MAKALAH FIKIH MAWARIS Fiks

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FIKIH MAWARIS
“KONSEP DASAR KEWARISAN”

Disusun Oleh Kelompok I:


Riski Alfansyah 2121084
Fadillah Yatul Khairiyah 2121090
A’isyah Hilal 2121098

Dosen Pengampu:
Dr. Etri Wahyuni, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
1444 H/ 2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Alhamdulillahirabbil‟alamin, segala puji dan syukur atas kehadirat ‫ ﷲ‬Swt atas hidayahnya
yang tiada terkira besarnya, dan tidak bosannya kita curahkan kepada Nabi besar kita yaitunya
Nabi ‫ ﷴﷺ‬sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Dasar Kewarisan.”

Segala sanjungan dan shalawat tidak bosan-bosannya pemakalah limpahkan kepada


Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia dari alam jahiliah ke alam islamiyah seperti
yang kita rasakan saat ini. Para pembaca yang budiman dan dirahmati Allah, makalah ini penulis
susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Fikih Mawaris.

Pemakalah mengucapkan terima kasih kepada ibu Etri Wahyuni yang telah membimbing
penulis dalam menyusun makalah ini, serta semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi
dalam penyusunan makalah. Atas perhatian dan segala saran dari pembaca, penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat dan berguna terutama bagi pemakalah sendiri.

Bukittinggi, 10 Maret 2023

Kelompok 01

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................................1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................1
C. Tujuan Masalah .....................................................................................................1

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Fikih Mawaris ....................................................................................2


B. Rukun dan Syarat Kewarisan Islam....................................................................3
C. Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam .........................................................5

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................................9
B. Saran ......................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris Islam merupakan bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil
dari Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam, merupakan separuh
pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad Shallallahu
„Alaihi wa Sallam. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh
pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat
muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, masa kini serta di masa yang akan
datang. Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah
ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada
tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris.
Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan
hukum adalah bagian dari aspekajaran Islam yang pokok.

Hukum kewarisan Islam bukanlah spesial untuk laki-laki atau perempuan saja,
tetapi untuk kedua-duanya sesuai dengan peran masing-masing selaku insan Allah
Subhanallahu wa Ta‟ala yang telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Dengan kata lain, kaum laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas kaum
perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dankewajiban atas kaum laki-laki.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fikih Mawaris?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Kewarisan Islam?
3. Apa saja Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Fikih Mawaris,
2. Untuk mengetaui apa saja Rukun dan Syarat Kewarisan Islam,
3. Untuk mengetahui Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fikih Mawaris
Fikih mawaris merupakan suatu bentuk idafah (majemuk) yang terdiri dari dua kata,
fikih dan mawaris, lalu mengarah pada satu kesatuan makna. Untuk mendapatkan
pemahaman terhadap istilah ini, terlebih dahulu akan diuraikan pengertiannya secara
etimologis. Fikih adalah turunan dari kata faqiha yang berarti pemahaman. Sedangkan
mawaris merupakan bentuk jamak, yang mufradnya adalah miras. Kata ini sendiri
merupakan derivasi dari warisa yang berarti mewarisi.
Kata kewarisan berasal dari kata waris, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
waris berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah
meninggal.1 Kewarisan dalam hukum Islam kewarisan disebut Ilmu Faraidh ( ‫ع لن‬
‫)ال فرائ ض‬. Kadang disebut juga “Mawaris”. Al-mawaris (‫ )ال مواري ث‬adalah disiplin ilmu
islam yang mengatur pembagian harta warisan kepada sesiapa yang berhak
mendapatkannya. Kata fara‟idh ( ‫ر ال‬ ) adalah bentuk jamak dari lafadz “Faridhah” yang
berarti “Mafrudhah (‫”)ةضورفم‬, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya
(ketentuannya), karena saham-saham yang telah dipastikan kadarnya.2
Faraidh menurut Imam Syafi‟i adalah bentuk jamak dari fariidhah, bermakna
mafruudhah, yang artinya adalah pembagian-pembagian yang telah ditetapkan. Al-Fardh
menurut istilah bahasa ialah pembagian, sedangkan menurut syara‟ ialah bagian yang
tertentu untuk ahli waris menurut ketentuan syari‟at Islam.3
Dari uraian tentang faraidh di atas maka dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa
yang dimaksud dengan faraidh adalah ilmu yang mempelajari tentang ketetentuan-
ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. Definisi tersebut berlaku juga bagi ilmu mawarits,
sebab ilmu mawarits, tidak lain adalah nama lain bagi Ilmu Faraidh. Kata Al-Mawarits,
adalah bentuk jama‟ dari kata Mirats. Dan yang dimaksud dengan al-mirats adalah harta
peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya.
Rasullulah SAW menggunakan kata faraid dan tidak menggunnakan kata
mawaris. Hadis riwayat Ibnu Abas Ma‟ud berbunyi: dari Ibnu Abas dia berkata,
1
Poerwadirminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 1148.
2
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002), h.13.
3
Syekh Muhammd Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, (Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 1996, Juz II), h. 1405.
2
Rasullulah bersabda: Pelajarilah Al-Qur‟an dan ajarkanlah pada orang lain. Pelajari
pula faraid dan ajarkan kepada orang-orang (HR Ahmad).4
Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan definisi hukum
kewarisan dalam beberapa bagian.
1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.
3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris
4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya
5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.5
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada
asasnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda

4
Maryati Bachtiar, Hukum Waris Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkedilan Gender, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 3, No. 1, 2017, h. 10-11.
5
Wasikoh Soleman, Fiqh Mawaris dan Hukum Adat Waris Indonesia, Al-Mujtahid: Journal of Islamic Family
Law, Vol. 2, No. 2, 2022, h. 95.

3
saja yang dapat diwaris.6
Dari definisi di atas, dapatlah difahami bahwa ilmu faraidh atau fikih mawaris
adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang
yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik yang mengenai harta yang
ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian
masing masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.
B. Rukun dan Syarat Kewarisan Islam
1. Rukun Kewarisan
Waris menuntut adanya tiga hal:
a. Pewarits (al-waarits): ialah orang yang mempunyai penyebab kewarisan dengan
mayit sehingga ia memperoleh kewarisan.
b. Orang yang mewariskan (al-muarits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata maupun
dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang dinyatakan mati.
c. Harta yang diwariskan (al-mauruts): disebut pula peninggalan dan warisan. Yaitu
harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewarisi kepada pewaris. Istilah
mauruts, dikalangan faradhiyun tidak sepopuler dengan istilah tirkah atau tarikah.
Tirkah ialah apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang
dibenarkan oleh syari‟at untuk dipusakai oleh para ahli waris.7
2. Syarat Kewarisan
Pada hakekatnya subyek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah
seseorang yang meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris adalah seseorang atau
beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan. Pada umumnya mereka yang
menjadi ahli waris adalah mereka yang menjadi besar dan hidup sangat dekat dengan si
peninggal warisan. Pertama pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari si
peninggal harta, baik anak laki-laki dan atau anak perempuan. Apabila diadakan perincian,
maka masyarakat hukum di Indonesia mengadakan pembedaan dalam hal anak-anak
sebagai ahli waris.
a. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata atau pun

6
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 3.
7
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 4.

4
kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian
seseorang yang hilang, keputusan itu menjadikan orang yang hilang, keputusan
itu menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara hakiki.8
Kematian muwarits itu, menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam:
1) Mati Haqiqi, ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa sudah
berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari kematian
seseorang ialah bahwa seluruh harta yang ditinggalkannya setelah
dikurangi untuk memenuhi hak-hak yang bersangkutan dengan harta
peninggalannya, beralih dengan sendirinya kepada ahli waris yang masih
hidup disaat kematian muwarrits, dengan syarat tidak terdapat salah satu
dari halangan-halangan mempusakai.
2) Mati Hukmy, ialah satu kematian disebabkan adanya vonis hakim, baik
pada hakikatnya, seseorang masih benar-benar hidup, maupun dalam dua
kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang telah di
vonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup ialah vonis mati terhadap
orang murtad yang melarikan diri dan menggabungkan pada musuh.
Vonis mengharuskan demikian karena menurut syari‟at, selama tiga hari
dia tiada betobat, harus dibunuh. Contoh vonis kematian seseorang,
padahal dia ada kemungkinan ia masih hidup, yaitu orang yang tidak
diketahui kabar beritanya, tak dikenal domisilinya dan tidak pula
diketahui hidup atau matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati
terhadap dua jenis orang tersebut, maka berlakunya berlakunya ialah
sejak tanggal yang termuat dalam vonis. Oleh karena itu para ahli waris
yang masih hidup sejak vonis kematiannya berhak mempusakai, karena
orang yang mewariskan seolah-olah telah mati sejati disaat vonis
dijatuhkan dan ahli waris yang mendahului vonis sudah tidak berhak
terhadap harta peninggalannya.
3) Mati Taqdiry, ialah suatu kematian bukan haqiqi dan bukan hukmi, tetapi
semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras.9

8
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), h. 228.
9
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1994), h. 79.
5
b. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu
secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan itu secara hukum dianggap
hidup, karena mungkin rohnya belum ditiupkan. Apa bila tidak diketahui bahwa
pewaris itu hidup sesudah orang yang memariskan mati, seperti karena
tenggelam atau terbakar atau tertimbun: maka di antar mereka itu tidak ada
waris mewarisi jika mereka termasuk orang – orang saling mewarisi. Dan harta
masing-masing dari mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
Para ahli yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits baik mati haqiqi,
mati hukmi ataupun mati taqdiri berhak mewarisi.
c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan, tidak ada penghalang
pusaka-mempusakai (mawan’inul irtsi). Biarpun syarat pusaka mempusakai itu
telah ada pada muwarrits dan waris, namun salah seorang dari salah mereka
tidak dapat mempusakakan harta peninggalannya kepada yang lain atau
mempusakai harta peninggalan dari yang lain, selama masih terdapat salah satu
dari empat macam penghalang mempusakai, yakni: perbudakan, pembunuhan,
perbedaan agama, dan perbedaan negara.10

C. Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam


Sumber hukum pembagian harta pusaka menurut jumhur ulama ada empat, yaitu Al-
Qur‟an, Hadits, Ijma‟ dan Ijtihad.
1. Al-Qur’an
Ketentuan-ketentuan tentang ilmu mawaris, khususnya yang berkaitan dengan
pembagian harta warisan, pokok-pokoknya telah ditentukan oleh Al-Qur'an. Al-Qur'an
telah menjelaskanya dengan jelas dan tegas. Bahkan tidak ada hukum-hukum yang
dijelaskan secara terperinci seperti hukum waris. Antara lain dijelaskan secara dalam
surat an-Nisa ayat 11-12 :

ْ ‫سا ًء َف ُْقَ اثْىَتَي ِْه فَهَ ٍُ هه ث ُهُثَا َما َ ََزََ ََ ِِ ْن َكاو‬


‫َت‬ َ ِ‫ظ األ ْوثَيَي ِْه فَإ ِ ْن ُك هه و‬ ّ ِ ‫َّللاُ ِفي أ َ َْال ِد ُك ْم ِنهذه َك ِز ِمثْ ُم َح‬
‫ُُصي ُك ُم ه‬ ِ ‫ي‬
ًَُ‫ُس ِم هما َ ََزََ ِِ ْن َكانَ نًَُ ََنَدٌ فَإ ِ ْن نَ ْم َي ُك ْه َنًُ ََ َندٌ ََ ََ ِرث‬
ُ ‫سد‬ ُّ ‫اح ٍد ِم ْى ٍُ َما ان‬ِ ََ ‫ف ََأل َب َُ ْي ًِ ِن ُك ِّم‬
ُ ‫ص‬ ْ ّ‫احدَة ً فَهَ ٍَا ان ِى‬
ِ ََ

10
Ibid.,
6
‫ُُصي بِ ٍَا أ َ َْ دَي ٍْه آبَاؤُ ُك ْم ََأ َ ْبىَاؤُ ُك ْم ال‬
ِ ‫صيه ٍة ي‬ ِ ََ ‫ُس ِم ْه بَ ْع ِد‬
ُ ‫سد‬ ّ ِ َ‫ث فَإ ِ ْن َكانَ نًَُ ِِ ْخ َُة ٌ ف‬
ُّ ‫ألم ًِ ان‬ ُ ُ‫ألم ًِ انثُّه‬ّ ِ َ‫أَبَ َُايُ ف‬
11
)١١( ‫ع ِهي ًما َح ِكي ًما‬ ‫ضةً ِمهَ ه‬
‫َّللاِ ِِ هن ه‬
َ َ‫َّللاَ َكان‬ َ ‫ب نَ ُك ْم وَ ْفعًا فَ ِزي‬ُ ‫ََد ُْرَنَ أَيُّ ٍُ ْم أ َ ْق َز‬

Artinya: “Allah mensyari‟atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-


anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang
saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak,
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh
kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. (QS. An-Nisa : 11)

Analisa: Surah an-Nisa ayat 11 menjelaskan tentang ketentuan pemberian kepada setiap
pemilik warisan atau ahli waris. Ayat di atas juga memberi penegasan bahwa ada hak untuk
laki-laki maupun perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat
yang diatur oleh Allah. Serta penjelasan mengenai pembagian warisan seorang anak laki-
laki yang sama dengan bagian dua orang anak perempuan dengan perbandingan 2:1.

2. Hadis

Hadis adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur'an. Sesuai dengan
kedudukannya, Hadis memberikan penegasan, penjelasan apa yang belum ada dalam
Al-Qur'an. Hadis Juga memberi dorongan dan motivasi mengenai pelaksanaan mawaris.
Rasulullah Saw. bersabda:

)‫أ َ ْق ِس ُمُا انمال بَيْهَ أٌَ ِم ان َفزائض عهى كتاب هللا (رَاي مسهم َابُداَد‬
11
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2002), h.
79.

7
Artinya: "Bagilah harta (waris) antara ahli-ahli waris menurut ketentuan kitab Allah". (H.R.
Muslim dan Abu Dawud).12

Analisa: Maksud hadits di atas adalah Allah memerintahkan untuk pembagian harta
kewarisan dilaksanakan harus sesuai dengan ketentuan yang telah di berlakukan dalam
hukum Islam. Aturan terebut telah ditetapkan Allah melalui firman-Nya yang terdapat
dalam kitab al-Qur‟an.

3. Ijma’ dan Qiyas

Ijma‟ dan ijtihad para sahabat, imam madzhab dan mujtahid kenamaan banyak
perannya serta tidak sedikit sumbangsihnya terhadap pemecahan-pemecahan masalah
fara‟idh atau waris yang belum dijelaskan dalam nas-nas AlQur‟an maupun Hadits.
Banayak masalah-masalah yang berhubungan dengan fara‟idh atau waris diputuskan
melalui kesepakatan ijma‟ dan ijtihad mereka, seperti:

a. Masalah saudara-saudara mewarisi bersama kakek, yang dalam Al-Qur‟an


maupun Hadits tidak dijelaskan.
b. Status cucu yang yang terlebih dahulu meninggal dunia dari pada kakek yang
bakal diwarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayah (paman-si cucu).13

12
Hasanudin, Fiqh Mawaris Problematika dan Solusi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2020), h. 6.
13
Asyhari Abta dan Junaidi Abd. Syukur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005), h. 6.
8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara‟id dinamakan Tirkah(peninggalan)
merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yangmeninggal, baik berupa uang atau materi
lainya yang dibenarkan olehsyariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan
dalampelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggalharus
diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang adapada bagiannya. Kebendaan
dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilaikebendaan. Hak-hak kebendaan dan hak-hak yang
bukan kebendaan danbenda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.2.

2. Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkandengan seadil-adilnya


sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinyakonflik antar ahli waris dan menghindari
perpecahan ukhuwahpersaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup.
Pembagiantersebut sudah di atur dalam al-Quran dan al-Hadits, namun ada
beberapaketentuan yang di sepakati menggunakan Ijma‟ dengan seadil-adilnya.

B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena seringmenimbulkan
perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untukmecegah perpecahan dalam tali
persaudaraan, sebaiknya gunakanlahpembagian waris sesuai dengan hukum Islam. Sebagai
masyarakat yang hidup di zaman modern, sebaiknya kita lebih menggali informasi dengan
mengikuti perkembangan zaman karena pentingnya masalah seperti warisan, informasi yang di
dapatkan masyarakat bisa bermanfaat bagi orang lain.
Serta mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikioleh
penyusun, maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar danluas lagi disarankan
kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yanglebih baik. Dalam makalah ini
penyusun berkeinginan memberikan masukankepada pembaca agar terus mempelajari dan
mengkaji ilmu berkaitan denganhukum, terutama Hukum Kewarisan Islam khususnya.
9
DAFTAR PUSTAKA

Abta Asyhari dan Abd Junaidi, Syukur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikmah
Perdana, 2005.

Ash-Shabuni Muhammad Ali, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara,
2002

Bachtiar Maryatir , Hukum Waris Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 1, 2017.

Hasanudin, Fiqh Mawaris Problematika dan Solusi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2020.

Muhammd Syekh Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Juz II, Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 1996.

Perangin Effendi, Hukum Waris, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Poerwadirminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985.

Rahman Fathur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma‟arif, 1994.

Rofiq Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: Raja Grafindo Persada, 2005).

Soekanto Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1983.

Soleman Wasikoh, Fiqh Mawaris dan Hukum Adat Waris Indonesia, Al-Mujtahid: Journal of
Islamic Family Law, Vol. 2, No. 2, 2022.

Usman Suparman dan Somawinata Yusuf, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002.

10
s

11

Anda mungkin juga menyukai