Khutbah Jumat at Taqwa PDM Wates
Khutbah Jumat at Taqwa PDM Wates
Khutbah Jumat at Taqwa PDM Wates
Alhamdulillah kita pagi ini dalam suasana yang penuh damai dan gembira kita bisa berkumpul
di tempat ini dalam rangka menunaikan ibadah shalat Jumat 7 Dzulhijah 1445 H Sudah barang
tentu semua itu dilandasi nilai keimanan sekaligus kesehatan dan kesempatan. Namun, sehat
dan sempat pun tak akan ada manfaatnya bila tidak dilandasi dasar iman dan takwa kepada
Allah swt. Sehingga bagaimana ketiga nikmat itu bisa didayagunakan untuk menggapai visi
setiap muslim yang sempurna, yakni terwujudnya sukses dunia dan akhirat sekaligus terhindar
dari siksa neraka. (Al-Baqarah 2:201)
Secara mengejutkan, saat hendak dieksekusi, Allah memanggil Ibrahim untuk tidak meneruskan
rencana (menyembelih putranya) itu. Setelah terbukti ketaatan dan kesabaran Ibrahim dan Ismail,
Allah menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar (Ash-Shaffat 37: 107). Dan
bagaimana proses negosiasi sebelumnya antara sang Bapak dan Anak sungguh menarik dan
indah dilukiskan Allah.
ظ ْر َما َذا ت ََر َٰى ۚ قَا َلُ ى ِإ ِِّن َٰٓى أ َ َر َٰى ِفى ْٱل َمن َِام أ َ ِِّن َٰٓى أ َ ْذ َب ُح َك َفٱن َّ َى قَا َل َٰ َيبُن َّ فَلَ َّما َبلَ َغ َم َعهُ ٱل
َ س ْع
َّ َٰ ٱَّلل ِمنَ ٱل
َص ِب ِرين ُ َّ شا َٰٓ َء َ ۖ ت ٱ ْف َع ْل َما تُؤْ َم ُر
َ ست َِج ُد ِن َٰٓى ِإن ِ َٰ َيَٰٓأ َ َب
Maka tatkala anak itu sampai (dewasa) berusaha bersama ayahnya, Ibrahim berkata: “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu. ”Ia menjawab: “Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu;
insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (Ash-Shaffat 3:102)
Baik ibadah haji maupun ibadah kurban semuanya bertujuan untuk mencapai kualitas ketakwaan
pada Allah swt. Dalam konteks haji disampaikan bahwa bekal terbaik untuk itu adalah ketakwaan
(Al-Baqarah 2:197). Demikian pula ibadah kurban dimaksudkan sebagai tanda bukti bahwa
ketakwaan itulah yang akan dinilai sebagaimana disampaikan Allah dalam (Al-Hajj 22:37)
Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang
sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar
gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dari peristiwa inilah menjadi dasar syariat berkurban bagi kaum muslimin yang memiliki
kelonggaran sebagaimana dikatakan Rasulullah saw ;
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Barangsiapa yang memiliki
kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami. (HR
Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Tiga Hikmah
Menilik dari dialog Ibrahim dan putranya Ismail seperti yang tergambar di atas ada beberapa
ibrah/pelajaran dan hikmah yang bisa kita petik untuk kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.
Pertama, ketaatan Ibrahim dan putranya kepada Allah merupakan manifestasi dari keimanan
yang sempurna. Hal ini sekaligus menandakan bagaimana keberhasilan Ibrahim menanamkan
nilai-nilai tauhid kepada keluarga. Dalam konteks pendidikan agama dalam keluarga memang
nilai-nilai aqidah harus disemaikan terlebih dahulu sejak dini sebelum lainnya seperti dicontohkan
Luqman pada putranya. (Luqman 31: 13)
Setelah nilai-nilai tauhid tertancap erat pada kalbu anak, barulah mengajarkan syariat lainnya
seperti salat, puasa, dan lainya, Pada saat yang sama juga ditanamkan nilai-nilai akhlak dan adab
sehingga sempurnalah dimensi agama dalam diri anak. Praktiknya bisa saja berbarengan
disesuaikan dengan usia dan kemampuan tumbuh kembang anak.
Berbagai riset menunjukkan, keluarga tanpa dilandasi oleh nilai keimanan yang kuat hanya akan
menjadi kumpulan manusia yang gersang hatinya. Seperti digambarkan Dr Ir Imaduddin
Abdulrahim dalam buku kecilnya yang terkenal Kuliah Tauhid.
Kedua, meskipun sudah jelas bahwa perintah menyembelih putranya datang dari Allah, namun
Ibrahim tetap menghargai jati diri Ismail. Sang Bapak tetap meminta pendapat ’calon korban’. Hal
ini menyiratkan makna bahwa aspek vertikal (ketaatan kepada Allah) tidak serta merta
meninggalkan kepatutan horizontal ) sesama manusia. Keduanya berjalan berkelindan dalam
satu pancaran semangat keberagamaan yang harmonis, seimbang, dan terpadu.
Kita secara jujurnya dengan berat hati mengatakan bahwa belakangan ini kehidupan keluarga
semakin tergerus dengan nilai-nilai hedonisme dan materialisme yang masif. Degradasi moral itu
makin terasa seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan dimanjakannya fasilitas teknologi
komunikasi. Suasana dialogis segi tiga antara bapak-ibu-anak makin jarang tampak tergantikan
dengan berbagai aplikasi media sosial seolah telah mewakili semuanya.
Demikian juga dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, budaya dialog yang
menjadi keniscayaan dalam berdemokrasi seolah tinggal retorika para elite politik. Situasi yang
sudah memburuk itu diperparah dengan hadirnya buzzer-buzzer bayaran yang hanya bisa
membuat narasi dan provokasi negatif yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi gaduh dan menyulut konflik horizontal. Akibatnya,
wujud demokrasi berubah menjadi buzzerkrasi.
Ketiga, baik ibadah kurban maupun ibadah haji merupakan sedikit dari sekian banyak amalan
agama yang salah satu tujuannya adalah mensyiarkan agama Allah (Al-Hajj 22: 32) yang muncul
dari rasa ketakwaan kepada Allah swt. Ini mengandung makna dalam beragama juga
membutuhkan simbolisasi dan identifikasi karena Islam adalah agama dakwah dan rahmatan lil
alamin.
Akhirnya, marilah kita bermunajat kepada Allah semoga seluruh hajat kita sebagai pribadi
muslim dikabulkan Allah. Agar tercapai kepribadian Islam yang kaffah, rumah tangga yang
sakinah bertaburan mawaddah dan rahmah, masyarakat (qaryah) yang thayyibah, dan negara
yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.