Kotak Padora

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

KOTAK PANDORA-LUKISAN

Jari-jemari tanganku mulai bergerak untuk mengambil benda perak yang


berkilau indah. Sekelebat ingatan tiba-tiba mengusik pikiranku. Hanya tinggal sejengkal
lagi untuk mengambil benda yang indah itu. Namun, suara-suara di kepalaku mulai
bertengkar, berisik. Jari-jemari tangan terhenti di udara, terkepal.
Bola mataku mengalihkan pandangan ke satu set alat lukis dan tumpukan kanvas
kecil yang baru ku restock satu minggu yang lalu. Suara-suara itu telah reda, otak ku
memerintahkan saraf-saraf tubuh untuk mengambil satu set alat lukis dan sebuah
kanvas.
Kakiku melangkah ke depan cermin besar yang terletak di samping jendela kaca
kamar tidur ku, menampilkan pemandangan kota pada malam hari. Sekilas melihat
wajah kusut ku, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di depan cermin. Tanganku
mulai menulis di atas kanvas dengan pena bertinta merah, kata demi kata terukir,
menumpahkan semua suara yang tadi sempat mengganggu pikiranku.
Lantas jemariku mengambil salah satu cat akrilik. Goresan demi goresan kuas
mulai mengisi kanvas, sampai seluruh kanvas berwarna abu-abu. Tak lama kemudian
dengan pola abstrak dengan warna merah, cokelat, dan biru mulai ikut mengisi. Tidak
lupa aku kemudian menggoreskan dua titik dan satu garis melengkung ditengah-tengah
kanvas, wajah tersenyum, menggunakan cat warna putih. Selesai.
Tanganku mulai membereskan peralatan melukis, meletakkannya kembali ke
dalam laci meja belajar, di samping kotak pensil berwarna ungu. Memasukkan hasil
lukisan ke dalam kotak yang berada di bawah tempat tidur, bergabung dengan puluhan
lukisan lainnya. Setelah mematikan lampu, aku memutuskan untuk tidur.
“Selamat pagi, Ema,” sapa Zia yang menunggu ku di depan gerbang sekolah.
“Pagi Zia,” balasku. Kami berdua melangkah memasuki area sekolah yang masih sepi,
maklum baru pukul setengah tujuh pagi. Perjalanan singkat kami diisi dengan
pembicaraan ngalor-ngidul, mulai dari membahas makanan hingga drama terbaru.
Sesampainya di kelas, kami meletakkan tas di kursi masing-masing
“Zia, ayo! Keburu bel masuk bunyi.” Sambil menarik tangan Zia, aku berlari-lari
kecil menuju pohon beringin besar yang ada di samping perpustakaan. Setelah itu kami
mendudukkan diri di bangku yang ada di bawah pohon beringin.
“Sabar dong Ema, masih lama juga bel masuk bunyi. Kamu ini, gimana kalau
tadi pas lari-larian kamu jatuh? Kamu ini udah tau ceroboh, kurang hati-hati pula,” Zia
menasihati ku lagi, seperti figur kakak. Omelannya hanya ku balas degan cengiran polos
andalan ku,
“Udah-udah ngomelnya, jadi siapa dulu yang mau bilang?” tanyaku setelah
duduk di salah satu bangku. Zia terdiam. Sambil menundukkan kepala, memperhatikan
kedua kakiku yang mengalun bebas. Hah, kapan aku tumbuh tinggi seperti Zia.
“Karena minggu lalu kamu yang duluan, sekarang giliran ku,” jawabnya sambil
tersenyum. Mendongakkan kepala, bibir ku menarik senyum.
“Dua.” Hanya itu yang Zia katakan. Aku mengangguk, kami tau apa itu
maksudnya. “Hey, itu sudah bagus. Aku masih tiga,” ujar ku sambil menundukkan
kepala. Sungguh aku malu. Mataku mulai terasa perih.
“Tidak papa, kita tetap harus berusaha kan? Bersama-sama, mari keluar dari
pusaran ini,” kata Zia sambil berjongkok di depanku, tak lupa tangannya yang
menggenggam tanganku. Menyalurkan kekuatan dan kehangatan. Aku beranikan diri
menatap bola matanya, cokelat karamel, warna yang cantik. Terlihat sinar kekuatan di
sana.
“Ya, kita masih harus berusaha. Lagi pula dunia akan terus berputar tak peduli
siapa pun kita kan?” Ujarku diiringi tawa kecil. Zia ikut tertawa. Tuhan, aku berterima
kasih karena telah mengirimkan sahabat sebaik Zia.
Waktu terus bergulir, sekarang aku dan Zia sedang duduk di perpustakaan, area
novel. Seminggu lagi maka kami resmi lulus dari sekolah menegah atas. Dibalik novel
yang ku baca ku perhatikan Zia yang terlihat lesu. Entahlah, semenjak dua minggu yang
lalu dia terlihat menyembunyikan sesuatu dan banyak melamun.
“Stt, Zia, Ziaaa!” Dengan sedikit berteriak aku berhasil membawa keluar Zia
dari lamunannya. Semoga ibu penjaga galak tidak mendengar teriakan kecil ku tadi.
“Kenapa? Kamu ada masalah? Capek? Sakit? Atau lagi laper?” tanyaku bertubi-
tubi sambil menutup novel yang ku baca.
“Tanyanya satu-satu dong. Aku nggak papa kok Ema, gih lanjutin baca
novelnya.” Jawaban yang sama lagi, seolah aku buta dengan raut wajah dan gelagatnya.
“Ayo kembali ke kelas saja, aku bosan di sini,” ujarku sambil mengembalikan
novel ke tempatnya. Aku tau tatapan mata Zia yang meredup akhir-akhir ini, tapi aku
tidak ingin memaksanya untuk bercerita.
Pulang sekolah kami berdiri bersisian di halte, canggung. Zia selalu naik bus
untuk pulang pergi ke sekolah. Aku ingin memulai percakapan dan mengakhiri atmosfer
canggung ini. Tapi, kenapa rasanya semua kosa kata ku hilang pada saat-saat seperti ini.
“Maaf.” Kepalaku lantas menoleh ke Zia yang berdiri di sebelah kananku. Dia
melemparkan senyumnya kepadaku, senyum yang ganjil.
“Ah, harusnya aku yang meminta maaf. Sungguh aku tidak bermaksud memaksa
mu bercerita. Aku merasa tak berguna sebagai sahabatmu. Aku ingin menjadi tempat
cerita mu, tempat sandaran mu saat kau lelah, ingin menjadi kekuatan mu. Maaf, Zia.
Selama ini kau yang memberikan itu semua, sedangkan aku malah selalu bertingkah
seperti anak kecil. Maaf, Zia.”
“Tidak apa-apa, justru aku merasa senang, aku merasa seperti dibutuhkan. Aku
ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang. Ah, bis ku sudah datang. Hati-hati
dijalan Ema.” Kakinya melangkah masuk kedalam bus. Meninggalkan ku dengan tanda
tanya.
Ternyata tidak perlu waktu yang lama pertanyaan ku terjawab. Aku tak sengaja
mendengar percakapan Zia dengan Pak Kim, pembimbing ekstrakulikuler Bahasa
Korea, bahwa Zia diterima di salah satu universitas di Korea. Terkejut, tentu saja. Zia
tidak pernah bercerita kepada ku tentang rencananya. Seketika, aku merasa tidak
berguna, sahabat macam apa aku ini.
Tergesa-gesa aku kembali ke kelas, membuka ransel ku, mengambil kotak pensil
berwarna ungu dan botol air minumku yang tersisa setengah. Dengan berlari aku
menuju atap sekolah. Sesampainya di sana, ku dudukan tubuh ini di samping tumpukan
bangku yang rusak. Dengan tangan yang gemetar ku coba membuka ritsleting kotak
pensil. Akhirnya benda perak itu terlihat, memantulkan cahaya matahari, cantik sekali.
Jemariku perlahan mulai mengambilnya, pipih dan ringan. Aku mulai
mengarahkan benda perak itu ke lengan ku, dengan gerakan yang halus ku tarik garis
lurus di lenganku. Perih. Itu yang ku rasakan. Tapi ini belum cukup. Goresan pertama
membangkitkan kenangan. Suara-suara itu kembali.
‘Gendut, pendek, jelek, kekanak-kanakan, bodoh, tidak berguna.’ Suara itu
mulai berputar di kepalaku, seperti kaset rusak yang tidak mau berhenti. Semakin jelas,
semakin kuat.
‘Kenapa tidak bisa seperti dia, lihat temanmu, banggakan kami, jangan
mempermalukan kami.’ Suara ayah dan ibu terputar, bercampur dengan suara-suara
lainnya. Kepalaku pusing, berisik, ku goresakan lagi benda itu ke tanganku, lagi dan
lagi. Yang ada di pikiranku sekarang hanya bagaimana caranya membuat suara-suara itu
terhenti.
“Sudah Ema, sudah! Zia di sini, dengarkan suara Zia saja oke.” Suara Zia
membuatku berhenti, dia memeluk ku, menangis. Jemari ku menjatuhkan benda yang
sedari tadi aku pegang. Sebuah silet. Air mataku mengalir. Aku membalas pelukannya.
Kami menangis bersama.
Setelah itu apa yang terjadi? Tidak banyak sebenarnya. Zia akhirnya bercerita
tentang mimpinya berkuliah di Korea Selatan, membuktikan kepada kedua orang tuanya
bahwa ia bisa meraih impiannya. Selama ini dia selalu ditekan oleh keluarganya untuk
kuliah di kedokteran dengan alasan hampir semua anggota kelurga besarnya berprofesi
sebagai dokter. Namun akhirnya dia mendapat kesempatan bersekolah di Korea Selatan,
beasiswa, jurusan sastra. Percayalah saat diberi tahu aku sampai meloncat-loncat
kegirangan, padahal bukan aku yang diterima.
Kami berteman sejak bangku sekolah menengah pertama. Awal masuk di sma
yang sama kami saling terbuka. Menceritakan rahasia satu sama lain setelah dia
menemukan kotak pensil ungu-yang berisi cutter dan silet- saat dia menginap di
rumahku. Siapa sangka, Zia, anak yang cantik, ramah dan berprestasi juga sama seperti
ku. Kami yang sama-sama tertekan dan suka melukai diri sendiri dipertemukan, saling
menjadi penopang. Takdir Tuhan begitu indah bukan?
Apakah kami selalu menggores tubuh kami? Tidak selalu. Zia kadang sengaja
menyalakan api di tubuhnya dan percayalah luka bakar itu sakit sekali. Aku juga sering
memukuli kepalaku sendiri. Secara bertahap kami saling menguatkan, berusaha keluar
dari pusaran self harm. Setiap minggu kami menyebutkan berapa kali dalam seminggu
kami melakukannya. Kalian tahu kotak besar berisi lukisan-lukisan kecil itu kami
menyebutnya kotak pandora, kotak yang menyimpan rasa frustrasi kami. Pena tinta
merah kami gunakan untuk menuliskan berbagai suara-suara di kepala kami, yang
berusaha menghancurkan kami. Lalu kami tutupi dengan berbagai warna, menandakan
bahwa kata-kata itu berhasil kami singkirkan, bahwa kami menang. Lukisan-lukisan itu
sebagai bukti perjuangan kami keluar dari pusaran untuk menyakiti diri sendiri.
Hari ini aku mengantarkan Zia ke bandara, hari ini dia berangkat mengejar
mimpinya ke Negeri Gingseng. Sebelum itu dia menyerahkan secarik kertas yang
terlipat, dia meminta ku membukanya nanti ketika pesawatnya lepas landas. Sudah lima
menit sejak pesawat Zia lepas landas, aku membuka secarik ketas itu.
Saat kamu merasa lelah, cari saja kata kunci ini di Youtube mu ‘For Me by
Day6’. Jangan lupa self love, cantik.
Dasar maniak Day6. Sambil tersenyum aku berjanji dalam hati. Mari bertemu
lagi saat kita sama-sama mencapai impian kita, Zia.

Anda mungkin juga menyukai