PNPK Sepsis
PNPK Sepsis
PNPK Sepsis
Jakarta, 2016
2
3
Tim Penyusun
iv
Obstetri Ginekologi : Dr. dr. Noroyono Wibowo, SpOG(K)
Neurologi : dr. Darma Imran, SpS(K)
Mikrobiologi Klinik : dr. Anis Karuniawati, Ph.D, SpMK
Patologi Klinik : dr. Tonny Loho, SpPK(K)
Dibantu oleh : dr. Adityo Susilo, SpPD
dr. Edwin Jim, SpPD
dr. Eppy, SpPD
dr. Ifael Y. Mauleti, SpPD
dr. Rika Bur, SpPD
Dibantu oleh :: dr. Adityo Susilo, SpPD
v
Sambutan Ketua Tim Penyusun PNPK Sepsis
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku Panduan
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Sepsis ini. Pembuatan buku PNPK Sepsis oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia diamanahkan kepada Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) dan kemudian diteruskan kepada Pengurus Besar Perhimpunan
Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia (PB PETRI).
Sepsis hingga saat ini masih menjadi penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dari survei
yang dilakukan di beberapa kota besar meliputi Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo dan
Surabaya, Samarinda serta Banda Aceh, angka kematian sepsis rata-rata berkisar antara 20-70 %.
Penatalaksanaan sepsis merupakan praktik kedokteran yang sulit karena pasien seringkali datang
dengan keadaan lanjut dan banyak faktor yang berperan pada patogenesis sepsis sampai saat ini. Di
Indonesia, penanganan sepsis masih sangat bervariasi di antara rumah sakit, dan kerap kali menjadi
masalah yang dilematis, antara kemajuan ilmu pengetahuan dengan keterbatasan fasilitas, sumber daya
manusia dan obat-obatan. PNPK Sepsis ini diharapkan dapat menjadi panduan mutakhir, ideal, evidence-
based dalam tatalaksana sepsis khususnya pada pasien dewasa. Namun demikian, tentunya penerapan
PNPK Sepsis ini masih harus disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang ada di berbagai tipe rumah sakit.
Untuk memenuhi hal ini, masing-masing rumah sakit akan membuat Panduan Praktik Klinis (PPK)
Sepsis yang sesuai dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang ada di masing-masing rumah sakit,
dengan tetap menggunakan PNPK Sepsis ini sebagai pedoman.
PNPK Sepsis ini mengacu pada Survival Sepsis Campaign (SSC) 2012 yang menjadi panduan global dalam
tatalaksana dan terapi sepsis secara umum. Dalam pembuatan PNPK Sepsis ini, PB PETRI bekerja sama
dengan berbagai pakar dan praktisi dalam bidang sepsis dan perawatan intensif dari disiplin ilmu lain,
khususnya Departemen Anestesi dan Perawatan Intensif FKUI-RSCM. Sebanyak 11 orang Guru Besar, 17
orang Doktor dengan 3 orang Doktor dari PB PETRI di bidang sepsis, 19 orang Dokter Spesialis maupun
Konsultan dari berbagai disiplin ilmu yang biasa menangani sepsis ikut terlibat dalam penyusunan
PNPK ini. Spesialis yang terlibat meliputi spesialis penyakit dalam dari berbagai subspesialisasi
[penyakit tropik dan infeksi, hematologi, ginjal dan hipertensi, kardiovaskular, endokrinologi, geriatri,
alergi dan imunologi, pulmonologi], spesialis anestesiologi dan perawatan intensif, spesialis bedah,
spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis neurologi, spesialis mikrobiologi klinik, dan spesialis patologi
klinik. Selain itu, terdapat kurang lebih 139 literatur yang menjadi dasar pendukung PNPK Sepsis ini.
vi
Saya sebagai ketua tim penyusun PNPK Sepsis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya pada Prof/ Sejawat pakar anggota tim panel yang telah berkontribusi besar
meluangkan waktu dan tenaga dalam penyusunan buku ini, sehingga kami percaya buku ini dapat betul-
betul bermanfaat sebagai dasar pembuatan PPK untuk rumah sakit di Indonesia. Terima kasih dan
pengharagaan setinggi-tingginya juga kami sampaikan pada Kementerian Kesehatan RI yang telah
memberikan kepercayaan pada PB PAPDI untuk pembuatan PNPK ini.
Akhir kata, kami mohon maaf apabila terdapat hal yang masih kurang sempurna pada buku ini dan
tentunya akan kami perbaiki pada edisi berikutnya seiring perkembangan ilmu di bidang sepsis. Kami
berharap agar PNPK Sepsis yang kami susun ini, selalu dapat menjadi sumbangsih yang berarti bagi
sejawat sekalian dalam meningkatkan pelayanan untuk pasien sepsis di Indonesia.
vii
viii
Sambutan Ketua Umum PB PAPDI
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas keberhasilan penyusunan buku Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Sepsis. Dengan terbitnya buku ini, diharapkan akan semakin
jelas penatalaksanaan permasalahan sepsis secara sistematis dan berdasarkan bukti ilmiah demi
kepentingan pelayanan dan perawatan kepada pasien.
Untuk mencapai keberhasilan pelayanan dan penatalaksanaan pasien yang berkualitas dan
bertanggung jawab, di samping mengacu pada buku PNPK ini sebagai panduan kerja yang bermutu dan
dapat dipertanggungjawabkan, juga harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
dalam pengetahuan dan bertanggungjawab secara moral dalam sikap dan perilaku serta sarana
prasarana yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu kita harus selalu berupaya memperbaiki dan
meningkatkan pengetahuan terutama dalam hubungannya dengan pasien baik melalui pendidikan
formal maupun non formal.
Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Tim Penyusun buku PNPK Sepsis dan
Perhimpunan Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia (PETRI) yang telah menyusun buku ini
serta Kementerian Kesehatan yang telah membantu memfasilitasi kegiatan penyusunan buku ini.
Semoga PNPK ini dapat menjadi acuan bagi dokter spesialis penyakit dalam, spesialis lain, dokter
umum/ dokter di layanan primer serta tenaga kesehatan lain dalam tatalaksana pasien sepsis di seluruh
Indonesia disesuaikan dengan sarana prasarana, dan kemampuan institusi kesehatan setempat yang
diterjemahkan dalam bentuk Panduan Praktek Praktik Kedokteran Klinis (PPK).
ix
x
Ringkasan Eksekutif
Tujuan: PNPK Sepsis ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para sejawat profesi yang terkait
dalam memberikan pelayanan pasien sepsis di rumah sakit di Indonesia termasuk di daerah terpencil.
Metode: Acuan dasar untuk penyusunan PNPK ini adalah panduan Survival Sepsis Campaign 2012 yang
telah dijadikan pedoman penatalaksanaan tata laksana sepsis berat dan renjatan septik di seluruh dunia.
Panel pakar kemudian membahas tiap butir rekomendasi mengacu pada kemampulaksanaan
rekomendasi tersebut di Indonesia dengan tetap mempertahankan kualitas pelayanan kesehatan berbasis
bukti.
Hasil: Penapisan rutin pada pasien yang berpotensi menjadi sepsis perlu dilakukan secara rutin dengan
perangkat sistematis agar implementasi terapi dapat dilakukan lebih awal (1C). Pengambilan spesimen
untuk pemeriksaan kultur harus dikerjakan secara rutin dan sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
antibiotika. Terapi antibiotika perlu diberikan secara dini dengan menggunakan strategi deeskalasi, yaitu
dimulai dengan pemberian antibiotikaantibiotik empiris kemudian disesuaikan atau dihentikan sesuai
dengan respons klinis atau hasil kultur. AntibiotikaAntibiotik empiris diberikan dengan dosis optimal
sesuai dengan panduan, dan dengan memperhatikan fungsi organ, keamanan dan ketersediaan.
Pada pasien sepsis berat, lakukan resusitasi yang terukur dalam 6 jam pertama setelah pengenalan (1C);
pemeriksaan kultur yang tepat dilakukan sebelum memulai terapi antimikroba (1C); pemeriksaan
pencitraan segera untuk mengkonfirmasi sumber infeksi yang potensial (UG); pemberian antimikroba
intravena yang efektif, diberikan dalam waktu satu jam sejak diagnosis renjatan septik (1B) dan sepsis
berat tanpa renjatan (1C), penilaian kembali paduan rejimen antimikroba yang diberikan untuk melihat
kemungkinan deeskalasi (1B); intervensi untuk kontrol sumber infeksi, dengan mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian metode yang dipilih, dilakukan dalam 12 jam pertama sesudah diagnosis
dibuat (1C). Cairan terpilih untuk resusitasi awal sepsis berat dan renjatan septik adalah kristaloid (1B).
Albumin isoonkotik diberikan ketika pasien membutuhkan cairan kristaloid jumlah banyak (2C);
penggunaan cairan koloid hidroksietil starch dihindari untuk resusitasi sepsis berat dan renjatan septik
(1B). Uji pemberian cairan (fluid challenge) pada pasien sepsis dengan tanda gangguan hipoperfusi
jaringan yang dicurigai dalam keadaan hipovolemia dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid
minimal 30 cc/kgBB (albumin isoonkotik dapat diberikan dalam jumlah yang sama) (1C). Uji pemberian
cairan ini dilakukan berulang selama pemberian cairan tersebut dapat memperbaiki kondisi
hemodinamik berdasarkan parameter secara dinamis atau secara statis (UG). Terapi vasopresor dengan
norepinefrin sebagai pilihan pertama diberikan untuk mencapai target tekanan rerata arteri 65 mmHg
(1B). Epinefrin (dapat ditambahkan, atau digantikan dengan norepinefrin), bila dibutuhkan obat
tambahan untuk mencapai tekanan darah adekuat (2B). Vasopresin (0.,03 unit/menit) dapat ditambahkan
pada norepinefrin untuk meningkatkan tekanan rerata arteri atau untuk menurunkan dosis norepinefrin,
namun tidak sebagai pilihan awal (UG). Dopamin menjadi obat alternatif vasopresor selain norepinefrin
hanya untuk pasien tertentu yang memiliki risiko rendah mengalami takiaritmia dan bradikardia absolut
atau relatif (2C). Dobutamin ditambahkan bersama vasopresor lain apabila terdapat: (a). disfungsi
miokard ditandai peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung rendah, (b) penurunan
perfusi terus berlanjut meski volume intravaskular dan tekanan rerata arteri adekuat telah tercapai (1C).
xi
Pada pasien renjatan septik dewasa, hidrokortison intravena tidak diberikan apabila resusitasi cairan
telah adekuat dan pemakaian obat vasopressor dapat mencapai hemodinamik stabil (2C). Pada pasien
dewasa bila gangguan perfusi berhasil diatasi dan tidak disertai kondisi penyulit lain seperti iskemia
miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut atau penyakit jantung iskemik, tranfusi sel darah merah
hanya diberikan bila konsentrasi hemoglobin < 7,0 gr/dldL dengan target konsentrasi hemoglobin 7,0 –
9,0 gr/dldL (1B). Target volume tidal awal adalah 6 mlmL/kg berat badan prediksi (1A) dan pembatasan
plateau pressure pada ARDS (1B). Tekanan positif akhir ekspirasi (positive end-expiratory pressure, PEEP)
diberikan untuk mencegah kolaps alveolus pada akhir ekspirasi (atelektotrauma) (1B). Strategi
pemakaian PEEP tinggi lebih baik dibandingkan PEEP rendah pada pasien sepsis dengan derajat ARDS
sedang atau berat (2C). Recruitment maneuver dapat dilakukan pada pasien sepsis disertai hipoksemia
berat yang refrakter (2C). Posisi telungkup dilakukan pada pasien sepsis disertai ARDS dengan rasio
PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dan pada tempat yang mampu melaksanakannya (2B). Pasien sepsis yang
mengunakan ventilasi mekanik diposisikan elevasi kepala, jika tidak terdapat kontraindikasi (1B).
Strategi pemberian cairan secara konservatif dianjurkan pada pasien yang mengalami ARDS namun tidak
memiliki tnada tanda hipoperfusi (1C); pProtokol penyapihan (1A); pPemberian sedasi secara kontinu
maupun intermiten pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanik dilakukan seminimal mungkin dengan
titrasi target spesifik (1B). Pemakaian obat pelumpuh otot sedapat mungkin dihindari pada pasien sepsis
tanpa ARDS (1C). Pemakaian obat pelumpuh otot jangka pendek, tidak lebih dari 48 jam diberikan pada
sepsis awal disertai ARDS dengan rasio PaO 2/FiO2 < 150 mmHg (2C). Pengaturan glukosa darah pada
pasien ICU dengan sepsis berat membutuhkan pemberian insulin apabila hasil 2 kali pemeriksaan kadar
glukosa darah berturut-turut > 180 mg/dldL dengan protokol yang ditujukan untuk mencapai target
glukosa darah 140-180 mg/dldL (1A). Terapi pengganti ginjal secara kontinu maupun hemodialisa secara
intermiten memiliki hasil yang sama untuk pasien sepsis berat dan renjatan septik (2B). Pasien sepsis
berat harus mendapat terapi farmakoprofilaksis untuk mencegah trombosis vena dalam (1B). Terapi
profilaksis ulkus stres diberikan pada pasien sepsis berat atau renjatan septik yang memiliki risiko
perdarahan gastrointestinal (1B). Pemberian makanan dilakukan secara oral atau enteral apabila toleransi
baik dalam waktu 48 jam setelah diagnosis sepsis berat atau renjatan septik ditegakkan (2C). Penentuan
target perawatan dilakukan sedini mungkin sejak awal, tapi tidak lebih dari 72 jam setelah pasien masuk
unit perawatan intensif (2C).
xii
xiii
Executive Summary
Aim: This National Clinical Practice Guideline (CPG) aims to be a standard protocol for clinicians
managing sepsis in hospitals in Indonesia, including area with limited resources.
Methods: The backbone of this national CPG is Surviving Sepsis Campaign International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012 which has been internationally accepted as the
reference of management of severe sepsis and septic shock. Expert committee reviews the applicability of
the recommendations in Indonesia.
Results: We recommend routine screening of potentially infected seriously ill patients for sepsis to
increase the early identification of sepsis and allow implementation of early sepsis therapy (1C). We
recommend obtaining appropriate specimens for cultures before antimicrobial therapy is initiated.
Strategy for administration of effective intravenous antimicrobials should be de-escalation approach i.e.
started with empirical antibiotics and adjusted or stopped based on clinical reponse or culture result.
Empirical antibiotics are delivered with optimal dose, considering organ function, safety and availability
of such antibiotics.
We recommend early quantitative resuscitation of the septic patient during the first 6 hours after
recognition (1C); blood cultures before antibiotic therapy (1C); imaging studies performed promptly to
confirm a potential source of infection (UG); administration of broad-spectrum antimicrobials therapy
within 1 hour of recognition of septic shock (1B) and severe sepsis without septic shock (1C);
reassessment of antimicrobial therapy daily for de-escalation, when appropriate (1B); infection source
control with attention to the balance of risks and benefits of the chosen method within 12 hours of
diagnosis (1C); initial fluid resuscitation with crystalloid (1B) and consideration of the addition of
isooncotic albumin in patients who continue to require substantial amounts of crystalloid to maintain
adequate mean arterial pressure (2C) and the avoidance of hetastarch formulations (1B); initial fluid
challenge in patients with sepsis-induced tissue hypoperfusion and suspicion of hypovolemia to achieve
a minimum of 30 mL/kg of crystalloids (more rapid administration and greater amounts of fluid may be
needed in some patients) (1C); fluid challenge technique continued as long as hemodynamic
improvement, as based on either dynamic or static variables (UG); norepinephrine as the first-choice
vasopressor to maintain mean arterial pressure ≥ 65 mm Hg (1B); epinephrine when an additional agent
is needed to maintain adequate blood pressure (2B); vasopressin (0.03 U/min) can be added to
norepinephrine to either raise mean arterial pressure to target or to decrease norepinephrine dose but
should not be used as the initial vasopressor (UG); dopamine is not recommended except in highly
selected circumstances (2C); dobutamine infusion administered or added to vasopressor in the presence
of a) myocardial dysfunction as suggested by elevated cardiac filling pressures and low cardiac output, or
b) ongoing signs of hypoperfusion despite achieving adequate intravascular volume and adequate mean
arterial pressure (1C); avoiding use of intravenous hydrocortisone in adult septic shock patients if
adequate fluid resuscitation and vasopressor therapy are able to restore hemodynamic stability (2C);
hemoglobin target of 7 – –9 g/dL in the absence of tissue hypoperfusion, ischemic coronary artery disease,
or acute hemorrhage (1B); low tidal volume (1A) and limitation of inspiratory plateau pressure (1B) for
acute respiratory distress syndrome (ARDS); application of at least a minimal amount of positive end-
xiv
expiratory pressure (PEEP) in ARDS (1B); higher rather than lower level of PEEP for patients with sepsis-
induced moderate or severe ARDS (2C); recruitment maneuvers in sepsis patients with severe refractory
hypoxemia due to ARDS (2C); prone positioning in sepsis-induced ARDS patients with a PaO 2/ FiO2 ratio
of ≤ 100 mm Hg in facilities that have experience with such practices (2B); head-of-bed elevation in
mechanically ventilated patients unless contraindicated (1B); a conservative fluid strategy for patients
with established ARDS who do not have evidence of tissue hypoperfusion (1C); protocols for weaning
and sedation (1A); minimizing use of either intermittent bolus sedation or continuous infusion sedation
targeting specific titration endpoints (1B); avoidance of neuromuscular blockers if possible in the septic
patient without ARDS (1C); a short course of neuromuscular blocker (no longer than 48 hoursrs) for
patients with early ARDS and a PaO 2/ FiO2 < 150 mm Hg (2C); a protocolized approach to blood glucose
management commencing insulin dosing when two consecutive blood glucose levels are > 180 mg/dL,
targeting an blood glucose 140 -– 180 mg/dL (1A); equivalency of continuous veno-venous hemofiltration
or intermittent hemodialysis (2B); prophylaxis for deep vein thrombosis (1B); use of stress ulcer
prophylaxis to prevent upper gastrointestinal bleeding in patients with bleeding risk factors (1B); oral or
enteral (if necessary) feedings, as tolerated, within the first 48 hours after a diagnosis of severe
sepsis/septic shock (2C); and addressing goals of care, including treatment plans and end-of-life planning
(as appropriate) (1B), as early as feasible, but within 72 hours of intensive care unit admission (2C).
xv
Daftar Isi
Tim Penyusun.................................................................................................................ii
Sambutan Ketua Tim Penyusun PNPK Sepsis..........................................................iv
Sambutan Ketua Umum PB PAPDI............................................................................vi
Ringkasan Eksekutif....................................................................................................vii
Executive Summary........................................................................................................x
Daftar Isi ................................................................................................................xiii
Daftar Singkatan...........................................................................................................xv
Daftar Gambar............................................................................................................xvii
Daftar Tabel ..............................................................................................................xviii
Bab 1 Pendahuluan.......................................................................................................1
Bab 2 Metode.................................................................................................................3
Bab 3 Hasil ....................................................................................................................5
3.1. Etiologi..........................................................................................................5
3.2. Kriteria Diagnosis Sepsis dan Sepsis Berat.............................................6
3.3. Tata Laksana Sepsis....................................................................................8
3.3.1. Terapi Antibiotik Rasional pada Sepsis.......................................8
3.3.2. Terapi Antibiotik pada Mikroorganisme Resisten Antibiotik 11
3.3.2.1. Patogenesis Resistensi Bakteri......................................11
3.3.2.2. Faktor Risiko Infeksi Bakteri Resisten Antibiotik di Komunitas 12
3.3.2.3. Faktor Risiko Infeksi Bakteri Resisten Antibiotik di Rumah Sakit 13
3.3.2.4. Pemilihan Antibiotik pada Bakteri Resisten Antibiotik 14
3.3.3. Terapi Antibiotik berbasiskan Pedoman Menurut Lokasi Infeksi 15
3.4. Resusitasi Awal dan Penanganan Infeksi..............................................17
3.4.1. Resusitasi Inisial...........................................................................17
3.4.2. Kontrol Sumber Infeksi...............................................................23
3.4.2.1. Waktu Tindakan.............................................................25
3.4.2.2. Komplikasi......................................................................25
3.5. Tata Laksana Hemodinamik dan Terapi Penunjang............................27
3.5.1. Terapi Cairan.................................................................................27
3.5.2. Vasopresor.....................................................................................29
3.5.3. Inotropik........................................................................................33
3.5.4. Kortikosteroid...............................................................................34
3.5.5. Pemberian Komponen Darah.....................................................36
3.5.6. Ventilasi Mekanik pada Sepsis dengan Acute Respiratory Distress Syndrome 39
3.5.7. Sedasi, Analgesia dan Obat Pelumpuh Otot............................43
3.5.8. Pengaturan Glukosa Darah.........................................................46
3.5.9. Terapi Pengganti Ginjal...............................................................47
3.5.10. Dukungan Nutrisi Pasien Sepsis................................................50
3.6. Prediksi Mortalitas Pasien Sepsis Berat.................................................52
xvi
Daftar Pustaka...............................................................................................................57
Lampiran 1. Perangkat penapisan sepsis berat.......................................................69
Lampiran 2. Kelompok tindakan resusitasi.............................................................70
Lampiran 3. Kelompok tindakan resusitasi berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2015 71
Lampiran 4. Protokol resusitasi sepsis (kombinasi early goal-directed therapy dan kelompok tindakan
resusitasi), harus diselesaikan pada 6 jam pertama.........................72
Lampiran 5. Persetujuan pengutipan dari Surviving Sepsis Campaign 2012 Committee 73
Tim Penyusun
Daftar Isi
Bab 1. Pendahuluan
Bab 2. Metode
Bab 3. Hasil
3.1 Etiologi
Waktu Tindakan
Komplikasi
3.5.2 ..................................................................................................Vasopresor
3.5.3 .....................................................................................................Inotropik
xvii
3.5.4 ............................................................................................Kortikosteroid
Lampiran 4. Protokol resusitasi sepsis (kombinasi early goal-directed therapy dan kelompok tindakan
resusitasi)
xviii
Daftar Singkatan
xix
rhAPC Recom binant activated protein C
RRT Renal replacement therapy
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
SAFE Saline versus Albumin Fluid Evaluation
SAPS Simplified acute physiology score
ScvO2 Superior vena cava oxygen saturation
SD Standar deviasi
SLED Sustained low-efficiency dialysis
SLEDD Sustained low-efficiency daily dialysis
SOFA Sequential organ failure assessment
SIRS Systemic inflammatory response syndrome
TDS Tekanan darah sistolik
VAP Ventilator-associated pneumonia
VISA Vancomycin intermidiate Staphylococcus aureus
VRE Vancomycin resistant Enterococci
VRSA Vancomycin resistant Staphylococcus aureus
xx
Daftar Gambar
xxi
Daftar Tabel
xxii
xxiii
Bab 1
Pendahuluan
Sepsis, sepsis berat dan renjatan septik menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Hal ini
terlihat dari tingginya angka kejadian, kematian, biaya kesehatan yang diperlukan untuk menata laksana
seorang pasien dengan sepsis berat dan renjatan septik, serta peningkatan menetap kejadian tersebut dari
tahun ke tahun.1-5 Penelitian kohort prospektif di Amerika Serikat menunjukkan 415.280 kasus sepsis
berat dan renjatan septik didiagnosis pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 711.736 kasus pada tahun
2007, dengan angka kematian sebesar 29,1% pada tahun 2007. Biaya rawat inap telah disesuaikan dengan
inflasi untuk pasien sepsis berat dan renjatan septik meningkat menjadi $24,3 juta pada tahun 2007.5
Penelitian kohort lain yang dilakukan pada tahun 2002 di 198 ruang perawatan intensif (intensive care
unit, ICU) pada 24 negara di benua Eropa menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik merupakan
29,5% diagnosis perawatan intensif. Mortalitas pasien sepsis berat dalam perawatan intensif mencapai
32,2% dan meningkat menjadi 54,1% pada renjatan septik.6
Di benua Asia, penelitian pada tahun 2009 di 150 ruang perawatan intensif pada 16 negara (termasuk
Indonesia) menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik merupakan 10,9% diagnosis perawatan intensif
dengan angka kematian mencapai 44,5%.7 Dilakukan di beberapa kota besar meliputi Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Solo dan Surabaya, Samarinda serta Banda Aceh, angka kematian sepsis rerata
berkisar 20-70 %.8 Pengamatan 1 bulan pada tahun 2012 di ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik ditemukan pada 23 dari
84 kasus perawatan intensif, dengan angka kematian dalam perawatan mencapai 47,8% dan angka
kematian pada fase dini mencapai 34,7%. Data Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSCM menunjukkan jumlah pasien yang dirawat dengan diagnosis sepsis sebesar 10,3 %
dari keseluruhan pasien yang dirawat di ruang rawat penyakit dalam. Renjatan septik merupakan
penyebab kematian tertinggi selama 3 tahun berturut-turut (2009-2011), yaitu pada 49% kasus kematian
pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 55% pada tahun 2011 (data tidak dipublikasi).
Pengetahuan dan penelitian di bidang sepsis terus berkembang. Pengenalan dini, diagnosis dan resusitasi
dini, baik dilakukan di unit gawat darurat maupun ruang rawat, merupakan kunci keberhasilan terapi
sepsis berat dan renjatan septik di ruang rawat intensif. Beberapa panduan terapi telah dibuat oleh para
ahli untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan ini. Namun demikian, panduan tersebut tidak
dapat diimplementasi secara menyeluruh di Indonesia, akibat masih minimnya pengetahuan sumber
daya manusia serta minimnya ketersediaan pemeriksaan penunjang dan modalitas terapi.
Panel pakar berusaha menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) sepsis yang meliputi
spektrum sepsis, sepsis berat dan renjatan septik berdasarkan panduan Survival Sepsis Campaign 2012
yang disusun oleh 68 ahli internasional mewakili 30 organisasi internasional, dengan melakukan yang
diadopsi sesuai kemampuan sumber daya di Indonesia. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan
adanya penyesuaian lebih lanjut berbasis data nasional lebih akurat yang diperoleh setelah buku ini
diterbitkan. Panduan ini hanya bersifat pedoman, dalam pelaksanaannya tetap harus disesuaikan dengan
1
2
kondisi di lapangan dalam bentuk pelatihan yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Pembaca juga
disarankan menyesuaikan isi buku dengan informasi terakhir yang ada.
PNPK ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para sejawat profesi yang terkait dalam pelayanan
pasien sepsis di rumah sakit di Indonesia termasuk di daerah terpencil. Selanjutnya diharapkan di masa
mendatang kolaborasi ini dapat menyediakan data-data untuk kepentingan penelitian tentang sepsis,
sehingga suatu saat akan didapatkan data kolaborasi epidemiologi dan mortalitas di Indonesia yang
lebih akurat sebagai landasan untuk melakukan perubahan panduan tata kelola sepsis ini di masa
mendatang.
Bab 2
Metode
Acuan dasar untuk penyusunan PNPK ini adalah panduan Survival Sepsis Campaign 2012 yang telah
dijadikan pedoman penatalaksanaan sepsis berat dan renjatan septik di seluruh dunia. Panduan ini
mengikuti prinsip yang terdapat pada sistem Grading of Recommendations Assessment, Development and
Evaluation (GRADE) dalam menyusun penilaian kualitas dari tingkat tinggi (A) hingga tingkat sangat
rendah (D) sesuai tabel 1, serta menentukan kekuatan rekomendasi yaitu kuat (1) atau lemah (2) sesuai
tabel 2. Beberapa rekomendasi tidak dapat ditentukan kualitasnya (ungraded/UG).
3
4
Panel pakar kemudian membahas tiap butir rekomendasi mengacu pada kemampulaksanaan
rekomendasi tersebut di Indonesia dengan tetap mempertahankan kualitas pelayanan kesehatan berbasis
bukti. Panel tersusun dari berbagai ahli meliputi spesialis penyakit dalam dari berbagai subspesialisasi
(penyakit tropik dan infeksi, hematologi, ginjal dan hipertensi, kardiovaskular, endokrinologi, geriatri,
alergi dan imunologi, pulmonologi), spesialis anestesiologi dan perawatan intensif, spesialis bedah,
spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis neurologi, spesialis mikrobiologi klinik, dan spesialis patologi
klinik.
Bab 3
Hasil
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi, saat patogen atau toksin dilepaskan ke
dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Rangkaian patofisiologi sepsis didasari
terjadinya inflamasi sistemik yang melibatkan berbagai mediator inflamasi. 8-9 Terjadinya gangguan pada
sistem koaglukosasi juga sangat berperan dalam timbulnya berbagai komplikasi yang disebabkan oleh
sepsis. Komplikasi yang ditimbulkan oleh sepsis dapat berupa systemic inflammatory response syndrome
(SIRS), disseminated intravascular coaglukosation (DIC), renjatan septik dan gagal multi organ.
Dalam praktik klinis, sering terjadi kendala pada aspek diagnosis sepsis. Hasil kultur darah baru bisa
didapatkan klinisi setelah beberapa hari perawatan, sedangkan terapi empirik antimikroba perlu segera
diberikan. Kultur hanya menunjukkan hasil positif pada 30-50% sampel. Pada pasien dengan penyakit
penyerta seperti diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, imunokompromais, serta pasien usia lanjut
seringkali manifestasi klinis sepsis tidak tampak, sehingga sepsis seringkali lolos terdiagnosis. 9 Ketelitian
dan pengalaman klinisi sangat diperlukan dalam rangka diagnosis dan terapi sepsis.
1. 3.1 Etiologi
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram negatif (60-70% kasus). Staphylococci, pneumococci,
streptococci, dan bakteri Gram positif lain lebih jarang menimbulkan sepsis dengan angka kejadian antara
20%-40% dari seluruh angka kejadian sepsis. Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga dilaporkan
dapat menimbulkan sepsis dengan kekerapan lebih jarang.10
2.
3.
Variabel umum
5
6
Variabel inflamasi
Leukositosis (hitung leukosit > 12.000/μL)
Leukopenia (hitung leukosit < 4000/ μL)
Hitung leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur
C-reactive protein plasma lebih dari dua SD di atas nilai normal
Prokalsitonin plasma lebih dari dua SD di atas nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (TDS < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau
penurunan TDS > 40 mmHg pada orang dewasa, atau kurang dari dua
SD di bawah nilai normal usia tersebut)
Kondisi yang telah ada sebelum episode sepsis ini tidak termasuk
dalam kriteria. Bila pemeriksaan bilirubin tidak dikerjakan, penilaian
ikterus secara klinis dapat digunakan sebagai pengganti.
Bertolak dari keterbatasan dua kriteria diagnosis sepsis yang telah dipublikasi sebelumnya, pada tahun
2016 the European Society of Intensive Care Medicine dan SCCM merumuskan kriteria baru diagnosis sepsis
yang didasarkan pada perubahan definisi sepsis yang menekankan pada terjadinya disfungsi organ pada
seorang yang terinfeksi. Sistem skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) digunakan sebagai cara
penilaian disfungsi organ. Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA sebagai akibat infeksi digunakan
sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok ahli juga mengajukan kriteria baru yang dapat digunakan
sebagai penapis pasien sepsis yang dikenal dengan istilah quick SOFA (qSOFA). Tiga kriteria qSOFA
adalah laju napas lebih dari sama dengan 22 napas/menit, perubahan kesadaran, tekanan darah sistolik
kurang dari sama dengan 100 mmHg.
Bertolak dari keterbatasan dua kriteria diagnosis sepsis yang telah dipublikasi
sebelumnya, pada tahun 2016 the European Society of Intensive Care Medicine dan
SCCM merumuskan kriteria baru diagnosis sepsis yang didasarkan pada
perubahan definisi sepsis yang menekankan pada terjadinya disfungsi organ
pada seorang yang terinfeksi. Sistem skor Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) digunakan sebagai cara penilaian disfungsi organ. Penambahan akut
dua atau lebih nilai SOFA sebagai akibat infeksi digunakan sebagai dasar
diagnosis sepsis. Kelompok ahli juga mengajukan kriteria baru yang dapat
digunakan sebagai penapis pasien sepsis yang dikenal dengan istilah quick
SOFA (qSOFA). Tiga kriteria qSOFA adalah laju napas lebih dari sama dengan
22 napas/ menit, perubahan kesadaran, tekanan darah sistolik kurang dari sama
dengan 100 mmHg
Pemberian antibiotikaantibiotik merupakan salah satu terapi utama yang harus diberikan pada kasus
infeksi bakteri. AntibiotikaAntibiotik didefinisikan sebagai suatu substansi yang dihasilkan dari berbagai
jenis mikroorganisme seperti jamur dan bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
lain.13,14
Era antibiotikaantibiotik modern dimulai dengan ditemukan sulfanilamid pada tahun 1937 dan
penisilin pada tahun 1941. Seiring tingginya angka kejadian infeksi maka penggunaan
antibiotikaantibiotik menjadi luas. Pemberian antibiotikaantibiotik tidak rasional merupakan suatu faktor
risiko tersendiri bagi munculnya karakteristik bakteri baru.14
Dalam penggunaan antibiotikaantibiotik rasional, terdapat 3 aspek yang saling berkaitan erat, yaitu:14
1. Aspek antibiotikaantibiotik
2. Aspek pejamu
Beberapa aspek pejamu yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik antara lain derajat
infeksi intensitas infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor genetik dan penyakit komorbid,
status imun, kehamilan atau laktasi, riwayat alergi dan faktor sosial ekonomi. 14 Adanya berbagai
komorbid pada pejamu seringkali juga menyebabkan menurunnya efikasi dan adekuasi terapi
antibiotikaantibiotik, sehingga juga merupakan sebuah faktor risiko terjadi resistensi
antibiotikaantibiotik.
Hal yang perlu diperhatikan pada aspek pejamu adalah sebagai berikut ::
Kelompok pejamu dengan status imun rendah (faktor risiko internal), antara lain adalah ::
a. Pasien dengan penyakit kronik, seperti : diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, sirosis hati, dan
sebagainya.
b. Pasien dengan penyakit keganasan
c. Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
d. Pasien malnutrisi
e. Pasien geriatri (lanjut usia)
Kelompok pejamu dari lingkungan rentan infeksi (faktor eksternal), antara lain :
e. terinfeksi bakteri
3. Aspek bakteri
Bakteri penyebab infeksi merupakan faktor penting dipertimbangkan untuk menentukan terapi
kausatif. Studi epidemiologi mengenai pola sensitivfitas dan resistensi bakteri merupakan hal sangat
penting dilakukan guna kebijakan pemberian terapi antibiotikaantibiotik empiris.
a. Resistensi alami
Kuman yang sejak awal memang tidak pernah sensitif terhadap antibiotikaantibiotik tertentu
dikatakan memiliki resistensi alami, misalnya : Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap
kloramfenikol, dan sebagainya.
b. Resistensi didapat
Suatu keadaan dimana kuman yang awalnya sensitif terhadap antibiotikaantibiotik tertentu
mengalami perubahan sifat menjadi resisten.
Untuk menangani bakteri yang telah memiliki resistensi alami terhadap suatu jenis antibiotikaantibiotik
tertentu, pemberian antibiotikaantibiotik lain yang secara empiris terbukti memiliki sensitivfitas tinggi
terhadap bakteri tersebut diperlukan. Di sisi lain, untuk menangani bakteri dengan resistensi didapat,
perlu diketahui berbagai penyebab terjadi resistensi didapat tersebut.
11
1. Faktor endogen
Faktor endogen yang menyebabkan resistensi adalah perubahan sifat kuman yang terjadi bukan akibat
transfer genetik dari kuman lain. Mutasi genetik terjadi secara internal, namun hal ini dapat tidak disertai
perubahan patogenitas dan viabilitas mikroorganisme tersebut. Contoh: pemberian antibiotik amoksisilin
yang tidak adekuat atau tidak sesuai indikasi dapat menyebabkan terjadi perubahan enzim internal
kuman dan perubahan sifat kuman. Kuman yang pada awalnya sensitif terhadap amoksisilin, berubah
menjadi resisten.
2. Faktor eksogen
Faktor eksogen yang menyebabkan resistensi adalah perubahan sifat kuman yang terjadi akibat transfer
genetik dari kuman lain, misal melalui plasmid dan transposon yang membawa gen pengkode tertentu.
Faktor eksogen dapat mengakibatkan terjadinya perubahan sifat kuman yang mendapat transfer gen
pengkode tersebut sehingga kuman yang awalnya sensitif terhadap antibiotikaantibiotik tertentu menjadi
resisten. Plasmid merupakan konjugat yang mampu membawa gen pengkode protein yang diperlukan
untuk proses konjugasi. Transposon merupakan konjugat terdapat pada kromosom sel bakteri dan dapat
berpindah sendiri dari spesies satu ke spesies lain, bahkan juga dari bakteri Gram negatif ke bakteri
Gram positif atau sebaliknya.
Selain mutasi genetik, perubahan yang terjadi pada komponen bakteri juga berperan pada terjadinya
resistensi antibiotikaantibiotik, misal penurunan permeabilitas membran luar mikroorganisme (misalnya
pada kuman Gram negatif) terhadap antibiotikaantibiotik tertentu akan mengakibatkan penurunan
infiltrasi antibiotikaantibiotik ke dalam sitoplasma bakteri atau perubahan komponen enzimatik bakteri
misalnya terbentuknya beta laktamase yang menyebabkan bakteri resisten terhadap antibiotikaantibiotik
golongan beta laktam.15
Saat ini bakteri patogen resisten kerap dihubungkan dengan produksi enzim betalaktamase oleh bakteri
yang mampu menghidrolisis cincin beta-laktam yang terdapat pada antibiotikaantibiotik golongan
penisilin dan turunannya serta golongan sefalosporin. Terjadinya perubahan endogen dan eksogen
bakteri membuat bakteri yang awalnya tidak memproduksi betalaktamase, menjadi mampu
memproduksi betalaktamase.
Berbagai macam bakteri patogen resisten saat ini dikenal antara lain Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA), Methicillin Resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE), Vancomycin Resistant Staphylococcus
aureus (VRSA), dan Multi Drug Resistant Pseudomonas (MDR Pseudomonas). Bakteri yang dapat
memproduksi extended spectrum beta lactamase (ESBL) antara lain :: Klebsiela pneumoniae dan Enterobacter
(E. coli).
Bila ditinjau dari segi lingkungan, pada tiga daerah di Amerika Serikat Fridkin SK dkkdkk. menemukan
bahwa infeksi MRSA mayoritas terjadi pada kalangan masyarakat kulit hitam dengan sosio-ekonomi
rendah.16 Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh adanya faktor eksogen lebih menonjol. Pada kondisi
sosioekonomi rendah dengan higiene lingkungan buruk, kemungkinan persinggungan antara bakteri
satu dengan yang lain menjadi lebih besar sehingga, terjadi peluang transfer genetik (via plasmid dan
transposon) antara bakteri satu dengan yang lain menjadi lebih besar.15,16
Fridkin SK dkkdkk. juga menemukan bahwa infeksi MRSA di komunitas ternyata lebih banyak terjadi
pada individu kulit hitam berumur kurang dari 2 tahun. Hal ini kemudian dikaitkan dengan aspek
pejamu. Pada usia kurang dari 2 tahun, status imun masih rendah.
Moran GJ dkkdkk. pada penelitian yang dilakukan pada pasien dari komunitas yang masuk di 11 unit
gawat darurat di Amerika Serikat mendapatkan bahwa bakteri patogen resisten yang terbanyak
ditemukan adalah MRSA. Bakteri MRSA ditemukan paling banyak pada sediaan yang diambil dari
manifestasi infeksi berupa abses, disusul dengan infeksi spontan lain yang tidak diketahui faktor
presipitasinya. Pada penderita HIV, infeksi MRSA hanya dijumpai kurang lebih 4% populasi. Pada
pekerja kesehatan, homoseksual, individu yang telah mengkonsumsi antibiotikaantibiotik sebelumnya,
infeksi MRSA dijumpai secara berturutan pada 5%, 5%, dan 34% populasi.17
Pada studi terdahulu didapatkan insidens bakteri penghasil ESBL cukup tinggi sebagai penyebab infeksi
di komunitas. Baiio JR dkkdkk. menemukan 65% pasien dengan kultur urin dan darah yang memiliki
isolat bakteri penghasil ESBL berasal dari komunitas. Sebagian besar subjek penelitian dengan bakteri
penghasil ESBL adalah wanita dengan infeksi saluran kemih yang memiliki riwayat berobat ke klinik
rumah sakit atau ke pusat pelayanan primer sebagai pasien rawat jalan. 18 Faktor endogen terjadi
perubahan karakteristik bakteri lebih menonjol, mengingat adanya kemungkinan terapi
antibiotikaantibiotik yang tidak diberikan secara tepat guna.
5.2.3. 3.3.2.3 Faktor Risiko Infeksi Bakteri Resisten AntibiotikaAntibiotik di Rumah Sakit
Penggunaan antibiotikaantibiotik tidak tepat merupakan sumber masalah terjadi mutasi endogenik pada
bakteri yang akhirnya menyebabkan timbul bakteri berkarakteristik baru yang resisten terhadap berbagai
jenis antibiotikaantibiotik.19 Penggunaan instrumen medis, seperti kateter urin, naso-gastric tube (NGT),
continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) dalam jangka lama juga merupakan faktor risiko terjadi
paparan infeksi bakteri patogen resisten.17
MDR Pseudomonas kerapkali dihubungkan dengan infeksi nosokomial. Angka resistensi Pseudomonas spp
terhadap antibiotikaantibiotik beta-laktam pada individu rawat inap cukup tinggi. Tingginya angka
penggunaan antibiotikaantibiotik beta-laktam dan kekerapkan Pseudomonas sebagai infeksi nosokomial
menjelaskan karakteristik Pseudomonas spp baru, sebagai MDR Pseudomonas.20 Penelitian Miragaia
dkkdkk. pada lima rumah sakit di Denmark dan sebuah rumah sakit di Islandia mendapatkan 30% isolat
MRSE pada pasien rawat inap kemudian dikaitkan juga dengan penggunaan instrumen medis. 21 Smith
TL pada dua laporan kasus mengenai infeksi VRSA, menemukan kesamaan pada dua individu yang
dilaporkan, keduanya tercatat sebagai pengguna vankomisin jangka lama, pengguna alat peritoneal
dialisis, pasien diabetes melitus dengan infeksi pada peritoneum.22
13
Saat ini antibiotik pilihan yang digunakan untuk terapi pada infeksi MRSA adalah vankomisin,
teikoplanin, linezolid, ceftobiprol.23,24 Vankomisin merupakan antibiotikaantibiotik yang dihasilkan oleh
Streptomyces orientalis, bersifat bakterisidal kuat untuk stafilokokus dan bekerja pada target dinding sel
bakteri.23,25 Kasus VRSA pertama ditemukan di Jepang. Dikatakan bahwa kasus Staphylococcus aureus
resisten terhadap vankomisin masih jarang. Tingkat resistensi yang dijumpai masih berada pada taraf
intermedieate, sehingga banyak ahli menyebut sebagai Vancomycin Intermidiate Staphylococcus aureus
(VISA).
Maor Y dkkdkk. pada tahun 2007 menemukan insidens VISA sebesar 6% dari isolat yang diambil dari
kultur darah pada sebuah rumah sakit di tingkat terstier di Sheba Medical Center, Israel. Pada tahun 2006
hanya dilaporkan empat buah kasus dengan infeksi VRSA dengan pola genetik menyerupai pola genetik
pada Vancomycin Resistant Enterococci (VRE). Belum dapat dijelaskan sepenuhnya mengenai mekanisme
bagaimana terjadinya perubahan genetik dan biokimiawi pada Staphylococcus stafilokokus aureus menjadi
resisten terhadap vankomisin.26 Hingga saat ini belum ditemukan drug of choice pada kasus infeksi VRSA.
Benquan dkkdkk. pada laporan kasus menyebutkan bahwa pemberian kombinasi vankomsin dan
imipenem memberi hasil cukup baik.27 AntibiotikaAntibiotik golongan oxazolindinon mungkin dapat
dipikirkan sebagai salah satu alternatif pengobatan VRSA.
MDR Pseudomonas merupakan bakteri gram negatif yang memproduksi betalaktamase. Berbagai
kepustakaan dan para ahli masih berkesimpulan bahwa kepekaan antibiotikaantibiotik golongan
meropenem dan imipenem masih tinggi terhadap MDR Pseudomonas, sehingga digunakan dalam
pengobatan infeksi nosokomial disebabkan Pseudomonas spp.15
Berikut pedoman pilihan antibiotikaantibiotik empiris berbasis menurut lokasi infeksi yang telah
dipublikasi.
Penilaian hemodinamik awal berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda vital, tekanan vena sentral, dan
produksi urin pada umumnya gagal mendeteksi hipoksia jaringan global yang persisten. Oleh karena itu
diupayakan strategi resusitasi yang lebih definitif menggunakan manipulasi preload dan afterload serta
16
memperbaiki kontraktilitas jantung untuk mencapai keseimbangan antara hantaran oksigen sistemik dan
kebutuhan oksigen.35
Resusitasi dilakukan segera pada pasien renjatan septik. Renjatan septik dalam hal ini
didefinisikan sebagai hipotensi persisten setelah pemberian cairan inisial atau konsentrasi laktat darah ≥
4 mmol/L.36 Peningkatan konsentrasi laktat serum menandakan adanya hipoperfusi jaringan pada pasien
berisiko yang tidak mengalami hipotensi. Berikut adalah target resusitasi inisial selama 6 jam pertama:
Target MAP lebih dipilih dibandingkan target tekanan darah sistolik karena lebih menggambarkan
ambang autoreglukosasi aliran darah ke organ. Mekanisme autoreglukosasi pada organ jantung, ginjal,
dan sistem saraf pusat terganggu pada MAP < 60 mmHg, maka dipilih target MAP ≥ 65 mmHg untuk
menjamin perfusi organ.37 Pada pasien dengan hipertensi kronik, dibutuhkan MAP lebih tinggi untuk
mencapai perfusi organ yang adekuat.38 Pada pasien dalam ventilasi mekanik, gangguan pompa
ventrikel, tekanan abdomen yang meningkat, atau disfungsi diastolik, target CVP direkomendasi lebih
tinggi, yakni 12-15 mmHg.36
Protokol early goal-directed therapy (EGDT) (Ggambar 13) terbukti mampu laksana serta meningkatkan
kesintasan pasien renjatan septik pada suatu studi acak terkontrol. EGDT berhasil menurunkan
mortalitas 28 hari dan secara signifikan memperbaiki luaran bila dilaksanakan sedini mungkin. 39
Mortalitas akibat kolaps kardiovaskular mendadak terbukti lebih kecil. Bila kolaps kardiovaskular dapat
dihindari, kebutuhan vasopresor, ventilasi mekanik, dan pemasangan kateter arteri pulmonal juga akan
berkurang.35 Studi prospektif selama 2 tahun di unit gawat darurat sebuah rumah sakit di Amerika
Serikat terhadap 156 pasien sepsis berat dan renjatan septik, EGDT terbukti menurunkan mortalitas 9%. 40
Pada EGDT dilakukan resusitasi agresif dini ditujukan untuk mencegah terjadi kerusakan sistemik
ireversibel. Pasien menjalani EGDT lebih sedikit memerlukan ventilasi mekanik meskipun terapi cairan
lebih agresif dalam 6 jam pertama. Hal ini dapat dijelaskan dengan penurunan IL-8 – dihubungkan
dengan kejadian acute lung injury (ALI). IL-8 menurun secara signifikan dalam 12-72 jam pada pasien
yang menjalani EGDT.41
Hipoksia global jaringan, selain menjadi stimulus terjadi sindrom respon inflamasi sistemik, juga
berkontribusi menyebabkan aktivasi endotel dan mengganggu keseimbangan homeostasis antara
koaglukosasi, permeabilitas vaskular, dan tonus vaskular. Mekanisme ini mengakibatkan kegagalan
mikrosirkulasi, hipoksia jaringan refrakter, dan disfungsi organ. Ketika terapi awal tidak komprehensif,
progresi akan terjadi dan tata laksana hemodinamik agresif serta terapi lain akan tidak efektif atau malah
membahayakan.35 Goal-directed therapy yang dilaksanakan pada stadium awal dari sepsis berat dan
renjatan septik memberikan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang secara signifikan.
17
Keuntungan ini disebabkan karena identifikasi pasien risiko tinggi gagal kardiovaskular dan intervensi
untuk memulihkan keseimbangan antara hantaran dan kebutuhan oksigen dilakukan lebih dini.35
Dalam 6 jam pertama resusitasi sepsis berat atau renjatan septik, bila target Scv O2 atau SvO2 tidak
tercapai meskipun CVP sudah mencapai target, direkomendasi pemberian transfusi packed red blood cell
(PRC) untuk mencapai hematokrit ≥ 30% dan/ atau infus dobutamin (maksimum 20 µg/kg/menit).36
Meskipun protokol EGDT yang menggunakan tekanan vena sentral dan Scv O2 sebagai parameter
resusitasi telah diterima baik sebagai pedoman protokol resusitasi pasien sepsis dengan gangguan
hemodinamik, tiga penelitian besar yang dipublikasi pada tahun 2014 dan 2015, yakni ProCESS, ARISE
dan ProMISe, menunjukkan tidak terdapat keunggulan pemantauan resusitasi dengan menggunakan
CVP dan ScvO2 pada semua pasien dengan renjatan septik yang telah menerima antibiotik dan resusitasi
cairan dengan adekuat. Dengan didasarkan pada bukti baru tersebut, SSC memperbaharui kelompok
tindakan resusitasi seperti yang dapat dilihat pada lampiran 3.
18
Cukup jelas
CVP = central venous pressure ; EGDT = early goal-directed therapy; MAP = mean arterial
pressure ; ProCESS = Protocol-Based Care for Early Septic Shock
Pada kasus bedah, infeksi dapat terjadi sebelum maupun setelah pembedahan, bahkan dapat pula terjadi
pada pasien yang tidak menjalani atau tidak membutuhkan tindakan pembedahan. Tindakan bedah tepat
waktu, dengan melakukan pengendalian sumber infeksi (source control) merupakan cara terbaik untuk
menekan respons peradangan berlebihan. Pengendalian sumber infeksi atau source control merupakan
semua bentuk upaya yang dilakukan untuk menghilangkan sumber infeksi, mengendalikan kontaminasi
yang sedang berlangsung dan mengembalikan anatomi serta fisiologi seperti kondisi premorbid. Fokus
infeksi yang memerlukan tindakan pengendalian sumber infeksi, antara lain:45-47
Abses intra-abdomen
Iskemia usus
Kolangitis
Pielonefritis
Empiema
Artritis septik
22
Fraktur terbuka
Ketidakpastian diagnostik
Stabilitas fisiologi
Adapun prinsip utama pengendalian sumber infeksi terdiri atas 3 “D”, yaitu:36
1. Drainase abses. Terbentuknya abses akan mengisolasi sumber infeksi dari sirkulasi sistemik,
sekaligus menghambat masuknya sel imun dan antimikroba. Drainase memfasilitasi jalan keluar isi
abses sehingga proses inflamasi berangsur berkurang. Upaya ini harus dapat menjamin aliran isi
abses ke luar dan dianggap berhasil bila terbentuk sinus atau fistula yang terkendali. Tujuan di atas
harus dapat tercapai dengan risiko dan perubahan fisiologi seminimal mungkin.
2. Debridement jaringan non vital atau terinfeksi. Jaringan non vital dan bekuan darah merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Disamping itu, benda asing (implan) meningkatkan
risiko terjadi infeksi. Debridement adalah proses membuang jaringan non vital, termasuk benda asing
(implan) yang dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme.
3. Terapi definitif untuk mengembalikan anatomi dan fungsi. Tujuan utama terapi definitif adalah
mengembalikan fungsi dengan risiko paling minimal. Tindakan ini dilakukan dengan tetap
mengantisipasi kebutuhan rekonstruksi di kemudian hari. Operasi ulang (reoperasi) sedapat
mungkin ditunda sampai terjadi resolusi dari seluruh komplikasi. Upaya ini membutuhkan
persiapan preoperatif komprehensif baik dari sisi pasien maupun tim medis yang menangani
Semua aspek pengendalian sumber infeksi harus dikerjakan dengan pemilihan waktu (timing) yang tepat.
Secara umum, prinsip yang dipakai adalah semakin cepat semakin baik. Namun demikian, urgensi
tindakan ditentukan oleh perubahan kondisi klinis pasien.
Komplikasi pengendalian sumber infeksi seringkali merupakan kombinasi dari kesalahan teknis dan
faktor lokal yang mengganggu proses penyembuhan. Kontrol drainase dan fistulasi serta pemberian
dukungan nutrisi yang baik merupakan kunci sukses dalam upaya ini.
F. Pencegahan infeksi
1. a. Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi digestif
selektif sebaiknya dilakukan dan diinvestigasi sebagai metode
untuk menurunkan insidens VAP (2B).
b. Klorheksidin glukonat oral digunakan sebagai suatu
bentuk dekontaminasi oral untuk menurunkan risiko VAP pada
pasien ICU dengan sepsis berat (2B).
ICU= intensive care unit ; VAP = ventilator-associated pneumonia
Pada fase awal sepsis terjadi fase hipovolemik hipodinamik. Oleh karena itu diperlukan resusitasi cairan
yang adekuat.41 Hipovolemia terjadi karena penambahan volume cairan interstistial karena ekstravasasi
25
cairan, sehingga aliran darah balik vena berkurang. Penggantian volume pada pasien renjatan septik
akan memperbaiki fungsi jantung dan hantaran oksigen secara signifikan, dengan demikian
meningkatkan perfusi jaringan dan menghentikan metabolisme anaerob. 37 Pemberian cairan dilakukan
dengan pemantauan melalui kateter vena sentral. Target CVP ≥ 8 mmHg (≥ 12 mmHg bila dalam ventilasi
mekanik).36
Fluid challenge adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dengan
pemantauan ketat untuk evaluasi respons pasien sekaligus menghindari terjadi edema paru. Berikan fluid
challenge 1000 mL kristaloid atau 300-500 mL koloid dalam waktu 30 menit. Pemberian cairan lebih
banyak dan lebih cepat diperlukan pada hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis. Meskipun penyebab
takikardia pada pasien sepsis multifaktor, penurunan laju nadi setelah resusitasi cairan menandakan
perbaikan volume intravaskular. Fluid challenge ini disarankan untuk tetap diberikan selama didapatkan
perbaikan hemodinamik. Kecepatan pemberian cairan harus diturunkan bila tekanan pengisian jantung
meningkat tanpa diikuti perbaikan hemodinamik. 36 Sebagai pertimbangan, pada fase sepsis lebih berat,
hipotensi akan lebih refrakter terhadap pemberian cairan.48
Derajat defisit volume intravaskular pada pasien sepsis berat bervariasi. Karena venodilatasi dan
kebocoran kapiler yang terus berlangsung, sebagian besar pasien memerlukan resusitasi cairan yang
agresif selama 24 jam pertama. Input akan lebih besar dibandingkan output, sehingga rasio input/ output
tidak bermanfaat untuk menilai keberhasilan resusitasi cairan dalam waktu tersebut. 36
Resusitasi cairan disarankan menggunakan koloid alami atau artifisial atau kristaloid. Karena volume
distribusi lebih besar pada cairan kristaloid, resusitasi dengan kristaloid membutuhkan lebih banyak
cairan dibandingkan koloid, dengan efek samping edema lebih besar. 36 Kristaloid yang banyak
digunakan antara lain NaCl 0,9% dan Ringer laktat. Pemberian 1 L kristaloid isotonik akan mengekspansi
volume intravaskular sebanyak 100-200 mL. Koloid yang banyak digunakan untuk resusitasi inisial
meliputi albumin 5% dan hydroxyethyl starch. Satu liter hydroxyethyl starch meningkatkan volume
intravaskular 700-1000 mL. Dikatakan bahwa mortalitas pada pasien sepsis yang menggunakan koloid
tidak menurun signifikan. Studi SAFE (Saline versus Albumin Fluid Evaluation) menunjukkan bahwa
pemberian albumin aman dan sama efektifnya dengan kristaloid. 49 Satu liter albumin 5% meningkatkan
volume intravaskular 500-1000 mL. Albumin 25% diperlukan untuk mobilisasi volume ekstravaskular.
100 mL albumin 25% menambah volume intravaskular 400-500 mL dalam 1 jam setelah pemberian.
Dalam kasus renjatan septik yang permeabilitas vaskular meningkat, peningkatan volume akan kurang
dari yang diharapkan.37
Komplikasi utama resusitasi cairan adalah edema paru dan edema sistemik. Edema ini dipermudah
dengan peningkatan permeabilitas vaskular pada renjatan septik. Edema jaringan akan mengurangi
tekanan oksigen jaringan karena menjauhnya jarak yang harus ditempuh oksigen untuk berdifusi ke
dalam sel.37
26
Terapi vasopresor diperlukan untuk mempertahankan perfusi pada kondisi hipotensi yang
membahayakan nyawa, meksipun hipovolemia masih belum teratasi. Target penggunaan vasopresor
adalah mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. Di bawah MAP tersebut, mekanisme autoreglukosasi dapat
tidak berfungsi, dan perfusi berbanding lurus dengan tekanan darah. Pasien seperti ini memerlukan
terapi vasopresor untuk mencapai tekanan perfusi minimal dan mempertahankan aliran darah adekuat.
Titrasi norepinefrin hingga mencapai MAP ≥ 65 mmHg terbukti mempertahankan perfusi jaringan.
Kondisi komorbid pasien juga perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan target MAP pasien.
Sebagai contoh, MAP 65 mmHg mungkin terlalu rendah untuk pasien dengan hipertensi berat tidak
terkontrol namun mungkin adekuat untuk pasien usia muda yang sebelumnya normotensi.36
Resusitasi cairan adekuat merupakan aspek penting dalam tata laksana hemodinamik pasien
renjatan septik dan ideal telah tercapai sebelum vasopresor dan inotropik diberikan namun penggunaan
27
vasopresor secara dini pada pasien dengan renjatanberat seringkali diperlukan. 36 Hal ini dikarenakan
keterlambatan pemberian vasopresor juga berkaitan dengan peningkatan mortalitas yang signifikan.48
Pilihan vasopresor inisial adalah norepinefrin dan dopamin diberikan melalui vena sentral.
Epinefrin, fenilefrin, dan vasopressin tidak direkomendasikan sebagai vasopresor inisial pada renjatan
septik. Sampai saat ini belum ada bukti yang mengunggulkan satu jenis katekolamin dibanding lainnya
sebagai vasopresor. Beberapa studi mengunggulkan kombinasi norepinefrin dan dopamin dibanding
epinefrin (akibat efek samping takikardia, penurunan sirkulasi splanknik, dan hiperlaktemia) atau
fenilefrin. Meskipun demikian, tidak ada bukti yang menunjukkan epinefrin menyebabkan luaran lebih
buruk. Dopamin meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama akibat peningkatan volume sekuncup
dan laju jantung. Norepinefrin meningkatkan MAP karena efek vasokonstriksinya, dengan efek minimal
terhadap laju jantung dan lebih minimal lagi terhadap peningkatan volume sekuncup dibandingkan
dopamin. Hal ini disebabkan efek agonis -α- norepinefrin lebih dominan dibandingkan efek agonis β-
nya. Keduanya dapat digunakan sebagai lini pertama untuk mengatasi hipotensi pada sepsis. Namun
kemudian dikatakan bahwa norepinefrin lebih poten dibandingkan dopamin dan lebih efektif mengatasi
hipotensi pada kondisi renjatan septik. Dopamin lebih bermanfaat pada pasien dengan penurunan fungsi
sistolik namun lebih sering menyebabkan takikardia dan lebih aritmogenik. Selain itu dopamin juga
dapat memengaruhi respons endokrin melalui poros hipotalamus-hipofisis dan memiliki efek
imunosupresif.36 Efek positif lain dari norepinefrin adalah meningkatnya aliran darah ke ginjal dan
dengan demikian memperbaiki bersihan kreatinin akibat efek vasokonstriksinya yang lebih dominan di
arteriol eferen dibanding arteriol aferen. Serum laktat juga mengalami penurunan sehingga norepinefrin
dinilai memperbaiki oksigenasi jaringan.50
Epinefrin digunakan sebagai pilihan dalam renjatan septik bila tekanan darah tidak memberi respons
dengan norepinefrin atau dopamin. Epinefrin meningkatkan MAP dengan meningkatkan indeks jantung,
volume sekuncup, dan sedikit meningkatkan resistensi vaskular sistemik serta laju jantung. Hantaran
oksigen diperbaiki namun konsumsi oksigen juga meningkat dengan penggunaan epinefrin ini.
Penggunaannya dibatasi karena efek epinefrin yang menurunkan aliran darah ke lambung dan
meningkatkan konsentrasi laktat.
Secara umum, komplikasi penggunaan vasopresor yang harus diwaspadai adalah takikardia,
takiaritmia, iskemia atau infark miokardium, serta iskemia dan nekrosis ekstremitas. Karena aliran darah
splagnik juga menurun, vasopresor dapat menyebabkan stress ulcer, ileus, malabsorbsi, dan infark usus.37
Kadar vasopresin pada kondisi renjatan septik diketahui lebih rendah dibandingkan kadar
seharusnya dalam kondisi renjatan lain. Berbagai studi menunjukkan bahwa konsentrasi vasopresin
meningkat pada awal renjatan septik namun konsentrasinya turun menjadi normal pada sebagian besar
pasien yang mengalami renjatan septik berkepanjangan dalam waktu 24 hingga 48 jam. Kondisi ini
dikenal sebagai defisiensi vasopresin relatif. Vasopressin dosis rendah dapat efektif meningkatkan
tekanan darah pada pasien yang refrakter terhadap vasopresor lain dan terbukti pula menurunkan
kebutuhan katekolamin. Penggunaan vasopresin dosis rendah, 0,03 unit/menit, diperbolehkan bila
dikombinasi dengan norepinefrin. Selama pemberian vasopresin diperlukan pengukuran curah jantung
untuk memantau kecukupan perfusi. (5) Waktu pemberian terbaik adalah 24 jam setelah kejadian syok.51
28
H. Vasopresor
1. Terapi vasopresor diberikan untuk mencapai target tekanan
rerata arteri 65 mmHg (1C)
2. Pilihan pertama vasopresor adalah norepinefrin (1B)
3. Epinefrin (dapat ditambahkan atau digantikan dengan
norepinefrin) bila dibutuhkan obat tambahan untuk mencapai
tekanan darah adekuat (2B)
4. Vasopresin 0.,03 unit/menit dapat ditambahkan pada
norepinefrin untuk meningkatkan tekanan rerata arteri atau
untuk menurunkan dosis norepinefrin (UG)
5. Vasopresin dosis rendah tidak direkomendasi sebagai obat
vasopresor inisial tunggal untuk mengatasi hipotensi pada
sepsis, dan dosis lebih tinggi dari 0,03 – 0,04 unit / menit
hanya diberikan sebagai terapi pendukung bila pemberian obat
vasopresor lain gagal mencapai tekanan rerata arteri adekuat
(UG)
6. Dopamin dapat menjadi obat alternatif vasopresor selain
norepinefrin hanya untuk pasien tertentu yang memiliki risiko
rendah mengalami takiaritmia dan bradikardia absolut atau
relatif (2C)
7. Fenilefrin tidak direkomendasi sebagai terapi renjatan septik
kecuali pada kondisi:
a. pemberian norepinefrin menimbulkan aritmia yang serius
b. curah jantung tinggi dan tekanan darah tetap rendah
c. sebagai terapi pendukung bila kombinasi obat inotropik
atau vasopresor dan vasopresin dosis rendah tidak berhasil
mencapai target rerata tekanan arteri (1C)
2. Dopamin dosis rendah tidak dipakai untuk perlindungan fungsi
ginjal (1A)
3. Semua pasien yang mendapat vasopresor sebaiknya dipasang
monitor tekanan darah intraarterial apabila kateter tersedia
29
Inotropik yang sering digunakan dalam sepsis adalah isoproterenol, dobutamin, dan epinefrin.
Isoproterenol merupakan agonis β1 dan β2 yang efektif meningkatkan CI. Agen ini juga memiliki efek
vasodilator sehingga berpotensi menurunkan tekanan darah. Selain itu efek takikardianya signifikan
sehingga isoproterenol tidak sering digunakan sebagai inotropik. Epinefrin memberikan efek inotropik
melalui reseptor β terutama pada dosis rendah. 37 Hingga saat ini dobutamin adalah inotropik pilihan
dalam tata laksana sepsis berat.
Dobutamin merupakan agonis α, β1, dan β2. Efek inotropiknya terutama didapatkan melalui stimulasi
β1. Dobutamin diberikan pada pasien dengan disfungsi miokardium ditandai dengan peningkatan
tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah. 36 Dobutamin sebaiknya hanya diberikan
setelah pasien memasuki fase supply-dependent, tentunya dengan mencukupkan preload terlebih dahulu
sebelum pemberian.41
Oksigen yang mencapai nilai normal atau supranormal pada beberapa studi memang memperbaiki
luaran namun pemberian intoropik untuk meningkatkan indeks jantung agar mencapai oksigen
supranormal tidaklah dibenarkan.52 Pasien yang mencapai target supranormal mengalami mortalitas
lebih tinggi dibanding pasien di kelompok dengan pencapaian target fisiologis dalam tata laksana
hemodinamik.53
Dobutamin adalah inotropik pilihan pertama untuk pasien dengan curah jantung rendah namun
pengisian ventrikel kiri adekuat (atau resusitasi cairan yang telah dinilai adekuat) serta MAP adekuat.
Pasien sepsis yang tetap hipotensif setelah resusitasi cairan dapat disertai curah jantung rendah, normal,
atau tinggi. Oleh karena itu, kombinasi inotropik dan vasopresor direkomendasikan bila tidak dilakukan
pengukuran curah jantung. Bila dapat dilakukan pemantauan curah jantung di samping tekanan darah,
vasopresor dapat diberikan untuk mencapai target curah jantung dan MAP. 54 Bila terjadi takikardia
selama pemberian dobutamin, perlu dilakukan evaluasi terhadap vasopresor yang mungkin telah
diberikan bersamaan. Bila takikardia menetap, dapat diberikan digoksin 0,25-0,5 mg untuk mencapai laju
jantung < 100 kali per menit.41
30
Keterbatasan CVP adalah bahwa alat tersebut hanya mengukur tekanan. Karena itu pada saat
terjadi gangguan ventrikel, terjadi diskrepansi antara tekanan-volume di mana terjadi hipovolemia yang
signifikan saat CVP normal atau meningkat. Dengan pemberian inotropik, volume sekuncup dan kerja
miokardi akan membaik, sehingga CVP yang < 8 mmHg memang meyakinkan terjadi hipovolemia dan
perlu penambahan volume.41
I. Terapi inotropik
Pada kondisi sepsis, sitokin menekan respons produksi kortisol yang seharusnya meningkat akibat
stimulasi peningkatan ACTH. Penekanan respons tersebut menyebabkan aktivitas adrenal yang buruk.
Prevalensi insufisiensi adrenal pada renjatan septik ini berkisar 50%. Atas dasar ini maka pemberian
kortikosteroid dinilai dapat bermanfaat pada renjatan septik. 55 Selain itu steroid memperkuat efek
vasoaktif terhadap pembuluh darah, antara lain dengan cara menghambat ambilan katekolamin di
neuromuscular junction serta meningkatkan afinitas terhadap reseptor adrenergik β di otot polos arteri.37
Hidrokortison intravena hanya diberikan pada kasus renjatan septik dewasa yang tidak
beresponrespons terhadap resusitasi cairan dan vasopresor. Penggunaannya juga terbukti
memperpendek waktu pemberian vasopresor. Suatu uji klinis acak terkontrol, multisenter, di Perancis,
pada pasien renjatan septik yang tidak responsif terhadap vasopresor menunjukkan perbaikan renjatan
31
dan penurunan mortalitas setelah diberikan steroid. 36 Namun studi multisenter skala besar di Eropa
(Corticosteroid Therapy of Septic Shock, CORTICUS) terhadap 499 pasien gagal membuktikan penurunan
mortalitas pada pasien renjatan septik yang mendapat terapi steroid. Pada studi tersebut, pemberian
hidrokortison dosis rendah selama 5 hari, diikuti titrasi turun, tidak memperbaiki kesintasan atau
pemulihan renjatan pada pasien renjatan septik, meskipun hidrokortison mempercepat reversibilitas
renjatan. Hasil ini disebabkan peningkatan insidens superinfeksi dan sepsis baru pada kelompok yang
mendapat terapi steroid.56 Demikian pula pada suatu metaanalisis didapatkan tidak adanya penurunan
mortalitas 28 hari yang bermakna pada sepsis berat dan renjatan septik dengan pemberian
kortikosteroid.55
Penggunaan tes stimulasi adrenocorticotropic hormone (ACTH) tidak direkomendasikan hanya untuk
menilai perlunya pemberian hidrokortison pada pasien renjatan septik. Kortikosteroid tidak dianjurkan
untuk tata laksana sepsis yang tidak disertai dengan syok. Namun demikian tidak ada kontraindikasi
pemberiannya pada pasien yang memerlukan steroid dalam dosis pemeliharaan atau stress-dose.36
Sumsum tulang tidak dapat memberikan responrespons yang baik untuk memobilisasi eritrosit pada
pasien dalam kondisi sepsis berat dan renjatan septik yang mengalami hipoksia jaringan global.
ResponRespons sumsum tulang untuk memobilisasi eritrosit tidak dapat diandalkan dalam kondisi
sepsis berat. Selain itu kadar eritropoietin dalam kondisi demikian pun bervariasi. Atas dasar pemikiran
tersebut maka anemia pada kondisi hipoksia jaringan global memerlukan pemberian transfusi eritrosit.41
Hemodilusi pasca-resusitasi juga berperan menyebabkan anemia pada renjatan septik. Pasca-resusitasi
dengan kristaloid atau koloid, hemoglobin dapat turun 1-3 g/dL. Pada sebagian besar orang, anemia ini
dapat ditoleransi karena penurunan viskositas darah akibat resusitasi cairan juga menurunkan afterload
dan meningkatkan aliran darah balik, sehingga meningkatkan volume sekuncup dan curah jantung.
Penurunan viskositas darah ini juga mengkompensasi gangguan reologi pada pasien renjatan septik,
dengan demikian memperbaiki aliran mikrovaskular.37
Ketika masalah hipoperfusi sudah teratasi dan bila tidak didapatkan kondisi pemberat seperti iskemia
miokardium, hipoksemia berat, perdarahan akut, penyakit jantung sianotik, atau asidosis laktat, transfusi
sel darah merah diberikan bila hemoglobin < 7 g/dL untuk mencapai nilai hemoglobin 7-9 g/dL. Target ini
berbeda dengan saat resusitasi awal yang menargetkan transfusi PRC sampai mencapai hematokrit ≥
30%. Target lebih tinggi pada sepsis diperlukan bila didapatkan instabilitas akut, penyakit kardiovaskular
(penyakit ateri koroner, CO rendah), penyakit paru (hipoksemia arteri berat), dan iskemia organ
(desaturasi vena campuran berat, peningkatan laktat).57 Untuk mencegah terjadi efek samping transfusi,
dianjurkan pemeriksaan ulang hemoglobin setiap setelah pemberian 1 unit sel darah merah. Eritropoietin
tidak diindikasikan untuk mengatasi anemia terkait sepsis. Eritropoietin dapat digunakan bila ada
indikasi lain, misalkan pada penyakit ginjal kronik.
Fresh frozen plasma (FFP) tidak diindikasikan untuk memperbaiki kelainan hemostasis laboratorik,
kecuali bila didapatkan perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Transfusi FFP pada pasien tanpa
manifestasi perdarahan dengan waktu protrombin sedikit meningkat umumnya gagal memperbaiki
waktu protrombin tersebut.
33
Terapi antitrombin tidak direkomendasikan pada pasien sepsis berat dan renjatan septik. Suatu
uji klinik fase III dengan antitrombin dosis tinggi menunjukkan tidak ada penurunan mortalitas 28 hari
karena berbagai sebab pada pasien dewasa dengan sepsis berat dan renjatan septik.
Transfusi trombosit diberikan bila didapatkan trombosit ≤ 5.000/mm3, dengan atau tanpa
perdarahan; trombosit 5.000-30.000/mm3, dengan risiko perdarahan signifikan; trombosit ≥ 50.000/mm3,
bila akan dilakukan pembedahan atau prosedur invasif. Transfusi tersebut diberikan dengan
mempertimbangkan etiologi trombositopenia, adanya disfungsi trombosit, risiko perdarahan, serta
adanya komorbid.37
Cukup jelas
M. Selenium
1. Selenium tidak diberikan sebagai terapi sepsis berat (2C)
Cukup jelas
N. Pemberian rhAPC
Cukup jelas
rhAPC = recombinant activated protein C
8.6.
8.7. 3.5.6 Ventilasi Mekanik pada Sepsis dengan Acute Respiratory Distress Syndrome
35
Berdasarkan American-European Consensus Criteria Definition (AECCD) 1994 dan Berlin Definition 2010,
acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) dibagi menjadi ARDS ringan, sedang
dan berat berdasarkan PaO2/FiO2 ≤ 300, ≤ 200 dan ≤ 100 mmHg.58,59 Hasil beberapa meta-analisis
menujukkan dengan membatasi tekanan dan volume tidal ventilasi mekanik dapat menurunkan
mortalitas pasien sepsis dengan ARDS. Penerapan strategi protektif paru (lung protective strategy) adalah
pengaturan tidal volume berdasarkan kondisi individual pasien dengan menyesuaikan tekanan plateu
(plateau pressure), tekanan positif akhir ekspirasi (positive end-expiratory pressure), penyesuaian dengan
tekanan kompartemen torak dan abdomen, dan kekuatan usaha nafasnapas pasien. Tidal volume tinggi
disertai tekanan plateu tinggi harus dihindari pada pasien sepsis dengan ARDS. Penerapan tidal volume
rendah 6 mlmL/kgBB bahkan bisa sampai 4 mlmL/kgBB untuk mempertahankan tekanan plateu ≤ 30 cm
H2O, sehingga dapat menurunkan injuri paru dan menurunkan mortalitas. 60 Efek dari tidal volume
rendah adalah hiperkapnia (permissive hypercapnia) pada pasien sepsis dengan ARDS selama tidak ada
kontraindikasi. Natrium bikarbonat atau tromethamine (THAM) dapat diberikan untuk kondisi pasien
yang tidak dapat mentoleransi asidosis berat yang terjadi. 61 Teknik ventilasi kontrol tekanan atau volume
dapat dipilih, dan tidak ada satupun teknik ventilasi yang menunjukkan keunggulan lukosan
dibandingkan dengan yang lain.
Pemberian tekanan positif akhir ekspirasi (positive end-expiratory pressure, PEEP) untuk
mempertahankan alveoulus paru tetap terbuka, tidak kolaps sehingga memperbaiki oksigenisasi dan
mencegah trauma atelektasis. Pasien dengan ARDS berat membutuhkan PEEP lebih tinggi dibandingkan
dengan yang sedang atau ringan. Pemberian PEEP dilakukan secara titrasi dengan penyesuaian tekanan
intratorakal dan paru, bersama dengan titrasi FiO2, selama proses lung recruitment untuk mencapai
oksigenasi adekuat, mencegah alveolus kolaps maupun distensi yang berlebihan. 62,63
Strategi untuk mengatasi hipoksemia berat pada pasien sepsis ARDS adalah dengan melakukan
tindakan lung recruitment, yaitu dengan melakukan manuver memberikan tekanan positif jalan
nafasnapas (continuous positive airway pressure, CPAP) yang tinggi dalam waktu tertentu maupun dengan
kombinasi PEEP yang tinggi, sambil memantau tekanan darah dan parameter oksigenasi selama
melakukan manuver tersebut. Posisi tengkurap (prone position) juga dinilai bias membantu memperbaiki
oksigenasi, dan hanya terbukti berhasil secara bermakna pada kondisi ARDS berat. Posisi tersebut
memiliki risiko berat seperti tercabutnya pipa endotrakeal, atau pipa jalan nafasnapas dan akses
intravena lainnya, sehingga memerlukan tehnik teknik dan pemantauan ketat dan intensif. 64,65 Tekhnik
ventilasi mekanik lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi hipoksemia refrakter pada pasein ARDS
berat adalah high-frequency oscillatory ventilation (HFOV), airway pressure release ventilation (APRV) dan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) namun membutuhkan tekhnik khusus dan dilakukan di unit
atau rumah sakit yang memiliki teknologi dan mampu melakukan tekhnik tersebut.
Posisi pasien selama memakai ventilasi mekanik ada semi-rekumben dengan elevasi kepala
sekitar 30-45 derajat, terutama saat pemberian nutrisi enteral. Posisi tersebut dilakukan untuk mencegah
aspirasi pneumonia akibat pemberian nutrisi enteral. Pasien dapat diposisikan terlentang lurus saat
menjalani prosedur, pengukuran parameter hemodinamik atau kondisi hemodinamik yang tidak stabil.
Tindakan intubasi memiliki risiko meningkatkan kejadian pneumonia dan memerlukan sedasi lebih
banyak selama memakai ventilasi mekanik. Ventilasi non-invasif (noninvasive mask ventilation – NIV) dapat
36
mengurangi risiko tersebut namun hanya sedikit pasien sepsis dengan hipoksemia yang dapat ditangani
dengan teknik tersebut. NIV hanya dapat dilakukan pada pasien sepsis dengan ARDS yang memberi
responrespons baik terhadap bantuan tekanan positif dan PEEP rendah, hemodinamik stabil, tingkat
kesadaran baik dan kooperatif, dapat mempertahankan jalan nafasnapas dan mengekskresi mukus jalan
nafasnapas dengan baik, dan kondisi proses pemulihan cepat.66 Upaya untuk melatih pasien
bernafasnapas spontan setiap hari dengan bantuan tekanan positif rendah, CPAP, atau nafasnapas
spontan dengan T-piece dapat mempercepat proses penyapihan dari alat ventilasi mekanik. Tindakan
penyapihan ini juga disertai dengan menghentikan sedasi dalam upaya menilai kesadaran dan
membangunkan pasien setiap hari.67 Pasien sepsis dengan ARDS sangat rentan terhadap edema paru
karena proses patofisiologi ARDS yang menyebabkan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler paru,
peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik. Strategi pemberian cairan secara
konservatif bertujuan untuk membatasi pemberian cairan, mencegah pemberian cairan berlebihan,
peningkatan berat badan berlebihan akibat cairan, cara ini terbukti dapat memperbaiki proses oksigenasi
terutama di organ paru. Penilaian dilakukan dengan pemantauan status volume cairan dengan
menggunakan kateter vena sentral atau kateter arteri pulmonal (pulmonary capillary wedge pressure,
PCWP), terbukti dapat menurunkan lama penggunaan ventilasi mekanik, tanpa menambah angka
kejadian gangguan fungsi ginjal dan menurunkan mortalitas. Penggunaan kateter arteri pulmonal
dianjurkan tidak rutin dilakukan karena memiliki komplikasi cukup berat dan tidak terbukti
menurunkan mortalitas dalam pemakaiannya. Cara ini dilakukan pada pasien sepsis ARDS dengan
kondisi hemodinamik yang sudah stabil dan tidak terdapat tanda-tanda syok. 68 Pemberian agonis beta 2
hanya untuk indikasi bronkospasme dan hiperkalemia, dan dianjurkan tidak rutin diberikan karena
memiliki efek samping takikardia, meningkatkan lama pemakaian ventilasi mekanik dan meningkatkan
mortalitas pada pasien sepsis ARDS.69
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan membatasi penggunaan sedasi pada pasien kritis,
durasi ventilasi mekanik, lama rawat di ICU dan rumah sakit dapat dikurangi. Penggunaan protokol
sedasi adalah salah satu cara untuk membatasi penggunaan sedasi. Pasien sepsis yang hanya mendapat
bolus intravena morfin menunjukkan penggunaan ventilasi mekanik, lama rawat di ICU dan rumah sakit
lebih singkat dibandingkan pasien yang menerima sedasi (propofol dan midazolam) di samping morfin.
Namun demikian, delirium dan agitasi lebih sering terdeteksi pada pasien yang hanya mendapat morfin
bolus tanpa sedasi lain. Meskipun tidak diteliti khusus pada pasien sepsis, pemberian sedasi secara
intermiten, interupsi pemberian sedasi setiap hari untuk menilai kesadaran dan perkembangan
penyapihan dari mesin ventilasi mekanik, pemberian sedasi secara titrasi untuk mencapai target tingkat
sedasi yang dibutuhkan sesuai kondisi pasien, dapat mengurangi lama penggunaan dan mempercepat
penyapihan dari ventilasi mekanik.70,71
Pasien yang mendapat obat pelumpuh otot harus dinilai secara individual mengenai penghentian sedasi
karena efek obat pelumpuh otot harus dihilangkan terlebih dahulu. Penggunaan sedasi secara intermiten
versus kontinu pada pasien sakit kritis menunjukkan bahwa pasien yang terus menerus mendapat sedasi
lebih lama mengunakan ventilasi mekanik dan lama rawat ICU dan rumah sakit. Penghentian sedasi dan
membangunkan pasien untuk menilai kesadaran setiap hari dan menilai kemampuan penyapihan
dengan melatih nafasnapas spontan menurunkan durasi ventilasi mekanik, lama rawat ICU, dan
mortalitas. Selain itu, meskipun iskemia miokard umum terjadi pada pasien kritis yang menggunakan
ventilasi mekanik, titrasi sedasi dan upaya membangunkan pasien harian tidak terkait dengan
peningkatan terjadinya iskemia miokard. Prinsipnya pemberian dan titrasi sedasi harus bertujuan untuk
mencapai pemulihan dan rehabilitasi fisik pasien sedini mungkin.72,73
39
Pengunaan obat pelumpuh otot pada pasien kritis, khususnya pasien sepsis tidak terbukti dapat
mengurangi mortalitas atau morbiditas utama. Selain itu, belum ada penelitian dipublikasikan secara
khusus membahas penggunaan obat pelumpuh otot pada pasien sepsis. Indikasi paling umum untuk
penggunaan obat pelumpuh otot di ICU adalah untuk memfasilitasi ventilasi mekanis. Pada kondisi dan
indikasi tepat, penggunaan obat tersebut dapat menurunkan tahanan dada, mencegah upaya napas
pasien yang tidak sinkron dengan ventilasi mekanik, dan mengurangi tekanan jalan nafasnapas.
Melumpuhkan otot pernafasnapasan dapat mengurangi konsumsi oksigen dengan mengurangi kerja
pernapasan dan aliran darah otot pernafasnapasan. Namun pasien dengan sepsis berat menunjukkan
bahwa pengiriman oksigen, konsumsi oksigen, dan pH intramukosa lambung tidak membaik selama
pemakaian obat pelumpuh otot. Pengunaan obat pelumpuh otot cisatrakurium secara kontinu pada fase
awal ARDS berat dengan PaO 2 / FiO2 < 150 mm Hg menunjukkan penurunan morbiditas, mortalitas,
disfungsi organ, tanpa meningkatkan risiko di terjadi polineuropati yang menimbulkan kelemahan otot
pasien kritis di ICU. Penggunaan cisatrakurium dosis tinggi tanpa pemantauan derajat kelumpuhan otot
train-of-four, tidak jelas apakah hasil yang sama akan terjadi pada pasien sepsis.74-76
Terdapat hubungan antara penggunaan obat pelumpuh otot dengan miopati dan neuropati pada pasien
kritis tetapi mekanisme yang berkontribusi terhadap miopati dan neuropati pada pasien tersebut tidak
diketahui. Meskipun belum ada penelitian khusus untuk pasien sepsis, berdasarkan data penelitian yang
ada dianjurkan pemakaian obat pelumpuh otot hanya diberikan sesuai indikasi bila pemberian sedasi
dan analgesi tidak mencukupi, tidak aman, dan merupakan kontraindikasi. Pasien ICU yang
membutuhkan pelumpuh otot dan mendapatkan vekuronium dengan pemantauan derajat kelumpuhan
otot train-of-four dan penilaian klinis, menunjukkan stimulasi saraf perifer lebih cepat dan baik pada
pasien yang kurang mendapat obat pelumpuh otot, pemulihan saraf otot dan upaya ventilasi spontan
lebih cepat. Manfaat dilakukannya pemantauan derajat kelumpuhan otot train-of-four neuromuskuler,
menghasilkan pemulihan fungsi neuromuskuler lebih cepat dan waktu intubasi lebih pendek. Terdapat
potensi penghematan biaya (dikurangi dosis total obat pelumpuh otot dan waktu intubasi lebih pendek),
meskipun hal ini belum diteliti secara khusus. 77-79
Beberapa penelitian dan metaanalisis pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif menunjukkan
terapi insulin intensif tidak memengaruhi mortalitas secara bermakna. Penelitian NICE-SUGAR
menunjukkan terapi insulin intensif meningkatkan mortalitas. 80 Semua penelitian menunjukkan insidens
hipoglikemia lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan terapi insulin intensif (6-29%). 81-87 Batasan
untuk memulai protokol insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah > 180 mg/dL dengan target
penurunan glukosa darah < 180 mg/dL merujuk pada hasil penelitian NICE-SUGAR. 80 Beberapa
organisasi kesehatan menyarankan target 140-180 mg/dL. 88-91 Terapi insulin harus diberikan dengan
menghindari hiperglikemia, hipoglikemia dan fluktuasi kadar glukosa yang terlalu tajam.
3.
4. Hasil kadar glukosa darah yang diambil dari pembuluh darah
kapiler harus dinilai secara hati-hati karena hasilnya mungkin
tidak akurat menggambarkan nilai kadar glukosa darah arteri
atau plasma, terutama pada pasien dengan gangguan perfusi.
(UG)
Gangguan ginjal akut (acute kidney injury, AKI) sering terjadi pada pasien kritis kejadian 30 sampai 60%
seperti klasifikasi RIFLE (risiko, cedera, gagal, penurunan fungsi ginjal, stadium akhir gagal ginjal) dan
merupakan faktor risiko independen peningkatan morbiditas dan mortalitas. Sepsis adalah penyebab
utama AKI, berkontribusi sebesar 30 sampai 50% kasus AKI pada pasien kritis. Hampir 30% pasien sepsis
yang mengalami AKI memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy, RRT). Angka ini jauh
lebih tinggi dibandingkan penyebab lain AKI. Angka kematian pasien sakit kritis dengan AKI akibat
sepsis juga lebih tinggi dibandingkan pasien dengan AKI yang bukan disebabkan sepsis. 92-100
Terapi pengganti ginjal dapat dikerjakan secara intermiten dan kontinu. Meskipun beberapa penelitian
melaporkan kecenderungan tidak signifikan terhadap peningkatan kelangsungan hidup menggunakan
metode terapi pengganti ginjal kontinu, dua meta-analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan
42
signifikan dalam hal kematian di rumah sakit antara pasien yang mendapat terapi pengganti ginjal
kontinu dan intermiten.
Dua penelitian prospektif menunjukkan toleransi dan kestabilan hemodinamik lebih baik dengan terapi
pengganti ginjal kontinu, namun tidak terdapat perbedaan signifikan dalam perbaikan perfusi jaringan
dan penurunan angka mortalitas. Dosis penggantian cairan hemofiltrasi ginjal untuk metode terapi
pengganti ginjal kontinu adalah 20-15-20 mL/kg/jam, namun dasar yang digunakan untuk rekomendasi
tersebut adalah penelitian yang tidak secara khusus dilakukan pada pasien sepsis. 101-114
Waktu inisiasi terapi pengganti ginjal pada pasien sepsis dengan AKI juga mulai dipikirkan sebagai
faktor yang berpengaruh penting dalam menurunkan mortalitas, namun belum ada bukti kuat untuk
merekomendasi waktu inisasi yang tepat. Beberapa penelitian sulit membuktikan kapan waktu yang
tepat untuk inisiasi terapi pengganti ginjal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kondisi
hemodinamik, dosis dan modalitas RRT yang diterima pasien dalam penelitian tersebut. Alasan lain
penanda gangguan fungsi ginjal seperti kadar kreatinin darah, ureum darah dan produksi urin yang
tidak cukup sensitif untuk deteksi dini AKI. Selain itu, berbagai faktor prognostik lain seperti kestabilan
hemodinamik, derajat kesadaran Glasgow Coma Scale yang rendah, kadar laktat yang tinggi, fungsi
jantung dan perfusi jaringan yang buruk juga memengaruhi risiko mortalitas pada pasien sepsis dengan
AKI yang mendapat terapi pengganti ginjal.115-116
Cukup jelas
T. Profilaksis trombosis vena dalam
Cukup jelas
LMWH = low molecular weight heparin; SLED = sustained low-efficiency dialysis; SLEDD =
sustained low-efficiency daily dialysis
Pemberian nutrisi enteral secara dini pada pasien pasca-operasi dapat memberikan keuntungan dalam
memperbaiki integritas mukosa usus, mencegah translokasi bakteri dan menurunkan disfungsi organ.
Tidak banyak penelitian yang mendukung hal tersebut pada pasien sepsis, didapatkan bukti bahwa
pemberian nutrisi enteral sedini mungkin dapat menurunkan komplikasi infeksi, waktu penggunaan
ventilasi mekanik lebih pendek, dan lama rawat di unit perawatan intensif.118
Target asupan kalori yang dianjurkan adalah 60-70% dari target kalori penuh atau maksimal 500
kalori pada minggu pertama. Pemberian dini asupan tinggi kalori secara enteral tidak menunjukkan
keunggulan bermakna, memiliki efek diare, peningkatan residu lambung, risiko pneumonia aspirasi dan
mortalitas yang lebih tinggi..119,120 Nutrisi parenteral diberikan bila tambahan asupan energi diperlukan
dan nutrisi enteral hanya ditoleransi pasien dalam jumlah terbatas dalam jangka waktu lama. Pemberian
nutrisi parenteral memiliki risiko infeksi pembuluh darah. Pemberian nutrisi parenteral total juga
sebaiknya dihindari karena meningkatkan risiko infeksi dan mortalitas, kecuali pada kondisi dimana
nutrisi enteral menjadi kontraindikasi..121,122
Perbaikan fungsi sistem imun dapat dibantu melalui asupan nutrisi, namun pemberian
imunonutrisi seperti arginin, glutamin dan asam lemak omega 3 tidak dapat menurunkan mortalitas.
45
Produksi arginin menurun pada kondisi sepsis, dapat menyebabkan penurunan sintesis nitrit oksid,
gangguan regulasi mikrosirkulasi dan peningkatan produksi superoksid dan peroksinitrit yang bersifat
merusak. Pemberian arginin eksogen dapat menimbulkan efek samping vasodilatasi dan hipotensi yang
tidak diinginkan. Sehingga keuntungan pemberian arginin tidak signifikan dibanding risiko efek
samping yang ditimbulkan.123,124
Kadar glutamin menurun pada kondisi kritis, sehingga diperkirakan asupan tambahan glutamin
eksogen dapat memperbaiki permeabilitas dan atrofi mukosa usus sehingga dapat mencegah translokasi
bakteri lebih lanjut. Pemberian asupan glutamin juga bertujuan untuk memperbaiki fungsi selular,
menurunkan produksi sitokin proinflamasi, meningkatkan kapasitas glutation dan kemampuan
antioksidasi. Meta-analisis menunjukkan glutamin dapat menurunkan komplikasi infeksi dan
mempercepat pemulihan disfungsi organ, namun tidak menurunkan mortalitas bermakna. Sebagian
besar penelitian juga menggunakan glutamin parenteral bukan enteral. Sebuah penelitian klinis besar
pada pasien kritis termasuk pasien sepsis menunjukan pemberian glutamin enteral dan parenteral pada
pasien kritis meningkatkan mortalitas, terutama yang disertai gangguan ginjal dan hati. Pemberian
glutamin dianggap tidak memberikan keuntungan dalam menurunkan mortalitas pasien sepsis. 125,126
Asam lemak omega 3 (eicosapentaenoic acid, EPA; gamma-linoleic acid, GLA) adalah prekursor
pembentukan prostaglandin, leukotrien dan tromboksan. Satu penelitian menunjukkan penurunan
angka mortalitas pada pasien sepsis yang mendapat asam lemak omega 3, namun penelitian multisenter
berikutnya menunjukkan tidak ada perbaikan bermakna dalam segi komplikasi maupun mortalitas.
Belum ada data yang meyakinkan untuk mendukung penggunaan imunonutrisi untuk pasien sepsis. 127
V. Nutrisi
1. Pemberian makanan dilakukan secara oral atau enteral apabila
toleransi baik dalam waktu 48 jam setelah diagnosis sepsis
berat atau renjatan septik ditegakkan. Sebaiknya pasien tidak
dipuasakan total atau hanya diberikan glukosa intravena (2C)
2. Hindari keharusan memberikan nutrisi dengan target kalori
penuh dalam 1 minggu pertama. Pemberian nutrisi diawali
dengan dosis kecil (500 kKalori per hari) yang dinaikkan
bertahap sesuai kebutuhan kalori penuh yang dapat ditoleransi
(2B)
3. Pemberian glukosa intravena dan nutrisi enteral lebih
diutamakan dari nutrisi parenteral total atau nutrisi enteral
sebagian ditambah nutrisi parenteral dalam 7 hari pertama
setelah diagnosis sepsis berat atau renjatan septik ditegakkan
(2B)
4. Berikan nutrisi tanpa suplementasi imunonutrisi spesifik pada
pasien sepsis berat (2C)
46
Dewasa ini, berkembang berbagai penanda biologis (biomarker) untuk memprediksi luaran pasien sepsis
berat. Penanda biologis yang banyak diteliti dan terbukti mampu memprediksi luaran pasien sepsis berat
adalah bersihan laktat.128 Selain penanda biologis, terdapat beberapa sistem skor yang dapat digunakan
untuk memprediksi mortalitas pasien ICU, namun tidak semua skor tersebut digunakan untuk pasien
sepsis. Beberapa sistem skor yang sering digunakan antara lain acute physiology and chronic health
evaluation (APACHE) II, simplified acute physiology score (SAPS), sequential organ failure assessment (SOFA),
modified sequential organ failure assessment (MSOFA) (Tabel 109).129 Untuk memprediksi mortalitas, sistem
skor berguna untuk menilai keadaan umum pasien termasuk disfungsi organ yang terjadi secara
obyjektif.
APACHE II dikembangkan oleh Klauss dkkdkk. berdasarkan data pasien ICU pada 13 rumah
sakit di Amerika tahun 1979-1981.130 Sampel yang masuk penelitian diagnosisnya bervariasi baik medis
maupun bedah. Sepsis didapatkan hanya pada 180 dari 5030 sampel (3,5%). APACHE II menilai 12
variabel fisiologi disertai dengan penilaian usia dan penyakit kronik. Skor tersebut telah digunakan pada
berbagai macam kondisi seperti pankreatitis, trauma, infark miokard akut, pasca-transplantasi hati, dan
lain-lain dengan hasil bervariasi.131 Pada pasien sepsis karena pneumonia komunitas, skor APACHE II
memiliki area di bawah kurva area under receiver operating characteristic curve (AUC) 0,64, sedang pada
sepsis karena infeksi intraabdomen didapatkan AUC 0,74. 132,133 Pada penelitian lain APACHE II gagal
memprediksi kesintasan jangka panjang (> 3 bulan) pasien dengan sepsis gram Gram negatif, dan
diketahui penyakit dasar pasien merupakan prediktor lebih baik.134
Ventilasi mekanis
Laju napas
Variabel APACHE II SAPS II SOFA MSOFA
pH arteri
HCO3-
Vasopresor/inotrop
ik
Laju nadi
Tekanan darah
Hematokrit
Kreatinin
Produksi urin
Urea
Bilirubin
Ikterus klinis
Trombosit
Kalium
Natrium
Glasgow coma
scale
ICU = Intensive care unit ; APACHE = Acute physiology and chronic health evaluation ; SAPS
= Simplified acute physiology score ; SOFA = Sequential organ failure assessment; MSOFA =
Modified sequential organ failure assessment
SOFA dikembangkan berdasarkan data 1.449 pasien ICU di 38 negara Eropa ditambah Australia
dan Kanada pada bulan Mei tahun 1995. Semua pasien berusia > 12 tahun dengan diagnosis apapun
dimasukkan dalam studi tersebut, terkecuali pasien pasca-pembedahan tanpa komplikasi yang keluar
dari ICU < 48 jam. SOFA pada awalnya dikembangkan hanya untuk menilai morbiditas dan disfungsi
organ secara obyjektif, pada perkembangannya dapat juga digunakan untuk memprediksi mortalitas.
SOFA menilai derajat disfungsi sistem respirasi, koaglukosasi, ginjal, hati, kardiovaskular, dan sistem
saraf pusat dengan total 6 variabel.135 Pada sebuah systematic review skor SOFA inisial memiliki AUC 0,61
– 0,87 dalam memprediksi mortalitas populasi ICU secara umum. Kemampuan diskriminasi tersebut
tidak berbeda jauh dengan skor SOFA rerata, maksimum, atau delta SOFA, maupun skor lain seperti
APACHE II dan SAPS II.136 Pada penelitian pasien sepsis di 206 ICU di Perancis, skor SOFA berkaitan erat
dengan mortalitas. Setiap peningkatan 1 poin meningkatkan rasio odds mortalitas 1,16.137
Untuk memudahkan penggunaan SOFA pada kondisi sumber daya terbatas, Grissom dkkdkk.
mengembangkan sistem MSOFA.137 MSOFA mengurangi kebutuhan penggunaan parameter
48
laboratorium. PaO2 digantikan dengan saturasi O2, bilirubin digantikan dengan ikterus secara klinis, dan
nilai trombosit dihilangkan. Pada penelitian tersebut kemampuan diskriminasi mortalitas 30 hari MSOFA
inisial (AUC 0,77) tidak berbeda bermakna dengan SOFA (AUC 0,78). Pada penelitian di ICU RS Hasan
Sadikin Bandung, MSOFA inisial (AUC 0,75) memiliki kemampuan diskriminasi hampir sama dengan
SOFA (AUC 0,73) dan lebih baik daripada APACHE II (AUC 0,69). MSOFA inisial > 4,5 dikaitkan dengan
risiko relatif mortalitas 2,05.131
SAPS II dikembangkan berdasarkan data dari 137 ICU di Amerika dan Eropa. Seperti sistem skor
lainnya, pengembangan SAPS II tidak difokuskan pada pasien sepsis saja. SAPS II terdiri atas 17 variabel
dan memiliki kemampuan diskriminasi yang baik pada validasi pada populasi ICU umum (AUC 0,86). 138
Pada penelitian multisenter di Eropa diketahui pasien sepsis memiliki rerata skor SAPS II lebih tinggi
dibanding yang tidak sepsis. Juga didapatkan tiap kenaikan 1 poin SAPS II menaikkan rasio odds
mortalitas 1,1.6
Telah diketahui bahwa imunosupresi berperan penting pada terjadinya mortalitas fase lanjut.
Pasien yang sebelum mengalami sepsis sudah mengalami imunosupresi akibat berbagai faktor mungkin
akan memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien imunokompeten yang mengalami sepsis.
Hal tersebut diperlihatkan oleh Damas dkkdkk. yang menunjukkan beratnya kondisi klinis sebelum
sepsis merupakan faktor lebih berperan terhadap disfungsi organ dan mortalitas dibanding infeksi itu
sendiri.139 Pasien yang sebelumnya memiliki keadaan klinis lebih buruk dan komorbiditas lebih banyak
juga lebih rentan terhadap mortalitas pasien sepsis. Pentingnya faktor predisposisi juga terlihat dalam
pengembangan sistem skor SAPS III. Pada pasien sepsis, faktor predisposisi menjelaskan 44,8% kekuatan
prediksi mortalitas SAPS III, diikuti faktor respons tubuh / disfungsi organ (35,3%) lalu faktor infeksi
(19,8%).140
Cukup jelas
49
Daftar Pustaka
1. Dellinger RP, Levy M, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, dkk. Surviving sepsis campaign: international
guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med. 2008;36:296–327.
2. Martin GS, Mannino D, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the united states from 1979 through
2000. N Engl J Med. 2003;348:1546-1554.
3. Buisson CB. Impact of sepsis in public health. Dalam: Dellinger P, Carlet J, editor. Sepsis handbook. Mary
L’Etoile: Biomerieux Education; 2007. h. 8-17.
4. Vincent JL. Sepsis : The magnitude of the problem. Dalam: Vincent JL, Carlet J, Opal S, editor. The sepsis text.
Boston: Kluwer Academic Publishers; 2002. h. 1-9.
5. Lagu T, Rothberg MB, Shieh MS, Pekow PS, Steingrub JS, Lindenauer PK. Hospitalizations, costs, and outcomes
of severe sepsis in the united states 2003 to 2007. Crit Care Med. 2012;40:754–761.
6. Vincent JL, Sakr Y, Sprung CL, Ranieri VM, Reinhart K, Gerlach H. Sepsis in european intensive care units:
results of the SOAP study. Crit Care Med. 2006;34:344–353.
7.
8. Phua J, Koh Y, Du B, Tang YQ, Divatia JV, Tan CC, dkk. Management of severe sepsis in patients admitted to
Asian intensive care units: prospective cohort study. BMJ. 2011;342:d3245.
9. Macias WL, Nelson DR. Severe protein C deficiency predicts early death in severe sepsis. Crit Care Med.
2004;32:S223-8.
10. Hack CE, Thijs L. Role of inflammatory mediators in sepsis. Dalam: Dhainaut JF, Thijs L, Park G, editor. Septic
shock. London: WB Saunders Co; 2000. h. 41-127.
11. Cavailon JM, Conquy MA. Involvement of pro and anti-inflammatory cytokine in sepsis. In : Vincent JL, Carlet
J, Opal S, editors. The sepsis text. Boston: Kluwer Academic Publishers; 2002. h. 159-195.
12. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med. 2003;348(2):138-150.
13. Webb S. The role of mediators in sepsis resolution. Adv in Sepsis. 2002;2:8-13.
14. Blackwell TS, Christman JW. Sepsis and cytokine: current status. Br J Anesth. 1996;77:110-117.
15. Chen LF, Chopra T, Kaye KS. Pathogen resistant to antibacterial agents. Infect Dis Clin N Am. 1009;12:817-845.
16. Levison ME, Levison JH. Pharmakokinetics and pharmacodynamics of antibacterial agents. Infect Dis Clin N
Am. 1009;12:791-815.
17. Gold HS, Moellering RC. Antimicrobial drug resistance. N Engl J Med. 1996;335:1445-1453.
18. Fridkin SK, Hageman JC, Morison M. Methicillin resistant Staphylococcus aureus in three communities. N Engl J
Med. 2005;352:1436-1444.
19. Moran JG, Krishnadasan A, Gorwitz RJ, Fosheim GE. Methicllin resistant Staphylococcus aureus infections among
patients in the emergency departement. N Engl J Med. 2006;355:666-673.
20. Baiio JR, Navarro MD. Epidemiology and clinical features of infections caused by extended spectrum beta-
lactamase producing Eschericia coli in nonhospitalized patients. J Clin Microbiol. 2004;42:1089-1094.
21. Gold HS, Moellering RC. Antimicrobial drug resistance. N Engl J Med. 1996;335:1445-1453.
22. Gillespie SH. Management of multiple drugs resistant infection. N Eng J Med. 2004;351:316.
23. Miragaia M, Couto I, Pereira FFS, Kristinsson GK. Molecular characterization of methicillin resistant
Staphylococcus epidermidis clones: Evidence of geographic dissemination. J Clin Microbiol. 2002;40:430-438.
24. Smith TL, Pearson ML. Emergence of vancomycin resistant Staphylococcus aureus. New Eng J Med. 1999;340:493-
501.
50
51
25. Nailor MD, Sobel JD. Antibiotics for Gram-positive bacterial infections: vancomycin, teicoplanin, quinupristin/
dalfopristin, oxazolidinones, daptomycin, dalbavancin, televancin. Infect Dis Clin N Am. 2009;23:965-982.
26. Crawford SE, Boyle-Vavra S, Daum RS. Community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus.
Dalam: Scheld WM, Hooper DC, Hughes JM, editor. Emerging infections 7. Washington DC: ASM Press; 2007.
h. 153-172.
27. Cohen AL, Gorwitz R, Jernigan DB. Emergence of MRSA in the community. Dalam: Fong IW, Drlica K, editor.
Antimicrobial resistance and implications for the twenty-first century. London: Springer; 2008. h. 47-68.
28. Maor Y, Rahav G. Prevalence and characteristics heteroresistant vancomycin resistant Staphylococcus aureus
bacteremia in a tertiary care center . J Clin Microbiol. 2007;5:1511-1514.
29. Benquan Y, Yingchun T, Kouxing Z. Staphylococcus heterogenously resistant to vancomycin in china and
antimicrobial activities of imipenem and vancomycin in combination against it. J Clin Microbiol. 2002;40:1109-
1112.
30. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, dkk. Infectious diseases society of
america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults. Clin Infect DisCID. 2007;44:S27-72.
31. American Thoracic Society. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-
associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2005;171:388-416.
32. Solomkin JS, Mazuski JE, Bradley JS, Rodvold KA, Goldstein EJC, Baron EJ, dkk. Diagnosis and management of
complicated intra-abdominal infection in adults and children: guidelines by the surgical infection society and
the infectious diseases society of america. Clin Infect DisCID. 2010; 50:133–164.
33. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJC, Gorbach SL, dkk. Practice guidelines for the
diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update by the infectious diseases society of
america. Clin Infect DisCID. 2014;;59:147-591-43.
34. Grabe M, Johansen TEB, Botto H, Cek M, Naber KG, Pickard RS, dkk. Guidelines on urological
infections.European Association of Urology. 2013.
35. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL, Scheld WM, dkk. Practice guidelines for bacterial
meningitis practice guidelines for the management of bacterial meningitis. Clin Infect DisCID. 2004;39:1267-
1284.
36. Mermel LA, Allon M, Bouza E, Craven DE, Flynn P, O’Grady NP, dkk. Clinical Practice Guidelines for the
Diagnosis and Management of Intravascular Catheter-Related Infection: 2009 Update by the Infectious Diseases
Society of America. Clin Infect DisCID.. 2009;:49:1-45.
37. Rivers E, Nyuyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B. Early goal-directed therapy in the treatment of
severe sepsis and sepsis shock. N Engl J Med. 2001;345(19):1368-1377.
38. Dellinger RP, Levy M, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving sepsis campaign: international
guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013;41:580-637.
39. Hollenberg SM, Ahrens TS, Djillali A, Astiz ME, Chalfin DB, Dasta JF, dkk. Practice parameters of hemodynamic
support of sepsis in adult patients: 2004 update. Crit Care Med. 2004;32(9):1928-1948.
40. Cavazzoni SLZ dan , Dellinger RP. Hemodynamic optimization of sepsis-induced tissue hypoperfusion. Crit
Care. 2006;10(S3):S2.
41. Trzeciak S, Dellinger RP, Abate NL, Cowan RM, Strauss M, Kilgannon JH. A 1-year experience with
implementing early goal-directed therapy for septic shock in the emergency department. Chest. 2006;129:225-
232.
52
42. Jones AE, Focht A, Horton JM, Kline JA. Prospective external validation of the clinical effectiveness of an
emergency department-based early goal-directed therapy protocol for severe sepsis dan and septic shock.
Chest. 2007;132:425-432.
43. Otero RM, Nguyen HB, Huang DT, Giaieski DF, Goyal M, Gunnerson KJ. Early Goal-Directed Therapy
revisited: concepts, controversies, and contemporary findings. Chest. 2006;130:1579-1595.
44. Varpula M. Hemodynamics and outcome of septic shock [disertasi]. Helsinki: University of Helsinki; 2007.
45. Dunser MW, Festic E, Dondorp A, Kissoon N, Ganbat T, Kwizera A, dkk. Recommendations for sepsis
management in resource-limited settings. Intensive Care Med. 2012;38:557–574.
46. The ProCESS Investigators. A randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med.
2014;370:1683-1693.
47. Moss RL, Musemeche CA, Kosloske AM.: Necrotizing fasciitis in children: Prompt recognition and aggressive
therapy improve survival. J Pediatr Surg. 1996; 31:1142–1146.
48. Boyer A, Vargas F, Coste F. Influence of surgical treatment timing on mortality from necrotizing soft tissue
infections requiring intensive care management. Intensive Care Med. 2009; 35:847–853.
49. Bufalari A, Giustozzi G, Moggi L.: Postoperative intraabdominal abscesses: Percutaneous versus surgical
treatment. Acta Chir Belg. 1996; 96:197–200.
50. Rivers EP, McIntyre L, Morro DC, Rivers KK. Early and innovative interventions for severe sepsis and septic
shock: taking advantage of a window of opportunity. CMAJ. 2005;173:1054-1065.
51. The SAFE Study Investigators. A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care
unit. N Engl J Med. 2004; 350:2247-2256.
53. Cavazzoni SLZ dan , Dellinger RP. Hemodynamic optimization of sepsis-induced tissue hypoperfusion. Crit
Care. 2006;10(S3):S2.
54. Jahan A. Septic shock in the postoperative patient: three important management decisions. Cleve Clin J
Med.Cleveland Clinic Journal of Medicine 2006;73(S1):67-71.
55. Gattinoni L, Brazzi L, Pelosi P, Latini R, Tognoni G, Pesenti A, et aldkk. A trial of goal-oriented hemodynamic
therapy in critically ill patients: SvO2 Collaborative Group. N Engl J Med. 1995;333:1025-1032.
56. Herwanto V, Sinto R, Suwarto S. Optimalisasi tata laksana hipoksia pada sepsis berat dan renjatan septik: fokus
pada stabilisasi hemodinamik. 2014.
57. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, Briegel J, Keh D, Kupfer Y. Corticosteroids for severe sepsis and septic
shock: a systematic review and meta-analysis. BMJ. 2004;329(480):1-9.
58. Sprung CL, Annane D, Keh D, Moreno R, Singer M, Freivogel K. Hydrocortisone therapy for patients with
septic shock. N Engl J Med. 2008;358(2):111-124.
59. Zimmerman, JC. Use of blood products in sepsis: an evidence-based review. Crit Care Med.
2004;32(Suppl):S542-547.
60. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, Carlet J, Falke K, Hudson L, dkk. The american-european consensus
conference on ARDS. definitions, mechanisms, relevant outcomes, and clinical trial coordination. Am J Respir
Crit Care Med. 1994;149:818–824.
61. ARDS Definition Task Force, Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT, Ferguson ND, Caldwell E, dkk. Acute
respiratory distress syndrome: the berlin definition. JAMA. 2012;307:25226-25233.
62. Checkley W, Brower R, Korpak A, Thompson BT, Acute Respiratory Distress Syndrome Network
Investigatorsdkk. Acute respiratory distress syndrome network investigators: effects of a clinical trial on
53
mechanical ventilation practices in patients with acute lung injury. Am J Respir Crit Care Med. 2008;177:1215–
1222.
63. Kallet RH, Jasmer RM, Luce JM, Lin LH, Marks JDdkk. The treatment of acidosis in acute lung injury with tris-
hydroxymethyl aminomethane (THAM). Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:1149–1153.
64. Brower RG, Lanken PN, MacIntyre N, Matthay MA, Morris A, Ancukiewicz M, dkk. National heart, lung, and
blood institute ARDS clinical trials network: higher versus lower positive end-expiratory pressures in patients
with the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med. 2004;351:327–336.
65. Briel M, Meade M, Mercat A, Brower RG, Talmor D, Walter SD, dkk. Higher vs lower positive end-expiratory
pressure in patients with acute lung injury and acute respiratory distress syndrome: systematic review and
meta-analysis. JAMA. 2010; 303:865–873.
66. Fan E, Wilcox ME, Brower RG, Stewart TE, Mehta S, Lapinsky SE, dkk. Recruitment maneuvers for acute lung
injury: A systematic review. Am J Respir Crit Care Med. 2008;178:1156–1163.
67. Sud S, Friedrich JO, Taccone P, Polli F, Adhikari NK, Latini R, dkk. Prone ventilation reduces mortality in
patients with acute respiratory failure and severe hypoxemia: Systematic review and meta-analysis. Intensive
Care Med. 2010;36:585–599.
68. Domenighetti G, Moccia A, Gayer R. Observational case-control study of non-invasive ventilation in patients
with ARDS. Monaldi Arch Chest Dis. 2008;69:5–10.
69. Kress JP, Pohlman AS, O’Connor MF, Hall JBdkk. Daily interruption of sedative infusions in critically ill
patients undergoing mechanical ventilation. N Engl J Med. 2000;342:1471–7.
70. National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials
Network,; Wiedemann HP, Wheeler AP, Bernard GR, Thompson BT, Hayden D, dkk. Comparison of two fluid-
management strategies in acute lung injury. N Engl J Med. 2006;354:2564–2575.
71. Gao Smith F, Perkins GD, Gates S, Young D, McAuley DF, Tunnicliffe W, dkk. BALTI-2 study investigators:
Effect of intravenous ß-2 agonist treatment on clinical outcomes in acute respiratory distress syndrome (BALTI-
2): A multicentre, randomized controlled trial. Lancet. 2012; 379:229–235.
72. Shehabi Y, Bellomo R, Reade MC. Early intensive care sedation predicts long-term mortality in ventilated
critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med. 2012;186:724–731.
73. Strøm T, Martinussen T, Toft P. A protocol of no sedation for critically ill patients receiving mechanical
ventilation: A randomised trial. Lancet. 2010;375:475–480.
74. Mehta S, Burry L, Cook D, Fergusson D, Steinberg M, Granton J, dkk, SLEAP Investigators; Canadian Critical
Care Trials Group: Daily sedation interruption in mechanically ventilated critically ill patients cared for with a
sedation protocol: a randomized controlled trial. JAMA. 2012;308:1985–1992.
75. Kress JP, Vinayak AG, Levitt J, Schweickert WD, Gehlbach BK, Zimmerman F, dkk. Daily sedative interruption
in mechanically ventilated patients at risk for coronary artery disease. Crit Care Med. 2007;35:365–371.
76. Hansen-Flaschen JH, Brazinsky S, Basile C, Lanken PNdkk. Use of sedating drugs and neuromuscular blocking
agents in patients requiring mechanical ventilation for respiratory failure. A national survey.
JAMA.1991;266:2870–2875.
77. Freebairn RC, Derrick J, Gomersall CD, Young RJ, Joynt GMdkk. Oxygen delivery, oxygen consumption, and
gastric intramucosal pH are not improved by a computer-controlled, closed-loop, vecuronium infusion in severe
sepsis and septic shock. Crit Care Med. 1997;25:72–77.
78. Papazian L, Forel JM, Gacouin A, Penot-Ragon C, Perrin G, Loundou A, dkk. ACURASYS Study Investigators:
Neuromuscular blockers in early acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med. 2010;363:1107–1116.
79. Rudis MI, Sikora CA, Angus E, Peterson E, Popovich J Jr, Hyzy R, dkk.: A prospective, randomized, controlled
evaluation of peripheral nerve stimulation versus standard clinical dosing of neuromuscular blocking agents in
54
80. Frankel H, Jeng J, Tilly E, St Andre A, Champion Hdkk.: The impact of implementation of neuromuscular
blockade monitoring standards in a surgical intensive care unit. Am Surg. 1996;62:503–506.
81. Strange C, Vaughan L, Franklin C, Johnson Jdkk.: Comparison of train-of-four and best clinical assessment
during continuous paralysis. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:1556–61.
82. The NICE-SUGAR Study Investigators, Finfer S, Chittock DR, Su SY, Blair D, Foster D, dkk.: Intensive versus
conventional glucose control in critically ill patients. N Engl J Med. 2009;360:1283–1297.
83. Brunkhorst FM, Engel C, Bloos F. German Competence Network Sepsis (SepNet): Intensive insulin therapy and
pentastarch resuscitation in severe sepsis. N Engl J Med. 2008;358:125–139.
84. Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, Verwaest C, Bruyninckx F, Schetz M, dkk. Intensive insulin therapy in
critically ill patients. N Engl J Med. 2001;345:1359–1367.
85. Van den Berghe G, Wilmer A, Hermans G, Meersseman W, Wouters PJ, Milants I, dkk. Intensive insulin therapy
in the medical ICU. N Engl J Med. 2006;354:449–461.
86. Arabi YM, Dabbagh OC, Tamim HM, Al-Shimemeri AA, Memish ZA, Haddad SH, dkk. Intensive versus
conventional insulin therapy: A randomized controlled trial in medical and surgical critically ill patients. Crit
Care Med. 2008;36:3190–3197.
87. De La Rosa GDC, Hernando Donado J, Restrepo AH. Strict glycaemic control in patients hospitalised in a mixed
medical and surgical intensive care unit: A randomised clinical trial. Critical Care. 2008;12:R120.
88. Annane D, Cariou A, Maxime V, Azoulay E, D'honneur G, Timsit JF, dkk; COIITSS Study Investigators:
Corticosteroid treatment and intensive insulin therapy for septic shock in adults: A randomized controlled trial.
JAMA. 2010;303:341–348.
89. Preiser JC, Devos P, Ruiz-Santana S, Mélot C, Annane D, Groeneveld J, dkk.: A prospective randomized multi-
centre controlled trial on tight glucose control by intensive insulin therapy in adult intensive care units: The
Glucontrol study. Intensive Care Med. 2009;35:1738–1748.
90. Peberdy MA, Callaway CW, Neumar RW, Geocadin RG, Zimmerman JL, Donnino M, dkk.: Part 9: post-cardiac
arrest care: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2010; 122(18 Suppl 3):S768–86.
91. Qaseem A, Humphrey LL, Chou R, Snow V, Shekelle P; dkk. Clinical Guidelines Committee of the American
College of Physicians.: Use of intensive insulin therapy for the management of glycemic control in hospitalized
patients: A clinical practice guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2011;154:260–
267.
92. Moghissi ES, Korytkowski MT, DiNardo M, Einhorn D, Hellman R, Hirsch IB, et aldkk.; American Association
of Clinical Endocrinologists; American Diabetes Association: American Association of Clinical Endocrinologists
and American Diabetes Association consensus statement on inpatient glycemic control. Diabetes Care. 2009;
32:1119–1131.
93. Jacobi J, Bircher N, Krinsley J, Agus M, Braithwaite SS, Deutschman C, et aldkk.: Guidelines for the use of an
insulin infusion for the management of hyperglycemia in critically ill patients. Crit Care Med. 2012; 40:3251–76.
94. Eric AJ, Hoste EA, Schurgers Marie. Epidemiology of acute kidney injury: How big is the problem?. Crit Care
Med. 2008;,36:S146-151.
95. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An assessment of the RIFLE criteria for Acute renal failure
in hospitalized patients. Crit Care Med. 2006;, 34:1913-1917.
96. Lopes JA, Jorge S, Resina C, Santos C, Pereira A, Neves J, Antunes F, Prata MM. dkk. Prognostic utility of RIFLE
for acute renal failure in patients with sepsis. Letter Crit Care. 2007;,11:408.
97. Thakar CV, Christianson A, Freyberg R, Almenoff P, Render ML. Incidence and outcomes of acute kidney injury
55
in intensive care units: a Veterans Administration study. Crit Care Med. 2009;, 37:2552-2558.
98. Uchino S, Kellum JA, Bellomo R. Acute renal failure in critically ill patients. A multinational, multicenter study.
JAMA. 2005;,294:813-818.
99. Palevsky PM, Zhang JH, O’Connor TZ, Chertow GM, Crowley ST, Choudhury D, Finkel K, Kellum JA, Paganini
E, Schein RM, Smith MW, Swanson KM, Thompson BT, Vijayan A, Watnick S, Star RA, Peduzzi P. dkk. Intensity
of renal support in critically ill patients with acute kidney injury. The VA/NIH Acute Renal Failure Trial
Network. N Engl J Med. 2008;, 359:7-20.
100. Metnitz PG, Krenn CG, Steltzer H, Lang T, Ploder J, Lenz K, Le Gall JR, Druml Wdkk. Effect of acute renal
failure requiring renal replacement therapy on outcome in critically ill patients. Crit Care Med. 2002 ;,30:2051-
2058.
101. Lopes JA, Jorge S, Resina C, Santos C, Pereira A, Neves J, Antunes F, Prata MMdkk. Acute kidney injury in
patients with sepsis: a contemporary analysis. Int J Infect DisInternational Journal of Infectious Diseases.
2009;13:176-181.
102. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. Early acute kidney injury and sepsis: a multicentre evaluation. Crit Care.
2008;,12:R47.
103. Mauritz W, Sporn P, Schindler I, Zadrobilek E, Roth E, Appel W dkk. Acute renal failure in abdominal infection.
Comparison of hemodialysis and continuous arteriovenous hemofiltration . Anasth Intensivther Notfallmed.
1986; 21:212–217.
104. Bartlett RH, Mault JR, Dechert RE, Palmer J, Swartz RD, Port FKdkk. Continuous arteriovenous hemofiltration:
Improved survival in surgical acute renal failure?. Surgery. 1986;100:400–408.
105. Kierdorf H. Continuous versus intermittent treatment: Clinical results in acute renal failure. Contrib Nephrol.
1991;93:1–12.
106. Bellomo R, Mansfield D, Rumble S, dkkShapiro J, Parkin G, Boyce N. Acute renal failure in critical illness.
Conventional dialysis versus acute continuous hemodiafiltration. ASAIO J. 1992;38:M654–7.
107. Bellomo R, Farmer M, Parkin G, dkkWright C, Boyce N. Severe acute renal failure: A comparison of acute
continuous hemodiafiltration and conventional dialytic therapy. Nephron. 1995; 71:59–64.
108. Kruczynski K, Irvine-Bird K, Toffelmire EB, dkkMorton AR. A comparison of continuous arteriovenous
hemofiltration and intermittent hemodialysis in acute renal failure patients in the intensive care unit. ASAIO J.
1993; 39:M778-81.
109. van Bommel E, Bouvy ND, So KL, Zietse R, Vincent HH, Bruining HA, dkk.: Acute dialytic support for the
critically ill: Intermittent hemodialysis versus continuous arteriovenous hemodiafiltration. Am J Nephrol. 1995;
15:192–200.
110. Guérin C, Girard R, Selli JM, dkkAyzac L. Intermittent versus continuous renal replacement therapy for acute
renal failure in intensive care units: Results from a multicenter prospective epidemiological survey. Intensive
Care Med. 2002; 28:1411–1418.
111. Kellum JA, Angus DC, Johnson JP, dkkLeblanc M, Griffin M, Ramakrishnan N, dkk. Continuous versus
intermittent renal replacement therapy: A meta-analysis. Intensive Care Med. 2002;28:29–37.
112. Tonelli M, Manns B, Feller-Kopman D. Acute renal failure in the intensive care unit: A systematic review of the
impact of dialytic modality on mortality and renal recovery. Am J Kidney Dis. 2002; 40:875–885.
113. Mehta RL, McDonald B, Gabbai FB, Pahl M, Pascual MT, Farkas A, dkk. Collaborative Group for Treatment of
ARF in the ICU: A randomized clinical trial of continuous versus intermittent dialysis for acute renal failure.
Kidney Int. 2001; 60:1154–1163.
114. Gasparovic V, Filipovic-Grcic I, Merkler M, dkkPisl Z. Continuous renal replacement therapy (CRRT) or
intermittent hemodialysis (IHD)– what is the procedure of choice in critically ill patients?. Ren Fail. 2003;
56
25:855–862.
115. Uehlinger DE, Jakob SM, Ferrari P, Eichelberger M, Huynh-Do U, Marti HP, dkk. Comparison of continuous
and intermittent renal replacement therapy for acute renal failure. Nephrol Dial Transplant. 2005; 20:1630–1637.
116. Vinsonneau C, Camus C, Combes A, Costa de Beauregard MA, Klouche K, Boulain T, dkk. Hemodiafe Study
Group: Continuous venovenous haemodiafiltration versus intermittent haemodialysis for acute renal failure in
patients with multiple-organ dysfunction syndrome: A multicentre randomised trial. Lancet. 2006; 368:379–385.
117. Doi K, Yuen ST, Eisner C, Hu XH, Leelahavanichkul A, Schnermann J, Star RAdkk. Reduced production of
creatinine limits its use as marker of kidney injury in sepsis. J Am Soc Nephrol. 2009;, 20:1217-1221.
118. Gibney N, Hoste E, Burdmann EA, Bunchman T, Kher V, Viswanathan R, Mehta RL, Ronco Cdkk. Timing of
initiation and discontinuation of renal replacement therapy in AKI: unanswered key questions. Clin J Am Soc
Nephrol. 2008;,3:876-880.
119. KDIGO CKD Work Group. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013; 3: 1–150.
120. Marik PE, Zaloga GP. Early enteral nutrition in acutely ill patients: A systematic review. Crit Care Med.
2001;29:2264–2270.
121. Rice TW, Mogan S, Hays MA, dkkBernard GR, Jensen GL, Wheeler AP. Randomized trial of initial trophic
versus full-energy enteral nutrition in mechanically ventilated patients with acute respiratory failure. Crit Care
Med. 2011;39:967–974.
122. National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials
Network, Rice TW, Wheeler AP, Thompson BT, Steingrub J, Hite RD, dkk. Initial Ttrophic vs full enteral feeding
in patients with acute lung injury: The EDEN randomized trial. JAMA. 2012;137:795–803.
123. Simpson F, Doig GS. Parenteral vs. enteral nutrition in the critically ill patient: A meta-analysis of trials using
the intention to treat principle. Intensive Care Med. 2005;31:12–23.
124. Casaer MP, Mesotten D, Hermans G, Wouters PJ, Schetz M, Meyfroidt G, dkk. Early versus late parenteral
nutrition in critically ill adults. N Engl J Med. 2011;365:506–517.
125. Caparrós T, Lopez J, Grau T. Early enteral nutrition in critically ill patients with a high-protein diet enriched
with arginine, fiber, and antioxidants compared with a standard high-protein diet. The effect on nosocomial
infections and outcome. JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2001;25:299–308.
126. Preiser JC, Berré PJ, Van Gossum A, Cynober L, Vray B, Carpentier Y, dkk. Metabolic effects of arginine addition
to the enteral feeding of critically ill patients. JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2001;25:182–187.
127. Wernerman J, Kirketeig T, Andersson B, Berthelson H, Ersson A, Friberg H, dkk.; Scandinavian Critical Care
Trials Group: Scandinavian glutamine trial: A pragmatic multicenter randomised clinical trial of intensive care
unit patients. Acta Anaesthesiol Scand. 2011; 55:812–818.
128. Heyland D, Muscedere J, Wischmeyer PE, Cook D, Jones G, Albert M, Elke G, Berger MM, Day AGdkk.,
Canadian Critical Care Trials Group : A randomized trial of glutamine and antioxidants in critically ill patients.
N Engl J Med. 2013;,368:1489-1497.
129. Pontes-Arruda A, Martins LF, de Lima SM, Isola AM, Toledo D, Rezende E, dkk. Investigating Nutritional
Therapy with EPA, GLA and Antioxidants Role in Sepsis Treatment (INTERSEPT) Study Group: Enteral
nutrition with eicosapentaenoic acid, linolenic acid and antioxidants in the early treatment of sepsis: Results
from a multicenter, prospective, randomized, double-blinded, controlled study: The INTERSEPT study. Crit
Care. 2011;15:R144.
130. Sinto R, Suwarto S, Sedono R, Harimurti K, Sejati A. Endpoint resuscitation based-prediction model for early
mortality of severe sepsis and septic shock. Crit Care. 2014;18:S22.
57
131. Sejati A, Pitoyo CW, Suhendro, Abdulah M. Faktor-faktor prognostik mortalitas pasien sepsis berat fase lanjut di
ruang rawat intensif rumah sakit dr. cipto mangunkusumo [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2014.
132. Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE. APACHE II: a severity of disease classification system. Crit
Care Med. 1985;13:818-829.
133. Halim DA, Murni TW, Redjeki IS. Comparison of Apache II, SOFA, and modified SOFA scores in
predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at Dr. Hasan Sadikin general hospital. Crit
Care and Shock. 2009;12:157-169.
134. Vvan Ruler O, Kiewiet JJ, Boer KR, Lamme B, Gouma DJ, Boermeester MA, dkk. Failure of available scoring
systems to predict ongoing infection in patients with abdominal sepsis after their initial emergency laparotomy.
BMC Surg. 2011;11:38.
135. Richards G, Levy H, Laterre PF, Feldman C, Woodward B, Bates BM, et aldkk. CURB-65, PSI, and APACHE II to
assess mortality risk in patients with severe sepsis and community acquired pneumonia in PROWESS. J
Intensive Care Med. 2011;26:34-40.
136. Perl TM, Dvorak L, Hwang T, Wenzel RP. Long-term survival and function after suspected gram-negative
sepsis. JAMA. 1995;274:338-345.
137. Vincent JL, de Mendonca A, Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter PM, dkk. Use of the SOFA score to assess the
incidence of organ dysfunction/failure in intensive care units: results of a multicenter, prospective study.
Working group on "sepsis-related problems" of the European Society of Intensive Care Medicine. Crit Care
Med. 1998;26:1793-1800.
138. Minne L, Abu-Hanna A, de Jonge E. Evaluation of SOFA-based models for predicting mortality in the ICU: A
systematic review. Crit Care. 2008;12:R161.
139. Grissom CK, Brown SM, Kuttler KG, Boltax JP, Jones J, Jephson AR, dkk. A modified sequential organ failure
assessment score for critical care triage. Disaster Med Public Health Prep. 2010;4:277-284.
140. Le Gall JR, Lemeshow S, Saulnier F. A new Simplified Acute Physiology Score (SAPS II) based on a
European/North American multicenter study. JAMA. 1993;270:2957-63.
141. Damas P, Ledoux D, Nys M, Monchi M, Wiesen P, Beauve B, dkk. Intensive care unit acquired infection and
organ failure. Intensive Care Med. 2008;34:856-864.
142. Moreno RP, Metnitz B, Adler L, Hoechtl A, Bauer P, Metnitz PG. Sepsis mortality prediction based on
predisposition, infection and response. Intensive Care Med. 2008;34(3):496-504.
58
Lampiran 1. Perangkat penapisan sepsis berat
59
Lampiran 2. Kelompok tindakan resusitasi
Ukur CVP
Ukur ScvO2
60
61
61
Lampiran 3. Kelompok tindakan resusitasi berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2015
Terpenuhi dalam 3 jam
- Pengukuran ScvO2
fluid challenge
62
63
63
Lampiran 4. Protokol resusitasi sepsis (kombinasi early goal-directed therapy dan kelompok tindakan
resusitasi), harus diselesaikan pada 6 jam pertama
1. Setelah diagnosis sepsis berat atau renjatan septik ditegakkan segera mulai protokol resusitasi early
goal-directed therapy.
2. Ukur kadar laktat dan ambil darah untuk kultur (paket resusitasi).
3. Berikan antibiotikaantibiotik empirik spektrum luas (atau sesuai pola kuman setempat).
4. Jika terjadi gagal nafasnapas, segera intubasi endotrakeal dengan bantuan ventilasi mekanik dengan
fasilitasi obat pelumpuh otot.
6. Segera pasang kateter vena sentral untuk mengukur target volume resusitasi.
7. Jika memakai pengukuran statik dengan cmH 2O maka target adalah 12-15 cmH2O, jika memakai
transducer monitoring real time maka target adalah 8-12 mmHg.
8. Loading kristaloid maksimum 1500 mlmL sampai CVP tercapai 8-12 mmHg. Jika target CVP 8-12
belum tercapai mulai loading koloid albumin 5% sampai tercapai CVP 8-12 mmHg.
9. Jika CVP sudah tercapai 8-12 mmHg, segera berikan vasopresor dengan target MAP > 65 mmHg. Jika
pada sepsis berat ditemukan hipertensi dengan MAP > 90 mmHg gunakan vasodilator dengan target
MAP 65-90 mmHg.
10. Setelah MAP tercapai ukur ScvO2. jika ScvO2 < 70% segera transfusi PRC dengan target ScvO2 > 70%.
Jika setelah transfusi dan Ht sudah > 30% namun ScvO2 masih < 70% segera berikan dobutamin
(inotropik) sampai target ScvO2 > 70% (target resusitasi tercapai). Selanjutnya pasien dapat masuk
perawatan.
11. Ukur kadar laktat, jika laktat normal menandakan resusitasi berhasil, pasien dapat masuk perawatan.
12. Jika kadar laktat belum mencapai normal, protokol dapat diulang kembali.
64
Lampiran 5. Persetujuan pengutipan dari Surviving Sepsis Campaign 2012
Committee
65
66
67
Foto Pertemuan Tim Penyusun PNPK Sepsis Kemkes RI
Jakarta, 4 Oktober 2014