Cedera Medulla Spinalis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

Cedera Medulla Spinalis

dr. Fakhrurrazy, M.Kes, Sp.S


SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNLAM/RSUD ULIN Banjarmasin

I. Definisi
Cedera medulla spinalis merupakan keadaan yang terjadi pada medulla spinalis,
yang mengakibatkan perubahan sementara atau permanen, pada bagian motorik,
sensorik, atau fungsi otonom.1
Pasien dengan cedera medulla spinalis biasanya sering mengalami defisit
neurologis secara permanen dan kecacatan. 1

II. Epidemiologi
Insiden cedera medulla spinalis di Amerika Serikat sekitar 40 kasus per 1 juta
penduduk, atau sekitar 12.000 pasien per tahun, berdasarkan data National Spinal
Cord Injury. 5
Cedera medulla spinalis meningkat kejadiannya pada bulan Juli dan biasa terjadi
pada bulan Februari. Kejadian cedera medulla spinalis biasanya terjadi pada hari
Sabtu. Cedera medulla spinalis juga sering terjadi pada sore hari, dimana

meningkatnya jumlah pengendara motor yang mengalami kecelakaan dan kecelakaan


saat berolahraga. 5
Berdasarkan ras, pada tahun 2005 cedera medulla spinalis paling banyak terjadi
pada ras kulit putih yaitu 66,5%, kulit hitam yaitu 26,8%, hispanik yaitu 8,3 dan asia
yaitu 2,0%.5
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak mengalami cedera medulla
spinalis dari pada perempuan, yaitu 4:1. Secara persentase laki-laki mengalami cedera
medulla spinalis sebesar 80,7%.5
Tahun 2005, usia rata-rata yang mengalami cedera medulla spinalis di Amerika
Serikat yaitu, sekitar 50% pada usia 16-30 tahun, 3,5% pada usia <15 tahun, dan
sekitar 11,5% >60 tahun. 5

III.

Patofisiologi

Cedera medulla spinalis sama seperti stroke akut, yaitu memiliki proses dinamik.
Lesi yang semula sedikit dapat berkembang menjadi komplit sepenuhnya pada corda.
Lebih membahayakan, cedera bertambah 1 atau 2 tingkat pada tulang belakang dalam
hitungan jam setelah beberapa hari mengalami cedera awal. 2

Cedera medulla spinalis dapat memperlihatkan gejala secara langsung maupun


tidak langsung. Cedera mekanik yang terjadi pertama kali sama pentingnya dengan
traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya. 3
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmenfragmen tulang, ataupun rusaknya ligament-ligamen pada system saraf pusat dan
perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Rupture axon dan sel
membrane neuron juga dapat terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit
di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan massif
dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. 3

Gambar 1. Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan
pada interspinous dan posterior longoitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus
interertebralis posterior

Efek trauma terhadap tulang belakang dapat berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan
dislokasi. Frekuensi relative ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1. 5
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi
pada tempat-tempat antara bagian yang sangat mobile dan bagian yang terfiksasi,
seperti vertebra C1-2, C5-6, dan T11-12. 5
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatik dapat mengakibatkan lesi
yang nyata di medulla spinalis. 5
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan
dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma
tidak langsung. Tergolong dalam trauma tidak langsung adalah whiplash (lecutan),
jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom. 5
Medulla spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut : 5
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi
oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma
hiperekstensi.

2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada


jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis
terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan
posterior.
IV. Riwayat penyakit1
Trauma besar - misalnya, kecelakaan kendaraan bermotor, serangan kekerasan,

luka tembak, jatuh, olahraga dan cedera saat rekreasi.


Nyeri tulang belakang atau kelainan saraf.
Gangguan keseimbangan
Peningkatan risiko pada pasien dengan keganasan, radang sumsum tulang
belakang, osteoporosis, arthritis, osteoarthritis, ankylosing spondylitis, sidrom
down dan pada orang tua.

V. Gejala klinis1
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah

Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
Paraplegia
Paralisis sensorik motorik total
Kehilangan control kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
Penurunan keringat dan tonus vasomotor
Penurunan fungsi pernapasan
Gagal nafas

VI. Diagnosis
Dugaan adanya cedera medulla spinalis di dapatkan melalui anamnesis yag
menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan

dengan trauma pada daerah spinal (umunya nyeri) dan adanya defisit motorik atau
sensorik. Selain iu, cedera medulla spinalis akut harus diduga apabila ditemukan
adanya gejala otonom (retensi urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi,
bradikardi), defisit motorik (hemiplegia, tetraplegia, paraplegia), dan sensorik
(hemianastesia, hemihipestesia). 2
Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detail (fungsi motorik, sensorik,
dan fungsi spingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari cedera
medulla spinalis. Secara umum untuk mendefinisikan cedera medulla spinalis
dengan International Standards for spinal cord injury yang dikeluarkan oleh
ASIA. Langkah penilaian dalam status neurologis berturut-turut antara lain
menetukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensori points.
Menetukan level motorik dengan key motor muscles, menentukan single
neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau inkomplit
berdasarkan ada tidaknya sacral sparing, dan terakhir menetukan ASIA
impairment. Level sensorik didefinisikan sebagai dermtom intak yang paling
kaudal untuk fungsi nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal intak), fungsi
sensorik pada level dibawahnya tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan
kiri mungkin memiliki perbadaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan.
Level motorik ditentukan dengan mengevaluasi key muscle paling rendah dengan
kekuatan miniml 3 (dalam posisi terlentang), dengan fungsi motorik pada segmen
diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single neurological level ditentukan

dengan level neurologik paling atas diantara 4 level yang ditemukan (level
sensorik dan motorik kanan, level sensorik kiri). 6

VII.

Gambar 2. Metode ASIA dalam mengklasifikasikan cedera medulla spinalis6


Diagnosis Banding2

Diseksi aorta
Infeksi epidural dan subdural
strangulasi
Trauma leher
Infeksi sumsum tulang belakang
Syphilis
Fraktur vertebra

VIII. Pemeriksaan Penunjang3


Laboratorium

Arterial Blood Gas (ABG), untuk mengevaluasi kecukupan oksigen


Laktat, untuk memonitor status perfusi jika terjadi syok
Hemoglobin dan / atau hematokrit, untuk mendeteksi atau memantau

kehilangan darah
Urinalisis, untuk mendeteksi cedera genitourinary

Pencitraan

X-Ray, untuk memperlihatkan vertebra secara menyeluruh


CT-Scan, merupakan pilihan kedua jika X-Ray tidak memadai dan curiga

adanya kelainan tulang atau fraktur


MRI, digunakan jika curiga adanya lesi pada medulla spinalis, cedera
ligament, dan cedera jaringan lunak atau patologi

IX.
Tatalaksana4,5,6
Tatalaksana untuk cedera medulla spinalis teerbagi menjadi 3, yaitu

Non Farmakologi
Sebelum pasien dibawa ke rumah sakit setelah mengalami cedera medulla
spinalis pasien dibawa ke igd dengan spine bord dan collar neck. Jika pasien muntah,
maka spine bord diputar sedangkan pasien tetap dalam posisi immobile sehingga
pasien tidak mengalami perubahan posisi.
Pasien dengan cedera medulla spinalis harus dilakukan resusitasi: resusitasi
awal mengikuti protokol standard ABCDE, dengan penilaian dan pengelolaan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi sebagai prioritas pertama.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medulla spinalis: fisioterapi, teraai okupasi, dan bladder training
dilakukan sejak awal. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM
(range of movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot.
Terapi okupasional ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas
atas.

Farmakoogi
The National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS) II dan III
menyatakan telah terjadi peningkatan secara signifakan dalam fungsi motorik dan
sensorik pada pasien cedera medulla spinalis yang diobati dengan metilprednisolon
dosis tinggi dalam waktu 8 jam setelah cedera.

Bedah

Bedah tulang belakang dilakukan jika terdapat cedera tulang belakang akut
dengan kerusakan neurologis yang progresif, dislokasi, atau aspek terkunci secara
bilateral. Dekompresi darurat dari sumsum tulang belakang direkomendasikan untuk
pasien dengan lesi ekstradural, seperti hematoma epidural atau abses di cauda equina.
Kerusakan saraf tulang belakang atau kerusakan neurologis akut membutuhkan
intervensi bedah darurat.

X.

Prognosa 6
Rata-rata harapan hidup pasien cedera medulla spinalis lebih rendah

dibanding populasi normal. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas


neurologic yaitu pneumonia, emboli paru, septikemia, gagal ginjal

DAFTAR PUSTAKA

1. Tidy C. Spinal Cord Injury and Compression. Patient. 2014; 1-10


2. Middendorp JJV, Goss B, Urquhart S, et al. Diagnosis and Prognosis of
Traumatic Spinal Cord Injury. Global Spine J 2011;1:18
3. Wuermser I, Chiodo AE, Priebe MM, et al. Spinal Cord Injury Medicine. 2.
Acute Care Management of Traumatic and Nontraumatic Injury. Arch Phys
Med Rehabil Vol 88, Suppl 1, March 2007.
4. Cheung V, Hoshide R, Bansal V, et al. Methylprednisolone in the management
of spinal cord injuries: Lessons from randomized, controlled trials. Surg
Neurol Int. 2015; 6: 142
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4553662/?report=printable,
diakses tanggal 18 November 2015)

5. Noga W, Srensen B, Bryce T. The International Spinal Cord Injury Pain Basic
Data Set. International Spinal Cord Society 2008; 818823.
6. Kirshblum SC, Burns SP, Sorensen FB. International standards for
neurological classification of spinal cord injury (Revised 2011). The Journal
of Spinal Cord Medicine 2011; 34 ;6.

Anda mungkin juga menyukai