Pneumonia Komunitas, Penyakit Jantung Bawaan, Clinically Down Syndrome

Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 68

Laporan Pengalaman Belajar Lapangan

PNEUMONIA KOMUNITAS, PENYAKIT


JANTUNG BAWAAN ASIANOTIK,
CLINICALLY DOWN SYNDROME
Oleh :
Intan Syahirah binti Abdul Rauap (1802611009)
Jessica Intaniaputri SP (1802611010)

Pembimbing :
dr. I Gusti A Sugitha Adnyana Sp. A(K)
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
• Pneumonia merupakan salah satu masalah • Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan
kesehatan dan penyumbang terbesar penyebab bawaan yang sering ditemukan, yaitu 10% dari
kematian anak usia di bawah lima tahun (anak- seluruh kelainan bawaan dan sebagai penyebab
balita). utama kematian pada masa neonatus.

• 1,6 sampai 2,2 juta kematian anak-balita • Angka kejadian PJB terjadi sekitar 8 dari 1000
karena pneumonia setiap tahun, sebagian kelahiran hidup. Angka kematian PJB, 50%
besar terjadi di negara berkembang, 70% terjadi dalam 6 bulan pertama kehidupan, 80%
terdapat di Afrika dan Asia Tenggara pada usia 1 tahun kehidupan.

• Penting untuk memahami diagnosis dan • Keberhasilan deteksi dini merupakan awal
penatalaksanaan yang cepat dan tepat. keberhasilan tatalaksana lanjutan PJB kritis
pada neonatus.
TINJAUAN PUSTAKA

PNEUMONIA
DEFINISI EPIDEMIOLOGI
• Pneumonia merupakan salah satu • Di seluruh dunia terjadi 1,6 sampai 2,2 juta
penyakit infeksi saluran pernafasan bawah kematian anak-balita karena pneumonia setiap
akut (ISNBA) dengan batuk dan disertai tahun, sebagian besar terjadi di negara
dengan sesak nafas disebabkan oleh berkembang, 70% terdapat di Afrika dan Asia
mikroorganisme seperti virus, bakteri, Tenggara.
mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi • Di Indonesia, pneumonia juga merupakan
asing, berupa radang paru-paru yang urutan kedua penyebab kematian pada balita
disertai eksudasi dan konsolidasi. setelah diare. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) melaporkan bahwa kejadian
pneumonia sebulan terakhir (period prevalence)
mengalami peningkatan pada tahun 2007
sebesar 2,1 ‰ menjadi 2,7 ‰ pada tahun 2013
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir – 20 hari Bakteri Bakteri

ETIOLOGI E. colli
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes
Bakteri an aerob
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonia
Ureaplasma urealyctims

3 minggu -3 bulan Bakteri Bakteri


Chalmydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza tipe B
Virus Moraxella cathralis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyctims
Respiratory syncytial virus Virus
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus sitomegalo
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe B
Streptococcus pneumonia Moraxella cathralis
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitidis
Virus adeno virus
Virus influenza Virus varisela-Zoster
Respiratory syncytial virus
Virus rinovirus parainfluenza
5 tahun- remaja Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe B
Streptococcus pneumonia legionella
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
virus
Virus adeno
Virus influenza
Respiratory syncytial virus
Virus rinovirus parainfluenza
Virus Epstein-Barr
Virus Varisela Zoster
PATOGENESIS
• Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keaadan ini deisebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru
1. Inhalasi langsung dari udara Mula-mula terjadi edema akibat
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada reaksi jaringan yang
di nasofaring dan orofaring. mempermudah proliferasi dan
3. Perluasan langsung dari tempat- penyebaran kuman ke jaringan
tempat lain. sekitarnya. Bagian paru yang
4. Penyebaran secara hematogen terkena mengalami konsolidasi,
yaitu terjadi serbukan sel PMN,
fibrin, eritrosit, cairan edema dan
ditemukannya kuman di alveoli

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong


perjalanan penyakit, sehingga stadium khas yang telah
diuraikan sebelumnya tidak terjadi.
DIAGNOSIS
Gejala infeksi umum,
• demam,
• sakit kepala,
• gelisah,
• malaise,
• penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual,
muntah atau diare;
• Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis

Pemeriksaan umum
• nafas cuping hidung (NCH)
• retraksi dinding dada
• pekak perkusi
• suara nafas melemah
• ronkhi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Perifer Lengkap Rontgen Thorax
Pada pneumonia umumnya Ditemukan infiltrat ringan
ditemukan leukosit dalam pada satu paru hingga
batas normal atau sedikit konsolidasi luas pada kedua
meningkat. Akan tetapi, pada paru.
pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang
berkisar antara 15.000- Pemeriksaan
40.000/mm3 dengan mikrobiologis
predominan PMN C-Reactive Protein Pemeriksaan mikrobiologik
untuk diagnosis pneumonia
CRP kadang-kadang digunakan anak tidak rutin dilakukan
untuk evaluasi respon terapi kecuali pada pneumonia
antibiotik berat yang dirawat di Rs
Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan

DIAGNOSIS Bronkiolitis  Episode pertama wheezing pada anak berumur <2tahun


 Hiperinflasi dinding dada

BANDING  Ekspirasi memanjang


 Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau
tidak ada respon dengan bronkodilator
Asma  Riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan
dengan batuk dan pilek
 Hiperinflasi dinding dada
 Ekspirasi memanjang
 Berespon baik terhadap bronkodilator
Tuberculosis (TB)  Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
 Uji tuberculin positif (≧10 mm, pada keadaan
imunosupresi ≧5 mm)
 Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
drastis
 Demam (≧2 minggu) tanpa sebab yang jelas
 Batuk kronis (≧3 minggu)
 Pembengkakkan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
yang spesifik.
 Pembengkakkan tulang/sendi punggung, panggul, lutut,
tulang.
TATALAKSANA
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya
toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit
dasar.

Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus


dirawat inap

Pneumonia Rawat Jalan


• Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotika
lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau
kotrimoksazol.
• Dosis amoksisilin yang diberikan 25mg/kgBB,
sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-
20mg/kgBB sulfametoksazol
TATALAKSANA
Pneumonia Rawat Inap
• Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan
beta-laktam atau kloramfenikol.
• Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta laktam dan
kolramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin,
amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang
ditemukan
Pathogen Rekomendasi terapi Terapi alternatif
Streptococcus
pneumonia Seftriakson, sefoktaksim, Sefuroksimaxetil,

TATALAKSANA Streptococcus grup A


penisilin G atau penisilin V eritromisin, klindamisin, atau
vaksomisin.

Penisilin G Sefuroksimaxetil,
eritromisin, sefuroksim

Menurut Streptococcus grup B


Penisilin G
etiologinya Haemophilus influenza
tipe B Seftriekson, sefotaksim, Sefuroksimaxetil,,sefuroksim
ampisilin-sulbaktam, atau
ampisilin

Bakteri aerob gram Sefotaksim dengan ataupun Piperacilin-tazobactam


negatif tanpa aminoglikosida ditambah sediaan
aminoglikosid

p. aeroginosa Seftazidim dengan ataupun Piperacillin-tazobactam


tanpa aminoglikosida ditambah sediaan
aminoglikosida

Staphylococcus Nafsilin, sefazolin, Vankomisin (untuk MRSA)


aureus klindamisin (untuk MRSA)

Chelydophilis Eritromisin, azitromisin atau Doksisiklin (<9 tahun),


pneumonia klaritomisin florokuinolon (>18 tahun)

Chalmydia Eritromisin, azitromisin, atau


trachomatis klaritomisin

Herpes simplex virus asiklovir


PROGNOSIS
Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan
sembuh sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama
6-8 minggu sebelum kembali ke kondisi normal.

Pada beberapa anak, pneumonia dapat


berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau
dapat berulang --> Perlu investigasi lebih
lanjut
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT JANTUNG
BAWAAN
DEFINISI PJB
• Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir,
• terjadi ketika bayi masih dalam kandungan.
• Pada akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap, jadi kelainan pembentukan
jantung terjadi pada awal kehamilan.

• Penyebab PJB seringkali tidak bisa diterangkan,


• Faktor-faktor ini adalah: infeksi virus pada ibu hamil (misalnya campak Jerman atau rubella),
obat-obatan atau jamu-jamuan, alkohol, Faktor keturunan atau kelainan genetik
• Misalnya sindroma Down (Mongolism)
• Merokok berbahaya bagi kehamilan, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi dalam
kandungan sehingga berakibat bayi lahir prematur atau meninggal dalam kandungan
a. Sirkulasi fetus
• Sirkulasi maternal (ibu) melalui placenta membawa O2 & nutrisi ke fetus dan mengeluarkan CO2 dari
sirkulasi fetus.
• Foramen ovale adalah sebuah lubang yang terletak di septum (dinding) antara kedua ruangan atas
jantung (atria kanan dan kiri). Foramen mengizinkan darah mengalir melalui jalur samping (shunt) dari
atrium kanan ke atrium kiri.
• Jalur samping yang lain, ductus arteriosus, mengizinkan darah O2 mengalir dari arteri pulmonary
kedalam aorta dan melalui itu ke tubuh.

b. Sirkulasi sesudah kelahiran


• Placenta sudah dikeluarkan dan paru-paru harus mengambil alih fungsi oksigenisasi darah. Perubahan-
perubahan utama sirkulasi terjadi setelah kelahiran. Perubahan-perubahan ini termasuk :
• Sirkulasi maternal tidak dapat lagi membawa oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari sirkulasi
bayi.
• Foramen ovale menutup dan tidak bertindak lagi sebagai jalur samping antara kedua atria jantung.
• Ductus arteriosus menutup dan tidak lagi menyediakan komunikasi antara arteri pulmonary dan aorta.
ETIOLOGI
• faktor lingkungan :- bahan kimia, obat-obatan dan infeksi, abnormalitas
chromosome, penyakit-penyakit keturunan (genetic) dan faktor-faktor yang
tidak diketahui (Idiopathic).

• Ibu yang mengkonsumsi alkohol -fetusnya dapat menderita fetal alcohol


syndrome (FAS) termasuk PJB

• penyakit keturunan phenylketonuria (PKU) dan tidak berada pada special


dietnya selama kehamilan, bertendensi juga mempunyai bayi dengan PJB.

• Kelainan chromosome dapat menyebabkan penyakit jantung congenital


(chromosome mengandung materi genetic, DNA)
Klasifikasi
• PJB Fisik terbagi 2 - PJB sianosis & PJB asianosis
• PJB Anatomis terbagi 3:-
A. Stenosis
B. Defek
C. Malposisi
D. Tetra Fallot
A. Stenosis
• Adanya penyempitan (stenosis) / buntu yakni: katup
atau salah satu bagian pembuluh darah di luar
jantung.
• gangguan aliran darah dan membebani otot jantung.

1. Stenosis katup pulmonal


2. Stenosis katup aorta
3. Atresia katup pulmonal
4. Coarctatio aorta
B. DEFEK
1. Atrial Septal Defect (ASD)
2. Ventricular Septal Defect (VSD)

C. MALPOSISI
• Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi tertukar (pembuluh
darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh darah pulmonal/paru keluar dari
bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri besar (TGA = Transposition of the
Great Arteries).
• Akibatnya darah kotor yang kembali ke jantung dialirkan lagi ke seluruh tubuh, sehingga
terjadi sianosis/biru di bibir, mukosa mulut dan kuku.
• Bayi dapat bertahan hidup bila darah kotor yang mengalir ke seluruh tubuh mendapat
pencampuran darah bersih melalui PDA atau lubang di salah satu sekat jantung
(ASD/VSD)
• Seringkali TGA tak disertai lubang sekat dan pasien sangat biru (darah yang mengalir ke
seluruh tubuh sebagian besar adalah darah kotor). Dalam keadaan demikian, dapat dibuat
lubang di sekat serambi melalui metode non bedah yang disebut Balloon Atrial Septostomy
(BAS).
• pencampuran darah bersih perlu dipertahankan, yakni dengan memberikan Prostaglandin
E-1.
D. Tetralogi Fallot
Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan biru (sianotik)
yang terdiri dari empat kelainan, yaitu:
• Defek septum ventrikel (lubang diantara
ventrikel kiri dan kanan)
• Stenosis katup pulmoner (penyempitan pada
katup pulmonalis)
• Transposisi aorta
• Hipertrofi ventrikel kanan (penebalan otot
ventrikel kanan)
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

• Bayi baru lahir yang dipelajari adalah 3069 orang, 55,7% laki- laki dan 44,3% perempuan, 28 (9,1 per-
1000) bayi mempunyai PJB
• Patent Ductus Arteriosus (PDA) ditemukan pada 12 orang bayi (42,9%), 6 diantaranya bayi prematur.
Ventricular Septal Defect (VSD) ditemukan pada 8 bayi (28,6%), Atrial Septal Defect (ASD) pada 3 bayi
(19,7%), Complete Atriov Ventricular Septal Defect (CAVSD) pada 3,6 % bayi, dan kelainan katup
jantung pada bayi yang mempunyai penyakit jantung sianotik (10,7%), satu bayi Transposition of Great
Arteries (TGA), dua lain dengan kelainan jantung kompleks sindrom sianotik. Ditemukan satu bayi
dengan sindrom Down dengan ASD, dengan ibu pengidap diabetes
• ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin B secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko
bayi dengan PJB
• Merokok secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali.
PATOFISIOLOGI
• DSV ditentukan oleh ukuran defek dan resistensi pulmonar-vaskular.
• Makin berat pirau makin kecil resistensi pulmonal-vaskular, hal ini disebut dependent shunt
• Onset gagal jantung kongestif biasanya tertunda sampai umur 6-8 minggu
• Pada DSV yang bekerja berlebihan adalah ventrikel kiri karena peningkatan volume, hal ini
mengakibatkan terjadinya dilatasi ventrikel kiri.
• Fase sistolik saat ventrikel kanan juga berkontraksi maka darah dari ventrikel kiri melalui defek tanpa
berhenti di ventikel kanan langsung menuju ke arteri pulmonal, sehingga tidak terjadi dilatasi
ventrikel kanan
• Bising terdengar karena adanya regurgitasi pada defek pada fase sistolik, sedangkan intensitas P2
normal karena tekanan arteri pulmonal masih dalam batas normal
• EKG menunjukkan adanya kombinasi hipertrofi ventrikel, dan kadang-kadang hipertrofi atrium kanan.
• Dapat terjadi gagal jantung kongestif bila defek yang besar pada DSV tidak diterapi,
terjadi perubahan yang ireversibel pada arteriol paru.

• Yaitu terjadinya pulmonary vascular obstruktive disease (PVOD atau Eisenmenger’s


sindrome)

• Pirau dua arah akan mengakibatkan sianosis. Bising akan melemah bahkan hilang
karena pirau yang mengecil. S2 akan mengeras dan terdengar tunggal karena
adanya hipertensi pulmonal

• Pada defek infundibular a. koronaria kanan dari katup aorta dapat mengalami
herniasi ke dalam defek. Hal ini dapat mengakibatkan regurgitasi aorta dan obtruksi
dari saluran ventrikel kanan.
DIAGNOSIS
• Anamnesis
• Keluarga dengan penyakit herediter, saudaranya dengan PJB
• Kehamilan dan perinatal : infeksi virus, obat yang dikonsumsi si ibu terutama
saat kehamilan trimester I.
• Postnatal : kesulitan minum, sianosis sentral.
• Pemeriksan fisis
• Auskultasi : harus dilakukan pertama kali sebelum bayi menangis. Frekuensi
meningkat dan irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung II mengeras atau
tidak terdengar, terdengar bising jantung (kualitas, intensitas, timing, lokasi), gallop.
• Sianosis sentral, penurunan perfusi perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill, pulse dan
tekanan darah ke 4 ekstremitas berbeda bermakna, takipnea, takikardia, edema.
DIAGNOSIS
• Pemeriksaan penunjang
• Foto polos dada : adanya kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung,
vaskularisasi paru, edema paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar.
• Elektrokardiografi : adanya kelainan frekuensi, irama, aksis gelombang P dan
QRS, voltase di sandapan prekordial.
• Monitoring
• Perbedaan saturasi O2 arteri dengan pulse oksimetri pada preduktal (tangan
kanan) dan postduktal (kaki).
• pH arteri, dan analis gas darah terhadap hipoksemia dan asidosis metabolik
(pada neonatus dengan gagal jantung ada peningkatan CO2).
TATALAKSANA
• Pemberian oksigen
• Pemberian cairan dan nutrisi
• Pemberian prostaglandin E1
• Koreksi terhadap gagal jantung dan disritmia
• Koreksi terhadap kelainan metabolik
• Terapi genetik
TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM DOWN
DEFINISI
• Sindrom Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas
perkembangan kromosom.
• Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom, yaitu
tiga kromosom 21. Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan
genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan
intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh.
• Anak dengan sindroma Down akan mengalami keterbatasan kemampuan mental
dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau pertumbuhan
mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami perkembangan
tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah, penyakit jantung
bawaan, Alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah kesehatan lain.
EPIDEMIOLOGI
• Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling
banyak terjadi pada manusia.
• 1 per 800 sampai 1 per 1000 kelahiran.
• Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis dan di antara semua
golongan tingkat ekonomi.
• Kebanyakan anak dengan Sindrom Down dilahirkan oleh wanita yang
berusia di atas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras.
Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran,
terdapat pada penderita retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik
lebih banyak dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 30 tahun, prematur,
dan pada ibu yang usianya terlalu muda.27
ETIOLOGI
• Penyebab kelainan kromosom adalah translokasi (terjadinya
pemecahan kromosom yang kemudian hilang/melekat pada
kromosom lain).
• Pengaturan kembali yang dilakukan sel dapat menghasilkan
keseimbangan normal tetapi dapat juga menjadi tidak seimbang. Jika
terjadi keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan
kromosom menjadi normal. Pengaturan semacam ini biasanya tidak
akan menimbulkan sindrom klinis.
• Apabila terjadi ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau
kekurangan materi genetik dalam barisan sel-sel tersebut. Pengaturan
semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.
KLASIFIKASI
• Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Semua sel dalam tubuh akan
mempunyai tiga kromosom 21. 94% dari semua kasus sindrom Down
adalah dari tipe ini.
• Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang
tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak
menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan
4% dari total kasus.
• Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja
yang mempunyai kelebihan kromosom 21. 2% adalah penderita tipe
mosaik ini dan biasanya kondisi pada penderita lebih ringan.
PATOFISIOLOGI
• Pada sindrom Down trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada
waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan
zigot, walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama.
Oosit primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada meiosis I
stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat
mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Di antara waktu tersebut, oosit mungkin
mengalami disposisi non-disjunction. Pada kasus sindrom Down, dalam meiosis I
menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila
dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk
zigot trisomi 21. Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah:
• Infeksi virus atau radiasi yang semakin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
• Kandungan antibodi tiroid yang tinggi
• Mundurnya sel telur di tubafalopi setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para ibu yang
berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih besar untuk mendapat
anak sindrom Down Trisomi 21.
PATOFISIOLOGI
• Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah ada non-disjunction dalam
spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak ada waktu penundaan
spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom
penderita sindrom Down jenis ini mempunyai 47 kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21).
• Jika pada trisomi 21 terjadi non-disjunction yang mempengaruhi seluruh sel tubuh, pada kasus sindrom
Down mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah sel yang normal dan yang lainnya mempunyai
mengalami trisomi 21. Kejadian ini dapat terjadi dengan dua cara: non-disjunction pada perkembangan sel
awal pada embryo yang normal menyebabkan pemisahan sel dengan trisomi 21, atau embryo dengan
sindrom Down mengalami non-disjunction dan beberapa sel embryo kembali kepada pengaturan kromosom
normal.
• Penderita sindrom Down translokasi mempunyai 46 kromosom t(14q21q). Setelah kromosom orang tua
diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi ibu hanya mempunyai 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, satu
autosom 14, dan satu autosom translokasi 14q21q. Ibu merupakan karier, sehingga normal walaupun
kariotipenya 45,XX,t(14q21q). Perkawinan laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan karier sindrom Down
secara teoritis menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 sindrom Down. Pada
sindrom Down translokasi, susunan kromosom tidak sesuai dengan susunan kromosom normal. Jumlah
kromosom tetap 46, tetapi karena terdapat bagian tambahan dari kromosom ke-21, anak akan memiliki fitur
Down syndrome.28
PATOFISIOLOGI
• Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses
hidup yang signifikan secara klinis.
• Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan
fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali
pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis
molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21
bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada
penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1
yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi
pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan
defek jantung.
PATOFISIOLOGI
• Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme tiroid dan malabsorpsi
intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun yang
lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi autoimun, termasuk hipotiroidism dan
juga penyakit Hashimoto. Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita
hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap
pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh, anak–anak dengan sindrom
Down yang menderita leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya
buffer proses metabolik menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan
meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
diabetes mellitus pada penderita Sindrom Down.
• Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti
Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir
keseluruhan anak yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat
mutasi hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak-anak
dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi
ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui pasti.
MANIFESTASI KLINIS
• BBLR (20% kasus)
• “Cardinal sign” dan petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma
Down secara klinis:
sutura sagitalis yang terpisah, fisura palpebralis yang oblique, jarak yang lebar antara
jari kaki I dan II, “plantar crease” jari kaki I dan II, hiperfleksibilitas, peningkatan
jaringan sekitar leher, bentuk palatum yang abnormal, tulang hidung hipoplasia,
kelemahan otot, hipotonia, bercak Brushfield pada mata, mulut terbuka, lidah terjulur,
lekukan epikantus, “single palmar crease” dan “brachyclinodactily” pada tangan kiri
dan kanan, jarak pupil yang lebar, tangan yang pendek dan lebar, oksiput yang datar,
ukuran telinga yang abnormal, kaki yang pendek dan lebar, bentuk atau struktur telinga
abnormal, letak telinga yang abnormal (lebih rendah), sindaktili, serta kelainan tangan,
mata, kaki, dan mulut lainnya  Tidak ada kelainan fisik yang terdapat secara konsisten
dan patognomonik pada sindrom Down.
• Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada umumnya mirip dengan
ras Mongoloid.
MANIFESTASI KLINIS
• Cacat jantung bawaan: endocardial cushion defect (43%), VSD (32%), secundum ASD (10%), tetralogy Fallot,
ASD (6%), isolated PDA (4%), lesi pada PDA (16%) dan stenosis pulmonal (9%).
• Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran udara bagian atas ke
paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih sehingga sering mengakibatkan hipoksemia atu
hiperkarbia.
• Kelainan penglihatan, kelainan pendengaran, wheezing airway disorders, defek kongenital pada saluran cerna,
celiac disease, obesitas dan bertubuh pendek selama remaja, transient myeloproliferative disorder,
hipotiroidisme, atlanto-axial instability, anomali saluran kemih
• Masalah kulit seperti eksim atopik, seborrhoic eczema, alopecia areata, vitiligo siringoma, perforans elastosis
serpiginosa, onkomikosis, tinea korporis, anetoderma, folikulitis, kelitis, keratosis pilaris, psoriasis, kutis
marmorata/ivedo retikularis, xerosis, hiperkeratosis palmar atau hiperkeratosis plantar.
• Masalah tingkah laku, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan kesabaran sebagai karakteristik
toleransi. Beberapa pasien menunjukkan kecemasan dan keras kepala.
• Kelainan psikiatrik: autisme, ADHD, conduct disorder, obsessive-compulsive disorder, Tourette syndrome,
serta gangguan depresi yang dapat terjadi selama transisi dari remaja sampai dewasa.
• Gangguan kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil pada bayi, sedangkan kejang tonik klonik umumnya
diamati pada pasien yang lebih tua.
FAKTOR RISIKO
• Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat
dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang
hamil pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang hamil
pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan
sindrom Down.
• Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down
adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan
sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang
pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun kebanyakan
kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapanya normal.
• Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil: 20 tahun: 1 per 1,500; 25 tahun: 1 per
1,300; 30 tahun: 1 per 900; 35 tahun: 1 per 350; 40 tahun: 1 per 100; 45
tahun: 1 per 30
DIAGNOSIS
• Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down.
• Diagnosis sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan intelektual
yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak sekarang
adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu riwayat penyakit dan
wawancara psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal
perkembangan dan fungsi anak, sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium
dapat digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis.
• Pada anamnesis riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh,
dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat keluarga
retardasi mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian riwayat penyakit,
klinisi sebaiknya menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah,
dan fungsi intelektual pasien.
• Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik tertentu
yang sering ditemukan pada orang dengan sindroma Down dan kemungkinan memiliki
penyebab pranatal.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan skrining
• Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan.
Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepuluh bayi dengan sindrom Down dapat dikenal
pasti dengan tehnik.31
• Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan
adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya
kelainan pada bayi yang dikandung.
• Amniocentesis dilakukan antara usia kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di atas usia 35
tahun.
• Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan pada kehamilan minggu 9-14.
• Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) dilakukan pada kehamilan di atas 18 minggu. Tes ini dilakukan bila teknik lain tidak
berhasil memberikan hasil yang jelas.
• Pemeriksaan sitogenik. Studi sitogenetika dari orang tua dan kerabat lainnya diperlukan untuk konseling genetik yang tepat.
• Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH) dapat digunakan untuk diagnosis cepat.
• Echokardiografi harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk mengidentifikasi penyakit jantung bawaan,
terlepas dari temuan pada pemeriksaan fisik.
• Skeletal Radiografi
DIAGNOSIS BANDING
Adapun diagnosis banding dari sindroma Down adalah:
• Hipotiroidisme
Secara kasar dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak-anak dengan
hipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan sindroma
Down sangat aktif.
• Akondroplasia
• Rakitis
• Sindrom Turner
• Penyakit Trisomi
TATALAKSANA
• Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi
adanya defek pada jantung.
• Fisioterapi
• Terapi bicara
• Terapi okupasi
• Terapi remedial
• Terapi sensori integrasi
• Terapi tingkah laku
PROGNOSIS
• Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 50 tahun. Sebesar 44% penderita
sindroma Down hidup sampai 50 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Penyakit
Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.36
• Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan. Jika terdapat kelainan jantung dan
leukemia maka angka harapan hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak
ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa.
• Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar 85% bayi
dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun.
• Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena mempunyai
respons sistem imun yang lemah.
• Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak stabil dapat
mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran, visus,
retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan masalah dalam pembelajaran, upaya
berbahasa, dan kemampuan interpersonal.
KOMPLIKASI
• Komplikasi pada jantung dan sistem vaskular
• Leukemia
• Penyakit menular
• Demensia
• Apnea tidur
• Obesitas
• Lain-lain: kelainan gastrointestinal, tiroid, menopause awal, kehilangan
pendengaran, penuaan dini, masalah tulang dan masalah penglihatan.
• Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa
kehamilan 10-16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada
endometrium atau ibu mengalami keguguran sebelum usia kehamilan 6-8
minggu.
LAPORAN KASUS
Identitas Penderita
• Nama : MW
• Tanggal lahir : 5 Maret 2012
• Umur : 6 tahun 9 bulan 25 hari
• Jenis kelamin : Lelaki
• Alamat : J;. Tunjung Sari Perum Parsadasari
• Agama : Islam
• No. RM : 17002215
• Tanggal MRS : 12 Desember 2018
• Tanggal KRS : 18 Desember 2018
• Tanggal pemeriksaan : 20 Desember 2018
Heteroanamnesis (Ibu Kandung Pasien)
Keluhan utama: Sesak Napas

Riwayat penyakit sekarang


• Pasien datang ke triage anak RSUP Sanglah tanggal 12 Desember 2018 pukul 07.00 WITA
dengan keluhan mengalami sesak napas. Sesak napas dikeluhkan sejak 3 jam SMRS, sesak
disertai dengan lidah membiru dan tarikan dinding dada.
• Keluhan sesak dikatakan disertai demam dan batuk sejak kurang lebih 1 minggu SMRS.
Demam dikatakan naik turun dan membaik dengan obat penurun panas. Keluhan demam
kembali sejak 3 hari yang lalu pada tanggal 9 Desember 2018 dengan suhu tertinggi
terukur 390C. Namun dapat teratasi dengan obat penurun panas.
• Pasien dikeluhkan menderita batuk dan pilek sejak pasien demam. Batuk dikatakan sangat
keras, tidak disertai dahak, dan menyebabkan sesak. Pasien memiliki riwayat sesak dan
lidah membiru setiap kali batuk. Batuk juga menyebabkan nafsu makan pasien menurun
sehingga pasien hanya mau minum air saja, hal ini yang dikatakan membuat kondisi
pasien semakin menurun. Keluhan mual dan muntah tidak ada. BAB dan BAK dikatakan
masih dalam keadaan normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat terdiagnosis menderita penyakit jantung bawaan sejak usia 40 hari pada tahun 2012 di RS
Banyuwangi. Awalnya sebelum persalinan dikatakan bahwa denyut jantung janin abnormal. Lalu pasien mulai mengalami
batuk dan penurunan minum ASI sejak usia 20 hari. Saat usia 36 hari keluhan batuk memberat disertai tubuh kebiruan,
sehingga pasien dibawa berobat ke dokter spesialis anak. Dikatakan terdapat cairan pada paru yang berasal dari jantung
pasien. Pasien MRS selama 25 hari untuk menjalani pengobatan nebulisasi 3 kali sehari. Setelah itu pasien dikatakan sering
berobat dan minum obat jantung sampai usia pasien 3 tahun. Kemudian, keluarga pasien menghentikan pengobatan dan
tidak lagi kontrol ke dokter. Namun pasien beberapa kali MRS dengan keluhan sesak. Riwayat trauma dan penyakit lainnya
disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat keluhan maupun penyakit bawaan serupa pada keluarga pasien disangkal. Riwayat penyakit kronis pada keluarga
pasien juga disangkal. Ayah pasien merokok namun dikatakan tidak pernah merokok di depan anaknya.
Ayah pasien dikatakan pernah bekerja di pabrik pupuk sebelum ibu pasien mengandung pasien. Dikatakan kemungkinan ayah
pasien terpapar bahan-bahan kimia yang berpotensi menyebabkan kelainan pada bayi baru lahir. Ibu pasien dikatakan
berusia 38 tahun saat sedang mengandung pasien.

Riwayat Lingkungan dan Sosial


Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien tinggal serumah dengan orang tua dan 16 saudara angkatnya,
sedangkan kedua saudara kandungnya tidak tinggal dengan pasien. Lingkungan tempat tinggal pasien dikatakan agak kotor
dan padat. Tidak ada tetangga maupun teman-teman di sekitar pasien yang mengalami penyakit yang sama.
Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan terakhir di puskesmas pada tanggal 1 Desember 2018, 3 Desember 2018, dan 9 Desember 2018. Pasien
dikatakan sempat mendapatkan obat batuk, antibiotik, dan obat demam.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir spontan ditolong oleh bidan, dengan berat lahir 3200 gram, panjang badan 57 cm dan lingkar kepala dikatakan
tidak ingat. Saat lahir pasien dikatakan segera menangis.

Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengatakan pasien sudah dilakukan pemberian imunisasi lengkap di puskesmas, yaitu imunisasi BCG 1
kali, Polio 4 kali, Hepatitis B 4 kali, DPT 3 kali, Campak 1 kali, MR 1 kali dan JE 1 kali.

Riwayat Alergi
Pasien memiliki riwayat alergi terhadap berbagai macam makanan seperti ikan, ayam, telur. Pasien dikatakan hanya bisa
makan beberapa jenis makanan seperti daging sapi, ayam kampung, dan ikan salmon. Dikatakan gejala alergi berupa gatal-
gatal di seluruh tubuh akan muncul sekitar 3 hari setelah memakan makanan yang disebutkan alergi. Pasien belum pernah
dilakukan tes alergi sebelumnya. Riwayat operasi dan transfusi disangkal.
Riwayat Nutrisi
- ASI : ekslusif 40 bulan, durasi 8 bulan, frekuensi on demand
- Susu formula : diberikan sejak usia 40 hari, frekuensi on demand
- Bubur susu : diberikan sejak usia 6 bulan, frekuensi 2-3 kali sehari
- Bubur tim : diberikan sejak usia 12 bulan, frekuensi 2-3 kali sehari.
- Makanan dewasa: diberikan sejak usia 5 tahun dengan frekuensi 3 kali
sehari.

Riwayat Tumbuh Kembang


- Menegakkan kepala : 3 bulan
- Membalikkan badan : 5 bulan
- Duduk : 18 bulan
- Merangkak : 12 bulan
- Berdiri : 3 tahun 5 bulan
- Berjalan : 3 tahun 5 bulan
- Bicara : 3 tahun 5 bulan
Pemeriksaan Fisik Status Generalis
Status Present (tanggal 18 Desember) Kepala : normocephali
Keadaan umum: baik Mata : konjungtiva pucat (-),
Kesadaran : E4V5M6 (15/15) ikterus (-), reflek pupil +/+
TD : 90/60 mmHg isokor, edema -/-, mata
Nadi : 84 kali/menit, reguler, isi cowong (-), hiperemi (-)
cukup THT
Respirasi rate : 28 kali/menit, reguler Telinga : sekret -/-
Tempt axilla : 37,1 C Hidung : sekret -/-, napas cuping
Saturasi : 98% pada udara ruangan hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemi (-), T1/T1
hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-),
kaku kuduk (-)
Thoraks : simetris (+) Abdomen
Jantung Inspeksi : distensi (-)
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : iktus cordis tidak teraba Palpasi : hepar dan lien tidak teraba,
Auskultasi : S1S2 normal, regular, nyeri tekan (-), massa (-)
murmur (-) Perkusi : timpani, ascites (-)
Paru-paru Kulit : cutis marmorata (-),
Inspeksi : bentuk normal, simetris, sianosis (-), ikterus (-),
retraksi (-) turgor normal
Palpasi : gerakan dada simetris, Genitalia : Laki-laki, G1P1
vokal fremitus N/N Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Perkusi : sonor/sonor Ekstremitas : hangat (+), edema (-), CRT
Auskultasi : bronkial +/+, ronkhi +/+, <2 detik
wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Pemeriksaan Fisik Status Generalis
Status Present (tanggal 20 Desember) Kepala : normocephali
Keadaan umum: baik Mata : konjungtiva pucat (-),
Kesadaran : E4V5M6 (15/15) ikterus (-), reflek pupil +/+
TD : 100/65 mmHg isokor, edema -/-, mata
Nadi : 92 kali/menit, reguler, isi cowong (-), hiperemi (-)
cukup THT
Respirasi rate : 22 kali/menit, reguler Telinga : sekret -/-
Tempt axilla : 36,8 C Hidung : sekret -/-, napas cuping
Saturasi : 97% pada udara ruangan hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemi (-), T1/T1
hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-),
kaku kuduk (-)
Thoraks : simetris (+) Abdomen
Jantung Inspeksi : distensi (-)
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : iktus cordis tidak teraba Palpasi : hepar dan lien tidak teraba,
Auskultasi : S1S2 normal, regular, nyeri tekan (-), massa (-)
murmur (-) Perkusi : timpani, ascites (-)
Paru-paru Kulit : cutis marmorata (-),
Inspeksi : bentuk normal, simetris, sianosis (-), ikterus (-),
retraksi (-) turgor normal
Palpasi : gerakan dada simetris, Genitalia : Laki-laki, G1P1
vokal fremitus N/N Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Perkusi : sonor/sonor Ekstremitas : hangat (+), edema (-), CRT
Auskultasi : bronkial +/+, ronkhi +/+, <2 detik
wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Status Antropometri
Berat badan : 14 kg
Berat badan ideal : 15 kg
Tinggi badan : 98 cm
Lingkar kepala : 44 cm
Lingkar lengan atas : 12 cm
IMT : 14,58
BB/U : <P5
TB/U : <P5
BB/TB : P25-50
IMT/U : P10-25
Status Gizi (Waterlow): 93,3 % (gizi baik)
Pemeriksaan
penunjang

Darah lengkap
(12/12/2018)
Pemeriksaan penunjang

Foto thorax AP (12/12/2018)


Kesan: Observasi conus pulmonalis prominent dengan cephalisasi (+)
curiga suatu CHD (left to right shunt)

Elektrokardiografi (12/12/2018)
Kesan: right axis deviation, RVH, T inverted V1-V2

Echocardiography (12/12/2018)
Kesan: moderate AR, moderate PR, moderate TR
Diagnosis Pulang
Pneumonia komunitas (membaik), PJB asianotik ec moderate AR,
moderate PR, moderate TR, clinically Down syndrome, global
development delay, gizi kurang
Penatalaksanaan
12/12/2018
• MRS di cempaka 3 infeksi
• Terapi
• Kebutuhan cairan 1100 ml/hari ~ IVFD D5 ½ NS 600 ml/hari ~ 25 ml/jam
• Oksigen nasal kanul 2 lpm
• Ampisilin 50 mg/kgBB/kali ~ 600 mg tiap 6 jam IV
• Gentamisin 7,5 mg/kgBB/kali ~ 90 mg tiap 24 jam IV
• Ambroxol 0,5 mg/kg/kali ~ 6 mg tiap 8 jam PO
Diagnostik
• Echocardiography setelah terapi pneumonia
• Foto rontgen thorax AP
Monitoring
• Keluhan
• Tanda vital
18/12/2018
Pasien diperbolehkan pulang
Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
• Pada pneumonia, umumnya pasien dikeluhkan demam, sakit • Sesuai definisinya, pasien datang dengan keluhan utama
kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan sesak disertai batuk. Pasien juga mengalami demam, malaise,
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang- penurunan nafsu makan, retraksi dinding dada, dan sianosis
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmuner. Gejala pada lidah pasien.
gangguan respiratori adalah batuk, sesak napas, retraksi
dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih,
dan sianosis.
• Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda klinis seperti • Pada kasus ini ditemukan ronki pada pasien, namun tidak
pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki basah halus didapati adanya napas cuping hidung.
(fine crackles). Pada semua kelompok umur, akan dijumpai
adanya napas cuping hidung.
• Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma • Pada hasil pemeriksaan darah lengkap pasien ini didapatkan
umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau kadar leukosit, haemoglobin, dan laju endap darah dalam
sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri batas normal.
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (
>5.000/mm3) menunjukan prognosis yang buruk. Kadang-
kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED)
yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara
infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
PEMBAHASAN
• Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi • Pada kasus ini tidak ditemukan gambaran yang menunjukkan
infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada ke arah pneumonia pada hasil foto rontgen thorax AP.
kedua paru. Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu
mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan
peribronkial, infiltrat intersisial merata dan hiperinflasi
cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidari segmen atau lobar, bronkopneumonia dan
air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
• Ini sesuai dengan pemberian ampisilin 50 mg/kgBB/kali ~ 600
• Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan mg tiap 6 jam IV dan gentamisin 7,5 mg/kgBB/kali ~ 90 mg
kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. tiap 24 jam IV pada pasien. Kedua antibiotik tersebut
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik diberikan selama 7 hari.
golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia
yang tidak responsif terhadap beta laktam dan kolramfenikol
dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin,
atau sefalosporin. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10
hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi. Pada
pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan
antibiotik beta laktam, ampisilin, atau amoksisilin,
dikombinasikan dengan kloramfenikol.
• Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, • Pada pasien diberikan IVFD D5 1⁄2 NS 600 ml/hari ~ 25
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan ml/jam untuk mempertahankan kondisi normovolemik dan
asam-basa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam oksigen nasal kanul 2 lpm untuk mengatasi sesak napas.
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Sebagai terapi suportif terhadap batuk pilek yang diderita
pasien, diberikan ambroxol 0,5 mg/kg/kali ~ 6 mg tiap 8 jam
PO.
PEMBAHASAN
• Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa • Hal ini sesuai dengan kasus, di mana pasien selain memiliki PJB juga
sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. menderita sindrom Down. Ayah pasien sehari-harinya merokok dan
Penyebab PJB seringkali tidak bisa diterangkan, meskipun beberapa memiliki riwayat terpapar bahan kimia karena pekerjaannya, sehingga
faktor dianggap berpotensi sebagai penyebab. Penyebab-penyebabnya kemungkinan menjadi faktor risiko pasien memiliki PJB.
termasuk faktor lingkungan (seperti bahan-bahan kimia, obat-obatan
dan infeksi), penyakit-penyakit tertentu ibu, abnormalitas kromosom,
penyakit- penyakit keturunan (genetik) dan faktor-faktor yang tidak
diketahui (idiopatik). Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat
juga menjadi penyebab meskipun jarang, dan belum banyak diketahui.
Misalnya sindroma Down (Mongolism) yang acapkali disertai dengan
berbagai macam kelainan, di mana PJB merupakan salah satunya.
• Pada pemeriksaan fisik, saat auskultasi dapat ditemukan frekuensi
meningkat dan irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung II • Pada kasus ini tidak ditemukan adanya bising jantung pada auskultasi,
mengeras atau tidak terdengar, terdengar bising jantung (kualitas, sedangkan hasil pemeriksaan penunjang mendukung adanya PJB.
intensitas, timing, lokasi), gallop. Tidak semua bising jantung pada
neonatus adalah PJB dan tidak semua neonatus dengan PJB terdengar
bising jantung. Pada pemeriksaan penunjang bisa didapatkan adanya
kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung, vaskularisasi paru, edema
paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar pada foto polos dada,
sedangkan pada elektrokardiografi dapat ditemukan kelainan
frekuensi, irama, aksis gelombang P dan QRS, voltase di sandapan
prekordial.
PEMBAHASAN
• Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi • Hal ini sesuai dengan kasus, yaitu ditemukannya penyakit
keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang jantung bawaan berupa moderate AR, moderate PR, dan
diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. moderate TR pada pasien yang juga menderita sindrom
Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami Down.
perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang
relatif lemah, penyakit jantung bawaan, alzheimer, leukemia, • Ini sesuai dengan pasien yang juga masuk ke rumah sakit
dan berbagai masalah kesehatan lain. dengan pneumonia. Anggota keluarga dan orang-orang
terdekat pasien dikatakan tidak ada yang menderita keluhan
• Efek sindrom Down pada fisik dan sistem tubuh salah satunya yang sama dengan pasien, hal ini bisa jadi karena walaupun
adalah imunodefisiensi. Penderita sindrom Down mempunyai mereka terpapar dengan bakteri yang sama dengan pasien
risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang normal untuk atau berisiko tertular karena berada di sekitar pasien, sistem
mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem pertahanan tubuh mereka lebih bagus sehingga tidak muncul
imun yang rendah. Contohnya mereka sangat rentan gejala yang sama seperti pada pasien.
mendapat pneumonia.30
• Ini sesuai dengan kasus, di mana ibu pasien berusia 38 tahun
• Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom saat mengandung pasien. Seperti pada kebanyakan kasus, ibu
Down berdasarkan umur ibu yang hamil: 20 tahun: 1 per dan ayah pasien juga normal dan tidak memiliki kondisi yang
1,500; 25 tahun: 1 per 1,300; 30 tahun: 1 per 900; 35 tahun: serupa.
1 per 350; 40 tahun: 1 per 100; 45 tahun: 1 per 30. Namun
tidak ada saudara maupun anggota keluarga pasien yang
memiliki kondisi yang sama dengan pasien.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai