Manajemen Pembiayaan Bank Syariah Dr. Ahmadiono Download PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 59

Full download test bank at ebook ebookstep.

com

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah Dr.


Ahmadiono

DOWLOAD EBOOK
OR CLICK LINK

http://ebookstep.com/product/manajemen-pembiayaan-
bank-syariah-dr-ahmadiono/

Go to download the full and correct Download More ebooks [PDF].


content document Format PDF ebook download PDF
https://ebookstep.com KINDLE
More products digital (pdf, epub, mobi) instant
download maybe you interests ...

Manajemen Perbankan: Bank Umum Konvensional & Bank Umum


Syariah Dr. Ir. Hadi Purnomo

https://ebookstep.com/product/manajemen-perbankan-bank-umum-
konvensional-bank-umum-syariah-dr-ir-hadi-purnomo/

Manajemen Bank Syariah Implementasi Teori dan Praktek


Andrianto

https://ebookstep.com/product/manajemen-bank-syariah-
implementasi-teori-dan-praktek-andrianto/

Loyalitas Nasabah Bank Syariah Dr. Naufal Bachri

https://ebookstep.com/product/loyalitas-nasabah-bank-syariah-dr-
naufal-bachri/

Manajemen Risiko dan Sistem Penilaian Kesehatan Bank


Teori dan Penerapannya pada Perbankan Syariah Dr.
Harjoni

https://ebookstep.com/product/manajemen-risiko-dan-sistem-
penilaian-kesehatan-bank-teori-dan-penerapannya-pada-perbankan-
syariah-dr-harjoni/
Kredibilitas Bank Syariah Perilaku Nasabah Dr. Naufal
Bachri

https://ebookstep.com/product/kredibilitas-bank-syariah-perilaku-
nasabah-dr-naufal-bachri/

Ekonomi Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah Non Bank


Prof. Dr. Muslimin Kara

https://ebookstep.com/product/ekonomi-syariah-dan-lembaga-
keuangan-syariah-non-bank-prof-dr-muslimin-kara/

Risiko dan Mitigasi Bank Syariah Dr. Binti Nur Asiyah

https://ebookstep.com/product/risiko-dan-mitigasi-bank-syariah-
dr-binti-nur-asiyah/

Perilaku Nasabah Bank Syariah dalam Menggadaikan Emas


Dr. Naufal Bachri

https://ebookstep.com/product/perilaku-nasabah-bank-syariah-
dalam-menggadaikan-emas-dr-naufal-bachri/

Etika Bisnis Syariah Bank Koperasi dan BMT Dr. Abdullah


Fathoni

https://ebookstep.com/product/etika-bisnis-syariah-bank-koperasi-
dan-bmt-dr-abdullah-fathoni/
Dr. Ahmadiono, M.E.I
MANAJEMEN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
Hakpenerbitan
Hak penerbitanadaada pada
pada UINIAIN
KHASJember
JemberPress
Press
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Penulis:
Ahmadiono,
Dr. Ahmadiono,M.E.I
M.E.I
Editor:
Mahmudah, S.Ag.,M.E.I
Dr. Mahmudah, M.E.I
Layout:
Imam Ashari
Cetakan I:
NOVEMBER 2015
November 2021

Foto Cover:
Internet
Penerbit:
IAIN
IAIN
UIN Jember
Jember
KHAS Press
Press
Jember Press
Jl. Mataram No. 1 Mangli Jember
Tlp. 0331-487550 Fax. 0331-427005
e-mail: [email protected]
ISBN: 978-602-414-045-8 978-602-0905-58-7

Isi diluar tanggung jawab penerbit


BAB

1
PENGANTAR PENULIS

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur atas Allah SWT yang telah memberikan kesempa-


tan, nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
buku ini.
Pilihan atas tema manajemen pembiayaan bank syariah dida-
dasari keinginan penulis untuk; pertama, memberikan sumbangsih
pemikiran dalam memetakan secara teoritik dan praktis, beragam
pembiayaan pada bank syariah. Kedua, sebagai bahan kajian da-
sar, terutama bagi para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah
perbankan syariah yang saya ampu.
Tanpa menafikan pertolongan Allah, penulisan buku ini tak akan
selesai tanpa bantuan berbagai pihak, terutama keluarga dan te-
man sejawat yang turut mendukung terselesaikannya penulisan

v
buku ini.
Penulis sadar bahwa buku ini masih sangat jauh dari kesem-
purnaan dan dalam penyelesaiannya tidak terlepas dari kontribusi
dan bantuan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak lang-
sung. Karenanya, pada kesempatan ini penulis mengucapkan teri-
ma kasih dan penghargaan kepada jajaran pimpinan IAIN Jember,
khususnya Rektor IAIN Jember, Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE,
MM., dan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Ke-
lembagaan, H. Nur Solikin, S. Ag., MH atas apresiasi dan kesem-
patan yang telah diberikan kepada penulis untuk ikut berparti-
sipasi dalam program GELARKU periode ketiga tahun 2015 yang
pembiayaannya bersumber dari DIPA STAIN Jember Tahun 2015,
Nomor: SP DIPA-025.04.2.423786/2015 tertanggal 5 Desember 2014.
Akhirnya, penulis berharap pada Allah, semoga karya ini ber-
manfaat dan dihitung sebagai amal saleh. Amin

Jember, Agustus 2012

Penulis

vi
BAB

1
PENGANTAR
REKTORIAIN
REKTOR UINJEMBER
KHAS
JEMBER

Alhamdulillah, dengan Rahmat dan Ridlo Allah SWT buku


yang berjudul Manajemen Pembiayaan Bank Syariah yang ditulis oleh
Saudara Ahmadiono, S.Ag., M.EI telah hadir di hadapan pembaca.
Hal ini bisa diartikan sebagai langkah positif yang harus diapresia-
si dengan baik dan penuh semangat. Karena dengan menyusun se-
buah buku, maka salah satu tanggung jawab sebagai seorang pe-
ngajar dan pendidik baik secara individual maupun secara sosial
akademis telah dipenuhi dengan baik. Langkah ini akan menjadi
inspirasi bagi dosen-dosen lainnya dalam rangka peningkatan dan
pengembangan lingkungan akademis yang kondusif seiring de-
ngan tuntutan dalam dunia pendidikan yang semakin kompleks
dan kompetitif.
Buku ini merupakan salah satu buku yang bisa menjadi refe-
rensi bagi kajian perbankan syariah. Seperti dimaklumi bersama,

vii
kajian perbankan syariah dewasa ini, menjadi salah satu isu yang
begitu kuat berkembang di kalangan akademisi. Hal ini bisa dilihat
dari; Pertama, hadirnya beragam literatur dalam bidang keilmuan
ini yang terus bertambah dalam setiap tahunnya. Kedua, hadirnya
beragam bisnis syariah, baik pada level bisnis di sektor riil maupun
di level keuangan, menjadi salah satu bukti, bahwa ekonomi sya-
riah menjadi salah satu bukti, bahwa disiplin ini bukan hanya ber-
sifat teoritis-akademis, tetapi mendapat sambutan hangat dari para
pelaku ekonomi.
Karena itu, kehadiran buku ini di hadapan para pembaca,
menjadi sumber informasi yang digagas dan ditulis oleh penulis-
nya. Buku ini dipandang layak sebagai rujukan kajian ekonomi Is-
lam karena dua alasan; pertama, buku ini merupakan hasil kajian
dan pendalaman penulis sebagai dosen pengampu perbankan sya-
riah. Kedua, tema yang diusung dalam buku ini, mengupas isu fun-
damental dan strategis dalam kajian keuangan Islam, yani berkait
dengan sistem pembiayaan yang dikembangkan pada bank sya-
riah.
Karena itu, terhadap kehadiran buku ini, saya harap berkon-
tribusi positif dalam mengembangkan wacana perbankan Islam,
khususnya bagi civitas akademis yang menjadikan bidang ini seba-
gai fokus keahliannya. Amin

Jember,
Rektor
RektorUIN KHAS
IAIN Jember
Jember

Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE., MM


NIP. 196603221993031002

viii
BAB

1
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS ▬ v
PENGANTAR
PENGANTAR REKTOR UIN IAIN
REKTOR KHASJEMBER
JEMBER -▬
viivii
DAFTAR ISI ▬ ix

BAB 1
PENDAHULUAN ▬ 1
A. Pengertian ▬ 2
B. Fungsi Pembiayaan Syariah ▬ 6
C. Prinsip Dasar Pembiayaan Syariah▬ 8

BAB 2
JENIS-JENIS PEMBIAYAAN ▬ 11
A. Pembiayaan Berdasar Tujuan Penggunaannya ▬ 11
B. Jenis Pembiayaan Berdasar Cara Penarikan ▬ 19
C. Jenis Pembiayaan Berdasar Metode Pembiayaan ▬ 19

ix
D. Jenis Pembiayaan Berdasar Jangka Waktu ▬ 20
E. Jenis Pembiayaan Berdasar Sifat Penarikan ▬ 21
F. Jenis Pembiayaan Berdasar Sifat Pelunasan ▬ 21
G. Jenis Pembiayaan Berdasar Lokasi Bank ▬ 22

BAB 3
PENGORGANISASIAN PEMBIAYAAN ▬ 23
A. Organisasi Pembiayaan dalam Struktur Bank Syariah▬ 23

BAB 4
PRINSIP DAN KUALITAS PEMBIAYAAN ▬ 39
A. Prinsip Pembiayaan ▬ 40
B. Kualitas Pembiayaan ▬ 49

BAB 5
PROSEDUR PENYALURAN PEMBIAYAAN ▬ 53
A. Pengumpulan data dan Verifikasi ▬ 54
B. Analisis dan Persetujuan Pembiayaan ▬ 57
C. Administrasi dan Pembukuan Pembiayaan ▬ 70
D. Pengawasan Pembiayaan ▬ 73
E. Pembinaan Pembiayaan ▬ 75

BAB 6
SKEMA PEMBIAYAAN BAGI HASIL ▬ 81
A. Pembiayaan Mudlarabah ▬ 82
B. Pembiayaan Musayarakah ▬ 85

BAB 7
SKEMA PEMBIAYAAN BERBASIS JUAL BELI ▬ 93
A. Pembiayaan Murabahah ▬ 94
B. Pembiayaan Salam ▬ 97

x
C. Pembiayaan Istishna’ ▬ 99

BAB 8
SKEMA PEMBIAYAAN IJARAH ▬ 103

BAB 9
MENGENDALIKAN RESIKO PEMBIAYAAN, LIKUIDASI
DAN OPERASIONAL ▬ 105

DAFTAR PUSTAKA ▬ 129


TENTANG PENULIS ▬ 131

xi
xii
BAB

1
PENDAHULUAN

Bermula pada tahun 1990-an, muncul sejarah baru dalam


dunia perbankan sebagai motor penggerak perekonomian. Pada
periode ini muncul apa yang disebut dengan bank syari’ah–dise-
but juga dengan bank Islam– dalam industri perbankan nasional
dan internsional. Bank syari’ah hadir sebagai respon situasi yang
mengemuka di kalangan masyarakat Islam yang menginginkan
adanya lembaga perbankan yang dijalankan berdasar prinsip-
prinsip ajaran Islam. Turut pula mendukung terhadap diterimanya
ide ini adalah adanya kenyataan dunia perbankan yang menetap-
kan sistem bunga dalam transaksinya. Penerapan sistem bunga ini
- meski masih memunculkan kontroversi - dinilai tidak sejalan de-
ngan ajaran Islam, khususnya terkait dengan masalah riba yang di-
larang dalam Islam.
Secara konseptual, bank syariah didefiiniskan sebagai bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip sya-

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 1


riah.1Artinya, sebagaimana usaha bank pada umumnya, bank sya-
riah memiliki kewenangan dan tugas seperti bank pada umumnya,
yakni berfungsi sebagai penghimpun dana masyarakat dan me-
nyalurkannya pada kelompok masyarakat yang membutuhkan.

A. PENGERTIAN
1. Pengertian Pembiayaan
Salah satu kegiatan utama bank syariah adalah menyalurkan
dananya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan, atau kre-
dit dalam istilah bank konvensional. Pembiayaan bank syariah me-
rupakan aktivitas penyediaan sejumlah dana oleh bank syariah da-
lam memenuhi kebutuhan nasabahnya melalui skema pembiayaan
syariah baik melalui akad mudharabah, syirkah, murabahah, istih-
na’, salam, ijarah maupun gadai. Berdasar Undang – undang per-
bankan tahun 1998, pembiayaan berprinsip syariah diartikan seba-
gai penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan
uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.2

1 Lihat UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Bank syariah. Di dalam Un-


dang – undang ini pengelompokan bank syariah menjadi tiga jenis, yaitu Bank
Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang menjalankan kegiata usaha
bank secara keseluruhan, termasuk terlibat dalam kegiatan system pembaya-
ran. Sedangkan Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor pusat Bank
Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasar prinsip syariah. Dan, Bank Pem-
biayaan Rakyat Syariah adalah Bank yang dalam kegiatan usahanya tidak me-
layani system pembayaran
2 Undang-undang Nonor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

2 | Ahmadiono
Prinsip syariah merupakan perjanjian berdasarkan hukum Is-
lam antara bank syariah dan pihak lain yang sejalan dengan syari-
ah, antara lain pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil (mudhara-
bah), pembiayaan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual be-
li barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah, salam dan
istishna’), atau penyediaan barang dengan menggunakan skema
sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya perjanjian
pemindahan kepemilikan pada pihak lain (ijarah wa al iqtina’)
Merujuk pada pengertian di atas, maka dapat dipahami bah-
wa pembiayaan syariah memiliki perbedaan mendasar dengan
kredit pada bank konvensional. Meski memiliki persamaan dalam
konteks penyediaan dana kepada pihak lain, tetapi pembiayaan
syariah memiliki karakteristik tertentu. Beberapa karakteristik ter-
sebut antara lain adalah;
a. Segala bentuk pembiayaan syariah didasarkan pada keten-
tuan ajaran Islam, terutama pada beragam transaksi yang te-
rangkum dalam fiqh muamalah.
b. Pembiayaan syariah merupakan skema akad kerjasama beru-
pa jual beli atau sewa. Penetapan beragam skema ini merujuk
kepada ketentuan transaksi dalam ajaran Islam.
c. Pembiayaan syariah memberi kesempatan kepada bank sya-
riah untuk memperoleh pendapatan. Perolehan pendapatan
dari skema pembiayaan syariah tersebut berupa bagi hasil,
margin dan ongkos sewa(ujroh).
1) Bagi hasil merupakan pendapatan yang diperoleh bank dari
kegiatan penyediaan dana dengan skema akad kerjasama,
baik dalam bentuk penyediaan modal (mudharabah), mau-
pun kerjasama dalam bentuk penyertaan modal (musyara-
kah)
2) Margin merupakan selisih harga antara harga beli dan har-

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 3


ga jual suatu barang. Margin merupakan perolehan penda-
patan bank syariah dari skema transaksi juala beli, baik itu
berupa jual beli tangguh (murabahah), maupun jual beli pe-
sanan (salam dan istishna’)
3) Ujroh merupakan ongkos sewa. Ujroh menjadi sumber
pendapatan bank syariah dari penyediaan barang sewa
maupun fasilitas jasa lainnya.

d. Perolehan pendapatan melalui pembiayaan syariah di atas


merupakan alternative untuk keluar dari system bunga pada
bank konvensional yang identik dengan praktek riba dan di-
larang dalam Islam..

Merujuk pada karakteristik pembiayaan syariah di atas, maka


konsep pembiayaan ini berbeda secara fundamental dengan kon-
sep kredit yang dikembangkan bank konvensional. Setidaknya, be-
ragama perbedaan tersebut dapat dilihat pada table sebagai beri-
kut;
KETERANGAN PEMBIAYAAN KREDIT
Sumber Legali- Hukum Positif Hukum Positif
tas Hukum Islam
Bentuk transak- Kerjasama, Jual Beli Pinjaman/hutang-
si dan Sewa piutang
Pendapatan Bagi Hasil, Margin Bunga
dan Ujroh
Status Bebas riba Identik Riba
Keterangan: diolah dari beragam sumber

2. Pengertian Manajemen Pembiayaan


Manajemen pembiayaan merupakan serangkaian tatakelola
pembiayaan yang dilaksanakan bank syariah yang meliputi aspek

4 | Ahmadiono
perencaan, pengorganisasiaan, pelaksanaan, dan pengawasan se-
hingga pembiayaan tersebut memiliki performance yang baik seja-
lan dengan kesepakatan antara bank syariah dan penerima pem-
biayaan.3
Sebagai salah satu sasaran penyaluran dana, pengelolaan ter-
hadap pembiayaan perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati.
Hal ini didasarkan atas kenyataan dan alasan sebagai berikut;
a. Pembiayaan merupakan salah satu kegiatan penyaluran dana
bank syariah dengan prosentase yang sangat tinggi. Artinya,
dari total keseluruhan dana yang dikelola bank syariah, pe-
nempatan pada pos pembiayaan ini menjadi yang terbesar
dibandingkan dengan pos-pos yang lain.
b. Pos pembiayaan merupakan salah saru asset yang mengha-
silkan bagi bank syariah. Bahkan, merujuk pada besarnya pe-
nempatan dana pada pos ini, hampir bisa dipastikan, bahwa
pendapatan bank syariah bersumber pada pos pembiayaan
terseut.
c. Potensi pendapatan bank syariah yang bersumber dari pem-
biayaan ini perlu dikelola secara baik. Dengan demikian, ma-
ka pengelolaan terhadap pembiayaan yang baik tidak tere-
lakkan. Sebab, tinggi rendahnya pembiayaan bermasalah,
menjadi salah satu factor penting yang mempengaruhi ting-
kat pendapatan bank syariah. Bila tingkat pembiayaan ber-
masalah – dikenal dengan non performing financing/NPF
rendah, maka bank syariah berpotensi memperoleh pendapa-
tan yang lebih tinggi. Demikian sebaliknya, bila tingkat NPF
tinggi, maka bank syariah memiliki potensi untuk kehilangan
pendapatan dari pos pembiayaan ini menjadi semakin tinggi

3 Bandingkan; Rahmat firdaus dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan

Bank Umum (Bandung: Alvabeta, 2011), 4.

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 5


pula. Karena itu, sebagai upaya pengawasan dan pengenda-
lian perbankan, Otoritas Jasa Keuangan Syariah, memberla-
kukan batas NPF maksimum 5%. Artinya, rasio pembiayaan
bermasalah di bank syariah diberi toleransi maksimal lima
persen dari total pembiayaan yang disalurkan.

B. FUNGSI PEMBIAYAAN SYARIAH


Secara umum, fungsi pembiayaan sama dengan fungsi kredit
pada bank konvensional. Secara umum, fungsi pembiayaan atau
kredit adalah pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masya-
rakat dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan,
menstimulasi kegiatan produksi barang atau jasa, atau bahkan
menfasilitasi kebutuhan konsumsi masyarakat dalam rangka me-
ningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat luas.4
Secara khusus, kegiatan pembiayaan ini dapat dipaparkan an-
tara lain sebagai berikut:
1. Meningkatkan daya guna uang. Salah satu fungsi bank sya-
riah adalah intermediasi, yakni menghimpun dan dari pihak
yang berlebih sekaligus menyalurkannya pada pihak yang
kekurangan. Pemindahan dana berupa dari pihak yang berle-
bih kepada pihak yang membutuhkan, akan menjadikan
uang yang sebelumnya menganggur atau idle itu menjadi le-
bih efektif dan bernilai guna.
2. Meningkatkan daya guna barang atau jasa. Artinya, pem-
biayaan dapat memperlancar arus barang dari produsen ke-
pada konesumen. Dalam konteks produsen, pembiayaan
menjadi salah satu pilihan bagi produsen bagi pengembangan
produksi barang atau jasanya, manakala ia tidak memiliki

4 Ibid., 5.

6 | Ahmadiono
dana memadai. Sementara, bagi konsumen, konsumsi terha-
dap barang atau jasa, dapat dipenuhinya melalui skema pem-
biayaan manakala ia dalam kesulitan dalam pemenuhan kon-
sumsinya itu.
3. Pembiayaan meningkatkan peredaran uang menimbulkan
kegairahan berusaha. Melalui penyediaan pembiayaan, maka
peredaran uang akan semakin meningkat yang berujung pa-
da meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat luas. Pening-
katan kegiatan ekonomi itu nantinya akan ditandai dengan
naiknya tingkat penawaran dan permintaan.
4. Pembiayaan juga dapat menjadi stabilator ekonomi. Dalam
konteks stabilisasi ekonomi, pembiayaan dapat berfungsi se-
bagai;
a. Pengendali inflasi. Dalam konteks pengendalian inflasi ini,
pembiayaan menjadi salah satu factor yang menentukan,
yakni; bilamana dibutuhkan peredaran uang lebih besar,
maka kebijakan pembiayaan ini biasanya diperlonggar.
Demikian sebaliknya, bila situasi ekonomi menuntut pere-
daran uang yang lebih ketat, maka kebijakan pembiayaan
ini biasanya juga ada pengetatan.
b. Peningkatan ekspor. Pembiayaan juga dapat berfungsi un-
tuk meningkatkan nilai taransaksi ekspor suatu Negara.
Hal ini bisa dilakukan dengan member fasilitas pem-
biayaan kepada para pelaku ekspor
c. Rehabilitasi iinfrastruktur. Infrastruktur merupakan salah
satu urat nadi perekonomian suatu bangsa. Karena itu, pa-
ra pelaku usaha di bidang ini yang diganden Negara un-
tuk menjamin ketersediaan infrastruktur yang baik, dapat
menjadikan pembiayaan bank syariah sebagai salah satu

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 7


fasilitas dalam mengakses sumber dana.5

5. Pembiayaan dapat menciptakan alat pembayaran baru. Da-


lam hal ini, salah satu fasilitas pembiayaan yang diberikan
bank umum syariah adalah pembiayaan rekening Koran. Da-
lam pembiayaan R/K, begitu perjanjian pembiayaan ditanda-
tangani dan semua persyaratan pembiayaan telah dipenuhi,
maka pada saat itu telah beredar uang giral baru di masyara-
kat sejumlah pembiayaan R/K tersebut. Keadaan ini karena
penerima pembiayaan mempunyai hak tarik atas sejumlah
dana yang ada pada rekening Koran tersebut. Sehingga, de-
ngan bertambahnya uang giral dalam bentuk R/K tersebut,
maka sejatinya telah terjadi pertambahan uang beredar di ma-
syarakat.

C. PRINSIP DASAR PEMBIAYAAN SYARIAH


Secara fundamental, sebagai landasan filosofis, pembiayaan
syariah dibanguna atas prinsip dasar dalam ajaran Islam. Dalam
konteks ini, beberapa prinsip dasar yang melandasi pembiayaan
dalam sistem keuangan Islam adalah sebagai berikut;

1. Penghindaran Riba
Karakteristik yang paling melekat dalam kajian keuangan Is-
lami adalah menghindarkan bunga dan tingkat imbalan yang
berasal dari pinjaman atau utang. pemberi pinjaman, menurut
ajaran Islam, harus memberikan barang atau uang yang di-
pinjamkan kepada penerima pinjaman untuk periode tertentu
tanpa meminta imbalan apapun.6

5 Malayu SP Hasibuan. Dasar- Dasar Perbankan (Jakarta: Bumi Aksara,


2001).
6 Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, terj. Aditya Wisnu

8 | Ahmadiono
Adanya unsure “tambahan” dalam pemberian pinjaman, da-
lam Islam dikenal dengan istilah riba. Secara verbal, dalam
konteks Islam, praktek ribawi ini dilarang secara tegas dalam
al-Qur’an.7Artinya, secara hukum dan etika, praktek riba ini
dilarang.
Karena itu, sebagai lembaga yang menyediakan pembiayaan,
lembaga keuangan Islam tidak akan mengambil tambahan
dari pokok pinjaman yang diberikan kepada penerima pinja-
man. Sebagai ganti dari praktek ini, bank Islam akan men-
gembangkan system jual beli yang diperkenan dalam Islam.
pembelian atau penjualan barang dengan tujuan untuk men-
dapatkan keuntungan diperbolehkan. Penentuan harga den-
gan mengingat waktu yang diberikan untuk pembayaran
harga tersebut dalam transaksi kredit juga dibenarkan, aslkan
tidak ada ketentuan adanya tambahan.

2. Jauh dari Gharar


Penghindaran gharar juga merupakan prinsip utama dalam
keuangan Islam. praktek gharar mengacu pada akad yang
mengandung risiko atau ketidakpastian mutlak atas hasil ak-
hir kontrak. Unsur gharar ini juga bisa muncul bilamana ter-
dapat kekurangan informasi mengenai nilai yang relevan dan
mengakibatkan pada ketidakpastian atau eksploitasi salah sau
pihak. Kedustaan, penipuan, dan pemberian informasi yang
tidak tepat mengenai nilai yang relevan, merupakan bentuk
lain dari praktek gharar.8
Dalam konteks keuangan Islam, termasuk perbankan syariah,
pelarangan atas gharar ini, menuntut bank Islam tidak terlibat

Pribadi (Jakarta: Gramedia, 2009), 116.


7 Lihat; al-Baqarah, 275,279.

8 Ayub, Understanding., 117

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 9


dalam perdagangan spekulatif, short selling, pendiskontoan
surat utang dan surat berharga, atau perdagangan atas barang
yang belum teridentifikasi. Perdagangan dalam transaksi de-
rivative juga melibatkan gharar, dan dalam konteks keuangan
Islam, berada dalam wilayah yang tidak jelas.

3. Non Perjudian dan Permainan


Jenis aktivitas lain yang dilarang dalam Islam adalah perjudi-
an dan permainan. Segala bentuk tindakan yang mengarah
pada lotre, tindakan spekulatif yang tidak terukur, merupa-
kan aktivitas yang tidak diperkenankan dalam ajaran Islam.
Dalam konteks lembaga keuangan, tindakan yang mengarah
pada perjudian dan permaina ini terlihat pada kegiatan per-
dagangan berjangka berbasis yang banyak ditemui dan di-
praktekkan dalam system perbankan konvensional.9

9 Ibid., 118.

10 | Ahmadiono
BAB

2
JENIS-JENIS PEMBIAYAAN

Jenis pembiayaan pada bank syariah sangat beragam dan ber-


variasi dilihat dari beragam aspek. Setidaknya, beragam aspek
yang menjadi alasan pengelompokan jenis pembiayaan itu terdiri
dari aspek jangka waktu, aspek tujuan penggunaan dan aspek ke-
pentingan pembiayaan. Selain itu, pembiayaan juga dapat dike-
lompokkan berdasar sifat penarikan dan cara pelunasan.

A. PEMBIAYAAN BERDASAR TUJUAN PENGGUNAANNYA


Berdasar pada tujuan penggunaannya, pembiayaan dapat di-
bedakan pada kelompok sebagai berikut

1. Pembiayaan Konsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan oeh pengguna dana untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai un-
tuk memenuhi kebutuhan. Pada umumnya bank syariah

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 11


membatasi pembiayaan konsumsi tersebut kepada nasabah
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti rumah, kendaraan
dan sebagainya. Sumber kembali pembiayaan tersebut berasal
dari pendapatan nasabah yang bersumber dari usaha lain,
dan bukan dari hasil dari hasil eksploitasi barang yang dibia-
yai dari fasilitas ini.1
Jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori jenis pem-
biayaan konsumtif antara lain;2
a. Pembiayaan perumahan; yaitu fasilitas pembiayaan untuk
pembelian/pembangunan/renovasi rumah tinggal, rumah
susun, ruko, rukan, apartemen, dan lain-lain dengan jami-
nan obyek yang dibiayai.
b. Pembiayaan kendaraan bermotor; yaitu fasilitas pembia-
yaan untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua atau
roda empat dengan jaminan berupa kendaraan bermotor
yang dibiayai tersebut.
c. Pembiayaan multiguna; yaitu fasilitas pembiayaan untuk
segala keperluan yang bersifat konsumtif, dengan jaminan
penghasilan sebagai pegawai atau professional, dan/atau
tanah berikut bangunan tempat tinggal.
d. Kartu pembiayaan; yaitu fasilitas pembiayaan tanpa agu-
nan untuk keperluan kemudahan pembayaran dan tran-
saksi pengambilan tunai. Transaksi dilakukan melalui sa-
rana kartu yang diberikan kepada perorangan pemegang
kartu. Kartu pembiayaan diterbitkan bank setelah aplikasi
permohonannya disetujui bank bersangkutan.

1 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Bandung: alVabeta,

2002), 219.
2 Ikatan Bankir Indonesia, Memahami Bisnis Bank Syariah (Jakarta: Grame-

dia, 2014), 208.

12 | Ahmadiono
2. Pembiayaan Produktif.
Pembiayaan produktif adalah pembiayaan yang diberikan
kepada perorangan atau badan usaha yang dipergunakan un-
tuk membiayai kegiatan usaha tertentu.3 Menurut keperluan-
nya, pembiayaan produktif dapat dibagi pada dua bagian yai-
tu, pertama, pembiayaan modal kerja. Pembiayaan modal ker-
ja adalah pembiayaan yang dilakukan untuk meningkatkan
(1) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah
hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan
kualitas atau mutu hasil produksi; dan (2) untuk keperluan
perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu ba-
rang. Kedua, pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan barang-barang modal (capital goods) berersta fasili-
tas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu4

a. Pembiayaan Modal
Pembiayaan modal kerja dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu modal kerja yang barhubungan dengan peningkatan
produksi dan modal kerja dalam wilayah perdagangan.
Penjelasan terhadap dua wilayah ini adalah sebagai beri-
kut;

1) Pembiayaan Modal Kerja Peningkatan Produksi


Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-kom-
ponen alat likuid (cash), piutang dagang dan persediaan
yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku. Ka-
renanya, pembiayaan modal kerja merupakan salah sa-
tu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash fi-
nancing), pembiayaan piutang (receivable financing) dan

3 Ibid.
4 Arifin, Dasar-dasar, 218.

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 13


pembiayaan persediaan (inventory financing). Pembia-
yaan modal kerja dilakukan oleh bank konvensional
dengan cara memberikan pinjaman sejumlah dana
yang diperlukan untuk memenuhi seluruh kebutuhan
dengan imbalan berupa bunga. Sedangkan perbankan
syariah dapat membangun hubungan dengan nasabah
dalam rangka memenuhi modal kerja dengan prinsip
patnership, hubungan kemitraaan, tidak dalam bentuk
hubungan kreditur dan debitur.5

a) Pembiayaan Likuiditas
Pada umumnya, pembiayaan ini digunakan untuk
memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya
ketidakssesuaian (mismatched) antara cash inflow dan
cash outflow pada perusahan nasabah. Bila bank kon-
vensioanal memberikan fasilitas rekening koran de-
ngan menarik bunga, bank syariah dapat menyedia-
kan fasilitas semacam dengan bentuk qardh timbal-
balik yang disebut compensating balance. Melalui fasi-
litas ini nasabah harus membuka rekening giro wa-
di’ah, dan bank tidak memberikan bonus atas wa-
di’ah tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mis-
matched, nasabah dapat menarik dana melebihi sal-
do yang tersedia sehingga menjadi negatif sampai
maksimum jumlah yang disepakati dalam akad.
Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta
imbalan apa pun, kecuali sebatas biaya administrasi
pengelolaan fasilitas tersebut6

5 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek (Jakarta:

Gema Insani Press, 2001), 161.


6 Arifin, Dasar-dasar, 220.

14 | Ahmadiono
b) Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan
yang menjual barangnya secara kredit, tetapi baik
jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasi-
tas modal kerja yang dimilikinya. Terhadap pem-
biayaan seperti ini, bank syariah hanya dapat mela-
kukan dalam bentuk qardh di mana bank tidak boleh
meminta imbalan kecuali biaya administrasi. Di
samping itu, bank syariah dapat memberikan fasili-
tas pengabilalihan piutang, yaitu yang disebut den-
gan hiwalah. Akan tetapi, untuk fasilitas ini pun bank
tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya
administrasi dan biaya penagihan. Dengan demi-
kian, bank syariah meminjamkan uang (qardh) sebe-
sar piutang yang tertera dalam dokumen piutang
(wesel tagih atau promes) yang diserahkan kepada
bank tanpa potongan, jika ternyata pada saat jatuh
tempo, hasil tagihan itu digunakan untuk melunasi
hutang nasabah kepada bank. Akan tetapi, bila ter-
nyata piutang tersebut tidak ditagih, nasabah harus
membayar kembali hutangnya kepada bank. Selain
itu, sebagian ulama’ memberikan jalan keluar beru-
pa pembelian surat utang (bai’ al-dayn), tetapi seba-
gian ulama melarangnya7

c) Pembiayaan Persediaan (Inventory Financing)


Pada bank konvensional, dapat dijumpai adanya
kredit modal kerja yang dipergunakan untuk men-
danai pengadaan persediaan (inventory financing).

7 Antonio, Bank Syariah, 162-163.

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 15


Pola pembiayaan ini pada prinsipnya sejalan den-
gan kredit untuk mendanai komponen modal kerja
lainnya, yaitu memberikan pinjaman kepada nasa-
bah dengan membayar kepada bank berupa imba-
lan bunga. Bank syariah mempunyai mekanisme
tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan
persediaan tersebut, antara lain dengan mengguna-
kan prinsip jual beli (al-bai’) dalam dua tahap. Tahap
pertama, bank mengadakan (membeli dari suplier
secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan nasa-
bah. Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah
pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan
mengambil keuntungan yang disepakati bersama
antara bank dan nasabah. Beberapa skema jual beli
yang dapat diaplikasikan pada pembiayaan ini ada-
lah bai’ murabaha, bai’ al-istishna’ dan bai’as-salam.8

2) Pembiayaan Modal Kerja Untuk Perdagangan


Modal kerja untuk perdagangan ini dapat dibagikan
pada dua kelompok, yaitu perdagangan masal dan per-
dagangan yang didasarkan atas pesanan. Perdagangan
masal adalah perdagangan yang dilakukan dengan tar-
get pembeli siapa saja yang datang membeli barang-ba-
rang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pe-
dangan eceran (retailer) maupun pedagang besar (who-
leseller), pada umumnya perputaran modal kerjanya sa-
ngat tinggi. Tetapi pedagang harus mempertahankan
sejumlah persediaan yang cukup karena barang-barang
yang dijual itu hanya sebatas jumlah persediaan yang

8 Ibid., 163-165

16 | Ahmadiono
ada atau telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan
modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling
tepat digunakan bank syariah adalah skema mudhara-
bah9
Selain perdagangan masal, jenis perdagangan lainnya
adalah perdagangan berdasarkan pesanan. Perdaga-
ngan ini biasanya tidak dilakukan di tempat jual beli,
karena pada umumnya merupakan bentuk perdaga-
ngan antar kota, perdagangan antar pulau atau perda-
gangan antar negara. Pembeli akan terlebih dahulu me-
mesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual
berdasarkan contoh dan atau daftar barang dan harga
yang ditawarkan kepadanya. Biasanya pembeli hanya
akan membayar apabila barang yang dipesan telah di-
terimanya, untuk menghindari kemungkinan risiko
akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesana-
nannya atau ketidaksesuaian jumlah dan atau kualitas
barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang di-
maksud dalam surat penawaran atau pemesanan.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi kedua belah
pihak, bank konvensional telah memberikan jalan ke-
luarnya berupa fasilitas letter of credit (L/C). Bank sya-
riah telah dapat menyesuaikan mekanisme L/C ini de-
ngan prinsip syariah. Jika nasabah ingin mengimpor
barang, nasabah bisa meminta bantuan bank syariah
untuk membuka L/C impor, dan untuk membayar har-
ga barang itu telah disediakan oleh nasabah dan dise-
torkan kepada bank secara tunai. Bank syariah mem-

9 Arifin, Dasar-dasar, 225

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 17


buka L/C atas nama nasabah sesuai dengan terms and
conditions yang diminta oleh importir. Jasa ini dilaku-
kan oleh bank syariah berdasarkan adad wakalah, di
mana pihak bank dapat memperoleh pendapatan beru-
pa fee atas jasa yang diberikannya.10

b. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada nasabah untuk
keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal
guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha ataupun
pendirian proyek. Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah
untuk pengadaan barang-barang modal, mumpunyai pe-
rencanaan dana yang matang dan terarah, serta berjangka
waktu menengah dan panjang. Pada umumnya, pembia-
yaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengen-
dapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun pro-
yeksi arus kas yang mencakup semua komponen biaya
dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa da-
na yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Sete-
lah itu barulah disusun jadwal angsuran pembayaran
kembali pembiayan.
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau,
maka untuk pembiayaan investasi bank syariah dapat
menggunakan skema musyarakah mutanaqisah. Dalam hal
ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyer-
taaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaan-
nya dan pemilik perusahaan akan megambil alih kembali,
baik dengan surplus cash flow maupun dengan menambah
modal. Skema lain yang dapat digunakan bank syariah

10 Ibid., 226

18 | Ahmadiono
adalah al-ijarah al-muntahi bi-tamlik, yaitu menyewakan ba-
rang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan.11

B. JENIS PEMBIAYAAN BERDASAR CARA PENARIKAN


Jenis pembiayaan berdasar cara penarikan oleh nasabah dibe-
dakan kepada sebagai berikut;12
1. Sekaligus, yaitu fasilitas pembiayaan dengan penarikan yang
dilakukan satu kali sebesar limit pembiayaan yang telah dise-
tujui. Penarikan dilakukan dengan cara tuani atau dipindah-
bukukan ke rekening tabungan atau giro milik nasabah pene-
rima pembiayaan.
2. Bertahap sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, yaitu fasilitas
pembiayaan dengan penarikan yang dilaksanakan sesuai de-
ngan jadwal yang ditetapkan oleh bank, baik berdasarkan
tingkat kemajuan penyelesaian proyek maupun kebutuhan
pembiayaan nasabah.
3. Penarikan sesuai kebutuhan, yaitu fasilitas pembiayaan den-
gan penarikan dana sesuai kebutuhan nasabah penerima
pembiayaan. Biasanya, penarikan ini dilakukan dengan cara
tunai atau pemindahbukuan ke rekening tabungan atau giro
milik nasabah

C. JENIS PEMBIAYAAN BERDASAR METODE PEMBIAYAAN


Jenis pembiayaan ini meliputi;
1. Pembiayaan bilateral, yaitu fasilitas pembiayaan yang diberi-
kan kepada nasabah oleh satu bank.
2. Pembiayaan Sindikasi, yaitu fasilitas pembiayaan yang dibe-

11 Antonio, Bank Syariah, 167


12 Ikatan Bankir Indonesia, Memahami, 208.

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 19


rikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan untuk membia-
yai satu proyek / usaha tertentu. Pembiayaan sindikasi diberi-
kan dengan syarat-syarat dan ketentuan yang sama, menggu-
nakan dokumen yang sama, diadministrasikan oleh agen
yang sama. Pembiayaan ini memiliki cirri tertentu; yaitu;
a. Jumlah pembiayaan biasanya meliputi dana yang sangat
besar
b. Jangka waktu pengembalian biasanya menengah atau
panjang
c. Tanggung jawab peserta sindikasi tidak bersifat tanggung
rentang. Masing-masing peserta sindikasi bertanggung ja-
wab hanya untuk bagian jumlah pembiayaan yang menja-
di komitmennya.
d. Salah satu bank sindikasi ditunjuk sebagai agen, baik seba-
gai facility agent atau security agent, yang bertugas meng-
administrasikan pembiayaan sisndikasi tersebut.13

D. JENIS PEMBIAYAAN BERDASAR JANGKA WAKTU


Jenis pembiayaan ini dibagi menjadi tiga kelompok sebagai
berikut;
1. Pembiayaan jangka pendek, yaitu fasilitas pembiayaan den-
gan tenggang waktu pelunasan kepada bank tidak lebih dari
satu tahun. Pembiayaan jenis ini biasanya berupa pembiayaan
modal kerja untuk perdagangan, industry dan sector lainnya.
Selain itu, jenis pembiayaan ini juga mempertimbangkan per-
hitungan yang bersifat harian .
2. Pembiayaan jangka menengah, yaitu fasilitas pembiayaan
dengan tenggang waktu pengembalian kepada bank lebih da-

13 Ibid., 209

20 | Ahmadiono
ri satu tahun sampai dengan tiga tahun. Contoh pembiayaan
jenis ini adalah pembiayaan untuk kepemilikan kendaraan
bermotor, pembiayaan modal kerja untuk konstruksi
3. Pembiayaan jangka panjang, yaitu fasilitas pembiayaan den-
gan jangka waktu di atas tiga tahun. Contoh pembiayaan jenis
ini adalah pembiayaan untuk pabrik besar, jalan tola, bandara
besar, dan lain sebagainya, dari pengerjaan suatu proyek
yang bersiafat jangka panjang.14

E. JENIS PEMBIAYAAN BERDASAR SIFAT PENARIKAN15


1. Pembiayaan langsung, yaitu fasilitas pembiayaan yang lang-
sung digunakan oleh nasabah, dan secara efektif pembiayaan
itu merupakan utang nasabah kepada bank.
2. Pembiayaan tidak langsung, yaitu fasilitas pembiayaan yang
tidak langusng digunakan oleh nasabah, dan belum secara
efektif merupakan utang nasabah kepada bank. Garansi Bank
dan Letter of Credit merupakan contoh pembiayaan tidak
langsung.

F. JENIS PEMBIAYAAN BERDASAR SIFAT PELUNASAN


Jenis pembiayaan berdasar jenis ini dapat dikelompok menja-
di;
1. Pembiayaan dengan angsuran, yaitu fasilitas pembiayaan
yang pembayaran kembali pokok pembiayaannya dilaksana-
kan secara bertahap sesuai dengan jadwal dan tahapan yang
ditetapkan dalam perjanjian antara bank dengan nasabah.
2. Pembiayaan dibayarkan sekaligus pada saat jatuh tempo, yai-

14 Ibid. 210
15 Ibid.

Manajemen Pembiayaan Bank Syariah| 21


tu fasilitas pembiayaan yang pembayaran pokok pembiaya-
annya tidak diatur secara bertahap melainkan hars dikemba-
likan secara sekaligus pada tanggal jatuh tempo sebagaimana
ditetapkan di dalam perjanjian pembiayaan.16

G. JENIS PEMBIAYAAN BERDASAR LOKASI BANK


Jenis pembiayaan ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu;
1. Pembiayaan Onshore, fasilitas pembiayaan yang diberikan
kepada nasabah di dalam negeri dalam bentuk valuta asing-
dan dilaksanakan melalui cabang bank di dalam negeri.
2. Pembiayaan offshore, yaitu fasilitas pembiayaan yang diberi-
kan kepada nasabah di dalam negeri dalam bentuk valuta a-
sing dan dilaksanakan melalui cabang bank di luar negeri.17

16 Ibid., 11
17 Ibid.

22 | Ahmadiono
Another random document with
no related content on Scribd:
Hindu Trinity—The human-divine life of Siva—
Impressive effect of the whole—An opium den—
Various sorts of “ecstasy” produced by these and
other drugs—The proletariat at home—Music and
conversation—Dream of a “United India”—
Bombay at night—On the way to Aden—A calm
and starlit ocean—A beautiful panorama.

THE OLD ORDER


AND THE NEW INFLUENCES.

CHAPTER XVIII.
The Old Order: Caste and Communism.
Remarkable social movement in India—Complexity
and corruption of Caste system—The Brahmans
—Defence of caste from native point of view—
Specimens of caste regulation—Caste tyranny—
Story of a widow re-marriage—Pharisaism of
respectability—Caste in its other aspect as a
Trade-Guild—Tempering competition—Instances
of this—Communism, the second great feature of
social life—Village, Caste and Family communism
—The last still flourishing—Anecdotes—Old
sanctions being destroyed by commercialism—
Sacredness of Family tie 327–344

CHAPTER XIX.
The New Influences: Western Science and
Commercialism.
Great spread of Western education—Euclid and 345–363
Political Economy at Tuticorin—Schools and
Colleges throughout India—Cricket and golf—
Young India—“We are all Agnostics now”—Similar
spread of Commercialism—Interior of a cotton-
mill at Bombay—Large profits, conditions of labor
—Numerous trading posts and clerkships—The
National Indian Congress—Its ideals and
influence—Disliked by the British—The social gulf
again—Our future in India—The break-up of
village life—Problem of pauperism, Sir Henry
Maine—Incongruity of Commercialism with the
genius of India—Probable ascendancy of the
former for a time—But only for a time
LIST OF ILLUSTRATIONS
PAGE
Seashore near Colombo Frontispiece
Cinghalese man 14
A Jaffna Tamil 15
Jinrickshaw 17
Cinghalese girl 19
Kalua 27
Ploughing in the rice-fields 32
Buddhist librarian-priest 34
Kandy, general view 36
Native hut 42
Native street, with shops 47
Veddahs, aborigines of Ceylon 56
Rice-boats on the Kaluganga 76
Group of Tamil coolies 80
Tamil girl plucking tea 83
Bullock-hackery, or light cart 87
Cinghalese country-cart 92
Jetawanaráma Dágoba 98
Thuparáma Dágoba 104
A ruined bathing-tank, Anurádhapura 108
Small guardian figure, Buddhist sculpture 113
A Tamil man 119
Nautch girl 129
Great Pagoda at Tanjore 208
Temple at Tanjore, general view 211
Temple and tank at Mylapore 224
Chundi Churn B. 240
Panna Lall B. 243
Woman playing sítar 248
The Ghauts at Benares 260
The Dewan Khas at Delhi 283
The Jumma Musjid at Delhi 285
Marble screen-work 289
The Taj at Agra 291
Street in Bombay, native quarter 300
Parsee woman 302
Parsee merchants 304
The great Cave at Elephanta 311
Panel sculpture, Siva and Parvati 314
Interior shrine at Elephanta 316
Side-cave, Elephanta 322
CEYLON
SEASHORE NEAR COLOMBO.
(Outrigged canoe in foreground.)
FROM ADAM’S PEAK TO
ELEPHANTA.
CHAPTER I.
COLOMBO.

Imagine a blue-green ribbon of water some 60 yards wide, then


rough sandy dunes 10 or 20 feet high, and then beyond, the desert,
burning yellow in the sun—here and there partly covered with scrub,
but for the most part seeming quite bare; sometimes flat and stony,
sometimes tossed and broken, sometimes in great drifts and wreaths
of sand, just like snowdrifts, delicately ribbed by the wind—the whole
stretching away for miles, scores of miles, not a moving form visible,
till it is bounded on the horizon by a ridge of hills of the most ethereal
pink under an intense blue sky. Such is the view to the east of us
now, as we pass through the Suez Canal (19th October, 1890). To
the west the land looks browner and grayer; some reeds mark a
watercourse, and about 10 miles off appears a frowning dark range
of bare hills about 2,000 feet high, an outlying spur of the hills (Jebel
Attákah) that bound the Gulf of Suez.
In such a landscape one of the signal stations, with its neat tiled
cottage and flagstaff, and a few date palms and perhaps a tiny bit of
garden, is quite an attraction to the eye. These stations are placed at
intervals of about 6 miles all along the canal. They serve to regulate
the traffic, which is now enormous, and continuous night and day.
The great ships nearly fill the waterway, so that one has to be drawn
aside and moored in order to let another pass; and though they are
not allowed to go faster than 4 miles an hour they create a
considerable wave in their rear, which keeps washing down the
banks. Tufts of a reedy grass have been planted in places to hold
the sand together; but the silt is very great, and huge steam-dredges
are constantly at work to remove it. Here and there on the bank is a
native hut of dry reeds—three sides and a flat top—just a shelter
from the sun; or an Arab tent, with camels tethered by the leg around
it. At Kantarah the caravan track from Jerusalem—one of the great
highways of the old world—crosses the canal; there are a few wood
and mud huts, and it is curious to see the string of laden camels and
the Arabs in their unbleached cotton burnouses coming down—just
as they might be coming down from the time of Father Abraham—
and crossing the path of this huge modern steamship, with its
electric lights and myriad modern appliances, the Kaiser Wilhelm
now going half-way round the globe.
The desert does not seem quite devoid of animal life; at any rate
along the canal side you may see tracks in the sand of rabbits and
hares, occasional wagtail-like birds by the water, a few crows
hovering above, or a sea-gull, not to mention camels and a donkey
or two, or a goat. Near Port Said they say the lagoons are
sometimes white with flocks of pelicans and flamingoes, but we
passed there in the night. It was fine to see the electric light, placed
in the bows, throwing a clear beam and illuminating the banks for
fully half a mile ahead, as we slowly steamed along. The driven sand
looked like snow in the bluish light. The crescent moon and Venus
were in the sky, and the red signal lights behind us of Port Said.
The canal is 90 miles long, and a large part of it follows the bed
of a very ancient canal which is supposed to have connected the two
seas. It appears that there is a very slight movement of the water
through it from south to north.
We are now nearing Suez, and the heat is so great that it
reverberates from the banks as from a furnace; of course the deck is
under an awning. The remains of a little village built of clay appears,
but the huts have broken down, split by the fierce sun-rays, and
some light frame-houses, roofed and walled with shingles, have
taken their place.
Gulf of Suez.—The town of Suez is a tumbledown little place,
narrow lanes and alleys; two-storied stone houses mostly, some with
carved wooden fronts, and on the upper floors lattice-work, behind
which I suppose the women abide. Some nice-looking faces in the
streets, but a good many ruffians; not so bad though as Port Said,
where the people simply exist to shark upon the ships. In both places
an insane medley of Arabs, fellahs, half-castes and Europeans,
touts, guides, donkey-boys, etc., and every shade of dress and
absurd hybrid costume, from extreme Oriental to correct English;
ludicrous scenes of passengers going on shore, ladies clinging
round the necks of swarthy boatmen; donkey-boys shouting the
names of their donkeys—“Mr. Bradlaugh, sir, very fine donkey,” “Mrs.
Langtry,” “Bishop of London,” etc.; fearful altercations about claimed
baksheesh; parties beguiled into outlying quarters of the town and
badly blackmailed; refusals of boatmen to take you back to the ship
while the very gong of departure is sounding; and so forth. Suez
however has a little caravan and coasting trade of its own, besides
the railway which now runs thence to Cairo, and has antique claims
to a respectability which its sister city at the other end of the canal
cannot share.
Now that we are out in the gulf, the sea is deep blue, and very
beautiful, the rocks and mountains along the shore very wild and
bare, and in many parts of a strong red color. This arm of the Red
Sea is about 150 miles long, and I think not more than 20 miles wide
at any point; in some places it is much less. We pass jutting capes
and islands quite close on the west of us—great rocky ravine-cut
masses absolutely bare of vegetation. On the east—apparently
about 10 miles distant, but very clear—stands an outlying range of
Sinai—Jebel Sirbal by name—looks about 5,000 or 6,000 feet high,
very wild and craggy, many of the peaks cloven at the summit and
gaping as if with the heat; farther back some higher points are
visible, one of which is probably Jebel Musa. A most extraordinary
land; at some places one can discern—especially with the aid of a
glass—large tracts or plains of loose sand, miles in extent, and
perfectly level, except where they wash up in great drifts against the
bases of the mountains. Across these plains tall dark columns can
be distinguished slowly traveling—the dreaded sand-clouds borne on
eddies of the wind.
Indian Ocean, Oct. 25th.—Much cooler now. In the Red Sea,
with thermometer at 90° in the cabins, heat was of course the
absorbing topic. Everybody mopping; punkahs in full swing. I believe
the water there frequently reaches 90° F., and sometimes 95°; but
here it is quite cool, probably not much over 60°, and that alone
makes a great difference. It is a queer climate in the Red Sea: there
seems to be always a haze, due to dust blown from the shores; at
the same time the air is very damp, owing to the enormous
evaporation, clothes hung up get quite wet, and there are heavy
dews. When the wind is aft the oppression from the heat is
sometimes so great that ships have to be turned back and steamed
against the breeze; but even so casualties and deaths are not
uncommon. Owing to the haze, and the breadth of the Red Sea
which is as much as 200 miles in parts, little is seen of the shores. A
few rocky islands are passed, and a good many awkward reefs
which the passengers know nothing of. The Straits of Bab-el-
Mandeb are curious. The passage between the Island of Perim and
the Arabian mainland is quite narrow, only a mile or two wide; tossed
wild-looking hills on the mainland, 3,000 or 4,000 feet high, with
French fortifications. The island itself lower and more rounded, with
English fort and lighthouse; but looking very black and bare, though
owing to the moisture there is some kind of stunted heathery stuff
growing on it. There are a few English here, and a native town of
waggon-like tents clustered round the fort; some little fishing and
sailing boats along the shores. Turning eastwards along the south
coast of Arabia the same awful land meets the eye as in the Gulf of
Suez. A continual cloud of dust flies along it, through which one
discerns sandy plains, and high parched summits beyond. There
must however be water in some parts of this region, as it is back
from here in this angle of Arabia that Mocha lies and the coffee is
grown.
Colombo.—I fear that the Red Sea combined with mutual
boredom had a bad effect on the passengers’ tempers, for terrible
dissensions broke out; and after six days of the Indian Ocean, during
which the only diversions were flying-fish outside and scandal-
mongering inside the ship, it was a relief to land on the palm-fringed
coast of Ceylon. The slender catamarans—or more properly
outrigged canoes—manned by dusky forms, which come to take you
ashore, are indeed so narrow that it is impossible to sit inside them!
They are made of a “dug-out” tree-trunk (see frontispiece), with
parallel bulwarks fastened on only 10 inches or a foot apart; across
the bulwarks a short board is placed, and on that you can sit. Two
arms projecting on one side carry a float or light fish-shaped piece of
wood, which rests on the water 8 feet or so from the canoe, and
prevents the vessel from capsizing, which it would otherwise infallibly
do. Impelled by oars, or by a sail, the boat bounds over the water at
a good speed; and the mode of traveling is very pleasant. There is
no necessity however to embark in these frail craft, for respectable
civilised boats, and even steam-launches, abound; we are indeed in
an important and busy port.
A great granite mole, built five years ago, has converted an open
roadstead into a safe and capacious harbor, and there is now
probably no place in the East better supplied with mails and
passenger boats than Colombo. It is the calling place for the great
lines of steamers en route for Australia, for China and Japan, and for
Calcutta and Burmah, not to mention smaller coasting boats from the
mainland of India, and so forth. The city itself has only the slightest
resemblance to a European town. There is a fort certainly, and a
Government House, and barracks with a regiment of infantry (part of
whom however are generally up country); there are two or three
streets of two or even three-storied houses, with shops, banks,
mercantile offices, etc.; a few hotels and big goods stores, a
lighthouse, and a large engineering works, employing some
hundreds of Cinghalese and Tamil operatives; and then you have
done with the English quarter. The land is flat, and round about the
part just described stretch open grass-covered spaces, and tree-
fringed roads, with the tiny booths or huts of the darkies on both
sides of them. Here and there are knots and congeries of little
streets and native markets with multifarious life going on in them.
Here is a street of better built cottages or little villas belonging to
Eurasians—the somewhat mixed descendants of old Dutch and
Portuguese settlers—small one or seldom two-storied houses of
stuccoed brick, with a verandah in front and a little open court within,
clustering round an old Dutch church of the 17th century. Here is the
residential quarter of the official English and of the more aspiring
among the natives—the old Cinnamon Gardens, now laid out in
large villa-bungalows and private grounds. Here again is a Roman
Catholic church and convent, or the grotesque façade of a Hindu
temple; and everywhere trees and flowering shrubs and, as one
approaches the outskirts of the town, the plentiful broad leaves of
coco-palms and bananas overshadowing the roads. Nor in any
description of Colombo should the fresh-water lake be forgotten,
which ramifying and winding in most intricate fashion through the
town, and in one place coming within a hundred yards of the sea,
surprises one continually with enchanting glimpses. I don’t know any
more delightful view of its kind—all the more delightful because so
unexpected—than that which greets the eye on entering the Fort
Railway Station at Colombo. You pass through the booking-office
and find yourself on a platform, which except for the line of rails
between might be a terrace on the lake itself; a large expanse of
water with wooded shores and islands, interspersed with villas,
cottages and cabins, lies before you; white-sailed boats are going to
and fro; groups of dark figures, waist-deep in water, are washing
clothes; children are playing and swimming in the water; and when,
as I saw it once, the evening sun is shining through the transparent
green fringe of banana palms which occupies the immediate
foreground, and the calm lake beyond reflects like a mirror the
gorgeous hues of sky and cloud, the scene is one which for effects
of color can hardly be surpassed.
Up and down these streets and roads, and by the side of this
lake, and along the seashore and through the quays and docks,
goes, as may be imagined, a most motley crowd. The Cinghalese
and the Tamils are of course the most numerous, but besides these
there are Mahomedans—usually called Moor-men here—and some
Malays. The English in Ceylon may be divided into three classes: the
official English, the planters, and the small trading English (including
employees on railway and other works). Then there are the
anglicised native gentry, Cinghalese or Tamil, some of whom occupy
official positions, and who largely adopt European dress and habits;
the non-anglicised ditto, who keep to their own ways and costume,
and are not much seen in public; the Dutch Eurasians, many of
whom become doctors or solicitors (proctors); and the Portuguese,
who are frequently traders in a small way.
Specimens of all these, in their different degrees of costume and
absence of costume, may be seen in Colombo, as indeed in almost
any place in Ceylon which can be dignified with the name of a town.
Here for instance is a great big Moor-man with high fez of plaited
grass, baggy white pants and turned-up shoes; a figured vest on his
body, and red shawl thrown over one shoulder. [He is probably a
well-to-do shopkeeper; not an agreeable face, but I find the
Mahomedans have a good reputation for upright dealing and fidelity
to their word.]
Here a ruddy-brown Cinghalese man, with hairy chest, and
nothing on but a red loin-cloth, carrying by a string an earthenware
pot, probably of palm-beer. [A peasant. The Cinghalese are
generally of this color, whereas the Tamils tend towards black,
though shading off in the higher castes to an olive tint.]

CINGHALESE MAN.
Another Cinghalese, dressed all in white, white cotton jacket and
white cloth hanging to below the knees, with elegant semicircular
tortoise-shell comb on his head; a morbidly sensitive face with its
indrawn nose and pouting lips. [Possibly a private servant, or small
official of one of the courts, or Arachchi. The comb is a great mark of
the low-country Cinghalese. They draw the hair backwards over the
head and put the comb on horizontally, like an incomplete crown,
with its two ends sticking up above the forehead—very like horns
from a front view! The hair is then fastened in a knot behind, or
sometimes left hanging down the back. This is a somewhat feeble
face, but as a rule one may say that the Cinghalese are very
intelligent. They make excellent carpenters and mechanics. Are
generally sensitive and proud.]
A JAFFNA TAMIL.

Here come two Englishmen in tweed suits and tennis shoes—


their umbrellas held carefully by the middle—apparently of the
planter community, young, but rather weedy looking, with an
unsteady, swimmy look about the eyes which I fear is not uncommon
among the planters; I have seen it already well-developed in a mere
boy of eighteen.
Here a dozen or so of chetties (a Tamil commercial caste), with
bare shaven and half-shaven heads, brown skins, and white muslins
thrown gracefully round their full and sleek limbs; the sacred spot
marked on their foreheads, red betel in their mouths, and avarice in
their faces.
There a Tamil coolie or wage-worker, nearly naked except for a
handkerchief tied round his head, with glossy black skin and slight
yet graceful figure.
Here a pretty little girl of nine or so, with blue beads round her
neck, and the usual white cotton jacket and colored petticoat or çilai
of the Cinghalese women, walking with a younger brother.
Here three young Eurasian girls in light European costume and
straw hats, hair loose or in pigtails down their backs, very pretty.
[They are off for a walk along the Galle Face promenade by the sea,
as the heat of the day is now past.]
Here also an English lady, young and carefully dressed, but
looking a little bored, driving in her pony-trap to do some shopping,
with a black boy standing behind and holding a sunshade over her.
A JINRICKSHAW.
(Tamil cooly, Eurasian girl.)

One of the features of Colombo are the jinrickshaws, or light two-


wheeled gigs drawn by men, which abound in the streets. These
Tamil fellows, in the lightest of costumes, their backs streaming
under the vertical sun, bare-legged and often bare-headed, will trot
with you in a miraculous way from one end of Colombo to the other,
and for the smallest fee. Tommy Atkins delights to sit thus lordly
behind the toiling “nigger.” At eventide you may see him and his
Eurasian girl—he in one jinrickshaw and she in another—driving out
to the Galle Face Hotel, or some such distant resort along the shore
of the many-sounding ocean. The Tamils are mostly slight and
graceful in figure, and of an active build. Down at the docks they
work by hundreds, with nothing on beyond a narrow band between
the thighs, loading and unloading barges and ships—a study of the
human figure. Some of them of course are thick and muscular, but
mostly they excel in a kind of unconscious grace and fleetness of
form as of the bronze Mercury of Herculaneum, of which they often
remind me. Their physiognomy corresponds with their bodily activity;
the most characteristic type that I have noticed among them has
level brows, and eyes deep-set (and sometimes a little close
together), straight nose, and well-formed chin. They are a more
enterprising pushing and industrious people than the Cinghalese,
eager and thin, skins often very dark, with a concentrated,
sometimes demonish, look between the eyes—will-power evidently
present—but often handsome. Altogether a singular mixture of
enterprise with demonic qualities; for occultism is rife among them,
from the jugglery of the lower castes to the esoteric philosophy and
speculativeness of the higher. The horse-keepers and stable boys in
Ceylon are almost all Tamils (of a low caste), and are a charming
race, dusky active affectionate demons, fond of their horses, and
with unlimited capacity of running, even over newly macadamised
roads. The tea-coolies are also Tamils, and the road-workers, and
generally all wage-laborers; while the Cinghalese, who have been
longer located in the island, keep to their own little peasant holdings
and are not at all inclined to come under the thumb of a master,
preferring often indeed to suffer a chronic starvation instead.
The Tamil women are, like their lords, generally of a slighter build
than the Cinghalese of the same sex, some indeed are quite
diminutive. Among both races some very graceful and good-looking
girls are to be seen, up to the age of sixteen or so, fairly bright even
in manner; especially among the Cinghalese are they distinguished
for their fine eyes; but at a later age, and as wives, they lose their
good looks and tend to become rather heavy and brutish.
The contrast between the Cinghalese and the Tamils is
sufficiently marked throughout, and though they live on the island on
amicable terms there is as a rule no love lost between them. The
Cinghalese came to Ceylon, apparently from the mainland of India,
somewhere in the 6th century b.c., and after pushing the aborigines
up into the woods and mountains (where some of them may yet be
found), occupied the whole island. It was not long however before
the Tamils followed, also from India; and since then, and through a
long series of conflicts, the latter have maintained their position, and
now form the larger part of the population in the north of the island,
while the Cinghalese are most numerous in the south. Great
numbers of Tamil peasants—men, women, and children—still come
over from the mainland every year, and go up-country to work in the
tea-gardens, where there is a great demand for coolie labour.

CINGHALESE GIRL.

In character the Cinghalese are more like the Italians, easy-


going, reasonably idle, sensitive, shrewd, and just a bit romantic.
Their large eyes and tortoise-shell combs and long hair give them a
very womanly aspect; and many of the boys and youths have very

Anda mungkin juga menyukai