ANAK

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ISPA merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan

mortalitas penyakit menular di dunia (WHO, 2007). ISPA merupakan salah

satu penyakit pernafasan yang menyebabkan kematian paling sering pada

anak-anak usia di bawah lima tahun (Elyana dan Candra, 2009).

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) saat ini masih

merupakan masalah kesehatan utama. World Health Organization (WHO),

menyebutkan bahwa 3,9 juta orang yang meninggal setiap tahun disebabkan

oleh ISPA (WHO, 2013a), +1,4 juta anak diantaranya meninggal karena

pneumonia yang merupakan kelanjutan dari ISPA yang berlarut-larut

(Kemkes RI, 2009) dan salah satu penyebab utama kematian anak-anak di

negara berkembang (WHO, 2013b).

Episode penyakit batuk pilek pada anak usia dibawah lima tahun

(balita) di Indonesia diperkirakan sebesar 2 sampai 3 kali setiap tahun

(Kemkes RI, 2012). Pada banyak negara berkembang, lebih dari 50%

kematian pada umur anak-anak balita disebabkan karena infeksi saluran

pernafasan akut, yakni infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru. Salah

satu yang termasuk dalam infeksi saluran nafas bagian atas adalah batuk

pilek biasa, radang tenggorokan, dan influenza (BPOM RI, 2013).

1
2

Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, menghadapi

banyak masalah kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi dan kurang gizi masih

termasuk penyebab kematian balita, terutama ISPA merupakan penyakit yang

termasuk dalam daftar 10 penyakit utama. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal

Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2004 menyatakan

bahwa ISPA menempati peringkat pertama 10 penyakit utama pasien rawat jalan di

Rumah Sakit dengan persentase 15,1% (Depkes RI, 2007).

Angka kematian balita (AKB) berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan

Indonesia (SDKI) tahun 2012 adalah 32 per 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut

menunjukkan penurunan yang lambat dibandingkan AKB pada tahun 2007, yaitu 34

per 1000 kelahiran hidup (Kemkes RI, 2013). AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun

2012 sebesar 10,75/1000 kelahiran hidup, meningkat dibandingkan tahun 2011

sebesar 10,34/1000 kelahiran hidup (Dinkes Jawa Tengah, 2012). Hal ini

berlawanan dengan tujuan MDGs yang seharusnya turun, namun angka ini sudah

memenuhi angka target MDGs ke-4, dimana tahun 2015 yaitu AKB sebesar

23/1000 kelahiran hidup (Bappenas RI, 2004).

Kurangnya pengetahuan ibu tentang Imunisasi DPT menyebabkan

banyaknya balita terkena ISPA, imunisasi DPT yakni imunisasi yang diberikan

agar balita tidak rentan terkena Infeksi Saluran Pernafasan. Diperkirakan kasus

pertusis sejumlah 51 juta dengan kematian lebih dari 600.000 orang, namun

hanya 1,1 juta penderita dilaporkan dari 163 negara dalam tahun 1983. Hampir

80% anak-anak yang tidak di imunisasi menderita


3

sakit pertusis sebelum umur 5 tahun. Kematian karena pertusis, 5 0 % terjadi


pada bayi (umur < 1 tahun) (WHO, 2007).

Di Indonesia berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukan

prevalensi nasional ISPA 25,5%, dan khusus untuk Jawa Tengah memiliki angka

prevalensi lebih tinggi dari angka nasional yaitu 29,1%. Prevalensi di atas Provinsi

Jawa Tengah, ditemukan di 16 Kabupaten/Kota, salah satunya adalah Kabupaten

Sragen yaitu 32,5% (Kemkes, 2009). Hasil riset terbaru menunjukkan penurunan

prevalensi nasional dari 25,5% menjadi 25,0% dan prevalensi provinsi Jawa Tengah

dari 29,1% menjadi 26,6% (Kemkes RI, 2013).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis di BPS Ngudi Waras,

Jabung Plupuh Sragendidapatkan data dari rekam medik selama tahun 2014,

pada bulan Januari 2014 sampai September 2014 terdapat jumlah kasus balita

sakit sebanyak 350 balita dengan 145balita dengan febris (41,43 %), balita

dengan ISPA sebanyak 148 balita (42,29%), balita dengan diare sebanyak 33

balita (9,43%), balita dengan dermatitis sebanyak 24 balita (6,86%). Adapun

balita dengan ISPA diketahui balita dengan ISPA ringan 105 balita, balita

dengan ISPA berat sebanyak 43 balita (RegisterBPS Ngudi waras, 2014).

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengambil kasus

dengan judul “Asuhan Kebidanan Balita Sakit pada An. Aumur 3 tahun dengan

ISPARingan di RSU AL-FATAH AMBON n” dengan menggunakan pendekatan

manajemen kebidanan Varney yang diharapkan dapat memberikan asuhan

kebidanan yang lebih baik, bermanfaat dan berkualitas.


4

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat diambil

perumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimana penerapan asuhan kebidanan

balita sakit pada An. umur dengan ISPA Ringan di RSU AL-FATAH

AMBON dengan menggunakan pendekatan Manajemen Kebidanan 7 Langkah

Varney?”

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum

Mampu memberikan asuhan kebidanan balita sakit pada An. A dengan ISPA

Ringan, dengan menggunakan manajemen kebidanan 7 langkah Varney.

2. Tujuan Khusus

a. Penulis Mampu

1) Melakukan pengkajian data pada An. A umur 3 tahun dengan ISPA


ringan.

2) Menginterpretasikan data yang meliputi diagnosa kebidanan, masalah

dan kebutuhan pada An. A umur 1 tahun dengan ISPA ringan.

3) Menentukan diagnosa potensial yang timbul pada An. A umur 3


tahun dengan ISPA ringan.

4) Menerapkan antisipasi/tindakan segera pada An. A umur 1 tahun


dengan ISPA ringan.
5) Menyusun rencana asuhan kebidanan pada An. A umur 1 tahun
dengan ISPA ringan.
6) Melaksanakan tindakan asuhan kebidanan pada An. A umur 1 tahun
dengan ISPA ringan sesuai pelayanan secara efisien dan aman.

7) Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan yang telah dicapai pada kasus


An. A umur 1 tahun dengan ISPA ringan.

b. Mahasiswa mampu menganalisis kesenjangan antara teori dan kasus

nyata di lapangan termasuk faktor pendukung dan penghambat pada

balita sakit dengan ISPA ringan.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Memberikan kesempatan pada penulis untuk menerapkan ilmu

pengetahuan yang diperoleh di institusi pendidikan terutama manajemen

asuhan kebidanan pada balita sakit dengan ISPA ringan dalam situasi yang

nyata.

2. Bagi Profesi

Sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian asuhan kebidanan pada

balita sakit dengan ISPA ringan untuk meningkatkan profesionalisme tenaga

kesehatan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

a. Definisi

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah radang akut

saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi

jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau disertai

dengan radang parenkim paru.ISPA merupakan masuknya

mikroorganisme (bakteri, virus, reketsia) ke dalam saluran pernafasan

yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung sampai

14 hari (Wijayaningsih, 2013).


13

ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan

akut, adalah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya

menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang

berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai

penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen

penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO, 2007).

b. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan

ricketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan

Miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-

influensa), Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma,

Herpesvirus. Bakteri penyebab ISPA antara lain Streptokokus

hemolitikus, stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus influenza,

Bordetella pertusis, Korinebakterium diffteria. Bakteri dan virus yang

paling sering menjadi penyebaran ISPA adalah bakteri stafilokokus

dan streptokokus serta virus influenza yang berada di udara bebas

masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas

(Wijayaningsih, 2013).

Faktor lain yang menyebabkan ISPA mudah menjangkit adalah

lemah dan belum sempurnanya kekebalan tubuh bayi, sehingga lebih

mudah terjangkiti ISPA. Rendahnya asupan gizi, status gizi kurang dan

buruknya sistem sanitasi lingkungan juga diperkirakan berkontribusi


14

dalam kejadian ISPA, terlebih lagi apabila pada peralihan musim


kemarau ke musim hujan (Wijayaningsih, 2013).

c. Patofisiologi

ISPA disebabkan oleh lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan

ricketsia.Virus merupakan penyebab tersering infeksi saluran nafas.

Pada paparan pertama virus akan menyebabkan mukosa membengkak

dan menghasilkan banyak lendir sehingga akan menghambat aliran

udara melalui saluran nafas. Batuk merupakan mekanisme pertahan

tubuh untuk mengeluarkan lendir keluar dari saluran pernafasan.

Bakteri dapat berkembang dengan mudah dalam mukosa yang

terserang virus, sehingga hal ini menyebabkan infeksi sekunder, yang

akan menyebabkan terbentuknya nanah dan memperburuk penyakit

(Nurhidayah, dkk, 2008).

d. Tanda dan gejala

Menurut Wijayaningsih (2013), adapun pembagian tanda dan gejala

ISPA sebagai berikut:

1) ISPA ringan.

Di tandai dengan satu atau lebih gejala berikut:

a) Batuk tanpa pernafasan cepat atau kurang dari 40 kali/menit

b) Hidung tersumbat atau berair

c) Telinga berair

d) Tenggorokan merah
15

2) ISPA sedang

Meliputi gejala ISPA ringan di tambah satu atau lebih gejala


berikut:

a) Pernafasan cepat tanpa stridor

b) Gendang telinga merah

c) Sakit/keluar cairan dari telinga kurang dari 2 minggu

d) Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe leher


yang nyeri tekan.

3) ISPA berat

Meliputi gejala ISPA sedang / ringan tambah satu atau lebih


gejala berikut:

1) Pernafasan cepat dan stridor

2) Membran keabuan di faring

3) Bibir / kulit kebiruan (sianosis)

4) Kejang, apnea, dehidrasi


berat e. Klasifikasi ISPA

Menurut Kemkes RI (2012), Klasifikasi menurut Program

Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai

berikut: 1. Klasifikasi berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu

klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk

golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2

bulan sampai 5 tahun. Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2

klasifikasi penyakit yaitu :


16

a. Pneumonia berat : ditandai dengan batas napas cepat untuk

golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau

lebih.

b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan

tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas

cepat.

Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada tiga

klasifikasi penyakityaitu :

a. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya

tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak

menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan

tenang tldak menangis atau meronta).

b. Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah

untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan

untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.

c. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan


tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.

2. Klasifikasi berdasarkan derajat keparahan penyakit

a. ISPA ringan, penatalaksaan cukup dengan tindakan penunjang

tanpa pengobatan anti mikroba. Tanda dan gejalanya: batuk,

pilek, sesak dengan ataupun tanpa napas, keluarnya cairan dari

telinga yang lebih dari 2 minggu tanpa rasa sakit di telinga.

b. ISPA sedang, penatalaksanaannya memerlukan pengobatan


anti mikroba, tetapi tidak perlu dirawat. Tanda dan gejalanya:
17

pernapasan cepat (lebih dari 50 kali permenit), wheezing,


napas menciut-ciut dan panas.

c. ISPA berat, kasus ISPA yang perlu pananganan langsung oleh

tenaga madis atau tenaga kesehatan. Tanda dan gejalanya:

penarikan dada ke dalam pada saat penarikan napas, pernasan

ngorok, tak mau makan, kulit kebiru-biruan, dehidrasi,

kesadaran menurun.

f. Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi ISPA

Menurut Kemkes RI (2012), faktor-faktor risiko yang

dapat mempengaruhi peningkatan morbiditas dan mortalitas ISPA

antara lain:

1) Usia

Anak yang usianya leih muda, kemungkinan unuk menderita atau

terkena penyakit ISPA lebih besar bila dibandingkan dengan anak

yang usianya lebih tua karena daya tahannya lebih rendah

(Wijayaningsih, 2013).

2) Status gizi balita

Asupan gizi seseorang dapat mempengaruhi kerentanan

tubuh terhadap infeksi. Balita merupakan kelompok yang rentan

terhadap berbagai permasalahan kesehatan dan apabila asupan

gizinya kurang maka akan sangat mudah terserang oleh infeksi.


18

3) Imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan

kekebalan tubuh agar terhindar dari infeksi. Imunisasi yang

lengkap terdiri dari vaksin polio, vaksin campak, vaksin BCG,

vaksin DPT, dan vaksin Toxoid Difteri. Imunisasi yang tidak

lengkap dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penyakit

ISPA karena tubuh balita menjadi lebih rentan.

4) Polusi udara dan lingkungan

Polusi udara dapat menimbulkan penyakit ISPA dan dapat

memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita pneumonia,

terutama pada balita. Asap dapur yang masih menggunakan kayu

bakar dapat menjadi faktor penyebab polusi apabila ventilasi rumah

kurang baik dan tata letak rumah yang kurang sesuai. Selain itu asap

rokok yang terdapat pada udara rumah juga dapat menjadi salah satu

faktor penyebab ISPA. Pajanan di dalam ruangan terhadap polusi

udara sangat penting karena anak-anak menghabiskan sebagian besar

waktunya di rumah.

5) Perilaku hidup bersih dan sehat

Perilaku hidup bersih dan sehat menjadi salah satu

kebutuhan dasar yang penting untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Kondisi sehat dapat dicapai dengan

mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi perilaku sehat dan

menciptakan lingkungan sehat di


19

rumah tangga. Keluarga yang melaksanakan PHBS dapat

meningkatkan derajat kesehatan keluarga tersebut dan anggota

keluarganya menjadi tidah mudah sakit.

g. Upaya pencegahan penyakit ISPA

Bagian yang penting dalam pencegahan dan penanggulangan

penyakit menular adalah dengan memutus rantai penularan.

Pemutusan rantai penularan dapat dilakukan dengan menghentikan

kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya


penyakit ISPA pada anak antara lain (Wijayaningsih, 2013):

1) Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik diantaranya

dengan cara memberikan makanan kepada anak yang

mengandung cukup gizi.

2) Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya


tahan tubuh terhadap penyakit baik.

3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.

4) Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satunya

adalah dengan memakai penutup hidung dan mulut bila kontak

langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang

menderita penyakit ISPA.


20

h. Upaya Penatalaksanaan penyakit ISPA

Menurut Maryunani (2010), penanganan terhadap ISPA


disesuaikan dengan tingkatannya antara lain:

1) Penanganan ISPA berat

Penderita ISPA berat harus dirawat di Rumah Sakit dan

yang dilakukan adalah dengan memberikan antibiotik parenteral

dan oksigen.

2) Penanganan ISPA Ringan

Pengobatan dan perawatan penderita ISPA ringan dapat

dilakukan di rumah. Jika anak menderita ISPA ringan maka yang

harus dilakukan adalah:

a) Tanpa pemberian obat antibitoik, untuk batuk dapat digunakan

obat batuk tradisional, misalnya pengobatan dengan jeruk

nipis atau kencur atau obat batuk lain yang tidak mengandung

zat yang merugikan sepertikodein, dekstromertofan dan

antihistamin.

b) Bila demam diberikan obat penurun panas. Untuk anak yang

di bawah umur 6 tahun menggunakan paracetamol, ibuprofen

atau asetosal.
21

B. Teori Manajemen Kebidanan

1. Pengertian Manajemen Kebidanan

Menurut Varney yang dikutip oleh Sari (2012), manajemen

kebidanan adalah proses pemecahan masalah digunakan sebagai metode

untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah,

penemuan-penemuan, keterampilan, dan rangkaian atau tahapan yang

logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus pada klien.

Proses manajemen kebidanan menurut Varney terdiri dari tujuh


langkah yaitu sebagai berikut:

a. Langkah I: Pengkajian (Pengumpulan Data Dasar)

Pengumpulan data dasar dilakukan dengan melakukan pengkajian

melalui proses pengumpulan data yang diperlukan untuk

mengevaluasi keadaan pasien secara lengkap. Teknik pengumpulan

data ada 3, yaitu observasi, wawancara, dan pemeriksaan. Data

diklasifikasikan menjadi data subyketif dan data obyektif (Sari,

2012).

1) Data Subyektif

Data subyektif berupa data fokus yang dibutuhkan untuk

menilai keadaan pasien sesuai dengan kondisinya (Romauli,

2011). Data subyektif terdiri dari:


22

a) Identitas

Menurut Matondang (2013), Identitas diperlukan untuk

memastikan bahwa yang diperiksa benar-benar anak yang

dimaksud, dan tidak keliru dengan anak lain. Kesalahan

identifikasi pasien dapat berakibat fatal, baik secara medis,

etika, maupun hukum. Identitas tersebut meliputi:

(1) Nama balita


(2) Umur
(3) Jenis Kelamin
23

(5) Nama orang tua


(6) Umur orang tua
(7) Agama
(8) Pendidikan
24

(9) Pekerjaan
(10)Alamat

b) Keluhan datang

Menurut Matondang (2013), dikaji untuk mengetahui

keluhan klien datang ke tempat pelayanan kesehatan. Pada

kasus ISPA, ibu klien mengatakan bahwa ingin memeriksakan

anaknya karena batuk pilek dengan atau tanpa demam,

tenggorokan merah (Wijayaningsih, 2013).

c) Keluhan utama

Menurut Matondang (2013), keluhan utama adalah

keluhan atau gejala yang menyebabkan klien dibawa berobat.

Pada kasus ISPAkeluhan yang dirasakan balita biasanya adalah

batuk, pilek,demam dan rewel. Secara teoritis pada klien dengan

ISPA
d) Riwayat kesehatan yang lalu

(1) Imunisasi
(2) Riwayat kesehatan keluarga
26

(1) Yang mengasuh


(2) Hubungan dengan anggota keluarga
(3) Hubungan dengan teman sebaya
(4) Lingkungan rumah

f) Pola kebiasaan sehari-hari

(1) Pola nutrisi


(2) Pola istirahat/tidur
(3) Pola hygiene
(4) Pola aktivitas
(5) Pola eliminasi

2) Data Obyektif

Data objektif diperlukan untuk melengkapi data subyektif dalam


menegakkan diagnosis
(a) Keadaan umum
(1) Kesan Keadaan sakit
(2) Kesadaran
(3) Kesan status gizi

(b) Tanda-tanda vital meliputi :

(1) Denyut jantung


.
(2) Pernafasan
(3) Temperatur

(c) Pemeriksaan Antropometri

Pemeriksaan atropometri meliputi :


(1) Berat badan
(2) Panjang badan

(3) Lingkar kepala

(d) Pemeriksaan sistematis

1) Kulit

2) Kepala

3) Muka
31

4) Mata

Adakah kotoran di mata, konjungtiva merah muda,

sklera putih, kelopak mata tidak cekung, pasien dengan

dermatitis tampak merah muda, kelopak mata tidak cekung

(Priharjo, 2007).

5) Telinga

Adakah cairan atau kotoran, bagaimana keadaan tulang


rawannya (Priharjo, 2007).

6) Hidung

Adakah kotoran yang membuat jalan nafas sesak dan

terganggu (Matondang, 2013).Pasien denganISPA ringan,

hidungnya tersumbat dan berair (Wijayaningsih, 2013).

7) Mulut

Bibir berwarna kemerahan, lidah kemerahan sedangkan

pada pasien dengan ISPA ringan bibir kemerahan (pucat)

(Matondang, 2013).

8) Leher

Adakah pembesaran kalenjar tiroid, kalenjar limfe dan


kalenjar gondok (Priharjo, 2007).

9) Dada

Adakah retraksi pada dada atau tidak, simetris atau


tidak(Priharjo, 2007).
32

10) Perut

Untuk menilai perut kembung atau tidak, turgornya baik

atau buruk, pasien dengan ISPA ringan biasanya tidak

kembung.(Matondang, 2013).

11) Ekstremitas

Berbagai kelainan congenital dapat terjadi pada ekstremitas

superior maupun inferior, diantaranya Amelia (tidak

terdapatnya semua anggota gerak), ekstromelia (tidak ada

salah satu anggota gerak), fokomelia (anggota gerak bagian

proksimal yang pendek), sindaktili (bergabungnya jari-jari),

atau polidaktili (jumlah jari lebih dari normal) (Matondang,

2013).

(e) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan

di luar pemeriksaan fisis. Pemeriksaan penunjang dimaksudkan

untuk alat diagnostik, petunjuk tata laksana, dan petunjuk


prognosis (Matondang, 2013).Pada kasus ISPA ringan, tidak
dilakukan pemeriksaan penunjang (Somantri, 2007).

b. Langkah II : Interpretasi data dasar

Interpretasi data dasar dilakukan dengan mengidentifikasi data

secara benar terhadap diagnosa atau masalah kebutuhan pasien (Sari,

2012). Pada langkah ini data yang telah dikumpulkan diinterpretasikan

menjadi diagnosa kebidanan, masalah, dan kebutuhan.

1) Diagnosa kebidanan

Diagnosa kebidanan adalah pengolahan atau analisa data yaitu

menggabungkan dan menghubungkan data satu dengan lainnya

sehingga tergambar fakta. Diagnosa untuk anak dengan ISPA

ringan adalah sebagai berikut (Hidayat dan Sujiyatini, 2010):

An. … umur .... jenis kelamin .... dengan ISPA


ringan Data dasar :

a) Data subjektif (Hidayat dan Sujiyatini, 2010):

(1) Ibu mengatakan anaknya berumur ….

(2) Ibu mengatakan balitanya berjenis kelamin ….

(3) Ibu mengatakan balitanya batuk dan hidungnya tersumbat


sejak … hari yang lalu.
34

b) Data objektif (Hidayat dan Sujiyatini, 2010):

(1) Keadaan umum : Baik

(2) Kesadaran : Composmentis

(3) TTV : S: °C, R : x/menit, N : x/menit.

2) Masalah

Permasalahan yang muncul berdasarkan pernyataan pasien

berdasarkan data dasar yang berupa data subyektif dan data

obyektif (Ambarwati dan Wulandari, 2010). Permasalahan yang

terjadi pada ISPA ringan adalah anak rewel dan susah tidur

(Wijayaningsih, 2013).

3) Kebutuhan

Kebutuhan disesuaikan dengan kebutuhan pasien saat itu

(Wildan dan Hidayat, 2011).Kebutuhan untuk pasien ISPA

adalah mengusahakan pernafasan normal, menurunkan suhu dengan

pemberian ibuprofen, istirahat yang cukup, dan pemenuhan nutrisi

(Hartono dan Rahmawati, 2012).

c. Langkah III : Diagnosa Potensial

Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial yang mungkin

akan terjadi.Pada langkah ini diidentifikasikan masalah atau diagnosa

potensial berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa, hal ini

membutuhkan antisipasi, pencegahan, bila memungkinkan


35

menunggu mengamati dan bersiap-siap apabila hal tersebut benar-


benar terjadi (Ambarwati dan Wulandari, 2010).

Diagnosa potensial yang dapat muncul pada bayi dengan ISPA

ringan adalah potensial terjadi ISPA sedang, berat atau bahkan

pneumonia (Kemkes, 2009).

d. Langkah IV : Antisipasi

Langkah ini memerlukan kesinambungan dari manajemen

kebidanan. Identifikasi dan menetapkan perlunya tindakan segera oleh

bidan atau dokter dan atau untuk dikonsultasikan atau ditangani

bersama dengan anggota tim kesehatan lain sesuai dengan kondisi

pasien (Ambarwati dan Wulandari, 2010).

Antisipasi yang dilakukan agar ISPA ringan tidak semakin

parah dapat dilakukan dengan pemberian vaksin ulangan influenza dan

pneumonia (Somantri, 2007).

e. Langkah V : Rencana tindakan

Langkah-langkah ini ditentukan oleh langkah-langkah

sebelumnya yang merupakan lanjutan dari masalah atau diagnosa yang

telah diidentifikasi atau diantisipasi. Rencana asuhan yang menyeluruh

tidak hanya meliputi apa yang sudah dilihat dari kondisi pasien atau

dari setiap masalah yang berkaitan (Ambarwati dan Wulandari, 2010).


36

Perencanaan yang dilakukan untuk penanganan ISPA ringan

dapat dilakukan dengan (Hartono dan Rahmawati, 2012):

1) Usahakan pernafasan normal pada anak

2) Berikan istirahat yang cukup

3) Buat anak menjadi nyaman

4) Lakukan pencegahan penyebaran infeksi, untuk anak yang batuk

bisa dengan diminta menggunakan masker

5) Turunkan suhu anak menjadi normal

6) Berikan nutrisi yang cukup

f. Langkah VI : Pelaksanaan

Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan dari semua rencana

sebelumnya, baik terhadap masalah pasien ataupun diagnosis yang

ditegakkan (Wildan dan Hidayat, 2011).Pelaksanaan asuhan pada

balita dengan ISPA ringan disesuaikan dengan rencana tindakan.

Pelaksanaan penanganan ISPA ringan dilakukan sesuai dengan


perencanaan (Hartono dan Rahmawati, 2012) yaitu:

1) Mengusahakan pernafasan normal pada anak

2) Memberikan istirahat yang cukup

3) Membuat anak menjadi nyaman

4) Melakukan pencegahan penyebaran infeksi, untuk anak yang batuk


diminta menggunakan masker.
37

5) Menurunkan suhu anak menjadi normal

6) Memberikan nutrisi yang

cukup g. Langkah VII : Evaluasi

Merupakan tahap terakhir dalam manajemen kebidanan, yakni

dengan melakukan evaluasi dari perencanaan maupun pelaksanaan

yang dilakukan bidan (Wildan dan Hidayat, 2011). Hasil yang

diharapkan setelah melakukan asuhan kebidanan pada balita sakit

dengan ISPA ringan adalah (Hartono dan Rahmawati, 2012):

1) Pernafasan anak dalam batas normal

2) Anak istirahat dan tidur yang nyenyak

3. Data perkembangan

Menurut Rismalinda (2014), metode pendokumentasian yang

digunakan dalam asuhan kebidanan pada balita dengan ISPA ringan adalah

SOAP, adalah sebagai berikut:

S : Subjektif

Data yang berhubungan/masalah dari sudut pandang pasien.

Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan keluhan yang dicatat

sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang akan berhubungan

langsung dengan diagnosis (Rismalinda, 2014).

O : Objektif

Data obyektif hasil observasi yang jujur, hasil pemeriksaan fisik

pasien, pemeriksaan laboratorium/pemeriksaan diagnostik lain

(Rismalinda, 2014).
38

A : Assesment

Merupakan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi dari


data subyektif dan obyektif (Rismalinda, 2014).

P : Planning

Planning adalah membuat rencana asuhan saat ini dan akan datang

untuk mengusahakan tercapainya kondisi pasien yang sebaik

mungkin atau menjaga/mempertahankan kesejahteraannya

(Rismalinda, 2014).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang penulis dapatkan dalam studi kasus dan

pembahasan pada asuhan kebidanan pada An. A umur 1 tahun dengan ISPA

ringan di BPS Ngudi Waras Jabung Plupuh Sragen maka penulis mengambil

kesimpulan :

1. Pengkajian pasien ISPA ringan dengan melibatkan ibu dan keluarga serta

diperlukan pengkajian yang teliti pada daerah yang berhubungan

langsung dengan saluran pernapasan atas yaitu pada daerah hidung,

tenggorokan, dan dada.

2. Pada langkah interprestasi data untuk menentukan diagnosa, masalah,

dan kebutuhan diperlukan data yang cukup mendukung yaitu data dasar

yang terdiri dari data subyektif dan data obyektif. Sehingga diagnosa

kebidanan yang didapatkan adalah adalah An. A umur 1 tahun jenis

kelamin perempuan dengan ISPA ringan, masalah yang muncul adalah

anak menjadi rewel dan susah tidur, dan kebutuhan pada kasus ini adalah

menganjurkan ibu untuk menenangkan anaknya sehingga tidak

bertambah rewel dan bisa beristirahat lebih lama.

3. Diagnosa potensial pada kasus balita sakit dengan ISPA ringan yaitu

potensial terjadi kekambuhan ISPA sedang atau berat, tetapi pada kasus ini

74
75

tidak terjadi karena An. A telah mendapatkan perawatan dan penanganan


yang baik dari tenaga kesehatan dan orang tua pasien.

4. Antisipasi yang dilakukan untuk menangani diagnosa potensial pada balita

sakit dengan ISPA ringan adalah dengan memberikan terapi amox syrup3x1

sehari 1 sendok teh dan peacedine syrup 3x1 sehari 1 sendok teh.

5. Perencanaan dilakukan dengan memberikan anjuran kepada ibu untuk

memberikan terapi obat dan ditekankan untuk memberikan nutrisi yang

cukup pada pasien.

6. Pelaksanaan tindakan asuhan kebidanan pada An. A dengan ISPA ringan

dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan perencanaan yang telah

disusun dan mendapatkan hasil yang maksimal karena adanya dukungan

keluarga.

7. Evaluasi dilakukan selama satu minggu dari 7-15 Mei 2015 sehingga

memastikan bahwa pasien sembuh, dan ibu tetap memberikan nutrisi

yang baik bagi anaknya.

8. Ada kesenjangan antara teori dan praktek, namun tidak terlalu signifikan

misalnya pada pemeriksaan sistematis dan antisipasi yang menggunakan

terapi obat bukan pemberian vaksin influenza.


76

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis akan menyampaikan


beberapa saran yang bermanfaat :

1. Bagi Profesi

Di harapkan untuk tenaga kesehatan terutama bidan untuk lebih

meningkatkan pemberian penyuluhan tenntang perawatan pada balita

sakit dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) agar balita dapat

terhindar dari masalah yang berpotensi terjadi.

2. Bagi Ibu dan Keluarga

Ibu dan keluarga diharapkan dapat mengenali tanda – tanda gejala ISPA

yang muncul dengan membaca buku atau mencari informasi melalui

media seperti internet agar keluarga dapat mengantisipasi, sehingga

tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut.

3. Bagi Institusi

a. BPS

Diharapkan agar BPS untuk tetap menjaga dan meningkatkan mutu

dan kualitas pelayanan dalam memberikan asuhan kebidanan yang

optimal pada balita sakit dengan infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) Ringan.

b. Pendidikan / Institusi

Diharapkan agar lebih melengkapi / menambah referensi terbaru


tentang ISPA ringan.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, E.R., dan D. Wulandari. 2010. Asuhan Kebidanan Nifas.


Yogyakarta: Nuha Medika.
BPOM RI. 2013. Informasi tentang Infeksi Saluran Pernafasan.
http://www.pom.go.id/pom/publikasi/artikel/artikel02.html diakses 30
November 2014
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Dinkes Jateng. 2012. Capaian Kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2008-2012. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Elyana dan candra. 2009. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi
Balita.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=72033&val
=1248 diakses tanggal 10 Desember 2014.
Hartono, R. dan D. Rahmawati. 2012. ISPA: Gangguan Pernafasan pada Anak,
Panduan bagi Tenaga Kesehatan dan Umum. Yogyakarta: Nuha Medika.
Hidayat, AA. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis
Data.Surabaya : Salemba.
Ika Kunti Rini. 2014. Asuhan Kebidanan Balita Sakit pada Anak I Umur 15
Bulan dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Ringan di BPS
Margi Lestari Kabupaten Sragen. Surakarta: STIkes Kusuma Husada.
Kementrian Kesehatan RI. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
149/Menkes/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional RI. 2004. Indonesia. Laporan
Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium
Development Goals). Jakarta: Bappenas.

Anda mungkin juga menyukai