Makalah Upaya Hukum
Makalah Upaya Hukum
Makalah Upaya Hukum
memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap keputusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Sudikno Mertokusumo, 1982:232). Dalam hukum acara perdata terhadap upaya hukum dapat di bagi menjadi upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet), banding (revisi) dan kasasi (cassatie) dan upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali (PK) dan derden verzet (verzet door darden). A. BANDING 1. Landasan Hukum Banding Sebenarnya banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. Acara banding dalam perkara pidana pada awalnya diatur dalam pasal 350-356 HIR yang kemudian dicabut oleh Stb. 1932 No. 460 jo 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op java en het hooggerechtshof van indonesia (pasal 282 dst.) serta Rbg pasal 660. Sekarang hal banding dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67, 87, 233-243 KUHAP. Sedangkan banding dalam perkara perdata diatur dalam pasal-pasal 188-194 HIR. Tetapi dengan adanya pasal 3 jo 5 UU darurat no. 1 tahun 1951 pasal-pasal itu sudah tidak berlaku lagi dan yang sekarang berlaku ialah undang-undang RI tahun 1947 no. 20 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura ialah Rbg pasal 199-205. Jadi dasar hukumnya adalah UU no. 4/2004 tentang perubahan atas undang-undang pokok kekuasaan dan UU no.20/1947 tentang peradilan ulangan. 2. Alasan Permohonan Banding Adapun alasan-alasan seseorang dapat mengajukan permohonan banding diantaranya adalah: a. Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu. b. Menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil. Asas peradilan ini bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pada tingkat pertama belum tentu tepat atau benar sehingga perlu pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dalam hal ini yang berwenang adalah pengadilan tinggi untuk menelitti apakah pemeriksaan perkara tersebut telah dilakukan menurut cara yang ditentukan UU dengan cukup teliti, dan juga pengadilan tinggi berwenang untuk memeriksa putusan dan mengambil sikap atas putusan-putusan tersebut seperti:
a. Dalam hal putusan dianggap telah benar, putusan pengadilan tingkat pertama akan dikuatkan. b. Dalam hal putusan dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan pengdailan tinggi akan memberi putusan lain. c. Dalam hal putusan yang kurang tepat, maka pengadilan tinggi akan memperbaiki putusan sebelumnya. 3. Prosedur Pengajuan Banding Putusan yang bisa dimintakan banding hanya putusan pengadilan negeri mengenai perkara yang harga gugatnya hanya lebih dari Rp.100,- saja. Hal ini sesuai pasal 6 UU 1947 no. 20 bahwasannya dari putusan-putusan pengadilan negeri di jawa dan madura tentang perkara perdata, yang diternyata bahwa besarnya harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihakpihak (partizen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan pertama diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masingmasing (komentar HIR, 2005:170). Jadi dapat dikatakan hampir semua putusan (bukan declaratoir) Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding. Maksud pihak yang berkepentingan adalah pihak yang oleh putusan pengadilan tingkat pertama dikalahkan dan juga jika ada gugat asal dan gugat balik yang di dalamnya ada pihak yang dikalahkan maka pihak tersebut dapat mengajukan permohonan banding (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:151). Sedang dalam perkara pidana, permintaan banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penunttut umum (pasal 67 KUHAP). Permintaan banding dalam perkara pidana ini dapat diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaiman dimaksud dalam pasal 196 ayat 2 KUHAP. Permohonan banding dapat diterima jika diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai berkutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU no. 20 tahun 1947 permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk mengajukan permintaan itu, kepada panitera pengadilan negeri, yang menjatuhkan putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Untuk mengajukan permohonan banding pihak yang bersangkutan terlebih dahulu harus membayar biaya permohonan banding kepada pengadilan negeri. Besarnya biaya tersebut ditaksir oleh panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Jika pemohon banding adalah orang yang tidak mampu maka harus dibuktikan dengan surat dari kepala desa. Hal ini sesuai dengan pasal 7 (3) UU no. 20 tahun 1947 bahwasannya jika ada permintaan akan pemeriksaan ulangan tidak dengan biaya maka tempo itu dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan pengadilan tinggi atas permintaan tersebut kepada ketua pengadilan negeri.
Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui bank pemerintah atau kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan. Dalam menentukan biaya banding harus diperhitungkan: a. Biaya pencatatan pernyataan banding, b. Besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi, c. Biaya pengiriman uang melalui bank/kantor pos, d. ongkos kirim berkas, e. biaya pemberitahuan berupa: (1) Biaya pemberitahuan akta banding. (2) Biaya pemberitahuan memori banding. (3) Biaya pemberitahuan kontra memori banding. (4) Biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding dan terbanding. (5) Biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi pembanding dan terbanding. Pasal 10 uu no. 20 tahun 1947 menyatakan (1) permintaan pemeriksaan ulangan yang dapat diterima, dicatat oleh panitera pengadilan negeri di dalam daftar. (2) panitera memberitahukan hal itu kepada pihak lawan yang minta pemeriksaan ulangan. Jadi sudah jelas dalam hal ini panitera harus memberitahu pihak terbanding supaya siap-siap juga menyiapkan kontra memori bandingnya. Begitupun KUHAP mengatur tentang kewajiban panitera perkara pidan untuk memberitahukan kepada pihak-pihak terkait tentang adanya permintaan banding yang diatur dalam pasal 233. Setelah satu pihak menyatakan naik banding dan dicatat oleh panitera, maka pihak lawan diberitahu panitera tentang permintaan banding itu selambat-lambatnya 14 hari setelah permintaan banding diterima dan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk melihat surat-surat dan berkasnya di pengadilan negeri selama 14 hari sesuai dengan pasal 11 ayat 1 uu no. 20 tahun 1947, 202 Rbg (Sudikno Mertokusumo, 1998:235). Surat-surat termaksud adalah memori banding yang harus dipelajari oleh pihak terbanding sehingga bisa menjawabnya dengan kontra memori banding. Memori banding harus memuat alasan-alasan pembanding menganggap bahwa putusan pengadilan tersebut adalah salah. Akan tetapi hal ini tidak merupakan syarat mutlak asalkan syarat-syarat lain yang ditentukan UU terpenuhi. Kedua belah pihak boleh memasukkan surat keterangan dan bukti-bukti baru. Setelah pemeriksaan di panitera Pengadilan Negeri selesai, maka surat pemeriksaan harus dikirim ke Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 7 hari setelah pemeriksaan selesai (pasal 13 UU no.20 tahun 1947). Dalam perkara pidana selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah permintaan banding diajukan, panitera mengirimkan berkas-berkas ke pengadilan tinggi. Selama 7 hari sebelum pengiriman berkas perkara ke pengadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan negeri. Menurut pasal 15 ayat 1 uu no 20 tahun 1947 dan pasal 238 KUHAP, pengadilan tinggi dalam pemeeriksaan ulangan, memeriksa dan memutuskan dengan tiga hakim, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi. Ayat ini dirubah oleh pasal 2 undang-undang darurat no. 11 tahun
3
1955 jika dipandang perlu, pengadilan tinggi atau seorang hakim pengadilan tinggi itu dapat mendengar sendiri para pihak yang berperkara. Bukanlah maksudnnya ssupaya semua perkara bandingan diperiksa oleh seorang hakim, melainkan supaya semua pengadilan tinggi tidak diwajibkan lagi untuk memeriksa semua perkara dengan tiga orang hakim, juga perkara-perkara yang tidak sulit (R. Soepomo, 1993:114). Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri (Sudarsono, 1994:153). Dan putusannya harus segera diberitahukan kepada pihak pembanding dan terbanding. Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan (pasal 242 KUHAP). Dalam tingkat banding hakim harus membiarkan putusan dalam tingkat peradilan pertama sepanjang tidak dibantah dalam tingkat banding (tantum devolatum quantum appelatum) sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Juni 1971 (Sudikno Mertokusumo, 1998:237). Dan mengenai pencabutan permohonan banding dapat dilakukan setiap saat oleh pihak pembanding dengan persetujuan pihak lawan selama perkara tersebut belum diputus oleh pengadilan tinggi. 4. Putusan Peradilan Tingkat Banding Putusan yang dapat diajukan permohonan banding adalah putusan Pengadilan Negeri/Agama bukan penetapan, yaitu putusan declaratoir yang diberiakan hakim pengadilan negeri atas suatu surat permohonan, seperti penetapan ahli waris. Terhadap putusan seperti ini tidak dapat diajukan banding akan tetapi langsung mengajukan kasasi (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:149). Jika putusannya berbentuk verstek maka harus diajukan verzet dulu di tingkat peradilan pertama. Namun seperti dijelaskan dalam ayat 2 pasal 8, jika untuk kedua kalinya tergugat kalah dengan putusan verstek, maka tergugat dapat mengajukan banding namun harus menunggu sampai putusan verstek diputus oleh pengadilan negeri. Ketentuan pasal 9 mengemukakan (1) dari putusan pengadilan negeri yang bukan putusan penghabisan dapat diminta pemeriksaan ulangan hanya bersama-sama dengan putusan penghabisan. (2) putusan dalam mana pengadilan negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkarannya, dianggap sebagai putusan penghabisan. Dari pasal satu kita tahu bahwa apabila dalam suatu perkara telah dijatuhkan suatu putusan provisionil, insidentil ataupun putusan sela lainnya, dan pihak yang dikalahkan mengajukan permohonan banding, permohonannya dicatat oleh pengadilan negeri akan tetapi berkasnya baru akan dikirim ke pengadilan tinggi setelah putusan final ada. Pengadilan tinggi juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan dalam memutus perkara jika menganggap bahwa pemeriksaan semula belum cukup bukti. Karena dalam taraf banding asasnya bahwa perkara mentah kembali dan kedudukan pengadilan tinggi sebagai judex factie, yaitu hakim yang memeriksa dan
4
mengadili perkara baik mengenai fakta maupun mengenai hukumnya, dan wewenang yang dipunyai pengadilan tinggi dalam pemeriksaan perkara yang sama dengan wewenang hakim pengadilan negeri, sebelum pemeriksaan tambahan, pengadilan tinggi harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:160) Wewenang pengadilan tinggi juga untuk membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama meskipun putusan pengadilan negeri tersebut berdasarkan sumpah penambah atau supletoir. Apalagi jika sumpah tersebut dimintakan kepada penggugat yang tidak mempunyai bukti yang harus ditambah. Lain halnya dengan sumpah pemutus atau decisoir, sumpah seperti ini dalam tingkat banding maupun kasasi tidak dapat mengubah putusan. Karena pada hakikatnya sumpah decisoir ini adalah melepaskan hak untuk menang. Berkaitan dengan putusan sela, pengadilan tinggi pun dapat melakukannya misalnya saja dalam hal sita jaminan. Pengadilan tinggi berwenang untuk memerintahkan pengadilan negeri terkait melakukan sita tersebut (R. Subekti, 1977:152). B. KASASI 1. Pengertian dan Landasan Hukum Kasasi Upaya hukum kasasi (cassatie/appeal in cassation) merupakan lembaga hukum yang dilahirkan di prancis dengan istilah cassation dan berasal dari kata kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung Repulik Indonesia (MA RI) sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi hanya diperiksa masalahmasalah hukumnya/penerapan hukumnya. Sehingga yang dapat mengajukan permohonan kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-pihak berperkara atau wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 44 ayat (1) huruf a UU no 3 tahun 2009). Pada asasnya, landasan hukum kewenangan kasasi diatur dalam ketentuan pasal 24 A ayat (1) perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun 2009, penjelasan umum angka 2, pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009.
2. Prosedur Permohonan Kasasi
Menurut Mahkamah Agung RI pada hakikatnya prosedural administrasi permohonan kasasi adalah bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan. Senada dengan pasal 245 KUHAP yang menyatakan tenggang waktu selama 14 hari untuk mengajukan permohonan. Prosedural berikutnya adalah apabila biaya kasasi telah dibayar lunas semuanya, pengadilan wajib membuat akta pernyataan kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register kasasi, kemudian akta ini diberitahukan kepada lawannya dalam waktu 7 hari. Perlu juga disampaikan dalam kontek ini bahwa dalam mengajukan kasasi, pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi dan berdasarkan ketentuan pasal 12 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004 menentukan bahwa, Pemohon kasasi wajib
5
menyampaikan kepada Panitra Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Tanggal penerimaan memori kasasi tersebut, harus dicatat dalam suatu surat keterangan panitera yang ditandatangani oleh panitera. Yang dimaksud sebagai tanggal permohonan kasasi adalah tanggal pada waktu biaya perkara diterima oleh panitera yang bersangkutan. Sedangkan apabila biaya perkara yang diterima melampaui tenggang waktu, maka permohonan kasasi dianggap tidak ada. Dalam pidana juga pemohon harus menyerahkan memori kasasi dan alasan mengajukan kasasi yang sesuai dengan pasal 248 dan 253 KUHAP. Kemudian berdasarkan Ketentuan pasal 12 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004: Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitra Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi dan panitra Pengadilan wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima. Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004: Panitra wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi di daftarkan. Dalam praktik, berkas perkara dikirim kepada MA RI berupa bundel A dan bundel B. Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, barkas kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung. Pada dasarnya, bundel A merupakan surat-surat perkara diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut dan selalu di simpan di Pengadilan Negeri/Niaga serta terdiri atas: Surat permohonan; Penetapan Penunjukan Majelis Hakim; Penetapan hari sidang; Relaas-relaas panggilan; Berita acara sidang (jawaban/tanggpan dan bukti-bukti surat dimasukan dalam berita acara); Surat kuasa khusus dari kedua belah pihak yang berperkara; Tanda bukti pengiriman biaya perkara kasasi; Penetapan-penetapan lainnya yang berkaitan dengan perkara (bila ada); Berita Acara Sita Jaminan/Penyegelan (bila ada); Lampiran-lampiran surat yang dimajukan oleh kedua belah pihak (bila ada) Surat-surat bukti Pemohon; Surat-surat bukti Termohon; Surat-surat lainnya; Naskah Asli Putusan.
Sedangkan bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara dan kasasi serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan kasasi dan akhirnya menjadi arsip perkara MA RI, yang terdiri atas: Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan Niaga kepada kedua belah pihak yang berperkara; Akta permohonan kasasi; Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi; Memori kasasi dan/atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak mengajukan memori kasasi; Tanda terima memori kasasi; Relaas pemberitahuan kasasi kepada Termohon Kasasi; Kontra memori kasasi; Salinan putusan Pengadilan Niaga dan penetapan-penetapan Pengadilan Niaga; dan Surat-surat lain yang sekiranya ada. Dalam menaksir biaya kasasi diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi yang ditentukan oleh Ketua Muda. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya pemberitahuan, berupa : Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi. Biaya pemberitahuan memori kasasi. Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi. Biaya pemberitahuan bunyi kasasi. Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, dikirim ke Mahkamah Agung. Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu atau penerimaan memori kasasi yang melempaui tenggang waktu, harus dinyatakan tidak dapat diterima. Mengajukan memori kasasi yang disertai dengan alasanalasan merupakan syarat mutlak. Didalam risalah kasasi harus dimuat keberatankeberatan atau alasan-alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok persoalan perkara, jika tidak mengajukan risalah kasasi sudah tentu akan menyebabkan tidak diterimanya permohonan kasasi.
3. Tugas Pengadilan Tingkat Kasasi dan Alasan Pengajuan Kasasi
Tugas pengadilan kasasi adalah menguji dan meneliti putusan pengadilanpengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Oleh karena itu, maka dasar dari pembatalan suatu putusan yang oleh pengadilan kasasi dianggap salah adalah pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh pengadilan yang bersangkutan. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 adalah : 1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, yudex facti incasu Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU tersebut seolah-olah merupakan
7
kewenangannya, padahal sebenarnya tentang yudex factie tidak berwenang/bukan merupakan kewenangannya. Sedangkan alasan kasasi disebabkan yudex facti melampaui batas wewenang adalah bahwa yudexfacti telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam UU. Kemudian, melampaui batas wewenang ini dapat juga di artikan bahwa yudexfacti dalam putusannya telah mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya. 2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh UU. 3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan Dalam doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities), sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid atau formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. Apabila batalnya putusan atau perbuatan hakim sebagai akibat kelalaian ditentukan oleh undang-undang, maka terdapat kebatalan formal (formele nietigheid atau formele nulliteit). Kemudian, tentang kebatalan formal ini misalnya dapat disebutkan apabila sidang pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan terbuka untuk umum mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum (Pasal 19 ayat 1, 2 Undangundang Nomor 3 Tahun 2009), begitu pula halnya semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum dan apabila tidak dilakukan demikian akan batal (Pasal 13 ayat 1 dan 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 334 K/Sip?1972 tanggal 4 Oktober 1972. Dari alasan-alasan tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa didalam tingkat kasasi tidak diperiksa tentang duduknya perkara atau faktanya melainkan tentang hukumnya, sehingga tentang terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa. Penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Mahkamah Agung terikat pada peristiwa yang telah diputuskan dalam tingkat terakhir, jadi pada tingkat kasasi peristiwanya tidak diperiksa kembali. Oleh karena pada tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk perkaranya, maka
8
pemeriksaan tingkat kasasi pada umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ke-3. Dasar hukum bagi pengadilan kasasi yang dilakukan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970, yang berbunyi: Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain daripada MA, kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung. UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985, mengatur Hukum Acara bagi Mahkamah Agung yang berhubungan dengan tugasnya untuk memberi putusan dalam tingkat kasasi. Bab III UU no. 14 Tahun 1985, mengatur tentang kekuasaan Mahkamah Agung. Pada Pasal 28, menyatakan sebagai berikut : (1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a. Permohonan kasasi; b. Sengketa tentang kewenangan mengadili; c. Permohonan peninjauan kembali (2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksudkan ayat (1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam Mahkamah Agung. Pada pasal 28 dinyatakan : Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan. 4. Putusan peradilan tingkat kasasi Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi dan membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi tersebut, maka akan terjadi dua kemungkinan, yakni : 1) Kalau pembatalan itu didasarkan pada tidak berwenangnya pengadilan yang telah mengambil putusan yang dimohonkan kasasi, maka berkas perkara akan dikirimkan kepada pengadilan yang oleh Mahkamah Agung yang dianggap berwenang, untuk diperiksa dan diputusi. 2) Kalau pembatalan didasarkan pada kesalahan dalam penerapan hukum, maka Mahkamah Agung akan memutusi sendiri perkara itu. Dengan sendirinya putusan yang akan diambil oleh Mahkamah Agung itu adalah final. Disini dikatakan bahwa hakim kasasi dalam memutusi perkara tersebut duduk di atas kursi judex facti karena ia memutusi apa yang biasanya menjadi wewenang judex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi). Menurut ketentuan hukum yang berlaku dan yurisprudensi konstan Mahkamah Agung Republik Indonesia, peradilan kasasi dalam putusannya terbatas memeriksa perkara terhadap aspek yuridis semata-mata yaitu apakah benar yudex facti telah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Konkritnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia memeriksa terhadap penerapan hukumnya dan tidak terhadap peristiwa dan pembuktian sehingga kedudukannya sebagai yudex yuris. Dengan demikian, aspek peristiwa dan penilaian mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan terhadap suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan/tidak tunduk dalam pemeriksaan kasasi
9
sebagaimana ditegaskan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2650 K/Sip/1982 tanggal 20 September 1983. Putusan peradilan tingkat kasasi ini pada asasnya dapat di klasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu : 1. Permohonan kasasi tidak dapat diterima Hakikat permohonan kasasi haruslah didasarkan kepada ontvankelijkeheid (dapat diterimanya) permohonan kasasi. Apabila suatu permohonan kasasi tidak memenuhi syarat formal (formalitas) untuk mengajukan kasasi seperti dilampauinya tenggang waktu melakukan kasasi, surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi syarat, tidak ada/terlambat mengajukan memori kasasi, dan lain sebagainya, sehingga hal demikian dapat diklasifikasikan bahwa permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima. Adapun mengenai bunyi amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam aspek ini hakikatnya dapat berbunyi, sebagai berikut: Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ................... tersebut tidak dapat diterima; Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara dalam Peradilan Kasasi ini sebesar Rp ................ (..............) 2. Permohonan kasasi ditolak Permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat disebabkan bahwa yudex facti tidak salah menerapakan hukum, bahwa pemohon kasasi dalam memori kasasi mempersoalkan tentang kejadian atau hal yang tidak merupakan wewenang hakim kasasi, misalnya tentang penilaian hasil pembuktian, penghargaan atas suatu fakta dan lainnya. Dapat pula permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia karena pemohon kasasi dalam mengajukan memori kasasi tidak relevan (irrelevant) dengan pokok perkara. Apabila permohonan kasasi ditolak, ammar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada pokoknya, dapat berbunyi sebagai berikut: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ... tersebut; Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam peradilan kasasi ini yang ditetapkan sebesar Rp ...... 3. Permohonan kasasi dikabulkan Permohonan kasasi dikabulkan berarti bahwa alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan pemohon kasasi dalam memori kasasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia karena yudex facti dianggap telah salah atau tidak benar dan tepat dalam penerapan hukum atau karena alasanalasan hukum lain (Pasal 30, 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009). Dalam hal permohonan kasasi dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau karena alasan hukum lain, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan membatalkan putusan yudex facti. Terhadap hal ini ada 2 (dua) kemungkinan sikap dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu: - Mahkamah Agung Republik Indonesia menyerahkan perkara tersebut ke pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutuskannya. Aspek ini didasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat 1 Undangundang Nomor 3 Tahun 2009 yaitu mengabulkan permohonan kasasi
10
berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf a Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 bahwa pembatalan itu didasarkan kepada tidak berwenang/ melampaui batas wewenangnya yudex facti yang dimohonkan kasasi, berkas perkara oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia akan dikirim kepada yudex facti yang dianggap berwenang untuk diperiksa dan diputus. Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu Apabila permohonan kasasi dikabulkan dan putusan yudex facti dibatalkan karena alasan Pasal 30 huruf b dan c Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 dan menurut ketentuan Pasal 51 ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus perkara yang dimohonkan kasasi itu. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah final, yang menurut istilah R. Subekti disini dikatakan bahwa Hakim Kasasi dalam memutus perkara tersebut duduk diatas kursi yudex facti karena ia memutusi apa yang biasanya wewenang yudex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi).
C. PENINJAUAN KEMBALI 1. Prosedur Administrasi Peninjauan Kembali Pada dasarnya prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum bisa ditemukan, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memounyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan alasannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (b) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini senada dengan pasal 69 Undang-undang No. 14 tahun 1985 yang mengatur tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kembali. Pasal tersebut menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan berdasarkan alasan harus diajukan dalam tenggang waktu 180 hari untuk : (a) Yang tersebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berpekara. (b) Yang disebut pada huruf b sejak diketemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal diketemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat berwenang. (c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan meperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. Kemudian, pernyataan peninjauan kembali dapat diminta apabila panjar perkara yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama Panitra Muda Perdata yang telah dibayar lunas. Dalam menaksir biaya peninjauan kembali ini, ditentukan
11
dengan besarnya biaya peninjauan kembali yang ditentukan oleh ketua Pengadilan pertama dan ongkos pengiriman uang ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya berupa: Biaya registrasi (pencatatan) Biaya pemberitahuan adanya peninjauan kembali Ongkos pengiriman (pengiriman uang dan pengiriman berkas) dan Biaya pengiriman jawaban peninjauan kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia Prosedural selanjutnya apabila biaya peninjauan kembali telah dibayar lunas, Panitra Muda Perdata wajib membuat Akta Peninjauan kembali dan mencatat permohonan tersebut ke dalam register induk perkara peninjauan kembali. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung yang bersangkutan pada tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitra Pengadilan menyampaikan salinan permohonan Peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitra Pengadilan wajib menyampaikan jawaban kepada Panitra Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 12 (duabelas) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (pasal 297 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004). Kemudian setelah itu berkas perkara peninjauan kembali berupa bundel A dan B harus dikirim ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada hakikatnya, bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara dan selalu disimpan pada Pengadilan negeri, bundel A ini isinya sama seperti bundel A perkara Kasasi. Sedangkan mengenai bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan pernyataan kasasi dan peninjauan kembali serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya peninjauan kembali dan Kasasi yang akhirnya menjadi berkas perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun mengenai bundel B untuk perkara peninjauan kembali terdiri atas: Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung kepada Pemohon dan Termohon atau relaas pemberitahuan isi Putusan Pengadilan negeri (bila permohonan peninjauan kembali itu diajukan atas Putusan Pengadilan negeri) Akta permohonan peninjauan kembali Surat permohonan peninjauan kembali, dilampiri dengan surat bukti Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali Surat Kuasa Khusus Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tanda bukti setoran biaya peninjauan kembali dari Bank dan
12
Surat-surat lainnya yang sekiranya ada. Dalam praktik, setelah para pihak selesai mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan di tuangkan dalam akta ekploit lalu berkas peninjauan kembali dikirim kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia 2. Alasan-alasan Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali Hakikat principal dari permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan secara tertulis atau apabila permohonan tidak dapat menulis diajukan dengan dengan lisan dan menyebut alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan dan dimasukan di Kepanitraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama ( Pasal 71 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009). Terhadap diajukan Peninjauan Kembali, secara limitative dalam perkara perdata pada umumnya Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pasal 266 KUHAP dengan menyebutkan alasan-alasan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan yang berkekuatan hokum tetap adalah: a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan. Pada asasnya, Aspek ini lazim disebut dengan istilah Novum, dan mengenai tenggang waktunya adalah 180 hari (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 296 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan hari dan tanggal ditemukan Novum dibuat dibawah sumpah serta disahkan pejabat berwenang (Pasal 69 huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009). b. Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata Pada dasarnya, pembentuk Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak menyebutkan bagaimana dimensi dari ketentuan Pasal 295 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang, dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Dikaji dari praktik peradilan, hakikat kekeliruan yang nyata diartikan secara letterlijke tentang kekeliruan yang nyata sebagaimana bunyi Undang-Undang dan kemudian di implementasikan sebagai kesalahan berat dalam penerapan hukum. Dalam pasal 67 Undang-undang No. 15 tahun 1985 dinyatakan, bahwa permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai beikut: (a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. (b) Apabila setelah pekara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksan tidak dapat diketemukan. (c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut. (d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
13
(e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan lain. (f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Pasal 71 berbunyi sebagai berikut: (a) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohonan secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama. (b) Apabila pemohon tidak pandai menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut. 3. Putusan Peradilan Peninjauan Kembali Pada dasarnya, putusan peradilan terhadap Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: a. Putusan yang menyatakan bahwa permohona peninjauan kembali tidak dapat diterima Suatu permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karenan pemohon terlambat mengajukan Peninjauan Kembali sebagaimana ditentukan Pasal 69 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, permohonan Peninjauan Kembali Tanpa adanya surat kuasa, atau surat kuasa tidak khusus dibuat untuk Peninjauan Kembali, atau dapat juga disebabkan Peninjauan Kembali diajukan untuk kedua kalinya, serta Peninjauan Kembali dimohonkan terhadap Putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hokum tetap ( inkracht van gewisjde ). Tegasnya, permohonan Peninjauan Kembali dilakukan tidak memenuhi syarat formal (formalitas) sebagaimana ditentukan oleh Undangundang. b. Putusan yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali ditolak Permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan ditolak apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pemohon tidak beralasan (Pasal 74 ayat 2 Undang-undang nomor 3 Tahun 2009). Alasan ini dapat disebabkan permohonan Peninjauan Kembali tidak didukung oleh fakta atau keadaan yang merupakan alasan dan menjadi dasar permohonan Peninjauan Kembali, atau dapat pula disebabkan alasanalasan permohonan Peninjauan Kembali tidak sesuai alasan-alasan yang ditetapkan secara limitative sebagaimana ketentuan Pasal 67 huruf a Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 atau juga dapat disebabkan putusan yudex facti yang dimohonkan Peninjauan Kembali tidak melanggar alas an-alasan permohonan Peninjauan Kembali. c. putusan yang meyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dikabulkan Suatu Permohonan Peninjauan Kembali akan dikabulkan apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia membenarkan alasan-alasan permohonan Peninjauan
14
Kembali karena sesuai dengan ketentuan Pasal 67 Undang-undang nomor 3 Tahun 2009. Dalam hal Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung akan membatalkan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri Perkaranya (Pasal 74 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. Pada hakikatnya dalam putusan perdata niaga pada umumnya pembatalan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali atau pengabulan permohonan Peninjauan Kembali dapat mengenai seluruh bagian putusan atau sebagian /seluruhnya dari gugatan. Sedangkan putusan di bidang pidana berdasarkan pasal 266 ayat 2 KUHAP dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, pidana ringan, menolak tuntutan jaksa jika alasan-alasan permohonan dibenarkan MA. Dan jika alasan permohonan tidak dibenarkan maka permintaan PK akan ditolak MA. KESIMPULAN Dari ketiga upaya hukum yang telah dipaparkan di atas dengan berbagai persamaan dan perbedaannya maka perlulah kita mengetahui tujuan dari upaya hukum itu sendiri adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan mengadakan peradilan di tingkat yang berbeda. Transparansi hukum juga akan terlihat, karena pada hakikatnya orang yang melakukan upaya hukum adalah orang yang mempertahankan haknya untuk mendapatkan rasa keadilan yang tentunya relatif dan subjektif.s DAFTAR PUSTAKA Drs. Sudarsono, S.H. Pengdilan Negeri, Poengadilan Tinggi, Mahkamah Agung Dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Rineka Cipta. 1994. Mr. R . Tresna. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita. 2005 Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982. Prof R. Subekti S.H., Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1977. Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika. 2008 Prof. Dr. Soepomo, S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: pradnya paramita. 1993 Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata S.H., Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung, 2002.
15