Inflasi adalah kecenderungan naiknya harga barang dan jasa dan pada umumnya berlangsung secara terus-menerus. Naiknya harga barang barang dan jasa tersebut, akan berefek pada turunnya nilai uang. Simpelnya; dengan uang sepuluh ribu rupiah, tadinya kamu bisa dapat bakwan sepuluh. Tapi karena terjadi kenaikan harga barang dan jasa, uang sepuluh ribu cuma bisa dapat bakwan lima. Itu berarti kan nilai uang kamu turun. Jumlah 10 ribu, tadinya dapat sepuluh bakwan, sekarang cuma setara dengan lima bakwan.
Jika ini terjadi terus-menerut, maka inflasi pun akan mengalami kenaikan. Untuk menentukan tingkat inflasi, ada indikatornya tersendiri. Namanya Indeks Harga Konsumen. Secara sederhana Indeks Harga Konsumen akan menghitung rata-rata perubahan harga paket barang dan jasa yang dikonsumsi penduduk dalam kurun waktu tertentu. Perubahan nilai IHK yang dihitung berdasakan periode waktu tertentu itu (misalnya per tahun atau per enam bulan), itulah cara menentukan tingkat kenaikan inflasi.
Apresiasi atau penguatan mata uang, faktornya dilihat dari nilai tukar satu mata uang tertentu terhadap mata uang negara lainnya.
Jadi, kalau dikatakan apresiasi otomatis tidak terjadi inflasi, statement ini belum tentu benar. Penguatan mata uang yang diteliti juga harus menjadi salah satu faktor; kalau penguatan mata uangnya terjadi terhadap mata uang negara yang sebelumnya memang sudah lebih rendah dari mata uang yang ditinjau, ya tidak terlalu signifikan. Apalagi jika mata uang suatu negara itu tidak memiliki aktivitas apapun terhadap mata uang yang menjadi turun value-nya tersebut.
Intinya, sederhanakan saja bahwa perhitungan inflasi itu didasarkan pada Indeks Harga Konsumen tadi yang variabelnya adalah perubahan harga paket barang dan jasa yang dikonsumsi selama kurun waktu tertentu.
Secara umum, jika terjadi apresiasi atau penguatan mata uang, tentu kondisi ekonomi terbilang aman-aman saja. Jika terjadi penguatan mata uang, nilai mata uang tentu value-nya meningkat.
Apresiasi dollar US menjadi lebih tinggi dibandingkan rupiah, tentu sangat menguntungkan bagi negara maupun masyarakatnya sendiri. Memang ditinjau dari beberapa kasus tertentu, tapi efeknya dapat menular kepada perekonomian bangsanya.
Contohnya begini; pelaku usaha kerajinan kayu selama ini mengimpor produk dari Indonesia dengan modal seribu dollar. Seribu dollar itu katakan jika dirupiahkan menjadi 10 juta rupiah ketika belum terjadi apresiasi atau penguatan mata uang. Harga satu kerajinan kayu adalah lima ribu rupiah, sehingga dengan seribu dollar tadi, ia dapatkan sekitar dua ribu kerajinan kayu.
Ketika terjadi apresiasi penguatan mata uang, sehingga modal seribu dollar tadi, padahal jumlahnya tetap sama seribu dollar, tapi karena penguatan mata uang, nilainya menjadi katakan misalnya 15 juta rupiah. dengan harga satu kerajinan kayu hanya lima ribu rupiah, pengusaha tersebut dapat mengimpor tiga ribu kerajinan kayu. Tentu menguntungkan bukan?
Memang kalau di negaranya masing-masing, mereka tetap menggunakan mata uangnya sendiri. Jadi dalam perilaku konsumen ya tidak akan begitu terasa manfaatnya. Namun, ketika diaplikasikan kepada aktivitas keuangan yang ada kaitannya dengan mata uang negara yang ter-depresiasi, tentu terdapat keuntungan yang signifikan.