0% found this document useful (0 votes)
48 views12 pages

Abstrak: Keywords: Nutrition, Protein Energy Malnutrition), Micronutrient Deficiencies

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1/ 12

ABSTRAK

Malnutrition, withs 2 constituents of protein–energy malnutrition and micronutrient


deficiencies, continues to be a major health burden in developing countries. It is globally the
most important risk factor for illness and death, with hundreds of millions of pregnant women
and young children particularly affected. In Indonesia, Protein Energy Malnutrition (PEM)
and micronutrient deficiencies are still one of the most important and urgent health problems
in the community, in which the underfive children are among the most vulnerable. Apart from
marasmus and kwashiorkor (the 2 forms of protein– energy malnutrition), deficiencies in
iron, iodine, vitamin A and zinc are the main manifestations of malnutrition in developing
countries. In these communities, a high prevalence of poor diet and infectious disease
regularly unites into a vicious circle. The high prevalence of bacterial and parasitic diseases
in developing countries contributes greatly to Protein Energy Malnutrition (PEM) and
micronutrient deficiencies there. Similarly, Protein Energy Malnutrition (PEM) and
micronutrient deficiencies increases one’s susceptibility to and severity of infections, and is
thus a major component of illness and death from disease. Protein Energy Malnutrition
(PEM) and micronutrient deficiencies is consequently the most important risk factor for the
burden of disease in developing countries. Although nutrition treatment protocols for severe
malnutrition have in recent years become more efficient, most patients (especially in rural
areas) have little or no access to formal health services and are never seen in such settings.
Interventions to prevent protein– energy malnutrition range from promoting breast-feeding to
food supplementation schemes, whereas micronutrient deficiencies would best be addressed
through food-based strategies such as dietary diversification through home gardens and
small livestock.
Keywords : nutrition, protein energy malnutrition), micronutrient deficiencies
A. Latar belakang
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan defisiensi
mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di negara-
negara berkembang, yang merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan
kematian pada ibu hamil dan balita1. Di Indonesia KEP dan defisiensi mikronutrien juga
menjadi masalah kesehatan penting dan darurat di masyarakat terutama anak balita2. Kasus
kematian balita akibat gizi buruk kembali berulang, terjadi secara masif dengan wilayah
sebaran yang hampir merata di seluruh tanah air. Sejauh pemantauan yang telah dilakukan
temuan kasus tersebut terjadi setelah anak-anak mengalami fase kritis.
Sementara itu, perawatan intensif baru dilakukan setelah anak-anak itu benar-benar
tidak berdaya. Berarti sebelum anak-anak itu memasuki fase kritis, perhatian terhadap hak
hidup dan kepentingan terbaiknya terabaikan. Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini
melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan
kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans. Prevalensi
balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Hasil Susenas menunjukkan
adanya penurunan prevalensi balita gizi buruk yaitu dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi
8,1% pada tahun 1999 dan menjadi 6,3% pada tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi
peningkatan kembali prevalensi gizi buruk dari 8,0% menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan
kembali meningkat menjadi 8,8% pada tahun 2005.
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan seluruh Indonesia terjadi penurunan kasus
gizi buruk yaitu pada tahun 2005 terdata 76.178 kasus kemudian turun menjadi 50.106 kasus
pada tahun 2006 dan 39.080 kasus pada tahun 2007. Penurunan kasus gizi buruk ini belum
dapat dipastikan karena penurunan kasus yang terjadi kemungkinan juga disebabkan oleh
adanya kasus yang tidak terlaporkan (under reported). Mencuatnya kembali pemberitaan di
media massa akhir-akhir ini mengenai balita gizi buruk yang ditemukan dan meninggal
menunjukkan sistem surveilans dan penanggulangan dari berbagai instansi terkait belum
optimal4. Pasien–pasien yang masuk ke rumah sakit dalam kondisi status gizi buruk juga
semakin meningkat. Umumnya pasien–pasien tersebut adalah balita.
Salah satu tanda gizi buruk balita adalah berat badan balita di bawah garis merah
dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) balita. Masalah gizi buruk balita merupakan masalah yang
sangat serius, apabila tidak ditangani secara cepat dan cermat dapat berakhir pada kematian.
Gizi buruk lebih rentan pada penyakit akibat menurunnya daya tahan tubuh, pertumbuhan
dan perkembangan yang tidak optimal, sampai pada kematian yang akan menurunkan
kualitas generasi muda mendatang. Hal ini telah membukakan mata kita bahwa anak balita
sebagai sumber daya untuk masa depan mempunyai masalah yang sangat besar4. Apalagi
penyakit penyerta yang sering pada gizi buruk seperti lingkaran setan, yaitu penyakit-
penyakit penyerta justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit penyerta
yang sering terjadi adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare persisten, cacingan,
tuberculosis, malaria dan HIV/AIDS5. Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama
kualitas sumber daya manusia. Gizi buruk tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan
angka kematian tetapi juga menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak
yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan.
Berbagai masalah yang timbul akibat gizi buruk antara lain tingginya angka kelahiran
bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang disebabkan jika ibu hamil menderita
KEP akan berpengaruh pada gangguan fisik, mental dan kecerdasan anak, juga meningkatkan
resiko bayi yang dilahirkan kurang zat besi. Bayi yang kurang zat besi dapat berdampak pada
gangguan pertumbuhan sel-sel otak, yang dikemudian hari dapat mengurangi IQ anak. Faktor
penyebab gizi buruk dapat berupa penyebab tak langsung seperti kurangnya jumlah dan
kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan, menderita
penyakit kanker dan penyebab langsung yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku
dan pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga
merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan
pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu, untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan
kerjasama lintas sektor 6. Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis,
antropometri dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda
tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi
disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala
klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan
yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat. Gizi
buruk ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan sampai 2 tahun, akan tetapi dapat
dijumpai pula pada anak yang lebih besar.
Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari pertumbuhan linier mengurang atau
terhenti, kenaikan berat badan berkurang, terhenti dan adakalanya beratnya menurun, ukuran
lingkar lengan atas menurun, maturasi terlambat, rasio berat terhadap tinggi normal atau
menurun, tebal lipat kulit normal atau mengurang, anemia ringan, aktivitas dan perhatian
berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat, adakalanya dijumpai kelainan kulit dan
rambut. Gizi buruk berat memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari
dietnya, fluktuasi musim, keadaan sanitasi dan kepadatan penduduk6. Gizi buruk berat dapat
dibedakan tipe kwashiorkor, tipe marasmus dan tipe marasmik-kwashiorkor.
Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak sangat kurus dan atau edema pada
kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status mental, rambut tipis kemerahan
seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah membulat dan
sembab, pandangan mata sayu, pembesaran hati, kelainan kulit berupa bercak merah muda
yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, cengeng dan
rewel. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua,
cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga
tampak jelas, pantat kendur dan keriput. Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan
beberapa gejala klinik kwashiorkor – marasmus. Pengukuran antropometrik lebih ditujukan
untuk menemukan gizi buruk ringan dan sedang. Pada pemeriksaan antropometrik, dilakukan
pengukuran-pengukuran fisik anak (berat, tinggi, lingkar lengan, dan lain-lain) dan
dibandingkan dengan angka standar (anak normal).
Untuk anak, terdapat tiga parameter yang biasa digunakan, yaitu berat dibandingkan
dengan umur anak, tinggi dibandingkan denganumur anak dan berat dibandingkan dengan
tinggi/panjang anak. Parameter tersebut lalu dibandingkan dengan tabel standar yang ada.
Untuk membandingkan berat dengan umur anak, dapat pula digunakan grafik pertumbuhan
yang terdapat pada KMS. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan
kadar hemoglobin darah merah (Hb) dan kadar protein (albumin/globulin) darah. Dengan
pemeriksaan laboratorium yang lebih rinci, dapat pula lebih jelas diketahui penyebab
malnutrisi dan komplikasi-komplikasi yang terjadi pada anak tersebut. Pada gizi buruk
terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya seperti jumlah dan distribusi cairan,
lemak, mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih banyak cairan.
Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan ekstra sel
terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak dibandingkan tanpa edema.
Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel sehingga menimbulkan gangguan metabolik
pada organ-organ seperti ginjal, otot dan pankreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor
anorganik meninggi dan kadar magnesium menurun7. Kelainan organ sering terjadi seperti
sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem gastrointestinum (hepar,
pankreas), jantung, ginjal, sistem endokrin sehingga gizi buruk harus segera ditangani dengan
cepat dan cermat.
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Malnutrisi
Malnutrisi sebenarnya adalah gizi salah, yang mencakup gizi kurang atua lebih. Di
Indonesia dengan masih tinggi angka kejadian gizi kurang, istilah malnutrisi lazim dipakai
untuk keadaan ini. Secara umum gizi kurang disebabkan oleh kurangnya energy atau protein.
Namun keadaan ini di lapangan menunjukkan bahwa jarang dijumpai kasus yang menderita
deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein biasanya disertai pula dengan
defisiensi energi. Oleh karena itu istilah yang lazim dipakai adalah malnutrisi Energi Protein
(Markum dkk, 1991) dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan
kekurangan kalori protein (Nelson, 1992).
Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energy dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
Angka Kecukupan Gizi (AKG) (Depkes, 1999).
Malnutrisi energi protein adalah seseorang yang kekurangan gizi yang disebabkan
oleh konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit tertentu.
(Suparno, 2000).
Kekurangan energi protein adalah suatu sindroma penyakit gizi yang disebabkan oleh
defisiensi zat-zat makanan atau nutrient terutama protein dan kalori. (Naziruddin, 1998).
Klasifikasi kurang energi protein menurut Departement KesehatanRI, 1999:

a. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS pada pita warna kuning.

b. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di bawah garis merah
(BBM).

c. KEP berat / gizi buruk bila hasil penimbangan BB / 4 < 60% baku median WHO – NCNS.
Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat / gizi buruk dan KEP sedang, sehingga untuk
menentukan KEP berat / gizi buruk digunakan table BB / 4 baku median WHO - NCNS.

2.2 Etiologi Manutrisi


Faktor penyebab yang dapat menimbulkan kekurangan energi protein menurut
Nazirudin (1998) yaitu:
a. Sosial ekonomi yang rendah.
b. Sukar atau mahalnya makanan yang baik.
c. Kurangnya pengertian orang tua mengenai gizi.
d. Kurangnya faktor infeksi pada anak (misal: diare).
e. Kepercayaan dan kebiasaan yang salah terhadap makanan (missal:
tidak makan daging atau telur disaat luka).

2.3 Patofisiologi Malnutrisi


Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal untuk
kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energi yang didapat, dipengaruhi oleh
makanan yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan
protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut. Kekurangan energi
protein dalam makanan yang dikonsumsi akan menimbulkan kekurangan berbagai asam
amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis, oleh karena dalam diet terdapat cukup
karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat dan sebagai asam amino di dalam serum
yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino
dalam serum merupakan penyebab kurangnya pembentukan alkomin oleh heper, sehingga
kemudian timbul edema perlemahan hati terjadi karena gangguan pembentukan lipo protein
beta sehingga transport lemak dari hati ke hati dapat lemak juga terganggu dan akibatnya
terjadi akumuasi lemak dalam heper. (Ilmu kesehatan anak,1998).

2.4 Manifestasi Klinik Malnutrisi


Menurut Ngastiyah (1997) penderita kekurangan energi protein akan memberikan
gambaran klinik berupa:
a. Pertumbuhan terganggu meliputi berat badan dan tinggi badan.
b. Perubahan mental berupa cengeng dan apatis.
c. Adanya cederm ringan atau berat karena penurunan protein plasma.
d. Jaringan lemak dibawah kulit menghilang, kulit keriput dan tanus otot menurun.
e. Kulit bersisik
f. Anemia
g. Carzy pavemen permatosisis (bercak-bercak putih dan merah muda
dengan tepi hitam).
h. Pembesaran hati.
Penilaian status gizi
Status gizi sebagai refleksi kecukupan zat gizi, merupakan salah satu parameter
penting dalam menilai tumbuh kembang anak dan keadaan sehat anak umumnya. Cara
penilaian status gizi dilakukan atas dasar anamesis, pemeriksasan jasmani, data antropometrik
dan pemeriksaan laboratorium.
a) Anamnesis
Dengan anamnesis yang baik akan diperoleh informasi tentang nutrisi selama dalam
kandungan, saat kelahiran, keadaan waktu lahir (termasuk berat dan panjang badan), penyakit
dan kelainan yang diderita, dan imunisasi, data keluarga serta riwayat kontak dengan
penderita penyakit menular tertentu (Markum dkk, 1991).
b) Pemeriksaan jasmani
Bermanfaat untuk memperoleh kesan klinis tentang tumbuh kembang secara umum
perlu diperhatikan bentuk serta perbandingan bagian kepala, tubuh dan anggota gerak.
Demikian pula keadaan mental anak yang komposmentis, bersifat cengeng atau apatik
(Markum dkk,1991)
c) Antropometri
Pengukuran antropometri untuk menilai ukuran dan bentuk badan dan bagian badan
khusus dapat membantu mengenai masalah nutrisi. Pengukuran ini meliputi berat badan,
tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengas atas dan lipatan kulit. Berat badan merupakan
indicator untuk menilai keadaan gizi dan tumbuh kembang anak. Tinggi badan dipakai
sebagai dasar perbandingan terhadap perubahan relatif pertumbuhan. Lingkar kepala untuk
menilai pertumbuhan otak. Lingkar lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan
lemak dan otot. Lipatan kulit di daerah triseps dan sub scapula merupakan relfkesi kulit
tumbuh kembang jaringan lemak bawah kulit dan mencerminkan kecukupan gizi (FKUI,
1993).
d) Pemeriksaan laboratorium.
Terutama mencakup pemeiksasan darah rutin seperti kadar haemoglobn dan protein
serum (albumin, globulin) serta pemeriksasan kimia darah lain bila diperlukan dengan non
esensial, kadar lipid, kadar kolesterol (Markum dkk, 1991).
2.5 Penatalaksanaan Malnutrisi
1) Bila ada dehidrasi, atasi dulu
2) Pemberiaan diit TKTP 1.200 kal/hari.
3) Vitamin A 100.000 – 200.000 K1 1 M 1 kali. Vitamin B kompleks, C, AD tetes
personal.
4) Bila perlu beri transfuse sel darah merah padat atau plasma.
5) Kontrol poliklinik gizi anak.
2.6 WOC
Keiskinan kurang
pengetahuan

Peny sistemik
Intake turun

Nutrien Hilang Gg.absorbsi

MALNUTRISI

kwarsiorkor marasmus

Asam amino turun

Albumin turun Beta lipoprotein


menurun

Hipoalbumin
Hidratarang
meningkat
Permebilitas turun
Pemecahan
Edema karboidrat &
lemak turun

TD menurun HR meningkat
Dipecah jadi asam Turgor kulit turun.
lemak,gliserol,kleton BB turun. Mukosa
MK : Intoleransi kering
aktivitas
Sumber energi habis

MK : Gg. Nutrisi tdk MK : gangguan


adekuat dgn keb tubuh integritas kulit
Contoh clinical pathway Malnutrisi
DAFTAR PUSTAKA
1. Muller, Michael Krawinkel. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ •
AUG. 2, 2005; 173 (3) 279. CMA Media Inc. or its licensors.
2. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina KesehatanMasyarakat Direktorat Bina
Gizi Masyarakat. Pedoman Respon Cepat Penanggulanngan Gizi Buruk , 2008
3. Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Lingkaran Setan Gizi Buruk: Ketika Negara
Kembali Gagal Menjamin Hak Hidup Anakanak, 2009, Available www.ypha.go.id
4. Anonim-1. Early Detection and Referral of Children with Malnutrition. British Medical
Bulletin. 2008.
5. Anonim-2. Deteksi Dini Anak Gizi Buruk Dan Tindak Lanjutnya. 2009, Available
www.ypha.or.id/files/Lingkaran_setan.pdf
6. Anonim-3. Gizi Buruk . Available www.malukuprov.go.id/index.php?option=com
_content&view=article&id=66:giziburuk& catid=47:kesehatan&Itemid=, Kamis 07-01-2010.
7. Solihin Pudjiadi. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi keempat. 2000. FKUI. Jakarta.
8. Anonim-4. Terapi Gizi Pada Anak Gizi Buruk. 2009. Available www. Mat.Inti 5
Tatalaksana Gizi Buruk-Aceh.pdf.
9. Anonim-5. Spesifikasi Teknis Mineral Mix Untuk Anak Penderita Gizi Buruk.
2008.Available www.gizi.net.
10. Pelatihan TOT Fasilitator PKD Bagi Fasilitator Gizi Kabupaten. Managemen Gizi
Buruk.2005.

You might also like