Ngaben
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh umat Hindu Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada leluhur).[1]
Jenis dan bentuk upacara
[sunting | sunting sumber]Upacara Ngaben terdiri dari 5 jenis:
Ngaben Sawa Wedana
[sunting | sunting sumber]Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan mayat yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu). Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diawetkan dengan bahan khusus untuk memperlambat pembusukan (lazimnya formalin) dan diletakkan di balai adat yang ada di rumah sendiri
Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
[sunting | sunting sumber]Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa.Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi (Menitipkan di Ibu Pertiwi).
Swasta
[sunting | sunting sumber]Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah mahupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan kerana beberapa hal, seperti: meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
[sunting | sunting sumber]Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
[sunting | sunting sumber]Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan upacara
[sunting | sunting sumber]Upacara ngaben secara asas memiliki makna dan tujuan sebagai berikut:
- Dengan membakar jenazah mahupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
- Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.
- Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahawa pihak keluarga telah ikhlas merelakan kepergian si mati yang bersangkutan.
Rangkaian Upacara Ngaben
[sunting | sunting sumber]Ngulapin
[sunting | sunting sumber]Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin/Ngemandusin
[sunting | sunting sumber]Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugerahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum Kajang
[sunting | sunting sumber]Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
Ngaskara
[sunting | sunting sumber]Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
Mameras
[sunting | sunting sumber]Mameras berasal dari kata peras yang ertinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, kerana menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
Papegatan
[sunting | sunting sumber]Papegatan (dari kata pegat ertinya "putus") adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalanan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga bererti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
Pakiriman Ngutang
[sunting | sunting sumber]Di laksanakan setelah upacara papegatan yang dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara "Baleganjur" (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Para pengangkat jenazah menuju kuburan ini akan berarak using ikut arah lawan jam tiga kali bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna:
- 3 kali di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga.
- 3 kali di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat.
- 3 kali di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
Ngeseng
[sunting | sunting sumber]Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
Nganyud
[sunting | sunting sumber]Nganyud bermakna sebagai ritual untuk mengha=nyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
Makelud
[sunting | sunting sumber]Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.
Ngaben Massal
[sunting | sunting sumber]Ngaben massal merupakan proses ngaben yang dilakukan oleh lebih dari satu pihak, bisa satu klan, satu desa, atau lingkup yang lebih luas, cara ini dianggap lebih efisien dan ekonomis, kerana pihak yang terlibat tidak hanya satu lingkup keluarga, dengan asumsi semakin ramai yang mengikuti semakin murah biaya yang dikeluarkan[2]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]Wikimedia Commons mempunyai media berkaitan Ngaben |
- ^ William A. Haviland; Harald E. L. Prins; Bunny McBride; dll. (2010). Cultural Anthropology: The Human Challenge. Cengage. m/s. 310. ISBN 0-495-81082-7.
- ^ Esti Utami, Mengintip Tradisi Ngaben Massal di Bali, dicapai pada 1 Mei 2019 Unknown parameter
|created=
ignored (bantuan)