ULUMUL QURAN
ULUMUL QURAN
ULUMUL QURAN
ABSTRAK
A. LATAR BELAKANG
Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di samping itu, dalam ayat dan
surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan
(bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)
antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an.
Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar
pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan
media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya
oleh Allah swt. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian al Qur`an tersebut
adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar menurut Sang
Pencipta Allah ‘azza wa jalla. Keaslian dan kebenaran al Qur`an terdeterminasi dengan
pertimbangan agar manusia tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat
dunia maupun akhirat. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al
Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun
sedemikian rinci.
Pengertian Tafsir
`Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru – tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian. Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat al-qur’an,
keadaan kisah dan sebab turunya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna
zahir.
1. Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya, kisahnya, dan
sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya dengan
jelas sekali.
2. Menurut az-Zarkazyi, tafsir ialah suatu pengetahuan yang dapat dipahamkan kibullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan maksud
maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya.
4. Menurut Syeikh Thorir, tafsir ialah mensyarahkan lafad yang sukar difahamkan oleh
pendengan dengan uraian yang menjelaskan maksud dengan menyebut muradhifnya atau
yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan.
a. Pertama, Metode tahlili yaitu metode penaafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
menjelaskan ayat Al-Qur’an dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang
terkandung di dalamnya sehingga kegiatan mufasir hanya menjelaskan per ayat surat
persurat, makna lafal tertentu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan kalimat lain,
asbabun nuzul yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan.
Metode tahlili disebut juga metode tafzi’i atau (parsial) yang banyak dilakukan oleh
para mufasir salaf dan metode ini oleh sebagian penganut dinyatakan sebagai metode yang
gagal mengingat cara penafsirannya yang parsial juga tidak dapat menemukan substansi Al -
Qur’an secara integral, dan ada kecenderungan masuknya pendapat mufasir sendiri
mengingatkan pemaknaan ayat tidak dikaitkan dengan ayat lain yang membahas topik yang
sama.
Hampir semua penafsiran Al-Qur’an menggunakan tafsir tahlili, mengingat tafsir ini
tidak banyak melibatkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan penafsiran bahkan praktis
dilakukan, diantara modal tafsir tahlili adalah:
2. Tafsir Al-Qur’an, oleh Abu Fida Ibnu Katsir (wafat 774 H).
b. Kedua, metode tafsir ijmali yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan
cara menjelaskan maksud Al-Qur’an secara global tidak terperinci seperti tafsir tahlili, hanya
saja penjelasannya disebutkan secara global (ijmal).
Metode ini diterapkan agar orang awam mudah menerima maksud kandungan Al-
Qur’an tanpa berbelit-belit, sehingga dengan sedikit penjelasannya seseorang dapat mengerti
penjelasan hasil tafsir ini. Kitab tafsir yang tergolong menggunakan metode ijmal adalah:
c. Ketiga, metode muqarin yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
perbandingan (komparatif), dengan menemukan dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara
unsur-unsur yang diperbandingkan, baik dengan menemukan unsur yang benar di antara yang
kurang benar, atau untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai
masalah yang dibahas dengan jalan penggabungan (sintesis), unsur-unsur yang berbeda itu.
Contoh metode madhu’i (tematik) adalah seperti penyelesaian kusus riba yang
dilakukan oleh Ali al-shabuni dalam “tafsir ayat ahkam” yang secara hierarki menentukan
urutan ayat.petama,qs.ar-Rum ayat 39 yng menjelaskan kebencian Allah kepaada riba
walaupun belum di haramkan. Kedua, QS. An Nisa ayat 130 yang menjelaskan keharaman
riba tersirat (ta’wil) belum tersurat ( tashrih). Ketiga, QS Ali Imran ayat 30 yang menjelaskan
keharaman riba dengan jelas, namun yang diharamkan sebagian bukan keseluruhan.
Keempat, QS. Al-Baqarah ayat 287 yang menjelaskan keharaman riba secara mutlak.
Pengertian Ta’wil
Kata ta’wīl berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujǔ’) atau dari kata al-
ma’ǎl yang artinya tempat kembali (al-mashīr) dan al-aqībah yang berarti kesudahan. Ada
yang menduga bahwa kata ini berasal dari kata al-iyǎlah yang berarti mengatur (al-siyasah).
Secara istilah, ta’wil berarti memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna yang
tidak zahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai
dengan al-kitab dan sunnah.
1. Al-Jurjani: ialah memalingkan lafad dari makna yang dhahir kepada makna yang
muhtamil, apabila makna yang mu’yamil tidak berlawanan dengan al-quran dan as-sunnah.
2. Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa : “Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan
tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil
dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”
3. Menurut Wahab Khalaf : takwil yaitu memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya
dalil.
4. Menurut Abu Zahra : takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada
makna yang lain, tetapi bukan zahirnya
Bentuk-Bentuk Ta’wil
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat AlQur’an, bila
dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk
kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul
merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian
tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang
umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak(taqyid al-muthlaq), mengalihkan
lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi,atau dari makanya yang mengandung
wajib menjadi makna yang sunnah.
1. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul
disebut takhshish al-umum ()اﻟﻌﻤﻮم ﺗﺨﺼﯿﺺ. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:228,
yang menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus
menjalani iddah (masa tunggu) selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru’).
Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh,monopouse, atau
dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS.Al-
Ahzab:49, yang menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa
tunggu).
2. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas
(muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq ()اﻟﻤﻄﻠﻖ ﺗﻘﯿﯿﺪ. Seperti firman Allah
tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3, menggunakan lafazh mutlak (muthlaq)
kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata “mengalir” (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu
QS.Al-An’am: 145, sehingga yang diharamkan adalah darah yangmengalir.
3. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman
Allah dalam QS.An-Nisa’: 2 yang menerangkan untuk menyerahkan hartaharta milik anak
yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini
bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa’: 6 yang menerangkan untuk menyerahkan
harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini,
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan
makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna
majazi yaitu
ketika mereka telah baligh dan dewasa.
4. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.
A. Macam-Macam Ta’wil
1. Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak
mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
2. Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta
diduga sebagai makna yang benar.
Ketika seorang mu’awwil ataupun mufassir berhadapan dengan ayat yang maknanya
memerlukan pemahaman khusus dan lengkap, maka ia dibolehkan menta’wilkan ayat jika
tafsir dianggap belum mampu dipakai secara sempurna. Namun tidak semua ayat dapat
dita’wilkan, karena dalam ta’wil harus memperhatikan syarat serta kaedah yang berlaku di
dalamnya. Jika memenuhi syarat maka berlakulah ta’wil, namun jika ternyata syaratnya tidak
terpenuhi maka mengalihkan lafazh kepada suatu makna tidak boleh dilakukan karena
bertentangan dengan maksud ayat itu sendiri.
`Ta’wil terhadap teks-teks suci al-Qur’ān tidak boleh dilakukan secara serampangan.
Selain harus memperhatikan makna lain yang terindikasi dari tiga komponen makna asal,
yakni bahasa (lughawi), kebiasaan penggunaan (‘urfiy), dan kebiasaan pemikik syara’
(syar’i), muawwil ketika ingin beralih dari makna zhahir sebuah lafazh kepada makna lain
juga harus memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Syarat yang paling penting
adalah makna lafazh muawwal adalah termasuk makna yang memang dikandung oleh lafazh
itu sendiri, dan ditunjukkan dengan satu dilalahnya, baik secara verbal (manthuq) maupun
konseptual (mafhum), dan dalam waktu yang sama harus sesuai dengan makna asal peletakan
bahasa, kebiasaan dan syara’.
Dalam masalah aturan dan syarat-syarat sahnya ta’wil, para ulama telah meletakkan
kaidah-kaidah ta’wil selain yang disebutkan di atas, di antaranya sebagai berikut :
1. Lafazh yang ingin dita’wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita’wil. Oleh karena itu lafazh
mufassar dan lafazh muhkam tidak bisa di ta’wil karena keduanya telah memiliki makna
yang jelas.37 Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat
dikhususkan(ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafazh
bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka,
jika ta’wil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.
2. Ta’wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan
pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari pada makna zhahir.
3. Ta’wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar’i, atau
makna urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS. AlBaqarah: 228)
dengan arti haid atau suci adalah ta’wil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab
untuk quru`. Ta’wil yang tidak sesuai makna bahasa, syar’i, atau urf, tidak diterima,dan
jika memang tidak ditemukan salah satu dari tanda yang tiga tersebut, maka diharuskan
untuk mempergunakan lafazh dari segi kosakata dan rangkaianya yang sesuai dengan
maknananya yang zhahir, dan tidak diperbolehkan mengira-ngirakan adanya lafazh yang
dibuang (mahdzuf ), atau majaz, atau saling mendahulukan dan mengakhirkan (taqdim-
ta’khir), atau yang mengkhususkan yang umum, atau bentuk-bentuk lain yang keluar dari
makna hakikat kebahasaan, hanya karena alasan prasangka ta’wil. Sebab hal tersebut
akan melampaui batas makna yang ditunjukkan lafazh zhahir.
4. Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang
diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta’wil. Seperti antara QS.An-Nisa’: 2 dan ayat
6. Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim
(mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan
tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah
untuk memberikan harta anak yatim ketika sudah usia baligh. Maka, kata yatim pada
ayat pertama harus dita’wil dengan mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada
makna majazi.
5. Ta’wil tidak boleh menggugurkan nash syar’i lainnya, karena ta’wil merupakan salah
satu metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni tidak bisa
mengalahkan nash yang bersifat qath’iy. Seperti QS. AlMaidah: ◌َوٱ ◌ْم ◌َس ◌ُحو ۟◌ا ◌ِب ◌ُ◌ً ◌ُءو
( ٱ ◌ْل ◌َكkemudian dibaca kasrah oleh) kalangan Syi’ah, mereka memilih ُ◌ أ◌َ ◌ْرbukan
جل◌َ ◌ُك ◌ْم
kasrah ◌ِس ◌ُك ◌ْم ◌َو
◌ْع ◌َب
إ◌ِ ◌َلى
fathah dengan alasan athaf. Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya
◌ْين
(cukupnya) mengusap kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif
kepada dua hal; pertama, menggugurkan hadith-hadith shahih yang memerintahkan
untuk membasuh kaki. Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki.
Sehingga pembatasan (qaid) pada mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna
dalam kalamullah mustahil terjadi.
6. Orang yang hendak melakukan ta’wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki
bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar’I serta pemilik jiwa keilmuan yang
telah matang. Orang yang tidak memiliki kualifikasi tersebut dilarang melakukannya
karena akan terjatuh pada perbuatan yang dilarang yaitu mengucapkan sesuatu tanpa
ilmu.
7. Jika ta’wil dengan qiyas maka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama
Syafi’iyah. Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah diketahui secara pasti bahwa tidak ada
sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya
laki-laki (al-’abd) dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum
perbudakan. Sedangkan qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak
adanya sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara anggur
dengan khamr ketika diminum dalam jumlah yang sedikit. Karena mungkin khamr
memiliki kelebihan (lebih keras) bila dibandingkan dengan anggur.
8. Dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah, selain
memperhatikan dalil dan indikasi dari makna lughawi, urf , dan syar’I juga harus
mengembalikan kepada makna yang dekat dengan berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada
tiga macam pengalihan lafazh dari makna zhahirnya; pertama, Mengalihkan kepada yang
terdekat. Seperti lafazh إ◌ِ ◌َذا ق◌ُ ◌ْمت◌ُ ◌ْم6, kata القيامdalam ayat ini dita’wilkan (diartikan)
ّ◌ َ◌ إ◌ِ ◌َلى ٱل
َ◌صل
ketika hendak dan ingin melaksanakan Ṣhalat. Kedua, Mengalihkan kepada yang jauh,
ٰ◌و ◌ِة
hal ini tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil shahih yang menguatkan bahwa yang
dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang jauh.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa ta’wil adalah metode
khusus dalam memahami semantik makna tertentu. Namun, ta’wil memiliki metodologi
yang mengikat berupa aturan-aturan baku yang tidak bisa dilanggar secara serampangan.
Oleh karenanya, metode yang berlaku pada ta’wil akan sangat sulit didapatkan jika
disamakan dengan metode semantik lainya. Dalam hal ini, hermeneutika yang
diidentikkan dengan ta’wil, terlihat Jelaslah perbedaan keduanya, khazanah historisitas
antara keduanya sangat jauh berbeda. Di mana ta’wil lahir sebagai taqwim terhadap
makna, bukan untuk melepaskan makna menjadi liar sehingga melanggar batas-batas
qoth’iyyah dan tsubutiyyah sebagaimana yang terjadi pada hermeneutika.
Kelahiran ta’wil walaupun banyak perdebatan di dalamnya, namun hal tersebut sebagai upaya
ri’ayah terhadap teks al-Qur’an. Dan ketika ta’wil mulai dirasakan manfaat kehadiranya, tetap
saja para ulama yang menggunakanya memiliki visi kemantapan dalam setiap memahami
maksud ayat yang akan dita’wilkan. Motif dan visi nya dalam rangka penjagaan terhadap
asholah teks al-Qur’an. Dan hasilnya, pemahaman yang lahir betul-betul menugatkan
bangunan pemikiran yang telah disusun secra rapi dalam khazanah pengetahuan dan
peradaban Islam.
Pengertian Terjemah
Kata terjemah berasal dari bahasa arab “tarjama” yang berarti menafsirkan dan
menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian
kemasukan “ta’ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau penyalinan
dari suatu bahasa ke bahasa lain.
1. Terjamah Harfiyah : memindahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan
bahasa yang lain yang susunan kata yag diterjemahkan sesui dengan kata-kata yang
menerjemahkan, dengan syarat tertib bahasanya.
Macam-Macam Terjemah
1. Terjemah Interbahasa
Terjemah ini juga disebut dengan mengungkapkan kalimat dengan redaksi yang berbeda. Yaitu
menjelaskan kata-kata dalam suatu bahasa dengan kata-kata berbeda dalam bahasa yang sama.
2. Terjemah Antarbahasa
Terjemah semacam ini lazim disebut dengan terjemah hakiki. Yaitu menjelaskan kata-kata atau
simbol-simbol dengan simbol lain dari bahasa yang berbeda.
Perbedaan :
a. Tafsir : menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan
penjelasan hokum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan seringkali disertai
dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut.
b.Ta’wil : mengalihkan lafadz-lafadz ayat al-Qur’an dari arti yang lahir dan rajih kepada arti
lain yangsamar dan marjuh.
c.Terjemah : hanya mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa lain tanpa
memberikan penjelasan arti kiandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari
isi kandungannya. Hubungan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
d. Kitab Ta'rifatnya menyatakan tentang hubungan tafsir dan ta'wil sebagi berikut : Ta'wil
secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara' ia brmakna memalingkan Lafadz
dari maknanya yang dhohir kepada makna yang mungkin terkandung didalamnya, apabila
makna yang mungkin itu sesuai dengan Kitab Allah dan SunnahRasulullah.Contohnya
seperti firman Allah swt "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati " (al-Anbiya': 95),
apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir.
Tetapi apabila yang dimaksud disitu adalah mengeluarkan orang yang berilmu dari orang
yang bodoh, maka itulah ta'wil.Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa ta'wil lebih dalam
dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna dhohir lafadz harfiyah ayat-ayat al-
Qur'an
2) Fungsi Terjemah
a.Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lainya
b.Menafsirkan suatu kalimat dengan menerangkat maksud yang terkandung dalam bahasa
yang dipahami.
Kesimpulan
Sedangkan istilah tafsir lebih luas ari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu
yg berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir
yg bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui
maksud dan kehendak firman-firman Allah SWTtersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Siddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al Qur’an dan
Tafsir. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2000
Amzah, Dr. Kadar M. Yusuf, m.ag. Studi Al-qur’an. Bumi Aksara, Jakarta. 2014
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Ilmu-ilmu Al-Qur’an. PT. Pustaka Rizki Putra,
Semarang. 2002
Nasharuddin Baidan, Prof. Dr., Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000
Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Sirojuddin Iqbal, Drs. Mashuri. Pengantar Ilmu Tafsir. Angkasa, Bandung. 1989
17