Jurnal Persaingan Usaha

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 88

BISNIS & EKONOMI POLITIK

Quarterly Review of the Indonesian Economy

Published by
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta-Indonesia
ISSN: 1410-2625
____________________________________________________________________________
Advisory Board:
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, University of Indonesia
Emil Salim, University of Indonesia
Juwono Sudarsono, University of Indonesia
Muslimin Nasution, MWA Bogor Agricultural University
Nurimansjah Hasibuan, Sriwijaya University
Suroso Imam Zadjuli, Airlangga University
Director:
M. Fadhil Hasan, Director of INDEF
Editor-in-Chief:
Bustanul Arifin, Institutional Economics
Assistants to the Editor:
Deniey Adi Purwanto, Macro Economics, Monetary and Banking
Enny Sri Hartati, Development Economics
Editorial Board:
Aviliani, Banking and Finance
Didik J. Rachbini, Development Economics, Political Economy
Didin S. Damanhuri, Development Economics, Political Economy
Dradjad H. Wibowo, Macro Economics, Development Economics
Faisal H. Basri, Development Economics
Iman Sugema, Macro Economics, Monetary and Banking
Indra J. Piliang, Political Science
M. Fadhil Hasan, Agricultural Economics, International Trade
M. Nawir Messi, Industry and Trade, Environmental Economics
Ravli Harun, Law
Rina Oktaviani, International Trade
Syamsul Muarif, Industry and Trade

______________________________________________________________________________
Bisnis & Ekonomi Politik (Quarterly Review of the Indonesian Economy) is devoted to the study of political economy and
business issues, focusing on encouraging transparency in economic decision making process in Indonesia. The review is
published quarterly in January, April, July and October by the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),
Jakarta, Indonesia. Subscription information, change of address, request for advertising rate and other business correspondence
should be sent to: Bisnis & Ekonomi Politik (Quarterly Review of the Indonesian Economy) INDEF, Jl. Batu Merah No.45,
Pejaten Timur, Jakarta 12510, Indonesia. e-mail at: [email protected], Facsimile at +62-21-7919-4018, Website: www.indef.or.id

BISNIS & EKONOMI POLITIK


Quarterly Review of the Indonesian Economy
Volume 9, Nomor 1, Januari 2008

CONTENTS

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

M. Fadhil Hasan
Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha
pada Industri Telepon Seluler di Indonesia
M. Fadhil Hasan dan Evi Noor Afifah
Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan
Nurul Achjar

29

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi


Seluler Indonesia
Mohamad Ikhsan Modjo

41

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia:


Perspektif Hukum
Rikrik Rizkiana, Albert Boy Situmorang & Hermanto Muljo

51

Kinerja Keuangan pada Industri Seluler di Indonesia:


Pasca Divestasi Indosat
Usman Hidayat

61

Perkembangan Ekonomi Indonesia Triwulan III Tahun 2007


Ahmad Erani dan Sugiyono

73

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

Refleksi P
ersaingan Usaha
Persaingan
pada Industri T
elek
omunik
asi di Indonesia
Telek
elekomunik
omunikasi
M. Fadhil Hasan

Persaingan usaha yang sehat akan


menguntungkan bukan hanya konsumen,
akan tetapi juga masyarakat secara
keseluruhan. Persaingan sehat akan
menghasilkan harga yang lebih rendah dan
jumlah produksi yang lebih banyak. Selain
itu, pasar dengan persaingan yang sehat juga
akan berproduksi dengan biaya rata-rata
minimum, yang berarti terdapat proses
produksi yang lebih baik dan pemborosan
yang lebih kecil atas sumber daya. Kesemua
hal ini berarti konsumen, masyarakat dan
negara akan lebih diuntungkan atas
banyaknya pilihan produk dan proses
produksi yang lebih efisien.
Kebijakan yang mendukung persaingan
usaha yang sehat juga telah menjadi isu
global dan nasional. Berbagai negara telah
memiliki undang-undang dan aturan yang
mengatur tercipta dan terpeliharanya
persaingan usaha yang sehat. Sementara di
Indonesia, telah terdapat Undang-Undang
(UU) No. 5 tahun 1999 yang mengatur
tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Maksud dari
undang-undang ini adalah: (1) melindungi
kepentingan umum, yaitu efisiensi ekonomi

guna meningkatkan kesejahteraan


masyarakat, (2) memastikan kesempatan
yang sama bagi perusahaan besar, sedang
dan kecil, dan (3) mencegah adanya praktek
monopoli dan persaingan usaha yang tidak
sehat.
Inti dari UU No. 5 Tahun 1999 adalah
melarang kesepakatan, aktivitas dan
penyalahgunaan dominasi pasar yang
dilakukan satu atau beberapa perusahaan.
Kesepakatan yang dilarang antara lain
ter masuk oligopoli, penentuan atau
diskriminasi harga, predator y pricing,
pembagian pasar, group boycotts, kartel,
perserikatan antar perusahaan, oligopsoni,
vertical integration, exclusive dealing dan
perjanjian dengan pihak asing yang dapat
mengakibatkan praktek usaha tidak sehat.
Aktivitas yang dilarang antara lain:
monopoli, monopsoni, market control,
predatory pricing, persekongkolan dalam
penawaran dan mendapatkan rahasia
pesaing.
Dalam hal ini, Komisi Pengawas dan
Persaingan Usaha (KPPU) yang diresmikan
pada tanggal 7 Juni 2000 dibentuk sebagai

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.8 (4), November 2007

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

implementasi dari Undang-Undang No. 5


tahun 1999. Lembaga ini berfungsi
memeriksa berbagai pihak yang diduga
melanggar UU No. 5 tahun 1999, memberi
putusan dan menjatuhkan sangsi kepada
para pelaku usaha yang terbukti melanggar
usaha tersebut. Sampai saat ini, beberapa
kasus pelanggaran persaingan usaha tidak
sehat telah diselesaikan oleh KPPU. Kasuskasus ini antara lain adalah kasus PT
Indomarco Prismatama, PT Indomobil
Sukses International, dan beberapa kasus
lainnya.
Kasus aktual yang ditangani oleh KPPU
belum lama ini adalah menyangkut industri
telekomunikasi seluler di Indonesia. Pada
tang gal 19 November 2007, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menyatakan Temasek Holdings (Temasek),
satu lembaga investasi milik pemerintah
Singapura, melanggar Undang-Undang
nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Pihak Temasek dinyatakan
bersalah karena memiliki saham pada
perusahaan sejenis di bidang usaha dan pasar
yang sama, yakni PT Telekomunikasi Selular
(Telkomsel) dan PT Indosat Tbk. Dimana
pangsa pasar kedua perusahaan ini terus
meningkat sejak terjadi struktur kepemilikan
silang (cross ownership) oleh Temasek, dan kini
menguasai 83 persen pangsa seluler di
Indonesia. Dengan kata lain, KPPU
memutuskan bahwa telah terjadi
pelang garan oleh Temasek melalui
kepemilikan silang pada Telkomsel dan
Indosat.

Dugaan ini bukan tidak beralasan,


KPPU menunjukan struktur kepemilikan
silang Temasek pada Telkomsel dan Indosat
menyebabkan adanya price-leadership
(penentu tarif) dalam industri
telekomunikasi seluler di Indonesia, yang
merugikan konsumen (consumer losses) dan
mengakibatkan pasar industri seluler
menjadi tidak kompetitif. KPPU juga
memvonis bahwa Temasek memiliki
pengaruh sangat kuat dalam setiap
keputusan di Telkomsel dan Indosat, serta
secara sengaja menghambat perkembangan
Indosat sehingga tidak efektif bersaing
dengan Telkomsel.
Lebih jauh, KPPU mensinyalir
Temasek dalam beberapa tahun belakangan
telah mengerdilkan peran Indosat dalam
industri seluler di Indonesia. Tujuan dari
pengkerdilan Indosat adalah agar Telkomsel
menjadi penguasa pasar dan bisa memegang
peran price leadership. Hal ini diindikasikan
dari pembangunan Base Transmitter System
(BTS) Indosat yang mengalami
perlambatan. Padahal, industri seluler adalah
bisnis jaringan. Besarnya jumlah BTS
merupakan instrumen utama untuk
memenangkan persaingan, dimana
pertumbuhan pelanggan akan berbanding
lurus dengan coverage area (cakupan wilayah)
operator tersebut. Sehing ga tidak
mengherankan lambatnya pertumbuhan
BTS Indosat menyebabkan Telkomsel
memegang posisi dominan. Terbukti saat
Indosat menurunkan tarif, Telkomsel tidak
terpengaruh. Sebaliknya, saat Telkomsel

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

menaikkan tarif, tarif Indosat pun ikut


meningkat.
Dalam hal ini, Temasek memang tidak
terkait langsung dengan Telkomsel dan
Indosat. Temasek masuk ke dua operator
tersebut melalui berbagai anak
perusahaannya (Lebih lengkap lihat: Dampak
Kepemilikan Silang terhadap Persaingan usaha:
Kasus Industri Telekomunikasi Seluler di
Indonesia). Sebagai contoh, Temasek masuk
menguasai Telkomsel melalui salah satu anak
perusahaannya, Singapore Telecom Mobile
Pte.Ltd, yang menguasai 35 persen saham
Telkomsel. Sementara, Pemerintah
Indonesia melalui PT Telkom menguasai 65
persen sisa saham. Persentase kepemilikan
yang lebih kecil dari Pemerintah Indonesia
tidak menghalangi Temasek untuk
memegang kendali perusahaan. Sebab saham
mayoritas yang dimiliki Pemerintah melalui
PT Telkom adalah sekedar saham pasif, yang
tidak memiliki pengaruh cukup kuat pada
operasional perusahaan. Atas argumentasi
tersebut, KPPU menyatakan Temasek
bersalah melanggar pasal 27 huruf (a) UU
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pernyataan bersalah ini dibacakan
dalam sidang pembacaan perkara No 7/
KPPU-L/2007 tentang dugaan pelanggaran
pasal 27 huruf 1 UU No 5/1999 di kantor
KPPU. Dalam pembacaan perkara tersebut
terdapat 10 pihak terlapor, yang semuanya
merupakan kepanjangan tangan dari
Temasek. Terlapor I: Temasek Holdings Pte.
Ltd, Terlapor II : SingTel, Terlapor III: STT

Communications Ltd, Terlapor IV: Asia


Mobile Holdings Company Pte Ltd,
Terlapor V: Asia Mobile Holdings Pte Ltd,
Terlapor VI: Indonesia Communications
Ltd,
Terlapor
VII:
Indonesia
Communications Pte Ltd, Terlapor VIII:
Singapore Telecommunications Pte Ltd,
Terlapor IX: Singapore Telecom Pte Ltd.
Dalam sidang ini, KPPU menyatakan
adanya hubungan sebab-akibat yang jelas
antara kepemilikan silang (cross ownership)
Temasek dengan kerugian di industri seluler.
KPPU membeberkan bahwa kepemilikan
silang (cross ownership) Temasek di Indosat
dan Telkomsel telah menimbulkan kerugian
konsumen di industri seluler sebesar Rp 14,7
triliun-30,8 triliun selama 2003-2006.
Untuk itu, KPPU memerintahkan
Temasek Holding Company dan beberapa
anak usahanya, yaitu STT (Singapore
Technologies
Telemedia),
STT
Communication, Asia Mobile Holdings
Company, Asia Mobile Holdings, Indonesia
Communication Limited, Indonesia
Communication Pte. Ltd., SingTel, SingTel
Mobile, serta Telkomsel, membayar denda
kepada negara masing-masing Rp25 miliar.
KPPU juga memerintahkan Telkomsel
untuk menghentikan praktik pengenaan
tarif tinggi dan selanjutnya harus segera
menurunkan tarif layanan seluler sekurangkurangnya 15 persen dari tarif yang berlaku
sekarang. Hal ini ditetapkan untuk
menurunkan tarif seluler di Indonesia yang
masih dianggap tinggi. Telkomsel disinyalir

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.8 (4), November 2007

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

sudah mencapai skala ekonomis, sehingga


seharusnya mereka sudah bisa memberikan
harga yang bersaing.
Selain itu, KPPU memerintahkan
Temasek dan anak perusahaannya untuk
menghentikan kepemilikan saham silangnya
di Telkomsel dan Indosat, dengan cara
melepas seluruh kepemilikan sahamnya di
salah satu perusahaan tersebut. Pelepasan
saham itu diberi toleransi waktu paling lama
dua tahun, terhitung sejak putusan ini
memiliki kekuatan hukum tetap. Pembeli
saham maksimal hanya boleh membeli lima
persen dari total saham yang dilepas. Pembeli
juga tidak boleh terasosiasi dengan Temasek
Holding maupun pembeli lain. KPPU juga
meminta Temasek dan anak perusahaannya
untuk melepas hak suara dan hak
mengangkat direksi serta komisaris pada
salah satu perusahaan yang akan dilepas
(Telkomsel atau Indosat) hingga dilepasnya
saham secara keseluruhan.

****

Keputusan tersebut, di satu sisi, layak


mendapat apresiasi masyarakat. Monopoli
Grup Temasek atas industri telekomunikasi
seluler Indonesia memang sudah lama
dirasakan dan tidak disukai oleh masyarakat.
Beberapa kajian tentang kondisi industri
telekomunikasi seluler, seperti misalnya
kajian oleh Lembaga Penyeledikan Ekonomi
Masyarakat (LPEM) FEUI dan Institute for

Economics Development and Finance (Indef),


juga telah menyimpulkan bahwa terdapat
praktek persaingan yang tidak sehat yang
merugikan masyarakat. Begitu juga, hasil
penyidikan yang dilakukan Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI)
menemukan bahwa biaya produksi untuk
panggilan dan SMS sangatlah rendah,
sementara tarif yang dikenakan Telkomsel
dan Indosat sangat tinggi, jauh di atas
ongkos produksi. Sehingga kebijakan tarif
yang ditetapkan tentu saja merugikan
pelanggan.
Di sisi lain, keputusan KPPU untuk
menunda pelepasan saham Grup Temasek
pada Telkomsel atau Indosat selama dua
tahun dan maksimal sebesar lima persen
juga menimbulkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat dan pengamat. Jangka
waktu dua tahun, setelah adanya keputusan
hukum tetap, dirasakan terlalu lama dan
akan memberikan ruang ketidakpastian
yang besar, bagi para stakeholders perusahaan
terutama manajemen operator terkait
maupun calon investor potensial.
Ketidakpastian ini pada gilirannya akan
mempengaruhi kinerja dari manajemen
perusahaan dan keseriusan investor baru
untuk menanamkan saham. Seharusnya
proses divestasi ini bisa dilakukan secara
lebih cepat sebagaimana umumnya proses
divestasi normal yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu enam sampai dua belas
bulan.
Begitu juga, batasan kepemilikan
sebesar lima persen saham pada calon

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

investor dirasakan sebagai keputusan yang


kontroversial untuk beberapa alasan.
Pertama, tidak jelas apa yang menjadi
bahan pertimbangan KPPU untuk sampai
pada kesimpulan batas maksimum sebesar
lima persen. Mengapa tidak Sepuluh persen
atau lima persen, atau bahkan lebih kecil.
Disini seharusnya terdapat penjelasan yang
lebih bersifat teknis, ekonomis dan hukum
berkaitan dengan pembatasan kepemilikan
saham ini sehingga dapat dilihat manfaat
yang diperoleh bagi perkembangan industri
yang lebih sehat.
Kedua, pembatasan maksimum lima
persen dari total saham yang akan dijual juga
bisa menyebabkan persoalan baru yang
bertolak belakang dengan upaya
menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Pembatasan kepemilikan lima persen akan
menyebabkan pihak Temasek sebagai satusatunya pemain yang memiliki kepemilikan
besar apda Indosat dan Telkomsel, yang
berpotensi untuk tetap melanggengkan
adanya pelanggaran terhadap ketentuan lain
dari UU No. 5/1999 ini.
Ketiga, pada gilirannya hal ini akan
memberikan dampak negatif pada
shareholders (pemerintah dan publik), dan
berpotensi untuk menyebabkan terjadinya
stagnasi pertumbuhan perusahaan. Jumlah
saham sebesar maksimal lima persen yang
dimiliki oleh para investor baru tidak akan
menimbulkan insentif kuat bagi mereka
untuk melakukan pengawasan lebih pada
perusahaan. Sebaliknya, jumlah saham yang

relatif kecil akan menyebabkan para investor


baru untuk sekedar melakukan free-ride dari
pengawasan yang dilakukan pemerintah.
Demikianlah, maka pada edisi ini kami
mengambil topik bahasan tentang
persaingan usaha pada industri
telekomunikasi seluler di Indonesia. Selain
merupakan topik yang aktual dan menarik,
diharapkan pembahasan ini dapat
memperkaya informasi kepada publik juga
sebagai bahan pertimbangan bagi berbagai
pihak untuk dapat melihat kasus ini secara
lebih menyeluruh sehingga dapat dihasilkan
keputusan yang lebih baik dan tepat.
Semuanya bermuara pada upaya untuk
menciptakan persaingan usaha yang sehat
pada industri telekomunikasi seluler
Indonesia di masa mendatang.

****
Atas dasar latar belakang di atas,
beberapa tulisan tentang persaingan usaha
pada industri telekomunikasi di Indonesia
akan disajikan dalam BEP Volume 8 Nomor
4 tahun 2007. Tulisan-tulisan ini adalah
sebagai berikut:
1.

Dampak Kepemilikan Silang terhadap


Persaingan Usaha: Kasus Industri
Telekomunikasi Seluler di Indonesia
(Dr. M. Fadhil Hasan & Evi Noor
Afifah, MSE). Dalam tulisan ini
dijelaskan bahwa terdapat dua pendapat
yang saling bertentangan mengenai
pengaruh dari indeks konsentrasi

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.8 (4), November 2007

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

terhadap kinerja pasar. Teori pertama


mengatakan bahwa dengan semakin
terkonsentrasinya suatu industri, maka
semakin mudah bagi perusahaanperusahaan
tersebut
untuk
mengkoordinasikan kebijakan (kolusi).
Kolusi
yang
berhasil
akan
meningkatkan keuntungan. Teori kedua
mengatakan bahwa struktur pasar tidak
mempengaruhi tingkat keuntungan.
Karena perusahaan yang berhasil
mendapatkan pangsa pasar yang besar
karena perusahaan tersebut lebih
efisien. Pada industri telekomunikasi
seluler di Indonesia terbukti berlaku
teori pertama

sesungguhnya lebih mendekati


konsepsi
pasar
persaingan
monopolistis
yang
tidak
mengharuskannya ada economic scale
yang membatasi jumlah produsen yang
menawarkan produknya di dalam
pasar. Dengan sifatnya yang lebih
mendekati persaingan monopolistik
maka segala proteksi dan regulasi yang
membatasi keluar-masuk produsen
pada pasar ini harus dihilangkan.
4.

Persaingan Usaha pada Industri


Telekomunikasi Seluler Indonesia:
Perspektif Hukum (Albert Boy
Situmorang, SE & Hermanto Muljo),
menjelaskan bahwa Cross-Ownership
oleh Temasek di Telkomsel dan
Indosat mengakibatkan tingginya
konsentrasi struktur industri dan market
power serta turunnya derajat kompetisi
diduga melanggar Pasal 27 huruf a UU
No.5/1999.
Disamping
itu,
penggunaan market power oleh
Telkomsel dengan mengenakan
excessive pricing diduga melanggar pasal
17 ayat (1) UU No.5/1999. Oleh karena
itu, perlu kiranya agar struktur pasar
industri telekomunikasi seluler
Indonesia ditata kembali agar tidak
terjadi cross ownership dengan divestasi
oleh Temasek di Telkomsel atau di
Indosat.

5.

Kinerja Keuangan pada Industri


Seluler di Indonesia: Paska Divestasi
Indosat (Ir. Usman Hidayat).

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

2.

Dampak Ekonomi Persaingan Usaha


pada Industri Telekomunikasi Seluler di
Indonesia: Aspek Kerugian Konsumen
(Dr. Nuzul Achjar), menjelaskan bahwa
kepemilikan silang Temasek pada
Telkomsel dan Temasek menyebabkan
mereka dapat mengendalikan tarif
telepon yang lebih tinggi dari yang
seharusnya. Hal ini dibuktikan dengan
membandingkan tarif di Indonesia
dengan tarif di beberapa negara. Selisih
tarif inilah yang kemudian merupakan
besaran kerugian konsumen.

3.

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada


Industri Telekomunikasi Seluler
Indonesia (Dr. Ikhsan Modjo), di mana
dijelaskan bahwa jasa telekomunikasi
seluler bukanlah pasar yang bersifat
natural monopoli. Pasar ini

Refleksi Persaingan Usaha pada Industri Telekomunikasi di Indonesia

masyarakat bahwa undang-undang ini akan


memperbaiki apa yang dianggap masyarakat
sebagai tindakan yang anti persaingan oleh
berbagai pihak. Misalnya, usaha kecil
mengharapkan undang-undang ini akan
melindungi mereka dari apa yang mereka
lihat sebagai praktek tidak adil dari
perusahaan besar. Praktek-praktek ini
mungkin sekali tampak tidak adil, tetapi
bukan berarti bahwa telah terjadi
pelanggarang terhadap undang-undang
persaingan. Selain itu, meskipun proses
peningkatan kompetisi di Indonesia
menemui banyak hambatan, baik dari segi
undang-undang itu sendiri maupun dari segi
implementasi, dalam beberapa tahun ini
telah terjadi berbagai macam kemajuan.
Kesadaran akan pentingnya kompetisi atau
persaingan itu sendiri patut dihargai dan arah
menuju usaha yang lebih sehat juga mulai
berjalan di Indonesia. Diharapkan dalam
tahun-tahun mendatang kebijakan tersebut
terus berlanjut dan bekarja dengan lebih
efektif.

Berdasarkan kinerja keuangan,


diketahui bahwa marjin laba usaha
industri telekomunikasi (seluler)
nasional melampaui rata-rata yang
diperoleh industri sejenis di dunia.
Namun, belum memberikan kontribusi
yang sepadan terhadap peningkatan
value perusahaan dan bagian laba bagi
pemegang saham. EBITDA tinggi,
tetapi tingkat kembalian modal (RoE)
dan kembalian aset (RoA) terbilang
rendah. Ini menandakan tingkat
efisiensi dan efektifitas manajemen
dinilai masih memerlukan perbaikan.
Likuidititas tergolong rendah, utamanya
berkait dengan kegiatan pembelanjaan
aktiva tetap (Capex) dan beban utang
yang relatif tinggi. Telkomsel dinilai
memiliki kinerja keuangan paling baik
dibanding dua operator seluler GSM
lain: Indosat dan Excelcomindo.
Dengan adanya Undang-Undang No. 5
tahun 1999 tersebut, muncul harapan dari
*****

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.8 (4), November 2007

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Kepemilik
an Silang,
Kepemilikan
Pola T
arif dan P
ersaingan Usaha
Tarif
Persaingan
pada Industri T
elepon Seluler di Indonesia
Telepon
M. Fadhil Hasan1 dan Evi Noor Afifah2

Abstract
By examining the empirical evidence of cellular market in Indonesia, this paper evaluates the impact of
intensity of competition at the level of network operation and service provision. The paper uses both the
standard industry structure analysis, as well price and accounting ratios comparisons to explore the degree of
competition and possible collusive behaviors among operators. The paper reveals that the Indonesias cellular
telecommunication industry is characterised by unsymmetrical competition, where three large operators dominated
around 84 percent of the market. Furthermore, in-line with the market power hypothesis in the industrial
organisation analysis, it is shown that higher concentration index reflects colluciveness and deliveres high
profits to operators in this industry.

1) Direktur Utama INDEF

2) Peneliti INDEF

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

1.

Pendahuluan
Industri Telekomunikasi merupakan

bagian dari Network Industries yang


menyediakan pelayanan transfer data dan
suara, seperti telepon (fixed dan cellular) dan
internet. Beberapa industri yang juga
termasuk ke dalam Network Industries di
antaranya adalah industri teknologi
informasi seperti software, hardware, industri
multimedia seperti broadcasting dan cable
television serta industri yang terkait dengan
jasa pengiriman. Karakteristik utama yang
umumnya terdapat pada Network Industries
adalah industri yang komponenkomponennya bersifat komplementer.
Karakteristik lainnya adalah industri yang
melayani kebutuhan dasar dalam kehidupan
sehari-hari,
sehing ga
memiliki
kecenderungan untuk dimonopoli oleh
pihak-pihak tertentu.
Industri seluler di Indonesia mengalami
perkembangan pesat dalam beberapa tahun
terakhir ini terutama setelah dikeluarkannya
UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi. Berdasarkan UndangUndang tersebut, penyelenggaraan jasa
telekomunikasi meliputi 3 hal yaitu: (1)
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, (2)
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan (3)
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Menurut UU ini BUMN, BUMD, Badan
Usaha Swasta dan Koperasi dapat
menyeleng garakan jaringan dan jasa
telekomunikasi. Sedangkan penyelenggara
telekomunikasi
khusus
dapat

diselenggarakan oleh perorangan, instansi


pemerintah dan badan hukum selain
penyelenggara jaringan dan atau jasa
telekomunikasi. Dengan berlakunya
undang-undang tersebut maka terjadi
proses liberalisasi industri telekomunikasi
di Indonesia. Dalam UU ini juga terdapat
pelarangan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha yang tidak
sehat.
Dalam perkembangannya kemudian
muncul 3 operator yang dominan dalam
industri ini terutama dalam bisnis telepon
seluler berbasis GSM, yaitu Telkomsel,
Indosat dan Excelcomindo. Selanjutnya
pada tahun 2002 pemerintah memutuskan
untuk melakukan privatisasi dan divestasi
Indosat dengan menjual 41,94 persen
saham pemerintah di Indosat dan yang
kemudian dimenangkan oleh Singapore
Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) yang
merupakan perusahaan telekomunikasi
terbesar kedua di Singapura yang 100 persen
sahamnya dimiliki Temasek. Sebelumnya
Group Temasek melalui SingTel juga telah
menguasai 35 persen saham Telkomsel.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
industri seluler di Indonesia dikuasai oleh
Temasek Holding.
Kepemilikan silang dan penguasaan
atas pangsa pasar yang ting gi dapat
mengakibatkan mekanisme pasar tidak
dapat bekerja secara optimal dan terjadi
praktek-praktek persaingan usaha yang

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

10

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

tidak sehat, yang bertentangan dengan


tujuan liberalisasi sektor telekomunikasi ini
yang melanggar UU No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Inti dari UU
No. 5 tahun 1999 adalah melarang
kesepakatan, aktivitas dan penyalahgunaan
dari dominasi suatu perusahaan.
Kesepakatan yang dilarang antara lain
ter masuk oligopoli, penentuan dan
diskriminasi harga, predator y pricing,
pembagian pasar, group boycotts, kartel,
perserikatan antar perusahaan, oligopsoni,
vertical integration, exclusive dealing seperti
persekongkolan dalam penawaran,
mendapatkan rahasia perusahaan saingan
dan perjanjian dengan pihak asing yang
dapat mengakibatkan persaingan yang tidak
sehat.
Tulisan ini membahas persaingan usaha
pada industri telekomunikasi seluler di
Indonesia dengan melakukan pengujian
secara empiris menggunakan analisa struktur
industri dan pembentukan serta pola tarif
yang terjadi. Di samping itu dilakukan
analisa terhadap kinerja keuangan industri
dan perbandingan antara operator. Bagian
pertama akan mendiskusikan secara singkat
perkembangan industri seluler secara umum
dan kinerja keuangan industri dan masingmasing operator. Selanjutnya akan dilakukan
pengujian untuk melihat hubungan antara
kekuatan pasar dengan tingkatb konsentrasi
industri dengan dengan meregresikan
beberapa variabel bebas sebagai parameter
dari produktivitas dan pangsa pasar terhadap

profitabilitas sebagai variabel terikatnya.


Pada bab selanjutnya dilihat pola tarif
masing-masing operator dan pegujian untuk
melihat ada tidaknya keseragaman dari pola
tarif tersebut untuk mengetahui indikasi price
fixing oleh para operator. Kemudian akan
dibahas perkiraan welfare cost akibat dari
adanya persaingan usaha yang tidak sehat
pada industri seluler di Indonesia. Bagian
terakhir berisi kesimpulan dari kajian ini.

2.

Perkembangan Industri
Telekomunikasi Seluler

Industri telekomunikasi di Indonesia


merupakan industri yang mengalami
perkembangan yang pesat. Walaupun
kontribusi subsektor telekomunikasi
nasional dari tahun 1999-2003 masih berada
pada kisaran 1-3 persen PDB namun secara
lahiriah tampak sekali bahwa industri
telekomunikasi bertumbuh dengan cepat.
International Telekomunication Union
(ITU) menggambarkan bahwa pada tahun
2004 persentase pelanggan telepon seluler
di dunia telah mencapai 60 persen dari total
pelang gan telepon. Jika dilihat dari
teledensitasnya sebagai terlihat pada gambar
dibawah, jumlah pengguna telepon tetap di
seluruh dunia adalah 18,25 dan seluler 27,75
per 100 penduduk. Jika dilihat dari
teledensitas per benua per 100 penduduk,
negara-negara Eropa memiliki teledensitas
tertinggi sebesar 34,56 untuk telepon tetap,
dan 71,5 untuk telepon seluler, sedang

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

11

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 1
Peranan Industri Telekomunikasi terhadap PDB
Nilai Tambah
Bruto
Komunikasi

Pertumbuhan
Komunikasi
(%)

Kontribusi
Komunikasi
(% PDB)

0.79

7,034.50

8.70

1.85

0.09

398,016.80

4.92

7,895.80

12.24

1.98

0.40

2001

411,753.60

3.45

8,887.20

12.56

2.16

0.27

2002

426,943.00

3.69

10,285.40

15.73

2.41

0.23

2003

444,453.50

4.10

11,968.06

16.36

2.69

0.25

Tahun

PDB

1999

379,352.50

2000

Pertumbuhan
PDB (%)

Elastisitas
Pertumbuhan
Telekomunikasi

Sumber: BPS, diolah

negara-negara di benua Afrika memiliki


teledensitas terendah sebesar 2,38 untuk
telepon tetap dan 9 untuk telepon seluler.
Negara-negara Asean sendiri memiliki
teledensitasnya 6,62 per 100 penduduk
untuk telefon tetap dan 20,83 untuk seluler.
Terlihat jumlah pelanggan seluler lebih dari
dua kali lipat jumlah pelanggan telepon tetap.
Pada tahap awal kemunculan teknologi

selular, di negara-negara Asean yang telah


maju seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura,
pemakaian telepon seluler merupakan
pelengkap dari telepon tetap (cable/fixed line).
Namun bagi beberapa negara lainnya,
khususnya bagi negara-negara berkembang
seperti Kamboja, Filipina, dan Indonesia,
telepon seluler merupakan substitute atau
pengganti telepon tetap.

Gambar 1
Teledensitas Dunia

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

12

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Gambar 2
Teledensitas Negara-negara ASEAN

Dari gambar tersebut di atas, terlihat


kecenderungan keberadaan telepon seluler
menggantikan dominasi cara berkomunikasi
yang sebelumnya dikuasai oleh telepon
kabel. Kecuali di beberapa negara Asean
seperti Vietnam dan Myanmar, terlihat
telepon kabel masih mendominasi cara
berkomunikasi via telepon. Kecenderungan
yang sama juga berlaku di Indonesia,
pengguna telepon seluler kurang lebih

berjumlah tiga kali lipat dari jumlah


peng guna telepon tetap. teledensitas
penggunaan telepon di Indonesia adalah
4,49 telepon tetap per 100 penduduk dan
13,48 seluler per 100 penduduk, jauh
dibawah teledensitas Singapura, Malaysia
dan Brunei Darussalam. Tingginya tingkat
perkembangan pengguna telepon seluler di
Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2
Perbandingan Teledensitas antara Telepon Seluler dan Telepon Tetap

Tahun

Seluler

Telepon tetap*

populasi
(00 jiwa)

1999

2,154,708

5,810,951

2,030,470.00

2000

3,508,670

5,810,951

2,058,430.00

Teledensitas
Telepon
Seluler
Tetap
1.1
2.9
1.7

2.9

2001

6,394,179

6,414,348

2,086,470.00

3.1

3.2

2002

11,273,420

7,347,166

2,120,030.00

5.6

3.6

2003

18,495,251

7,650,349

2,182,332.43

9.1

3.8

2004

30,336,607

10,030,779

2,237,452.82

14.9

4.9

2005
46,959,972
13,057,318
2,263,933.33
23.1
Sumber: Dirjen Postel, diolah
Catatan: * Telepon tetap mulai tahun 2004 sudah termasuk telepon bergerak terbatas

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

6.4

13

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 3
Pangsa Pasar Berdasarkan Jumlah Pelanggan
(September 2006)

Operator

Jumlah
Pelanggan

% Share

Telkomsel

29.987.000

56,72

Indosat (Cell)

14.655.238

27,71

Exelcomindo

8.233.774

15,57

52.876.012

100

Total
Sumber: Dirjen Postel, diolah
Jika ditinjau pangsa pasar menurut
jumlah pelanggan per September 2006,
jumlah pelanggan telepon GSM di Indonesia
telah mencapai hampir 53 juta pelanggan.
Telkomsel menguasai 56,72 persen pangsa
pasar, Indosat sebesar 27,71 persen, dan
Exelcomindo sebesar 15,57 persen. Pangsa
pasar telepon seluler di Indonesia didominasi
oleh Telkomsel dan Indosat. Kedua
operator tersebut menguasai 84,4 % pangsa
pasar telepon seluler GSM.

Pelanggan telepon berbasis CDMA


sebesar 6,8 juta lebih. Dari jumlah
pelanggan sebesar itu, operator Telkom
menguasai 59,78 persen pangsa pasar.
Berikutnya Mobile 8 menguasai pangsa
pasar 21,14 persen, dan Bakri Telecom
menguasai 15,65 persen, dan terakhir
Indosat Starone yang hanya mampu
menguasai sebagian kecil pelanggan yaitu
hanya 3,43 persen pangsa pasar. Meskipun
ada peningkatan pada jumlah pelanggan,

Tabel 4
Pangsa Pasar Telepon CDMA Berdasarkan Jumlah Pelanggan

Operator
Telkom (Flexi)
Indosat (Starone)
Bakri Telecom (Esia)
Mobile 8 (Fren)
Total

Jumlah
Pelanggan
4.100.000
235.036
1.073.228
1.450.000
6.858.264

% Share
59,78
3,43
15,65
21,14
100

Sumber: Dirjen Postel, diolah

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

14

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 5
Jumlah Pelanggan Operator Telepon Seluler Pra dan Paskabayar
Berbasis GSM (Tahun 2003-2006)

Telkomsel
Tahun

INDOSAT
(Satelindo&IM3)

Excelcomindo

2003

Prabayar
(unit)
8,581,773

Pascabyr
(unit)
1,007,034

Prabayar
(unit)
5,600,882

Pascabyr
(unit)
361,562

Prabayar
(unit)
2,908,000

Pascabyr
(unit)
36,000

2004

14,963,000

1,328,000

9,214,663

539,944

3,743,000

48,000

2005

22,798,000

1,471,000

13,836,046

676,407

6,802,325

176,194

Sept-06

28,415,000

1,572,000

13,978,831

676,407

8,057,580

176,194

Sumber: Dirjen Postel

peningkatan dari pelanggan operator telepon


berbasis CDMA belum mampu menyaingi
perkembangan telepon bergerak GSM,
karena masih terbatasnya penggunaan
bandwidth oleh jaringan FWA.
Perkembangan total pelanggan telepon
seluler GSM tumbuh dengan sangat cepat.
Jumlah pelanggan Telkomsel sebagai market
leader bergerak cepat dari sekitar 9 juta pada
tahun 2003 menjadi lebih dari 29 juta pada
akhir tahun 2006.
Jika ditinjau dari sisi kinerja dalam
merebut pangsa pasar tahun 2006
Exelcomindo lebih baik dibandingkan
dengan Indosat. Berdasarkan informasi data
yang telah disebut sebelumnya, dari tahun
ke tahun pangsa pasar Indosat terus
mengalami penurunan. Bahkan setelah
divestasi, trend penurunan pangsa pasar ini
terus berlanjut.

Pasca divestasi, tahun 2004 dan 2005,


NTB yang disumbangkan oleh Indosat
berada pada kisaran Rp 6 triliun yang
otomatis menurunkan kontribusinya. Tahun
2005, hanya sebesar 28 persen, yang berarti
terjadi penurunan dibandingkan tahun
sebelumnya yaitu sekitar 34,63 persen. Pada
tahun 2006, sampai dengan bulan september
2006, kontribusi NTB hanya sekitar Rp 5
trilun.
Jika ditinjau dari kinerja keuangan,
operator yang memiliki tingkat efisiensi
paling tinggi adalah Telkomsel, sedangkan
yang terendah adalah Excelcomindo. Hal ini
dapat dilihat dari rasio antara biaya dan
pendapatan pada tahun 2005 sebesar
42persen, sedangkan Indosat dan
Excelcomindo masing-masing sebesar 69
persen dan 81 persen. Tingkat efisiensi dari
suatu industri atau usaha juga dapat diukur
dari profitabitasnya. Beberapa indikator
yang digunakan untuk melihat profitabilitas

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

15

2001

2002

2003

Pendapatan
Market Pendapatan Market
Usaha
Share
Usaha
Share
(Rp miliar)
(%)
(Rp miliar)
(%)

Pendapatan
Usaha
(Rp miliar)

2004
Market
Share
(%)

Pendapatan
Usaha
(Rp miliar)

2005
Market
Share
(%)

Pendapatan
Usaha
(Rp miliar)

2006
Market
Share
(%)

Pendapatan
Usaha
(Rp miliar)

Market
Share
(%)

4918

41,54

7572,9

45,96

11146

51,59

14765,1

53,14

21132,9

59,06

20916

63,15

5138,1

43,40

6767

41,07

8229,6

38,09

10430,1

37,54

11589,8

32,39

8871,6

26,79

1783,7

15,07

2138,8

12,98

2228,7

10,32

2590,7

9,32

3059,1

8,55

3333,7

10,07

11839,8

100

16478,7

100

21604,3

100

27785,9

100

35781,8

100

33121,3

100

Sumber: Laporan Keuangan, diolah

Tabel 7
Nilai Tambah Bruto Operator Seluler di Indonesia 2001-2006 (Rp Milyar)
2001
Operator

Telkomsel
Indosat
XL

16

Total

2002

2003

2004

2005

2006

Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
Kontribusi
KontriKontriKontriKontriUsaha
Usaha Kontri- Usaha
Usaha
Usaha
Usaha
NTB
(Rp miliar)
(Rp miliar) busi (Rp miliar) busi (Rp miliar) busi (Rp miliar) busi (Rp miliar) busi
(%)
3648,2

13,32

5287,2

48,15

8189,1

56,62

10969,9

59,28

16102,1

67,29

15548

68,64

22891,9

83,56

3754,6

34,19

4647,7

32,14

6408,7

34,63

6697,7

27,99

5003,5

22,09

856,2

3,13

1939,1

17,66

1625,4

11,24

1126,2

6,09

1129,7

4,72

2099,7

9,27

27396,3

100

10980,9

100

14462,2

100

18504,8

100 23929,5

100

22651,2

100

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

Tabel 6
Pendapatan Usaha dan Pangsa Pasar Perusahaan Penyedia Jasa
Telekomunikasi Seluler (Rp Milyar)

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 8
Perbandingan Rasio-Rasio Keuangan Indosat, Telkomsel dan Excelcomindo

Indikator

INDOSAT

TELKOMSEL

2005 (%) 2004 (%)

XL

2005 (%) 2004 (%) 2005 (%) 2004 (%)

Biaya Usaha/Pendapatan Usaha

68,49

69,34

41,51

45,68

81,37

74,43

Biaya Penyusutan/Pendapatan Usaha

26,58

26,72

14,42

17,95

38,04

37,15

Biaya Pemasaran/Pendapatan Usaha

3,11

3,32

2,38

2,41

11,71

10,84

38,80

38,54

34,73

39,31

46,75

49,91

Biaya Penyusutan/Biaya Usaha


Biaya Pemasaran/Biaya Usaha

4,54

4,78

5,75

5,28

14,39

14,56

58,09

57,38

72,91

72,28

56,67

62,71

EBIT

31,51

30,66

58,49

54,32

18,63

25,57

RoA

11,14

11,61

48,01

41,03

6,09

10,23

RoE

25,51

24,53

69,68

57,80

15,71

64,27

EBITDA

Sumber: Laporan Keuangan, diolah

antara lain EBITDA, EBIT, RoA dan RoE.


Dari ukuran-ukuran tersebut, semua
menunjukkan Telkomsel memiliki kinerja
yang paling baik. Rasio EBITDA terhadap
pendapatan Telkomsel sekitar 73 persen,
sedangkan Indosat dan Excelcomindo
masing-masing sebesar 58 persen dan 57
persen. Nilai EBITDA yang ting gi
menunjukkan ketersediaan kas bersih yang
dapat digunakan untuk melakukan ekspansi,
seperti pembangunan infrastruktur jaringan.
Ebitda yang tinggi ini menjadi salah satu
alasan mengapa tarif seluler di Indonesia
lebih mahal dari beberapa negara lain.
Menurut sumber dari Dirjen Postel, para
operator berdalih tingginya tarif yang
mereka tetapkan adalah untuk menutup
biaya infrastr uktur, terutama untuk
memperluas jaringan.

3.

Market Power Hypothesis

Tingginya
konsentrasi
pasar
memper mudah perusahaan untuk
meng gunakan kekuatan pasarnya
menghasilkan keuntungan yang tinggi yang
menandakan kinerja pasar yang rendah
karena konsumen membayar harga yang
terlampau tinggi. Perusahaan-perusahaan
pada industri yang terkonsentrasi cenderung
memiliki market power yang besar yang
memungkinkan terciptanya profit margin yang
tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
profit yang tinggi mengindikasikan performance
pasar yang bur uk, karena konsumen
membayar tingkat harga yang sangat tinggi.
Untuk melihat efek manakah yang lebih
dominan antara kekuatan pasar (Market
Power Hypothesis) dengan efisiensi (Efficiency

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

17

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Hypothesis) adalah dengan menguji suatu


model, di mana jika ditemukan bahwa price
cost margin memiliki hubungan positif dengan
tingkat konsentrasi maka hipotesis kekuatan
pasar dibenarkan sesuai dengan yang
diprediksikan oleh teori oligopoli. Karena
dengan semakin sedikitnya jumlah
perusahaan di dalam industri maka hal ini
akan mempermudah perusahaan untuk
berkolusi atau mengikuti harga yang
ditetapkan oleh perusahaan yang dominan.
Dengan menggunakan uji ekonometri,
yaitu dengan meregresikan beberapa variabel
bebas sebagai parameter dari produktivitas
dan pangsa pasar terhadap profitabilitas
sebagai variabel terikatnya. Produktivitas
ditunjukkan dengan menggunakan ukuran
produktivitas tenaga kerja, sedangkan pangsa
pasar yang menunjukkan market power dari
para pelaku dalam industri tersebut
ditunjukkan dengan Herfindahl Index.
Besarnya pengeluaran iklan dapat menjadi
ukuran dari suatu perusahaan dalam

upayanya untuk meningkatkan penetrasi


pasar.
Dari hasil uji regresi tersebut akan
terlihat efek manakah yang lebih dominan
antara kekuatan pasar dengan efisiensi. Jika
variabel Herfindahl Index secara signifikan
positif terhadap profitabilitas maka dapat
dikatakan dalam industri tersebut berlaku
market power hyphotesis. Sebaliknya jika
variabel produktivitas tenaga kerja yang
berpengaruh signifikan positif maka yang
terjadi adalah efficiensi hyphotesis, artinya
tingginya laba yang diperoleh berasal dari
kemampuan perusahan untuk mencapai
tingkat efisiensi yang tinggi, bukan karena
market power yang dimilikinya.
Variabel-variabel yang menunjukkan
adanya kekuatan pasar yang dimiliki yang
secara positif signifikan mempengaruhi
profitabilitas dalam industri telepon seluler.
Sesuai dengan yang diprediksikan oleh teori
oligopoli bahwa dengan tingginya tingkat

Tabel 9.
Hasil Uji Regresi dengan Profitabilitas sebagai Variabel Terikat
Variabel Bebas

Indosat

Telkomsel

Herfindahl Index

Signifikan
positif

Signifikan
positif

Produktivitas Tenaga Kerja

negatif

negatif

Rasio Biaya Iklan

Signifikan
positif

Signifikan
positif

XL
Signifikan
positif
Signifikan
positif
negatif

Keseluruhan
Industri
Signifikan
positif
negatif
Signifikan
positif

Sumber: data diolah

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

18

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 10
KOLUSI
Dependent Variable: kolusi

Variable

Coefficient

Herfindahl Index

Signifikan positif

Sumber: data diolah

konsentrasi yang dimiliki oleh operator maka


dia mempunyai kekuatan pasar untuk
memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi.
Dengan semakin sedikitnya jumlah
perusahaan, ditambah lagi dengan adanya
cross ownership di dalamnya maka hal ini akan
mempermudah operator-operator tersebut
untuk berkolusi atau mengikuti harga yang
ditetapkan oleh operator yang dominan.
Secara tidak langsung hal tersebut juga
menunjukkan bahwa hipotesis efisiensi tidak
terjadi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
operator-operator seluler di Indonesia
sangat diuntungkan dengan struktur industri
telepon seluler yang mengarah ke bentuk
oligopoli.
Selanjutnya perlu diketahui apakah
tingkat konsentrasi tersebut berpengaruh
pada tingkat kolusi dalam industri telepon
seluler. Hal ini dapat diketahui dengan cara
meregresikan concentration ratio dan Herfindahl
Index terhadap tingkat profitabilitas, setelah
kita mengetahui dari hasil uji regresi
sebelumnya bahwa yang berlaku adalah
market power hypothesis. Dari regresi tersebut
akan diperoleh nilai dari b0 dan b1.
Kemudian besarnya tingkat kolusi (a)

diperoleh dengan cara a = b0/( b0+ b1).


Semakin tinggi nilai artinya senakin sama
pula tingkat profitabilitas untuk semua
perusahaan di dalam industri tersebut, di
mana hal ini menunjukkan adanya kolusi.
Kemudian nilai diregresikan kembali
menjadi variabel terikat, sedangkan variabel
bebasnya adalah Herfindahl Index. Hal ini
bertujuan untuk semakin memperkuat
market power hypothesis yang telah diuji
sebelumnya. Jika Herfindahl Index secara
positif signifikan mempengaruhi tingkat
kolusi maka menunjukkan bahwa market
power hypothesis benar-benar terjadi.
Dari hasil pengujian ekonometri
diperoleh hasil bahwa tingkat konsentrasi
berpengaruh positif terhadap derajat kolusi.
Secara teori dapat dikatakan bahwa yang
berlaku pada kasus industri telekomunikasi
seluler di Indonesia adalah market power theory,
di mana terkonsentrasinya suatu industri
mengakibatkan perusahaan dalam industri
tersebut berkolusi untuk mendapatkan
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dan
memungkinkan dengan mengorbankan
konsumen. Namun demikian dari hasil ini

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

19

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

belum bisa menunjukkan letak kolusinya,


apakah pada penetapan harga, pembagian
pasar atau yang lainnya.

4.

Pola Tarif Operator

Secara rata-rata perbandingan tarif pra


bayar dan pasca bayar semakin menurun
sampai dengan tahun 2005. Tetapi kemudian
pada tahun 2006, kecuali untuk XL
mengalami peningkatan. Demikian pula
dengan tarif rata-ratanya. Jika melihat tarif
rata-rata untuk pra bayar, terlihat ada
kesamaan trend antara Indosat dan
Telkomsel. Dengan demikian dimungkinkan
adanya kesepakatan dalam penentuan tarif
antara Indosat dan Telkomsel.
Pola tarif para operator yang berada di
bawah Temasek Holding (Telkomsel dan
Indosat) menarik untuk lebih lanjut dianalisa
karena terlihat adanya pola yang sama dalam

pecahan nominal tarif antara Indosat dan


Telkomsel pada layanan pasca bayar yaitu
Rp 450, Rp 531, Rp 775, Rp 938 dan untuk
layanan pra bayar yaitu Rp 300 dan Rp 1500.
Hal yang sama juga ditemukan pada
pembagian waktu pada layanan pra-bayar
yaitu masa peak antara waktu 07.00-22.59
dan masa off peak antara waktu 23.00-0659. Bagi pihak yang saling bersaing satu
sama seharusnya lebih menonjolkan
keunggulan kompetitif dan bukan justru
menyamakan apa yang dilakukan oleh
kompetitornya. Sebagai perbandingan, tarif
Excelcomindo ternyata mempunyai
nominal berbeda dengan Telkomsel dan
Indosat, yaitu Rp 325, Rp 337, Rp 581, Rp
810 dan Rp 935 dan relatif lebih murah
daripada tarif yang dibebankan oleh
Telkomsel dan Indosat.
Indikasi adanya penetapan harga secara
bersama-sama (price fixing) dapat dilihat dari
keseragaman atau kemiripan tingkat tarif

Tabel 11
Perbandingan Tarif Pasca-Bayar dan Pra-Bayar
2002
Operator

2003

Pra

Pasca

Telkomsel

1.137

Indosat

1.341

XL

1.665

perbandingan

2004

Pasca

1.042

1.137

1.042

1.208

999

1.206

999

1.146

1.031

1.573

1.031

1.286

1.643

1.128

(%)

Pra

2005

Pra

(%)

Pasca

2006

Pra

Pasca

1.697

1.126

1.697

1.366

1.697

1.833

1.067

1.833

1.083

1.833

1.643

984

1.643

(%)

(%)

Pra

Pasca

(%)

Telkomsel

109,05

109,05

71,22

66,37

80,49

Indosat

134,22

120,72

62,53

58,20

59,10

XL

161,43

152,54

78,25

68,64

59,88

Sumber: dari berbagai sumber, diolah

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

20

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Gambar 4
Jumlah Pelanggan dan Tarif Pasca Bayar Zona 0 On Peak
2003 - Sept2006

dan pola perubahan tarif (naik dan turunnya


tarif) antara Kartu Halo dan Matrix, yang
merupakan produk pascabayar Telkomsel
dan Indosat (lihat Gambar 1 dan Tabel 1).
Dari gambar dan tabel di atas, terlihat
bahwa pola tarif antara Telkomsel dan
Indosat yang cenderung memiliki
kecenderungan sama, sehingga dapat diduga
bahwa tidak terjadi persaingan harga dan
bahkan cenderung mengarah kepada
penetapan harga diantara keduanya. Praktek
ini menjadi rasional dalam rangka
memaksimalkan keuntungan Temasek di dua
perusahaan tersebut dengan menghindari
terjadinya perang harga antara dua

penyelenggara telekomunikasi bergerak


seluler terbesar di Indonesia. Di sisi lain,
Excelcomindo selalu menetapkan tingkat
tarif yang lebih rendah dan kebijakan untuk
menaikkan tarif mengikuti kenaikan tarif
yang dilakukan oleh Telkomsel dan Indosat.
Hal ini merupakan dampak lain dari adanya
praktek penetapan harga antara Telkomsel
dan Indosat yang dimotori oleh Temasek
dimana Excelcomindo sebagai operator
seluler ketiga terbesar telah memanfaatkan
tindakan price fixing yang dilakukan
Telkomsel dan Indosat untuk juga
mengambil keuntungan dengan menetapkan
harga di atas harga kompetitif yang
merugikan konsumen.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

21

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 12
Rata-Rata Tarif Percakapan Pasca Bayar dalam Zona 0
Hari Kerja (Rp/Menit)*
Ke PSTN
Kartu Halo

Matrix

Pro XL/Xplor

2003

504

504

489

2004

531

531

530

2005

531

531

530

2006

531

531

530

Sesama Operator
Kartu Halo

Matrix

Pro XL/Xplor

2003

813

813

812

2004

813

813

810

2005

813

813

810

2006

813

813

810

Antar Operator
Kartu Halo

Matrix

Pro XL/Xplor

2003

910

910

895

2004

938

938

935

2005

938

938

935

2006

938

938

935

Rata-Rata Tarif
Kartu Halo

Matrix

Pro XL/Xplor

2003

742

742

732

2004

761

761

758

2005

761

761

758

2006

761

761

758

Tarif baru Karto Halo efektif per 1 Mei 2004 zona lokal hari kerja 08.00-21.59.59 WIB
Tarif baru Matrix Reguler efektif per 1 Juni 2004 zona lokal hari kerja 08.00-22.00 WIB
Tarif baru Xplore efektif per 1 Oktober 2004 zona lokal hari kerja 08.00-21.59 WIB
*Tarif belum termasuk PPN 10%

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

22

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 13
Uji Pola Tarif Pasca Bayar
Operator

Uji Lavene
Peak

Telkomsel-Indosat-XL
Indosat-XL

Tukey test, Bonfferoni


test

Uji Anova

Off Peak

Peak

Off Peak

Peak

Off Peak

sama

sama

sama

Tidak sama

Sama

sama

Tidak sama

Sumber: data tarif, diolah

Dalam hubungannya dengan kebijakan


tarif oleh operator dengan kondisi
persaingan dalam industri seluler adalah
perlu dilihat apakah ada indikasi adanya price
abusing dan price fixing sebagaimana yang
sering terjadi dalam industri yang berstruktur
oligopoli. Para operator yang berada di
bawah Temasek Holding (Telkomsel dan
Indosat) diduga telah melakukan penetapan
tarif secara bersama. Sehingga sangat
penting untuk melihat apakah terdapat pola
yang sistematik dalam penentuan tarif oleh
para operator. Salah satu indikasi adanya price
fixing adalah adanya pola yang sistematis
dalam perubahan tarif (baik peningkatan
maupun penurunan). Perubahan tarif oleh
salah satu operator, biasanya yang dominan,
akan diikuti oleh operator lain. Dalam pasar
atau industri yang berstruktur oligopoli
terdapat kecenderungan bahwa para pemain
akan mengatur harga secara bersama-sama.
Penurunan harga pun dimungkinkan juga
sebenarnya merupakan strategi untuk tetap
mempertahankan pangsa pasarnya. Price
fixing adalah di mana gabungan produsen
memiliki kecenderungan untuk mengatur

harga secara bersama-sama sehing ga


mereka seakan-akan bekerja sama untuk
menangkap daya beli konsumen semaksimal
mungkin. Cara yang bisa dilakukan adalah
dengan melakukan persetujuan dengan
pihak lain dan dari persetujuan penetapan
suatu harga masing-masing mendapatkan
sejumlah imbalan tertentu.
Untuk menguji apakah ada indikasi price
fixingdengan melihat trend perubahan
data tarifdilakukan uji Levene, uji F Test
dan uji Tukey dan Bonfferroni. Uji Levene
digunakan untuk menguji asumsi anova
yaitu kehomogenan pada 3 pola tarif di 3
operator. Kemudian dengan uji F-test untuk
melihat apakah ada perbedaan rata-rata pola
tarif pada tiga operator. Selanjutnya dengan
uji Tukey dan Bonfferoni yang merupakan
uji lanjutan dari anova jika uji F-test
menyimpulkan bahwa ada perbedaan ratarata pada 3 operator, untuk melihat operator
mana saja yang memiliki penetapan pola
tarif yang berbeda.
Dari uji anova terlihat bahwa ketiga
operator memiliki rata-rata pola tarif identik

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

23

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 14
Uji Pola Tarif Pra Bayar
Operator

Uji Lavene
Peak

Telkomsel-Indosat-XL

Uji Anova

Off Peak

Sama

Peak

Sama

Sama

Off Peak
Sama

Tukey test,
Bonfferoni test
Peak
Off Peak
Sama

Sama

Sumber: data tarif, diolah

(sama) dalam tarif peak. Tetapi pada tarif


off peak memiliki rata-rata yang berbeda.
Hasil uji Tukey dan Bonfferoni test memiliki
kesimpulan yang sama dengan uji anova
untuk tarif pada saat peak session, yaitu
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
terhadap rata-rata dari 3 operator (head to
head). Namun untuk tarif pada saat off peak
session terdapat 1 perbedaan yang signifikan
yaitu antara operator Indosat dan XL.
Untuk tarif pra bayar, berdasarkan Uji
Levene asumsi kehomogenan data 3
operator terpenuhi. Selanjutnya, berdasarkn
uji anova ditunjukan tidak ada perbedaan
pola rata-rata tarif dari 3 operator baik pada
peak ession maupun off peak.

5.

Fungsi Permintaan dan Welfare


Cost

Besarnya profit yang diperoleh oleh


para operator karena adanya market power
pada dasarnya merupakan welfare cost. Untuk
mengukur welfare cost dari market power dapat
dilakukan dengan pendekatan besarnya

keuntungan produsen yang mempunyai


market power. Dari hasil tersebut terlihat
bahwa welfare cost yang semakin meningkat,
apalagi sebelumnya telah dibuktikan bahwa
pada industri telekomunikasi industri
bergerak seluler di Indonesia terdapat market
power hypotesis, bukan efficiency hypothesis.
Terdapat beberapa cara untuk
mengukur welfare cost dari market power. Salah
satunya adalah dengan mengestimasi
besarnya deadweight loss (DWL). Besarnya
DWL ini sangat tergantung pada besarnya
elastisitas permintaan konsumen. Semakin
inelastis maka DWL akan semakin kecil.
DWL tersebut terserap menjadi menjadi
keuntungan bagi produsen. Dengan strategi
ini operator berusaha mengambil deadweight
loss menjadi keuntungan. Akan tetapi
perhitungan ini akan menjadi bias jika
ternyata kemudian tidak ditemukan
besarnya DWL, sehingga seakan-akan tidak
ada welfare cost. Ini ditemukan pada kasus
AT & T yang juga merupakan bagian dari
network industry. Sehingga kemudian ada
pendekatan lain untuk menghitung besarnya

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

24

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

Tabel 15
Welfare Cost
2002
Indosat
Telkomsel
XL
Jumlah Welfare

Cost

2003

2004

2005

2006

376.157,2

876.422,0

1.140.624,3

1.093.181,7

851.135,2

1.493.450,3

2.020.088,8

3.528.816,6

5.283.356,3

5.952.737,8

77.948,9

163.011,9

430.055,5

447.867,4

812.688,1

1.949.558,4

3.061.525,7

5.101.500,4

6.826.410,4

7.618.567,2

Sumber: Laporan Keuangan, diolah.

welfare cost ini, yaitu dengan menggunakan


keuntungan produsen yang mempunyai
market power.
Berdasarkan welfare economics, di mana
dikatakan dalam kondisi ekuilibrium jika
salah satu pihak memperoleh keuntungan
(better off), sudah pasti ada pihak yang
dirugikan (worse off). Rumus yang dapat
digunakan yaitu:
welfare cost = A-T+(1/2)(+A)
= (2/3)(+A)-T
Di mana = profit produsen, A =
pengeluaran iklan, T = pajak

cost yang semakin meningkat yang terjadi


setelah divestasi Indosat pada tahun 2002.
Tabel tersebut juga menunjukkan welfare cost
yang ditimbulkan paling besar berasal dari
Telkomsel, Indosat dan XL. Welfare cost
tersebut merupakan harga yang harus
dibayar oleh masyarakat akibat dari kondisi
industri bergerak seluler di Indonesia yang
memiliki ciri dimana terdapat market power
hypotesis, bukan efficiency hypothesis. Artinya
penentuan harga tidak ditentukan oleh
persaingan usaha yang sehat melainkan oleh
kekuatan operator yang diduga bekerjasama
dalam penentuan tarif.

6.

Kesimpulan

1.

Hasil uji ekonometri menunjukkan


bahwa dari variabel-variabel yang diuji
ternyata variabel-variabel yang
menunjukkan adanya kekuatan pasarlah yang secara positif signifikan
mempengaruhi profitabilitas dalam
industri seluler. Hal ini ditunjukkan dari

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

25

Penggunaan ukuran di atas cukup


beralasan, apalagi sebelumnya telah
dibuktikan bahwa pada industri
telekomunikasi industri bergerak seluler di
Indonesia terdapat market power hypotesis,
bukan efficiency hypothesis. Sehingga besarnya
welfare cost dapat ditemukan. Sebagaimana
terlihat pada table berikut, terdapat welfare

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

mengakibatkan perusahaan dalam


industri tersebut berkolusi untuk
mendapatkan tingkat keuntungan yang
lebih ting gi dan memungkinkan
dengan mengorbankan konsumen.
Namun demikian dari hasil ini belum
bisa menunjukkan letak kolusinya,
apakah pada penetapan harga,
pembagian pasar atau yang lainnya.

signifikansi positif dari Herfindahl


Indeks terhadap profitabilitasnya.
Variabel yang menunjukkan efisiensi
seperti produktivitas tenaga kerja, justru
tidak signifikan, kecuali untuk XL.
2.

Sesuai dengan yang diprediksikan oleh


teori oligopoli bahwa dengan tingginya
tingkat konsentrasi yang dimiliki oleh
operator maka dia mempunyai kekuatan
pasar untuk memperoleh tingkat
keuntungan yang tinggi. Dengan
semakin sedikitnya jumlah perusahaan,
ditambah lagi dengan adanya cross
ownership di dalamnya maka hal ini akan
mempermudah operator-operator
tersebut untuk berkolusi atau mengikuti
harga yang ditetapkan oleh operator
yang dominan. Secara tidak langsung hal
tersebut juga menunjukkan bahwa
hipotesis efisiensi tidak terjadi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa operatoroperator seluler di Indonesia sangat
diuntungkan dengan struktur pasar
seluler yang mengarah ke bentuk
oligopoly.

4.

Jika melihat perilaku penetapan harga,


dari beberapa uji statistik terlihat
adanya indikasi price fixing. Hal ini dapat
dilihat dari pola tarif ketiga operator.
Dari hasil uji Lavene dapat disimpulkan
bahwa ketiga operator mempunyai
varians tarif yang sama baik dalam
masa peak maupun off peak. Dengan
uji anova terlihat bahwa ketiga operator
memiliki rata-rata pola tarif identik
(sama) dalam tarif peak. Tetapi pada
tarif off peak memiliki rata-rata yang
berbeda. Untuk melihat operator mana
yang berbeda dengan operator lainnya
maka uji dilanjutkan dengan uji lajut
yaitu Tukey test-Bonfferoni test
(perbandingan head to head 3 operator).
Dari hasil uji Tukey test, Bonfferoni
test memiliki kesimpulan yang sama
dengan uji anova untuk tarif pada saat
peak session, yaitu bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan terhadap
rata-rata dari 3 operator (head to head).
Namun untuk tarif pada saat off peak
session terdapat 1 perbedaan yang
signifikan yaitu antara operator Indosat
dan XL.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

26

3.

Selanjutnya, perlu untuk apakah tingkat


konsentrasi tersebut berpengaruh pada
tingkat kolusi dalam industri seluler.
Dari hasil regresi diketahui bahwa
tingkat konsentrasi berpengaruh positif
terhadap derajat kolusi. Oleh karena itu,
secara teori dapat dikatakan bahwa yang
berlaku pada kasus industri seluler di
Indonesia adalah market power theory, di
mana terkonsentrasinya suatu industri

Kepemilikan Silang, Pola Tarif dan Persaingan Usaha pada Industri Telepon Seluler di Indonesia

5.

6.

Dari hasil estimasi fungsi permintaan


diperoleh elastisitas dan akan terlihat
hubungan antara jumlah menit dan
besarnya tarif. Secara umum dapat
dipastikan untuk barang nor mal
hubungan antara jumlah pelanggan
Setiap terjadi penurunan tarif akan
menyebabkan consumer sur plus
meningkat atau sebaliknya jika terjadi
peningkatan tarif maka consumer surplus
akan berkurang atau timbul consumer loss.
Dari hasil estimasi permintaan jasa
telekomunikasi seluler terlihat adanya
hubungan negatif antara jumlah
panggilan/lamanya panggilan dengan
besarnya tarif sebagaimana kondisi
yang biasa terjadi sebagai implikasi
hukum permintaan. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa setiap kondisi
penurunan tarif akan mengakibatkan
surplus konsumen (consumer surplus). Hal
ini terjadi karena konsumen dihadapkan
pada tingkat harga yang lebih murah
sehingga daya belinya meningkat.
Sebaliknya, setiap kenaikan tarif
menyebabkan terciptanya consumer loss.

pada industri telekomunikasi telepon


bergerak seluler di Indonesia karena
adanya market power operator seluler.
Apalagi sebelumnya telah terbukti
bahwa pada industri ini berlaku market
power hypothesis.
Daftar Pustaka
Clarke, R, S. Davies dan M. Waterson. 1984.
The Profitability-Concentration Relation:
Market Power or Efficiency?. Journal of
Industrial Economics. Vol. 32, Issue 4,
June. Hal. 435-450
Donsimoni, M., P. Geroski dan A.
Jacqeumin. 1984. Concentration Indices and
Market Power: Two Views. Journal of
Industrial Economics. Vol 32, Issue 4,
June. Hal. 419-434.
Ghozali, A. 2000. Lecture Notes Ekonometrika.
Pascasarjana Ilmu Ekonomi. FEUI
Martin, S. 1988. Market Power and/or
Efficiency?. The Review of Economics
and Statistic. Vol.70, Issue 2, May. Hal.
331-335
Martin, S. 1994. Advanced Industrial Economics.
Blackwell Publishers.

Dikarenakan jika meng gunakan


pendekatan willingness to pay sulit untuk
membuktikan adanya consumer loss, maka
dapat digunakan pendekatan welfare cost.
Dengan pendekatan tersebut, dapat
simpulkan bahwa terdapat welfare cost

________. 1999. UU No. 5 Tahun 1999


tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha
*****

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

27

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

Persaingan Industri T
elek
omunik
asi
Telek
elekomunik
omunikasi
dan P
engaruhnya T
erhadap Kesejahteraan:
Pengaruhnya
Terhadap
Sebuah T
injauan P
ustak
a
Tinjauan
Pustak
ustaka
Nuzul Achjar1) dan Ibrahim Kholilulrohman2)

Abstract
This paper is a literature review to indicate the impact of telecommunication liberalization on welfarfe.
Two approaches are used to indicate social welfare such as additional consumer surplus and net welfare gain.
Using the case study of Japan and South Korea, this paper provides a methodological framework to analyze
additional consumer surplus and net welfare gain following the liberation of telecommunication industry. After
the introduction, the paper will discuss the development of Indonesian telecommunication industry, followed
with welfare analysis in telecommunication industry. Summary is presented at the last part of the paper that
also contains implicit recommendations.

1)
2)

Research Associate LPEM-FEUI


Junior Research Assistant LPEM-FEUI

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

29

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

1.

Pendahuluan
Industri telekomunikasi nasional pada

tahun 2007 banyak diwarnai dengan


berbagai isyu seperti tarif jasa
telekomunikasi yang dianggap relatif masih
tinggi dibandingkan dengan beberapa
negara, persoalan kepemilikan silang
ataupun akses jaringan untuk Sambungan
Langsung Jarak Jauh (SLJJ) yang belum
dibuka oleh operator telekomunikasi
incumbent. Isyu tersebut pada dasarnya
berpangkal pada persoalan belum
berjalannya
kompetisi
industri
telekomunikasi nasional secara efektif,
terutama pada jasa telekomunikasi seluler.
Beberapa indikator kinerja operator
telekomunikasi seperti Earning Before Interest,
Tax, Depreciation and Amortization (EBITDA)
ataupun Average Revenue per User (ARPU)
seringkali digunakan sebagai indikator untuk
melihat deteksi awal kondisi persaingan di
dalam industri telekomunikasi.
Pada 19 November 2007, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah
menetapkan Temasek melanggar Pasal 27a
UU No 5/1999 karena adanya kepemilikan
silang (cross ownership) perusahaan ini melalui
dua anak perusahannya masing-masing di
PT Indosat dan Telkomsel. Di samping
denda Rp 25 milyar, KPPU menuntut
Temasek melepas salah satu kepemilikannya
di PT Indosat dan Telkomsel. Khususnya
kepada Telkomsel, KPPU mengatakan
bahwa tarif seluler yang dibebankan kepada
konsumen dianggap masih tinggi dari

seharusnya sehing ga menetapkan


perusahaan ini mengurangi tarif hingga
15%.
Tarif jasa telekomunikasi menjadi
salah satu isyu penting setelah liberalisasi
industri telekomunikasi di berbagai negara
termasuk Indonesia. Melalui deregulasi
dengan dihapuskannya monopoli, tarif jasa
telekomunikasi diharapkan semakin
kompetitif
sehing ga
konsumen
memperoleh manfaat dari turunnya tarif.
Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas
dampak dari liberalisasi industri
telekomunikasi terhadap penurunan tarif yang selanjutnya berpengaruh terhadap
kesejahteraan (welfare) konsumen
berdasarkan tinjauan pustaka. Sisi lain dari
tulisan ini adalah tinjauan tentang metode
analisis yang digunakan untuk mengukur
kesejahteraan konsumen, khususnya dalam
industri
telekomunikasi.
Setelah
pendahuluan, diskusi akan membahas
perkembangan industri telekomunikasi
nasional secara umum, kemudian diikuti
dengan tinjauan pustaka tentang konnsep
kesejahteraan serta metode analisis yang
menyertainya. Bagian terakhir merupakan
ringkasan dari tinjauan pustaka serta catatan
rekomendasi yang menyertainya.

2.

Perkembangan Industri Jasa


Telekomunikasi
Kontribusi subsektor telekomunikasi
nasional terhadap PDB selama periode
2005-2006 berada pada kisaran 3% PDB.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

30

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

Pada periode yang sama, pertumbuhan


sektor telekomunikasi berkembang sangat
pesat yaitu 24%, lebih tinggi dari
pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 5-6%.
Pertumbuhan yang sangat pesat terutama
dialami oleh jasa telekomunikasi telepon
bergerak (seluler). Laporan Direktoral
Jendera Pos dan Telekomunikasi
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
teledensitas telepon seluler selama periode
1999-2005, dari hanya 1,1 per 100 penduduk
menjadi 23,1 per 100 orang. Jumlah
pelanggan meningkat dari 2,1 juta pada
tahun 1999 menjadi 46,9 juta pada tahun
2005. Gambaran tentang perkembangan
telepon seluler menunjukkan bahwa pada
tahun yang sama, jumlah pelanggan telepon
di Indonesia mendekati jumlah pelanggan
seluler di negara-negara maju seperti Prancis
dengan 48 juta pelanggan (ITU, 2005).
Pada tahun 2004 dan 2005, penerimaan
dari industri telekomunikasi seluler di
Indonesia masing-masing US$2,5 milyar dan
US$2,8 milyar yang berarti bertumbuh 14%
selama 2004-2005. Di Asia, pangsa pasar
Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar
di bawah China, Korea dan Malaysia.
Pertumbuhan pendapatan industri seluler
nasional ini jauh lebih tinggi dibandingkan
penerimaan di beberapa negara maju dalam
kelompok OECD dengan pertumbuhan
rata-rata 1,4%.

melanggar Pasal 27a UU No. 5/1999. Hal


ini disebabkan karena kepemilikan silang
Temasek di PT Indosat melalui anak
perusahaanya STT dengan saham 41%, dan
kepemilikan SingTel di Telkomsel sebesar
35%. Secara tidak langsung Temasek
menguasai sedikitnya 76% kepemilikan
saham di perusahaan yang bergerak dalam
industri telekomunikasi seluler di Indonesia1.
Perkembangan yang terjadi industri
telekomunikasi seluler di Indonesia makin
memperjelas bagaimana tarif tetap menjadi
isyu yang selalu muncul, khususnya ketika
liberalisasi jasa telekomunikasi dibuka.
Konsekuensi logis dari adanya
kompetisi adalah munculnya efisiensi
sehingga struktur biaya menjadi lebih
rendah yang selanjutnya menyebabkan tarif
yang dibebankan kepada konsumen menjadi
lebih rendah pula. Secara teoritis, dalam
persaingan usaha yang sehat, selisih antara
tarif dengan biaya tambahan (marginal cost)
yaitu biaya yang dibutuhkan untuk setiap
tambahan satu unit output tidak terlalu
besar. Walaupun demikian, analisis yang

Catatan lain dari perkembangan jasa


telekomunikasi seluler adalah keputusan
KPPU yang menghukum Temasek karena

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

Jumlah kepemilikan saham Temasek pada industri


jasa telekomunikasi seluler di Indonesia
menimbilkan interpretasi berbeda. Ada yang
berpendapat bahwa kepemilikan saham Temasek
dalam industri telekomunikasi nasional harus dilihat
proporsional secara keseluruhan, tidak sekedar
menambahkan begitu saja saham anak perusahan
Temasek di PT Indosat dan Telkomsel. Tidak
seluruh kegiatan PT Indosat bergerak pada jasa
telekomunikasi seluler GSM.

31

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

terlalu fokus pada aspek tarif tanpa


memperhatikan aspek biaya serta pola
permintaan pasar akan menimbulkan bias
untuk sampai pada kesimpulan bahwa telah
terjadi kecenderungan praktek persaingan
usaha tidak sehat. Jika permintaan jasa
telekomunikasi tidak elastis, atau dalam kata
lain perubahan tarif tidak begitu
mempengaruhi perubahan permintaan,
maka penyedia jasa telekomunikasi
cenderung akan membebankan tarif yang
tinggi serta biaya produksi yang tinggi pula.
Terdapat indikasi bawa tarif jasa
telekmunikasi seluler di Indonesia masih
lebih tinggi dibandingkan dengan tarif di
beberapa negara lain. Sebagai pembanding,
pada jam sibuk (peak), tariff PT Indosat
dan Telkomsel berkisar antara Rp 1.500-Rp
1.600 per menit, sementara di negara
ASEAN lain dan India, tarif berkisar antara
Rp 500-Rp 1400 per menit. Implikasinya,
secara ekonomi selisih harga tersebut
menimbulkan kerugian konsumen. Jika tarif
seluler di Indonesia mengadopsi tarif yang
berlaku di negara ASEAN lain, dan dengan
asumsi preferensi pengguna telepon seluler
Indonesia tidak berubah, akan lebih banyak
lagi pelanggan yang dapat memanfaatkan
jasa telepon seluler.
Biaya produksi pada industri
telekomunikasi seluler di Indonesia agak
sukar dilakukan karena kendala tidak
tersedianya data. ITU sendiri tidak
mencantumkan besar nilai investasi
telekomunikasi seluler di Indonesia,
sementara pada publikasi yang sama, dengan

mudah akan ditemukan data investasi negara


lain seperti Laos, Ethiopia, Zimbabwe
bahkan Mongolia. Dengan keterbatasan ini,
sebagai alternatif digunakan pendekatan
yang lebih umum, yaitu dengan menghitung
dan membandingkan berapa tambahan
investasi yang dibutuhkan untuk setiap
tambahan satu pelanggan baru, baik telepon
tetap maupun seluler. Pendekatan ini tentu
tidak sepenuhnya akurat karena struktur
biaya pada telepon tetap dan telepon seluler
akan berbeda. Dengan pendekatan ini
diperoleh estimasi yang menunjukkan
bahwa tambahan investasi untuk setiap
tambahan satu pelanggan baru di Indonesia
pada tahun 2004 adalah US$113,7. Angka
ini lebih tinggi tinggi dibandingkan Thailand
(US$ 88,7), tapi rendah dari Malaysia
(US$384). Dengan demikian maka tarif di
Indonesia boleh lebih tinggi dari Thailand,
tetapi tidak boleh lebih tinggi lebih tinggi
dari Malaysia.
Analisis tentang struktur biaya
hendaknya tidak selesai sampai di sini karena
perlu disinergikan dengan pendekatan pola
permintaan yang diukur dengan elastisitas
permintaan. Besaran ini mengukur seberapa
responsif konsumen terhadap perubahan
tingkat harga. Elastisitas permintaan
dikatakan besar (elastis) jika konsumen
memiliki respon yang besar terhadap
perubahan harga. Dengan penurunan tarif
sedikit saja, jumlah tagihan seorang
pelang gan seluler pada suatu waktu
meningkat tajam. Artinya, walaupun
struktur biaya cukup murah, namun jika

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

32

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

elastisitas permintaan jasa telekomunikasi


tidak elastis maka tarif yang dibebankan ke
konsumen menjadi tinggi agar penyedia jasa
tidak rugi2.
Dengan beberapa pendekatan, selama
periode 2001-2003, elastisitas permintaan
jasa telekomunikasi seluler di beberapa
negara dapat diestimasi. Elastisitas
permintaan seluler di Indonesia diperkirakan
5,48; Malaysia 1,12; Thailand 8,79; dan
Singapore 0,21. Melalui estimasi elastisitas,
bersama-sama dengan analisis struktur biaya,
tarif seluler Indonesia seharusnya lebih
rendah dibandingkan tarif negara lain yang
biaya maupun elastitisitas permintaannya
lebih kecil. Jika biaya di Indonesia lebih tinggi
dibandingkan Thailand, namun dengan
elastisitas permintaan lebih tinggi, tarif
seluler di Indonesia seharusnya berkisar
28.4% lebih tinggi dibandingkan Thailand,
yang menunjukkan selisih biaya produksi
seluler antara Indonesia dan Thailand.
Kenyataannya, tarif seluler di Indonesia
hampir dua kali dibandingkan Thailand.

Surplus Konsumen dan Net Welfare


Gain
Sebagaimana telah dising gung
sebelumnya, manfaat dari adanya kompetisi
3.

Tingkat harga yang wajar pada suatu kondisi dapat


dilakukan dengan Learner Index. Learner Index
membandingkan tingkat harga dengan struktur
biaya serta elastisitas permintaan.

di dalam industri telekomunikasi pada


akhirnya adalah terciptanya industri
telekomunikasi yang efisien dan sekaligus
memberi kesejahteraan (welfare) kepada
konsumen atau masyarakat secara
keseluruhan. Dua indikator welfare yang akan
ditinjau pada tulisan ini adalah surplus
konsumen dan net welfare gain.

3.1 Surplus Konsumen


Surplus konsumen dalam konteks
industri jasa telekomunikasi merupakan
selisih antara pengeluaran pelanggan yang
sebenarnya (actual) dengan pengeluaran
maksimum di mana pelanggan bersedia
membayar (willingness to pay). Hausman
(1981).menafsirkan surplus konsumen
sebagai pendekatan untuk mengukur nilai
social (social value). Sejalan dengan Hausman,
Willig (1976) memberikan argumentasi
bahwa pendekatan surplus konsumen
merupakan salah satu cara untuk menilai
kesejahteraan social (social welfare). Walaupun
demikian, Hicks (1956) mengatakan bahwa
estimasi surplus kosumen dengan
menggunakan kurva permintaan Marshallian
bukan ukuran yang tepat untuk menilai
kesejahteraan karena jika harga turun dalam konteks ini jika tarif telekomunikasi
turun maka pendapatan efektif pelanggan
akan naik sehingga menggeser kurva utilitas
pelanggan lebih tinggi.
Gambar 1 menunjukkan bagaimana
surplus konsumen dapat diestimasi
berdasarkan adanya perubahan tarif dan

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

33

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

kurva permintaan telekomunikasi. Sebelum


ada deregulasi, vpc adalah tarif maksimum
di mana pelanggan bersedia membayar, yang
disebut juga sebagai harga maya (virtual price),
Pc(0) adalah tarif yang sesungguhnya dibayar.
Perbedaan tarif vpc dan pc(0) merupakan
dasar untuk perhitungan surplus konsumen
CS (0). Ketika deregulasi telekomunikasi
dilancarkan, terjadi penurunan tarif dari Pc(0)
menjadi P c(1). Di sini terjadi tambahan
surplus konsumen sebesar CS (1) (Lee dan
Lee, 2006).
Permintaan
terhadap
jasa
telekomunikasi antara lain dipengaruhi oleh
oleh biaya akses (Ps), biaya percakapan (Pc),
indeks harga barang komposit selain jasa
telekomunikasi (P z), pendapatan seluruh
individu (I), dan besarnya jaringan (N).
Fungsi permintaan agregat dapat
dirumuskan sebagai:

Q = Q( Ps , Pc , Pz , N , I )

sementara perubahan tarif dipengaruhi oleh


kondisi kekuatan pasar (market power) 3.
Kekuatan pasar dapat diperoleh operator
telekomunikasi secara mandiri atau
diperoleh melalui kerjasama dengan
operator lainnya. Indikasi adanya kekuatan
pasar dapat dianalisis dari ARPU4.
Sebagaimana telah dikemukakan,
analisis surplus konsumen merupakan salah
satu indikator untuk melihat manfaat yang
diperoleh dari adanya kompetisi di dalam
industri telekomunikasi menyusul
dilakukannya liberalisasi telekomunikasi
yang telah dilakukan oleh banyak negara
pada dekade 1980an, termasuk Indonesia.
Efektivitas kompetisi tercermin dari tarif
yang semakin kompetitif dan sekaligus
memberikan surplus konsumen sebagai
indikator terciptanya kesejahteraan.

(1)

Besanyar jaringan (size of network) N


menggambarkan potensi penduduk yang
mempunyai akses terhadap jaringan
telekomunikasi seluler. Tambahan surplus
konsumen pada tahun tertentu t dapat
diestimasi dengan:
(2)
Sebagaimana terlihat pada persamaan
(2), besar kecilnya tambahan surplus
konsumen tergantung dari perubahan tarif,

Kekuatan pasar (market power) secara sederhana


diartikan sebagai kemampuan per usahaan
meningkatkan pendapatannya dengan menetapkan
harga yang tinggi tanpa khawatir kehilangan
pelanggan yang akan pindah karena memilih
produk/jasa pesaing.

Di dalam Kerangka Regulasi Komunikasi


Elektronik Eropa yang baru, beberapa regulator
mengaitkan ARPU dengan significant market
power. Lihat McCloughan dan S. Lyons (2006).
Accounting for ARPU: new evidence from
international panel data. Telecommunication Policy
30: 521-532.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

34

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

Gambar 1.
Surplus konsumen sebelum dan sesudah deregulasi

Berdasarkan analisis terhadap kompetisi


telepon bergerak (internet and mobile
telephone services MTS) di Korea Selatan5,
Lee dan Lee (2006) menunjukkan bahwa
tidak selalu tarif menjadi lebih kompetitif
akibat dari mekanisme pasar (invisible hand).
Hal ini disebabkan karena tarif telepon
seluler di Korea Selatan dipengaruhi oleh
regulasi pemerintah.

Telepon bergerak di Korea Selatan menggunakan


teknologi CDMA.

Secara konseptual, pada pasca duopoli,


dalam struktur pasar yang tidak mempunyai
operator dominan, tarif ting gi yang
dibebankan oleh penyedia jasa atu operator
lama (incumbent) akan mendorong konsumen
untuk pindah ke penyedia jasa non-incumbent
atau jasa lain dengan tarif yang lebih
kompetitif. Kenyataannya tidaklah demikian
karena konsumen tetap tidak dapat
berpaling dari penyedia jasa incumbent karena
tarif yang diberikan oleh penyedia jasa baru
tidak terlalu signifikan berbeda dengan
penyedia jasa incumbent. Artinya, operator

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

35

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

baru belum dapat diharapkan terlalu banyak


untuk memberikan tarif yang lebih
kompetitif karena menghadapi beberapa
kendala seperti skala ekonomis yang belum
tercapai, keterbatasan spektrum, ataupun
eksternalitas jaringan lainnya. Kondisi ini
menimbulkan rasa tidak puas konsumen
sehingga regulator mengambil jalan tengah
untuk mengakomodasikan tuntutan
konsumen dan kepentingan operator
sekaligus (Lee dan Lee, 2006).
Analisis surplus konsumen telepon
seluler (MTS) di Korea Selatan yang
dilakukan oleh Lee dan Lee (2006)
mengambil data tahun 1996-2004, periode
ketika struktur pasar berubah dari duopoli
ke struktur pasar yang lebih kompetitif. Pada
era duopoli terdapat dua operator yaitu SK
Telecom dan Shinsegi Telecom. Pada pasca
duopoli, masuk tiga operator baru yaitu KT
Freetel, KT M.com dan LG Telecom.
Selama periode 1996-2004, surplus
konsumen pada industri telekomunikasi
seluler Korea Selatan diperkirakan mencapai
US$46,8 milyar, dan tambahan surplus
konsumen sekitar US$8.8 milyar pada
periode yang sama6

Estimasi Consumer Surplus yang dilakukan Lee dan


Lee (2006) belum termasuk eksternalitas jaringan
(option externality). Jika faktor ini dimasukkan,
kesejahteraan sosial total konsumen akan lebih
lebih besar lagi.

3.2. Net Welfare Gain


Sejalan dengan konsep surplus
konsumen yang diperoleh karena
penurunan tarif, net welfare gain merujuk pada
tambahan kesejahteraan yang diperoleh
berdasarkan kombinasi surplus konsumen,
pendapatan industri telekomunikasi, dan
biaya produksi. Studi tentang pengaruh
kompetisi industri telekomunikasi Jepang
terhadap net welfare gain dilakukan oleh Imai
(1994).
Pada tahun 1985 pemerintah Jepang
melakukan privatisasi terhadap dua operator
telekomunikasi masing-masing Nippon
Telegraph and Telephone Public
Corporation (NTT) yang bergerak dalam
jasa telekomunikasi domestik, serta Kokusai
Densin Denwa (KDD) yang bergerak pada
jasa telekomunikasi internasional. Pada awal
dilakukannya deregulasi, masuk dua
operator baru yang juga bergerak pada jasa
telekomunikasi internasional yaitu
International Digital Communication, Inc.
(IDC) dan International Telecom Japan Inc.
(ITJ). Kementerian Telekomunikasi Jepang
membuat dua klasifikasi operator, yaitu
operator Type 1 dan Type 2. Operator Type
1 adalah operator yang memiliki dan
mengoperasikan jaringan dan peralatan
sendiri, sementara Operator Type 2
menyewa jaringan dari operator Type 1. Dua
operator baru sebagaimana disebutkan
sebelumnya selanjutnya masuk dalam
kategori operator Type 1 (Imai, 1994).
Selama empat tahun beroperasi, pada tahun
1992, kedua penyedia jasa telekomunikasi

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

36

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

tersebut mampu merebut pangsa pasar


telekomunikasi internasional sebesar 29%.
Sebelum deregulasi, struktur pasar
domestik dan internasional Jepang bersifat
monopolistik, mirip dengan struktur pasar
telekomunikasi Indonesia sebelum
diluarkannya UU No 36/1999 Tentang
Telekomunikasi, di mana telekomunikasi
domestik dan internasional masing-masing
dimonopoli oleh PT Telkom dan PT
Indosat.
Menurut Imai (1994), deregulasi telah
memaksa KDD untuk menurunkan biaya
produksi serta harus siap memperoleh
keuntungan yang lebih kecil karena
kecenderungan menurunnya tarif.
Deregulasi telekomunikasi Jepang mampu
menurunkan biaya produksi telekomunikasi
internasional KDD sebesar 54,5%. Secara
keseluruhan termasuk telekomunikasi
domestik dan internasional, KDD mampu
menurunkan biaya 22,2% selama periode
deregulasi 1985-1992. Penurunan biaya ini
memberi pengaruh terhadap menurunnya
tarif telekomunikasi.
Pada tahun 1992 saja, tambahan surplus
konsumen Jepang mencapai 62,3 milyar yen
atau setara dengan 25,6% pendapatan
telekomunikasi Jepang. Selama delapan
tahun 1985-1992, tambahan surplus
konsumen Jepang mencapai 253,4 milyar
yen. Di samping surplus konsumen, studi
oleh Oniki, Oum, Stevenson dan Zhang
(1992) menunjukkan adanya perbaikan
manajemen dan operasi NTT sehingga

mampu menekan biaya tahunan sebesar


1,31% selama periode 1983-1987.
Net welfare gain dirumuskan sebagai :
W=R+SC

(3)

Di mana, W adalah net welfare gain, R


adalah total pemdapatan, S adalah surplus
kosumen, dan C adalah biaya total. Pada
Gambar 2 terlihat bahwa D0 dan D2 masingmasing adalah kurva permintaan sebelum
dan sesudah deregulasi. Pergeseran kurva D0
ke D 2 disebabkan karena meningkatnya
pendapatan (income effect). P c(0) dan P c(2)
masing-masing adalah tarif sebelum dan
sesudah deregulasi, sementara pc(1) adalah
tarif hipotetis (karena pengaruh faktor lain)
jika tidak ada deregulasi.
Net welfare gain seperti terlihat pada
Gambar 2 memasukkan pengar uh
pendapatan sehingga membedakannya
dengan tambahan surplus konsumen
( CS (1) ) seperti pada persamaan (2) dan
Gambar 1 sebelumnya. Area a merupakan
surplus konsumen sebelum deregulasi,
sementara area c adalah tambahan surplus
konsumen di luar pegaruh deregulasi. Area
b dan d masing-masing adalah surplus
konsumen dan tambahan surplus konsumen
karena kenaikan pendapatan akibat dari
pengaruh menurunnya tarif dan biaya.
Dengan adanya deregulasi, tambahan
surplus konsumen menjadi:

CSD = (b + c + d ) + (e + f )

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

(4)

37

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

Gambar 2.
Net welfare gain setelah deregulasi

Dari tambahan surplus konsumen


, net welfare gain W dari deregulasi
industri telekomunikasi berasal dari area e
dan f:
W=e+f
4.

(5)

Ringkasan
Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka

tentang manfaat yang diperoleh dari


liberalisasi industri telekomunikasi terhadap
kesejahteraan (welfare) dengan menggunakan
dua pendekatan yaitu surplus konsumen,

tambahan tambahan surplus konsumen


serta net welfare gain. Tinjauan pustaka ini
sekaligus memberikan kerangka umum
metodologi yang digunakan untuk
mengukur kesejahteraan. Terdapat indikasi
bahwa tarif seluler di Indonesia relatif
masih tinggi dibandingkan dengan tarif di
beberapa negara sehingga secara relatif
kesejahteraan yang diperoleh konsumen
pelanggan jasa telekomunikasi seluler
nasional lebih rendah dibandingkan dengan
tarif negara lain yang menjadi referensi.
Penurunan tarif sebenarnya justru akan
meningkatkan total pendapatan karena

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

38

Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan

adanya respons dari konsumen untuk


menambah permintaan. Kerugian karena
penurunan tarif lebih kecil dibandingkan
dengan tambahan keuntungan.

mobile telecommunications market:


The
case
of
Korea.
Telecommunications Policy 30: 605
621.
LPEM-FEUI (2007). Kajian Struktur,
Perilaku, dan Kinerja Industri Telepon
Seluler di Indonesia (tidak
dipublikasikan).

Daftar Pustaka
Hausman, J. A. (1981). Exact consumers
surplus and deadweight loss. The
American Economic Review, 71(4),
662676.

McCloughan dan S. Lyons (2006).


Accounting for ARPU: new evidence
from international panel data.
Telecommunication Policy 30: 521-532.

Hicks, J. R. (1956). A revision of demand


theory. Oxford: Oxford University
Press.

Oniki, H., Oum T.H., Stevenson, R. dan


Zhang, Y. (1992). The productivity
effects of the liberalization of Japanese
telecommunication policy. Mimeo.

Imai, Hiroyuki (1994). Asessing gains from


deregulation in Japans international
telecommunication industry. Journal of
Asian Economics Vol 5, No. 3: 381-398.

Willig, R. D. (1976). Consumers surplus


without apology. American Economic
Review, 66(4), 589597.

Lee, Duk Hee dan Dong Hee Lee (2006).


Estimating consumer surplus in the

****

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

39

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

Aspek Ek
onomi dan P
ersaingan
Ekonomi
Persaingan
pada Industri T
elek
omunik
asi Seluler
Telek
elekomunik
omunikasi
Mohamad Ikhsan Modjo

Abstract
This paper shows that Cellular Telecommunication Services is not a natural monopoly. Therefore, it
requires neither a regulation nor protection to prevent any additional provider from entering the market. It
then shows that the price level and the dynamic within this market depend chiefly on the existense and the
intensity of competitions between producers. Based on these, this paper will argues that minimum competition
within the Indonesia cellular tellecomunication industry is the reason for the high level of price charged to the
consumers and excessive profits earned by the producers. Therefore, this paper not only appreciates a recent
move by the Indonesian competition watch dog (KPPU) which mandates Temasek holding releases its shares
in PT Indosat or PT Telkomsel, it also suggests KKPU to be more pro active in the future to prevent any loss
accumulations for consumers.

Staf pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

41

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

1.

Pendahuluan

Beberapa tahun terakhir, industri


Telekomunikasi Seluler berkembang dengan
sangat pesat di Indonesia. Tingkat
teledensitas seluler masyarakat Indonesia
meningkat dari hanya sebesar 1.1 persen dari
jumlah populasi pada tahun 1999 menjadi
sebesar 23.1 persen dari jumlah populasi
pada tahun 2005. Dengan kata lain terdapat
peningkatan teledensitas sebesar tiga kali
lipat hanya dalam kurun waktu 6 tahun.
Angka ini diprediksikan banyak pihak akan
semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya pendapatan rata-rata
masyarakat dan perkembangan jaringan
operator seluler.
Peningkatan pangsa pasar ini tentu
memerlukan fondasi dan cakupan regulasi
industri yang bukan hanya memadai, akan
tetapi juga visioner sehingga bisa memayungi
inovasi produk dan proses yang kerap terjadi
pada industri ini. Dengan kata lain, regulasi
yang efektif pada industri telekomunikasi
seluler diperlukan selain untuk menjamin
adanya penetapan harga yang efisien dan
perlindungan konsumen di satu sisi. Di sisi
lain, regulasi yang efektif juga diperlukan
untuk menjamin kedinamisasan dan
persaingan yang sehat dalam pasar
telekomunikasi seluler.
Dengan kondisi ini, yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah apakah
diperlukan perlakukan khusus bagi industri
Telekomunikasi Seluler di Indonesia. Hal ini
mengingat ada sebagian kalangan yang

berpendapat bahwa industri ini bersifat


monopoli natural. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah dibutuhkan tingkat
keuntungan produsen dan harga yang jauh
dari normal, sebagaimana keuntungan dan
harga dalam pasar monopoli, untuk
menjamin kedinamisan dan invetasi pada
industri ini dalam jangka panjang? Artikel
ini disusun sebagai satu upaya menjawab
kedua pertanyaan ini, dengan menilik kasus
pada konteks Indonesia.
Artikel ini disusun dengan struktur
sebagai berikut. Bagian pertama akan
membahas karakteristik teoritis dari pasar
telekomunikasi seluler. Bagian kedua
menelaah kondisi empiris pasar seluler di
beberapa negara. Bagian ini dilanjutkan
dengan analisis empiris kondisi di
Indonesia. Sebagai penutup akan diberikan
kesimpulan dan rekomendasi bagi
pengambil kebijakan di bidang
telekomunikasi seluler.

2.

Karakteristik Pasar Telekomunikasi


Seluler: Telaah Teoritis

Pasar jasa telekomunikasi setidaknya


dapat dibedakan ke dalam empat kategori:
pasar jasa Telekomunikasi Tetap (fixedwireline dan fixed wireless), pasar jasa
Telekomunikasi Seluler (mobile-wireless
cellular), pasar jasa Telekomunikasi
Bergerak Satelit, dan pasar jasa
Telekomunikasi Trunking. Keempat jenis
pasar ini meski memiliki keterkaitan yang

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

42

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

cukup erat satu dengan yang lain, akan tetapi


juga memiliki jenis produk, karateristik
teknologi dan tipologi permintaan
konsumen yang berbeda.
Dalam hal ini, sebagaimana industri jasa
telekomunikasi
lainnya,
Industri
Telekomunikasi Seluler kerap dinisbahkan
sebagai satu bentuk industri yang bersifat
monopoli natural (natural monopoly).
Alasannya, terdapat biaya dan waktu yang
cukup besar untuk membangun,
mengembangkan dan memelihara jaringan
infrastruktur telekomunikasi seluler.
Sehing ga untuk alasan ini, pasar
telekomunikasi seluler di satu negara kerap
dianggap hanya mampu dilayani oleh satu
perusahaan. Pasar yang dilayani oleh lebih
dari satu perusahaan akan berdampak pada
rendahnya tingkat efisiensi produksi dan
margin keuntungan yang akan diraih
perusahaan, sehingga otomatis juga akan
mengancam keberadaannya dalam jangka
panjang.
Akan tetapi, pendapat ini sudah terbukti
ketidakbenarannya. Ng (1989), misalnya,
beragumen bahwa industri Telekomunikasi
Seluler bukanlah satu bentuk pasar yang
bersifat natural monopoli untuk dua alasan:
inovasi produk yang dinamis dan relatif
tingginya kebutuhan teknologi pada pasar
ini. Ng lebih lanjut beragumen bahwa
keuntungan dari efisiensi dinamis akibat
persaingan yang sehat pada pasar
telekomunikasi seluler akan dapat menutup
kerugian yang mungkin timbul dari investasi
awal produsen. Selain itu, argumen besarnya

investasi awal adalah juga tidak tepat dewasa


ini, dimana banyak perusahaan baru dapat
sekedar meminjam infrastruktur untuk
kemudian mengemas produk layanan dan
jasa yang berbeda. Dari alasan-alasan ini
dapat dikatakan bahwa industri
Telekomunikasi Seluler hanya bersifat
monopoli natural dalam jangka pendek.
Akan tetapi dalam jangka panjang, industri
ini lebih bersifat monopolistik, dimana lebih
banyak produsen akan membawa
kesejahteraan (welfare) yang lebih tinggi bagi
masyarakat dan konsumen, sebagaimana
pesan umum pada teks dasar ilmu ekonomi.
Demikian pula, secara teoritis, pasar
yang bersifat monopoli natural tidak
memerlukan proteksi atau regulasi dari
pemerintah. Produsen yang bersifat natural
monopoli akan mampu menetapkan harga
sedemikian rupa, sehingga mampu untuk
memenuhi permintaan konsumen.
Sementara di saat yang sama, mereka juga
mampu meraih keuntungan dan mencegah
masuknya perusahaan lain ke dalam pasar
dengan struktur ongkos produksi yang ada
(Panzar dan Willig 1977).
Dari uraian singkat ini bisa disimpulkan
bahwa pasar Telekomunikasi Seluler
bukanlah pasar yang bersifat monopoli
natural. Sebab dari aspek ongkos produksi
dimungkinkan terdapat lebih dari satu
pemain yang berkecimpung pada pasar ini.
Pasar Telekomunikasi Seluler sesungguhnya
dapat dikategorikan sebagai pasar yang
bersifat persaingan monopolistik, yang tidak

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

43

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

mengharuskan adanya economic scale, apalagi


proteksi dan regulasi yang membatasi keluarmasuk produsen. Dengan kata lain, pasar ini
terbuka untuk persaingan antar sesama
produsen dengan perbedaan hanya pada
kualitas dan jenis produk serta pelayananan
yang diberikan kepada konsumen.
Dengan sifat pasar yang bersifat
monopolistik, semakin rendah tingkat
persaingan maka akan semakin tinggi harga
yang tercipta. Intensitas kompetisi dalam
pasar ini akan menentukan tinggi-rendahnya
tingkat harga yang bisa ditetapkan oleh
produsen. Akan tetapi yang perlu
diperhatikan, tingkat harga produk yang ada
di pasar tergantung bukan hanya pada
struktur ongkos produksi. Tingkat harga
produk yang diterima konsumen juga akan
tergantung perilaku kompetitif perusahaan
yang bermain dalam pasar telekomunikasi
seluler. Sebab, bisa saja saja tercipta satu
kondisi dimana struktur harga yang ada
terbilang efisien dari segi produksi, walau
tanpa persaingan. Sementara pada saat yang
sama, tingkat harga yang ada sangat bersifat
tidak efisien bila terdapat persaingan yang
tidak normal dalam satu industri. Hal ini
pada gilirannya akan menyebabkan apa yang
disebut kerugian efisiensi alokasi (allocative
efficiency loss) pada perekonomian. Secara
umum dapat dikatakan bahwa semakin
efisien biaya produksi dan semakin tinggi
tingkat kompetisi yang ada maka akan
semakin rendah tingkat harga dan
keuntungan produsen yang tercipta.

3.

Persaingan dan Dampaknya


di Manca Negara

Berbagai studi empiris di banyak


negara pada dasarnya mengafirmasi telaah
teoritis di atas. Dari Amerika Serikat, studi
Crandall dan Hausman (2000) menunjukan
bahwa dengan tambahan satu operator
telepon seluler maka akan tercipta harga
yang lebih rendah di pasar. Studi lain dari
negara-negara OECD juga menunjukan
bahwa
peningkatan
kompetisi
menyebabkan turunnya tingkat harga, tanpa
menyebabkan berkurangnya kentungan
produsen secara signifikan (OECD 1996).
Lebih lanjut, satu penelitian mengestimasi
bahwa peningkatan kompetisi dalam pasar
Telekomunikasi Seluler akan menyebabkan
penurunan harga sekitar 40 persen sampai
dengan 50 persen (Rossotto, Kerf dan
Rohlfs 2000). Studi yang sama juga
menunjukan bahwa harga yang ada
berbanding lurus dengan tingkat intensitas
kompetisi: semakin tinggi intensitas
kompetisi maka akan semakin rendah
tingkat harga yang tercipta di pasar.
Keberadaan kompetisi pada pasar
Telekomunikasi Seluler bukan hanya akan
menyebabkan menurunnya tingkat harga.
Pada waktu bersamaan, sebagaimana
ditunjukan oleh Table 1, semakin tingginya
tingkat kompetisi menyebabkan semakin
tingginya tingkat pertumbuhan pasar.
Tingginya kompetisi juga menyebabkan
semakin inovatif produsen. Di beberapa

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

44

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

Tabel 1.
Pertumbuhan Industri Telekomunikasi Sebelum dan Setelah Kompetisi
di Beberapa Negara
Negara

Tahun-1

Tahun-a

Tahun+1

Romania

37

1300

44

Estonia

NA

121.1

127

Philipina

161

153

111

Singapura

42

90

57

Belgium

85

116

125

Italia

26

57

81

Taiwan

19

58

37

Catatan: a adalah tahun dimulainya kompetisi.


Sumber: Rossotto, Kerf dan Rohlfs (2000).

negara, termasuk Indonesia, operator jasa


Telekomunikasi Seluler mencoba untuk
mempertahankan pangsa pasar yang dimiliki
dari kompetisi dengan memperkenalkan
inovasi produk dan jasa baru seperti
penampakan identitas penelpon (caller ID),
call forwarding, call waiting, data akses dan
internet melalui telepon seluler. Dari faktafakta ini bisa disimpulkan bahwa tingkat
persaingan akan menyebabkan pemainpemain yang ada ber usaha untuk
mempertahankan atau merebut pangsa pasar
yang ada bukan hanya dengan menurunkan
tingkat harga, akan tetapi juga dengan
mengembangkan fitur dan layanan

tambahan dari jasa Telekomunikasi Seluler


yang diberikan.
Begitu juga, dari studi yang ada di
beberapa negara, tingkat kompetisi yang
sehat pada industri Telekomunikasi Seluler
cenderung menyebabkan meningkatnya
tingkat investasi pada industri ini
sebagaimana juga tingkat pendapatan
perusahaan yang berkecimpung pada
industri ini (Rossotto, Kerf dan Rohlfs
2000). Pertumbuhan tingkat pendapatan
perusahaan disebabkan bertambahnya
jumlah pemakai dan kesediaan konsumen
untuk membayar lebih untuk fitur-fitur
tertentu yang ditawarkan operator
Telekomunikasi Seluler.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

45

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

Tabel 2.
Operator Jasa Telekomunikasi Seluler di Indonesia per September 2006

Operator

Jumlah Pelanggan

% Share

PT Telkomsel

29,987,000

55%

Pt Indosat

14,655,238

27%

Excelcomindo

8,233,774

15%

Lainnya

1,450,000

3%

TOTAL

54,326,012

100%

Sumber: Dirjen Postel


4.

Tingkat Kompetisi Industri


Seluler di Indonesia

Sebagaimana di negara lain, jasa


Telekomunikasi juga berkembang dengan
sangat cepat di Indonesia. Dari catatan yang
ada, sektor ini mengalami pertumbuhan
tidak kurang dari 12 persen per tahun
semenjak tahun 2000. Akibat pertumbuhan
ini, kontribusi sektor komunikasi terhadap
pembentukan PDB nasional juga mengalami
peningkatan dari sekitar 1,85 persen dari
PDB pada tahun 1999 menjadi sekitar 3
persen. pada tahun 2006. Pertumbuhan
kontribusi sektor telekomunikasi pada PDB
tentu saja tidak terlepas dari pertumbuhan
industri Telekomunikasi Seluler yang
mengalami peningkatan lebih dari 300
persen pada saat yang sama. Saat ini tercatat
tidak kurang dari 60 juta penduduk
Indonesia merupakan pengguna telepon

seluler. Di masa datang diperkirakan jumlah


ini akan bertambah dengan pesat seiring
dengan pertambahan pendapatan penduduk
dan meningkatnya kebutuhan komunikasi
masyarakat.
Pertumbuhan dramatis dari jasa
Telekomunikasi Seluler yang ada di
Indonesia dapat diatributkan pada beberapa
alasan. Pertama, ada peningkatan kebutuhan
berkomunikasi seiring dengan peningkatan
pendapatan masyarakat. Kedua, telepon
seluler adalah barang pengganti (substitute)
dari telepon tetap (cable/fixed line) yang
sampai saat ini masih sulit untuk diakses
masyarakat banyak dan memiliki waiting list
yang cukup panjang. Ketiga, operator dari
telepon seluler menawarkan pelayanan
konsumen yang jauh lebih baik ketimbang
telepon tetap. Keempat, telepon seluler,
terutama yang prabayar, adalah alternatif
lebih murah bagi sebagian masyarakat.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

46

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

Sayang, meski memiliki tingkat


pertumbuhan yang pesat, pasar jasa
Telekomunikasi Seluler di Indonesia dapat
dikatakan masih memiliki kosentrasi yang
cukup tinggi. Dari Tabel 2 di atas terlihat
bahwa hanya terdapat tiga pemain yang
memiliki pangsa pasar dalam pasar jasa
Telekomunikasi Seluler di Indonesia: PT
Telkomsel, PT Indosat dan Excelcomindo.
Lebih lanjut, sesungguhnya dapat dikatakan
bahwa pasar jasa Telekomunikasi Seluler di
Indonesia hanya dikuasai sebatas oleh dua
produsen, PT Telkomsel dan PT Indosat,
yang keduanya memiliki pangsa pasar secara
total sebesar 82 persen dari jumlah
pelanggan yang ada.
PT Telkomsel dan PT Indosat
sesungguhnya dapat dikatakan sebagai dua
perusahaan yang dikendalikan oleh satu
pemilik. Pemegang saham mayoritas PT
Indosat adalah Singapore Technologies
Telemedia PTE Ltd (STT), yang menguasai
41,94 persen saham. STT merupakan
perusahaan jasa telekomunikasi terbesar
kedua di Singapura yang 100 persen
sahamnya dikuasai oleh Temasek Holding.
Sementara, Temasek Holding melalui anak
perusahaannya yang lain, SingTel, menguasai
35 persen dari PT Telkomsel. Dengan
penguasaan silang saham di kedua operator
jasa Telekomunikasi Seluler terbesar,
Temasek holding sesungguhnya baik secara
langsung maupun tidak langsung telah
mempraktekan kebijakan yang menjurus
pada praktek monopoli pada industri

Telekomunikasi Seluler. Sebab melalui


penguasaan saham yang dimiliki, Temasek
Holding secara de-facto telah mengendalikan
atau setidaknya mempengaruhi kebijakan
dan strategi usaha dua operator jasa
Telekomunikasi Seluler terbesar di
Indonesia.
Pengendalian
pasar
jasa
Telekomunikasi Seluler secara de-facto oleh
Temasek Holding jelas berpengaruh pada
tingkat harga dan kedinamisan pasar jasa
Telekomunikasi Seluler di Indonesia. Dari
perbandingan tingkat harga jasa
Telekomunikasi Seluler antar negara yang
dilakukan Morgan Stanley, harga per menit
percakapan seluler di Indonesia adalah
nomer dua tertinggi di antara dua belas
negara yang disurvey (Tempo, 4 November
2007).
Demikian pula, konsentrasi pasar jasa
Telekomunikasi Seluler menyebabkan
adanya tingkat keuntungan yang tidak wajar
yang diraih oleh produsen jasa
Telekomunikasi Seluler di Indonesia.
Dewasa ini, tingkat keuntungan yang diraih
oleh operator jasa Telekomunikasi Seluler
Indonesia yang diukur dengan rasio
Penghasilan Sebelum Biaya Bunga, Pajak,
Depresiasi dan Amortisasi (EBITDA)
terhadap pendapatan berkisar antara 58
persen sampai dengan 73 persen (INDEF
2007). Pada saat yang sama, rasio EBITDA
terhadap pendapatan pada negara-negara
yan tergabung dalam OECD hanya bekisar
antara 28,3 sampai dengan 35,6 persen
(OECD 1996).

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

47

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

Tingginya tingkat harga dan tingkat


keuntungan yang direfleksikan oleh rasio
EBITDA terhadap pendapatan yang ada
pada pasar di Indonesia tentu merefleksikan
ketidaksehatan persaingan. Dalam hal ini,
para produsen kerap berdalih bahwa
tingginya tingkat harga dan keuntungan
dibutuhkan
untuk
memfasilitasi
pengembangan jaringan seluler yang mereka
miliki. Argumen ini tentu saja sulit untuk
dipercaya, sebab sebagaimana telah dibahas
pada bagian sebelumnya, bukti empiris di
banyak negara justru menunjukan bahwa
investasi pengembangan infrastruktur serta
inovasi pada jasa Telekomunikasi Seluler
tergantung lebih pada tingkat persaingan,
bukannya pada tinggi rendahnya tingkat
harga. Tingkat harga serta investasi bukanlah
penyebab akan tetapi lebih merupakan
resultan dari persaingan yang pada pasar.
Dari perspektif uraian di atas,
keputusan majelis komisi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) yang belum lama
ini memutuskan bahwa Temasek Holding
bersalah dalam kasus kepemilikan silang PT
Indosat dan PT Telkomsel patut diberikan
apresiasi yang tinggi. Sulit untuk
menegasikan bahwa tidak terdapat perilaku
yang kolutif dalam penetapan harga dan
persaingan bila dua badan usaha yang
seharusnya bersaing ternyata secara de-facto
dikendalikan oleh satu pihak. KPPU dalam
hal ini sekedar menjalankan hal yang telah
menjadi kewajiban pemerintah sebagai wasit
dari persaingan dunia usaha di Indonesia
yang bertugas melindungi konsumen dari
kecurangan-kecurangan yang merugikan.

Kekhawatiran-kekhawatiran sebagian
kalangan bahwa keputusan majelis komisi
KPPU akan berimbas negatif pada tingkat
invetasi di Indonesia adalah kekhawatiran
yang berlebihan. Sebab dari berbagai studi
yang diuraikan sebelumnya tingkat
persaingan yang sehat justru menjamin
adanya keberlanjutan tingkat investasi.

5.

Penutup

Sebagai penutup bagian ini akan


merangkum point-point penting dari uraian
ini dan implikasi kebijakan yang ada:
Pertama, jasa Telekomunikasi Seluler
bukanlah pasar yang bersifat natural
monopoli. Pasar ini sesungguhnya lebih
mendekati konsepsi pasar persaingan
monopolistis yang tidak mengharuskannya
ada economic scale yang membatasi jumlah
produsen yang menawarkan produknya di
dalam pasar.
Kedua, dengan sifatnya yang lebih
mendekati persaingan monopolistik maka
segala proteksi dan regulasi yang membatasi
keluar-masuk produsen pada pasar ini harus
dihilangkan.
Ketiga, intensitas kompetisi yang ada
pasar jasa Telekomunikasi Seluler
menentukan tinggi rendah tingkat harga
yang tercipta. Semakin tinggi intensitas
kompetisi yang ada semakin rendah tingkat
harga yang tercipta di pasar dan semakin
tinggi efisiensi yang dihasilkan untuk
masyarakat.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

48

Aspek Ekonomi dan Persaingan pada Industri Telekomunikasi Seluler

Keempat, tingginya intensitas kompetisi


juga akan menjamin tingginya inovasi
produk dan peningkatan jumlah invetasi
yang dilakukan produsen.

Ser vices: Effects of the 1996


Legislation. In: S. Peltzman and C.
Winston (eds.) Deregulation of
Network Industries: Whats Next?
AEI-Brookings Joint Center for Regulatory
Studies.

Kelima, rendahnya intensitas kompetisi


pada pasar di Indonesia telah menyebabkan
tingginya tingkat dan keuntungan yang diraih
oleh produsen.

OECD (1996) Competitions in


Telecommunications.
OECD.
Roundtables on Competition Policy.

Keenam, keputusan majelis komisi


KPPU yang memerintahkan pihak Temasek
holding untuk melepas sahamnya di salah
satu perusahaan, PT Indosat atau PT
Telkomsel, adalah keputusan yang tepat dan
perlu didukung sepenuhnya.

INDEF (2007) Laporan Akhir Kajian


Persaingan Usaha pada Industri
Telepon Seluler di Indonesia. INDEF.
Jakarta.
Ng, Y-K. (1989) Should a Natural
Monopolist Be Subject to
Competition? With Special Reference
to Cellular Mobile Telephone Services
in Australia. Institute of Applied Economic
and Social Research, Univeristy of
Melbourne.

Terakhir, untuk mencegah akumulasi


kerugian yang tidak terperihkan bagi
konsumen, sebagaimana kerugian sebesar
kurang lebih 30 triliun rupiah yang disinyalir
diakibatkan oleh perilaku kolutif PT Indosat
dan PT Telkomsel, pihak pemerintah dan
KPPU perlu lebih bersifat pro-aktif dalam
mengawasi tingkat persaingan. Tindakan
sekedar menjemput bola dan menunggu
laporan sudah bukan saatnya lagi. Sebab
tindakan reaktif seperti ini akan
menyebabkan bukan hanya akumulasi
kerugian, akan tetapi juga simpang-siur opini
publik yang akan mendistrosi substansi
persoalan yang sebenarnya.

Panzar, J.C. & Willig, R. G. (1977) Free Entry


and the Suistanainability of Natural
Monopoly. Bell Journal of Eonomics, 8(1).

Daftar Pustaka

Rossoto, C. M., Kerf, M. & Rohlfs, J., (2000)


Competition
in
Mobile
Telecomunications Sector Growth,
Benefits for the Incumbents and Policy
Trends. Journal of Policy, Regulation and
Strategy for Telecommunications Information
and Media, 2(1).

Crandall, R. & Hausman, J. (2000)


Competition in U.S. Telecommunications

Tempo, (2007) Terhadang di Salemba.


Majalah Tempo, 38/XXXVI/19.

****
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

49

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

Persaingan Usaha
elek
omunik
asi Seluler di Indonesia:
Telek
elekomunik
omunikasi
Industri T
Perspektif Huk
um
Hukum
Rikrik Rizkiana, Albert Boy Situmorang & Hermanto Muljo

Abstract

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

51

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

Industri telekomunikasi seluler di


Indonesia menyimpan potensi ekonomi pasar
yang sangat menjanjikan bagi pelaku usaha
sektor telekomunikasi, baik bagi pelaku usaha
incumbent maupun newcomer, mengingat
perkembangan yang cukup baik dan masih
rendahnya penetrasi penggunaan ponsel oleh
penduduk Indonesia. Tidak mengherankan,
memang, apabila banyak investor lokal
maupun investor asing yang memiliki rencana
untuk memasuki bidang usaha ini baik dengan
cara pendirian perusahaan baru dengan
membangun sendiri jaringan sejak awal
maupun melalui pembelian perusahaan
operator yang telah eksis dengan jaringan yang
telah tersedia.
Sebagaimana industri jaringan (network
industry) lain yang cenderung heavy regulated,
maka permasalahan yang termasuk krusial di
industri telekomunikasi seluler apakah regulasi
atau dalam artian lebih luas yaitu infrastruktur
hukumnya cukup mampu melindungi suasana
persaingan usaha yang sehat di industri ini.
Infrastruktur hukum persaingan usaha yang
mampu menjadikan suasana persaingan usaha
di industri ini memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi seluruh stakeholders yang
terkait berupa efisiensi industri, adanya equal
level of playing field, mendorong inovasi, dan
mehasilkan layanan yang berkualitas dengan
harga yang kompetitif bagi konsumennya di
Indonesia.
Karakteristik Pasar Industri Telekomunikasi
Seluler dan Kecenderungan Perilaku
Operator Dalam Bersaing di Indonesia
Karakter industri telekomunikasi
termasuk seluler ditandai dengan karakter

sebagaimana umumnya sebuah industri


jaringan (network industry) yaitu bahwa
komunikasi melalui telepon seluler hanya
bisa dilakukan melalui sebuah jaringan yang
membutuhkan penggunaan dua atau lebih
komponen jaringan yaitu nodes dan links
yang saling melengkapi (complementary).
Selain ditandai pula dengan karakter lock
in bagi para pelanggannya. Karakter mana
juga berlaku di Industri telekomunikasi
selular di Indonesia.
Dari perspektif kondisi struktur pasar,
industri telekomunikasi selular di Indonesia
ditandai dengan struktur pasar yang
oligopolis dengan 4 (empat) operator
telekomunikasi besar yang hampir
menguasai 100% (seratus persen) pangsa
pasar di Indonesia. Keempat operator yang
menggunakan platform teknologi Global
System for Mobile Communication (GSM)
dan Code Division Multiple Access
(CDMA) tersebut, yaitu Telkomsel sebagai
operator dengan jumlah pelanggan terbesar,
Indosat, Excelcomindo, dan Mobile-8. Dari
data yang diolah Dirjen Postel per
September 2006, Telkomsel adalah operator
telekomunikasi seluler dengan penguasaan
pangsa pasar yang terbesar, yaitu mencapai
30 juta pelanggan atau sekitar 55,2% pangsa
pasar, disusul Indosat dengan jumlah
pelanggan sebesar 14,65 juta pelanggan atau
26,98% pangsa pasar. Excelcomindo
menguasai 15,16% pangsa pasar atau
dengan menjangkau 8,23 juta pelanggan dan
terakhir, Mobile-8 memiliki 1,45 juta
pelanggan atau menguasai 2,67% pangsa
pasar telekomunikasi seluler.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

52

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

Sementara itu, struktur pasar industri


telekomunikasi di Indonesia juga ditandai
dengan adanya faktor hambatan masuk dari
sisi regulasi, yaitu: (i) pengaturan mengenai
penggunaan frekuensi yang terbatas yang
pada akhirnya membatasi jumlah operator;
dan (ii) kewajiban layanan universal (universal
service obligation/USO) sebagaimana diatur
melalui Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor 34 Tahun 2004, yaitu kewajiban
untuk membuka akses telekomunikasi ke
desa-desa dan kecamatan yang belum
terjangkau layanan telekomunikasi.
Disamping itu, terdapat beberapa hambatan
lain yang sifatnya alamiah, seperti
dibutuhkannya modal yang besar (high capital
intensive) untuk membangun infrastruktur
jaringan telekomunikasi, skala ekonomi,
perbedaan biaya produksi dan keistimewaan
sifat-sifat produksi.
Memperhatikan struktur pasar jasa
telekomunikasi seluler di Indonesia yang
karakteristiknya oligopoli, maka dalil/
postulat yang terutama adalah: di suatu pasar
dimana didalamnya hanya terdapat beberapa
pelaku pasar, maka terdapat saling
ketergantungan yang demikian besarnya
diantara pelaku pasar tersebut. Karena itu,
masing-masing
penjual
akan
mempertimbangkan reaksi rivalnya ketika
menetapkan berapa jumlah produksi dan
harga yang dikenakan. Hal ini berarti
oligopolis tidak akan menurunkan harganya
untuk memperbesar pangsa pasarnya, karena
keuntungan yang diperoleh akan terhapus
dengan segera apabila pesaing melakukan

tindakan pembalasan (retaliasi) berupa


diskon/pemotongan harga yang serupa.
Oleh karena itu, oligopolis akan terfokus
pada tindakan saling berkoordinasi dan
antisipasi.1 Industri yang ditandai dengan
adanya homogenitas produk, struktur biaya
produksi yang serupa diantara perusahaan
oligopolis, serta tingginya tingkat hambatan
masuk (entr y bar riers) cenderung
mengarahkan persaingan kepada tindakan
kolusi dan menghasilkan monopoli secara
bersama.
Lebih lanjut menurut Massimo Motta,
salah satu faktor yang mendukung terjadinya
kolusi (faktor struktural) adalah adanya cross
ownership dan hubungan lain antara pesaing.
Apabila satu pelaku usaha bertindak sebagai
pemegang saham (shareholder) di perusahaan
kompetitor,
meskipun
tanpa
mengendalikannya, maka ruang lingkup
untuk kolusi akan semakin besar. Terlebih
lagi jika perwakilan dari satu perusahaan
duduk dalam dewan Direksi dari perusahaan
pesaing, maka kecenderungan untuk saling
berkoordinasi dan melakukan pertukaran
informasi mengenai harga dan kebijakan
pemasaran (marketing policies) dengan
kompetitor akan semakin mudah. 2

Ernest & Kovacic, Antitrust Law and Economics in


a nutshells, 1994, hal.74-75.

Motta, Massimo, Competition Policy Theory and


Practice, 2004, hal.142

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

53

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

Tambahan lagi, masih menurut Motta,


meskipun perusahaan tidak mempunyai
posisi di dalam manajemen perusahaan
kompetitor, insentif untuk bersaing di dalam
pasar akan berkurang karena keuntungan
dari
perusahaan
pesaing
akan
mempengaruhi kinerja keuangan dari
perusahaan tersebut.3
Hal inilah terjadi dalam industri jasa
telekomunikasi seluler Indonesia, dimana
dengan adanya kepemilkan saham secara
silang (cross ownership), konsekuensinya adalah
terjadinya tacit collusion yang cenderung
mengarah kepada persaingan semu (sham
competition).
Sebenarnya dapat dikatakan bahwa
industri telekomunikasi seluler Indonesia
didominasi oleh 3 (tiga) operator seluler
dimana 2 (dua) diantaranya (Telkomsel dan
Indosat) saling terafiliasi satu sama lain
mengingat mayoritas sahamnya dikuasai
investor asing dari Singapura, yaitu SingTel
dan STT Communications, anak perusahaan
Temasek Holdings Pte, Ltd. (Temasek).
Tambahan lagi, dalam teori mengenai pasar
oligopoli, terdapat konsep/model price
leadership dimana perusahaan oligopolis yang
dominan memiliki kekuatan sebagai penentu
harga (price setter) yang selanjutnya diikuti oleh
perusahaan lainnya (price taker). Disini
korelasi akan berjalan ke satu arah dimana
perubahan harga produk yang dikenakan
perusahaan yang tidak dominan tidak akan
bereaksi terhadap harga perusahaan yang
dominan. Dalam kaitannya dengan hal ini,

operator jasa telekomunikasi seluler


memiliki kerjasama khususnya melalui
perjanjian interkoneksi diantara para
penyeleng gara jasa. kerjasama ini
meningkatkan kecenderungan untuk
berkolusi dalam hal-hal dimana seharusnya
terjadi persaingan, seperti penentuan tarif
komunikasi, pemasaran dan lainnya.

Analisis Hukum terhadap Dugaan


Pelanggaran Undang-Undang Nomor
5 Tahun 19994
Fakta hukum yang secara kasat mata
jelas terlihat adalah penguasaan/
kepemilikan kontrol melalui kepemilikan
saham dengan jumlah yang signifikan oleh
Temasek di 2 (dua) operator telekomunikasi
seluler yang dominan di pasar, yaitu di
Telkomsel (sebesar 35% saham) dan
Indosat (sebesar 40,77% saham).
Konsekuensi yang lebih jauh akibat
kepemilikan silang Temasek di dua
perusahaan ini adalah penempatan individuindividu kepercayaan Temasek di dua
perusahaan
tersebut,
sehing ga
memudahkan pertukaran informasi serta
tindakan koordinasi diantara keduanya,
disinilah dalil yang dikemukakan Massimo
Motta benar berlaku dan menemukan
tempatnya.

Ibid.

Sebagian disarikan dari Putusan KPPU No. 7/


KPPU-L/2007

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

54

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

Terhadap fakta kepemilikan saham


silang tersebut, pasal 27 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (UU No.5/1999) secara tegas
dan jelas menggariskan sebagai berikut:
pelaku usaha dilarang memiliki saham
mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis yang melakukan kegiatan usaha
yang sama dalam bidang yang sama
pada pasar bersangkutan yang sama, atau
mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki
kegiatan yang sama pada pasar bersangkutan yang
sama, apabila kepemilikan tersebut
mengakibatkan: (a) satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu; (b) dua atau tiga pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Dalam kaitannya dengan dugaan
pelanggaran pasal 27 UU No.5/1999,
struktur pemegang saham Telkomsel dan
Indosat adalah sebagai berikut:
Komposisi
Pemegang
Saham
Telkomsel:
(i). PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
(Telkom) sebesar 65%; dan
(ii). Singapore Telecom Mobile Pte, Ltd.
sebesar 35%.
Komposisi Pemegang Saham Indosat:
(i). Pemerintah Republik Indonesia, sebesar
14,58%;

(ii). Indonesia Communication Limited


(anak perusahaan STT Telecommunication) sebesar 40,77%; dan
(iii). Pemegang saham publik sebesar
44,65%.
Komposisi Pemegang Saham
Telkomsel:(i). PT
Telekomunikasi
Indonesia, Tbk. (Telkom) sebesar 65%;
dan(ii). Singapore Telecom Mobile Pte,
Ltd. sebesar 35%. Komposisi Pemegang
Saham Indosat: (i).
Pemerintah
Republik Indonesia, sebesar 14,58%;(ii).
Indonesia Communication Limited (anak
perusahaan STT Telecommunication)
sebesar 40,77%; dan(iii). Pemegang saham
publik sebesar 44,65%.
Menur ut teori hukum korporasi,
jumlah kepemilikan saham merefleksikan
bagian yang proporsional terhadap hak-hak
tertentu dalam manajemen dan profit dari
suatu perusahaan selama masa eksistensinya.
Urgensi penguasaan saham dalam jumlah
yang signifikan tidak hanya terbatas pada
berapa bagian keuntungan atau sisa asset
yang dapat diperoleh pemegang saham,
namun lebih jauh adalah hak suara untuk
menentukan strategi menghadapi
persaingan dengan kompetitor yang begitu
ketat. Memang, secara fakta Temasek hanya
menguasai 35% saham di Telkomsel dan
mengaburkan unsur memiliki saham
mayoritas dalam pasal 27 UU No.5/1999.
Namun demikian pengertian saham
mayortias harus diinterpretasikan lebih
lanjut terlepas dari penguasaan saham secara

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

55

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

fisik, tetapi lebih jauh lagi, dalam setiap


saham yang dikuasai satu pemegang saham
terdapat kendali atas pemegang saham lain
terhadap jalannya perseroan melalui hak
suara yang dimiliki pemegang saham dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Sesuai Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
(UUPT), setiap saham yang dikeluarkan
perseroan memberikan hak untuk
menghadiri RUPS dan mengeluarkan suara,
kecuali dalam hal Anggaran Dasar perseroan
bersangkutan menerbitkan saham dengan
klasifikasi tanpa hak suara. Kepemilikan
saham dengan voting right di atas 50% hampir
dapat dipastikan memberikan hak
pengendalian jalannya perusahaan kepada
pemiliknya (positive control). Sementara
kepemilikan saham dibawah 50% namun
diatas 25% hampir dipastikan memberikan
kemampuan pemiliknya untuk menghalangi
keputusan-keputusan strategis yang
memerlukan persetujuan mayoritas khusus
(negative control). Sehingga dapat dikatakan
bahwa kepemilikan saham 25% atau lebih
pada satu perusahaan juga memberikan
kendali yang signifikan pada perusahaan
tersebut. Sedangkan untuk kepemilikan
saham kurang dari 25%, tidak serta merta
mengakibatkan pemiliknya tidak memiliki
kendali terhadap perusahaan. Faktor-faktor
tertentu harus diperhatikan untuk melihat
apakah pemilik saham tersebut memiliki
decisive influence atau material influence. Adanya
pengaruh terhadap kebijakan perusahaan
menandakan pemilik saham tersebut

meskipun bukan merupakan saham


pengendali namun memiliki kemampuan
untuk mengendalikan perusahaan. Apalagi
jika dibelakang itu semua terdapat suatu
perjanjian yang memberikan beberapa hak
istimewa kepada pemegang saham
minoritas yang pada kondisi normal yang
merefleksikan besaran jumlah saham yang
dimiliki dengan hak suaranya (voting rights),
tidak mungkin dimiliki seperti hak untuk
menunjuk perwakilan di dewan direksi dan
komisaris dan hak untuk ikut menentukan
kebijakan perusahaan. Perjanjian yang
biasanya menyertai proses transaksi jual
belinya dalam suatu Sale & Purchase
Agreement (SPA).
Berdasarkan fakta, Temasek melalui
anak perusahaannya (Singapore Telecom
Mobile Pte, Ltd.) memiliki 35% saham
dengan hak suara di Telkomsel, hak untuk
menominasikan Direksi dan Komisaris
serta kewenangan untuk menentukan arah
kebijakan perusahaan terutama dalam hal
persetujuan ang garan melalui Capex
Committee dan kemampuan untuk mem-veto
putusan RUPS (negative control) dalam hal
mengenai perubahan anggaran dasar,
pembelian kembali/divestasi (buy back)
saham, peng gabungan, peleburan,
pengambilalihan, pembubaran dan likuidasi
perusahaan. Begitu pula di Indosat,
Temasek
(melalui
Indonesia
Communication Limited) memiliki sekitar
40,77% saham dengan hak suara, hak untuk
menominasikan Direksi dan Komisaris
serta kewenangan untuk menentukan arah

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

56

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

kebijakan perusahaan. Pemegang saham


lainnya adalah Pemerintah Republik
Indonesia sebesar 14,58% dan publik
sebesar 44,65%. Saham publik
diperdagangkan di pasar modal Indonesia
dan Amerika Serikat yang kepemilikannya
secara cepat dan terus menerus berubah
kepemilikannya sehingga secara keseluruhan
hampir tidak mungkin bagi pemegang saham
publik untuk bertindak secara bersamasama, karena itu maka Temasek adalah
pengendali aktif (positive control) di Indosat.
Dengan demikian, maka konkulsinya adalah
Temasek merupakan pemegang saham
mayoritas di Telkomsel dan Indosat.
Analisis Dampak Cross Ownership bagi
Persaingan5
Secara ekonomi, eksistensi kepemilikan
saham silang Temasek secara mayoritas di
Telkomsel dan Indosat menjadikan keduanya
sebagai entitas tunggal menurut doktrin single
entity, meskipun hukum memandang dari
sudut pandang yang berbeda yaitu adanya
keterpisahan antara badan hukum yang satu
dengan yang lainnya. Namun terlepas dari
hal tersebut, apabila secara ekonomi
keduanya dipandang sebagai satu entitas
tunggal maka akumulasi pangsa pasar
Telkomsel dan Indosat secara bersama-sama
adalah sekitar 82%.
Pengukuran dampak negatif cross
ownership terhadap iklim persaingan industri

Idem

telekomunikasi seluler dapat dilakukan


melalui beberapa indikator, yaitu: (i)
peningkatan konsentrasi industri setelah
terjadinya cross ownership; dan (ii) penggunaan
kekuatan pasar (market power) oleh pelaku
usaha. Dari perhitungan ekonomi yang
dilakukan berdasarkan metode Generalized
Herfindahl-Hirchsman Index (GHHI),
peningkatan pangsa pasar TelkomselIndosat secara kumulatif sejak terjadinya
cross ownership menghasilkan struktur pasar
industri telekomunikasi seluler yang semakin
terkonsentrasi. Peningkatan konsentrasi
pasar dengan sendirinya mengakibatkan
peningkatan kekuatan pasar (market power)
Telkomsel-Indosat untuk menetapkan harga
dan output tanpa terpengaruh oleh
keputusan perusahaan pesaing.
Penggunaan market power oleh pelaku
usaha (Indosat-Telkomsel), yang dapat
diindikasikan dengan tingginya harga jual
produk yang dikenakan dan marjin
keuntungan yang diperoleh namun tanpa
disertai kualitas yang memadai pada akhirnya
menyebabkan consumer loss. Disini, fenomena
yang terjadi adalah price leadership, dimana
keputusan pelaku usaha yang dominan
untuk menetapkan harga jual yang tinggi
menjadi pelindung atau intensif bagi pelaku
usaha pesaing untuk turut menikmati tarif
yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
terhambatnya konsumen untuk menikmati
harga/tarif berlangganan yang lebih murah,
dimana indikasinya adalah keseragaman tarif
yang dikenakan operator, tingginya harga jual
produk dan margin keuntungan yang

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

57

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

diperoleh antar operator (tingginya selisih


antara harga jual dengan biaya produksi).
Salah satu cara untuk membuktikan akan
adanya excessive pricing dapat dilakukan dengan
membandingkan tarif produk seluler dengan
produk yang sama di pasar lain dan
membandingkan komponen biaya yang
signifikan pada tiap panggilan, yaitu tarif
interkoneksi, seperti terlihat pada tabel di
bawah.
Perbandingan tarif intraoperator dan
interoperator di atas menunjukkan bahwa

tarif seluler di Indonesia secara signifikan


lebih tinggi dibandingkan dengan tarif
operator seluler di negara-negara ASEAN
dan India.
Untuk menentukan kewajaran tarif
interoperator, harus diperhatikan besaran
biaya interkoneksi antar operator. Berikut ini
akan dijabarkan tarif yang berlaku sekaligus
besaran rekomendasi tarif interkoneksi yang
diberikan OVUM, sebuah lembaga
independen dari Australia yang ditunjuk
pemerintah untuk mengaudit biaya
interkoneksi operator di Indonesia.

Perbandingan harga tarif berlangganan produk seluler negara-negara ASEAN


dan India, dirilis Dirjen Postel
Negara
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Malaysia
Brunei
Thailand
India
Singapura
Viatnam

Operator
Telkomsel
Indosat
XL
Celcom
B-Mobile
DTAC
BSN
Singtel
Mobiphone

Intraoperator (Rp)
Peak
Off Peak
1500
1500
1248
1493
289
524
475
924
462
737

Interoperator (Rp)
Peak
Off Peak
1600
1300
1500
1500
1537
1537
1493
978
577
524
518
924
462
819

Perbandingan tarif dan rekomendasi tarif interkoneksi


Operator
Telkomsel
Indosat
XL
OVUM

PSTN
Harga
950
900
837
629

% terhadap
OVUM
151,03%
143,08%
133,07%

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

Seluler lain
Harga
1600
1500
1537
893

% terhadap
OVUM
178,17%
167,04%
171,16%

58

Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia

Berdasarkan penjabaran data tersebut,


maka disimpulkan bahwa tarif seluler yang
diterapkan oleh operator seluler jauh
melebihi
besaran
rekomendasi
interkoneksinya. Hal yang lebih parah terjadi
pada besaran tarif interoperator. Untuk tarif
interoperator ini, Telkomsel memiliki
perbedaan tarif tertinggi dibandingkan
dengan besaran rekomendasi tarif
interkoneksi. Dalam kaitannya dengan
dugaan pelanggaran terhadap UU No.5/
1999, Telkomsel dapat terancam dijerat pasal
17 ayat (1) UU No.5/1999 karena
mengenakan tarif/harga yang begitu tinggi
yang pada akhirnya mengakibatkan consumer
loss.
Konklusi
Cross-Ownership oleh Temasek di
Telkomsel dan Indosat mengakibatkan
tingginya konsentrasi struktur industri dan
market power serta turunnya derajat kompetisi
diduga melanggar Pasal 27 huruf a UU
No.5/1999. Disamping itu, penggunaan
market power oleh Telkomsel dengan
mengenakan excessive pricing diduga
melanggar pasal 17 ayat (1) UU No.5/1999.
Oleh karena itu, perlu kiranya agar struktur
pasar industri telekomunikasi seluler
Indonesia ditata kembali agar tidak terjadi
cross ownership dengan divestasi oleh Temasek
di Telkomsel atau di Indosat.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku


Controlling Market Power in Telecommunications
(2003), Geradin dan Kerf menjelaskan
sebagai berikut:
Such benefit cannot be reaped, however,
without adequate intervention by public authorities.
For example:
- The structure of the market might need to be
modified in order to promote competition....it
might also be advisable to introduce a degree of
vertical separation between different activities
in order to reduce the risks of anti-competitive
practices and facilitate access to essential facilities.
- Users are unlikely to switch from one service
provider to another if this means they have to
change their own telephone number or if they
need to dial longer numbers when they place a
call....
- Once competition has been introduced, it is
necessary to take steps to maintain it, for
example by preventing agreements or mergers
that would stifle competition.
Terkait dengan kepemilikan silang
Temasek di Indosat dan Telkomsel, dapat
pula kami sampaikan pendapat Motta (2004,
halaman 144) yang menjelaskan bahwa:
overall, it would therefore seem wise not to
allow a firm to have minority (a fortiori, controlling)
sharehholding in a competitor.

*****

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

59

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

Tinjauan Kinerja Keuangan


elek
omunik
asi (Seluler) PPasca
asca Divestasi Indosat
Telek
elekomunik
omunikasi
Industri T
Usman Hidayat1

Abstraksi
Marjin laba usaha industri telekomunikasi (seluler) nasional melampaui rata-rata capaian industri
sejenis di dunia. Meski demikian, belum memberikan kontribusi yang sepadan terhadap peningkatan value
perusahaan dan bagian laba bagi pemegang saham. EBITDA tinggi, namun tingkat kembalian modal
(RoE) dan kembalian aset (RoA) terbilang rendah. Ini menandakan tingkat efisiensi dan efektifitas
manajemen dinilai masih memerlukan perbaikan. Likuidititas tergolong rendah, utamanya berkait dengan
kegiatan pembelanjaan aktiva tetap (Capex) dan beban utang yang relatif tinggi. Telkomsel dinilai memiliki
kinerja keuangan paling baik dibanding dua operator seluler GSM lain: Indosat dan Excelcomindo.

1 Usman Hidayat adalah Peneliti INDEF

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

61

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

1.

Pendahuluan

Kita mengalami paling tidak tiga


momentum
privatisasi
sektor
telekomunikasi: (i) perubahan status
Perumtel menjadi PT (Persero) Telkom pada
tahun 1991; (ii) IPO saham PT Telkom pada
November 1995; dan (iii) divestasi PT
Indosat pada Desember 2002. Privatisasi
PT Telkom menjadikannya sebagai
perusahaan telekomunikasi kelas dunia yang
sebagian besar sahamnya masih dikuasai
Negara. Sementara divestasi PT Indosat
telah mengubah statusnya menjadi
perusahaan asing (PMA), dengan pemilikan
saham Pemerintah kini hanya sekitar 14,6%.
Divestasi Indosat memiliki makna
strategis bagi perkembangan bisnis seluler
nasional. Indosat dijual saat bersiap
memasuki segmen seluler pada 2002, setelah
mengalami kemunduran kinerja segmen
telepon tetap pada periode sebelumnya.
Bersamaan dengan itu, industri seluler
nasional mengalami perkembangan pesat.
Teledensitas telepon tetap masih jauh
tertinggal dibanding perkembangan jumlah
pelanggan seluler.
Dalam perkembangan di atas, tidak
banyak telaahan publik yang menyorot
kinerja keuangan bisnis seluler dibanding
telaahan tentang sistem layanan, tarif
percakapan, atau pengaturan oleh regulator.
Padahal, pemahaman atas kinerja keuangan
mampu memberikan penafsiran yang
komprehensif seputar efektifitas suatu
regulasi, kepuasan pelang gan, peta

persaingan, sistem manajemen, standar


kinerja, dan kontribusi bagi keuangan
Negara.
Indosat 2003-2005
Telaahan terhadap kinerja keuangan
industri seluler pasca divestasi Indosat
mengingatkan kita terhadap kinerja Indosat
itu sendiri yang tampak menurun dibanding
periode sebelum divestasi. Dalam periode
2003-2005, banyak indikator keuangan
Indosat mengalami penurunan. Rata-rata
tingkat pertumbuhan tahunan pada semua
pos keuangan penting lebih rendah
dibanding sebelum divestasi. Total aktiva
tumbuh rata-rata sebesar 14,36%, jauh lebih
rendah dibanding periode sebelum dijual
yang mencapai 77,03%. Segmen seluler dan
multimedia yang menjadi lini bisnis utama
hanya tumbuh sekitar separuh dari yang
dicapai pada masa sebelum divestasi. Marjin
laba usaha menurun tajam dari 41,58%
menjadi 30,23%. Rasio laba terhadap
ekuitas dan total aktiva juga menurun.
Sementara itu, rasio kewajiban terhadap
total aktiva dan ekuitas meningkat, masingmasing menjadi 53,56% dan 117,04% yang
menandakan peningkatan aktivitas
pendanaan melalui perolehan utang
(obligasi).
Pada tahun 2005, perolehan dividen
Pemerintah hanya sekitar sepertiga dari
perolehan pada tahun 2002, yakni dari Rp
377,7 miliar menjadi Rp sekitar 120,0 miliar.
Demikian halnya dengan penerimaan pajakpajak. Pada tahun 2005, penerimaan pajak

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

62

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

hanya sekitar Rp 796,4 miliar. Padahal, pada


tahun 2002, angka ini mencapai Rp 2,7
triliun.
Meskipun kinerja Indosat pasca
divestasi menurun, namun kapitalisasi saham
bagi pemilik baru meningkat tajam. Nilai
pasar saham ditambah dengan kapitalisasi
dividen yang diterima STT-Temasek per 31
Desember 2005 sekitar Rp 12,5 triliun, yang
berarti sekitar 2,23 kali lebih besar dibanding
nilai pembeliannya pada 2002 yang sebesar
Rp 5,60 triliun.
Bagaimana halnya dengan kinerja
keuangan operator lain selain Indosat?
Dalam konteks ini akan disajikan data kinerja
tiga besar operator seluler berbasis GSM,
yaitu: Indosat, Telkomsel, dan Excelcomindo
(XL). Perbandingan internasional dilakukan
terhadap kinerja keuangan emiten industri
jasa dan sektor jasa telekomunikasi (301
emiten) yang tercatat di Bursa Efek New
York (New York Stock Exchanges/ NYSE),
berdasarkan data Reuters (November, 2007).

2.

Kapitalisasi Usaha
Sampai akhir 2005, Indosat menduduki

peringkat teratas dalam pemilikan aktiva


dengan porsi sekitar 48% terhadap total
aktiva bisnis seluler GSM nasional yang
sekitar Rp 68 triliun. Peringkat kedua adalah
Telkomsel dengan porsi sekitar 38% dan
Exelcomindo dengan porsi sekitar 14%.
Meski perbedaannya cukup tajam, namun
pemilikan aktiva tetap bersih Indosat hanya
terpaut kurang dari 1% terhadap Telkomsel.
Ini menggambarkan bahwa Telkomsel lebih
aktif melakukan investasi-pembangunan
infrastruktur bisnis dibanding Indosat.
Padahal, Indosat lebih gencar mencari
sumber pendanaan melalui penerbitan utang
jangka panjang. Hal ini tercermin dari porsi
utang jangka panjang Indosat yang
mencapai sekitar 72%, sementara Telkomsel
hanya sekitar 8%. Dapat dipahami juga
bahwa porsi ekuitas Indosat lebih kecil
dibanding Telkomsel.

Tabel 1
Kapitalisasi Usaha Industri Seluler Berbasis GSM
INDOSAT
Indikator

Miliar
Rp

Pangsa
(%)

TELKOMSEL
Miliar
Rp

XL

Pangsa
(%)

Miliar
Rp

Pangsa
(%)

Total Aktiva

32,787

48.30

25,747

37.93

9,354

13.78

Utang Jk. Panjang

12,865

72.23

1,462

8.21

3,484

19.56

Ekuitas

14,315

40.12

17,740

49.71

3,629

10.17

Pendapatan Usaha

11,590

32.39

21,133

59.06

3,059

8.55

Laba Usaha

3,652

22.02

12,361

74.54

570

3.44

EBITDA

6,732

28.20

15,408

64.54

1,734

7.26

Sumber: Laporan Keuangan Konsolidasi, 2005

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

63

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

Apakah keunggulan pemilikan aktiva


pada Indosat mampu mendorong perolehan
laba yang lebih besar dibanding operator
lain? Ternyata, pangsa pendapatan usaha
Indosat jauh lebih kecil dibanding yang
diperoleh
Telkomsel, yakni 32%
berbanding 59%, dengan pangsa laba usaha
sekitar 22% berbanding 75%. Fakta ini
mencerminkan bahwa Indosat belum
mampu mengelola kekayaannya secara
optimal dalam memperoleh pendapatan dan
laba usaha. Dengan kata lain, efisiensi usaha
Indosat masih rendah, jauh lebih rendah
dibanding Telkomsel.

3.

Dengan kekayaan sebesar Rp 25,7


triliun, Telkomsel mampu mencetak laba
usaha sebesar Rp 12,4 triliun. Sementara
Indosat dengan kekayaan sebesar Rp 32,8
triliun, hanya mampu meraih laba usaha
sebesar Rp 3,6 triliun.

Meski demikian, dalam periode ini


Exelcomindo justeru mengalami
penurunan profitabilitas.
Dengan
pertumbuhan pendapatan usaha sekitar
18%, Exelcomindo membukukan
penurunan laba usaha sekitar 14% pada

Pertumbuhan Usaha

Dalam periode 2003-2006, Telkomsel


membukukan pertumbuhan paling tinggi,
kecuali pos utang jangka panjang dan
ekuitas.
Momentum pertumbuhan tertinggi
industri seluler pada tahun 2005 dimiliki
oleh Exelcomindo yang mencapai lebih dari
44%. Pencapaian ini diraih setelah XL
melakukan penawaran umum saham
kepada publik (go public) yang mengangkat
ekuitasnya sekitar 252% dibanding tahun
2004.

Tabel 2
Pertumbuhan Usaha Rata-rata Industri Seluler
Periode 2003-2006

Indikator
Total Aktiva
Utang Jk. Panjang
Ekuitas
Pendapatan Usaha
Biaya usaha
Laba usaha
EBITDA

INDOSAT
11.87%
8.29%
9.47%
16.32%
16.35%
16.66%
18.67%

TELKOMSEL
33.14%
2.90%
35.28%
40.93%
36.65%
44.73%
44.80%

XL
28.29%
22.54%
80.87%
22.89%
27.87%
38.14%
26.35%

Sumber: Laporan Keuangan Konsolidasi

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

64

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

tahun 2005. Dalam periode ini, Telkomsel


menunjukkan konsistensinya dalam
pertumbuhan bisnis seluler.

Benchmark Internasional
Pertumbuhan pendapatan usaha ratarata dalam 5 tahun terakhir berdasarkan data
emiten di Bursa New York (New York Stock
Exchange/ NYSE) adalah sebesar 49,93%
untuk industri jasa dan 21,99% untuk sektor
telekomunikasi. Sektor telekomunikasi
adalah bagian dari industri jasa yang jumlah
seluruhnya mencakup 301 emiten saham
dari seluruh dunia.
Telkomsel membukukan rata-rata
pertumbuhan pendapatan usaha yang jauh
lebih tinggi dibanding rata-rata sektor seluler
di seluruh dunia. Sementara Indosat jauh
lebih rendah, dan XL cukup moderat di
kisaran kinerja sektoral dunia. Data itu
menguatkan bahwa kinerja Telkomsel paling

baik, dengan pertumbuhan pendapatan


usaha jauh melampaui benchmark industri
dunia.
Telkomsel
membukukan
pertumbuhan laba dan ekuitas yang tinggi,
meski tidak didukung dengan suntikan
utang jangka panjang yang besar. Dengan
kata lain, Telkomsel mampu mengelola
sumber dan penggunaan kas operasional,
dan ini berindikasi kuat karena didukung
pertumbuhan jumlah pelanggan yang tinggi.
4.

Likuiditas dan Pengelolaan Dana

Indosat memiliki likuiditas relatif lebih


tinggi dibanding operator lain dalam periode
3-4 tahun terakhir. Meski demikian, dalam
periode berjalan, pengelolaan dana Indosat
menunjukkan rata-rata kas neto negatif.
Indosat kurang mampu mendatangkan
sumber kas, utamanya dari aktivitas operasi
(pendapatan dari pembayaran pelanggan).
Sama halnya dengan Indosat, XL banyak
bergantung pada sumber kas dari aktivitas
pendanaan (penerbitan utang atau saham).

Tabel 3
Likuiditas Rata-rata Industri Seluler, Periode 2003-2006

Rasio Keuangan
Quick Ratio
Current Ratio

INDOSAT

TELKOMSEL

XL

0.73
1.23

0.60
0.86

0.37
0.67

Benchmark NYSE
*)
Sector
Industry
2.77
1.11
3.08
1.53

*) Rata-rata 5 tahun terakhir untuk emiten industri (jasa) dan sektor (telekomunikasi).
Sumber: - Laporan Keuangan Konsolidasi, diolah
- Reuters, diolah

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

65

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

Tabel 4
Arus Kas Rata-rata Industri Seluler, Periode 2003-2006
Sumber dan Penggunaan Kas
Kas masuk kegiatan usaha
Kas masuk kegiatan investasi

INDOSAT
Miliar Rp

TELKOMSEL
%

Miliar Rp

EXCELCOMINDO
%

Miliar Rp

12,202

86.13%

19,780

98.34%

4,274

56.68%

396

2.80%

37

0.19%

29

0.38%

Kas masuk kegiatan pendanaan

1,568

11.07%

296

1.47%

3,237

42.94%

Total Kas Masuk

14,166

100.00%

20,113

100.00%

7,539

100.00%

Kas keluar kegiatan usaha

(6,510)

44.22%

(8,924)

44.45%

(2,181)

29.01%

Kas keluar kegiatan investasi

(6,391)

43.41%

(6,991)

34.82%

(3,185)

42.35%

Kas keluar kegiatan pendanaan

(1,820)

12.36%

(4,163)

20.73%

(2,153)

28.63%

(14,721)

100.00%

(20,078)

100.00%

(7,519)

100.00%

(555)

-3.91%

35

0.17%

21

0.28%

Total Kas Keluar


Kas Neto

Sumber: Laporan Keuangan Konsolidasi, diolah

Indosat dan XL memperoleh sumber


pendanaan dengan porsi masing-masing
sekitar 11% dan 43% terhadap total kas
masuk. Keduanya masih sangat bergantung
dari pendanaan di luar pendapatan
operasional.
Telkomsel kembali menunjukkan
keung gulannya sebagai operator yang
mampu
men-generate
pendapatan
operasional dan mengalokasikannya relatif
lebih baik dibanding operator lain. Sebesar
98% sumber kas Telkomsel diperoleh dari
pendapatan operasional, dan sangat sedikit
bergantung pada pinjaman komersial.
Tampak bahwa bisnis Telkomsel telah
mencapai fase yang relatif stabil, sehingga
pemeliharaan kesetiaan pelanggan menjadi
prioritas dibanding upaya penetrasi
pelanggan baru, kecuali adanya inovasi

teknologi. Telkomsel mengalokasikan


pembelanjaan investasi aktiva tetap
(seperti BTS) yang paling tinggi, rata-rata
sebesar Rp 7,0 triliun, sedangkan untuk
Indosat dan XL angka ini berturut-turut
sebesar Rp 6,4 triliun dan 3,2 triliun.

Benchmark Internasional
Likuiditas seluler nasional lebih rendah
dibanding rata-rata likuiditas industri yang
sama di dunia. Rata-rata quick ratio dan
current ratio sektor telekomunikasi dunia
masing-masing sebesar 1,11 dan 1,53 kali.
Sementara indikator yang sama di dalam
negeri kurang dari 1 kali, kecuali current ratio
Indosat yang mencapai 1,23 kali. Keadaan
ini menandakan secara umum industri

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

66

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

seluler nasional masih berada dalam fase


pertumbuhan, dimana kebutuhan dana
untuk pembelanjaan infrastruktur
telekomunikasi masih tinggi.

Hal ini memberikan kontribusi peningkatan


profitabilitas dan likuiditas Telkomsel, akibat
rendahnya biaya pendanaan (seperti biaya
bunga dan kas untuk angsuran utang).

5.

Benchmark Internasional

Rasio Utang terhadap Modal

Exelcomindo dinilai menghadapi


solvabilitas paling rendah, ditandai dengan
rasio utang (Debt to Equity Ratio/ DER) yang
paling besar, yakni sebesar 2,94 kali.
Solvabilitas yang lebih baik dimiliki Indosat,
dan yang paling baik Telkomsel. Pengaruh
yang besar terhadap rasio ini umumnya dari
penerbitan obligasi dan utang bank jangka
panjang.

Sektor telekomunikasi dunia


membukukan rasio utang terhadap modal
rata-rata sebesar 1,05 kali. Kondisi bisnis
yang telah mencapai fase relatif stabil
cenderung dapat men-generate dana sendiri
dan karenanya tidak banyak bergantung
pada pinjaman komersial. Kondisi
sebaliknya tampaknya masih dihadapi
industri seluler nasional, utamanya XL dan
Indosat. Dalam praktiknya, diperlukan
pengawasan otoritas (BRTI dan Bapepam)
dalam memantau portofolio utang agar tidak
sensisitif mendatangkan risiko finansial yang
merugikan industri seluler nasional.

Telkomsel memiliki portofolio utang


yang paling kecil, sedangkan XL paling besar.
Telkomsel tidak agresif dalam mendapatkan
pendanaan jangka panjang, karena sumber
kas dari aktivitas operasional yang tinggi.

Tabel 5
Debt to Equity Ratio Rata-rata Industri Seluler
Periode 2003-2006
Rasio Keuangan

INDOSAT

TELKOMSEL

XL

Benchmark NYSE *)
Industry

Sector

LT Debt to Equity

0.78

0.16

2.26

0.71

0.92

Total Debt to Equity

1.17

0.45

2.94

0.74

1.05

*) Rata-rata 5 tahun terakhir untuk emiten industri (jasa) dan sektor (telekomunikasi).
Sumber: - Laporan Keuangan Konsolidasi, diolah
- Reuters, diolah

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

67

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

6.

Profitabilitas

Suatu fenomena menarik dari industri


seluler nasional adalah profitabilitas yang
tinggi, utamanya yang diraih Indosat dan
Telkomsel. Marjin EBITDA, laba usaha
(operating margin), dan laba bersih (net profit
margin) Indosat rata-rata dalam 4 tahun
terakhir berturut-turut sebesar 57,70%,
29,98%, dan 13,67%. Nilai EBITDA
Indosat Tahun Buku 2006 mencapai sekitar
Rp 7 triliun, sedangkan laba usahanya sekitar
Rp 3 triliun. Selisih yang sangat besar antara
keduanya merupakan pos biaya depresiasi
dan amortisasi, dan merupakan sumber kas
yang besar untuk mendanai pembangunan
infrastruktur bisnis. Bila tidak, profitabilitas
yang tingi ini belum dapat dinikmati
sepenuhnya oleh pemegang saham atau
meningkatkan value perusahaan, terlihat
dengan marjin laba bersih yang jauh lebih
kecil dibanding marjin EBITDA maupun
margin laba usaha.

Tingginya margin EBITDA dengan


margin laba bersih yang rendah merupakan
penciri industri yang sedang bertumbuh,
utamanya industri yang membutuhkan
investasi infrastruktur yang mahal. Di sisi
lain, kebijakan harga layanan (tarif) dalam
struktur pasar yang bersifat oligopolistik,
cenderung memberikan kesempatan untuk
meraih pendapatan yang berlipat ganda dari
pelanggan seluler. Sejauh mana kedua sisi
tersebut memberikan kontribusi terhadap
tingginya EBITDA, memerlukan kajian
mendalam.
Bagi pihak regulator telekomunikasi,
peran yang dapat dijalankan paling tidak
melalui dua pendekatan. Pertama,
memantau sejauh mana operator seluler
meningkatkan layanan kepada pelanggan
melalui pembangunan infrastruktur bisnis
sebagai komitmen atas tingginya nilai
EBITDA. Pembangunan BTS atau
pembelanjaan aktiva tetap pendukung

Tabel 6
Profitability Ratios Rata-rata Industri Seluler, Periode 2003-2006
Rasio Keuangan

INDOSAT

TELKOMSEL

XL

EBITDA Margin

57.70%

72.40%

Operating Margin

29.98%

Net Profit Margin

13.67%

Benchmark NYSE *)
Industry

Sector

57.85%

33.18%

22.62%

56.58%

22.05%

17.81%

13.94%

38.66%

1.62%

9.20%

8.51%

*) Rata-rata 5 tahun terakhir untuk emiten industri (jasa) dan sektor (telekomunikasi).
Sumber: - Laporan Keuangan Konsolidasi, diolah
- Reuters, diolah

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

68

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

lainnya dapat menjadi ukuran. Kedua,


sejauh mana tingkat pendapatan yang tinggi
telah mengakibatkan kerugian konsumen
(consumer loss) berkenaan dengan pengenaan
tarif yang tinggi dan atau adanya praktik fix
pricing.
Langkah KPPU bulan ini yang telah
menemukan bukti adanya kerugian
konsumen akibat pengenaan tarif tinggi oleh
Indosat dan Telkomsel (Grup Temasek)
adalah suatu indikasi positif bahwa
profitabillitas ting gi didorong oleh
pengenaan tarif yang ting gi. Meski
demikian, kita patut memberikan perhatian
terhadap peningkatan pembangunan
infrastruktur telekomunikasi oleh operator
seluler. Pembangunan infrastruktur menjadi
salah satu tujuan utama dari privatisasi.

Benchmark Internasional
Seperti disajikan dalam Tabel 6,
profitabilitas emiten sektor telekomunikasi
dunia rata-rata dalam lima tahun terakhir
jauh lebih rendah dibanding seluler nasional.
Margin EBITDA, laba usaha dan laba bersih
berturut-turut sebesar 22,62%, 13,94%, dan
8,51%. Bagi investor bursa, pertimbangan
investasi umumnya diarahkan terhadap
indikator margin laba bersih untuk menilai
harga wajar suatu saham/efek. Sementara
nilai EBITDA lebih mencer minkan
kemampuan emiten melakukan investasi
aktiva tetap untuk mendukung kegiatan
operasinya dalam jangka panjang, serta
menyangga kebutuhan likuiditas emiten.

Indikasi excess profit dalam industri


seluler nasional makin nyata terlihat dengan
memperhatikan nilai acuan profitabilitas
sektor telekomunikasi dunia. Untuk
memperoleh nilai acuan yang lebih relevan,
diperlukan telaahan terhadap kinerja
perusahaan sekelas, atau emiten-emiten
dengan perkembangan usaha yang sepadan.
Seperti dinyatakan sebelumnya, acuan di atas
meliputi 301 emiten industri telekomunikasi
di NYSE yang tentu saja memiliki profil
usaha dan kapitalisasi bisnis yang beragam.

7.

Indikator Efektivitas Manajemen

Bagi pemegang saham, bagian paling


penting dari kinerja keuangan adalah sejauh
mana nilai investasinya bertumbuh. Ini
berkait langsung dengan tingkat
kemampuan ang gota manajemen
perusahaan. Indikator yang digunakan
umumnya RoA atau RoI dan RoE.
Telkomsel membukukan RoA dan RoE
sangat ting gi, masing-masing sebesar
29,69% dan 43,09%, rata-rata dalam 3 tahun
terakhir.
Sedangkan XL hanya
membukukan angka 0,69% dan 1,55% (XL
membukukan rugi bersih pada 2004 dan
2005). Indosat belum menunjukkan kinerja
manajemen yang menggembirakan. Kecuali
Telkomsel, EBITDA yang tinggi belum
memberikan tingkat kembalian modal dan
kekayaan yang tinggi pula. Manajejmen
Indosat dan XL dihadapkan pada tantangan
besar untuk meningkatkan value perusahaan

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

69

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

Tabel 7
Indikator Efektivitas Manajemen Rata-rata Industri Seluler
Periode 2003-2006
Rasio Keuangan

INDOSAT

TELKOMSEL

XL

Benchmark NYSE *)
Industry

Sector

Return On Assets

4.98%

29.69%

0.69%

8.49%

6.89%

Return On Equity

11.00%

43.09%

1.55%

17.33%

15.42%

*) Rata-rata 5 tahun terakhir untuk emiten industri (jasa) dan sektor (telekomunikasi) .
Sumber: - Laporan Keuangan Konsolidasi, diolah
- Reuters, diolah

dan kepuasan pemegang saham, khususnya


pemegang saham publik. Keadaan ini pula
yang sering menciptakan tarik menarik
kepentingan antara pihak regulator (yang
mendasarkan argumentasinya pada nilai
EBITDA) dan manajemen/owner dari
operator. Jalan tengah yang mesti ditempuh
adalah pertimbangan yang berimbang antara
besaran EBITDA dan RoA/RoE, dimana
kedua pihak perlu memiliki kesamaan cara
pandang, bahkan kesamaan standar acuan.

Benchmark Internasional
Sebagaimana tertera dalam Tabel 7, nilai
RoA dan RoE Telkomsel jauh di atas nilai
acuan emiten sektor telekomunikasi dunia.
Sebaliknya, Indosat dan XL berada jauh di
bawahnya. Untuk memperoleh nilai acuan
yang lebih relevan, diperlukan telaahan
terhadap kinerja perusahaan sekelas, atau
emiten-emiten dengan perkembangan usaha

yang sepadan. Namun demikian, indikasi


di atas cukup memberikan pertimbangan
mendasar bagi investor untuk melakukan
investasi di bursa.

8.

Kinerja Saham Telekomunikasi di


Bursa

Berdasarkan data Reuters (November,


2007), saham Indosat dan Telkom yang
diperdagangkan di Bursa New York
(NYSE) mencatat kinerja yang relatif baik.
Secara fundamental, nilai net profit margin
(NPM) Telkom berada pada urutan No. 13
teratas dari 276 emiten sektor
telekomunikasi yang tersedia datanya.
Sedangkan NPM saham Indosat berada
pada urutan No. 61.
Dalam satu tahun terakhir, saham
Indosat mencatat perubahan harga positif
sebesar 46,82%, terpaut sedikit di atas
saham China Netcom Group Corp.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

70

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

Gambar 1
Perkembangan Harga Saham Indosat di New York Stock Exchanges
Periode: November 2006 November 200

(45,19%) dan saham Philppines Long


Distance (38,91%). Sementara saham
Telkom mengalami perubahan harga hanya
sebesar 0,56%.
Pergerakan harga saham Indosat cukup
volatil dengan tingkat risiko yang tinggi.
Reuters menghitung Beta-pasar saham
Indosat sebesar 1,67%, yang tergolong jenis

saham yang sangat sensitif terhadap


perubahan-gejolak pasar.
Di Bursa Efek Jakarta, harga saham
Indosat (ISAT) menunjukkan kenaikan
tajam pada periode 2003-2004, berfluktuasi
landai pada 2005, menurun pada semester1 2006 dan meningkat secara gradual pada
semester-2 2006.

****

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

71

Tinjauan Kinerja Keuangan Industri Telekomunikasi (Seluler) Pasca Divestasi Indosat

Gambar 2
Perkembangan Harga Saham Indosat di Bursa Efek Jakarta
Periode 2003-2006

Gambar 3
Perkembangan Harga Saham Indosat, Telkom dan Exelcomindo
di Bursa Efek Jakarta

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

72

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Perk
embangan Ek
onomi Indonesia 2007
erkembangan
Ekonomi
Ahmad Erani dan Sugiyono

1.

Pendahuluan

Secara umum, perkembangan


perekonomian Indonesia pada tahun 2007
ditandai oleh empat hal. Pertama, pencapaian
pertumbuhan ekonomi relatif aman (sekitar
6,2%), walaupun angka ini agak lebih rendah
dari target pemerintah (6,3%). Jika dilihat
dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai
tersebut, terlihat adanya peningkatan dari
tahun-tahun sehingga secara tidak langsung
menunjukkan arah perbaikan yang cukup
jelas. Kedua, stabilitas makroekonomi juga
menunjukkan indikator yang cukup bagus,
di antaranya dapat dilihat dari nilai tukar
rupiah yang stabil (pada kisaran Rp 9.100/
1US$), tingkat suku bunga yang cenderung
menurun, inflasi yang terkendali, dan jumlah
devisa yang terus meningkat. Ketiga, di tengah
pencapaian makroekonomi yang bagus,
masalah kemiskinan dan pengangguran
justru masih menjadi soal yang tidak
mengalami perbaikan yang berarti. Dengan
begitu, ini menjadi masalah serius mengingat
persoalan kemiskinan dan pengangguran

tersebut terjadi saat pertumbuhan ekonomi


dan indikator makroekonomi lainnya
memperlihatkan kinerja yang bagus. Keempat,
sejak pertengahan tahun 2007 harga minyak
internasional melesat secara drastis, hingga
saat ini nyaris menembus 100 US$/barrel.
Walaupun belum menampakkan pengaruh
yang berarti, dipastikan jika tidak ada
kebijakan antisipatif kenaikan harga minyak
internasional tersebut bisa mengguncang
perekonomian nasional pada 2008. Secara
lebih detail, perkembangan ekonomi
Indonesia 2007 akan dipaparkan sebagai
berikut.

2.

Kinerja Pertumbuhan Ekonomi

Kunci kegiatan dan pertumbuhan


ekonomi ada pada stabilitas makro ekonomi.
Beberapa indikator yang selalu menjadi tolok
ukur dari stabilitas makro ekonomi tersebut
adalah inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga,
dan neraca pembayaran (dan cadangan
devisa). Di negara berkembang, termasuk

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

73

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Indonesia, keempat indikator kunci stabilitas


makroekonomi tersebut selalu tidak terjaga
dengan baik sehingga fluktuasi kegiatan
ekonomi menjadi tidak terelakkan. Pada saat
krisis ekonomi tahun 1997/1998 stabilitas
makro ekonomi tersebut sangat rentan, di
antaranya ditunjukkan oleh angka inflasi
yang mencapai 77,63 persen, suku bunga
melonjak sangat hebat, nilai tukar rupiah
merosot drastis terhadap dolar AS, dan
neraca pembayaran defisit (menguras
cadangan devisa). Seluruh instabilitas
makroekonomi itu mengakibatkan sektor riil
lumpuh dan daya beli masyarakat langsung
merosot. Dengan kata lain, pergerakan
kegiatan ekonomi (terutama di sektor riil)
membutuhkan stabilitas pada indikatorindikator stabilitas makro ekonomi tersebut.
Pertumbuhan ekonomi hingga kini
masih menjadi acuan utama untuk
mencermati kinerja perekonomian secara
keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang
ting gi menunjukkan adanya geliat
perekonomian yang semakin kuat sehingga
diharapkan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Secara umum, pertumbuhan
ekonomi tersebut digerakkan dari konsumsi
masyarakat (rumah tangga), pengeluaran
pemerintah (anggaran belanja), investasi
swasta, dan ekspor-impor. Lebih detail,
investasi swasta belum dapat dikatakan
menggerakkan pertumbuhan ekonomi,
khususnya sejak terjadi krisis ekonomi 1997/
1998. Demikian pula, pada tahun 2005
terjadi kenaikan harga minyak sekitar 100%
yang berdampak terhadap lesunya dunia

usaha. Faktor ini juga menyumbangkan


rendahnya investasi di Indonesia. Sehingga,
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara
umum dipicu oleh pengeluaran konsumsi
rumah tangga dan pengeluaran pemerintah.
Dengan kondisi tersebut, ditambah dengan
faktor kenaikan harga minyak yang hampir
mencapai 100 miliar US$, pertumbuhan
perekonomian Indonesia 2007 diperkirakan
hanya mencapai 6,2% (target pemerintah
adalah 6,3%).
Jika dilihat kinerja pertumbuhan
sektoral dengan membandingkan Triwulan
I s/d III 2007 terhadap Triwulan I s/d III
2006, Tabel 1 memperlihatkan
pertumbuhan terbesar didonorkan oleh
sektor pengangkutan dan komunikasi
(12,2%); listrik, gas, dan air bersih (10,3%);
konstruksi (8,3%); dan keuangan, real estat,
dan jasa perusahaan (7,9%). Sedangkan
pertumbuhan PDB yang paling kecil adalah
sektor pertambangan dan penggalian
(3,7%) dan pertanian (termasuk peternakan,
kehutanan, dan perikanan) [4,3%]. Data itu
menginformasikan bahwa pertumbuhan
tersebut disokong oleh sektor-sektor
ekonomi yang kurang memiiki dampak
terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini
akan berbeda hasilnya apabila pertumbuhan
ekonomi banyak disokong oleh sektor
pertanian atau industri manufaktur (yang
padat tenaga kerja). Khusus untuk industri
manufaktur perlu mendapatkan perhatian
yang saksama mengingat terdapat
pertumbuhan yang terus menurun dari
tahun 2004 ke 2007. Pertumbuhan sektor

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

74

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 1.
Laju Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha
Lapangan Usaha

Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan


Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Real Estat, dan Jasa
Perusahaan
Jasa-jasa
PDB
PDB Tanpa Migas

Triwulan II
2007 thd
Triwulan I
2007

Triwulan III
2007 thd
Triwulan II
2007

Triwulan III
2007 thd
Triwulan III
2006

Triwulan I
s/d III 2007
thd Triwulan
I s/d III 2006

Sumber
Pertumbuhan
(Y-O-Y)

6,0
-0,5
1,5
4,9
1,9
2,8
4,3

10,2
0,3
3,0
3,6
3,2
4,1
5,2

8,9
1,8
4,5
11,7
7,5
6,9
12,5

4,3
3,7
5,0
10,3
8,3
7,4
12,2

1,3
0,2
1,2
0,1
0,5
1,2
0,8

1,8
1,7
2,4
2,7

2,1
1,1
3,9
4,0

8,0
5,7
6,5
6,9

7,9
6,5
6,3
6,8

0,7
0,5
6,5
6,4

Sumber: BPS, 2007

industri manufaktur pada tahun 2007


memang untuk sementara berada di atas
tahun 2006, namun masih lebih rendah
dibanding tahun 2004 (Tabel 2). Kondisi ini
membuat sektor industri pengolahan berada
dalam status yang tidak menggembirakan.
Jika
dibandingkan
dengan
pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia
lainnya, maka kinerja pertumbuhan ekonomi
Indonesia relaif lebih buruk, meskipun
terdapat tren perbaikan dari tahun ke tahun.
China dan India merupakan dua negara Asia
yang masih memeroleh pertumbuhan
ekonomi tertinggi, yakni masing-masing
11,5% dan 9,4%. Sedangkan Vietnam, Sri
Lanka, Pakistan, Filipina, dan Hong Kong
juga memeroleh pertumbuhan ekonomi
lebih tinggi dari Indonesia. Estimasi dari
Asian Development Bank yang dirilis pada
September 2007 hanya menempatkan

Malaysia, Korsel, Taiwan, dan Thailand yang


pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari
Indonesia. Negara seperti China, India,
Vietnam, dan Filipina sebetulnya relatif
memiliki struktur ekonomi yang hampir
sama dengan Indonesia, namun secara
konsisten mereka melakukan perbaikanperbaikan aspek mikroekonomi, seperti
kepastian usaha, sehingga kegiatan investasi
melaju dengan sangat kencang. Inilah yang
membuat negara-negara tersebut secara
pasti mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

2.3. Nilai Tukar, Inflasi, Suku Bunga,


dan Kredit
Sepanjang tahun 2007 sebetulnya
stabilitas nilai tukar rupiah cukup terjaga,
tetapi terdapat tendensi melemahnya nilai

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

75

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 2.
Pertumbuhan Industri Manufaktur Nasional

Tahun
2004
2005
2006
2007*

Pertumbuhan (%)
7,5
5,9
4,6
5,0

Sumber: Depperin dan BPS, 2007

tukar rupiah terhadap dolar AS, khususnya


sejak pertengahan 2007. Pemerintah
menetapkan dalam APBN-P 2007 sebesar
Rp 9.050 per dolar, tetapi rasanya hal itu
sangat sulit dicapai sehingga sampai saat ini
rata-rata nilai tukar menjadi Rp 9.125 per
dolar. Sebenarnya fakta ini cukup
merisaukan mengingat sepanjang 2007 ini
dolar AS mengalami pelemahan yang cukup
berarti sehingga beberapa mata uang negara
lain mengalami penguatan. Melemahnya
mata uang uang dolar AS sebagian
disebabkan oleh kasus subprime mortgage dan
lesunya dunia usaha. Mestinya, dalam situasi
tersebut rupiah juga turut menguat, namun
nyatanya sepanjang kurun waktu 2007 nilai
tukar rupiah relatif melemah terhadap dolar.
Secara keseluruhan, melemahnya kurs rupiah
tersebut belum sampai meng gang gu
perekonomian, misalnya kemampuan impor
dunia usaha (industri). Bahkan, dalam
beberapa hal, melemahnya nilai tukar rupiah
menjadi pendorong kenaikan ekspor akibat
tingkat kompetisi harga yang lebih baik.
Sungguh pun begitu, melemahnya nilai tukar

rupiah tersebut agak mengganggu dalam


aspek lainnya, misalnya pembayaran bunga
dan cicilan pokok utang negeri.
Diperkirakan pembayaran utang luar negeri
akan meningkat sebesar Rp 7,2 triliun akibat
penurunan nilai tukar rupiah.
Sedangkan untuk inflasi, sampai bulan
Oktober 2007 akumulasi inflasi mencapai
5,24%. Nampaknya, target pemerintah
untuk mencapai inflasi sebesar 6% pada
tahun 2007 sulit tercapai. Penyebab utama
dari inflasi sampai saat ini masih berupa
kenaikan beberapa bahan pokok yang tidak
dapat ditangani dengan baik oleh
pemerintah, misalnya minyak goreng. Di
luar itu, inflasi dipicu oleh persoalan klise
pada saat Bulan Ramadan dan Hari Raya
Idul Fitri, di mana saat itu terdapat tendensi
peningkatan konsumsi masyarakat yang
tidak diikuti oleh kenaikan jumlah pasokan
dan distribusi barang. Sedangkan di akhir
tahun ini masih ada momentum Hari Natal
dan Tahun Baru yang biasanya juga
menyumbangkan inflasi cukup besar. Saat
ini sumber inflasi tersebut juga kian

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

76

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

menganga mengingat harga minyak


internasional yang demikian tinggi sehingga
potensi peningkatan inflasi dari sisi
penawaran (cost-push inflation) sangat mungkin
terjadi akibat kenaikan biaya produksi. Jika
seluruh akumulasi sumber pemicu inflasi itu
tidak dapat ditangani oleh pemerintah, maka
tidak mustahil inflasi 2007 mendekati inflasi
tahun 2006 (6,6%).
Di sisi lain, suku bunga telah mengalami
penurunan yang berarti dari mulai Januari
Oktober 2007. BI rate pada bulan Januari
sebesar 9,50% dan kemudian secara
konsisten terus menurun menjadi 8,25%
pada Juli 2007. BI rate sebesar itu bertahan
hing ga Oktober 2007 (Tabel 3) dan
diharapkan kondisi itu akan semakin
menurun, setidaknya pada awal 2008. Tentu
saja penurunan BI rate tersebut juga memicu

penurunan suku bunga kredit sehingga


diharapkan dapat mengerek tingkat
investasi. Salah satu dampak dari penurunan
suku bunga tersebut dapat dilihat dari
kinerja LDR (loan to deposit ratio) yang kian
meningkat. LDR 2007 diperkirakan sebesar
67,3%, di mana persentase itu yang tertinggi
sejak krisis ekonomi. Ini berarti telah terjadi
agresivitas penyaluran kredit ke masyarakat.
Tabel 5 menunjukkan adanya korelasi antara
penurunan BI rate dengan peningkatan
penyaluran kredit. Dengan begitu, variabel
suku bunga masih menjadi determinan
penting bagi penyaluran kredit. Oleh karena
itu, pemerintah harus terus berjuang untuk
menurunkan BI rate sampai pada level yang
kondusif bagi dunia usaha melakukan opsi
investasi. Indikator lainnya adalah
penurunan NPL (non-performing loan) yang

Tabel 3.
BI Rate Periode Januari Oktober 2007 (dalam persen)
Waktu
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober

Besaran
9,50
9,25
9,00
9,00
8,75
8,50
8,25
8,25
8,25
8,25

Sumber: Bank Indonesia, 2007

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

77

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 4.
Penyaluran Kredit tahun 2007

1 .0 0 0 .0 0 0
9 0 0 .0 0 0
8 0 0 .0 0 0
7 0 0 .0 0 0

Miliar

6 0 0 .0 0 0
5 0 0 .0 0 0
4 0 0 .0 0 0
K r e d it

3 0 0 .0 0 0
2 0 0 .0 0 0
1 0 0 .0 0 0

Sep-07

Agust-07

Jul-07

Jun-07

Mei-07

Apr-07

Mar-07

Feb-07

Jan-07

Des-06

2005

2004

Sumber: Bank Indonesia

sampai Agustus 2007 bertengger pada angka


5,7% (NPL Gross). Sungguh pun begitu,
penurunan NPL tersebut masih harus
ditelisik lebih dalam mengingat terdapatnya
fasilitas write-off untuk kredit macet di bank
pemerintah (BUMN).
Salah satu kabar yang cukup
menggembirakan adalah kinerja pasar saham
yang terus membaik dari waktu ke waktu.
Indeks harga saham gabungan di Indonesia
terus membukukan rekor-rekor baru
sehingga pada tahun 2007 selalu berada di
atas angka 2000. Kinerja tersebut masih lebih
baik daripada Malaysia dan Thailand.

Demikian pula dengan kapitalisasi pasar,


sampai pertengahan 2007 telah mencapai
166 miliar US$, lebih tinggi dari Thailand
tetapi lebih rendah dari Malaysia (Tabel 5).
Tapi nilai rata-rata kapitalisasi per
perusahaan di Indonesia yang terdaftar
(listed) masih lebih baik ketimbang Malaysia
karena jumlah perusahaan listed di Malaysia
sekitar tiga kali lipat dari Indonesia. Oleh
karena itu, tantangan Indoensia adalah
meningkatkan jumlah perusahaan listed di
pasar sahan sehingga turut mengangkat nilai
kapitalisasi pasar saham. Tentu saja ini
bukan sebuah angan-angan yang sulit
dicapai mengingat dari tahun ke tahun

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

78

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 5.
Perbandingan Kondisi Pasar Modal Indonesia,
Malaysia, dan Thailand

Sumber: Bloomberg, Stock Exchange Web Site, 2007

sosialisasi yang dilakukan oleh pihak yang


bergelut di pasar saham semakin intensif
sehingga masyarakat dan dunia usaha di
Indonesia kian melek dengan pasar saham.

2.4. Pertumbuhan Ekspor, Investasi,


dan Konsumsi
Salah satu sumber pertumbuhan
ekonomi yang penting adalah pendapatan
yang diperoleh dari ekspor. Sejak tahun 2006
kinerja ekspor Indonesia meningkat cukup

drastis, yang ditunjukkan dari akumulasi nilai


ekspor yang hampir mencapai 100 miliar US$
(2006). Nampaknya, peningkatan nilai ekspor
tersebut akan berlanjut pada tahun 2007,
karena sampai dengan Juli 2007 total ekspor
Indonesia sudah mencapai 63,5 miliar US$
(atau sekitar 9,2 miliar US$/bulan). Jika ratarata nilai ekspor per bulan konstan, maka
diperkirakan total ekspor Indonesia 2007 bisa
mencapai 110 miliar US$ (atau naik 10% dari
tahun 2006). Tabel 6. mendeskripsikan bahwa
sebagian besar nilai ekspor disumbangkan oleh

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

79

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 6.
Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor

Sumber: BPS, 2007

sektor non-migas yang mencapai 81,8% dan


sektor migas sekitar 18,2%. Jika dibandingkan
dengan tahun 2006 (periode Januari-Juli), maka
pertumbuhan ekspor non-migas mencapai
20,22%. Sayangnya, pada periode yang sama
pertumbuhan ekspor sektor migas justru
negatif 8,14%. Secara total, ekspor 2007 pada
periode tersebut meningkat 13,86% ketimbang
2006. Sektor non-migas yang menyumbangkan
paling besar adalah sektor industri, disusul
sektor pertambangan dan pertanian.
Secara lebih rinci, sebagian produk
ekspor Indonesia disumbangkan oleh jenis
barang-barang yang mengandalkan bahan
mentah (natural resources), seperti karet alam
dan barang dari karet, ikan dan kerangkerangan, kayu dan barang dari kayu, bahanbahan mentah, kulit dan barang dari kulit,
cokelat dan tembakau, dan lemak serta
minyak hewan dan nabati. Produk-produk
tersebut mengandalkan sumber daya alam

yang memang menjadi keung gulan


komparatif Indonesia. Peningkatan ekspor
Indonesia dalam dua tahun terakhir ini
(2006-2007) sebagian disebabkan oleh
peningkatan harga internasional untuk
komoditas primer tersebut, khususnya
minyak kelapa sawit dan karet. Dengan
begitu, peningkatan ekspor bukan
disebabkan oleh peningkatan volume
ekspor, tetapi lebih disebabkan rejeki dari
kenaikan harga di pasar internasional.
Kondisi seperti ini dalam jangka panjang
jelas tidak menguntungkan karena tidak
mungkin mengharapkan harga di pasar
internasional akan terus bergerak seperti itu.
Fakta ini perlu dipikirkan agar Indonesia
tidak terjerembab di masa-masa mendatang.
Sebagai efek dari kenaikan ekspor,
sampai bulan Oktober 2007 jumlah devisa
Indonesia sudah mencapai 52,88 miliar US$
(Tabel 7). Cuma, masalahnya seperti yang

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

80

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 7.
Cadangan Devisa Tahun 2007
Negara
China
Jepang
Taiwan
Korsel
India
Singapura
Hongkong
Malaysia
Thailand
Indonesia
Filipina
Pakistan
Banglades
Total

Cadangan Devisa
(dalam miliar US$)
1.433,60
945,60
262,94
257,29
247,76
152,45
140,80
98,20
80,70
52,88
30,75
16,12
5,16
3.724,25

Pertumbuhan
(%)
34,45
5,62
(1,21)
7,65
39,78
11,43
5,71
19,03
20,45
24,13
33,70
24,96
32,99
18,38

Keterangan: - Pertumbuhan cadangan devisa merupakan perbandingan


dengan tahun 2006
- Tanda ( ) merupakan pertumbuhan negatif
Sumber: Dikutip dari Kompas, 20 Oktober 2007

sudah disinggung di atas- untuk cadangan


devisa persoalan-persoalan yang cukup
meng gang gu adalah kenaikan ekspor
Indonesia selama ini ditopang oleh kenaikan
harga beberapa komoditas pertanian di pasar
internasional, seperti karet dan CPO. Masalah
lain adalah keterlambatan Indonesia untuk
mendiversifikasi produk unggulan ekspor, yang
selama ini tergantung pada produk tekstil,
kertas, kakao, karet, minyak kelapa sawit, dan
elektronika. Sebagian produk-produk itu
sekarang memiliki tendensi penurunan nilai
ekspor setiap tahunnya, seperti tekstil dan

kertas. Produk-produk tersebut tingkat


kompetisinya juga semakin ketat di pasar
internasional. Akibatnya, akumulasi dari
keterlambatan melakukan diversifikasi produk
yang berorientasi ekspor dan ketergantungan
terhadap kenaikan harga di pasar internasional
berpotensi menjerembabkan Indonesia dalam
meraih keuntungan perdagangan internasional
(ekspor) di masa depan.
Kinerja ekspor yang relatif bagus
tersebut sayangnya tidak diikuti dengan
penampilan investasi yang atraktif, baik
investasi domestik (PMDN) maupun asing

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

81

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

(PMA). PMDN, misalnya, sampai bulan Mei


2007 baru terdapat persetujuan investasi
senilai Rp 110,6 triliun. Dari persetujuan
tersebut yang direalisasikan hanya Rp 18,61
triliun (16,8%). Sedangkan untuk PMA, pada
periode Januari September 2007 jumlah
realisasi investasi mencapai Rp 76,730 triliun.
Angka ini mengalami kenaikan yang cukup
berarti dibanding tahun sebelumnya, karena
pada tahun 2006 total realisasi PMA hanya
mencapai Rp 53,792 triliun. Namun
peningkatan investasi itu jelas masih jauh dari
memadai untuk menggerakkan kegiatan
ekonomi, karena pada tahun 2007
sekurangnya dibutuhkan investasi senilai Rp
958 triliun dan tahun 2008 sebesar Rp 1.039
triliun untuk memacu perekonomian. Dari
kebutuhan investasi sebesar itu, pemerintah
paling besar hanya dapat mencukupi 20%,
sehingga sebesar 80% harus berasal dari
sektor swasta (baik domestik maupun asing).
Pemerintah sebetulnya sudah
merespons masalah investasi tersebut
dengan beragam kebijakan, di antaranya
empat paket kebijakan ekonomi di bidang
perbaikan investasi, reformasi sektor
keuangan, percepatan pembangunan
infrastruktur, dan pemberdayaan UMKM
(usaha mikro, kecil, dan menengah).
Kebijakan yang sebenarnya sudah sangat
rinci tersebut sayangnya masih kedodoran
dalam impementasi sehingga dampaknya
kurang dapat dirasakan. Pembangunan
infrastruktur, misalnya, hingga kini nyaris
tidak ada perbaikan yang berarti. Pasokan
listrik dan kondisi jalan masih

memprihatinkan sehingga minat investor


untuk menanamkan modalnya menjadi kian
mengecil. Faktor inilah yang menjadi salah
satu penyebab lesunya investasi di Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir dan bukan
semata akibat belum pulihnya krisis
ekonomi. Implikasinya, daya tarik investasi
di Indonesia juga semakin merosot dari
tahun ke tahun, jauh di bawah India,
Vietnam, dan Thailand. Sebaliknya, China
secara konsisiten dalam tujuh tahun terakhir
bertengger di tempat teratas sebagai negara
yang paling memiliki daya tarik investasi
(Tabel 8).
Isu lainnya yang perlu diperhatikan
adalah mengenai konsumsi. Di sini,
tampaknya konsumsi swasta masih menjadi
salah satu sumber pertumbuhan ekonomi
yang terpenting, di luar per mintaan
domestik (domestic demand). Sampai pada
Kuartal Kedua 2007, kontribusi konsumsi
swasta masih lebih besar ketimbang
investasi. Sedangkan pengeluaran
pemerintah pada Kuartal Kedua 2007
menurun drastis apabila dibandingkan
dengan Kuartal Kedua 2006. Secara
keseluruhan, pengeluaran pemerintah
memang tidak menyumbang terlalu besar
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Situasi tersebut memang jauh dari ideal
mengingat pilar pertumbuhan ekonomi
masih didominasi oleh konsumsi swasta
sehingga sulit untuk mengharapkan hal
itu akan berkesinambungan.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

82

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 8.
Besar Peringkat Daya Tarik Investasi
Peringkat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

2000
China
USA
Thailand
Indonesia
Malaysia
Taiwan
India
Vietnam
Korea
Filipina

2001
China
USA
Thailand
Indonesia
India
Vietnam
Taiwan
Korea
Malaysia
Singapura

2002
China
Thailand
USA
Indonesia
Vietnam
India
Korea
Taiwan
Malaysia
Brazil

2003
China
Thailand
USA
Vietnam
India
Indonesia
Korea
Taiwan
Malaysia
Rusia

2004
China
Thailand
India
Vietnam
USA
Rusia
Indonesia
Korea
Taiwan
Malaysia

2005
China
India
Thailand
Vietnam
USA
Rusia
Korea
Indonesia
Brazil
Taiwan

2006
China
India
Vietnam
Thailand
USA
Rusia
Brazil
Korea
Indonesia
Taiwan

Sumber: Jetro, 2006

Memang, kuatnya konsumsi swasta


sebagai sumber pertumbuhan ekonomi
menunjukkan bahwa daya beli masyarakat
mulai meningkat, namun dalam beberapa hal
itu hanya terjadi pada barang tertentu, seperti
peningkatan pembelian mobil. Tahun 2007
diperkirakan jumlah mobil yang terjual
mencapai 380.000 400.000, meningkat
dibandingkan 2006 yang penjualannya
kurang dari 319.000. Pada Semester Pertama

2007 (Juni), total penjualan sudah mencapai


196.184 atau meningkat sebesar 31,1%
dibandingkan periode yang sama 2006 (Tabel .9).
2.5. Defisit Fiskal, Subsidi, dan
Utang Luar Negeri
Sejak krisis ekonomi 1997/1998
anggaran Indonesia selalu mengalami defisit
dan cenderung membesar dari waktu ke

Tabel 9.
Penjualan Mobil Domestik

Keterangan: - *) Persentase perubahan merupakan perubahan dari peroiode yang sama tahun
sebelumnya.
**) Merupakan angka prediksi
Sumber: Gaikindo, 2007

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

83

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 10.
Ringkasan Pendapatan dan Belanja 2007(dalam triliun rupiah)

Sumber: Departemen Keuangan, 2007

waktu. Pada tahun anggaran 2006 jumlah


defisit mencapai sekitar Rp 33 triliun dan
tahun 2007 ini APBN menetapkan jumlah
defisit Rp 40 triliun. Besarnya defisit tersebut
secara keseluruhan setara dengan 1,1% dari
PDB. Sumber defisit itu sebagian
disumbangkan dari subsidi listrik dan BBM.
Dalam APBN 2007, jumlah subisidi untuk
BBM dialokasikan sebesar Rp 61,8 triliun
dan subsidi non-BBM sebesar 41,1 triliun.
Namun, nampaknya defisit fiskal itu akan
melonjak jika melambungnya harga minyak
tersebut tidak dapat dikendalikan. Dalam
APBN-P 2007 pemerintah telah mengubah
rencana defisit menjadi sekitar Rp 58 triliun,
atau setara 1,5% dari PDB (Tabel 11).
Sampai akhir tahun ini, diprediksikan defisit
fiskal akan melambung menjadi Rp 76,4
triliun akibat kenaikan asumsi harga minyak
dari 60 US$/barrel menjadi 72,59 US$
sepanjang tahun 2007. Di sinilah sangat
mungkin terdapat insentif bagi pemerintah
untuk mencari dana dari sumber-sumber

yang bermasalah, misalnya utang luar negeri


dan privatisasi, agar dapat menutup defisit
fiskal tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
rencana pemerintah untuk melakukan
privatisasi besar-besaran pada tahun 2008.
Tampaknya, upaya privatisasi tersebut tidak
sekadar sebagai cara untuk memerbaiki
kinerja BUMN, tetapi juga agenda untuk
meningkatkan penerimaan pemerintah.
Masalah fiskal lainnya adalah
ketergantungan yang cukup besar
penerimaan negara dari sumber pajak. Tabel
2.11. secara jelas menunjukkan peran pajak
dalam penerimaan negara cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, walaupun
dalam periode 2005-2006 terdapat tendensi
penurunan. Tercatat sumbangan pajak
terhadap APBN terbesar pada tahun 2004,
yakni 79,7%. Sedangkan tahun 2006
menurun menjadi 64,3% dan meningkatkan
kembali menjadi 70,4% pada 2007. Salah
satu penyebab penurunan tersebut
disebabkan oleh lesunya iklim bisnis akibat

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

84

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 11.
Kinerja Perpajakan Tahun 2000-2007
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

PDB
(Rp triliun)
1.315
1.476
1.610
1.791
1.990
2.624
3.040
3.531

Peranan dalam
APBN (%)
53,6
61,1
70,4
73,9
79,7
71,5
64,3
70,4

Rasio Pajak
(%)
11,8
12,8
13,1
13,8
14,0
13,6
13,4
14,4

Jumlah WP
(Juta)
1,9
2,5
2,9
3,3
3,6
10,0
12,0
-

Penerimaan Pajak
(Rp triliun)
124
157
180
211
239
303
348
509

Sumber: diolah dari beberapa sumber


kenaikan harga BBM pada Oktober 2005.
Tetapi, diyakini seiring dengan membaiknya
perekonomian dan intensifikasi jumlah wajib
pajak diharapkan kontribusi penerimaan
pajak itu akan meningkat kembali pada
tahun-tahun berikutnya. Keberhasilan paling
mencolok dari sektor pajak ini dalam dua
tahun terakhir (2005-2006) adalah
peningkatan wajib pajak (WP) secara drastis,
dari semula hanya 3,6 juta WP pada tahun
2004 menjadi 10 juta (2005) dan 12 juta
(2006). Intensifikasi WP ini sepertinya akan
terus dilakukan oleh pemerintah sehingga
diharapkan rasio pajak dapat meningkat
sekitar 20% pada tahun-tahun mendatang
(seperti yang terjadi di negara-negara
tetangga).
Dalam jangka panjang ketergantungan
penerimaan negara terhadap pajak ini mesti
diwaspadai karena perekonomian tidak selalu

stabil. Jika perekonomian ambruk, pasti


akan berdampak terhadap penerimaan pajak.
Jadi, diversifikasi penerimaan negara harus
dijadikan agenda prioritas agar tidak
sepenuhnya tergantung kepada pajak.
Seperti dipahami, beberapa instrumen yang
bisa dipakai untuk meningkatkan
penerimaan negara antara lain adalah ekspor
dan peningkatan kinerja BUMN. Ekspor
dalam tahun 2006 dan 2007 menunjukkan
perkembangan yang fantastis sehingga
mendonorkan penerimaan negara yang
cukup besar. Tentu saja pemerintah harus
kembali menggelorakan ekspor, karena pada
tahun 2006-2007 sebetulnya kenaikan
ekspor tersebut lebih banyak disebabkan
karena kenaikan harga pada komoditaskomoditas tertentu, seperti CPO/minyak
sawit dan karet (bukan karena penambahan
volume ekspor). Sedangkan efisiensi BUMN
mulai dijalankan secara intensif akhir-akhir

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

85

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 12.
Posisi Pinjaman Luar Negeri 2003 2007 (dalam juta US$)
Uraian
Saldo awal
Tambahan utang
Saldo sementara
Cicilan pokok
Saldo akhir

2003

2004

2005

2006

2007*

63.763
5.224
68.988
4.956
68.914

68.914
2.602
71.517
5.222
68.575

63.575
5.538
74.113
3.838
63.094

63.094
3.661
66.755
5.787
62.021

62.021
631
62.652
2.596
59.084

Ketarangan: *) Per 30 Juni 2007


Sumber: Depkeu, 2007

ini sehingga diharapkan dalam beberapa


tahun ke depan sebagian besar BUMN sudah
menghasilkan profit.
Khusus mengenai upaya untuk
menaikkan penerimaan dari sektor pajak,
Indonesia harus melakukan upaya-upaya
reformasi agar publik mau membayar pajak
secara sukarela. Data yang tersedia
mendeskripsikan dua hal yang menarik
diamati dari aspek ini dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN. Pertama, item pajak
Indonesia ternyata jauh lebih besar daripada
negara-negara ASEAN lain, yakni sejumlah
52 item. Di bawah Indonesia adalah
Thailand dan Vietnam, yakni masing-masing
44 item. Sedangkan Singapura item pajaknya
cuma 19. Kedua, sebagai konsekuensi dari
banyak item pajak, di Indonesia waktu
mengurus pajak sangat lama, yaitu mencapai
560 jam. Ini hanya lebih baik dari Vietnam
yang mencapai 1050 jam. Waktu pengurusan
pajak yang lama ini tentu menjadi insentif
bagi masyarakat untuk tidak membayar pajak
karena mereka kehilangan waktu yang

banyak (opportunity cost of time). Oleh karena


itu, harus mulai dipikirkan untuk melakukan
reformasi birokrasi agar pengurusan pajak
ini tidak terlalu lama sehingga penduduk
atau dunia usaha menjadi lebih ramah untuk
membayar pajak.
Sementara itu, masalah utang luar
negeri sampai sekarang masih menjadi
hantu dalam perekonomian, khususnya
dalam kaitannya dengan anggaran negara.
Sampai pertengahan tahun 2007 (Juni)
jumlah utang luar negeri Indonesia masih
mencapai 59 miliar US$ (atau sekitar Rp 546
triliun) [Tabel 13]. Jumlah utang luar negeri
tersebut memang semakin menurun dari
tahun ke tahun sehingga dapat dikatakan
cukup menggembirakan. Sebaliknya, utang
dalam negeri kian bertambah dari tahun ke
tahun, bahkan sejak tahun 2005 jumlah
utang domestik lebih besar dari utang luar
negeri. Walaupun begitu, jumlah utang luar
negeri yang semakin menurun tersebut tidak
lantas membuat struktur perekonomian

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

86

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 13.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Tahun
1996
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Penduduk Miskin


(dalam juta jiwa)
34,01
49,50
47,97
38,70
37,90
38,40
37,30
36,10
35,10
39,30
37,17

Persentase Penduduk
Miskin
17,74
24,23
23,43
19,14
18,41
18,20
17,42
15,56
15,97
17,75
16,58

Keterangan: - Jumlah dan persentase penduduk miskin di atas merupakan gabungan dari
desa dan kota
Sumber: BPS, 2007

menjadi lebih sehat. Sampai tahun 2008,


diperkirakan rasio utang luar negeri terhadap
PDB masih sekitar 34%. Sedangkan dalam
anggaran 2007, pembayaran cicilan pokok
dan bunga utang luar negeri sejumlah Rp
54,75 triliun. Diperkirakan jumlah cicilan
utang itu akan membengkak sekitar Rp 7,2
triliun akibat melemahnya nilai tukar rupiah.
Dari aspek ini kelihatan bahwa utang luar
negeri dan dalam negeri telah menjepit
anggaran negara karena ruang untuk alokasi
kepentingan publik menjadi terbatas
(pendidikan, kesehatan, dan lain-lain).
Di luar aspek tersebut, persoalan utang
luar negeri di Indonesia sebenarnya mulai
terasa agak serius setelah terjadi transfer
netto modal keluar sejak tahun 1985.
Transfer netto terjadi jika cicilan utang luar

negeri lebih besar daripada jumlah utang


baru setiap tahunnya. Dengan kata lain,
transfer netto modal keluar (net resource
transfer) semakin besar. Sebagai contoh,
cicilan utang pemerintah Indonesia
mencapai US$ 3,97 miliar pada tahun 1985.
Sementara utang baru Indonesia pada tahun
itu berjumlah US$ 3,57 miliar, artinya telah
terjadi transfer netto modal keluar sebesar
0,4 miliar pada tahun tersebut. Transfer
modal keluar tersebut cenderung akan lebih
besar pada tahun-tahun yang akan datang
karena pokok pinjaman dari utang-utang
dekade sebelumnya sudah mulai jatuh
tempo. Sejak saat itulah Indonesia terjerat
dalam perangkap ULN (debt trap), yang
jumah kesenjangan antara utang baru
dengan jumlah cicilan kian membesar setiap

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

87

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

tahunnya. Tentu saja kondisi tersebut sangat


mencemaskan karena Indonesia berada
dalam siklus ketergantungan yang tidak jelas
jalan keluarnya.

2.6. Tingkat Kemiskinan dan


Pengangguran
Salah satu persoalan yang masih
mengemuka pada tahun 2007 adalah
kemiskinan dan pengangguran. Lepas dari
kontroversi mengenai parameter untuk
menghitung kemiskinan, terlihat bahwa
jumlah orang miskin pada era Orde Baru
terus menurun dari tahun ke tahun. Pada
tahun 1976 ketika awal-awal pembangunan
jumlah orang miskin mencapai 54,2 juta
(40,08%), tahun 1987 menurun menjadi 30
juta ((17,42%), dan pada tahun 1996 sebelum
krisis tinggal 22,5 juta (11,3%). Tetapi,
semenjak krisis terjadi diperkirakan sampai
pertengahan 1998 jumlah orang miskin
mencapai 79,8 juta, (BPS, 1998). Jumlah
penduduk miskin tersebut sebetulnya
sempat turun pada tahun 2003-2005.
Namun, pemerintah kembali membuat
blunder kebijakan dengan menaikkan harga
BBM secara berlebihan (sekitar 100%) pada
buan Oktober 2005 sehingga berdampak
kepada peningkatan kembali jumlah
penduduk miskin. Tercatat pada bulan Maret
2006 penduduk miskin melonjak kembali
menjadi 39,30 juta (17,75%), padahal pada
bulan Februari 2005 hanya sebesar 35,1 juta
jiwa. Selanjutnya pada tahun 2007 angka
kemiskinan tersebut menurun kembali

dibandingkan 2006, yakni menjadi 37,17 juta


(16,58%) [Tabel 13].
Pemerintah sendiri sudah merespons
persoalan kemiskinan tersebut dengan
beragam program pengurangan kemiskinan
yang tentu berimplikasi terhadap
peningkatan anggaran bagi penanganan
kemiskinan. Dalam tahun anggaran 2007
jumlah dana yang dialokasikan untuk
penanganan kemiskinan mencapai Rp 51
triliun dan pada tahun anggaran 2008
dinaikkan menjadi Rp 65,5 triliun (Tabel 14).
Sayangnya, hingga kini program-program
antikemiskinan yang diluncurkan oleh
pemerintah masih jauh dari ideal bagi
pengurangan angka kemiskinan. Program
PNPM-mandiri (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) yang
dilakukan pemerintah pada tahun 2007 juga
belum menyentuh kepada upaya
pemberdayaan yang lebih kongkret sehingga
stereotip program karitas masih terlihat dari
program itu, misalnya program bantuan
langsung tunai (BLT) dan beras untuk rakyat
miskin (raskin). Iniah yang menjadi alasan
mengapa program yang diluncurkan oleh
pemerintah tidak terlalu memiliki dampak
terhadap pengurangan kemiskinan,
meskipun dari segi jumlah dana yang
dikeluarkan cukup besar.
Sedangkan

untuk

masalah

pengangguran, tahun 2005-2006 juga


terdapat peningkatan yang cukup signifikan.
Jumlah pengangguran terbuka mencapai
10,8 juta, sedangkan setengah menganggur

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

88

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

Tabel 14.
Anggaran untuk Program Kemiskinan (dalam triliun rupiah)
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008

Anggaran
18
23
42
51
65,5

Sumber: Kompas, 19 April 2007

(bekerja kurang dari 35 jam/minggu) sebesar


29,64 juta. Sehing ga, secara aktual
pengangguran di Indonesia sebetulnya
sekitar 40 juta, atau setara dengan 40% dari
jumlah angkata kerja. Pengangguran itu di
samping disebabkan oleh krisis ekonomi dan
kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005
(yang menyebabkan banyak perusahaan
bangkrut), juga dikarenakan penurunan
elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap
penyerapan tenaga kerja. Pada periode
Februari 2005 Februari 2006, misalnya,
setiap satu persen pertumbuhan ekonomi
hanya menyerap 42.181 tenaga kerja.
Bandingkan dengan periode Agustus 2002
Agustus 2003 yang setiap satu persen
pertumbuhan ekonomi masih menyerap
tenaga kerja sebesar 252.634. Faktor ini pula
yang menyebabkan terjadi pembengkakan
tenaga kerja di sektor informal, di mana pada
tahun 2005 pekerja yang mencari nafkah di
sektor informal mencapai 66,52 juta (70%)
dari total tenaga kerja sebanyak 94,95 juta
penduduk yang bekerja. Sementara itu,

jumlah pengangguran pada Februari 2007


sedikit menurun menjadi 9,75% dari semula
10,45% (Februari 2006). Dilihat dari sebaran
geografis, maka pengangguran di Pulau Jawa
pada 2007 paling tinggi dibandingkan
dengan wilayah-wilayah lainnya.
Kunci penanganan pengangguran ini
adalah bagaimana membuat pertumbuhan
ekonomi selaras dengan pertumbuhan
sektor riil. Tetapi, justru masalah ini yang
tidak terjadi di Indonesia, di mana sumber
pertumbuhan ekonomi lebih banyak
disokong oleh sektor finansial yang kurang
memiliki dampak terhadap penyerapan
tenaga kerja. Oleh karena itu, ke depan
pemerintah harus menggenjot investasi di
sektor riil, khususnya sektor pertanian dan
industri manufaktur, sehingga penyerapan
tenaga kerja menjadi lebih cepat. Kedua
sektor tersebut jelas memiliki relasi yang
tinggi terhadap terhadap tenaga kerja karena
sifatnya yang tidak terlalu padat modal,
kecuali sektor manufaktur yang

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

89

Perkembangan Ekonomi Indonesia 2007

menggunakan teknologi tinggi. Sayangnya,


skenario tersebut sampai kini belum berjalan
dengan baik sehing ga pertumbuhan
ekonomi yang diperoleh tidak menyertakan
penyerapan tenaga kerja. Jadi, sekurangnya
dua agenda berikut harus dikerjakan oleh

pemerintah. Pertama, mengupayakan


perbaikan iklim investasi sehingga sektor riil
dapat tumbuh dengan baik. Kedua,
memprioritaskan investasi di sektor riil yang
mampu menyerap tenaga kerja, khususnya
di sektor pertanian dan industri manufaktur.

Tabel 15.
Angkatan Kerja dan Persentase Pengangguran (Februari 2007)
Daerah
Sumatera
Jawa
Bali dan NTT
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
Total Indonesia

Angkatan Kerja
(juta)
21,45
64,81
6,22
6,16
7,26
2,24
108,13

Bekerja
(juta)
19,38
58,07
5,88
5,67
6,54
2,04
97,58

Pengangguran
(%)
9,62
10,39
5,49
7,95
9,94
8,77
9,75

Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (%)
66,68
65,80
73,93
71,02
63,40
70,63
66,60

Keterangan: - Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah rasio jumlah angkatan kerja terhadap jumlah
penduduk usia kerja (15+)
- Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah rasio jumlah pengangguran terbuka terhadap jumlah
angkatan kerja

Sumber: BPS; dalam Sindo 16 Mei 2007

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (1), Januari 2008

90

You might also like