Asuhan Keperawatan Medula Spinalis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

Askep Gangguan Kebutuhan aktivitas Akibat Patologis

Sistem persarafan : trauma medulla spinalis

Di Susun Oleh Kelompok VII:

1. Dionesia Agnes (221151007)


2. Krisdaling (221151015)
3. Redemtus Adma Putra (221151022)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

SINTANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada junjungan kita, Rasulullah
Muhammad SAW. Puji syukur dan shalawat selalu menagawali penulis dalam setiap langkah,
sehingga dapat menyelesaikan karya tulis asuhan keperawatan ini yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada Pasien Cedera Medula Spinalis (Lumbal)”.

Dalam penulisan karya tulis ini, penulis bukanlah manusia yang sempurna sehingga menyadari
adanya kekurangan dalam penulisan karya tulis asuhan keperawatan ini. Terselesaikannya karya
tulis asuhan keperawatan ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, serta bantuan dari semua
pihak yang terlibat.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medula oblongata yang menjulur ke
arah kaudal melalui foramen magnum lalu berakhir di antara vertebra lumbal pertama
dan kedua. Fungsi medula spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara otak dan
semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Cedera medula spinalis dapat diartikan
sebagai suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medula spinalis. Kerusakan medula spinalis pada daerah lumbal
mengakibatkan paralisis otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta gangguan
spinkter pada uretra dan rectum. Berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan
di bawah lesi, cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan inkomplet.
Pembagian ini penting untuk menenetukan prognosis dan penanganan selanjutnya
(Brunner dan Suddarth, 2001).
Cedera medula spinalis paling umum terjadi pada usia usia 16 sampai 30 tahun,
sehingga termasuk salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang

sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia produktif. Kelainan ini sering
mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi
roda karena paraplegia. Di antara kelompok usia ini, kejadian lebih sering pada laki-
laki (82%) dari pada wanita (18%). Penyebab paling umum adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (MVCs: 39%), jatuh (22%), tindakan kekerasan (25%), dan
olahraga 7%. Sekitar 20% dari orang tua yang mengalami CMS adalah karena jatuh
(Morton, 2005).
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian CMS
sekitar 11,5-53,4 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka ini belum termasuk
data jumlah penderita yang meninggal pada saat terjadinya cedera akut (Islam, 2006).

Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data
Research Centre) memperkirakan terdapat 10.000 kasus baru CMS setiap tahunnya di
Amerika Serikat. Insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per
100.000 penduduk (Pinzon, 2007).

Data dari bagian rekam medik RSUP Fatmawati dari Januari-Juni 2003, angka
kejadian fraktur berjumlah 165 termasuk di dalamnya 20 pasien menderita cedera
medula spinalis (12,5%).

Pasien yang mengalami cedera medula spinalis bone loss pada L2-L3 membutuhkan
perhatian lebih dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan mobilisasi. Pasien beresiko
mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, dan
hiperfleksia autonomik. Oleh karena itu, sebagai perawat sangat perlu untuk dapat
membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera medula spinalis
lumbal dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalah
dapat teratasi dan pasien dapat terhindar dari kemungkinan masalah yang buruk.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner 7 sudarth, 2001). Trauma medulla
spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem
persyarafan di dalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai:
a. Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
b. Tidak komplet (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik)

Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila trauma ini mengenai daerah servikal pada
lengan, badan, dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu
terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat
digunakan.

Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medulla spinalis pada daerah
servikal (leher) ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12, dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah paling
rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral dalam area ini.
B. Etiologi
Penyebab trauma medulla spinalis adalah:
1. Kecelakaan otomobil, industri
2. Terjatuh, olahraga
3. Luka tusuk, tembak
4. Tumor

C. Patofisiologi
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal secara langsung.
Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu trauma menimbulkan fraktur dan instabilitas
vertebra sehingga mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal. Beberapa saat setelah
trauma, cedera sekunder berupa iskemia muncul karena gangguan pembuluh darah yang
terjadi. Iskemia mengakibatkan pelepasan glutamat, influks kalsium dan pembentukan
radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis yang mengakibatkan kematian sel neuron
karena nekrosis dan terputusnya akson pada segmen medula spinalis yang terkena (lumbal).
Akson yang telah rusak tidak akan tersambung kembali karena terhalang jaringan parut
(Islam, 2006).
Kondisi kerusakan saraf lumbal dapat berakibat pada masalah-masalah
biopsikososiospiritual. Masalah biologis yang muncul yaitu nyeri akut, kerusakan mobilitas
fisik, gangguan eliminasi urin dan fekal, dan disfungsi seksual. Masalah psikologis, pasien
mengalami harga diri rendah situasional akibat kerusakan fungsional pada lumbal. Masalah
sosial yaitu gangguan interaksi sosial karena keterbatasan dalam mobilitas fisik. Masalah
spiritual, pasien yang mengalami penurunan tingkat keyakinan dapat berisiko terhadap
kerusakan dalam beribadah/beragama.

.
A. Pathway
B. Manifestasi Klinis
Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang leher,
yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan takut kalau leher
atau punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia atau
quadriplegia. Akibat dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan
tipe cedera.
Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik
bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralisis sensorik
dan motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retensi
urine dan distensi kandung kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan
tekanan darah diawali dengan resistensi vaskuler perifer.
Tipe cedera mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri.
Masalah pernapasan dikaitkan dengan penurunan fungsi pernapasan, beratnya bergantung
pada tingkat cedera. Otot-otot yang berperan dalam pernapasan adalah abdominal, interkostal
(T1-T11) dan diafragma. Pada cedera medulla servikal tinggi, kegagalan pernapasan akut
adalah penyebab utama kematian

C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium darah dan pemeriksaan radiologisDianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi
standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral
untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan
radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic
Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di
medulla spinalis akibat cedera/trauma
a. Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan
dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
b. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor
serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan
beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal
ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat
memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
c. Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah
lumbalsebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis
D. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
a. Di tempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal (punggung),
dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.
b. Salah satu anggota tim harus mengontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi
atau ekstensi kepala.
c. Tangan ditempatkan pada kedua sisi dejat telinga untuk mempertahankan traksi dan
kesejajaran sementara papan spinal atau alat imobilisasi servikal dipasang.
d. Paling sedikit empat orang harus mengangkat korban dengan hati-hati ke atas papan
untuk memindahkan ke rumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak
medulla spinalis irevesibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus,
patah, atau memotong medulla komplet.
2. Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis (Fase Akut)
a. Farmakoterapi
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon telah ditemukan
untuk memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam
cedera.
b. Hipotermia
Keefektifan teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke daerah cedera dari
medulla spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif yang mengikuti tipe cedera
ini masih diselidiki.
c. Tindakan pernapasan
Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena anoksemia dapat
menimbulkan atau memperburuk defisit neurologik medulla spinalis.
d. Diaphragma pacing (stimulasi listrik terhadap saraf frenik) dapat dipertimbangkan
untuk pasien dengan lesi servikal tinggi tetapi biasanya dilakukan setelah fase akut.
e. Pembedahan dilakukan untuk untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompresi medulla.
ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN TRAUMA MDEULLA SPINALIS


A. Pengkajian Fokus
1. Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman
helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolong¬an kesehatan adalah
nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi,
nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada
daerahtrauma.
3. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang bela¬kang akibat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan
kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis
(dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/
menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-
refleks.
4. Riwayat kesehatan dahulu. Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi
kesehatan klien sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula
spinalis. Biasanya ada trauma/ kecelakaan.
5. Riwayat kesehatan keluarga. Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
6. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
7. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.\
Pengkajian psikososiospiritual.
8. Pemeriksaan fisik.
a. Aktivitas istirahat
Tanda: kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada/ dibawah lesi.
Kelemahan umum/kelemahan otot
(trauma dan adanya kompresi saraf)
b. Sirkulasi
Gejala: Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak.
Tanda: hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ektremias dingin dan pucat. Hilangnya
keringat pada daerah yang terkena.
c. Eliminasi
Tanda : inkontinensia defekasi dan berkemih. Retensi urine. Distensi abdomen, peristaltic
usus hilang. Melena, emesis berwarna seperti kopi tanah/hematemesis

d. Integritas Ego
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda : takut, cemas, gelisah , menari diri.
e. Makanan/ Cairan
Tanda : mengalami distensi abdomen, peristaltic usus hilang ( ileus paralitik)
f. Higyene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
g. Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan /kaki. Paralysis flaksid/spastisitas
dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung pada area spinal yang sakit.
Tanda : Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada
syok spinal.Kehilangan sensasi, kehilangan tonus otot/ vasomotor, kehilangan refleks/
refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil,ptosis, kehilangan
keringat dari bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah trauma
Tanda : Mengalami deformitas, postur,nyeritekan vertebral.
i. Pernapasan
Gejala : napas pendek, “ lapar udara” sulit bernapas.
Tanda : pernapasan dangkal/labored,periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki,pucat,
sianosis.
j. Keamanan
gejala : suhu yang berfluktuasi
k. Seksualitas
gejala : keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.
Tanda : Ereksi tidak terkendali (pripisme), menstruasi tidak teratur.

B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil yang bermakna berupa peningkatan reflek
fisiologis dan adanya ditemukan reflek patofisiologis, Openhemn (+) Chadock (+)
Babinski (+). Berikut penjelasan manifestasi klinis tersebut.
a) Tanda paling nyata pada penderita Trauma medulla spinalis adalah adanya
peningkatan reflek fisiologis. Aktifitas otot yang meningkat
b) Penemuan yang paling penting adalah adanya reflek patofisiologis seperti Babinski
chadock dan openhemn yang menetap lebih dari satu titik. Pada peradangan di
peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai
mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat
seperti papan
Hal ini sesuai dengan teori yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa
manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan peritonitis didapatkan pada pasien ini

C. Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis trauma tulang (fraktur, dislokasi) untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2. CT scan: menentukan tempat luka, mengevaluasi gangguan struktural.
3. MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema, da kompresi.
4. Foto rontgen thorax, memperlihatkan keadaan paru (contoh:perubahan pada diafragma,
atelektasis)
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi
maksimal khusunya pada pasien dengan trauma servikal bagian bawah atau pada trauma
torakal dengan gangguan pada saraf frenikus/otot interkostal.
6. GDA: menunjukkan keefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi.
7. Pemantauan EKG kontinu merupakan indikasi karena bradikardia (perlambatan frekuensi
jantung) dan asistole (standstill jantung) umum terjadi pada cedera servikal akut.
D. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot
abdominal dan interkostal serta ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sensasi (akibat cedera
medulla spinalis)
E. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI PARAF


KRITERIA HASIL

1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas


efektif tindakan (I.01011)
b.d kelemahan keperawatan 2x24 Tindakan
atau paralisis otot jam pasien Observasi
abdominal dan diharapkan - Monotor pola
interkostal serta inspirasi dan/atau nafas
ketidakmampuan ekspirasi yang
- Monitor bunyi
untuk memberikan
nafas tambahan
membersihkan
ventilasi adekuat
sekresi - Monitor sputum
membaik dengan
kriteria hasil: Terapeutik
1. Dispnea
- Pertahankan
menurun
kepatenan jalan
2. Penggunaa nafas dengan
n otot head-tilt dan chin
bantu nafas lift
menurun
- Posisiskan semi
3. Pemanjang fowler atau fowler
an fase
- Berikan minum
ekpirasi
hangat
menurun
- Lakukan fisioterapi
4. Ortopnea
dada, jika perlu
menurun
- Lakukan
5. Pernafasan
penghisapan
pursed-lip lendir kurang dari
menurun 15 detik

6. Pernafasan - Lakukan
cuping hiperosigenasi
hidung sebelum
menurun penghisapan
endotrakeal
7. Frefekuensi
nafas - Keluarkan
membaik sumbatan benda
padat dengan
8. Kedalaman
forsep McGiII
nafas
membaik - Berikan oksigen,
jika perlu
9. Ekskursi
dada Edukasi
membaik
- Anjurkan asupan
10. Ventilasi cairan
semenit 2000ml/hari, jika
membaik tidak
kontraindikasi
11. Kapasitas
vital - Ajarkan teknik
membaik batuk efektif

12. Diameter Kolaborasi


thoraks
- Kolaborasi
anterior-
pemberian
posterior
bronkodilator,
membaik
ekspektoran,
13. Tekanan mukolitik, jika
ekspirasi perlu
membaik

14. Tekanan
inspirasi
membaik

2. Hambatan
Setelah dilaukan Dukungan Ambulasi
mobilitas fisik
tindakan (I.06171)
berhubungan kepererawatan Observasi
dengan gangguan 3x24 jam - Identifikasi
muskuloskeletal diharpkan adanya nyeri atau
mobilitas fisik keluhan fisik
meningkat dengan lainnya
kriteria hasil: - Identifikasi
(L.05042) toleransi fisik
melakukan
- Pergerakan
ambulasi
ekstermitas
- Monitor frekuensi
menningkat
jantung dan
- Kekuatan
tekanan darah
otot
sebelum memulai
meningkat
ambulasi
- Rentang
- Monitor kondisi
gerak sendi
umum selama
(ROM)
melakukan
meningkat
ambulasi
Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan
alat bantu (mis.
tongkat, kruk)
- Fasilitasi
melakukan
mobilisasi fisik,
jika perlu
- Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi
- Jelaskan tujuan
dan prosedur
ambulasi
- Anjurkan
melakukan
ambulasi dini
3. Risiko kerusakan integritas Perawatan Integritas
kulit berhubungan dengan Setelah dilakukan Kulit (I.11353)
gangguan sensasi (akibat intervensi -Observasi
cedera medulla spinalis) keperawatan selama -Identifikasi penyebab
3 x 24 jam, maka gangguan integritas
integritas kulit (mis: perubahan
kulitmeningkat, sirkulasi, perubahan
dengan kriteria status nutrisi,
hasil: penurunan
kelembaban, suhu
1. Kerusakan lingkungan ekstrim,
lapisan kulit penurunan mobilitas)
menurun -Terapeutik
-Ubah posisi setiap 2 jam
2. Kerusakan
jika tirah baring
jaringan
-Lakukan pemijatan pada
menurun area penonjolan
tulang, jika perlu
-Bersihkan perineal
dengan air hangat,
terutama selama
periode diare
-Gunakan produk
berbahan petroleum
atau minyak pada
kulit kering
-Gunakan produk
berbahan
ringan/alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitive
-Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering
-Edukasi
-Anjurkan menggunakan
pelembab (mis:
lotion, serum)
-Anjurkan minum air
yang cukup
-Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
-Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan
sayur
-Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrim
-Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF
minimal 30 saat
berada diluar rumah
-Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
F. Evaluasi yang diharapkan
1. Penggunaan otot bantu nafas menurun
2. Pemanjangan fase ekpirasi menurun
3. Pergerakan ekstermitas menningkat
4. Kekuatan otot meningkat
5. Rentang gerak sendi (ROM) meningkat
6. Kerusakan lapisan kulit menurun
7. Kerusakan jaringan menurun

G. ABSTRAK
Trauma medula spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologik. Gejala-gejala dapat
bervariasi mulai dari nyeri, paralisis sampai terjadinya inkontinensia, dan sangat
bergantung pada lokasi medula spinalis yang mengalami cedera. Kami melaporkan kasus
seorang laki-laki 55 tahun dengan kelemahan keempat anggota gerak yang terjadi setelah
terjatuh dengan posisi leher yang hiperekstensi. Saat masuk rumah sakit, cedera sudah
berlangsung selama 12 jam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gangguan motorik dan
sensorik, sedangkan otonom tidak ditemukan kelainan. Gambaran radiologik foto servikal
dan CT-Scan servikal tidak terdapat kelainan, sedangkan pada MRI tampak gambaran
kontusio di segmen medula spinalis C3. Penanganan pada kasus ini yaitu stabilisasi leher,
tatalaksana umum untuk cedera leher, pemberian metilprednisolon dosis tinggi,
pencegahan komplikasi yang muncul, dan fisioterapi yang teratur. Selama perawatan
pasien menunjukkan kemajuan yang berarti, baik dari fungsi motorik maupun sensorik
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari Trauma
medulla spinalis yaitu :kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam ,luka tusuk,
tembak dan tumor.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul
subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan
pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla
spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan
yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang
menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula
spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan
didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula spinalis berbeda
penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam memberikan
asuhan keperawatan dapat menyebabkan Trauma semakin komplit dan dapat menyebabkan
kematian.

B. SARAN.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga
kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat
terhindar. Adapun jika sudah terjadi , mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang telah
tertulis dalam makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

Anda mungkin juga menyukai