Rabu, 12 Maret 2025

Amnesty Internasional Indonesia: Amnesti Massal Harus Diikuti Revisi UU ITE dan Penghapusan Pasal makar dan Penghinaan Presiden

- Jumat, 20 Desember 2024 | 14:00 WIB
Unjukrasa menuntut revisi UU ITE Foto: Amnesty International Indonesia
Unjukrasa menuntut revisi UU ITE Foto: Amnesty International Indonesia

ruangkota.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyoroti rencana pemberian amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana, termasuk untuk kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penghinaan kepala negara/presiden dan kasus terkait Papua.

Dalam pernyataan yang dirilis di laman resmi Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan amnesti kepada narapidana saat ini terlihat seperti solusi pragmatis untuk menyelesaikan permasalahan di hilir, yaitu kelebihan kapasitas di lapas.

Namun pada sisi lain, menurut Usman, Negara terkesan tidak memiliki niat serius untuk menyelesaikan permasalahan utama di hulu.

“Salah satunya, pendekatan pidana terkait narkotika—termasuk untuk penggunaan pribadi–yang jumlahnya berkontribusi besar pada persoalan kelebihan jumlah orang di penjara di Indonesia,“ ujar Usman dikutip dari pernyataan resmi Amnesty Internasional Indonesia.

Amnesty International mendorong Indonesia untuk beralih dari kebijakan yang berdasarkan pada pemidanaan dengan memilih alternatif berbasis bukti yang melindungi kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia mereka yang membutuhkan obat-obatan dan komunitas yang terdampak.

Momentum ini juga harus diikuti dengan revisi atau penghapusan aturan hukum yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi suara-suara kritis.

Setidaknya revisi UU ITE mendesak untuk segera ditinjau ulang dan ini menjadi momentum yang tepat jika negara betul-betul ingin menunjukkan komitmennya terhadap HAM.

Selain itu negara juga harus membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE hanya karena mengekspresikan pandangannya secara damai.

“Termasuk Septia Dwi Pertiwi, yang pada Kamis 12 Desember lalu dituntut satu tahun penjara hanya karena mengkritik secara damai upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diterimanya,“ tandas Usman.

Jika permasalahan di hulu tidak diselesaikan, lanjutnya, maka pemerintah akan disibukkan dengan berapa banyak jumlah amnesti yang harus dikeluarkan negara ke depannya?

Politik pengampunan yang dilakukan oleh negara merupakan solusi jangka pendek karena tidak menyelesaikan akar permasalahan utama di hulu. Pemberian amnesti kepada Baiq Nuril pada tahun 2019 dan Saiful Mahdi pada tahun 2021 buktinya tidak menghentikan jumlah orang-orang yang dipidana menggunakan UU ITE.

Usman menegaskan, kebijakan amnesti massal ini baru bisa dikategorikan sebagai penghormatan terhadap HAM jika negara menjalankannya sepaket dengan revisi atau penghapusan undang-undang dan aturan hukum yang kerap digunakan membungkam ekspresi damai.

“Seperti UU ITE, pasal penghinaan terhadap presiden dan pasal-pasal makar yang kerap digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang berekspresi secara damai di Papua dan Maluku,“ imbuh Usman Hamid.

Mereka yang dipenjara karena menghina presiden maupun karena tuduhan makar di Papua dan Maluku harus segera dibebaskan saat ini juga.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Esti Utami

Tags

Terkini

Menebak Arah Gerakan Mahasiswa Jaman Now

Jumat, 7 Maret 2025 | 13:00 WIB

Seruan Salemba Kedua: Bebaskan Indonesia dari Gelap

Kamis, 27 Februari 2025 | 17:00 WIB

Puncak Demo Indonesia Gelap Dihelat di Sejumlah Kota

Kamis, 20 Februari 2025 | 19:00 WIB
X