Bab 2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP ULKUS DEKUBITUS

2.1.1 Definisi

Ulkus Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan

bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya

penekanan pada sirkulasi darah setempat. Walaupun semua bagian tubuh dapat

mengalami dekubitus bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi

dan membutuhkan perhatian khusus (Sari, 2020).

Ulkus dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar

jaringan yang disebabkan oleh tulang yang menonjol sebagai akibat dari tekanan,

pergeseran, gesekan atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (Khoiriyah, 2018).

Dekubitus adalah tekanan, daya regang, friksi atau gesekan, dan

kelembaban. Efek tekanan pada jaringan diatas tulang yang menonjol menyebabkan

ikemia dan toksin seluler yang berhubungan dengan oklusi pembuluh darah dan

limfatik, sementara efeknya terhadap timbulnya trauma lebih kecil (Jatmiko, 2017).

2.1.2 Klasifikasi Ulkus Dekubitus

1. Stadium I : Nonblanchable Erythema

Stadium I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-

tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal,

maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur

kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan

(lebih keras atau lunak), dan perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada

8
orang yang berkulit putih luka akan kelihatan sebagai kemerahan yang

menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan sebagai

warna merah yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk menentukan

derajat I adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema)

dengan jari selama tiga detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan

apabila jari diangkat juga kulitnya tetap berwarna merah.

2. Stadium II : Partial Thickness Skin Loss

Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau

keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka

merah-pink, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal.

Derajat I dan II masih bersifat refersibel.

3. Stadium III : Full Thickness Skin Loss

Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis

dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka

terlihat seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai “typical decubitus”

yang ditunjukkan dengan adanya kehilangan bagian dalam kulit hingga

subkutan, namun tidak termasuk tendon dan tulang. Slough mungkin

tampak dan mungkin meliputi undermining dan tunneling.

4. Stasium IV : Full Thickness Tissue Loss

Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon

atau otot. Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada

beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan sering juga ada undermining

dan tunneling. Kedalaman derajat IV dekubitus bervariasi berdasarkan

lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput dan malleolar tidak

9
memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV dapat meluas

ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia,

tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang

dan tendon yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.

5. Unstageable : Depth Unknown

Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound bed) ditutupi

oleh slough dengan warna kuning, cokelat, abu-abu, hijau, dan atau

jaringan mati (eschar) yang berwarna coklat atau hitam didasar luka.

slough dan atau eschar dihilangkan sampai cukup untuk melihat

(mengexpose) dasar luka, kedalaman luka yang benar, dan oleh karena itu

derajat ini tidak dapat ditentukan.

6. Suspected Deep Tissue Injury : Depth Unknown

Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka

secara terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang

berisi darah karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari tekanan

dan atau adanya gaya geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului

oleh jaringan yang terasa sakit, tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau

lebih dingin dibandingkan dengan jaringan yang ada di dekatnya. Cidera

pada jaringan dalam mungkin sulit untuk di deteksi pada individu dengan

warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister tipis diatas dasar

luka (wound bed) yang berkulit gelap. Luka mungkin terus berkembang

tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat dekubitus diatas, dekubitus

berkembang dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top-down),

namun menurut hasil penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang

10
dari jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya

adanya kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injury

jaringan bagian dalam (Deep Tissue Injury).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada dekubitus untuk pertama kali ditandai dengan kulit

eritema atau kemerahan, terdapat ciri khas bila ditekan dengan jari, tanda eritema

akan lama kembali lagi atau persisten. Kulit mengalami edema, dan temperature di

area kulit meningkat atau bila diraba akan terasa hangat. Tanda pada luka dekubitus

ini akan dapat berkembang, sehingga sampai ke jaringan otot dan tulang

2.1.4 Etiologi

1. Tekanan

Tekanan imobilisasi yang lama mengakibatkan terjadinya

dekubitus, jika salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik

perbedaan antara 2 tekanan). jaringan yang lebih dalam dekat tulang,

terutama jaringa dengan suplai darah yang baik akan bergeser ke arah

gradient yang lebih rendah.

2. Kelembaban

Sementara kulit berada pada permukaan kontak infeksi yang

semakin meningkat dengan terdapatnya kelembaban. Keadaan ini

menyebabkan peregangan dan unggulusi pembuluh darah., darah yang

dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang yang dalam ini akan

menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit.

3. Gesekan

11
Faktor terlipatnya kulit akibat gesekan badan dengan alas tempat

tidur sehingga seakan – akan kulit tertinggal dari area tubuh lainnya.

Pergerakan dari tubuh di atas alat tempatnya berbaring dengan fiksasi

kulit terutama terjadi iritasi menyebabkan terjadi lipatan – lipatan kulit

terutama terjadi iritasi dapat menarik dan menutup pembuluh – pembuluh

darah sehingga menyebabkan dekrosisi. Jaringan akibat lebih

terganggunya pembuluh darah kapiler.

2.1.5 Patofisiologi

Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dengan tekanan,

Insiden terbentuknya luka dipengaruhi oleh besar tekanan dan lamanya durasi

tekanan. Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan.

Tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau

men ghilangkan aliran darah kedalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi

hipoksia, sehingga terjadi cedera iskemi. Pembuluh darah akan kolaps dan

mengalami thrombosis apabila tekanan eksternal lebih besar dari 32 mmHg dan

tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia. Tekanan jika dihilangkan

sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui

mekanisme fisiologis hyperemia reaktif. Kulit mempunyai kemampuan yang lebih

besar untuk mentoleransi iskemi dari otot. Dekubitus dimulai ditulang dengan

iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang ahirnya melebar ke epidermis

(Khoiriyah, 2018)

Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang

terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Tumit merupakan area

12
yang palng rentan. Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat

badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari

permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi. Tekanan tidak terdistribusi

secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan

tekanan kan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami

iskemik sehingga timbul luka dekubitus (Potter dan Perry, 2012).

Gambar 2.1 Pathway Ulkus Dekubitus (Wijaya, 2018)

13
2.1.6 Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada dekubitus III dan IV, walaupun dapat terjadi pada

luka yang superfisial. Subandar (2019) membagi komplikasi dekubitus dibagi

menjadi 4 yaitu:

1. Infeksi

Infeksi umumnya bersifat multibakterial baik aerobic maupun anaerobic.

2. Anemia

Penurunan hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa oksigen

dan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia

juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka.

3. Hipoalbuminemia

Nutrisi yang buruk khususnya kekurangan protein mengakibatkan jaringan

lunak mudah sekali rusak. Kehilangan protein yang parah hingga

hypoalbuminemia (kadar albumin serum <3g/100 ml) menyebabkan

perpindahan cairan dari ekstraseluler ke jaringan sehingga mengakibatkan

edema. Edema ini akan menurunkan sirkulasi darah ke jaringan,

meningkatkan akumulasi sampah metabolik, sehingga meningkatkan

resiko dekubitus.

4. Kematian

Luka dekubitus yang tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan

komplikasi yang berujung pada kematian

14
2.2 KONSEP PENYEMBUHAN LUKA

2.2.1 Proses Penyembuhan Luka

Secara umum proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase

penyembuhan, dimana dibagi dalam tiga fase utama yaitu fase inflamasi, fase

proliferative, fase maturasi. Fase-fase penyembuhan luka dapat dijabarkan

sebagai berikut:

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau pada saat luka

terjadi hari ke-0 sampai hari ke-3 atau hari ke-5. Terdapat dua

kegiatan utama pada fase ini, yaitu respon vaskuler dan respon

inflamasi. Respon vaskuler diawali dengan respon hemostatic tubuh

selama 5 detik pasca luka. Sekitar jaringan yang luka mengalami

iskemia yang merangsang pelapisan histamine dan vasoaktif yang

menyebabkan vasodilatasi, pelepasan trombosit, reaksi vasodilatasi

dan vasokontriksi, dan pembentukan lapisan fibrin. Respon inflamasi

adalah reaksi non spesifik tubuh dalam mempertahankan atau

memberi perlindungan terhadap benda asing yang masuk kedalam

tubuh (Arisanty, 2019). Fase inflamasi ditandai dengan adanya nyeri,

bengkak, panas, kemerahan dan hilangnya fungsi jaringan (Hess,

2018). Tubuh mengalami aktifitas biokimia dan bioseluler, dimana

reaksi tubuh memperbaiki kerusakan sel kulit, leukosit memberikan

perlindungan dan membersihkan makrofag (Arisanty, 2019).

15
2. Fase Proliferasi

Fase proliferasi terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah

3 hari penutupan luka sayat. Fase ini ditandai dengan pengeluaran

makrofak dan neutrofil sehingga area luka dapat melakukan sintesis

dan remodelling pada mariks sel ekstraselular (Hubrecht & Kirkwood,

2010). Pada fase proliferasi makrofak berfungsi menstimulasi

fibroblas untuk menghasilkan kolagen dan elastin kemudian terjadi

prose angiogenesis. Pada proses granulasi kolagen dan elastin yang

dihasilkan menutupi luka dan membentuk matriks jaringan baru.

Epitelasi terjadi setelah tumbuh jaringan granulasi dan dimulai dari

tepi luka yang mengalami proses migrasi membentuk lapisan tipis

yang menutupi luka. Sel pada lapisan ini sangat rentan dan mudah

rusak. Sel mengalami kontraksi sehingga tepi luka menyatu dan

ukuran luka mengecil (Arisanty, 2019).

3. Fase Remodeling

Fase remodeling terjadi pada hari ke-8 hingga satu sampai dua

tahun. Pada fase ini terbentuknya jaringan kolagen pada kulit untuk

penyembuhan luka (Hubrecht & Kirkwood, 2010). Jaringan kolagen

ini akan membentuk jaringan fibrosis atau bekas luka dan

terbentuknya jaringan baru. Sitokin pada sel endothelial mengaktifkan

faktor pertumbuhan sel dan vaskularisasi pada daerah luka sehingga

bekas luka dapat diminimalkan (Piraino & Selemovic, 2015).

Aktifitas yang utama pada fase ini adalah penguatan jaringan bekas

luka dengan aktifitas remodeling kolagen dan elastin pada kulit.

16
Kontraksi sel kolagen dan elastin terjadi sehingga menyebabkan

penekanan ke atas kulit. Kondisi umum pada fase remodeling adalah

rasa gatal dan penonjolan epitel di permukaan kulit. Pada fase ini kulit

masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerlukan

perlindungan (Arisanty, 2019).

2.3 Penanganan Ulkus Dekubitus

Menurut Singh et al. dalam Dafianto (2016), perawatan standar untuk ulkus

dekubitus idealnya diberikan oleh tim multidisiplin dengan memastikan kontrol

glikemik, perfusi yang adekuat, perawatan luka lokal dan debridement biasa, off-

loading , pengendalian infeksi dengan antibiotik dan pengelolaan komorbiditas

yang tepat. Pendidikan kesehatan pada pasien akan membantu dalam mencegah

ulkus dan kekambuhannya. Berikut adalah beberapa penanganan ulkus dekubitus

yang dapat dilakukan:

1. Mencuci Luka

Pencucian bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis, cairan luka

yang berlebihan, sisa balutan yang digunakan dan sisa metabolik tubuh

pada cairan luka. Mencuci dapat meningkatkan, memperbaiki dan

mempercepat penyembuhan luka serta menghindari terjadinya infeksi.

Pencucian luka merupakan aspek yang penting dan mendasar dalam

manajemen luka, merupakan basis untuk proses penyembuhan luka yang

baik, karena luka akan sembuh jika luka dalam keadaan bersih (Gitarja,

2008). Cairan Normal Salin/NaCl 0,9% atau air steril sangat

direkomendasikan sebagai cairan pembersih luka pada semua jenis luka.

Cairan ini merupakan cairan isotonis, tidak toksik terhadap jaringan, tidak

17
menghambat proses penyembuhan dan tidak menyebabkan reaksi alergi.

Antiseptik merupakan cairan pembersih lain dan banyak dikenal seperti

iodine, alkohol 70%, chlorine, hydrogen perokside, rivanol dan lainnya

seringkali menimbulkan bahaya alergi dan perlukaan di kulit sehat dan

kulit luka. Tujuan penggunaan antiseptik adalah untuk mencegah

terjadinya kontaminasi bakteri pada luka. Namun perlu diperhatikan

beberapa cairan antiseptik dapat merusak fibroblast yang dibutuhkan pada

proses penyembuhan luka. Jika kemudian luka terdapat infeksi akibat

kontaminasi bakteri, pencucian dengan antiseptik dapat dilakukan, namun

bukanlah hal yang mutlak, karena pemberian antibiotik secara sistemik

justru lebih menjadi bahan pertimbangan (Wijaya, 2018).

2. Debridement

Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses penyembuhan luka

dengan menyediakan tempat untuk bakteri. Untuk membantu

penyembuhan luka, maka tindakan debridement sangat dibutuhkan.

Debridement dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti

mechanical, surgical, enzimatic, autolisis dan biochemical. Cara yang

paling efektif dalam membuat dasar luka menjadi baik adalah dengan

metode autolisis debridement (Gitarja, 2008). Autolisis debridement

adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh

sendiri dengan syarat utama lingkungan luka harus dalam keadaan lembab.

Pada keadaan lembab, proteolitik enzim secara selektif akan melepas

jaringan nekrosis dari tubuh. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis

akan mudah lepas dengan sendirinya ataupun dibantu dengan pembedahan

18
(surgical) atau mechanical debridement. Tindakan debridemen lain juga

bisa dilakukan dengan biomekanikal menggunakan maggot (larva atau

belatung) (Suriadi, 2007).

3. Dressing

Terapi topikal atau bahan balutan topical (luar) atau dikenal juga

dengan istilah dressing adalah bahan yang digunakan secara topical atau

menempel pada permukaan kulit atau tubuh dan tidak digunakan secara

sistemik (masuk ke dalam tubuh melalui pencernaan dan pembuluh darah

(Arisanty, 2019). Berdasarkan perkembangan modernisasi, tehnik

dressing di Indonesia dibagi menjadi 2, yaitu: konvensional dressing dan

modern dressing (moist wound healing).

a. Konvensional Dressing

Pada era sekarang ini pelayanan kesehatan terutama pada perawatan

luka mengalami kemajuan yang pesat. Penggunaan dressing sudah

mengarah pada gerakan dengan mengukur biaya yang diperlukan dalam

melakukan perawatan luka. Perawatan luka konvensional yang sering

dipakai di Indonesia adalah dengan menggunakan perawatan seperti biasa

dan biasanya yang dipakai adalah dengan cairan rivanol, larutan betadin

10% yang diencerkan ataupun dengan hanya memakai cairan NaCl 0,9%

sebagai cairan pembersih dan setelah itu dilakukan penutupan pada luka

tersebut (Arisanty, 2019).

b. Modern Dressing (Moist Wound Healing)

Perawatan luka modern adalah teknik perawatan luka dengan

menciptakan kondisi lembab pada luka sehingga dapat membantu

19
proses epitelisasi dan penyembuhan luka, menggunakan balutan semi

occlusive, full occlusive dan impermeable dressing berdasarkan

pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), keamanan (safety).

Manajemen luka dalam perawatan modern adalah dengan metode

“moist wound healing” hal ini sudah mulai dikenalkan oleh Prof.

Winter pada tahun 1962. Moist wound healing merupakan suatu

metode yang mempertahankan lingkungan luka tetap terjaga

kelembabannya untuk memfasilitasi penyembuhan luka sehingga

dapat membantu proses epitelisasi dan penyembuhan luka. Luka

lembab dapat diciptakan dengan cara occlusive dressing (perawatan

luka tertutup). Balutan luka (wound dressings) secara khusus telah

mengalami perkembangan yang sangat pesat selama hampir dua

dekade ini. Menurut Wijaya (2018) adapun alasan dari teori perawatan

luka dengan suasana lembab ini antara lain:

i. Mempercepat fibrinolisi

fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih

cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab.

ii. Mempercepat angiogenesis

Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan

merangsang lebih pembentukan pembuluh darah dengan lebih

cepat.

iii. Menurunkan resiko infeksi

Kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika

dibandingkan dengan perawatan kering.

20
iv. Mempercepat pembentukan Growth factor

Growth factor berperan pada proses penyembuhan luka untuk

membentuk stratum corneum dan angiogenesis, dimana

produksi komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam

lingkungan yang lembab.

v. Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktif.

Pada keadaan lembab, invasi netrofil yang diikuti oleh

makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih

dini.

Pada dasarnya prinsip pemilihan balutan memiliki beberapa tujuan penting

yang dipaparkan oleh Kerlyn, yaitu tujuan jangka pendek yang dicapai setiap kali

mengganti balutan dan dapat menjadi bahan evaluasi keberhasilan dalam

menggunakan satu atau beberapa jenis terapi topikal, adalah sebagai berikut

(Arisanty, 2019).

a. Menciptakan lingkungan yang kondusif dalam penyembuhan luka.

b. Meningkatkan kenyamanan klien.

c. Melindungi luka dan kulit sekitarnya.

d. Mengurangi nyeri dengan mengeluarkan udara timedari ujung syaraf (kondisi


oklusif).

e. Mempertahankan suhu pada kaki.

f. Mengontrol dan mencegah perdarahan.

g. Menampung eksudat

h. Imobilisasi bagian tubuh yang luka.

i. Aplikasi penekanan pada area perdarahan atau vena yang statis.

21
j. Mencegah dan menangani infeksi pada luka.

k. Mengurangi stress yang ditimbulkan oleh luka dengan menutup secara tepat.

Memilih balutan (dressing) merupakan suatu keputusan yang harus

dilakukan untuk memperbaiki kerusakan jaringan. Berhasil tidaknya tergantung

kemampuan perawat dalam memilih balutan yang tepat, efektif dan efesien. Bentuk

modern dressing saat ini yang sering dipakai adalah : calcium alginate,

hydrocolloide, hidroaktif gel, metcovazine, polyurethane foam, silver dressing

(Wijaya, 2018).

2.4 Konsep Polyurethane Foam

2.4.1 Definisi Polyurethane foam

Polyurethane foam dressing merupakan balutan luka yang berfungsi

sebagai absorban yang terbuat dari polyurethane dan dapat memberikan tekanan

pada permukaan luka. Polyurethane foam dressing yaitu balutan yang mampu di

lewati udara dan air, kandungan hydrophilinya mampu menyerap eksudat sampai

pada lapisan atas balutan (Handayani, 2016). Kemampuannya menampung cairan

dapat memperpanjang waktu penggantian balutan. Selain itu juga tidak

memerlukan balutan tambahan, langsung ditempelkan ke luka dan membuat dasar

luka lebih rata terutama keadaan hipergranulasi. Menurut Wijaya, balutan foam

mengandung polyurethane foam yang berfungsi menyerap eksudat dari sedang

sampai sangat banyak. Fungsi lain dari foam adalah mengurangi tekanan pada luka

kronis, mengatasi hipergranulasi, dan membantu melindungi luka dari trauma

seperti pada pressure injury (dekubitus) (Wijaya, 2018).

22
2.4.2 Indikasi Dan Kontraindikasi Polyurethane Foam Dressing

Berikut adalah indikasi dan kontraindikasi polyurethane foam dressing,

yaitu (Saputri, 2023):

1) Indikasi Polyurethane Foam Dressing

a) Dapat digunakan pada luka full thickness atau partial thickness.

b) Balutan ini lebih banyak diaplikasikan pada luka yang berair atau basah.

c) Balutan ini juga dapat digunakan untuk luka lembab.

d) Luka yang memiliki eksudat sedang hingga berat.

2) Kontraindikasi Polyurethane Foam Dressing

a) Luka yang memiliki eksudat minimal.

b) Luka bakar dengan derajat tiga.

c) Luka yang tidak terdapat cairan karena balutan luka dapat lengket pada dasar

luka.

2.4.3 Kentungan Dan Kerugian Polyurethane Foam Dressing

Polyurathane foam sangat penyerap, protektif, isolasi dan memiliki

properti yang sesuai dengan permukaan tubuh. Keuntungan polyurathane

foam, yaitu: 1) kemampuan untuk mempertahankan kelembapan di dasar luka,

enyembuhkan dan menyerap eksudat berlebih; 2) mengurangi risiko kulit

maserasi; 3) digunakan untuk melindungi luka dan periwound; 4) melindungi

terhadap bakteri dan infeksi agen lainnya; 5) menyediakan mekanisme

perlindungan, bantalan (Nielsen dan Fogh, 2015). Polyurathane foam dapat

dibiarkan di tempat selama sekitar satu minggu, tergantung pada tingkat

eksudat. Namun Polyurathane foam rongga biasanya nonadhesive dan

23
membutuhkan penggunaan dressing sekunder untuk menjaga mereka di

tempat, dan dengan demikian, meningkatkan biaya luka manajemen (Weller

and Team, 2019). Salah satu kerugian dari polyurathane foam adalah potensi

pertumbuhan ke dalam jaringan yang baru terbentuk ke dalam pembalut karena

pembalut yang jarang perubahan, yang dapat mengakibatkan trauma geser saat

berpakaian penghapusan (Lee et al., 2016). Kerugian lain adalah bahwa satu

ukuran produk busa mungkin dibatasi oleh ukuran luka.

2.4.4 Off-loading
Tujuan dari Off-loading adalah untuk mengurangi tekanan plantar

dengan mendistribusikan ke area yang lebih besar, untuk menghindari

pergeseran dan gesekan, dan untuk mengakomodasi deformitas.

2.6 Asuhan Keperawatan teoritis

Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon

manusia terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang

bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan

dapat berhubungan dengan klien keluarga juga orang terdekat atau masyarakat.

Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat dalam mengurangi /

mengatasi masalahmasalah kesehatan.Proses keperawatan terdiri dari lima

tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi.

24
2.6.1 Riwayat luka :

a. Mekanisme terjadinya luka.

b. Kapan terjadinya luka : setelah 3 jam (golden periode< 6 jam),

kolonisasi bakteri dalam luka akan meningkat tajam.

c. Di mana pasien mendapatkan luka tersebut.

d. Bila saat pasien datang luka telah dibersihkan tetap harus

ditanyakan adakah kontaminan dalam luka, misalnya logam,

kotoran hewan atau karat. Adanya kontaminan dalam luka

meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan tetanus.

e. Perdarahan dan jumlah darah yang keluar.

2.6.2 Keluhan yang dirasakan saat ini :

a. Rasa nyeri

Rasa nyeri pada luka kronis dirasakan sebagai nyeri hebat,

persisten dan mengakibatkan pasien sulit tidur, gangguan emosi,

rendah diri serta depresi.

b. Gejala infeksi : kemerahan, bengkak, demam, nyeri.

c. Gangguan fungsi motorik atau sensorik : menunjukkan

kemungkinan terjadinya kerusakan otot, ligamentum, tendo atau

saraf.

2.6.3 Riwayat kesehatan dan penyakit pasien secara keseluruhan :

Menilai faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka dan

pemilihan regimen penanganan luka, yaitu :

a Umur

b Dehidrasi :

25
gangguan keseimbangan elektrolit mempengaruhi fungsi

jantung, ginjal, metabolisme seluler, oksegenasi jaringan

dan fungsi endokrin.

c Status psikologis :

Status psikologis pasien berpengaruh pada pemilihan

regimen terapi yang tepat bagi pasien tersebut. Pemilihan

regimen terapi dengan mempertimbangkan status

psikologis pasien mempengaruhi kepatuhan pasien

terhadap terapi yang ditetapkan dokter.

d Status nutrisi :

nutrisi berperan penting dalam proses penyembuhan luka.

Kekurangan salah satu atau beberapa nutrient

mengakibatkan penyembuhan luka terhenti pada tahapan

tertentu.

e Berat badan :

pada pasien dengan obesitas, adanya lapisan lemak yang

tebal di sekitar luka dapat mengganggu penutupan luka.

Selain itu, vaskularisasi jaringan adiposa tidak optimal

sehingga jaringan adiposa merupakan salah satu jenis

jaringan yang paling rentan terhadap trauma dan infeksi.

f Vaskularisasi ke area luka :

penyembuhan luka di kulit paling optimal di area wajah dan

leher karena merupakan area dengan vaskularisasi paling

baik. Sebaliknya dengan ekstremitas Kondisi-kondisi yang

26
mengakibatkan gangguan vaskularisasi ke area luka,

misalnya diabetes atau arteriosklerosis, dapat

memperlambat atau bahkan menghentikan penyembuhan

luka.

g Respons imun :

penyakit kronis, seperti penyakit endokrin, keganasan,

inflamasi dan infeksi lokal serta penyakit autoimmun.

h Radioterapi

i Riwayat alergi :

makanan, obat (anestetik, analgetik, antibiotik, desinfektan,

komponen benang, lateks/plester dan lain-lain).

2.6.4 Riwayat penanganan luka yang sudah diperoleh :

a Status vaksinasi tetanus

b Penutupan luka : jahitan, balutan

c Penggunaan ramuan-ramuan topikal : salep, powder,

kompres, ramuan herbal dan lain-lain.

d Penggunaan antibiotika.

2.6.5 Konsekuensi luka dan bekas luka bagi pasien

Konsekuensi yang dinilai meliputi konsekuensi luka terhadap :

a Kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

b Pekerjaan pasien.

c Aspek kosmetik.

d Kondisi psikologis pasien.

27
e Pembentukan jaringan parut sebagai konsekuensi dari

penyembuhan luka juga harus dipertimbangkan dari aspek

fungsional (terjadinya kontraktur) dan pertimbangan

kosmetik.

2.6.6 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik memerlukan evaluasi menyeluruh dan

sistematis terutama pemeriksaan ekstremitas bawah agar tidak ada

bagian yang terlewat, termasuk tanda vital.

2.6.7 Pemeriksaan tanda vital

2.6.8 Pemeriksaan fisik umum : bertujuan mencari tanda adanya

faktor komorbid, seperti :

a Inspeksi mukosa konjungtiva dan bibir

(mengetahui kemungkinan anemia).

b Menilai status gizi (mengetahui adanya malnutrisi atau obesitas).

c Pemeriksaan neurologi (reflex dan sensasi – mengetahui

kemungkinan neuropati).

d Pemeriksaan kardiovaskuler (menilai oksigenasi jaringan dan

kemungkinan adanya penyakit vaskuler perifer).

e Penilaian adanya infeksi : Gejala dan tanda umum : demam,

malaise, limfadenopati regional

f Gejala dan tanda lokal : edema, eritema, rasa nyeri, peningkatan

suhu lokal, gangguan fungsi.

28
g Penilaian terhadap terjadinya kerusakan struktur di bawah luka

(pembuluh darah, saraf, ligamentum, otot, tulang).

2.6.9 Penilaian Terhadap Luka

Pengkajian luka Bates-Jansen Wound Assessment Tool (BWAT) digunakan

untuk mengkaji status luka yang disebabkan karena adanya tekanan dan

berbagai macam sebab. BWAT berisi 13 item untuk menilai ukuran luka,

kedalaman, tepi luka, kerusakan jaringan, jenis jaringan nekrotik, jumlah nekrotik,

granulasi dan jaringan epitelisasi, jenis eksudat dan jumlah, warna kulit sekitar

luka, edema dan indurasi (Harris et al., 2010). Pengkajian BWAT dapat

digunakan untuk memprediksi penyembuhan luka. Pengkajian ini tidak melihat

beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka kronik seperti maserasi

dan infeksi. Komponen tersebut juga penting dipertimbangkan penggunaan obat

topikal untuk luka serta menentukan intervensi lebih lanjut (Arisandi et al., 2016).

Apabila luka ulkus dikatakan sembuh (healed), maka item 1, 2, 3, 4 diberi nilai 0.

Item nomor 5 sampai 13 memiliki skor terendah 1, sehingga total skor terendah

adalah 9. Apabila dinyatakan mengalami regenerasi, total skor tertinggi pada ke13

item bernilai 65 dengan masing-masing item diberi nilai Misal: pasien datang

dengan luka lecet, maka item 1, 2, 3, 4 diberi nilai 0, dan item 5 sampai 13 diberi

poin 1, maka total skor yang diperoleh adalah 9, luka dinyatakan mengalami

penyembuhan (Rasyid et al., 2018).

1. Keadaan dasar luka Keadaan dasar luka mencerminkan tahapan

penyembuhan luka. Karakteristik dasar luka bervariasi dan sering

diklasifikasikan berdasarkan tipe jaringan yang berada di dasarnya, yaitu:

nekrotik, slough, granulasi, epitel dan jaringan hipergranulasi. Pada satu

29
luka sering terdapat beberapa jenis tipe jaringan sekaligus. Keadaan dasar

luka menentukan pemilihan dressing.

2. Jaringan nekrotik Akibat kematian jaringan, permukaan luka tertutup oleh

lapisan jaringan nekrotik (eschar) yang seringkali berwarna hitam atau

kecoklatan. Pada awalnya konsistensi lunak, tetapi kemudian akan

mengalami dehidrasi dengan cepat sehingga menjadi keras dan kering.

Jaringan nekrotik dapat memperlambat penyembuhan dan menjadi fokus

infeksi (Ariningrum dan Subandono, 2018).

3. Slough, juga merupakan jenis jaringan nekrotik, merupakan material

lunak yang terdiri atas sel-sel mati, berwarna kekuningan dan menutupi

luka. Dapat berbentuk seperti serabut/ benang yang menempel di dasar

luka. Slough harus dibedakan dari pus, di mana slough tetap menempel

di dasar luka meski diguyur air, sementara pus akan terlarut bersama air

(Ariningrum dan Subandono, 2018).

4. Jaringan granulasi Granulasi adalah jaringan ikat yang mengandung

banyak kapiler baru yang akan membantu penyembuhan dasar luka.

Jaringan granulasi sehat berwarna merah jambu pucat atau kekuningan,

mengkilat dan terlihat seperti tumpukan kelereng (Ariningrum dan

Subandono, 2018).

5. Jaringan hipergranulasi Hipergranulasi merupakan pembentukan jaringan

granulasi secara berlebihan. Hipergranulasi akan mengganggu migrasi

epitel sehingga memperlambat penyembuhan luka (Ariningrum dan

Subandono, 2018). • Jaringan epitel Berupa jaringan berwarna putih

keperakan atau merah jambu, merupakan epitel yang bermigrasi dari tepi

30
luka, folikel rambut atau kelenjar keringat. Biasanya menutupi jaringan

granulasi. Terbentuknya jaringan epithelial menandakan fase

penyembuhan luka tahap akhir hampir selesai (Ariningrum dan

Subandono, 2018).

6. Lokasi luka Lokasi dan posisi mempengaruhi pemilihan dressing, sebagai

contoh jenis dan ukuran dressing untuk luka di abdomen berbeda dengan

dressing untuk luka di tumit atau jari-jari kaki (Ariningrum dan

Subandono, 2018).

7. Ukuran luka Harus diukur panjang, lebar, lingkar luka, kedalaman luka

dan luas dasar luka, serta perubahan ukuran luka setiap kali pasien datang.

Pergunakan alat ukur yang sama supaya hasil ukuran akurat dan dapat

saling diperbandingkan. Kedalaman luka diukur dengan bantuan

aplikator atau cotton-bud yang dimasukkan tegak lurus ke dasar luka

terdalam -- tandai aplikator -- ukur dengan penggaris. Kadang kerusakan

jaringan dan nekrosis meluas ke lateral luka, di bawah kulit, sehingga

sering tidak terlihat. Perlu dinilai ada tidaknya pembentukan sinus,

kavitas, traktus atau fistula, yang dapat mengganggu drainase eksudat,

berpotensi infeksi dan menghambat penyembuhan luka. Penyembuhan

luka ditandai dengan berkurangnya ukuran luka (Ariningrum dan

Subandono, 2018).

8. Tipe dan jumlah eksudat Terlihat pada luka terbuka. Selama penyembuhan

luka, jenis dan jumlah pembentukan eksudat bervariasi. Luka terus

menghasilkan eksudat sampai epitelisasi terjadi secara sempurna.

Kuantitas eksudat bervariasi dari sedikit, sedang, banyak, dan sangat

31
banyak (profuse). Biasanya, makin besar ukuran luka, makin banyak

eksudat yang terbentuk. Berdasarkan kandungan material di dalamnya,

eksudat dibedakan menjadi: serous, serohemoragis, hemoragis dan

purulen (pus) (Ariningrum dan Subandono, 2018).

9. Bau Luka diklasifikasikan sebagai tidak tidak berbau, berbau dan sangat

berbau. Bau luka berdampak psikologis sangat hebat bagi pasien. Bau

biasanya terjadi pada luka terinfeksi, ditimbulkan oleh adanya jaringan

nekrotik, eksudat dan material toksik dalam luka (pus, debris dan bakteri),

sehingga tindakan membersihkan luka dan nekrotomi dapat mengurangi

bau dan memperbaiki infeksi (Ariningrum dan Subandono, 2018).

10. Nyeri Rasa nyeri akan membatasi aktifitas, mempengaruhi mood dan

berdampak besar terhadap kualitas hidup pasien. Nyeri merupakan tanda

bahwa luka tidak mengalami penyembuhan atau terjadi infeksi pada luka.

Nyeri pada luka harus diidentifikasi penyebabnya (inflamasi atau infeksi),

kualitas dan kuantitasnya (Ariningrum dan Subandono, 2018).

11. Tepi luka Tepi luka dapat menyempit atau justru melebar. Dapat

menggaung (meluas ke lateral, di bawah kulit -- undermining),

membentuk kavitas, traktus atau sinus. Tepi luka bisa curam, landai,

regular, ireguler atau meninggi. Selama penyembuhan luka pasti terjadi

perubaha bentuk luka. Penting untuk memantau dan mencatat keadaan tepi

luka karena merupakan indikator penyembuhan luka (Ariningrum dan

Subandono, 2018).

12. Kulit disekitar luka Maserasi kulit di sekitar luka terjadi karena retensi

cairan, sering diakibatkan oleh pemilihan dressing yang kurang

32
tepat.Kondisi ini dapat menjadi fokus infeksi dan menghambat

penyembuhan luka.Kulit kering dan berskuama juga berpotensi infeksi

karena masuknya bakteri melalui retakan-retakan epidermis.Jaringan

nekrotik harus dibersihkan dan kulit harus direhidrasi kembali dengan

krim pelembab (Ariningrum dan Subandono, 2018).

2.6.10 Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium

Dilakukan untuk melihat tanda-tanda terjadinya infeksi dan status nutrisi

dari pasien. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan darah lengkap, albumin,

dan serum protein. Tanda-tanda infeksi terjadi apabila terdapat peningkatan

leukosit diatas 15.000/uL dan erythrocyte sedimentation rate (ESR) diatas

120 mm/jam dapat menandakan infeksi seperti osteomyelithis

2. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kerusakan jaringan yang

ditimbulkan dari tekanan eksternal.

3. Kultur jaringan Pemeriksaan ini dilakukan hanya apabila terjadi tanda-tanda

infeksi yang persisten. Kultur bakteri dikatakan positif apabila terdapat

bakteri lebih dari 105 CFU/gram pada jaringan. (Febriana, 2017)

2.6.11 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan integritas kulit/jarigan

2. Nyeri kronis

3. Resiko infeksi

4. Gangguan mobilitas fisik

2.6.12 Luaran Keperawatan

33
Berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia atau SLKI (PPNI,

2019), tujuan yang ingin dicapai atau luaran untuk masalah keperawatan gangguan

integritas kulit/jaringan, terdiri dari atas luaran utama dimana setelah melakukan

asuhan keperawatan pada klien selama 3 minggu diharapkan integritas

kulit/jaringan meningkat yang ditandai dengan kriteria hasil: elstisitas, hirasi dan

perfusi jaringan meningkat; nyeri, perdarahan. Kemerahan, hematoma, pigmentasi

abnormal, jaringan parut, dan nekrosis menurun; serta suhu, sensasi, tekstur, dan

pertumbuhan rambut pada kulit membaik. Kemudian dalam menunjang pencapaian

tujuan utama maka, luaran tambahan yang ingin dicapai adalah penyembuhan luka

meningkat, yang ditandai dengan kriteria hasil: penyatuan kulit, penyatuan tepi

luka, jaringan granulasi, dan pembentukan jaringan parut meningkat; edema pada

sisi luka menurun; peradangan dan nyeri pada luka menurun; drainase/eksudat

menurun; eritema pada kulit sekitar menurun; peningkatan suhu kulit menurun; bau

tidak sedap pada kulit menurun; nekrosis menurun; infeksi menurun. Kemudian

sebagai penunjang pencapaian tujuan utama maka, luaran tambahan lainnya yang

ingin dicapai adalah perfusi perifer meningkat, yang ditandai dengan kriteria hasil:

denyut nadi perifer, penyembuhan luka, sensasi meningkat; warna kulit pucat,

edema perifer, nyeri ekstermitas, parastesia, kelemahan otot, kram otot, bruit

ekstermitas, nekrosis menurun; pengisian kapiler, akral, turgor kulit, tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata, indeks ankle-brachial

membaik.

2.6.13 Intervensi Keperawatan

Penulis membuat rencana asuhan keperawatan berdasarkan standar sesuai

dengan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) (PPNI, 2018), dan SLKI

34
yang telah terintegrasi dengan masalah keperawatan (SDKI). Rencana asuhan

keperawatan berdasarkan SIKI dan SLKI secara detail akan ditampilkan dalam

bentuk tabel pada lembar lampiran. Penulis hanya akan menguraikan outcome dan

intervensi secara fokus pada masalah keperawatan utama yaitu gangguan integritas

kulit dan memberikan intervensi utama yaitu perawatan integritas kulit untuk

menjaga keutuhan, kelembapan dan mencegah perkembangan mikroorganisme.

Tindakan yang dilakukan antara lain observasi: monitor karakteristik luka

(drainase, warna, ukuran dan bau), dan monitor tanda-tanda infeksi. Kemudian

melakukan tindakan terapeutik yaitu perawatan luka menggunakan manajemen

TIME (tissue management atau manajemen jaringan dengan melakukan

debridemen, inflammation/infection control atau menngendalikan inflamasi/infeksi

bioburden, moinsture balance atau mempertahankan keseimbangan kelembapan,

edge of the wound atau perkembangan tepi luka) dan prinsip 3M (mencuci luka,

mengangkat jaringan mati dan memilih balutan sesuai dengan luka). Kemudian

adapaun pelaksanaan tindakan terapeutik menurut SIKI antara lain: melapas

balutan dan plester secara perlahan; mencuci luka menggunakan cairan NaCl atau

pembersih nontosik dan sabun antiseptik (sesuai kebutuhan); mengangkat jaringan

nekrosis; berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi (jika perlu); kemudian pasang

balutan sesuai jenis luka; dan ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase.

Sedangkan untuk tindakan edukasi direncakanan pasien dan kelurga dianjurkan

mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein.

Disamping intervensi dalam perawatan luka, diperlukan juga intervensi

tambahan atau pendukung untuk meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga

dengan memberikan edukasi perawatan kulit, yang dimulai dengan melakukan

35
tindakan observasi yaitu kesiapan dan kemampuan menerima informasi.

Selanjutnya sediakan materi dan media pendidikan kesehatan. Jadwalkan

pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan, dan berikan kesempatan bagi pasien dan

keluarga untuk bertanya. Adapun tindakan edukasi yang akan diberikan antara lain

anjurkan minum cukup cairan; anjurkan menggunakan pelembab; melibatkan klien

dan keluarga dalam self-assessment seperti cek lesi atau luka dan; anjurkan melapor

jika ada lesi kulit yang tidak biasa; beritahu cara menurunkan tekanan pada plantar

pedis (off-loading)

2.6.14 Implementasi Keperawatan

Setelah rencana tindakan disusun maka untuk selanjutnya adalah

pengolahan data dan kemudian pelaksanaan asuhan keperawatan sesuai dengan

rencana yang telah di susun tersebut. Dalam pelaksanaan implementasi maka

perawat dapat melakukan observasi atau dapat mendiskusikan dengan klien atau

keluarga tentang tindakan yang akan kita lakukan.

Dalam mempertahankan kelembaban lingkungan luka, dimulai dengan

wound bed preparation menggunakan manajemen TIME untuk mendapatkan

jaringan luka yang sehat berwarna merah/red. Manajemen Management pertama

kali dikenalkan oleh Prof. Vincent Falanga dan Dr. Gary Sibbllad berdasarkan

pengalamannya merawat luka kronis pada tahun 2003, menyatakan bahwa

persiapan dasar luka meliputi empat aspek dalam praktik, yaitu: tissue Management

(manajemen jaringan), inflammation atau infection Control (pengendalian infeksi),

moist balance (keseimbangan kelembaban), dan edge of the wound (pinggiran luka)

(Wijaya, 2018). Pada luka kronis seperti diabetic foot ulcer terdapat berubahan

dalam manajemen luka yaitu TIME (tissue management atau manajemen jaringan

36
dengan melakukan debridemen, inflammation/infection control atau

menngendalikan inflamasi/infeksi bioburden, moinsture balance atau

mempertahankan keseimbangan kelembapan, edge of the wound atau

perkembangan tepi luka) (Cook et al., 2019).

2.6.15 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah langkah terakhir dalam asuhan keperawatan, evaluasi dilakukan

dengan pendekatan SOAP (data subjektif, data objektif, analisa dan planning).

Dalam evaluasi ini dapat ditentukan sejauh mana keberhasilan rencana tindakan

keperawatan yang harus dimodifikasi.

37

Anda mungkin juga menyukai