Demokrasi di Jerman
Demokrasi di Jerman adalah sebuah proses politik, khususnya dalam proses perkembangan prinsip dan nilai-nilai demokrasi di Jerman yang dimulai dari Jerman Barat. Proses demokratisasi terjadi setelah masa Kekaisaran Jerman, hingga keruntuhan otoritarianisme pada masa kekuasaan Reich Ketiga atau Rezim Jerman Nazi pasca-Perang Dunia II yang mendorong terpecahnya Jerman menjadi dua negara, Jerman Barat dan Jerman Timur. Proses demokratisasi di Jerman Barat menjadi salah satu langkah penting bagi pertumbuhan dan pembentukan kembali identitas politik Negara Jerman sebagai sebuah negara yang demokratis saat ini, sekaligus tantangan dalam menghadapi pengaruh komunisme yang menguasai Jerman Timur selama Perang Dingin.[1]
Oposisi Demokrasi
[sunting | sunting sumber]Jerman seperti halnya Italia (lihat Demokrasi di Italia) pada awalnya bukanlah negara yang bersatu seperti sekarang, banyak kerajaan-kerajaan Bangsa Jermanik yang memiliki kedaulatan sendiri-sendiri. Jerman baru menjadi bangsa yang bersatu pada akhir Abad 19, tepatnya pada 1871, hal ini didorong dengan munculnya semangat nasionalisme Jerman yang sangat kuat yang teraktualisasikan dalam bentuk Kekaisaran Jerman, namun sering kali nasionalisme Jerman saat itu diwujudkan dalam bentuk agresi internasional dengan tujuan menyatukan seluruh Bangsa Jermanik di bawah satu bendera.[2]
Nasionalisme Jerman
[sunting | sunting sumber]Nasionalisme Jerman sendiri lahir dari Nasionalisme Romantik, sebuah ide nasionalisme yang mendasari gerakannya pada pemikiran kontra-Renaissance atau kontra-Pencerahan. Nasionalisme hasil Pencerahan yang lebih menekankan pada aspek universalisme, egalitarianisme, sains, revolusi, dan liberalisme, telah berhasil mendorong terjadinya Revolusi Prancis dan menggeser nilai-nilai tradisionalisme sehingga menjadikan Nasionalisme Perncerahan sebagai lawan dari tradisionalisme, regionalisme, dan nilai-nilai konservatif lainnya yang telah lama berkuasa di Eropa.[3]
Nasionalisme Romantik percaya bahwa setiap bangsa memiliki keunikan sendiri, jadi setiap bangsa harus menegaskan keunikan itu dalam bentuk identitas, seperti: bahasa, sejarah, dan budaya. Oleh karena itu Nasionalisme Romantik lebih mengutamakan pembentukan identitas nasional berdasarkan nilai-nilai tradisi yang menjadi asal-usul suatu bangsa dengan bangsa lainnya berbeda. Pemikiran nasionalisme ini kemudian menjadi lawan dari Nasionalisme Pencerahan yang menganggap semua bangsa adalah sama. Nasionalisme Romantik kemudian mendapatkan tempat di negara-negara yang nilai tradisionalismenya masih kuat, salah satunya di Jerman yang saat itu masih berupa kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri-sendiri.[4]
Nilai-nilai Nasionalisme Romantik itu kemudian terserap oleh masyarakat Jerman kala itu, dan salah satu tokohnya adalah Johann Gottfried von Herder (1744-1803). Von Herder percaya bahwa Tuhan telah menciptkan semua bangsa-bangsa dari asal-usul yang berbeda, sehingga setiap bangsa memiliki keunikan bahasa, budaya, dan tradisi yang berbeda-beda dan setiap bangsa itu memiliki kontribusinya masing-masing dalam pembentukan peradaban dengan keunikannya masing-masing. Bagi Von Herder, penerimaan terhadap kebudaayan bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya adalah sesuatu yang salah dan membuatnya gusar, terutama saat kelas elit di Jerman yang saat itu menerima Bahasa Prancis melalui sebuah usaha yang disebut sofistifikasi, sehingga menurut Von Herder hal ini telah merusak kebudayaan asli Jerman.[5]
Nasionalisme Jerman semakin menjadi ketika Pasukan Revolusi Prancis atau Republik Ketiga Prancis menduduki Jerman atas nama “Pembebasan Jerman”. Banyak orang Jerman kemudian bereaksi melawan Prancis, yang kemudian melahirkan suatu konsepsi nasionalisme, yakni Nasionalisme Jerman. Salah satu tokoh nasionalis Jerman adalah Johann Fitche (1763-1814). Fitce mengkonversi pemikiran Von Herder menjadi lebih politis dalam salah satu bukunya yang berjudul Address to The German Nation of 1807-08, di dalam bukunya itu, Fiche menyerukan agar seluruh Bangsa Jerman bersatu untuk melawan pendudukan Prancis dan Bangsa Jerman tidak boleh hanya membersihkan dirinya sendiri dari pengaruh politik asing, tetapi juga pengaruh budaya dan intelektual asing. Ide-ide Fitche dan Von Herder itulah yang kemudian melandasi konsep Nasionalisme Jerman dan Pan-Jermanisme.[6]
Era Kaisar
[sunting | sunting sumber]Nasionalisme Jerman yang diejawantahkan oleh Kaisar Wilhelm II dalam semangat Pan-Jermanisme melalui penyatuan berbagai Bangsa Jermanik dalam sebuah Kekaisaran Jerman telah mendorong pecahnya Perang Dunia I.[7] Kekaisaran Jerman kemudian menggabungkan diri dalam Blok Sentral bersama kekuatan-kekuatan monarkis lainnya, sisa-sisa dari Perang Salib, seperti Austria-Hungaria dan Turki Usmaniyah untuk mengadapi Blok Sekutu atau Tiga Entente, yang terdiri dari Britania Raya, Prancis, dan Kekaisaran Rusia.[8]
Demokrasi Republik Weimar
[sunting | sunting sumber]Semangat Pan-Jermanisme yang digagas Kaisar Wilhelm II harus pupus karena Kekaisaran Jerman kalah dalam Perang Dunia I. Kekaisaran Jerman akhirnya dibubarkan sebagai bentuk konsekuensi atas tuntutan negara-negara Sekutu sebagai pemenang perang. Sebagai gantinya terjadi perubahan sistem politik kenegaraan di Jerman, dari sistem monarki menjadi sebuah negara republik, yaitu Republik Weimar.[9]
Berdirinya Republik Weimar sekaligus menegaskan konstitusi demokratis pertama bagi Jerman yang mulai berlaku pada 1919. Dalam konstitusi demokratis Republik Weimar itu, masyarakat Jerman mulai dikenalkan dengan proses-proses politik yang berdasarkan nilai-nilai demokrasi, seperti memberikan hak pilih universal dengan mengikut sertakan perempuan dalam badan pemilihan umum untuk pertama kalinya dan sistem pemilihan yang proporsional dalam perwakilan, sejak saat itu mendadak seluruh warga Jerman ikut serta dalam proses politik.[2][9]
Selain meningkatnya partisipasi politik masyarakat Jerman pada masa Republik Weimar, juga mendorong perkembangan kesadaran organisasi masyarakat, sehingga masyarakat Jerman banyak pula melahirkan partai-partai politik dari berbagai spektrum ideologi, dari sayap kanan hingga sayap kiri, dari nasionalis hingga separatis, semuanya ada saat itu. Sistem multi partai di Republik Weimar saat itu jelas memiliki konsekuensi ideologis, banyaknya partai dari ideologi yang bertentangan sering kali membuat pemerintah kehilangan legitimasinya sendiri, selain karena tak mampu mengendalikan stabilitas politik, kondisi Jerman setelah Perjanjian Versailles membuat ekonomi nasional semakin terpuruk.[2]
Puncak dari keputusasaan masyarakat Jerman (atau Republik Weimar) adalah sat terjadi Malaise pada 1929 atau yang disebut sebagai Depresi Besar. Depresi Besar telah mendorong krisis ekonomi parah di seluruh dunia, dan bagi Jerman kondisinya menjadi berkali-kali lipat lebih buruk. Krisis ekonomi dan kewajiban mengganti kerugian selama Perang Dunia I telah membuat pemerintah Republik Weimar kualahan, inflasi melambung tinggi bersamaan dengan angka kemiskinan dan pengangguran, sementara partai-partai politik terus tumbuh dan memiliki angkatan bersenjata mereka sendiri yang direkrut dari para veteran Perang Dunia I yang tidak punya kerjaan setelah Perjanjian Versailles memangkas jumlah personel Angkatan Bersenjata Jerman.[2]
Totalitarianisme Nazi
[sunting | sunting sumber]Ditengah keputusasaan rakyat Jerman dan tingkat ketidakpercayaan yang semakin tinggi terhadap pemerintah, partai-partai politik saling berebut untuk berkuasa di Reichstag (Parlemen Jerman), salah satu partai politik yang mampu merebut simpati masyarakat Jerman saat itu adalah Nationalsozialistische Deutsche Arbeiter Partei (NSDAP) atau biasanya disebut Partai Nazi saja. Sejak Partai Nazi berdiri pada 1919 dan partai masih dipimpin oleh Anton Drexler, mereka hanya memiliki 12 kursi di Reichstag pada 1928. Elektabilitas Partai Nazi baru meningkat ketika estafet kepemimpinan diambil alih oleh Adolf Hitler. Jumlah kursi Reichstag yang berhasil diperoleh Partai Nazi dibawah pimpinan Hitler pada 1930 adalah 107 kursi, kemudian jumlah ini berlipat menjadi 230 pada Juli 1932.[2]
Kekuatan Partai Nazi yang semakin besar di Reichstag semakin menekan kekuatan partai-partai demokrat di Reichstag, mendirikan sebuah pemerintahan demokratis yang stabil semakin tidak memungkinkan bahkan dengan koalisi partai sekalipun, karena kekuatan Partai Nazi semakin tidak bisa dikalahkan di Reichstag saat itu. Selain itu, Presiden Paul von Hindenburg akhirnya menunjuk Adolf Hitler sebagai Kanselir Jerman pada Januari 1933. Dengan berkuasanya Partai Nazi di Reichstag dan naiknya Adolf Hitler sebagai kanselir, demokrasi di Jerman masih seumur jagung itupun semakin terancam.[2]
Semakin hari, Partai Nazi semakin kuat, melalui sayap paramiliter mereka, Sturmabteilung (SA) yang dipimpin oleh Ernst Rohm, Partai Nazi meneror lawan-lawan politik mereka, Adolf Hitler semakin bergerak mendekati kekuasaan tertinggi di Jerman yang akhirnya diraihnya setelah Presiden Hindenburg mangkat. Pada saat itulah Republik Weimar sebagai bentuk negara demokratis pertama di Jerman akhirnya hancur dan digantikan dengan kekuasaan totalitarian Nazisme.[2][10]
Dalam buku Introduction to Political Sciences, kemenangan Nazi bukan karena praktik teror mereka terhadap lembaga pemerintah Weimar yang demokratis, ironisnya justru karena memang demokrasi di Jerman saat itu menunjang keberhasilan Partai Nazi, karena sebagian besar rakyat Jerman, dari kelas atas, seperti elit politik, tuan tanah, aristokrat, militer, dan birokrat, kelas menengah, seperti intelektual dan pegawai kantoran, dan juga kelas bawah, seperti buruh dan petani, semuanya yang putus asa, marah, frustrasi, dan depresi dengan keadaan sosial, politik, dan ekonomi – terutama saat Depresi Besar 1929 – hal ini mendorong kebencian mereka terhadap demokrasi dan sekaligus membangkitkan memori tentang kejayaan Jerman pada masa lalu, terutama pada masa Kekaisaran Romawi Suci dan Kekaisaran Jerman, sehingga membangkitkan kembali Nasionalisme Jerman dan ide tentang Pan-Jermanisme dalam wujud baru, yaitu Nazisme.[11][12]
Ketika depresi sosial, politik, dan ekonomi di seluruh dunia meningkat, terutama di Eropa dan Asia, fasisme muncul sebagai sebuah alternatif yang membawa masyarakat negara pasca-industri keluar dari krisis akibat kegagalan kapitalisme Amerika Serikat yang menyebabkan Depresi Besar 1929, sekaligus menjawab tantangan untuk membentengi negara dari bahaya komunisme Uni Soviet. Kekecewaan terhadap kapitalisme dan ketakutan terhadap komunisme membuat fasisme semakin mudah merebut kekuasaan di negara-negara pasca-industri, seperti Jerman, Italia, dan Jepang, ditambah dengan negara lainnya seperti Spanyol dan Portugal juga menjadi tempat di mana fasisme berkuasa.[11]
Pakta Tripartit yang ditandatangai oleh Jerman, Italia, dan Jepang membawa dunia kepada kebangkitan satu kekuatan baru di antara kapitalisme dan komunisme. Ketegangan memuncak di antara tiga ideologi ini, yang akhirnya terjadilah Perang Dunia II, antara Blok Poros melawan Blok Sekutu.[13]
Perang Dunia II yang menewaskan puluhan juta orang ini akhirnya dimenangkan oleh Blok Sekutu, yaitu Amerika Serikat, Britania Raya, Prancis, dan Uni Soviet. Sementara Blok Poros yang kalah, harus menanggung konsekuensi, Kekaisaran Jepang harus kehilangan wilayah dan Kaisar Hirohito kehilangan “kultus” pribadinya,[14] Kerajaan Italia dan Republik Sosial Italia harus dibubarkan, Raja Victor Emmanuel dimakzulkan, dan Benito Mussolini digantung terbalik,[15][16][17] sementara nasib paling sial dialami Jerman Nazi, selain Adolf Hitler yang diduga bunuh diri, dan Partai Nazi dibubarkan, Jerman dan seluruh rakyatnya harus menerima nasib tragis.[18][19]
Menuju Kemapanan Demokrasi
[sunting | sunting sumber]Dua Jerman: Demokrasi dan Kediktatoran Soviet
[sunting | sunting sumber]Pasca Perang Dunia II, banyak anggota ataupun keluarga anggota Partai Nazi dan tentara Jerman yang bertugas saat Perang Dunia II diadili sebagai Penjahat Perang, mereka diburu hingga ke Spanyol dan Argentina.[20] Selain itu, para perempuan Jerman banyak mengalami pemerkosaan oleh Tentara Merah Uni Soviet selama Pertempuran Berlin tetapi tak satupun dari personel Tentara Merah yang dibawa ke Pengadilan HAM Internasional (lihat film A Woman in Berlin),[21] dan yang paling buruk dalam sejarah Jerman adalah terbentuknya dua “Negara-Bangsa” Jerman, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur.[22][23]
Kebangkitan demokrasi di Jerman tidak memungkinkan dimulai oleh Jerman Timur, karena pada 7 Oktober 1949, Uni Soviet yang berkuasa di Jerman Timur secara resmi mendirikan sebuah negara komunis di wilayah itu yaitu Republik Demokratik Jerman (nama resmi dari Jerman Timur). Dalam menjalankan pemerintahannya, Jerman Timur banyak dipengaruhi oleh kelola pemerintahan di Uni Soviet, yaitu kediktatoran proletariat. Salah satunya yang diadopsi oleh Jerman Timur adalah dibentuknya unit polisi rahasiaStaatssicherheit (mirip dengan NKVD di Uni Soviet). Staatssicherheit sebenarnya bukan anggota polisi berseragam dan bersenjata, mereka lebih mirip intelejen. Anggota Staatssicherheit direkrut dari warga negara biasa yang bertugas untuk pemerintah, hal ini menyebabkan kebebasan politik di Jerman Timur menjadi tertekan dan mempersulit tumbuhnya nilai-nilai demokrasi.[24]
Selain tidak adanya kebebasan politik karena adanya polisi rahasia Staatsicherheit, warga Jerman Timur juga ditekan dalam kehidupan ekonominya. Bahkan, warga Jerman Timur dilarang menggunakan calana jeans, karena pemerintah yang dikendalikan oleh rezim komunis menganggap celana jeans adalah simbol dari "kebudayaan kapitalisme Barat", meskipun banyak warga Jerman Timur yang ingin memiliki celana jeans, namun mereka takut. Selain itu, warga Jerman Timur juga membutuhkan waktu lama hanya untuk membeli sebuah mobil, bahkan untuk mobil yang paling murah saat itu. Keterbelakangan ekonomi ini artinya warga Jerman Timur memiliki daya beli yang rendah dan bukan karena warga tidak punya keinginan untuk maju, tetapi karena pemerintah membatasi kepemilikan pribadi warga negara.[24]
Jerman Timur yang menjadi daerah pendudukan Uni Soviet memang harus diakui lebih terbelakang daripada Jerman Barat yang menjadi pendudukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis. Sikap Uni Soviet yang sangat membenci Jerman (terutama saat dibangun Tembok Berlin) mengindikasikan bahwa pada awalnya Uni Soviet tidak berniat untuk hengkang dari daerah pendudukan mereka di Jerman Timur, hal ini menjadikan harapan untuk bangkit bagi Bangsa Jerman adalah dari Jerman Barat.[25]
Dipelopori Jerman Barat
[sunting | sunting sumber]Keterbelakangan Jerman Timur terjadi dibanyak sektor, Uni Soviet jelas menjalankan praktek balas dendamnya dengan membuat warga Jerman Timur menderita, hal berbeda dialami Jerman Barat yang perlahan dibangkitkan secara ekonomi dan politik, salah satunya dengan proses-proses menuju demokratisasi, oleh karena itu harapan bagi Bangsa Jerman bertopang pada Jerman Barat. Langkah pertama Jerman Barat untuk merekonstruksi demokrasi di Jerman adalah melalui Hukum Dasar Bonn.[25]
Hukum Dasar Bonn diawali dengan bersedianya Amerika Serikat, Prancis, Britania Raya untuk menyerahkan kembali kekuasaannya atas daerah pendudukan di Jerman Barat kepada penduduk asli atau pribumi Jerman pada 1949. Kemudian setelah itu, karena Berlin tidak kondusif lagi untuk dijadikan ibu kota, selain karena sudah terpecah menjadi Berlin Barat dan Berlin Timur, Berlin sendiri secara de jure masuk ke dalam wilayah pendudukan Uni Soviet di Jerman Timur, maka Kota Bonn yang terletak di tepi Sungai Rhein ditunjuk menjadi ibu kota dari Jerman Barat sekaligus memulai untuk dilaksanakannya pasal-pasal dalam Hukum Dasar Bonn.[25]
Sebenarnya pada saat Hukum Dasar Bonn diterapkan dan Kota Bonn menjadi ibu kota dari Jerman Barat, muncul kesadaran dari para elit politik Jerman Barat. Kesadaran itu muncul karena jika Hukum Dasar Bonn disahkan menjadi konstitusi, maka sama saja dengan mengakui pembagian Jerman untuk selama-lamanya. Oleh karena itu para elit Jerman Barat memanfaatkan instrument politik yang dibangun oleh sistem demokrasi yang ada untuk memperjuangakan “Persatuan Jerman” melalui demokrasi pula.[25]
Sejak 1949, kebangkitan dan perkembangan Jerman Barat menjadi tolok ukur perkembangan demokrasi di Jerman. Selain dari Hukum Dasar Bonn, demokratisasi di Jerman Barat juga terindikasikan dari prestasi pemerintahan Sosial-Demokrat dibawah Kanselir Willy Brandt (1969 – 1974), prestasi itu adalah “pengakuan” Jerman Barat atas kedaulatan Jerman Timur, meskipun terlihat kontra-produktif dengan tujuan menyatukan kembali Jerman, “pengakuan” dari Jerman Barat terhadap Jerman Timur itu menjadi langkah awal untuk menormalisasi hubungan kedua Jerman, bahkan juga normalisasi hubungan dengan Uni Soviet.[25]
Pasukan Sekutu Barat yang menduduki Jerman Barat setelah memenangkan Perang Dunia II mengawali usaha-usaha terciptanya lembaga demokratis yang baru sama sekali, jadi meskipun Jerman punya pengalaman demokrasi pada masa Republik Weimar, tetapi pasukan pendudukan Sekutu tidak ingin mengulangi kesalahan demokrasi Weimar, akhirnya sebagian besar proses demokratisasi di Jerman Barat meniru sistem demokrasi di Amerika Serikat. Salah satu lembaga demokratis yang dibangun oleh Jerman Barat adalah Mahkamah Konstitusi Jerman. Seperti halnya fungsi dan tugas Mahkamah Konstitusi pada umunya di seluruh dunia, Mahkamah Konstitusi di Jerman Barat berfungsi sebagai pelindung hak-hak konstitusi warga negara. Dengan kekuasaan untuk meninjau hasil keputusan dan menggagalkan setiap undang-undang atau peraturan yang menunjang otoritarianisme yang dihasilkan parlemen ataupun pemerintah, Mahkamah Konstitusi Jerman Barat telah memulai satu langkah lanjutan bagi Jerman di kemudian hari sebagai negara yang demokratis sampai saat ini.[25]
Selain berdirinya Mahkamah Konstitusi, para elit politik di Jerman Barat terus mencontoh Amerika Serikat sebagai negara demokratis yang mapan di dunia, salah satunya adalah memapankan sistem negara federalisme sebagai komitmen Jerman Barat terhadap otonomi daerah dan desentralisasi. Untuk membentuk suatu negara federasi yang kuat, Jerman Barat terdiri dari sepuluh negara bagian (yang disebut sebagai Lander), sementara Bonn menjadi tempat dari pemerintahan pusat yang sekaligus menjadi “pemerintahan federal khusus” (kurang lebih mirip dengan otonomi yang dimiliki Daerah Khusus Ibukota Jakarta di Indonesia).[25]
Namun, yang berbeda antara Jerman Barat dengan Amerika Serikat adalah bentuk pemerintahannya, yaitu kedudukan kanselir Jerman Barat lebih mirip Perdana Menteri Inggris daripada Presiden Amerika Serikat. Majelis Tinggi di Parlemen Jerman Barat atau Bundesrat memiliki hak veto mutlak atas pembuatan undang-undang dan kewenangan tertinggi untuk menunjuk seorang kanselir. Memposisikan parlemen sebagai lembaga tertinggi juga sekaligus mencegah terulangnya kedudukan presiden menjadi otoritas tertinggi seperti era Paul von Hindenburg. Presiden Republik Federal Jerman Barat lebih sebagai kepala negara saja, dipilih melalui Majelis Rendah atau Bundestag. Karena tidak memiliki mandat dari rakyat dan kewenangan konstitusinya sempit, maka posisi Presiden Republik Federal Jerman tidak strategis.[25]
Posisi presiden yang tidak memiliki kewenangan strategis seperti di era Republik Weimar, maka kepala pemerintahan di Jerman Barat di pimpin oleh Kanselir. Kanselir menjadi pusat dan titik berat dari sistem politik di Jerman Barat. Kanselir memiliki kabinet yang bertugas selayaknya kabinet Presiden Amerika Serikat. Para menteri dan departemen bertanggungjawab kepada kanselir, bukan secara kolektif kepada parlemen (tidak seperti di Britania Raya). Kanselir Jerman Barat adalah pemimpin partai mayoritas di Parlemen Jerman Barat, atau juga pemimpin koalisi partai di Majelis Rendah.[25]
Hukum Dasar Bonn juga membatasi agar kabinet kanselir Jerman Barat tidak bisa dengan mudah digoyahkan, salah satunya adalah, bila Bundestag ingin menjatuhkan pemerintah, maka Bundestag harus memiliki suara mayoritas absolute dan bila ingin menaikkan kanselir baru, Bundestag juga memerlukan suara mayoritas absolut. Peraturan ini membuat kedudukan eksekutif di Jerman Barat menjadi sangat kuat dan tetap ada jaminan nilai-nilai demokrasi yang didasari dalam Hukum Dasar Bonn.[25]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan dari judul asli Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 417
- ^ a b c d e f g Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan dari judul asli Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 418
- ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 123
- ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 123 - 124
- ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 125
- ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 123 dan 137
- ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 137
- ^ "World War I | Facts & History". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ a b "Weimar Republic | German history [1919-1933]". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli, Political Ideology Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 314 - 315
- ^ a b Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan dari judul asli Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 419
- ^ William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme, diterjemahkan dari judul asli Today Isms: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism, (Yogyakarta: Narasi, 2014) hal. 103 dan 16
- ^ "World War II History - World War II - HISTORY.com". HISTORY.com. Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ "Hirohito - World War II - HISTORY.com". HISTORY.com. Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ "Mussolini's Final Hours, 70 Years Ago". HISTORY.com. Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ Syamdani, Kisah para Diktator-Diktator Psikopat: Kontroversi Kehidupan Pribadi dan Kebengisan Pada Diktator, (Yogyakarta: Narasi, 2009) hal. 81 - 83
- ^ Jules Archer, Kisah para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis, dan Tiran, diterjemahkan dari judul asli, The Dictators Fascist, Communist, Despots, and Tyrants: The Biographies of The Great Dictator of The Modern World, (Yogyakarta: Narasi, Cetakan ke 16, 2014) hal. 83
- ^ Syamdani, Kisah para Diktator-Diktator Psikopat: Kontroversi Kehidupan Pribadi dan Kebengisan Pada Diktator, (Yogyakarta: Narasi, 2009) hal. 32 - 37
- ^ Jules Archer, Kisah para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis, dan Tiran, diterjemahkan dari judul asli, The Dictators Fascist, Communist, Despots, and Tyrants: The Biographies of The Great Dictator of The Modern World, (Yogyakarta: Narasi, Cetakan ke 16, 2014) hal. 203 - 204
- ^ Kinstler, Linda (2017-08-31). "The last Nazi hunters". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ "Stalin's army of rapists: The brutal war crime that Russia and Germany tried to ignore". Mail Online. Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ Leick, Romain; Schreiber, Matthias; Stoldt, Hans-Ulrich (2010-08-10). "Out of the Ashes: A New Look at Germany's Postwar Reconstruction". Spiegel Online. Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ "14 Harsh Realities of Life in Germany After WWII". Ranker (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-25.
- ^ a b Liputan6.com. "5 Fakta Menarik Jerman Timur di Masa Komunisme". liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-30. Diakses tanggal 2017-11-27.
- ^ a b c d e f g h i j Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan dari judul asli Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 420