Farmakologis Obat Penenang Atau Hipnotik Pada Pasien ICU

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Farmakologis : Penggunaan Obat Penenang dan Hipnotik Pada Pasien ICU

Terapi farmakologis diberikan untuk meningkatkan kualitas tidur dan gangguan


ritme sirkadian mencakup tinjauan yang cermat terhadap perawatan farmakologis,
termasuk penghilangan obat kronis yang dapat menyebabkan simtomatologi. Banyak
obat yang diberikan di ICU memiliki efek pada fisiologi tidur normal. Jika obat
seperti opioid atau obat penenang tidak dapat dihentikan maka pemberiannya harus
dibatasi pada dosis efektif minimal. Obat-obatan khusus digunakan untuk gangguan
tidur akut harus digunakan dalam waktu singkat dengan penilaian ulang kebutuhan
yang berkelanjutan.
Penting bagi seorang perawat untuk memahami hubungan di antara keduanya
yaitu obat dan tidur pasien dalam kondisi perawatan kritis. Patofisiologi dan usia dapat
sangat mempengaruhi tidak hanya penyerapan obat dan eliminasi tetapi juga bagaimana
pasien mengatasi penyakitnya dan kesanggupannya untuk menjaga kesehatan.
Definisi Sedasi :
Terdapat 2 istilah dalam pemanfaatan terapi farmakologis pada pasien ICU yang
mengalami gangguan kenyamanan akibat kecemasan dan gangguan tidur,yaitu sedasi dan
analgesia. Sedasi adalah istilah untuk hipnotik dan ansiolisis, sedangkan analgesia istilah
untuk menghilangkan nyeri dan supresi dari respiratory drive. Analgesia dan sedasi
merupakan komponen penting dalam penanganan pasien di unit perawatan intensif
(ICU) guna memudahkan manajemen nyeri, kecemasan dan agitasi, menghindari
kegagalan peralatan, ekstubasi involunter dan meningkatkan koordinasi pasien
dengan ventilasi mekanis. Kelebihan obat-obatan ini berkontribusi terhadap
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Tujuan dari sedasi di ICU adalah pasien tenang namun dapat mudah
dibangunkan. Penggunaan skala sedasi digunakan oleh perawat untuk memudahkan
petugas kesehatan untuk mencapai tujuan pemberian sedasi dengan menggunakan dosis
obat sedatif seminimal mungkin. Dengan demikian akan mengurangi risiko terhadap
pasien. Obat sedatif yang ideal harus memiliki sifat sebagai berikut hipnotik, ansiolitik,
amnesia, anti kejang, tidak mudah terakumulasi, tidak toksik, efek sedasi dapat dititrasi,
metabolisme tidak melalui jalur hepar dan ginjal, efek minimal pada sistem
kardiovaskular, mula dan lama kerja yang singkat, tidak berefek terhadap fungsi memori,
tidak berefek terhadap fisiologi.
Pemilihan obat-obat sedatif harus disesuaikan dengan panduan lokal dan efisiensi
dari biaya. Kombinasi obat-obat sedatif dengan mekanisme kerja yang berbeda lebih
efektif dibandingkan dengan obat tunggal dosis tinggi. Kondisi pasien sakit kritis yang
harus diperhatikan adalah status cairan pasien, kebocoran dari kapiler yang akan
mempengaruhi volume distribusi, kadar protein serum yang akan mempengaruhi ikatan
obat dengan protein, fungsi ginjal, fungsi hati dan aliran darah hati. Obat penenang ini
diresepkan kepada 85% pasien Unit Perawatan Intensif (ICU), termasuk
benzodiazepin intravena dan propofol yang merupakan obat penenang yang paling
umum digunakan.Namun obat-obatan ini juga dikaitkan dengan sedasi berlebihan
pada 40–60% pasien, yang dapat menyebabkan intubasi berkepanjangan, delirium,
dan hipotensi akibat obat,karena hampir semua obat sedatif memiliki efek samping
yang hampir sama. Akumulasi obat akibat pemberian berkepanjangan dapat
menyebabkan keterlambatan penyapihan dukungan organ dan memperlama perawatan di
ICU.
Macam- Macam Sedasi
1. Sedasi Dengan Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat sedatif yang paling sering dan populer
dugunakan di ICU,karena obat terseut dianggap obat paling aman dan memiliki
sifat amnesia. Benzodiazepin dapat digunakan untuk sedasi jangka pendek dan
jangka panjang,namun tidak dianjurkan. Terdapat 3 jenis obat benzodiazepin
yang diberikan secara intravena yaitu midazolam, lorazepam, and diazepam.
Berikut ini beberapa sifat dari benzodiazepin adalah larut di dalam
lemak, dimetabolisme di liver dan diekskresikan melalui urin, dosis terapi
benzodiazepin tidak menimbulkan adanya depresi pernapasan pada orang sehat,
akan tetapi dapat terjadi pada pasien kritis di ICU. Pasien yang menerima
benzodiazepin memiliki risiko delirium yang relatif lebih besar; analgesik
dapat mengurangi jumlah obat penenang yang dibutuhkan dan selanjutnya
dapat mengurangi terjadinya delirium dan meningkatkan prognosis.
Dosis benzodiazepin yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat sedasi
yang adekuat terutama pada pasien lansia ,pasien gagal jantung dan pasien
gangguan fungsi hepar lebih rendah dikarenakan metabolismenya yang lebih
lambat.
Midazolam adalah benzodiazepin terpilih untuk pemberian sedasi jangka
pendek. Hal ini disebabkan oleh kelarutannya yang tinggi di dalam lemak. dan
lama kerja yang singkat. Pemberian midazolam lebih dari beberapa jam dapat
menimbulkan sedasi yang memanjang setelah obat dihentikan.Hal ini Hal ini
ditimbulkan oleh beberapa faktor, diantaranya akumulasi obat di dalam sistem
saraf pusat, akumulasi metabolit aktif (khususnya pada gagal ginjal), gangguan
enzim oleh obat-obat lain, serta gangguan dari fungsi hepar
Lorazepam memiliki mula kerja yang paling singkat. Lama kerjanya
yang panjang menyebabkan lorazepam menjadi pilihan pada pasien yang
membutuhkan sedasi lama.
Efek pemberian berlebih :
Pemberian dosis benzodiazepin yang berlebih dapat menyebabkan hipotensi,
depresi pernapasan dan sedasi yang dalam. Kemudian sediaan intravena dari
lorazepam dan diazepam mengandung larutan propyleneglycol yang dapat
menyebabkan iritasi pada vena.
Efek pemberian dalam jangka panjang :
Pemberian benzodiazepin dalam jangka panjang dapat menimbulkan agitasi,
asidosis metabolik dan sindrom klinis yang menyerupai sepsis berat
Efek penghentian mendadak :
Penghentian mendadak dari benzodiazepin dapat menimbulkan sindrom
withdrawal berupa cemas, agitasi, disorientasi, hipertensi, takikardia, halusinasi
dan kejang.

Beberapa obat-obatan dapat mempengaruhi metabolisme dari diazepam


dan midazolam diantaranya flukonazol, eritromisin, klaritromisin, diltiazem,
verapamil, rifampicin, simetidin, disulfram, dan omeprazole. Sedangkan teofilin
merupakan suatu antagonis dari benzodiazepin dan aminofilin yang dapat
menyebabkan pasien postoperatif bangun lebih cepat dari sedasi yang
ditimbulkan oleh benzodiazepin.
2. Sedasi dengan Propofol
Propofol adalah salah satu obat anestesi yang paling sering digunakan di
ICU yang memiliki sifat mula kerjanya yang cepat, efektif, dapat dititrasi dan
lama kerja yang singkat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa penggunaan
propofol berhubungan dengan pengurangan waktu penggunaan ventilasi mekanik
dibandingakan dengan sedasi menggunakan benzodiazepin. Akan tetapi propofol
dapat menyebabkan depresi miokardium, menurunkan resistensi vaskular
sistemik dan hipotensi terutama pada pasien hipovolemik. Propofol dapat
menimbulkan sedasi dan amnesia, tanpa efek analgesia.
Karena lama kerjanya yang singkat, propofol dapat diberikan melalui
infus secara berkelanjutan. Setelah penghentian infus propofol, pasien dapat
bangun dalam waktu 10–15 menit meskipun setelah penggunaan jangka panjang.
Propofol dapat digunakan untuk sedasi jangka pendek bila diharapkan pasien
dapat bangun dengan cepat, atau transisi dari penggunaan jangka panjang obat
sedatif lain. Propofol juga dapat bermanfaat pada trauma neurologi, oleh karena
dapat menurunkan konsumsi oksigen serebral dan tekanan intracranial.
Propofol sangat larut dalam lemak dan merupakan suspensi dari emulsi
lemak 10 %, sehingga memiliki kandungan nutrisi 1,1 kkal/ mL. Dosis propofol
dihitung berdasarkan berat badan ideal, dan tidak perlu penyesuaian dosis pada
kondisi gagal ginjal atau gangguan hati.Namun propofol harus dihindari pada
pasien dengan syok perdarahan.
3. Sedasi dengan Dexmedetomidine
Dexmetomidin adalah obat sedatif intravena yang diperkenalkan pada
tahun 1999 dan tidak menimbulkan depresi pernapasan. obat ini merupakan
pilihan untuk pasien yang cenderung mengalami depresi pernapasan (pasien
dengan sleep apnea atau penyakit paru obstruktif kronis), khususnya pada pasien
yang akan disapih dari ventilasi mekanik. Dexmetomidin diberikan dengan
loading dose 1 mg/kg selama 10 menit, dilanjutkan dengan infus 0,2–0,7
mg/kg/jam. Kemungkinan hipertensi ringan dapat timbul setelah loading dose
pada 15 % pasien. Hal ini berlangsung singkat dan dapat diminimalisir dengan
pemberian loading dose lebih dari 20 menit dengan ketentuan dosis harus
dikurangi pada pasien dengan gangguan fungsi hepar berat
Efek samping :
Efek samping dari infus dexmedetomidin adalah hipotensi dan bradikardia. Hal
ini timbul lebih berat pada pasien lansia >65 tahun dan pasien dengan blok
jantung. Risiko agitasi dan sympathetic rebound timbul setelah penghentian obat.
Dan untuk meminimalisirnya, dexmedetomidin sebaiknya digunakan tidak lebih
dari 24 jam.
4. Sedasi dengan Haloperidol
Haloperidol adalah suatu obat sedatif untuk pasien ICU yang tidak
menimbulkan depresi kardiorespirasi.Obat ini efektif untuk menenangkan pasien
dengan kondisi delirium.Haloperidol menghasilkan sedasi dan antipsikosis
dengan memblok reseptor dopamin di sistem saraf pusat. Setelah pemberian dosis
intravena, sedasi dapat timbul dalam 10–20 menit dan lama kerja beberapa jam.
Lama kerjanya yang panjang membuat haloperidol tidak cocok digunakan infus
berkelanjutan.Karena mula kerja ang lambat maka haloperidol tidak
diindikasikan untuk mengontrol kecemasan dalam waktu singkat. Nmaun
pemberian benzodiazepin dapat ditambahkan untuk menghaislkan mula kerja
yang cepat.
Dosis yang direkomendasikan adalah 0,5–20 mg bolus, disesuaikan
dengan tingkat kecemasan. Dan untuk memelihara sedasi, diberikan ¼ dari dosis
awal setiap 6 jam.
Efek samping :
Haloperidol dapat menimbulkan adanya suatu reaksi ekstrapiramidal, akan tetapi
hal ini jarang terjadi pada pemberian intravena. Insiden reaksi ektrapiramidal
akan lebih rendah apabila dikombinasikan dengan benzodiazepin. Kemudian efek
samping haloperidol yang paling ditakuti adalah terjadinya sindrom neuroleptik
malignan dan torsades de pointes. Sindrom neuroleptik malignan adalah reaksi
idiosinkrasi yang jarang, ditandai dengan hipertermia, kekakuan otot berat dan
rhabdomiolisis.

Penilaian dan Monitor Penghentian Sedasi Harian :


Penghentian sedasi harian direkomendasikan untuk menilai tingkat kesadaran dan
mengurangi risiko akumulasi obat. Apabila terjadi akumulasi obat, infus obat
dihentikan beberapa jam untuk membiarkan pembersihan efek dari obat sedatif
sehingga dapat mempersingkat penyapihan dari dukungan ventilasi. Penghentian
sedasi harian akan berhubungan dengan berkurangnya penggunaan ventilasi
mekanik, waktu perawatan di ICU dan penggunaan pemeriksaan penunjang untuk
menilai tingkat kesadaran.

Definisi Opioid :
Opioid menghasilkan efek rangsangan terhadap reseptor opioid di sistem
saraf pusat.Rangsangan terhadap reseptor opioid menghasilkan beberapa efek,
diantaranya analgesia, sedasi, euforis, konstriksi pupil, depresi pernapasan,
bradikardia, konstipasi, mual, muntah, rentesi urin dan pruritus. Opioid adalah
suatu obat yang sering digunakan dalam mengatasi nyeri dan sedasi ringan di
ICU, tanpa memiliki efek amnesia.
Morfin adalah opioid yang paling sering digunakan di ICU. Morfin
memiliki metabolit aktif yang dapat berakumulasi pada kondisi gagal ginjal.
Salah satu metabolit morfin (morphine-3glucoronide) dapat menyebabkan
eksitasi sistem saraf pusat sehingga dapat menimbulkan kejang, sedangkan hasil
metabolit lainnya(morphine-glucoronide) memiliki efek analgesia lebih kuat
dibandingkan dengan obat semula.
Pasien dengan riwayat sleep apnea syndrome atau hiperkapnia kronis
lebih mudah mengalami depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh opioid.
Terhadap sistem kardiovaskular, opioid dapat menimbulkan penurunan tekanan
darah dan denyut jantung sebagai akibat dari turunnya aktivitas simpatis dan
meningkatnya parasimpatis.
Referensi

Sudjud, R. W., & Yulriyanita, B. (2014). Sedasi dan Analgesia di Ruang Rawat Intensif. Majalah
Anestesia dan Critical Care, 32(3).

Waladani, B. (2022). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Tidur Pasien di Ruang
Intensif.

Temesgen, N., Chekol, B., Tamirie, T., Eshetie, D., Simeneh, N., & Feleke, A. (2021). Adult

sedation and analgesia in a resource limited intensive care unit – A Systematic Review

and evidence based guideline. Annals of Medicine & Surgery, 66.

https://doi.org/10.1016/j.amsu.2021.102356

Anda mungkin juga menyukai