Media Sosial Dan Masyarakat Pesisir Refleksi Pemikiran Mahasiswa Bidikmisi Fahmi Gunawan & Heksa Biopsi Puji Hastuti (Editor)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 58

Media Sosial dan Masyarakat Pesisir

Refleksi Pemikiran Mahasiswa


Bidikmisi Fahmi Gunawan & Heksa
Biopsi Puji Hastuti (Editor)
Visit to download the full and correct content document:
https://ebookstep.com/product/media-sosial-dan-masyarakat-pesisir-refleksi-pemikira
n-mahasiswa-bidikmisi-fahmi-gunawan-heksa-biopsi-puji-hastuti-editor/
More products digital (pdf, epub, mobi) instant
download maybe you interests ...

Senarai Penelitian Pendidikan Hukum dan Ekonomi di


Sulawesi Tenggara Fahmi Gunawan M Hum Heksa Biopsi Puji
Hastuti M Hum Editor

https://ebookstep.com/product/senarai-penelitian-pendidikan-
hukum-dan-ekonomi-di-sulawesi-tenggara-fahmi-gunawan-m-hum-heksa-
biopsi-puji-hastuti-m-hum-editor/

Religion Society Social Media Fahmi Gunawan

https://ebookstep.com/product/religion-society-social-media-
fahmi-gunawan/

Keberagamaan dan Kesalehan Sosial Refleksi dan lndeks


Kesalehan Sosial 2022 Rita Sukma Dewi Editor

https://ebookstep.com/product/keberagamaan-dan-kesalehan-sosial-
refleksi-dan-lndeks-kesalehan-sosial-2022-rita-sukma-dewi-editor/

Internet Media Sosial dan Perubahan Sosial di Madura


Surokim (Editor)

https://ebookstep.com/product/internet-media-sosial-dan-
perubahan-sosial-di-madura-surokim-editor/
Tipologi Bahasa Universal Analisis Kontrastif Bahasa
Arab dan Bahasa Indonesia Dr. Fahmi Gunawan

https://ebookstep.com/product/tipologi-bahasa-universal-analisis-
kontrastif-bahasa-arab-dan-bahasa-indonesia-dr-fahmi-gunawan/

Imajinasi dan Refleksi Kritis Pengembangan Pendidikan


Islam Studi Pemikiran Konsep dan Pengalaman Baik Ahmad
Zubaidi

https://ebookstep.com/product/imajinasi-dan-refleksi-kritis-
pengembangan-pendidikan-islam-studi-pemikiran-konsep-dan-
pengalaman-baik-ahmad-zubaidi/

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Pesisir Siti


Hajar Irwan Syari Tanjung Yurisna Tanjung Zulfahmi

https://ebookstep.com/product/pemberdayaan-dan-partisipasi-
masyarakat-pesisir-siti-hajar-irwan-syari-tanjung-yurisna-
tanjung-zulfahmi/

Media, Politik, dan Dinamika Sosial di Era Digital Ali


Roziqin

https://ebookstep.com/product/media-politik-dan-dinamika-sosial-
di-era-digital-ali-roziqin/

Kajian Dampak Penggunaan Media Sosial bagi Anak dan


Remaja Endah Triastuti

https://ebookstep.com/product/kajian-dampak-penggunaan-media-
sosial-bagi-anak-dan-remaja-endah-triastuti/
MEDIA SOSIAL
DAN MASYARAKAT PESISIR
Refleksi Pemikiran Mahasiswa Bidikmisi
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri
atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar;
dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
MEDIA SOSIAL
DAN MASYARAKAT PESISIR
Refleksi Pemikiran Mahasiswa Bidikmisi

Siti Nurhalimah, dkk.


MEDIA SOSIAL DAN MASYARAKAT PESISIR:
REFLEKSI PEMIKIRAN MAHASISWA BIDIKMISI

Siti Nurhalimah, dkk.

Editor
Fahmi Gunawan & Heksa Biopsi Puji Hastuti

Desain cover
Nama

Sumber
link

Tata letak:
Amira Dzatin Nabila

Proofreader:
Amira Dzatin Nabila

Ukuran:
x, 188 hlm, Uk: 15.5x23 cm

ISBN:
No ISBN

Cetakan Pertama:
Februari 2019
Hak Cipta 2019, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2019 by Deepublish Publisher
All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: [email protected]
PENGANTAR EDITOR

Kemajuan ilmu pengetahuan yang telah mengantar umat


manusia ke dalam era telekomunikasi nirkabel menciptakan begitu
banyak lompatan. Kehidupan yang telah masuk pada situasi ini
mengajak para pelakunya untuk menikmati dan mengikuti alur yang
tercipta. Berbagai fenomena muncul dan berkembang demikian cepat
sehingga menuntut gerak penyesuaian yang sangat dinamis.
Berbagai lapisan masyarakat tanpa kecuali terkena imbas
perkembangan teknologi informasi era globalisasi ini. Dinamika ini
terjadi dan berlalu-lalang begitu saja dalam kehidupan manusia. Bagi
orang kebanyakan, apa yang terjadi hanya sampai pada partisipasi,
baik aktif maupun pasif, sebagai pengguna. Akan tetapi, bagi kaum
intelektual, fenomena ini mengundang banyak Tanya. Permasalahan di
belakang panggung globalisasi mencuat dalam alam pikiran. Misalnya,
bagaimana kehidupan akademik setelah adanya kemudahan akses
informasi, atau bagaimana perilaku konsumen pada era digital ini,
hingga bagaimana penyesuaian manajemen waktu para mahasiswa
dikaitkan dengan fakta “dunia dalam genggaman” seperti yang terjadi
saat ini? Pertanyaan- pertanyaan ini adalah sebagian dari lebih banyak
pertanyaan yang dicoba diungkap oleh para penulis dalam buku ini.
Para penulis buku ini tergolong mahasiswa penerima beasiswa
Bidikmisi angkatan 2015. Mereka dilatih dan dibimbing untuk dapat
menulis karya ilmiah. Oleh karena itu, mereka masih tergolong pemula
dalam dunia akademik tulis menulis. Motto yang mereka miliki adalah
“manusia itu fana dan tulisan itu abadi. Menulislah untuk keabadian.”
Karenanya, mereka menulis tentang media sosial dan masyarakat
pesisir pantai. Hal ini senada dengan kajian mainstream saat ini yang
sedang menjadi pusat perhatian Kementerian Agama RI. Selain tulisan
mahasiswa bidikmisi, terdapat satu tulisan pembimbing yang sengaja
disertakan dalam buku ini untuk dapat dijadikan percontohan dalam

v
penulisan karya ilmiah. Tulisan itu hanyalah penelitian pustaka dan
bukan penelitian lapangan.
Dengan demikian, Menarik untuk diselami bagaimana telaah
yang dilakukan dengan mengambil data informasi yang ada di sekitar
keseharian mereka, baik melalui penelitian maupun sebagai sebuah
gagasan konseptual atas fenomena yang belum ada. Semoga apa yang
tersaji dalam buku ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan dan
cakrawala pandang pembaca. Selamat membaca!

Kendari, Desember 2018

Editor

vi
DAFTAR ISI

POLA ASUH ANAK USIA DINI KOMUNITAS KELUARGA


PESISIR PANTAI DI DESA BAJOE KECAMATAN SOROPIA
KABUPATEN KONAWE
Idha Fitriani .............................................................................................................1
DAMPAK PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TERHADAP
MANAJEMEN WAKTU MAHASANTRI DI MA’HAD AL-
JAMI’AH IAIN KENDARI
Sitti Nurhalimah ................................................................................................. 14
HUBUNGAN KETERGANTUNGAN MEDIA SOSIAL DENGAN
KONSEP DIRI MAHASISWA DI IAIN KENDARI
Asri Yuliana........................................................................................................... 25
PERSEPSI MAHASISWA IAIN KENDARI TERHADAP
APLIKASI TIK TOK DI MEDIA SOSIAL
Fitriyani .................................................................................................................. 33
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MAHASISWA BERBELANJA
ONLINE DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Iis Herlinda............................................................................................................ 42
PENGARUH GAME ONLINE TERHADAP MOTIVASI BELAJAR
DAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA
Mawaldi Musri ..................................................................................................... 51
STRATEGI PEMELIHARAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN
MASYARAKAT DI SEKITAR OBJEK WISATA PANTAI
TORONIPA
Merya Alfat S......................................................................................................... 60

vii
POLA PEMBINAAN QORI DAN QORI’AH PADA
MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN LANGGASUMEETO
KABUPATEN KONAWE
Mira...........................................................................................................................70
YOUTUBE SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MAHASISWA
PRODI TADRIS MATEMATIKA DI IAIN KENDARI
Nurmajidah ...........................................................................................................77
RESPON MAHASISWA TERHADAP FANSPAGE “INDONESIA
TANPA PACARAN”
Riswan .....................................................................................................................84
KONTRIBUSI PENGGUNAAN INTERNET BAGI MAHASISWA
IAIN KENDARI
Ika Safitri ................................................................................................................92
DAMPAK MEDIA SOSIAL TERHADAP PENGGUNAAN JILBAB
BESAR MAHASISWI IAIN KENDARI
Yuyun Israwati .................................................................................................. 101
RESPON MAHASISWA IAIN KENDARI TERHADAP
PENGGUNAAN APLIKASI FOKUSKY DALAM PROSES
PEMBELAJARAN
Desriyani ............................................................................................................. 110
TRANSAKSI JUAL BELI PADA APLIKASI SHOPEE DALAM
PERSPEKTIF AKAD BAI AS-SALAM
Widi Andini ......................................................................................................... 117
KEPUASAN MAHASISWA IAIN KENDARI DALAM
TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE DI MEDIA SOSIAL
Syamsinar ........................................................................................................... 138
EFEKTIVITAS PEMANFAATAN WHATSAPP SEBAGAI MEDIA
INFORMASI BAGI MAHASISWA IAIN KENDARI
Sucipto .................................................................................................................. 145

viii
PEMANFAATAN INTERNET DALAM MENUNJANG PRESTASI
BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI TADRIS
MATEMATIKA IAIN KENDARI
Rudiyanto......................................................................................................................... 151
TINJAUAN HUKUM ISLAM ISTISHNA TERHADAP SISTEM
TRANSAKSI PADA GRUP KJB (KAMMI JUAL BELI) KOTA
KENDARI
Iwan Haridi ........................................................................................................ 161
GELIAT PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL DALAM
JEJARING SOSIAL FACEBOOK
Heksa Biopsi Puji Hastuti dan Rahmawati ........................................... 174

ix
x
POLA ASUH ANAK USIA DINI
KOMUNITAS KELUARGA PESISIR PANTAI
DI DESA BAJOE KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN
KONAWE

Idha Fitriani
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN KENDARI
Pos-el: [email protected]

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola asuh anak pada
keluarga nelayan di Desa Bajoe, Kecamatan Soropia Kabupaten
Konawe. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif karena untuk mengungkap secara mendalam
bagaimana pola asuh anak pada komunitas keluarga pesisir pantai.
Informan terdiri dari 4 orang yang dipilih dengan teknik purposive
sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas keluarga
pesisir pantai di Desa Bajoe sebahagian besar menerapkan pola asuh
tipe demokrasi. Hal ini karena pola asuh merupakan hal penting dalam
pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Pola asuh ikut menentukan
arah masa depan anak-anak. Masyarakat nelayan Desa Bajoe memiliki
keunikan yang mana masyarakatnya masih memegang adat istiadat
leluhur sehingga mengakibatkan cara mendidik orang tua masih
memegang aturan-aturan tertentu. Mereka masih meniru cara-cara
nenek moyang mereka terdahulu dalam membina keluarganya
meskipun zaman sudah berubah.

Kata Kunci: Pola Asuh, Anak Usia Dini, Keluarga Pesisir.

PENDAHULUAN
Keluarga merupakan satuan terkecil dalam masyarakat.
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang paling pertama dan
utama bagi pembentukan kepribadian anak. Disebut pertama karena
sejak anak masih dalam kandungan sampai lahir sudah berada dalam
keluarga, sedangkan dikatakan utama karena keluarga merupakan

1
lingkungan yang sangat penting dalam proses pendidikan untuk
membentuk pribadi yang utuh. Jadi, semua aspek kepribadian dapat
dibentuk di lingkungan keluarga dan perlakuan orang tua terhadap
anak akan memengaruhi perkembangan anak. (Ali, 1995:30).
Komunikasi ibu dan ayah dalam keluarga sangat menentukan
pembentukan pribadi anak-anak di dalam dan di luar keluarga.
Selanjutnya dikatakan bahwa seorang ayah umumnya berfungsi
sebagai dasar hukum bagi putra-putrinya, sedangkan seorang ibu
berfungsi sebagai landasan moral bagi itu sendiri. Anak akan
memperhatikan orang tuanya dalam bentuk melihat sikap dan
memperhatikan ucapan orang tua terhadap dirinya, sehingga anak
akan melakukan reaksi dalam bentuk tindakan tingkah laku yang
dibiasakan, hingga akhirnya menjadi pola kepribadian. Secara umum
Hurlock juga Hardy dan Heyes mengategorikan pola asuh orang tua
terhadap anak menjadi tiga, yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh
demokratis, dan pola asuh permisif.
Orang tua memiliki peranan yang penting dan mempunyai
tanggung jawab yang besar terhadap semua anggota keluarga yang
menjadi tanggung jawabnya. Orang tua adalah dua individu yang
berbeda memasuki hidup bersama dengan membawa pandangan,
pendapat dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari (Gunarsa, 1976:27).
Dalam hidup berumah tangga tentunya ada perbedaan antara suami
dan istri, perbedaan dari pola pikirnya, perbedaan dari gaya kebiasaan
sehari-harinya, perbedaan dari sifat dan tabiatnya, perbedaan dari
tingkatan ekonomi dan pendidikan, serta banyak lagi perbedaan
lainnya. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat memengaruhi gaya
hidup anak-anaknya, sehingga akan memberikan warna tersendiri
dalam keluarga.
Dinamika pola asuh anak juga terjadi di keluarga nelayan Desa
Bajoe. Sebahagian besar penduduk di sana berpendidikan rendah.
Dalam mengasuh anak mereka hanya melakukan kemampuan
seadanya, sehingga hasilnya terkesan biasa saja bahkan ada yang
cenderung kurang baik. Kebanyakan anak-anak tersebut relatif

2
berpendidikan hanya sampai tingkat sekolah menengah pertama yang
hanya sedikit bisa menempuh pendidikan sampai jenjang pendidikan
sekolah menengah atas, bahkan ada beberapa anak yang tidak lulus
sekolah dasar. Selain itu, masalah biaya dan dorongan orang tua
sangat kurang serta kondisi lingkungan tidak mendukung. Anak-anak
tersebut lebih memilih membantu orang tuanya menjadi nelayan
tradisional dari pada melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Sebenarnya, ada keinginan mereka untuk melanjutkan sekolah
ke jenjang lebih tinggi, tetapi karena kemampuan orang tua yang
terbatas maka mereka hanya bisa menerima keadaan yang ada.
Kepemimpinan keluarga nelayan Desa Bajoe yang seharusnya
dipegang oleh suami, dalam praktiknya bisa saja istri yang lebih
berperan sebagai pengasuh dan pendidik anak. Kewibawaan ayah
yang sibuk melaut menjadi sangat kurang karena jarang sekali
bertemu dengan anaknya. Mereka hanya dapat berkumpul sebagai
keluarga seutuhnya pada beberapa jam setiap harinya. Faktor sosial
ini disebabkan banyaknya aktivitas orang tua (ayah) di laut
menyebabkan pendidikan anak pada keluarga nelayan Desa Bajoe
berkurang. Sementara itu, ibu selalu sibuk membantu suami mencari
tambahan penghasilan sehingga pengawasan pada dan perhatiannya
kepada anak berkurang. Orang tua memberikan kebebasan bergaul
sesuai dengan kemauan anak. Anggapan orang tua yang terpenting
adalah kebutuhan anak tercukupi, apabila kebutuhan anak tercukupi
orang tua dianggap sudah melaksanakan kewajibannya. Hal lainnya
tentang pendidikan dan kebutuhan psikis kurang diperhatikan. Hal ini
menyebabkan rata-rata pendidikan anak nelayan masih relatif rendah.

TINJAUAN TEORI
Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses
interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola
pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh
terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrid dalam Irmawati,
2002). Baumind dalam Maulifah (2008:37) berpendapat bahwa pola

3
asuh pada prinsipnya paraental control yang bagaimana orang tua
mengontrol, membimbing dan mendampingi anak-anaknya untuk
melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju pada proses
pendewasaan”. Maksudnya adalah bahwa orang tua memiliki peranan
yang penting dalam membimbing dan mendampingi anak-anaknya
agar dapat tumbuh kembang sesuai dengan perkembangan.
Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak sudah tentu
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini nantinya
akan memengaruhi perkembangan anak itu sendiri. Pola asuh anak
dalam keluarga adalah suatu wujud, tipe, sifat yang disampaikan oleh
anggota keluarga yang lebih dewasa kepada anak untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Pola asuh orang tua dalam keluarga
merupakan pola pendidikan informal. Dalam pelaksanaannya, pola ini
akan bergantung pada pengalaman atau pendapat orang tua masing-
masing. Menurut Yaumil Athir (1994:11), orang tua hendaknya
memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan peranan dan
fungsinya, yaitu: (a) Sebagai tokoh yang ditiru anak, maka pola asuh
yang berisi pemberian teladan. (b) Sebagai tokoh yang mendorong
anak, maka pola asuhnya adalah pemberian kemandirian kepada anak,
motivasi untuk berusaha dan mencoba bangkit bila mana mengalami
kegagalan. (c) Sebagai tokoh mengawas, dalam hal ini maka pola
asuhnya adalah berisi pengendalian, pengarahan pendisiplinan,
ketaatan, kejujuran, orang tua perlu memberi tahu apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan anak. Menurut Baumrid (dalam Berk,
2000), ada tiga pola asuh orang tua, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh
demokrasi, dan pola asuh permisif.

Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)


Pola asuh otoriter (Authoritarian) yaitu pola asuh dimana anak
harus mengikuti pendapat dan keinginan orang tua, kekuasaan dipilih
orang tua. Anak tidak diperkenankan memberikan pendapat kepada
orang tua. Orang tua cenderung bersifat kaku, suka bersikap
memaksakan kehendak, selalu mengatur tanpa memperhatikan

4
kemauan dan perasaan anak, menghukum bila anak bertindak tidak
sesuai dengan kehendaknya dan kurang adanya komunikasi dengan
baik.
Menurut Sutari Imam Barnadid (1986:12) mengatakan bahwa
orang tua otoriter tidak memberikan hak untuk mengemukakan
pendapat serta mengutarakan perasaan anak. Sehingga dengan dapat
disimpulkan bahwa anak dengan terpaksa mengikuti keinginan orang
tua yaitu sekolah dengan pendidikan anak dengan terpaksa mengikuti
keinginan orang tua yaitu sekolah dengan pendidikan rendah
walaupun sebetulnya anak tersebut mampu dalam mengikuti
pendidikan tinggi dan mempunyai cita-cita tinggi. Namun cita-cita
tersebut kandas karena faktor keterbatasan ekonomi yang serba
kekurangan.

Pola Asuh Demokrasi (Authoritative)


Pola asuh demokratis (authoritative) adalah kesempatan yang
luas untuk mendiskusikan segala permasalahan dengan orang tua dan
orang tua mendengarkan keluhan dan memberikan pandangan
kepada anak. Orang tua selalu memperhatikan perkembangan, saling
terbuka dan mau mendengarkan saran dan kritik dari anak. Jadi
secara sederhana pola asuh demokrasi adalah pola asuh dimana orang
tua mendukung sekaligus memberikan penjelasan atas perintah atau
keputusan yang diberikan. Orang tua mendorong anak untuk dapat
untuk berdiri sendiri semua keinginan dibuat berdasarkan
persetujuan dengan anaknya.
Pola asuh demokrasi tampaknya lebih kondusif dalam pola asuh
karakter anak. Hal itu dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orang tua yang
demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam
kemandirian dan tanggung jawab. Dari pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa pola asuh demokrasi adalah pola dimana orang
tua memberikan kebebasan dalam mendidik anak, jadi anak di beri
kesempatan untuk mengutarakan pendapat. Anak yang dididik

5
menggunakan pola asuh demokrasi cenderung agresif dalam
mengutarakan keinginannya, karena anak mendapatkan kepercayaan
dari orang tua.

Pola Asuh Permisif (Permissive)


Pola asuh Permisif (Permissive) yaitu pola asuh orang tua yang
memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa dituntut kewajiban
dan tanggung jawab. Orang tua kurang kontrol terhadap perilaku
anak, kurang membimbing dan mengarahkan anak serta kurang
komunikasi dengan baik dengan anak. Jadi secara sederhana pola asuh
permisif adalah pola asuh dimana orang tua kurang tegas, anak
menentukan sendiri apa yang dikehendaki. Orang tua memberi
kebebasan kepada anaknya, orang tua tidak mempunyai fungsi
sebagai pimpinan yang mempunyai kewibawaan dan suasana
keluarga bebas. Dalam keluarga ini anak merasa tidak ada pegangan
tertentu dan norma-norma yang dianut, sehingga bertindak atas
kemauan sendiri dan tidak menghargai orang lain sehingga
mementingkan diri sendiri.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh orang tua
adalah sebagai berikut. (a) Pendidikan orang tua. Pendidikan dan
pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan memengaruhi
persiapan mereka menjalankan pengasuhan, seperti terlibat aktif
dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan
berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu
anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan
kepercayaan anak. (b) Lingkungan. Lingkungan banyak memengaruhi
perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut
serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua
terhadap anaknya. (c) Budaya. Sering kali orang tua mengikuti cara-
cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak,
kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarannya dalam mengasuh
anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik
anak kearah kematangan.

6
Komunitas Masyarakat Pesisir
Menurut Fahmi (2010), masyarakat pesisir dapat didefinisikan
sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah
pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara
langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Mereka
terdiri atas nelayan pemilik, nelayan buruh, pembudidaya ikan dan
organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor
sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat
pesisir bisa berprofesi sebagai penyedia jasa transportasi dan lain-
lain. Setiap komunitas memiliki karakteristik kebudayaan yang
berbeda-beda.
Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumber
daya kelautan (marine resource based). Berdasarkan kondisi fisiknya,
rumah di pesisir dibagi dalam tiga kategori, (1) Rumah permanen, (2)
Rumah semi permanen, (3) Rumah non permanen. Hubungan-
hubungan sosial antar kerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup
kuat. Perbedaan status sosial ekonomi yang mencolok antar kerabat
tidak dapat menjadi penghalang terciptanya hubungan sosial yang
akrab di antara mereka.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mengetahui bagaimana pola asuh orang tua pada masyarakat
komunitas pesisir pantai Dusun Samaturu Desa Bajoe. Hal ini
disebabkan karena sebagian perilaku manusia, yang penghayatannya
melibatkan berbagai pengalaman pribadi, sulit dikuantifikasikan
sehingga mustahil diukur dan dibakukan, apabila dituangkan dalam
satuan numatik (Poerwandari, 2009). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif fenomenologi dan mencoba menjelaskan atau
mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari
oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini

7
dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam
memaknai atau memahami fenomena yang dikaji.
Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2004:3) Penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku dan
perilaku yang diamati. Sedangkan penelitian deskriptif kualitatif
menurut Moleong ialah penelitian yang datanya berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka”. Peneliti menggunakan metode deskriptif
kualitatif untuk mengungkapkan secara mendalam pola asuh yang
diterapkan nelayan tradisional dalam mencukupi kebutuhan keluarga
Dusun Samaturu, Desa Bajoe, Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
yang terletak di Pulau Bokori.

PEMBAHASAN
Pola asuh demokrasi terlihat pada responden 1, 2, dan 3.
Meskipun responden 3 sering menghukum anak-anaknya dengan cara
mencubit atau menarik telinga anak-anaknya tapi anak-anak beliau
dekat dengan beliau. Anak-anak selalu cerita ketika mereka diganggu
temannya. Jika anak-anak ini mengalami masalah, pasti mereka
ceritakan kepada responden 3. Sementara itu, responden 4 memberi
rasa kasih sayang pada anak itu dengan cara mendidik dengan nilai-
nilai islami, mengarahkan anak kepada kebaikan, menyekolahkannya
jika orang tua masih mampu. Responden 3 mengasuh anak-anaknya
dengan cara selalu menasihati anak-anaknya ketika melakukan
kesalahan, tidak suka memukul anak-anaknya karena khawatir nanti
anak-anaknya takut padanya. Anak-anak juga selalu cerita pada beliau
mengenai masalah mereka dengan temannya, dan orang tua
temannya. Sedangkan pola asuh permisif terlihat pada responden 4.
Ketika dihadapkan pada kondisi pendidikan anak-anaknya, mereka
tidak peduli dengan perkembangan sekolah anak-anaknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi
pola asuh orang tua pada masyarakat pesisir pantai yaitu pendidikan.
Terlihat dari fakta bahwa orang tua yang memiliki latar belakang

8
pendidikan rendah cenderung tidak mengetahui atau menelantarkan
aspek pendidikan dan sekolah anak-anaknya. Di sisi lain, lingkungan
seperti menyuruh anak-anaknya untuk bekerja mencari uang lebih
dini yaitu dari usia lima tahun menjadi hal yang biasa di lingkungan
pesisir.
Masyarakat pesisir memiliki pola pengasuhan khas yang
dipengaruhi oleh budaya setempat, biasanya orang tua belajar dari
budaya setempat tentang peran yang harus dilakukan dalam
mengasuh anak. (Winengan, 2007). Pengasuhan dapat dipengaruhi
oleh budaya, etnis, dan status sosioekonomi (Bronfenbreener dalam
Santrock, 2007). Budaya dalam masyarakat nelayan dalam hal
pengasuhan anak cukup bervariasi, tetapi secara garis besarnya
mereka memandang bahwa anak adalah aset dalam membantu
pekerjaan orang tua di rumah dan membantu mencari nafkah.
Sebagian orang tua merasa senang bila memiliki anak laki-laki
sebab bisa membantu ayahnya mencari nafkah dan bisa meneruskan
pekerjaan ayahnya, sedangkan anak perempuan dapat membantu
ibunya dalam pekerjaan rumah tangga. Kebanyakan orang tua pesisir
juga mempelajari pengasuhan anak dari orang tua mereka
sebelumnya. Mereka sering menganggap praktik pengasuhan yang
diberikan orang tua mereka adalah pengasuhan yang membawa anak-
anak mereka menjadi positif (Kusnadi, 2003).
Berdasarkan hasil wawancara pada empat responden, diketahui
bahwa kebudayaan yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai secara
tidak langsung dapat memengaruhi pengasuhan anak. Responden
menganggap budaya Melayu adalah budaya yang orang-orangnya
menganut agama Islam maka dari itu masyarakat setempat
beraktivitas tidak jauh dari unsur Islam, seperti menyuruh anak-
anaknya belajar agama, ketika waktu salat sudah tiba maka
masyarakatnya pun akan mengerjakan salat terlebih dahulu. Jika
sedang melakukan pekerjaan, wajib hukumnya untuk menunda
pekerjaan tersebut dan mendahulukan salat. Tidak hanya orang tua
yang wajib langsung mengerjakan salat tepat waktu, anak-anakpun

9
disuruh oleh orang tuanya untuk langsung mengerjakan salat ketika
waktunya sudah tiba tidak ada lagi anak-anak yang bermain-main lagi,
pergi melaut setelah subuh dan kembali sebelum dzuhur. Hal itu
dilakukan karena alasan agama, yaitu pulang sebelum dzuhur agar
dapat mengerjakan salat dzuhur tepat waktu dan berjemaah.
Sementara itu, cara pandang dua puluh responden mengenai
pendidikan yaitu memandang pendidikan agama adalah nomor satu
dari pada pendidikan lainnya. Pendidikan bagi sebagian besar rumah
tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan nonprioritas
dalam rumah tangga.
Penerapan pola asuh di Desa Bajoe yang banyak menggunakan
pola asuh demokrasi mengakibatkan cara orang tua dalam mendidik
anaknya banyak memberikan kebebasan, tetapi tetap memperhatikan
perkembangan anak-anaknya. Permasalahan yang terjadi juga bukan
lagi berasal dari kemiskinan tetapi juga lingkungan yang
memengaruhinya. Harapan masyarakat di Desa Bajoe perbaikan
kualitas hidup agar lebih baik dari sekarang. Jadi, untuk dapat
memperbaiki kualitas agar lebih baik, pendidikan sejak dini harus
diperbaiki dengan cara pola asuh yang tepat dan pemahaman akan
pentingnya pendidikan bagi generasi muda pada masa yang akan
datang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi
pola asuh anak usia dini pada komunitas keluarga pesisir adalah
pendidikan. Latar belakang pendidikan orang tua yang tergolong
rendah menjadikan orang tua tidak memahami tentang
perkembangan pendidikan sekolah anak-anaknya, sedangkan
lingkungan seperti yang meminta anak-anaknya untuk belajar melaut
sebagai nelayan atau mencari uang sejak dini dari usia lima tahun
mejadi hal biasa di lingkungan pesisir.
Keluarga pesisir pantai memiliki pola pengasuhan anak yang
khas. Pola ini dipengaruhi oleh budaya, etnis, dan status ekonomi-
sosial. Kebanyakan orang tua pesisir juga mempelajari pengasuhan
anak dari orang tua mereka sebelumnya, mereka sering menganggap

10
praktik pengasuhan yang diberikan orang tua mereka adalah
pengasuhan yang membawa anak-anak menjadi positif (Kusnadi,
2003).
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden,
diketahui bahwa kebudayaan yang terjadi pada komunitas masyarakat
pesisir pantai secara tidak langsung dapat memengaruhi pengasuhan
anak, beberapa responden menganggap budaya Melayu adalah budaya
masyarakatnya yang menganut agama Islam sehingga aktivitas tidak
jauh dari unsur Islam. Cara pandang menurut responden mengenai
pendidikan yaitu memandang pendidikan agama sebagai fondasi
utama bagi kehidupan, pendidikan bagi sebagian besar rumah tangga
komunitas keluarga pesisir pantai masih menjadi kebutuhan nomor
sekian. Khusus Desa Bajoe fenomena keseharian masyarakat pesisir
yang terlihat yaitu anak lelaki maupun perempuan sesekali terlibat
dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan untuk melaut
sampai dengan menjual hasil tangkapan. Tidak hanya menyuruh anak-
anaknya untuk melaut tapi juga mengajarkan sejak dini untuk belajar
mengaji. Dan biasanya orang tua menyekolahkan anaknya untuk
belajar mengaji di tempat Ibu M. Beliau yang memberi pelajaran
membaca, menghafal Al-qur’an, salat lima waktu, dan berkaitan
tentang Agama Islam.
Pola asuh orang tua tidak lain merupakan metode atau cara
yang dipilih orang dalam mendidik anak-anaknya. Tarsis Tarmuji
(2001: 37) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua merupakan
interaksi anak dan orang tua selama mengadakan pola asuh. Jadi, pola
asuh yaitu interaksi orang tua terhadap anak dalam mendidik
membentuk karakter anak di suatu keluarga sesuai dengan norma-
norma berlaku di masyarakat.
Cara orang tua mendidik anak di Desa Bajoe tampak sederhana.
Dalam hal ini, cara yang digunakan merupakan kebiasaan atau aturan-
aturan yang sudah turun temurun dari orang tua terdahulu. Kebiasaan
yang sudah mentradisi tersebut, menjadi panutan untuk mendidik
anak-anak masyarakat di Dusun Samaturu Desa Bajoe, dan dapat

11
menjadi masalah terhadap generasi berikutnya karena norma-norma
yang sudah berlaku mengakibatkan generasi masyarakat di Dusun
Samaturu, Desa Bajoe kurang berkembang. Oleh karena itu, cara
mendidik anak harus dapat dibenahi sedini agar generasi penerus di
Dusun Samaturu, Desa Bajoe menjadi lebih baik lagi.
Keluarga merupakan tempat paling awal dan efektif untuk
menjalankan fungsi departemen kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan. Apabila keluarga gagal mengajarkan kejujuran,
semangat, dan keinginan untuk menjadi lebih baik, hal itu akan
berdampak pada generasi berikutnya. Keluarga merupakan tempat
pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga
gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya (termasuk
aspek pendidikan; sekolah) berarti kegagalan untuk memperbaikinya
dan kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan
berakibat pada perkembangan anak di masyarakat.

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa pola asuh
orang tua pada anak komunitas keluarga pesisir pantai di Dusun
Samaturu, Desa Bajoe, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe adalah
pola asuh demokrasi (authoritative). Umumnya orang tua di Dusun
Samaturu tidak begitu membatasi anak dalam melakukan sesuatu.
Tidak ada aturan khusus yang mengikat mereka juga jarang mendesak
atau memaksa anak untuk melakukan sesuatu apabila memerintah
karena sebagian besar warga Dusun Samaturu, terutama kaum lelaki,
jarang berada di rumah. Mereka pergi mencari ikan dan merantau
sehingga anak tidak dibatasi dalam melakukan sesuatu. Jika anak
melakukan kesalahan, orang tua tidak langsung memberikan sanksi
secara fisik tetapi hanya memarahi dan menasihati anak untuk tidak
melakukannya lagi. Untuk menghindari kesalahan anak, orang tua
banyak bersikap memaksa kehendak dalam bidang tertentu seperti
pendidikan anak. Orang tua dalam kehidupan sehari-hari di Dusun

12
Samaturu dalam mendidik anaknya sesekali dengan cara
menanamkan sikap santun kepada yang lebih tua.

DAFTAR PUSTAKA
Anggreani, E (2000). Menyelamatkan Generasi Nelayan. [online].
www.SuaraKaryaOnline.com
Arsavin. (2012). Romansa Kehidupan Pesisir. [online]. http://arsavin
666.blogspot.com/2012/01/romansa-kehidupan-di-
pesisir.html.
Auduyahira, J. (2010). 13 Juta Anak Terancam Putus Sekolah. [online].
http://www.mediaindonesia.com./read/2010/08/04/159874
/88/14/13-Juta-Anak-Terancam-Putus-Sekolah.
Bungin, Burhan. 2001. Metode penelitian Sosial (Format-format
Kuantitatif dan Kualitatif). Surabaya: Airlangga Universitas
Press.
Edwards, D. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur: Panduan Bagi Orang Tua
Untuk Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung: Kaifa PT
Mizan Pustaka.
Engel, P.H. (1997). Perkembangan dan kepribadian Anak. Jakarta: Arca
Fahrudin, A. (2008). Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir
[online] http://coastaleco.wordpress.com/2008/04/26/karak
teristik-sosial-ekonomimasyarakat-pesisir/.
Hasbullah. 2001. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo.
Hurock, E. B (1994). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan). Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Moleong, J Lexy. 2004” Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya Pedoman Penulisan karya Tulis Ilmiah.
2011.

13
DAMPAK PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TERHADAP
MANAJEMEN WAKTU MAHASANTRI DI MA’HAD AL-JAMI’AH
IAIN KENDARI

Sitti Nurhalimah
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Kendari
Pos-el: [email protected]

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan media sosial dan
dampaknya terhadap manajemen waktu mahasantri di Ma’had Al-
jami’ah IAIN Kendari. Permasalahan dalam penelitian ini ialah
bagaimana dampak penggunaan media sosial terhadap manajemen
waktu mahasantri di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari. Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial terhadap
manajemen waktu mahasantri berdampak pada: 1) waktu untuk diri
sendiri; 2) waktu untuk bersosialisasi; dan 3) waktu untuk beribadah.
Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan kepada para
stakeholders agar dapat membangun kesadaran mahasantri dengan
mengadakan bimbingan atau pelatihan manajemen waktu dan
managemen diri, terutama mahasantri di Ma’had Al-Jami’ah IAIN
Kendari.

Kata kunci: Media Sosial, Manajemen Waktu, Mahasantri, Ma’had


Al-Jami’ah

PENDAHULUAN
Media sosial adalah media untuk bersosialisasi yang umumnya
berbasis daring ‘online’ di mana para penggunanya bisa dengan mudah
berpartisipasi, mencipta dan membagikan isi, meliputi blog, jejaring
sosial, wiki, forum, dan dunia virtual (Hartono, 2017). Kehadiran
media sosial pada zaman sekarang tidak dapat dimungkiri lagi
eksistensinya karena media sosial merupakan hal yang sudah melekat

14
dan seolah menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Begitupun di
kalangan masyarakat, dalam kaitannya dengan penelitian ini,
terkhusus mahasiswa, karena dengan media sosial kehidupan di dunia
nyata dapat ditransformasikan ke dalam dunia maya. Mahasiswa bisa
dengan mudah berbagi informasi dan berkomunikasi dengan orang
banyak tanpa perlu memikirkan hambatan dalam hal biaya, jarak, dan
waktu yang dihabiskan (Soliha, 2015).
Berbicara mengenai waktu, faktanya media sosial telah banyak
merenggut waktu penggunanya, bahkan waktu 24 jam dalam sehari
lebih banyak terkuras hanya untuk bermain media sosial. Menurut
Dahlan Usman, penggunaan media sosial selama 2-3 jam secara rutin
setiap hari dapat menimbulkan kecanduan pada penggunanya.
Kecanduan internet didefinisikan sebagai, ketidakmampuan seseorang
untuk mengendalikan penggunaan internetnya, yang akhirnya
menyebabkan kesulitan psikologis, sosial, sekolah, dan/atau kerja
dalam kehidupan seseorang (Hsiao M, 2000). Media tersebut dianggap
oleh mereka sebagai satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan.
Seolah-olah manusia tidak bisa hidup tanpa bantuannya.
Berdasarkan pengamatan peneliti, diketahui banyak mahasiswa
(mahasantri Ma’had) yang menggunakan media sosial dalam
menjalankan aktivitasnya, bahkan hampir 12 jam dalam sehari. Hal ini
menuai konsekuensi berupa waktu tidur, waktu makan, waktu belajar,
dan waktu untuk kepentingan lainnya seringkali terhambat, bahkan
ibadah salat pun sering tertunda karena keasyikan bermain media
sosial. Keterlenaan pengguna media sosial semakin jauh dengan
adanya fasilitas jaringan cuma-cuma ‘free wifi’ 24 jam yang disediakan.
Hal ini ditegaskan dengan sebuah survei yang dilakukan oleh APJII,
bahwa ternyata pengguna internet/media sosial dengan intensitas
tinggi ialah mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, artinya
semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka semakin sering pula
intensitas mereka untuk mengakses internet. Salah satu populasi yang
memenuhi kriteria tersebut adalah mahasiswa (Hsiao M, 2000). Pakar
lain, Nielsen, juga melaporkan bahwa pengguna didominasi oleh

15
wanita dan berusia 18-34 tahun adalah yang paling aktif dalam media
sosial. Mereka menggunakan media baru dengan teknologi terkini.
Mereka berminat dan lebih tertarik dengan segala sesuatu yang
berkaitan dengan Internet dan aplikasinya. Mereka sangat aktif dan
cenderung untuk melibatkan diri dengan laman rangkaian sosial
seperti Facebook, Twitter, Google+ ataupun YouTube (Rahim, 2013).
Penelitian tentang dampak penggunaan media sosial telah
banyak dilakukan tetapi, yang berkaitan dengan manajemen waktu
yang terkait kehidupan sosial sejauh penelusuran peneliti belum
ditemukan. Ada penelitian yang terkait manajemen waktu, tetapi
mengarah pada kesehatan dalam ilmu kedokteran. Penelitian yang
membahas permasalahan dampak penggunaan media sosial terhadap
kecemasan sosial (Rahim, 2013), penyimpangan perilaku (Rosyidah,
2015), dan kepercayaan diri (Hafidz, 2016). Berbeda dengan
penelitian sebelumnya, penelitian ini membahas dampak penggunaan
media sosial terhadap manajemen waktu mahasiswa. Dengan
demikian, penelitian ini khusus bertujuan untuk membahas
bagaimana “Dampak Penggunaan Media sosial Terhadap Manajemen
Waktu Mahasantri di Ma’had Al Jamiah IAIN Kendari.”

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-
fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia,
yang lebih memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas,
keterkaitan antar kegiatan (Sukmadinata, 2005). Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Informan adalah 25 orang mahasiswi yang tinggal di Ma’had
Al’jami’ah, IAIN Kendari. Teknik analisis data mengacu pada model
analisis Miles dan Huberman yang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta
verifikasi (Martini, 2012).

16
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan ditemukan
hasil bahwa dampak penggunaan media sosial terhadap manajemen
waktu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Waktu untuk Diri Sendiri
Dalam lima konsep dasar manajemen waktu yang salah satunya
adalah waktu untuk diri sendiri dijelaskan bahwa sebelum membuat
dan menerapkan manajemen waktu kenalilah kebutuhan waktu
pribadi anda. Berapa lama waktu yang anda butuhkan untuk tidur,
makan, minum, mencuci, memasak belajar dan segala keperluan
pribadi lainnya (Big Harry, 2013). Berikut ini petikan wawancara
dengan informan.
“Kalau sudah main hp dan buka media sosial jadi malas
bergerak, malas mandi, malas makan soalnya asyik main media
sosial bahkan lebih sering bermain media sosial dari belajar,
kerja tugas pun tunggu kepepet waktu (Wawancara dengan ST.
Habib Tanggal 06 Juni 2018 di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).
Sementara itu, informan lain mengatakan:
“Medsos mempengaruhi segala aktivitasku misalnya sudah siap
mau nyuci tapi karena singgah dulu main hp akhirnya lama-
kelamaan waktu berlalu eh sudah sore besok lagi begitu nanti
kalau sudah kepepet baru nyuci” (wawancara dengan Asri Yuli
tanggal 06 juni 2018 di Ma’had Al-jami’ah IAIN Kendari).
Berikut petikan beberapa hasil wawancara dengan informan
terkait dampak penggunaan media sosial terhadap pengaturan waktu
mereka.
“Banyak tugas terabaikan dan buang-buang waktu. Padahal,
mestinya ada banyak waktu yang bisa saya lakukan. Besoknya
baru nyesal seharusnya bisa memakai waktu dengan sebaik
mungkin (wawancara dengan Nunsida Tanggal 07 Juni 2018 di
Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).

17
Saya sering begadang, sakit mata, jarang komunikasi dengan
orang di sekitar kita, banyak terbuang waktu untuk media
sosial.”
Jika hal ini terus terjadi maka akan menjadi kebiasaan buruk
bagi para mahasantri sebagai agent of change di dunia. Beberapa
keterangan lain pun diungkapkan oleh responden, yaitu bahwa
ternyata waktu yang digunakannya untuk bermain media sosial dalam
sehari kurang lebih 5-6 jam, bahkan sampai 12 jam dalam sehari.
“Hampir setiap keadaan, bahkan di kelas kalau nda ada dosen
saya main medos, bosan, ngantuk, terlebih kalau dosennya
bosenin. Saya lagi makan main media sosial, lagi kerja tugas
main media sosial, lagi ngobrol sama teman main media sosial,
dan kalau bangun tidur tentu langsung cek hp (Wawancara
dengan Yuliana Tanggal 07 Juni 2018 di Ma’had Al-Jami’ah IAIN
Kendari).

Waktu untuk Bersosialisasi


Manusia adalah makhluk sosial. Setiap orang pasti
membutuhkan orang lain, maka dari itu, hubungan sosial harus tetap
mendapatkan porsi dalam jadwal. Kumpul dengan tetangga sekitar
adalah salah satu contoh upaya menjalin hubungan sosial yang
terdekat. Karena salah satu kebahagiaan hidup adalah memberi
manfaat bagi orang sekitar kita. Berikut ini hasil wawancara dengan
informan terkait penggunaan media sosial dan pengaruhnya terhadap
aktivitas bersosialisasi.
“Menurut saya media sosial lebih asyik dari pada berbicara
dengan teman-teman karena kadang teman-teman di kamar
juga sibuk dengan hpnya masing-masing (wawancara dengan
Tati tanggal 07 Juni 2018 di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).
Penggunaan media sosial yang mengabaikan pengaturan waktu
untuk bersosialisasi dengan sesama di dunia nyata tersebut sangat
berdampak pada kehidupan kita karena kita adalah makhluk sosial
yang pasti membutuhkan bantuan orang lain.

18
Waktu untuk Beribadah
Umat yang beragama memiliki tuntutan untuk dapat
menyisihkan waktu untuk melaksanakan ibadah yang diatur dalam
ajaran agama. Ibadah dalam hal ini adalah hubungan vertikal kepada
Tuhan. Kegiatan beribadah akan memberikan dampak yang signifikan
bagi kondisi mental dan spiritual. Ini juga merupakan faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan dan ketenangan karena berfungsi
mengisi kekosongan hati dan jiwa dengan menjalin hubungan kepada
sang pencipta. Terabaikannya waktu untuk beribadah akan membuat
jarak antara kita dengan Tuhan. Berikut beberapa keterangan dalam
wawancara dengan informan.
“kalau sudah main media sosial kadang telat sholat lima waktu
sudah terlanjur enak bermain medos dan mikir bahwa waktu
sholat masih lama” (wawancara dengan Yuslianti Tanggal 06
Juni 2018 di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).
“sering banget nunda waku sholat, namun terkadang tergantung
iman kalau lagi naik imannya biar ada hp malas dipegang tapi
kalau lagi turun sering lupa waktu terlebih sholat kalau sudah
asyik buka media sosial” (wawancara dengan Badri Tanggal 06
Juni 2018 di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).
Perilaku menunda-nunda waktu salat dan peribadatan lainnya
ini sangat berdampak pada kebiasaan jangka panjang karena sudah
menjadi hal biasa yang terjadi sehingga tidak memikirkan bagaimana
kerugian orang-orang yang menunda-nunda waktu salat. Oleh karena
itu, kebijakan pengguna media sosial sangat penting dalam
manajemen waktunya agar tidak terjadi pengabaian terhadap
kewajibannya sebagai umat beragama. Terdapat beberapa hal penting
yang peneliti dapat dari informan bahwa ternyata banyak informan
yang tidak mengerti bahkan tidak melakukan manajemen waktu.
Karena merasa bahwa itu adalah kegiatan sehari-hari yang harus
dijalani sehingga mereka tidak memiliki pembagian waktu khusus
(Oktafany, 2017). Berikut petikan wawancaranya.

19
“Saya bukan tipikal orang merencanakan waktu, pengen tapi
susah, jadi yang akan terjadi besok ya dijalankan saja tanpa
rencana-rencana” (wawancara dengan Rahma Tanggal 07 Juni
2018 di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).
“Saya sama sekali tidak pernah merencanakan kegiatan,
jangankan setiap hari untuk plaining 5 tahun kedepan saja saya
tidak pernah (wawancara dengan Yuli Tanggal 07 Juni 2018 di
Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).”
“Saya tempel rencana saya tapi kadang tidak sesuai. dan saya
simpan di hp saya (wawancara dengan Kamaria Tanggal 07 Juni
2018 di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Kendari).
Data yang berhasil dihimpun menunjukkan bahwa dampak
penggunaan media sosial terhadap manajemen waktu sehari-hari
mahasiswa ternyata cukup banyak sisi negatifnya, seperti sering
terlambat tidur, aktivitas sehari-hari terkendala, menjadi malas
belajar, dan waktu ibadah pun seringkali diundur-undur akibat
besarnya pengaruh media sosial. Yang lebih parah, bahkan waktu
untuk berbincang-bincang dengan teman sekamar pun menjadi jarang.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anang Sugeng
Cahyono bahwa dampak media sosial dapat menjauhkan orang-orang
yang sudah dekat dan sebaliknya, orang yang terjebak dalam media
sosial memiliki kelemahan besar yaitu berisiko mengabaikan orang-
orang di kehidupannya sehari-hari (Cahyono, 2016). Seyogianya
seorang mahasiswa harus mampu me-manage waktunya sehingga
aktivitas-aktivitas tersebut dapat berjalan dengan baik. Bahkan,
Fischer mencatat temuan dari teori behavioral decision bahwa orang
sering mengabaikan hasil besar di masa depan yang bisa didapatkan
ketika menerapkan time management yang bagus. Artinya
pengembangan dan penerapan time management itu hasilnya tidak
selalu kelihatan pada tahap awal penerapannya, melainkan setelahnya
(Atosokhi Gae, 2017).
Manajemen waktu ‘time management’ memang bukan hal yang
mudah karena mengatur waktu adalah tindakan dan proses

20
perencanaan dan pelaksanaan kontrol sadar atas sejumlah waktu yang
akan digunakan untuk aktivitas tertentu, khususnya untuk
meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktivitas. Time
management membutuhkan sejumlah skill, alat, dan teknik yang
digunakan dalam mengelola waktu untuk menyelesaikan suatu tugas
atau proyek dengan jangka waktu yang sudah ditentukan (Atosökhi
Gea, 2014). Waktu adalah sumber daya yang pasti, tetapi dengan
mudah bisa berlalu tanpa bisa kembali untuk digunakan pada
kesempatan berikutnya. Seorang perlu belajar dan berlatih
menyelamatkan waktu dan menggunakannya secara baik, efektif, dan
efisien. Time management yang efektif dapat membantu melakukan
hal penting di setiap jam kerja. Di dalamnya setiap pribadi dapat
menggunakan waktunya dengan baik, mendelegasikan tugas,
mengorganisasi pekerjaan, dan merencanakan waktu (Atosökhi Gea,
2014).
Di era informasi seperti saat ini internet atau media sosial
memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan manusia.
Media sosial menjadi media yang banyak digunakan oleh kalangan
mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan informasi guna menunjang
kebutuhan study yang mereka tempuh maupun untuk menunjang
aktivitas mereka. Media sosial dalam era informasi telah
menempatkan dirinya sebagai salah satu pusat informasi yang dapat
diakses dari berbagai tempat tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu
(Novianto, 2011). Namun, tidak ada yang sempurna dalam kehidupan
ini apabila sesuatu dilakukan terlalu berlebihan/keluar dari
koridornya contohnya adalah waktu mahasiswa apabila terlalu
banyak terforsir bermain media sosial maka akan banyak berdampak
buruk pada dirinya maupun pada perkuliahannya.
Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa penggunaan
internet memiliki dampak negatif pada kinerja maupun time akademik
mahasiswa. Jeong meneliti perbedaan dalam kinerja akademik siswa
sekolah dasar dengan menggunakan internet. Atas dasar literature
yang ada dihipotesiskan bahwa kecanduan internet akan berdampak

21
negatif pada kinerja akademik mahasiswa. Hal ini dibuktikan dalam
penelitian Noreen Akhter hasilnya menunjukkan bahwa kecanduan
internet secara signifikan berkolerasi negatif dengan kinerja akademis
mahasiswa di universitas (Akhter, 2013).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa dampak penggunaan media sosial terhadap
manajemen waktu mahasantri ialah sebagai berikut. (a) mahasantri
sering lalai dalam hal waktu mengurus diri dan kebutuhan sehari-hari,
seperti makan, tidur bahkan belajar sering terlambat. (b) kurangnya
waktu berkomunikasi dengan teman sekamar atau bahkan sekitarnya
karena lebih memilih bermain media sosial begitupun temannya. (c)
mahasantri seringkali menunda waktu sholat karena sudah terlalu
asyik dan kecanduan bermain media sosial.
Bukan hanya itu, ternyata sebagian informan masih banyak yang
belum bisa me-manage waktunya setiap hari sekalipun beberapa
sudah melakukannya. Dan kalau ini terus terjadi maka hal-hal negatif
akan terus berakibat pada mahasantri. Oleh karena itu perlu adanya
kesadaran pada diri masing-masing individu, kemudiaan diadakannya
bimbingan pengelolaan waktu, karena mahasantri yang tinggal di
Ma’had adalah merupakan mahasiswi bidik misi yang sangat padat
jadwalnya bahkan di hari libur mereka mempunyai pembelajaran
tambahan, sehingga pengelolaan waktu ini sangat penting
diperhatikan dan dilaksanakan agar semua kegiatan dan waktu dapat
digunakan secara efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA
Akhter, N. (2013). Relationship between Internet Addiction and
Academic Performance among University Undergraduates.
Educational Research and Reviews, 8(19), 1793-1796.

22
Another random document with
no related content on Scribd:
“So! You admit it! Oh, I’m on to your game! This is some more of
your tattle. You want to make trouble between me and my wife!”
Blandy took a long step forward. “That’s a lie,” he said. “It’s just what
I don’t aim to do. You and me had a talk on this question the night
you got married. Have you forgot that? Wal, when you cash in on the
claim, I’m a-goin’ to see that you cut that friend——”
The swinging door opened, and Polly came in from the kitchen.
“Harv!” she faltered. “Jeff!” Then, she fell silent, watching them with
troubled eyes.
Blandy’s face broke into a reassuring grin. “Say! we’re excited over
nothin’,” he declared. “Don’t you worry, Polly. Patton, I hired the only
two burros in town this mornin’, and bought some grub and feed.”
There were no further words between the two men, only a coldness
that was barely noticeable. After the midday meal, Patton even
helped with the packing. Polly, entering their bedroom hastily, found
him standing on a bench looking at the labels of some bottles on the
medicine-shelf.
“Be careful what you take,” she cautioned. “That bottle of mercury
tablets is up there, and it’s the same size as the one that’s got stuff in
it for rattlesnake bites.”
“It’s the rattlesnake medicine that I’m hunting,” answered Patton
tartly.
Polly went back into the kitchen, where Blandy was busy packing the
raisins, crackers and canned beef. She looked frightened. “Oh, I’m
so sorry you and Harvey quarrelled,” she half-whispered. “Please,
please don’t have any more trouble with him.”
From the standpoint of beauty there was little to recommend Jeff
Blandy save his eyes. Now, as he smiled down at her, his eyes made
up for all the deficiencies of his rugged face. “We was hungry,” he
declared. “That was all.”
“Jeff,” she said, “I never knew how good you were. Oh, if girls only
realised that the men that keep dressed up aren’t always the best
men.”
“And on the other hand,” he observed, “I’ve saw some pretty bad
men in bum clothes.”
Late that night, the burros were packed, one with provisions and
feed, and enough heavy sacking for a small sun shelter; the other
with the large, flat-sided water canteens. When the start was made,
Polly told the two men a whispered good-bye from the front porch.
And as the burros were headed northward, Blandy leading one and
Patton the other, she watched the little pack-train leave the town.
The light of the stars, reflected on the grey of the sage and the
yellow-grey of the desert floor, made the departure plain for a long
distance, though only as so many moving black specks. She waited
until the specks dropped from sight into a far-off swale.
Then she ran through the dining-room to her bedroom, struck a
match, dragged a bench under the medicine-shelf, climbed upon it
and let her light shine in turn upon each of the bottles standing in a
row.
The match went out. With a murmured exclamation she got down,
searched for her hat in the dark room, found it and put it on, caught
up a yellow sun umbrella, and locked both entrances to the house. A
moment later, she was hurrying across the street, over the track and
into the desert.
She soon came up to the men and the burros, travelling silently
forward. But at first she kept a little way behind, like a scared child,
for she shrank from letting Patton know that she was there.
Presently, however, summoning courage, she went forward to his
side. “H-Harvey,” she stammered. Her face was white in the
dimness.
He came short; Blandy, too. Both stared at her in wonderment.
“What do you want?” Patton demanded, resentment in his tone. “It’s
too late for you to be gadding around alone.”
“Harv, I’m going with you. Walking isn’t hard work—not any harder
than the work in the kitchen was. Jeff, you don’t care if I come along,
do you?”
“You bet I don’t,” Blandy answered heartily. “You’ll be fine comp’ny.”
“Nonsense!” scolded Patton.
“Wal, she’s the third pardner,” reminded Blandy. “When you come to
think of it, she’s got a right to look over her claim. If she gits tired,
she can ride a donk. But a-course”—his tone became more serious
—“there’s one thing agin your goin’: We three is the only people that
know where that strike is; if anything was to happen to the bunch of
us, there’d be a lost mine for shore.” He clucked to his burro and
walked on.
His words produced a curious effect upon Patton, who stayed where
he was, silently looking after Blandy until the latter was well beyond
earshot.
“Harvey!” Polly’s voice was tremulous with appeal, “I don’t want to be
left behind alone.”
Patton gave her a quick, sidewise glance. “All right,” he said
brusquely. “You can come.”
To show that she was equal to the journey, Polly kept in the lead all
the remainder of that night, flitting light-footed, like the spirit of some
good guiding angel.
Shortly after dawn, Blandy called a halt and prepared for a rest of
several hours. He fixed the square of sacking to the ground by two of
its corners. The other two corners he fastened to mesquite stakes.
The result was an improvised tent which faced the north. This shelter
was for Patton and Polly. When it was ready, Blandy took the yellow
umbrella, raised it, went aside to where were the canteens, and lay
down.
By noon, it was impossible to sleep because of the heat, which was
so intense that the grey, incrusted ground burned the hand that
touched it. The travellers did not set forth at once. Seated under their
shelters, they looked out upon a round lake that glimmered in a near-
by hollow of the desert—a lake encircled with a beach of amethyst.
With that sheet of water glistening before him, Patton drank often
and deep. And when, at four, he rose with the others to continue on,
he slung one of the large canteens over a shoulder. The glimmering
lake moved as the pack-train moved, occupying one hollow, then
dissolving to appear in another, and still another. Patton lifted his
canteen to his lips every half mile.
Blandy noted it. “Say! You’ll have to learn to be careful about your
drinkin’ if you go out much on the desert,” he warned. “More’n one
tenderfoot has gone luny for water and took to follerin’ them spook
lakes. Chaw on a raisin for a change.”
No halt was made for supper. The three ate as they travelled. The
sun declined. The last shining sheet of water disappeared. Twilight
came, and with twilight, the stars, which burned large and white in
the cloudless expanse of the heavens. Through the starlight, through
the late moonlight, and through the dawn of a second day, they
trudged on.
It was shortly after sunrise that a giant yucca came into sight ahead.
It was branched on either side; and from a distance looked like some
huge figure that had been caught in action and suddenly trans-fixed.
“Hello!” cried Blandy. “My friend John Jenkins! We’re half-way.”
“Half-way?” repeated Patton. “Why, that spur doesn’t look twenty
miles off.”
“It just happens that you’re a-rubberin’ in the wrong direction,” said
Blandy. “The spur we’re a-goin’ to ain’t over that way: It’s off where
them little, puffy clouds is. Say, you’d better never try to navigate this
desert alone.”
Arrived at the yucca, Polly was glad enough to pause, and before the
two men had finished erecting the shelter of sacking, she had
crawled under it.
“Tuckered, ain’t you?” questioned Blandy kindly. “Wal, we been
makin’ fine time, that’s why. We’ll be drinkin’ outen that bowl in the
rock at sun-up day after to-morrow.”
He made a cache of feed and provisions, and buried two of the large
canteens; then stretched himself with his head in the shade of the
yellow umbrella, and was soon snoring.
Patton did not lie down, but sat, brooding, a canteen in his hand.
And, presently, after making certain that Polly’s breathing was deep
and regular, he rose cautiously. Some distance away were the
burros, standing with lowered heads and long ears flopped to either
side. Patton stole in their direction. And when he reached the
animals, set to packing one. He was soon done. With a last glance
toward shelter and umbrella, he set off northward at a good gait.
The atmosphere was unusually clear. It was this that had made the
mountains seem such a short distance away. Patton had carefully
marked the position of the right spur. He tramped forward
determinedly, though by noon the ground under his feet fairly
scorched his shoes. The afternoon dragged its length in moments
that seemed, each more unendurably hot than the last, and with
lakes glimmering from near-by hollows, he drank at every rod.
Sunset came at last, bringing a welcome coolness. Now half of his
journey alone was done. He stopped to feed the burro and satisfy his
own hunger, after which he hurried on.
The sun was standing high over the mountains the next day when,
fagged, but triumphant, Patton began the ascent of the gentle,
beach-like slope that stretched between him and the base of the
spur he sought. The range that rose ahead of him showed not even
a growth of stunted sage upon its ruffled side. For here the massive
barrier was like a burned-out kiln, brick-red, cinder-black and ashen-
grey. He skirted it for an hour or more, the donkey at a trot.
Suddenly, ahead of him, a great, black bird rose from the ground
with a harsh cry and an awkward flapping of its wings. Patton ran
forward.
There was the bowl, as round as if it had been fashioned by deft
hands, and nearly full of water. Patton had swallowed the last
mouthful of his canteen supply early that morning. Now, he sank to
his knees, bent his head and almost buried his face in the pool.
His thirst satisfied, he climbed the slope beyond. Ten minutes of hot
toiling, and he came upon Blandy’s location-notice, scrawled on a
soiled scrap of paper, and tacked to a crooked mesquite stake. He
tore up the notice, and jerked the stake loose. Then, white, for all the
effort of climbing, he stooped and pressed both palms against the
outcropping of quartz at his feet, his fingers into its crevices. It was
as if he were clutching prey.
“It’s all here!—all here!” he said aloud, huskily.
Back at the bowl once more, he filled a canteen and hung it to the
pack-saddle, took another long drink himself, and let the donkey
have all that remained. Then, reaching into an inside pocket of his
shirt, he brought out something that was wrapped in a piece of
newspaper. He unwound the paper, disclosing a small bottle, which
he uncorked. And having measured the size of the bowl with his eye,
he dropped three round, white tablets into it. This done, he
dampened a handkerchief from the canteen and laid it, folded, upon
his hair. For the long miles in the sun had told on him, and there was
a feeling of heat and pressure at the top of his skull.
A few minutes later, he set off once more, due west, completely
avoiding the Searles route to the southward.

When Polly awoke, the sun was already down, and twilight was
settling. Fearing that she had delayed the departure, she sprang to
her feet. But Blandy was still snoring. And close at hand was a
saddleless burro, head lowered and fast asleep.
She began to call: “Harvey! Oh, Harv!”
The snoring ceased. The yellow umbrella toppled. Blandy’s tall figure
rose. “Gosh! but ain’t I snoozed!” he exclaimed.
She called again: “Harvey! Where are you? Jeff! One of the burros is
gone!”
“Oh, I guess he’s there, all right,” answered Blandy. “You know, a
donk’s the same colour as the ground.”
“But he isn’t there,” persisted Polly. “Or Harvey, either.” And as
Blandy hastened by, she joined him.
When they halted, each scanned the desert. Then, “You’re right,”
Blandy admitted gravely. “That blamed burro must a-strayed. I never
did like the little cuss. He had a bad look in one eye.”
She raised an anxious face to his. “The donkey isn’t to blame,” she
declared. “Harvey’s left us.”
“No! Why? Sore about your comin’?”
“He told me to come.”
Blandy strode over to the packs. And a first glimpse told him that
Polly was right. Feed and provisions were missing, and all but one of
the uncached canteens.
“Jeff!” Polly had followed him, and she spoke in a frightened whisper.
“Don’t drink any of this water till you’ve given the donkey some.”
Blandy stared down at her. “Why not?” he asked, perplexed.
“Don’t—don’t ask me, Jeff.”
His face went grim with understanding. “I guess I understand,” he
said.
The canteen that Patton had left behind him was thoroughly shaken
and the donkey was given a generous drink. Then Blandy left the
camp to gather mesquite roots. When he returned, a half-hour later,
the little animal was resting, head swagged low. But while Blandy
was watching him, the shaggy head came up and the donkey brayed
—loud and long, after which he fell to yawning, ears flopped to either
side lazily. Plainly the water had done him no harm.
Blandy set to work to build a fire. “You see,” he said, “Patton might
change his mind about leavin’ us.”
By now, twilight had merged into night. On every side stretched the
desert, as level, dark and melancholy as a sea. The mountain range
to the northward, with its charred front one great inky shadow, was a
dead island, rising out of a black waste of water. Blandy lighted the
beacon, and it flamed up like the signal of someone shipwrecked.
They kept the fire burning steadily. They listened for far-off cries. But
they heard no cries, only constant movements in the blackness
about the camp. Heretofore, the desert had withheld nearly all
evidence of animate things. Now, sitting and waiting, they caught the
soft pad, pad of dog-like feet, the flutter of small wings.
At dawn, Blandy set off on a hunt for tracks. He first circled the
camp. The only outgoing trail he found ended near by in the dry bed
of a stream. He followed the stream-bed toward Searles. When he
had gone several miles, he retraced his steps and passed the camp
on his way toward the mountains.
It was late afternoon when he returned, tired out. But he came into
sight waving his hat cheerily. “It’s all right,” he announced. “He went
toward the mine.”
While they were preparing to break camp and follow Patton, Polly
saw that Blandy was digging up one of the two canteens he had
cached.
“On the way home, Jeff, can we make it from here to Searles on
one?” she asked.
“Easy.”
“And from the mine to here, Jeff?”
“We’ll ketch a canteenful where it drips into that bowl in the rock.”
When they started forward, they were compelled to go slowly, not
only because of Blandy’s weariness, but because Polly was foot-
sore, though at first she strove to conceal the fact by keeping in the
rear. At the end of five or six miles, however, she found herself
unable to go farther.
“Oh, I thought I’d be all right after so much rest,” she declared, out of
patience with her own weakness.
Blandy was all gentle consideration. “I don’t wonder your feet hurt
you,” he answered. “You ain’t used to so much walkin’. Now, just you
wait.”
Off came pack-saddle, load and all. Then the saddle-blanket was
replaced, with the shelter sacking on top of it, folded to make a
comfortable seat. And soon Polly was mounted on the donkey.
Behind her, balanced carefully, were two large canteens, a flour sack
of provisions, and feed for the burro. She held the yellow umbrella
over her head.
They travelled until darkness made it impossible to follow Patton’s
tracks, when camp was made again.
“But if Harvey went straight to the mine,” argued Polly, “What’s the
use of trailing him? Why not just go ahead?”
“For the reason that yesterday Patton had the mine located thirty
mile left of where it is. S’pose he was to git the same idear again?”
Once more Blandy hunted mesquite roots. And far into the night his
signal-fire lit the swells and hollows of the desert.
At break of day they took up their journey once more, with Polly
riding again, and drowsing now and then as the donkey picked his
way along.
It was the middle of the morning when a low cry from Blandy
suddenly startled her into wakefulness. He had come short, halting
the donkey, and was examining the ground.
“What is it?” she asked.
“Here’s a man’s tracks and a burro’s, crossin’ this trail at right angles,
and goin’ west. They’re fresher’n the ones we been follerin’.”
“Harvey’s?”
“Shore.”
“What’ll we do, Jeff?”
“Strike out after him. He’s makin’ for that wrong spur!”
They turned aside, and started off in the new direction.
During the remainder of the morning, they were headed almost due
west. But at noon Patton’s footprints led him toward the north-west,
then toward the north—directly away from Searles.
Shortly after noon, they made an alarming discovery. It was Patton’s
donkey, stretched lifeless on the baked ground. Away from the
carcass a grey wolf-form raced, and was lost in the grey of sand and
sage.
“Short of water,” said Blandy, and shook his head.
Polly covered her eyes. “Oh, poor little thing!” she whispered. “Jeff,
give mine a good drink.”
He came to stand beside her. “Polly,” he said, “I can’t. And if we’re
goin’ to keep follerin’ this trail and locate Patton, this little animal”—
he laid a hand on the donkey’s neck—“has got to go.”
“Are we short of water?”
“There’s a good deal left. But I ain’t give the donkey a swaller since
yesterday noon. We got to be savin’. It’s likely that Patton’ll need
water bad.”
Soon the tracks they were following turned due east.
“He run outen water,” Blandy explained gravely. “He’s headed back
to the bowl.”
But when they, too, turned about to start back, their burro abruptly
stopped, and refused to be coaxed or urged forward.
“Yas, git down,” said Blandy as Polly prepared to dismount. “And go
on for about a quarter of a mile. I’ll bring the things.”
She obeyed, fairly running to escape the sound of the dreaded
pistol-shot. When he came trudging up to her, carrying a canteen
and the provisions sack, she was seated in a heap, her face hid in
her hands.
“There! There!” he said consolingly. “We had to leave him.”
They hurried forward as fast as they were able, Blandy compelling
Polly to take a swallow of water every little while, but drinking none
himself. Before long Patton’s trail was giving them much concern. It
veered to the right for a few rods, then it veered to the left, winding
crazily.
“’Fraid he was just a little off his head,” said Blandy. “Nothin’ to worry
about, though. We’ll find him.”
But their concern steadily increased as they travelled. For by late
afternoon, with the bowl still at some distance, they found no more
footprints to follow—only two winding marks. Patton was dragging
himself forward on his knees!
They came upon his hat next. An hour later, the sun glittered on
something a short way in advance. It was a canteen. Its woolen
covering had been torn from it in ragged bits that strewed the
ground. And about the round opening were the marks of teeth.
“Hurry!” breathed Blandy.
After that, neither one spoke, but stumbled on, Blandy half-
supporting Polly, both watching eagerly for a moving speck in the
narrowing stretch between them and the base of the spur ahead.
At sundown, they neared the bowl. Blandy began to call: “Patton!
Oh, Patton! Are you there?”
A few steps farther, he came short, putting out an arm to stop Polly.
For Patton was there, stretched flat upon his back, his arms thrown
wide to either side. And beside him, with its black wings outspread,
lay a great bird, claws up and feathers ruffled.
BUENAS NOCHES
SCARLET fuchsias on a swaying branch freckled the ’dobe wall
behind Loretta’s perch. The parrot, her claws wide apart, her brilliant
rudder tilting to balance her grey body, industriously snapped at the
blossoms. One secured at last, she turned slowly about and, with
infinite care, let it drop upon the open pages of Padre Alonzo’s book.
The padre brushed the flower away and glanced up. “Buenos días,
señor!” clacked Loretta; “buenos días! buenos días! buenos días!”
“Good-day to thyself,” retorted the padre. He spoke in Spanish,
shaking a stout finger. “And tear not the flowers again. They be the
last of the kind till after the New Year. So take warning, I say, lest
thou find thyself thrust without the garden.”
Loretta recognised displeasure in his voice. She mumbled an
inquiring “Ga-a-wk! ga-a-wk!” and shifted thoughtfully from foot to
foot. But, presently, the padre having resumed his reading, she
turned once more to catch at the swaying branch.
When a second fuchsia came fluttering down to his hand, Padre
Alonzo uncrossed his sandals and rose. “Oh! oh! oh!” he cried,
wagging his close-cropped head so vigorously that the very beads of
his rosary tinkled together. “Thou art the naughtiest bird in all of
California! What if Padre Anzar finds thee despoiling his plant? He
will put thee again where thou must fight to keep thy feathers—in the
kitchen with the cats!”
At the mention of cats a startling change came over the parrot. Her
plumage ruffled, her eyes began to roll, she straightened on the
perch, uttering hoarse cries of fear and defiance.
“Then be good,” he counselled, “be good. Or off thou’lt likely go. Me-
e-ow! me-e-ow!”
And now Loretta moved nearer, anxious for friendly terms. “Dame la
mano,” she suggested; “a-a-aw, dame la mano. A-a-aw! a-a-aw!”
She balanced tremblingly on one leg, curling the other under her.
Padre Alonzo put the stout finger into the proffered claw. “So, so,” he
said. “And I shall not tattle. But tell me: What wouldst make thee
forget to use thy sharp pruning shears? An apple? or seeds? or one
of Gabrielda’s sweet bis—”
Loretta perked her head to one side. “To-o-ny, To-o-ny, To-o-ny,” she
droned coaxingly.
The padre thrust his thumbs under the white cord of his girdle and
broke into a guffaw. “Thou jade!” he teased. “Wilt have Tony, eh?
Well, I go to find him.” He gathered in his brown cassock,
preparatory to stepping over the cacti here bordering the garden
path. “But look you, if he comes scrape not the gilt from the wires of
his pretty cage.”
Another threatening shake of the finger, and the padre crossed the
low, spiked hedge and waddled away through the sun.
When he came into sight a moment later round the dun wall of the
mission, he carried a canary at his shoulder. “E-oo, e-oo,” he cooed,
pattering forward. “Loretta wished thy company. Sst! sst! She is bad
after thee, Tony! But be wary, little one, be wary.”
The advice was wholly ignored. For, spying the parrot, Tony was
instantly transformed from a silent, dumpy ball of yellow to a slim,
dapper songster with a swelling throat.
Loretta greeted him with uproarious laughter, and a jargon of
Spanish, patois, but triumphant. She paced the horizontal piece that
gave her perch the form of a cross. She pur-r-red and gu-r-red. She
swung by her curved beak and one leathery foot, shrilling her
“Buenos días, señor!” Then, as the padre hung the cage to a nail in
the trellis built against the wall, she changed her performance to the
clamorous repeating of a mass.
Padre Alonzo was shocked. “Sst! sst!” he chided; “thou wicked big-
ears!”
The noon angelus was ringing. He caught up book and gown. But
before going he pulled at Loretta’s gaudy tail not unkindly, and
chuckled as she edged toward Tony with many a naïve and fetching
cock of her grey head.

High at the garden’s centre, nailed to a massive tree of wood, stood


out the Sacrifice. From behind, fir and pine thrust their long green
boughs, as if eager to screen that torn and unclad shape. From
below, jasmine and geranium, carnation and rose, sent upward an
unfailing incense.
That way, in the heat of mid-afternoon, came Padre Anzar. Thin-
lipped, he was, and hollow-eyed. In one hand he held a trowel, in the
other a knife. Down the front of his brown cassock, mingling at knee
height with red brick stains from the chapel floor, were touches of
fresh earth. Anzar the priest was for the moment Anzar the gardener.
He walked slowly, here stooping to right a stalk or jerk a weed, there
stretching to pick a fading orange leaf from where it marred the
glaucous sheen of its fellows. Fronting the figure, he paused long
enough to whisper a prayer and make the holy sign. Then he
rambled on, busy with trowel and blade.
But presently he came to a full and startled halt. He was beside the
trellis up which climbed his treasured fuchsia. The cross-like perch of
the parrot was beyond the bordering cacti, and unoccupied. Near by,
upon its nail, hung the canary cage, with Tony going upstairs and
down untiringly, eyeing his visitor with no uneasiness, greeting him,
on the contrary, with saucy chirps. While underneath, spotting the
ground in some profusion, and cast as it were at the feet of the
garden’s singer, were scores of scarlet blossoms!
The padre’s look travelled from the scattered flowers to the vacant
perch, from the perch to the naked branches swaying against the
trellis, from the branches to the wide, warm top of the ’dobe wall. And
there was Loretta, patrolling in unconcealed apprehension.
The instant he caught sight of her he knew her guilt. He pursed his
thin lips. Then, letting fall trowel and knife, he straddled the hedge.
“I’ll wring thy neck for thee!” he vowed.
A sandal in the trellis, a light spring, and his head came even with
her. She backed away, raising her wings a little, and gawking in
protest. He took a fresh grip on the wall, reached out and caught her
like a chicken—by both legs.
Wild screeches rang through the garden, screeches that put the
sparrows to flight and set the canary cheeping in fear. These were
punctuated next by raucous appeals for “Tony” or gurgley parrot
language.
The padre was down now, and standing on the path again. But he
was not fulfilling his threat. Instead, he was viewing his captive
angrily, yet in considerable indecision.
Loretta, on the other hand, was at no loss for a course of action.
Between cries for the canary, demands for a handshake, and
reiterated “Good-days,” she was vigorously trying her beak upon the
padre’s fist.
But now a new factor upon the scene. Round the mission wall,
waddling fast and propelling himself by his swinging arms, appeared
Padre Alonzo. “Is’t the cats?” he asked as he came on; “oh, la! la! is’t
the cats?”
Padre Anzar half-turned, scowling. For answer, he only pointed to
the severed fuchsias.
The other looked, covering any regret with simulated astonishment.
“These were dropping of themselves yesterday,” he began between
breaths. “They—they fell fast in the night—er?” He came beside the
other now, partly to support the suspended Loretta in his hands. “I
saw them—truly.”
“Bah!” And Padre Anzar gave Loretta such a shake that she
tumbled, squawking and sputtering, from the other’s hands and
again hung, heels above head, like a chicken caught for the block.
“She did but what the wind hadst done,” faltered Padre Alonzo. “Sst!
sst!” (This to the parrot.) “Such language from a lady!”
“Ah-ha!” grunted Padre Anzar. “I told thee not to buy a bird that was
raised in a garrison town.”
“To-o-ny! To-o-ny!” pleaded the parrot. “A-aw, To-ony!”
“Yes,” he went on solemnly, addressing her, “and thou art of the
devil, and hast as many tricks. Twice I forgave thee—once for
shouting ‘Fire’ on St. John’s Day as the censer passed; again, for
pulling the feathers out of Señor Esteban’s choice hen. But thou wilt
not escape now. Now, thou’lt go to the kitchen and be shut in with
Gabrielda’s black mouser. There thou shalt shed some quills.”
With this dire threat, he departed along the path, Loretta still hanging
head down at his knee.
Scarcely a moment later a commotion sounded from the distance, a
commotion muffled by ’dobe wall. First came the voice of old
Gabrielda, then the clatter of an overturning pan, next the terror-
stricken shrieks of Loretta. Presently, Padre Anzar appeared, his jaw
set, his eyes shining with the look of duty done.
“She will be nicely scared this time,” he told Padre Alonzo. “She will
match her busy beak with Tomasso’s claws, and she will remember
hereafter to let my blossoms alone.”
“Perhaps,” began Padre Alonzo, deprecatingly, “perhaps ’twere as
well to take her out of temptation’s way, to——”
Padre Anzar raised his shoulders, strode over to knife and trowel
and caught them up. “Move her as thou wilt,” he said grumpily, “and
the farther the better. Tony is proper for us, pretty and songful. But
that parrot,”—he shook his tools as if they were Loretta—“how
altogether useless and ugly and noisy and blasphemous and good-
for-naught!”
With this he departed into the shrubbery.
Sounds were still coming from the kitchen—Gabrielda’s cracked
voice, Loretta’s cries, the sullen yowling of a cat. Nodding sadly,
Padre Alonzo waddled to the perch, vacant and formed like a cross.
This he lifted and bore to a place along the wall opposite the great
crucifix, where climbed no flowers. Then, smiling gently, as if with
some tender thought, he waddled back to the trellis, took the cage
from its nail, and, returning to the perch, hung Tony close beside.

Late that night, on coming out of the chapel, Padre Alonzo


discovered a little black something blocking his way along the
moonlit path. As he paused, leaning forward to peer, the black
something sidled nearer him, and saluted.
“Buenos noches!” it said, its voice monotonous and human with grief
and weariness; “buenas noches! buenas noches!”
The padre bent lower and lifted the parrot to the level of his face.
“Aye, good-night truly, as thou sayest,” he repeated proudly. “Thou
hast some wicked words of a garrison town, but thou knowest the
difference between sun and moon.”
“Aw, Lora,” murmured the parrot; “aw, Lo-ra! Lo-ra!”
“Yes, Tomasso has used thee badly.” Padre Alonzo patted her head.
“I shall put thee on thy perch,” he went on; “though I trust good Anzar
will not know it. But the moon is up, and my heart is tender. Alas! one
does many things when the moon is up. And the next day—one does
penance.”
He thrust the parrot into a fold of his cassock, made along to where
was the perch, and placed her upon it. Then he stood back, folding
his arms.
“To-morrow is Christmas Day, Loretta,” he said. “And what wilt thou
give to Tony? What can the cactus give the golden poppy? Thou
hast only love, eh? Well, that is much, though it grows from naught,
as a China lily blooms from a bowl of rocks.”
He turned, and found himself before the Tree. Fir and pine massed
their branches behind it, making a background of plushy green.
Against that background, showing full, hung the torn and unclad
shape. The moon glinted upon it, haloing the head of the Crucified.
The padre sank, bowing, and touched himself in the sign.
“Aw, To-o-ny! To-o-ny!” came a sleepy croak at his back. The parrot
was settling herself for the night.
Padre Alonzo rose and turned, reaching up to stroke her. “Good-
night, Loretta,” he said fondly. “There were none too lowly for His gift
of love. It was spared to thee, a yawping fowl, a talker after the
manner of the lazy Mexicans that bred thee.”
He turned back upon the path, sighing and raising his eyes once
more. “But for high or low,” he said, musing aloud, “the fruit of that
love is sacrifice.”

Out of the chapel came the sounds of the noon service—the level
intoning of prayer, the rumble and swell of the padres’ voices. From
her place before the great crucifix Loretta mocked it, only ceasing
now and then to answer Tony’s warbles with little whistles of delight
or to run her open bill up and down the bit of vertical pole dividing
her perch. Yesterday’s bout in the kitchen, yesterday’s hunger and
fear, the lonely night ramble along the path, the lack of her preening
friend—all these were forgotten in to-day’s safety, sunlight, plenty,
and companionship. And so she gurried and purred, a-a-awed and
ga-a-awked, shrilled her “Buenos días!” across the garden, laughed
uproariously, or droned the familiar mass.
In reach of her pacing, in touch of her very tail, was the gilded cage,
with Tony darting upstairs and down, yet sparing time now and then
for a sip or a seed or a saucy chirp.
But of a sudden the happy cries of both birds were changed to notes
of alarm. The canary, its round eyes starting like two polished shots,
fluttered high and low, beating its yellow wings against the wires;
while Loretta squared her rudder, spread her pinions and squatted
belligerently. For on the ground, advancing that way by soft steps,
and with the gloating look of the hunter fixed upon the cage, came
Tomasso, the cat.
Quickly the parrot rallied from her panic. As if she knew that her
arch-enemy was not seeking her now, but the precious bit of fluff at
her side, she began a series of terror-inspiring performances learned
in the profane garrison town of her hatching; she gave tongue to dire
words that had long since gone out of her repertory. Ruffled to twice
her size, she strutted along her perch, shrieking angry orders to
mount, flinging out “Vuelta! vuelta! vuelta!” in husky trooper tones,
and whistling the bugle calls.
It failed to scare Tomasso. Within the cage, as it gently danced from
its spring, was a tempting morsel, one that lured all the more through
its effort to escape. The cat crept steadily forward, velvet foot
following velvet foot, across the shifting dapple before the great
crucifix, across the packed gravel of the garden path, to the near
shade of a gold of Ophir. There, under the roses, he paused, amber
eyes glowing, whetted claws slipping in and out expectantly, muscles
rolling and flexing with the measurement of the leap.
Then, with the cunning of the wild mother, Loretta adopted new
tactics, seeking to divert him. She wobbled upon her perch, giving
vent to bursts of hysterical laughter; she got between him and the
cage and railed at him.
His unblinking eyes did not leave his quarry, his muscles kept their
quiver of preparation. At the end of his sleek body, his long tail
swept, to and fro, like a furry pendulum marking off the dread time.
By now other inmates of the garden were alarmed. A blue jay
scolded from the terra-cotta roof of the chapel. From the cross-piece
of the tree a line of sparrows gave over their squabbling to look
down.
Loretta’s excitement grew wilder. Out of her beak poured phrases
not of mass or military, not of good-days or -nights. For under the
gold of Ophir the furry pendulum was standing out straight and the
moving muscles down Tomasso’s length were tight and still. Her
instinct knew the signs, and again and again she quavered out the
“Fuego!” that had disgraced St. John’s Day.
No one heard. From the chapel still sounded the intoning of prayer,
broken by the rumble and swell of the padres’ voices.
A moment, and she acted. With a “Ga-a-wk!” of defiance, she aimed
her flight for the ground, took it in all but a somersault, and landed
herself directly before the astonished Tomasso. Then once again she
spread her wings and squared her rudder, making ready for a clash.
Tomasso’s eyes fell to her, he relaxed, body and tail, spitting
resentfully.
Quickly emboldened, she came a hand’s breadth nearer him,
snapping at the black tip of his nose.
He retreated to his haunches, but directed a swift cuff her way.
To this she responded with hoarse laughter and yells of “To-ony!” as
if she summoned the canary to witness the encouraging progress of
the fight. Then she stalked forward once more.
Tomasso wrinkled his face. Their positions were unpleasantly
reversed. In Gabrielda’s domain it was she who backed off or sought
the safe places, and he who sallied out from his cosy nook by the
range to scare her into noisy protests. While here she was bristling
to him. His paw poised itself in mid-air.
Loretta grew reckless. Fanning her wings, in one lightning stroke she
bit him between his flattened ears.
The pain of it enraged Tomasso. With a jump, he met her.
Then ensued such a scene as the kitchen knew. There was mewing
and spitting and yowling; there was gawking and squalling and a
rending cry for “Tony!” All the while, close to the gold of Ophir, the cat
and the parrot went dizzily around and around, a whirligig of grey,
scarlet and black—that tossed off fur and feathers.
It was over in a moment, when Tomasso fled, over path and grass,
and into a dusky recess between the trunks of fir and pine. There he
lay down, sulking and grumbling and licking his paws. But Loretta

Anda mungkin juga menyukai