Daftar Pusaka

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 47

LARANGAN PERKAWINAN SATU MARGA

DALAM ADAT BATAK MANDAILING


DI KABUPATEN MANDAILING NATAL
(STUDI KOMPARASI HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM)

SKRIPSI
DISUSUN DAN DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU
HUKUM ISLAM
OLEH:
MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI
17103060020

PEMBIMBING:
Drs. ABD. HALIM, M.Hum.

NIP. 19630119 199003 1 001

PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021 / 1442 H
ABSTRAK

Perkawinan satu marga merupakan perkawinan yang dilarang dalam adat Batak
Mandailing karena dianggap sebagai perkawinan sedarah dari garis keturunan ayah
(patrilinial), dimana perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Seiring
perkembangan zaman terjadi perubahan sosial kebudayaan adat dalam memahami
pelarangan perkawinan semarga tersebut, dimana sebagian masyarakat Batak
memahami bahwa perkawinan satu marga telah menjadi hal yang biasa dalam
kehidupan bermasyarakat. Salah satunya yang terjadi pada masyarakat Batak
Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Perkawinan Satu
marga pada masyarakat sekarang ini mengalami pergeseran makna dari budaya adat
Batak. Hal ini menunjukkan apakah larangan ini sudah mengalami perubahan
hukum dalam masyarakat adat Batak Mandailing seiring dengan berkembangnya
sosial, pendidikan, ilmu agama dan budaya masyarakat. Pertanyaan penting adalah
bagaimanakah praktik pernikahan semarga dalam adat Batak Mandailing dan
seperti apa aturan pelarangan pernikahan semarga tersebut dalam perspektif hukum
adat dan hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena yang diteliti


merupakan adat atau norma-norma yang hidup di masyarakat. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penilitian ini adalah metode penelitian
lapangan (Field Reseach), yaitu peneliti mencari data secara langsung dalam
masyarakat suku Batak Mandailing tentang aturan adat larangan perkawinan
semarga dan kemudian nantinya data yang diperoleh merupakan data alamiah
seperti apa adanya yang kemudian didukung oleh bahan-bahan kepustakaan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi budaya dan ushul fikih dengan
sifat deskriptif untuk memperoleh secara sistematis dan konkret gambaran hukum
dari fenomena yang diselidiki, dan komparatif untuk membandingkan dua pendapat
hukum pada masalah yang diteliti agar diperoleh pemahaman hukum yang utuh dan
komprehensif.
Berdasarkan hasil penelitian, penyusun memperoleh hasil bahwa latar belakang
dilarangnya perkawinan satu marga adalah untuk menghindari perkawinan sedarah
yang menurut adat Batak Mandailing satu marga adalah sedarah, akan tetapi dalam
Islam yang dilarang untuk menikah adalah mahram. Sehingga terjadi pergeseran
norma terhadap aturan larangan perkawinan satu marga yang disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya faktor cinta, faktor agama, faktor pendidikan, faktor
ekonomi, dan faktor budaya. Masyarakat Batak Mandailing melakukan perkawinan
satu marga karena sudah tidak percaya lagi dengan hal-hal tabu.

Kata Kunci : larangan perkawinan semarga, hukum adat, hukum Islam

i
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-03/RO
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI

Hal : Skripsi Saudara Muhammad Yusuf Rangkuti


Kepada Yth,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Setelah membaca, meneliti, dan mengoreksi serta menyarankan perbaikan
seperlunya, maka kami berpendapat bahwa :
Nama : Muhammad Yusuf Rangkuti
NIM : 17103060020
Judul : “Larangan Perkawinan Satu Marga Dalam Adat Batak Mandailing
di Kabupaten Mandailing Natal (Studi Komparasi Hukum Adat dan
Hukum Islam)”
Sudah dapat diajukan kepada Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar sarjana strata satu dalam Ilmu Hukum Islam.
Dengan ini kami mengharap agar skripsi atau tugas akhir saudara tersebut di atas
dapat segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 14 Januari 2021
01 Jumadil Akhir 1442
Pembimbing,

Drs. Abd. Halim, M.Hum.


NIP. 19630119 199003 1 001

ii
iii
iv
MOTTO

“Genggamlah dunia di tanganmu dan


letakkanlah akhirat di hatimu, agar kamu
senantiasa mengingati akhirat tanpa
melupakan dunia.”

(Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq


Radhiyallahu ‘anhu)

v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada
Ayahanda Iskandar Muda Rangkuti dan
Ibunda Rubina Damanik serta sanak saudara
dan keluarga.
Kepada Jurusan Perbandingan Mazhab,
seluruh Masyayikh, Guru, Sahabat, dan
seluruh orang-orang yang pernah hadir dalam
memberikan pelajaran tentang arti kehidupan
selama ini.
Semoga Perbandingan Mazhab menjadi
wasilah pemersatu umat.

vi
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi adalah pengalihan tulisan dari satu bahasa kedalam tulisan


bahasa lain. Dalam skripsi ini transliterasi yang dimaksud adalah pengalihan tulisan
Bahasa Arab ke Bahasa Latin. Penyusunan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi
ini menggunakan transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama Republik Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/U/1987. Secara garis besar
uraiannya adalah sebagai berikut:

A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
tidak
‫ا‬ Alif tidak dilambangkan
dilambangkan
‫ب‬ ba’ B Be
‫ت‬ ta’ T Te
‫ث‬ sa’ ṡ es (dengan titik di atas)
‫ج‬ Jim J Je
ha (dengan titik di
‫ح‬ ha’ ḥ
bawah)
‫خ‬ kha’ Kh ka dan ha
‫د‬ Dal D De
‫ذ‬ Zal Ż ze (dengan titik di atas)
‫ر‬ ra’ R Er
‫ز‬ Zai Z Zet
‫س‬ Sin S Es
‫ش‬ Syin Sy es dan ye
‫ص‬ Ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di
‫ض‬ Ḍad ḍ
bawah)

vii
‫ط‬ ta’ ṭ te (dengan titik di bawah)
zet (dengan titik
‫ظ‬ za’ ẓ
dibawah)
‫ع‬ ‘ain ‘ koma terbalik di atas
‫غ‬ Gain G Ge
‫ف‬ Fa F Ef
‫ق‬ Qaf Q Qi
‫ك‬ Kaf K Ka
‫ل‬ Lam L ‘el
‫م‬ Mim M ‘em
‫ن‬ Nun N ‘en
‫و‬ Waw W W
‫ه‬ ha’ H Ha
‫ء‬ Hamzah ’ Apostrof
‫ي‬ Ya Y Ye

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah

ٌ‫ُمتَعَ ِّددَة‬ Ditulis muta`addidah

ٌ‫عدٌة‬
ٌِّ Ditulis `iddah

C. Ta Marbutah di akhir kata


1. Bila dimatikan ditulis h

ٌ‫حِّ ْك َمة‬ Ditulis Hikmah

ٌ‫عِّلٌة‬ Ditulis `illah

(ketentuan ini tidak diperlakukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap
dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila
dikehendaki lafal aslinya).

viii
2. Bila diikuti dengan kata sandang al serta bacaan kedua itu terpisah, maka
ditulis dengan h.

ٌِّ‫ك ََرا َم ٌة ٌُاْالَ ْولِّيٌا َء‬ Ditulis karāmah al-Auliyā’

3. Bila ta marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah, dan damah ditulis
t atau h.
ٌْ ‫ٌَز ٌَكا ٌةٌٌُاْل ٌِّف‬
ٌ‫ط ِّر‬ Ditulis zakātul fiṭri

D. Vokal Pendek

‫ﹶ‬ A
Fathah Ditulis
َ‫فَ َع َل‬ fa’ala

‫ﹺ‬ I
Kasrah Ditulis
َ‫فَ َع َل‬ Żukira

‫ﹸ‬ U
Dammah Ditulis
َ‫فَ َع َل‬ Yażhabu

E. Vokal Panjang
fathah + alif ditulis Ā
ٌ‫جا ٌِّهٌِّليٌة‬
ٌَ ditulis jāhiliyyah
fathah + ya’ mati ditulis ā
َ ‫ت َ ْن‬
‫سى‬ ditulis yas'ā
kasrah + ya’ mati ditulis ī
ٌ‫ٌَك ٌِّر ٌْيم‬ ditulis karīm
dammah + wawu mati ditulis ū
ٌ‫ٌفُ ٌُر ٌْوض‬ ditulis furūḍ

ix
F. Vokal Rangkap
fathah + ya' mati ditulis Ai
ٌ‫بٌَ ٌْينٌَكُ ْم‬ ditulis bainakum
fathah + wawu mati ditulis au
ٌ‫قٌَ ٌْول‬ ditulis qaul

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof
ٌ‫ٌأ ٌَأ ٌَْنٌت ُ ْم‬ ditulis a'antum
ٌَ ٌٌْ‫ٌلَئٌِّن‬
ٌ‫ش ٌَك ٌْرٌت ُ ْم‬ ditulis la'in syakartum

H. Kata Sandang Alif + Lam


Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ‫ال‬, namun dalam
transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariyah.
1. Bila diikuti huruf Qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh Huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya
ٌ‫اٌْل ٌقُ ٌْرآ ُن‬ Ditulis al-Qur'ān
ُ ٌَ‫اٌْل ٌِّقي‬
ٌ‫اس‬ Ditulis al-Qiyās

2. Bila diikuti huruf Syamsiyah ditulis dengan menggandakan huruf Syamsiyah


yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf 1 (el)-nya.
ٌ‫السٌ ٌَما َء‬ Ditulis as-samā
ٌ‫س‬
ُ ‫الشٌ ٌْم‬ Ditulis asy-syams

I. Penyusunan Kata-Kata dalam Rangkaian Kalimat


Ditulis menurut penyusunannya.
ِّ ‫ٌذَ ٌِّويٌاٌْل ٌفُ ٌُر ٌْو‬
ٌ‫ض‬ Ditulis żawi al-Furūḍ
‫ٌأ َ ٌْه ٌُلٌالسٌنٌ ٌِّة‬ Ditulis ahl as-Sunnah

x
J. Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi
ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti yang berlaku
dalam EYD, diantaranya, huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal
nama diri dan permulaan kalimat. Nama diri yang didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama diri bukan huruf
awal kata sandangnya.

Contoh:

ْ ‫ضانَََالَّذِىَأ ْن ِز َلََ ِف ْي ِه‬


َُ‫ََالقُ ْراَن‬ َ ‫ََر َم‬
َ ‫ش ْه ُر‬
َ Syahru Ramaḍān al-lażi unzila fih al-Qur’ān

K. Pengecualian

Sistem transliterasi ini tidak berlaku pada:

a. Kosa kata Arab yang lazim dalam Bahasa Indonesia dan terdapat dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, misalnya hadis, lafaz, shalat, zakat dan sebagainya.
b. Judul buku yang menggunakan kata Arab, namun sudah di-Latin-kan oleh
penerbit, seperti judul buku Al-Hijab, Fiqh Mawaris, Fiqh Jinayah dan
sebagainya.
c. Nama pengarang yang menggunakan nama Arab, tetapi berasal dari negara yang
menggunakan huruf Latin, misalnya Quraish Shihab, Ahmad Syukri Soleh dan
sebagainya.
d. Nama penerbit di Indonesia yang menggunakan kata Arab, misalnya Mizan,
Hidayah, Taufiq, Al-Ma’arif dan sebagainya.

xi
KATA PENGANTAR

َ‫َالر ِحي ِْم‬


َّ ‫َالرحْ َم ِن‬ ِ َّ ‫ِبس ِْم‬
َّ ‫ََّللا‬
َ‫َ َم ْن‬،‫س َِيئ َاتَِأ َ ْع َما ِلنَا‬ َ ‫َم ْنَشُ ُر ْو ِرَأ َ ْنفُسِ ن‬
َ َ‫َاَو ِم ْن‬ ِ ‫َونَعُوذَُ ِبا‬،
ِ ‫هلل‬ َ ُ‫َُونَ ْست َ ْغ ِف ُره‬
َ ‫َونَ ْست َ ِع ْينُه‬ ْ ‫إن‬
َّ ِ َ‫َال َح ْمد‬
َ ُ‫ََلِلَِنَحْ َمدُه‬ َّ
َ ُ‫َأ َ ْش َهد َُأ َ ْنََََ ِإلَهََ ِإَََّللا‬،َُ‫ِيَلَه‬
َ،ُ‫ََوحْ دَهَََُش َِر ْك َ َلَه‬ َ ‫ض ِلَْلهََُفَالََهَاد‬
ْ ُ‫َُو َمنَك‬َ ‫ضلََّلَه‬ ِ ‫َك ْه ِدهَِللاَُفَالََ ُم‬
. َ‫صحْ ِب ِهَاَجْ َم ِعيْن‬
َ َ‫َو‬ َ ‫علىَاَل ِه‬ َ ‫س ْولُه‬
َ َ‫ََُو‬ ُ ‫َو َر‬ َ َ‫َوأ َ ْش َهد َُأ َ َّنَ ُم َح َّمدًا‬
َ ُ‫ع ْبدُه‬
Puji Syukur terhatur kepada Allah Zat yang Maha Gafūr, atas segala nikmat
taufik dan karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar
hingga akhir penyusunannya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa’atnya di
hari akhir kelak juga kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kita selaku umatnya
hingga akhir zaman.

Skripsi ini merupakan kajian singkat mengenai larangan perkawinan satu marga
dalam adat Batak Mandailing studi komparasi antara Hukum Adat dan hukum
Islam. Penyusun menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa
adanya dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan
segala kerendahan hati penyusun mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya
kepada:

1. Prof. Dr. Phil. Al-Makin, S.Ag., M.A. selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta beserta jajaran rektorat.
2. Prof. Dr. Drs. H. Makhrus, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta beserta jajaran dekanat.
3. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid, L,C., S.Ag., M.Ag., selaku Ketua
Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta beserta staf.
4. Nurdhin Baroroh, S.H.I., M.Si., selaku Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
5. Drs. Abd. Halim, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak memberikan masukan,

xii
arahan, bimbingan, dan doa kepada penyusun hingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Semoga Allah merahmati dan membalas jasa-
jasa beliau.
6. Seluruh dosen dan karyawan di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah banyak memberikan ilmu
pengetahuan, pengalaman dan keteladanan yang sangat berharga dan
bermanfaat bagi penyusun selama menjalankan masa studi.
7. Ayahanda Iskandar Muda Rangkuti dan Ibunda Rubina Damanik tersayang,
serta adik-adik saya tercinta (Muhammad Nazaruddin Rangkuti,
Muhammad Arsyad Rangkuti, dan Amir Husein Rangkuti) dan seluruh
sanak saudara di kampung halaman yang tiada henti memberi perhatian,
dukungan, doa, dan semangat kepada penyusun hingga ucapan terimakasih
ini selesai ditulis. Sungguh untuk setiap cinta dan untaian doa yang kalian
jaga, semoga Allah membalasnya dengan syurga yang khalidina fiha abada.
8. Bapak H. Imam Santosa dan Ibunda Hj. Anti Intiningsih B.A., yang sangat
berjasa sebagai Ibu dan Ayah saya di Kota Yogyakarta, yang telah
memberikan kasih sayang dan perhatian serta memenuhi kebutuhan saya
sehari-hari seperti anak mereka sendiri. Kemudian Bang Imam Hidayat
yaitu Pembimbing sekaligus mentor kami serta seluruh keluargaku di
Yayasan Islam Ibadah Bunda yang telah menemaniku selama melanjutkan
studi di Yogyakarta terutama Mas Oki, Mas Cahyo, Mas Ravi, Alga, Febri,
Dimas, Elang, Rega, Hary, Sidiq dan Hanif. Terimakasih atas
kebersamaannya selama ini.
9. Bapak Maraguna Nasution, Atok Lukman Rangkuti, Nenek Duriani Siregar,
Bou Rodimah Nasution, Ibu Marlina Lubis, Bapak Bagas Nasution dan Ibu
Masniari Nasution yang telah berkenan diwawancarai dalam penelitian
skripsi ini. Terimakasih atas penerimaannya selama penyusun melakukan
observasi.
10. Teman-teman Mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab terkhusus teman-
teman seperjuangan angkatan tahun 2017 yang telah menjadi tempat berbagi

xiii
suka dan duka selama empat tahun terakhir. Terimakasih karena sudah mau
bertukar fikiran dan menjadi tempat berdiskusi selama ini.
11. Teman-teman KKN Tim Kalijagamuda#2 yang berjuang selama sebulan di
Desa Simpar Kecamatan Tretep Kabupaten Temanggung UIN Sunan
Kalijaga angkatan 102 tahun 2020 yakni Ikbal, Rifki, Shall, Syakier, Alwi,
Aul, Isna, Shofa, Dini dan Himma. Terima kasih juga kepada Bapak dan Ibu
Lurah selaku tuan rumah, juga seluruh warga di Desa Simpar.
12. Rekan-rekan di organisasi UKM Studi Pengembangan Bahasa Asing dan
UKM-F Komunitas Pemerhati Konstitusi UIN Sunan Kalijaga yang telah
banyak memberikan pengalaman dan kebahagian serta menjadi wadah saya
untuk mengembangkan bakat dan meraih prestasi dengan mengikuti dan
menjuarai berbagai kompetisi di tingkat Provisi hingga Nasional.

Kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik yang
telah disebutkan maupun yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga jasa
dan amal baik yang telah diberikan kepada penyusun bernilai ibadah serta
mendapatkan ganjaran dan limpahan rahmat dari Allah SWT.

Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran, kritik, dan
masukan sangat penyusun harapkan demi perbaikan karya ilmiah penyusun di
masa mendatang. Akhir kata, penyusun hanya dapat memohon kepada Allah
SWT semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penyusun pribadi
dan kepada para pembaca sekalian.

Yogyakarta, 02 Desember 2020


17 Rabiul Akhir 1442
Penyusun

Muhammad Yusuf Rangkuti


NIM. 17103060020

xiv
DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................. i

SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI .......................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................... iv

MOTTO ...................................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ....................................... vii

KATA PENGANTAR ................................................................................ xii

DAFTAR ISI .............................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 4

C. Tujuan dan Kegunaan ....................................................................... 4

D. Telaah Pustaka ................................................................................. 5

E. Kerangka Teori ................................................................................ 7

F. Metode Penelitian ............................................................................. 15

1. Jenis Penelitian ........................................................................... 16

2. Sifat Penelitian ........................................................................... 16

3. Pendekatan Penelitian ................................................................. 17

4. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 17

5. Metode Analisis Data ................................................................. 19

G. Sistematika Pembahasan ................................................................... 19

xv
BAB II TINJAUAN UMUM LARANGAN PERKAWINAN ................... 21

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ......................................... 21

1. Pengertian Perkawinan................................................................ 21

2. Dasar Hukum Perkawinan .......................................................... 22

3. Rukun dan Syarat Perkawinan .................................................... 25

B. Larangan Perkawinan ........................................................................ 28

1. Larangan Perkawinan dalam Hukum Adat .................................. 28

2. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam ................................. 31

C. Antropologi Budaya ......................................................................... 34

D. ‘Urf ................................................................................................... 37

1. Pengertian ‘Urf ........................................................................... 37

2. Dasar Hukum ‘Urf ...................................................................... 37

3. Macam- Macam ‘Urf ................................................................. 38

4. Syarat-Syarat ‘Urf....................................................................... 40

BAB III LARANGAN PERKAWINAN SATU MARGA DALAM ADAT

BATAK MANDAILING DI KABUPATEN MANDAILING NATAL ..... 41

A. Sejarah Perkembangan Adat Batak Mandailing di Kabupaten Mandailing

Natal ................................................................................................. 41

1. Sejarah Marga dalam Adat Batak Mandailing ............................. 41

2. Perkawinan Adat Batak Mandailing ............................................ 46

3. Kondisi Geografis dan Sosial Masyarakat Batak Mandailing di

Kabupaten Mandailing Natal ..................................................... 52

B. Larangan Perkawinan Satu Marga dalam Adat Batak Mandailing ...... 57

xvi
C. Pergeseran Norma Larangan Perkawinan Satu Marga di Kabupaten

Mandailing Natal............................................................................... 63

BAB IV KAJIAN PERBANDINGAN LARANGAN PERKAWINAN SATU

MARGA DALAM HUKUM ADAT BATAK MANDAILING DAN HUKUM

ISLAM ......................................................................................................... 74

A. Analisis Hukum Adat Terhadap Aturan Larangan Perkawinan Satu Marga

dalam Adat Batak Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal .......... 73

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Aturan Larangan Perkawinan Satu Marga

dalam Adat Batak Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal ......... 77

C. Implikasi Hukum Larangan Perkawinan Satu Marga dalam Adat Batak

Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal ...................................... 84

BAB V KESIMPULAN............................................................................... 86

A. Kesimpulan ....................................................................................... 86

B. Saran ................................................................................................. 87

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 89

LAMPIRAN ................................................................................................ 95

Lampiran 0.1 TERJEMAH ARAB/INGGRIS ............................................... I

Lampiran 0.2 BIOGRAFI ULAMA/SARJANA ............................................ II

Lampiran 0.3 REKOMENDASI RISET ........................................................ III

Lampiran 0.4 DAFTAR RESPONDEN DAN BUKTI WAWANCARA ....... IV

Lampiran 0.5 TRANSKIP WAWANCARA.................................................. V

Lampiran 0.6 DOKUMENTASI PENELITIAN ........................................... VI

Lampiran 0.6 CURRICULUM VITAE ......................................................... VII

xvii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 telah dirubah dengan Undang

Undang Nomor 16 tahun 2019 Pasal 1 menjelaskan bahwa “Perkawinan merupakan

ikatan lahir batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Berdasarkan pemahaman undang-

undang tersebut dapat diketahui bahwa perkawinan bukan hanya sebagai penyalur

kebutuhan biologis saja, akan tetapi lebih dari itu, yaitu untuk membangun keluarga

yang bahagia. Adapun menurut hukum Islam perkawinan diartikan sebagai “akad

yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan

melasanakannya merupakan ibadah”.2

Pernikahan atau perkawinan secara harfiah berarti berkumpul. Makna nikah

(Zawaj) dapat diartikan sebagai aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah, dan dapat

juga diartikan sebagai sarana persetubuhan dengan istri (wath'u al-zaujah). Rahmat

Hakim juga mengajukan definisi yang sama seperti di atas, yaitu nikah berasal dari

bahasa Arab "nikahun" dan merupakan asal muasal masdar atau kata kerja (fi'il

madhi) "nakaha", dan kemudian sinonim dari "tazawwaja" diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia sebagai pernikahan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab

telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
2
Mediya Rafeldi, Kompilasi Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta: Alika, 2016) hlm. 2.
2

Pernikahan dalam kehidupan manusia dianggap sakral. Pernikahan adalah

hubungan hukum yang digunakan untuk membatasi hubungan antara dua jenis

orang yang berbeda. Karena dengan cara ini diharapkan proses regenerasi

manusia di muka bumi akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sejalan

dengan tujuan perkawinan yaitu untuk mendapatkan keturunan yang sah. 3 Tujuan

lain perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, adalah untuk memenuhi

kebutuhan fisik atau seksual.

Naluri seksual adalah naluri terkuat yang selalu membutuhkan jalan keluar

dan solusi. Jika tidak ada solusi, maka seseorang akan merasa gelisah, bingung dan

menerobos jalur yang tidak halal. Karenanya, pernikahan adalah cara paling alami

dan biologis untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seksual ini. Sesuai dengan

firman Allah dalam surat Ar-Rūm Ayat 21 yang mempunyai makna atau arti

sebagai berikut:

َ َ ‫َو َرحْ ََمةًََۚ ِإ َّنَ ِفيَ َٰذَ ِل‬ َ ‫َم ْنَأ َ ْنفُ ِسكُ ْمَأ َ ْز َوا ًجاَ ِلت َ ْسكُنُواَ ِإلَ ْي َه‬
َ ً ‫اَو َج َعلََ َب ْينَكُ ْمَ َم َودَّة‬ ِ ‫َو ِم ْنَآ َكاتِ ِهَأ َ ْنَ َخلَقَ َلَكُ ْم‬
4
ََ‫تََ ِلقَ ْو ٍمَ َكتَفَ َّك ُرون‬
ٍ ‫ََل َكا‬

Perkawinan merupakan pertemuan teratur antara laki-laki dan perempuan di

bawah satu atap untuk membentuk cita-cita bersama, yaitu kehidupan berumah

tangga demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu baik yang bersifat biologis,

sosial, ekonomi dan budaya yang sama dari kedua belah pihak, dan bagi

masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

3
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang
No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet ke-4, (Yogyakarta: Liberti, 1999), hlm. 12.
4
Ar-Rūm (30): 21.
3

Dengan cara ini tidak akan terjerumus kepada hal-hal yang melanggar agama.

Selain diatur oleh negara dan agama, perkawinan juga diatur dalam adat dan

kebudayaan.

Perkawinan dalam hukum adat tidak semata-mata berarti terjalinnya

hubungan suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan menghidupi

keluarga saja, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang melibatkan para

anggota kerabat dari pihak istri dan suami. Terjadinya perkawinan berarti

terjalinnya tali persaudaraan yang harmonis dan damai. 5

Dalam perkawinan adat, segala sesuatunya diatur sesuai dengan adatnya

masing-masing. Adapun aturan dalam adat Batak Mandailing yaitu mengenai

peraturan yang melarang perkawinan dalam satu marga, secara antropologis

perkawinan satu marga dianggap sebagai perkawinan pantang atau melanggar

kaidah adat Batak. Perkawinan semarga dianggap sebagai perkawinan sedarah yaitu

sedarah dari ayah (patrilinial), dalam hal ini perkawinan tersebut tidak sah dan tidak

diadatkan. Perkawinan semarga adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan

yang bermarga sama (Rangkuti dengan Rangkuti ataupun marga yang lain dengan

marga yang sama dengannya).6

Suku Mandailing (halak hita) menganut sistem patrilineal, yaitu mengikuti

keturunan sebelum bapak atau orang tua laki-laki, jadi hanya laki-laki saja yang

meneruskan marga bapaknya dan bukan marga dari pihak ibunya, maka nama-nama

5
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
1990), hlm. 70.
6
Rulia Feriera, “Pergeseran Norma Larangan Perkawinan Satu Marga,” Skripsi Program
Sarjana Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), hlm. 5.
4

marga atau clan nama-nama suku mandailing, baik pria maupun wanita tetap

menggunakan marga bapaknya (orang tua laki-laki) dan tidak menggunakan marga

suami setelah menikah. 7

Orang Mandailing sebagai penganut garis keturunan patrilineal

menempatkan anak laki-laki mereka sebagai tumpuan atau (dalian) yang

diharapkan melanjutkan keturunan mereka di masa depan. Orang mandailing

menganut adat eksogami marga artinya seorang laki-laki mandailing tidak boleh

dengan perempuan dari marganya sendiri. 8

Berangkat dari latar belakang permasalahan tentang larangan perkawinan

satu marga tersebut yang telah ada sejak zaman dahulu dan kemudian seiring

berkembangnya zaman ternyata telah terjadi pergeseran pandangan masyarakat

dalam menanggapi aturan larangan perkawinan semarga, maka dalam hal ini

penyusun akan fokus membahas “Larangan Perkawinan Satu Marga Dalam

Adat Batak Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal (Studi Komparasi

Hukum Adat dan Hukum Islam)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana praktik larangan perkawinan semarga dalam adat Batak

Mandailing ?

2. Mengapa terjadi pergeseran pandangan masyarakat terhadap perkawinan

semarga ?

7
H. Pandapotan Nasution, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman,
Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2015.
8
Ibid.
5

3. Bagaimana aturan pelarangan perkawinan semarga tersebut dalam

perspektif hukum adat dan hukum Islam ?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menjelaskan praktik larangan pernikahan semarga dalam adat

Batak Mandailing.

b. Untuk menjelaskan larangan pernikahan semarga menurut adat Batak

Mandailing dan menurut hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan memberikan

sumbangan pemikiran bagi para pembaca dan tentunya khazanah ilmu

pengetahuan mengenai hukum perkawinan satu marga dalam adat

Batak Mandailing dan Hukum Islam.

b. Secara praktis, memberikan informasi ilmu pengetahuan kepada publik

tentang kehidupan adat Batak khususnya Mandailing. Selain itu,

penelitian ini dapat memperkaya pengembangan keilmuan pengetahuan

dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan jurusan perbandingan

mazhab.

D. Telaah Pustaka

Publikasi ilmiah yang bertemakan hukum adat tentunya sudah sangat

banyak. Hal itu dapat kita jumpai dalam berbagai bentuk publikasi, baik

publikasi melalui karya ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi maupun publikasi

yang lainnya, seperti dalam jurnal-jurnal yang fokus pada hukum adat.
6

Sartika Simatupang melakukan penelitian yang berjudul “Perkawinan

Semarga dalam Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Sipahutar, Kab.

Tapanuli Utara, Sumatera Utara”. Penelitian ini menjelaskan bahwa

Perkawinan semarga dalam Masyarakat Batak Toba itu berarti orang bukan

hanya mencoreng kening keluarga, tetapi juga di wajah masyarakatnya. Sikap

hormat pada warisan leluhur itu membuat hukum adat yang berbicara, yaitu

pasangan pelaku dijatuhi sanksi berat. Caranya dengan dibuang atau dikucilkan

dari lingkungan asal, sebelum mereka mengadakan pesta adat dengan

menyembelih beberapa kerbau sebagai tanda minta maaf kepada masyarakat.

Bahkan, pelaku incest sempat jatuh korban jiwa dan terbunuh. 9

Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Erliyanti Lubis yang

berjudul “Perkawinan Satu Marga dalam Adat Mandailing di Desa Huta

Pungkut Perspektif Hukum Islam”. Secara garis besar penelitian ini membahas

tema yang sama yaitu perbandingan antara hukum adat dan hukum Islam.

Selain kesamaan tema juga sama dalam hal penelitian yaitu penelitian lapangan

(field research). Namun penelitian yang dilakukan oleh Erliyanti Lubis

berfokus kepada pembahasan perkawinan semarga dalam hukum adat batak

mandailing.10

9
Sartika Simatupang, “Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara, Sumatera Utara,” Skripsi Program Sarjana Universitas Sumatera
Utara, (2013), hlm. 7.
10
Erliyanti Lubis, “Perkawinan Satu Marga dalam Adat Mandailing di Desa Huta Pungkut
Perspektif Hukum Islam,” Skripsi Program Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2015), hlm.
64.
7

Penelitian tersebut berangkat dari pokok masalah bahwa perkawinan

semarga dianggap sebagai perkawinan sedarah, dan perkawinan itu tidak sah

dan tidak diadatkan. Sehingga hal tersebut mendapatkan respon dari hukum

Islam bahwasannya yang tidak diperbolehkan untuk menikah dalam Islam

adalah saudara kandung bukan semarga.

Rahmat Hidayat yang kemudian dituangkannya dalam bentuk Skripsi yang

berjudul “Perkawinan satu suku dalam Masyarakat Minangkabau menurut

pandangan Hukum Islam (Studi kasus Kecamatan Banuhampu Sumatera

Barat)”. Dari hasil penelitian penyusun menyatakan bahwa falsafah hidup

orang minang yang dikenal dengan adat basandi syara’: syara’ basandi adat

kitabullah, namun tidak sejalan dengan realita di lapangan, adat masih dominan

dalam menentukan pasangan hidup 11

Tulisan diatas memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena objek kajian

kedua penelitian ini tampaknya ditemukan kesamaan, yaitu pengertian satu

suku pada masyarakat minang dengan semarga pada masyarakat Mandailing.

Adapun perbedaan dari penelitian ini denga penelitian yang dilakukannya

adalah dari segi adatnya, adat yang berlaku pada Masyarakat Mandailing tidak

sama dengan adat yang diterapkan pada masyarakat Minang itu dapat dilihat

dari berbagai aspek, dengan perbedaan kedua adat tersebut secara otomatis

kaitannya dengan hukum Islam pun akan berbeda.

E. Kerangka Teoritik

11
Rahmat Hidayat, “Perkawinan Satu Suku dalam Masyarakat Minangkabau Menurut
Pandangan Hukum Islam (Studi kasus kecamatan Banuhampu Sumatera Barat),” Skripsi Program
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2007), hlm. 68.
8

Kerangka teori merupakan kerangka konseptual yang akan digunakan

penyusun sebagai pisau analisis dalam membedah masalah-masalah yang akan

diteliti dalam penelitian. Sebagai penelitian hukum adat, penyusun membangun

kerangka teori dengan menggunakan norma yang berkembang di masyarakat

adat, diantaranya tentang antropologi budaya masyarakat itu sendiri

menggunakan teori strukrual fungsionalisme. Sementara itu dalam kerangka

teori hukum Islam penyusun akan menggunakan salah satu instrument ushul

fikih yaitu metode ‘Urf. Berikut adalah penjelasan mengenai teori yang

digunakan dalam penelitian ini.

1. Hukum Adat

Suatu hal yang menarik perhatian baik kalangan umum maupun kalangan

para ahli di bidang ilmu sosial ialah permasalahan asal mula dan perkembangan

keluarga dalam kebudayaan manusia. Menurut para antropologi senior seperti:

J. Lubbock, J.J. Bacchofen, G.A. Wilken, dan Mc Lennan bahwa “pada

pertengahan abad ke-19 manusia mulanya hidup serupa sekawan berkelompok,

antara laki-laki dengan perempuan bersetubuh melahirkan keturunannya

walaupun tanpa ada ikatan”. 12 Memang pada waktu itu belum ada masyarakat

yang disebut keluarga inti. Keadaan ini dianggap sebagai tingkat pertama di

dalam proses perkembangan masyarakat dan kebudayaan manusia. Lambat laun

manusia sadar akan hubungan antara ibu dengan anak sebagai suatu kelompok

keluarga inti di dalam masyarakat, anak-anak hanya mengenal ibu, tidak

12
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1965),
hlm.80.
9

mengenal ayahnya. Dalam kelompok keluarga inti yang baru ini ibulah yang

menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki dihindari,

sehingga muncul adat perkawinan exogami. Tingkat kedua, kelompok keluarga

tersebut mulai mengalami perkembangan karena garis keturunan untuk

selanjutnya selalu dilihat melalui keturunan garis ibu, dengan demikian muncul

keadaan masyarakat yang disebut matriarchaat. Kemudian pada tingkat ketiga

ialah patriarchaat, para laki-laki tidak puas dengan keadaan ini, mereka mulai

memilih calon istri dari kelompok lain, membawa istri mereka ke kelompok

sendiri dan keturunan yang dilahirkan pun juga tetap tinggal di dalam kelompok

si laki-laki. 13

Dalam masyarakat suku Tionghoa di Cina mempunyai adat larangan

perkawinan, orang Tionghoa dilarang kawin dengan yang semarga.14 Begitu

juga dengan masyarakat Batak di Indonesia, Sumatera Utara. Masyarakat Batak

dilarang kawin dengan perempuan mempunyai marga yang sama misalnya, ada

seorang laki-laki bermarga Rangkuti, maka dilarang menikah dengan perempuan

bermarga Rangkuti. Namun, seiring perkembangan masyarakat dan kebudayaan

manusia. Sistem perkawinan exogami (memilih pasangan diluar clannya)

berubah menjadi eleuthrogami yang tidak mengenal adanya larangan atau

keharusan sebagaimana halnya dalam sistem perkawinan exogami atau sistem

perkawinan endogami. Perubahan tersebut disebabkan karena perkembangan

13
Ibid., hlm. 90.
14
Haryanto, “Perkawinan Semarga pada Sistem Kekerabatan Patrilineal Masyarakat Tiong
Hua Tio Ciu di Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak,” Tesis Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro, Semarang (2012), hlm.2.
10

masyarakat dan kebudayaan manusia yakni: faktor cinta, agama, perkembangan

zaman, tingkat pendidikan, ekonomi dan budaya. Perkawinan dalam batas-batas

kelompok menyebabkan bahwa masyarakat sekarang hidupnya berhubungan

langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. 15

Perkawinan adalah hal yang sangat penting dalam hidup seseorang karena akan

dikenang sepanjang hidup. Perkawinan menyatukan dua manusia menjadi satu

keluarga yang akan menjalankan fungsinya dalam realitas sosial dan tatanan

sosial dalam masyarakat yang luas. Perkawinan juga menyatukan dua keluarga

besar dalam jalinan persaudaraan. Menurut Koentjaraningrat, perkawinan dapat

diperinci ke dalam pelamaran, upacara pernikahan, perayaan, maskawin, harta

pembawaan wanita, adat menetap sesudah menikah, poligami, perceraian, dan

lain sebagainya. semua hal tersebut berada dalam usaha perincian untuk merinci

kompleks budaya dan kompleks sosial ke dalam tema budaya dan pola sosial. 16

Perkawinan semarga adalah suatu perkawinan seorang laki-laki dan perempuan

yang mempunyai marga yang sama (sumbang).17 Secara teoritik, setiap

kebudayaan selalu bergerak menuju perubahan. Perubahan tersebut terjadi

karena beberapa faktor. Pertama, keinginan adatasi akibat sentuhan kebudayaan

dan agama satu sama lain. Kedua, karena adanya penemuan baru, yang akhirnya

15
Muslim Pohan, “Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Mandailing Migran di
Daerah Istimewa Yogyakarta,” Skripsi Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2015),
hlm.16.
16
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 168.
17
Sumbang adalah bahasa Batak dari Perkawinan Semarga, berarti perkawinan antara
marga Rangkuti dengan Rangkuti, marga Nasution dengan Nasution, marga Lubis dengan marga
Lubis, dan lain sebagainya.
11

menciptakan ide-ide, kreativitas yang diintegrasikan ke dalam kebudayaan,

pemikiran dan ide yang dimiliki masyarakat tertentu. Penemuan baru tersebut

menyebar ke masyarakat lain melalui proses yang disebut diffution. Perubahan

itu berlangsung secara evolusi. Ketiga, karena akulturasi kebudayaan. Akulturasi

kebudayaan ini terjadi karena proses interaksi masing-masing elemen budaya

dengan persyaratan-persyaratan tertentu.18

2. Hukum Islam

Hukum Islam adalah norma yang hidup dan diyakini oleh masyarakat Islam

Indonesia (living law). Hukum Islam diartikan sebagai seperangkat aturan berisi

hukum syarak yang terperinci, berkaitan dengan perbuatan manusia, yang

dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Qur’an dan hadis) dan dalil-dalil

syarak lainnya melalui berbagai metode ijtihad. 19 Ada beberapa metode ijtihad

yang digunakan oleh para ulama Islam dalam menetapkan hukum, baik itu yang

disepakati bersama (muttafaq ‘alaih) maupun yang diperselisihkan. Pada

pespektif hukum Islam ini penyusun menggunakan teori dengan

mengembangkan metode ‘Urf dan kaidah al-adatul muhakkamah sebagai pisau

analisis yang akan digunakan untuk membedah penelitian.

‘Urf

18
Ibid., hlm. 240.
19
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2011), hlm. 15.
12

Secara etimologis ‘Urf berarti “yang baik”20 atau pengertian lainnya bahwa

‘Urf (tradisi) adalah sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia dan sudah

menjadi suatu kebiasaan baik bersifat perkataan, perbuatan, keadaan maupun

ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk

melaksanakannya atau meninggalkannya.21

Menurut kebanyakan ulama,‘Urf disamakan dengan adat. Sekalipun tidak ada

perbedaan antara ‘urf dengan adat (kebiasaan). Pengertian antara ‘urf dan adat

secara istilah hampir tidak ada perbedaan, namun dalam pemahaman biasanya

pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, di karenakan adat

selain sudah dikenal oleh masyarakat juga sudah biasa dikerjakan di kalangan

mereka, seakan-akan sudah menjadi hukum tertulis sehingga ada sanksi-sanksi

terhadap orang yang melanggarnya.22

Definisi ‘Urf secara terminologi sebagaimana diutarakan Abu Zahra adalah :

23
‫العرفَهوَماَاعتادهَالناسَمنَمعامالةَواستقامتَعليهَامورهم‬

Sedangkan definisi ‘urf menurut abdu al-Wahhab Khalaf adalah :

24
‫َاوترك‬،‫َاوَفعل‬،‫َمنَقول‬،‫العرفَهوَماَتعرفهَالناسَوسارواَعليه‬

20
Nasrun Haroen, Ushul fiqh 1, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), hlm. 137.
21
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Cet. IV (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.
128.
22
Muin Umar, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Direktoral Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama RI, 1985, hlm. 150.
23
Ibid.

24
Ibid.
13

Tidak jauh berbeda, menurut wahbah az-Zuhaili mendefinisikan ‘Urf sebagai :

َ‫هوَماَاعتادهَالناسَوَسارواَعليهَمنَكلَ فعلَشاعَبينهمَاوَلفظَتعارفواَاطالقهَعليَمعني‬
25
‫خاصَََتالفهَاللغةَوََكتبادرَغيرهَعندَفهمه‬

Sedangkan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ‘urf yaitu :

26
َ‫ا َ ْلعَادَةَُ ُم َح َّك َمة‬

27 ْ ‫ب‬
‫َال َع َملَُ ِب َها‬ ِ ‫اِ ْستِ ْع َمالَُال َّن‬
ُ ‫اسَ ُح َّجةَكَ ِج‬

ِ ‫َاْل َ ْز َم‬
َ‫ان‬ ْ ‫َاْلَحْ َك ِامَ ِبتَغَي ُِّر‬
ْ ‫اَكُ ْن ِك ُرت َ َغي ُُّر‬
28

‘Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan

berfatwa, serta bagi para hakim dalam memutuskan perkara disyaratkan sebagai

berikut :

1. ‘Urf itu harus termasuk kepada ‘urf yang shahih dalam arti tidak

bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah.

2. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan

mayoritas penduduk suatu negeri tersebut.

3. ‘Urf harus berlaku selamanya, maka tidak dibenarkan ‘urf yang datang di

kemudian. Maka para fuqaha’ berkata : “tidak dibenarkan ‘urf yang datang

25
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol II (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 828.

26
Muin Umar, Ushul Fiqh 1, hlm. 153.
27
Ibid.

28
Ibid.
14

kemudian” dalam kaitannya dengan ini terdapat kaidah ushuliyah yang

menyatakan:

29
‫ََعبرةَللعرفَالطرئ‬

Meski dalam tinjauan hukum perkawinan Islam tradisi tersebut boleh

dilakukan, tapi bukan berarti tradisi tersebut sudah dapat dipastikan sebagai

pertimbangan hukum. Terdapat aturan-aturan pokok terkait dengan adat istiadat

atau tradisi dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum. oleh karena itu

dibutuhkan sebuah analisa terhadap larangan perkawinan satu marga tersebut

dengan menggunakan kaidah al-adatul muhakkamah.

Kaidah al-adatul muhakkamah adalah kaidah fikih asasi yang kelima dari

kaidah-kaidah fiqhiyyah yang utama. Kaidah ini kurang lebih bermakna bahwa adat

(tradisi) adalah variabel sosial yang memiliki otoritas hukum (hukum Islam). Abdul

Karim Zaidan dalam bukunya 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan Sehari-hari

mendefinisikan kaidah tersebut , bahwa tradisi baik yang bersifat umum maupun

khusus, dapat menjadi suatu hukum untuk menetapkan hukum syariat Islam. 30

Tradisi dapat menjadi hukum yang dapat melegitimasi dari hukum Islam, apabila

tidak ada nash yang menyatakan tentang hal itu, maka hukum dari nash tersebut

wajib diamalkan dan tidak ditinggalkan, untuk kemudian melaksanakan sebagai

gantinya.

29
Abdul Karim Zaidan, 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan Sehari-hari. (Cet.1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 132.

30
Ibid, hlm. 133.
15

Larangan perkawinan satu marga tidak diatur dalam hukum Islam, hanya

saja filosofi dari larangan pernikahan semarga adalah agar tidak terjadinya

pernikahan antar saudara, karena semarga merupakan arti dari sedarah. Sedangkan

dalam hukum Islam larangan perkawinan atau “mahram” yang berarti terlarang.

Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut

syara’ terbagi dua, yaitu halangan abadi (disepakati terdiri dari hubungan nasab,

hubungan sesusuan dan hubungan perkawinan) dan halangan sementara

(mengawini dua orang saudara dalam satu masa, poligami di luar batas, larangan

karena ikatan perkawinan, larangan karena talaq tiga, larangan karena ihram,

halangan iddah, dan halangan kafir). 31

F. Metode Penelitian

Secara umum metode penelitian hukum di kalangan ahli hukum dibagi menjadi

dua, metode kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel, dan metode

kuantitatif yang membutuhkan populasi dan sampel, serta biasanya dalam metode

ini ditambahkan dengan statistik. 32

Adapun yang dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif

karena yang diteliti merupakan adat atau norma-norma yang hidup dimasyarakat,

sesuai dengan dijelaskan oleh Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, bahwa penelitian yuridis

31
M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. II (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), hlm. 5.
32
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cet. II (Jakarta: SInar Grafika, 2010), hlm.
105.
16

normative kualitatif, adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum baik itu

dalam perundang-undangan maupun yang berkembang di masyarakat.33

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penilitian ini adalah penelitian

lapangan (Field Reseach) yang dipadukan dengan penelitian

literature/kepustakaan (library research), yaitu peneliti menacari data secara

langsung dalam masyarakat suku Batak Mandailing tentang aturan adat

larangan perkawinan semarga. Kemudian nantinya data yang diperoleh

merupakan data alamiah seperti apa adanya yang kemudian didukung oleh

bahan-bahan kepustakaan.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-komparatif. Analisis deskriptif

digunakan untuk memperoleh dan membuat gambaran atau lukisan secara

sistematis, konkret, dan informatif mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki. Sementara itu, analisis komparatif

dilakukan untuk melakukan perbandingan antara dua pendapat yang penyusun

teliti agar diperoleh hasil penelitian yang utuh dan komprehensif. Yakni

tinjauan hukum larangan perkawinan semarga dalam adat batak mandailing di

kabupaten mandailing natal studi komparasi antara hukum adat dan hukum

Islam.

33
Ibid.
17

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

antropologi dan ushul fikih. Pendekatan antropologi didasarkan pada

kebudayaan dan cara hidup masyarakat batak mandailing di kabupaten

Mandailing Natal. Sementara pendekatan ushul fikih didasarkan pada kaidah-

kaidah hukum dan metode istinbat al-ahkam yang berlaku dalam hukum Islam.

Dalam hal ini penyusun menggunakan kaidah al-adatul muhakkamah dan

metode ‘Urf sebagai salah satu instrument penemuan hukum dalam ushul fikih.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data memiliki peranan dan fungsi yang penting dalam

menentukan kualitas penelitian. Kedalaman dan ketepatan data yang dikelola

dalam sebuah penelitian ditentukan melalui metode ini. Dalam penelitian ini

metode pengumpulan data yang penyusun gunakan sebagai sumber penilitian

adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara (interview) adalah suatu proses untuk memperoleh

keterangan terkait tujuan penelitian dengan metode tanya jawab, bertatap

muka antara pewawancara dengan responden dengan alat yang dinamakan

interview guide (panduan wawancara).34 Adapun yang menjadi subjek

dalam penelitian ini adalah pihak yang diwawancarai dalam penyusunan

34
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009) hlm. 193-194.
18

penelitian ini. Dalam hal ini adalah 1 (satu) orang tokoh adat, 1 (satu) orang

tokoh agama, 2 (dua) orang pelaku perkawinan semarga dan 3 (tiga) orang

masyarakat suku Batak Mandailing.

Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-struktur,

yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara berpusat pada

suatu tema besar, sehingga pertanyaan-pertnyaan yang diajukan bersifat

fleksibel sesuai dengan kondisi di lapangan. Peneliti menggunakan jenis

wawancara semi-struktur dikarenakan kasus yang diteliti merupakan kasus

adat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pergesaran adat bisa terjadi

sesuai dengan perubahan sosial yag terjadi pada masyarakat, sehingga

menurut peneliti jenis wawancara yang digunakan haruslah bersifat

fleksibel, namun tetap terfokus pada tema yang diteliti.

b. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data secara sistematis melalui

pengamatan dan pengindraan terhadap fenomena yang diteliti. 35 Pada proses

ini penyusun menggunakan observasi partisipasi (participant observation)

yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data

penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana peneliti benar-

benar terlibat dalam keseharian responden.

35
M. Hariwijaya dan Bisri M. Djaelani, Teknik Menulis Skripsi dan Tesis, Landasan
Hipotesis Analisa Data Kesimpulan (Yogyakarta: Zenith Publisher, 2006), hlm. 44.
19

c. Studi Pustaka

Melalui metode ini, pengumpulan data dilakukan dan diperoleh melalui

penelusuran berbagai sumber dari bahan tertulis meliputi materi hukum adat

dan hukum Islam, seperti al-Qur’an dan hadis, kitab-kitab fikih, Peraturan

Perundang-Undangan, jurnal penelitian, artikel ilmiah, serta dokumen dan

data-data pendukung.

5. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah deskriptif-analisis-

komparatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran

atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-

sifat yang berhubungan antar fenomena yang diselidiki. 36 Analisis adalah jalan

yang dipakai untuk mendapat ilmu pengetahuan dengan mengadakan perincian

terhadap objek yang diteliti dengan cara memilih-milih antara pengertian satu

dengan pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai

halnya. 37 Komparatif dalam penelitian deskriptif yakni ingin mencari jawaban

secara mendasar tentang sebab akibat dengan menganalisis faktor-faktor

penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena. 38

G. Sistematika Pembahasan

36
Moh. Nazir, Metode Penelitian, hlm. 63.
37
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 59.
38
Ibid., hlm. 68.
20

Pembahasan dalam penyusunan skripsi oleh penyusun terdiri dari lima (5)

bab. Supaya dapat mempermudah dalam pembahasan, masing-masing bab akan

ada sub babnya sendiri. Sehingga dengan ini pembahasan dapat lebih terperinci

dan mendalam. Berikut merupakan rinciannya :

Bab pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review terdahulu, kerangka teori,

metode penelitian dan sistematika penyusunan penelitian.

Bab kedua membahas tentang tinjauan umum larangan perkawinan dalam hukum

perkawinan Islam dan hukum adat

Bab ketiga berisi tentang larangan perkawinan satu marga dalam adat batak

mandailing, sejarahnya, pengertian, fungsi atau kegunaannya.

Bab keempat memaparkan analisis perbandingan antara hukum Islam dan hukum

adat terhadap praktek larangan pernikahan satu marga dalam adat masyarakat Batak

Mandailing.

Bab kelima ini merupakan penutup dari semua pembahasan penyusunan penelitian

yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan satu marga dalam adat Batak Mandailing di Kabupaten Mandailing

Natal telah dilarang sejak dulu sebab akan merusak peranan tutur adat dan tata cara

adat itu sendiri yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Bentuk kekerabatan

berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si

Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan

kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (pada antar marga

tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi batak, yang menjadi kesatuan

adat adalah ikatan sedarah dalam marga, hukum pelarangan ini hampir mirip

dengan hukum pelarangan perkawinan islam, namu didalam Islam yang dilarang

untuk dinikahi adalah mahramnya sebagaimana dijelaskan dalam An-Nisā’ ayat 23.

Sementara praktik larangan perkawinan satu marga dalam adat Batak Mandailing

adalah dilarangnya marga Nasution menikah dengan wanita bermarga Nasuiton,

maka seharusnya marga Nasution harus menikah dengan marga lain.

Pelarangan perkawinan semarga dalam perspektif adat Batak Mandailing di

Kabupaten Mandailing tetap eksis disebabkan oleh beberapa faktor yaitu di

antaranya kaburnya hubungan atau silsilah kekerabatan, dikhawatirkan merusak

hubungan silaturrahim, dikhawatirkan terjadinya perkawinan antara saudara

kandung, menganggap semarga itu bersaudara dan untuk menentukan mana saudara

dan mana yang tidak (iboto niba), mendidik rasa malu, serta keyakinan akan

terjadinya hal-hal yang buruk terhadap keluarga dan keturunannya. Namun


87

demikian, pada prakteknya sekarang, aturan adat ini mengalami pergeseran norma

(terjadi kasus perkawinan satu marga) yang disebabkan karena alasan agama,

modernitas, dipaksa orang tua, pluralism hukum, ekonomi, cinta mati,

ketidaktahuan akan adat istiadat, dan peristiwa lainnya.

Masyarakat muslim adat Batak Mandailing di Kabupaten Mandailing

menyatakan bahwa yang dilarang untuk dikawini adalah yang senasab, dan juga

tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dari uraian tersebut dapat diketahui

bahwa menurut syariat Islam praktek perkawinan satu marga yang dilarang pada

masyarakat Batak Mandailing tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena bagi

masyarakat Batak Mandailing tidak ada halangan bagi laki-laki dan perempuan

yang ingin menikah dengan sesama marganya asal tidak ada hubungan darah atau

senasab. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkawinan semarga yang

dilarang pada masyarakat adat Batak Mandailing tidak sesuai dengan ajaran Islam

karena larangan tersebut tidak terdapat dalam unsur nasab yang dilarang oleh

hukum Islam sehingga berimplikasi pada sahnya perkawinan satu marga pada

masyarakat Batak Mandailing.

B. Saran

1. Pelarangan perkawinan satu marga dalam adat Batak Mandailing ini

merupakan masalah hukum adat yang setelah penyusun teliti bahwa telah

terjadi pergeseran norma terhadap aturan tersebut, dimana aturan yang

dahulunya sangan dilarang seiring perkembangan zaman dan ilmu

pengetahuan berubah menjadi lebih ringan hukumannya yaitu hanya

berdampak pada sosial adat saja.


88

2. Hukum Islam memang melarang perkawinan dengan senasab atau

mahramnya, akan tetapi bukan dengan kerabat satu marga yang sudah tidak

senasab dan bukan mahramnya. Melalui hal tersebutlah terjadinya letak

perbedaan hukum Islam dengan hukum adat dalam persoalan larangan

perkawinan ini.

3. Pelarangan perkawinan satu marga memiliki kesamaan tujuan yaitu tidak

boleh menikah dengan satu nasab, dalam hukum adat batak mandailing yang

menganggap satu marga merupakan satu darah sehingga melarangnya,

sedangkan menurut hukum Islam satu nasab ialah mahrom. Dalam

penelitian ini tentu saja masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata

sempurna. Untuk itu, penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan

menjadi bahan penelitian dari berbagai sudut pandang dan pendekatan.


89

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’an

Departemen Agama RI, Al-Hidayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode
Angka, Jakarta Widya Cahaya, 2011.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Mushaf Amin, Jakarta:


PT. Insan Media Pustaka, 2012.

2. Hadis

Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Terjemah Shahih Bukhari


Jilid VII, alih bahasa Achmad Sumarto dkk, Semarang: CV. Asy Syifa’,
1993.

Muhammad bin Abdullah Abu Abdullah al-Hakim an-Naisyaburi, Mustadrik


ala al-Shahihaini, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Akamiyah, 1990.

3. Fikih/Ushul Fikih/Hukum

Abidin, Slamet, dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, Bandung : Pustaka Setia,


1999.

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,


2007.

Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut Libanon: Dar

Ihya al-Turas al-Arabi, 1986.

Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UI Pres, 2000.

Al-Jurjawi, Ali Ahmad , Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, Terjemah Hadi
Mulyo dan Shobahussurur, Cet. I, Semarang: Asy-Syifa, 1992.

Dahlan, Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta : Amzah, 2011.

Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua), Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.

Efendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.


90

Efendy, A.M., Pengantar Hukum Adat, Semarang: tnp., 1988.

Ghozali Ihsan, Ahmad, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Semarang: Basscom


Multimedia Grafika, 2015.

Hadi K (Placeholder1)usuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:


PT. Citra Aditya Bakti, 1990.
Haroen, Nasrun, Ushul fiqh 1, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997.

Idris Ramulyo, Moh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Karim Zaidan, Abdul, 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan Sehari-hari,


Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah


Ushuliyah dan Fiqhiyah), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)

Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram, alih bahasa Tim Penerbit Jabal, Bandung:
Jabal, 2012.

Rahman Dahlan, Abd, Ushul Fiqh, Jakarta: Paragonatama Jaya, 2014.

Rahman Ghozali, Abdul, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.

Rafeldi, Mediya, Kompilasi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Alika, 2016

Salman Soemandiningrat, R. Otje, Hukum Adat, Jakarta: Mitra, 2011.

Saragih, Djaren, Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung: Penerbit Alumni,


1977.

Setiady, Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan,


(Bandung: Alfabeta, 2013)

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan


(Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), Yogyakarta:
Liberti, 1999.

Sukanto, Suryono, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Citra


Aditya Bakti, 1991.

Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat


dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009).
91

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, Edisi Pertama, 2008.

Tihami, M.A., Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010).

Umar, Muin, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Direktoral Jendral Pembinaan


Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1985.

Yasmirwan, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan


Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau.

Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol II (Beirut: Dar al-Fikr, tt)

4. Jurnal/Skripsi

Batubara, Samin, “Pelarangan Perkawinan Dalam Adat Batak Mandailing Di


Desa Penyenggerahan Sumatera Barat,” Jurnal Ar-Risalah, Vol. 18:1,
2018.

Feriera, Rulia, “Pergeseran Norma Larangan Perkawinan Satu Marga”, Skripsi


Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

Haryanto, “Perkawinan Semarga pada Sistem Kekerabatan Patrilineal


Masyarakat Tiong Hua Tio Ciu di Kecamatan Pontianak Selatan Kota
Pontianak”, Thesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Semarang, 2012.

Hasibuan, Effiati Juliana, Hottob Harahap, “Prularisme Hukum Pada Kasus


Perkawinan Semarga Etnit Padang Lawas di Kabupaten Tapanuli
Selatan”. Jurnal Harmoni Sosial, Vol. 1:3 (2007).

Hidayat, Rahmat, “Perkawinan Satu Suku dalam Masyarakat Minangkabau


Menurut Pandangan Hukum Islam” (Studi kasus kecamatan
Banuhampu Sumatera Barat), Skripsi Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Hilda, Lelya, “Revitalisasi Kearifan Lokal Dalihan Na Tolu Masyarakat


Muslim Mandailing Dalam Menjaga Harmonisasi Lingkungan Hidup”.
Jurnal Miqoot, Vol. 40:1 (2016).

Kamsi, “Hukum Perkawinan Islam dan Adat Di Indonesia”. Jurnal Asy-


Syir’ah, Vol. 46:2 (2012).

Lubis, Erliyanti, “Perkawinan Satu Marga dalam Adat Mandailing di Desa


Huta Pungkut Perspektif Hukum Islam”, Skripsi Mahasiswa Fakultas
92

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


Jakarta, 2015.

Novrasilofa S, “Dekontruksi Pranata Erturang Pada Perkawinan Semarga


(Studi Kasus Masyarakat Karo di Berastagi)”, Jurnal Socio, Vol. 13:2
(2016).

Pasaribu, Debora Maria Paramita, dkk, “Perkembangan Sistem Perkawinan


Adat Batak di Kota Medan”. Jurnal Diponegoro Law, Vol. 6:2 (2017).

Pohan, Muslim, “Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Mandailing


Migran di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Skripsi Mahasiswa Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015.

Simatupang, Sartika, Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba di


Kecamatan Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Skripsi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2013.

Siregar, Zulham, “Sejarah Suku Mandailing di Kecamatan Bandar Kabupaten


Simalungun,” Jurnal Berbasis Sosial, Vol. 1:1, (2020)

5. Lain-lain

Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang:


UMM Press, 2009.

Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr (1979 M).

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Al-Rasyidin, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Jakarta


Timur: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009.

C. Hoadley, Mason, The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia,


Journal of Sosial Issues in Southeast Asia, 2006.

Christopher R, Badcock, Levi Strauss: Strukturalisme dan Teori Sosiologi,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Hamidy Harahap, Basyaral, dan Siahaan, Nalom, Nilai Nilai Budaya Batak
Toba, Mandailing dan Angkalo, Bandung : Pustaka 1982.

Hamidy Harahap, Basyral, dkk, Sati Gelar Sutan Iskandar Alias Willem
Iskander (1840 - 1876), (Medan: tnp., 1998)
93

Hariwijaya, Muhammad, dkk., Teknik Menulis Skripsi dan Tesis, Landasan


Hipotesis Analisa Data Kesimpulan, Yogyakarta: Zenith Publisher,
2006.

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat,


1965).

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009).

Kurniawati, Deffi, dan Mulyani, Sri, Daftar Nama Marga/Fam, Gelar Adat dan
Gelar Kebangsawanan Di Indonesia, Jakarta: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, 2012.

L.S. Diapari gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Perkembangan Adat


Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan,
Jakarta: ttp, 1987.

Lubis, Sutan Baringin, Jamita, Hobaran Adat, Medan: CV. Media Persada,
2010.

Lubis, Syahmerdan, Adat Hangoluan Mandailing Tapanuli Selatan, Medan: S.


Lubis, 1997.

Lumbantoruan, Nelson, Kearifan Lokal Masyarakat Batak Toba, Medan: CV.


Mitra, 2012.

M. Yakub, Historiografi Islam Indonesia: Perspektif Sejarawan Informal,


(Miqot, Vol. XXXVII, No. 1)

Munthe, Nurelide, Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba Dalam Cerita Si


Galegale, (Medan: CV. Mitra, 2012)

Nasution, Edi, Tulila Tulak-Tulak Musik Bujukan Mandailing, Malaysia:


Areca Books, 2007.

Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan


Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2015.

Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Nuraini, Cut, Permukiman Suku Batak Mandailing, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2004.

Ritzer, George, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan


Terakhir Postmodern, Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2012.
94

Sahril, Pantun dan Adat Perkawinan Masyarakat Melayu, Medan, MITRA


Medan, 2011.

Sholeh, Ni’am, dan Asruron, Fatwa Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga,
Jakarta: Graha Pramu, 2017.

Sinaga, Richard, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta: Dian Utama, 2012.

Siregar, Leonard, Papuan Journal of Social and Cultural Anthropology,


(Antropologi Papua, Vol. I, No. 1)

Siregar, Miko, Antropologi Budaya, Universitas Negeri Padang, 2008.

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Wawancara dengan Bagas Nasution dan Masniari Nasution sebagai Pelaku


Perkawinan Satu Marga Masyarakat Batak Mandailing pada tanggal 17
November 2020 di Desa Purba Baru Kab. Mandailing Natal, Sumatera
Utara

Wawancara dengan Duriani Siregar dan Rodimah Nasution sebagai Tokoh


Masyarakat. Mustafawiyah Purba Baru pada tanggal 17 November
2020 di Desa Purba Baru Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara

Wawancara dengan Lukman Rangkuti Tokoh Agama Ponpes. Mustafawiyah


Purba Baru pada tanggal 17 November 2020 di Desa Purba Baru Kab.
Mandailing Natal, Sumatera Utara

Wawancara dengan Maraguna Nasution Tokoh Adat di Kabupaten Mandailing


Natal pada tanggal 17 November 2020 di Desa Purba Baru Kab.
Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Wawancara dengan Marlina Lubis sebagai Masyarakat Batak Mandailing


Mustafawiyah Purba Baru pada tanggal 17 November 2020 di Desa
Purba Baru Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai