di
vergogna gli strinse il cuore, ed egli si fermò per asciugarsi la fronte
dalla quale gocciava il sudore.
— Un momento, Arturo, ragazzo mio! — fece egli, tentando di
dissimulare la sua angoscia. — Francamente! tutto questo in una
volta è troppo per me!... Datemi il tempo di rimettermi. Sapete bene
che non volevo venire, e penso che la vostra famiglia non morrebbe
dalla voglia di vedermi!...
— Va bene! — fu la risposta rassicurante. — Non abbiate timore; noi
siamo gente alla buona... Toh! una lettera per me.
Arturo s’avvicinò alla tavola, lacerò la busta e incominciò a leggere,
dando così modo al forestiero di riacquistare la padronanza di sè. E
il forestiero capì e gliene fu grato. Questa simpatia intelligente gli
tolse il disagio; egli s’asciugò nuovamente la fronte madida e lanciò
sguardi furtivi attorno a sè. Il suo viso era diventato calmo, ma gli
occhi avevano l’espressione degli animali selvatici presi in trappola.
Era circondato da mistero, pieno di preoccupazione per l’ignoto,
ignaro di ciò che dovesse fare, conscio soltanto del suo impaccio, e
temeva che tutto in lui potesse essere ugualmente spiacevole. Egli
era eccessivamente sensibile, e così deplorevolmente compreso
della sua inferiorità, che gli sguardi di persona che se la gode
lanciatigli dall’altro di sulla lettera, lo ferivano come punte di spilli; ma
egli non fiatava, giacchè aveva appreso, tra le altre cose, ad essere
padrone di se stesso. Poi, quei colpi di spilli ferirono il suo orgoglio;
pur maledicendo all’idea che gli era venuta di andar là, decise di
resistere a quella prova, a qualunque costo. I lineamenti del viso gli
s’irrigidirono e negli occhi gli s’accese un chiarore come di chi si
prepari a una lotta. Egli si guardò intorno con maggior libertà,
osservando tutto con acume, in modo da imprimere nella mente ogni
particolare di quella bella casa. Nulla sfuggì alla vista de’ suoi occhi
spalancati; i quali, a mano a mano che si rendevano conto
dell’ambiente, perdevano quel bagliore combattivo per cedere il
posto a una calda luminosità. C’era della bellezza intorno a lui, ed
egli sentiva la bellezza.
Un quadro gli attira e trattiene lo sguardo. Rappresentava uno
scoglio assalito da una mareggiata furibonda, sopra la quale della
nuvolaglia d’uragano copriva il cielo basso; oltre lo scoglio, uno
schooner dalle vele serrate e così sbandato, che mostrava tutti i
particolari del ponte, spiccava su un tramonto drammatico. Era una
bella cosa, che l’attraeva irresistibilmente. Egli dimenticò le sue
movenze impacciate, si accostò di più al quadro... e ogni bellezza
scomparve dalla tela. Sbalordito, egli fissò quel che gli pareva ora
uno scarabocchio qualsiasi, e indietreggiò. Ed ecco riapparire quel
magico splendore. «È un dipinto che illude,» fece egli fra sè, e non vi
pensò più che tanto, pur risentendo una certa indignazione pel fatto
che tanta bellezza potesse essere soggetta a un inganno. Egli non
aveva mai visto dei quadri; la sua educazione artistica s’era formata
su oleografie e litografie, i cui contorni netti e definiti, visti da vicino o
da lontano, erano sempre gli stessi. Vero è che aveva visto delle
pitture a olio nelle mostre dei negozî, ma i vetri gli avevano impedito
di osservarle da vicino.
Egli lanciò uno sguardo verso l’amico che seguitava a leggere la
lettera e vide i libri sulla tavola; allora nei suoi occhi risplendette la
luce d’un desiderio vivissimo, simile a quello d’un uomo che muoia di
fame, alla vista di un pezzo di pane. D’un passo, fu vicino alla tavola,
dove incominciò a maneggiare i libri con mano quasi tenera. Con
occhi carezzevoli diede uno sguardo ai titoli e ai nomi degli autori;
lesse qua e là qualche brano, e a un tratto riconobbe un libro che
aveva già letto un tempo. Poi, capitatogli un volume di Swinburne,
incominciò a leggerlo attentamente, dimentico del luogo dove si
trovava. Aveva il viso raggiante; due volte egli girò il volume per
leggere il nome dell’autore... «Swinburne». Non avrebbe dimenticato
quel nome. Quell’uomo aveva il dono dell’osservazione; quale senso
del colore! che luce!... Ma chi era quel Swinburne? forse era morto
da secoli, come tanti poeti? oppure viveva ancora? scriveva
ancora?... Scorse nuovamente il titolo; sì, aveva scritto altri libri.
Ebbene, la mattina dopo sarebbe andato alla biblioteca popolare per
cercare di trovare un’opera di quel genere. Poi s’immerse nel testo e
vi si abbandonò al punto che non s’accorse neppure di una giovane
che era entrata. Se ne avvide solo quando udì la voce di Arturo che
diceva: — Ruth, ecco il signor Eden...
Il suo dito segnava ancora la pagina del libro chiuso, quando la sua
persona, già prima di voltarsi, sussultò, non tanto, forse, per
l’apparizione della giovane, quanto per le parole pronunziate dal
fratello di lei. Quel corpo d’atleta nascondeva una sensibilità
straordinariamente sviluppata. Al minimo urto, pensieri, simpatie,
emozioni, balzavano in lui, insorgendo come fiamme vive. La sua
immaginazione meravigliosamente ricettiva, sempre desta, tendeva
senza requie a stabilire rapporti fra le cause e gli effetti. «Il Signor
Eden». Queste parole lo avevano colpito, giacchè, durante la sua
vita, lo avevano sempre chiamato «Eden» o «Martin»,
semplicemente. «Signore»!... che stonatura! Nel suo cervello,
mutato in un’ampia camera nera, sfilarono innumerevoli quadri della
sua vita, camere di macchine e castelli di prua, accampamenti e
sponde, prigioni e bettole, ospedali e viuzze sordide, che gli si
associavano nella mente a seconda del modo come era stato
pronunziato il suo nome in quei luoghi diversi.
Poi si volse, e quelle fantasmagorie del cervello scomparvero. Era
una creatura eterea, pallida, aureolata di capelli d’oro, dai grandi
occhi immateriali. Egli non vide com’era vestita; vide soltanto che la
sua veste era meravigliosa come lei. E la paragonò a un fiore d’oro
pallido, su uno stelo fragile. No! era uno spirito, una divinità, un
idolo!... Una bellezza tanto sublime non era di questa terra. O poteva
darsi che i libri avessero ragione, e che ce ne fossero come lei nelle
sfere superiori della vita. Swinburne avrebbe potuto cantarla: forse
egli pensava a un essere così fatto quando descrisse la sua
«Isotta». Visioni, sentimenti, pensieri in grande abbondanza gli
affluirono insieme nella mente. Egli vide lei stender la mano e
guardarlo fissamente negli occhi, dandogli uno schietto shake-hand
un po’ mascolino. Le donne ch’egli aveva conosciute non davano la
mano a quel modo, anzi, di solito, non la davano affatto. Fu inondato
da un fiotto di ricordi ch’egli però respinse lontano, e la guardò. Non
aveva visto mai una donna simile! Le donne da lui conosciute!... Per
un momento che gli parve eterno, egli s’immaginò trasportato in una
specie di pinacoteca piena di ritratti. Nel centro troneggiava
l’immagine di Ruth, tutte le altre erano assoggettate alla prova d’un
confronto. Egli vide clorotiche facce di operaie di officina e le
ragazze sciocche e rumorose di South-Market, le guardiane di
bestiame dei «ranches» e le femmine abbronzate del vecchio
Messico che fumavano la loro eterna sigaretta. Poi, in loro vece, le
giapponesi, bambolette leziose che trotterellavano sui loro zoccoli di
legno; poi le eurasiane dai lineamenti delicati e degenerati, e le
polinesiane incoronate di fiori, dai bei corpi bruni. Poi tutto ciò fu
cancellato da un brulicame grottesco e terribile, e furono le abbiette
creature di White-Chapel, che trascinavano le ciabatte, megere
gonfie di gin, dei luoghi di malaffare, e la teoria diabolica di quelle
disgustose arpie dalla parola sudicia che fanno la parte di femmine
presso i marinai — preda facile — e che sono il rifiuto dei porti e la
feccia della più bassa umanità.
— Non vuol sedere, signor Eden? — fece la giovane. — Desideravo
vederla dacchè Arturo ci ha parlato tanto di lei. Com’è stato
coraggioso!
Egli fece un gesto negativo e mormorò che non aveva fatto proprio
niente e che chiunque si sarebbe comportato allo stesso modo. Lei
osservò che tutt’e due le mani di lui erano ricoperte di scorticature
non ancora guarite, che una cicatrice gli attraversava una guancia,
un’altra, attraverso la fronte, gli si perdeva fra i capelli, e una terza
spariva a mezzo sotto il colletto inamidato. Ella contenne un sorriso
alla vista della riga rossa prodotta dallo sfregamento del colletto
contro il collo abbronzato; evidentemente, quell’indumento non era
usato di solito da lui! Il suo occhio di donna osservò anche i vestiti a
buon mercato, dal taglio inelegante, le pieghe della giacca e delle
maniche che nascondevano male i bicipiti rigonfi.
Pur protestando che egli non aveva fatto nulla, intanto cedeva
all’invito di lei e si dirigeva in modo maldestro verso una poltrona di
faccia a lei. Con che disinvoltura vi si sedeva lei!... Ed ecco una
nuova impressione. In tutta la sua vita, egli non s’era mai chiesto se
fosse grazioso o goffo. Sedette con cura all’orlo della poltrona,
imbarazzatissimo dalle mani. Dovunque le mettesse, le mani lo
impacciavano. Così che quando Arturo uscì dalla stanza, Martin
Eden lo seguì con uno sguardo d’invidia. Si sentiva perduto, come
abbandonato in quel salotto, con quella donna spirituale, simile a
uno spirito. Non c’era lì, purtroppo!, neppur traccia d’un bar-man cui
chiedere delle bibite, neppure un piccolo groom da mandare al
cantone per l’acquisto d’una piccola birra, allo scopo di suscitare una
corrente di simpatia mediante una bevanda di quelle che rendono
comunicativi...
— Che cicatrice ha sul collo, signor Eden! — esclamò la giovane. —
Come se l’è fatta? Certamente in seguito a un’avventura!
— È stato un messicano, col suo coltello, signorina! — rispose lui. E
inumidì le labbra inaridite e tossì per schiarirsi la voce. — Fu un
combattimento. Quando gli ho tolto il coltello, ha cercato di
strapparmi il naso con i denti.
Non era cosa ben detta, ma davanti ai suoi occhi passò la visione
sontuosa di quella calda notte stellata, a Salina-Cruz, con la lunga
spiaggia bianca, i lumi degli steamers carichi di zucchero, ammarrati
nel porto, le voci dei marinai ubriachi in lontananza, la calca degli
«stevadores», il bagliore degli occhi di carnivoro del messicano, e, a
un tratto, il morso dell’acciaio sul collo, il flottar del sangue, la folla e
le grida. I due corpi, il suo e quello del messicano, avvinghiati
rotolavano nella sabbia che volava, e, chissà da dove, veniva un
melodioso tintinnìo di chitarra. Tale era la scena, ed egli vibrò
evocandone il ricordo. Colui che aveva dipinto lo schooner, laggiù
sul muro, sarebbe stato capace di dipingere quella scena?... Egli
pensò che la spiaggia bianca, le stelle, i lumi degli steamers
sarebbero apparsi uno spettacolo superbo, come pure quel
capannello fosco, sulla sabbia, attorno agli avversarî in lotta. Anche
il coltello avrebbe fatto un bell’effetto, così lucente al lume delle
stelle! Ma di tutto ciò, nulla trasparve dalle sue parole.
— Ha tentato di strapparmi il naso con i denti, — concluse.
— Oh! — esclamò la fanciulla, con voce fioca; ed egli osservò la
contrazione dei lineamenti delicati di lei. Egli stesso risentì un urto;
un rossore d’imbarazzo gli si diffuse sulle guance abbronzate, e il
viso gli scottò, come se fosse stato esposto alla fornace della
ferriera. Evidentemente, delle cose così brutte e sconvenienti, delle
risse a coltellate, non erano argomenti da trattare in una
conversazione con una donna. In quel genere di società, la gente di
cui parlano i libri, non s’occupa di argomenti simili, forse li ignora
persino. La conversazione ch’essi cercavano di avviare subì una
piccola sosta. Poi lei lo interrogò circa la cicatrice sulla guancia. Egli
osservò immediatamente che lei faceva uno sforzo per mettersi a
livello di lui, e decise: «Sarò io a mettermi al suo livello!»
— Fu per un accidente, — diss’egli indicando la guancia. — Una
notte, per una mareggiata, il buttafuori dell’albero maestro fu
strappato, e anche il paranco. Il buttafuori era di filo d’acciaio e
s’attorcigliava nell’aria come un serpente. Tutti gli uomini di guardia
tentavano di strapparlo. Allora, io mi ci sono gettato sopra, e mi son
fatto taccheggiare.
— Oh! — fece lei, stavolta con accento di comprensione, sebbene,
in fondo, quella spiegazione di lui fosse ebraico per lei, che si
domandava che cosa significasse un «buttafuori» e «taccheggiare».
— Quest’uomo, Swinburne, — riprese lui, seguendo il filo d’un’idea
fissa, — è morto da molto tempo?
— Ma non ho sentito dire che sia morto! — fece lei guardandolo con
curiosità. — Dove lo ha conosciuto?
— Io?... non so neppure come sia fatto. Ma prima che lei entrasse
leggevo alcuni versi di lui, in quel libro là, sulla tavola. Le piace
quella poesia?
Allora lei cominciò a parlare a suo agio, con vivacità, attorno a
quell’argomento lanciato da lui. Egli si sentì rinfrancato e s’affondò
un po’ di più nella poltrona, alla quale s’aggrappava con tutt’e due le
mani, per paura che non gli sfuggisse di sotto. Finalmente, egli era

Anda mungkin juga menyukai