Pemerolehan bahasa kedua
Pemerolehan Bahasa Kedua (Bahasa Inggris: Second-language acquisition) atau disingkat PB2, adalah studi yang membahas tentang bagaimana bahasa kedua dipelajari oleh individu, dengan kata lain yaitu studi tentang akuisisi atau pemerolehan bahasa selain bahasa ibu.[1] Bahasa non primer atau tambahan tersebut dinamakan bahasa kedua (B2), walaupun bahasa tersebut adalah bahasa lain yang kedua,ketiga, keempat, ataupun kesepuluh yang sedang dipelajari.[2] Bahasa ked
ua yang dipelajari disebut bahasa target (BT).[2] Bahasa target tersebut tidak dibatasi atas bahasa asing, daerah, ataupun nasional.[3]
Para ahli bahasa pertama kali melakukan penelitian PB2 melalui disiplin ilmu Linguistik lalu berkembang ke bidang ilmu Psikologi.[2] Dari ilmu linguistik didapat beberapa metode analisis kontrastif, analisis eror, interbahasa, dan urutan morfem.[4] Lalu, dari bidang psikologi didapat teori mengenai hubungan otak dan bahasa, proses internal pembelajaran bahasa kedua, dan motif-motif yang mempengaruhi penguasaan B2.[5] Teori-teori dari ilmu PB2 selanjutnya dimanfaatkan untuk menemukan strategi dalam bidang pengajaran bahasa.[3]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Hingga saat ini masih belum diketahui kapan untuk pertama kalinya studi tentang PB2 dimulai.[6] Beberapa sumber menyebutkan terdapat dua publikasi ilmiah yang mendorong studi ini: esei Pit Corder yang berjudul The Significance of Learners’ Errors dan juga Larry Selinker yang berjudul Interlanguage.[4] Keduanya berargumen bahwa para pelajar bahasa kedua menggunakan sistem linguistik internal yang berbeda dari bahasa ibu dan bahasa keduanya.[4]
Selanjutnya, pada tahun 1970 para ilmuwan berlomba-lomba untuk mengeksplorasi lebih jauh gagasan Corder dan Selinker.[4] Beberapa penelitian dilakukan dengan studi eror analisis, tahap transisi kemampuan berbahasa kedua, dan “studi morfem” yang meneliti tahap penguasaan B2 berdasarkan pemahaman pelajar terhadap tata bahasa kedua.[4] Selang popularitas pendekatan linguistik selama tiga dekade, jenis pendekatan secara psikologi pun dilanjutkan dengan teori akuisisi bahasa melalui hubungan bahasa dengan otak, prosesi informasi, dan koneksionisme.[4]
Penelitian secara Linguistik
[sunting | sunting sumber]Penelitian secara linguistik adalah cara untuk mengetahui tingkat penguasaan B2 seseorang melalui kompetensi berbahasanya secara teknis.[7] Kompetensi tersebut mencakup pembentukan kata, dan kemampuan bercakap-cakap dengan menggunakan B2.[5] Berikut merupakan metode para ahli di bidang linguistik:
Analisis Kontrastif (AK)
[sunting | sunting sumber]Adalah sebuah metode dengan membandingkan kemampuan antara bahasa pertama dan kedua.[5] Asal mula metode ini bermula dari penelitian terhadap sekelompok pelajar yang melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang seperti kelompok sebelumnya.[8] Sehingga diasumsikan bahwa kesalahan-kesalahan tersebut disebabkan karena adanya interferensi atau percampuran antara bahasa pertama dan kedua.[8] Hal ini terjadi karena murid-murid menerapkan aturan-aturan linguistik bahasa pertama ke bahasa kedua yang mereka pelajari.[8]
Analisis Error (AE)
[sunting | sunting sumber]AE adalah metode pendekatan linguistik yang melihat faktor internal kemampuan seseorang dalam mempelajari bahasa kedua.[9] Gagasan ini menyatakan bahwa seseorang belajar dengan mengeksplorasi fitur-fitur (misal: pengucapan, kosakata, dan struktur kalimat) bahasa asing yang Ia pelajari.[9] Dalam proses pembelajarannya, pelajar bereksperimen dengan menggunakan fitur B1 ke B2.[9] Gagasan AE pertama kali dicetuskan oleh Stephen Pit Corder pada tahun 1960.[9]
Interbahasa
[sunting | sunting sumber]Interbahasa pertama kali diperkenalkan oleh Larry Selinker (1972).[1] Dalam teorinya ia menjelaskan kondisi-kondisi yang dilalui oleh pelajar sebelum ia mencapai target bahasa kedua yang dituju.[1] Dalam kondisi tersebut, pembelajar menggunakan taktik mencampur elemen bahasa (misal: kosakata) dari bahasa ibu ke bahasa asing.[1]
- Contoh: I makan banana. -> (seharusnya) I am eating banana.
Menurut Selinker, proses ini disebut dengan proses kreatif di mana pembelajar terdorong untuk berinteraksi dengan lingkungan menggunakan B2 yang dicampur dengan elemen bahasa B1.[1] Sehingga interbahasa merupakan sistem bahasa tersendiri yang mewadahi perkembangan berbahasa selama pembelajaran.[1] Terdapat fase atau tingkat di mana pelajar bahasa kedua berhenti menggunakan interbahasa setelah target penguasaan B2 terpenuhi yang disebut dengan fosilisasi.[1]
Urutan morfem
[sunting | sunting sumber]Studi ini bertujuan untuk menganalisis tahap-tahap pembelajaran bahasa kedua dilihat dari penguasaan tata bahasanya.[10] Hal ini dimaksudkan untuk menemukan apakah terdapat proses akuisisi yang sama antara B1 dan B2 pada proses pembelajaran.[10] Atas beberapa percobaan yang dilakukan oleh Heidi Dulay dan Marina Burt, terbukti bahwa proses pemerolehan bahasa kedua sama dengan bahasa pertama.[10] Penelitian ini dilakukan dengan objek dua orang anak berbahasa Tionghoa dan Spanyol yang ketika diteliti ternyata mereka mengalami serangkaian tahap penguasaan tata bahasa mulai dari infleksi kata, derivasi, bentuk kata kerja, dan seterusnya.[10] Dari penelitian ini didapat "Hipotesis Identitas" yaitu proses pemerolehan bahasa pertama dan kedua adalah sama, atau B1=B2.[10]
Penelitian secara psikologis
[sunting | sunting sumber]Pendekatan pemerolehan bahasa dalam bidang psikologi digunakan untuk mengetahui hubungan proses belajar B2 dengan dengan otak.[2] Studi pendekatan psikologis terfokus pada, bahasa dan otak, proses pembelajaran, dan perbedaan antar pemeroleh B2.[2]
Bahasa dan otak
[sunting | sunting sumber]Terdapat beberapa fakta penting antara hubungan pemerolehan bahasa kedua dan otak:
- Bahasa pertama dan kedua tersimpan di area yang berbeda dalam otak manusia.[11] Sebagian besar memori dan fungsi bahasa tersimpan di bagian otak kiri, namun otak kanan lebih banyak berperan besar dalam pemerolehan bahasa kedua.[11]
- Usia mempengaruhi fungsi pengorganisasian otak bagi pemeroleh bahasa kedua.[11] Orang dengan usia antara usia 9 dan 12 tahun cenderung melibatkan otak sebelah kanan dalam memperoleh bahasa kedua dibandingkan anak berusia dibawah 4 tahun.[11]
- Ketika terjadi kerusakan pada otak, bahasa yang pertama kali hilang adalah bahasa kedua yang paling jarang digunakan berlanjut terakhir adalah bahasa ibu.[11] Dan proses pengembalian bahasa yang paling pertama adalah bahasa yang lebih sering digunakan, entah itu bahasa kedua atau bahasa pertama.[11]
Proses pembelajaran
[sunting | sunting sumber]- Prosesi Informasi
Teori ini mengungkapkan bahwa pelajar B2 melakukan serangkaian sirkulasi informasi antara rangsangan bahasa kedua dari luar menuju ke otak dan selanjutnya diproduksi.[2] Rangkaian tersebut pertama berasal dari input / masukkan: segala bentuk informasi atau stimulus dari B2 yang terekspos kepada pelajar.[2] Dari input selanjutnya masuk ke dalam pusat pengolahan dan restrukturisasi informasi dalam otak.[5] Dalam fase ini pula proses pembelajaran yang terkontrol menjadi otomatis, dan saat ini di mana restrukturisasi pengetahuan terjadi.[5] Terakhir adalah fase produksi di mana pada fase ini pelajar B2 mencoba menguji kemampuannya ke bahasa target melalui pembicaraan dan penulisan.[5]
- Pemetaan
Teori pemetaan menerangkan bahwa pelajar B2 cenderung membagi antara bentuk eksternal dan fungsi internal sebuah kata.[6] Bentuk sebuah benda leksikal diwujudkan melalui suara yang diperoleh dari pengucapan, sedangkan secara fungsi ia mengandung makna semantik.[6] Kumpulan kata yang terbentuk dalam kalimat secara bentuk adalah rentetan tata bahasa sedangkan secara fungsi kata-kata tersebut menduduki fungsi masing-masing.[6] Sebagai contoh, Kata kuda merupakan bentuk leksikal yang terwujud melalui pelajafalan /ku-da/, fungsinya memiliki arti hewan berkaki empat yang memakan rumput.[6] Dalam kalimat kuda memakan rumput, struktur di mana kuda sebelum dan rumput sesudah kata kerja adalah bentuknya, sedangkan fungsinya adalah hubungan sujek, predikat, dan objek.[6]
- Koneksionisme
Koneksionisme artinya paham mengenai hubungan, yaitu hubungan menguatkan antara stimulus dan respon yang mempengaruhi otak ketika proses belajar B2 berlangsung.[6] Dalam pandangan ini, kegiatan pemrosesan berlangsung karena nodus di dalam otak terhubung satu sama lainnya melalui saluran saraf.[6] Keterhubungan tersebut menguat apabila pelajar lebih sering terekspos oleh masukan / stimulus-stimulus B2; pada saat ini mereka melakukan proses asosiasi berulang-ulang sehingga kemungkinan besar proses pemahaman bahasa asing lebih kuat.[6]
Perbedaan antar pemeroleh
[sunting | sunting sumber]Perbedaan antar pemeroleh dalam perspektif psikologi dilakukan untuk mengetahui faktor utama mengapa pelajar yang satu lebih sukses dibandingkan lainnya dalam mempelajari bahasa kedua.[6] Pembedaan di sini mencakup usia, jenis kelamin, motivasi, bakat, gaya kognitif, kepribadian, dan strategi belajar.[5][6]
- Usia
Faktor usia memberikan pengaruh berbeda pada fungsi otak dalam menyerap bahasa kedua.[6] Sejumlah penelitian membuktikan anak-anak lebih mudah menyerap bahasa kedua karena memiliki daya plastisitas otak yang baik; di mana mereka mampu menyesuaikan perbedaan bahasa dengan cepat.[6] Namun, penelitian lainnya menyebutkan bahwa orang dewasa mampu menyerap pelajaran bahasa asing lebih cepat dikarenakan kapasitas pembelajaran, termasuk daya hafal kosakata yang lebih banyak.[7] Selain itu orang dewasa juga memiliki daya analisis yang kuat terhadap tata bahasa asing.[2]
- Jenis Kelamin
Perbedaan dalam jenis kelamin berhubungan dengan kadar hormon pada masing-masing jenis kelamin.[7] Kimura menemukan tingkat hormon androgen yang tinggi berhubungan dengan kemampuan automasi yang lebih baik, dan hormon estrogen dengan kemampuan semantik/ interpretif yang lebih baik.[7] Selain itu, ia juga menemukan bahwa wanita pada masa menstruasi cenderung memiliki kemampuan artikulasi dan motoris yang lebih baik.[7]
- Motivasi
Di dalam otak manusia terdapat area spesifik yang menerima stimulus dari dorongan diri atau disebut motivasi.[2] Dan stimulus tersebut memberikan pesan kepada otak untuk menentukan strategi belajar dan jumlah usaha yang dikeluarkan.[2] Jenis motivasi ada dua: motivasi integratif dan instrumental.[2] Motivasi integratif adalah motivasi yang berdasarkan keinginan untuk bersosialisasi atau berpartisipasi dengan komunitas yang menggunakan bahasa tersebut.[2] Motivasi instrumental adalah motivasi yang didasari atas kepentingan praktis semata seperti mendapatkan pekerjaan, mendapatkan beasiswa ke luar negeri, akses informasi, dan lain-lain.[2]
Tahapan Pemerolehan Bahasa Kedua
[sunting | sunting sumber]Tahap 1: Preproduksi
[sunting | sunting sumber]Dalam proses perkembangannya, pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi menjadi lima tahap: preproduksi, produksi awal, bicara awal, fasih, dan mahir.[12] Tahap awal adalah preproduksi, yang dikenal juga dengan periode diam, di mana pelajar tak banyak bicara karena mereka hanya memiliki kosakata reseptif hingga 500 kata.[12] Tetapi, tidak semua pelajar melalui tahap periode diam.[7] Beberapa pelajar langsung memasuki tahap berbicara, meskipun kata-kata yang mereka gunakan hanya meniru, bukan kreativitas sendiri.[7] Bagi para pelajar yang melewati periode diam, biasanya hal itu hanya berjalan selama tiga sampai enam bulan.[7]
Tahap 2: Produksi awal
[sunting | sunting sumber]Tahap kedua dari pemerolehan bahasa kedua adalah produksi awal, dimana dalam tahap ini pelajar dapat berbicara dalam frasa pendek antara satu atau dua kata.[12] Mereka juga dapat mengingat potongan-potongan kata dalam bahasa kedua, meskipun masih mengalami banyak kesulitan dan kesalahan saat menggunakannya.[12] Pelajar bahasa kedua dalam tahap ini telah memiliki baik kosakata aktif dan pasif sekitar 1000 kata.[7] Tahap ini normalnya berlangsung selama enam bulan.[2]
Tahap 3: Awal bicara
[sunting | sunting sumber]Tahap ketiga adalah awal bicara.[7] Kosakata pelajar bahasa kedua pada tahap ini meningkat hingga 3000 kata, dan mereka mampu berkomunikasi menggunakan kalimat tanya sederhana.[12] Mereka juga masih mengalami kesalahan gramatika.[12]
Tahap 4&5: Fasih
[sunting | sunting sumber]Tahap setelah awal bicara adalah fasih menengah, yaitu tahap di mana pelajar telah memiliki lebih dari 6000 kosakata, dan dapat menggunakan kalimat dengan struktur yang lebih kompleks.[12] Pada tahap ini juga mereka mampu berbagi pikiran dan pendapat.[12] Namun, tetap saja pelajar masih menemukan kesalahan selama membentuk kalimat-kalimat kompleks.[12] Tahap terakhir adalah mahir, yang biasanya tercapai antara lima sampai sepuluh tahun belajar bahasa kedua.[7] Pada tahap ini, kemampuan pelajar semakin dekat dengan penutur asli.[12]
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat mahir bervariasi tergantung objek bahasa yang dipelajari.[13] Menurut penelitian yang dilakukan oleh Foreign Service Institute di Amerika, dari 63 bahasa yang dianalisis, lima bahasa tersulit untuk mencapai tingkat mahir, terutama pada kemampuan membaca dan berbicara, adalah Bahasa Arab, Mandarin, Jepang, dan Korea.[14] Bahasa-bahasa tersebut membutuhkan sekitar 88 minggu atau 2200 jam kelas untuk dikuasai.[14]
Perbandingan antara pemerolehan bahasa pertama dan kedua
[sunting | sunting sumber]Proses pemerolehan bahasa pertama dan kedua adalah berbeda pada usia tertentu.[15] Perbedaan tersebut lebih disebabkan tata bahasa gramatika universal sudah tidak bisa diakses lagi pada usia tertentu.[15] Beberapa peneliti mengatakan, terdapat proses kritis di mana seorang pelajar mampu menguasai bahasa kedua dengan cepat.[15] Periode tersebut adalah antara 6 sampai 13 tahun.[15] Lalu, beberapa peneiliti lainnya mengungkapkan tata bahasa universal sudah tak bisa lagi diakses pada usia remaja, namun bisa diakses lagi setelah menginjak usia dewasa.[15] Sehingga, orang dewasa lebih mudah menguasai bahasa kedua.[15]
Manfaat studi pemerolehan bahasa kedua
[sunting | sunting sumber]Studi Pemerolehan Bahasa Kedua digunakan sebagai teori fundamental bagi para guru bahasa.[3] Teori yang terdapat dalam PB2 digunakan untuk menemukan efektivitas pembelajaran.[3] Dalam hal ini pendidik dapat menciptakan inovasi strategi pengajaran.[3] Salah satu contohnya adalah sebuah inovasi pembelajaran bahasa asing yang bernama Total Physical Response (TPR) yang diciptakan oleh Asher (1996).[3] Teori ini menggunakan teknik penghubungan antara konsep kata atau frasa ke dalam gerakan badan yang diperagakan oleh pelajar.[3] Atau dengan kata lain, memanfaatkan teknik meniru gerakan sesuai dengan kosakata yang disebutkan.[3] Teknik ini dipercaya mampu meningkatkan proses internalisasi kosakata ke dalam pikiran si pelajar.[3] Metode TPR telah direkomendasikan ke seluruh belahan Indian Amerika dan Alaska untuk memperkenalkan bahasa daerah pada anak-anak.[3] Hanya saja teknik ini efektif hanya untuk penguasaan kosakata.[3] Selain itu, di California juga telah dikembangkan kurikulum pembelajaran dengan mencantumkan prinsip teori pemerolehan bahasa kedua yang di antaranya pemahaman budaya dalam belajar bahasa kedua, pengetahuan bahwa murid menguasai bahasa kedua secara bertahap, dan pelajar harus menggunakan bahasa kedua tersebut agar lebih cepat paham.[3]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g Selinker, L. (1972). Interlanguage: International Review of Applied Linguistics. 10:209-31.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n Saville-Troike, Muriel. 2009. Introducing Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
- ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris) Laurence N. Berlin (2000). "The Benefits of Second Language Acquisition and Teaching for Indigenous Language Educators" (PDF). Journal of American Indian Education. 39 (3): 14–16. Diarsipkan dari versi asli (Portable Document File) tanggal 2014-12-22.
- ^ a b c d e f VanPatten, Bill; Benati, Alessandro G. (2010). Key Terms in Second Language Acquisition. London: Continuum.
- ^ a b c d e f g Cook, Guy, Barbara Seidlhofer. 1995. Principle and Practice in Applied Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Gass, M. Susan, Larry Selinker. 2008. Second Language Acquisition: An Introductory Course. Taylor and Francis Publisher.
- ^ a b c d e f g h i j k Ellis, Rod. 1994. The Study of Second Language Acquisition. Oxford University Press
- ^ a b c http://www.wisegeek.com/what-is-contrastive-analysis.htm
- ^ a b c d Corder, S. P. (1967). "The significance of learners' errors". International Review of Applied Linguistics 5: 160–170.
- ^ a b c d e Dulay, H. & Burt, M. 1973. Should We Teach children Syntax? Language Learning, 27:315-30.
- ^ a b c d e f Obler, L.K. & Gjerlow, K. 1999. Language and the Brain. Cambridge: Cambridge University Press.
- ^ a b c d e f g h i j Haynes, Judie. 2007. Getting Started with English Language Learners: How Educators Can Meet the Challenge.
- ^ http://www.nvtc.gov/lotw/months/november/learningExpectations.html
- ^ a b http://www.livescience.com/32644-what-is-the-hardest-language-to-learn.html
- ^ a b c d e f Malmkjaer, Kirsten. 1991. The Linguistics Encyclopedia. New York: Routledge Publisher.