Makalah Manajemen Keuangan Lanjutan Kelompok 4

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN


MANAJEMEN RESIKO PERUSAHAAN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
A MUH REZA MULYAWAN

PROFESI AKUNTANSI (PPAK)


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2024
BAB I

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manajemen risiko merupakan salah satu elemen penting dalam

menjalankan bisnis perusahaan karena semakin berkembangnya dunia

perusahaan serta meningkatnya kompleksitas aktivitas perusahaan

mengakibatkan meningkatnya tingkat risiko yang dihadapi perusahaan.

Sasaran utama dari implementasi manajemen risiko adalah melindungi

perusahaan terhadap kerugian yang mungkin timbul. Lembaga perusahaan

mengelola risiko dengan menyeimbangkan antara strategi bisnis dengan

pengelolaan risikonya sehingga perusahaan akan mendapatkan hasil

optimal dari operasionalnya.

Kita harus bisa menemukan kerugian potensial yang mungkin terjadi

dan mencari cara untuk menangani risiko tersebut. Dunia bisnis pun tak

luput dari ketidakpastian. Ketidakpastian dalam dunia bisnis akan

menyebabkan terjadinya risiko bisnis. Perusahaan merencanakan untuk

menggencarkan promosi produknya dengan harapan penjualanya dapat

meningkat. Dengan analisis yang mendalam diperkirakan penjualan setelah

adanya promosi besar-besaran tersebut dapat meningkat sebanyak 20%.

Tetapi kenyataanya penjualan hanya dapat meningkat 10%. Ini merupakan

salah satu bentuk risiko yang terjadi dalam dunia bisnis. Risiko dalam bisnis

tidak bisa diabaikan begitu saja. Perusahaan perlu menganalisis

kemungkinan kerugian potensi dalam bisnisnya tersebut kemudian

2
mengevaluasi dan mencari cara untuk menanggulanginya. Dengan

demikian diharapkan bisnis yang dijalaninya dapat sukses meraih tujuan

dengan mudah. Risiko merupakan sesuatu yang pasti akan terjadi ketika kita

melakukan suatu tindakan. Risiko adalah berbagai kemungkinan yang

terjadi pada periode tertentu. Risiko sering dikaitkan dengan kerugian. Jadi

risiko adalah ketidakpastian yang mungkin melahirkan kerugian atau

peluang terjadi sesuatu yang bad outcame.

Setiap organisasi perusahaan selalu menanggung risiko. Risiko,

bisnis, kecelakaan kerja, bencana alam, perampokan, dan pencurian,

kebangkrutan adalah beberapa contoh dari risiko yang lazim terjadi di

berbagai perusahaan. Terutama perusahaan yang tidak melakukan tindakan

apa-apa, bahkan tindakan preventif pun tidak dilakukan. Perusahaan ini

tidak melakukan tindakan untuk pencegahan risiko yang akan timbul

nantinya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Risiko dan manajemen risiko

Risiko merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, ada

pepatah mengatakan tak ada hidup tanpa risiko. Risiko dapat ditafsirkan sebagai

bentuk ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future)

dengan keputusan yang diambil berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat ini.

Pada dasarnya risiko tidak dapat dihindari dari aktivitas bisnis perusahaan,

sehingga diperlukan manajemen risiko untuk mengatasi permasalahan ini. Manfaat

perusahaan mengimplementasikan manajemen risiko antara lain (Lam, 2007:6)

memberikan peran dalam pengelolaan risiko kepada manajer perusahaan,

mengingat manajer perusahaan memiliki akses penuh terhadap informasi dan

dukungan dari para profesional manajemen risiko.

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia menyebutkan bahwa manajemen resiko

adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian

yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia

termasuk: penilaian resiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan

mitigasi resiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumber

daya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan resiko kepada

pihak lain, menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menampung

sebagian atau semua konsekuensi resiko tertentu. Manajemen resiko tradisional

4
terfokus pada resiko- resiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti

bencana alam atau kebakaran, kematian, dan tuntutan hukum).

Menurut Vibiznews.com, manajemen resiko adalah suatu proses

mengidentifikasi, mengukur resiko, serta membentuk strategi untuk mengelolanya

melalui sumber daya yang tersedia. Strategi yang dapat digunakan antara lain

mentransfer resiko pada pihak lain, menghindari resiko, mengurangi efek buruk

dari resiko dan menerima sebagian maupun seluruh konsekuensi dari resiko

tertentu.Sedangkan menurut COSO, manajemen resiko (risk management) dapat

diartikan sebagai “a process, effected by an entity’s board of directors, management

and other personnel, applied in strategy setting and across the enterprise, designed

to identify potential events that may affect the entity, manage risk to be within its

risk appetite, and provide reasonable assurance regarding the achievement of entity

objectives.

Manajemen resiko adalah bagian penting dari strategi manajemen semua

perusahaan. Proses di mana suatu organisasi yang sesuai metodenya dapat

menunjukkan resiko yang terjadi pada suatu aktivitas menuju keberhasilan di dalam

masing-masing aktivitas dari semua aktivitas. Fokus dari manajemen resiko yang

baik adalah identifikasi dan cara mengatasi resiko. Sasarannya untuk menambah

nilai maksimum berkesinambungan (sustainable) organisasi. Tujuan utama untuk

memahami potensi upside dan downside dari semua faktor yang dapat memberikan

dampak bagi organisasi. Manajemen resiko meningkatkan kemungkinan sukses,

mengurangi kemungkinan kegagalan dan ketidakpastian dalam memimpin

5
keseluruhan sasaran organisasi.Manajemen resiko seharusnya bersifat

berkelanjutan dan mengembangkan proses yang bekerja dalam keseluruhan strategi

organisasi dan strategi dalam mengimplementasikan. Manajemen resiko

seharusnya ditujukan untuk menanggulangi suatu permasalahan sesuai dengan

metode yang digunakan dalam melaksanakan aktifitas dalam suatu organisasi di

masa lalu, masa kini dan masa depan.Manajemen resiko harus diintegrasikan dalam

budaya organisasi dengan kebijaksanaan yang efektif dan diprogram untuk

dipimpin beberapa manajemen senior. Manajemen resiko harus diterjemahkan

sebagai suatu strategi dalam teknis dan sasaran operasional, pemberian tugas dan

tanggung jawab serta kemampuan merespon secara menyeluruh pada suatu

organisasi, di mana setiap manajer dan pekerja memandang manajemen resiko

sebagai bagian dari deskripsi kerja. Manajemen resiko mendukung akuntabilitas

(keterbukaan), kinerja pengukuran dan reward, mempromosikan efisiensi

operasional dari semua tingkatan.

2.2Pengertian Risiko Operational.

Risiko operational merupakan risiko yang umumnya bersumber dari

masalah internal perusahaan, dimana risiko tersebut terjadi disebabkan oleh

lamanya sistem kontrol manajemen (management controlsystem). Yang dilakukan

oleh pihak internal perusahaan. Misalnya risiko operational adalah risiko pada

komputer karena telah terserang virus, kerusakan maintenance pabrik, kecelakaan

kerja, kesalahan dalam pencatatan pembelian barang dan tidak adanya kesepakatan

bahwa barang yan dibeli dapat ditukar kembali dan sebagainya.

6
Risiko operasonal dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung

maupun tidak langsung dan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan

memperoleh keuntungan. Risiko ini merupakan risiko yang melekat (inherent) pada

setiap aktivitas fungsional Bank, seperti kegiatan perkreditan (penyediaan dana),

tresuri dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan, pendanaan

dan instrumen utang, teknologi sistem informasi dan sistem informasi manajemen,

dan pengelolaan sumber daya manusia.Risiko operasional bukanlah hal baru

walaupun disadari merupakan risiko yang paling akhir terdefinisikan dalam Basel

II.

Definisi risiko operasional dalam Basel II adalah termasuk risiko hukum,

namun tidak mencakup risiko bisnis, strategis dan reputasi.Menurut

(Mamduh:2009) risiko operational merupakan tipe risiko yang paling tua, tetapi yan

paling sedikit dipahami dibandingkan dengan tipe risiko lainnya. (misalkan risiko

pasar ataupun risiko tingkat bunga). Perusahaan sudah mengenali risiko operational

meskipun dengan nama yang berbeda. Sebagai contoh perusahana selalu berusaha

memperbaiki sistem, prosedur, atau proses bisnis melalui manajemen kualitas,

perusahaan memberikan training kepada karyawannya agar mereka semakin

terlatih dan semakin sedikit membuat kesalahan. Dalam konteks manajemen risiko,

upaya terseut dipandag sebagai upaya untuk mengelola atau menurunkan risiko

operational.

7
2.3 Pengukuran risiko operational

Salah satu teknik untuk mengukur resiko operasional adalah dengan

menggunakan dua klasifikasi, yaitu:

1. Frekuensi atau probabilitas terjadinya resiko.

2. Tingkat keseriusan kerugian atau impact dari resiko tersebut.

Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, kita bisa membuat matriks

frekuensi/tingkat untuk resiko-resiko yang ada, termasuk resiko operasional.

Berikut contoh aplikasi matriks termasuk untuk gagal bayar dan kesalahan

pemrosesan transaksi.

Severity

B Gagal bayar

A Kesalahan pemrosesan

Frequency

Bagan diatas menunjukkan bagan metriks dengan dimensi frekuensi di

sumbu horizontal dan dimensi severity pada sumbu vertical. Resiko-resiko bisa

diklasifikasi berdasarkan dimensi-dimensi tersebut. Misalnya, resiko gagal bayar

dari debitur perusahaan besar biasanya jarang terjadi. Karena itu resiko itu

diklasifikasi sebagai dengan frekuensi rendah. Tetapi jika terjadi, kerugian yang

8
timbul bisa sangat besar. Karena itu resiko tersebut diklasifikasi dengan severity

tinggi. Gabungan antara frekuensi rendah dengan severity tinggi terlihat pada titik

B pada bagan diatas. Sebaliknya, kesalahan pemrosesan atau kesalahan pencatatan

transaksi akan sering terjadi (apalagi jika proses pencatatan masih secara manual).

Tetapi tingkat severity dari kesalahan tersebut tidak terlalu tinggi. Karena itu

kesalahan pemrosesan berada pada titik A. dengan proses semacam itu, kita bisa

memperoleh gambaran mengenai frekuensi dan severity dari suatu resiko, yang

selanjutnya mempunyai implikasi pada bagaimana mengelola resiko tersebut.

Sebagai contoh, berikut ini strategi menghadapi resiko berdasarkan metrics

severity/frequency.

Risk Map

i 10
Quadrant II Quadrant I
g 9
(Detect and Monitor) (Prevent at Source)
n High 8

i 7

f 6

i 5
Quadrant IV Quadrant III
c 4
(Low Control) (Monitor)
a Low 3

n 2

c 1

e 2 3 4 5

9
Low High

Likelihood

Perhatikan bahwa matriks likelihood (frekuensi) dan significance (severity)

dikelompokan dalam empat kuadran, yaitu:

1. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah

2. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah

3. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi

4. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi

Penentuan tinggi rendah severity atau frekuensi bisa dilakukan melalui

beberapa cara. Misalnya severity atau frekuensi yang lebih besar dibandingkan

dengan median atau rata-rata dari resiko yang ada (dalam daftar) dikelompokkan

kedalam severity atau frekuensi tinggi, dan sebaliknya. Penentuan tinggi rendah

tersebut dapat dilakukan melalui perhitungan angka absolute atau bias melalui

survey terhadap menajer-manajer perusahaan. Melalui pertanyaan-pertanyaan

seperti itu teridentifikasi letak masing-masing resiko berdasarkan dimensi

signifikansi dan kemungkinan. Selanjutnya, strategi yang tepat bisa dirumuskan

untuk mengelola resiko tersebut.

• Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah: low

control.

Perusahaan dapat menerapkan pengawasan yang rendah terhadap resiko pada

kategori ini. Pengawasan yang terlalu berlebihan pada jenis resiko ini akan

10
menimbulkan biaya yang lebih besar dibandingkan manfaatnya, sehingga akan

lebih optimal jika perusahaan tidak melakukan pengawasan yang berlebihan.

• Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah: detect and

monitor.

Tipe resiko seperti ini lebih menantang untuk dihadapi. Jika resiko seperti ini

muncul, perusahaan bisa mengalami kerugian yang cukup besar, dan barang kali

dapat mengakibatkan kebangkrutan. Tetapi frekuensi resiko tersebut relative

jarang, sehingga tidak mudah ditemui atau dikenali oleh perusahaan. Karena itu

resiko tipe ini paling sulit dipahami karakteristiknya, dan sulit diprediksi kapan

datangnya. Misalnya, Baring gagal melakukan pengawasan terhadap trading yang

diluar batas oleh salah seorang tradernya, kemudian terjadi kerugian yang

mengakibatkan kebangkrutan perusahaan tersbut. Frekuensi resiko semacam ini

relative jarang ditemui.

• Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi: Monitor.

Tipe resiko semacam ini seringkali muncul tapi besarnya kerugian relative kecil.

Biasanya resiko semacam ini muncul sebagai akibat perusahaan menjalankan

bisnisnya. Dengan kata lain, resiko semacam ini merupakan konsekuensi

perusahaan menjalankan bisnisnya. Misalnya, untuk perusahaan supermarket, ada

resiko shoplifting (pencurian oleh pembeli), pencurian oleh karyawan, barang

dagangan rusak karena busuk atau karena botol pecah, resiko semacam ini lebih

mudah dikenali, dan perusahaan bisa menghitung resiko tersebut. Kemudian

perusahaan bisa menganggapnya sebagai biaya dari kegiatan bisnis, dan perusahaan

bisa memasukannya dalam komponen harga. Kebanyakan perusahaan memasukan

11
biaya seperti itu ke dalam struktur harga mereka. Perusahaan bisa memonitor

resiko-resiko tersebut untuk memastikan bahwa resiko tersebut masih berada pada

wilayah normal. Jika resiko tersebut bergerak melebihi batas tertentu, maka

perusahaan perlu melakukan tindakan untuk menangani resiko tersebut. Misalnya,

jika frekuensi pencurian oleh pembeli supermarket menunjukkan kecenderungan

menin gkat maka manajer perlu melakukan perbaikan. Perbaikan-perbaikan

tersebut pada intinya memperbaiki prosedur dan proses bisnis. Misalnya, pada

kasus pencurian diatas, manajer supermarket bisa meminta pembeli untuk

meninggalkan tas, memasang supermarket di supermarket, memasang barcode pada

setiap produk yang dipajang (sehingga jika tidak di lepas dan melewati tiang

scanner akan berbunyi).

• Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi: prevent at

source.

Tipe resiko seperti ini tidak releven lagi dibicarakan, karena jika situasi semacam

ini terjadi, berarti perusahaan tidak lagi bisa mengendalikan resiko, dan bisa

berakibat pada kebangkrutan. Misalnya, jika perusahaan tidak bisa mengendalikan

penggelapan uang dengan jumlah besar oleh karyawannya (tipe resiko ini berada

dalam kuadran frekuensi rendah/signifikansi tinggi), maka ada kemungkinan resiko

ini berubah menuju kuadran frekuensi tinggi/signifikansi tinggi). Jika hal ini terjadi,

maka perusahaan praktis akan bangkrut dalam waktu singkat. Dengan perspektif

semacam ini, maka tugas manajemen resiko adalah mencegahnya migrasi resiko-

resiko yang ada ke dalam kuadran frekuensi tinggi/signifikansi tinggi.

12
S Tinggi
Wilayah 1
E
Wilayah 2
V

E Wilayah 3

T
Wilayah 4
Y Rendah

Rendah Tinggi

Frequency

Strategi untuk menghadapi resiko di wilayah-wilayah tersebut sebagai

berikut:

Wilayah 1. Severity tinggi dan frekuensi tinggi: Immediate Action

Untuk wilayah ini, perusahaan haruas melakukan penanganan yang

agresif dan segera (Immediate Action).

Wilayah 2: Severity tinggi dan frekuensi agak tinggi: Immediate Attention

Untuk wilayah ini, perusahaan harus mengawasi resiko ini (Immediate

Attention).

Wilayah 3: severity agak tinggi dan frekuensi agak tinggi: Periodic Attention

Untuk wilayah ini, perusahaan harus bisa melakukan pengawasan secara

berkala (periodic attention).

13
Wilayah 4: serity rendah dan frekuensi rendah: Annual Evaluation

Untuk wilayah ini, perusahaan ini bisa lebih longgar, yaitu melakukan

pengawasan dengan jangka waktu panjang, misalnya tathunan. (annual

evaluation).

` aspek dinamika resiko juga perlu diperhatikan. Resiko bisa berubah dari

wilayah 4 ke wilayah lainya, misal ke wilayah 2. Misalnya, resiko tuntutan hokum

barangkali tidak begitu kelihatan di masa lalu. Tetapi dengan semakin sadarnya

masyarakat akan hak dan kewajibanya, resiko tersebut bisa berubah menjadi resiko

yang semakin pentin. Pengukuran resiko oprasional dapat kita lakukan dengan

penempatan tingkatan dari setiap bentuk resiko yang terjadi. Yaitu semakin tinggi

resiko maka semakin tinggi kem ungkinan untuk memperoleh retrun yang di

harapkan, dengan asumsi resiko dan retrun besifat linier.

Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat dalam gambar di bawah ini:

E(R)

IV I

III II Risk (σ)

14
Pada gambar diatas dapat kita pahami bahwa terdapat suatu hubungan kuat

antara expected return / E(R) dan Risk (σ). Dimana setiap titik-titik dan wilayah

tersebut dapat kita jelaskan sebagai berikut:

1. Posisi 1 adalah dimana E(R) berada di posisi tertinggi dan σ juga berada di posisi

yang tertinggi dalam artian semakin tinggi pengharapan pada E(R) maka semakin

tinggi kemungkinan terjadinya σ. Atau dengan kata lain disini kondisi maksimalitas

E(R) bersifat searah (linier) dengan resiko yang akan diterima. Misalnya, pada saat

suatu perusahaan merencanakan untuk menambah kapasitas atau profit perusahaan

akan mengalami peningkatan, namun ini juga berakibat pada terjadinya

peningkatan pada proses produksi untuk mampu meningfkatkan jumlah produksi

per unitnya yaitu jika sebelumnyya perusahaan bisa memproduksi 4.000 unit maka

sekarang harus ditingkatkan menjadi 4.700 unit. Kondisi ini akan menimbulkan

beberapa dampak pada resiko operasional perusahaan seperti:

a. Mesin produksi akan mengalami masa penyusutan dengan cepat karena

dipakai dalam waktu lebih lama dan bersifat mengejar target produksi.

b. Kebutuhan bahan baku yang di butuhkan akan mengalami peningkatan yang

tinggi dan tidak boleh berhenti karena akan mempengaruhi kelancaran

produksi secara tepat waktu.

2. posisi II adalah dimana E( R) berada pada posisi rendah dan σ berada pada posisi

yang tinggi atau dengan kata lain E(R) dan σ bersifat tidak searah (non melakukan

antisipasi dan menetapkan strategi yang maksimal guna menghindari semakin

terjadinya pergerakan terjadinya kenaikan resiko yang lebih tinggi,karena semakin

15
tingginya resiko yang terjadi akan menyebabkan beberapa hal pada perusahaan,

misalnya:

a. Peningkatan kerugin perusahaan akan terus bertambah dan lebih jauh dana

cadangan akan lebih banyak terkuras

b. Jika resiko kerugian ini di biarkan terus menerus maka akan menyebabkan

perusahaan berada dalam kondisi financial distress (kesulitan keuangan).

3. posisi III adalah dimana E(R) berada pada posisi rendah dan σ juga berada pada

posisi yang rendah, atau dengan kata lain E(R) dan σ bersifat searah (linier).

4. pisisi IV adalah dimana E(R) berada pada posisi tinggi dan σ berada pada posisi

yang rendah atau dengan kata lain E(R) dan σ bersifat tidak searah (non linier) pada

kondisi yang seperti ini ada beberapa kondisi dan situasi yang perlu di cermati:

a. Resiko sangat sulit diprediksi tapi jika terjadi mampu menempatkan posisi

perusahaan berada pada titik posisi II

b. Kondisi dan situasi ini terjadi pada saat control resiko (risk control) menjadi

lemah karena perusahaan selama ini terbuai oleh profit yang terus menerus

mengalami kenaikan.

c. Semangat kerja under pressure yang dilakukan oleh pihak manajemen

perusahaan tidak lagi seperti berada pada posisi II, dan ini bisa berdampak

pada penurunan kedisiplinan kerja serta target pekerjaan yang harus

dikerjakan.

2.4 Perubahan Karakteristik Risiko Operational

Setiap risiko bisa berubah karateristiknya dari waktu ke waktu. Misalkan

pada jaman dulu pencatatan transaksi dilakukan secara manual ( karyawan

16
menuliskan harga dan jumlah unit yang diperdagangkan di kertas ), cara tersebut

dapat memunculkan risiko kesalahan pencatatan. Frekuensi kesalahan cukup sering

karena karyawan sering lelah namun biasanya mengakibatkan kerugian yang

relative kecil. Sekarang ini sudah banyak cara manual seperti itu diganti dengan

pencatatan terkomputerisasi dengan demikian frekuensi kesalahan dapat diturunkan

namun akan muncul jenis risiko baru. Apabila terjadi kegagalan atau kelemahan

pada system komputer maka kerugian yang muncul akan sangat besar.

a. Globalisasi

Era globalisasi telah memberi perubahan besar bagi konsep bisnis pada

seluruh sektor bisnis, baik financial maupun non financial, sehingga

menciptakan konsep produk dibuat untuk bisa menampung keinginan

globalisasi tersebut. Karena itu, perusahaan dituntut untuk menerapkan

manajemen yang berbasis konsep global yang secara tidak langsung

mekanisme operational perusahaan juga harus bersifat global.

b. Otomatisasi

Otomatisasi ini menurunkan risiko yang berkaitan dengan manusia

(misal kesalahan dalam pencatatan karena kelelahan). Tetapi

otomatisasi semacam itu memunculkan risiko yang baru yaitu risiko

kegagalan sistem dan semacamnya. Risiko ini cenderung lebih sulit

untuk dideteksi dan jika terjadi maka perusahaan akan mengalami

kerugian yan signifikan.

c. Terlalu mengandalkan teknologi

17
Apabila terlalu mengendalikan teknologi maka akan ada risiko baru

yang akan dialami, walaupun dengan menggunakna teknologi

memudahkan dalam membantu proses bisnis yang akan lebih cepat.

d. Outsourcing

Outsourcing merupakan tren bisnis akhir – akhir ini. Outsourcing berarti

menggunakan jasa pihak luar untuk mengerjakan sebagian dari

pekerjaan perusahaan. Outsourcing dilakukan dengan pertimbangan

efisiensi ( bisa menurunkan biaya ). Jika melakukan pekerjaan sendiri ,

karena sesuatu hal ( misalkan keahlian yang tidak ada atau skala

ekonomi yang kurang ), bagi perusahaan, akan lebih menguntungkan

jika menggunakan jasa dari pihak luar untuk pekerjaan tertentu.

e. Perubahan budaya masyarakat

Masyrakat semakin lama semakin pandai, semakin sadar kan hak dan

kewajibannya. Kesadaran tersebut cenderung meningkatakan risiko

litigasi, dimana masyarakat akan berusaha menuntut apabila merasa

dirugikan. Perubahan budaya masyarakat bisa meningkatkan risiko

gugatan hukum.

2.5 Biaya untuk risiko Operational

Untuk mengatasi risiko operational suatu perusahaan harus membuat analisa

mencakup:

a. Menghitung dan memetakan bentuk risiko yang sedang dan akan

dihadapi

18
b. Memperhitung biaya yang harus dialokasikan menyangkut pengelolaan

risiko

c. Memutuskan pembentukan mekanisme seperti apa yang layak

diterappkan untuk mengelola risiko

d. Memutuskan dari mana sumberdana yang dapat dialokasikan untuk

mendukung penyelesaian operational risk ini

2.6 Just in time

a. Pengertian Just In time

Menurut Henri Simamora dalam bukunya Akuntansi Manajemen,

Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen dimana

segenap sumberdaya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia,

dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk

mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In Time

didasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan dan

mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerjasama dengan

komponen-komponen lainnya. Tenaga kerja langsung dalam lingkungan

Just In Time dipertangguh dengan perluasan tanggung jawab yang

berkontribusi pada pemangkasan pemborosan biaya tenaga kerja, ruang dan

waktu produksi. Metode produksi Just In time mensyaratkan tidak adanya

persediaan bahan baku karena bahan baku dan suku cadang dijadwalkan

untuk sampai ke pabrik dari pemasok hanya pada saat dibutuhkan saja.

Sistem produksi tepat waktu (Just In Time) adalah sistem produksi

atau sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh

19
perusahaan-perusahaan Jepang yang pada prinsipnya hanya memproduksi

jenis-jenis barang yang diminta sejumlah yang diperlukan dan pada saat

dibutuhkan oleh konsumen. Konsep just in time adalah suatu konsep di

mana bahan baku yang digunakan untuk aktifitas produksi didatangkan dari

pemasok atau suplier tepat pada waktu bahan itu dibutuhkan oleh proses

produksi, sehingga akan sangat menghemat bahkan meniadakan biaya

persediaan barang / penyimpanan barang / stocking cost.

Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen

dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang,

personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah

untuk mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In Time

didasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan dan mensyaratkan

setiap bagian proses produksi bekerjasama dengan komponen-komponen

lainnya

2.7 Strategi Dalam Risiko Pengadaan Barang dan Jasa

Berhubungan dengan anggaran pemerintahan dalam sebuah kerja

sama pengadaan barang dan jasa sangat rentan dengan aspek KKN.

Konsekuensinya, akan berbenturan dengan hukum yang berlaku.

Kerentanan tersebut, menjadikan hukum dan aturan yang ditetapkan pun

jadi semakin ketat untuk menghindari segala kemungkinan tindakan KKN.

Nah, bagi Anda yang terlibat dalam usaha pengadaan barang dan jasa

instansi pemerintah tentu harus mengerti seputar aturan, hukum, dan cara

20
mengantisipasinya agar tidak terkena risiko pidana. Bagaimanakah

caranya?

Harus selalu disadari bahwa risiko tindak pidana tidak dapat

dihilangkan. Risiko hanya dapat dikurangi kemungkinan terjadinya dengan

mengimplementasikan strategi yang tepat. Menyuap auditor bukan

merupakan cara menyelesaikan masalah yang tepat. Justru sebaliknya, akan

menambah masalah. Salah satu strateginya ialah melalui metode risk

transfer atau memindahkan risiko kepada pihak atau perusahaan lain.

Penerapannya ialah dengan meminjam bendera perusahaan lain untuk

melaksanakan pengadaan barang/jasa. Bagi pengelola pengadaan barang

dan jasa, strategi risk transfer dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai

berikut.

1. Meminta penjelasan secara tertulis (fatwa) untuk hal-hal yang belum jelas

kepada lembaga yang kompeten dan relevan, misalnya BPK, LKPP,

Mendagri, atau Menkeu. Dengan memiliki penjelasan tertulis, risiko secara

otomatis akan berpindah kepada lembaga yang mengeluarkan fatwa

tersebut.

2. Meminta persetujuan tertulis kepada manajemen atau lembaga yang lebih

tinggi. Praktik ini pernah terjadi pada pengadaan peralatan penyadapan di

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui mekanisme Penunjukan

Langsung. Hal ini dilakukan KPK dengan meminta persetujuan presiden

untuk melaksanakan pengadaannya melalui mekanisme Penunjukan

21
Langsung, tanpa melalui lelang. Pasalnya, jika pagunya di atas 200 juta

rupiah, aturan undang-undangnya mesti melalui sistem lelang. Dengan

demikian, KPK terbebas dari risiko tindak pidana dalam melaksanakan

pengadaan peralatan penyadapan melalui mekanisme Penunjukan Langsung

tersebut.

Secara lebih lengkapnya lagi mengenai mekanisme, aturan, dan

strategi pengadaan barang dan jasa ini akan dijelaskan dalam buku Aman

dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Buku ini ditulis

oleh Suswinarno Ak., MM untuk memberikan pemahaman yang baik dan

tepat tentang manajemen risiko pengadaan barang dan jasa pemerintah agar

bisa mengantisipasinya. Buku terbitan VisiMedia ini dibagi ke dalam enam

penjelasan pokok, yaitu mulai dari manajemen risiko, proses manajemen,

identifikasi risiko pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, mengukur

risiko tindak pidana pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, strategi

mengantisipasi risiko pidana, hingga tip dan trik menghadapi audit dan

auditor.

2.8 Resiko Pengadaan

Dalam opini mendefinisikan barang dan jasa, kuantitas, kualitas,

waktu, tempat dan harga akan menentukan seberapa kompleks proses yang

harus dilakukan dalam mendapatkan barang dan jasa. Seperti yang

diutarakan Samsul, mana yang lebih kompleks mengukur benda atau

tindakan? Jawabannya adalah lebih mudah mengukur benda ketimbang

mengukur tindakan. Karena benda sifatnya tangible (berwujud) sedangkan

22
tindakan sifatnya intangible (tidak berwujud). Dengan kerangka pikir diatas

tentu lebih sederhana mendapatkan barang dibanding mendapatkan jasa.

Kerangka berpikir ini juga akan membawa kita pada rantai logika yang sama

ketika dihadapkan pada kompleksitas barang/jasa versus penyedia. Skala

kompleksitas menilai barang/jasa tentu lebih sederhana dibanding menilai

penyedianya. Mengkompetisikan banyak penyedia yang mampu

menyediakan barang adalah cara yang paling tepat.

Dalam mengenal karakteristik penyedia, penting juga untuk

mengenal Krajilc Box Method yang memposisikan barang/jasa kedalam

empat kotak berdasarkan karakteristik barang/jasa dikaitkan dengan potensi

resiko dan potensi nilai belanja. Karakteristik ini dapat dijadikan peta dalam

pengambilan keputusan penetapan metode pengadaan dikaitkan dengan

skala kompleksitas.

Barang/jasa Laverage mempunyai karakteristik resiko kecil tapi

nilai pembelian tinggi yang diutamakan adalah memaksimalkan

penghematan. Contoh: laptop berada pada pasar persaingan sempurna

dimana jumlah penyedia dan jumlah barang baik jenis maupun kuantitas

tersedia di pasar secara luas dan banyak sehingga faktor yang jadi

pertimbangan hanyalah harga yang terendah.

Barang/jasa Routine adalah barang resiko rendah dengan nilai

pembelian yang rendah yang diutamakan adalah meminimalkan waktu dan

sumber daya. Contoh: alat tulis kantor, pasti diperlukan setiap tahun dalam

23
jumlah yang kecil dan terpecah-pecah dalam item-item kemudian dari sisi

barang dan penyedia tersedia luas.

Barang/Jasa Bottleneck mempunyai karakteristik resiko tinggi tapi

nilai pembelian rendah fokus kepada jaminan pasokan agar tidak terhenti.

Kontrak jangka panjang dengan eskalasi terpantau dan dinegosiasikan

secara berkala. Contoh : obat-obatan, bersifat urgen dalam artian kalau tidak

tersedia dalam waktu yang dibutuhkan akan mengakibatkan hambatan pada

organisasi, spesifikasi khusus dan jumlah penyedia terbatas. Nilai

pembelian terbatas dan terbagi atas item-item kecil.

Barang/jasa Critical mempunyai karakteristik resiko tinggi dan

dengan nilai pembelian yang tinggi memperhitungkan semua biaya

langsung maupun tidak langsung dan maksimalisasi pencapaian Nilai

Manfaat Uang (Value for Money). Contoh: Mesin Pembangkit Tenaga

Listrik dari sisi spesifikasi sangat khusus, jumlah penyedia terbatas, bersifat

urgen dan nilai pembelian tinggi.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah dikenal beberapa metode pemilihan pada penyedia

barang/jasa. Pengadaan barang, jasa lainnya, dan pekerjaan konstruksi,

terdapat beberapa metode, yakni pelelangan umum, pelelangan terbatas,

pemilihan langsung, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung; untuk

pengadaan jasa konsultan terdapat beberapa metode, yakni seleksi umum,

seleksi sederhana, penunjukan langsung, pengadaan langsung, dan

24
sayembara. Metode-metode tersebut dilakukan dengan langkah-langkah

yang cukup rumit dan multitafsir. Pusing bukan. Cukup sudah.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Risiko Operasional merupakan risiko yang umumnya bersumber dari

masalah internal perusahaan, dimana risiko itu terjadi disebabkan oleh lemahnya

sistem kontrol manajemen (management contro sytem) yang dilakukan oleh pihak

internal perusahan.

Untuk menghitung kerugian yang diharapkan jika risiko tertentu muncul

dapat menggunakan kerangka probabilitas ( frekuensi ) dan severity. Rumusnya

adalah: Kerugian yang diharapkan = frekuensi ( probabilitas ) x severity ( besarnya

kerugian )

Ada beberapa factor yang mampu memberi pengaruh pada terbentuknya

resiko operasional, yaitu: risiko pada computer, kerusakan peralatan pabrik,

kecelakaan kerja, kesalahan dalam pembukuan secara manual, kesalahan pembelian

dan tidak ada kesepakatan bahwa barang yang dibeli dapat ditukar kembali,

pegawai outsourcing, globalisasi dalam konsep dan produk.

Factor yang menyebabkan perubahan karateristik resiko operasional, yaitu:

globalisasi, otomatisasi, Terlalu Mengandalkan Teknologi, Outsourcing, Perubahan

Budaya Masyarakat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Muhammad. 2007. Manajemen Resiko Operasional-Teori & Praktek,

Jakarta: Sinar Grafika Offset, PT. Bumi Aksara.

Sucipto, Agus. Manajemen Resiko, Malang

http://visimediapustaka.com/artikel-buku/323-strategi-antisipasi-risiko-pidana-

pengadaan-barang-dan-jasa

http://nurulazizaheducation.blogspot.com/2011/03/menejemen-risiko.html

http://gaharuchromeblogspot.wordpress.com/2010/07/19/makalah-manajemen-

resiko/

file:///C:/Users/USER/Downloads/Manajemen%20risiko%20-

%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm

27

Anda mungkin juga menyukai