Materi Radikalisme 1

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 4

Oleh :

ARYA SABIILA HAYAT AFFANDI, S.SY.

Penyuluh Agama Islam Kecamatan Padangan


Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

‫ أ َ ْش َهد ُ ا َ ْن الَ اِلهَ اِالَّ هللاُ َوحْ دَهُ الَش َِريْكَ لَهُ َوأَ ْش َهدُ أَ َّن‬، َ‫ُظ ِه َرهُ َعلى ال ِدِّي ِْن ُك ِ ِّل ِه َولَ ْوك َِرهَ ْال ُم ْش ِر ُك ْون‬ ْ ‫ق ِلي‬ ِ ِّ ‫ى َو ِدي ِْن ْال َح‬ ْ ‫س ْولَهُ ِب ْال ُهد‬ ُ ‫س َل َر‬ َ ‫ى ا َ ْر‬ْ ‫ا َ ْل َح ْمد ُ ِهللِ الَّ ِذ‬
َ ُ َّ ُ َّ َ َ
‫ أ َّما بَ ْعد ُ فيَا ِعبَادَ هللاِ اِتق ْوا هللاَ َحق تقاتِ ِه‬. َ‫صحْ بِ ِه اجْ َم ِعيْن‬ َ َ ‫س ِليْنَ ُم َح َّم ٍد َّو َعلى ا ِل ِه َو‬ ْ
َ ‫آء َوال ُم ْر‬ ْ َ ْ
ِ َ‫س ِل ْم َعلى خَات َِم االنبِي‬ ِّ َ ‫ص ِِّل َو‬ ِّ َ
َ ‫ الل ُه َّم‬،ُ‫س ْوله‬ ُ ُ ‫ُم َح َّمدًا َع ْبدُهُ َو َر‬
‫ َولَ ْو اَ َّن أَ ْه َل ْالقُ َرآى آ َمنُ ْوا َوتَّقَ ْوا لَفَتَحْ نَا َعلَ ْي ِه ْم بَ َر‬:‫الر ِجي ِْم‬
َّ ‫ان‬ ِ َ
‫ط‬ ‫ي‬
ْ َّ
‫ش‬ ‫ال‬ َ‫ن‬ ‫م‬
ِ ِ ‫هلل‬ ‫ا‬ ‫ب‬
ِ ُ ‫ذ‬ ‫ُو‬
ْ ‫ع‬ َ ‫أ‬ : ‫ْم‬
ِ ‫ي‬‫َر‬ ‫ك‬
ِ ِ ْ
‫ال‬ ‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ر‬
ْ ُ ‫ق‬ ْ
‫ىال‬‫ف‬
ِ ‫الى‬ ‫ع‬
َ َ ‫ت‬ ُ ‫هللا‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ . َ‫ن‬ ‫و‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ل‬
ِ ‫س‬
ْ ‫م‬
ُ ْ ْ َ‫َوالَ ت َ ُم ْوت ُ َّن اِالَّ َوا‬
‫م‬ ُ ‫ت‬‫ن‬
ْ ُ
)96 :‫ (االعرف‬. َ‫ض َول ِكن كذب ُْوا فا َخذ نَ ُه ْم بِ َما كَان ْوا يَك ِسب ُْون‬ ْ َ َ َّ َ ْ ِ ‫آء َواْال ْر‬
َ ِ ‫س َم‬َّ ‫ت ِ ِّمنَ ال‬ ٍ ‫كَا‬

Hadirin rohimakumulloh

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, itulah alunan pujian dan pujaan kehadirat Allah Swt yang layak
disenandungkan sebagai manifestasi rasa syukur yang mendalam sekaligus ucapan pembukaan uraian
pensyarahan kami di hari yang indah ini.

Untaian sholawat dan salam kekaguman dan ketakziman sebagai perwujudan kecintaan kita kepada baginda
junjungan alam, pembawa pelita kebenaran, penebar lentera keselamatan, pengibar risalah kedamaian dan
keadilan sejagat Muhammad Rasulullah SAW. hendaklah menjadi wirid yang senantiasa mengalun merdu dari
setiap kita kaum muslimin.

Hadirin rohimakumulloh

Radikalisme atas nama agama tidak akan pernah habis dibicarakan. Sampai saat ini, berita-berita harian baik
media televisi maupun di media cetak, sebagian masih diisi dengan berita terorisme. Belum lagi mengenai
konflik-konflik di Timur Tengah yang salah satunya disebabkan oleh pemahaman yang fundamental dan
radikal terhadap permasalahan politik, keagamaan dan kehidupan. <>Pada akhir tahun 2015, Densus 88
mengadakan penangkapan terduga teroris di beberapa daerah, misalkan di Cilacap, Sukoharjo, Mojokerto, dan
Bekasi. Sebagian elemen di Indonesia pun secara terang-terangan menolak keberadaan aliran radikal atas nama
agama.

Di sisi lain, banyak kelompok radikal atas nama agama yang hendak mengganti Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945 dengan khilafah, meskipun NKRI dan UUD 1945 merupakan produk
dari ulama-ulama Indonesia yang berjuang melawan dan mengusir penjajah, sampai merumuskan dasar negara
dan bentuk negara Indonesia ini.

Metamorfosis

Sejatinya, radikalisme atas nama agama ini sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW. Bahkan, beliau
pun sudah mengabarkan dalam berbagai haditsnya bahwa gerakan semacam ini akan selalu ada sampai kelak.
Salah satunya hadits yang menceritakan tentang Dzul Khuwaishirah (HR Bukhari 3341, HR Muslim 1773)
dan hadits yang menceritakan mengenai ciri-ciri kelompok radikal (HR Bukhari nomor 7123, Juz 6 halaman
20748; Sunan an-Nasai bab Man Syahara Saifahu 12/ 474 nomor 4034; Musnad Ahmad bab Hadits Abi
Barzakh al-Aslami 40/ 266 nomor 18947).
Dalam sejarah perkembangan Islam, dikenal kemudian firqah yang bernama Khawarij. Khawarij ini muncul
sebagai respon ketidakksepakatan terhadap tindakan tahkim (arbitrase) yang ditempuh Khalifah ‘Ali Ibn Abu
Thalib dalam penyelesaian peperangan Shiffin dengan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam perjalanannya,
Khawarij ini dapat ditumpas. Namun, pemikirannya bermetamorfosis dalam berbagai bentuk firqah. Sehingga,
sampai sekarang pun masih banyak ditemukan pemikiran yang benar-benar fanatik, tekstual, dan fundamental.
Kalangan yang pendapatnya berbeda dengannya maka akan diberikan stempel “kafir”, “bid’ah”, dan “sesat”.

Dalam tataran kenegaraan pun, juga terdapat kelompok radikal yang selalu mengangkat isu khilafah (satu
pemerintahan atas nama Islam). Setiap permasalahan negara selalu dibawa ke ranah khilafah. Bahkan, ada
kalangan yang menganggap pemerintahan selain khilafah adalah thaghut. Meskipun, bentuk negara ini
merupakan perkara yang ijtihadi (diperlukan ijtihad dan tidak mutlak)

Kalangan-kalangan radikal ini pun sangat gencar menyuntikkan paradigma-paradigmanya sehingga tidak
sedikit kalangan muda yang terbius oleh paradigma-paradigma semu tersebut. Didorong oleh pahala dan surga,
kalangan muda banyak yang mendukung gerakan-gerakan radikal tersebut. Bahkan, banyak kalangan muda
yang bersedia menjadi pihak bom bunuh diri. Ironisnya, bekal keagamaan mereka pun belum dapat dikatakan
mencukupi (belum ‘alim dan faqih), namun mereka sudah gencar berdakwah atas perspektif yang mereka
pelajari sendiri. Model gerakan mereka pun sangat masif dan terkoordinir dengan baik sehingga mampu
memengaruhi hampir seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, paradigma ini harus menjadi perhatian serius.

Akar masalah

Scott M. Thomas (2005) dalam bukunya The Global Resurgence of Religion and The Transformation of
International Relation, The Struggle for the Soul of the Twenty-First Century halaman 24 mengemukakan
bahwa pemikiran dan gerakan radikal biasanya terkait dengan faktor ideologi dan agama. Istilah radikalisme
adalah hasil labelisasi terhadap gerakan-gerakan keagamaan dan politik yang memiliki ciri pembeda dengan
gerakan keagamaan dan politik mainstream. Gerakan radikalisme yang terkait dengan agama sebenarnya lebih
terkait dengan a community of believers ketimbang body of believe.

Ernest Gelner (1981) dalam bukunya Muslim Society halaman 4 mengatakan bahwa pemikiran dan gerakan
radikal yang dikaitkan dengan komunitas Muslim dipahami sebagai cara bagi komunitas Muslim tertentu
dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun westernisasi. Di
lain pihak, Mudhofir dan Syamsul Bakri (2005) menjelaskan dalam bukunya Memburu Setan Dunia, Ikhtiyar
Meluruskan Persepsi Barat dan Islam tentang Terorisme halaman 93—95 bahwa radikalisme modern muncul
biasanya disebabkan oleh tekanan politik penguasa, kegagalan pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan
implementasinya di dalam kehidupan masyarakat serta sebagai respon terhadap hegemoni Barat.

Syafi’i Ma’arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1999–2004, dalam buku Ilusi Negara Islam,
Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia (2009), setidaknya ada tiga teori yang menyebabkan adanya
gerakan radikal dan tumbuh suburnya gerakan transnasional ekspansif. Pertama, adalah kegagalan umat Islam
dalam menghadapi arus modernitas sehingga mereka mencari dalil agama untuk “menghibur diri” dalam
sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Kedua, adalah dorongan rasa kesetiakawanan terhadap
beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Kashmir, dan
Palestina. Ketiga, dalam lingkup Indonesia, adalah kegagalan negara mewujudkan cita-cita negara yang
berupa keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata.

Dalam suatu artikelnya, Adian Husaini (2004) mengutip dan menganalisis beberapa pendapat Samuel P.
Huntington yang menulis buku berjudul “Who Are We? : The Challenges to America’s National Identity”
pada tahun 2004. Huntington menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang
Dingin adalah Islam – yang ia tambah dengan predikat “militan”. Namun, dari berbagai penjelasannya, definisi
“Islam militan” melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu
menjadi kabur.
Hal ini membuktikan bahwa Islam secara tidak langsung diciptakan (dijebak) sebagai teroris sehingga persepsi
terhadap Islam pun menjadi buruk dan mengerucut bahwa Islam adalah teroris. Definisi “Islam militan” yang
tanpa batasan tersebut kemudian merugikan umat Islam secara keseluruhan.

Radikalisme dan terorisme Radikalisme atas nama agama ini tidak jarang kemudian menimbulkan konflik
sampai pada puncaknya, yaitu terorisme dalam taraf membahayakan stabilitas dan keamanan negara. Pada
akhirnya, radikalisme ini menyebabkan peperangan yang justru menimbulkan rasa tidak aman. Pada taraf
terendah, radikalisme sampai mengganggu keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Klaim “sesat”, “bid’ah”,
dan “kafir” bagi kalangan yang tidak sependapat dengannya membuat masyarakat menjadi resah. Ironisnya,
keresahan tersebut dianggap sebagai tantangan dakwah oleh kaum radikalis

Permasalahan radikalisme dan terorisme yang saling keterkaitan ini pun sangat kompleks. Buku Samuel P.
Huntington tersebut mempengaruhi AS untuk menciptakan Islam militan sebagai terorisme, meskipun
Huntington sendiri tidak memberikan batasan-batasan “militan” sehingga Islam militan yang dimaksud itupun
akan menajdi bias dan berpotensi melebar. AS pun juga selalu berkampanye bahwa Islam militan adalah
terorisme.

Terorisme selalu berawal dari radikalisme. Radikalisme dalam konteks sebab memahami teks dan norma
agama secara dangkal. Radikalisme dalam konteks sebab terjebak pada situasi politik dan hegemoni Barat.
Radikalisme dalam konteks sebab tidak puas dengan kinerja pemerintah dan ingin mengadakan revolusi secara
besar-besaran.

Adian Husaini (2004) dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa banyak ilmuwan dan tokoh AS, seperti
Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan AS sebagai ‘a leading terrorist state’, atau
‘a rogue state’. Maka dari itu, sangat naif bagi Huntington yang justru mencoba menampilkan fakta yang tidak
adil dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia menyatakan, “The rethoric of
America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with
militant Islam.” Di sisi lain, aksi terorisme oleh kalangan Islam militan dan radikal ini juga menuai protes dari
kalangan Muslim moderat, meskipun kalangan Muslim moderat juga berpandangan bahwa terorisme ini juga
termasuk pada konspirasi global untuk menghancurkan Islam.

Menampilkan wajah Islam sebagai rahmat Islam yang berasal dari kata “salima” yang berarti selamat,
merupakan agama yang menjamin keselamatan bagi siapapun baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, sabda
Nabi Muhammad SAW bahwa orang yang dinamakan Islam itu apabila orang lain dapat selamat dari ucapan
dan tindakan orang Islam itu. Perang dalam sejarah perkembangan Islam pun harus dimaknai secara
kontekstual, termasuk penafsiran terhadap ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun
berfirman bahwa Dia mengutus Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam sempurna sebagai rahmat untuk
seluruh alam. Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan
akhlak. Maka, wajah asli Islam adalah penuh kelembutan, toleransi, dan menyejukkan. Bahkan, dalam Q.S.
An Nahl ayat 125 pun dikatakan mengenai cara berdakwah yang sama sekali tidak diperintahkan untuk perang.

Satu hal yang salah dipahami oleh Muslim radikal bahwa makna berdakwah itu adalah mengajak, bukan
memaksa. Mereka memahami makna dakwah bahwa kelompok lain wajib dan harus mengikuti jalur pemikiran
mereka. Dakwah berasal dari kata “dâ’a” yang berarti mengajak. Mengajak inipun juga sudah diatur dalam
Q.S. An Nahl ayat 125 tersebut, yaitu dengan cara hikmah (perkataan yang baik, jelas, tegas, dan benar),
mau’idhah al hasanah (pelajaran yang baik) dan mujadalah bi al lati hiya ahsan (membantah dengan cara yang
baik). Dalam kalimat selanjutnya pun dijelaskan bahwa “Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. Hal ini mengindikasikan penekanan bahwa berdakwah itu memang dengan cara yang
baik dan benar, serta kemauan orang untuk mengikuti jalan Islam itu hanya ditentukan oleh hidayah Allah
SWT. Bukan kemudian dijuluki dengan “sesat”.
Selain itu, kisah-kisah menyejukkan dalam Islam yang bernuansa kedamaian pun jarang diangkat untuk
menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya. Seperti misalkan kisah Nabi Muhammad SAW yang menolak
penawaran malaikat untuk menghancurkan kaum kafir dalam perang Uhud, kisah Nabi Muhammad SAW
yang justru menjenguk orang yang meludahi beliau setiap hari, kisah ‘Ali ibn Abu Thalib yang tidak jadi
menghunuskan pedang ke musuh karena diludahi oleh lawan, kisah ‘Ali ibn Abu Thalib yang kalah dalam
pengadilan dalam kasus pencurian baju perangnya sehingga pencuri justru masuk Islam, kisah Shalahuddin
al-Ayyubi yang mengirimkan kuda kepada Raja Richard The Great karena Raja Richard dijatuhkan oleh anak
buah Shalahuddin al-Ayyubi, kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang mengirimkan dokter kepada Raja Richard
yang sedang sakit, dan kisah lainnya.

Menampilkan wajah Islam yang moderat inipun menjadi tugas berat, terutama bagi elemen bangsa Indonesia
yang belum tertular virus radikalisme atas nama agama. Konsep Islam Nusantara pun akan diuji dan harus
dioperasionalkan. Pemerintah jangan hanya berusaha menangkis gerakan radikalisme dan terorisme dengan
menghancurkan kelompok-kelompok mereka. Namun, juga dengan berupaya memperbaiki kondisi bangsa
dan kinerja pemerintah sehingga lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, mengingat salah
satu faktor penyebab radikalisme dan terorisme adalah faktor politik dan ketidakpuasan terhadap berbagai
penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintah dan politik global.

Tugas berat bagi kalangan Muslim moderat, harus gencar dalam menanamkan nilai Islam yang humanis dalam
tataran akar rumput. Misalkan, memajukan TPA (Tempat Pendidikan Al-Qur’an) dan pengajian serta majelis-
majelis yang diisi dengan internalisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan deradikalisasi. TPA,
pengajian, dan majelis ta’lim ini merupakan tempat yang jitu dalam menginternalisasikan nilai-nilai keislaman
karena sasaran dari TPA, pengajian, dan majelis adalah masyarakat akar rumput.

Kajian terhadap bentuk negara, menceritakan kembali mengenai perjuangan para ulama memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, kajian terhadap hubungan Islam dengan konstitusi, dan kajian mengenai sahnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga harus diintensifkan. Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah
bahwa Islam harus dibumikan sehingga mampu memberdayakan umat manusia. Nilai-nilai Islam yang
dibumikan ini akan menjadi nilai universal yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia. Nilai-nilai
Islam yang tidak kaku dan tidak tergantung pada bentuk, sehingga dapat diimplementasikan dalam kerangka
kebajikan apapun dan dalam dimensi waktu kapanpun. Menampilkan wajah Islam rahmatan lil ‘alamin inipun
akan menghindarkan kaum Muslim dari jebakan Huntington, sehingga Islam tidak dipandang radikal dan
teroris. Wallahu a’lam bish shawab.

Demikianlah semoga bermanfaat.

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Anda mungkin juga menyukai