Kus
KUS
Radhiatul Haida
SMA N 1 Gunung Talang
MATA itu kembali menatapku. Seperti mata elang hendak mencekam mangsa. Tapi, pantaskah aku disebut mangsa? Atau, sebaliknya? Tidak..., dia bukan seleraku! Wanita sepertiku memang harus sabar jika dipandang demikian. Itu sudah resiko wanita cantik!
Setiap pulang sekolah, dia selalu menungguiku di perempatan kompleks perumahan tempat aku tinggal. Diperhatikannya aku dari atas sampai ujung jari kaki. Entah apa yang hendak dilihatnya. Aku benci mata itu. Cih..., sangat menjijikkan! Dia pikir matanya indah? Dasar! Orang jelek tak sadar!
“Kus! Kus!” ada suara keras memanggil namaku. Tak kuhiraukan karena aku tahu dan sangat sadar, memang banyak orang yang ingin dekat denganku. Itu pun mereka raih dengan berbagai cara. Pura-pura jadi teman lama, padahal aku tak pernah mengenal mereka sama sekali. Bahkan, ada yang pura-pura jatuh tepat di depanku. Ya..., terpaksa aku tolong. Bukan terpaksa, tapi aku harus ikhlas! Percuma saja, kan, sudah jungkir balik menolong, tak dapat pahala dari Yang Mahakuasa! Tak enak itu namanya!
Akhirnya, aku berbalik dan menoleh ke arah suara itu. Aku ingin lihat, bagaimana pula orang ini ingin berkenalan denganku. Apa ada metode lain? Atau, metode yang sudah basi? Ya..., ini merupakan resiko lain dari wanita cantik. Apa boleh buat!
“Kus! Kus! Kus!” dia kembali memanggil namaku. Terlalu keras menurutku karena jarak kami tak begitu jauh.
Kumenoleh ke belakang, mata yang dari tadi memperhatikanku menghilang setelah melewati gang sempit di perkelokan depan rumah kosong seberang sana. Masih kulihat senyum tipisnya sebelum benar-benar menjauh dari penglihatanku. Mungkin ia akan berpikir aku akan tergoda dengan senyumannya itu.
“Kus! Kus! Kus!”
Orang tersebut tepat berada di depanku. Tak diliriknya aku sedikit pun. Apa yang ia lakukan? Dia seperti mencari sesuatu. Padahal, dia telah memanggil namaku berkali-kali. Apa dia tidak melihatku? Aku bukan mahluk halus yang tidak bisa dilihat!
Oooh..., aku tahu, dia menggunakan the new method! Baru kumengerti sikapnya. Pura-pura tak memanggil namaku. Setelah itu, aku akan menanyainya, jangan terlalu berharap!
Terlalu enteng dia berkenalan denganku jika aku bersikap murahan seperti itu. Orang lain saja sudah bersusah payah menggunakan segenap kekuatannya demi berkenalan denganku. Tapi, dia..., dia pikir aku suka cara seperti itu? Huhh...the bad method! Aku pun melewatinya dengan acuh tak acuh.
“Kus! Kus! Kus!” ujarnya lagi. Secepat kilat aku menoleh kepadanya. Secepat petir pula dia diam kembali.
Kali ini kesabaranku sudah di ubun-ubun. Setelah memanggil namaku, dia pura-pura tak tahu. Pelecehan itu namanya! Pelecehan terhadap wanita cantik.
Dengan wajah yang memerah karena menyimpan amarah, aku berjalan cepat mendekati pria tinggi tersebut! Langkahku tiba-tiba berhenti. Bukan karena keinginanku, tapi karena sesuatu yang membuatku harus berhenti.
“Kus! Kus! Kus! Ah, di sini kamu rupanya. Jangan sembunyi. Ayo..., kita pulang ke rumah!” ujar pria itu seraya menggendong kucing belang dengan kedua tangannya.
Aku memilih mundur seraya tersenyum mentertawakan kebodohanku. Kali ini, tak ada sangkut pautnya dengan keadaanku sebagai wanita cantik. Hanya sedikit gangguan kerja pada otak kecilku sehingga salah mengerti dengan panggilan pria tadi.
Dengan langkah terhuyung-huyung, aku mencoba melewati rumah-rumah yang hanya berjarak beberapa centi antara satu dan yang lainnya. Halaman- cukup luas untuk dijadikan lapangan basket. Ya..., kalau pemiliknya mau. Tapi, yang kulihat hanya bunga-bunga dan beberapa pohon yang ditanami kurang beraturan.
Harus kuakui, sungguh telaten para pemilik rumah ini! Meskipun letaknya kurang beraturan, mereka merawat bunga-bunga tersebut sehingga bisa tumbuh sebagus itu. Kalau aku, memang tak bisa berbuat demikian.
Bukannya tak bisa, tapi aku benar-benar tak mau urusan dengan bunga dan pohon lainnya. Wanita cantik memang tak punya banyak waktu! Lebih baik aku menghabiskan waktu berhias diri di dalam salon pribadiku alias kamar!
Aku tahu, tanpa tumbuhan kita akan kesulitan mencari oksigen. Karena itulah, setiap ada kesempatan, aku berusaha sebisa mungkin untuk mencuri oksigen tanaman rumah sebelah! Tak susah hanya perlu buang napas, setelah itu tarik napas dan ambil oksigen sebanyak-banyaknya sampai puas!
Ternyata..., wanita cantik sepertiku, berbakat juga menjadi pencuri. Ini kerusakan dan terbukti dengan sendirinya. Setiap kali mencuri oksigen, aku tak pernah tertangkap. Hanya sesekali sang pemilik rumah melotot kepadaku karena mencuri oksigen ketika dia sedang bermesraan dengan suaminya. Oooh..., aku tahu, mungkin dia takut suaminya direbut olehku. Huuh, aku bukan wanita
10
itu!
Rumahku memang terletak di kompleks perumahan elite. Entah kenapa aku bisa tinggal di sana. Di antara seluruhnya, rumahkulah yang paling unik. Mengapa tidak, halaman yang sempit dengan ukuran rumah yang mungil. Atapnya seng dan lantainya cuma semen. Bukan keramik seperti kebanyakan punya orang. Tapi, aku tetap bangga dengan rumahku. Lain daripada yang lain! Beberapa meter tempat aku berdiri, akan kutemukan rumahku. Tinggal satu kelokan lagi, aku akan melihat seulas senyum sang ibu. Ya, Ibu selalu menyambut dan mengantar kepergianku dengan senyuman. Meskipun terlihat beberapa garis tipis di sekitar kening dan matanya, menurutku, Ibu tetap cantik. Tentu kecantikan Ibu tak sebanding denganku, di bawah sedikitlah! Kami memang dua beranak yang cantik!
“Selamat datang, Tuan Putri!” itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Ibuku yang kurasakan semakin tipis. Entah karena apa.
“Ibu masak apa sekarang?” tanyaku.
“Ibu sudah buatkan makanan kesukaanmu! Lado gaca dan jengkol!”jawaban yang sama untuk setiap pertanyaan yang kulontarkan.
Aku menelan liur mendengar ucapan Ibu. Bukan karena tak Sabaran ingin makan, tapi ada suatu hal yang mengganjal di hatiku yang mungkin tidak bisa kuutarakan langsung.
Ibu selalu menyambut kedatanganku dengan masakan yang sama, senyuman yang sama, dan kata-kata yang sama! Sampai kapan hal itu bisa berubah? Mungkin Ibu tak biasa dengan perubahan. Maklum, orang desa dari salah satu kabupaten di Sumatra Barat, seperti Ibu, memang sangat tidak bisa beradaptasi dengan perubahan.
Sebenarnya aku ingin perubahan, terutama perubahan di bidang masakan yang selalu disajikan Ibu. Mana bisa aku terus-terusan makan makanan yang makruh itu. Bisa-bisa, temanku pada menjauh karena tak tahan dengan napasku yang mungkin sering membuat hidung mereka kembang kempis. Inilah salah satu faktor turunnya reputasiku sebagai wanita cantik! Tapi, bagaimana cara mengatakan kepada Ibu?
11
Ibu terlalu sering disakiti. Tak terkecuali oleh Ayah. Teringat olehku beberapa tahun yang lalu. Aku heran, mengapa Ayah rela meninggalkan Ibu demi wanita lain yang menurutku kecantikannya tak seberapa dibanding Ibu, mungkin hanya umur yang lebih muda keunggulannya. Tapi, mengapa, ya, Ayah tetap bersikeras untuk menikah dengan wanita laknat itu? Sungguh, aku tidak tahu jalan pikiran laki-laki jelek, seperti Ayah. Harusnya Ayah bersyukur mendapatkan istri seperti Ibu! Bagaimana tidak, laki-laki jelek, tua, dan bungkuk seperti itu mana ada yang mau! Paling, istri muda Ayah cuma mengharapkan harta kami yang setelah kucoba menghitung, tak banyak!
Di lain sisi, aku pun patut bersyukur. Untunglah Tuhan tenggang rasa kepadaku karena tidak menurunkan gen ayah sehingga bisa memiliki wajah cantik seperti ini. Rupanya tak cuma Ibu, Tuhan juga sayang kepadaku!
“Eh, ada apa, ya? Kok bau pesing?” Ibu bertanya heran.
Aku menggeleng pura-pura tak tahu.
“Hei, mengapa diam? Kamu tak lapar?” Ibu heran melihat sikapku yang tak berkutik sedikit pun.
“Ti...tidak! Kus cuma sedang tidak nafsu makan, Bu!”
“Treuuuut," perutku berbunyi keras. Untunglah telinga Ibu kurang berfungsi sehingga tidak mendengar suara itu.
“Kamu ingin Ibu masakin yang lain? Pasti kamu sudah bosan dengan makanan ini!” Ibu mencoba menerka isi hatiku.
Tersimbul senyum dari wajahku. Ingin aku menjawab “iya”, karena aku memang ingin perubahan.
“Sayang sekali..., Ibu tak punya uang untuk membeli yanglain. Nanti, biar Ibu tanam sayuran yang lain di belakang rumah. Kamu ingin apa? Terung, bayam, kangkung, ketela pohon, atau wortel? Kalau sayur tersebut sudah masak dan
12
Aku tersenyum kecut seraya mengangguk ke arah Ibu. Perubahan yang kuharapkan, tak kan terlaksana. Wanita cantik, sepertiku hanya makan itu setiap hari. Bagaimana kata orang nantinya? Hhh, benar-benar reputasiku akan turun!
“Kus ke kamar dulu Bu!”
“Eh, Kus, tadi ada anak bujang mencari kamu!”
“Anak Bujang? Siapa, Bu?”
“Ah, mana Ibu tahu!”
“Siapa ya?”
“Ini Kus, dia titip buku ini!” Ibu memberikan beberapa buah buku tebal tepat ke tanganku. Sedikit ada tekanan ketika buku-buku itu jatuh di atas telapak tanganku.
Kulihat tulisan yang tertera di kulit luarnya. “Jujur Labano,” dia adalah teman sekelasku. Ooooh, aku tahu, dia pasti menjadikan tugas ini sebagai alasan untuk bisa ke rumahku.
Jujur adalah salah satu penggemar wajah cantikku. Setiap pertukaran jam belajar, bahkan setiap kali guru-guru mengajar, dia selalu menyempatkan diri menghampiri tempat aku duduk. Alasannya, paling cuma minta tolong dibuatkan tugasnya yang sudah setumpuk! Tapi, aku tahu, itu cuma alasan jejaka, sepertinya untuk mendekati wanita cantik. Banyak juga yang minta tolong kepadaku, seperti Jujur! Alasannya seribu satu, tapi yang aku tahu itu cuma alasan belaka untuk mendekatiku. Susah juga, sih, jadi wanita yang mempunyai banyak kelebihan sepertiku. Dalam belajar pun, masih sernpat dilirik!
“Dari lusa kemarin, banyak sekali yang mencarimu, Kus, dan semuanya laki-laki!” Ibu mempertanyakan sesuatu yang buatku sa ngat mudah untuk dijawab. Mana mungkin wanita yang mencariku, mereka sudah terbakar cemburu karena laki- laki semua minta tolong kepadaku untuk membuatkan tugas-tugasnya!
“Ya, Ibu harus mengerti! Semua itu cuma alasan untuk lebih dekat denganku.”
“Kus..., kamu ini sebenarnya cantik, tapi Tuhan tak menghendaki!”
13
“Cuma satu pesan untukmu! Jangan pernah peristiwa yang terjadi antara Ayah dan Ibu terulang lagi,” terlihat harapan kosong di mata Ibu.
“Memangnya, peristiwa apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu?”
“Susah-susah Ibu sekolahkan, tak pernah mengerti dengan nasihat Ibu.”
“Apalagi ini, Bu? Nasihat yang mana?” aku kebingungan.
“Aduh...,kamu kalau urusan anak bujang, matanya pasti berbinar! Tapi, ini, bodohnya minta ampun!”
“Sudah, Bu! to the point saja, to the point.”
“Kain-kain apalagi yang kamu bicarakan, Kus? Besok kamu tak usah sekolah lagi. Benar-benar pikiranmu sudah tak waras. Masak, nasihat Ibu dibilang kain.”
“Aduh, Ibu..., maksud, Kus, langsung ke point!”
“Kamu minta koin? Pasti kamu main dingdong di warung sebelah? Ya, kan? Jangan bohong lagi, Roh sudah sering melihat kamu duduk di sana!” Ibu mulai naik pitam. Tapi, aku yakin, ini hanya sementara! Sebentar lagi, Ibu pasti sudah mengelus rambutku.
Terasa olehku pegangan kuat tangan Ibu tepat mengepit telingaku yang mulai memerah. “Kamu bukannya bersyukur sudah disekolahkan, malah menjadi-jadi.”
“Maaf, Bu, bukan begitu. Maksud, Kus, langsung saja ke pokok pembicaraan!”
“Kamu pikir, dari tadi Ibu bilang asal-asalan? Ibu sedang tak enak bicara, sakit gigi! Mana mungkin Ibu buang-buang suara buat hal yang tidak berguna.”
“Iya! Iya! Kus salah, Ibu benar! Kus bodoh, Ibu pintar! Kus jelek, Ibu cantik! Sudah, kan, Bu? Kus ke kamar dulu!” aku melangkah cepat ke arah bilik, satu-satunya ruangan yang ada di rumahku. Jika Ibu marah, aku memang tak pernah tahan berada di dekat beliau. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanya mengalah dan menghindar jauh-jauh.
Aku tidur bersama Ibu. Untunglah Ibu sudah bercerai dengan Ayah sehingga aku bisa tidur di dalam. Kalau tidak,
14
Aku teringat akan teman sekelasku yang terkena demam berdarah! Dulu kecantikannya di atasku. Tapi, sekarang sudah berubah! Tubuh kurus disertai bekas-bekas gigitan nyamuk yang belum sempurna hilang. Alhasil, sainganku berkurang! Dan kuhitung-hitung, hanya beberapa orang yang tergolong cantik di sekolahku.
“Kus!” Panggilan keras Ibu terngiang di telingaku. Belum sempat sampai di kamar, aku sudah dihardik pula oleh Ibu. Terpaksa aku berbalik ke belakang.
“Kamu buang pesing dalam celana, ya?”
“Tidak!”
“Lihat di belakang!” aku berusaha menoleh ke belakang, melihat keadaan belakang rokku. Karena terlalu susah, aku memilih jalan lain yang lebih cepat dan tepat. Merunduk dan melihat dari depan!
“Ahhh, mungkin ini pesing tadi pagi!” Jawabku.
“Kamu buang pesing di sini?”
“Iya! Kus pikir, airnya akan kering setelah Kus pulang.melihat Nyatanya, masih tinggal sedikit! He he he...,” aku teringat akan pemuda yang bertemu denganku di tengah perjalanan tadi, Apa mungkin dia menertawakan rokku yang basah? Ah, tidak mungkin. Dia cuma terpesona dengan kecantikanku.
“Kamu benar-benar, Kus! Mungkin ini yang bau pesing dari tadi.”
“Daripada ditahan, kan sakit perut, Bu! Apalagi, Kussu dah ingin berangkat sekolah! Tak ada waktu untuk ke kali, jauh dari rumah.”
“Sudah, ganti baju, sana!”
“Iya! Iya!" aku berlalu dari hadapan Ibu yang geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Sebelum sampai di dalam kamar, kembali kurasakan sesuatu mengalir dari alat kelaminku.
15