23 3 PB PDF
23 3 PB PDF
23 3 PB PDF
ABSTRACT
Tukad Barak river flows in the village of Buleleng Grokgak expected to meet
the water needs for agriculture, domestic and non-domestic through the development
plan of raw water distribution system (piping). Raw water development plan will be
analyzed according to the economic analysis, in order to determine whether the
proposed development of raw water in the village of Buleleng Sanggalangit is
feasible. The purpose of this research is to understand the feasibility of the
development plan of raw water distribution networks Sanggalangit village, and a
library for researchers specializing in the construction of the raw water pipeline
networks that exist in the source water flowed into the village of Barak Tukad
Sanggalangit The results of the study found that long-planned raw water distribution
piping network 12 km, with an area of 19.5 km2 Sanggalangit village or 1.950
hectares, divided into 4 Sanggalangit village hamlet, with a population of 1160
households with 4372 inhabitants. Development plans raw water distribution piping
network will be accommodated through a tank / reservoir capacity 4500 M3 principal
and 3 (three) pieces of each distribution reservoir for reservoir distribution Taman
Sari 150 M3 Hamlet, Hamlet Wana Sari 80 m3 and reservoir distribution 100 m3 of
Dusun Kayu Putih Village. The method used in researching the feasibility of the
project associated with the investment criteria of the current net present value
benefits and costs (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net
B / CR), payback period (PBP) and Inflation .Based on the results of economic
analysis in a row, the value of NPV> 0, the value of 11% IRR, B / CR of 1.0032,
PBP for 9 th and 7% inflation rate (the cash value of the investment
Rp.10.355.235.341 above the value of the initial investment Rp.4.136.64.300). The
results of this analysis indicate raw water development project is feasible because it
would benefit if the project is built.
PENDAHULUAN
Air adalah merupakan kebutuhan paling penting bagi seluruh makhluk hidup
yang ada dimuka Bumi ini untuk dapat bertahan hidup terutama bagi Manusia.
Betapa tidak manusia tidak akan dapat hidup tanpa air, manusia membutuhkan air
untuk minum, memasak, mandi dan mencuci, minum ternak dan menyiram/mengairi
1
tanaman. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan luas wilayah
5.634,40 km, mempunyai topografi yang berbukit-bukit dengan pegunungan yang
membentang dari barat sampai timur. Di Bali terdapat 401 buah sungai, 4 danau dan
500 mata air . Jumlah cadangan air di Bali sebanyak 13.523,61 juta M3/tahun yang
terdiri dari air permukaan 5.656,65 juta M3/tahun, air tanah 401,13 juta M3 dan curah
hujan 7.465,83 M3/tahun ( Rencana Aksi Daerah, 2009). Perkembangan
pembangunan di kabupaten buleleng telah memberikan konsekwensi tersendiri bagi
perkembangan sektor-sektor lain di daerah tersebut, dan penyediaan sarana/prasarana
penunjangnya. Salah satunya adalah kebutuhan akan ketersediaan sumber air baku
untuk melayani kebutuhan air bersih bagi masyarakat miskin terutama yang ada
dipedesaan dan juga untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, industri dan
rekreasi serta aktivitas sosial budaya. Pada saat ini daya dukung sumber daya air di
Kabupaten Buleleng mulai menurun, sehingga penyediaan air baku untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat merupakan prioritas utama diatas semua
kebutuhan lainnya.
Upaya pemenuhan kebutuhan air baku telah memunculkan persoalan dalam
kaitannya dengan pembangunan prasarana dan sarana penyediaan air baku yang
memadai. Kondisi pelayanan air bersih di Kabupaten Buleleng, dimana PDAM
Kabupaten Buleleng sampai dengan tahun 2005 telah mengelola dan membina
25.650 instalasi sambungan rumah dan 175 instalasi kran umum untuk pelayanan
masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Instalasi pelayanan air bersih
tersebut tersebar di 8 (delapan) Kecamatan yang ada di kabupaten buleleng sampai
tahun 2005 adalah 393 liter/detik dan melayani 145.840 jiwa penduduk atau 24,43%
dari seluruh penduduk di kabupaten buleleng. Penurunan debit sumber air yang ada,
sehingga menurunnya kapasitas produksi yang dikelola saat ini, rendahnya tingkat
pelayanan air bersih pedesaan dan banyaknya desa yang belum terlayani.
Penambahan kapasitas produksi pada system yang ada berbenturan dengan subak
untuk kepentingan air irigasi, potensi sumber air cukup, tetapi keterbatasan kapasitas
sistem penyediaan air baku yang ada. Keterbatasan sumber air yang dimiliki
Kecamatan Grokgak menyebabkan tingkat pemenuhan kebutuhan air bersih sangat
rendah. Desa Sanggalangit Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng yang terletak di
daerah perbukitan dengan kemiringan 30o 50o derajat sebagian masyarakatnya
berprofesi sebagai Petani Perkebunan, Peternak, sebagai Pedagang, PNS dan ABRI.
Luas wilayah Desa Sanggalangit 19,5 KM2 atau 1950 Ha yang dibagi dalam 4
Dusun, dengan jumlah penduduk tahun 2008 sebanyak 1160 KK dengan 4.372 jiwa.
Letak geografisnya Desa ini berada di daerah perbukitan maka sangat sulit bahkan
tidak ada sumber air bersih (mata air) yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan air sehari-hari terutama pada saat musim kemarau. Sementara sekarang
ini masyarakat mengambil air bersih di daerah pesisir pantai atau dari desa tetangga
yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka, sedangkan untuk pertanian
masyarakat setempat hanya mengandalkan air hujan sehingga pada musim kemarau
praktis tidak dapat bercocok tanam karena tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.
Kondisi saat ini desa Sanggalangit mengalami permasalah an pemenuhan
kebutuhan air baku. Berdasarkan keadaan tersebut di atas dipandang sangat perlu
dibuat sebuah Rencana Pengembangan Air Baku yang diharapkan mampu
mensuplai air dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan air baku bagi
masyarakat Desa Sanggalangit khususnya Dusun Taman Sari, Wana Sari, Kayu Putih
dan sekitarnya sampai kemarau berakhir. Lokasi Rencana Pengembangan Air Baku
ini terletak di Desa Sanggalangit Kecama tan Grokgak Kabupaten Buleleng,
sedangkan sumber airnya diambil dari Tukad Barak yang hulunya berada dikawasan
hutan lindung Desa Grokgak Kecamatan Grokgak Kabu paten Buleleng dan
bermuara di Kabupaten Jembrana. Debit aliran sumber air pada saat musim kemarau
adalah 12 liter/detik, sedangkan penggunaan air bervariasi pada saat musim hujan
hanya untuk konsumsi domestik sebesar 4,71 lt/dtk dan pada saat musim kemarau air
diperlukan untuk minum, mandi/cuci, menyiram tanaman kebutuhan airnya
meningkat menjadi 19,28 lt/dtk. Ketersediaan air tersebut perlu dibuatkan Reservoir
untuk menampung kelebihan supplay air pada musim hujan dan dialirkan pada
musim kemarau, melalui Sistem Distribusi Air Baku Desa Sanggalangit. Penelitian
ini dibatasi mulai dari Tempat Penampungan Air Baku (intake) dari Tukad Barak
Hulu kemudian dibuatkan Bak Penampung (Reservoir) selanjutmya pipa distribusi
ke Bak Penampung (Reservoir) ke Dusun Taman Sari, Dusun Wanasari dan Dusun
Kayu Putih dengan sistim pola distribusi jaringan perpipaan.
Penelitian awal dimulai dengan pemetaan desa Sanggalangit, kemudian
dilanjutkan dengan pendataan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan pendapatan
masyarakat dari kegiatan rutin sehari-hari untuk selanjutnya dari data-data
pemetaan desa dibuatkan rencana anggaran biaya untuk distribusi air dari Tukad
Barak (intake). Masyarakat juga mengharapkan agar angka pengangguran tidak
semakin meluas, berupaya untuk melaksanakan eko nomi kerakyatan agar benar-
benar menjadi realita serta melaksanakan konsep pemerataan, baik antar masya rakat,
antar daerah/kota maupun antar sektor. Daerah yang akan diteliti adalah Desa
Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Melalui Rencana
Pengembangan Air Baku ini diharapkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan
secara aktif dalam mengamankan dan memelihara hasil-hasil pembangunan,
sehingga pemanfaatannya dapat diperoleh secara optimal.
METODE PENELITIAN
HASIL PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang sduah dilaksanakan terutama terkait dengan analisa usaha
disajikan npada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Ekonomi
NPV = 13.315.897 Rp
3
Jadi dengan tingkat suku bunga i = 11% dan harga air Rp. 2.100/m
Nilai NPV = Positif berarti proyek layak untuk dilaksanakan
BCR = 1,0032
Nilai BCR > 1, berarti proyek layak untuk dilaksanakan
Investasi
(Juta Rp)
Safety margin
4.136 BEP
Keterangan :
4000 Pengembalian investasi 9 tahun
Umur ekonomis proyek 25 tahun
Keuntungan diatas 9 tahun
3000
2000
1000 Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 1. Break Event Point (Pay Back Period)
1. Rencana Pengembangan Air Baku Bagi Masyarakat Kritis Air akan dapat
mengatasi kekurangan air baku di Desa Sanggalangit dengan persediaan air
setahun sebesar 248.832.000 liter (248.832 M3)..
2. Hasil analisis ekonomi pengembangan air baku adalah NPV > 0 positif,
IRR 11% lebih kecil dari bunga kredit (diskonto) bank 15%, B/C R >1 yaitu
1,0032 dan tingkat pengembalian pinjaman (Payback Period) 9 dan tingkat
Inflasi 7% (Rp. 10.355.235.341,-), Rencana Pengembangan Air Baku Desa
Sanggalangit menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan.
3. Rencana pengembangan air baku Desa Sanggalangit akan dapat
meningkatkan pendapatan, meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat,
pengembangan pertanian, peternakan dan usaha industri rumah tangga
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, 2008, Analisis Kelayakan Investasi Bisnis, Edisi Perdana, Penerbit
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Bappeda Kabupaten Buleleng. 2004. Revisi Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Kabupaten Buleleng tahun 2004-2014.
HM. Burhan Bungin. 2004. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Penerbit Kencana
Prenada Media Group. Jakarta.
Suad Husnan & Suwarsono Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi ke
Empat. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi Dua. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kuswadi. 2006. Analisis Ke Ekonomian Proyek, Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mankiw. N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
M. Giatman, 2005... Ekonomi Teknik, Editor H. Arsan Aliludin Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM).
Sugiyono, 2009, Statistika untuk Penelitian, Cetakan Kelima, Penerbit CV. Alfabeta.
Bandung.
Sukanto Reksohadiprodjo, 2002, Ekonomi Lingkungan Suatu Pengantar, Edisi 2.
Penerbit BPFE. Yogyakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Departemen Pekerjaan Umum RI.
EFEKTIFITAS PENGELOLAAN LIMBAH CAIR
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat. Kegiatan tersebut nantinya
akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Namun disisi lain dapat
menimbulkan dampak negatif antara lain adalah limbah medis maupun non medis
yang dapat menimbulkan penyakit dan pencemaran yang perlu perhatian khusus.
Oleh karenanya perlu upaya penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dan karyawan akan bahaya pencemaran lingkungan
yang bersumber dari limbah rumah sakit.
Limbah rumah sakit dapat mengandung bahan berbahaya karena dapat
bersifat racun, infeksius dan juga radioaktif. Selain itu, karena kegiatan atau sifat
pelayanan yang diberikan, maka rumah sakit menjadi depot segala macam penyakit
yang ada di masyarakat, bahkan dapat pula sebagai sumber distribusi penyakit karena
selalu dihuni, dipergunakan, dan dikunjungi oleh orang-orang yang rentan dan lemah
terhadap penyakit. Di tempat ini dapat terjadi penularan baik secara langsung (cross
infection), melalui kontaminasi benda-benda ataupun melalui serangga (vector borne
infection) sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat umum (Dirjen PPM &
PL.2002).
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas (Menkes.2004). Apabila dibandingkan
dengan kegiatan instansi lain, maka dapat dikatakan bahwa jenis sampah dan limbah
rumah sakit dapat dikategorikan kompleks. Secara umum sampah dan limbah rumah
sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu limbah klinis dan non klinis baik padat
maupun cair. Limbah klinis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan,
gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau
pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa
membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu.
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga
menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah
non medis ini bisa berasal dari kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa
karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah
dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Limbah
rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada
jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis
sarana yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme
tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain
akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya
dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, pH,
mikrobiologik, dan lain-lain.
Pada tahun 1992, di Perancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan
terinfeksi HIV, 2 dianta-ranya menimpa petugas yang menangani limbah medis
(WHO. 2005). Hal ini menunjukkan bahwa perlunya pengelolaan limbah yang baik
tidak hanya pada limbah medis tajam tetapi meliputi limbah rumah sakit secara
keseluruhan. Namun, berdasarkan hasil Rapid Assessment, sebanyak 648 rumah sakit
dari 1.476 rumah sakit yang ada, yang memiliki insinerator baru 49% dan yang
memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebanyak 36%. Dari jumlah
tersebut kualitas limbah cair yang telah melalui proses pengolahan yang memenuhi
syarat baru mencapai 52% (Dirjen PPM & PL.2002).
Telah terjadi pencemaran posphat pada air sungai dan air sumur di sekitar
RSUP Sanglah. Sampel air sungai yang diambil dua kali yaitu pada bulan Februari
dan bulan Juli tahun 2008 menunjukan indikasi pencemaran (Status Lingkungan
Hidup.2008). Air selokan memiliki nilai BOD dan COD melebihi baku mutu limbah
sedangkan air sumur masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Namun indikasi
pencema-ran amoniak terjadi baik pada air sungai maupun air sumur penduduk.
Hasil dari kualitas pengolahan limbah cair tidak terlepas dari dukungan pengelolaan
limbah cairnya. Suatu pengelolaan limbah cair yang baik sangat dibutuhkan dalam
mendukung hasil kualitas efluent, sehingga tidak melebihi syarat baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan
sekitar. Terkait masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi yang berkelanjutan untuk
mengetahui efektifitas pengolahan limbah cair di RSU Sanglah Denpasar.
METODE PENELITIAN
KESIMPULAN
a. Pengelolaan limbah cair di RSUP Sanglah sudah efektif hal ini dapat dilihat dari
hasil uji t berpasangan diketahui bahwa seluruh parameter nilai sig.(2-tailed)
0,000 artinya terdapat perbedaan kualitas limbah cair antara sebelum dan sesudah
pengolahan. Dari hasil perhitungan prosentase efektifitas nampak parameter total
coliform yang nilainya paling tinggi yaitu 96,6%.
b. Perbandingan antara kualitas effluent dengan baku mutu sebagian besar
parameter sudah memenuhi baku mutu yang ditetapkan kecuali BOD5 dan NH3
atau amoniak. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya pengolahan limbah
cair secara biologis pada bak aerasi dan bak biodetox.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Masyarakat Desa Pakraman Penglipuran memiliki potensi untuk dijadikan
obyek wisata budaya. Masyarakat Desa Pakr aman Penglipuran
merefleksikan serta mengimplementasikannya melalui tradisi/budaya,
struktur bangunan dan penataan lingku ngan. Keharmonisan tersebut
menjadikan lingkungannya tetap asri dengan penduduknya ramah tamah.
2. Meskipun budaya dan pariwisata telah menjadi budaya di Desa Pakraman
Penglipuran dan telah mengalami proses touristification, identitas budaya
masyarakat Desa Pakraman Penglipuran masih tetap, kalau boleh dikatakan
menguat. Temuan -temuan lapa ngan juga menunjukkan bahwa kebudayaan Desa
Pakraman Penglipuran sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas
orang Desa Pakraman Penglipuran dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul
budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Meskipun telah lama terjadi kontak
yang intensif dengan pariwisata, identitas keasliannya ternyata menguat
walaupun arus internasionalisasi semakin derasnya.
3. Penetapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai obyek wisata budaya telah
memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya
yang meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan serta pengetahuan
masyarakat. Menurut data statistik tingkat pendapatan perkapita masyarakat Desa
Pakraman Penglipuran memang lebih tinggi dari rata-rata tingkat pendapatan
perkapita Kabupaten Bangli, tetapi pendapatan perkapita tersebut masih kurang
dari batas layak sebagai Daerah tujuan wisata. Strategi Pember dayaan
masyarakat melalui Pene tapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai Obyek
Wisata Budaya dalam upaya peningkatan kesejah teraan masyarakat dapat
dilaksa nakan namun masih perlu diimbangi regulasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Pemuda TKI Bali 1991. Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990
tentang Kepariwisataan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali,1991.
Peraturan No. 3 Tahun 1991 Daerah Tingkat I Bali Tentang Pariwisata
Budaya,2000.
Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. 2008. Statistik Kepariwisataan
Kab. Bangli 2008. Bangli :
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. 2008. Informasi
Kepariwisataan Kab. Bangli 2008. Bangli : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bangli.
ANALISIS KELAYAKAN SECARA TEKNIS, LINGKUNGAN DAN SOSIAL
EKONOMI USAHA PERTAMBANGAN BATU ANDESIT DI DESA UMA
ANYAR SERIRIT BULELENG
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Analisis Data
Analisis menggunakan program yang disebut Mining Evaluation Software
yang dirancang berdasarkan perhitungan secara manual. Data yang diproses meliputi
: a) untuk kelayakan teknis meliputi peta rencana tambang dan penempatan bangunan
infrastruktur, b) untuk kelayakan lingkungan meliputi data jumlah dan harga tanaman
yang diperlukan untuk reklamasi, data kuisioner dianalisis dengan menggunakan
bantuan tabel-tabel dari berbagai fenomena yang akan dideskripsikan, pembahasan
dilakukan menggunakan bantuan prosentase sehingga diperoleh gambaran yang
komprehensip atas fenomena yang diamati. c) untuk kelayakan ekonomi meliputi
biaya produksi (production cost) yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Terpenting
dalam analisis ini adalah suatu data aliran uang tunai didalam perusahaan (cash flow)
dengan maksud untuk memperhitungkan tingkat pengemba lian modal yang secara
langsung dapat digunakan sebagai indikator bagi tingkat keuntungan suatu proyek.
Lebih lanjut desain penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini.
No Pilihan
Pertanyaan Jumlah
S KS TS
Teknis :
1 Ada investor yang melakukan
kegiatan penambangan di daerah 29 1 0 30
Uma Anyar
2 Penambangan batu andesit ini tahu
28 2 0 30
dari melihat sendiri
3 Penambangan batu andesit ini tahu
27 2 1 30
dari penjelasan orang lain
4 Secara teknis penambangan batu
andesit ini tidak berbahaya bagi 20 9 2 30
masyarakat lingkungan
5 Penambangan batu andesit ini akan
menimbulkan kebisingan karena 28 2 0 30
banyak truk pengangkut material
6 Penambangan batu andesit ini banyak
23 7 0 30
menimbulkan debu beterbangan
7 Penambangan ini akan merusak
23 7 0 30
tumbuh-tumbuhan di lokasi tambang
8 Penambangan ini menyebabkan
udara menjadi kotor karena asap alat 25 5 0 30
berat
9 Penambangan batu andesit ini akan
berpengaruh terhadap daerah aliran 18 12 0 30
sungai
10 Penambangan batu ini
19 10 1 30
mempengaruhi iklim di sekitar lokasi
11 Dalam Penambangan batu andesit ini
masyarakat agar di ikutkan dalam 14 15 1 30
proses pengelolaan lingkungan
12 Pada akhir penambangan dilakukan
30 0 0 30
reklamsi oleh perusahaan penambang
13 Reklamasi dilakukan sesuai dengan
yang tertera pada dokumen UKL- 30 0 0 30
UPL
14 Reklamasi sesuai peruntukan apabila
30 0 0 30
masyarakat menginginkannya
15 Penambangan batu andesit ini dekat
dengan perkampungan sehingga 19 11 0 30
mengganggu wilayah Banjar Adat
16 Penambangan berdampak pada 14 16 0 30
banyaknya bangunan liar/bedeng di
sekitar lokasi
17 Penambangan batu andesit ini tidak
akan mengganggu kenyamanan 13 14 3 30
penduduk
Sosial ekonomi
18 Penambangan batu andesit ini untuk
22 8 0 30
dijual ke luar lokasi tambang
19 Batu andesit yang ditambang akan
30 0 0 30
dijual sebagai bahan bangunan
20 Batu andesit yang ditambang akan
30 0 0 30
dijual untuk perbaikan jalan
21 Penambangan batu andesit ini
nantinya, akan membuka peluang 30 0 0 30
pekerjaan bagi masyarakat sekitar
22 Penambangan batu andesit ini dapat
secara langsung menguntungkan 29 1 0 30
perekonomian Desa Uma Anyar
23 Penambangan batu andesit ini
menyebabkan sarana dan prasarana
30 0 0 30
Desa bertambah seperti
pembangunan jalan
24 Penambangan batu andesit ini akan
merusak tatanan Adat, karena 29 1 0 30
banyaknya pendatang
25 Adanya penambangan ini merubah
gaya hidup masyarakat desa Uma 9 21 0 30
Anyar menjadi konsumtif
26 Lembaga Adat (Banjar Dinas, Desa
Adat) mendapat bantuan rutin dari
10 20 0 30
perusahaan penambangan batuan
andesit ini.
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010
Keterangan : S = setuju, KS = kurang setuju, TS tidak setuju
Teknis :
1. Ada investor yang melakukan kegiatan 96,7 3,3 0 100
penambangan di daerah Uma Anyar.
2. Penambangan batu andesit ini tahu dari 93,3 6,7 0 100
melihat sendiri.
3. Penambangan batu andesit ini tahu dari 90,0 6,7 3,3 100
penjelasan orang lain.
4. Secara teknis penambangan batu andesit 66,7 30,0 3,3 100
ini tidak berbahaya bagi masyarakat.
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010
Keterangan : S = Setuju, KS = Kurang Setuju, TS = Tidak Setuju
Dari Tabel 05 dapat dipahami bahwa sebagian besar masyarakat lokal/ adat
berpandangan bahwa masyarakat sangat mengharapkan adanya usaha pertambangan
batu andesit (96,7%), karena dengan adanya usaha pertambangan batu andesit ini
dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. Disamping itu secara langsung
menguntungkan perekonomian Desa serta Lembaga Adat akan mendapat bantuan
dari perusahaan, walaupun demikian tidak akan merubah gaya hidup masyarakat
menjadi konsumtif. Kedatangan tenaga kerja dari luar pada waktu kegiatan proyek
masih berjalan, tidak menimbulkan gangguan kamtibmas karena mereka tidak
mengganggu norma-norma/nilai-nilai budaya masyarakat lokal
DAFTAR PUSTAKA
Adang P. Kusuma, 2008. Menambang Tanpa Merusak Lingkungan. Badan
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung.
Biro Ekonomi, 2006. Sektor Ekonomi Produktif. Master Plan Penunjang
Investasi Provinsi Bali, http://www.baliprov.go.id/index.php. diakses 31
Januari 2010.
Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, 1991. Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pertambagan Umum
Direktorat Jendral Pertambangan Umum. Jakarta.
Davis and Cornwell, 1991. Introduction to Environmental Enginering McGraw-
Hill, Inc. New York.
Giatman, M, 2006. Ekonomi Teknik PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hartman, H.L, 1972. Surface Mining The American Institut of Mining,
Metallurgical, and Petroleum Engineers, Inc. New York.
Haryanto, D, 1987. "Teknik Evaluasi Ekonomi Universitas Pembangunan
Nasional Veteran, Yogyakarta.
Indonesianto, Y, 2000. "Pemindahan Tanah Mekanis" Jurusan Teknik
Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta.
Kasmir. 2006. Penilaian Kelayakan Usaha. Kewirausahaan. Rajawali Pers.
Katam, S, 1983. Perencanaan Penambangan Sebuah Pedoman ITB, Bandung.
Khairul, M, Pengertian Penilaian Kelayakan Usaha, http://id.shvoong.com/
business-management/entrepreneurship/1944006.diakses 1 Maret 2010
Kusumodirdjo, K, 1994. Lingkungan Reklamasi Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum. Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan, Bandung.
Maleong, L.J, 2000. Metodelogi Penelitian Kualitatif PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Peurifoy, R.L, 1970. "Contruction Planning Equitment and Method
Me.Graw Hill Book Co. Inc., New York.
Pryor, E.J, 1983. Mineral Processing Formerly Reader in Mineral Dressing,
University of London.
Punia Asa, I.D.P, 2000. Persepsi Penghuni Terhadap Pemukiman Resettlement
Bencana Alam; Study Kasus Resettlement Pasca Bencana Alam Gempa Bumi
dan Tsunami Kabupaten Dati. II Sikka NTT, Thesis MPKD Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta
Purbohadiwidjojo, M.M, 1998. Geologi Struktur Indonesia Direktorat Jendral
Geologi Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Reedman, J.H, 1979. Techniques in Mineral Exploration Noranda Exploration
Company Ltd, Winnipeg. Canada.
Rochmanhadi, 1989. "Alat Berat dan Penggunaanya'' Departemen Pekerjaan
Umum, Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Salim, P. dan Y. Salim, 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Edisi
Pertama, Modern English Press Jakarta.
ANALISIS MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR POLA
PNPM MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN DI KECAMATAN KUBU
KABUPATEN KARANGASEM
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Program
Program Program
Program
Program
Program Program
Program
TATARAN
PENGELOLA PROSEDUR
PROGRAM YG. RIBET KEBANYAKAN
MEDIATOR
KOORDINASI
LAPANGAN
?
BANTUAN SALAH
SASARAN
??
??
TATARAN
MASY. TUMPANG TINDIH
DNG PROG LAIN ??
?? ??
?? ??
??
TERLUPAKAN?
Karakteristik Responden
Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis
kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut :
1) Umur Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42%
berumur 38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah
usia muda produktif);
2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum kawin), 80,81%
kawin dan 4,04 % bersatus duda;
3) Tingkat Pendidikan menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat
SD, 27,27% tamat SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 %
tamat Perguruan Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPM-
MKP di kecamatan Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan
menengah dan hanya 3,03% berpendidikan tinggi;
4) Pekerjaan Sampingan Responden, menunjukkan 18,18% tidak memiliki
pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06% peternak, 13,13% buruh
(karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir); 11,11% pekerjaan lainnya
(PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya);
5) Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki
tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06%
memiliki tanggungan 5-6 orang;
6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa untuk penguasaan tanah tegalan;
84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 % memiliki tanah 51-100 are, 0%
memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki tanah 151-200 are. Untuk
penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3 are, 31,31% memiliki 4-7
are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk status hak tanah tegalan:
50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan hak milik, dan 6,06%
merupakan sebagai penggarap (nyakap);
7) Sarana Usaha Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02%
tidak memiliki jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung
2 unit dan 2,02% memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin
(mesin motor tempel maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02%
tidak memiliki, 84,85% memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki
mesin sebanyak 2 unit dan 2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan
untuk kepemilikan sarana alat tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya:
72,73% memiliki 0-2 set, 17,17% memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6
set;
8) Pendapatan Nelayan, menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan
utama (sebagai nelayan) menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000
900.000 per bulan, 44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan,
28,28% pendapatannya 1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya
2.301.000-3.000.000 per bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan
sampingan menunjukkan 75,76% pendapatan sampingannya 0-500.000 per
bulan, 19,19% pendapatan sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01%
pendapatan sampingannya 1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04%
pendapatan sampingannya 1.501.0002.000.000 per bulan. Dengan demikian
jumlah pendapatan nelayan secara keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56%
pendapatannya 800.000-1.850.000 per bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000
2.900.000 per bulan, 8,08% pendapatnnya 2.901.000 3.950.000 per bulan,
dan 1,01% pendapatannya 3.951.000-5.000.000 per bulan;
9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa pngeluaran nelayan untuk memenuhi
kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya, 13,13% pengeluarannya 200.000-
450.000, 39,39% pendapatannya 451.000-700.000, 26,26% pengeluarannya
701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya 951.000-1.200.000. Untuk
pengeluaran non konsumsi (per bulannya) menunjukkan bahwa 95,96%
pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03% pengeluarannya 826.000-1.550.000,
0% pengelua rannya 1.551.000-2.275.000, dan 1,01% pengeluarannya
2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional usaha nelayan (per
bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya 100.000-450.000,
42,42% pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02% pengelua-rannya 801.000-
1.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.000-1.500.000. Dengan demikian
kalau dilihat secara keseluruhannya, total pengeluaran nelayan (dalam rupiah
per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total pengeluarannya 800.000-
1.725.000, 43,43% penge-luarannya 1.726.000-2.650.000, 5,05%
pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01% pengeluarannya 3.576.000-
4.500.000;
10) Kepemilikan Rumah Nelayan, menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24%
milik orang tua, dan 1,01% dengan menyewa. Sedangkan jenis rumah yang
dimiliki menunjukkan 32,32% rumah permanen, 68,68 % rumah semi
permanen;
11) Kepemilikan Tabungan, menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan,
sedangkan 32,32% memiliki tabungan;
12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam Organisasi, menunjukkan
bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut dalam 4-5 organisasi,
dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan kedudukannya dalam
organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 % sebagai anggota,
dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan
13) Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah
hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan
selalu hadir.
67.68%
6.06% 1.01%
0.00%
40.40%
52.53%
40.40%
53.54%
46.47% T
43.43%
55.56%
40.40%
Tabel 01. Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang
Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan
PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009
1) Kelompok Umur; kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok
umur 21-37 tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai
hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu
kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki dukungan
yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang lebih tua
memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-
MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin muda
responden semakin tinggi dukungannnya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini
terjadi karena faktor umur mempengaruhi kemampuan sesorang untuk beraktivitas
dan berproduktivitas. 2) Tingkat Pendidikan; tingkat pendidikan dibagi menjadi
tiga kategori yaitu pendidikan tinggi, pendidikan menengah dan pendidikan dasar.
Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungan
responden terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden pada
tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan
yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan
semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih
rasional; 3) Jumlah Tanggungan Keluarga; Jumlah tanggungan keluarga dibagi
menjadi tiga kategori yaitu 5-6 anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2
anggota keluarga. Jumlah tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang
signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan
Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu
kecenderungan responden yang memiliki tanggungan keluarga yang lebih banyak
memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau
responden yang memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki
kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal
ini terjadi karena anggota keluarga dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan
melaksanakan PNPM-MKP. 4). Pendapatan dari Pekerjaan Utama; Pendapatan
dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp. 2.300.000-3.000.000 per
bulan, Rp. 1.600.000-<2.300.000 per bulan dan Rp. <1.600.000 per bulan.
Pendapatan dari pekerjaan utama mempunyai hubungan yang signifikan dengan
dukunganya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan
yang lebih tinggi memiliki kecendrungan dukungan yang lebih tinggi terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki pendapatan yang lebih
rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin
tinggi tingkat pendapatan responden semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena tingkat pendapatan akan
mempengaruhi jumlah pengeluaran yang dapat dibiayai di dalam meningkatkan taraf
hidupnya nelayan. Pendapatan juga akan berpengaruh terhadap kemampuan nelayan
untuk lebih berpartisipasi di dalam memberikan sumbangan dalam bentuk material
(dana) terhadap suatu program; dan 5). Kepemilikan Alat Tangkap; Kepemilikan
alat tangkap dibagi menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan alat tangkap 5-6 set, 3-4
set, dan 0-2 set. Kepemilikan alat tangkap mempunyai hubungan yang signifikan
dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu. Hal
ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki alat
tangkap yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki alat tangkap yang lebih
sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP. Jadi ada kecenderungan bahwa semakin banyak kepemilikan alat
tangkap semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Hal ini
terjadi karena kepemilikan alat tangkap akan berpengaruh terhadap jumlah hasil
tangkapan nelayan yang nantinya akan berpengaruh dengan tingkat pendapatan
nelayan yang merupakan faktor pendukung dalam pelaksanaan PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat
dan pengusaha yang berada di wilayah Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud,
Kabupaten Gianyar, sebanyak 75 KK. Data dikumpulkan dengan kuesioner,
wawancara dan dari data sekunder yang telah dimiliki Kelurahan Ubud. Data
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan bantuan
Program SPSS.
Y = a + b1X1 + b2X2 + e
Dimana :
Dengan menggunakan bantuan Program SPSS, maka hasil olahan data dapat
dilihat pada Tabel 1.
Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig
B Std. Error Beta
20.87
(Constant) 4.630 4.509 .000
6
Kelompok
.332 .134 .315 2.482 .021
Masyarakat
Kelompok
.354 .067 .668 5.266 .000
Pengusaha
a. Dependent Variable : Peran Serta LPM
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of
Model R R Square
Square the Estimate
1 .951a .904 .895 .719
a. Predictors : (Constant), Kelompok Masyarakat,
Kelompok Pengusaha
b. Dependent Variable : Peran Serta LPM
ANOVAb
Sum of Mean
Model df F Sig
Squares Square
(Constant) 106.631 2 53.315 103.165 .000a
Kelompok Masyarakat 11.369 22 .517
Kelompok Pengusaha 118.000 24
a. Predictors : (Constant), Kelompok Masyarakat, Kelompok
Pengusaha
b. Dependent Variable : Peran Serta LPM
Berdasarkan rangkuman hasil analisis data di atas maka diperoleh hasil sebagai
berikut.
a = Konstanta = 20.876
b1 = Koefisien Kelompok Masyarakat = 0,332
b2 = Koefisien Kelompok Pengusaha = 0,354
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ali dan Snel. 1999. Lesson from Community Based Initiatives in Solid Waste.
Amirin, T.M. 1991. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Jawa Timur,
Analisis dan Rencana Surabaya.
Aswar, Azrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta : PT. Mutiara
Sumber Widya.
Bekin, Caroline, Marylyn Carrigan & Isabelle Szmigin. 2006. Empowerment Waste
and New Consumption Communities. http://www.Wastedisposal.htm.
Congars, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Suatu Pengantar.
Yogyakarta : Gajah Mada University in Focus.
Kastaman. 2004. Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat.
http://www.28%20Tulisan%20di%Mei%20 2004.pdf.
Korten, David. 1986. Community Management USA. Marian Press.
Mulasari, SA, Haryono & Hasanbasri. 2007. Manajemen Swakelola Sampah Dusun
Sukunan dan Gondolayu Lor Provinsi DIY. http://www.seribo.com/doc/11842388/
ManajemenSwakelola-Sampah-Dusun-Sukunan-dan-Gondolayu-Lor.
Mubaiwa. 2006. Community Based Waste Management in Urban Areas.
http://www:community based-waste-mgt.pdf.
Mulyani. 2004. Studi Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga di Pekanbaru. http://www.digilib.itb.ac.id/gdl/phpmou=browse8op=
reud8.id=jbphtbpp.gdl-mulyani-2959289=urban.
Neoloka, Amos. 2008. Kesadaran Lingkungan, Jakarta : Rineka Cipta.
Parsons, 1906. Menulis sebuah buku tentang pengelolaan sampah berjudul The
Disposal of Municipal Refuse. (APK-TS, 1987).
Pretty, John. 1995. The Many Interpretation of Participation in Focus.
Sarwono. 1997. Perilaku Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Triyadi. 2006. Tempat Sampah, Perilaku Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan.
Jurnal Lingkungan Edisi Khusus Agustus 2006.
Tchobanoglous et,al. 1987. American Public Works Association (APK-TS),
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Widyatmoko, N.W. Menghindar, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah
ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH CAIR PADA RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH SANJIWANI GIANYAR DI KABUPATEN GIANYAR
ABSTRACT
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Sedangkan di adalah selisih antara peringkat bagi Xi atau Bi dan Yi dan n adalah
banyaknya pasangan data.
Signifikansi Rs diuji dengan thitung = Rs (n 1). Bila nilai p-value untuk
thitung lebih kecil dari 0,05 maka disimpulkan bahwa Rs signifikan (tidak nol).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Upaya meningkatkan kualitas limbah cair di Unit IPSRS RSUD Sanjiwani Gianyar
dari hasil Analisis data data, antara Variabel Bebas Input (Xi ) dan Variabel Bebas
Proses (Bi ) dengan Variabel Terikat Y (IPJ, dapat disampaikan penjelasannya sbb :
Analisis Variabel Bebas Tahap Input
Variabel bebas tahap Input yang mempunyai hubungan dengan Kualitas
Limbah Cair rumah sakit dianalisis dengan Koefisien Korelasi Bivariat Peringkat
Spearman, adapun hasil analisisnya dapat dilihat seperti Tabel 1.
Tabel 1: Analisis Variabel Bebas (Input Xi ) dengan Variabel Terikat Y (IPJ).
Variabel input X1 X2 X3 X4
Y Korelasi 0.920 0.769 0.810 0.329
(IPJ) p-value 0.000** 0.009** 0.005** 0.354NS
Keterangan
* Hubungan nyata pada tingkat 0.05 (dwi arah).
Hubungan nyata pada tingkat 0.01 (dwi arah ).
**
Penjelasan hubungan variabel bebas input (Xi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ) yang
mempunyai hubungan nyata dengan kualitas limbah cair rumah sakit adalah sebagai
berikut :
1). Material limbah cair yang masuk ke Bak Screen
Material limbah cair dapat merusak kerja dari masing masing peralatan yang
digunakan pada tahap proses, mulai pada bak Screen, sistem FBBR , bak air
terolah dan sistem kerja pompa dari masing - masing bak.
2). Kualitas dan Kuantitas Peralatan Pengelolaan Limbah Cair
Hasil pemantauan parameter BOD,TSS,NH3 Bebas mulai Maret 2007 sampai
Juni 2009, salah satu dari parameter tersebut meningkat drastis. Kualitas dan
kuantitas peralatan pengelolaan pada IPAL mempunyai hubungan nyata sebesar
0,769 dengan Indek Pencemaran (IPj).
3). Anggaran Pengelolaan Limbah Cair RSUD Sanjiwani Gianyar
Analisis anggaran pengelolaan mempunyai hubungan nyata dengan Indek
Pencemaran. Katagori cemar ringan yang terjadi pada tahun 2006, 2007 dan
tahun 2008 katagori cemar sedang, ini disebabkan karena beberapa peralatan
yang ada tidak dapat difungsikan.
Tabel 2: Analisis Variabel Bebas Proses (Bi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ). .
V. proses B1 B2 B3 B4 B5 B6
Y Korelasi 0.935 -0.195 0.198 0.792 0.840 0.836
(IPJ p-value 0.000** 0.589NS 0.584NS 0.006** 0.002** 0.003**
Evaluasi
Melaksanakan fungsi-
fungsi Manajemen
Belum
Methode Pendekatan Teknologi Memenuhi
Meminimal Syarat
Dampak
Negatif Pendekatan Sosekbud
Limbah Memenuhi
Cair RS Syarat
Pendekatan Institusional
Adapun hal hal yang perlu mendapat perhatian optimal sesuai dengan
fungsi mana jemen adalah sebagai berikut:
1). Perencanaan /planning, Analisis kajian manajemen pengelolaan
limbah cair di IPSRS RSUD Sanjiwani ternyata yang telah melaksanakan
perencanaan terhadap kegiatan Pengelolaan limbah cair, hanya 7 Orang
(61,5%), yang belum yaitu 6 Orang (38,5%). Masih rendahnya kemampuan
perencanaan pengelolaan perlu diadakan pelatihan.
2). Pengorganisasian / Organizing, Hasil Analisis kajian manajemen
pengelolaan limbah cair pada RSUD Sanjiwani Gianyar yang sudah
melakukan kegiatan pengor ganisasian terhadap kegiatan pengelolaan limbah
cair rumah sakit mencapai= 56,4%, yang belum sebesar = 43,6 %. Maka dari
kegiatan pengorgani sasian dalam pengelolaan limbah cair perlu diting
katkan.
3). Penggerakkan / Actuating, Hasil kajian Analisis Actuating pengelolaan
limbah cair masih rendah yaitu 39,9%. Sisanya 60,1% belum melaksanakan.
Untuk dapat mempertahankan kualitas limbah cair sesuai ketentuan
disamping rencana, organisasi maka penggerakan organisasi diperlukan.
4). Pengawasan / Controlling, Hasil analisis kajian manajemen pengelolaan
limbah cair pegawai IPSRS yang melaksanakan kegiatan pengawasan dan
pertanggung jawaban kegiatan pengelolaan limbah cair hanya =28,6%,
sedangkan yang belum sebesar = 71,4%, maka masih perlu ditingkat kan.
5) Evaluasi ( Evalution), Analisis kajian manajemen pengelolaan limbah cair
tearhadap kegiatan evaluasi masih rendah sebesar 15,4 %, sedangkan
sisanya 84,6% belum. Hal ini merupakan penyebab kualitas limbah cair
tidak selalu memenuhi baku mutu ( Indek Pencemaran /IPj).
Evaluasi.1
Ambil
Optimalisasi Tahap Input sampel/
Periksa Lab
1.SDM
di Inlet
2.Alokasi Anggaran **
Limbah 3. Protap
4.Peralatan ** Parameter
Cair RS
5.Peraturan limbah cair
6. Material Limbah Cair** terlalu tinggi
7. Lingkungan IPAL
Parameter
limbah cair
Wajar
Evaluasi 2
Ambil sampel/
Tahap proses Periksa Lab di
1. Pre Treatmen Plant ** outlet
2. Bak Screen Pacility
3. Bak Buffer Belum
4. Bak FBBR**
Memenuhi
Limbah 5. Bak Pengendapan**
Tahap 6. Bak Penyimpan
Syarat
Cair RS
Input Sludge **
7. Bak Dewatering** Memenuhi
8. Bak Air Terolah** Syarat
9. Bak Up Flow Filter
10. Bak Desinfeksi**
11. Effluent** Dibuang ke
Lingkungan atau
Sungai
Keterangan :
(**) = Variabel Proses yang mempunyai hubungan nyata,
pelaksanaanya perlu dioptimalkan.
Gambar 3 : Bagan Alur Optimalisasi Operasional Pengelolaan Limbah Cair
Tahap Proses
Operasional tiap langkah pada tahap proses perlu diperhatian, tetapi variabel
proses yang mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran (IPj)
harus mendapat perhatian lebih dari variabel proses yang lainnya, Variabel
tersebut antara lain :
1) Bak Pre Treatment Basin, adalah bak yang berfungsi untuk pengolahan
awal untuk menghilangkan grease ( lemak) dan busa.
2) Bak FBBR, Sistem Fluidized Bed Bio-film Reactor merupakan bagian
utama dari HWWTP ini, kira- kira 27 % dari volume reaktor diisi dengan media
mengapung (bio green ) dimana mikroba dibiakkan.
3) Bak Pengendap, Air dan Lumpur dari FBBR mengalir ke bak pengendap
dimana terjadi proses pemisahan air dengan Lumpur yang mengendap secara
gravitasi.
4) Sludge Storage Basin( Penyimpan ), Sludge akan ditampung sementara di
sludge storage basin sebelum distransper ke system dewatering.
5) Sludge Dewatering Basin, Setelah di-flokulasi-kan (digumpalkan ) dengan
FeCL3 kandungan airnya menjadi 75%. Dan dipadatkan berupa plak
selanjutnya dibakar di Inchinerator.
6) Bak Air Terolah, sebagai penyimpanan sementara dari limbah cair.
7)Desinfektan Basin., Kegiatan optimalisasi operasional pada bagian
desinfektan adalah merupakan optimalisasi fasilitas klorinasi limbah cair untuk
mensterilkan effluent sebelum dilepaskan ke badan air.
8) Bak Effluent, Pengawasan terhadap aktivitas kegiatan pengelolaan limbah
cair pada bagian Effluent sangat diperlukan.
KESIMPULAN
1. Kualitas limbah cair RSUD Sanjiwani Gianyar dalam kurun waktu 2005 - 2009
hasilnya berfluktuasi.
2. Faktor faktor dari kompenen Input dan Proses yang mempunyai hubungan
nyata dengan kualitas limbah cair rumah sakit (Indek Pencemaran), perlu
mendapat perhatian yang lebih optimal.
3. Methode pengelolaan limbah cair rumah sakit yang dijalankan sekarang belum
optimal, sehingga perlu di optimalkan atau direvisi.
4. Hipotesa penelitian terbukti bahwa Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Cair
Rumah Sakit Belum Sesuai Dengan Aturan, maka Indek Pencemaran Selama
Kurun Waktu 2005 - 2009 Hasilnya Berfluktuasi dari Memenuhi Syarat, Cemar
Ringan, Cemar Sedang dan Cemar Berat, sehingga Dampak Negatif Saat
Dikatagori Cemar Berat, Lingkungan Menjadi Tercemar.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
This study aims to determine the quality of ground water in wells drilled in
the Village Kuta based on the parameters of physics, chemistry and biology and
compared to regulations on drinking water quality standard applicable. In this study
were selected at random points boreholes of 12 existing neighborhoods in the Village
area of Kuta and from any point sampling was done three times. Indicators were
tested from each sample are temperature, color, odor, dissolved solids, taste,
turbidity, pH, content of nitrate, nitrite, ammonia, chloride, hardness, E. coli and total
coliform. Terms water quality standard used for comparison was the Minister of
Health No. 924/Per/IV/2010.Based on the results obtained that the analysis of the
physics parameters yield: borehole water odorless and tasteless, the temperature
range between 28.6 C to 29.2 C, turbidity range is 1:06 to 1:08 NTU, the water
color has a range of 5.7 to 7.2 TCU, and dissolved solids have the range of 263.67
mg / l to 1176.67 mg / lt. Chemical parameters of measurement results: borehole
water pH range between 6:48 to 7.97, nitrate content between 0 and 0.97 mg / L,
nitrite content of between 0 and 12:35 mg / L, the content of Ammonia between 0 to
0, 28 mg / L, Chloride content of between 6:48 to 520.79 mg / L, and water hardness
range is between 25.73 to 26.37 mg / L. Measurement of biological parameters
provide results that are not found E. coli bacteria in the water but still found Total
Coliform with the range between 0 and 0.67/100ml. Compared with the Minister of
Health 492/Per/IV/2010 numbers, generally water wells drilled in the Village Kuta
has qualified drinking water quality standards. However, some indicators such as
dissolved solids (TDS), pH, Chloride and Total Coliform content at some point
observations still exceeds the threshold requirement.
PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat
penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan
kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama
pembangunan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2010). Oleh karena itu,
Tuhan menciptakan bumi ini dengan 2/3 bagiannya adalah perairan. Hal ini dapat
diartikan bahwa pada dasarnya Tuhan telah menyediakan air yang cukup bagi untuk
semua mahluk hidup yang ada di bumi.
Dewasa ini kebutuhan akan air semakin meningkat sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya. Tidak terkecuali di
Kelurahan Kuta yang terletak di kawasan pesisir barat Kabupaten Badung Provinsi
Bali dan telah dikenal sebagai daerah pariwisata yang sangat digemari oleh
wisatawan baik dalam dan luar negeri. Dari tahun ke tahun Kelurahan Kuta terus
mengalami pembangunan fisik baik hotel, restoran, pertokoan, rumah tinggal dan
lain sebagainya. Meningkatnya pembangunan diikuti dengan meningkatnya jumlah
penduduk. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Kuta per bulan September 2011
jumlah penduduk di Kelurahan Kuta tercatat 12.548 orang atau 3.464 KK.
Pesatnya perkembangan pariwisata di Kelurahan Kuta diikuti dengan
meningkatnya pemanfaatan dan kebutuhan air bersih. Air yang digunakan air
berbagai aktivitas masyarakat bersumber dari PDAM dan air tanah. Total kebutuhan
air hotel dan restoran sebanyak 1.560 s/d 2.900 m/hari, pemukiman 1.060 s/d 1.780
m/bulan, perdagangan dan jasa 950 s/d 2.000 m/bulan, industri 600 s/d 1.200
m/bulan dan nelayan 92 s/d 176 m/bulan. (Ecotropic Vol 2 No 1 Mei 2007).
Tingginya permintaan air bersih ini tentunya tidak dapat dipenuhi seluruhna oleh
pemerintah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sehingga mereka
mencari cadangan sumber air bersih lainnya dan air tanah menjadi pilihan pertama
dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih dengan membuat sumur, baik sumur gali
ataupun sumur bor. Pemanfaatan air tanah sumur bor di Kelurahan Kuta menurut
data Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung yang telah berijin hingga Juli 2011
sebanyak 216 unit.
Atas dasar inilah maka menarik untuk diteliti kualitas air dari sumur bor yang
ada di wilayah Kelurahan Kuta yang selama ini telah digunakan baik oleh
masyarakat ataupun oleh unit-unit usaha. Penelitian kualitas air ini tentunya sangat
penting bagi perkembangan pariwisata di Kelurahan Kuta mengingat penggunaan air
yang tidak berkualitas akan merugikan pariwisata.
METODE PENELITIAN
K1
2
K1
K1 K5 K1
0 K1
K1
K1 K1
K6
K1 K1 K3
K1 K7 K1
K1
K1 K1 K1
K4K1 K1
K8 K1
K3 K1 K9
K1
K1 K1 K1
K1 K1 K1
K1
K1 K1 K2
K1 K1
1 K1
K1
0
K1
Gambar 1. Lokasi Penelitian Terpilih (Kantor Lurah Kelurahan Kuta, 2007).
K1
K1
Waktu pengambilan sampel dan pengujian dilakukan selama 35 (tiga puluh
lima) hari dan analisis/penyusunan laporan penelitian selama 30 (tiga puluh) hari.
Pengambilan sampel dilakukan masing-masing 1 titik di lingkungan yang ada di
Kelurahan Kuta sehingga totalnya ada 12 titik. Pada setiap titik akan dilakukan 3
kali pengambilan sampel. Titik-titik yang dijadikan sebagai tempat pengambilan
sampel seperti Gambar 1.
Jumlah keseluruhan sampel yang diamati adalah 3 x 12 titik yakni sebanyak
36 sampel. Titik pengambilan sampel air tanah berasal dari air tanah pada sumur bor
produksi dengan menggunakan pompa mesin. Sampel air/air tanah diambil dari
kran/mulut pompa tempat keluarnya air setelah air dibuang selama lebih kurang 5
(lima) menit.
Kualitas air tanah dalam penelitian ini didasarkan atas parameter fisika,
kimiawi dan biologi. Indikator-indikator yang akan diteliti disesuaikan dengan
parameter wajib baku mutu air minum terbaru yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.
Tabel 1. Parameter wajib persyaratan kualitas air minum Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.
KADAR
RENTANGAN
NO. PARAMETER SATUAN MAKSIMUM
HASIL
YANG
PENELITIAN
DIBOLEHKAN
A. FISIKA
o
1. Suhu C 28,6 29,2 26 32
2. Kekeruhan NTU 1,06 1,08 5
3. Bau - Tidak berbau Tidak berbau
4. Warna TCU 5,7 7,2 15
5. Rasa - Tidak berasa Tidak berasa
6. Padatan terlarut mg/L 263,67 500
1176,67
B. KIMIA
7. pH - 6,48 7,97 6,5 8,5
8. Nitrat (NO3-) mg/L 0 0,97 50
9. Nitrit (NO22-) mg/L 0 0,35 3
10. Amonia (NH3-) mg/L 0 0,28 1,5
11. Khlorida mg/L 6,48 520,79 250
12. Kesadahan mg/L 25,73 26,37 500
C. BIOLOGI
13. E. coli Jml/100ml 0 0
14. Total Coliform Jml/100ml 0 0,67 0
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010
A. FISIKA
o
1. Suhu C Pemuaian Thermometer
2. Kekeruhan NTU Spektrofotometri Spektrofotometer
3. Bau - Organoleptik -
4. Warna TCU Spektrofotometri Spektrofotometer
5. Rasa - Organoleptik -
6. Padatan Terlarut mg/L Gravimetri Neraca Analitik
B. KIMIA
7. pH - Potensiometri pH meter
8. Nitrat (NO3-) mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
9. Nitrit (NO22-) mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
10. Amonia (NH3-) mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
11. Khlorida mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
12. Kesadahan mg/L Titrimetri Buret
C. BIOLOGI
13. E. coli Jml/100ml Most Probable Tabel Most
sampel Numbers Probable Numbers
14. Total Coliform Jml/100ml Most Probable Tabel Most
sampel Numbers Probable Numbers
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.
HASIL PENELITIAN
Padatan Terlarut
Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh hasil padatan
terlarut (TDS) pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut ( Gambar 2 ):
Grafik Padatan Terlarut Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
1400
1200
Padatan Terkarut (mg/l)
1000
800
)
600
400
200
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan
Gambar 2. Grafik TDS Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil
analisis, 2012).
Berdasarkan grafik di atas, TDS air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta
berada dalam rentangan 263,67 mg/lt hingga 1176,67 mg/lt. Sebaran tingkat padatan
terarut air sumur bor di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan kontur sebagai
berikut ( Gambar 3 ) :
4
3
2
1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan
Khlorida
Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh kandungan
Khlorida pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut :
Grafik Kandungan Khlorida Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
600
500
Kandungan Khlorida
400
(mg/lt)
300
200
100
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan
Berdasarkan grafik di atas, kandungan Khlorida air sumur bor yang ada di
Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 6,48 mg/L hingga 520,79 mg/L. Sebaran
kandungan Khlorida air sumur bor di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan
kontur sebagai berikut :
Total Koliform
Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh tingkat
kesadahan pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut:
Grafik Kandungan Koliform Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
0,8
0,7
0,6
Total Koliform
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan
Berdasarkan grafik di atas, tampak bahwa air sumur bor pada beberapa titik
masih mengandung Total Coliform, sedangkan Permenkes No.
492/Menkes/Per/IV/2010 tidak membolehkan adanya coliform dalam bahan baku air
minum. Sebaran Coliform di Kelurahan Kuta dapat digambarkan dalam kontur
sebagai berikut :
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Tabel 1.1. Perkembangan Populasi Sapi Bali Tahun 2006-2010 (Ribu ekor)
Tahun Jagiran Jantan Godel Induk Betina Godel
No Muda Jantan Muda Betina
1. 2010 94.813 101.287 89.482 215.440 96.370 86.354
2 2009 94.727 102.823 89.065 210.919 92.340 85.386
3 2008 90.947 101.752 88.418 207.360 93.837 84.499
4 2007 87.466 96.985 82.951 199.978 87.045 78.502
5 2006 85.351 94.750 76.946 196.047 82.922 76.721
Sumber : Disnak Bali 2010
No Tahun Pengeluaran
1. 2010 66.607
2. 2009 58.993
3. 2008 74.995
4. 2007 75.000
5. 2006 67.970
Sumber: Disnak Bali, 2010
Berdasarkan Tabel 1.2, jumlah pengeluaran ternak sapi potong antar pulau
dalam lima tahun mengalami fluktuasi. Tahun 2006 ke 2007 menujukan pengeluaran
keluar pulau naik namun menurun pada tahun 2008 sampai ke 2009 dan kembali
naik pada tahun 2010. Fluktuasi pengeluaran yang naik turun jumlahnya, tentu saja
dipengaruhi oleh ketersediaan stok sapi potong yang ada di Bali. Jumlah
pengeluaran yang tinggi dapat memberikan indikasi bahwa ketersediaan sapi potong
cukup untuk memenuhi permintaan dari luar pulau Bali dan juga untuk kepentingan
daerah. Dengan mengetahui tingginya permintaan ternak sapi potong dari luar Pulau
Bali, sudah seharusnya para peternak mampu mempersiapkan diri untuk bisa
menjawab permintaan pasar, sehingga apabila ada permintaan maka petani memiliki
cukup sapi potong yang siap untuk dilepas ke pasaran guna memenuhi kebutuhan
bahan baku daging sapi untuk tingkat baik lokal maupun keluar Pulau Bali. Berikut
adalah data pemasukan dan pengeluaran daging sapi Propinsi Bali.
Tabel 1.3. Pemasukan dan Pengeluaran Daging Sapi Beku Tahun 2006-2010 di
Propinsi Bali (Kg)
Tabel 1.4. menunjukkan bahwa angka penyembelihan sapi di Pulau Bali terus
mengalami kenaikan. Kenaikan angka penyembelihan sapi dipengaruhi jumlah
permintaan yang dapat dipicu pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya
kesadaran amsyarakat akan kebutuhan protein hewani bersumber dari ternak.
Menyikapi hal ini, laju pertumbuhan populasi sapi Bali perlu diawasi sehingga ada
keseimbangan antara yang lahir, disembelih dan yang dikeluarkan baik dalam
bentuk sapi potong maupun sapi bibit.
Upaya menstabilkan laju pertumbuhan sapi Bali, tidak cukup hanya dengan
mengatur kuota pengeluaran sapi antar pulau. Salah satu faktor yang memberikan
kontribusi besar terhadap pertumbuhan populasi sapi Bali adalah, tersedianya cukup
induk sapi betina produktif sebagai penghasil ternak. Namun kenyataan yang terjadi
saat ini adalah laju pemotongan sapi betina produktif akhir-akhir ini menjadi tidak
terkendali.
Fenomena penyembelihan sapi betina produktif dengan berbagai alasan
merupakan ancaman langsung terhadap populasi sapi Bali. Menyikapi kondisi
yang ada , Pemerintah tidak dapat berbuat banyak jika tidak didukung oleh seluruh
stakeholder terkait dan para pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha
peternakan, baik itu petani ternak, para jagal dan masyarakat umum dan yang lebih
penting adalah perilaku aparat penegak hukum.
Pelarangan Penyembelihan sapi betina produktif sudah sesuai dengan dengan
UU.No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Secara sah,
pengawasan dan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dicantumkan
juga dalam peraturan perundang-undangan antara lain; Ordinasi stbl No.614 Tahun
1936, tentang Pengendalian Ternak Besar Bertanduk Yang Betina, Instruksi bersama
Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1979 dan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 05/Ins/Um/1979 tentang Pencegahan dan larangan penyembelihan
ternak sapi /kerbau betina bunting dan atau sapi/kerbau betina. ( Disnak Provinsi
Bali,t.t-2)
Berkenaan dengan kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina
produktif, telah dialokasikan dana yang bersumber dari Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara (APBN) sejak tahun 2010 kepada kelompok tani ternak yang
potensial di lokasi strategis dalam upaya penyelamatan sapi betina produktif dari
sektor hulu sampai ke sektor hilir.
Upaya penyelamatan sapi betina produktif diharapakan dapat meningkatkan
populasi sapi Bali yang pada akhirnya dapat mendukung Program Pemerintah
melakukan Swasembada Daging 2014 melalui ketersediaan ternak lokal sebagai
bahan baku. Ketersediaan sapi potong yang cukup sebagai bahan baku produksi
daging, nantinya diharapkan akan dapat mensuplai kebutuhan permintaan sapi keluar
Pulau Bali, tercukupinya kebutuhan daerah, dan sebagai upaya pelestarian sapi Bali
sebagai plasma nutfa sapi asli Indonesia asal Pulau Bali.
Penyembelihan sapi betina produktif secara ekonomis akan sangat
merugikan baik peternak maupun daerah. Hal ini dikarenakan fungsi sapi betina itu
sendiri sebagai penghasil ternak. Menurut perhitungan yang dilakukan Dinas
Peternakan Provinsi Bali, kerugian akibat penyembelihan sapi betina produktif
dalam lima tahun terakhir dengan menggunakan angka penyembelihan tahun 2000
sampai 2004 dengan data penyembelihan ternak sebanyak 192.261 ekor, jumlah
sapi betina produktif yang disembeli sebesar 12,31 % maka dapat dihitung ada
sekitar 23.667 ekor sapi betina produktif yang kehilangan kesempatan untuk
menghasilkan anak dan nilai kerugian mencapai 196.437 miliyar rupiah dalam
kurun waktu 4,5 tahun (Disnak Bali, 2010:7).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka implementasi
kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif perlu mendapat
dukungan seluruh masyarakt maupun stakeholder terkait upaya pengembangan sapi
Bali dengan laju pertumbuhan populasi yang stabil. Stabil dalam pengertian
adanya keseimbang antara yang lahir, mati, disembelih dan dikeluarkan.
Sejauh mana implementasi kebijakan ini dalam pelaksanaanya, diperlukan
adanya penelitian secara ilmiah. Implementasi Pengendalian penyembelihan sapi
betina produktif dalam upaya menstabilkan populasi sapi Bali dalam konteks
perencanaan wilayah pembangunan peternakan dan mendukung pembangunan
Provinsi Bali secara menyeluruh , maka topik ini sangatlah menarik untuk diteliti.
METODO PENELITIAN
Kebutuhan hijauan untuk 1 tahun Ton BK = Total ST x 365 hari x 0,0105 Ton BK
Tabel 4.11 Penyembelihan Sapi Betina Produktif di RPH Berdasarkan Hasil Sidak
Tahun 2010
Kabupaten/Kota Betina (ekor) Betina Produktif (ekor)
Denpasar 21 9
Badung 26 17
Gianyar 3 2
Klungkung 0 0
Bangli 0 0
Karangasam 9 8
Buleleng 17 8
Jembrana 11 2
Tabanan 0 0
Jumlah 87 46
Sumber: Disnak Provinsi Bali,2010
Tabel 4.14. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Ternak Sapi Per Kabupaten di
Provinsi Bali
Kabupaten/Kota Total Kebutuhan Masih Masih
Produksi Hijauan Tersedia Menampung
Hijauan (Ton Bk/Th) (Ton Bk/Th) (ST)
(Ton BK/Th)
Jembrana 250.525,53 103.463,13 147.062,40 38.372,45
Tabanan 732.232,11 169.953,17 245.381,94 64.026,60
Badung 234.943,88 165.517.05 69.426,83 18.118,28
Gianyar 367.968,20 150.139,15 217.829,06 56.837,33
Klungkung 121.427,14 114.472,94 6.954,20 1.814,53
Bangli 484.100,39 255.887,40 228.212,99 59.546,77
Karangasam 568.883,84 383.887.15 184.996,69 48.270,50
Buleleng 989.204,19 369.645,58 619.558,61 161.659,13
KESIMPULAN
1
3. Tingkat pengetahuan petani ternak terhadap implementasi kebijakan
pengendalian sapi betina produktif berada pada level tinggi. Hasil analisa
Regresi Model Logit menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani ternak
yang tinggi memberikan pengaruh postif sebesar 29,911 dengan nilai
=0,01. Dengan pengetahuan yang tinggi diharapkan kegiatan penjualan sapi
betina produktif karena alasan ekonomi dapat ditekan, atau menunda
penjualan dan memberikan kesempatan sapi tersebut berproduksi
menghasilkan anak. Berdasarkan hasil analisis dampak dari penyembelihan
sapi betina produktif, maka secara ekonomis akan sangat merugikan petani
ternak. Dari sisi perencanaan wilayah, penyembelihan sapi betina produktif
memberikan kontribusi pada kebocoran wilayah dan sangat merugikan
secara ekonomis serta berakibat buruk terhadap pertumbuhan populasi sapi
Bali jika tidak ditangani secara serius benar.
4. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model pendekatan untuk
menghitung kapasitas tampung dan ketersediaan hijauan, maka dapat
diperkirakan bahwa:
1. Provinsi Bali secara keseluruhan kapasitas tampung masih tersediah
sebesar 454.127,58 ST Sapi yang tersebar 9 (sembilan) Kabupaten /Kota.
2. Hasil analisis kapasitas tampung untuk 8 (delapan) Kabupaten
memberikan kesimpulan bahwa 8 (delapan) Kabupaten tersebut masih
bisa menampung ternak sapi sesuai kebutuhan hijauan dan ketersediaan
hijauan yang ada pada masing-masing Kabupaten.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus , Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung :Alberta
Astawa, Ari I Putu. 2008. Kecernaan Nutrien dan Produk Fermentasi Rumen Pada
Sapi Penggemukan yang diberi Ransum Konsentrat Berbasis Jerami Padi
dengan Suplementasi Vitamin-Mneral Mix Unud: Denpasar
Atmadja, I.KG, 2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali. Dinas Peternakan
Provinsi Bali. Disampaikan pada seminar Prospek Pengembangan Agribisnis
Sapi Bali di Bali, UNUD: Denpasar. 15 Agustus 2006
Akademika, 2010. Ancaman Alih Fungsi Lahan Pertanian Bali. Pers Mahasiswa
Universitas Udayana. http:/www.persakabademika.com/ 4 Desember,2010
Bandini, Yusni. 199. Sapi Bali. Jakarta: Penebar Swadaya
Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Pendukung Ternak Rakyat. Agro
Inovasi.Edisi 30 Maret-5 April . Nomor.3399 Tahun XLI.
http:/www.litbang.deptan.go.id/ download/one/927
Badan Pusat Statistik. 2011. Bali dalam Angka. Provinsi Bali
Chulsum, Umi. 2006. Novia Windy, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya:
Khasiko
Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2009. Keunggulan Sapi Bali Asal Bali: Denpasar
2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Disampaikan pada
Seminar Prospek Pengembangan Agribisnis Sapi Bali di Bali, 15 Agustus 2006.
Denpasar.
.Memotong Sapi Betina Produktif Berarti Anda Akan Kehilangan Godel
Bali : Bidang Kesehatan Hewan dan Kesmavet
.2010. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali 2010: Denpasar
.2010. Laporan Inventarisir Kelas Kemampuan Kelompok Tani Ternak:
Denpasar
. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Insentif dan Penyelamatan Sapi Betina Produktif.
Denpasar. Bali
Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar. 2010. Laporan Tahunan:
Denpasar
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2010. Statistik Pertanian Tanaman
Pangan: Bali
Direktorat Pangan dan Pertanian.2010 Naskah Kebijakan (Policy Paper)-Strategi
dan Kebijakan dalam percepatan Pencapian Swasembada Daging Sapi 2014.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas: Jakarta
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.2009. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Jakarta.
. Pembahasan Ekspor Ternak Sapi Bali oleh Komisi Bibit Ternak Nasional.
(online) http// www.ditjenak.go.id/publikasi/eksporsapibali.pdf, diakses 29
Januari 2008:Jakarta
.2010. Pedoman Pelaksanaa Penyelamatan Sapi Betina Produktif Tahun.
Jakarta: Kementerian Pertanian RI.
. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
.2011. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Sapi Bali dalam Mendukung
Program Swasembada Daging 2014. Disampaikan dalam Workshop Sapi Bali.
UNUD: Denpasar. 25-26 November 2011
.2012 Pedoman Penanggulangan Gangguan Reproduksi .Jakarta:
Kementerian Pertanian.
.2010. Peta Potensi Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong Rencana
Pengembangannya. http://www.ditjennak.go.id/publikasi/potensibibit.pdf,
diakses 10 Agustus 2011)
Gunawan, Ir.M.Sc. Pamungkas Dicky, Affandy Lukam S, 2004 . Sapi Bali Potensi ,
Produktivitas dan Nilai Ekonomi. Yogyakarta: Kanisius.
Guntoro, Suprio.2002. Membudi-dayakanm Sapi Bali. Yokyakarta: Kanisius
Kementerian Negara Lingkungan Hidup,2009. Pedoman Pengolahan Limbah
Kegiatan Rumah Potong Hewan. Jakarta: Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Pertanian,2010. Tentang Pedoman Umum Swasembada Daging
Sapi 2014. Jakarta: Republik Indonesia
Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim. Dyah R. Panuju. 2011. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah: Crestpern Press dan Yayasan Pustaka Obor :Jakarta
Sio, Stefanus. 2007. Penampilan Sapi Bali yang diberi Ransum Berbasis Rumput
Gajah (Pennisetum purpereum) dengan Suplementasi Multivitamin dan
Mineral. Bali: Universitas Udayana
Tarigan, Robinson. 2009. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Edisi
Revisi.Jakarta: Bumi Aksara
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514
ABSTRACT
PENDAHULUAN
serta hasil panen yang baik. Pura subak merupakan tempat pemujaan bagi seluruh
krama subak. Masing-masing krama subak juga memiliki tempat upacara atau pura
pada setiap sawah yang dimilikinya. Pura ini disebut dengan Catu.
Di bidang Pawongan, krama subak biasanya mengadakan rapat-rapat tentang
masalah giliran pembagian air, upacara-upacara di pura subak, maupun masalah
lainnya yang berkaitan dengan subak. Penggiliran air dilakukan guna adanya
keadilan dalam krama subak. Gotong royong atau saling membantu merupakan
wujud dari hubungan yang baik antar krama subak. Misalnya saat menanam benih
padi ataupun saat memanen padi.
Pada bidang Palemahan, krama subak menjaga dan melestarian lingkungan
subak. Hal ini terwujud misalnya dalam pembersihan saluran-saluran air, disamping
untuk menjaga lancarnya air untuk irigasi, juga berdampak terhadap pencegahan
meluapnya saluran air yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Keberadaan subak yang masih eksis sampai sekarang ini merupakan wujud bahwa
subak adalah sebuah lembaga tradisional yang tangguh dan lestari. Walaupun harus
diakui bahwa eksistensinya kini sudah mulai terancam. Ancaman terhadap
kelestarian subak bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi
kehidupan masyarakat Bali yang mengiringi derasnya pengaruh globalisasi terutama
pembangunan pariwisata Bali. Banyak lahan produktif yang beralih fungsi menjadi
bangunan-bangunan seperti untuk perumahan yang menggunakan tanah yang cukup
luas, sehingga mengurangi wilayah subak yang ada. Pembangunan tempat rekreasi
seperti yang sekarang sedang tahap pembangunan untuk Taman Safari II di Gianyar
yang menggunakan lahan sawah hektaran. Hal ini tentunya mengancam keberadan
subak yang ada disekitarnya. Tingkat kesejahteraan para petani yang rendah yang
dipengaruhi oleh biaya produksi yang tinggi dan harga gabah yang murah
menyebabkan petani enggan untuk mengolah sawahnya. Banyak yang dialih
fungsikan untuk tempat usaha yang memungkinkan untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Pengaruh dari mahalnya harga tanah juga mendorong para petani untuk
menjual tanahnya, dengan asumsi nilai jual tersebut dapat dipergunakan untuk
membeli tanah baru yang lebih murah dan luas, meskipun dari segi letaknya kurang
strategis. Tentunya hal ini menyebabkan kelangsungan subak terancam, karena
biasanya tanah-tanah yang dijual itu digunakan sebagai tempat usaha atau dialihkan
fungsinya.
Dewasa ini, generasi muda cenderung enggan untuk bekerja sebagi petani.
Mereka tidak mempunyai motivasi untuk mengembangkan sektor pertanian karena
dirasakan kurang menjanjikan dalam peningkatan kesejahteraan hidup. Hal ini
menyebabkan tidak terjadinya regenerasi atau penerus krama subak yang lama.
Akibat kemajuan teknologi, penggunaan tenaga manusia dan hewan dalam hal
penggarapan sawah kini tergantikan. Misalnya adanya traktor sebagai pengganti
tenaga sapi dalam membajak sawah. Selain itu penggunaan tenaga mesin lainnya
seperti mesin perontok padi dan penanam benih padi memang disatu sisi
mempermudah pekerjaan para petani. Namun jika dilihat dari sudut pandang lainnya,
hal ini dapat mengurangi rasa kebersamaan diantara para krama subak, karena dapat
mengikis budaya gotong royong antar krama subak.
Melihat kenyatan bahwa subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan
dikagumi di mancanegara, kelestariannya harus tetap dijaga dan diperkuat.
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka dalam kesempatan
ini penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul: Model Partisipasi
Masyarakat Dalam Pelestarian Dan Peningkatan Eksistensi Subak Juwuk Manis Di
Kelurahan Ubud Gianyar.
METODE PENELITIAN
1). Sekretariat
Dalam kegiatan kesekretariatan, pengurus subak memerlukan tempat sebagai
kantornya. Dalam hal ini, subak memiliki bale subak yang memiliki fungsi sebagai
kantor subak serta tempat untuk mengadakan berbagai sangkepan atau pertemuan-
pertemuan, penyuluhan dan pembinaan lainnya. Disamping itu, ada bale timbang
yaitu sebuah bangunan kecil yang hanya menggunakan dua tiang penyangga. Bale
Timbang secara filosofisnya merupakan tempat bagi pengurus subak dalam
mengadakan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan persubakan.
2). Urusan Administrasi
Administrasi merupakan hal yang penting dalam suatu organisasi, karena dengan
melaksanakan administrasi kegiatan organisasi dapat diatur serta dapat diketahui
perkembangannya baik itu bila adanya suatu kekurangan maupun kelemahan-
kelemahan sehingga dapat dipelajari dan ditemukan solusi guna perbaikan yang akan
datang untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Administrasi sangat erat kaitannya
dengan tulis-menulis yang merupakan bagian dari kegiatan tata usaha. Administrasi
pada subak merupakan sumber informasi tentang data-data kegiatan persubakan yang
telah tersaji secara sistematis.
Dalam penataan administrasi, Subak Juwuk Manis mendapat pembinaan dari
Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Kebudayaan mulai dari penulisan
buku-buku sampai peraturan-peraturan dalam subak yang dalam hal ini adalah awig-
awig subak. Hal ini dilakukan karena sudah merupakan program dari Pemerintah
Daerah Provinsi Bali untuk penyeragaman administrasi dalam organisasi subak di
Bali.
3). Kekayaan Subak
Subak sebagai suatu organisasi yang merupakan kumpulan dari krama subak
memiliki kekayaan yang dijadikan sebagai sarana pendukung kegiatan persubakan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pekaseh Subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur
menyebutkan bahwa Subak Juwuk Manis memiliki kekayaan yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Pura-pura subak, diantaranya: Pura Masceti Gunung Lebah, Pura Ulun
Suwi, Pura Dugul dan Pura Ulun Empelan.
b) Bangunan-bangunan subak, diantaranya: Bale Subak, Bale Jineng, Bale
Timbang dan lainnya.
c) Tanah Druwe Subak (tanah miliki subak), Pecatu, Pelabe Pura dan lainnya.
d) Uang Kas Subak.
Semua kekayaan subak tersebut harus dikelola dengan baik dan pertanggung
jawabannya harus transparan kepada anggota subak melalui rapat anggota subak.
Pengelolaan kekayaan subak diserahkan kepada pengurus subak berdasarkan hasil
musyawarah.
4). Paruman/Sangkep Subak (Rapat Subak)
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, musyawarah mufakat merupakan
suatu ciri khas yang selalu ada dalam setiap pengambilan keputusan untuk
kepentingan bersama. Dalam kegiatan organisasi subak, paruman atau rapat yang
dipimpin oleh Pekaseh dilaksanakan guna memecahkan suatu permasalahan yang
timbul maupun guna mengambil suatu keputusan bagi kepentingan subak. Kegiatan
rapat dilakukan secara periodik maupun secara insidentil. Menurut keterangan dari I
Wayan Lungsur selaku Pekaseh Subak Juwuk Manis pada hari Selasa 20 Juli 2010
bertempat dirumahnya Banjar Ubud Kaja, Kelurahan Ubud dikatakan bahwa rapat
subak dibedakan menjadi:
a) Paruman Subak (Rapat Anggota Subak), merupakan rapat yang dilaksanakan
oleh subak yang dihadiri oleh seluruh krama subak. Rapat ini biasanya bertujuan
untuk mengambil suatu keputusan yang dapat mengikat krama subak untuk
melaksanakannya hasil dari rapat ini. Secara umum, dalam paruman krama subak,
biasanya membahas tentang jadwal penggiliran air, denda-denda terhadap
pelanggaran, rencana kegiatan upacara keagamaan, keadaan kas subak, pola tanam,
dan lain-lainnya.
b) Paruman Prajuru Subak (Rapat Pengurus), merupakan rapat yang dilakukan
oleh para pengurus subak disamping itu juga dihadiri oleh para sesepuh subak. Rapat
ini biasanya membahas masalah penting yang sedang dihadapi oleh subak, ataupun
membahas rencana kedepan untuk meningkatkan keberadaan subak. Keputusan dari
rapat pengurus subak ini tidak dapat langsung diberlakukan pada subak, tetapi harus
melalui musyawarah untuk memperoleh persetujuan dari krama subak melalui
sangkep subak.
c) Paruman Teruna-Teruni Tani (Rapat Pemuda-Pemudi Tani), merupakan rapat
yang dilaksanakan oleh para anak-anak anggota subak. Biasa membahas tentang
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan kedepan terkait dengan kreativitas pemuda-
pemudi subak.
d) Paruman Sekehe-Sekehe (Rapat Kelompok-Kelompok), merupakan rapat
yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok yang ada dalam persubakan seperti
halnya Sekehe Manyi (kelompok pemanen), Sekehe Numbeg (kelompok
pencangkul), Sekehe Memula (kelompok penanam bibit padi), Sekehe Mejukut
(kelompok menyiangi padi), Sekehe Ngulah Kedis (kelompok mengusir burung), dan
lain-lain.
Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa rapat subak memegang peranan
yang penting dalam pemecahan masalah yang ada. Dalam paruman atau rapat subak
tentunya ada masukan-masukan dari anggota subak, tentunya masukan-masukan
yang bersifat positif tersebut merupakan hal yang berharga guna membangun
perkembangan subak kedepannya. Rapat subak juga diatur dalam awig-awig Subak
Juwuk Manis palet II pawos 11 sampai pawos 13 (Bab II pasal 11 sampai pasal 13)
Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa subak mengutamakan
musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan
bersamanya. Rapat anggota memiliki kekuatan yang besar dalam setiap pengambilan
keputusan. Hasil dari rapat atau keputusan yang muncul dari rapat dijadikan
pegangan atau pedoman bagi seluruh anggota subak tanpa terkecuali, apabila terjadi
pelanggaran akan dikenakan sanksi.
5). Manajemen Subak
Sistem manajemen yang dilaksanakan oleh subak sangatlah sederhana dengan
penerapan manajemen tradisional yang merupakan manajemen berdasarkan
pengalaman saja. Meskipun demikian, subak masih tetap lestari sampai saat ini dan
menjadi suatu organisasi yang membanggakan. Keberhasilan manajemen Subak
Juwuk Manis yang dilakukan sesuai dengan hasil penelitian memenuhi persyaratan
manajemen dengan kenyataan dibawah ini:
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514
a) Asas dan konsep Tri Hita Karana yang menjiwai dalam pelaksanaan
manajemen subak, yaitu adanya suatu keseimbangan hubungan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan
alamnya yang senantiasa tetap terjaga.
b) Keterikatan anggota pada kelompoknya sangat tinggi dengan adanya
keseimbangan unsur manusia, alam lingkungan dan Tuhannya demi mencapai
kesejahteraan materi dan spiritual, yang menyebabkan seluruh anggota
merasa bertanggung jawab secara material dan spiritual.
c) Perencanaan dengan pola dari atas ke bawah, yang tetap memperhatikan
unsur musyawarah untuk pencapaian kata sepakat. Setiap tindakan yang
dilakukan pengurus harus mendapat persetujuan rapat anggota sehingga
terdapat asas musyawarah mufakat.
d) Kekuasaan tertingi berada pada rapat anggota. Tanggung jawab dan disiplin
tinggi dalam pelaksanaan hasil keputusan rapat. Sehingga tumbuh rasa
memiliki dan tanggung jawab penuh terhadap subak.
e) Kepemimpinan bersifat horisontal karena yang diperintah juga memerintah.
f) Pengawasan bersifat vertikal dan horisontal dengan sanksi yang ditetapkan
secara musyawarah mufakat.
b. Keuangan Subak
Masalah keuangan merupakan masalah yang sangat penting dalam suatu organisasi.
Uang merupakan suatu hal yang penting dalam menunjang kegiatan suatu organisasi.
Perencanaan kegiatan dalam suatu organisasi dilakukan dengan sebaik-
baiknya,dalam pelaksanaan kegiatannya agar dapat berhasil tentunya memerlukan
dana atau uang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa uang sangat penting dalam
merealisasikan sebuah kegiatan.
Subak yang merupakan suatu organisasi yang berdiri sendiri, memiliki kewenangan
dalam mengatur atau mengelola keuangannya sendiri. Keuangan subak berasal dari
berbagai sumber, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Krama Pangowot
Krama Pangowot pada Subak Juwuk Manis merupakan krama atau anggota subak
yang memiliki sawah, serta melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya sebagai
anggota subak. Krama pangowot ini dikenakan suatu iuran wajib yang dijadikan
sebagai kas subak yang besarnya ditentukan melalui pasangkepan atau rapat anggota
subak.
2) Krama Penaung
Krama Penaung adalah krama atau anggota subak yang tidak dapat melaksanakan
tugas, hak serta kewajibannya sebagai anggota subak. Krama Penaung ini memiliki
lahan pertanian yang masih produktif namun tidak dapat menggarapnya yang
disebabkan oleh suatu alasan tertentu misalnya sudah memiliki pekerjaan yang lain,
sehingga apabila ada kegiatan subak yang bersifat insidental krama ini tidak dapat
mengikuti kegiatan tersebut. Untuk menimbulkan rasa keadilan, krama ini dikenakan
sumbangan dana diluar dari dana/iuran wajib yang telah ditentukan. Dana ini sebagai
pengganti dari tenaga wajib yang harus diberikannya saat pelaksanaan kegiatan
subak yang dimaksud. Dengan demikian tidak terjadi suatu kecemburuan sosial antar
sesama anggota subak.
3) Pawidanda/Dedosan (Denda)
Pawidanda atau dedosan ini merupakan suatu bentuk dari penerapan/pelaksanaan
awig-awig yaitu denda bagi anggota subak yang telah melanggar peraturan yang
berlaku. Adapun besar dari pawidanda ini telah diatur oleh subak melalui paruman
subak yang telah berbentuk pararem atau keputusan bersama dan disesuaikan dengan
berat atau ringannya kesalahan yang telah dibuat.
Berdasarkan Awig-Awig Subak Juwuk Manis pawos 27 dan pawos 28 pada Bab II
dapat diketahui bahwa adanya denda yang berupa harta atau uang yang dikenakan
bagi yang melanggar awig-awig. Denda yang berupa uang tersebut dapat
dilipatgandakan sesuai dengan kesalahannya. Denda berupa harta atau uang yang
telah dikenakan bagi pelanggar tersebut dijadikan sumber keuangan bagi subak.
4) Urunan Krama Subak (Iuran Anggota Subak)
Urunan Krama Subak merupakan suatu sumber dana/keuangan subak yang
bersumber dari sumbangan suka rela dari anggota subak dalam pelaksanaan
kegiatan-kegiatan subak baik itu kegiatan yang merupakan kegiatan rutin ataupun
sewaktu-waktu. Adapun besar dari urunan ini tidak ditentukan karena sesuai dengan
kemampuan anggota subak dan kerelaannya. Urunan merupakan suatu bentuk dari
partisipasi anggota subak dalam menyukseskan pelaksanaan kegiatan subak.
5). Wantuan Guru Wisesa (Bantuan Pemerintah)
Subak sebagai warisan peninggalan kebudayaan leluhur yang merupakan aset yang
sangat berharga dan perlu dilestarikan oleh segenap lapisan masyarakat begitu pula
oleh pemerintah provinsi Bali maupun pemerintah Kabupaten Gianyar yang
senantiasa memberikan bantuan berupa dana atau uang kepada subak setiap satu
tahun sekali. Dalam hal pengelolaannya, diserahkan kepada subak yang
bersangkutan.
Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan kepada subak secara rutin setiap tahun.
Pada tahun 2008, pemerintah kabupaten mengucurkan dana bantuan kepada masing-
masing daerah irigasi sebesar dua ratus juta rupiah sedangkan pada tahun 2009
pemerintah memberikan bantuan berupa jembatan senilai delapan ratus lima puluh
juta rupiah dan bangunan berupa wantilan dan gubug. Hal tersebut menunjukan
perhatian dari pemerintah guna menunjang kegiatan subak dan demi tetap lestarinya
keberadaan subak di Bali, khususnya di Kabupaten Gianyar.
c. Sistem Irigasi
Subak sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam bidang pengairan sawah
memiliki suatu sistem irigasi yang teratur, yang menyebabkan tetap terjaminnya
aliran air meskipun pada musim kemarau. Secara umum, pengaturan dalam
pembagian air dilakukan secara bergilir dengan menggunakan batas waktu membuka
saluran air. Subak Juwuk Manis menggunakan air irigasi yang berasal dari sungai
Yeh Wos Kajanan.
Bangunan irigasi yang telah ada dipelihara bersama-sama oleh anggota subak guna
menunjang kelancaran aliran air ke masing-masing petak sawah. Berdasarkan
wawancara dengan pekaseh subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur pada hari Selasa
20 Juli 2010 menyebutkan bahwa Subak Juwuk Manis dalam pelaksanaan
pengaturan aliran air dilaksanakan dengan:
a) Mengadakan pemeriksaan bergilir dari anggota subak di masing-masing
saluran air, dalam pemeriksaan tersebut harus memeriksan jalannya aliran air
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514
jika ada saluran air yang tersumbat atau bocor ataupun rusak, sehingga aliran
air dapat mengalir dengan lancar ke masing-masing sawah.
b) Melaksanakan kegiatan gotong royong membersihkan sungai maupun saluran
air baik itu untuk pengairan itu sendiri maupun sebelum dilaksanakannya
upacara Magpag Toya.
c) Pemeriksaan juga dilaksanakan pada saluran air, sehingga besar kecilnya
saluran air tetap berdasarkan luas dari petak sawah yang akan dialiri air.
d) Mengadakan pemeriksaan aliran air berdasarkan bagian pengairan.
Pengaturan air ini dilakukan agar tetap menjamin tersedianya aliran air meskipun
saat musim kemarau. Dengan demikian pada musim kemaraupun para krama subak
tetap masih bisa menanam padi.
Sistem irigasi subak terdiri dari Empelan (bendungan) yang berfungsi untuk
pengambilan air dari sumbernya, Aungan (terowongan), Telabah (saluran primer),
Tembuku Aya (bangunan bagi primer), Tembuku Gede (bangunan bagi sekunder),
Telabah Pemaron (saluran tersier), Telabah Penyacah (saluran kuarter), Tembuku
Penyacah (bangunan bagi kuarter yang terdiri dari saluran untuk petani), Tembuku
Pengalapan (bangunan untuk memasukan air ke masing-masing petak sawah). Selain
itu, subak memiliki bangunan pelengkap seperti Penguras, Pekiuh, Petaku, Talang
serta gorong-gorong. Secara umum, subak memiliki saluran air buangan ke suatu
petak sawah yang kemudian disalurkan kembali kesaluran irigasi.
Dalam suatu organisasi hambatan-hambatan itu selalu ada. Demikian halnya dalam
organisasi subak di Bali yang semakin hari terancam punah. Berbagai faktor yang
mendukung terjadinya kepunahan tersebut merupakan salah satu kendala atau
hambatan yang dihadapi subak dalam melestarikan dan meningkatkan eksistensi
subak. Salah satu akibat pesatnya peralihan fungsi lahan merupakan pemicu
kepunahan subak yang paling utama. Banyak subak yang berada di sisi jalan telah
terjual/beralih fungsi sebagai dampak perkembangan pariwisata di Kelurahan Ubud
yang berakibat berkurangnya akses jalan untuk subak, baik untuk mengangkut hasil
panen maupun membawa traktor untuk mengolah tanah pertanian. Hal ini sesuai
hasil wawancara dengan Bapak Made Wijana PPL Subak Juwuk Manis yang
mengatakan bahwa tanah subak di sisi jalan lebih cendrung terjual tanpa
menyisakan akses jalan untuk subak itu sendiri sehingga menghambat kegiatan
pertanian. Disisi lain, mahalnya harga pupuk menyulitkan para petani-petani kecil
karena mengakibatkan biaya produksi yang semakin besar.
Sementara itu para generasi muda sudah tidak peduli dengan sektor pertanian.
Mereka cenderung memilih pekerjaan diluar sektor pertanian, misalnya sektor
pariwisata. Seperti dapat dilihat disepanjang jalan menuju Subak Juwuk Manis, di
kanan maupun kiri jalan rumah-rumah penduduk bagian depannya dijadikan sebagai
kios barang-barang kerajinan seperti lukisan, patung, lilin dan lain sebagainya.
Mereka cenderung memilih pekerjaan ini karena lebih menjanjikan. Bagi generasi
muda, sektor pertanian kurang dapat mensejahterakan. Pandangan seperti ini sangat
sulit dihilangkan mengingat kenyataan dilapangan memang demikian adanya. Antara
input dan output tidak adanya suatu keseimbangan. Pekerjaan pertanian bukan
merupakan pekerjaan pokok bagi sebagian masyarakat dewasa ini, karena cenderung
dijadikan sebagai pekerjaan sambilan.Selain faktor tersebut diatas, rendahnya harga
gabah dan rendahnya sumber daya manusia para petani menjadi permasalahan yang
harus segera diatasi. Harga gabah yang rendah tentunya menyulitkan para petani
karena hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan biaya produksi.
Kenyataaan inilah yang mendorong rasa putus asa bagi petani.
Sumber daya manusia merupakan hal yang penting dalam kemajuan pertanian.
Rendahnya sumber daya manusia tentunya berimbas terhadap pengembangan sektor
pertanian, karena dari kualitas sumber daya manusia yang baik akan melahirkan ide-
ide kreatif dalam bidang pertanian guna peningkatan hasil pertanian. Subak yang
didukung dengan bangunan fisik sebagai faktor pendukung kegiatan persubakan
sudah tentu memerlukan pemeliharaan secara intensif. Hal ini memerlukan biaya
yang tidak sedikit, dan subak yang memiliki anggota yang sedikit tidak bisa
menanggung beban yang sedemikian berat dirasakan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Bali is a lush area and once a center of agriculture, but it is currently at a crossroads.
Since the transfer of agricultural land on a large scale due to the advancement of
tourism, so much productive land displaced turned into luxury hotels and other
tourism facilities. The reason for the transfer of land to increase the Balinese
economy through income from tourism. But the displacement of farm life most of the
people of Bali not only for the tourism sector is more promising, but much more to
the notion that being a farmer is dirty, poor and without a future. This phenomenon
led to fewer young people are getting into the agricultural sector. In addition, it is
also because of the uncertainty caused by the income of the people engaged in the
agricultural sector. There is an assumption that being a farmer is the duty of the poor.
Nowadays frequent water shortages in several subak in Bali. Subak is a rice farmer
group who have the traditional water sharing rules. Due to the reduction in water
discharge (lake Buyan) in the upstream city of Tabanan the growing season often
experience setbacks that have an impact on farmers' incomes subak members. With
the ongoing construction of tourism facilities, the use of over-exploitation of ground
water also. Luxury hotels often use excessive groundwater. This violation also
caused by the absence of many regulations and strict sanctions for the use of the
ground water. As a result, in areas such as southern Bali Jimbaran, Kuta, Nusa Dua
in the dry season, water is often difficult, due to the interruption of sea water into the
wells of the population. There are still a lot of problems for the people of Bali due to
the shift of resources from agriculture to tourism revenue
PENDAHULUAN
Low Current
Income consumption
needs
Low
Saving
Low Low
Productivi Investment
ty of
Labor
Low
Capital
Stock
Low
Saving
Environ
mental
Degradati
Low on Low
Productivi Investment
ty of
Labor Low
Capital
Stock
Dari Gambar 2 ini terlihat bahwa kemiskinan tenyata memiliki pengaruh langsung
terhadap kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Dari kedua model tersebut
ternyata kemiskinan yang berlanjut yang terjadi di negara-negara yang sedang
berekmbang termasuk Indonesia selain karena sumberdaya baik sumberdaya alam,
modal, sumberdaya manusia yang masih rendah ternyata juga disebabkan karena
perusakan lingkungan (kualitas lingkungan yang menurun secara berkelanjutan). Hal
ini menurut beberapa ahli juga sedang berlangsung di Bali. Bali yang merupakan
salah satu daerah subur dan dulu merupakan sentra pertanian saat ini sedang berada
di persimpangan. Semenjak adanya pengalihan lahan pertanian secara besar-besaran
akibat kemajuan pariwisata, maka banyak lahan-lahan produktif tergusur dan
berubah manjadi hotel-hotel berbintang dan fasilitas pariwisata lainnya. Alasan
pengalihan lahan tersebut dulu memang untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat Bali yang selain dikenal dengan daerah agrarisnya juga dapt
dikembangkan melalui pendapatan dari sektor pariwisata. Akan tetapi setelah sekian
tahun, apakah benar masyarakat Bali lebih sejahtera dengan adanaya industri
pariwisata yang maikn berkembang? Pertanyaan ini masih sulit untuk mencari
jawabannya, karena pada kenyataannya sebagian besar pelaku bisnis pariwisata di
bali adalah orang asing buakn pribumi. Hal ini disadari oleh masyarakat Bali, akan
tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena memang kualitas sumberdaya
manusia Bali dianggap belum mampu utnuk menempati posisi-posisi penting di
industri pariwisata. Di samping itu masalah adat dan budaya sering dijadikan alasan
untuk menjegal masyarakat Bali menduduki posis-posisi penting di Industri
pariwisata.
2
Pada tahun 1973, kondisi yang sama sebenarnya sudah mulai dirasakan oleh Sayogya yang
diungkapkan dalam makalahnya Modernization Without Development in Rural Java. Paper
contribution to Study on Changes in Agrarian Structure. Organized by FAO.
3
Junus Aditjondro: Kultur Batak, Pedang Bermata Dua, Belajar dari Gerakan Anti Indorayon 2005.
IRE Press Yogyakarta. Lihat pula tulisan Victor Silaen; Gerakan Sosial Baru, Perlawanan Komunitas
Lokal pada kasus Indorayon, di Toba Samosir, 2006. IRE Press Yogyakarta.
karena persaingan untuk memperebutkan sumber daya alam. 4 Dengan kondisi alam
(lingkungan) yang semakin rusak dan semakin terbatas faktor produksi alam bagi
rakyat lokal maka hilang pula lingkungan alam yang lestari, yang dapat diwariskan
kepada generasi penerus.
(2). Ketika kondisi sosial-ekonomi (kesejahteraan transgeneration) hanya
dinikmati sebagian kecil orang (kelompok) atau sebagian kecil wilayah.
Proses pembangunan disatu pihak memang dapat meningkatkan devisa,
neraca perdagangan yang semakin berimbang, dan keuntungan lain. Namun
demikian keuntungan tersebut sering kali hanya dinikmati oleh sekelompok orang
yang mempunyai modal (para memodal). Mereka yang tertinggal adalah kaum
pekerja (buruh tani atau buruh industri), perempuan, anak-anak, atau kelompok yang
tidak menguasai faktor produksi. Dapat pula terjadi bahwa pembangunan kemudian
hanya terjadi di Jawa, di wilayah perkotaan, atau di pusat-pusat ekonomi. Wilayah
lain yang jauh dari pusat pemerintahan akan mengalami ketertinggalan dalam
pembangunan.
Dengan demikian maka keberhasilan pembangunan yang hanya dinikamti
oleh sejumlah kecil pemodal tentu akan kehilangan makna pembangunannya ketika
sebagian terbesar dari rakyat Indonesia atau wilayah Indonesia di luar Jawa tidak
menikmatinya.
(3). Ketika kondisi kelembagaan pembangunan yang ada tidak memainkan peran
kelembagaannya dengan benar.
Kelembagaan pembangunan adalah kelembagaan baik yang merencanakan,
melaksanakan, maupun mengevaluasi pelaksanaan pembangunan baik di aras
nasional, regional, maupun lokal. Di dalam hal ini kelembagaan yang seharusnya
melaksanakan pembangunan seringkali bertindak sebagai penguasa yang
mengabdikan dirinya pada para pemodal. Lebih dari itu kelembagaan ini bisa saja
bertindak secara tidak efisien dan tidak efektif. Korupsi, pemborosan, ataupun
premanisme sering menjadi cara yang pada ujungnya akan tidak memberi manfaat
bagi rakyat banyak terutama di aras lokal. Dalam kondisi semacam ini maka
pembangunan yang terjadi tentu kehilangan makna yang sebenarnya dari
pembangunan.
(4). Ketika kondisi sosial budaya (solidaritas, kemandirian, semangat dan
motivasi) melemah
Proses pembangunan selain menimbulkan dampak positif kalau tidak hati-
hati juga menimbulkan dampak negatif. Beberapa akibat negatif yang bisa muncul
oleh adanya program pembangunan yang salah urus diantaranya adalah: adanya
ketergantungan kepada pihak lain (seperti dikemukakan dimuka) karena mereka
menjadi biasa memperoleh bantuan dan menjadi selalu mengharapkan. Demikian
pula dengan begitu banyak pembangunan yang dipaksakan dari atas tanpa adanya
kebiasaan untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan menyebabkan
mereka itu menjadi kehilangan semangat dan motivasi untuk melaksanakan
pembangunan.
(5). Ketika kondisi sosial-politik (civil society dan demokrasi) melemah.
4
Hasil penelitian USAID (2007) dalam; Conflict Timber: Dimensions of the problem in Asia and
Africa, Volume II, Asian Case menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit
menjadi sumber konflik karena keterbatasan sumber daya alam dan perusakan lingkungan
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514
5
Hasil penelitian Suwondo yang dituangkan dalam Proses Pemekaran Daerah di Kalimatan Barat
(2008), menunjukkan bahwa pihak daerah sebenarnya menyadari bahwa pembentukan daerah
sebenarnya tidak visible namun keinginan itu dipaksakan dengan berbagai macam cara dengan tujuan
utama menarik DAU yang sebesar-besarnya ke daerah.
(3). Maraknya Korupsi dan Pemborosan Dalam Pelaksanaan Pembangunan
Hampir setiap hari, media massa TV, surat kabar, radio selalu menayangkan
sidang korupsi, penyuapan, permintaan untuk disuap (kalau tidak mau dikatakan
pemerasan), pemborosan, dan inefisiensi kebijakan baik yang dilakukan oleh anggota
DPR/DPRD maupun oleh birokrat di aras nasional, regional, dan lokal. Tayangan-
tayangan tersebut membuktikan bahwa mereka tidak hanya sebagai saksi atau
tertuduh saja namun sebagian besar juga sudah diputuskan bersalah. Gejala ini
sebenarnya sangat menyakitkan hati masyarakat banyak karena penghianatan mereka
terhadap mandat yang diberikan oleh rakyat. Namun pada kenyataannya adanya
degradasi moral pada penguasa tersebut seringkali dianggap sebagai sesuatu hal yang
biasa (bukan sesuatu yang memalukan dan tidak etis) dan akhirnya dilupakan.6
Walaupun kondisi moralitas seperti itu, apabila tidak segera diadakan perubahan,
rakyat yang sudah kehilangan kepercayaan akan dapat bertindak secara brutal yang
dapat berakibat yang sangat buruk bagi perkembangan Indonesia.
6
Bahkan Ketua PSSI (persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang sudah difonis bersalah karena
korupsi juga masih dipertahankan sebagai ketua. Padahal dunia internasional (termasuk FIFA) sudah
menganjurkan untuk melakukan pemilihan ketua PSSI baru. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang
dihukum karena korupsi masih dianggap mulia dan harus dihormati, dibanding seorang yang mencuri
ayam karena lapar.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514
Deputu Bank Indonesia, Alih fungsi lahan, dan lain-lain) merupakan kasus-kasus
yang menunjukkan tidak mampunya para anggota dewan yang terhormat untuk
melaksanakan makna demokrasi dengan benar.
Kalau di aras tinggi gambaran demokrasi seperti itu maka sulitlah diharapkan
adanya pelaksanaan demokrasi dengan benar di aras lokal. Mulai dengan pemukulan
wasit sepak bola, perkelahian antar pemain, unjuk rasa yang selalu diakhiri dengan
tindak kekerasan dan pelanggaran hukum, sampai pemukulan saksi di pengadilan
merupakan perwujudan demokarsai yang bersifat anarkis.
Dalam kondisi semacam ini maka penguatan civil society merupakan jawaban
yang dapat dicoba. Menurut Chandoke (1995) civil society adalah suatu public
sphere (arena publik) dimana negara dan rakyat dapat bertemu. Di dalam hal ini nilai
pertanggungjawaban negara kepada publik dan partisipasi politik publik merupakan
syarat yang harus dipenuhi.7 Masalahnya kondisi masyarakat sipil di Indonesia, yang
sering juga disebut sebagai masyarakat warga (kewargaan), masyarakat umum,
masyarakat madani atau juga disebut sebagai civil society dalam kondisi yang tidak
menentu.8 Di satu saat gerakan civil society sangat kuat dan sering berubah menjadi
anarkis yang tentu tidak dapat disebut sebagai civil society, namun dipihak lain
gerakan civil society hanya menjadi corong negara yang inipun lalu tidak dapat
digolongkan sebagai civil society.
Ciri lain dari gerakan civil society adalah harus kritis terhadap negara,
rational, bersifat counter balance, inclusive, dan non violence. Begitu salah satu dari
ciri ini dilanggar maka gerakan tersebut tidak bisa lagi dianggap sebagai gerakan
civil society. Dengan demikian maka gerakan civil society seringkali memang timbul
dan tenggelam sesuai dengan kondisi dan kehendak anggotanya.
Semua kondisi yang tidak baik diatas memang dapat disebabkan oleh
berbagai macam faktor, namun untuk tulisan ini kondisi yang tidak menguntungkan
tersebut disebabkan oleh proses pembangunan di Indonesia yang tidak
mempertimbangkan etika pembangunan. Berikut ini akan dikemukakan kesalahan-
kesalahan praktek pembangunan yang tidak memperhatikan etika pembangunan.
7
Menurut Chandoke, Neera (1995) dalam bukunya State and Society Exploration in Political
Theory. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd, selain nilai diatas civil society juga harus memenuhi
adanya: representative forum, perlindungan terhadap semua kegiatan, dan kebebsan semua orang untuk
menjadi anggota.
8
Lihat Tulisannya Bandingkan pula dengan pendapat Hikam (1996), Magnis Suseno (1992), Schulte
Nordholt (1999), Sukidi (1998), Diamond (1994), atau Suwondo (1997).
pelestaraian sumber air bago kelompok subak tersebut. Ritual ini akan dilakukan
pada saat kelompok subak sudah memulai mengairi swah mereka masing-masing.
Ritual ini biasanya diikuti dengan dilakukannya gotong royong bersama dalam
mebersihkan saluran air dan membanguna saluran-saluran agar air mampu terbagi
rata pada masing-masing anggota kelompok. Dalam pemberantasan hama dan
penyakit dikenal ritual nangluk merana dimana upacara ini ditujukan untuk
menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka tanpa
menggunakan pestisida kimiawi. Keberhasilan cara-cara ini masih dipercaya dan
masih memberikan manfaat yang signifikan bagi anggota kelompok subak. Seperti
yang dikemukkan oleh Agus dalam bahan kuliah Isu-isu strategik bahwa penanganan
pertanian yang seolah-olah sudah salah urus salah satunya adalah dengan membuat
kebijkan yang memperhatikan keunggulan komparatif lokal. Lebih lanjut juga
ditambahakan oleh Arifin (2009) bahwa dewasa ini salah satu cara yang memebrikan
harapan dalam menangani kerusakan lingkungan yang terus berlanjut dalam rangka
mengatasi maslaha panagan adalah mengangkat kearifan lokal masing-masing
daerah. Misalnya saja dengan mulai memperkenalkan kembali bahan pangan asli
daerah selain padi. Seperti di NTT dan Papua mereka masih punya bahan pangan
alternatif seperti sagu, jagung, dan ketela.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, G. Junus (2005). Kultur Batak, Pedang Bermata Dua, Belajar dari
Gerakan Anti Indorayon. IRE Press Yogyakarta.
Kahn, J.R (2005). The economic approach to environmental and natural resources.
Washington and Lee University and Universidade Federal do Amazones.
Thmson South Western. pp 587-614.
Suwondo, K. (2008). Forum Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke 10 dan Wisuda STT-
BNKP SUNDERMANN, pada tanggal 27 September 2008 di Kampus STT-
BNKP Sundermann.