Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah 3 Anak dari Daerah Pelosok Indonesia, Perjuangkan Hak dan Keadilan

Kompas.com - 20/12/2024, 08:50 WIB
Syabitha Putri Handri,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

““Ibu saya meninggal saat saya berusia 11 tahun. Saya tumbuh tanpa kepercayaan diri. Saya tidak mendapatkan wadah untuk mengaktualisasikan diri, untuk mengekspresikan emosi, dan sebagainya,” kenang Marselus.

Namun kini, Marselus merasa ia telah berubah menjadi sosok yang jauh lebih baik dan mampu membagikan kebahagiaan yang tidak ia dapatkan dulu kepada orang-orang di sekitarnya.

“Selus sadar bahwa tidak boleh terpuruk dalam dukacita. Selus harus jadi orang positif. Selus merasa dunia akan terus berputar walaupun dunia Selus sedang hancur sehancur-hancurnya. Jadi Selus harus bangkit dan menjadi lebih baik dari hari kemarin,” ungkapnya.

Melalui program WVI, Selus terbantu dan menemukan tempatnya untuk mengekspresikan diri.

“Sejak jadi anak sponsor di WVI saya terlibat di banyak kegiatan bersama Forum Anak di daerah saya. Saya bersukacita bisa menemukan wadah aktualisasi diri dan bisa punya banyak kenalan dari situ. Pelan-pelan kepercayaan diri saya juga meningkat,” pungkasnya.

Baca juga: Mendikdasmen: Guru Tidak Lagi Harus Mengajar 24 Jam Seminggu di Kelas

Setiap anak punya hak yang memang layak diperjuangkan

Berasal dari tempat yang paling jauh dibanding dua rekannya yakni Asmat, Papua, Karin turut membagikan perjalann yang dihadapi olehnya dan teman-teman di daerahnya.

“Masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak seperti pelecehan, bullying, pernikahan anak, orang tua yang suka main pukul,” cerita Karin.

Menurut Karin, penghambat pendidikan bukanlah ekonomi, melainkan pengaruh seperti kurangnya perhatian.

Karin menceritakan bahwa kondisi anak-anak di tempatnya yang jauh dari orang tua karena harus bersekolah ke kota menjadikan mereka tidak memiliki pendamping. Tak hanya itu, menurut Karin, masih sedikit orang tua yang mau mendengarkan anak-anak, sehingga mereka terpaksa mencari pelarian ke hal-hal yang tak sepantasnya, seperti miras dan lem aibon. 

"Anak-anak di sana sebenarnya bisa dan hebat, hanya saja tidak ada pembina dan pengasuhan," tambah Karin. 

Bagi Karin, untuk sementara waktu anak-anak di daerahnya tidak didorong untuk menempuh pendidikan tinggi, yang penting adalah bagaimana mereka bisa membaca dan menulis.

Cerita ini menunjukkan betapa tertinggalnya anak-anak daerah Karin dari akses pendidikan yang memadai.

Aktif dalam Forum Anak bersama WVI, Karin terus memperjuangkan haknya dan teman-teman sebagai anak Indonesia, dalam berbagai aspek baik pendidikan, hukum, dan ekonomi. 

"Tidak ada yang sia-sia di dunia. Tuhan melahirkan kamu ke dunia pasti karena ada sesuatu yang mau dikasih Tuhan ke kamu. Saya sangat berharap, anak-anak di tempat saya dapat dibina agar mereka sadar kalau mereka punya hak yang memang layak dan harus didapatkan," tutup Karin.

Baca juga: Indonesia Tidak Bisa Hanya Andalkan Pendidikan Formal untuk Maju

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau