Mklaahhhh

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sumber hukum dalam agama islam yang paling utama dalam menetapkan hukum
serta memecahkan masalah dalam mencari suatu jawaban adalah al-qur'an dan hadist,
keduanya menjadi fondasi utama dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum dalam
agama Islam. Dalam menjelajahi tema ini, perlu untuk memahami dengan lebih rinci
pengertian, kedudukan, dan fungsi Al-Quran dan Hadis, yang keduanya memainkan
peran sentral dalam mengatur kehidupan umat Islam.
Pertama, Al-Quran sebagai kitab suci utama Islam adalah sumber hukum tertinggi dan
petunjuk bagi umat Muslim. Makalah ini akan membahas esensi Al-Quran sebagai
wahyu Allah yang diungkapkan kepada Nabi Muhammad SAW, serta bagaimana
pengertian ini membentuk dasar moral, etika, dan norma hukum dalam kehidupan
sehari-hari umat Islam.
Kedua, Hadis, yang merupakan tradisi lisan dan tindakan Nabi Muhammad, juga
menjadi sumber penting dalam pemahaman dan aplikasi hukum Islam. Penelusuran
makalah ini akan memperinci bagaimana Hadis mengklarifikasi, melengkapi, dan
memberikan konteks lebih lanjut terhadap ajaran Al-Quran. Sehingga, pemahaman
holistik terhadap hukum Islam dapat terwujud melalui kombinasi harmonis antara Al-
Quran dan Hadis.
Dengan pemahaman mendalam terhadap aspek-aspek berupa pengertian, kedudukan
dan fungsi serta sistematika Alquran dan hadis sebagai sumber hukum Islam, makalah
ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang peran Al-
Quran dan Hadis sebagai sumber hukum utama dalam Islam, serta bagaimana kedua
sumber ini saling melengkapi dan memberikan dasar bagi pembentukan norma-norma
hukum dalam masyarakat Muslim.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Al Qur'an dan Hadist?
2. Apa saja kedudukan dan fungsi Al Qur'an dan Hadist sebagai sumber hukum
Islam?
3. Bagaimana sistematika sumber hukum Islam (Al Qur'an dan Hadist) ?

BAB II
Pembahasan
A. Al Qur'an sebagai sumber hukum Islam
1. Pengertian Al Qur'an
Al-Qur'an, secara etimologi, berasal dari kata "‫ "قرا‬yang berarti "yang dibaca".
Secara terminologi, Al-Qur'an adalah kitabullah yang memuat keajaiban (i'jaz)
dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Isinya tertulis dalam mushaf,
disampaikan secara mutawatir, dan dianggap sah untuk dibaca oleh
pemeluknya.1
Dalam pengertian lain, Dr. Bakri Syeikh Amin mendefinisikan al Qur'an
sebagai berikut :
‫اْلُقْر آُن َكاَل ُم ِهللا اْلُم ْع ِج ُز اْلُم َنَّز ُل َع َلى َخ اَتِم اَأْلْنِبَياِء َو اْلُم ْر َسِليَن ِبَو اِس َطِة اَأْلِم ين‬

‫ِج ْبِريَل َع َلْيِه الَّس اَل ُم اْلَم ْكُتوُب ِفي اْلَم َص اِح ف اْلَم ْح ُفوُظ ِفي الُّص ُد ْو ِر اْلَم ْنُقوُل ِإَلْيَنا ِب الَّتَو اِئِر اْلُم َتَع َّب ُد ِبِتاَل َوِت ِه‬
‫اْلَم ْبُد ْو ُء ِبُسوَر ِة اْلَفاِتَحِة اْلُم ْخ َتَتُم ِبُسوَر ِة الَّناِس‬.
“Al-Qur’an adalah Kalamullah sebagai mukjizat yang diturunkan kepada
penutup para nabi dan rasul (Nabi Muhammad saw.) dengan perantaraan Al-
Amin (Jibril as.), ditulis dalam mushaf-mushaf, terpelihara dalam dada-dada
manusia, disampaikan secara mutawatir, bacaannya diberi nilai ibadah,
dimulai dengan surah Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surah An-Nas.” 2
Sementara menurut ulama yang lain, Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
a. Menurut Syekh Muhammad Khudri Beik, Al-Qur’an ialah firman Allah
swt. Yang berbahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Untuk dipahami isinya, disampaikan kepada kita secara mutawatir, ditulis
dalam mushaf dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri surah An-Nas.
b. Menurut Syekh Muhammad Abduh, Al-Kitab atau Al-Qur’an ialah bacaan.
Yang telah tertulis dalam mushaf yang terjaga dalam hafalan-hafalan umat
Islam.
c. Menurut Muhammad Abdul Azim Az-Zarqani, Al-Qur’an adalah kitab
yang menjadi mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.,
ditulis dalam mushaf dan disampaikan secara mutawatir.3
Jadi, secara singkat, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW., berisi keajaiban, dan dianggap sebagai petunjuk
hidup bagi umat Islam.
2. Kedudukan dan Fungsi Al Qur'an
Sebagai sumber hukum Islam Al Qur'an memiliki kedudukan yang sangat
tinggi. Al Qur'an merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua
persoalan yang terjadi harus merujuk dan berpedoman langsung kepadanya.
Sedangkan fungsi-fungsi Al Qur'an ialah sebagai berikut :
a. Petunjuk bagi manusia
Al-Quran adalah panduan atau pedoman yang diberikan Allah
kepada manusia untuk mengarahkan mereka dalam menjalani
kehidupan secara benar dan bermanfaat, baik dalam urusan agama
1
Nur Aini, Metode Pengajaran Al Qur'an dan Seni Baca Al Qur'an dengan Ilmu Tajwid (Cv Pilar Nusantara,
Semarang, 2020) Hal. 15
2
Moh Matsna HS, Pendidikan Agama Islam : Al Qur'an Hadist Untuk Madrasah Aliyah Kelas X (Toha Putra)
Hal. 06
3
Ibid, 06
maupun kehidupan sehari-hari. Al-Quran mengandung ajaran,
hukum, dan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan bagi umat
Islam dalam menjalani kehidupan mereka.
Sebagaimana Firman Allah dalam surah Al A’raf ayat 52 :
‫َو َلَقْد ِج ْئَنُهْم ِبِكَتٍب َفَّض ْلُتُه َع َلى ِع ْلٍم ُهًدى َو َر ْح َم ًة ِلَقْو ٍم ُيْؤ ِم ُنْو َن‬
“Sungguh, kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al Quran)
kepada mereka, yang kami jelaskan atas dasar pengetahuan,
sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”
Al-Quran adalah panduan yang diberikan oleh Allah kepada
manusia untuk membimbing mereka dalam menjalani kehidupan
yang benar dan bermanfaat. Seperti ketika kita melakukan
perjalanan tanpa mengetahui jalan yang akan dilalui, Al-Quran
menjadi petunjuk yang membantu kita mencapai tujuan hidup kita
dengan memandu kita ke arah kebenaran dan kebahagiaan. Dengan
mengikuti ajaran Al-Quran, kita dapat meraih kemuliaan, kejayaan,
keselamatan, dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Ini
sebanding dengan saat kita meminta petunjuk arah kepada
seseorang atau menggunakan peta saat kita tersesat dalam
perjalanan, Al-Quran menjadi pedoman yang membimbing kita
melalui kehidupan dengan keyakinan kuat pada Allah, akhlak yang
mulia, dan rasa kasih sayang terhadap sesama. 4
b. Sumber Pokok Ajaran Islam
Al-Qur'an diturunkan sebagai pokok ajaran Islam yang mendasari
ajaran akidah (kepercayaan), akhlak (perilaku), serta petunjuk
syariat dan hukum. Ada beberapa sumber dalam penggalian hukum
Islam, seperti hadis dan ijtihad. Dalam hal ini al-Qur'an merupakan
sumber pokok ajaran Islam yang utama. Dari Al-Quranlah diambil
segala pokok syariat dan dalil-dalil syar'i yang mencakup seluruh
aspek hukum bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia atau di
akhirat.
Adapun pokok-pokok ajaran yang ada dalam Al-Quran sebagai
berikut.
1. Akidah (keimanan) yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Maha
Segala- galanya, baik sifat atau zatnya. Keimanan memiliki
enam cakupan yaitu Iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul,
hari akhir, qada dan qadar.
Akidah atau keimanan merupakan keyakinan yang meliputi
enam hal utama: keyakinan kepada Allah sebagai pencipta dan
penguasa segalanya, keyakinan kepada malaikat sebagai
makhluk yang melaksanakan perintah Allah, keyakinan kepada
kitab suci sebagai petunjuk dan pedoman hidup, keyakinan
kepada rasul-rasul sebagai utusan Allah untuk menyampaikan
wahyu-Nya kepada manusia, keyakinan kepada hari kiamat
4
Muhaemin, Quran Hadist (PT Grafindo Media Pratama, Bandung) Hal. 03
sebagai hari pembalasan dan keadilan terakhir, serta keyakinan
kepada takdir atau ketentuan Allah yang mengatur segala hal di
alam semesta.
2. Ibadah yaitu sebagai penghambaan diri terhadap Allah Swt.
Dengan cara melaksanakan segala yang diperintahkannya dan
menjauhi segala larangannya baik berupa perkataan, maupun
perbuatan.
3. Akhlak yaitu budi pekerti yang baik, yang menciptakan
hubungan baik antarpribadi dengan pribadi dan
antarmasyarakat dengan sesamanya.
4. Hukum yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SAW (Hablumminallah), hubungan
manusia dengan manusia (Hablumminannas), atau hubugan
manusia dengan alam (Hablumminal ‘alam).5
Dan ayat Al Quran yang berhubungan dengan sumber pokok ajaran
Islam ada dalam Surah An-Nisa ayat 105 :
‫ِاَّنٓا َاْنَز ْلَنٓا ِاَلْيَك اْلِكٰت َب ِباْلَح ِّق ِلَتْح ُك َم َبْيَن الَّناِس ِبَم ٓا َاٰر ىَك ُۗهّٰللا َو اَل َتُك ْن ِّلْلَخ ۤا ِٕىِنْيَن خَخ ِص ْيًم‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an)
kepadamu (Nabi Muhammad) dengan hak agar kamu memutuskan
(perkara) di antara manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan
kepadamu. Janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah) karena (membela) para pengkhianat."6
c. Sebagai Pengajaran Bagi Manusia
Dalam Surah Yunus Ayat 57 dikatakan :
‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس َقْد َج ۤا َء ْتُك ْم َّم ْو ِع َظٌة ِّم ْن َّرِّبُك ْم َو ِش َفۤا ٌء ِّلَم ا ِفى الُّص ُد ْو ِۙر َو ُهًدى َّوَر ْح َم ٌة ِّلْلُم ْؤ ِمِنْيَن‬
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-
Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”
Dari ayat tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa Al
Quran juga berfungsi sebagai :
1. Pengajaran dari Allah Swt.
Al-Quran berisi tentang pengajaran dari Allah Swt. yang dapat
menjelaskan arah atau tujuan hidup yang benar sehingga
manusia dapat menentukan kebahagian, baik di dunia maupun
di akhirat.
2. Obat Penyakit Hati
Dalam kehidupan sudah menjadi sunatullah bahwa berbagai
macam masalah hadir dalam proses hidup ini, baik itu
mencakup urusan pekerjaan, belajar, keluarga ataupun hal
lainnya yang membuar hati tidak tenteram (gundah). Kondisi
ini memerlukan penawar untuk menenangkan, menenteramkan
jiwa dan mengendalikan hawa nafsu. Salah satu obat yang
5
Ibid, 04
6
Aminudin, Al Quran Hadis Madrasah Tsanawiyah Kelas VII (Bumi Aksara, Jakarta, 2021) Hal. 09
paling mujarab yaitu dengan mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Melalui ayat-ayat Al-Quran, baik dibaca, dipelajari atau
dipahami secara mendalam sehingga hati yang gundah, jiwa
yang tidak tenteram, dan hati yang kotor dapat terobari.
3. Petunjuk
Petunjuk dalam cabang ilmu pengetahuan. Dalam mencari
ilmu-ilmu Allah yang terkandung dalam Al-Quran sehingga
kita mendapatkan pengetahuan yang luas.
4. Rahmat
Sebuah kasih sayang merupakan sesuatu yang penting dalam
hidup karena manusia tidak akan dapat hidup sendiri pasti
memerlukan orang lain, baik sebagai teman bicara, meminta
bantuan, dan sebagainya. Apalagi kasih sayang berupa rahmat
dari Allah Swt. dapat membuat nikmat, aman, dan terkendali
dalam hidup, baik rohani maupun jasmani.7
Karena itu, Al-Qur'an memiliki peran yang sangat signifikan
dalam mengarahkan kehidupan kita menuju kebenaran,
kebaikan, dan kedamaian, baik di dunia maupun di akhirat.
3. Sistematika Penyusunan Surat Al Qu’ran
a. Pengertian Sistematika Al Qur'an
Sistematika Al-Qur'an adalah pengetahuan tentang bagaimana
Al-Qur'an diorganisir, termasuk klasifikasi surah, ayat, juz, hizb,
nifsu, dan rubu', serta sejarah penemuannya. Dalam bahasa
sederhana, sistematika Al-Qur'an mengacu pada urutan dan susunan
ayat-ayatnya. Al-Qur'an tidak diturunkan dalam satu kitab utuh,
namun disampaikan secara bertahap dan melalui berbagai cara. Oleh
karena itu, susunan surat-surat dalam Al-Qur'an saat ini mungkin
berbeda dengan cara turunnya. Proses pembentukan susunan Al-
Qur'an yang kita miliki sekarang melibatkan banyak faktor, termasuk
waktu, sejarah, dan peran tokoh-tokoh penting. Istilah "mushaf"
merujuk pada lembaran-lembaran tulisan Al-Qur'an yang
dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar, dan khususnya pada
salinan yang dibuat pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang
dikenal sebagai Mushaf Usmani. Mushaf ini diakui oleh para sahabat
sebagai standar tunggal bagi penulisan Al-Qur'an yang sah.8
b. Sistematika Mushaf Al Qu’ran
Untuk membuat Mushaf Al-Qur'an, prosesnya melibatkan
beberapa tahapan yang melibatkan banyak orang dari masa
Rasulullah hingga Khalifah Utsman Bin Affan. Mushaf adalah Al-
Qur'an yang telah ditulis atau disusun oleh panitia yang dibentuk
oleh Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf ini sering disebut sebagai
Mushaf Utsmani atau Mushaf Imam. Proses pembuatan Al-Qur'an
7
Muhaemin, Quran Hadist (PT Grafindo Media Pratama, Bandung) Hal.04
8
Ismail, Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 8 No. 1 Mei 2018. Hal. 86
melibatkan penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan, dan
pengkodean hingga menjadi Mushaf Al-Qur'an yang lengkap, yang
disebut "jam’ul Qur’an". Semua tahapan ini sangat penting dalam
menjaga dan melestarikan Al-Qur'an sebagai kitab suci.9
Adapun penyusunan al Quran terbagi menjadu 4 fase menurut
zamannya, diantaranya :
1. Fase Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah pengumpulan al Qur'an dilakukan
dengan 2 cara yaitu :
a. Pengumpulan dengan hafalan
Pada masa Rasulullah Muhammad Shallahu
'Alaihi Wa Sallam, Al-Qur'an dipelihara dan dilestarikan
dengan cara dihafalkan. Ini adalah cara umum di kalangan
orang Arab untuk menjaga dan melestarikan karya sastra
mereka. Di zaman Nabi dan para sahabatnya, cara yang
paling umum dilakukan untuk menjaga Al-Qur'an adalah
dengan menghafalnya. Hal ini dilakukan karena
banyaknya sahabat yang buta huruf dan juga karena
kemampuan hafalan yang kuat dimiliki oleh orang Arab
saat itu.
Nabi Muhammad sendiri adalah orang pertama
yang menghafal Al-Qur'an, dan para sahabatnya
mencontohnya untuk menjaga dan melestarikan Al-
Qur'an. Setiap kali Nabi menerima wahyu dari Allah,
beliau langsung mengingatnya, menghafalnya, dan
menyampaikannya kepada para sahabat. Para sahabat
kemudian juga menghafalnya dan menyebarkannya
kepada keluarga dan sahabat lainnya. Mereka juga
langsung mengamalkan perintah yang terkandung dalam
Al-Qur'an.
Dalam menerima wahyu, Rasulullah sangat
bersemangat untuk segera menghafalkannya. Bahkan,
beliau pernah menggerakkan bibir dan lidahnya untuk
membaca Al-Qur'an ketika wahyu turun kepadanya
sebelum malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai
upaya keras untuk menghafalnya. Dari peristiwa ini,
turunlah ayat dalam Surah Al-Qiyamah (QS. 75:16-19)
yang mengingatkan untuk tidak terburu-buru dalam
membaca Al-Qur'an karena tanggung jawab kita adalah
untuk menghafalnya dan memahaminya dengan baik.10
b. Pengumpulan dengan tulisan

9
Ibid, 87
10
Ibid, 87
Pada zaman Nabi Muhammad Shallahu 'Alaihi Wa
Sallam, penulisan Al-Qur'an sudah umum dilakukan.
Rasulullah memiliki beberapa sekretaris penulis Al-
Qur'an dari kalangan sahabatnya, seperti Abu Bakar As-
Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, dan lainnya. Ketika ayat-ayat Al-Qur'an turun,
Rasulullah menyuruh mereka untuk menuliskannya dan
memberi arahan mengenai letak dan susunan surat-
suratnya. Mereka menuliskan wahyu tersebut pada
berbagai media seperti tulang-belulang, pelepah korma,
lempengan batu, kulit, bahkan pelana kuda.
Pada masa Nabi, penulisan Al-Qur'an telah selesai
dan seluruhnya telah tertulis, meskipun ayat-ayat dan
suratnya masih terpisah-pisah. Proses penulisan ini juga
mencakup tujuh cara pembacaan yang berbeda
sebagaimana Al-Qur'an turun. Beberapa sahabat juga
terlibat dalam mengumpulkan, menuliskan, dan
menghafalkan Al-Qur'an.11
2. Fase Abu Bakar As Shiddiq
Pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq, fase kedua dalam
penulisan Al-Qur'an dimulai, yaitu proses kodifikasi Al-Qur'an.
Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar dipilih menjadi
Khalifah. Saat itu, terjadi kekacauan akibat perang melawan
orang-orang murtad dan pengikut nabi palsu Musailamah Al-
Kadzab. Dalam perang Yamamah, banyak sahabat yang hafal Al-
Qur'an gugur. Hal ini membuat Umar bin Khattab khawatir Al-
Qur'an akan hilang secara bertahap jika hanya mengandalkan
hafalan, terutama dengan berkurangnya para penghafal Al-Qur'an
akibat perang.
Awalnya, Abu Bakar ragu untuk mengumpulkan Al-
Qur'an karena tidak ada perintah langsung dari Rasulullah untuk
melakukannya. Namun, setelah mempertimbangkan dengan baik,
ia menyadari pentingnya untuk menjaga dan melestarikan Al-
Qur'an dengan mengumpulkannya dalam satu mushaf. Abu Bakar
meminta Zaid bin Tsabit untuk mengepalai proyek ini karena
kemampuannya yang mumpuni dalam membaca, menulis, dan
memahami Al-Qur'an, serta masih muda.
Meskipun awalnya menolak, Zaid akhirnya menerima
perintah tersebut setelah diskusi panjang dengan Abu Bakar.
Proses pengumpulan Al-Qur'an dilakukan dengan teliti,
menggunakan dua sumber utama: tulisan-tulisan yang telah
ditulis di hadapan Rasulullah dan hafalan para penghafal Al-

11
Ibid, 88
Qur'an. Tidak ada yang diterima kecuali dengan saksi adil yang
melihat tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasulullah.
Kodifikasi Al-Qur'an yang dilakukan atas perintah Abu
Bakar Ash Shiddiq melibatkan pengumpulan semua ayat Al-
Qur'an dan penulisannya menjadi satu mushaf setelah melalui
proses penelitian yang sangat detail dan teliti. Proses ini
merupakan langkah penting dalam menjaga kesucian dan
keutuhan Al-Qur'an, dan menyebabkan penggunaan istilah
"mushaf" untuk menyebut Al-Qur'an mulai berlaku sejak zaman
Abu Bakar Ash Shiddiq.12
3. Fase Umar bin Khattab
Fase Ketiga adalah saat Al-Qur'an mulai disusun dalam
bentuk tertulis pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Sebelumnya, Abu Bakar menyerahkan mushaf (teks Al-Qur'an)
kepada Umar. Umar memastikan mushaf tersebut dijaga dengan
ketat. Kemudian, Umar memerintahkan agar mushaf tersebut
disalin ulang ke dalam lembaran yang lebih baik. Namun, salinan
tersebut tidak untuk digunakan sebagai bahan hapalan, melainkan
sebagai naskah orisinil. Setelah penulisan selesai, naskah itu
diserahkan kepada Hafshah, istri Nabi Muhammad. Pada masa
ini, Jam'ul Qur'an (pengumpulan Al-Qur'an) masih dilakukan,
terutama untuk penggunaan dalam shalat berjamaah, tarawih, dan
di rumah-rumah sahabat.13
4. Fase Ustman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin Khattab meninggal, banyak
sahabat dan penghapal Al-Qur'an meninggal dalam peperangan.
Ini membuat Khalifah Utsman bin Affan khawatir karena
semakin sedikit orang yang hafal Al-Qur'an. Sementara itu, Islam
semakin berkembang ke wilayah Romawi dan Persia yang
dikuasai, sehingga kebutuhan akan mempelajari Al-Qur'an
meningkat. Banyak ahli bacaan Al-Qur'an mulai mengajar di
berbagai tempat, menyebabkan perbedaan bacaan Al-Qur'an.
Khalifah Utsman khawatir dengan perbedaan ini dan meminta
para penghapal Al-Qur'an untuk menyelesaikan masalah ini.
Mereka sepakat untuk membuat salinan Al-Qur'an dan
mendistribusikannya ke berbagai daerah.
Inisiatif tersebut muncul setelah saran dari Khuzaifah al
Yamani. Khalifah Utsman mengirim surat kepada Hafshah untuk
mengirim mushaf yang disimpannya untuk disalin kembali.
Setelah selesai, mereka mengembalikan mushaf orisinil kepada
Hafshah, dan salinan Al-Qur'an ini dikenal sebagai penulisan
Utsmani. Mushaf-mushaf ini didistribusikan ke berbagai kota,
12
Ibid, 89
13
Ibid, 90
dan semua mushaf yang tidak sesuai dengan standar ini
dimusnahkan untuk mencegah perbedaan dalam penulisan dan
pembacaan Al-Qur'an di masa depan.14
c. Sistematika Ayat-ayat Al Quran
Pada masa Rasulullah saw, beberapa sahabatnya ditugaskan
sebagai pencatat wahyu yang turun. Salah satunya adalah Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali, yang kemudian menjadi Khulafa’ al-
Rasyidun. Tugas mereka adalah mencatat setiap wahyu yang diterima
Rasulullah saw. Rasulullah memerintahkan mereka untuk menulis
wahyu-wahyu tersebut agar ayat-ayat yang sudah dihafal juga
tertulis. Penting untuk dicatat bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an
ditetapkan oleh Rasulullah saw sendiri, bukan oleh manusia. Ini
berdasarkan petunjuk langsung dari Rasulullah dan tidak ada
pertentangan di antara umat Muslim mengenai hal ini. Oleh karena
itu, tidak ada yang berhak mencampuri urusan penyusunan ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah ditetapkan oleh Malaikat Jibril kepada
Rasulullah saw.15
B. Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Pengertian Hadist
Hadis mempunyai beberapa sinonim/murâdif menurut para pakar ilmu
hadis, yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Masing-masing istilah ini akan
dibicarakan pada pembahasan berikut. Pada bab ini terlebih dahulu akan
dibahas pengertian hadis, karena yang banyak disebut di tengah-tengah
masyarakat Islam adalah hadis. Sunnah juga sering disebut oleh sebagian
masyarakat, tetapi terkadang dimaksudkan makna berganda. Sebelum
berbicara pengertian hadis secara terminologi, terlebih dahulu akan
dibicarakan dari segi etimologi. Kata "Hadis" (Hadits) berasal dari akar kata: 16
‫َح َد َث َيْح ُد ُث ُحُدوَنا َو َح َداَثة‬
Hadis dari akar kata di atas memiliki beberapa makna, antara lain sebagai
berikut:17
1. ‫( اْلِج َّد ة‬al-jiddah = baru), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada atau
sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata al-qadim =
terdahulu, misalnya: ‫ = اْلَع اَلُم َحِد ْيُث َح اِد ُث‬alam baru. Alam maksudnya segala
sesuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna
etimologi ini mempunyai konteks teologis bahwa segala kalam selain
kalam Allah bersifat hadits (baru), sedangkan kalam Allah bersifat qadim
(terdahulu).
2. ‫( الطري ياْلِج َّد يد‬ath-thari = lunak, lembut, dan baru). Misalnya: ‫= الَّرُجُل اْلَح َد ُث‬
pemuda laki-laki. Ibnu Faris mengatakan bahwa hadis dari kata ini karena
14
Ibid, 91
15
Fatirawahidah, Al-Munzir Vol. 9, No. 1, Mei 2016,hal.136
16
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Bumi Aksara Group, Bandung, 2012) Hal. 1
17
Ibid, 02
berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan perkembangan
usia yang silih berganti dari masa ke masa.
3. ‫( اْلَخ َبُر َو اْلَكاَل ُم‬Al-khabar = berita, pembicaraan dan al-kalâm = perkataan).
Oleh karena itu, ungkapan pemberitaan hadis yang diungkapkan oleh para
perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanad-nya
selalu menggunakan ungkapan: ‫ = َح َّد َثَنا‬memberitakan kepada kami, atau
sesamanya seperti mengkhabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada
kami. Hadis di sini diartikan sama dengan al-khabar dan an-naba’. Dalam
Alquran banyak sekali kata hadis disebutkan, lebih kurang mencapai 27
tempat termasuk dalam bentuk jamak, seperti Surah An-Nisa’ (4): 78:
‫َفَم اِل َهُؤاَل ِء اْلَقْو ِم اَل َيَكاُد وَن َيْفَقُهوَن َحِد يًثا‬
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikit pun!”
Dalam ilmu hadis, ketiga makna etimologis tersebut lebih relevan
karena “hadis” merujuk pada berita yang berasal dari Nabi Muhammad.
Menurut Abū Al-Baqa’, “hadis” berasal dari kata “at-tahdits” yang berarti
“pemberitaan”, dan kemudian berkembang menjadi istilah untuk merujuk
kepada perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Muhammad. Konsep
pemberitaan atau cerita yang populer juga sudah dikenal sejak zaman jahiliyah
dengan nama “al-ahādīts”. Menurut Al-Farra, “al-ahadits” adalah bentuk
jamak dari kata “uhdûtsah” yang kemudian menjadi plural untuk kata “hadis”.
Dari segi terminologi, banyak para ahli hadis (muhadditsin)
memberikan. definisi yang berbeda redaksi, tetapi maknanya sama, di
antaranya Mahmud Ath-Thahan (guru besar Hadis di Fakultas Syari'ah dan
Dirasah Islamiyah di Universitas Kuwait) mendefinisikan:18
‫َم ا َج اَء َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َس َو اٌء َك اَن َقْو اًل َأْو ِفْع ًال َأْو َتْقِر يًرا‬

“Sesuatu yang datang dari Nabi, baik berupa perkataan atau perbuatan dan
atau persetujuan.”
Dalam beberapa buku para ulama berbeda dalam mengungkapkan
datang- nya hadis tersebut, di antaranya seperti makna di atas “Sesuatu yang
datang”, namun ada juga yang menggunakan beberapa redaksi seperti:

.... ‫ =َم ا ُأضيف إلى‬Sesuatu yang disandarkan kepada ....

‫ ما أسند إلى‬Sesuatu yang disandarkan kepada

‫ ما ُنسب إلى‬.....Sesuatu yang dibangsakan kepada

.... ‫= َم ا ُر ِو َي َع ْن‬Sesuatu yang diriwayatkan dari ...

Keempat redaksi di atas dimaksudkan sama maknanya, yaitu sesuatu


yang datang atau sesuatu yang bersumberkan dari Nabi atau disandarkan
18
Ibid, 03
kepada Nabi. Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa hadis
merupakan sumber berita yang datang dari Nabi dalam segala bentuk, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap persetujuan. Definisi di atas
memberikan kesimpulan, bahwa hadis mempunyai 3 komponen, yaitu sebagai
berikut.
a. Hadis perkataan yang disebut dengan hadis qawli, misalnya sabda
beliau:
ِ ‫َذ ا اْلَتَقى اْلُم ْس ِلَم اِن ِبَس ْيَفْيِهَم ا َفاْلَقاِتُل َو اْلَم ْقُتوُل ِفي الَّناِر‬
Jika dua orang muslim bertemu dengan pedangnya, maka pembunuh
dan
yang terbunuh di dalam neraka. (HR. Al-Bukhari)
b. Hadis perbuatan, disebut hadis fi’li misalnya shalatnya beliau, haji,
perang, dan lain-lain.
c. Hadis persetujuan, disebut hadis taqrîrî, yaitu suatu perbuatan atau
perkataan di antara para sahabat yang disetujui Nabi. Misalnya,
Nabi diam ketika melihat bahwa bibi Ibnu Abbas menyuguhi beliau
dalam satu nampan berisikan minyak samin, mentega, dan daging
binatang dhabb (semacam biawak tetapi bukan biawak). Beliau
makan sebagian dari mentega dan minyak samin itu dan tidak
mengambil daging binatang dhabh karena jijik. Seandainya haram,
tentunya daging tersebut tidak disuguhkan kepada beliau. (HR. Al-
Bukhari).
Di antara ulama ada yang memasukkan pada definisi hadis sifat
(washfi), sejarah (tarikhí), dan cita-cita (hammî) Rasul. Hadis sifat
(washfi), baik sifat fisik (khalqiyah) maupun sifat perangai
(khuluqiyah). Sifat fisik seperti tinggi badan Nabi yang tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu pendek, kulit Nabi putih kemerah-merahan
bagaikan warna bunga mawar, berambut keriting, dan lain- lain.
Sedang sifat perangai mencakup akhlak beliau, misalnya sayang
terhadap fakir miskin, dan lain-lain. Sejarah hidup Rasul juga masuk
ke dalam hadis, baik sebelum menjadi Rasul maupun setelahnya.
Menurut pendapat yang kuat/rajih jika setelah menjadi Rasul wajarlah
dimasukkan sebagai sunnah atau hadis, tetapi sejarah yang terjadi
sebelum menjadi Rasul, belumlah dimasukkan sunnah, kecuali jika
diulang kembali atau dikatakan kembali setelah menjadi Rasul. Para
ulama Syafi'iyah juga memasukkan bagian dari sunnah, apa yang
dicita-citakan Rasul (Sunnah Hammîyah), sekalipun baru rencana dan
belum dilakukannya, karena beliau tidak merencanakan sesuatu,
kecuali yang benar dan dicintai dalam agama, dituntut dalam syariat
Islam, dan beliau diutus.19
2. Kedudukan dan Fungsi Hadist

19
Ibid, 04
Kedudukan hadist ialah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al
Qur'an. Sedangkan fungsi-fungsi nya ialah sebagai berikut :
a. ‫َبَياُن الَّتْقِرير‬
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan at-ta'kid dan
bayan at-Isbat. Dalam hal ini hadits berfungsi untuk menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Quran.
b. ‫َبَياُن الَّتْفِس يِر‬
Fungsi hadits sebagai bayan at-Tafsir yaitu memberikan
rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran yang masih mujmal
(global, samar atau tidak dapat diketahui), memberikan pesyaratan
ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus
ayat-ayat yang masih umum.
c. ‫بيان التشريع‬
Bayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran
yang tidak didapati dalam Al-Quran. Fungsi ini disebut juga dengan
bayan za'id ala al kitab al-karim.
d. ‫َبَياُن النسخ‬
Secara bahasa, an-naskh memiliki arti yang beragam,
diantaranya Al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-
takwil (memindahkan) atau at- tagyir (mengubah). Adapun yang
disebut dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara' (yang
dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada) karena datangnya
dalil berikutnya.20
3. Sistematika Hadist
Dalam penyusunan kitab hadis, dikenal ada empat macam sistematika,
yaitu: pertama, sistematika sahih dan sunan, yaitu kitab hadis yang disusun
berdasarkan kitab-kitab tertentu, setiap kitab terdiri dari beberapa bab,
sistematika ini juga dikenal dengan istilah sistematika fiqhiyah. Misalnya
ditulis dalam kitab-kitab taharah, salat dan sebagainya, setiap kitab-kitab
tersebut terdiri dari beberapa bab. Kedua, sistematika musnad, yaitu kitab
hadis yang ditulis berdasarkan nama periwayat pertama yang menerima dari
Nabi. Ketiga, sistematika kamus, yaitu kitab hadis yang ditulis berdasarkan
huruf abjad hijaiyah. Keempat, kitab hadis yang disusun berdasar- kan lima
bagian-bagian tertentu seperti perin- tah, larangan, kabar, ibadah dan afāl
secara umum.21

20
Yandi Irsyad Barduzzaman, Tasawuf Dalam Dimensi Zaman:Definisi, Doktrin, Sejarah dan Dinamika
Keummatan (Zakimu.com, 2023). Hal. 27
21
M. Hasybi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (JBulan Bintang, Jakarta, 1980), 116-117.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW., berisi keajaiban, dan dianggap sebagai
petunjuk hidup bagi umat Islam. Al-Qur’an memiliki kedudukan
yang sangat tinggi sebagai sumber utama dan pertama dalam Islam,
menjadi panduan bagi manusia dalam menjalani kehidupan, serta
menjadi sumber pokok ajaran Islam yang mendasari akidah,
akhlak, syariat, dan hukum.
Hadis memiliki makna etimologis yang mencakup sesuatu
yang baru, lunak, dan berita atau pembicaraan. Secara terminologi,
hadis merujuk pada segala perkataan, perbuatan, atau persetujuan
Nabi Muhammad SAW. Definisi hadis menurut para ahli mencakup
segala yang datang dari Nabi, baik itu perkataan, perbuatan, atau
persetujuan. Kedudukan hadis dalam Islam adalah sebagai sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an, dengan fungsi-fungsi seperti
menetapkan, memperkuat, dan memberikan penjelasan terhadap
ajaran Al-Qur’an, serta mewujudkan hukum atau ajaran yang tidak
dijumpai dalam Al-Qur’an. Jadi, hadis memiliki peran penting
dalam menjelaskan, memperkuat, dan melengkapi ajaran Islam
yang terdapat dalam Al-Qur’an, serta menjadi sumber hukum
kedua setelah Al-Qur’an bagi umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai