Jurnalisme musik
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Oktober 2018) |
Jurnalisme musik adalah kegiatan mengkritik dan pelaporan media tentang topik musik termasuk musik pop, musik rock, dan yang lainnya. Kritik yang dibutuhkan adalah kritik tajam dan cerdas mengenai musik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik adalah kecaman atau tanggapan atau kupasan, terkadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Maka dari itu yang dimaksud dengan kritik musik adalah pertimbangan baik dan buruk terhadap kemampuan seseorang atau kelompok dalam memproduksi musik atau lagu atau karya musik dalam pertunjukan seni. Kritik musik memperlihatkan objek dari kritik yaitu lebih memfokuskan ke nada, ritme, harmoni, intensitas, warna suara, interpretasi, dan ekspresi. Jurnalis musik biasanya adalah penggemar musik itu sendiri.[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Secara pasti, kemunculan jurnalisme musik tidak dapat ditentukan. Jurnalisme musik berasal dari aktivitas merekam peristiwa yang berhubungan dengan dunia musik, dengan wujud berupa jurnal-jurnal pada era sebelum 1840-an. Allgemeine musikalische Zeitung dan The Musical Times adalah contoh dari jurnal yang khusus membahas seputar dunia musik. Dari sisi media, pelaporan tentang dunia musik belum diperhitungkan sebagai sebuah laporan khusus, sehingga hanya sedikit informasi seputar dunia musik yang beredar melalui media. Tentu, pada era tersebut musik klasik masih mendominasi masyarakat.[2]
Pada pertengahan abad ke-19, musik modern mulai diminati masyarakat. Begitu pula dengan perkembangan jurnalisme musik. Sebelumnya, hanya kalangan musisi atau seniman yang dapat memberikan ulasan atau laporan tentang musik klasik. Namun, setelah musik klasik mulai tersaingi oleh musik modern, jurnalisme musik mulai diminati dan dilakukan oleh berbagai kalangan, mulai dari jurnalis hingga kritikus.[3]
Pada tahun 1894, majalah Billboard menjadi media pertama yang menjadikan musik sebagai salah satu kontennya. Tetapi, Billboard sebagai majalah seni, juga memuat berbagai informasi mengenai kesenian dan hiburan yang ada di masyarakat seperti sirkus, festival, dan pertunjukan. Billboard baru benar-benar menjadikan musik sebagai fokus utama menjelang tahun 1910. Awal 1900-an juga menjadi era munculnya berbagai media yang bergerak di bidang seni, terutama di seni musik.[3]
Tahun 1920-an, persaingan dalam industri dan media musik semakin tinggi. Untuk dapat bertahan, media-media musik mulai memfokuskan kontennya. Contohnya seperti majalah Melody Maker yang pada tahun 1926 hadir sebagai majalah yang khusus membahas seputar musik jazz. Media ini mengemas berbagai informasi tentang musik jazz dan informasi seputar album musik yang akan segera dirilis.[3]
Terbentuknya grup The Beatles tahun 1960 dengan aliran rocknya, juga memunculkan pergerakan baru bagi jurnalisme musik. Melody Maker mengkritik berbagai media mainstream yang kala itu justru menyerang industri musik ‘pop’ dan ‘rock’ yang diusung The Beatles. Steve Jones menyatakan bahwa kala itu, gerakan musik pop hanya dianggap sebagai salah satu bentuk seni musik. Padahal, Melody Maker melihat bahwa kemunculan aliran musik pop dan rock adalah sebagai bentuk gerakan masyarakat yang terkena imbas dari industrialisasi.[3]
Sejarah di Indonesia
[sunting | sunting sumber]Di Indonesia sendiri, media musik baru muncul pada tahun 1957. Musika menjadi majalah musik pertama di Indonesia. Tetapi, majalah Aktuil yang muncul tahun 1967 di Bandung lebih dianggap sebagai majalah yang memberikan warna bagi industri media di Indonesia, dan menjadi acuan bagi berbagai media musik yang muncul setelahnya. Kala itu, majalah Aktuil mampu menerbitkan 100.000 eksemplar majalah setiap penerbitan lantaran digemari anak muda. Kontennya pun sangat beragam. Aktuil juga mampu memuat hasil wawancara mereka dengan musisi-musisi internasional.[1]
Selain dinikmati anak muda, Aktuil juga turut digemari oleh kalangan musisi tanah air, terutama rocker. Berbagai liputannya seputar sensasi dunia musik rock seperti aksi panggung maupun masalah di luar panggung musik menjadi penarik sekaligus sumber bagi kalangan musisi untuk mencari referensi. Salah satu “sumbangsih” yang diberikan Aktuil bagi perkembangan dunia musik adalah sensasi aksi panggung. Peliputannya mengenai aksi Ucok AKA dan God Bless membawa peti mati ke atas panggung, Micky Jaguar yang menyembelih dan meminum darah kelinci saat pentas, seolah-olah menggiring fanatisme pecinta musik rock. Mereka seolah-olah menganggap sebuah konser tidaklah menarik apabila tidak ada aksi sensasional seperti yang disajikan oleh Aktuil. Hanya saja, tahun 1986 Aktuil berhenti terbit akibat krisis finansial setelah mengundang band luar negeri ke Indonesia.
Selain Aktuil, periode 1950-1980-an juga memunculkan berbagai media musik yang memiliki aliran berbeda. Soneta, Diskorina, Top, Hai, Gadis, Junior, Violetta, Mode, Vista, dan beberapa media lainnya muncul untuk saling bersaing memuat konten musik. Informasi seperti profil musisi, kegiatan musik, review, tangga lagu, hingga peluncuran album adalah konten yang sering dimuat oleh majalah-majalah musik tersebut.[4]
Mulai bergeraknya Indonesia menuju kancah internasional pada rentang 1990-2000-an, memberikan warna baru bagi industri dan media musik Indonesia. Masuknya MTV sebagai media yang secara khusus menayangkan informasi musik luar negeri yang tayang selama 24 jam, membuat anak-anak muda menjadi betah menikmati informasi musik. Periode ini pula, media musik mulai bergeser menjadi media hiburan.
Dengan adanya kebebasan pers waktu itu, media musik tidak lagi ekslusif menampilkan inforasi seputar dunia musik. Informasi seputar film, gaya hidup, kuliner, maupun otomotif dapat ditemukan bersamaan di dalam media yang juga memuat informasi musik. Gaya penulisan konten musik pun tidak lagi mendalam, hanya sebatas pada review album, liputan konser, dan profil musisi. Di era ini pula, konglomerasi media mulai muncul, yang membuat perubahan besar terhadap jurnalisme musik tanah air.
Trax dan Rolling Stone, pentolan media hiburan yang masuk ke Indonesia saat itu memberikan persaingan yang kuat bagi media lokal. Bahkan, Rolling Stone mampu mendominasi pasaran media hiburan dengan bantuan konglomerasi yang dilakukan. Hasilnya, Rolling Stone dianggap menjadi media mainstream, yang kemudian diikuti beberapa media lainnya. Pola pemberitaan musik pun cenderung mengikuti arus pasar. Media musik berubah menjadi sarana bagi industri musik untuk mendapatkan posisi di pasar. Informasinya pun lebih berfokus pada konten yang “menghibur” dan “informatif,” dengan musisi pop yang mendominasi topik pemberitaan.[5]
Pengaruh Internet
[sunting | sunting sumber]Masuknya internet ke Indonesia, memberikan pengaruh yang besar pula. Untuk dapat bertahan, media-media hiburan juga menggunakan sarana internet untuk menyebarkan konten-kontennya. Di sisi lain, internet memungkinkan semua penggunanya untuk dapat menjadi “jurnalis musik” dengan menyebarkan konten mereka melalui blog, pengaliran video, ataupun artikel. Kehadiran mereka dianggap mampu menghidupkan kembali semangat keontetikan penulisan terhadap musik yang didasarkan pada passion dan antusiasme, yang sempat tergantikan oleh persaingan media.
Dampaknya, media-media hiburan yang awalnya sudah memiliki pasar yang luas menjadi sulit untuk bersaing. Di internet, mereka hanya dapat mengandalkan pemasukan dari iklan, sedangkan kontennya dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Inilah yang menyebabkan berbagai media hiburan di Indonesia gulung tikar, termasuk Rolling Stone Indonesia yang tutup pada awal tahun 2018. Tutupnya Rolling Stone juga dianggap sebagai matinya media musik di Indonesia.
Jurnalisme musik klasik
[sunting | sunting sumber]Jurnalisme musik muncul sebagai studi yang memiliki pengaruh kuat. Tetapi, walaupun banyak hasil tulisan yang mengacu pada jurnalisme musik, studi ini masih dianggap level rendah dalam studi musik populer. Terdapat anggapan bahwa jurnalis musik biasanya merupakan musikus yang gagal.
Media jurnalisme musik sering dianggap sebagai perpanjangan dari jurnalisme seni dan hiburan atau selebritis, bukan sebuah bentuk tulisan sendiri. Jurnalisme musik sering diabaikan karena dianggap sebagai cabang jurnalisme yang amatir dan tidak punya kemampuan.
Walaupun dalam jurnalisme musik, banyak jurnalis sukses pada tahun 1960-1970an seperti Hunter S. Thompson, Lester Bangs, Tom Wolfe, Charles Shaar Murray, Nick Kent, dan yang lain-lain, hingga yang sukses tahun 1980-1990 seperti Paul Morely, Ian Penman, dan Everett True. Banyak yang sulit untuk berpindah dari halaman “Pop” (hiburan) ke area jurnalisme seni yang lebih serius. Terdapat beberapa tokoh yang berhasil seperti Julie Burchill dan Tony Parsons, namun kalah dengan jumlah jurnalis yang gagal untuk menaiki tangga hierarki jurnalisme.
Jurnalisme musik awalnya muncul sekitar 100 tahun yang lalu lewat ketertarikan media cetak (koran) terhadap musik, yang merupakan usaha mereka untuk berinteraksi dengan hiburan rendah yang populer di masyarakat. Karena itu, pembuatan jurnalisme musik datang tanpa arah atau aturan dasar dan dianggap sebagai bentuk kritik rendah jika dibandingkan dengan posisi kritik teatrikal. Posisi ini sangat terlihat dalam budaya Prancis yang menganggap dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dibandingkan dengan orang-orang musik. Hal ini juga merembet ke London, dimana kritikus musik dianggap lelucon di mata kritikus literatur dan teater, sering disebabkan karena pengetahuan sejarah (tanda bahwa seseorang berpendidikan) yang dibutuhkan untuk memahami teks yang dikritik. Musik dianggap lebih bersifat sementara dan oleh karena itu, tidak memiliki aturan ketat dalam dunia akademik. Akibatnya, pers di London menganggap kritik musik merupakan bentuk rendah dalam jurnalisme.[6]
Dalam penulisan, jurnalis musik muncul dengan gaya yang bebas dan cenderung mirip dengan prosa sci-fi karangan fans yang dimuat dalam fanzine (majalah yang diproduksi oleh amatir untuk fans). Organisasi pers musik muncul lewat perkembangan fanzine musik yang pesat sejak tahun 1960-an. Berakibat pada jurnalisme musik dianggap sebagai area jurnalisme dimana siapapun bisa melakukannya, sehingga dikategorikan sebagai golongan rendah dalam jurnalisme kontemporer. Selain itu, jurnalisme musik tidak membutuhkan seseorang untuk berkualifikasi sesuai dengan standar perusahaan.
Jurnalisme musik populer
[sunting | sunting sumber]Rata-rata jurnalis musik populer akan melibatkan banyak waktu yang akan dihabiskan di belakang komputer untuk meneliti dan menulis cerita yang didapat ketika meliput acara apapun yang berhubungan dengan seni musik. Jurnalis musik juga terkadang menghadiri pesta rilis dan konser rekaman dari suatu artis solo maupun group dari berbagai aliran musik. Mereka dipekerjakan oleh media cetak, online, dan media siaran. Mereka bekerja dengan Editor, Fotografer Musik, Humas, Jurnalis lainnya, dan kadang-kadang, Artis Rekaman maupun pemusik itu sendiri.
Jurnalisme menyediakan informasi yang akurat dan tepercaya bagi masyarakat agar dengan informasi yang dibuat mampu berperan membangun sebuah masyarakat yang bebas. Sejak kapan istilah jurnalisme musik digunakan dan dipakai secara umum memang tidak dapat diketahui secara pasti. Apalagi di Indonesia. Namun, fenomena untuk orang-orang yang menulis musik – sebelum istilah jurnalisme musik digunakan – memang sudah berkembang sejak tahun 1960-an di Amerika dan Inggris. Akar dari jurnalisme musik atau kerap juga disebut "jurnalisme rock" dimulai pada tahun 1960-an melalui munculnya penerbitan-penerbitan musik dan budaya populer seperti Rolling Stone, NME, Melody Maker, dan Creem. Rolling Stone yang terbit tahun 1967 oleh Jann Wenner dan Ralph Gleason menjadi tonggak penting perkembangan jurnalisme musik.
Pada awalnya jurnalis musik adalah fans musik itu sendiri atau kerap disebut “fans yang tercerahkan (enlightened fans)” (Gudmondsson et al. 2002). Jika melihat tokoh-tokoh jurnalis musik pada masa itu seperti Lester Bangs, Nick Kent, Robert Christgau, atau Simon Reynolds merupakan orang-orang yang memiliki passion terhadap musik. Tak ada institusi resmi yang mempelajari jurnalisme musik – kecuali, saat ini beberapa perguruan tinggi di Inggris dan Amerika sudah menjadikan jurnalisme musik sebagai disiplin ilmu sendiri. Seperti halnya ilmu jurnalistik, jurnalisme musik tentu memiliki tugas untuk menyediakan informasi faktual mengenai musik dan tetek bengeknya. Gambaran seperti apa seorang jurnalis musik bekerja ditampilkan dalam film Almost Famous yang diangkat dari pengalaman pribadi sang sutradara semasa remaja, Cameron Crowe; mewawancarai band, mengikuti tur panjang, dan melihat berkembangnya budaya seks, obat-obatan terlarang, dan "rock & roll."[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Solihun, S. (2004). Perjalanan Majalah Musik di Indonesia. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran. Skripsi
- ^ Bujic, B. (2011). Criticism of Music. The Oxford Companion to Music. Oxford Music Online.
- ^ a b c d Jones, Steve, ed. (2002). Pop Music and the Press. Temple University Press
- ^ Mulyadi, Muhammad. 2009. Industri Musik Indonesia Suatu Sejarah. Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial
- ^ Gunadi, I. (2017). Jurnalisme music di Indonesia. Idhar Resmadi.net. Diakses dari https://idhar-resmadi.net/2017/07/06/jurnalisme-musik-di-indonesia/ Diarsipkan 2020-07-08 di Wayback Machine.
- ^ Jacke, C., James, M., & Montano, E. (2014). Editorial Introduction Music Journalism. Journal of International Association for the Study of Popular Music, 4(2), 2-6. Retrieved from http://www.iaspmjournal.net/index.php/IASPM_Journal/article/viewFile/737/pdf_5
- ^ Gudmondsson, G, Lindberg, U., Michelsen, M., and Weisthaunet, H. 2002. Brit crit: turning points in British rock critism, 1960-1990, in Pop Music and the Press, ed. S. Jones Temple University Press: Philadelphia