BAB I Pengolahan Air

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan sumber bagi kehidupan. Sering kita mendengar bumi
disebut sebagai planet biru, karena air menutupi 3/4 permukaan bumi. Tetapi tidak
jarang pula kita mengalami kesulitan mendapatkan air bersih, terutama saat
musim kemarau disaat air umur mulai berubah warna atau berbau. Yang pasti kita
harus selalu optimis. Sekalipun air sumur atau sumber air lainnya yang kita miliki
mulai menjadi keruh, selama kuantitasnya masih banyak kita masih dapat
berupaya merubah/menjernihkan air keruh/kotor tersebut menjadi air bersih yang
layak pakai.
Kualitas air bersih dapat ditinjau dari segi fisik, kimia, mikrobiologi dan
radioaktif. Namun kualitas air yang baik ini tidak selamanya tersedia di alam
sehingga diperlukan upaya perbaikan, baik itu secara sederhana maupun modern.
Jika air yang digunakan belum memenuhi standar kualitas air bersih, akibatnya
akan menimbulkan masalah lain yang dapat menimbulkan kerugian bagi
penggunanya (Chandra, 2005).
Ada berbagai macam cara sederhana yang dapat kita gunakan untuk
mendapatkan air bersih, dan cara yang paling mudah dan paling umum digunakan
adalah dengan membuat saringan air, dan bagi kita mungkin yang paling tepat
adalah membuat penjernih air atau saringan air sederhana. Air bersih yang
dihasilkan dari proses penyaringan air secara sederhana tersebut tidak dapat
menghilangkan sepenuhnya garam yang terlarut di dalam air (Yahya, 2009)

1.2 Tujuan Percobaan


Adapun tujuan dari percobaan ini adalah:
1. Menjelaskan proses pengolahan air bersih (sedimentasi).
2. Menghitung efesiensi penyisihan bahan pencemar dari sumber air.
3. Menganalisa hubungan variabel perlakuan terhadap penyisihan bahan
pencemar.

1
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Air
Air merupakan kebutuhan yang paling utama bagi makhluk hidup. Manusia
dan makhluk hidup lainnya sangat bergantung dengan air demi mempertahankan
hidupnya. Air yang digunakan untuk konsumsi sehari -hari harus memenuhi
standar kualitas air bersih. Kualitas air bersih dapat ditinjau dari segi fisik, kimia,
mikrobiologi dan radioaktif. Namun kualitas air yang baik ini tidak selamanya
tersedia di alam sehingga diperlukan upaya perbaikan, baik itu secara sederhana
maupun modern. Jika air yang digunakan belum memenuhi standar kualitas air
bersih, akibatnya akan menimbulkan masalah lain yang dapat menimbulkan
kerugian bagi penggunanya. Air juga banyak mendapat pencemaran. Berbagai
jenis pencemar air berasal dari (Hanum, 2002):
a. Sumber domestik (rumah tangga), perkampungan, kota, pasar, jalan, dan
sebagainya.
b. Sumber non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan,
serta sumber-sumber lainnya.
Semua bahan pencemar diatas secara langsung ataupun tidak langsung akan
mempengaruhi kualitas air. Berbagai usaha telah banyak dilakukan agar kehadiran
pencemaran terhadap air dapat dihindari atau setidaknya diminimalkan. Masalah
pencemaran serta efisiensi penggunaan sumber air merupakan masalah pokok. Hal
ini mengingat keadaan perairan-alami di banyak negara yang cenderung menurun,
baik kualitas maupun kuantitasnya (Hanum, 2002).

2.2 Karakteristik Air


2.2.1 Karakteristik Fisik Air
Adapun karakteristik fisik dari air itu sendiri yang biasa dijadikan sebagai
pedoman air bersih diantaranya (Tim Penyusun, 2012):

2
A. Kekeruhan
Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan anorganik dan
organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh
buangan industri.
B. Temperatur
Kenaikan temperatur air menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut.
Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak
sedap akibat degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi.
C. Warna
Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan
tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta
tumbuh-tumbuhan.
D. Solid (Zat padat)
Kandungan zat padat menimbulkan bau busuk, juga dapat meyebabkan
turunnya kadar oksigen terlarut. Zat padat dapat menghalangi penetrasi sinar
matahari kedalam air.
E. Bau dan rasa
Bau dan rasa dapat dihasilkan oleh adanya organisme dalam air seperti
alga serta oleh adanya gas seperti H2S yang terbentuk dalam kondisi anaerobik,
dan oleh adanya senyawa-senyawa organik tertentu

2.2.2 Karakteristik Kimia Air


Adapun karakteristik kimia dari air itu sendiri yang dijadikan sebagai
pedoman untuk menentukan kualitas air, diantaranya (Tim Penyusun, 2012):
A. pH
Pembatasan pH dilakukan karena akan mempengaruhi rasa, korosifitas air
dan efisiensi klorinasi. Beberapa senyawa asam dan basa lebih toksid dalam
bentuk molekuler, dimana disosiasi senyawa-senyawa tersebut dipengaruhi oleh
pH.

3
B. DO (dissolved oxygent)
DO adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa
dan absorbsi atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah DO maka kualitas air
semakin baik. Satuan DO biasanya dinyatakan dalam persentase saturasi.
C. BOD (biological oxygent demand)
BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorgasnisme
untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat pencerna) yang terdapat di dalam air
buangan secara biologi. BOD dan COD digunakan untuk memonitoring kapasitas
self purification badan air penerima.
Reaksi:
Zat Organik + m.o + O2 CO2 + m.o + sisa material organik (CHONSP)
D. COD (chemical oxygent demand)
COD adalah banyaknya oksigen yang di butuhkan untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik secara kimia.
Reaksi:
Zat Organik + O2 CO2 + H2O
E. Kesadahan
Kesadahan air yang tinggi akan mempengaruhi efektifitas pemakaian sabun,
namun sebaliknya dapat memberikan rasa yang segar. Di dalam pemakaian untuk
industri (air ketel, air pendingin, atau pemanas) adanya kesadahan dalam air
tidaklah dikehendaki. Kesadahan yang tinggi bisa disebabkan oleh adanya kadar
residu terlarut yang tinggi dalam air.
F. Senyawa-senyawa kimia yang beracun
Kehadiran unsur arsen (As) pada dosis yang rendah sudah merupakan racun
terhadap manusia sehingga perlu pembatasan yang agak ketat (± 0,05 mg/l).
Kehadiran besi (Fe) dalam air bersih akan menyebabkan timbulnya rasa dan bau
ligam, menimbulkan warna koloid merah (karat) akibat oksidasi oleh oksigen
terlarut yang dapat menjadi racun bagi manusia.

4
2.3 Proses Pengolahan Air
Proses pengolahan air menjadi air bersih harus melalui beberapa tahapan-
tahapan, yaitu (Yayan, 2009):
1. Screening
Pada tahapan screening dilakukan penyisihan material yang ukurannya
lebih besar dari celah (bukaan) screen yang digunakan. Material yang disisihkan
dapat berupa sampah atau benda lainnya (misalnya plastik, daun-daunan, kayu)
yang kemungkinan masuk ke dalam saluran air limbah. Berdasarkan ukuran
celahnya, screen dapat dibagi menjadi dua macam yaitu coarse screen dan fine
screen.
3 Tangki sedimentasi
Tangki sedimentasi berfungsi untuk mengendapkan kotoran-kotoran
berupa lumpur dan pasir. Pada tangki sedimentasi terdapat waktu tinggal. Ke
dalam tangki sedimentasi ini diinjeksikan klorin yang berfungsi sebagai oksidator
dan desinfektan. Sebagai oksidator klorin digunakan untuk menghilangkan bau
dan rasa pada air.
3. Klarifier (clearator)
Klarifier berfungsi sebagai tempat pembentukan flok dengan penambahan
larutan Alum (Al2(SO4)3 sebagai bahan. Pada klarifier terdapat mesin agitator
yang berfungsi sebagai alat untuk mempercepat pembentukan flok. Pada klarifier
terjadi pemisahan antara air bersih dan air kotor. Air bersih ini kemudian
disalurkan dengan menggunakan pipa yang besar untuk kemudian dipompakan ke
filter. Klarifier terbuat dari beton yang berbentuk bulat yang dilengkapi dengan
penyaring dan sekat.
Dari inlet pipa klarifier, air masuk ke dalam primary reaction zone. Di
dalam prymari reaction zone dan secondary reaction zone, air dan bahan kimia
(Koagulan yaitu tawas) diaduk dengan alat agitataor blade agar tercampur
homogen. Maka koloid akan membentuk butiran-butiran flokulasi.
Air yang telah bercampur dengan koagulan membentuk ikatan flokulasi,
masuk melalui return floc zone dialirkan ke clarification zone. Sedimen yang
mengendap dalam concentrator dibuang. Hal ini berlangsung secara otomatis yang

5
akan terbuka setiap satu jam sekali dalam waktu 1 menit. Air yang masuk ke
dalam clarification zone sudah tidak dipengaruhi oleh gaya putaran oleh agitator,
sehingga lumpurnya mengendap. Air yang berada dalam clarification zone adalah
air yang sudah jernih.
4. Sand Filter
Penyaring yang digunakan adalah rapid sand fliter (filter saringan cepat).
Sand filter jenis ini berupa bak yang beriisi pasir kwarsa yang berfungsi untuk
menyaring flok halus dan kotoran lain yang lolos dari klarifier. Air yang masuk ke
filter ini telah dicampur terlebih dahulu dengan klorin dan tawas.
Media penyaring biasanya lebih dari satu lapisan, yaitu pasir kwarsa dan
batu dengan mesh tertentu. Air mengalir ke bawah melalui media tersebut.Zat-zat
padat yang tidak larut akan melekat pada media, sedangkan air yang jernih akan
terkumpul di bagian dasar dan mengalir keluar melalui suatu pipa menuju
reservoir.
5. Reservoir
Reservoir berfungsi sebagai tempat penampungan air bersih yang telah
disaring melalui filter, air ini sudah menjadi airyang bersih yang siap digunakan
dan harus dimasak terlebih dahulu untuk kemudian dapat dijadikan air minum.

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Air Minum (Hanum, 2002).

6
2.4 Zat-zat Kimia yang Digunakan
Adapun zat-zat kimia yang digunakan pada saat melakukan pengolahan air
dengan proses sedimentasi (Isnaniawardhana, 2009):
2.4.1 Tawas
Tawas merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan karena
bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta mudah
penyimpanannya. Jumlah pemakaian tawas tergantung kepada turbidity
(kekeruhan) air baku. Semakin tinggi turbidity air baku maka semakin besar
jumlah tawas yang dibutuhkan. Pemakain tawas juga tidak terlepas dari sifat-sifat
kimia yang dikandung oleh air baku tersebut.
Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
Al2(SO4)3 2 Al+3 + 3(SO4)-2
Air akan mengalami :
H2O H+ + OH-
Selanjutnya :
2 Al+3 + 6OH- 2Al(OH)3
Selain itu akan dihasilkan asam :
3(SO4)-2 + 6H+ H2SO4
Dengan demikian makin banyak dosis tawas yang ditambahkan maka pH
akan semakin turun, karena dihasilkan asam sulfat sehingga perlu dicari dosis
tawas yang efektif antara pH 5,8-7,4. Apabila alkalinitas alami dari air tidak
seimbang dengan dosis tawas perlu ditambahkan alkalinitas, biasanya
ditambahkan larutan kapur (Ca(OH)2) atau soda abu (Na2CO3). Reaksi yang
terjadi :
Al2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 2Al(OH3) + 3CaSO4 + 6CO2
Al2(SO4)3 + 3Na2CO3 + 3H2O 2Al(OH3) + 3Na2SO4 + 3CO2
Al2(SO4)3 + 3Ca(OH)2 2Al(OH3) + 3CaSO4

7
2.4.2 Kapur
Pengaruh penambahan kapur (Ca(OH)2 akan menaikkan pH dan bereaksi
dengan bikarbonat membentuk endapan CaCO3. Bila kapur yang ditambahkan
cukup banyak sehingga pH = 10,5 maka akan membentuk endapan Mg(OH) 2.
Kelebihan ion Ca pada pH tinggi dapat diendapkan dengan penambahan soda abu.
Reaksinya :
Ca(OH)2 + Ca(HCO)3 2CaCO3 + 2H2O
2Ca(OH)2 + Mg(HCO3)2 2CaCO3↓ + Mg(OH)2↓ + 2H2O
Ca(OH)2 + Na2CO3 CaCO3↓ + 2NaOH

2.4.3 Klorin
Klorin banyak digunakan dalam pengolahan air bersih dan air limbah
sebagai oksidator dan desinfektan. Sebagai oksidator, klorin digunakan untuk
menghilangkan bau dan rasa pada pengolahan air bersih. Untuk mengoksidasi
Fe(II) dan Mn(II) yang banyak terkandung dalam air tanah menjadi Fe(III) dan
Mn(III).
Yang dimaksud dengan klorin tidak hanya Cl2 saja akan tetapi termasuk
pula asam hipoklorit (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl -), juga beberapa jenis
kloramin seperti monokloramin (NH2Cl) dan dikloramin (NHCl2) termasuk di
dalamnya. Klorin dapat diperoleh dari gas Cl 2 atau dari garam-garam NaOCl dan
Ca(OCl)2. Kloramin terbentuk karena adanya reaksi antara amoniak (NH 3) baik
anorganik maupun organik aminoak di dalam air dengan klorin.
Bentuk desinfektan yang ditambahkan akan mempengaruhi kualitas yang
didesinfeksi. Penambahan klorin dalam bentuk gas akan menyebabkan turunnya
pH air, karena terjadi pembentukan asam kuat. Akan tetapi penambahan klorin
dalam bentuk natrium hipoklorit akan menaikkan alkalinity air tersebut sehingga
pH akan lebih besar. Sedangkan kalsium hipoklorit akan menaikkan pH dan
kesadahan total air yang didesinfeksi.

2.5 Sedimentasi

8
Sedimentasi adalah proses pemisaha solid-liquid menggunakan
pengendapan secara gravitasi untuk menyisihkan suspense. Pada umumnya
sedimentasi digunakan pada pengolahan air minum, pengolahan limbah, dan pada
pengolahan air limbah tingkat lanjutan (Bhupalaka, 2010).
Pada pengolahan air minum, terapan sedimentasi khususnya untuk
Bhupalaka, 2010):
1. Pengendapan air permukaan, khususnya untuk pengolahan dengan filter
pasir cepat.
2. Pengendapan flok hasil koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum disaring
dengan filter pasir cepat.
3. Pengendapan flok hasil penurunan kesadahan menggunakan soda-kapur.
4. Pengendapan lumpur pada penyisihan besi dan mangan. Pada pengolahan
air limbah, sedimentasi umumnya digunakan untuk :
a. Penyisihan grit, pasir, atau silt (lanau).
b. Penyisihan padatan tersuspensi pada clarifier pertama.
c. Penyisihan flok / lumpur biologis hasil proses activated sludge pada
clarifier akhir.
d. Penyisihan humus pada clarifier akhir setelah trickling filter. Pada
pengolahan air limbah tingkat lanjutan, sedimentasi
ditujukan untuk penyisihan lumpur setelah koagulasi dan sebelum
proses filtrasi.
Selain itu, pada prinsip sedimentasi juga digunakan dalam pengendalian
partikel di udara.Prinsip sedimentasi pada pengolahan air minum dan air limbah
adalah sama,demikian juga untuk metoda dan peralatannya (Rahmat, 2010).

9
Gambar 2.2 Bak Sedimentasi (Rahmat, 2010)

Bak sedimentasi umumnya dibangun dari bahan beton bertulang dengan


bentuk lingkaran bujur sangkar atau segi empat.Bak berbentuk lingkaran
umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter dan kedalaman 3 hingga 4,3
meter.Bak berbentuk bujur sangkar umumnya mempunyai lebar 10 hingga 70
meter dan kedalaman 1,8 hingga 5,8 meter.Bak berbentuk segi empat umumya
mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter,panjang bak sampai 76 meter, dan
kedalaman lebih dari 1,8 meter.Klasifikasi sedimentasi didasarkan pada
konsentrasi partikel dan kemampuan partikel untuk berinteraksi.Klasifikasi ini
dapat dibagi kedalam empat tipe, yaitu (Rahmat, 2010):
a. Settling tipe I: pengendapan partikel diskrit, partikel mengendap secara
individual dan tidak ada interaksi antar-partikel.
b. Settling tipe II: pengendapan partikel flokulen, terjadi interaksi antar-
partikel sehingga ukuran meningkat dan kecepatan pengendapan
bertambah.
c. Settling tipe III: pengendapan pada lumpur biologis, dimana gaya antar
partikel saling menahan partikel lainnya untuk mengendap
d. Settling tipe IV: terjadi pemampatan partikel yang telah mengendap
yang terjadi karena berat partikel.

10
Gambar 2.3 Empat Tipe Sedimentasi (Kawamura, 1991)

1. Sedimentasi Tipe 1/Plain Settling/Discrete particle


Merupakan pengendapan partikel tanpa menggunakan koagulan. Yang
dimaksud dengan discrete particle adalah partikel yang tidak mengalami
perubahan bentuk, ukuran maupun berat selama partikel tersebut mengendap.
Proses pengendapan partikel berlangsung semata-mata akibat pengaruh gaya
partikel atau berat sendiri partikel. Pengendapan akan berlangsung sempurna
apabila aliran dalam keadaan tenang ( aliran laminar ). Tujuan dari unit ini adalah
menurunkan kekeruhan air baku dan digunakan pada grit chamber. Pengendapan
sebuah discrete particle di dalam air hanya dipengaruhi oleh karakteristik air dan
partikel yang bersangkutan . Dalam perhitungan dimensi efektif bak, faktor-faktor
yang mempengaruhi performance bak seperti turbulensi pada inlet dan outlet,
pusaran arus lokal, pengumpulan lumpur, besar nilai G sehubungan dengan
penggunaan perlengkapan penyisihan lumpur dan faktor lain diabaikan untuk
menghitung performance bak yang lebih sering disebut dengan ideal settling
basin (Kawamura, 1991).

11
Gambar 2.4 Sedimentasi Tipe 1 (Kawamura, 1991)
Partikel yang mempunyai rapat masa lebih besar dari rapat masa air akan
bergerak vertical ke bawah. Gerakan partikel di dalam air yang tenang akan
diperlambat oleh gaya hambatan akibat kekentalan air (drag force) sampai dicapai
suatu keadaan dimana besar gaya hambatan setara dengan gaya berat efektif
partikel di dalam air. Setelah itu gerakan partikel akan berlangsung secara konstan
dan disebut terminal settling velocity. Gaya hambatan yang dialami selama
partikel bergerak di dalam air dipengaruhi oleh kekasaran, ukuran, bentuk, dan
kecepatan gerak partikel serta rapat masa dan kekentalan air (Kawamura, 1991).
2. Sedimentasi Tipe 2 (Flocculant Settling)
Partikel yang berada dalam larutan encer sering tidak berlaku sebagai
partikel mandiri (discrete particle) tetapi sering membentuk gumpalan (flocculant
particle) selama mengalami proses sedimentasi. Bersatunya beberapa partikel
membentuk gumpalan akan memperbesar rapat masanya, sehingga akan
mempercepat pengendapannya.
Proses penggumpalan (flocculation) di dalam kolam pengendapan akan
terjadi tergantung pada keadaan partikel untuk saling berikatan dan dipengaruhi
oleh beberapa variabel seperti laju pembebanan permukaan, kedalaman kolam,
gradient kecepatan, konsentrasi partikel di dalam air dan range ukuran butir.
Pengaruh dari variabel-variabel tersebut dapat ditentukan dengan percobaan
sedimentasi.
Pengendapan material koloid dan solid tersuspensi terjadi melalui adanya
penambahan koagulan, biasanya digunakan untuk mengendapkan flok-flok kimia
setelah proses koagulasi dan flokulasi. Pengendapan partikel flokulen akan lebih
efisien pada ketinggian bak yang relatif kecil. Karena tidak memungkinkan untuk
membuat bak yang luas dengan ketinggian minimum, atau membagi ketinggian
bak menjadi beberapa kompartemen, maka alternatif terbaik untuk meningkatkan
efisiensi pengendapan bak adalah dengan memasang tube settler pada bagian atas
bak pengendapan untuk menahan flok–flok yang terbentuk (Kawamura, 1991).

12
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan efisiensi bak pengendapan adalah
(Kawamura, 1991):
 Luas bidang pengendapan;
 Penggunaan baffle pada bak sedimentasi;
 Mendangkalkan bak;
 Pemasangan plat miring.

3. Sedimentasi Tipe III dan IV


Sedimentasi tipe III adalah pengendapan partikel dengan
konsentrasi yang lebih pekat, dimana antar partikel secara bersama-sama saling
menahan pengendapan partikel lain di sekitarnya. Karenaitu pengendapan terjadi
secara bersama-sama sebagai sebuah zona dengan kecepatan yang konstan. Pada
bagian atas zona terdapat interface yang memisahkan antara massa partikel yang
mengendap dengan air jernih. Sedimentasi tipe IV merupakan kelanjutan dari
sedimentasi tipe III, di mana terjadi pemampatan (kompresi) massa partikel
hingga diperoleh konsentrasi lumpur yang tinggi. Sebagai contoh sedimentasi tipe
III dan IV ini adalah pengendapan lumpur biomassa pada final clarifier setelah
proses lumpur aktif. Tujuan pemampatan pada final clarifier adalah untuk
mendapatkan konsentrasi lumpur bomassa yang tinggi, keperluan resirkulasi
lumpur ke dalam reaktor lumpur aktif (Kawamura, 1991).

Gambar 2.5 Pengendapan pada Final Clarifier untuk Proses Lumpur Aktif
(Kawamura, 1991)

13
Berdasarkan konsentrasi dan kecenderungan partikel berinteraksi, proses
sedimentasi terbagi atas tiga macam (Tim Penyusun, 2012):
b. Aliran melalui bak terdistribusi merata melintasi sisi melintang bak
c. Partikel terdispersi merata dalam air
d. Pengendapan partikel yang dominan terjadi pada dasar bak sedimentasi
Terdapat beberapa bentuk bak sedimentasi yaitu (Tim Penyusun, 2012), :
a. Segi empat (rectangular).
Pada bak ini air mengalir horizontal dari inlet menuju outlet, sementara
partikel mengendap ke bawah.

(a) (b)
Gambar 2.6 Bak Sedimentasi Berbentuk Segi Empat: (A) Denah, (B) Potongan
Memanjang (Tim Penyusun, 2012)
b. Lingkaran (circular) - center feed.
Pada bak ini air masuk melalui pipa menuju inlet bak dibagian tengah bak,
kemudian air mengalir horizontal dari inlet menuju outlet disekeliling bak,
sementara partikel mengendap ke bawah. Secara tipikal bak persegi mempunyai
rasio panjang : lebar antara 2:1 – 3:1.

(a) (b)
Gambar 2.7 Bak Sedimentasi Berbentuk Lingkaran-Center Feed (A) Denah,
(B) Potongan Melintang (Tim Penyusun, 2012).
c. Lingkaran (circular) – periferal feed.

14
Pada bak ini air masuk melalui sekeliling lingkaran dan secara horizontal
mengalir menuju ke outlet dibagian tengah lingkaran, sementara partikel
mengendap ke bawah . Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe periferal feed
menghasilkan short circuit yang lebih kecil dibandingkan tipe center feed,
walaupun center feed lebih sering digunakan. Secara umum pola aliran pada bak
lingkaran kurang mendekati pola ideal dibanding bak pengendap persegi panjang.
Meskipun demikian, bak lingkaran lebih sering digunakan karena penggunaan
peralatan pengumpul lumpurnya lebih sederhana.

(a) (b)

Gambar 2.8 Bak sedimentasi berbentuk lingkaran – periferal feed: (a) denah,
(b) potongan melintang (Tim Penyusun, 2012).
Sebuah bak sedimentasi ideal dibagi menjadi 4 zona, yaitu:
a. Zona inlet
Dalam zona ini aliran terdistribusi tidak merata melintasi bagian melintang
bak. Aliran meninggalkan zona inlet mengalir secara horisontal dan
langsung menuju bagian outlet.
b. Zona pengendapan
Dalam zona ini, air mengalir pelan secara horisontal ke arah outlet. Dalam
zona ini terjadi proses pengendapan. Lintasan partikel diskret tergantung
pada besarnya kecepatan pengendapan.
c. Zona lumpur
Dalam zona ini lumpur terakumulasi. Sekali lumpur masuk area ini ia akan
tetap disana.

15
d. Zona outlet
Dalam zona ini, air yang partikelnya telah terendapkan terkumpul pada
bagian melintang bak dan siap mengalir keluar bak.

Gambar 2.9 Sedimentation Basin Zones (Tim Penyusun, 2012).


Zona Inlet atau struktur influen.
Zona inlet mendistribusikan aliran air secara merata pada bak sedimentasi
dan menyebarkan kecepatan aliran yang baru masuk. Jika dua fungsi ini dicapai,
karakteristik aliran hidrolik dari bak akan lebih mendekati kondisi bak ideal dan
menghasilkan efisiensi yang lebih baik.
Zona influen didesain secara berbeda untuk kolam rectangular dan circular.
Khusus dalam pengolahan air, bak sedimentasi rectangular dibangun menjadi satu
dengan bak flokulasi. Sebuah baffle atau dinding memisahkan dua kolam dan
sekaligus sebagai inlet bak sedimentasi. Desain dinding pemisah sangat penting,
karena kemampuan bak sedimentasi tergantung pada kualitas flok (sutrisno,
2006).
Zona outlet atau struktur efluen.
Seperti zona inlet, zona outlet atau struktur efluen mempunyai pengaruh
besar dalam mempengaruhi pola aliran dan karakteristik pengendapan flok pada
bak sedimentasi. Biasanya weir atau pelimpah dan bak penampung limpahan
digunakan untuk mengontrol outlet pada bak sedimentasi. Bak sedimentasi

16
dilengkapi dengan settler. Settler dipasang pada zona pengendapan dengan tujuan
untuk meningkatkan efisiensi pengendapan (Sutrisno, 2006).

2.6 Parameter TSS,TDS dan TS


Total suspended solid atau padatan tersuspensi total (TSS) adalah residu
dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal
2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Yang termasuk TSS adalah
lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri dan jamur. TSS
umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan
kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi cahaya untuk
fotosintesis dan visibilitas di perairan.
Sementara hamburan diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi dalam
sampel.. Pola dan intensitas sebaran akan berbeda akibat perubahan dengan
ukuran dan bentuk partikel serta materi. Sebuah sampel yang mengandung 1.000
mg / L dari fine talcum powder akan memberikan pembacaan yang berbeda
kekeruhan dari sampel yang mengandung 1.000 mg / L coarsely ground talc .
Kedua sampel juga akan memiliki pembacaan yang berbeda kekeruhan dari
sampel mengandung 1.000 mg / L ground pepper. Meskipun tiga sampel tersebut
mengandung nilai TSS yang sama (Mulia, 2005).
Perbedaan antara padatan tersuspensi total (TSS) dan padatan terlarut total
(TDS) adalah berdasarkan prosedur penyaringan. Padatan selalu diukur sebagai
berat kering dan prosedur pengeringan harus diperhatikan untuk menghindari
kesalahan yang disebabkan oleh kelembaban yang tertahan atau kehilangan bahan
akibat penguapan atau oksidasi.
Prinsip analisa TSS sebagai berikut : Contoh uji yang telah homogen
disaring dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada
saringan dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai
dengan 105ºC. Kenaikan berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS).
Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan,
diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume contoh uji.

17
Untuk memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara padatan terlarut total
dan padatan total (Mulia, 2005).
( A−B)
TSS ( mgL )= x 1000 (2.1)
V

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Bahan-bahan yang Digunakan
1. Air Waduk LPPM UR
2. Akuades
3. Alum/Tawas
3.2 Alat-alat yang Digunakan
1. Tangki rerata
2. Pompa
3. Corong gelas
4. Bak equalisasi
5. Bak sedimentasi
6. Cawan penguap
7. Gelas ukur 2000 ml
8. Kertas saring
9. Neraca analitik
10. Oven
11. TDS meter
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Pemeriksaan alat
Alat dipastikan sedemikian sehingga aliran air dapat mengalir, mudah
diamati, dan mudah dioperasikan. Skema/susunan alat dapat dilihat pada gambar:
Bak Bak sedimentasi
Equalisasi/Tangki

Sampel air dari waduk LPPM UR dimasukkan ke dalam tangki penampungan.


Kemudian sampel diperiksa dengan parameter TDS, TSS, dan TS sebelum

18
dialirkan ke bak equalisasi. Selanjutnya tawas dimasukkan kedalam tangki yang
berisi sampel dan diaduk selama 15 menit.

Air dialirkan ke dalam bak equalisasi dengan besar debit 5 dan diperiksa
dengan parameter TDS, TSS, dan TS. Untuk perobaan dipakai 9 plate settler
dengan waktu tinggal 2 jam.
3.3.2 Pengukuran TDS, TSS dan TS
Air yang telah dialirkan kedalam bak equalisasi diambil sebanyak 100 ml.
Kemudian sampel air tersebut disaring menggunakan kertas saring. Kertas saring
yang terdapat endapan kemudian dioven selama 5 menit pada suhu 105 0C hingga
beratnya konstan setelah ditimbang. Selanjutnya endapan yang telah dioven
dengan kertas saring dihitung berat dari TSS nya. Kemudian filtrat hasil saringan
air dilakukan pemeriksaan TDS dengan menggunakan TDS meter. Setelah itu
dihitung TS nya dengan menjumlahkan TDS dan TSS.

19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan
Pada percobaan ini, data praktikum yang diperoleh tertera pada tabel 4.1 dan tabel
4.2 :
Tabel 4.1 Data Perhitungan TDS, TSS dan TS Sampel dengan atau Tanpa
Penambahan
Tawas dalam Waktu Detensi Tertentu
Waktu
TDS TSS TS
No Sampel Detensi
(gr) (gr) (gr)
(menit)

1 Air Waduk - 0.0488 2.35 2.398

2 Air Waduk + Tawas 25 0.045 0.29 0,335

Tabel 4.2 Data Efisiensi Penyisihan Bahan Pencemar pada Air Waduk dengan
Waktu
Detensi Tertentu
No Waktu Detensi
ɳTDS (%) ɳTSS (%) ɳTS (%)
(menit)
1 60 14.46 96.59 94.94
2 90 15.08 98.29 96.62
3 120 17.36 98.72 97.08

4.2 Pembahasan
Air baku yang digunakan pada percobaan ini adalah air dari jembatan
kupu-kupu UR. Pada percobaan ini dihitung nilai Total Suspended Solid (TSS),
Total Dissolved Solid (TDS), dan Total Solid (TS) dari air baku (inlet) dan air
hasil sedimentasi (outlet). Total suspended solid atau padatan tersuspensi total
(TSS) adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran
partikel maksimal 2 μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Yang

20
termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri
dan jamur. TSS umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS
memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi
cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Sehingga nilai kekeruhan
tidak dapat dikonversi ke nilai TSS (Hanum, 2002). Total Dissolved Solid atau
padatan yang terlarut (TDS) adalah ukuran zat yang terlarut yaitu semua mineral,
garam, logam serta kation dan anion yang terlarut dalam air. TDS meter
menggambarkan jumlah zat terlarut dalam Part Per Million (PPM) atau sama
dengan milligram per liter (mg/L) (Effendi, 2003). Total Solid merupakan jumlah
dari TSS dan TDS. Total solid merupakan banyaknya partikel padatan baik yang
terlarut dalam air, maupun yang tidak terlarut dalam air (Hanum, 2002).
Langkah pertama setelah pengambilan air adalah menghitung TDS dan
TSS. TDS dapat diukur menggunakan alat TDS meter, sedangkan TSS diukur
menggunakan metode gravimetri. Padatan yang terperangkap pada proses
penyaringan air outlet (dikertas saring) dipanaskan dengan oven kemudian
ditimbang sampai nilai hasil penimbangan konstan. Massa tersebut dikurangkan
dengan massa kertas saring yang digunakan. Berdasarkan hasil pengukuran,
didapatkan TDS dari sampel air jembatan kupu-kupu UR adalah sebesar 488
mg/L dan TSS nya sebesar 2.35 gram. Air baku dimasukkan tangka penampungan
dan ditambahkan tawas yang bertujuan untuk menjernihkan air dan mengikat
partikel-partikel air hingga menggumpal (flok-flok) dan mengendap. Kemudian
air yang ditambahkan tawas diaduk selama 15 menit untuk mencampurkan tawas
dengan air baku, pengadukan lambat membutuhkan waktu 15 hingga 60 menit,
agar air dan tawas tercampur merata dan sempurna (Nurhidayah, 2011).
Kemudian sampel air yang telah ditambahkan tawas diukur TDS dan TSS nya,
sehingga dari hasil pengukuran, didapatkan TDS nya sebesar 450 mg/L dan TSS
nya sebesar 0.29 gram.

4.2.1 Pengaruh Variasi Waktu Detensi terhadap Efisiensi TDS


TDS biasanya terdiri dari zat organik, garam anorganik dan gas terlarut.
Bila TDS bertambah maka kesadahan juga akan naik pula. Pada praktikum ini,

21
TDS diukur dengan menggunakan TDS meter. TDS meter menggambarkan
jumlah zat terlarut dalam Part Per Million (PPM) atau sama dengan milligram per
Liter (mg/L).
20
18
16
14
12
ɳTDS (%)

10
8
6
4
2
0
50 60 70 80 90 100 110 120 130
Waktu Detensi (memit)

Gambar 4.1 Pengaruh Waktu Detensi terhadap Efisiensi TDS


Pengaruh variasi waktu detensi terhadap efisiensi total disolve solid (ɳTDS
(%)) pada percobaan ini dapat dilihat pada gambar 4.1, dimana pada waktu
detensi 60 menit didapatkan efisiensi TDS yang lebih kecil dibandingkan dengan
menggunakan waktu detensi lebih lama yaitu 90 menit dan 120 menit. Pada waktu
detensi 60 menit didapatkan nilai efesiensi sebesar 14,46%, pada waktu detensi 90
menit nilai efesiensi 15,08% dan 120 menit didapatkan nilai efesiensi 17,36 %.
Hal ini berarti kandungan zat terlarut per liter air waduk yang telah diberi
perlakuan berupa tawas dengan waktu detensi 60 menit lebih banyak
dibandingkan dengan kandungan zat terlarut pada air waduk dengan waktu detensi
90 menit dan 120 menit. Data ini mengindikasikan bahwa air waduk mengandung
Total Disolve Solid (TDS) yang banyak, hal ini dibuktikan dengan TDS yang
telah terendap pada waktu detensi 60 menit. Spellman mengemukakan setidaknya
dibutuhkan waktu 2 – 6 jam untuk proses sedimentasi yang efektif dan pada
percobaan yang kami lakukan sesuai dengan rentang waktu yang efektif untuk
sedimentasi menurut Spellman yaitu 120 menit (2 jam). Sehingga penurunan atau
penambahan waktu detensi akan mempengaruhi nilai efisiensi sedimentasi.

22
4.2.2 Pengaruh Variasi Waktu Detensi terhadap Efisiensi TSS
Padatan tersuspensi total (TSS), adalah residu dari padatan total yang
tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2µm atau lebih besar dari
ukuran partikel koloidyang disebut partikel endapan. Pada percobaan ini dengan
melakukan variasi pada waktu detensi, didapat efisiensi TSS yang lebih tinggi
pada waktu detensi 60 menit dibandingkan 90 menit dan 120 menit.
99

98.5

98
ɳTSS (%)

97.5

97

96.5

96

95.5
50 60 70 80 90 100 110 120 130
Waktu Detensi (menit)

Grafik 4.2 Pengaruh Waktu Detensi terhadap Efisiensi TSS


Dari data grafik, terlihat bahwa nilai efesiensi dari percobaan yang didapatkan,
semakin lama akan semakinh meningkat. Pada percobaan didapatkan nilai
efesiensi pada waktu detensi 60 menit sebesar 96.59% dan pada waktu detensi 90
menit dan 120 menit didapatkan nilai efesiensi sebesar 98.29% dan 98.72 %.

4.2.3 Pengaruh Variasi Waktu Detensi terhadap Efisiensi TS


TS atau total solid dapat ditentukan dengan menjumlahkan TDS dan TSS.
Total solid merupakan banyaknya partikel padatan baik yang terlarut dalam air,
maupun yang tidak terlarut dalam air. Pada percobaan ini efisiensi TS yang lebih
kecil ditunjukkan pada waktu detensi 60 menit yaitu sebesar 97,08%. Sedangkan
pada waktu detensi 90 menit dan 120 menit efisiensi TS berkurang yakni 96,62%
dan 94.94%.

23
97.5
97
96.5
96
ɳTS (%)

95.5
95
94.5
94
93.5
50 60 70 80 90 100 110 120 130
Waktu Detensi (menit)

Grafik 4.3 Pengaruh Waktu Detensi terhadap Efisiensi TS

24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Semakin besar kecepatan aliran air, maka semakin kecil waktu yang
dibutuhkan untuk mengalirkan air dan debit air semakin besar.
2. Efektivitas resin dipengaruhi oleh debit air, semakin tinggi debit air maka
efektivitas resin semakin rendah.
3. Kesadahan dan konduktivitas air outlet dipengaruhi efektivitas media filter
(resin) sehingga juga dipengaruhi oleh debit air.
4. Pada praktikum ini, diperoleh efisiensi pengendapan pada waktu 60 menit
untuk TDS, TSS dan TS yaitu 14,6%, 96,59%, dan 94,94%. Untuk
efisiensi pengendapan pada 90 menit diperoleh TDS, TSS dan TS yaitu
15,08%, 98,29% dan 96,62 % dan untuk efisiensi pengendapan pada 120
menit diperoleh TDS, TSS dan TS yaitu 17,36%, 98,72% dan 97,08%.

4.2 Saran
Pada saat titrasi dengan EDTA harus teliti melihat perubahan warna dari
ungu menjadi biru muda.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bhupalaka,2010,Sedimentasi.http://bhupalaka.files.wordpress.com/2010/12/
sedimentasi.pdf Diakses pada tanggal 10 Desember 2017
Chandra, Budiman. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengolahan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogyakarta. Kanisius.
Hanum, Farida. 2002. Proses Pengolahan Air Sungai untuk Keperluan Air
Minum. Diakses tanggal 10 Desember 2017
Isnaniawardhana, J. Nobelia. 2009. Pengaruh Waktu Detensi dan Penggunaan
Lumpur pada Proses Koagulasi-Flokulasi Pengolahan Air Gambut
Berwarna.http://www.ftsl.itb.ac.id/wpcontent/uploads/2007/08/Pengaruh
%20Waktu%20Detensi.pdf (diakses tanggal 10 Desember 2017)
Kawamura. 1991. Integrated Design of Water Treatment Facilities. USA: John
Wiley&Sons, Inc.
Mulia, Ricki M.2005. Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu : Yogyakarta
Rahmat,2010.Pengolahan Air dengan Sedimentasi.
http://dc346.4shared.com/doc/tSg9MBKW/preview.html Diakses pada
tanggal 10 Desember 2017
Rizal, Amir. 2012. Penentuan Dosis Optimum Aluminium Sulfat Dalam
Pengolahan Air Sungai Cileuleur Kota Ciamis dan Pemanfaatan
Resirkulasi Lumpur Dengan Parameter pH, Warna, Kekeruhan, dan TSS.
http://www.ftsl.itb.ac.id/wpcontent/uploads/2007/08/Penentuan%20Dosis
%20Optimum.pdf (diakses tanggal 10 Desember 2017)
Tim Penyusun, 2012. Penuntun Praktikum Laboratarium Teknik Kimia I,
Pekanbaru : Universitas Riau
Yayan, subagyo. 2009. Proses Pengolahan Air.
yayan-industri.blogspot.com/2009/11/proses-pengolahan-air.html Diakses
pada tanggal 10 Desember 2017 Azwar, Asrul. Dr., M.P.H. 1996.
Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya: Jakarta
Sutrisno, C. Totok, dkk. 2006. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta : Rineka
Cipta.

26
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN

A.1 Nilai TSS, TDS dan TS dari Air Waduk LPPM (Cin/Awal)
 Volume 100 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,05 gr
 Berat kertas saring + sampel = 3,40 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring+ sampel) – Berat kertas saring kosong
= 3,40 gr − 1,05 gr
= 2,35 gr
 TDS
mg 1g 1 lietr
= 488 mg/liter = 488 × × 100 ml ×
liter 1000 mg 1000 ml
= 0,0488 gr
 TS
= TSS + TDS = 2,35 gr + 0,0488 gr = 2,3988 gr
A.2 Nilai TSS, TDS dan TS dari Air Waduk LPPM + Tawas +
Pengadukan 25 Menit (Cin/Awal)
 Volume 100 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,06 gr
 Berat kertas saring + sampel = 1,35 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring + sampel) – Berat kertas saring kosong
= 1,35 gr − 1,06 gr
= 0,29 gr
 TDS
mg 1g 1 lietr
= 450 mg/liter = 450 × × 100 ml ×
liter 1000 mg 1000 ml
= 0,045gr
 TS
= TSS + TDS = 0,29 gr + 0,045 gr = 0,335 gr

27
A.3 Variabel Perlakuan dengan Waktu Tinggal 2 jam (9 plat) (CoutI)
 Volume 100 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,07 gr
 Berat kertas saring + sampel = 1,15 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring + sampel) – Berat kertas saring kosong
= 1,15 gr – 1,07 gr
= 0,08 gr
 TDS
mg 1g 1 lietr
= 414 mg/liter = 414 × × 100 ml ×
liter 1000 mg 1000 ml
= 0,0414gr
 TS
= TSS + TDS = 0,08 gr + 0,0414 gr = 0,1214 gr
A.4 Variabel Perlakuan dengan Waktu Tinggal 1½ jam (9 plat) (CoutII)
 Volume 100 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,06 gr
 Berat kertas saring + sampel = 1,10 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring + sampel) – Berat kertas saring kosong
= 1,10 gr − 1,06 gr
= 0,04 gr
 TDS
mg 1g 1 lietr
= 411 mg/liter = 411 × × 100 ml ×
liter 1000 mg 1000 ml
= 0,0411gr
 TS
= TSS + TDS = 0,04 gr + 0,0411 gr = 0,0811 gr
A.5 Variabel Perlakuan dengan Waktu Tinggal 1 jam (9 plat) (CoutIII)
 Volume 100 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,05 gr
 Berat kertas saring + sampel = 1,08 gr

28
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring + sampel) – Berat kertas saring kosong
= 1,08 gr − 1,05 gr
= 0,03 gr
 TDS
mg 1g 1 lietr
= 400 mg/liter = 400 × × 100 ml ×
liter 1000 mg 1000 ml
= 0,04gr
 TS
= TSS + TDS = 0,03 gr + 0,04 gr = 0,07 gr
A.6 Efisiensi
C∈−C out
1. Efisiensi TS Pengadukan =
C∈¿ x 100 % ¿
2,3988−0,335
= X 100 %
2,3988
= 86,03%
C∈−C out
2. Efisiensi TS 1 jam =
C∈¿ x 100 % ¿
2,3988−0,1214
= X 100 %
2,3988
= 94,94%
C∈−C out
3. Efisiensi TS 1.5 jam =
C∈¿ x 100 % ¿
2,3988−0,0811
= X 100 %
2,3988
= 96,62%
C∈−C out
4. Efisiensi TS 2 jam =
C∈¿ x 100 % ¿
2,3988−0 , 07
= X 100 %
2,3988
= 97,08%
C∈−C out
5. Efisiensi TDS pada Pengadukan =
C∈¿ x 100 % ¿

29
0,0484−0,0450
= X 100 %
0,0484
= 7,02%
C∈−C out
6. Efisiensi TSS Pada Pengadukan =
C∈¿ x 100 % ¿
2 ,35−0 , 29
= X 100 %
2 , 35
= 2,06%
C∈−C out
7. Efisiensi TSS pada 1 Jam =
C∈¿ x 100 % ¿
2 ,35−0 , 08
= X 100 %
2 , 35
= 96,59%
C∈−C out
8. Efisiensi TDS pada 1 Jam =
C∈¿ x 100 % ¿
0,0484−0,0414
= X 100 %
0,0484
= 14,46%
C∈−C out
9. Efisiensi TSS pada 1½ Jam =
C∈¿ x 100 % ¿
2 ,35−0 , 04
= X 100 %
2 ,35
= 98,29%
C∈−C out
10. Efisiensi TDS pada 1½ Jam =
C∈¿ x 100 % ¿
0,0484−0,0411
= X 100 %
0,0484
= 15,08%
C∈−C out
11. Efisiensi TSS pada 2 Jam =
C∈¿ x 100 % ¿
2 ,35−0 , 03
= X 100 %
2 , 35
= 98,72%
C∈−C out
12. Efisiensi TDS pada 2 Jam =
C∈¿ x 100 % ¿

30
0,0484−0 , 04
= X 100 %
0,0484
= 17,36%

LAMPRAN B
DOKUMENTASI

Gambar B.1 Proses Sedimentasi pada Pengolahan Air

31
Gambar B.2 Pengurasan Air yang Telah Disedimentasi

32

Anda mungkin juga menyukai