31st WECOC 2019 PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 152

KOMPILASI MAKALAH

31st WEEKEND COURSE ON CARDIOLOGY (WECOC) 2019

Jakarta, 26 - 27 April 2019

YAYASAN KARDIOVASKULAR INDONESIA

Penerbit:
Yayasan Kardiovaskular Indonesia

1
KOMPILASI MAKALAH
31st WEEKEND COURSE ON CARDIOLOGY (WECOC) 2019

Panitia Pelaksana:

Ketua Pelaksana : dr. Dafsah A. Juzar, SpJP(K)


Wakil Ketua : dr. Oktavia Lilyasari, SpJP(K)
Sekretaris : dr. Rarsari S. Pratikto, SpJP(K)
Bendahara : dr. Vienna Rossimarina, SpJP
Registrasi dan Publikasi : dr. Sony H. Wicaksono, SpJP(K)
dr. Dony Y. Hermanto, SpJP
Koordinator Workshop : dr. Amir Alkatiri, SpJP

Steering Committee:

dr. Renan Sukmawan, ST, SpJP(K), PhD., MARS


dr. Taofan, SpJP(K)
dr. Elen, SpJP
dr. Ario Suryo Kuncoro, SpJP(K)
dr. Rina Ariani, SpJP
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K)
dr. Suko Adiarto, PhD.,SpJP(K)
dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP(K)
dr Celly Anantaria Atmadikusuma, SpJP
Dr.dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP(K)
dr. Oktavia Lilyasari, SpJP(K), M.Kes
dr. Sunu Budhi Raharjo, PhD, SpJP(K)
dr. Bambang Widyantoro, PhD, SpJP
dr. Dicky A. Hanafy, SpJP(K)
dr. Rita Zahara, SpJP(K)
dr. Ade Meidian Ambari, SpJP
Prof.Dr.dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K)
dr. Estu Rudiktyo, SpJP
Dr. dr. Hananto Andriantoro, SpJP(K)
dr. Dian Zamroni, SpJP
dr. Surya Dharma, PhD, SpJP(K)
dr. Yovi Kurniawati, SpJP
Dr.dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K)

2
dr. Rarsari Soerarso, SpJP
Prof.Dr.dr. Bambang Budi Siswanto, SpJP(K)
dr. Poppy S. Roebiono, SpJP(K)
dr. Siska Suridanda Dani, SpJP
Prof.Dr.dr. Budhi Setianto, SpJP(K)
Dr.dr. Anwar Santoso, SpJP(K)
Dr. Amir Aziz Alkatiri, SpJP

Reviewer:
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)
Prof. Dr. dr. Bambang B. Siswanto, SpJP(K)
Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K)
Dr. dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP(K)
Dr. dr. Doni Firman, SpJP(K)
dr. B. R. M. Ario S. Kuncoro, SpJP(K)
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K)
dr. Renan Sukmawan, ST, PhD, SpJP(K)
dr. Sunu B. Raharjo, PhD, SpJP(K)
dr. Siska S. Danny, SpJP(K)

Editor:
dr. Ade M. Ambari, SpJP
dr. Amir. A. Alkatiri, SpJP
Dr. dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP(K)
Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP(K)
Prof. Dr. dr. Bambang B. Siswanto, SpJP(K)
dr. Bambang Dwiputra, SpJP
dr. Celly A. Atmadikoesoemah, SpJP
dr. Dafsah A. Juzar, SpJP(K)
Dr. dr. Doni Firman, SpJP(K)
dr. Elen, SpJP
dr. Estu Rudiktyo, SpJP
Dr. dr. Indriwant S. Atmosudigdo, SpJP(K)
dr. Nani Hersunarti, SpJP(K)
dr. Oktavia Lilyasari, SpJP(K)
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K)
dr. Rakhmad Hidayat, SpS(K)
dr. Rarsari S. Pratikto, SpJP(K)
dr. Renan Sukmawan, ST, SpJP(K), PhD., MARS
dr. Rina Ariani, SpJP(K)
dr. Siti E. Nauli, SpJP(K)
3
dr. Sony H. Wicaksono, SpJP(K)
dr. Suci Indriani, SpJP(K)
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)
dr. Yovi Kurniawati, SpJP

Managing Editor:
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)

Penerbit:
Yayasan Kardiovaskular Indonesia

Redaksi:
Jl. Let. Jend S. Parman Kav. 87, Slipi Jakarta Barat 11420
Telp: (021) 5684093
Fax : (021) 5608902
Website : www.wecoc.id
Email: [email protected]

Cetakan pertama, April 2019

Hak cipta dipegang oleh WECOC dan dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian maupun seluruh isi buku ini
dengan cara maupun bentuk apapun tanpa seizin dari panitia WECOC.

4
KATA PENGANTAR KETUA PANITIA
Salam kepada semua peserta!

Mewakili seluruh jajaran panitia, saya mengucapkan selamat datang di Weekend Course on
Cardiology (WECOC) ke-31 Acara ini selenggarakan oleh Yayasan Kardiovaskular
Indonesia da didukung oleh Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Universitas
Indonesia. Melalui pertemuan tahunan ini, kami berharap dapat menjalin kerja sama untuk
mengurangi permasalahan penyakit jantung di Indonesia.

Panitia telah menyusun serangkaian program ilmiah yang menarik, dimana


profesional medis seperti dokter layanan primer, spesialis jantung dan pembuluh darah, para
klinisi dari spesialisasi lain, para peneliti, peserta program pendidikan dokter spesialis, dan
anggota perkumpulam professional akan mendapatkan kebutuhan edukasi yang sesuai.
Kami berharap lewat pertukaran informasi dan pengalaman, bersama kita dapat menjelajahi
temuan baru dalam tatalaksana penyakit kardiovaskular dan masalah-masalah lain yang
terkait. Dalam rangkaian aktivitas ilmiah ini, telah disiapkan sepuluh workshop pre-kongres
dan delapan workshop paralel selama kongres berlangsung, termasuk di antaranya
bootcamp intensif dalam berbagai aspek ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah.
Simposium yang berdurasi dua hari ini akan mengulas berbagai topik mulai dari
manajemen faktor risiko hingga terapi alat bantu mutakhir. Kami juga menampilkan Joint
Session dengan University of Malaya Medical Centre (UMMC) dan dua sesi diskusi kasus,
yang akan mengupas tantangan penegakan diagnosa yang akan dibawakan oleh pakarnya
dan diskusi kasus sulit yang akan dipaparkan oleh beberapa alumni dari Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI dari seluruh Indonesia. Tidak kalah menarik
adalah "Cardiology in Jeopardy", sebuah acara kuis interaktif untuk dokter umum yang
senantiasa menarik perhatian peserta dari tahun ke tahun. Lebih lanjut lagi, kami juga telah
menseleksi lebih dari 100 abstrak dan kasus dari seluruh Indonesia untuk didiskusikan pada
sesi moderated poster.

Tidak lupa kami ingin mengungkapkan rasa terima kasih kami kepada seluruh jajaran
Fakultas Kedokteran, tamu kehormatan kami dari rumah sakit jejaring dan ilmu kesehatan
lainnya seperti kedokteran olahraga, rekan industri kami, serta seluruh pihak yang telah
memberikan dukungan untuk terlaksananya WECOC yang ke-31. Tentunya seluruh
rangkaian acara tidak dapat terlaksana tanpa kehadiran seluruh peserta, yang telah datang
dari seluruh penjuru Indonesia untuk menghadiri WECOC ke-31. Merupakan suatu
kehormatan bagi Kami, Anda semua dapat bergabung dengan kami.

Kami berharap agar acara ini dapat dinikmati oleh seluruh pihak dan dapat bermanfaat
dalam perkembangan pelayanan kedokteran jantung dan pembuluh darah di Indonesia.

Salam Hangat

dr. Dafsah A. Juzar, SpJP(K)

Ketua Panitia Penyelenggara WECOC ke-31

5
KATA PENGANTAR
Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Atas nama Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kesehatan


Universitas Indonesia, merupakan suatu kehormatan menyambut seluruh peserta Weekend
Course on Cardiology ke 31, yang diadakan pada tanggal 25 – 27 April 2019 di Jakarta.
Simposium ini diselenggarakan oleh Yayasan Kardiovaskular Indonesia dan program ilmiah
didukung oleh Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Program ilmiah akan membahas tentang ilmu pengetahuan yang mutakhir dan terdepan
dalam penanganan kardiovaskular untuk para SpJP serta spesialis dalam bidang lain dan
dokter umum dengan menekankan pada pentingnya kolaborasi dan profesionalisme untuk
penanganan serta memperbaiki luaran tatalaksana kardiovaskular yang holistik. Berbagai
workshop dan program lain seperti Cardiology in Jeopardy akan membuat acara ini semakin
meriah.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih sebesar – besarnya kepada para ahli
dari Departemen Neurologi FK UI dan University of Malaya Medical Centre (UMMC), juga
kepada para pembicara sekalian yang berkenan untuk berpartisipasi dan berbagi
pengalaman serta pengetahuan melalui simposium ini. Kami juga sangat menghargai
segenap panitia dan seluruh pihak yang telah bekerja keras demi suksesnya acara ini
Saya yakin simposium ini akan menjadi forum yang efektif untuk para peserta untuk berbagi
pengetahuan dan meningkatkan kolaborasi baru. Saya merasa terhormat Anda dapat
mengikuti acara bergengsi ini dan mengucapkan selamat datang.

Salam Hormat

dr. Renan Sukmawan, ST, SpJP(K), PhD, MARS


Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

6
DAFTAR ISI

Halaman judul 2
Kata pengantar ketua panitia 5
Kata pengantar Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI 6
Daftar isi 7

EECP Therapy in Coronary Artery Disease: Does It Really Work? 10


dr. Ade M. Ambari, SpJP

Chest Pain 14
dr. Amir. A. Alkatiri, SpJP

Ekokardiografi untuk Sindroma Koroner Akut 19


Dr. dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP(K)

Addressing Challenges in Hypertension and Related Comorbidities: a look at 29


Nebivolol
Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP(K)

Kembali Bekerja Setelah Hospitalisasi Gagal Jantung 31


Prof. Dr. dr. Bambang B. Siswanto, SpJP(K)

Kembali Bekerja pasca Sindroma Koroner Akut 37


dr. Bambang Dwiputra, SpJP

Kembali Bekerja Pasca Operasi Bypass Arteri Koroner 42


Dr. dr. Basuni Radi, SpJP(K)

The Role of Neprilysin Inhibitor to Achieve Long Term Chronic Heart Failure 48
Treatment Goal
dr. Celly A. Atmadikoesoemah, SpJP

Anticoagulant for Acute Coronary Syndrome 55


dr. Dafsah A. Juzar, SpJP(K)

Manfaat Penilaian Fungsional Secara Invasif Pada Tindakan Intervensi Koroner 62


Perkutan Pada Angina Pektoris Stabil
Dr. dr. Doni Firman, SpJP(K)

7
Antihypertensive Drugs and Risk of Cancer 68
Dr. Elen, SpJP

Tatalaksana Gangguan Fungsi Ginjal pada Pasien dengan Penyakit Kardiovaskular 72


dr. Estu Rudiktyo, SpJP

Recognizing Critical Congenital Heart Disease: Prenatal and Postnatal Evaluation 77


Dr. dr. Indriwanto S. Atmosudigdo, SpJP(K)

80
Managing Chronic Heart Failure in Special Population
dr. Nani Hersunarti, SpJP(K)

Advances in Pediatric Cardiology Imaging: State of the Art 82


dr. Oktavia Lilyasari, SpJP(K)

The Practical Approach of Patient with CCHD 92


dr. Radityo Prakoso, SpJP(K)

Interventional Approach in Cerebro Vascular Disease 97


dr. Rakhmad Hidayat, SpS(K)

Tatalaksana Hipertensi Terkini Peran Monitor Pengukuran Tekanan Darah di Rumah 104
dr. Rarsari S. Pratikto, SpJP(K)

Menurunkan Kejadian Kardiovaskular dengan Statin: Perspektif Terkini 107


dr. Renan Sukmawan, ST, SpJP(K), PhD, MARS

Symptom Based Approached in Cardiovascular Medicine: Shortness of Breath 114


dr. Rina Ariani, SpJP(K)

How to Use AVP Antagonist in Heart Failure setting 122


dr. Siti E. Nauli, SpJP(K)

Cardiovascular Protection of Calcium Channel Blockers in Hypertension Management 128


dr. Sony H. Wicaksono, SpJP(K)

Update on the Management of Venous Thromboembolism 132


dr. Suci Indriani, SpJP(K)

8
Diseksi Aorta: Satu Penyakit dengan Gambaran Klinis Kritis yang Beragam 135
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)

Syncope and Epigastric Pain: What Do They Have in Common? 138


dr. Vienna Rossimarina, SpJP

Penyakit Jantung Bawaan Kritis 147


dr. Yovi Kurniawati, SpJP

9
EECP Therapy in Coronary Artery Disease: Does It Really Work?
Ade Meidian Ambari
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Prinsip terapi EECP (Enhanced External Cardiopulsation) pertama kali dikembangkan


pada tahun 1950-an, yaitu dengan meningkatkan aliran darah secara mekanis ke
miokardium yang mengalami iskemia, dengan meningkatkan perfusi koroner. Prinsip ini
serupa dengan prinsip penggunaan IABP (Intra Aortic Balloon Pump), yaitu dengan
mengembangkan balon yang dimasukkan melalui arteri femoralis menuju aorta desendens.
Pengembangan balon secara cepat pada fase diastolik kemmudian akan memperbaiki
perfusi koroner.1 Setelah puluhan tahun, EECP berkembang menjadi terapi yang non-invasif
yang efektif dan aman. Pada alat EECP, manset dipasangkan pada betis, paha bawah, paha
atas, dan gluteus pasien, manset tersebut dikembangkan dengan cepat dan sekuensial yang
dikoordinasi melalui sinyal yang masuk pada EKG di komputer dengan urutan betis, paha,
kemudian gluteus. Kompresi diatur secara sekuensial selama fase diastolik yang kemudian
diikuti dengan dekompresi bersamaan selama fase sistolik. Hal ini menimbulkan efek
hemodinamik yang serupa dengan IABP, perbedaannya adalah EECP juga meningkatkan
aliran balik vena.2 Terapi ini digunakan untuk pasien penyakit jantung koroner yang gagal
maupun yang tidak berespon terhadap intervensi revaskularisasi maupun farmakoterapi
yang optimal3, namun dikontraindikasikan pada pasien dengan: aritmia, critical limb
ischemia, aneurisma aorta abdominalis, regurgitasi aorta berat, tromboflebitis, DVT,
kehamilan, kateterisasi jantung 2 minggu terakhir, hipertensi pulmonal berat, dan kelainan
pembekuan darah.4,5
Berbagai studi dilakukan untuk menilai efikasi EECP pada penyakit jantung koroner,
baik pada angina kronis, infark miokardium, maupun pada pasien jantung koroner dengan
disfungsi ventrikel. Selain aman, beberapa studi membuktikan adanya peningkatan kapasitas
latihan dan serapan oksigen pada pasien-pasien gagal jantung.6 Beck dkk pada tahun 2015
melakukan uji klinis pada pasien disfungsi ventrikel kiri dan menunjukkan bahwa EECP secara
efektif menurunkan indeks LVEw (Lef Ventricular wasted energy) sebesar 25% dan
menurunkan kebutuhan oksigen miokardium sebanyak 19%. Indeks tekanan perfusi koroner
meningkat 19% dan perfusi subendokardial meningkat 30% secara signifikan.7 Studi lain
menunjukkan bFMD (Brachial Flow-Mediated Dilation) meningkat setelah EECP sebesar 53%
pada pasien PJK dan 70% pada pasien disfungsi ventrikel kiri, dan fFMD (femoral Flow-
Mediated Dilation) meningkat 33% pada pasien PJK dan 21% pada pasien disfungsi ventrikel
kiri. Penelitian ini juga membuktikan peningkatan signifikan dari konsentrasi Nitrat sebesar
55% dan 28%, dan puncak VO2 sebesar 36% dan 21%.8 Penelitian oleh Braith dkk tahun 2010
menunjukkan terdapat penurunan sitokin petanda inflamasi, antara lain: TNF-α, MCP-1,
VCAM, hs-CRP, dan peroksida lipid secara signifikan pada pasien angina kronis setelah
dilakukan EECP.9 Meta-analisis dari Qin dkk tahun 2016 menunjukkan terapi EECP standar
10
(35-36 sesi dalam 7 minggu) secara signifikan meningkatkan perfusi miokardium pada
pasien-pasien PJK (pooled WMD: -0.19, 95% CI: -0.38 - 0.00, p = 0.049).3

Gambar 1 Mekanisme EECP dalam Memberikan Manfaat Klinis (diadaptasi dari


Manchanda dan Soran, 2007).

Mekanisme yang mendasari efek terapeutik dari EECP berasal dari perbaikan
hemodinamik sentral dan perifer, hal ini disebabkan oleh: perbaikan fungsi endotel,
peningkatan angiogenesis dan kolateral baru, perlambatan aterosklerosis, dan perbaikan
fungsi ventrikel, dan efek latihan pada ekstremitas yang analog dengan latihan gerak pasif.6
Selama fase diastolik, EECP meningkatkan aliran darah balik sehingga meningkatkan aliran
oksigen ke jantung dan arteri koroner. Kemudian, sesaat sebelum fase sistolik, 3 manset
deflasi secara bersamaan, menyebabkan penurunan beban jantung secara signifikan. Urutsn
deflasi inflasi ini akan meningkatkan puncak tekanan diastolik, menurunkan tekanan sistolik,
dan menurunkan resistensi vaskuler sistemik.2 Gloecker dkk tahun 2010 melalui uji klinisnya
menunjukkan bahwa EECP secara efektif meningkatkan pertumbuhan kolateral arteri
koroner, sehingga meningkatkan penghantaran oksigen ke miokardium.10 Perbaikan
hemodinamik perifer ditunjukkan dengan peningkatan vaskularisasi perifer, beberapa uji
klinis menunjkkan peningkatan aliran dan dilatasi dari arteri brakialis dan arteri femoralis.8
ECCP menurunkan kekakuan dinding pembuluh darah baik pada pembuluh darah sentral
11
maupun perifer, ditunjukkan dengan penurunan indeks augmentasi dan PVW (Pulse Wave
Velocity ) secara signifikan setelah 35 sesi ECCP.11 Selain itu, ECCP meningkatkan fungsi
endotel dengan mempelambat progresi dari aterosklerosis dan dengan menurunkan
inflamasi pada pembuluh darah. Penelitian oleh Zhang dkk tahun 2010 menunjukkan adanya
perlambatan aterosklerosis setelah ECCP, dibuktikan dengan penurunan ekspresi gen
proinflamasi. Penelitian ini merupakan studi in vivo pada hewan coba. Arteri pada hewan
coba aterosklerosis mengalami penurunan ukuran lesi aterosklerosis, baik pada arteri
koroner maupun pada aorta abdominalis, juga terdapat penurunan signifikan dari akumulasi
makrofag dan ekspresi gen pro-inflamasi (CRP, komplemen 3a, VCAM-1 dan i-NOS, MAPK-
p38 fosforilasi, dan NF-κB).12

REFERENSI:
1. Braith, R. B., Casey, Darren P., Beck, Darren T. 2012. Enhanced External
Counterpulsation for Ischemic Heart Disease: A Look Behind the Curtain. Exerc Sport
Sci Rev. Vol 40 (3) : 145–152. doi:10.1097/JES.0b013e318253de5e
2. Manchanda, A dan Soran, Ozlem. 2007. Enhanced External Counterpulsation and
Future Directions: Step Beyond Medical Management for Patients With Angina and
Heart Failure. Journal of the American College of Cardiology. Vol. 50, No. 16.
doi:10.1016/j.jacc.2007.07.024.
3. Qin, X., Yanye Deng, Dandong Wu, Lehua Yu, Rongzhong Huang. 2016. Does
Enhanced External Counterpulsation (EECP) Significantly Affect Myocardial
Perfusion?: A Systematic Review & Meta-Analysis. PLoS ONE 11 (4): e0151822.
doi:10.1371/journal.pone.0151822.
4. Thakkar, Bhavik V., Alan T Hirsch1, Daniel Satran, Bradley A Bart, Gregory Barsness,
Peter A McCullough, Elizabeth D Kennard, Sheryl F Kelsey and Timothy D Henry.
2009. The efficacy and safety of enhanced external counterpulsation in patients with
peripheral arterial disease. Vascular Medicine. Vol 15(1) 15–20. DOI:
10.1177/1358863X09106549.
5. Prasad, G. N., S. Ramasamy, Joy M.Thomas, Pradeep G. Nayar, Madhu N. Sankar , N.
Sivakadaksham, K. M. Cherian. 2010. Enhanced External Counterpulsation (EECP)
Therapy: Current Evidence For Clinical Practice And Who Will Benefit? Indian Heart J.
Vol 62:296-302.
6. Raza, Anoshia, Kate Steinberg, Joseph Tartaglia, William H. Frishman, Tanush Gupta.
2016. Enhanced External Counterpulsation Therapy: Past, Present, and Future.
Cardiology in Review 2017;25: 59–67). DOI: 10.1097/CRD.0000000000000122.
7. Beck, Darren T., Darren P. Casey, Jeffrey S. Martin, Paloma D. Sardina, M., Randy W.
Braith. 2015. Enhanced External Counterpulsation Reduces Indices Of Central Blood
Pressure And Myocardial Oxygen Demand In Patients With Left Ventricular
Dysfunction. Clin Exp Pharmacol Physiol. Vol 42(4): 315–320. doi:10.1111/1440-
1681.12367.
12
8. Beck, D.T., JS Martin, DP Casey, JC Avery, PD Sardina, M.S., Braith B.W. 2014
Enhanced External Counterpulsation Reduces Indices Of Central Blood Pressure And
Myocardial Oxygen Demand In Patients With Left Ventricular Dysfunction. Clin Exp
Pharmacol Physiol. Vol 41(9): 628–636. doi:10.1111/1440-1681.12263
9. Braith, Randy W. Richard Conti, Wilmer W. Nichols, Calvin Y. Choi, Matheen A.
Khuddus, Darren T. Beck, Darren P. Casey. 2010. Enhanced External Counterpulsation
Improves Peripheral Artery Flow-Mediated Dilation in Patients With Chronic Angina.
Circulation Vol 122: 1612-1620. doi: 10.1161/ CIRCULATIONAHA.109.923482
10. Gloekler, S., Pascal Meier, Stefano F de Marchi, Tobias Rutz, Tobias Traupe, Stefano F
Rimoldi, Kerstin Wustmann, He´le`ne Steck, Ste´phane Cook, Rolf Vogel, Mario Togni,
Christian Seiler. 2009. Coronary collateral growth by external counterpulsation: a
randomised controlled trial. Heart Vol 96 :202e207. doi:10.1136/hrt.2009.184507
11. Casey, Darren P., Darren T. Beck, Wilmer W. Nichols, C. Richard Conti, Calvin Y. Choi,
Matheen A. Khuddus, Randy W. Braith. 2011. Effects of Enhanced External
Counterpulsation on Arterial Stiffness and Myocardial Oxygen Demand in Patients
with Chronic Angina Pectoris. Am J Cardiol. Vol 15; 107 (10): 1466–1472.
doi:10.1016/j.amjcard.2011.01.021.
12. Zhang, Y. Xiaohong He, Donghong Liu, Guifu Wu, Xiaolin Chen, Hong Ma, Zhimin Du,
Yugang Dong, Yafei Jin, Wen He, Kuijian Wang, William E. Lawson, John C.K. Hui,
Zhensheng Zheng. 2010. Enhanced External Counterpulsation Attenuates
Atherosclerosis Progression Through Modulation of Proinflammatory Signal Pathway
Arterioscler Thromb Vasc Biol.Vol 30:773-780. DOI: 10.1161/ATVBAHA.109.197806

13
Chest Pain

Amir Aziz Alkatiri


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

PENDAHULUAN
Evaluasi dan tatalaksana pasien dengan sindroma sakit dada merupakan tantangan
diagnostik tiap dokter, terutama yang bekerja di unit gawat darurat. Data amerika serikat
menunjukkan ada 5 juta pasien datang ke UGD dengan keluhan utama sakit dada, mayoritas
penyebabnya non kardiak (lebih dari 55%. Lebih dari 5% dari semua kunjungan unit gawat
darurat berhubungan dengan keluhan yang berkaitan dengan sakit dada. Untuk alasan ini,
perlu dibuat prioritas triase dengan delay minimal dan evaluasi EKG 12 sadapan.
Diagnosis diferensial sindroma sakit dada sangat luas, meliputi kasus yang ringan hingga
yang mengancam nyawa. Diantara penyebab yang mengancam nyama diantaranya sindrom
koroner akut, emboli paru, diseksi aorta, ruptur aorta, penumotoraks dan ruptur esofagus.
Ada diagnosis lain yang tidak kritis, diantaranya sakit muskuloskeletal, herpes zoster,
pneumonia atau refluks gastroesofagus.

DEFINISI
Perbedaan sakit dada dan angina
Angina pektoris adalah sakit dada, tekanan atau ketidaknyamanan substernal yang
dicetuskan oleh aktivitas dan atau stres emosional, berlangsung lebih dari 30-60 detik, dan
berkurang dengan istirahat dan nitrat. 1

ETIOLOGI
Nyeri viseral biasanya memiliki pola distribusi yang tidak jelas, sehingga pasien tidak dapat
menunjukkan lokasi yg spesifik. Ketika menanyakan pasien untuk menunjuk dengan satu jari
lokasi nyeri yang dirasakan, biasanya pasien akan menunjuk ke daerah yg luas dan tidak
spesifik. Sifat nyeri viseral biasanya tumpul, dalam dan rasa seperti tertekan. Nyeri viseral
juga bisa meliputi daerah lain sesuai jalur saraf, meliputi punggung, rahang atau lengan kiri.
Keluhan seperti mual dan muntah juga tanda dari nyeri viseral. Sebalinya nyeri somatik
bersifat lebih spesifik dibandingkan nyeri viseral dan biasanya pasien dapat menunjuk ke
lokasi spesifik. Nyeri somatik juga biasanya tidak menjalar ke bagian lain. Deskripsi nyeri
somatik ini biasanya tajam, stabbing dan poking. 2

EPIDEMIOLOGI
Saat mengevaulasi sakit dada, setiap dokter harus mempertimbangkan penyebab sakit dada
yang mengancam nyawa. Diantaranya dibawah ini beserta prosentase terjadinya di unit
gawat darurat: 3
• Sindrom koroner akut (SKA), 31%
14
• Emboli paru, 2%
• Pneumotoraks
• Tamponade perikard (perikarditis, 4%)
• Diseksi aorta, 1%
• Perforasi esofagus
Penyebab lain yang tidak mengancam nyawa diantaranya:
• Penyakit refluks gastrointestinal, 30%
• Muskuloskeletal, 28%
• Pneumonia/pleuritis, 2%
• Herpes Zoster, 0,5%
• Perikarditis

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK


Anamnesis
Seperti halnya keluhan lain, evaluasi sakit dada dimulai dengan anamnesis yang lengkap.
• Onset: waktu keluhan berawal, aktivitas yg memperberat dan meringankan, apakah
diperberat aktivitas atau muncul saat istirahat
• Lokasi: Apakah pasien dapat menunjuk lokasi nyeri dada secara pasti atau tidak
• Durasi: Berapa lama sakit dada yang dirasakan
• Sifat: Biarkan pasien mendeskripsikan sifat nyeri dengan bahasanya sendiri
• Faktor yang memberatkan/meringankan: Sangat penting mengetahui hal-hal apa
saja yang membuat nyeri bertambah berat. Apakah berhungan dengan aktivitas, atau
makan atau bernafas? Apakah posisi mempengaruhi? Apa saja obat atau usaha yang
telah dilakukan untuk mengurangi nyeri dada.
• Penjalaran: Untuk membedakan nyeri viseral atau somatik
• Waktu: Apakah nyeri pertama kali atau sudah ada keluhan ini sebelumnya?
Perlu ditanyakan juga gejala penyerta diantaranya:
• Sesak nafas
• Mual dan muntah
• Demam
• Keringat dingin
• Batuk
• Dispepsia
• Edema
• Nyeri atau bengkak tungkai
• Sakit sebelumnya

15
Gambar 1. Penyebab sakit dada selain jantung 4

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus meliputi:
• Tanda vital, termasuk tekanan darah di kedua lengan
• Penampakan umum,meliputi keringat dingin dan distress
• Pemeriksaan distensi vena juguler
• Palpasi dada untuk mengecek nyeri dada dan krepitasi
• Pemeriksaan jantung dan paru
• Pemeriksaan abdomen
• Pemeriksaan ekstremitas (edema nyeri,pulsasi)

Evaluasi
Banyak fasilitas memiliki protokol untuk evaluasi keluhan sakit dada, namun rekomendasi
beberapa fasilitas yang diperlukan:
• Elektrokardiogram (EKG)
• Rontgen thorax
• Pemeriksaan laboratorium darah, terutama enzim jantung Troponin
• MSCT scan
• Ultrasound bedside untuk memastikan tamponade perikard

TATALAKSANA
Sindrom koroner akut
Tatalaksana awal sindrom koroner akut perlu dipahami oleh semua dokter, diantaranya
akses intravena, pemberian oksigen, monitor ekg, pemberian aspirin dan clopidogrel atau
tikagrelor dan kontrol nyeri dengan nitrat ataupun morfin. Pasien dengan STEMI perlu
segera ditangani dengan reperfusi akut, baik trombolitik atau intervensi koroner perkutan
primer (Primary PCI).
Emboli paru

16
Pemeriksaan MSCT scan merupakan pemeriksaan terbaik untuk mengkonfirmasi diagnosis,
selain V/Q scan. Pasien emboli paru dengan hemodinamik yang tidak stabil perlu diberikan
trombolitik. Pasien yang stabil diberikan antikoagulan.
Pneumotoraks
Pasien pneumothoraks harus dilakukan dekompresi dengan tabung plastik kecil (chest tube).
Tamponade perikardium
Ultrasound bedside sangat bermanfaat menegakkan diagnosis. Perlu dilakukan
perikardiosentesis atau dibuat pericardial window untuk mengeluarkan cairan dan
menurunkan tekanan perikardium.

Gambar 2. Tamponade Perikardium

Diseksi Aorta
Seringkali pembedahan emergensi diperlukan, sehingga perlu konsultasi dengan ahli bedah
toraks jantung sesegera mungkin. CT Scan Aorta merupakan pemeriksaan terbaik untuk
mendiagnosis diseksi aorta. Tatalaksana awal meliputi pemberian anti hipertensi intravena
untuk menurunkan tekanan darah dan denyut jantung secepat mungkin.
Perforasi Esofagus
Adanya gambaran efusi pleura kiri pada rontgen dada dapat menjadi tanda ruptur esofagus.
Esofagogram kontras merupakan pemeriksaan terbaik. Diperlukan tindakan bedah segera
untuk mengkoreksi kelainan ini. 5

Rujukan:
1. Kloner RA, Chaitman B. Angina and its management. Journal of Cardiovascular
Pharmacology and Therapeutics
2016; 1-11.
2. Fruergaard P, Launbjerg J, Hesse B. Frequency of pulmonary embolism in patients
admitted with chest pain and suspicion of acute myocardial infarction but in whom
this diagnosis is ruled out. Cardiology. 1996 Jul-Aug; 87(4): 331-4.
3. Fruergaard P, Launbjerg J, Hesse B, Jørgensen F, Petri A, Eiken P, Aggestrup S, Elsborg
L, Mellemgaard K. The diagnoses of patients admitted with acute chest pain but
without myocardial infarction. Eur Heart J 1996 Jul; 17(7): 1028-34.

17
4. Rushton S, Carman MJ. Chest pain. If it is not the Heart, What is it? . Nurs Clin N Am -
2018
5. Shokoohi H, Boniface KS, Zaragoza M, Pourmand A, Earls JP. Point-of-care ultrasound
leads to diagnostic shifts in patients with undifferentiated hypotension. Am J Emerg
Med 2017 Dec;35(12): 1984.e3-1984.e7.

18
Ekokardiografi untuk Sindroma Koroner Akut

Amiliana M. Soesanto
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Pendahuluan
Ekokardiografi merupakan alat diagnostik yang mempunyai peranan penting dalam kasus-
kasus kegawatan di unit gawat darurat (UGD) maupun kasus kritikal di perawatan intensif.
Lebih jauh ekokardiografi juga sudah dimasukkan dalam definisi universal dari akut
miokardial infark1, dan panduan internasional untuk tatalaksana henti jantung.2 Istilah
Sindroma Koroner Akut (SKA) mencakup angina tidak stabil, infark tanpa peningkatan
segmen ST (NSTEMI), dan infark dengan peningkatan segmen ST (STEMI). Diagosis SKA
ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), dan
pemeriksaan biomarker jantung. Tidak jarang diagnosis SKA cukup sulit ditegakkan karena
gejala dan tanda klinis yang ditemukan tidak saling mendukung, bahkan meragukan. Pada
kondisi tersebut ekokardiografi mempunyai peran untuk membantu menegakkan diagnosis
atau menyingkarkan diagnosis. Gejala utama dari SKA adalah sakit dada yang khas.

Kaskade Iskemia
Iskemia akut berkaitan dengan beberapa perubahan biokimiawi dan fisiologis pada jaringan
miokardium. Kaskade iskemi bermula dari perubahan biokimia yang diikuti oleh
abnormalitas fungsi diastolik dan kemudian fungsi sistolik ventrikel kiri.3 Gangguan tersebut
kemudian akan diikuti oleh timbulnya peningkatan biomarker jantung, perubahan EKG, dan
akhirnya timbulnya gejala. Kemampuan mendeteksi adanya iskemia pada fase awal dapat
dilakukan oleh ekokardiografi dengan melihat gangguan diastolic dan sistolik. Hal tersebut
membuat ekokardiografi menjadi hal yang dapat digunakan pada kasus dengan sakit dada
tanpa keluhan dan tanda yang khas untuk SKA. 3

Diagnosis Sindroma Koroner Akut


Triage awal perlu dilakukan di UGD pada pasien dengan kecurigaan SKA. Diagnosis SKA
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, pemeriksaan
laboratorium marka jantung, dan foto polos dada. Pada beberapa kasus, keluhan nyeri dada
bersifat atipikal dan pemeriksaan EKG yang didapat bersifat non diagnostik tanpa perubahan
segmen ST yang jelas. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan lain untuk
menyingkirkan diagnosis banding dan mengevaluasi penyebab lain sakit dada. Dalam kasus
ini, ekokardiografi dapat dilakukan ketika anamnesis klinis dan pemeriksaan EKG bersifat
non diagnostik. 4, 5

Anamnesis

19
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop4, 5.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral
akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa
untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup
mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik
disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan
diagnosis banding SKA.4, 5
Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia
harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang
gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam
pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior
(II, III, aVF). Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10
menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.4, 5

Pemeriksaan Marka Jantung


Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan troponin I/T menunjukkan kadar yang
normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 3- 6 jam setelah
pemeriksaan pertama jika diagnosis infark belum bisa ditegakkan.6

Pemeriksaan Ekokardiografi
Diagnosis infark miokard akut secara sederhana dapat ditegakkan dengan adanya gejala
klasik dan perubahan EKG. Namun, hanya sepertiga pasien yang mengalami sakit dada tipikal
SKA yang mengalami perubahan EKG. Ekokardiografi 2D telah terbukti bermanfaat untuk
mengidentifikasi abnormalitas gerakan dinding regional jantung dan lebih unggul daripada
metode konvensional untuk mendeteksi infark miokard akut dalam keadaan darurat.7
Temuan abnormalitas gerakan dinding regional jantung merupakan indikator yang relatif
akurat, yaitu sekitar 50%. Selain itu, ekokardiografi berperan untuk mengevaluasi perluasan
disfungsi regional, mendokumentasikan perubahan serial fungsi ventrikel, dan mendiagnosis
komplikasi penting. Pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis SKA dilakukan
terutama saat temuan klinis dan temuan EKG meragukan untuk penegakan diagnosis SKA.8
20
Berdasarkan panduan dari ACCF/ASE/AHA/ASNC/HFSA/HRS/SCAI/SCCM/ SCCT/SCMR
Appropriate Use Criteria for Echocardiography tahun 2011 disebutkan bahwa TTE pada
kondisi sakit dada akut sedang berlangsung dengan kecurigaan infark miokard dan EKG tidak
bersifat diagnostik, maka ekokardiografi saat istirahat (resting echocardiography) dapat
dilakukan (Appropriate Use Score A-9). TTE juga dapat dilakukan untuk evaluasi pasien tanpa
sakit dada namun dengan gambaran lain yang sesuai dengan gambaran iskemia. (ischemic
equivalent) atau marka laboratorium menandakan adanya iskemia (Appropriate Use Score A-
8).9
Keterbatasan utama dari ekokardiografi adalah tidak dapat memvisualisasikan semua
segmen ventrikel, sehingga mempengaruhi keakuratannya dalam menilai penebalan dinding.
Ekokardiografi harmonik jaringan (tissue harmonic echocardiography/THE) menggunakan
transduser yang hanya menerima harmonisasi dari frekuensi yang dipancarkan. THE
mengurangi artefak dan meningkatkan delineasi batas endokardial sehingga dapat
meningkatkan penilaian ketebalan dinding sistolik.7 Pada pasien dengan kecurigaan kuat
SKA, yaitu dengan gejala nyeri dada lebih dari 30 menit, onset kurang dari 6 jam, dan
terdapat abnormalitas EKG, THE dapat menjadi alat untuk menilai risiko (risk assessment)
dengan nilai prediksi negatif 97%, nilai prediksi positif 24% dan sensitivitas 92% dan
spesifisitas 48%. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada iskemia miokard transien, iskemia
kronis (hibernating myocardium), atau skar miokard, miokarditis, kardiomiopati non-
epidemik atau kondisi lain yang tidak terkait dengan oklusi koroner.7 Fungsi sistolik normal
yang didapatkan pada kondisi istirahat tidak dapat meng-eksklusi diagnosis SKA. Pada
keadaan infark subendokardial, mungkin tidak terlihat kelainan pergerakan dinding miokard,
sehingga pemeriksaan ekokardiografi saja dapat menjadi negatif palsu.7

Pemeriksaan Pencitraan dan Stress Imaging pada SKA


Disfungsi ventrikel kiri merupakan salah satu faktor prognostik pada kasus STEMI. Oleh
karena itu, disarankan untuk memeriksa fraksi ejeksi ventrikel kiri sebelum pasien keluar
rumah sakit pada kasus STEMI. Berdasarkan panduan dari European Society of Cardiology
(ESC) 2017, ekokardiografi gawat darurat (emergency echocardiography) pada presentasi
awal SKA diindikasikan untuk pasien dengan syok kardiogenik dan atau hemodinamik tidak
stabil atau kecurigaan sudah terjadi komplikasi mekanik, tanpa menunda angiografi (Kelas I;
LOC C). Ekokardiografi gawat darurat sebelum angiografi dapat dipertimbangkan jika
diagnosis SKA belum dapat dipastikan (Kelas II A; LOC C). Ekokardiografi gawat darurat yang
dapat menunda angiografi tidak direkomendasikan (Kelas III; LOC C). Pemeriksaan CT
Angiografi tidak dianjurkan pada kasus SKA (Kelas III; LOC C).5

Berdasarkan panduan dari ESC 2017, saat dirawat di rumah sakit, ekokardiografi rutin
direkomendasikan pada semua pasien untuk menilai fungsi ventrikel kiri saat istirahat dan
fungsi ventrikel kanan, mendeteksi awal kompilikasi mekanik paska infark miokard, dan
mengeksklusi keberadaan trombus ventrikel kiri (Kelas I; LOC B). Ekokardiografi gawat
darurat diindikasikan untuk pasien dengan hemodinamik tidak stabil (Kelas I; LOC C). Ketika
21
ekokardiografi suboptimal atau inkonklusif, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pencitraan
lain seperti MRI (Kelas II A; LOC C). Stress echocardiography, MRI, SPECT, atau PET dapat
digunakan untuk menilai iskemia miokardial dan viabilitas terutama pada kasus
penyempitan pembuluh darah koroner multipel (Kelas II B; LOC C). Setelah pulang dari
rumah sakit, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% ekokardiografi
direkomendasikan untuk dapat diulang 6-12 minggu setelah infark miokard, dan setelah
revaskularisasi komplit dan terapi medikamentosa optimal, untuk menilai apakah perlu
dilakukan pemasangan ICD sebagai prevensi primer (Kelas I; LOC C). Ketika ekokardiografi
suboptimal atau inkonklusif, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pencitraan lain seperti MRI
untuk menilai fungsi ventrikel kiri (Kelas II A; LOC C).5
Ekokardiografi dapat digunakan untuk menilai penyebab lain dari sakit dada seperti diseksi
aorta, penyakit jantung katup, perikarditis, miokaditis, emboli paru takotsubo
kardiomiopati/stress induced cardiomyopathy. Pada takotasubo kardiomiopati, sekitar 2%
pasien datang ke UGD dengan presentasi SKA. Pasien biasanya wanita (0,9%) dan
perimenopause. Takotsubo kardiomiopati dapat menyerupai SKA, dengan presentasi sakit
dada disertai dengan perubahan EKG, namun tanpa bukti angiografi SKA. Kasus ini ditandai
dengan disfungsi LV reversibel dengan abnormalitas gerakan dinding regional yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan regio yang diperdarahi arteri koroner. Pada takotsubo, terdapat
akinesia apikal LV yang dinilai melalui ekokardiografi, sehingga ekokardiografi menjadi salah
satu alat diagnostik klinis yang ideal.5

Deteksi Komplikasi Sindroma Koroner Akut


Ekokardiografi merupakan alat utama untuk mendiagnosis komplikasi mekanik pada SKA.
Pada kecurigaan terdapat komplikasi akibat SKA, pasien dengan gangguan hemodinamik
yang tidak dapat dijelaskan harus segera dievaluasi melalui ekokardiografi. Penting untuk
mengetahui bahwa ekokardiografi transtorakal (TTE) dan ekokardiografi transesofageal (TEE)
merupakan modalitas yang saling melengkapi. TTE yang dilakukan oleh ahli ekokardiografi
dapat secara cepat membantu untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien dengan kondisi
kritis dimana akuisisi pencitraan menjadi sulit, TEE dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis. Komplikasi yang dapat terjadi pada SKA antara lain ruptur septum
ventrikel, ruptur dinding miokard (free wall), rupture muskulus papilaris, aneurisma apikal
disertai dengan trombus, dan infark ventrikel kanan.10, 11

Berdasarkan panduan dari ACCF/ASE/AHA/ASNC/HFSA/HRS/SCAI/SCCM/ SCCT/SCMR


Appropriate Use Criteria for Echocardiography tahun 2011 disebutkan bahwa TTE dapat
digunakan untuk mendeteksi komplikasi akibat infark miokard, termasuk regurgitasi mitral
akut, defek septum ventrikel, rupture dinding miokard, syok, keterlibatan ventrikel kanan,
gagal jantung, dan trombus (Appropriate Use Score A-9).9

Stratifikasi Risiko dan Analisa terhadap Luaran Klinis pada Sindroma Koroner Akut

22
Ekokardiografi memiliki peran yang penting dalam stratifikasi risiko pada SKA. Secara umum,
ekokardiografi akan sangat membantu untuk menilai fungsi ventrikel kiri sebelum angiografi.
Ekokardiografi dapat memberikan penilaian biplane yang non-invasif, mengidentifikasi
kelainan katup, dan mengevaluasi fungsi jantung kanan. Angiografi ventrikel kiri mungkin
tidak sesuai pada pasien yang sakit kritis dan lebih mudah untuk mendapatkan informasi
yang akurat sebelum dilakukan tindakan invasive dengan melakukan ekokardiografi. Selain
itu, stratifikasi risiko dengan ekokardiografi sangat relevan jika terdapat rencana manajemen
konservatif.11

Pasien dengan abnormalitas gerakan dinding regional yang persisten memiliki tingkat
iskemia kronis yang lebih parah dan berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi.
Ekokardiografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosi dan juga dapat membantu
menentukan keputusan untuk reperfusi, yaitu dengan melihat lokasi dan severitas
abnormalitas gerakan dinding regional. Ekokardiografi juga berperan penting pada pasien
yang tidak berisiko tinggi, tanpa bukti disfungsi ventrikel kiri namun memiliki abnormalitas
gerakan dinding regional yang signifikan. Pasien dengan abnormalitas gerakan dinding
regional yang luas sebaiknya dilakukan ekokardiografi berkelanjutan (follow up) untuk
mendeteksi remodelling LV awal dan komplikasi lainnya, sehingga dapat memengaruhi
penatalaksanaan medis selanjutnya.11

Ekokardiografi dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi adverse event SKA.
Pada sebuah studi oleh Hickman, dkk. sidapatkan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif
positif dan negatif untuk prediksi cardiac event seperti ditunjukkan pada tabel 17

Pada studi ini, grafik Kaplan Meier (Gambar 1) menunjukkan pemisahan yangsignifikan (uji
log rank p = 0,002) dalam angka kesintasan antara pasien dengan dan tanpa kelainan
penebalan dinding jantung yang dinilai dengan ekokardiografi harmonik jaringan/THE.7
Ekokardiografi harmonik jaringan/THE dapat memberikan informasi tambahan, melebihi
temuan klinis dan EKG dalam memprediksi kejadian komplikasi selanjutnya akibat SKA
(Gambar 2).7

Sebuah studi oleh Badetti et all mendapatkan bahwa terdapat tiga variabel prediksi skor
ekokardiografi yang dipilih berdasarkan analisis multivariat Cox, berkisar dari 0 (normal)
hingga 9 (abnormalitas berat fraksi ejeksi, ultrasound lung comets, dan TAPSE) yang secara
akurat dapat memprediksi kesintasan bebas infark (Tabel 2).11

Pada studi ini, grafik Kaplan-Meier menunjukkan hasil kesintasan yang lebih baik untuk
pasien dengan skor ekokardiografi risiko rendah dibandingkan dengan skor ekokardiografi
risiko menengah atau risiko tinggi (log-rank 99,28, p <0,0001; Gambar 3). Selain itu, hasil
stratifikasi risiko SKA yang efektif menggunakan ekokardiografi dan USG paru sebanding
dengan skor TIMI dan GRACE. 11
23
Spesifisitas Sensitivitas Nilai Nilai Univariat Signifikansi
(%) (%) Prediksi Prediksi (X2)
Positif (%) Negatif (%)
Riwayat MI 71 55 52 73 3.9 <0.05
Hipertensi 59 41 36 64 0.0 >0.1
Riwayat 44 55 36 63 0.0 >0.1
merokok
Diabetes 75 24 35 63 0.1 >0.1
EKG 41 72 41 72 1.6 >0.1
abnormal
Deviasi ST 88 14 40 64 0.0 >0.1
T-wave 59 38 64 63 0.1 >0.1
inversion
FE abnormal 46 71 43 74 2.1 >0.1
THE 55 83 51 85 10.0 0.002
abnormal

Tabel 1. Akurasi dari Variabel Klinis, EKG dan Ekokardiografi untuk Memprediksi Cardiac
Event

Gambar 1. Grafik Kaplan-Meier terhadap Event Free Survival pada SKA.

24
Gambar 2. Grafik Perbandingan Peningkatan Nilai Diagnostik Temuan Klinis, EKG dan
Ekokardiografi dalam Prediksi Cardiac Event pada SKA.

Skor 0 1 2 3
EF >=50% 49-40 39-30% <30%
TAPSE >20 mm 20-15 mm 14-10 mm <10 mm
ULCs <= 5 6-15 16-30 >=30

Tabel 2. Skor Ekokardiografi untuk Prediksi Hard Events pada SKA.

Gambar 3. Grafik Kaplan-Meier untuk Prediksi Event-Free Survival Berdasarkan Skor


Ekokardiografi

Berdasarkan panduan dari American heart Association/AHA, ekokardiografi dapat digunakan


untuk menentukan penilaian risiko, prognosis, dan evaluasi terapi SKA. Ekokardiografi dapat
dilakukan untuk menilai ukuran infark dan atau perluasan infark, menilai fungsi ventrikel
saat pasien dirawat di rumah sakit untuk memantau terapi, menilai viabilitas miokardium
untuk melihat potensi efikasi tindakan revaskularisasi (Kelas I).8, 12 Saat dirawat di rumah
sakit atau saat awal setelah pulang dari rumah sakit, ekokardiografi dapat dilakukan untuk
menilai ada atau tidaknya kondisi inducible ischemia pada kondisi dimana pada awalnya
tidak ditemukan abnormalitas yang diharapkan sesuai dengan interpretasi EKG, evaluasi
ulang fungsi ventrikel selama fase pemulihan, dan menilai fungsi ventrikel setelah
25
revaskularisasi (Kelas IIA). 8,12 Ekokardiografi juga dapat dilakukan untuk menilai prognosis
jangka panjang yaitu lebih dari dua tahun setelah kejadian SKA (Kelas IIB).8, 12 Pemeriksaan
ekokardiografi rutin untuk evaluasi ulang tanpa perubahan klinis tidak direkomendasikan
(Kelas III).8, 12
Kesimpulan
Ekokardiografi dapat digunakan untuk secara cepat mendeteksi adanya abnormalitas
gerakan diniding regional akibat dari infark akut / iskemia, mengelompokkan pasien ke
dalam kategori risiko tinggi atau rendah, mendiagnosis komplikasi penting, dan memprediksi
prognosisnya. Ekokardiografi untuk diagnosis infark miokard paling besar manfaatnya pada
pasien dengan kecurigaan klinis tinggi tetapi EKG normal atau bersifat nondiagnostik.

Daftar Pustaka:
1. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Chaitman BR, Bax JJ, Morrow DA and White HD. Fourth
Universal Definition of Myocardial Infarction (2018). Journal of the American College of
Cardiology. 2018;72:2231-2264.
2. Ancion A, Lancellotti P, Dulgheru R, Galderisi M, Cardim N, Zamorano J-L, Donal E,
Bueno H, Habib G, Price S, Haugaa KH, Edvardsen T, Cosyns B, Neskovic AN, Flachskampf
FA, Hassager C, Pasquet A and Gargani L. The use of echocardiography in acute
cardiovascular care: Recommendations of the European Association of Cardiovascular
Imaging and the Acute Cardiovascular Care Association. European Heart Journal -
Cardiovascular Imaging. 2014;16:119-146.
3. Aboulhosn J, Child J and Otto C. The Role of Echocardiographic Evaluation in Patients
Presenting with Acute Chest Pain to the Emergency Department. In: C. Otto, ed. The
Practice of Clinical Echocardiography Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.
4. Torbicki A, Kastrati A, Vahanian A, Auricchio A, Hoes A, Merkely B, Popescu BA, Deaton
C, Vrints CJ, Funck-Brentano C, Hamm CW, Ceconi C, Moulin C, Dudek D, Hasdai D, Gulba
D, Poldermans D, Zahger D, Boersma E, Falk E, Swahn E, Crea F, Romeo F, Sonntag F,
Neumann F-J, Montalescot G, Bøtker HE, Bueno H, Baumgartner H, Collet J-P, Bassand J-
P, Bax J, Bax JJ, Perk J, Herrmann J, Goudevenos J, Knuuti J, Mehilli J, Kjeldsen K, Huber
K, Badimon L, Neyses L, Ohman M, Roffi M, Valgimigli M, Petrie MC, Bertrand M, Uva
MS, Ruda M, Danchin N, Lancellotti P, Sirnes PA, Widimsky P, Kolh P, Caso P, Hambrecht
R, Fagard R, Storey RF, Kristensen SD, Agewall S, Achenbach S, Gielen S, Windecker S,
Windecker S, McDonagh T, Sechtem U, Dean V, Wijns W, Reiner Ž, Members ATF,
Reviewers D and Guidelines ECfP. ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation: The Task
26
Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
European Heart Journal. 2011;32:2999-3054.
5. Torbicki A, Kastrati A, Fuat A, Maggioni AP, Vahanian A, Budaj A, Gershlick AH, Hoes A,
van't Hof A, Merkely B, Popescu BA, Lundqvist CB, Di Mario C, Deaton C, Funck-Brentano
C, Hamm CW, Ceconi C, Moulin C, Atar D, Hasdai D, Hasdai D, Zahger D, Astin F,
Fernandez-Aviles F, Van de Werf F, Neumann F-J, Verheugt F, Ducrocq G, Baumgartner
H, Collet J-P, Bax JJ, Knuuti J, Knuuti J, Åström-Olsson K, Fox KA, Dickstein K, Mahaffey
KW, Huber K, Wallentin L, Badano LP, Valgimigli M, Piepoli MF, Lenzen MJ, Borger MA,
Tendera M, Gustiene O, Giannuzzi P, Lancellotti P, Kirchhof P, Sirnes PA, Clemmensen P,
Juni P, Kala P, Widimsky P, Steg PG, Kolh P, Fagard R, Halvorsen S, Windecker S,
McDonagh T, Sechtem U, Dean V, Reiner Ž, James SK, Members ATF, Reviewers D and
Guidelines ECfP. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force on the management of
ST-segment elevation acute myocardial infarction of the European Society of Cardiology
(ESC). European Heart Journal. 2012;33:2569-2619.
6. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Perhimpuan Kardiologi
Indonesia; 2018.
7. Swinburn JMA, Hickman M and Senior R. Wall thickening assessment with tissue
harmonic echocardiography results in improved risk stratification for patients with non-
ST-segment elevation acute chest pain. European Journal of Echocardiography.
2004;5:142-148.
8. Cheitlin MD, Armstrong WF, Aurigemma GP, Beller GA, Bierman FZ, Davis JL, Douglas PS,
Faxon DP, Gillam LD, Kimball TR, Kussmaul WG, Pearlman AS, Philbrick JT, Rakowski H,
Thys DM, Antman EM, Smith SC, Alpert JS, Gregoratos G, Anderson JL, Hiratzka LF, Faxon
DP, Hunt SA, Fuster V, Jacobs AK, Gibbons RJ and Russell RO. ACC/AHA/ASE 2003
guideline update for the clinical application of echocardiography: summary article. a
report of the American college of cardiology/American heart association task force on
practice guidelines (ACC/AHA/ASE committee to update the 1997 guidelines for the
clinical application of echocardiography). 2003;42:954-970.
9. Douglas PS, Garcia MJ, Haines DE, Lai WW, Manning WJ, Patel AR, Picard MH, Polk DM,
Ragosta M, Ward RP and Weiner RB.
ACCF/ASE/AHA/ASNC/HFSA/HRS/SCAI/SCCM/SCCT/SCMR 2011 Appropriate Use Criteria
for Echocardiography. <span class="subtitle">A Report of the American College of
Cardiology Foundation Appropriate Use Criteria Task Force, American Society of
Echocardiography, American Heart Association, American Society of Nuclear Cardiology,
Heart Failure Society of America, Heart Rhythm Society, Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions, Society of Critical Care Medicine, Society of
Cardiovascular Computed Tomography, and Society for Cardiovascular Magnetic
Resonance <em>Endorsed by the American College of Chest Physicians</em></span>.
2011;57:1126-1166.
27
10. Bedetti G, Gargani L, Sicari R, Gianfaldoni ML, Molinaro S and Picano E. Comparison of
Prognostic Value of Echocardiacgraphic Risk Score With the Thrombolysis In Myocardial
Infarction (TIMI) and Global Registry In Acute Coronary Events (GRACE) Risk Scores in
Acute Coronary Syndrome. The American Journal of Cardiology. 2010;106:1709-1716.
11. Greaves SC. Role of echocardiography in acute coronary syndromes. Heart.
2002;88:419-425.
12. Gibbons RJ, Abrams J, Chatterjee K, Daley J, Deedwania PC, Douglas JS, Ferguson TB,
Fihn SD, Fraker TD, Gardin JM, O’Rourke RA, Pasternak RC, Williams SV, Gibbons RJ,
Alpert JS, Antman EM, Hiratzka LF, Fuster V, Faxon DP, Gregoratos G, Jacobs AK and
Smith SC. ACC/AHA 2002 guideline update for the management of patients with chronic
stable angina—summary article. a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on practice guidelines (Committee on
the Management of Patients With Chronic Stable Angina). 2003;41:159-168.

28
Addressing Challenges in Hypertension and Related Comorbidities: a look at
Nebivolol

Anwar Santoso
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Hipertensi merupakan salah satu fakto risiko yang harus selalu kita pertimbangkan karena
jika tidak kita perbaiki sejak awal, hipertensi ini mengarah pada kematian akibat kegagalan
organ tahap akhir1. Di Asia sendiri, >70% pasien dengan hipertensi ternyata tidak
terkontrol2. Berdasarkan panduan ESC 2018 untuk hipertensi, beta-bloker masih menjadi
pilihan obat untuk hipertensi yang disertai penyakit kardiovaskular3. Walaupun memang,
beta-bloker generasi pertama dan kedua masih dipertanyakan kemampuannya dalam
melindungi kardiovaskular.

Beta-bloker generasi ketiga, terlihat tidak memiliki bagian negatif yang berbeda dengan
beta-bloker generasi sebelumnya. Hal ini mengapa ditekankan pemilihan beta-bloker
sangatlah penting, sebagai contoh disarankan untuk memilih yang beta1 selektif, memiliki
kemampuan vasodilatasi dimana keduanya dapat meningkatkan efikasi, menurunkan efek
samping dan juga profil metabolik yang baik.

Nebivolol sebagai beta-bloker generasi ketiga, yang memiliki etaniomer dekstro dan
etaniomer levo, sehingga lebih kardioseletif dibandingkan beta-bloker lainnya dan juga
memiliki kemampuan vasodilatasi oleh perangsangan pelepasan NO di endothelial4. Selain
itu, nebivolol juga cukup nyaman dipergunakan dan dapat meningkatkan kepatuhan minum
obat karena cukup diminum 1x1 hari.

Berbagai penelitian dilakukan untuk membuktikan manfaat penggunaan nebivolol


dibandingkan baik beta-bloker lain maupun dibandingkan obat antihipertensi lainnya.
Bahkan nebivolol mampu menurunkan kekakuan arteri dibandingkan atenolol5, manfaat
kardioselektifitas nebivolol yang lebih tinggi dibanding beta-bloker lain terhadap
penghambatan di jalur napas6-7, profil lipid yang lebih baik dibandingkan atenolol8 dan juga
adanya perbaikan kadar HbA1 c 9. Selain itu, nebivolol mampu memperbaiki performa fisik
pasien dan perbaikan fungsi ereksi.

Dapat disimpulkan disini bahwa nebivolol berbeda dengan beta-bloker lainnya, baik dari
mekanisme kerja yang berbeda maupun profil keamanan.

29
Referensi:
1. Dzau et al. Circulation. 2006;114:2850-2870
2. Rahman Ar, et al. Asia Pac Fam Med 2015;14:2
3. Eur Heart J 2018
4. Kim C-H, et al. Heart Asia 2016;8:22-26
5. McEniery et al. Hypertension;2004; 44:305
6. Cleophas TJ. J Clinical Medicine 1998; vol 11:2-8
7. Mohammed AF. Drug Invest 1991;3(S1):1996-8
8. Pesant et al. Amer J Therap 1999
9. Schmidt A et al. Clin Drug Investig 2007; 27: 841-9

30
Kembali Bekerja Setelah Hospitalisasi Gagal Jantung
(Return to Work After Heart Failure Hospitalization)

Bambang Budi Siswanto


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

A. Beban Akibat Gagal Jantung


Gagal jantung merupakan tahapan akhir dari semua kondisi penyakit jantung yang juga
menjadi penyebab kematian utama akibat penyakit jantung. Setiap tahunnya, ada banyak pasien
dirawat inap dan meninggal dunia akibat gagal jantung diseluruh dunia. Dapat diperkirakan bahwa 5
juta pasien memiliki gagal jantung dan 550.000 kasus didiagnosis setiap tahunnya. Pasien yang
paling muda saat ini ada di Ghana Afrika, sedangkan yang paling tua ada di Amerika dan Jepang.
Prevalensi dari kasus gagal jantung ini paling sering dijumpai pada mereka yang berusia kerja (20 – 64
tahun) dan diperkirakan memiliki prevalensi 8.9% pada laki-laki dan juga 5.4% pada perempuan. 1
Data dari Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta sebagai rumah sakit rujukan tertier
menunjukkan, rerata usia pasien yang dirawat dengan gagal jantung yaitu 55 tahun, yang mana
rerata usia ini adalah yang paling muda se-Asia Tenggara. Data dari Indonesia menunjukan bahwa
median waktu tinggal di rumah sakit pada pasien dengan gagal jantung menunjukan hari rawat inap
sekitar 7.1 hari di ruang rawat biasa dan 3 hari di ICCU. Juga gagal jantung telah menjadi penyebab
kematian terbanyak pada pasien di kondisi rawat inap maupun meninggal mendadak diluar rumah
sakit. 2
Negara cukup banyak menanggung beban akibat perawatan pasien dengan gagal jantung,
maupun beban ekonomi akibat pasien yang keluar dari pekerjaannya. Dari data yang diambil dari
American Heart Association, beban total tahunan perawatan pasien gagal jantung yaitu $30,7 miliar.
Dari total jumlah tersebut, sebanyak 68 % berasal dari biaya perawatan medik, sedangkan 32%
berasal dari beban tidak langsung akibat morbiditas pasien yang tidak bekerja dan kematian dini
pasien. Sehingga perlu juga untuk diperhatikan pasien-pasien gagal jantung yang telah pulih dari
perawatan untuk dapat kembali bekerja jika kondisinya layak.3

B. Penanganan Gagal Jantung Yang Dilakukan Saat Ini


Tujuan utama pengobatan pasien dengan gagal jantung adalah untuk meningkatakan keadaan
klinis, kapasitas fungsional, kualitas hidup, dan mencegah admisi berulang rumah sakit juga
mengurangi tingkat kematian. Obat-obat yang diberikan harus memberikan keamanan dan juga
bermanfaat bagi pasien. Etiologi gagal jantung harus juga ditangani ( stenosis arteri koroner, penyakit
katup jantung, penyakit jantung bawaan yang belum terkoreksi, hipertensi, penyakit ginjal, atrial
fibrilasi). Juga untuk faktor presipitasi gagal jantung seperti infeksi, gula darah juga harus diperbaiki.
4,5

Secara umum obat-obatan yang diberikan antara lain: ACE-I atau ARB/ARNI, Penyekat beta,
MRA (antagonis reseptor mineralo-kortikoid), ivabradine, dan diuretik. Antagonis Neurohormonal
seperti ACE-I, MRA dan Penyekat Beta telah menunjukkan keandalannya dalam meningkatkan
survival pada pasien dengan Gagal jantung disertai dengan penurunan ejeksi fraksi (HfrEF) dan

31
direkomendasikan pada pengobatan setiap pasien kecuali terdapat kontraindikasi atau tidak toleran
terhadap obat tersebut. 4
Obat baru yaitu kombinasi ARB (Valsartan) dan Nephrilisin Inhibitor (Sacubitril) juga telah
menunjukkan superioritasnya terhadap obat ACE-I dalam mencegah kematian dan re-hospitalisasi
pasien dengan gagal jantung. Penggunaan Sacubitril / Valsartan ini direkomendasikan dapat
menggantikan posisi ACE-I pada pasien HfrEF yang masih simptomatis meskipun sudah mendapat
terapi optimal. Penyekat beta mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan HFrEF dan
dapat diberikan segera pada pasien dengan keadaan klinis yang stabil pada dosis permulaan yang
rendah dan dapat ditingkatkan bertahap sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Ivabradine
dapat mengurangi laju jantung melalui peranannya pada If-channel, dan diindikasikan pada HfrEF
dengan medikamentosa sudah optimal, namun laju jantung masih lebih dari 70x/menit dan irama
sinus. Obat-obatan gagal jantung yang optimal harus dikombinasikan dengan diuretik pada pasien
dengan tanda dan gejala kongesti, yang penggunaanya disesuaikan dengan keadaan klinis pasien.4
Disamping medikamentosa optimal, penggunaan device seperti ICD dan CRT juga mulai
dikembangkan akhir-akhir ini. ICD direkomendasikan sebagai prevensi primer pada pasien dengan
LVEF < 35% ataupun simptomatik dengan kelas fungsional III/IV meskipun sudah mendapat
medikamentosa optimal. Juga untuk prevensi sekunder untuk mengurangi kejadian henti jantung
mendadak dan semua penyebab kematian pada pasien yang mengalami aritmia ventrikel disertai
hemodinamik tidak stabil, dan juga yang diharapkan untuk dapat bertahan hidup dengan status
fungsional yang baik lebih dari 1 tahun. Pada pasien yang masih simptomatis mesikpun sudah
mendapat medikamentosa optimal, irama ekg sinus, dan durasi QRS > 130 msec ataupun pada
pasien yang sudah memakai ICD namun masih mengalami perburukan gejala gagal jantung dapat
dipertimbangkan penggunaan CRT. 4,6
Polifarmasi merupakan isu yang sedang berkembang dalam penatalaksanaan pasien dengan
gagal jantung, dan dapat pula mempengaruhi prognosis pasien. Dalam memberikan obat, dokter
sebaiknya tidak meresepkan obat-obatan yang tidak diperlukan, menilai kembali dosis yang
diperlukan dan mereview daftar obat yang diberikan pada pasien pada setiap kunjungan supaya
terhindar dari pemberian obat yang tidak jelas manfaatnya untuk pasien. Sebagai contoh pemberian
suplemen dapat diberikan sesuai kebutuhan seperti golongan laksatif untuk mencegah konstipasi
pada jangka waktu tertentu saja. Tidak ada manfaat yang terbukti dari suplementasi vitamin atau
antioksidan ( kecuali untuk keadaan anemia defisiensi besi atau diabetes atau hiperurisemia).
Polifarmasi akan menyebabkan pengobatan yang tidak terarah pada guideline dan membingungkan
keluarga, pasien, dan pengasuh pasien. 5,6
Pendekatan penatalaksaan pasien berbasis tim yaitu terdiri dari dokter, perawat, farmasi, ahli
gizi, fisioterapi, dan pekerja sosial akan memberikan outcome yang baik pula kepada pasien dan
keluarganya. Pemberian obat gagal jantung yang beragam tersebut harus teroganisir dalam rangka
mengembalikan pasien pada kondisi kerjanya sehari-hari. Penggunaan telemedicine atau telemonitor
juga dapat membantu dokter dalam memonitor kondisi gagal jantung pasien dari tempat yang jauh.
Juga dapat diberikan paspor gagal jantung pada pasien, yang merupakan catatan klinis mengenai
pelaporan kondisi gagal jantung kepada perawat ataupun dokter, sehingga kondisi perburukan dini
dan intervensi awal dapat diberikan. Juga telah dikembangkan berbagai aplikasi berbasis mobile
phone yang dapat membantu pasien dalam memantau perkembangan penyakitnya, mengingatkan
dalam konsumsi obat yg diperlukan, serta jadwal kontrol ke dokter, dan kunjungan rumah oleh tim
home-care gagal jantung jika diperlukan.7

32
Dari berbagai penanganan gagal jantung yang diupayakan tersebut, pasien -pasien dengan
gagal jantung masih memiliki resiko tinggi untuk mengalami re-hospitalisasi berulang. Rentang waktu
dini setelah perawatan Gagal jantung yang juga disebut sebagai fase rentan/vulnerable, adalah masa
bagi penderita gagal jantung dengan resiko yang cukup tinggi, ditandai dengan resiko rehospitalisasi
pada lebih dari 50 % dalam waktu 6 bulan pertama atau kematian. Karena problem rehospitalisasi ini
juga merupakan problem dengan beban ekonomi yang besar pada sistem kesehatan nasional, maka
salah satu tujuan pengobatan saat ini adalah dengan upaya menurunkan admisi dini pasca
perawatan gagal jantung /rehospitalisasi berulang. Salah satu upaya dalam memperbaiki outcome
pasien gagal jantung dengan diabetes tipe II yaitu penggunaan Sodium-Glucose Cotransporter-2
(Empaglifozin), yang terbukti dalam EMPA-REG OUTCOME Trial dapat menurunkan tingkat
hospitalisasi sebanyak 35% dibandingkan dengan placebo. Peranan empaglifozin yaitu mengurangi
resiko pada post-acute HF period yang berperan besar terhadap readmisi/ rehospitalisasi dan
mortalitas pasien yang dirawat. 8

C. Prediktor Kembali Bekerja Pada Pasien HF


Penelitian dari Denmark Danish Trial menunjukan bahwa satu tahun setelah hospitalisasi
dengan gagal jantung, 8040 orang atau 67.7% dari pasien kembali bekerja, 2981 atau 25.1% dari
pasien tidak bekerja, dan 6.7% dari pasien meninggal dunia. Penelitian dari Denmark menunjukan
bahwa mereka yang lebih muda, laki-laki, memiliki sekolah tinggi lebih cenderung untuk kembali ke
tempat kerja. Sedangkan mereka yang memiliki lama rawat >7 hari, komorbid seperti stroke, CKD,
PPOK dan DM akan meningkatkan risiko pasien tidak kembali ke tempat kerja.9
Penelitian dari Skyes et al menunjukan bahwa lingkungan dari seseorang terutama pada
lingkungan kerja adalah faktor terpenting dalam memprediksi kemampuan untuk kembali kerja.
Lingkungan kerja ini mencakup hubungan dengan teman bekerja, kepuasan bekerja dan juga
supervisi yang cukup dari atasan. Didaptakan bahwa mereka dengan supervisi yang adekuat memiliki
nilai prediktif yang signifikan. Selain itu, tingkat edukasi juga merupakan hal yang penting. Mereka
yang memiliki tingkat edukasi diatas SMA lebih cenderung untuk kembali bekerja dibandingkan
dengan mereka yang memiliki tingkat edukasi di bawah SMA. Pekerjaan yang membutuhkan aktivitas
fisik yang signifikan akan menurunkan kesempatan seseorang untuk kembali bekerja.9,10

D. Intervensi yang Dilakukan Untuk Meningkatkan RTW (Return to Work)


Ada tiga komponen program yang penting untuk penanganan pasien yang termasuk dalam
komponen rehabiltasi jantung: 1. Latihan olahraga dan juga peresepan olahraga 2. Perubahan faktor
risiko yang signifikan 3. Evaluasi dari psikososial dan juga vokasi serta konseling.10
Aspek yang penting berkaitan dengan kemampuan seorang pasien gagal jantung untuk dapat
kembali ke tempat kerja berkaitan dengan program rehabiltasi jantung. Hedback et al mencoba
melihat hasil dari studi komprehensif 10 tahun. Pada grup pasien yang mendapatkan rehabilitasi
jantung, tingkat RTW jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan
pelatihan paska kerja (51.8% vs 27.4%). Penelitian-penelitian lainnya yang dilakukan menunjukan
peningkatan kemampuan RTW sebagai bagian dari rehabilitasi jantung. Penelitian dari Simchen et al
menunjukan peningkatan 2.8 kali dari RTW pada pesan yang menjalankan program rehabiltasi
dibandingkan dia yang tidak mengikuti program rehabilitasi. Program rehabilitasi yang berkualitas
akan menurunkan tingkat rehospitalisasi dan juga menaikkan tingkat RTW. 11,12

33
Tenaga medis (baik dokter dan perawat) dalam tugas nya pada evaluasi psikososial dan
konseling disarankan bisa menskrining pasien dengan faktor risiko berkaitan dengan keamanan
kembali ke dunia kerja. Meskipun demikian, ada beberapa pasien dengan gagal jantung yang
memang tidak memungkinkan kembali ke dunia kerja, dan hal ini dapat berdampak positif atau
negatif bagi mereka. Tenaga medis harus menilai dampak yang ditimbulkan terhadap setiap pasien
beserta keluarganya. Sebagian pasien mungkin dapat kembali bekerja, sehingga pada kelompok ini
harus dievaluasi dan diperhatikan dengan baik. 10 Berikut adalah daftar pertanyaan yang dinilai
dalam konseling pasien gagal jantung untuk RTW.

Pertanyaan untuk tenaga medis yang memeriksa pasien dengan gagal jantung sebelum kembali
ke pekerjaan.12
Apakah pasien memiliki gejala yang dapat mengganggu pekerjaannya?
Apakah pasien telah diizinkan kembali bekerja oleh atasannya?
Apakah pekerjaan yang akan dijalani pasien memiliki risiko memperberat gejala gagal jantung
yang diderita?
Apa persepsi pasien terhadap pekerjaannya saat ini serta seberapa besar harapannya untuk
kembali ke pekerjaan?
Apa persepsi pasien terhadap bayaran yang akan ia diterima, kemampuannya dalam mengambil
keputusan untuk bekerja?
Apa sikap atasan terhadap pekerjanya yang baru kembali ke dunia kerja?

Tenaga medis harus menyadari bahwa gagal jantung dapat menjadi progresif sehingga
membutuhkan pemeriksaan berulang terus menerus. Meskipun demikian, juga sangat mungkin
bahwa fungsi jantung pasien dapat meningkat dan pasien dapat memiliki kualitas hidup yang baik.
Mereka yang awalnya dianggap tidak dapat lagi bekerja mungkin akan mampu kembali ke dunia kerja
seiring berjalannya waktu. Salah satu tujuan utama yang mungkin dimiliki oleh setiap pasien dengan
gagal jantung adalah harapan agar dapat kembali bekerja. Perawat dapat membantu mereka
mencapai tujuan tersebut dengan memberikan dorongan serta menyediakan hal-hal yang mereka
butuhkan untuk mengembalikan kepercayaan diri.12-13
Kembali bekerja mungkin merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup seseorang dengan
keterbatasan fisik akibat penyakit tertentu. Sebuah pekerjaan barangkali tampak tidak mungkin
mereka dapatkan oleh karena kebijakan-kebijakan terkait persyaratan pekerjaan bagi penyandang
disabilitas. Orang dengan gagal jantung yang tidak membaik sangat mungkin merasa takut ketika
mereka kembali bekerja dan mereka tidak akan mendapatkan bayaran yang cukup, sehingga mereka
menyerah dan tidak memiliki semangat berjuang lagi untuk kedua kalinya. Mereka juga mungkin
tidak menyadari akan tersedianya lapangan pekerjaan atau perundang-undangan yang menjamin hak
mereka sebagai pekerja ketika mereka masuk ke dunia pekerjaan. Lebih lagi, mereka mungkin tidak
bisa menemukan pekerjaan atau jaminan yang sepadan dengan apa yang mereka dapatkan dari
jaminan sosial sebagai penyandang disabilitas. Tenaga medis yang berhadapan dengan pasien gagal
jantung harus menyadari halangan administratif yang dihadapi oleh pasien gagal jantung berkenaan
dengan masa depan ketika mereka kembali bekerja. 14

E. Kesimpulan

34
Sebagai ringkasan, pada pasien dengan gagal jantung kronik yang sudah diterapi dengan
pendekatan berbasis guideline dan etiologi gagal jantung telah dikoreksi, dapat kembali bekerja
dengan monitoring ketat. Diperlukan rehabilitasi jantung yang optimal disamping pengobatan
medikamentosa, penggunaan device, penatalaksaanaan etiologi, dan kontrol faktor resiko secara
optimal. Pendekatan tatalaksana berbasis tim dan edukasi yang baik akan memperbaiki outcome
pasien gagal jantung secara keseluruhan. Hanya sedikit penelitian yang tersedia saat ini bagi tenaga
medis untuk dapat mempersiapkan pasien gagal jantung untuk dapat kembali bekerja (return to
work). Diperlukan sebuah konsensus bersama tentang pasien gagal jantung yang sedang dalam
transisi kembali ke dunia kerja.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yap J, Tay WT, Lam CSP, Teng T-HK, Yu C-M, Ngarmukos T, et al. Regional and ethnic differences
among patients with heart failure in Asia: the Asian sudden cardiac death in heart failure
registry. European Heart Journal. 2016;37(41):3141-53.
2. Siswanto BB. Heart Failure in Indonesia. Journal of Cardiac Failure. 2013;19(10):S108.
3. Phillips L, Harrison T, Houck P. Return to work and the person with heart failure. Heart & Lung.
2005;34(2):79-88.
4. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, et al. 2016 ESC guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure: the task force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure of the European Society of Cardiology (ESC) developed with the special
contribution of the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J 2016; 37: 2129–200.
5. Teng T, Tromp J, Tay W. Prescribing patterns of evidence-based heart failure
pharmacotherapy and outcomes in the ASIAN-HF registry: a cohort study. Lancet Glob Health
2018; 6: e1008–18.
6. Chia M, Teng T, Tan E, et al. Disparity Between Indications for and Utilization of Implantable
Cardioverter Defibrillators in Asian Patients With Heart Failure. Circulation: Cardiovascular
Quality and Outcomes. 2017;10(11):e003651.
7. Athilingam P, Jenkins B. Mobile Phone Apps to Support Heart Failure Self-Care Management:
Integrative Review. JMIR Cardio 2018;2(1):e10057
8. Savarese G, Sattar N, Januzzi J. Empaglifozin is associated with a lower risk of Post Acute Heart
Failure Rehospitalization and Mortality. Circulation. 2019;139:1458–1460.
9. Rorth R, Wong C, Kragholm K, Fosbøl Emil L, Mogensen Ulrik M, Lamberts M, et al. Return to the
Workforce After First Hospitalization for Heart Failure. Circulation. 2016;134(14):999-1009.
10. Cowie Martin R. Returning to Work. Circulation. 2016;134(14):1010-2.
11. Bitsch BL, Nielsen CV, Stapelfeldt CM, Lynggaard V. Effect of the patient education - Learning
and Coping strategies - in cardiac rehabilitation on return to work at one year: a randomised
controlled trial show (LC-REHAB). BMC Cardiovascular Disorders. 2018;18(1):101.
12. Bitsh BL, Nielsen CV, Stapelfeldt CM, Lynggaard V. Effect of the patient education - Learning and
Coping strategies - in cardiac rehabilitation on return to work at one year: a randomised
controlled trial show (LC-REHAB). BMC Cardiovascular Disorders. 2018;18(1):101.
13. Phillips L, Harrison T, Houck P. Return to work and the person with heart failure. Heart & Lung.
2005;34(2):79-88.
14. Peterson PN, Shetterly SM, Clarke CL, Bekelman DB, Chan PS, Allen LA, et al. Health Literacy and
Outcomes Among Patients With Heart Failure. JAMA. 2011;305(16):1695-701.

35
36
Kembali Bekerja pasca Sindroma Koroner Akut

Bambang Dwiputra
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Latar Belakang
Banyaknya kejadian sindroma koroner akut (SKA) di usia produktif menjadikan isu “kembali
bekerja setelah SKA” menjadi hal yang penting.1 Kembalinya pasien ke rutinitas pekerjaan
merupakan indikator penting dari rehabilitasi fungsional dan kualitas hidup.2 Faktor yang
mempengaruhi kembalinya pasien bekerja pasca SKA semata-mata bukan hanya dari status
klinis, namun dipengaruhi oleh faktor demografis, sosial, dan psikologis.

Rehabilitasi Kardiovaskular
Rehabilitasi kardiovaskular (RK) merupakan intervensi multidisiplin yang bertujuan untuk
meningkatkan fungsi fisik, sosial, dan psikologis pasien kardiovaskular.3 Program RK ini dapat
meningkatkan kualitas hidup, kapasitas latihan, serta menurunkan kejadian serangan
jantung ulang dan kematian pasien pasca SKA.4
Program rehabilitasi ini dipimpin oleh dokter, fisioterapis yang terspesialisasi, perawat
dan pekerja sosial. Durasi suatu program rehabilitasi ditentukan oleh tim multidisiplin
bersama dengan pasien, dengan minimum durasi 6 minggu. Pasien dianggap sudah
mengikuti program rehabilitasi jantung secara tuntas apabila minimal mengikuti 75% dari
keseluruhan program.

Terdapat 6 komponen inti untuk program prevensi dan rehabilitasi kardiovaskular, yaitu:6
1. Perubahan dan edukasi perilaku hidup
2. Manajemen faktor risiko dan gaya hidup (aktivitas fisik, diet, stop merokok)
3. Kesehatan psikososial
4. Manajemen faktor risiko medis
5. Manajemen jangka panjang
6. Evaluasi dan audit program

Dalam melaksanakan keenam komponen ini, diperlukan ekspertise dari berbagai macam
profesi seperti: (1) dokter di bidang prevensi dan rehabilitasi; (2) perawat spesialis; (3)
fisioterapis; (4) dietisien; (5) psikologis ; (6) spesialis exercise; (7) terapis okupasional; (8)
farmasi.6
Pasien yang menjadi target rehabilitasi kardiovaskular:7
1. Pasien dengan sindroma koroner akut, termasuk STEMI, non-STEMI, dan angina
pektoris tidak stabil serta semua pasien yang menjalani reperfusi (bedah pintas arteri

37
koroner (BPAK), intervensi koroner perkutan primer (IKPP), dan intervensi koroner
perkutan (IKP)
2. Pasien dengan gagal jantung yang baru atau gagal jantung dengan perburukan gejala;
3. Pasien pasca-transplantasi jantung atau ventricular assist device;
4. Pasien yang menjalani implantasi defibrillator intrakardiak atau terapi resinkronisasi
jantung untuk alasan selain sindroma koroner akut dan gagal jantung;
5. Pasien yang menjalani penggantian katup karena alasan selain sindroma koroner akut
dan gagal jantung;
6. Pasien dengan diagnosis angina pada aktivitas

Pasien SKA pasca IKPP yang menjalani RK memiliki angka mortalitas dalam 10 tahun yang
lebih rendah dibandingkan yang tidak mengikuti RK.5 Selain itu, pasien yang menyelesaikan
program RK memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien yang tidak
menyelesaikan program RK. Pasien yang menyelesaikan RK memiliki angka mortalitas 10
tahun sebesar 13,6% dibandingkan 18,9% pada kelompok pasien yang tidak menyelesaikan
RK.
Studi lain juga menunjukan pasien pasca BPAK yang menjalani RK <25% program
memiliki risiko mortalitas dua kali lipat dibandingkan pasien yang mengikuti lebih dari 75%
program. Alasan terpenting yang dapat menentukan terselesaikannya program RK yaitu
motivasi pasien.5
Berikut adalah algoritme yang disusun untuk menilai pasien pasca SKA sebelum kembali
bekerja (Gambar 1).6 Algoritme ini belum divalidasi maupun dipublikasi, namun dapat
dgunakan pada praktek klinis sehari-hari.

Keterangan:
1: Komplit atau bermakna secara klinis, baik
revaskularisasi perkutan atau pembedahan
2: Tidak dilakukan revaskularisasi, suboptimal atau
tidak dapat dilakukan karena klinis atau masalah
anatomis
3: Penting dilakukan symptom-limited stress test;
dikatakan negatif jika tidak terdapat abnormalitas
secara klinis atau perubahan EKG (ST depresi > 1
mm atau aritmia ventrikular), setara > 7 METs
A: boleh mengikuti jenis pekerjaan apapun
M5: dapat melakukan aktivitas < 5 METs
M3: dapat melakukan aktivitas < 3 METs;
I: tidak sesuai untuk melakukan pekerjaan apapun

Gambar 1. Algoritme penilaian kardiovaskular pasien pasca SKA sebelum kembali bekerja.6

38
Umumnya waktu terbaik yang dianjurkan untuk kembali bekerja adalah, antara 3 dan 6
bulan pasca SKA atau BPAK. Panduan terbaru menganjurkan waktu 1-3 bulan pasca SKA,
walaupun masih diperlukan penelitian lebih lanjut lagi.6
Suatu studi menunjukan bahwa depresi yang muncul segera setelah pasien dirawat
karena SKA merupakan prediktor penting kembalinya seseorang bekerja setelah SKA.7
Penatalaksanaan depresi yang lebih awal dapat meningkatkan keberhasilan kembali bekerja
dan meningkatkan kualitas hidup paska SKA.

Peningkatan Mutu Rehabilitasi Kardiovaskular


Beberapa hal dapat dilakukan/dipertahankan untuk meningkatkan mutu pelayanan
rehabilitasi kardiovaskular:9
a. Intervensi dilakukan untuk meningkatkan serapan peserta rehabilitasi.
• Pertama-tama yang bisa dilakukan adalah kontak secara berkala oleh petugas
kesehatan kepada pasien itu sendiri. Hal ini dapat meningkatkan kehadiran
peserta rehabilitasi.
• Kedua, koordinasi antara pelayanan rujukan dan pelayanan setelah perawatan.
Koordinasi yang baik dapat meningkatkan tingkat kehadiran di sesi rehabilitasi.
• Ketiga, volunteer yang terlatih, dapat meningkatkan serapan pada sesi
rehabilitasi kardiovaskular.
• Keempat, komunikasi yang memotivasi. Surat motivasi yang dikirim pada 3 hari
dan 3 minggu setelah infark miokard dapat meningkatkan serapan pasien
rehabilitasi yang datang ke poliklinik. Motivasi juga dapat dilakukan secara
langsung sebelum pasien dipulangkan dan melalui telepon setelah 4 minggu
pasien pulang, dimana hal ini dapat meningkatkan tingkat kehadiran pasien
poliklinik rehabilitasi jantung.
b. Tujuan kedua adalah intervensi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap program
rehabilitasi kardiovaskular. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
• Komitmen pasien secara formal: dalam hal ini adalah kontrak tertulis dengan
metode reward untuk peserta yang secara sukses melakukan aktivitas fisik. Hal
ini secara umum menunjukkan partisipasi sebesar 90%. Komitmen secara
informal/oral melalui telepon tidak menunjukkan peningkatan di tingkat
kehadiran.
• Keterlibatan pasangan dan keluarga dapat meningkatkan tingkat kehadiran
pasien pada suatu program rehabilitasi. Konseling melalui telepon kepada
keluarga pasien menunjukkan tidak adanya peningkatan kehadiran.
• Edukasi dengan video sebelum pemulangan pasien menujukan peningkatan
kepatuhaan aktivitas fisik dan diet. Konseling melalui telepon tidak menunjukkan
peningkatan kehadiran di program aktivitas fisik.

39
• Pemakaian evaluasi tertulis yang ditulis sendiri oleh pasien tidak memberikan
peningkatan secara bermakna terhadap tingkat kehadiran di program rehabilitasi
jantung.
• Adanya sesi dimana pasien dapat mengkomunikasikan pikiran dan perasaan
mereka dalam melakukan perubahan perilaku kesehatan dapat meningkatkan
tingkat kehadiran di sesi aktivitas fisik.

Kesimpulan
Kembali bekerja paska SKA merupakan indikator utama keberhasilan pelayanan medis dan
rehabilitasi kardiovaskular pada pasien SKA. Tidak hanya status klinis, namun faktor
demografis, sosial, dan psikologis dapat mempengaruhi kembalinya pasien ke rutinitas
pekerjaan. Program rehabilitasi kardiovaskular berperan dalam mempersiapkan pasien SKA
kembali bekerja serta terbukti menurunkan angka mortalitas 10 tahun paska SKA. Waktu
yang dianjurkan untuk kembali bekerja paska SKA yakni 1 atau 3-6 bulan paska SKA.
Penilaian dengan uji latih diakhir program rehabilitasi dapat menentukan kapasitas
fungsional seseorang serta jenis pekerjaan yang sesuai untuk individu tersebut.

Daftar Pustaka

1. Slebus F, Jorstad H, Peters R, Kuijer P, Willems J, Sluiter J, Frings-Dresen M. Return to


Work after an Acute Coronary Syndrome: Patients’ Perspective. Safety and Health at
Work. 2012;3(2):117-22.
2. Worcester MU, Elliott PC, Turner A, Pereira JJ, Murphy BM, Grande MRL, et al.
Resumption of Work After Acute Coronary Syndrome or Coronary Artery Bypass Graft
Surgery. Heart, Lung and Circulation. 2014;23(5):444-53.
3. Rosa SA, Abreu A, Soares RM, Rio P, Filipe C, Rodrigues I, et al. Cardiac rehabilitation
after acute coronary syndrome: Do all patients derive the same benefit? Revista
Portuguesa de Cardiologia. 2017;36(3):169-76.
4. Witt BJ, Jacobsen SJ, Weston SA, et al. Cardiac rehabilitation after myocardial
infarction in the community. Journal of the American College of Cardiology.
2004;44:988-96.
5. Sunamura M, ter Hoeve N, van den Berg-Emons RJG, Boersma E, van Domburg RT,
Geleijnse ML. Cardiac rehabilitation in patients with acute coronary syndrome with
primary percutaneous coronary intervention is associated with improved 10-year
survival. European Heart Journal - Quality of Care and Clinical Outcomes [Internet]. 2018
Jan 9 [cited 2019 Mar 23]. Available from:
http://academic.oup.com/ehjqcco/advance-
article/doi/10.1093/ehjqcco/qcy001/4794854.
6. Eduardo AE, Grima A. Reporting on coronary patients for return to work: an algorithm.
E-journal of cardiology practice.2012;10.

40
7. Bhattacharyya MR, Linda PP, Daisy LW, Steptoe A. Psychological and clinical predictors
of return to work after acute coronary syndrome. European Heart Journal. 2007;28:160-
5.
8. British Association for Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. BACPR standards
and core components for cardiovascular disease prevention and rehabilitation 2017. 3rd
ed. UKBACPR.
http://www.bacpr.com/resources/AC6_BACPRStandards&CoreComponents2017.pdf
9. Dalal HM, Doherty P, Taylor RS. Cardiac rehabilitation. BMJ. 2015;29:5000.
10. Beswick AD, Rees K, West RR, Taylor FC, Burke M, Griebsch I, et al. Improving uptake
and adherence in cardiac rehabilitation: literature review. Journal of Advanced Nursing.
2005;49(5):538-55.

41
Kembali Bekerja Pasca Operasi Bypass Arteri Koroner

Basuni Radi
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Pendahuluan
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada pekerja
di negara-negara industri dan sering menyebabkan ketidakmamuan baik prematur maupn
permanen dan menyebabkan kerugian sosioekonomis yang besar di negara-negara industri.
[1]

Coronary artery bypass graft/ bedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan salah satu
tindakan pilihan yang dianggap efektif dan aman dalam tatalaksana revaskularisasi pasien
dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Tindakan ini dapat mengurangi gejala angina dan meningkatkan usia harapan hidup,
meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup.[2]

Pasien-pasien yang menjalani BPAK, sebagian merupakan individu yang masih aktif bekerja
dan sebagian lagi sudah pensiun. Pada kenyataannya beberapa pasien yang sebelumnya
dapat bekerja malah tidak lagi bekerja setelah menjalani BPAK karena berbagai hal seperti
masih merasakan adanya angina, adanya luka operasi, kekhawatiran atau mengalami
komplikasi akibat tindakan bedah seperti stroke dan lain lain. [3-5]

Pasien dengan PJK tersebut, boleh jadi sebelumnya merupakan individu tanpa gejala atau
tanda apapun, pernah mengalami infark miokardium, telah mengalami gagal jantung atau
mungkin baru muncul gejala angina. Kondisi klinis sebelum dilakukan tindakan BPAK akan
memengaruhi kapasitas fungsional pasien tersebut, ditambah dengan perlakuan BPAK itu
sendiri akan menambah menurunnya kapasitas fungsional pasien tersebut.

Segera setelah menjalani tindakan BPAK, pasien tersebut akan menghadapi beberapa
kondisi yang menyebabkan keluhan atau menurunnya kemampuan fisik, seperti adanya luka
di sternum, tungkai bawah, anemia, fungsi pernafasan yang belum kembali pulih seperti
kondisi pra-operasi, dan juga adanya masalah psikologis, atau overproteksi dari pasangan
atau keluarga yang menyebabkan penurunan kapasitas fungsional.

Banyak faktor pra-operasi, saat operasi maupun pasca operasi yang menyebabkan pasien
dapat kembali bekerja atau tidak kembali bekerja pasca tindakan BPAK.
Kondisi pra bedah yang memengaruhi

42
Sebelum menjalani BPAK, pasien dengan PJK bisa saja tanpa gejala sama sekali, atau dengan
keluhan angina on effort dari ringan sampai berat, pernah mengalami infark miokard akut,
atau sudah menunjukkan gejala dan tanda gagal jantung.

Kebiasaan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari dan sikap mental yang berbeda pada tiap
pasien juga menyebabkan perbedaan dalam kemampuan perorangan. Pasien akan
mengalami kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan tertentu, berhenti bekerja,
menyesuaikan aktifitasnya dengan kapasitas fungsional dan gejalanya, atau melanjutkan
pekerjaannya seperti biasa tergantung dari jenis dan tuntutan pekerjaan. Mungkin pasien
masih bekerja secara penuh, atau sudah mengurangi beban kerjanya atau memilih tidak
bekerja lagi, tergantung dari kondisi fisik dan sosioekonominya.

Pasien dengan gagal jantung atau angina pektoris yang kronis tentu akan merasakan
penurunan kapasitas fungsional secara bertahap, atau tidak merasakannya karena secara
bertahap pasien tersebut menyesuaikan aktifitasnya dengan kemampuannya, terutama
pada pasien yang tidak bekerja atau pasien yang dapat mengatur sendiri jenis dan beban
pekerjaannya.

Hal-hal ini harus ditanyakan dan dianalisa saat menetapkan rencana kembali bekerja pada
pasien setelah menjalani BPAK.

Kondisi saat perawatan


Saat perawatan karena BPAK, akan ada beberapa hal yang memengaruhi kesiapan kembali
bekerja seperti lamanya cardiopulmonary bypass time, jenis tindakan BPAK, komplikasi yang
mungkin terjadi seperti gagal jantung, stroke, infark miokard perioperatif, perdarahan atau
operasi ulangan. Adanya pelayanan rehabilitasi intraperawatan juga akan memengaruhi
kecepatan pemulihan pasca BPAK.

Kondisi pasca bedah yang memengaruhi.


Terdapat penurunan kapasitas fungsional segera setelah pasien menjalani tindakan bedah
jantung dan dapat kembali pulih setelah menjalani program rehabilitasi. Hal tersebut dapat
disebabkan akibat langsung dari prosedur pembedahan, seperti adanya luka operasi di
sternum dan tungkai yang memengaruhi gerakan dada, pernafasan, atau gerakan anggota
tubuh bagian atas maupun bagian bawah.

Adanya luka atau mungkin infeksi pada luka operasi dapat menyebabkan kekhawatiran,
perasaan nyeri karena pergerakan, keterbatasan gerak. Selain itu ada efek dari perubahan
fungsi otot otot pernafasan, atelektasis paru atau adanya cairan baik di intra pleura atau
intra pericardium. Selain itu keadaan mood, sikap dan perasaan pasca operasi, overproteksi
dari pasangan dan keluarga sangat memengaruhi kondisi pasien.

43
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penurunan kapasitas fungisonal
dengan CPB time, tipe operasi, tingkat kebugaran sebelumnya, indeks masa tubuh, usia,
jenis kelamin atau faktor komorbid lainnya.

Kembali bekerja pasca kejadian koroner merupakan proses yang kompleks dan
multidimensional yang tampaknya sangat dipengaruhi faktor-faktor psikososial
dibandingkan masalah klinis seperti fungsi ventikel, tindakan intervensi, tingkat pendidikan,
usia, status pekerjaan, depresi, dan persepsi pasien terhadap kondisi sakitnya.

Faktor yang memengaruhi kembali bekerja


Kepuasan pada pekerjaan sebelumnya terbukti berhubungan dengan segera kembalinya
pasien pasca tindakan revaskularisasi ke pekerjaannya. Mereka dengan kepuasan yang tinggi
mempunyai kemungkinan sekitar 5,9 kali lebih besar untuk kembali bekerja dibandingkan
dengan mereka yang kepuasan bekerjanya rendah, terutama kepuasan terhadap proses
dalam organisasinya. [6]

Selain itu terdapat faktor-faktor klinis dan sosial yang memengaruhi pasien kembali ke
tempat kerja pasca BPAK seperti usia yang lebih muda, jenis kelamin laki-laki, tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, tingkat pendapatan lebih tinggi, dan tidak adanya komorbid.
[3]. Ada juga faktor-faktor yang menyebabkan pasien tidak segera kembali ke pekerjaannya
seperti jenis operasi yang urgen dibanding yang elektif, komorbid kardiovaskuler, penyakit
ginjal kronis, penyakit hati, dan perawatan ulang dalam tahun pertama. [7]

Status pekerjaan sebelum tindakan BPAK dan jenis pekerjaan juga merupakan prediktor
pasien kembali bekerja. Mereka yang sebelumnya bekerja dan jenis pekerjaan “kerah biru”
paling memungkinkan kembali bekerja. [8,9]

Peranan Rehabilitai jantung


Salah satu tujuan dari rehabilitasi jantung adalah mengembalikan pasien pada kondisi fisik,
psikologis, sosioekonimi, dan pekerjaan dalam kondisi paling optimal. Pedoman pedoman
internasional merekomendasikan program rehabilitasi jantung untuk pasien-pasien yang
menjalani tindakan bedah jantung. Selain untuk mengembalikan pasien pada kemampuan
fungsional yang terbaiknya, juga agar dapat mengendalikan faktor risiko dan bila
memungkinkan menghambat progresivitas penyakit atau bahkan meregresinya melalui
upaya yang dilakukan secara mandiri. Program ini setidaknya berisi edukasi, konseling,
pengontrolan faktor risiko, dan latihan fisik.

Beberapa penelitian mengenai manfaat program rehabilitasi jantung menunjukkan manfaat


penurunan angka mortalitas, kejadian berat yang tidak diharapkan, meningkatkan kualitas
hidup dan lebih cepat mengembalikan pasien untuk kembali bekerja. [10]

44
Pasca program rehabilitasi, pengukuran kapasitas fungsional baik dengan six-minute walking
test, treadmill atau ergocycle test sangat penting untuk mengetahui kapasitas aerobik
maksimal, adanya angina on effort atau adanya aritmia dapat memberi petunjuk untuk
pembatasan atau anjuran saat kembali bekerja. Tingkat kebugaran maksimal pada uji latih
jantung dapat memberikan petunjuk berapa beban kardiopulmoner yang dapat diberikan
saat yang bersangkutan bekerja.

Mempersiapkan pasien kembali bekerja


Sangat penting untuk melakukan pengkajian untuk memahami kondisi pasien yang
menjalani BPAK, terutama kondisi pra tindakan, jenis tindakan, kompllikasi dan perawatan
saat tindakan dan keadaan pasca tindakan BPAK. Mobilisasi dini dan dukungan psikologis
dari petugas pemberi asuhan dan keluarga dekat sangat membantu untuk mengembalikan
pasien ke keadaaan terbaiknya untuk mencapai pemulihan fisik, mental dan meningkatnya
kebugaran.

Pastikan bahwa faktor risiko pasien sudah terkontrrol baik pasca perawatan, dan pasien
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai cara pengontrolan faktor risikonya secara
mandiri melalui edukasi yang dilakukan secara adekuat baik kepada pasien maupun kepada
keluarga. Selain itu perlu disampaikan pula batasan-batasan atau restriksi gerak dan aktivitas
agar aman bagi pasien, namun perlu didorong agar pasien tidak merasa khawatir berlebihan
untuk memulai aktifitas hariannya sehingga yang bersangkutan dapat menolong dirinya
sendiri.

Program rehabilitasi jantung fase II perlu dilakukan kepada pasien pasca BPAK, agar
mengembalikan kepercayaan dirinya, tidak merasakan kekhawatiran berlebihan, dapat
memulai aktivitas harian dengan aman, dan melakukan latihan fisik yang sesuai kondisinya
dan yang dapat memberikan manfaat dalam menghadapi pekerjaannya.

Informasi hasil uji latih jantung dapat dipergunakan untuk menentukan kapasitas aerobik
dan kemungkinan beban kardiopulmoner yang dapat diberikan saat bekerja, adanya keluhan
angina atau gagal jantung serta aritmia dapat diperkirakan thresholdnya dan menjadi
pertimbangan pada saat menentukan pasien kembali bekerja. Peranan dokter spesialis
jantung dan pembuluh darah diperlukan untuk melakukan pengkajian kondisi pasca operasi,
adanya angina atau tanda dan gejala gagal jantung, keterkontrolan faktor-faktor risiko,
tingkat kapasitas aerobik yang dapat dipakai untuk memberikan rekomendasi mengenai
beban kerja maksimal.

Konsultasi dengan dokter bedah jantung sangat diperlukan untuk mendapat informasi
mengenai akibat tindakan operasi yang telah dilakukan, seperti kondisi luka operasi dan
lainnya.

45
Pengkajian kesiapan bekerja dan membuat program kembali bekerja harus dilakukan dengan
memberikan informasi yang memadai kepada perusahaannya atau kepada dokter
perusahaan, sehingga pihak perusahaan tidak melakukan restriksi terhadap yang
bersangkutan dan tidak memberikan pekerjaan yang dianggap melebihi kapasitasnya dan
yang membahayakan dirinya dan lingkungannya. Perlu didiskusikan dengan dokter
perusahaan atau perusahaannya mengenai kemungkinan pengalihan sementara
pekerjaannya bila pekerjaan yang harus dilakukan dapat membahayakan, memperlambat
penyembuhan atau dapat menyebabkan infeksi, terutama bila masih ada potensi infeksi
karena adanya luka operasi yang masih belum sembuh total.

Mempersiapkan pasien pasca BPAK kembali bekerja, sebenarnya tidak hanya


memperhatikan tingkat kebugaran kardiopulmoner, namun memerlukan pengkajian yang
lebih komprehensif yang menyangkut beberapa hal seperti (1) deskripsi pekerjaan dan
lingkungan kerja, (2) tuntutan pekerjaan, yang harus memperhatikan aspek motoric, mental,
organisasi, ergonomic, penginderaan, kesiapsiagaan dan kemungkinan modifikasi pekerjaan,
(3) kondisi kesehatan, (4) status kecacatan atau penilaian fungsi, (5) kemngkinan
membahayakan diri sendiri, rekan kerja/ orang lain dan lingkungan, (6) toleransi dan (7)
pernyataan fit to work.

Peranan dokter perusahaan atau dokter spesialis kedokteran okupasi untuk mengkaji
kesiapan pasien untuk kembali dan menentukan program pengalihan sementara bila
diperlukan. Standar-standar keselamatan kerja, peraturan perusahaan, karakteristik tiap
tugas dan pekerjaan serta lingkungan kerja harus dikaji juga untuk keselamatan pasien dan
produktivitas perusahaan disamping memastikan bahwa pasien pasca BPAK dapat kembali
bekerja.

Kesimpulan:
Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang efektif dalam upaya revaskularisasi
pasien dengan PJK. Tindakan tersebut dapat menyebabkan perubahan kondisi pasien setelah
menjalaninya. Beberapa karakteristik klinis, jenis pekerjaan, dan sosioekonomis sangat
berpengaruh pada kemungkinan pasien kembali bekerja. Peranan rehabilitasi jantung pasca
tindakan CABG, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dokter bedah jantung, dokter
spesialis okupasi dan dokter perusahaan perlu melakukan pengkajian kondisi pasien,
karakteristik pekerjaan, standar keselamatan, dan peraturan perusahaan yang memadai
untuk menilai kesiapan pasien pasca BPAK untuk kembali bekerja.

Kepustakaan:
[1] Leal J, Luengo-Fernandez R, Gray A, Petersen S, Rayner M (2006) Economic burden of
cardiovascular diseases in the enlarged European Union. Eur Heart J 27:1610–1619.

46
[2] Coronary artery surgery study (CASS). A randomized trial of coronary artery bypass
surgery. Quality of life in patients randomly assigned to treatment groups. Circulation.
1983;68: 95160
[3] Skinner JS, Farrer M, Albers CJ, Neil HAW, Adams PC. Patient-related outcomes five years
after coronary artery bypass graft surgery. QJM. 1999;92:8796.
[4]. van Brussel BL, Plokker HW, Voors AA, Ernst JM, Ernst NM, Knaepen PJ, et al.
Multivariate risk factor analysis of clinical outcome 15 years after venous coronary artery
bypass graft surgery. Eur Heart J. 1995;16:12006.
[5]. Sellman M, Holm L, Ivert T, Semb BK. A randomized study of neuropsychological function
in patients undergoing coronary bypass surgery. Thorac Cardiovasc Surg. 1993;41: 34954.
[6] Fiabane E, Argentero P, Calsamiglia G, Candura SM, Giorgi I, Scafa F, et al. Does job
satisfaction predict early return to work after coronary angioplasty or cardiac surgery. Int
Arch Occup Environ Health 2013; 86: 561-9.
[7] Butt JH, Roth R, Kragholm K, Kristensen SL, Torp-Pedersen C, Gislason GH, et al. Return to
workforce following coronary artery bypass grafting: A Danish nationwide cohort study. Int J.
Cardiol 2017. doi:10.1016/j.ijcard.2017.10.03
[8] Hallberg V, Palomaki A, Kataja M, Tarkka M. Return to work after coronary artery bypass
surgery: A 10-year follow-up study. Scand Cardiovasc J. 2000; 43:277-84.
[9] Pinto N, Shah P, Haluska B, Griffin R, Holliday J, Mundy J. Return to work after coronary
artery bypass in patients aged under 50 years. Asian Cardiovascular & Thoracic Annals, 2012;
20(4) 387-91.
[10] Blokzijl F, Dieperink W, Keus F, Reneman MF, Mariani MA, van de Horst I CC. Cardiac
rehabilitation for patients having cardiac surgery: a systematic review.Journal of
cardiovascular Surgery 2018. DOI: 10..23736/S0021-9509.18.10462-9

47
The Role of Neprilysin Inhibitor to Achieve Long Term Chronic Heart Failure
Treatment Goal

Celly Anantaria Atmadikoesoemah


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Chronic Heart Failure (CHF) is progressive condition with high mortality and high risk of
rehospitalisation. Increasing frequency of acute episode together with disease progression
leads to high rates of hospitalisation and mortality. In the every acute event, myocardial
injury may contribute to the progressivity of left ventricular dysfunction.
Although it looks silent or in “stable condition” but the disease is active. The
neurohormonal activation is still on going lead to myocytes injury, myocardial stretch, and
remodelling. The highest cause of death in patient with stable HF (NYHA II and III) are due to
sudden death. Even though there are reduction in all cause mortality with the current
therapies, however mortality remains significant, about 50% patients HF die within 5 years
of diagnosis, worse than cancer patient.
Sympathetic nervous system (SNS), renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS), and
natriuretic peptide (NP) are three neurohormonal systems that build the core of heart
failure pathophysiology. Activation of NP system induces vasodilation, increase
natriuresis/diuresis, reduce fibrosis and hypertrophy. Unfortunately, the cardio-protective
effect of NP is rapidly neutralized by neprilysin, an enzyme which degrade NP. A new class of
phamacological therapy called Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI) attempts to
both inhibit RAAS over activation and prolong NP cardioprotective effect. Sacubitril valsartan
is the first ARNI to be tested in patients which was proven by recent findings of PARADIGM-
HF trial.
PARADIGM-HF trial was double-blind trial, randomized, with 8442 patients an ejection
fraction of 40% or less (HF-rEF) with NYHA class II, III, or IV. The PARADIGM-HF trial has been
stopped at a median follow-up of 27 months because the boundary for an overwhelming
benefit with sacubitril valsartan had been crossed. At the time of study closure, the results
showed 20% superior reduction in death from cardiovascular causes or first hospitalization
for heart failure (P <0.001) and decreased the symptoms and physical limitations of heart
failure (P = 0.001) compared to enalapril. The results also showed us that sacubitril valsartan
significantly reduce the risk of sudden death for 20%.
ARNI is now recomended by ESC and AHA guideline as replacement of ACEi/ARB in
symptomatic HFrEF patient.
Keyword: ARNI, Sacubitril-Valsartan, Heart Failure

48
A. Latar Belakang
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu kondisi yang memiliki karakteristik
progresif dengan mortalitas yang tinggi serta risiko rehospitalisasi yang meningkat terus.
Secara umum, menurut Yancy et al, gagal jantung dibagi menjadi empat stage: Stage A
dimana ada risiko yang tinggi pasien mengalami gagal jantung, namun tidak disertai dengan
gejala yang signifikan maupun masalah struktural yang serius. Stage B didefinisikan sebagai
adanya masalah jantung struktural, namun belum ditemukan adanya gejala pada pasien.
Sedangkan pada stage C didapatkan ada gejala CHF pada masalah struktural yang dialami
pasien. Stage D adalah masalah gagal jantung berulang yang perlu penanganan
terspesialisasi. Semakin tinggi tingkatan gejala CHF ini maka akan semakin tinggi tingkat
rehospitalisasinya. Ada peningkatan signifikan pula terhadap risiko mortalitas pasien. 1
Penyakit gagal jantung ini disebabkan oleh komorbid dan juga proses patofisiologi
yang berbeda-beda. Dapat dilihat bahwa usia, merokok, obesitas, hipertensi, riwayat
penyakit jantung coroner, diabetes dan dislipidemia adalah faktor-faktor risiko yang
berperan signifikan dalam menyebabkan masalah gagal jantung ini. Faktor risiko ini
kemudian akan menyebabkan masalah struktural jantung dalam bentuk infark miokard dan
juga hipertrofi ventrikel kiri. Kedua penyakit ini kemudian akan menyebabkan masalah
disfungsi baik pada sistolik maupun diastolik yang akan menyebabkan gagal jantung.1
Mereka dengan gagal jantung NYHA Class II atau yang dikenal dengan nama Stable
heart failure memiliki risiko kematian mendadak yang tinggi. Didapatkan bahwa pada follow
up 1 tahun sebagai bagian dari studi MERIT-HF, mereka dengan NYHA class II memiliki
insidensi gagal jantung yang cukup tinggi. Didapatkan dari follow up selama 2.3 tahun dari
791 total pasien ada 44.9% pasien yang mengalami kematian mendadak, 27.1% pasien yang
mengalami perburukan CHF dan juga kematian akibat sebab yang lain didapatkan pada
28.2% sampel.2
Terapi saat ini yang berkaitan dengan pasien CHF kronik mayoritas menggunakan
obat-obatan yang menargetkan system RAAS dan SNS. Penelitian yang dilakukan
menunjukan bahwa pemberian obat Beta blocker digabungkan dengan ACE inhibitor/ARB
memiliki penurunan angka mortalitas yang signifikan dibandingkan kombinasi obat-obatan
yang lainnya: ACE inhibitor saja, Angiotensin receptor blocker dan juga Ace-Inhibitor
dikombinasikan dengan beta blocker. Namun, penanganan pasien dengan CHF ini masih
tetap tidak cukup baik: 50% paien CHF mengalami mortalitas 5 tahun setelah diagnosis CHF
ini ditegakkan. Perlu farmakoterapi yang lebih baik untuk meningkatkan angka harapan
hidup pasien dengan CHF.2
B. Penanganan Gagal Jantung Secara Umum
Penanganan kasus gagal jantung ini berhubungan dengan patofisiologi dari masalah
jantung yang akan menyebabkan penurunan fungsi jantug ini. Ada 3 mekanisme dimana
penurunan fungsi jantung akan terlihat: disfungsi system SNS, RAAS dan juga NP. Sistem SNS
dan RAAS ini berfungsi untuk mengaktifkan respons terhadap penurunan output jantung.
Efek jangka pendeknya adalah menjaga agar output jantung tetap optimal, namun pada

49
jangka panjang akan menyebabkan penurunan fungsi jantung. Untuk system NP, akan
menjadi antagonis terhadap sitsem RAAs dan juga SNS. 3
Terapi farmakologi dari kasus gagal jantung ini berkaitan erat dengan patofisiologi
masalah jantung ini. Terapi farmakologi yang menyasar system saraf simpatis adalah beta
blocker, dimana biasanya diberikan obat-obatan seperti bisoprolol, carvedilol atau nebivolol.
Terapi yang menyasar system RAAS ini adalah Ace Inhibitor, ARB dan juga MRA seperti
spironolakton. Sedangkan, sampai sekarang terapi yang menyasar system Natriuretic
Peptide masih belum jelas. Padahal sistem Natriuretic Peptide ini memiliki manfaat yang
berpotensi sangat membantu pasien dengan gagal jantung. Peningkatan kadar Natriuretic
Peptide ini akan menurunkan outflow simpatetik, menurunkan kadar vasopressin dan
menurunkan konsumsi garam dan air. Modifikasi sistem NP ini juga akan menurunkan
kondisi hipertrofi jantung, menurunkan proliferasi fibroblast dan juga akan meningkatkan
vasodilasi pembuluh darah. Disinilah peranan dari golongan obat baru yang disebut sebagai
Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI)3
C. Peranan ARNI dalam terapi gagal jantung
Beberapa penelitian terakhir menunjukan bahwa masalah gagal jantung ini juga
merupakan masalah neurohormonal yang serius. Disinilah peranan dari obat baru yang
disebut sebagai Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor atau yang dikenal dengan nama
ARNI ini. Salah satu obat pertama golongan ARNI ini dikenal dengan nama Sacubitril
Valsartan (LCZ696) yang memiliki fungsi dalam melakukan bloking AT1 receptor dan juga
inhibisi dari neprilysin. ARNI memiliki manfaat untuk meningkatkan peptide natriuretic dan
juga peptide-peptida vasoaktif yang lainnya serta menurunkan ekspresi dari RAAS. RAAS ini
memliki beberapa efek seperti vasokonstriksi, peningkatan tekanan darah, peningkatan
tonus simpatetik, peningkatan kadar aldosterone, hipertrofi, fifbrosis, dan juga retensi
sodium serta air. 4
Peranan ARNI dalam penanganan kasus-kasus gagal jantung ini sudah terbukti secara
bermakna dimana penggunaan ARNI ini sesuai dengan penelitian PARADIGM-HF yaitu
sebuah penelitian multicenter, randomized, double blind, parallel group untuk
memperlihatkan efektivitas obat ini dibandingkan dengan enalapril dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien dengan gagal jantung kronis disertai penurunan fraksi
ejeksi. Penelitian PARADIGM-HF ini adalah penelitian terbesar yang melibatkan pasien-
pasien gagal jantung. Penelitian yang diselenggarakan dari tahun 2009-2013 ini memiliki
sample terbesar dibandingkan studi-studi yang lain. Subjek penelitian PARADIGM-HF adalah
8442, lebih besar dari studi SHIFT yang diselenggarakan tahun 2006-2009 dan melibatkan
6505 sampel dan juga EMPHASIS-HF yang diselenggarakan tahun 2006-2010 yang
melibatkan 2737 pasien.5
Penelitian PARADIGM-HF ini mencoba mengevaluasi efek dari obat LCZ696 200 mg BID yang
dibandingkan dengan enalapril 10 mg BID pada HFrEF, dengan endpoint yang diukur adalah
kematian akibat masalah kardiovaskular dan juga hospitalisasi akibat gagal jantung. 6

50
Gambar 1. Skema Penelitian PARADIGM-HF 5
Metodologi penelitian pada PARADIGM-HF adalah sebagai berikut: ada periode
active run in dimana diberikan enalapril 10 mg selama 2 minggu yang dilanjutkan dengan
LCZ696 yang diberikan selama 1-2 minggu dan LCZ696 yang diberikan selama 2-4 minggu.
Selanjutnya, dilakukan follow up selama 27 minggu membandingkan LCZ696 200 mg BID
dengan Enalapril 10 mg BID. Hasil penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:6

Gambar 2. Kurva Kaplan Meier ARNI terhadap Primary Endpoint 5


Kurva Kaplan-meier mencoba membandingkan risiko kematian antara pemberian
obat Sacubitril/valsartan dibandingkan dengan Enalapril. Didapatkan bahwa ada penurunan
tingkat kematian sebesar 20% pada grup yang diberikan Sacubitril/valsartan dibandingkan
dengan Enalapril pada akhir penelitian 42 minggu ini. Hal yang sama juga dapat dilihat pada
outcome yang lain yaitu risiko kematian mendadak yang diilustrasikan pada kurva Kaplan-
meier dibawah ini.

51
Gambar 3. Kurva Kaplan Meier ARNI terhadap Resiko Kematian Jantung Mendadak 5
Dari kurva Kaplan-meier diatas yang mencoba membandingkan pemberian Enalapril
dan Sacubritil/valsartan. Dapat dilihat bahwa pemberian Sacubtiril/valsartan akan
menurunkan risiko kematian mendadak sebesar 20% dibandingkan pemberian Enalapril,
perbedaan kematian mendadak saat follow up 42 bulan ini dinilai signifikan secara statistik. 5
Selain perbedaan tingkat kematian mendadak, pemberian kombinasi obat
Sacubtiril/valsartan ini juga akan menyebabkan penurunan yang signifikan dari hospitalisasi
gagal jantung pada pasien. Pada pasien yang diberikan kombinasi obat Sacubtiril/Valsartan
didapatkan bahwa tingkat hospitalisasi tahunan pasien dengan CHF adalah 12.8%, jauh
dibawah mereka yang diberikan Enalapril yaitu 15.6%. Perbedaan dari kedua grup ini
memiliki HR 0.79 dan signifikan secara statistik. Didapatkan bahwa hospitalisasi berulang
berkurang secara signifikan yaitu 29% pada grup yang dibeirkan obat kelompok treatment
dibandingkan kelompok kontrol.5
Beberapa manfaat lainnya yang diperlihatkan dengan pemberian obat pada golongan
treatment dibandingkan dengan kontrol adalah sebagai berikut: pemberian obat ini akan
menurunan jumlah kunjungan ke IGD sebesar 30%, menurunkan jumlah masuknya pasien ke
ICU sebesar 18% dan juga menurunkan hospitalisasi dengan sebab apapun sebesar 12%.
Perubahan-perubahan ini signifikan secara statistik dengan p<0.05. 7
Terkait dengan keamanan obat-obatan, efek samping yang dilihat dari studi
PARADIGM-HF ini memiliki profil yang mirip antara kedua obat ini, beberapa efek samping
yang diteliti dalam kesempatan ini adalah sebagai berikut: batuk, didaptakan lebih tinggi
pada golongan Enalapril dibandingkan pada Sacubtiril/ valsartan, masalah gagal ginjal
didapatkan lebih tinggi pada golongan Enalapril dengan 4.5% yang mengalami gagal ginjal
dan 3.3% yang mengalami gagal ginjal pada grup Sacubtiril/valsartan. Untuk masalah
hiperkalemia, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua grup. Penelitian profil
keamanan obat ini juga menunjukan bahwa Sacubtiril/valsartan meningkatkan ketaatan
minum obat karena efek samping yang dirasakan lebih sedikit pada pasien dengan p=0.03.8
Performa yang baik pada obat Sacubtiril//valsartan ini dalam studi PARADIGM-HF ini
menyebabkan pemberian obat-obatan Sacubtiril/valsartan ini menjadi obat yang
direkomendasikan pada guidelines ESC 2016, dimana dinyatakan bahwa Sacubtiril/valsartan
52
direkomendasikan sebagai pengganti ACE-inbitor dalam menurunkan hospitalisasi dari
pasien-pasien gagal jantung yang tetap siptomatik setelah pemberian obat ACE-inhibitor,
Beta blocker dan MRA dalam dosis maksimal. 8
D. Penggunaan Praktis ARNI
Pemberian Obat ARNI dapat dimulai pada pasien dengan HFrEF (LVEF<=40%),
simptomatik dan ditatalaksana dengan ACE-I/ARB, SBP >=100 mmHG, eGFR >30 ml/min/1.73
m2, Kalium <5.2mmol/l. Sebelumnya perlu dilakukan wash out dari ACE inhibitor dengan
minimal waktu 36 jam atau 1.5 hari sebelum dimulainya ARNI ini. Pemberian ARNI ini juga
baiknya diberikan pada dosis rendah 50 mg apabila kekuatan ACE inhibitor/ARB ini rendah,
dapat diberikan 100 mg apabila dosis ACEi/ARB sebelumnya dosis tinggi. Obat-obatan ini
dapat dilakukan uptitrasi, peningkatan dosis 2 kali lipat setiap 2-4 minggu sampai mencapai
dosis maksimum yang dapat ditolerasi oleh pasien. 9

Referensi
1. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management
of Heart Failure: executive summary: a report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation
2013;128:1810–1852.
2. Desai Akshay S, Solomon S, Claggett B, et al. Factors Associated With Noncompletion
During the Run-In Period Before Randomization and Influence on the Estimated Benefit of
LCZ696 in the PARADIGM-HF Trial. Circulation: Heart Failure. 2016;9:e002735.
3. Volpe M, Carnovali M and Mastromarino V. The natriuretic peptides system in the
pathophysiology of heart failure: from molecular basis to treatment. Clinical Science.
2016;130:57-77.
4. Kristensen Søren L, Preiss D, Jhund Pardeep S, et al. Risk Related to Pre–Diabetes
Mellitus and Diabetes Mellitus in Heart Failure With Reduced Ejection Fraction. Circulation:
Heart Failure. 2016;9:e002560.
5. McMurray JJV, Packer M, Desai AS, et al. Baseline characteristics and treatment of
patients in Prospective comparison of ARNI with ACEI to Determine Impact on Global
Mortality and morbidity in Heart Failure trial (PARADIGM-HF). European Journal of Heart
Failure. 2014;16:817-825.
6. Packer M. Let Us Not Forget the Long-term Safety Concerns of Sacubitril/Valsartan—
ReplyLet Us Not Forget the Long-term Safety Concerns of Sacubitril/Valsartan—ReplyLetters.
JAMA Cardiology. 2017;2:819-819.
7. Böhm M, Young R, McMurray JJV, et al. Systolic blood pressure, cardiovascular
outcomes and efficacy and safety of sacubitril/valsartan (LCZ696) in patients with chronic
heart failure and reduced ejection fraction: results from PARADIGM-HF. Eur Heart J.
2017;38:1132-1143.
8. Jhund PS, McMurray JJV, Rouleau JL, et al. Efficacy and safety of LCZ696 (sacubitril-
valsartan) according to age: insights from PARADIGM-HF. Eur Heart J. 2015;36:2576-2584.

53
9. Entresto (Sacubitril/ Valsartan) [package insert]. East Hanover, NJ: Novartis
Pharmaceuticals Corp; August 2015.

54
Anticoagulant for Acute Coronary Syndrome

Dafsah Arifa Juzar


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Sindroma koroner akut merupakan penyebab utama dari mortalitas penyakit kardiovaskular.
Pasien sindroma koroner akut tetap berisiko mengalami kejadian kardiovaskular berulang
walaupun telah mendapat terapi medikamentosa dan revaskularisasi. Proses utama pada
SKA yang menyebabkan iskemia miokard hingga nekrosis adalah oklusi akut akibat thrombus
yang ukurannya bervariasi. Thrombus yang terbentuk akibat ruptur plak sebagaian besar
adalah terdiri trombosit (platelets). Ruptur plak dan agregasi trombosit akan mengaktikan
sistim koagulasi.

Berdasarkan mekanisme terjadinya SKA, maka terapi yang dapat memodifikasi


thrombogenesis menjadi fondasi dari tatalaksana SKA dan prevensi terjadinya iskemia
berulang. Obat anti thrombotic, antiplatelet dan antikoagulan menjadi bagian penting dari
penanganan SKA. Secara umum semakin kuat suatu agen sebagai antithrombotik akan
mengurangi risiko kejadian iskemia tertutama pemilihan agen tersebut berdasarkan
kesesuaian stratifikasi risiko. Di lain pihak efek antithrombotic yang poten juga
mengakibatkan risiko perdarahan yang lebih tinggi. Dari registry studi Grace diperlihatkan
bahwa perdahan mayor yang terjadi pada seluruh spektrum SKA akan meningkatkan angka
kematian rumah sakit paling tidak dua kali lipat. Sehingga mendapatkan hasil terapeutik
yang tepat efektif mencegah kejadian iskemia berulang tanpa meningkatkaan kejadiaan
perdarahan. Mekanisme formasi thrombus dan cara kerja dari masing antikoagulan yang
tersedia di Indonesia akan dibahas. Bukti penggunaan antikoagulan pada SKA akan di bahas
dan termasuk rekomendasi terbaru dari persatuan kardiologi Indonesia. Penggunaan
antikoagulan akan dibahas pada situasi tersebut.

Mekanisme formasi thrombus


Tissue factor akan mengaktivasi kaskade koagulasi. Protein membrane, tissue factor, di
ekspresikan pada permukaan membran Fibroblast, sel otot polos dan tissue factor di
sirkulasi darah. Pada lokasi pembuluh darah yang mengalami kerusakan , platelets akan
ekpresi isomerasedi sulfide, memotong tissue factor menjadi bentuk aktif. Tissue factor yang
sudah teraktivasi akan mengikat prothrombin. Protombin akan dipotong menjadi menjadi
kompleks thrombin, thrombus teraktivasi, oleh factor Xa. Thrombin mengakibatkan
agregasit trombosit, aktivasi kaskade koagualsi plasma dan konversi fibrinogen memnjadi
fibrin. Fibrin dan agregasi trombosit membuat ikatan lebih stabil dan terbentuknya
thrombus.1,2

55
Gambar 1. Mekanisme thrombogenesis dan lokasi kerja antikoagulan AT (Antithrombin)

Terapi antikoagulan
Jalur pembentukan thrombus secara sederhana terjadi melalui dua jalur , jalur platelet dan
jalur thrombin. Pada kasus NSTE SKA terbukti terapi kombinasi agen antikoagulan dengan
antiplatelet lebih efektif dalam menurunkan kejadian trombotik berulang.3

Unfractionated heparin (UFH)


UFH di ekskresi secara endogen berupa komponen pentasacharida yang mempunyai afinitas
tinggi untuk antithrombin. Antithrombin berikatan dengan UFH akan mengakibatkan
kemapuan antithrombin meningkat berlipat ganda untuk membuat thrombin dan faktor Xa
menjadi tidak aktif mengakibatkan pembentukan thrombus terhambat.

UFH mempunyai jendela terapi yang sempit dan mempunyai perbedaan pharmakokinetik
pada masing-masing individu bervariasi. Sehingga penggunaannya untuk mencapai dosis
terapi memerlukan pemantauan ketat dengan pemeriksaan Activated clotting time (ACT) di
laboratorium katerisasi atau activated partial thromboplasmin time (aPTT) di ruang lain.

Kegunaan UFH pada SKA telah divalidasi oleh beberpa studi randomisasi terkontrol.4,5 Semua
studi-studi secara konsisiten menunjukan adanya efektivitas bermakna UFH dibanding
placebo dalam mengurangi kejadian iskemia berulang pada pasien SKA. Dosis pemberiaan
UFH berdasarkan berat badan, dan sesuai rekomendasi panduan ESC dan PERKI dosis awal
bolus 60–70 IU/kg maksimum 5000 IU dengan dosis rumatan 5000 IU, followed by an
infusion of 12–15 IU/kg/jam maksimal 1000 IU/jam dititrasi sesuai target aPTT 1,5-2
x/kontrol. Saat tindakan PCI dengan panduan ACT, target ACT bila menggunakan Gp IIbIIIa
200-250 detik, sedangkan target ACT tanpa GPIIbIIIa ACT 250-350. Alternatifnya bila tidak
dipandu dengan pemeriksaan ACT, UFH bolus 60-70 u/kg dengan GPIIbIIIa atau UFH bolus
70-100 u/kg tanpa GPIIbIIIa. Penggunaan UFH tidak dilanjutkan setelah revaskularisasi,
kecuali ada indikasi lain seperti Atrial fibrilasi , Penyakit arteri perifer.
Untuk pasien yang mendapat fibrinolitik sesuai rekomendasi ESC dan PERKI, antikoagulan
diberikan sebelum dan sesudah fibrinolysis pada pasien STE-SKA. Pemberiaan antikoagulan
inini dilanjutkan hingga revaskularisasi dilakukan. Sedangkan pasien SKA yang ditangan

56
secara medikamentosa tanpa revaskularisasi, pemberian UFH direkomendasikan selama 48
jam.
Studi randomisasi control teracak untuk penggunaan UFH pada pasien intervensi koroner
perkutan primer tidak ada, namun pengunaannya umum dan direkomendasikan dengan
dosis seperti tindakan PCI lainnya. Penggunaan Enoxaparin dapat dilanjutkan tanpa UFH
atau sebagai alternatif. Pada tindakan intervensi koroner primer penaduan penggunaan UFH
dengan ACT belum ada studinya dan intinya untuk terjadi keterpambatan karena perlu
memeriksa ACT.

Penggunaan UFH pada studi randomisasi teracak memperlihatkan agka kejadian perdarahan
yang lebih tinggi dibanding anticoagulant lainnya. Walaupun mempunyai angka kejadian
perdarahan lebih tinggi, UFH tetap masih umum digunakan, karena dengan kombinasi terapi
terbukti efektif dan ekonomis, waktu paruh yang singkat dan mudah di reverse dengan
antidote protamine.

Low molecular weight heparin (LWMHs)


Low molecular weight heparin merupakan turunan dari UFH, mudah di absorbsi melalui
subkutan dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dibanding UFH. Antikoagulan ini
juga lebih jarang berintereksi dengan protein plasma sehingga farmakokinetiknya lebih
mudah di prediksi, dan efek samping perdarahan dan kejadian heparin induced
thrombocytopenia lebih jarang dibanding UFH.6

Enoxaparin merupakan LWMH yang paling sering digunakan dan mempunyai banyak studi.
Pada studi SYNERGY, Enoxaparin pada pasien SKA berisiko tinggi menjalani strategi invasf
sebanding dengan UFH untuk kejadian gabungan kematian dan infark miokard pada hari ke
30.7 Namun kejadian perdarahan mayor berdasarkan kriteria TIMI pada kelompok
enoxaparin lebih tinggi. Pada studi ini penanganan SKA menggunakan antiplatelet tambahan
GPIIbIIIa. Pada studi selanjutnya ATOLL trial, pada pasien SKA yang menjalani intervensi
koroner perkutan primer enoxaparin dibandingkan UFH, menurunkan angka kematian,
kejadian SKA berulang dan keperluan revaskularisasi urgen (30 % versus 52 %; p=0.015),
tanpa peningkatan rate perdarahan.8

Pada satu metanalisis dengan populasi SKA keunggulan enoxaparine di banding UFH dalam
menurunkan mortalitas pada hari ke 30 hanya marginal dan risiko perdarahan mayor pada
hari ke 7 tidak ada perbedaan bermakna lebih.9 Pada metaanalisis dengan skala jumlah studi
dan subyek yang lebih besar, 23 trial dengan jumlah subyek sekitar 30 ribu, memperlihatkan
keunggulan enoxaparin dibanding UFH dalam menurunkan kejadian gabungan dari
kematian, MI, komplikasi infark miokard dan perdarahan.

Studi kontrol acak, EXTRACT TIMI 25, pasien STEMI yang menjalani fibrinolysis enoxaparin
lebih unggul dibanding UFH untuk mencegah kematian (RRR 17%) dan infark miokard yang
57
tidak fatal (RRR 33%). Insidens Kejadian gabungan untuk kematian, infark miokard non fatal
dan revaskularisasi urgen lebih rendah pada kelompok pasien yang mendapatkan
antikoagulan enoxaparine. Keunggulan enoxaparine dibanding UFH konsisten pada
fibrinolitik fibrin spesifik, alteplase, maupun fibrin non sepesifik, streptokinase. Namun
untuk pasien usia diatas 75 tahun, dosis enoxaparine perlu disesuaikan tanpa bolus dengan
dosis rumatan enoxaparin lebih rendah dua kali 0.75 mg/kg. Untuk pasien dengan gangguan
ginjal, estimasi laju filtrasi glomerulus kurang dari 15-29 ml/min/1,73 m2, dosis rumatan 1
mg/kg subkutan satu kali/hari.10

Beberapa studi yang tidak di randomisasi memperlihatkan penggunaan enoxaparin


memperlihatkan keunggulan dibanding UFH pada pasien yang menjalani intervensi koroner
perkutan primer. Pada studi random teracak, ATOLL, yang membandingkan keunggulan
penggunaan enoxaparin dibanding UFH pada pasien yang menjalani intervensi koroner
perkutan Primer (IKPP). Pada studi ini tidak ditemukan reduksi pada hari ke 30 untuk luaran
komposit primer : kematian, infark miokard dan perdarahan mayor. Namun untuk luaran
sekunder kematian resusitasi jantung, komplikasi infark miokard ditemukan di temukan
reduksi kejadian dibandingkan penggunaan UFH. Studi ini juga, tidak seperti studi
sebelumnya, memperlihatkan bahwa pengunaan enoxaparine pada pasien menjalani IKPP
tidak berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan. Luaran klinis sekunder berupa
kematian resusitasi jantung, komplikasi infark miokard.8 Panduan tatalaksana ACS PERKI
2018 seperti ESC merekomendasikan penggunaan enoxaparin dibanding UFH untuk pasien
STE ACS yang menjalani PPCI.

Fondaparinux
Fondaparinux merupakan penyekat factor Xa dengan waktu setengah paruh 17 jam
sehingga pengunaanya cukup satu kali sehari. Agen ini mencegah pembentukan thrombin
dengan mengikat antithrombin secara reversible. Seperti enoxaparin, fondaparinux janrang
berikatan dengan protein plasma, sehingga efek antikoagulannya lebih mudah di prediksi
dan tidak memerlukan pemantauan efeknya. Penggunaan agen ini tidak menimbulkan
rissiko terjadi heparin induced thrombocytopenia (HIT), tapi di ekskresi melalui ginjal.
Penggunaannya tidak direkomendasikan pada estimasi eGFR kurtang dari 20
ml/mnt/1,73m2.

Fondaparinux dengan dosis 2,5 mg telah terbukti mempunyai efektif perdarahan paling
rendah dengan efektifitas iskemik yang sama dengan dosis yang lebih tinggi.11

Studi OASIS 5, dilakukan pada sekitar dua puluh ribu subyek, memperlihatkan efektifitas
untuk mencegah kematian dan kejadian iskemik pada pasien NSTE SKA hari ke IX tidak
berbeda dibanding enoxaparine, namun pada hari ke XXX secara bermakna mereduksi
mortalitas secara bermakana sebesar 17% kejadian dengan ratio hazard 0,83 dan risiko
komposit kematian, infark miokard dan stroke sebesar 11 % denmgan ratio hazard 0,89.
58
Keunggulannya diperlihatkan pada penurunan risiko perdarahan mayor pada hari ke IX
sebesar 48%. Hasil ini independent dari waktu intervensi dilakukan dan waktu terakhir
pemberiaan dosis antikoagulan. Kejadian peri kateter thrombosis pada pasien yang
menjalani intervensi koroner angka kejadian lebih tinggi pada subyek menerima
fondaparinux sehingga direkomendasikan untuk memberi UFH bolus saat melakukan
intervensi koroner.12 Hasil temuan pada studi ini di replikasi pada pengalaman sesungguhnya
(real world) dengan menanalisa 40.616 subyek dari registri SCAAR di Scandinavia,
menurunkan rate perdarahan dan kematian pada pasien NSTE SKA dibanding dengan
enoxaparine.13 Risiko perdarahan mayor di seluruh spektrum berdasarkan estimasi GFR,
fondaparinux lebih superior terutama pada eGFR 20-30 ml/mnt/1,73 m2.14

Pada pasien dengan STE – SKA yang menjalani PPCI berdasarkan OASIS 6, penggunaan
fondaparinux tidak direkomendasi. Namun untuk pasien yang menjalani fibrinolisis dengan
streptokinase, rate infark miokard berulang dan kematian lebih rendah apabila antikoagulan
yang digunakan fondaparinux dibanding penggunaan UFH atau placebo.15

Setelah menimbang antara efektifitas dan risiko perdarahannya, ESC dan PERKI
merekomendasikan penggunaan fondaparinux 2,5 mg 1x/hr subkutan menjadi pilihan
pertama pada pasien NSTE-SKA dengan strategi invasive maupun konservatif. Pada pasien
yang NSTE-SKA yang menjalani tindakan strategi invasif di rekomendasikan untuk
menuggunakan UFH bolus dengan dosis cukup 50 u/kg.16

Penyekat thrombin direk (Antikoagulan baru, NOAC)


Peran antikoagulan baru pada SKA sebagaian besar digunakan untuk prevensi sekunder.
Pada studi fase II, penggunaan Apixaban dan rivaroxaban pada pasien post SKA
memperlihatkan hubungan linear antara peningkatan dosis dengan peningkatan risiko
perdarahan Studi ATLAS ACS 2 – TIMI 51, penggunaan rivaroxaban 2.5 mg 2x/hr pada pasien
SKA dengan biomarka meningkat tanpa riwayat stroke sebelumnya atau transient ischemic
attack sebelumnya, dapat menurunkan kejadian kardiovaskular tanpa meningkatakan risiko
perdarahan.17 Atas dasar Studi ATLAS ACS 2 – TIMI 51, penggunaan rivaroxaban dengan
dosis 2,5 mg 2 x/hr, dapat dipertimbangkan untuk post ACS yang mempunyai risiko iskemik
tinggi dengan risiko perdarahan rendah dan menggunakan kombinasi dua antiplatelets
clopidogrel dan aspirin.

Rangkuman
Penggunaan anticoagulant kombinasi dengan dual antiplatelets untuk tatalaksana fase akut
SKA sangat penting dan terbatas hanya untuk terapi awal dan saat revaskularisasi.
Antikoagulan yang ada dan dapat di pergunakan pada pasien SKA pada fase akut adalah
UFH, Enoxaparine, Fondaparinux. Rivaroxaban adalah NOAC yang dapat digunakan untuk
prevensi sekunder bukan fase akut. Studi randomisasi teracak yang besar telah
memperlihatkan keunggulan fondaparinux sebagai agen antikoagulan yang lebih aman
59
dibanding enoxaparine dan UFH untuk penggunaan fase akut saat admisi pada pasien SKA
kecuali STE -SKA. Saat pasien dengan terapi antikoagulan fondaparinux menjalani strategi
invasive perlu di berikan bolus UFH tambahan untuk mencegah terjadinya thrombosis di
sekitar sheath kateter saat prosedur dilakukan. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal
eGFR 20-30 ml/mnt/1,73m2, fondaparinux lebih aman dari risiko perdarahan dibanding
enoxaparine.

Pendekatan secara individual diperlukan untuk mencapai keseimbangan risiko iskemia dan
risiko perdarahan dan dapat dicapai dengan penggunaan antiplatelet dengan potensi yang
sesuai dan penggunaan anti koagulan fondaparinux. Hingga saat ini pengunaan anti Xa direk
dapat digunakan sebagai prevensi sekunder.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gailani D, Renne T. Intrinsic pathway of coagulation and arterial thrombosis. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 2007;27:2507-13.
2. Pesarini G, Ariotti S, Ribichini F. Current Antithrombotic Therapy in Patients with Acute
Coronary Syndromes Undergoing Percutaneous Coronary Interventions. Interventional
cardiology (London, England) 2014;9:94-101.
3. Eikelboom JW, Anand SS, Malmberg K, Weitz JI, Ginsberg JS, Yusuf S. Unfractionated
heparin and low-molecular-weight heparin in acute coronary syndrome without ST
elevation: a meta-analysis. Lancet (London, England) 2000;355:1936-42.
4. Theroux P, Ouimet H, McCans J, et al. Aspirin, heparin, or both to treat acute unstable
angina. The New England journal of medicine 1988;319:1105-11.
5. Cohen M, Adams PC, Parry G, et al. Combination antithrombotic therapy in unstable rest
angina and non-Q-wave infarction in nonprior aspirin users. Primary end points analysis
from the ATACS trial. Antithrombotic Therapy in Acute Coronary Syndromes Research
Group. Circulation 1994;89:81-8.
6. Weitz JI. Low-molecular-weight heparins. The New England journal of medicine
1997;337:688-98.
7. Ferguson JJ, Califf RM, Antman EM, et al. Enoxaparin vs unfractionated heparin in high-
risk patients with non-ST-segment elevation acute coronary syndromes managed with
an intended early invasive strategy: primary results of the SYNERGY randomized trial.
Jama 2004;292:45-54.
8. Montalescot G, Zeymer U, Silvain J, et al. Intravenous enoxaparin or unfractionated
heparin in primary percutaneous coronary intervention for ST-elevation myocardial
infarction: the international randomised open-label ATOLL trial. Lancet (London,
England) 2011;378:693-703.
9. Murphy SA, Gibson CM, Morrow DA, et al. Efficacy and safety of the low-molecular
weight heparin enoxaparin compared with unfractionated heparin across the acute
coronary syndrome spectrum: a meta-analysis. European heart journal 2007;28:2077-
86.
60
10. Giraldez RR, Nicolau JC, Corbalan R, et al. Enoxaparin is superior to unfractionated
heparin in patients with ST elevation myocardial infarction undergoing fibrinolysis
regardless of the choice of lytic: an ExTRACT-TIMI 25 analysis. European heart journal
2007;28:1566-73.
11. Simoons ML, Bobbink IW, Boland J, et al. A dose-finding study of fondaparinux in
patients with non-ST-segment elevation acute coronary syndromes: the
Pentasaccharide in Unstable Angina (PENTUA) Study. Journal of the American College of
Cardiology 2004;43:2183-90.
12. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, et al. Comparison of fondaparinux and enoxaparin in
acute coronary syndromes. The New England journal of medicine 2006;354:1464-76.
13. Szummer K, Oldgren J, Lindhagen L, et al. Association between the use of fondaparinux
vs low-molecular-weight heparin and clinical outcomes in patients with non-ST-segment
elevation myocardial infarction. Jama 2015;313:707-16.
14. Fox KA, Bassand JP, Mehta SR, et al. Influence of renal function on the efficacy and
safety of fondaparinux relative to enoxaparin in non ST-segment elevation acute
coronary syndromes. Annals of internal medicine 2007;147:304-10.
15. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, et al. Effects of fondaparinux on mortality and
reinfarction in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction: the
OASIS-6 randomized trial. Jama 2006;295:1519-30.
16. Steg PG, Jolly SS, Mehta SR, et al. Low-dose vs standard-dose unfractionated heparin for
percutaneous coronary intervention in acute coronary syndromes treated with
fondaparinux: the FUTURA/OASIS-8 randomized trial. Jama 2010;304:1339-49.
17. Mega JL, Braunwald E, Wiviott SD, et al. Rivaroxaban in patients with a recent acute
coronary syndrome. The New England journal of medicine 2012;366:9-19.

61
Manfaat Penilaian Fungsional Secara Invasif Pada Tindakan Intervensi
Koroner Perkutan Pada Angina Pektoris Stabil

Doni Firman
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Tujuan Intervensi Koroner Perkutan


Secara umum, apapun modalitas terapi pada pasien penyakit jantung koroner bertujuan untuk
menghilangkan gejala ( memperbaiki kualitas hidup ) dan atau memperpanjang harapan hidup (
memperbaiki luaran klinis dan prognosis). Tindakan Intervensi Koroner Perkutan (IKP) tidak terlepas
dari tujuan di atas. Dokter yang melakukan harus yakin tiap lesi yang dilakukan tindakan akan
menjadikan manfaat untuk si pasien. Tiap tindakan stenting mempunyai risiko kejadian restenosis
atau trombosis yang dapat membahayakan nyawa si pasien baik saat dini ataupun saat lanjut. (1)
IKP pada angina pektoris stabil

Terdapat tiga langkah dalam menentukan tata-laksana APS. Langkah pertama analisis pada pasien
dengan angina pektoris stabil (APS) adalah dengan melakukan analisa pre-test probablility dengan
data klinis sederhana. Langkah berikut adalah melakukan pemeriksaan laboratorik sederhana,
Elektrokardiografi istirahat, jika diperlukan- elektrokardiografi ambulatoar, foto toraks pada kondisi
tertentu. Semua pemeriksaan bisa dilakukan di poliklinik. Langkah selanjutnya adalah melakukan
pemeriksaan non invasif untuk menegakkan diagnosis. Setelah diagnosis APS ditegakkan,
pengobatan segera diberikan ( Optimal Medical Therapy / OMT ) sambil melakukan pemeriksaan
lanjut dengan tujuan untuk menentukan apakah tindakan revaskularisasi akan memberikan manfaat.
Langkah-langkah tersebut di atas dapat dipintas tergantung kepada kondisi klinis pasien. (2, 3)

Peniaian fungsional stenosis arteri koroner


Telah dibuktikan bahwa iskemia miokard dikaitkan dengan keluhan dan luaran klinis yang buruk.
Semakin besar iskemia terdeteksi maka prognosis pasien akan semakin buruk. Pemeriksaan
angiografi merupakan tindakan diagnostik untuk menentukan modalitas revaskularisasi pada APS.
Sayangnya berbagai pemeriksaan non invasif - bahkan pemeriksaan angiografi, tidak selalu tepat
dalam menilai iskemia khususnya pada lesi multipel. Ketidak pastian ini dapat menimbulkan
kesalahan dalam menentukan strategi saat IKP dan memasang stent pada lesi yang mungkin tidak
membutuhkan stent. Hal ini mungkin dikarenakan sejak pertama kali IKP dilakukan oleh Andreas
Gruntzig tahun 1977, tidak ada penelitian membuktikan bahwa tindakan IKP bermanfaat
memperbaiki angka harapan hidup. Diperkirakan disebabkan semua studi yang telah dilakukan tidak
dapat membuktikan bahwa lesi yang diintervensi adalah lesi yang menyebabkan iskemia.(1)

Lesi yang menyebabkan iskemia dapat dibagi dua yaitu lesi dengan functionally significant stenosis
dan lesi functionaly non-significant stenosis. Functionally significant stenosis adalah lesi yang
menyebabkan angina pektoris dan tindakan IKP akan menghilangkan keluhan lebih baik
dibandingkan dengan hanya terapi medikal. Functionally non-significant stenosis tidak menyebabkan
keluhan dan tidakan IKP pada lesi ini akan tidak akan memperbaiki keluhan dan luaran. (1)

62
Gambar 1. Tatalaksana angina pektoris stabil (3)

Limitasi angiografi
Angiografi koroner telah lama dipakai sebagai satu-satunya alat untuk menentukan pilihan
revaskularisasi. Pada kenyataannya angiografi sering kali menghasilkan kesimpulan over atau
underestimated. Analisa dari sub studi FAME memperlihatkan bahwa pada dua pertiga populasi
dengan stenosis lebih dari 50 persen secara angiografi ternyata tidak signifikan menyebabkan
iskemia. Ketidak sesuaian ini dinamakam mismatches yang didefinisikan sebagai lesi yang 50
persen dan FFR > 0.8 Pada studi lain ditemukan fenomena ini ditemukan pada 57% pada lesi non left-
main dan 35% pada lesi left-main ( p = 0.032 ). Sebaliknya pada lesi dengan stenosis < 50% tapi FFR <
0.8 ( reverse mismatch ), ditemukan pada 16 % pada lesi non left-main dan 40% pada lesi left main (
p < 0.001 ). Prediktor independen untuk terjadinya mismatch adalah usia tua, non LAD arteri, bukan
plak yang rupture, lesi pendek, lumen area yang besar, plak yang kecil, diameter minimal lumen yang
besar. Sebaliknya prediktor independen terjadinya reverse mismatch adalah usia muda, lesi di arteri
LAD, ruptur plak, area lumen kecil, dan plak yang besar.(4)

Prinsip FFR
FFR didefinisikan sebagai rasio aliran darah miokardial di arteri koroner yang mempunyai
penyempitan dibandingkan dengan aliran darah di arteri yang sama pada keadaan tanpa
penyempitan.(5)
Rumus FFR didapatkan dari turunan pada gambar di bawah.

63
Gambar 2. Turunan rumus FFR(5)

FFR didapatkan dengan mengukur rerata tekanan koroner distal dengan menggunakan pressure wire
dibandingkan dengan tekanan rerata di proksimal arteri koroner pada keadaan hiperemia.
Pengukuran FFR telah dibadingkan dengan pemeriksaan non invasif lain seperti exercise testing,
dobutamine stress echocardiography dan exercise thallium scintigraphy dengan akurasi mendekati
100 persen.(5)

Gambar 3. Contoh hasil FFR(5)

Nilai baku normal FFR bervariasi dari tiap studi berkisar antara 0.75 samai 0.8 dengan nilai spesifitas
yang tinggi. Jika FFR di atas 0.8 maka kecil kemungkinan lesi tersebut mengakibatkan iskemia. FFR
terbukti berhubungan langsung dengan aliran darah dan suplai oksigen ke miokardium. Nilai FFR 0.6
berarti distribusi oksigen ke miokardium yamg didarahi arteri koroner tersebut hanya mencapai 60%
jika dibandingkan dengan aliran pada arteri koroner yang sama tanpa stenosis. Peningkatan FFR
menjadi 0.9 mempunyai arti peningkatan aliran sebanyak 50%. FFR juga independen terhadap
kondisi mikrovaskular dan spesifik untuk lesi epikardia. Miokardium yang sudah infark juga akan
mempengaruhi nilai FFR, pada kondisi ini nilai FFR yang tinggi diakibatkan oleh otot jantung yang
sudah mengalami kematian. (6)
Keadaan hiperemia mutlak didapatkan jika kita akan mengukur FFR. Berbagai obat dapat digunakan
untuk mencapai keadaan tersebut seperti pada tabel 1.

64
Tabel 1. Obat-obat yang digunakan untuk mencapai keadaan hiperemia(7)

Saat ini pemeriksaan FFR dan iFR direkomendasikan kelas IA pada ESC Guidelines on myocardial
revascularization untuk lesi intermediate.(1)

Studi yang menyokong FFR


Penelitian DEFER bertujuan membuktikan apakah dengan menunda tindakan IKP pada lesi yang
terbukti tidak menyebabkan iskemik ( FFR > 0,75 akan aman ).Semua pasien mempunyai lesi 50%
dan diameter > 2,5 mm. sebanyak 325 pasien dirandomisasi kedalam kelompok penundaan dan
kelompok dikerjakan. Setelah pemberian nitrogliserin 200 mcg dilakukan pengukuran FFR. Jika hasil
FFR > 0.75 dilakukan randomisasi, sedangkan jika nilai < 0,75 maka langsung dilakukan IKP. Hasilnya
akan terdapat 3 kelompok yaitu kelompok dengan FFR > 0.75 tapi tidak dilakukan IKP, kelompok
kedua yaitu kelompok FFR > 0.75 dan tindakan IKP dilakukan, sedangkan kelompok ketiga adalah
kelompok dengan FFR < 0.75 dan tindakan IKP dilakukan, kelompok yang terakhir dinamakan
kelompok referensi.

Pengamatan selama 24 bulan menunjukkan event-free survival pada kelompok yang dilakukan IKP
dengan FFR > 0,75 sebanyak 83 % dan 89% pada kelompok yang ditunda (p= 0.27). penelitian ini
menyimpulan bahwa jika IKP dilakukan pada FFR > 0,75 tidak akan memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan jika ditunda.(8)

Data ini tetap konsisten dalam pengamatan selama lima tahun yang makin membuktikan bahwa jika
FFR > 0.75 maka menunda tindakan IKP adalah aman (9)

Penelitian lain adalah FAME study, yang membandingkan tindakan IKP dengan bantuan angiografi
saja atau dengan tambahan FFR pada lesi intermediet. Pangamatan selama satu tahun membuktikan
kajadian kardiovaskular yang lebih tinggi pada kelompok yang hanya menggunakan angiografi saja (
18.3 % vs 13.2% ( p=0.02 ).(10)

Penelitian lain adalah FAME 2 yang membandingkan apakah pada lesi dengan FFR 0.8 , tindakan
IKP akan memperbaiki luaran klinis dibandingkan dengan terapi medikamentosa saja. Rekrutmen
pasien dihentikan ketika pasien mencapai 1220 karena target penelitian sudah tercapai. Terlihat
luaran klinis lebih tinggi terjadi pada kelompok dengan medikamentosa dibandingkan dengan
kelompok yang menjalani IKP ( 4.3% vs 12.7% p < 0.001). (6)

65
Resting index
Pemeriksaan FFR dilakukan pada keadaan hiperemia dengan menggunakan obat vasodilator.
Umumnya obat yang dipakai adalah adenosine. Permasalahannya adalah timbulnya efek samping,
bertambahnya waktu prosedur dan masalah biaya. Karena masalah di atas mulai diperkenalkan
berbagai resting index yang tidak membutuhkan obat vasodilator.(11, 12)

Indeks yang paling popular saat ini adalah instantaneous wave-free ratio (iFR). Indeks ini didapatkan
dengan menghitung rasio tekanan koroner distal (Pd) dan tekanan aorta (Pa) pada periode tertentu
saat late diastole yang dinamakan wave free period (WFP). Pada periode ini dianggap resisten paling
rendah dan konstan. Penelitian yang membuktikan manfaat iFR adalah DEFINE-FLAIR dan SWEDE-
HEART. Indeks lain adalah resting pd/pa yang didefinisikan sebagai rasio tekanan arteri koroner
distal dibagi dengan tekanan aorta selama siklus kardiak. (13)

Kesimpulan
Penilaian iskemia pada lesi intermediet dengan menggunakan FFR terbukti memberikan manfaat
terhadap luaran klinis pasien pada prosedur intervensi koroner perkutan.

Daftar Pustaka:
1. Neumann FJ, Sousa-Uva M, Ahlsson A, Alfonso F, Banning AP, Benedetto U, et al. [2018
ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization]. Kardiologia polska. 2018;76(12):1585-
664. PubMed PMID: 30566213. 2018 ESC/EACTS Guidelines onmyocardial revascularization.
2. Task Force M, Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, et al. 2013 ESC
guidelines on the management of stable coronary artery disease: the Task Force on the
management of stable coronary artery disease of the European Society of Cardiology. European
heart journal. 2013 Oct;34(38):2949-3003. PubMed PMID: 23996286.
3. Patel MR, Calhoon JH, Dehmer GJ, Grantham JA, Maddox TM, Maron DJ, et al.
ACC/AATS/AHA/ASE/ASNC/SCAI/SCCT/STS 2017 Appropriate Use Criteria for Coronary
Revascularization in Patients With Stable Ischemic Heart Disease: A Report of the American
College of Cardiology Appropriate Use Criteria Task Force, American Association for Thoracic
Surgery, American Heart Association, American Society of Echocardiography, American Society of
Nuclear Cardiology, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society of
Cardiovascular Computed Tomography, and Society of Thoracic Surgeons. Journal of the American
College of Cardiology. 2017 May 2;69(17):2212-41. PubMed PMID: 28291663.
4. Park SJ, Kang SJ, Ahn JM, Shim EB, Kim YT, Yun SC, et al. Visual-functional mismatch between
coronary angiography and fractional flow reserve. JACC Cardiovascular interventions. 2012
Oct;5(10):1029-36. PubMed PMID: 23078732.
5. Fearon WF. Percutaneous coronary intervention should be guided by fractional flow reserve
measurement. Circulation. 2014 May 6;129(18):1860-70. PubMed PMID: 24799502. Pubmed
Central PMCID: 5544937.
6. De Bruyne B, Pijls NH, Kalesan B, Barbato E, Tonino PA, Piroth Z, et al. Fractional flow reserve-
guided PCI versus medical therapy in stable coronary disease. The New England journal of
medicine. 2012 Sep 13;367(11):991-1001. PubMed PMID: 22924638.

66
7. Pijls NH, Tanaka N, Fearon WF. Functional assessment of coronary stenoses: can we live without
it? European heart journal. 2013 May;34(18):1335-44. PubMed PMID: 23257950.
8. Bech GJ, De Bruyne B, Pijls NH, de Muinck ED, Hoorntje JC, Escaned J, et al. Fractional flow reserve
to determine the appropriateness of angioplasty in moderate coronary stenosis: a randomized
trial. Circulation. 2001 Jun 19;103(24):2928-34. PubMed PMID: 11413082.
9. Pijls NH, van Schaardenburgh P, Manoharan G, Boersma E, Bech JW, van't Veer M, et al.
Percutaneous coronary intervention of functionally nonsignificant stenosis: 5-year follow-up of
the DEFER Study. Journal of the American College of Cardiology. 2007 May 29;49(21):2105-11.
PubMed PMID: 17531660.
10.Tonino PA, De Bruyne B, Pijls NH, Siebert U, Ikeno F, van' t Veer M, et al. Fractional flow reserve
versus angiography for guiding percutaneous coronary intervention. The New England journal of
medicine. 2009 Jan 15;360(3):213-24. PubMed PMID: 19144937.
11.Van't Veer M, Pijls NHJ, Hennigan B, Watkins S, Ali ZA, De Bruyne B, et al. Comparison of Different
Diastolic Resting Indexes to iFR: Are They All Equal? Journal of the American College of Cardiology.
2017 Dec 26;70(25):3088-96. PubMed PMID: 29268922.
12.Heusch G. Adenosine and maximum coronary vasodilation in humans: myth and misconceptions
in the assessment of coronary reserve. Basic research in cardiology. 2010 Jan;105(1):1-5. PubMed
PMID: 19941145.
13.Picard F, Pighi M, Ly HQ. Fractional flow reserve and resting indices for coronary physiologic
assessment: Practical guide, tips, and tricks. Catheterization and cardiovascular interventions :
official journal of the Society for Cardiac Angiography & Interventions. 2017 Oct 1;90(4):598-611.
PubMed PMID: 28160376.

67
Antihypertensive Drugs and Risk of Cancer

Elen
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Penurunan tekanan darah dengan obat antihipertensi mengurangi morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit kardiovaskular. Namun setelah senyawa anatihipertensi pertama beredar di
pasaran, muncul kekhawatiran bahwa obat hipetensi dapat meningkatkan risiko kanker. Hal
ini diawali dengan adanya kasus reserpin dan risiko kanker payudara, diuretik dan risiko
karsinoma sel ginjal, serta penyekat kanal kalsium (calcium channel blockers - CCB), penyekat
beta (beta blocker – BB), penghambat enzim pengkonversi angiotensin (angiotensin
converting enzyme inhibitor - ACEI) dan penyekat reseptor angiotensin (angiotensin receptor
blocker - ARB) dan risiko berbagai kanker.1-3 Pengamatan awal ini telah menimbulkan
kekhawatiran bagi pasien maupun dokter serta perdebatan dalam komunitas ilmiah.
Secara umum, asosiasi antihipertensi dan risiko kanker yang dilaporkan bersifat lemah dan
risiko absolut relatif rendah dibandingkan dengan manfaatnya terhadap penyakit
kardiovaskular dari obat-obat tersebut. Lebih lanjut, efek protektif dari ACEI lebih besar
daripada efek risikonya terhadap kanker.4 Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan kesehatan
setelah menimbang rasio risiko dan manfaatnya pada umumnya sangat mendukung
penggunaan obat antihipertensi. Ketika menilai hubungan antara obat antihipertensi dan
kanker sangat sulit untuk memisahkan faktor lainnya seperti merokok, obesitas, dan
paparan zat toksik. Hipertensi juga telah ditemukan sebagai faktor risiko kanker.5 Kanker dan
hipertensi memiliki beberapa faktor risiko dan mekanisme patogenik yang umum: termasuk
peradangan, stres oksidatif, dan faktor pertumbuhan, yang dapat menjelaskan hubungan
antara dua entitas klinis tersebut. Sehingga sangat sulit untuk memisahkan efek
hipertensi dan efek terapi antihipertensi terhadap kanker.6, 7
Terdapat beberapa studi baru yang meneliti hubungan obat antihipertensi dan kanker. Yang
pertama meneliti hubungan antara penggunaan hidroklorotiazid (HCT) dengan risiko
karsinoma sel basal (BCC) dan karsinoma sel skuamosa (SCC) dalam studi kasus-kontrol
menggunakan data Registri Kanker Denmark dan Registry Peresepan Denmark.8 Dalam
analisis ini, penggunaan HCTZ dosis kumulatif tinggi (> 50 g) dikaitkan dengan peningkatan
risiko terkait dosis terhadap BCC (OR 1,29; 95% CI: 1,23-1,35) dan SCC (OR 3,84; 95% CI:
3,68–4,31). Proporsi kanker kulit yang dikaitkan dengan penggunaan HCT adalah 0,6% untuk
BCC dan 9,0% untuk SCC. Risiko lebih tinggi pada wanita daripada pria dan pada pasien <50
tahun. Peningkatan risiko ini tidak didapatkan pada penggunaan
klortalidon atau indapamid. Mekanisme yang dihipotesiskan adalah efek fotosensitisasi dari
HCT, efek yang tidak didapatkan dari diuretik lainnya. Keterbatasan utama dari analisis ini
adalah tidak adanya informasi tentang paparan sinar matahari dan ultraviolet, yang
merupakan faktor risiko utama terjadinya SCC. Selain itu, Denmark dengan populasi berkulit
putih dengan rambut pirang, diketahui berisiko tinggi terkena kanker kulit. Tingkat risiko ini
68
pada populasi-populasi lainnya perlu diselidiki lebih lanjut. Dalam analisis lainnya
menggunakan database yang sama, didapatkan peningkatan risiko melanoma nodular pada
penggunaan HCT.9 Risiko BCC dan nodular melanoma relatif rendah. Dari kajian terbaru dari
literatur dan meta-analisis kanker kulit dan penggunaan obat antihipertensi, CCB dikaitkan
dengan peningkatan risiko kanker kulit (OR 1,14; 95% CI 1,07-1,21), dan BB dikaitkan dengan
melanoma kulit (OR 1,21; 95% CI 1,05-1,40). 10 Berbeda dengan studi Denmark yang
disebutkan di atas, tidak ada asosiasi antara penggunaan thiazide, ACEI atau ARB dan risiko
kanker kulit.

Publikasi terbaru selanjutnya menilai apakah penggunaan ACEI dikaitkan dengan


peningkatan risiko kanker paru, bila dibandingkan dengan penggunaan ARB.11 Studi ini
adalah studi kohort berdasarkan populasi pasien yang mendapatkan terapi ACEI atau ARB
pada tahun 1995-2015, dengan waktu pemantauan rata-rata 6,4 tahun. Pengguna ACEI
memiliki risiko 14% lebih besar terkena kanker paru dibandingkan pengguna ARB. Hazard
ratio secara gradual akan meningkat bersamaan dengan lamanya konsumsi terapi tersebut.
Kejadian kanker paru meningkat setelah 5 tahun konsumsi dan mencapai puncaknya setelah
lebih dari 10 tahun konsumsi ACEI. Seperti yang diakui oleh penulisnya sendiri, besarnya
estimasi yang diamati bersifat lemah. Hasil ini dikritik pada banyak surat kepada editor
dengan sejumlah alasan: (1) Hubungan antara penggunaan ACEI dan risiko kanker paru tidak
berbeda dengan status merokok. Analisis tambahan menunjukkan tidak ada peningkatan
risiko pada non-perokok yang menggunakan ACEI atau ARB. (2) Tidak ada informasi tentang
intensitas merokok di kelompok perokok. (3) Beberapa bias, termasuk faktor-faktor perancu
(status sosial ekonomi, obat-obatan lain, status perokok, dan bias deteksi batuk), dapat
berkontribusi pada asosiasi. (4) Peran bradikinin yang dianggap sebagai mediator yang
potensial terhadap peningkatan risiko kanker paru pada pengguna ACEI dianggap kurang
masuk akal. (5) Beberapa meta-analisis sebelumnya telah melaporkan tidak adanya efek
atau bahkan efek protektif ACEI terhadap kanker paru dalam randomized controlled trials
prospektif serta studi-studi observasi.12, 13 Dengan demikian, publikasi ini seharusnya tidak
menghalangi penggunaan ACEI untuk pasien dengan hipertensi dan penyakit kadiovaskular.

Saat ini tidak ada penulis publikasi maupun kebijakan kesehatan yang menyarankan
penghentian HCT karena pada pertimbangan risiko-manfaat didapatkan manfaat yang lebih
besar bagi pasien. Pasien yang menggunakan HCT harus diinformasikan tentang risiko
potensial dan diedukasi untuk memeriksa kulit secara teratur dan menghindari paparan
ultraviolet. Dalam kasus riwayat positif kanker kulit atau kekhawatiran pasien yang
berlebihan, penggantian ke klortalidon atau indapamid dapat diusulkan. Kemudian jika
dikhawatirkan risiko kanker paru pada penggunaan obat antihipertensi, maka terlebih
dahulu harus dilakukan untuk berhenti merokok dan upaya menjaga kebersihan udara di
lingkungan.
Masalah lain yang terkait dengan risiko kanker pada penggunaan hipertensi adalah
ditemukannya zat pengotor/impurities yang kadarnya melebihi batas aman, yaitu: N-
69
Nitrosodimethylamine (NDMA), N-Nitrosodiethylamine (NDEA), dan N-Nitroso-N-methyl-4-
aminobutyric acid (NMBA) pada beberapa produksi bahan baku farmasi aktif (active
pharmaceutical ingredient) obat golongan ARB (Irbesartan, Losartan, dan Valsartan). Saat ini
baik European Medicines Agency (EMA), US Food and Drug Administration (FDA), Medicines
and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) maupun BPOM RI terus menerus
melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap bahan baku tersebut. Beberapa perusahaan
yang memproduksi bahan baku yang terkontaminasi tersebut telah diidentifikasi. Penarikan
terhadap obat-obat yang produksinya terdapat impurities tersebut telah dilakukan.

Daftar Pustaka:
1. Heinonen OP, Shapiro S, Tuominen L, Turunen MI. Reserpine use in relation to breast
cancer. Lancet. 1974;2:675-7
2. Grossman E, Messerli FH, Goldbourt U. Does diuretic therapy increase the risk of
renal cell carcinoma? Am J Cardiol. 1999;83:1090-3
3. Sipahi I, Debanne SM, Rowland DY, Simon DI, Fang JC. Angiotensin-receptor blockade
and risk of cancer: meta-analysis of randomised controlled trials. Lancet Oncol.
2010;11:627-36
4. Lever AF, Hole DJ, Gillis CR, McCallum IR, McInnes GT, MacKinnon PL, et al. Do
inhibitors of angiotensin-I-converting enzyme protect against risk of cancer? Lancet.
1998;352:179-84
5. Dyer AR, Stamler J, Berkson DM, Lindberg HA, Stevens E. High blood-pressure: a risk
factor for cancer mortality? Lancet. 1975;1:1051-6
6. Messerli FH. Risk factors for renal cell carcinoma: hypertension or diuretics? Kidney
Int. 2005;67:774-5
7. Koene RJ, Prizment AE, Blaes A, Konety SH. Shared Risk Factors in Cardiovascular
Disease and Cancer. Circulation. 2016;133:1104-14
8. Pedersen SA, Gaist D, Schmidt SAJ, Holmich LR, Friis S, Pottegard A.
Hydrochlorothiazide use and risk of nonmelanoma skin cancer: A nationwide case-
control study from Denmark. J Am Acad Dermatol. 2018;78:673-81 e9
9. Pottegard A, Pedersen SA, Schmidt SAJ, Holmich LR, Friis S, Gaist D. Association of
Hydrochlorothiazide Use and Risk of Malignant Melanoma. JAMA Intern Med.
2018;178:1120-2
10. Gandini S, Palli D, Spadola G, Bendinelli B, Cocorocchio E, Stanganelli I, et al. Anti-
hypertensive drugs and skin cancer risk: a review of the literature and meta-analysis.
Crit Rev Oncol Hematol. 2018;122:1-9
11. Hicks BM, Filion KB, Yin H, Sakr L, Udell JA, Azoulay L. Angiotensin converting enzyme
inhibitors and risk of lung cancer: population based cohort study. BMJ.
2018;363:k4209
12. Shen J, Huang YM, Wang M, Hong XZ, Song XN, Zou X, et al. Renin-angiotensin system
blockade for the risk of cancer and death. J Renin Angiotensin Aldosterone Syst.
2016;17
70
13. Bangalore S, Kumar S, Kjeldsen SE, Makani H, Grossman E, Wetterslev J, et al.
Antihypertensive drugs and risk of cancer: network meta-analyses and trial
sequential analyses of 324,168 participants from randomised trials. Lancet Oncol.
2011;12:65-82

71
Tatalaksana Gangguan Fungsi Ginjal pada Pasien dengan Penyakit
Kardiovaskular

Estu Rudiktyo
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Abstract
Cardiovascular disease (CVD) and chronic kidney disease (CKD) are important public health
problem in the world, including Indonesia. Epidemiological study in Indonesia demonstrating
that CVD and CKD are main causes of mortality and morbidity, also, both conditions draw
significant amount of national insurance system resources. CVD and CKD share traditional
risk factors such as hypertension and diabetes. Moreover, abnormality of the heart may
induce worsening of renal function through several mechanism and vice versa. There are
several points that must be take into consideration in managing CKD in CVD in patients:
evaluation of renal dysfuncyion etiology, monitoring and intervention of hemodynamic
changes caused by CVD, adverse effect of cardiovascular drugs to renal function and effect of
cardiovascular diagnostic and therapeutic procedure that may worsen existeing kidney
disease.

Pendahuluan
Gangguan fungsi ginjal merupakan salah satu kondisi yang sering dijumpai pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular dan akan sangat meningkatkan mortalitas dan morbiditas
pasien. Kedua kondisi ini merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai di berbagai
negara, termasuk di Indonesia. Penyakit kardiovaskular dan gangguan fungsi ginjal adalah
dua penyakit yang paling banyak menghabiskan sumber daya kesehatan di Indonesia.
Terjadinya gangguan fungsi ginjal, baik yang bersifat akut maupun kronik akan membuat
tatalaksana penyakit kardiovaskular menjadi lebih rumit karena terdapat beberapa
modalitas diagnostik dan tatalaksana yang tidak dapat digunakan dengan optimal. Oleh
karena itu diperlukan pemahaman terkait aspek diagnosis dan tatalaksana penyakit
kardiovaskular pada pasien yang memiliki komorbid gangguan fungsi ginjal, agar prosedur
pemeriksaan dan terapi tersebut tidak memperburuk gangguan ginjal yang sudah ada dan
sebaliknya.

Epidemiologi
Prevalensi penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease, CKD) pada populasi umum di Eropa,
Amerika, Asia dan Australia adalah sekitar 7.2% pada penduduk yang berusia lebih dari 30
tahun, dan bervariasi antara 23 hingga 35% pada penduduk yang berusia di atas 64 tahun.1
Penyebab utama CKD adalah hipertensi dan diabetes mellitus, yang juga merupakan faktor

72
risiko utama penyakit jantung koroner. Sebuah studi melaporkan bahwa separuh kematian
pada pasien dengan CKD adalah disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.2 Studi ini juga
menyebutkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular pada pasien dengan
hemodialisis mencapai 50 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Prevalensi CKD di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 0.2% dari populasi atau sekitar 500
ribu orang,3 suatu angka yang sangat besar. Data BPJS tahun 2018 menyebutkan bahwa
penyakit jantung dan gagal ginjal merupakan dua penyakit yang menghabiskan biaya sangat
besar yakni Rp 6.67 triliun dan 1.5 triliun berturut-turut.

Hubungan antara Penyakit Kardiovaskular dan Gangguan Fungsi Ginjal


Penyakit kardiovaskular dan gangguan fungsi ginjal sering dijumpai pada pasien yang sama,
hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa mekanisme. Pertama, kedua penyakit ini memiliki
faktor risiko yang serupa, yakni hipertensi dan diabetes mellitus. Kedua, penyakit
kardiovaskular memiliki keterkaitan dengan gangguan fungsi ginjal dari segi patogenesis dan
patofisiologi, baik secara hemodinamik maupun neurohormonal. Penyakit kardiovaskular
dapat memicu timbulnya gangguan fungsi ginjal dan sebaliknya, baik yang terjadi secara akut
maupun kronik. Ronco dkk mempopulerkan istilah sindroma kardiorenal (cardiorenal
syndrome, CRS) yang didefinisikan sebagai gangguan patofisiologi jantung dan ginjal, di
mana disfungsi akut maupun kronik salah satu organ dapat mencetuskan gangguan pada
organ lainnya.4 CRS dibagi menjadi 5 subtipe yang mencerminkan patofisiologi, hubungan
berdasarkan waktu dan penyebab kelainan ginjal atau jantung (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi sindroma kardiorenal.4


Tipe 1: Sindroma kardiorenal akut
Perburukan akut fungsi jantung yang mencetuskan gangguan fungsi ginjal
Tipe 2: Sindroma kardiorenal kronik
Kelainan kronik fungsi jantung yang menimbulkan gangguan fungsi ginjal
Tipe 3: Sindroma renokardiak akut
Perburukan akut fungsi ginjal yang mencetuskan masalah jantung
Tipe 4: Sindroma renokardiak kronik
Kelainan kronik fungsi jantung yang menimbulkan gangguan jantung
Tipe 5: Sindroma kardiorenal sekunder
Kondisi sistemik yang menimbulkan disfungsi jantung dan ginjal secara simultan

Tatalaksana
Tatalaksana gangguan fungsi ginjal pada pasien dengan penyakit kardiovaskular harus
dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya berupa pemberian medikamentosa, akan tetapi
mencakup aspek lain seperti terapi nutrisi dan pemberian cairan. Tatalaksana ditujukan agar
pemeriksaan diagnostik dan tatalaksana kelainan kardiovaskular tetap dapat dilakukan
seoptimal mungkin sehingga diikuti perbaikan fungsi ginjal atau setidaknya tidak
memperparah kerusakan ginjal yang sudah terjadi. Tatalaksana gangguan fungsi ginjal secara
73
spesifik harus dikonsultasikan dengan dokter spesialis penyakit dalam, konsultan nefrologi,
spesialis urologi atau spesialis lainnya sesuai indikasi. Pada artikel ini akan dibahas lebih
lanjut upaya untuk memperbaiki fungsi ginjal atau mencegah perburukan fungsi ginjal lebih
lanjut dari sisi kardiovaskular.
Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi
tatalaksana pada populasi ini, yakni: (1) evaluasi penyebab lain gangguan fungsi ginjal; (2)
pengawasan dan intervensi perubahan parameter hemodinamik akibat penyakit
kardiovaskular yang dapat mengganggu fungsi ginjal; (3) efek obat kardiovaskular pada
fungsi ginjal; dan (4) pengaruh berbagai modalitas diagnostik dan intervensi di bidang
kardiovaskular terhadap ginjal.

Evaluasi penyebab lain gangguan fungsi ginjal


Penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal memang memiliki keterkaitan yang sangat erat,
sesuai yang telah dijelaskan oleh Ronco dkk dalam sindroma kardiorenal, akan tetapi tetap
harus diperhatikan bahwa tidak semua gangguan fungsi ginjal yang dijumpai pada pasien
dengan kelainan jantung merupakan akibat dari penyakit jantung tersebut. Terdapat banyak
etiologi gangguan fungsi ginjal lain yang tidak berkaitan dengan penyakit kardiovaskular
seperti batu saluran kemih, infeksi atau radang pada ginjal, penyakit prostat atau tumor
pada saluran kemih. Tatalaksana definitif penyebab penyakit ginjal tersebut diharapkan
dapat memperbaiki fungsi ginjal, termasuk memperbaiki fungsi kardiovaskular bila telah
terjadi sindroma renokardiak (gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh masalah
ginjal).

Pengawasan dan Intervensi Perubahan parameter hemodinamik akibat penyakit


kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular dapat menimbulkan berbagai perubahan parameter hemodinamik
seperti status volume, volume sekuncup (stroke volume), curah jantung (cardiac output) dan
resistensi vaskuler sistemik atau pulmoner. Berbagai perubahan ini berpotensi untuk
menimbulkan gangguan perfusi ginjal yang selanjutnya akan mengganggu fungsi ginjal. Oleh
karena itu, pengawasan serta tatalaksana hemodinamik yang baik pada setiap pasien
kardiovaskular, terutama yang mengalami masalah kardiovaskular akut untuk mencegah
gangguan fungsi ginjal. Syok kardiogenik, aritmia yang berat, atau penurunan tekanan darah
yang berat akibat penggunaan obat-obat kardiovaskular harus segera ditangani karena
gangguan perfusi ginjal yang berkepanjangan dapat menimbulkan kerusakan struktur ginjal
yang permanen. Penggunaan diuretik yang berlebihan dapat mengurangi status volume yang
pada kondisi yang berat dapat menurunkan aliran darah ke ginjal. Pemberian obat-obatan
untuk menaikkan tekanan darah seperti dobutamin, dopamine, adrenalin atau norepinefrin
juga harus diawasi dengan ketat dari sisi hemodinamik karena pada dosis tertentu dapat
menaikkan resistensi vaskuler sistemik yang dapat menurunkan perfusi ginjal walaupun
target tekanan darah tercapai. Pengawasan klinis yang mencakup pengukuran tanda-tanda

74
vital, keseimbangan cairan, perfusi perifer serta penggunaan alat pengukuran hemodinamik
invasif dan non-invasif dapat dijadikan panduan untuk menentukan strategi terapi.

Efek obat kardiovaskular pada fungsi ginjal


Terdapat beberapa obat yang digunakan dalam terapi penyakit kardiovaskular yang memiliki
potensi untuk menganggu fungsi ginjal, apalagi bila digunakan pada pasien yang sudah
memiliki masalah pada ginjal. Penggunaan obat alternatif atau penyesuaian dosis adalah
upaya yang dapar dilakukan untuk mencegah atau mengurangi efek yang tidak diinginkan
pada fungsi ginjal. Perlu dibedakan antara obat yang memiliki potensi untuk menimbulkan
gangguan ginjal dengan obat yang sebenarnya tidak berpotensi mengganggu fungsi ginjal,
akan tetapi bila diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal maka risiko timbulnya
efek samping obat akan meningkat. Obat-obat kardiovaskular yang berpotensi untuk
menimbulkan gangguan ginjal di antaranya:
 Gentamisin dan vankomisin: antibiotik yang sering digunakan dalam jangka waktu cukup
panjang untuk terapi endokarditis infektif (IE) dilaporkan dapat menurunkan fungsi
ginjal, mencetuskan nefritis dan pembengkakan ginjal.
 Antiinflamasi: obat antiinflamasi golongan NSAID yang sering digunakan pada kasus
kelainan jantung akibat proses radang seperti perikarditis atau demam rematik akut
dapat menurunkan perfusi darah ke ginjal.
 Diuretik: obat-obat yang termasuk dalam golongan diuretik seperti furosemide dan
spironolakton berpotensi menimbulkan kerusakan pada ginjal dan gangguan elektrolit.
 ACE-inhibitor. Golongan obat yang sering digunakan dalam tatalaksana hipertensi dan
gagal jantung ini sebenarnya memiliki efek yang baik bagi ginjal, yakni mencegah
proteinuria, akan tetapi pada sebagian kasus dapat terjadi perburukan fungsi ginjal yang
berat.

Pengaruh berbagai modalitas diagnostik dan intervensi di bidang kardiovaskular terhadap


ginjal
Terdapat banyak modalitas diagnostik dan terapi dalam bisang kardiovaskular yang tersedia
mulai dari yang sederhana seperti EKG hingga yang kompleks seperti prosedur kateterisasi
jantung atau MRI. Beberapa prosedur diagnostik dan terapeutik tersebut ada yang memiliki
efek dapat memperburuk fungsi ginjal, sehingga perlu dipertimbangkan dengan baik
manfaat dari prosedur tersebut dan bila memungkinkan dicari alternatifnya. Akan tetapi bila
tetap harus dilkerjakan maka harus dilakukan upaya untuk meminimalkan efeknya terhadap
perburukan fungsi ginjal. Prosedur CT scan jantung atau pembuluh darah dengan kontras
dan angiografi koroner (termasuk intervensi koroner) dan pembuluh darah menggunakan
kontras berbasis iodin yang memiliki potensi untuk memperburuk fungsi ginjal, terutama
pada pasien yang sudah memiliki masalah fungsi ginjal sebelumnya. Strategi pembatasan
jumlah kontras yang digunakan, penggunaan kontras iodin formulasi tertentu yang lebih
aman untuk ginjal, rehidrasi sebelum dan setelah tindakan, serta hemodialisis dapat
diterapkan bila prosedur tersebut tetap diperlukan. Pemeriksaan MRI jantung kontras
75
gadolinium juga tidak dapat dilakukan pada pasien dengan eGFR <30 ml/mnt/1.73 m2 karena
meningkatkan risiko terjadinya nephrogenic systemic fibrosis (NSF). NSF adalah suatu kondisi
langka dengan manifestasi fibrosis pada sendi, kulit, mata dan organ dalam yang bersifat
ireversibel.5

Daftar Pustaka
1. Zhang QL, Rothenbacher D. Prevalence of chronic kidney disease in population-based
studies: systematic review. BMC Public Health. 2008;8:117.
2. Hou FF. Cardiovascular risk in Chinese patients with chronic kidney diseases: where
do we stand? Chin Med J (Engl). 2005;118(11):883-886.
3. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2013.
4. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal syndrome. J Am
Coll Cardiol. 2008;52(19):1527-1539.
5. Khawaja AZ, Cassidy DB, Al Shakarchi J, McGrogan DG, Inston NG, Jones RG.
Revisiting the risks of MRI with Gadolinium based contrast agents-review of literature
and guidelines. Insights Imaging. 2015;6(5):553-558.

76
Recognize Critical Congenital Heart Disease:
Prenatal and post Natal Evaluation

Indriwanto S Atmosudigdo
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Introduksi

Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan yang banyak di temukan pada kelainan bawaan pada bayi baru
lahir , diperkirakan dengan insiden 8 sampai 9 kasus per 1000 kelahiran hidup. Sekitar 25 % dari bayi dengan
kelainan jantung bawaan adalah bayi yang mempunyai kelainan jantung bawaan yang kritis, dimana kelainan
structural tersebut berhubungan dengan hipoksemia pada bayi baru lahir yang memerlukan intervensi baik non
bedah maupun bedah sebelum usia 1 tahun dan bila tanpa intervensi tersebut maka akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.(1.2.3.4)
Diagnosis pre natal dan tatalaksana post natal yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas dan
memperbaiki luaran dalam jangka panjang pada bayi dengan penyakit jantung bawaan kritis (3).

Diagnosis pre Natal


Beberapa penelitian menemukan ke tepatan diagnosis pre natal akan memperbaiki angka harapan hidup pada
bayi dengan kelainan jantung bawaan kritis khususnya pasien yang memerlukan prostaglandin untuk
mempertahankan patensi dari ductus arteriosus (3,5,6).
Prinsipnya skrining perlu dilakukan pada semua wanita hamil, tetapi pada wanita hamil dengan factor resiko
tinggi ( table 1 ) dibutuhkan ketelitian yang lebih dibanding wanita hamil dengan resiko rendah.
Kekerapan dan waktu untuk dilakukan skrining , beberapa kelainan jantung bawaan dapat terdeteksi pada usia
kehamilan antara minggu ke 18 dan awal minggu ke 20. Penyempitan katup semilunar dan regurgitasi dari
katup atrioventricular tidak dapat terdetaksi sampai usai kehamilan 30 minggu, sehingga pemeriksaan
ultrasound pada wanita hamil dengan resiko tinggi sebaiknya dilakukan pada minggu ke 18, awal minggu ke 20
dan minggu ke 30

Tabel 1. Faktor resiko untuk penyakit jantung bawaan (5)


1. Riwayat keluarga
• Mempunyai penyakit jantung bawaan ( orang tua, saudara kandung)
• Malformation syndromes yang mempunyai korelasi kuat dengan
penyakit jantung bawaan.
2. Ibu dengan penyakit
• Diabetes
• Penyakit kolagen
• Phenylketonuria
3. Terpapar dengan bahan teratogenic selama kehamilan
• Kimia ( alcohol, amphetamine, anticonvulsant, lithium, vitamin A dan warfarin
• Penyakit infeksius ( virus rubella, cytomegalovirus, virus coksakie, parvovirus)
• Radiasi
4. Abnormaliti dari fetal
77
• Intrauterine growth retardation
• Discorant twins
• Nuchal translucencypositive
• Fetal arrhythmia
• Extracardiac malformation

Kelainan utama dari penyakit jantung bawaan dapat terdeteksi secara fetal echocardiography berdasarkan
sudut pengambian / view ( tabel 2) .
Bila kelainan jantung bawaan sudah dapat dideteksi , informasi kepada keluarga dapat diberikan , diskusi
bersama dengan multi displin, rencana tempat melahirkan sesuai dengan kelainan dan fasiitas yang tersedia.

Diagnosis post natal


Diagnosis pemeriksaan fetal ekokardiografi pada penyakit jantung bawaan kristis pre natal dapat langsung
dilakukan pemeriksaan ekokardiogarfi post natal sebagai konfirmasi.
Beberapa pemeriksaan sebagai skrining penyakit jantung bawaan kritis post natal dapat dilakukan dengan
pemeriksaan pulse oksimetri terutama yang belum terdeteksi pada pre natal. Pemeriksaan pulse oksimteri
merupakan pemeriksaan non invasive dan tidak menyakitkan yang dapat menghitung persentasi oksigen
hemoglobin sebagai skrining untuk pada bayi baru lahir dengan penyakit jantung bawaan kritis. Pemeriksaan
ekokardiografi sebagai pemeriksaan konfirmasi.
Skrining pulse oksimetri dapat mendeteksi kelainan kelainan utama seperti : hypoplastic left heart syndrome,
pulmonary atresia, tetralogy of Fallot, total anomalous pulmonary venous return, dextro- transposition of the
great arteries, tricuspid atresia, and truncus arteriosus.
Kelainan kelainan lain yang dapat di deteksi dengan menggunakan pulse oksimetri walau pada beberapa
literature pemeriksaan ini tidak dapat dipercaya seperti pada coarctation of the aorta, double outlet right
ventricle, Ebstein anomaly, interrupted aortic arch, severe pulmonary or tricuspid valve stenosis, and single
ventricle complex.(1)

78
Tabel 2. Deteksi kelainan pada skrining fetal echo (5)

Reference
1. Rachel Klausner, BS, Eugene D. Shapiro, MD, Robert W. Elder, MD, Eve Colson, MD, MHPE, Jaspreet Loyal,
MD, MS, Evaluation of a Screening Program to Detect Critical Congenital Heart Defects in Newborns in
HOSPITAL PEDIATRICS Volume 7, Issue 4, April 2017.
2. Role of Pulse Oximetry in Examining Newborns for Congenital Heart Disease: A Scientific
Statement from the AHA and AAP in PEDIATRICS Volume 124, Number 2, August 2009
3. Khoshnoodfib, et al. BMJ Open 2017;7:e018285. doi:10.1136/bmjopen-2017-018285
4. Richard S O, Elizabeth CA and Marci KS: Detection of critical congenital heart defect:
review of contributions from prenatal and newborn screening, Semin Perinatol. 2015
April ; 39(3): 230–237
5. Guidelines for fetal echocardiography,Pediatrics International (2015) 57, 1–21
6. Donofrio et al Diagnosis and Treatment of Fetal Cardiac Disease A Scientific Statement
From the American Heart Association, Circulation. 2014;129:2183–2242.

79
Managing Chronic Heart Failure in Special Population

Nani Hersunarti
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Gagal Jantung Kronis dapat terjadi pada berbagai
rentang usia, dari usia 30 – 90 tahun1. Memang jika kita perhatikan prevalensi kejadian
berdasarkan usia menurut Framingham, yang terbanyak terjadi pada pasien wanita berusia
80-89 tahun. Tetapi jika kita lihat prevalensi berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, sekitar
12% wanita memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 60-64%. Untuk fraksi ejeksi yang <40%,
terbanyak terjadi pada pasien pria2.

Membandingkan usia pasien yang ikut serta dalam penelitian besar dari BB dalam gagal
jantung, rata-rata usia pasien adalah 61 tahun dimana 21,5% adalah wanita dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri 24,9%. Hal ini berbeda dari hasil survey populasi di Amerika dimana rata-
rata usia adalah 77 tahun, wanita adalah 50% dengan fraksi ejeksi >50%3-8.

Salah satu panduan internasional untuk gagal jantung, yaitu panduan dari ESC tahun 2016
yang membagi gagal jantung menjadi 3 bagian, yaitu gagal jantung diastolik, gagal jantung
sistolik dan gagal jantung yang mid-range (MR) berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Dikatakan bahwa dengan identifikasi gagal jantung yang mid-range sebagai suatu grup yang
berbeda justru akan semakin menstimulasi penelitian terkait dengan karakteristik,
patofisiologi dan pengobatan untuk populasi ini9.

Rekomendasi pengobatan CHF berdasarkan panduan ESC ini adalah ACE-i dan BB, atau
kombinasi dengan MRA, yang termasuk dalam kelas 1 dan level rekomendasi A. ACE-i
memang terbukti efektif untuk pasien CHF, tetapi untuk pasien usia tua dengan CHF ternyata
angka kematian maupun re-hopitalisasi dengan penggunaan ACE-i tidak terlalu signifikan.

Banyak penelitian besar untuk CHF selalu mengeluarkan pasien usia tua. Tetapi CHF semakin
meningkat jumlahnya pada usia lanjut. Selain itu ko-morbiditas juga semakin banyak, seperti
atrial fibrilasi, hipertensi, kencing manis, penyakit serebrovaskular, anemia, penyakit paru,
keganasan, penyakit ginjal maupun osteoarthritis.

Nebivolol, merupakan BB generasi ketiga yang memiliki kelebihan kardioseletif sekitar 3,5
kali lebih tinggi dari bisoprolol dan juga memiliki kemampuan vasodilatasi karena mampu
merangsang pengeluaran NO. Nebivolol juga memiliki manfaat terhadap parameter
metabolic dimana nebivolol menurunkan resistensi insulin, sehingga angka kejadian kencing
manis yang baru juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan BB tradisional.

80
Penelitian SENIORS yang dilakukan pada pasien CHF usia diatas 70 tahun tanpa
memperhatikan berapa jumlah EF dilakukan dengan beberapa alasan, seperti sudah adanya
bukti yang telah diketahui sejak lama bahwa BB efektif untuk CHF, para dokter yakin
manfaat BB untuk pasien CHF10.

Pada penilitian ini terbukti bahwa nebivolol mampu menurunkan angka kematian dan re-
hospitalisasi sebanyak 14% dan juga menunjukkan bahwa penurunan detak jantung menjadi
salah satu indikator dosis yang adekuat yaitu penurunan sebanyak 10,3 kali per menit.
Nebivolol juga mampu memperbaiki fraksi ejeksi pada pasien dengan gagal jantung diastolik,
buka hanya pasien dengan gagal jantung sistolik saja.

Algoritma pengobatan untuk pasien dengan gagal jantung diastolik yang berbeda dengan
gagal jantung sistolik dimana berdasarkan panduan ESC dikatakan hingga saat ini tidak ada
pengobatan yang dapat menurunkan angka kematian dan re-hospitalisasi untuk pasien gagal
jantung diastolik. Tetapi, nebivolol mampu menurunkan baik angka kematian maupun re-
hospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung diastolik.

Referensi:
1. Lakatta & Levy, Circulation 2003;107:pp139-146
2. Cleland et al Euroheart Survey EHJ 2003
3. Lancet. 1999;353:2001-2007
4. Packer N Engl J Med. 2001;344:1651-1658
5. Colucci WS. Circulation. 1996;94:2800-2806
6. Lancet 1999;353:9-13
7. N Engl J Med. 2001;344:1659-1667
8. Heiat et al. Arch Intern Med. 2002;162:1682-1688.
9. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis of acute and chronic heart failure
10. Flather et al Eur Heart J 2005;26:215-225

81
Advances in Pediatric Cardiology Imaging: State of the Art

Oktavia Lilyasari
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Penyakit jantung bawaan masih menjadi masalah utama kesehatan global dan merupakan
penyebab utama anomali kongenital mayor. Dua puluh delapan persen dari seluruh kelainan
bawaan adalah PJB. Prevalensi PJB di seluruh dunia bervariasi berkisar antara 6 sampai 8
kasus per 1000 kelahiran hidup, dan prevalensi ini terus meningkat seiring dengan
perkembangan diagnosis dan tatalaksana penyakit tersebut. 1 Kemajuan di bidang ilmu
jantung anak dan juga bedah jantung dalam beberapa dekade terakhir telah menimbulkan
perubahan besar pada tatalaksana pasien, sehingga saat ini banyak pasien yang hidup hingga
usia dewasa. Hal ini telah menimbulkan persoalan baru dikarenakan jumlah pasien dengan
PJB yang terus meningkat akan membutuhkan pelayanan perawatan penyakit jantung saat
usia dewasa. Terdapat banyak pasien usia dewasa dengan PJB yang telah mendapatkan
tindakan bedah yang bersifat paliatif ataupun reparatif pada usia muda, namun tindakan-
tindakan tersebut jarang bersifat kuratif, sehingga dibutuhkan tindak lanjut yang bertujuan
untuk mengoptimalisasi kualitas hidup dan angka harapan hidup pasien. 2

Pencitraan merupakan hal yang fundamental dalam diagnosis PJB. Pencitraan dapat
menguraikan anatomi dan fisiologi tubuh, menyempurnakan penanganan, mengevaluasi
akibat dari intervensi yang diberikan, dan juga membantu penentuan prognosis pasien. Akan
tetapi sampai saat ini belum ada satu modalitas pencitraan yang dapat menjalankan seluruh
peranan tersebut tanpa bantuan modalitas pencitraan lain. Oleh sebab itu, penilaian
diagnostik PJB harus melibatkan beberapa modalitas pencitraan yang fungsinya saling
melengkapi satu sama lain, sensitif, akurat, reprodusibel, hemat biaya, dengan efek samping
yang minimal.3,4,5

Selama ini diagnosis dan tatalaksana malformasi kongenital sangat bergantung kepada
tindakan kateterisasi jantung. Di berbagai institusi, kateterisasi jantung masih merupakan
baku emas dibandingkan dengan modalitas lainnya. Akan tetapi sejak beberapa dekade yang
lalu, metode pencitraan yang lebih diutamakan mengalami pergeseran ke arah metode yang
sifatnya lebih non-invasif. Meskipun ekokardiografi merupakan modalitas pencitraan yang
paling sering digunakan untuk diagnosis dan tindak lanjut pasien dengan PJB, perkembangan
teknologi di bidang Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT)
jantung menyediakan cara yang baru untuk memvisualisasikan jantung dan pembuluh-
pembuluh besar. 3,4,5

Sebuah pernyataan ilmiah yang dikeluarkan dari American Heart Association (AHA) di tahun
2011 merekomendasikan bahwa pencitraan ekokardiografi jantung ataupun modalitas
82
pencitraan lain yang sifatnya non-invasif seperti MRI atau CT diindikasikan sebelum
dilakukannya tindakan kateterisasi jantung yang bersifat invasif, untuk membantu
perencanaan pengumpulan data dan pelaksanaan intervensi (Class I Level of Evidence A).
Kateterisasi jantung yang bersifat diagnostik tidak lagi diindikasikan pada pemeriksaan rutin
preoperasi sebagian besar malformasi kongenital demi mencegah timbulnya risiko dan
pajanan terhadap radiasi. 6

Rekomendasi Pemilihan modalitas pencitraan kardiovaskular pada PJB 2,7


- Ekokardiografi merupakan modalitas pertama yang digunakan untuk penegakan
diagnosis dan panduan tatalaksana
- MRI dan CT diindikasikan sebagal modalitas alternatif selain ekokardiografi jika
apabila pemeriksaan ekokardiografi suboptimal dan tidak mampu menampilkan
gambar dan pengukuran dengan kualitas yang baik untuk informasi tatalaksana klinis.
- MRI diindikasikan sebagai modalitas pencitraan kedua apabila hasil pemeriksaan
ekokardiografi menunjukkan hasil yang masih meragukan untuk pengukuran volume
dan fraksi ejeksi ventrikel pada kasus volume overload, dan kuantifikasi regurgitasi
katup dan severitas defek kardiovaskular. Maka sebaiknya dilakukan penilaian
dengan menggunakan CMRI sebelum pengambilan keputusan.
- MRI dan CR diindikasikan pada kasus-kasu yang mana kedua pemeriksaan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan ekokardiografi, dan sebaiknya rutin
dilakukan sebagai panduan tatalakasana lanjut pasien. Pemilihan antara CT dan MRI
dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti radiasi, resolusi, dan kondisi
spesifik pasien seperti adanya pacu jantung/ICD/implant, dan informasi yang
dibutuhkan. Beberapa indikasi tersebut meliputi:
• Kuantifikasi volume ventrikel kanan, dan fraksi ejeksi, RV sistemik, regurgitasi
katup tricuspid. (MRI)
• Evaluasi jalur keluar ventrikel kanan (RVOT), konduit ventrikel kanan-arteri
pulmonalis (RV-PA conduit), dan cabang arteri pulmonalis. (MRI & CT)
• Kuantifikasi regurgitasi pulmonal (MRI)
• Evaluasi arteri pulmonalis (stenosis & aneurisma) dan aorta (aneurisma, diseksi
dan koarktatio aorta) (MIR & CT)
• Evaluasi vena sistemil dan vena pulmonalis (anomali, obstruksi dll) (MRI & CT)
• Kuantifikasi shunt dengan melakukan pengukuran aliran (flow) di aorta ascenden
dan trunkus pulmonalis. (MRI)
• Kolateral aorta-pulmonal dan malformasi arteri-vena (CT lebih baik dibandingkan
MRI)
• Anomali arteri koroner dan penyakit arteri koroner, termasuk penilaian viabiliti
dan perfusi (CT lebih baik dibandingkan MRI)
• Deteksi dan kuantifikasi fibrosis miokard dan edema miokard (MRI)
• Kuantifikasi massa miokardium (MRI & CT)

83
• Karakterisasi jaringan (MRI)

Magnetic Resonance Imaging 8,9,10,11,12


Aplikasi Pemeriksaan CMR pada Penyakit Jantung Bawaan meliputi
1. Anatomi dan morfologi jantung
Salah satu kelebihan utama pemeriksaan CMR pada PJB adalah kemampuan untuk
penilaian struktur dan morfologi jantung secara non invasif. Pencitraan Resonansi
Magnetik dapat menampilkan gambaran anatomi jantung dengan resolusi kontras dan
spasial yang tinggi secara cepat dan akurat. Analisis anatomi jantung kadang-kadang
sangat sulit, terutama pada kasus PJB yang memerlukan pendekatan segmental dan
diperlukan deskripsi analisis yang akurat beberapa komponen seperti struktur vena,
atrium, ventrikel, katup atrioventrikular, katup ventrikulo-arterial dan pembuluh darah
besar. Kombinasi teknik black blood dan bright blood serta kombinasi beberapa
potongan pencitraan jantung dianjurkan untuk penilaian anatomi jantung. Sebaiknya
penilaian morfologi jantung, juga disertai dengan penilaian fungsi jantung.

2. Penilaian volume, fungsi dan massa ventrikel


Penilaian fungsi jantung meliputi evaluasi fungsi sistolik dan diastolik. Pencitraan
Resonansi Magnetik bersama dengan pemeriksaan ekokardiografi merupakan modalitas
pencitraan primer untuk penilaian fungsi jantung. Pemeriksaan cine MRI dengan
menggunakan teknik balanced steady state free precision (b-SSFP) merupakan teknik
terbaik untuk kuantifikasi volume, fungsi dan massa ventrikel, sedangkan untuk penilaian
asumsi geometrik, kuantifikasi volume ventrikel secara 3 dimensi merupakan suatu
teknik yang terbaik walaupun memerlukan waktu pengerjaan yang cukup lama untuk
analisis dan akuisisi data. Myocardial Tagging merupakan teknik yang ideal untuk
menganalisis deformasi miokardium, komplikasi akibat mekanisme kontraksi miokard
normal ataupun patologis.

3. Kuantifikasi aliran (shunt quantification)


Tujuan pemeriksaan CMR pada kondisi kecurigaan adanya shunt sistemik ke pulmonal
antara lain untuk menilai anatomi, kuantifikasi shunt dan mengukur efek beban volume
pada atrium dan ventrikel. Teknik pemeriksaan dengan CMR menunjukkan hasil yang
berkorelasi baik dengan metode dopler ekokardiografi untuk pengukuran volume shunt.
Kuantifikasi left to right shunt diukur dengan menilai rasio aliran pulmonal dan aliran
sistemk (Qp/Qs) dengan menggunakan metoda velocity encode cine CMR, yaitu dengan
cara mengukur volume aliran yang melewati arteri pulmonalis utama dan aorta ascending
proksimal, yang kemudian dikorelasikan dengan stroke volume ventrikel.

4. Magnetic Resonance Angiography (MRA)


Merupakan teknik pencitraan vaskular yang cepat dan komprehensif Akuisisi volumetri
tiga dimensi dapat dilakukan pada setiap tempat yang dilewati kontras gadolinium dan
84
disubstraksi dari gambaran awal tanpa kontras agar gambaran pembuluh darah menjadi
lebih jelas. Gambar Maximum intensity projection (MIP) kemudian dibuat setelah proses
pemeriksaan CMR selesai. Isotropic voxels acquisition memungkinkan rotasi gambar 360
derajat sehingga interpretasi dapat dilakukan lebih mudah, akurat dan dari berbagai arah.

5. Akuisisi CMR tiga dimensi (3D)


Perkembangan teknik akuisisi CMR 3 dimensi memungkinkan peningkatan visualisasi
anatomi jantung. Keuntungan axial multi slice gradient echo acquisition untuk
menggambarkan anatomi jantung kompleks telah banyak digunakan dalam mendiagnosis
PJB. Teknik ini memungkinkan penilaian pada masing-masing potongan, visualisasi
volume jantung keseluruhan, rekonstruksi dan multi-planar reformatting secara akurat.
Teknik ini juga memungkinkan penilaian pergerakan secara global dan regional

6. Edema/ inflamasi
Triple inversion black blood breath-hold scan dengan asymmetric TSE (T2-weighted)
digunakan untuk menilai edema miokard terutama untuk kasus fase akut miokarditis atau
infark miokard. Infiltrasi limfosit dan miositolisis yang terjadi pada pasien dengan
miokarditis akan meningkatkan myocardial free water content. Hal ini akan menyebabkan
pemanjangan waktu relaksasi proton terutama T2 relaxation time, sehingga akan
memberikan gambaran hiperdensitas pada daerah miokard yang mengalami
edema/inflamasi.

7. Contrast Enhancement
Teknik ini utamanya digunakan untuk mendeteksi kerusakan miokardium yang ireversibel
(infark atau fibrosis) yang biasanya terjadi pada kardiomiopati, tetapi kemudian juga
digunakan sebagai penunjang dalam menilai karakteristik jaringan, seperti tumor. Teknik
ini menggunakan cairan kontras gadolinium yang distribusinya terbatas pada jaringan
ekstraseluler. Pada kondisi yang mana integritas membran sel normal dan miokard viabel,
jaringan ektraselular akan menjadi minimal, volume distribusi gadolinium akan sedikit,
sehingga tidak ditemukan contrast enhancement pada miokard yang viabel.

8. Perfusi Miokard
Penilaian perfusi miokard dengan CMR merupakan salah satu pendekatan komprehensif
untuk studi pasien dengan penyakit jantung iskemia dan merupakan suatu modalitas yang
menjanjikan untuk mendeteksi dan menilai severiti penyakit jantung koroner (PJK).
Sekuen ultrafast merupakan salah satu teknik ideal untuk penilaian perfusi miokard
dengan menggunakan CMR, yang dapat mencakup seluruh fase mulai dari awal
pemberian contrast sampai dengan yielding high contrast antara miokard normal dan
miokard yang hipoperfusi. Walaupun penilaian perfusi semikuantitatif dan kuantitatif
memungkinkan untuk dilakukan, tetapi penilaian visual tetap digunakan dalam
melakukan analisis.
85
Indikasi Pemeriksaan CMR pada PJB berdasarkan Consensus Panel Report (Eur Hear
Journal 2004 ; 24, 1940-65)

CARDIAC COMPUTED TOMOGRAPHY (CT) SCANNING 12,13,14.15,16,17


Teknologi termutakhir teknik pencitraan CT pada PJB sangat bermanfaat untuk
mengevaluasi berbagai kelainan kardiovaskular dan saluran napas, dengan tingkat akurasi
yang tinggi dan aman serta mudah digunakan. Oleh sebab itu, perlahan-lahan CT menjadi
modalitas pencitraan yang tidak tergantikan dan saling melengkapi dengan modalitas
lainnya seperti ekokardiografi, kateterisasi jantung, dan CMR. Multi-Slice CT (MSCT) memiliki
beberapa kelebihan yang tdiak dimiliki modalitas lain. Tidak seperti ekokardiografi, CT
memberikan gambaran anatomi yang sempurna, dapat mengidentifikasi aorta, ventrikel
kanan, arteri dan vena pulmoner dengan jelas. Selain itu, pemeriksaan menggunakan CT
lebih cepat dibandingkan dengan ekokardiografi.

CT memiliki keuntungan dapat memberikan gambaran dengan resolusi spasial yang tidak
terbatas dalam waktu yang singkat, namun kurang serba guna jika dibandingkan dengan
CMR dan juga adanya efek radiasi yang bisa memiliki efek kurang baik pada pasien-pasien
berusia muda yang membutuhkan pemeriksaan berulang. Akan tetapi, dengan
menggunakan strategi untuk meminimalisir dosis radiasi, CT jantung bukan lagi menjadi
modalitas yang memiliki tingkat radiasi tinggi.

CT memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan MRI. CT selalu siap dipakai, sehingga
dapat mengurangi penundaan dalam menentukan jadwal pemeriksaan. Waktu pemeriksaan
CT yang singkat juga sangat bermanfaat, terutama pada pasien yang sakit berat. CT juga
sangat bermanfaat pada situasi tertentu, contohnya pada pasien dengan alat pacu jantung
permanen, untuk pengamatan pada bagian lumen stent dan aneurisma yang mungkin
terbentuk setelah dilakukan dilatasi dengan balon, stenting pada koarktasio aorta, dan pada
keadaan dimana pembuluh darah yang kecil seperti arteri koroner atau kolateral aorta-
pulmoner perlu divisualisasikan dengan jelas. Selain itu, evaluasi 3 dimensi pada kelainan
saluran napas yang dapat timbul pada pasien dengan PJB melalui MSCT merupakan
kelebihan yang tidak dimiliki oleh ekokardiografi ataupun MRI.

86

87
Keunggulan pemeriksaan Cardiovascular CT scan pada Penyakit Jantung Bawaan
• kombinasi gambar 2 dimensi dan 3 dimensi dapat menunjukkan kelainan
struktur ekstrakardiak dan anomali arteri koroner
• hanya membutuhkan jumlah kontras yang lebih sedikit dibandingkan dengan
pemeriksaan diagnostik secara kateterisasi
• Waktu pemeriksaan cepat, sehingga tidak diperlukan adanya sedasi, kecuali pada
beberapa pasien bayi atau anak yang tidak koperatif
• Gambaran artefak minimal
• Baik digunakan untuk menggambarkan saluran nafas dan paru-paru
• Dapat digunakan untuk evaluasi diagnostik pada pasien-pasien yang
menggunakan alat pacu jantung, ICD, dan preparata metal, serta pada pasien
yang non kooperatif dan pasien dengan klaustrofobia.

Kelemahan pemeriksaan Cardiovascular CT Scan pada Penyakit Jantung Bawaan


• Radiasi
• Tidak dapat memberikan informasi hemodinamik seperti volume, fungsi dan flow
• Mempunyai keterbatasan untuk mengevaluasi anomaly intra kardiak, terutama
pada kasus tanpa gating EKG

Kapan Cardiovascular CT Scan digunakan sebagai penunjang pemeriksaan non invasif


Ekokardiokardiografi atau keteterisasi diagnostik pada PJB ?
a. Apabila pemeriksaan ekokardiografi suboptimal dan tidak mampu menampilkan gambar
dan pengukuran dengan kualitas yang baik untuk informasi tatalaksana klinis seperti pada
• Kasus PJB dengan RVOTO untuk menilai ukuran arteri pulmonal, konfluensi arteri
pulmonal, evaluasi arteri pulmonal distal, kolateral (MAPCAs) dan anomali
koroner, sebagai alternatif pemeriksaan diagnotik secara kateterisasi
• Kasus PJB yang sudah dilakukan tindakan operasi, contoh : evaluasi patensi BT
shunt, BCPS, sebagai alternative pemeriksaan diagnostik secara kateterisasi
b. Penyakit Jantung Bawaan dengan RVOTO yang mempunyai kontraindikasi atau risiko
tinggi untuk dilakukan tindakan kateterisasi, seperti pasien dengan infektif endocarditis,
pasien dengan saturasi rendah, riwayat spell berulang, dll.
c. Pada kasus PJB dengan RVOTO yang mana hasil pemeriksaan diagnostik kateterisasi
suboptimal dan tidak mampu menampilkan gambar dan pengukuran dengan kualitas
yang baik untuk informasi tatalaksana klinis
d. Hipertensi Pulmonal dengan kecurigaan emboli paru
e. Kelainan arcus aorta, aorta thoracalis, aorta abdominalis dan cabang-cabangnya ; Co
Arctatio, Interrupted Aortic art, Lusoria
f. Anomali arteri coroner ; Kawasaki, Fistula koronoer
g. Anomali drainase Vena Pulmonalis (APVD)
h. Kelainan Pembuluh darak ekstrakardiak

88
i. Kelainan lain seperti agenesis paru, dll

Gambar 1. Algoritma evaluasi pasien dengan PJB 3

Kesimpulan
MRI dan contrast-enhanced CT merupakan modalitas non-invasif yang dapat memberikan
visualisasi dari perubahan morfologis pada pasien PJB, dan juga perubahan fungsi yang
disebabkan oleh kelainan morfologis yang ada. Pengalaman klinis menggunakan MRI lebih
banyak dibandingkan dengan penggunaan CT yang cepat, namun CT dapat memberikan
pencitraan yang akurat dan berkualitas. Kedua modalitas tersebut bersifat saling
melengkapi. Anatomi dalam jantung digambarkan dengan baik oleh MRI, sedangkan CT
memberikan gambaran pembuluh darah besar dengan sangat baik. Selain itu, MRI dan CT
juga bermanfaat dalam memberikan gambaran serta mengukur perubahan fisiologis yang
timbul akibat penyakit jantung dan pembuluh darah didapat pada pasien dengan malformasi
kongenital. Setelah ekokardiografi transtorakal yang merupakan modalitas pencitraan lini
pertama untuk PJB, pilihan pencitraan lebih lanjut tergantung kepada pertanyaan klinis yang
belum terjawab pada kasus penyakit jantung bawaan.

Daftar Rujukan
1. van der Linde et al. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease. Journal of the
American College of Cardiology. Vol 58,No.21, 2011. Doi:10.1016/j.jacc.2011.08.025

89
2. Orwat S, Diller G.P. Baumgartner H. Imaging of Congenital Heart Disease in adult: Choice
of modalities. Eur Heart Journal-Cardiovascular Imaging doi:10.1093/ehjci/jet124, 2013
3. Windram J.D et al. New Directives in Cardiac Imaging: Imaging in adult with Congenital
Heart Disease. Canadian Jurnal of Cardiology 29 (2013) 830-40
4. Han B.K. et al. Cardiovascular imaging trends in Congenital Heart Disease: A Single
center experience . Journal of Cardiovascular Computed Tomography 7(2013)361-6
5. Yang J.C.T et al. Trends in utilization of computed tomography and cardiac
catheterization among children with congenital heart disease. Journal of the Formosan
Medical Association (2015) 114: 1061-8
6. Eckardt S. 2011 AHA Scientific Statement: Diagnostic Pediatric Catheterization Not
Routinely Indicated , Circulation May 2, 2011
7. Dacher J.N. et al. CT and MR Imaging in Congenital Cardiac Malformation: Where do we
come from and where are we going? http://dx.doi.org/10.1016/j.diii.2016.02.009
8. Kilner Philip J. The Role of Cardiovascular Magnetic Resonance in Adult Congenital Heart
Disease. ProgCardiovasc Dis 2011;54(3): 295-304
9. Kilner P.J., Geva T., Kaemmere H., et al. Recommendation for cardiovascular Magnetic
Resonance in adult with congenital heart disease from the respective working group of
the European Society of Cardiology. Eur Heart Journal 2010; 31:794-805
10. Fratz et al. Guidelines and Protocols for Cardiovascular Magnetic Resonance in Children
and Adults with Congenital Heart Disease. Journal of Cardiovascular Magnetic
Resonance 2013,15:51
11. Bonnemain L. et al. Specifics of cardiac Magnetic Resonance Imaging in Children.
Archives of Cardiovascular Disease (2016) 109,143-149.
12. Lapierre C et al. Cardiac CT and MRI of Cardiac Malformation: How to interpret.
Diagnostic and Interventional Imaging (2016) 97, 519—530
13. Hui P.K.T et al. Asian Consortium on Radiation Dose of Pediatric Cardiac CT (ASCI-
REDCARD). Pediatr Radiol(2017) 47:899-910
14. Raimondi F et al. Computed Tomography Imaging in Children with Congenital Heart
Disease: Indications and Radiation Dose Optimization.
http://dx.doi.org/10.1016/j.acvd.2015.11.003
15. Han B.K. et al. Computed Tomography Imaging in Patient with Congenital Heart Disease
part2: Rationale and Utility. An expert Consensus Document of the Society of
Cardiovascular Computed Tomography (SCCT). Journal of Cardiovascular Computed
Tomography 9 (2015) 493e513
16. Han B.K. et al. Computed Tomography Imaging in Patient with Congenital Heart Disease
part1: Technical Recommendations. An expert Consensus Document of the Society of
Cardiovascular Computed Tomography (SCCT). Journal of Cardiovascular Computed
Tomography 9 (2015) 493e513
17. Ou P., Celermajer D S., Calcagni G., et al. 3Diensional CT Scanning : a new diagnostic
modality in congenital heart disease. Heart 2007; 93:908-913

90
18. Gilkeson C. CT evaluation of adult congenital heart disease “ a practical
approach.Supplement to apllied radiology, Dec 2006. www.appliedradiology.com
19. Goo H W. State of the Art CT imaging Technic for Congenital Heart Disease. Korean J
Radiol 2010;11: 4-18

91
The Practical Approach of Patient with Critical Congenital Heart Disease
(CCHD)

Radityo Prakoso
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi. Penyakit
jantung bawaan dapat terjadi pada 9 dari 1000 kelahiran hidup.1 Penyakit jantung bawaan kritis atau
critical congenital heart disease (CCHD) didefinisikan sebagai penyakit jantung bawaan yang
memerlukan tatalaksana bedah atau intervensi transkateter dalam tahun pertama kehidupannya,
terjadi pada sekitar 25% pasien dengan penyakit jantung bawaan.2 Pasien dengan CCHD memiliki
risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama apabila terlambat didiagnosis dan dirujuk ke
fasilitas tersier yang mampu untuk menatalaksanakan pasien ini. Secara umum, terminologi penyakit
jantung bawaan kritis merujuk pada penyakit jantung bawaan sianotik dan duct-dependent lesion.3
Penyakit jantung bawaan sianotik merupakan penyakit jantung bawaan yang menyebabkan darah
terdeoksigenasi masuk ke sirkulasi sistemik melalui shunt intra-kardiak atau ekstra-kardiak.
Duct-dependent lesion merupakan penyakit jantung yang bergantung pada ductus arteriosus paten
untuk mensuplai aliran darah sistemik atau pulmonal atau mixing antara sirkulasi parallel. Hampir
sebagian besar, namun tidak semua penyakit jantung bawaan sianotik merupakan duct-dependent.1,3

Skrining CCHD
Meskipun pasien dengan CCHD umumnya menunjukkan gejala dan dapat diidentifikasi segera
setelah lahir, namun dalam beberapa kasus, pasien dengan CCHD dapat tidak terdeteksi hingga
dipulangkan dari rumah sakit. Oleh karena itu diperlukan metode skrining yang efektif, efisien, dan
murah. CCHD berkaitan erat dengan hipoksemia dan hipoksemia dapat ditemukan pada 17-31%
pasien PJB.4 Oleh karena CCHD berkaitan dengan hipoksemia maka pulse oximetry dianggap sebagai
salah satu metode skrining utama untuk mendeteksi CCHD pada neonatus, termasuk fetal
ekokardiografi.2 Pulse oximetry merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperkirakan
kadar hemoglobin dalam darah yang tersaturasi oksigen.2 Tujuh target utama dari skrining CCHD
adalah hypoplastic left heart syndrome (HLHS), atresia pulmonal dengan septum ventricular yang
intak (PA-IVS), tetralogi of Fallot (ToF), anomaly total aliran balik vena pulmonalis (TAPVR),
transposition of the great arteries (TGA), tricuspid atresia, dan trunkus arteriosus.2
The American Academy of Pediatrics, American College of Cardiology, dan American Heart
Association, merekomendasikan pemeriksaan pulse oximetry sebaiknya dilakukan 24 jam setelah
bayi dilahirkan dan sebelum bayi dipulangkan dari rumah sakit. Skrining pulse oximetry dikategorikan
positif apabila saturasi oksigen pasien <90%, dan tidak diperlukan pemeriksaan ulang.2 Threshold
saturasi oksigen adalah <95% atau perbedaan >4% diantara ekstrimitas atas dan bawah dalam 3 kali
pemeriksaan, masing-masing berbeda 1 jam.2 Pasien dengan hasil skrining positif sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi diagnostik.

Pendekatan Klinis CCHD pada Neonatus


Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada pasien neonatus yang menderita CCHD adalah
sianosis. Sianosis merupakan diskolorasi kebiruan dari kulit, mukosa lidah, bibir, bukal, dan
92
konjungtiva. Sianosis disebabkan oleh kadar Hb tereduksi >4-6 gr/dL di dalam darah. Sianosis dapat
dibedakan menjadi sentral dan perifer. Sianosis sentral umumnya disebabkan oleh faktor kardiak
(70%) sementara 30% kasus lainnya disebabkan oleh faktor respirasi.5 Metode paling mudah untuk
membedakan penyebab kardiak dan respirasi pada sianosis adalah dengan tes hiperoksia yaitu
pemberian oksigen 100% melalui masker oksigen selama 10 menit. Apabila kadar PO 2 dalam darah
naik diatas 200 mmHg maka kemungkinan besar penyebabnya non-kardiak, sebaliknya apabila kadar
PO 2 turun <150 mmHg maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kardiak.5 Apabila terdapat
dugaan penyebabnya adalah kardiak maka perlu dilakukan pemeriksaan ekokardiografi segera.
Meskipun demikian, terdapat beberapa kondisi klinis dimana perlu dilakukan pemeriksaan
ekokardiografi segera tanpa tes hiperoksia yaitu kadar PO 2 darah <50%, sianosis diferensial, murmur
dengan sianosis, dan sianosis tanpa adanya distress pernafasan.

Algoritma Pendekatan Klinis Sianosis pada Neonatus5

Pendekatan Klinis CCHD pada Bayi dan Anak


Pada umumnya, sebagian besar bayi dan anak dengan CCHD datang dengan riwayat sianosis atau
episode spel hipoksik. Kadang-kadang, pasien datang dengan kejadian serebrovaskular atau abses
otak. Penyakit jantung bawaan sianotik pada bayi dan anak dapat dibedakan menjadi 2 yaitu dengan
penurunan aliran darah paru atau peningkatan aliran darah paru.

Pasien CCHD dengan penurunan aliran darah paru


Pasien CCHD dengan penurunan aliran darah paru disertai dengan stenosis pulmonal, atresia
pulmonal, atau hipertensi pulmonal. Pasien dengan stenosis pulmonal atau atresia pulmonal
umumnya memiliki komunikasi interventrikularis atau ventrikular septal defect (VSD). Pada beberapa

93
kasus, stenosis pulmonal atau atresia pulmonal berkaitan dengan septum interventrikularis yang
intak dan pirau kanan ke kiri didapatkan dari ASD kecil atau PFO.
• Penurunan aliran darah paru dengan VSD
Pasien pada kategori ini memiliki sianosis sentral yang progresif sejak lahir. Tidak mengalami
infeksi saluran nafas berulang dan tidak ada tanda-tanda gagal jantung kongestif. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan sianosis, tekanan vena jugularis tidak meningkat, dan bunyi jantung
S2 tunggal yang disertai outflow murmur. Pada EKG akan didapatkan deviasi aksis ke kanan
(RAD), hipertrofi ventrikel kanan (RVH) tanpa strain, sementara pada ToF dapat ditemukan
adanya transisi awal di lead precordial atau ‘abrupt’ R wave. Pembesaran atrium kanan bukan
merupakan karakteristik dari kelompok ini. Pada gambaran radiologi dapat ditemukan rasio CTR
yang normal, paru yang oligemia, ukuran arteri pulmonal yang kecil, dan kadang disertai arkus
aorta di sisi kanan. PJB pada kelompok ini mecakup tetralogy of fallot (ToF), atresia pulmonal
dengan VSD (PA-VSD), trikuspid atresia, double outlet right ventricle dengan VSD dan stenosis
pulmonal (DORV, VSD, PS), transposisi arteri besar dengan VSD dan PS (dTGA/ccTGA dengan VSD
PS), defek septum atrioventricular disertai PS (AVSD PS), single ventricle (SV) dengan PS, trunkus
arteriosus dan PS.

Pendekatan EKG pada Pasien dengan Penurunan Aliran Darah Paru5

• Penurunan aliran darah paru dengan septum ventrikel yang intak


Pada stenosis pulmonal berat atau atresia pulmonal, terjadi peningkatan tekanan di ventrikel
kanan dan atrium kanan. Apabila septum interventricular intak maka pasti terdapat patent
foramen ovale (PFO) atau defek septum atrium (ASD) yang memungkinkan aliran darah dari
kanan ke kiri dan mengakibatkan sianosis sentral. Terjadi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan.
Gejala yang sering ditemukan adalah sianosis sentral dengan gejala gagal jantung kanan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan sianosis, tekanan vena jugularis meningkat, kardiomegali, bunyi
jantung S2 tunggal disertai murmur dari regurgitasi katup trikuspid (TR) atau stenosis pulmonal.
Gambaran EKG menunjukkan deviasi aksis ke kanan (RAD), hipertrofi ventrikel kanan (RVH)
dengan strain pattern.
• Penurunan aliran darah paru dengan hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal berat akibat penyakit vaskular paru obstruktif akan mengakibatkan aliran
darah paru berkurang. Sindrome Eisenmenger dapat terjadi pada ASD, VSD, PDA, AVSD, ataupun
AP window yang umumnya baru dapat terjadi pada dekade kedua atau ketiga kehidupan. Pasien
94
dengan Eisenmenger akan mengalami sianosis, tanpa tanda-tanda gagal jantung, disertai bunyi
jantung P2 mengeras disertai murmur ejeksi sistolik atau early diastolik di area pulmonal. EKG
pada kondisi Eisenmenger akan menunjukkan deviasi aksis ke kanan disertai hipertrofi ventrikel
kanan tanpa tanda strain. Gambaran radiologi menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonalis
yang signifikan, oligemia, dengan pruning perifer di paru.

Pasien CCHD dengan peningkatan aliran darah paru


• Peningkatan aliran darah paru, sirkulasi parallel
Transposisi arteri besar adalah contoh CCHD untuk grup ini. Pasien pada kelompok ini datang
dengan keluhan sianosis dan tanda-tanda gagal jantung. Pada pemeriksaan auskultasi jantung
dapat tidak ditemukan murmur/ murmur dari PS, VSD, atau PDA. Gambaran EKG menunjukkan
RVH dan RAD. Gambaran radiologi menunjukkan adanya kardiomegali disertai peningkatan
vaskularisasi paru.
• Peningkatan aliran darah paru, common mixing
Pada kelompok ini, aliran darah balik pulmonal dan sistemik bercampur akibat adanya ruang
jantung yang bercampur. Contoh kelainan pada grup ini adalah single atrium, single ventrikel,
trunkus arteriosus, dan total anomaly aliran balik vena (TAPVC). Manifestasi klinis yang sering
ditemukan adalah tanda-tanda gagal jantung dengan sianosis, serta hambatan pertumbuhan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kardiomegali dengan murmur sistolik dan diastolik. Gambaran
EKG menunjukkan RAD, RVH, atau biventricular hipertrofi pada lesi post trikuspid. Gambaran
radiologi menunjukkan kardiomegali dengan corakan paru yang plethora. Pada 40-50% kasus
trunkus arteriosus ditemukan arkus aorta di sisi kanan.

Algoritme Pendekatan Klinis Pasien PJB Sianotik6

95
Referensi:
1. Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, et al. Moss & Adams’ Heart Disease in Infants, Children, and
Adolescents: Including the Fetus and Young Adult. Lippincott Williams & Wilkins, 2016.
2. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, et al; American Heart Association Congenital Heart
Defects Committee of the Council on Cardiovascular Disease in the Young, Council on
Cardiovascular Nursing, and Interdisciplinary Council on Quality of Care and Outcomes Research;
American Academy of Pediatrics Section on Cardiology And Cardiac Surgery; Committee on Fetus
and Newborn. Role of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a
scientific statement from the AHA and AAP. Pediatrics. 2009; 124:823–836.
3. Oster ME, Aucott SW, Glidewell J, et al. Lessons learned from newborn screening for critical
congenital heart defects. Pediatrics. 2016; 137.
4. Association of State and Territorial Health Officials. Critical congenital heart disease. 2013.
5. Ahamed MZ, Ahmad ZS, Abhilash TG. Approachto infants and children with cyanotic congenital
heart disease. Kerala Heart J. 2015; 5(2): 30-35.
6. Rilantono, L R. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular. FKUI. 2012.

96
Interventional Approach in Cerebro Vascular Disease

Rakhmad Hidayat
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Trombolisis bertujuan melisiskan trombus yang mengobstruksi arteri guna mengembalikan


tekanan perfusi. Tahun 1995, tatalaksana efektif untuk stroke akut didemonstrasikan oleh
penelitian Randomized Clinical Trial (RCT) yang memicu disetujuinya pemberian
recombinant tissue-type plasminogen activator (r-tPA) intravena (IV) oleh Food and Drug
Administration (FDA) sebagai satu-satunya tatalaksana definitif dilakukan pasien stroke <4,5
jam dan menjadi tatalaksana tunggal yang efektif untuk stroke iskemik.1 Namun, selama 20
tahun terakhir, trombolisis-IV hanya dilakukan pada <13% pasien dan menghasilkan
rekanalisasi komplit pada hampir 50% kasus oklusi arteri serebri media (MCA) dan dengan
hasil yang lebih rendah pada oklusi arteri karotis. Perbaikan terjadi pada 1 dari 8 pasien
dengan kemungkinan kesembuhan total tanpa sekuele. Meskipun komplikasi perdarahan
serebral simptomatis meningkat (6,4% vs 0.6% dengan plasebo), angka mortalitas tidak
meningkat secara signifikan.2 Keluaran klinis pasca trombolisis-IV kurang baik pada kasus
oklusi arteri serebri proksimal. Angka rekanalisasi awal pasca trombolisis IV juga rendah
ketika bekuan darah berada di arteri besar bagian proksimal. Pada beberapa pasien dengan
onset <4,5 jam, terkadang terdapat beberapa faktor kontraindikasi tatalaksana r-TPA IV.
Sehingga dirasakan perlu adanya tatalaksana lain yang dapat menjangkau trombus tepat di
arteri yang teroklusi.

Tatalaksana Neurointervensi
Pada akhir 2014 dan 2015, terdapat 5 penelitian yang menjawab puzzle ruang kebingungan
penatalaksanaan stroke akut dalam 20 tahun terakhir ini. Hasil dari kelima penelitian inilah
yang membuat AHA/ASA mengeluarkan guideline baru untuk tatalaksana neurointervensi
pada kasus stroke akut.3

Agen Trombolisis
Agen trombolisis saat ini sudah memasuki generasi ketiga, walaupun generasi ketiga belum
dimanfaatkan secara luas.4

Trombolisis Intraarterial
Riwayat Perjalanan Evolusi
Trombolisis intraarterial (IA), pertama kali dilaporkan 1982, memiliki keuntungan, yaitu
visualisasi lesi vaskuler yang tersumbat secara real–time, rentang waktu terapi <6 jam, dosis
yang dimasukkan lebih kecil untuk medikasi trombolisis sehingga ideal untuk pasien yang
tidak memenuhi kualifikasi trombolisis intravena, dan memungkinkan dilakukannya

97
kombinasi trombolisis farmakologis dengan disrupsi mekanik bekuan darah (trombektomi
mekanik).4

Tabel 1. Agen Trombolisis


Agen Trombolisis Waktu Dosis Deskripsi
paruh Intraarterial
(menit)
Generasi Urokinase 14-20 500.000- Serine-protease
pertama 1.000.000 unit
Generasi Prourokinase (NA) 20 6-9 mg Prekursor proenzim urokinase
kedua Alteplase (t-PA) 3-5 5-40 mg 1st line - Serine-protease5
Generasi Reteplase 15-18 4-8 unit Mutan delesi t-PA
ketiga

Teknik Trombolisis
Trombolisis IA dilakukan dengan memasukkan obat trombolisis melalui prosedur
neurointervensi menggunakan obat yang dimasukkan melalui kateter yang dipasang dari
area inguinal. Teknik trombolisis IA dilakukan melalui beberapa teknik. Teknik pertama yaitu
trombolisis IA sebagai terapi tunggal. Penelitian PROACT dan PROACT II menunjukkan bahwa
angka rekanalisasi lebih baik, namun keluaran tidak jauh berbeda dengan trombolisis IV, dan
didapatkan risiko perdarahan intrakranial lebih tinggi. Teknik kedua adalah kombinasi
trombolisis IA dengan trombolisis IV. Algoritma tatalaksana alternatif untuk pasien yang
datang dalam 3 jam dari onset gejala adalah memasukkan r-tPA intravena dosis rendah (2/3
dosis), sehingga terdapat cadangan jatah dosis r-tPA untuk dimasukkan IA (1/3 dosis).
Sebuah konsep baru yang sedang dalam penelitian pendahuluan adalah dengan
memasukkan dosis penuh r-tPA intravena diikuti dosis kecil Reteplase dikombinasikan
dengan trombolisis mekanik. Teknik terakhir adalah kombinasi terapi IA dengan
antitrombotik Abciximab, yaitu sebuah antibodi monoklonal yang mengikat reseptor
Glycoprotein IIb/IIIa dari platelet yang akan membentuk ikatan ireversibel dengan platelet
dan efektif menginaktivasi platelet secara permanen.1

Berdasarkan rekomendasi AHA/ASA 2015, terapi inisial dengan fibrinolitik IA bermanfaat


pada kelompok pasien stroke iskemik luas dengan onset <6 jam yang disebabkan oleh oklusi
MCA (Class I; Evidence B-R) yang telah terseleksi. Namun demikian, data dari penelitian klinis
ini tidak merefleksikan praktik sehari-hari. Pada pasien dengan onset >6jam, fibrinolitik
masih dapat dipertimbangkan, tetapi konsekuensinya tidak diketahui (Class IIb; Level of
Evidence C). Pada kasus seperti ini, angka kematian pada kasus yang tidak ditatalaksana lebih
tinggi, sehingga memberikan justifikasi pemberian trombolisis IA bahkan saat onset >12
jam.3

Catatan : Ketika penulis menjalani fellowship di Beijing, China, trombolisis IA hanya


98
digunakan pada kasus oklusi arteri oftalmika serta pada kasus stroke dengan NIHSS berat
yang tidak mengalami perbaikan paska trombolisis IV, namun tidak ditemukan oklusi
pembuluh darah besar pada angiografi baik pada Digital Substraction Angiography (DSA)
maupun CT-Angioraphy. Tetapi penulis tidak memiliki data hasil keluaran dari proses ini.

Tabel 2. Indikasi dan Kontraindikasi Trombolisis Intraarterial


Indikasi Relatif Kontraindikasi relatif
Onset gejala oklusi ICA atau MCA < 6-8 jam Elongasi arkus aorta/akses vaskular lain sulit
Onset gejala oklusi vertebrobasilar < 12-24 jam Risiko tinggi komplikasi anestesi (jika
anestesi umum dihindari)
Area jaringan yang dapat diselamatkan pada Mengatasi keterlambatan dimulainya
pencitraan perfusi signifikan (>20% volume yang prosedur intervensi
terkena)
Ruang dan staf angiografi tersedia segera Intoleransi terhadap kontras iodin
Kontraindikasi trombolisis IV (e.g. Stroke mayor (NIHSS > 22)
pembedahan/cedera kepala yang baru terjadi)
Anatomi vaskular dapat dijangkau INR > 1,5
Bersamaan dengan stenosis atau diseksi arteri Riwayat (14 hari terakhir) stroke iskemik
lebih luas
Gambaran MCA hiperdens
Kecurigaan sumbatan “emboli keras” (e.g.
debris/material lain) yang mengalami kalsifikasi,
dapat memberikan respon lebih baik dengan
embolektomi mekanik dibandingkan trombolisis IV)
Tidak ada perbaikan setelah trombolisis sistemik

Trombektomi Mekanik
Riwayat Perjalanan Evolusi
Teknik intervensi neurologi untuk tatalaksana stroke iskemik akut telah berevolusi maju
sejak dilakukannya penelitian trombolisis IA PROACT pasca persetujuan FDA terhadap
trombolisis IV. Berbagai pendekatan metode dilakukan, dimulai dari fibrinolisis intraarterial
pada PROACT II yang kemudian dilanjutkan dengan EKOS. Setelah itu, berkembang teknik
retriever dengan coil yaitu MERCI dan PENUMBRA yang disetujui FDA, meskipun hasil
penelitiannya tidak spektakuler Penelitian terakhir dilakukan dengan Stent retriever, dimana
hasil dari berbagai penelitian terbaru 2015 menyarankan trombektomi mekanik untuk stroke
iskemik akut. 1,6

Tujuan Trombektomi

99
Trombektomi mekanik awalnya
ditujukan sebagai tatalaksana lini
kedua pasca gagalnya trombolisis IV
yang masih dalam rentang <6 jam
paska onset. Trombektomi dijadikan
sebagai tatalaksana lini pertama jika
terdapat kontraindikasi trombolisis
IV/IA yang melewati batas waktu
trombolisis IV >4,5 jam tetapi masih
dalam rentang waktu <6 jam paska
Gambar 1. Evolusi Teknik Intervensi Neurologi onset gejala dengan beberapa
Stroke Iskemik persyaratan lainnya. Indikasi lain
adalah paska trombolisis IV dengan
perbaikan NIHSS tidak <10 yang
berisiko terjadi oklusi arteri besar dan
memerlukan rekanalisasi.1

Teknik Trombektomi
Saat ini, device yang disarankan oleh AHA/ASA
untuk trombektomi adalah stent retriever Solitaire
atau Trevo. Gambar A menggambarkan oklusi
arteri MCA kanan pada angiografi pertama.
Kemudian microwire dijalankan menembus
emboli/trombus ke arah distal dari
emboli/trombus, diikuti oleh mikrokateter.
Setelah mikrokateter tiba di distal, dilakukan
angiografi kedua. Terlihat MCA distal terbuka
(Gambar B). Kemudian mikrokateter ditarik
kembali ke proksimal dengan meninggalkan stent
retriever tepat di lokasi emboli/trombus (Gambar
C). Anak panah menunjukkan awal dan akhir dari
Gambar 2. Trombektomi pada Oklusi stent. Selanjutnya, stent ditarik ke arah proksimal
Akut MCA Kanan dengan membawa emboli/trombus yang
dicengkeramnya ke arah kateter di proksimal.
Kemudian dilakukan angiografi terakhir. Terlihat
MCA sudah terbuka dan terjadi rekanalisasi
(gambar D). 1

100
Tabel 2. Studi Stroke Akut 2015
Trial r-TPA
MR CLEAN 90%
ESCAPE 76%
EXTEND IA 100%
SWIFT PRIME 98%
REVASCAT 73%

Sebagaimana dijelaskan diatas, lima penelitian besar yang baru saja dipublikasikan hasilnya
secara berdekatan waktunya, telah memberikan implikasi yang luas didalam penerapan
tatalaksana intervensional neurologi pada stroke akut. Terlihat pada tabel dibawah, hanya 2
dari 5 penelitian yang pasiennya menerima trombolisis intravena dibawah 90%.3

Pada penelitian MR CLEAN, trombektomi dilakukan 2 jam setelah r-TPA IV yang dinyatakan
gagal membuat revaskularisasi. Penelitian ini menggambarkan model praktik sehari-hari,
yaitu perlakuan lanjutan menunggu tindakan pertama dinyatakan tidak berhasil. Pada
penelitian ESCAPE, meskipun rentang waktu jendela terapi paling lama, yaitu 12 jam,
penatalaksanaan intervensi neurologinya adalah yang tercepat, yakni dari mendapatkan
imaging hingga ke puncture groin hanya <1 jam. Hal ini dikarenakan manajemen tatalaksana
yang efektif. Angka kematian lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan yang tidak
dilakukan. Penelitian EXTEND IA adalah penelitian dengan jumlah subjek terkecil, dengan
seluruh subjek mendapatkan trombolisis intravena serta dilakukan studi imaging penumbra.
Penelitian ini mendapatkan hasil terbaik meskipun pasien yang dikerjakan trombektomi
memiliki NIHSS yang lebih buruk daripada kontrol. Penelitian SWIFT PRIME adalah penelitian
yang memiliki angka rekanalisasi tertinggi dengan angka persentase pasien yang independen
cukup tinggi. Penelitian REVASCAT memiliki sisi unik dimana memakai rentang waktu jendela
terapi hingga mencapai 8 jam.4,7

Rekomendasi AHA/ASA 2015


Sehingga, berdasarkan rekomendasi AHA/ASA 2015, terapi intervensi endovaskular pada
stroke iskemik akut adalah sebagai berikut:3
1. Pasien memenuhi kriteria pemberian trombolisis IV dan akan dilakukan terapi
endovaskular harus tetap diberikan terapi trombolisis IV lebih dulu (Kelas I, Tingkat
evidensi A)
2. Pasien sebaiknya mendapatkan terapi endovaskular dengan menggunakan stent
retriever jika memenuhi kriteria sebagai berikut (Kelas I, Tingkat evidensi A):
(a) Skor mRS prestroke 0 sampai 1, dan
(b) Stroke iskemik akut yang telah menerima menerima terapi trombolisis intravena
dalam waktu 4.5 jam setelah onset, dan
(c) Stroke disebabkan karena oklusi pada arteri karotis interna atau arteri serebri
101
media cabang proksimal, dan
(d) Usia ≥18 tahun, dan
(e) Terapi dapat dimulai (puncture) dalam 6 jam setelah onset stroke, dan
(f) Skor NIHSS pasca pemberian rTPA intravena ≥6, dan/atau
(g) Skor ASPECTS ≥6, dan/atau
3. Terapi endovaskular dilakukan secepatnya, untuk memastikan terapi bermanfaat,
dilakukan ≤6 jam setelah onset (Kelas I, Tingkat evidensi B).
4. Pada pasien stroke sirkulasi anterior yang memiliki kontraindikasi trombolisis IV,
dapat dikerjakan terapi endovaskular trombektomi dalam waktu ≤6 jam (Kelas I,
Tingkat evidensi B)
5. Pada kasus stroke akibat oklusi di arteri serebri media cabang M2 atau M3, arteri
serebri anterior, arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri serebri posterior,
penggunaan terapi endovaskular trombektomi dapat dipertimbangkan (Kelas III,
Tingkat evidensi C).
6. Meskipun manfaatnya belum jelas, pada kasus stroke iskemik akut dengan skor
mRS sebelum stroke score >1, ASPECTS <6, atau NIHSS score <6 dan disebabkan
karena oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media proksimal (MCA-M1),
penggunaan terapi endovaskular trombektomi dapat dipertimbangkan dalam onset
6 jam (Kelas IIB, Tingkat evidensi B).
7. Observasi respons klinis setelah pemberian trombolisis IV sebelum terapi
endovaskular tidak diperlukan dan tidak direkomendasikan (Kelas III, Tingkat
evidensi B).
8. Terapi inisial dengan fibrinolitik IA mungkin bermanfaat pada kelompok pasien
dengan stroke iskemik luas onset <6 jam yang disebabkan karena oklusi CMA (Kelas
I, Tingkat evidensi B). Namun demikian, mengingat manfaat klinis pemberian r-tPA
IA masih belum jelas dan r-tPA tidak memperoleh persetujuan FDA untuk digunakan
secara intraarteri, maka terapi endovaskular trombektomi lebih direkomendasikan
ketimbang fibrinolisis intra-arterial (Kelas I, Tingkat evidensi C).
9. Terapi endovaskular trombektomi mungkin beralasan untuk dilakukan pada pasien
berusia <18 tahun dengan stroke iskemik akut yang mengalami oklusi pembuluh
darah besar, dimana terapi ini dapat dimulai dalam waktu 6 jam onset, namun
manfaat pada kelompok usia ini belum dapat ditentukan (Kelas IIB, Tingkat evidensi
C).

Komplikasi pasca Intervensi Neurologis


Komplikasi yang terjadi dihubungkan dengan penggunaan obat trombolisis dan navigasi
endovaskuler serta trombektomi. Pasca infark serebral, perdarahan intraserebral sekunder
spontan dapat terjadi sehingga revaskularisasi otak yang infark dan trombolisis menambah
risiko perdarahan. Hal ini membuat penilaian keamanan intervensi menjadi rumit. Sebagai
tambahan, penggunaan obat trombolisis dan antikoagulan mungkin menyebabkan
perdarahan sistemik seperti perdarahan gastrointestinal atau perdarahan dari lokasi akses
102
vaskuler. Karena belum ada antidote, maka jika perdarahan terjadi, prinsip dasar untuk
membalikkan efek trombolitik adalah menghentikan injeksi agen tromolitik/injeksi
antikoagulan tambahan (seperti heparin) dan dibalikkan efeknya dengan memberikan
Protamin atau Vitamin K, memberikan kriopresipitat atau fresh frozen plasma, atau
memberikan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat. Komplikasi lain yang terkait
dengan trombektomi mencakup tromboemboli distal, perforasi pembuluh darah dan
perdarahan subararakhnoid, diseksi arteri dan pembentukan pseudoaneurisme, re-oklusi
arteri yang ditatalaksana, sindrom reperfusi, reaksi alergi, serta pembentukan antibodi
(terutama dengan streptokinase karena protein asing).4

Masa Depan Penatalaksanaan Stroke Akut


Penatalaksanaan stroke kedepannya akan lebih berkembang dari banyak sisi dalam waktu
yang tidak jauh. Hal ini akan membuat penatalaksanaan lebih aman dan menghasilkan
medikasi trombolitik dan antiplatelet yang lebih efektif. Teknik neuroimaging mungkin
berkembang sehingga bisa membantu menjaring pasien untuk menentukan intervensi yang
tepat disesuaikan dengan situasi dan prognosis pasien. Teknologi kateterisasi kedepannya
akan berlanjut membuat prosedur endovaskuler lebih aman dan mengizinkan intervensi
yang lebih canggih.

Daftar Pustaka
1. Pierot Laurent, Soize Sébastien, Benaissa Azzedine, Wakhloo Ajay K. Techniques for
Endovascular Treatment of Acute Ischemic Stroke. Stroke. 2015 Mar 1;46(3):909–14.
2. Pierot L, Derdeyn C. Interventionalist perspective on the new endovascular trials.
Stroke. 2015 Jun;46(6):1440–6.
3. Powers WJ, Derdeyn CP, Biller J, Coffey CS, Hoh BL, Jauch EC, et al. 2015 American Heart
Association/American Stroke Association Focused Update of the 2013 Guidelines for the
Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke Regarding Endovascular
Treatment: A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke. 2015 Oct;46(10):3020–35.
4. Handbook of cerebrovascular disease and neurointerventional technique. New York, NY:
Springer Berlin Heidelberg; 2018.
5. Powers WJ, Rabinstein AA, Ackerson T, Adeoye OM, Bambakidis NC, Becker K, et al.
2018 Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: A
Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke [Internet]. 2018 Mar [cited 2019 Mar 18];49(3). Available
from: https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/STR.0000000000000158
6. Smith WS, Furlan AJ. Brief History of Endovascular Acute Ischemic Stroke Treatment.
Stroke. 2016 Feb;47(2):e23-26.
7. Grotta JC, Hacke W. Stroke Neurologist’s Perspective on the New Endovascular Trials.
Stroke. 2015 Jun;46(6):1447–52.

103
Tatalaksana Hipertensi Terkini Peran Monitor Pengukuran Tekanan Darah di
Rumah

Rarsari Soerarso Pratikto


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Hipertensi telah diketahui secara luas akan mengakibatkan peningkatan risiko serangan jantung,
gagal jantung, penyakit ginjal, gangguan saraf dan penglihatan. Saat ini hipertensi merupakan faktor
risiko utama penyakit kardiovaskular yang dapat dihindari di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia, pada tahun 2013 prevalensi hipertensi mencapai
25.8% dan meningkat pada tahun 2018 menjadi 34.1 % pada penduduk dewasa Indonesia berumur >
18 th.1 Hal ini merupakan suatu beban yang sangat berat bagi pemerintah dan masayarakat
Indonesia, mengingat bahwa hipertensi dapat mengakibatkan gangguan yang berat terhadap organ
lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian tatalaksana hipertensi harus dapat
dilakukan dengan sebaik-baiknya dari mulai penegakan diagnosis hingga prevensi dan terapi.

Tatalaksana hipertensi dimulai dari penegakan diagnosis yang tepat. Karena terapi hipertensi
merupakan terapi seumur hidup dan bukan merupakan terapi sesaat saja. Dari berbagai panduan
tatalaksana hipertensi baik nasional maupun internasional, telah menganjurkan pengukuran tekanan
darah (TD) di luar klinik/ rumah sakit atau yang saat ini disebut sebagai pengukuran tekanan darah di
rumah (Home Blood Pressure Monitirong / HBPM) untuk penegakan diagnosis dan juga untuk
penentuan tatalaksana hipertensi selanjutnya

Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi (InaSH – PERHI 2019), maka hipertensi


didefinisikan sebagai kondisi dimana tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik (TDD) ≥ 90 mmHg.2 Konsensus ini juga memberikan alur penegakan diagnosis
hipertensi berdasarkan pengukuran TD di dalam dan luar klinik/ RS (gambar 1.)

Dari beberapa penduan atau konsensus internasional terakhir mengenai hipertensi baik dari
European Society of Hypertension, American Heart Association ataupun Canadian Society of
Hypertension, telah menekankan pentingnya peran pengurukuran darah di luar rumah sakit/ klinik,
dalam menegakan diagnosis dan tatalaksana hipertensi. Terdapat banyak kondisi dimana TD darah
seorang pasien itu sangat bervariasi, dikarenakan terdapat banyak hal yang sangat mempengaruhi
TD seseorang baik fisik maupun psikis. (3,4,5) TD yang bervariasi inilah yang sangat mempengaruhi
diagnosis dan tatalaksana ke depannya. Langkah selanjutnya dalam tatalaksana hipertensi yang baik,
setelah penegakan diagnosis, adalah pengobatan baik secara farmakologis maupun non
farmakologis, dan mencari ada tidaknya gangguan organ lain akibat hipertensi ini.

104
Gambar 1. Algoritma penegakan diagnosis hipertensi. Konsensus Penatalaksanaan Hiperetensi InasH
– PERHI 2019
ABPM : Ambulatory Blood Pressure Monitoring; HBPM : Home Blood Pressure Monitoring

Panduan Hipertensi dari American Heart Association tahun 2017, telah mengeluarkan suatu
algoritme (gambar 2) untuk membedakan diagnosis masked hypertension (hipertensi terselubung),
white coat hypertension, peningkatan TD atau hipertensi (4). Mereka dengan detail membedakan
keempat kondisi ini, karena hal ini akan berpengaruh pada tatalaksana yang tepat dan berbeda bagi
masing masing kondisi ini.

Gambar 2. Algoritma deteksi white-coat hypertension/ masked hypertension pada pasien tanpa
pengobatan 4

105
Dari algoritme di atas, terlihat jelas pentingnya mengetahui pola atau kurva TD pasien secara rinci,
pada pasien dengan TD di klinik/ rumah sakit antara 120-160/<80 – 100 mmHg, sebellum
memastikan normotensi ataupun hipertensi yang sebenarnya, karena sangat mungkin terdapat
konsisi hipertensi terselubung, atau bahkan hanya sekitar TD yang meningkat yang bukan termasuk
kategori hipertensi.

Pengukuran TD di luar klinik ini memegang peran yang sangat penting juga dalam penentuan
tatalaksana farmakologis bagi pasien hipertensi. Dengan mengetahui kurva atau pola TD harian yang
sebenarnya dari setiap pasien, maka dapat diatur waktu pemberian dan jenis obat yang akan
diberikan. Kelebihan lain dari pengukuran TD di luar klinik adalah pasien dapat lebih mudah
mengontrol pola hidup / pola makan mereka sendiri, serta kemajuan terapi mereka, dan hal ini
sangat penting dalam memperbaiki luaran tatalaksana pasien hipertensi.

Sebenarnya pengukuran TD diluar klinik/ rumah sakit yang dianjurkan adalah pengukuran darah
dengan alat otomatis 24 jam atau yang disebut sebagai Ambulatory Blood Pressure Monitoring
(ABPM) dan juga pengukuran dengan tensimeter secara mandiri di rumah atau disebut Home Blood
Pressure Monitoring (HBPM), Bila dilihat dari segi ketersediaan dan kepraktisannya, maka HBPM
merupakan cara monitor TD yang paing mudah dilakukan bagi setiap pasien. Dengan mengentahui
pola atau kurva TD per harinya, maka diharapkan, baik dokter maupun pasien, dapat mengatur
tatalaksana hipertensi yang lebih baik secara kontinu. Dengan demikan akan tercapai TD yang
diharapkan sesuai target tertentu bagi setiap pasien, dan hal ini yang akan memperbaiki luaran pada
pasien hipertensi baik dari mortalitas maupun morbiditasnya.

Kepustakaan :
1. Riset Dasar Kesehatan Indonesia 2018
2. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, InaSH – Perhimpunan Hipertensi Indonesia
3. Williams B, Mancia G, SpieringW, Agabiti RE, Azizi M, Burnier M, et al; ESC Scientific
Document Group. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension.
Eur Heart J. 2018;39:3021-104.
4. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, CaseyJr DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA. Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation,and Management of High Blood Pressure in
Adults:Executive Summary: A Report of the American College of Cardiology/American
Heart Association TaskForce on Clinical Practice Guidelines. Hypertension.2018;71:1269-
1324.
5. Leung AL, Narenberg K, Daskalopoulou SS, et al. Hypertension Canada’s 2016 Canadian
Hypertension Education Program Guidelines for Blood Pressure Measurement, Diagnosis,
Assessment of Risk, Prevention, and Treatment of Hypertension. Canadian Journal of
Cardiology 32 (2016) 569e588

106
Menurunkan Kejadian Kardiovaskular dengan Statin: Perspektif Terkini *)

Renan Sukmawan
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Abstrak

Kejadian kardiovaskular mayor (major cardiovascular events) seperti infark miokard dan
stroke merupakan penyebab utama kematian di Indonesia dan dunia. Aterosklerosis
merupakan patofisiologi utama dan awal untuk terjadinya kejadian kardiovaskular tersebut.
Proses aterosklerosis dimulai dengan LDL-cholesterol (LDL-C) yang bermigrasi ke subintima
kemudian menyebabkan pembentukan plak dan progresifitasnya. Statin, suatu obat dalam
kelompok penghambat enzym HMG Co-a reductase telah dikenal lama sebagai obat yang
efektif menurunkan total cholesterol dan LDL. Penurunan LDL-C oleh statin berbanding lurus
dengan penurunan kejadian kardioaskular major baik pada setting prevensi primer maupun
prevensi sekunder, sesuai hasil dari ratusan studi dengan berbagai jenis statin yang berbeda.
Pitavastatin salah satu statin original produksi Asia yang terbukti setara dengan atorvastatin
dalam menurunkan kolesterol. Profil safetynya bahkan lebih baik daripada beberapa statin
jenis lainnya. Beberapa studi menunjukkan kesetaraan Pitavastatin dalam menurunkan
kolesterol dibandingkan sttain pada kelompok moderate intensity lainnya, juga dalam hal
kemampuannya dalam meregresi plak koroner. Studi REAL-CAD membandingkan Pitvastatin
4 mg dan 1 mg pada pasien Asia dengan penyakit jantung koroner (PJK) stabil menunjukkan
efektifitasnya dalam menurunkan kejadian kardiovaskular mayor dengan profil keamanan
yang baik. Dapat disimpulkan bahwa terapi dislipidemia dengan statin secara konsisten
menunjukkan penurunan kejadian kardiovaskular. Pitavastatin sebagai statin produksi Asia
telah menunjukkan efektifitasnya menurunkan kejadian kardiovaskular pada populasi Asia
dengan profil keamanan yang baik.

Pendahuluan

Kematian karena penyakit kardiovaskular menempati urutan pertama sebagai


penyebab kematian yang ada di dunia. Diperkirakan pada tahun 2020 tingkat mortalitas dari
kardiovaskular akan mencapai 20 juta di seluruh dunia. Setiap tahunnya 3.8 juta pria dan 3.4
juta wanita meninggal karena penyakit jantung koroner. Aterosklerosis merupakan sebuah
kontinuum yang dimulai dari dari akumulasi faktor resiko kardiovaskular, seperti
dislipidemia, hipertensi, resistensi insulin dan diabetes serta merokok yang berinteraksi,
menyebabkan disfungsi endotel dan kaskade kejadian yang berujung pada terbentuknya
plak aterosklerosis, ruptur plak, kematian sel miokard, remodelling dan gagal jantung yang
merupakan tahap akhir dari penyakit ini.1 Intervensi dapat dilakukan di tahap mana saja
dalam kontinuum ini untuk memutus rantai patofisiologis dan progresi penyakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan untuk mengintervensi faktor resiko sehingga mencegah
terbentuknya plak aterosklerosis, sedangkan pencegahan sekunder untuk mencegah
kejadian kardiovaskular ulaganan dan kecacatan lebih lanjut.

107
Proses aterogenesis sudah dimulai terjadi sejak dekade pertama kehidupan, diawali
dengan disfungsi endotel. Proses ini terus berkembang hingga terbentuk plak yang signifikan
pada dekade ketiga dan terjadi event koroner pada dekade keempat.2 Oleh karena itu,
pencegahan seharusnya dimulai sedini mungkin, setidaknya sejak dekade ketiga kehidupan
untuk mengontrol faktor risiko yang bisa dikendalikan sehingga plak yang telah terbentuk
dapat dihambat progresivitasnya dan mencegah kejadian akut kardiovaskular karena ruptur

plak. Bila ruptur plak telah terjadi, maka upaya pencegahan sekunder dilakukan untuk
mencegah atau meminimalisir remodelling miokard agar tidak tejadi gagal jantung di
kemudian hari.

Berbagai clinical trial besar telah menunjukkan bahwa terapi dengan statin
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari kejadian kardiovaskular, baik pada pencegahan
primer maupun pencegahan sekunder. Oleh karena itu, terapi dengan statin telah menjadi
salah satu terapi standard dan lini pertama pada pasien dengan penyakit jantung koroner
(PJK).

Statin merupakan inhibitor poten sintesis kolesterol. Namun efek protektif statin
tampak jauh melebihi efek dari penurunan kadar kolesterol semata. Statin ditunjukkan
memiliki efek pleiotropfik yang dapat memperbaiki disfungsi endotel, menurunkan kadar
inflamasi dan radikal bebas, menghambat aktivasi platelet dan koagulasi, menghambat
degradasi matriks dan stabilisasi plak, menekan proliferasi dan migrasi otot polos, serta
meningkatkan sel progenitor endotel di sirkulasi.3

National Cholesterol Education Program (NCEP) terus memperbaharui rekomendasi


terhadap target kolesterol yang harus dicapai, dan memberikan perhatian khusus pada LDL-
C sebagai targer primer dalam terapi penurunan kolesterol. Berdasarkan NCEP III, target
LDL-C berbeda berdasarkan tingkat resiko, dengan kelompok resiko rendah memiliki target
LDL-C yang lebih longgar. Pasien dengan 0-1 faktor resiko dan faktor resiko multipel memiliki
target LDL-C berturut-turut adalah <160 mg/dl dan <130 mg/dl. Pasien yang telah
terdiagnosis PJK ataupun faktor resiko PJK ekuivalen (seperti TIA, stroke dan DM) memiliki
target < 100 mg/dl. Namun pasien dengan faktor resiko sangat tinggi memiliki target yang
sangat agresif, yaitu <70 mg/dL.4-5 Sementara itu, target kolesterol total adalah < 200 mg/dl,
HDL-C >40 mg/dl dan Trigliserida <150 mg/dl.

Selaras dengan NCEP-III, rekomendasi ESC tahun 2016 menyebutkan bahwa pasien
dengan resiko sangat tinggi memiliki target LDL-C <70 mg/dL atau minimal reduksi 50% dari
baseline bila baseline antara 70-135 mg/dl.7 Pasien-pasien ini membutuhkan terapi statin
intensitas tinggi, yang setara dengan Atorvastatin 40-80 mg dan Rosuvastatin 20-40 mg.6 Di
Ameriksa Serikat, NCEP mengestimasi bahwa setiap 1% penurunan LDL-C menghasilkan 1%
reduksi pada resiko PJK. Selain itu, setiap 1% peningkatan HDL-C akan menghasilkan 3%
reduksi pada resiko PJK.

Pitavastatin Sebagai Obat Unik Penurun Kolesterol

108
Pitavastatin merupakan statin sintetis yang poten menurunkan kolesterol dan telah
disetujui untuk terapi hiperlipidemia. Pitavastatin memiliki absorbsi oral yang baik dan
bioavailibilitas yang tinggi, hampir seluruhnya berikatan dengan protein di plasma, dan
waktu paruh yang panjang. Selain itu, pitavastatin hanya sedikit sekali dipengaruhi oleh
metabolisme CYP 450 sehingga tingkat interaksi dengan obat lain yang juga dimetabolisme
oleh CYP 450 sangat rendah yang menyebabkan kadarnya di dalam plasma relatif stabil.8

Sebuah multicenter, prospektif, double-blind RCT oleh Budinski et al,9 menunjukkan


bahwa pitavastatin non inferior bila dibandingkan terhadap atorvastatin dalam menurunkan
kadar LDL-C dan non-HDL-C, baik pada dosis rendah (pitavastatin 2 mg vs atorvastatin 10
mg) maupun pada dosis tinggi (pitavastatin 4 mg vs atorvastatin 20 mg). Sementara itu, RCT
lain oleh Ose L et al10 menunjukkan bahwa Pitavastatin lebih superior dibandingkan
Simvastatin dalam menurunkan kadar LDL-C dan non-HDL-C pada dosis rendah. Sementara
itu, Pitavastatin ditunjukkan ekuivalen terhadap simvastatin dalam menurunkan kadar lipid
pada dosis tinggi.

Pitavastatin pun menunjukkan efek pleiotrofik yang protektif, seperti penurunan


aktivasi platelet, perbaikan disfungsi platelet, penurunan proliferasi dan migrasi otot polos,
serta menghambat aktivasi makrofag dan respon inflamasi. Hasil dari JAPAN-ACS Trial ini
mengkonfirmasi hasil dari ESTABLISH Trial bahwa statin dosis tinggi sangat efektif dalam
menyebabkan regresi plak dan bahwa hasil ini juga dapat diamati pada pasien-pasien di
Jepang.11

Hattori et al12 melakukan studi case-control non-randomized pada pasien dengan


angina stabil untuk menilai efek Pitavastatin terhadap komposisi dan morfologi plak
aterosklerosis. Pada baseline, morfologi dan komposisi plak dievaluasi dengan kombinasi
optical coherence tomography (OCT), grayscale dan integrated backscatter (IB) intravascular
ultrasound (IVUS). Kriteria ekslusi adalah pasien yang telah mendapatkan terapi penurun
kolesterol sebelumnya atau memiliki kontraindikasi terhadap tindakan angiografi ulangan
dan pencitraan intrakoroner. Sebanyak 26 pasien menerima Pitavastatin 4 mg, sementara 16
pasien yang menolak statin hanya mendapat intervensi diet saja. Follow-up dilakukan
setelah 9 bulan kemudian, dan pemeriksaan OCT, grasyscale dan IB IVUS serial ulangan
kembali dilakukan.

Kelompok yang mendapatkan Pitavastatin mengalami penurunan kolesterol total,


LDL-C, dan rasio LDL-C/HDL-C secara bermakna, sementara tidak ada perubahan yang
diamati pada kelompok diet saja. Selain itu, kelompok Pivastatin juga mengalami
peningkatan kadar HDL-C secara bermakna, yang tidak dijumpai pada kelompok diet.
Grayscale IVUS menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase indeks volume plak
secara bermakna pada follow-up di kelompok Pitavastatin (48.5±10.4% ke 42.0±11.1%; p
0.033), namun tidak dijumpai pada kelompok diet (48.7±10.4% ke 50.4±11.8%; p = NS).

IB IVUS mengidentifikasi adanya reduksi yang signifikan pada persentase indeks volume lipid
pada kelompok pitavastatin (34.9±12.2% ke 28.2 ± 7.5%; p 0.020), namun tidak dijumpai
pada kelompok diet (31.0±10.7% ke 33.8 ± 12.4%; p NS).

109
Sementara itu, OCT menunjukkan peningkatan ketebalan fibrous cap secara
signifikan pada kelompok pitavastatin (140±42 µm ke 189 ± 46 µm; p 0.001), yang juga tidak
dijumpai pada kelompok diet saja (140±35 µm ke 142±36 µm; p NS). Terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok Pitavastatin dan kelompok diet dalam perubahan pada
persentase indeks volume lipid ( 6.8±8.0% vs. 2.8±9.9%, p 0.031) dan ketebalan fibrous cap
(52±32 µm vs. 2±22 µm, p 0.001). Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa terapi dengan
Pitavastatin pada pasien dengan angina stabil menginduksi regresi plak yang signifikan dan
stabilisasi plak melalui penurunan kadar lipid plak dan peningkatan ketebalan fibrous cap.

Efek Pitavastatin dalam Menurunkan Angka Kejadian Kardiovaskular

Berbagai penelitian di Eropa dan Amerika telah menunjukkan bahwa statin intensitas
tinggi lebih bermanfaat menurunkan kejadian kardiovaskular dibandingkan statin intensitas
rendah/tanpa statin. Oleh karena itu, ACC/AHA merekomendasikan terapi dengan statin
intensitas tinggi pada pasien-pasien dengan resiko sangat tinggi dan target LDL-C yang lebih
agresif. Namun ternyata terapi dengan statin intensitas tinggi tidak luas digunakan di dalam
praktik klinis sehari-hari, terutama di Asia sehingga tidak ada bukti yang jelas manfaat statin
intensitas tinggi pada populasi Asia.

Sebagian besar dosis statin intensitas tinggi yang direkomendasikan oleh ACC/AHA
tidak disetujui penggunaannya di Jepang. Bahkan, dosis tertinggi yang disetujui
penggunaannya di Jepang pun sangat jarang digunakan di dalam praktik sehari-hari. Oleh
karena itu, studi Randomized Evaluation of Aggressive or Moderate Lipid Lowering Therapy
with Pitavastatin in Coronary Artery Disease (REAL-CAD) dilakukan pada 13,054 pasien
dengan PJK stabil di Jepang bertujuan untuk mengevaluasi apakah terapi statin intensitas
tinggi akan bermanfaat bagi pasien-pasien di Jepang.13 Studi ini merupakan studi terbesar
yang pernah dilakukan untuk membandingkan efektivitas statin dosis tinggi terhadap statin
dosis rendah pada pasien dengan diagnosis PJK.13

Studi ini merupakan studi multi-center, randomized, prospektif, open-label yang


bertujuan mengevaluasi apakah pemberian Pitavastatin dosis tinggi dibandingkan terhadap
dosis rendah dalam range dosis yang telah disetujui dapat menurunkan kejadian
kardiovaskular pada pasien PJK di Jepang. Kriteria inklusi adalah laki-laki dan perempuan
berusia 20-80 tahun, terdiagnosis PJK stabil, mengalami SKA atau menjalani PCI/CBAG > 3
bulan sebelumnya, bukti stenosis koroner ³ 50% diameter, dan kadar LDL-C <120 mg/dl
setelah mendapatkan Pitavastatin 1 mg/hari pada periode run-in selama satu bulan. Pasien
kemudian dirandomisasi ke dalam kelompok Pitavastatin 1 mg/hari dan Pitavastatin 4
mg/hari dan diikuti selama 36-60 bulan. Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik
klinis dasar kedua kelompok.Target keluaran primer adalah komposit dari kematian
kardiovaskular/infark miokard non-fatal/stroke iskemik non fatal/unstable angina. Target
keluaran sekunder adalah target primer + revaskularisasi.

Pemeriksaan serial parameter lipid dan marker inflamasi menunjukkan bahwa Pitavastatin 4
mg menurunkan kadar LDL-C, trigliserida dan hs-CRP secara bermakna dibandingkan
terhadap kelompok Pitavastatin 1 mg. Selain itu, terjadi peningkatan kadar HDL-C secara

110
bermakna pada kelompok Pitavastatin 4 mg dibandingkan terhadap kelompok Pitavastatin 1
mg.

Kelompok Pitavastatin dosis tinggi menurunkan insiden kumulatif dari target primer sebesar
19% (HR 0.81 (95% CI, 0.69-0.95), Cox P=0.01) dibandingkan kelompok dengan dosis rendah
selama follow-up hingga 5 tahun. Selain itu, insiden kumulatif target sekunder pun menurun
sebesar 17% pada kelompok Pitavastatin dosis tinggi dibanding Pitavastatin dosis rendah
(H.83 (95% CI, 0.73-0.93), Cox P=0.002). All-cause mortality menurun secara signifikan (HR
0.81 (0.68-0.98), p=0.03), demikian pula dengan infark miokard (HR 0.57 (0.38-0.83),
p=0.004) dan revaskularisasi koroner (HR 0.86 (0.76-0.96), p =0.008) pada kelompok
Pitavastatin 4 mg dibandingkan terhadap Pitavastatin 1 mg.

Dari sisi safety analysis, Pitavastatin 4 mg menyebabkan sedikit lebih banyak keluhan
nyeri otot (1.9% vs 0.7%, p<0.001) dibandingkan Pitavastatin 1 mg. Selain itu, sedikit lebih
banyak pasien yang menghentikan penggunaan obat pada kelompok Pitavastatin 4 mg (9.8%
vs 8.1%, p <0.001) yang mungkin berhubungan dengan keluhan nyeri otot yang dialami. 13

Dapat ditarik kesimpulan dari studi ini bahwa Pitavastatin dosis tinggi (4mg/hari)
menurunkan kejadian kardiovaskular serta all-cause mortality secara bermakna
dibandingkan kelompok dengan dosis rendah (1mg/hari) pada populasi pasien di Jepang. Ini
merupakan bukti pertama dari efektivitas statin intensitas tinggi sebagai pencegahan
sekunder pada pasien di Asia. Selain itu, Pitavastatin dosis tinggi pun relatif dapat ditoleransi
dengan baik. Selama ini terdapat keengganan untuk menggunakan statin dosis tinggi pada
populasi pasien di Asia. Studi ini dapat menjadi bukti bahwa strategi statin intensitas tinggi
adalah aman, relatif ditoleransi dengan baik dan bermanfaat bagi pasien. Sebuah
rekomendasi yang dikhususkan bagi populasi Asia akan dibutuhkan.

Kesimpulan

Aterosklerosis merupakan sebuah kontinuum yang dimulai dari dari akumulasi faktor
resiko kardiovaskular yang menyebabkan disfungsi endotel dan kaskade kejadian yang
berujung pada terbentuknya plak aterosklerosis, ruptur plak, kematian sel miokard,
remodelling dan gagal jantung. Intervensi dapat dilakukan di tahap mana saja dalam
kontinuum ini untuk memutus rantai patofisiologis dan progresi penyakit.

Statin merupakan terapi standar dan lini pertama pada pasien dengan penyakit
jantung koroner (PJK), baik sebagai pencegahan primer maupun sekunder. Statin terbukti
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari kejadian kardiovaskular.
Diantara berbagai jenis statin, Pitavastatin merupakan statin sintetis yang sangat
poten menurunkan kolesterol, memiliki absorbsi oral yang baik, bioavailibilitas yang tinggi,
waktu paruh yang panjang dan kadar plasma yang stabil. Pitavastatin ditunjukkan non-
inferior terhadap Atorvastatin dalam menurunkan LDL-C dan non-HDL-C, dan lebih superior
dibandingkan Simvastatin dalam menurunkan berbagai parameter lipid. Pitavastatin juga
ditunjukkan dapat menginduksi regresi plak yang signifikan dan stabilisasi plak. Selain itu,
studi keluaran kardiovaskular terbesar di Asia menunjukkan bahwa Pitavastatin dosis tinggi

111
aman dan bermanfaat menurunkan angka kejadian kardiovaskular dalam jangka panjang
pada pasien dengan penyakit jantung koroner.

Daftar Pustaka

1. Dzau V, Braunwald E. Resolved and unresolved issues in the prevention and


treatment of coronary artery disease: a workshop consensus statement. Am Heart J
1991;121:1244-63.

2. Pepine CJ. The effects of angiotensin-converting enzyme inhibition on endothelial


dysfunction: potential role in myocardial ischemia. Am J Cardiol 1998;82 (suppl
10A):23-7S.

3. Liao JK. Effects of Statins on 3-Hydroxy-3-Methylglutaryl Coenzyme A Reductase


Inhibition Beyond Low-Density Lipoprotein Cholesterol. Am J Cardiol. 2005;96(suppl
1):24F-33F.

4. Executive Summary of The Third Report of The National Cholesterol Education


Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, And Treatment of High
Blood Cholesterol In Adults (Adult Treatment Panel III). Report. JAMA
2001;285:2486-97.
5. Grundy SM, Cleeman JL, Merz CN, et al. Implications of recent clinical trials for the
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III guidelines.
Circulation 2004;110:227-239.
6. Stone NJ, et al. 2013 ACC/AHA guideline on the treatment of blood cholesterol to
reduce atherosclerotic cardiovascular risk in adults: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2014 Jul 1;63(25 Pt B):2889-934.
7. Catapano AL, Graham I, De Backer G, et al. 2016 ESC/EAS Guidelines for the
Management of Dyslipidaemias. Eur Heart J;37(39): 2999–3058.
8. Kajinami K, Takekoshi N, Saito Y. Pitavastatin: efficacy and safety profiles of a novel
synthetic HMG-CoA reductase inhibitor. Cardiovasc Drug Rev 2003;21(3):199-215
9. Budinski D, Arneson V, Hounslow N, Gratsiansky N. Pitavastatin compared with
atorvastatin in primary hypercholesterolemia or combined dyslipidemia. Clin Lipidol
2009;4(3):291-302.
10. Ose L, Budinski D, Hounslow N, Arneson V. Comparison of pitavastatin with
simvastatin in primary hypercholesterolaemia or combined dyslipidaemia . Curr Med
Res Opin 2009;25(11):2755-2764.
11. Hiro T, Kimura T, Morimoto T et al. Effect of Intensive Statin Therapy on Regression of
Coronary Atherosclerosis in Patients With Acute Coronary Syndrome: A Multicenter
Randomized Trial Evaluated by Volumetric Intravascular Ultrasound Using Pitavastatin
Versus Atorvastatin (JAPAN-ACS [Japan Assessment of Pitavastatin and Atorvastatin in
Acute Coronary Syndrome] Study). J Am Coll Cardiol 2009: 54(4): 293-302
12. Hattori K, Ozaki Y, Ismail TF, et al. Impact of statin therapy on plaque
characteristics as assessed by serial OCT, grayscale and integrated backscatter-
IVUS. JACC Cardiovasc Imaging 2012; 5:169-77.
112
13. Kimura T, Inoue T, Taguchi I, et al. High-Dose Versus Low-Dose Pitavastatin in Japanese
Patients With Stable Coronary Artery Disease (REAL -CAD): A Randomized Superiority
Trial. Circulation. 2018 May 8;137(19):1997-2009.

*) Disampaikan pada Weekend Course on Cardiology 2019

113
Symptom Based Approached in Cardiovascular Medicine: Shortness of Breath

Rina Ariani
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Sesak napas, atau dalam terminasi medis disebut dyspnea, merupakan sensasi tidak nyaman
saat bernapas. Beberapa terminasi lain juga mendefinisikan sebagai “kesulitan dan
ketidaknyamanan bernapas, sensasi rasa kekurangan udara atau “air hunger”, atau
kesadaran adanya distress pernapasan.
American Thoracic Society mendefinisikan sesak napas menjadi “keluhan subjektif dari
ketidaknyamanan bernapas yang dapat berbeda secara kualitatif dan bervariasi dalam
intensitas”.1
Sesak napas merupakan preditor penting dalam penilaian kualitas hidup, tolerasi latihan dan
mortalitas dalam berbagai kondisi. Keluhan ini sering menimbulkan keterbatasan seorang
individu, dan menempati urutan yang kedua setelah keluhan nyeri. Sekitar seperempat
populasi secara umum pernah mengeluhkan sesak napas, dan sekitar setengah dari pasien
dengan kondisi sakit berat mempunyai keluhan ini.2 Keluhan sesak juga merupakan
prediktor yang lebih kuat daripada keluhan angina atau keluhan lainnya dalam memprediksi
mortalitas pada pasien yang menjalani uji latih jantung.3 Pada populasi yang tidak
mempunyai riwayat penyakit kardiopulmoner-pun, keluhan sesak napas, walaupun dengan
intensitas ringan, merupakan prediktor penting terhadapt timbulnya gagal jantung, serangan
jantung, dan kematian dalam evaluasi jangka panjang.4

Pengaturan sistem pernapasan1,5,6


Sistem respirasi di bekerja dalam memastikan kestabilan kadar oksigen dan karbondioksida
dalam darah, serta menjaga kestabilan asam basa di dalam tubuh. Perubahan ketiga
komponen diatas akan menyebabkan timbulnya ketidaknyamanan dalam bernapas. Namun
pengaturan pernapasan merupakan fenomena yang cukup kompleks dan dapat melibatkan
satu atau lebih stimulus. Sensasi sesak akan timbul bila terdapat ketidak sesuaian antara
pengaturan pernapasaan di sentral dengan kerja napas yang dihasilkan.
Secara garis besar pengaturan pernapasan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu reseptor
sensorik, yang menangkap berbagai stimulus yang akan diirimkan ke pusat pernapasan,
pusat pernapasan di batang otak, serta eferen motorik, yang terdiri dari otot2 interkostae,
diagfrahma dan otot-otot bantu napas lainnya untuk menjalanankan proses inspirasi dan
eskpirasi. Ketiga sistem besar ini akan saling memberikan dan menerima sinyal untuk
mengatur proses pernapasan.
Reseptor sensorik terdiri atas mekanoreseptor dan kemoreseptor. Mekanoreseptor akan
mengirimkan sinyal ke pusat pernapasan atas stimulus regangan yang ada di otot rangka,
maupun di paru. Sebagai contoh adanya regangan pada otot rangka (seperti bila seseorang
114
berolahraga) akan mengirimkan sinyal ke pusat pernapasan untuk meningkatkan laju napas).
Kemoreseptor sendiri terdapat baik perifer (di badan karotis dan aorta) dan di sentral
(sistem saraf pusat). Kemoreseptor ini akan mengirimkan sinyal ke pusat pernapasan
berdasarkan perubahan kadar oksigen, karbondioksida, dan ion asam yang beredar ditubuh.
Sebagai contoh, jika terdapat peningkatan kadar CO2, atau penurunan kadar O2 di dalam
tubuh, maka mekanoreseptor akan mengirimkan sinyal ke pusat pernapasan untuk
meningkatkan pernapasan.
Pusat pengaturan pernapasan di batang otak, yang terletak di poms dan di medulla
oblongata bekerja dalam mengatur ritme dan kecepatan pernapasan. Selain oleh
mekanoreseptor dan kemorereseptor. Pusat pengaturan pernapasan ini juga mendapatkan
impuls dari hipotalamus yang merespons terhadap rasa nyeri, ansietas, ketakutan, serta dari
otak besar untuk pengaturan pernapasan yang volunteer.

Gambar 1. Pengaturan pernapasan. Dikutip dari7


Dari gambaran pengaturan proses pernapasan diatas, dapat dilihat bahwa banyak faktor
yang berperan, dan adanya gangguan atau stimulus salah satu dari komponen diatas, dapat
berperan dalam menimbulkan sensasi sesak napas.
Secara garis besar, sesak dapat disebabkan oleh 4 situasi yang berbeda:8
1. Peningkatan kebutuhan ventilasi; seperti saat aktivitas, demam, anemia, kondisi
hipoksia
2. Penurunan kapasitas ventilasil; seperti pada kondisi efusi pleura, trauma dinding
dada, pneumothoraks
115
3. Peningkatan resistensi jalan napas; seperti pada asma, PPOK
4. Penurunan compliance paru; seperti pada edema paru, interstitial fibrosis

Sesak napas pada penyakit kardiovaskular


Sistem kardiovaskular bekerja dalam tujuan untuk mengantakan darah teroksigenasi dari
paru ke jaringan, dan sebaliknya mengembalikan darah yang mengandung karbondioksida
kembali ke paru. Agar fungsi ini dapat berjalan baik, darah harus dapat dipompakan tanpa
meningkatkan tekanan kapiler paru. Dan kadar hemoglobin harus cukup untuk dapat
membawa oksigen ke jaringan.
Secara garis besar terdapat beberapa hal yang menyebabkan sesak napas pada pasien
dengan gagal jantung, antara lain : (1) kongesti vaskular/edema interstitial, (2)
meningkatnya demand ventilasi (akibat mismatch ventilasi dan perfusi), (3) hiperinflasi paru
dan beban otot pernapasan yang meningkat (akibat menurunnya compliance paru pada
edema paru), dan (4) disfungsi ventilasi dan otot pernapasan pada pasien dengan gagal
jantung.9
Gangguan pada jantung dapat berakibat pada 2 hal; berkurangnya curah jantung (forward
failure), atau peningkatan tekanan vena pulmonalis (backward failure). Pada tahap awal
gagal jantung, curah jantung yang dipompakan tidak mencukupi kebutuhan jaringan perifer,
terutama bila terjadi pengingkatan aktivitas. Hal ini akan menyebabkan terjadi hipoksia dan
asidosis lokal jaringan, merangsang ergoreseptor, dan kemudian mengirmkan sinyal ke pusat
pernapasan dan menimpulkan persepsi sesak napas. Hipoksia jaringan dan asidosis ini juga
menimbulkan keluhan kelelahan otot saat aktivitas dan kedua keluhan inilah yang biasanya
dikeluhkan pasien gagal jantung dengan bertambahnya aktivitas. Pada kondisi backward
failure akan terjadi bendungan pada vena pulmonalis yang menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik di vena pulmonalis, yang kemudian akan menyebabkan esktravasasi
cairan ke interstitial dan dalam tahapan yang lebih berat (edema paru) meyebabkan
ekstravasasi cairan ke alveolus. Hal ini akan menyebabkan gangguan pada difusi oksigen
(gangguan perfusi) dan terjadi ventilation perfusion mismatch dan menimbulkan keluhan
sesak napas.7,8
Mekanisme lain yang diduga menyebabkan sesak adalah terjadinya disfungsi ventilasi dan
gangguan oto pernpasan. Pada gagal jantung, selain karena hipoksia dan suplai energi ke
perifer yang menurun terdapat perubahan massa otot dan karakteristik otot pernapasan
dan diagfrahma, sehingga terjadi muscle fatigue yang lebih cepat pada pasien dengan gagal
jantung dibandingkan dengan orang normal.9
Keluhan sesak yang khas untuk gagal jantung adalah adanya orthopnea dan paroksismal
nocturnal dyspnea.10 Ortopnea adalah keluhan sesak timbul bila pasien berbaring dan
membaik dengan posisi badan yang lebih tinggi. Keluhan ini muncul dikarenakan pada posisi
tidur terjadi redistribusi darah dari ektremitas bawah ke paru-paru, sehingga memperberat
beban jantung. Paroksismal Nokturnal Dyspnea (PND) adalah terbangunnya pasien saat
tidur oleh karena sesak, biasanya setelah 2-4 jam tidur, dan membaik dengan posisi
duduk/tegak. Patofisiologi PND sama dengan pada orthopnea, meskipun pada PND juga
116
terdapat peranan menurunnya repson pusat pernapasan dan menurunnya aktivitas
adrenergik miokardium saat tidur.

Pendekatan diagnosis sesak napas


Sesak napas dapat interpretasikan dengan deskrisi yang bervariasi antar pasien. Dan
mengingat sesak napas merupakan keluhan subjektif, keluhan ini tidak selalu berkorelasi
dengan temuan fisiologis objektif. Beberapa orang mungkin mengeluhkan sesak napas
hebat dengan temuan klinis yang minimal, dan sebaliknya seseorang dapat menyangkal
adanya sesak napas meskipun dengan presentasi klinis yang signifikan.
Sesak saat aktivitas tidak selalu mengindikasikan suatu penyakit. Aktivitas yang ditoleransi
oleh seseorang sangat bergantung dari usia, umur, berat badan, kondisi fisik, sikap dan
emosional. Sesak dengan aktivitas dianggap tidak normal apabula muncul dengan aktivitas
yang normalnya ditoleransi untuk kelompok populasi tersebut.1
Oleh karena itu anamnesis yang lengkap dan menyeluruh merupakan poin yang sangat
penting dalam menilai sesak napas. Karakteristik sesak napas, onset munculnya sesak (akut,
kronik, intermiten), faktor pencetus (aktivitas fisik, posisi tubuh, hubungan dengan
emosi/psikis, dipicu pajanan spesifik) dan faktor yang meringankan keluhan, serta keluhan
lain yang timbul bersaamaan dengan sesak dapat membantu dalam membangun diagnosis
klinis.8,11 Tabel 1 dan 2 membagi sesak napas berdasarkan onset dan sistem organ yang
terlibat.

Pemeriksaaan fisik harus dikerjakan secara menyeluruh. Evaluasi ada tidaknya stridor,
wheezing, ronki, menurun/menghilangnya suara napas, tachycardia, aritmia, edema tungkai,
murmur, gallop, kelemahan suara jantung, dan lain sebagainya. Sayangnya tidak ada satu
gejala atau tanda yang secara eksklusif dapat meinklusi atau mengksklusi diagnosis gagal
jantung, walaupun terdapatnya peningkatan JVP, ronki basah, dan S3 gallop dapat
membantu untuk me-rule in diagnosis gagal jantung.12 Tabel 3. merangkum beberapa tanda
dan gejala yang datap mengarahkan/membantu membuat diagnosis.

Sistem Kardiovaskular Sistem Respirasi


Iskemia miokardium akut bronkospasme
Gagal jantung akut / Edema paru Emboli Paru
Tamponade Pneumothoraks
Infeksi paru : pneumonia, bronkitis
Metabolik Obstruksi jalan napas atas : aspirasi,
anafilaksis
Keracunan (zat kimia/gas) Trauma
Ketoasidosis
Sentral / Neuromuskular
Lain-lain Stroke

117
Ansietas Ensefalitis
Serangan Panik Trauma kepala
dll Gangguan neuromuskular
Tabel 1. Penyebab sesak napas akut. Dimodifikasi dari 12

Sistem Organ Etiologi


Heart failure
Kardiovaskular Angina
Constrictive pericarditis
COPD
Asthma
Interstitial lung diseases
Pulmonary hypertension
Respiratory Malignancy (tumor related
obstructive lesions and
lymphangitic spread)
Pleural effusions
Sleep apnea
Ascites
Pleural effusions
Portopulmonary
Gastrointestinal/Hepatic
hypertension
Hepatopulmonary
syndrome
Sistem Organ Etiologi
Pleural effusions
Renal
Pericardial effusions
Hematological Anemia
Central apneas
Myasthenia gravis
Deconditioning
Neuromuscular
Myopathies
Amyotrophic lateral
sclerosis
Tabel 2. Differensial diagnosis sesak napas kronik (>1 bulan). Dimodifikasi dari12

Ada banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mengevaluasi sesak napas.
Pemilihan jenis dan banyaknya pemeriksaaan penunjang yang akan dikerjakan sangat
tergantung dari data awal yang didapat saat anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada tahapan
awal, pemeriksaan standar seperti hematologi, Rontgen thoraks, profil metabolik dan
118
saturasi oksigen dapat memberikan petunjuk dan kadang cukup untuk membuat diagnosis.
Pemeriksaan spirometri sangat bermanfaat dalam membedakan keluhan sesak dari sistem
kardiovaskular dan sistem respirasi. Elektrokardiografi bermanfaat untuk menilai adanya
aritmia, gambaran iskemik/infark miokardium, dan tanda emboli paru, atau gambaran
tamponade. Pemeriksaan biomarker yang cukup penting dalam evaluasi pasien dengan
sesak napas adalah pemeriksaan Natriuretic peptide (NT-pro BNP atau pro BNP), Troponin,
dan D-Dimer. Natriuretic peptide akan meningkat pada kondisi gagal jantung, troponin
diperlukan dalam menilai ada tidaknya infark miokardium, sedangkan D-dimer, yang
merupakan penanda adanya thrombosis, diperlukan untuk mengevaluasi kecurigaan ke arah
emboli paru. Pemeriksaaan ekokardiografi sangat membantu dalam membuat diagnosis
gagal jantung. Dari ekokardiografi dapat diketahui dimensi-dimensi ruang jantung, fungsi
sistolik dan diastolic ventrikel, ada tidaknya kelaianan katup, ada gangguan gerakan
segmental dari ventrikel, melihat ada tidaknya kemungkinan emboli paru, dan menilai ada
tidaknya gambaran tamponade. Pemeriksaan penunjang lain yang lebih canggih dapat
dipertimbangkan bila terdapat keraguan dalam membuat diagnosis. Salah satu pendekatan
klinis sesak napas dapat dilihat pada gambar 2.

Tabel 3. Beberapa tanda dan gejala yang dapat membantu membuat diagnosis klinis.
Dikutip dari13

119
Gambar 2. Pendekatan klinis sesak napas. Dikutip dari 14

Penutup
Sesak napas merupakan keluhan yang sering ditemui dalam praktek klinis, dengan variasi
kasus yang cukup luas dan beragam. Terdapat banyak sekali faktor yang berperan dalam
menimbulkan sensasi sesak napas pada seseorang. Pemahaman mengenai faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap timbulnya sesak napas, serta pendekatan klinis yang sistematik
dan holistik akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan etiologi yang tepat,
dan pada akhirnya memberikan terapi dan manajemen yang sesuai.

Daftar Pustaka
1. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, Banzett RB, Manning HL, Bourbeau J, et al.
An official American Thoracic Society statement: update on the mechanisms,
assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit Care Med.
2012;185(4):435

120
2. Grønseth R, Vollmer WM, Hardie JA, et al. . Predictors of dyspnoea prevalence:
results from the BOLD study. Eur Respir J 2014; 43: 1610–1620)
3. Abidov A, Rozanski A, Hachamovitch R, et al. Prognostic significance of dyspnea in
patients referred for cardiac stress testing. N Engl J Med 2005; 353: 1889–1898)
4. Santos M, Kitzman DW, Matsushita K, Loehr L, Sueta CA , Shah AM. Prognostic
Importance of Dyspnea for Cardiovascular Outcomes and Mortality in Persons
without Prevalent Cardiopulmonary Disease: The Atherosclerosis Risk in
Communities Study. PLoS One. 2016; 11(10): e0165111
5. Shiber JR, Santana J. Dyspnea. , 2006; May;90(3):453-79.
6. Manning HL, Schwartzstein RM. Pathophysiology of dyspnea. N Engl J Med 1995;
333:1547-1553
7. Schwartzstein RM. Physiology of Dyspnea. In Stroller JK, ed. www.uptodate.com . last
updated Nov 02, 2017.
8. Ukerji V. Dyspnea, Orthopnea, and Paroxysmal Nocturnal Dyspnea. In: Walker HK,
Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990. Chapter 11.
9. Dubé, B.-P., Agostoni, P., & Laveneziana, P. Exertional dyspnoea in chronic heart
failure: the role of the lung and respiratory mechanical factors. European Respiratory
Review, 2015; 25(141), 317–332.
10. Rials, S. J., Hatlestad, J. D., Smith, A., Pubbi, D., Slotwiner, D. J., & Boehmer, J. P.
Night-time Elevation Angle in Heart Failure Patients Indicates Orthopnea and
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea. Journal of Cardiac Failure, 2017; 23(8), S81
11. Laviolette L, Laveneziana P. Dyspnoea: a multidimensional and multidisciplinary
approach. Eur Respir J 2014; 43: 1750–1762
12. Berliner D, Schneider N, Welte T, Bauersachs J. The Differential Diagnosis of
Dyspnea.Dtsch Arztebl Int. 2016 Dec; 113(49): 834–845
13. Ewert R, Gläser S. Dyspnea. From the concept up to diagnostics. Internist (Berl). 2015
Aug;56(8):865-71
14. Stein JH, ed. Internal Medicine. 5th ed. St. Louis: Mosby, 1998:401,406

121
How to Use AVP Antagonist in Heart Failure Setting

Siti Elkana Nauli


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
RSUD Tangerang

Kongesti adalah akumulasi cairan ekstrasel akibat peningkatan tekanan akhir


diastolik ventrikel kiri yang menyebabkan gejala dan tanda akut gagal jantung seperti
sesak nafas dan edema. Tekanan pengisian ventrikel kiri merupakan hasil dari fungsi
sistolik dan diastolik, fungsi plasma, dan kapasitas vena. Gagal jantung ditandai dengan
aktivasi neurohumoral yang menyebabkan peningkatan absorbsi natrium dan air yang
selanjutnya menyebabkan meningkatnya volume plasma, peningkatan aktivitas syaraf
simpatis menyebabkan vasokonstriksi arterial di daerah splanknik sehingga terjadi
redistribusi darah ke sistem sirkulasi. Hal ini menyebabkan peningkatan volume sirkulasi
efektif, akibatnya venous return and tekanan pengisian jantung meningkat. Lama-
kelamaan proses ini akan menjadi patologis dengan terjadinya kongesti vena dan
peningkatan aktivitas syaraf simpatis.1
Lima puluh persen pasien dengan gagal jantung akut yang dirawat di rumah sakit
mengalami penurunan berat badan ≤1kg selama 1 bulan sejak perawatannya bermakna
bahwa beban cairan yang timbul belum teratasi sempurna. Namun pada kasus kaheksia,
penurunan berat badan ini sulit dijadikan patokan volume cairan tubuh. Penurunan berat
badan selama fase perawatan ternyata tidak berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas paska perawatan. Namun, penambahan berat badan yang timbul akibat
beban volume yang teratasi sempurna berkaitan dengan tingginya angka rawat ulang
dan mortalitas.2
Perjalanan alamiah suatu gagal jantung biasanya ditandai dengan beberapa
episode dekompensasi akut yang berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan
morbiditas dan juga tentunya pendanaan. Sebagian besar pasien dengan gagal jantung
yang mengalami episode gagal jantung jatuh ke dalam fase kongesti dengan tekanan
darah yang masih baik, hanya sebagian kecil yang datang dengan gejala dan tanda syok
kardiogenik. Pemberian diuretik pada kongesti tentunya masih menjadi rekomendasi
utama penanganan fase dekompesasi. Diuretik loop merupakan pilihan utama untuk
mengurangi gejala dan tanda kongesti.3
Diuretik adalah agen yang paling efektif untuk menghilangkan gejala dan tanda
kongesti pada pasien gagal jantung. Namun penggunaannya ternyata memiliki efek yang
mencetuskan perburukan fungsi ginjal meskipun pada sebagian pengamatan ditemukan
perburukan ini bersifat reversible akan tetapi hal ini menyebabkan meningkatnya
morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung. Proteksi terhadap fungsi
ginjal pada pasien gagal jantung merupakan salah satu prediktor prognosis yang baik. 3
Stabilisasi hemodinamik pasien gagal jantung mencakup dekongesti cepat fase
akut untuk meminimalkan angka kematian selama fase perawatan. Namun disisi lain,
122
dekongesti cepat menimbulkan perburukan fungsi ginjal dan menyebabkan lama rawat
bertambah, angka rawat ulang menigkat dan survival akan menurun. Sehingga saat ini
banyak yang mempertanyakan bagaimana mengatasi hal tersebut dan memperbaiki
keluaran pasien gagal jantung. Metra et al 21 melakukan penelitian pada 594 pasien
rawat inap dengan diagnosis dekompensasi akut gagal jantung dan menemukan
kelompok pasien dengan perburukan fungsi ginjal meskipun tanpa disertai tanda
kongesti ternyata memiliki keluaran yang sama dibandingkan dengan kelompok yang
tidak mengalami perburukan fungsi ginjal dan tanpa tanda kongesti. Risiko kematian
akan meningkat pada kelompok yang masih mengalami kongesti meskipun tidak terjadi
perburukan fungsi ginjal. Studi ini menunjukkan bahwa kongesti yag menetap selama
perawatan merupakan indikator utama buruknya prognosis akibat kongesti meskipun
tidak disertai perburukan fungsi ginjal. Beberapa penelitian yang menggunakan
kombinasi diuretik loop dengan vasopressin antagonis untuk pasien dekompensasi akut
gagal jantung sudah banyak dimulai sejak tahun 2010 terutama dengan penggunaan
tolvaptan (vasopressin antagonis oral). Tolvaptan merupakan agen vasopressin antagonis
yang selektif terhadap reseptor V2 dan dipercaya mengurangi efek perburukan fungsi
ginjal pada pasien yang sudah menggunakan golongan diuretik oral. Tolvaptan yang
digunakan pada golongan pasien ini pada fase awal sebelum menggunakan dosis tinggi
diuretik oral akan mengurangi pemakaian dosis tinggi diuretik loop yang dipercaya
menyebabkan perburukan fungsi ginjal.4
Prinsip penanganan fase akut dengan melakukan dekongesti cepat merupakan
kunci utama penanganan pasien gagal jantung. Dari ATTEND registry yang mencakup
4,842 pasien mendukung pernyataan ini, meskipun terjadi sedikit perburukan fungsi
ginjal. Di Amerika Serikat, angka rawat ulang akan meningkat pada kelompok pasien
yang dipulangkan lebih cepat dari rumah sakit (rerata lama rawat sekitar 4 hari).
Sementara di Jepang, rerata lama rawat pasien dengan dekompensasi akut adalah 1 hari
dan di Eropa berkisar 4-9 hari. Durasi lama rawat yang panjang tersebut memungkinkan
tatalaksana gagal jantung semakin optimal dan dapat menentukan dosis individual
diuretik oral sebelum pasien dipulangkan.4
Observasi klinis menemukan hubungan antara pemakaian diuretik oral akan
memperburuk keluaran pasien gagal jantung. Diuretik loop menyebabkan deplesi
volume intravaskuler dan meningkatkan aktivasi system renin angiotensin aldosterone
dan aktivasi syaraf simpatis. Dari studi Evaluation Study of Congestive Heart Failure and
Pulmonary Artery Catheterization Effectiveness (ESCAPE) menunjukkan korelasi yang
kuat antara pemberian diuretik loop dengan mortalitas 6 bulan pada dosis besar untuk
menurunkan berat badan pada pasien gagal jantung yang dirawat baik itu diakibatkan
oleh kelompok pasien yang risiko tinggi untuk terjadinya kongesti atau akibat efek
samping penggunaan diuretik loop dosis besar. Mereka menemukan bahwa efek ini tidak
terjadi pada penggunaan diuretik loop dengan dosis < 300 mg/hari. Dosis maksimal
diuretik di Jepang adalah 200 mg per hari. Testani et al melakuakn analisa 2 studi, yaitu
(1) pasien di University of Pennsylvania (Penn) dengan diagnosis utama gagal jantung
123
(n=657) dan (2) pasien dari studi ESCAPE (n=390); dimana efikasi diuretik diartikan
sebagai total urine yang dihasilkan dengan pemberian furosemid 40 mg. Mereka
menemukan efikasi akan rendah akan menyebabkan keluaran yang buruk (Penn: hazards
ratio [HR], 1.36; 95% confidence interval [CI], 1.04−1.78; P=0.02; ESCAPE: HR, 2.86; 95%
CI, 1.53−5.36; P=0.001). Pada studi Diuretik Optimization Strategies Evaluation (DOSE) ,
39 dari total 308 pasien dengan dekompensasi akut yang menerima dosis diuretik loop
yang besar (dosis harian total lebih besar dari dosis harian pasien) baik diberikan secara
intermitten atau kontinyu tidak ditemukan adanya perbedaan berdasarkan penilaian
gejala pasien (mean area under the curve 4,430±1,401 vs. 4,171±1,436, P=0.06). Pada
kelompok yang mendapatkan dosis diuretik loop yang tinggi cenderung terjadi
perburukan fungsi ginjal yang sifatnya sementara dan akan menghilang beberapa saat
setela pulang dari rumah sakit. Dan didapatkan angka kematian 60 hari setelah
perawatan lebih rendah pada kelompok pasien yang mendapat dosis tinggi diurerik loop
(HR=0.83, P=0.28). Studi-studi ini menunjukkan bahwa perburukan fungsi ginjal akibat
penggunaan dosis diuretik yang tinggi untuk fase akut tidak menghasilkan keluaran yang
buruk. Oleh karenanya, dapat dikatakan diuretik loop masih merupakan terapi utama
gagal jantung akut untuk mencapai fase euvolemia. Namun, penggunaan furosemide
dosis tinggi pada pasien rawat jalan berhubungan dengan keluaran yang buruk dan
merupakan salah satu tanda angka kematian yang tinggi. Oleh karenanya rekomendasi
internasional tetap menganjurkan dosis diuretik yang minimal pada pasien rawat jalan
untuk mempertahankan pasien tetap pada fase euvolemia. Núñez et al menemukan
dosis furosemide ≥120 mg/hari berhubungan dengan keluaran yang baik bila
carbohydrate antigen 125 (>35U/ml) yang merupakan biomarker kongesti sistemik dan
kadar BUN (blood urea nitrogen) ≥24.8 mg/dl yang merupakan petanda disfungsi renal
atau aktivasi neurohormonal pada 21 bulan setelah episode akut. Dekongesti agresif
akan memberikan hasil yang baik terhadap prognosis pasien dengan perburukan fungsi
ginjal akibat kongesti sistemik dan ginjal. Pada pasien rawat jalan, mungkin penggunaan
diuretik oral yang waktu kerjanya panjang merupakan pilihan utama karena pada
penggunaan agen ini akan meminimalkan aktivasi neurohumoral dan retensi natrium
paska pemberian diuretik. 5
Pemberian tolvaptan pada kasus dengan gagal jantung akut yang tidak efektif
dengan pemberian diuretik loop akan memperbaiki efikasi produksi urin pada pasien
dengan kongesti. Diuretik loop akan menginduksi keluarnya natrium melalui urin dan
menurunkan volume efektif arteri akibat stimulasi non-osmotic arginine vasopressin
(AVP), yang selanjutnya mengaktifkan reseptor V2 dan menyebabkan reabsorbsi air
melalui cyclic adenosine monophosphatestimulated aquaporin (AQP)-2 yang ada di
nefron distal. Akibat yang terjadi adalah reabsorsi air yang menyebabkan urin yang
hyperosmolar dan terjadi resistensi diuretik. Tolvaptan adalah penghambat reseptor V2
yang selektif yang akan menghambat reabsorbsi air di tubulus kolektif ginjal dan sudah
digunakan di Jepang sebagai agen untuk mengatasi kelebihan cairan pada kasus gagal
jantung yang tidak menunjukkan respon yang adekuat dengan diuretik loop meskipun
124
pasien tidak mengalami hyponatremia. Rekomendasi tatalaksana gagal jantung di Jepang
sejak tahun 2013 telah merekomendasikan tolvaptan untuk mengatasi fase kongesti
akibat gagal jantung kiri atau gagal jantung kana dengan kelas rekomendasi IIb (Level of
Evidence: B). Imamura et al menunjukkan bahwa osmolalitas urin >352 mOsm/L
merupakan prediktor yang baik terapi tolvaptan. Ia juga menemukan bahwa resistensi
terhadap diuretik loop terjadi akibat stimulasi system V2/ AQP-2 yang akan
menyebabkan peningkatan osmolalitas urin. Golongan vasopressin antagonis lain yang
sudah diteliti penggunaannya memiliki efek dekongesti adalah conivaptan yang potensi
dua kali lebih kuat dibandingkan tolvaptan yang merupakan penghambat reseptir V1 dan
diberikan secara intravena. Tolvaptan memiliki efek menghambat reseptor V2 2,5 kali
lebih kuat dan diberikan secara oral. Kedua obat ini memiliki waktu paruh 6-10 jam dan
efek puncaknya tercapai dalam beberapa jam setelah pemberian. Agen ini
dimetabolisme di hepar oleh enzim sitokrom P -450 isoenzim CYP3A4, dan eksresi di
ginjal kurang dari 5%. Kerja kedua obat ini meningkatkan ekskresi urin dan eksresi air
bebas elektrolit sehingga tidak menyebabkan eksresi natrium dan kalium (yang
kemudian disebut sebagai efek aquaretik). Namun kedua obat ini tidak efektif pada kasus
gagal ginjal lanjut (stage 4 atau 5).6
Tolvaptan dan conivaptan bekerja di nefron distal, oleh karenanya memiliki efek
kerja yang berbeda dengan diuretik loop. Pada penelitian fase 3, antagonis vasopressin
menyebabkan peningkatan kadar natrium. Conivaptan intravena dosis 40 mg per hari
menyebabkan peningkatankadar natrium 6,3 mmol/ liter. Pada studi Study of Ascending
Levels of Tolvaptan in Hyponatremia 1 and 2 (SALT 1 and 2), tolvaptan pada dosis oral 30
mg per hari meningkatkan kadar natrium 3,6 mmol/liter pada hari ke-4 pemberian dan
4,4 mmol/liter pada hari ke-30. Pada meta analisis 15 penelitian tentang penggunaan
tolvaptan pada hyponatremia yang menghimpun 1619 pasien didapatkan peningkatan
kadar natrum rerata 5,27 mmol/ liter (95% confidence interval [CI], 4.27-6.26) pada hari
ke-3 sampai 7,30. Pada meta analisis lain yang menghimpun 11 studi terkontrol terdiri
dari 1084 pasien, vaptan meningkatkan kadar natrium plasma 5,7 mmol/liter (95% CI,
4.1-7.4).31 Di analisis lain yang mencakup 2900 pasien,32 di Eropa menemukan
tolvaptan meningkatkan kadar natrium plasma 4.30 mmol/liter (95% CI, 3.51-4.95) pada
hari ke-3 sampai ke-7 dibandingkan placebo. Peningkatan ini menetap selama 7 bulan. 6
Pada studi Ultrafiltration vs. Intravenous Diuretiks for Patients Hospitalized for
Acute Decompensated Congestive Heart Failure (UNLOAD), penurunan berat badan yang
makin besae dan terjadinya perburukan fungsi ginjal dengan ultrafiltrasi menurunkan
angka rawat ulang dibandingkan pasien yang mendapatkan terapi diuretik konvensional.
Prinsipnya adalah menghilangkan kongesti merupakan kunci utama tatalaksana gagal
jantung akut untuk memperbaiki oksigenasi dan menghilangkan tanda dan gejala edema.
Diuretik loop intravena menghasilkan efek natriuresis yang cepat dan semakin cepat efek
tersebut timbul, makin baik keluaran pasien dengan gagal jantung akut dengan gejala
kongesti. Pasien gagal jantung yang menerima diuretik loop oral untuk jangka waktu
yang lama masih menyisakan pertanyaan mengenai keamanan dan efikasinya. Data klinis
125
di Jepang mendukung pengguanaan tolvaptan (antagonis vasopressin) sebagai agen
untuk mengatasi fase dekongesti pada pasien gagal jantung yang tidak memiliki respon
yang adekuat dengan pemberian diuretik loop. 7
Studi terbaru di Jepang untuk melihat efikasi dan keamanan penggunaan
tolvaptan sudah banyak dikerjakan dalam 3 tahun terakhir pada pasien yang
menggunakan diuretik loop dan/atau thiazid. Ternyata penggunaan tolvaptan dengan
dosis 7.5 mg/hari selama 7 hari akan meningkatkan volume urin secara bermakna dan
menurunkan berat bada pasien tanpa mempengaruhi tekanan darah sistemik dan laju
nadi. Tidak ditemukan pasien dengan hypernatremia selama terapi ini karena
perpindahan cairan dari interstisial ke intravaskuler setelah fase diuresis yang sempurna.
Dan sebagian besar pasien menunjukkan perbaikan hemodinamik yang bermakna.
Matsue et al menunjukkan tolvaptan menghasilkan diuresis yang lebih baik tanpa
menyebabkan perburukan fungsi ginjal. Shirakabe et al melakukan penelitian pada
pasien yang dirawat di ICU dengan menggunakan tolvaptan 7,5 mg setiap 12 jam sampai
fase dekompensasi hilang disamping pemberian diuretik loop dan menemukan volume
urin pada grup ini meningkat secara signifikan pada hari pertama dan kedua
dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan furosemide kontinyu selama 48 jam
(30.0 [15.0–47.5] mg vs. 63.3 [25.0–180.0] mg).Tolvaptan menghindarkan pasien
mengalami perburukan fungsi ginjal dan mortalitas 180 harinya akan membaik. Hal ini
sejalan dengan studi klinis prospektif post-marketing multisenter, yang mengambil
subyek lebih dari 1000 pasien gagal jantung yang tidak memberikan respon optimal
dengan diuretik loop, tolvaptan menurunkan berat badan 2.3±2.5 kg, dan −3.5±4.1 kg
pada hari ke-7 dan ke-14 dan memperbaiki gejala kongesti secara signifikan. Tolvaptan
memiliki kemampuan untuk memberikan efek aquaresis pada pasien gagal jantungyang
resisten terhadap diurerik loop. Meskipun hypernatremia merupakan komplikasi utama
dengan obat ini, ternyata dosis 7,5 mg hanya menyebabkan hypernatremia pada 3.8%
kasus. Prediktor timbulnya hypernatremia antara lain dosis tolvaptan 15 mghari, kadar
natrium plasma ≥142 mEq/L dan kadar kalium plasma <3.8 mEq/L. Oleh karenanya, dosis
tolvaptan pada kasus normonatremia and hipokalemia lebih rendah untuk mecegah
hipernatremia. Studi Efficacy of Vasopressin Antagonism in Heart Failure Outcome Study
with Tolvaptan (EVEREST) gagal menunjukkan manfaat tolvaptan untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada penggunaan kronik karena hyponatremia bukan satu-
satunya petanda meningkatnya morbiditas and mortalitas, tetapi merupakan target
terapi gagal jantung. 7

KEPUSTAKAAN
1. Dupont M, Mullens W, Wilson WH. Impact of systemic venous congestion in heart
failure. Curr Heart Fail Rep. 2011;8:233-241.
2. Gheorghiade M, Vaduganatham M, Fonarow GC, Bonow RO. Rehospitalization for
heart failure. J Am Coll Cardiol. 2013; 61:391-403.
3. Metra M, Davison B, Bettari L, et al. Is worsening renal function an ominous
126
prognostic sign in patients with acute heart failure? The role of congestion and its
interaction with renal function. Circ Heart Fail. 2012;5:54-62.
4. Matsue Y, Suzuki M, Seya M, Iwatsuka R, Mizukami A, Nagahori W, et al. Tolvaptan
reduces the risk of worsening renal function in patients with acute decompensated
heart failure in high-risk population. J Cardiol 2013; 61: 169 – 174.
5. Dohi K, Ito M. Novel Diuretic Strategies for the Treatment of Heart Failure in Japan.
Circ J 2014; 78: 1816 – 1823
6. Ellison DH, Felker GM. Diuretic Treatment in Heart Failure. N Engl J Med
2017;377:1964-75.
7. Kazory A. Cardiorenal syndrome: ultrafiltration therapy for heart failure: trials and
tribulations. Clin J Am Soc Nephrol. 2013;8:1816-1828.

127
Cardiovascular Protection of Calcium Channel Blockers in Hypertension
Management

Sony H. Wicaksono
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Pendahuluan
Tekanan darah tinggi adalah penyebab utama global penyakit kardiovaskular yang bisa dicegah. Data
Riskesdas Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 mendapatkan prevalensi pada
angka 34.1% pada usia di atas 18 tahun berdasarkan data pengukuran tekanan darah dengan
prevalensi yang minum obat antihipertensi adalah 8.8%.1

Proteksi Kardiovaskular
Proteksi kardiovaskular dapat didefinisikan sebagai semua mekanisme dan cara, baik yang bersifat
adaptif ataupun kompensatori yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada
pemeliharaan sistem kardiovaskular.2 Proteksi kardiovaskular pada penatalaksanaan hipertensi
bertujuan menurunkan angka kematian akibat kejadian kardiovaskular dan kejadian kardiovaskular.
Terdapat dua hal yang terbukti menurunkan angka kematian dan kejadian, pertama melalui
menurunkan tekanan darah, menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg atau 5 mmHg
tekanan darah diastolik terbukti menurunkan secara bermakna semiua kejadian kardiovaskular
sebesar 20%. Kedua melalui manfaat obat antihipertensi selain menurunkan tekanan darah.

Proteksi kardiovaskular penurunan tekanan darah


Penurunan tekanan darah dapat terjadi secara cepat dan drastis, atau perlahan dan bertahap. Salah
satu dari kedua cara penurunan tekanan darah tersebut lebih kardioprotektif. Obat yang
menurunkan tekanan darah secara drastis mengakibatkan peningkatan seketika laju nadi dan kadar
katekolamin yang bersirkulasi, hal ini telah didemonstrasikan pleh Kleinboesem et al tahun 1984
ketika membandingkan infus intravena nifedipin dengan sediaan kapsul dan tablet retard dalam
perubahan laju nadi, tekanan darah, dimensi jantung dan kadar norepinefrin plasma. Peningkatan
kadar nifedipin dalam plasma paralel dengan peningkatan kadar norepinefrin plasma untuk ketiga
sediaan, yaitu pada infus intravena paling curam menanjak, kapsul lebih rendah dan tablet lepas
lambat paling rendah. Penurunan cepat tekanan diastolik sebesar 8-10 mmHg oleh infus intravena
dan kapsul memicu peningkatan secara bermakna laju nadi 15 hingga 20 denyut per menit,
peningkatan tersebut tidak bermakna pada pemberian tablet lepas lambat.3

Berdasarkan definisi proteksi kardiovaskular, maka peningkatan laju nadi dan peningkatan kadar
norepinefrin plasma yang timbul akibat penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dan drastis,
adalah yang termasuk harus dihindari, sehingga penurunan tekanan darah yang kardioprotektif
adalah yang bersifat lambat dan bertahap.

Proteksi kardiovaskular obat-obatan antihipertensi selain menurunkan tekanan darah


Obat-obatan antihipertensi bekerja dengan cara vasodilatasi pembuluh darah, kronotropik negatif
dan neurohumoral. Sehingga selain menurunkan tekanan darah, ditemukan juga manfaat
kardioprotektif yang juga ditunjukkan oleh obat-obat antihipertensi tersebut. Beberapa contoh
manfaat tersebut diantaranya adalah: menurunkan kadar katekolamin yang bersirkulasi, menekan
overaktivitas simpatis jantung, memperbaiki fungsi diastolik jantung, menekan respons
vasokonstriksi koroner, menekan inflamasi dan menekan progresi kalsifikasi arteri koroner.4,5,6,7

128
Panduan penggunaan obat antihipertensi
Konsensus penatalaksanaan hipertensi 2019 merekomendasikan obat Angiotensin Converting
Enzyme inhibitor (ACEi), Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Beta Blocker, Calcium Channel Blockers
(CCB) dan diuretik sebagai lini pertama. Strategi penatalaksanaan hipertensi tanpa komplikasi
menganjurkan terapi inisial kombinasi dua obat sekaligus, bisa ACEi atau ARB dikombinasi dengan
CCB atau diuretik untuk mencapai target tekanan darah yang ditentukan panduan.8,9

Calcium Channel Blocker


CCB adalah salah satu obat antihipertensi yang direkomendasikan panduan sebagai lini pertama dan
terapi inisial. CCB adalah obat yang bekerja dengan cara menghambat kanal kalium di dinding sel
miokard atau sel otot polos vaskular (vascular smooth muscle cells, VSM). Di dinding sel terdapat
kanal kalsium tipe L dan tipe T. Kanal kalsium tipe T ditemukan di sel pacemaker, atrial dan purkinje,
kanal kalsium tipe L ditemukan di sel otot jantung dan sel otot polos pembuluh darah, kanal kalsium
tipe L adalah rute utama pemasukan kalsium di VSM dan CCB bekerja pada kanal kalsium tipe L.
Terdapat dua kelas utama CCB, yaitu dihidropiridin dan nondihidropiridin. Nondihidropiridin
menunjukkan efek ke sel miokard dan VSM, sementara dihidropiridin menunjukkan efek blok yang
sangat singkat pemulihannya sehingga tidak menunjukkan efek yang bermakna ke jantung, yaitu 10
kali lipat lebih rendah pada kanal tipe T dibanding pada kanal tipe L, sehingga efektif memberikan
efek vasodilatasi.10,11 CCB dihidropiridin yang paling sering digunakan adalah amlodipin dan nifedipin.

CCB: Nifedipine Gastrointestinal Therapeutic System vs Amlodipine


Nifedipine terdiri atas nifedipin biasa dan nifedipine gastrointestinal theraputic system (GITS).
Sediaan GITS memungkinkan nifedipin lepas lambat dan berkesinambungan. Karakteristik lepas
lambat sediaan GITS ini kardioprotektif dengan menurunkan tekanan darah dengan perlahan dan
bertahap sehingga mencegah kenaikan laju nadi dan kadar norepinefrin dalam sirkulasi. Dalam hal ini
telah didemonstrasikan Nifedipin GITS lebih baik dibanding amlodipin dalam mencegah kenaikan
kadar norepinefrin dalam sirkulasi. Sehingga dapat dikatakan nifedipine GITS lebih kardioprotektif
dibanding amlodipin.4

Proteksi kardiovaskular nifedipine GITS


Penurunan tekanan darah terbesar oleh nifedipine GITS dicapai 83% pasien setelah 4 minggu
pengobatan. Dalam penelitian lain selama 6 tahun evaluasi, 95% pasien yang mendapatkan terapi
nifedipine GITS tetap dalam tekanan darah yang normal. Dalam terapi nifedipine GITS ditemukan dua
tahapan penurunan tekanan darah: penurunan segera akibat efek vasodilatasi, dan penurunan
tertunda akibat perbaikan fungsi terkait. Penurunan tertunda ini telah diobservasi hingga 24 minggu
pengobatan dengan GITS sebagaimana didemonstrasikan dalam studi oleh Hu et al. Fungsi terkait
yang membaik selama 24 minggu diobservasi adalah: perbaikan fungsi dan struktur arteriol,
mengurangi ketebalan intimal media di arteri karotis dan femoral, perbaikan fungsi endotel, brachial-
ankle pulsed wave velocity (PWV). Semua fungsi terkait tersebut yang membaik tersebut telah
dianalisis independen terhadap penurunan tekanan darah.12

Nifedipine GITS pada pasien terimplan drug eluting stent


Studi The Nifedipine on Coronary Artery Vascular Function after Drug-Eluting Stent Inmplantation
(NOVEL), adalah studi prospektif, terandomisasi, multicenter yang melibatkan 100 pasien yang
diimplan Drug Eluting Stent (DES), untuk melihat efek nifedipin GITS terhadap respons vasokonstriksi
koroner yang diinduksi acetylcholine (Ach) dan profil inflamasi. Pada grup dengan nifedipin, respons
vasokonstriksi koroner di pinggir stent terhadap ACh turun (p=0.0044) dan profil inflamasi membaik
pada evaluasi high sensitive C-reactive protein (hsCRP) (p=0.0001) dan adiponektin (p=0.0039).6

129
Proteksi renal nifedipine GITS
Renal adalah sistem vaskular yang juga terkena dampak dari hipertensi. Parameter awal
terdampaknya renal adalah dari mikroalbuminuria. Studi di tahun 2004 oleh Jerums et al
membandingkan nifedipine GITS dengan perindopril dan plasebo pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dan mikroalbuminuria, didemonstrasikan nifedipine GITS dan perindopril dapat mencegah terjadinya
mikroalbuminuria secara bermakna dibanding dengan plasebo dan nifedipine GITS lebih baik dalam
mencegah kenaikan albumin excretion rate (AER) dibandingkan perindopril dan plasebo.13

Kesimpulan
Proteksi kardiovaskular CCB yang ditampilkan Nifedipine GITS meliputi efektivitas penurunan
tekanan darah mencapai target yang direkomendasikan panduan, dan manfaat selain penurunan
tekanan darah. Manfaat yang ditampilkan nifedipine GITS selain penurunan tekanan darah adalah
menurunkan kadar katekolamin yang bersirkulasi, menekan overaktivitas simpatis jantung,
memperbaiki fungsi diastolik jantung, menekan respons vasokonstriksi koroner, menekan inflamasi
dan menekan progresi kalsifikasi arteri koroner. Manfaat tersebut kemungkinan didapat melalui
perbaikan struktur dan fungsi arteriol dan perbaikan profil inflamasi.

Referensi:
1. Kesehatan BP dan P. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehat Republik
Indones. 2018;
2. Kübler W, Haass M. Cardioprotection: Definition, classification, and fundamental principles.
Heart. 1996;
3. Kleinbloesem CH, Van Brummelen P, van de Linde JA, Voogd PJ, Breimer DD. Nifedipine:
Kinetics and dynamics in healthy subjects. Clin Pharmacol Ther. 1984;
4. De Champlain J, Karas M, Nguyen P, Cartier P, Wistaff R, Toal CB, Nadeau R, Larochelle P.
Different effects of nifedipine and amlodipine on circulating catecholamine levels in essential
hypertensive patients. J Hypertens. 1998;
5. Kosaka T, Nakagawa M, Ishida M, Iino K, Watanabe H, Hasegawa H, Ito H. Cardioprotective
effect of an L/N-type calcium channel blocker in patients with hypertensive heart disease. J
Cardiol. 2009;
6. Tsuburaya R, Takahashi J, Nakamura A, Nozaki E, Sugi M, Yamamoto Y, Hiramoto T, Horiguchi
S, Inoue K, Goto T, Kato A, Shinozaki T, Ishida E, Miyata S, Yasuda S, Shimokawa H. Beneficial
effects of long-acting nifedipine on coronary vasomotion abnormalities after drug-eluting
stent implantation: The NOVEL study. Eur Heart J. 2016;
7. Motro M, Shemesh J. Calcium channel blocker nifedipine slows down progression of coronary
calcification in hypertensive patients compared with diuretics. Hypertension. 2001;
8. Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, Clement DL, Coca A, De
Simone G, Dominiczak A, Kahan T, Mahfoud F, Redon J, Ruilope L, Zanchetti A, Kerins M,
Kjeldsen SE, Kreutz R, Laurent S, Lip GYH, McManus R, Narkiewicz K, Ruschitzka F, Schmieder
RE, Shlyakhto E, Tsioufis C, Aboyans V, Desormais I, De Backer G, Heagerty AM, Agewall S,
Bochud M, Borghi C, Boutouyrie P, Brguljan J, Bueno H, Caiani EG, Carlberg B, Chapman N,
Cífková R, Cleland JGF, Collet JP, Coman IM, De Leeuw PW, Delgado V, Dendale P, Diener HC,
Dorobantu M, Fagard R, Farsang C, Ferrini M, Graham IM, Grassi G, Haller H, Hobbs FDR,
Jelakovic B, Jennings C, Katus HA, Kroon AA, Leclercq C, Lovic D, Lurbe E, Manolis AJ,
McDonagh TA, Messerli F, Muiesan ML, Nixdorff U, Olsen MH, Parati G, Perk J, Piepoli MF,
Polonia J, Ponikowski P, Richter DJ, Rimoldi SF, Roffi M, Sattar N, Seferovic PM, Simpson IA,
Sousa-Uva M, Stanton A V., Van De Borne P, Vardas P, Volpe M, Wassmann S, Windecker S,
Zamorano JL. 2018 ESC/ESH Guidelines for themanagement of arterial hypertension. Eur.
Heart J. 2018;
9. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Ovbiagele B, Casey DE, Smith SC, Collins KJ, Spencer CC,
Himmelfarb CD, Stafford RS, Depalma SM, Taler SJ, Gidding S, Thomas RJ, Jamerson KA,
130
Williams KA, Jones DW, Williamson JD, Maclaughlin EJ, Wright JT, Mauri L. 2017 Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults A
Report of the American College of Cardiology / American Heart Association T. 2017.
10. Grant AO. Basic Science for the Clinical Electrophysiologist Cardiac Ion Channels. Circ
Arrhythmia Electrophysiol. 2009;
11. Godfraind T. Discovery and development of calcium channel blockers. Front. Pharmacol.
2017;
12. Hu H, Zhang J, Wang Y, Tian Z, Liu D, Zhang G, Gu G, Zheng H, Xie R, Cui W. Impact of baseline
blood pressure on the magnitude of blood pressure lowering by nifedipine gastrointestinal
therapeutic system: Refreshing the wilder’s principle. Drug Des Devel Ther. 2017;
13. Jerums G, Allen TJ, Campbell DJ, Cooper ME, Gilbert RE, Hammond JJ, O’Brien RC, Raffaele J,
Tsalamandris C. Long-term renoprotection by perindopril or nifedipine in non-hypertensive
patients with Type 2 diabetes and microalbuminuria. Diabet Med. 2004;

131
Update on the Management of Venous Thromboembolism

Suci Indriani
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Tromboemboli vena (VTE) merupakan penyakit yang mencakup trombosis vena dalam (DVT)
dan/atau emboli paru (PE). Angka insidensi tromboemboli vena cukup tinggi, yaitu sebesar
0,75-2,69 kasus per 1000 subjek per tahunnya, yang meningkat sampai ke 2,0-7,0 kasus per
1000 subjek per tahunnya pada populasi dengan usia 70 tahun ke atas.1 Kondisi tersebut
berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan, dengan mortalitas
30 hari pertama tanpa terapi sebesar 3% pada pasien DVT dan 31% pada pasien PE.2
Komplikasi jangka panjang VTE adalah sindroma post-trombotik (PTS) yang terjadi pada 20-
50% pasien dengan DVT dan chronic thromboembolic pulmonary hypertension (CTEPH) yang
terjadi pada 2-4% pasien dengan emboli paru. Pasien dengan CTEPH mengalami sesak nafas
progresif dan intoleransi latihan serta pasien dengan PTS akan mengalami nyeri kaki kronik
dan bengkak dan sebagian akan mengalami ulkus vena. Terapi utama VTE adalah
antikoagulan yang diberikan dalam beberapa fase, dengan tujuan untuk mencegah rekurensi
trombosis, mencegah pembentukan emboli, dan mencegah kematian.3

Pengobatan antikoagulan pada VTE dilakukan dalam 3 fase, yaitu fase inisiasi (5-21 hari
setelah penegakkan diagnosis), fase jangka panjang (3-6 bulan setelah penegakkan
diagnosis), dan fase lanjutan (setelah 3-6 bulan sejak diagnosis ditegakkan). Pengobatan
pada fase inisial dan fase jangka panjang wajib diberikan pada seluruh pasien VTE. Namun,
pengobatan untuk fase lanjutan diberikan berdasarkan pertimbangan klinis pasien dan
keuntungan maupun kerugian yang didapat dari pemberian antikoagulan tersebut.
Pemilihan jenis dan durasi antikoagulan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
pasien, lokasi trombosis pada DVT (proksimal/distal), ada/tidak adanya PE, status kehamilan,
maupun ada atau tidaknya komorbid lain seperti kanker.4

Pada pasien DVT yang tidak disertai PE, pilihan terapi yang direkomendasikan adalah terapi
antikoagulan parenteral yang dilanjutkan dengan antagonis vitamik K (VKA) atau
penggunaan direct oral anticoagulants (DOACs) dosis tinggi. Jenis antikoagulan parenteral
yang dapat digunakan adalah fondaparinux, low-molecular weight heparin (LMWH), dan
unfractionated heparin (UFH). Fondaparinux dan LMWH lebih direkomendasikan
dikarenakan UFH berhubungan dengan risiko mengalami trombositopenia akibat heparin.4
Fondaparinux memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang relatif sama dengan
enoxaparin (LMWH), namun fondaparinux hanya membutuhkan satu kali administrasi setiap
harinya dengan dosis 7,5 mg secara subkutan (5,0 mg pada pasien < 50 kg, dan 10,0 mg pada
pasien > 100 kg), dibandingkan dengan enoxaparin yang harus diberikan sebanyak dua kali
sehari, dengan dosis yang bergantung berat badan yaitu sebesar 1 mg/kgBB.5 Namun, pasien
132
dengan gangguan fungsi ginjal lebih direkomendasikan untuk menggunakan UFH
dikarenakan memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih singkat. Pilihan DOACs yang dapat
digunakan adalah apiksaban, rivaroksaban, edoksaban, dan dabigatran. Apiksaban dan
rivaroksaban dapat digunakan secara langsung sejak terapi awal, namun edoksaban dan
dabigatran harus didahului dengan terapi antikoagulan parenteral selama 5-10 hari. Direct
oral anticoagulants dikontraindikasikan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal (klirens
kreatinin < 30 mL/min). Durasi pengobatan antikoagulan pada DVT proksimal adalah minimal
3 bulan, sedangkan durasi pengobatan pada DVT distal terisolasi ditentukan berdasarkan
risiko mengalami rekurensi. Pasien yang memiliki risiko rekurensi tinggi harus menjalani
pengobatan selama minimal 3 bulan, namun pasien dengan risiko rekurensi rendah dapat
diberikan pengobatan selama 4-6 minggu dengan dosis yang lebih rendah.4

Pada pasien VTE dengan PE, pengobatan diberikan berdasarkan stratifikasi risiko PE yang
dialami pasien. Pada pasien dengan PE risiko tinggi (disertai syok atau hipotensi),
pengobatan yang diberikan berupa antikoagulan parenteral dengan UFH secepatnya, yang
dilanjutkan dengan terapi trombolitik sistemik. Apabila terapi trombolisis gagal atau
dikontraindikasikan, maka dapat dilakukan pembedahan embolektomi pulmoner maupun
percutaneous catheter-directed treatment. Pada pasien dengan PE risiko menengah/rendah
(tanpa syok atau hipotensi), pengobatan yang diberikan berupa antikoagulan parenteral
dengan fondaparinux atau LMWH kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat.6
Pemberian fondaparinux yang hanya memerlukan satu kali pemberian setiap harinya dengan
dosis 7,5 mg secara subkutan (5,0 mg pada pasien < 50 kg, dan 10,0 mg pada pasien > 100
kg) tanpa memerlukan monitoring terbukti memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang
relative sama dengan pemberian UFH yang diberikan dengan infus kontinyu dan
memerlukan monitoring.7 VKA juga diberikan secara paralel dengan antikoagulan parenteral,
dengan target INR sebesar 2,5 (rentang INR 2,0-3,0). Direct oral anticoagulants juga dapat
digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk PE dengan risiko menengah/rendah.
Apiksaban dan rivaroksaban dapat diberikan secara langsung, namun edoksaban dan
dabigatran harus didahului oleh pemberian antikoagulan parenteral. Direct oral
anticoagulants tidak direkomendasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat.
Secara umum, pemberian antikoagulan pada PE dilanjutkan selama minimal 3 bulan. Fase
lanjutan diberikan pada pasien dengan episode unprovoked PE pertama dengan risiko
perdarahan rendah, episode unprovoked PE yang kedua, dan pada pasien dengan kanker.4, 6

Pemilihan jenis antikoagulan untuk VTE pada pasien kanker maupun ibu hamil berbeda
dengan antikoagulan yang direkomendasikan untuk pasien pada umumnya. Pada pasien
kanker, rekomendasi utama adalah terapi antikoagulan parenteral menggunakan LMWH.
Fondaparinux direkomendasikan pada pasien dengan riwayat trombositopenia akibat
heparin, dan UFH direkomendasikan pada pasien dengan gagal ginjal. Fase jangka panjang
pada pasien kanker juga dilanjutkan menggunakan terapi parenteral. Pemberian terapi fase
lanjutan harus mempertimbangkan kondisi klinis pasien, keuntungan dan kerugian, toleransi
133
pasien, preferensi pasien, dan aktivitas kanker. Pada ibu hamil, terapi yang diberikan adalah
antikoagulan berbasis heparin dikarenakan tidak dapat menembus sawar darah-plasenta
dan tidak ditemukan dalam jumlah signifikan pada air susu ibu. Low-molecular weight
heparin merupakan agen terapi yang direkomendasikan pada ibu hamil, dan diberikan
sampai 6 minggu post-natal dengan durasi minimal pemberian selama 3 bulan.4, 6

Terapi pencegahan VTE dapat dilakukan pada pasien-pasien berisiko tinggi, terutama pasien
usia dengan penyakit akut yang mengalami imobilisasi. Pemberian fondaparinux dengan
dosis 1 x 2,5 mg subkutan selama 6-14 hari terbukti efektif dalam mencegah pembentukan
VTE simptomatik maupun asimptomatik apabila dibandingkan dengan plasebo, dengan risiko
perdarahan yang sama antara kedua kelompok.8
Daftar Pustaka:
1. Becattini C, Agnelli G. Treatment of Venous Thromboembolism With New Anticoagulant
Agents. J Am Coll Cardiol. 2016;67(16):1941-55.
2. Piran S, Schulman S. Management of venous thromboembolism: an update. Thromb J.
2016;14(Suppl 1):23.
3. Streiff MB, Agnelli G, Connors JM, Crowther M, Eichinger S, Lopes R, et al. Guidance for
the treatment of deep vein thrombosis and pulmonary embolism. J Thromb
Thrombolysis. 2016;41(1):32-67.
4. Mazzolai L, Aboyans V, Ageno W, Agnelli G, Alatri A, Bauersachs R, et al. Diagnosis and
management of acute deep vein thrombosis: a joint consensus document from the
European Society of Cardiology working groups of aorta and peripheral vascular
diseases and pulmonary circulation and right ventricular function. European Heart
Journal. 2018;39(47):4208-18.
5. Buller HR, Davidson BL, Decousus H, Gallus A, Gent M, Piovella F, et al. Fondaparinux or
enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep venous thrombosis: a
randomized trial. Annals of internal medicine. 2004;140(11):867-73.
6. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, et al. 2014
ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur
Heart J. 2014;35(43):3033-69, 69a-69k.
7. Buller HR, Davidson BL, Decousus H, Gallus A, Gent M, Piovella F, et al. Subcutaneous
fondaparinux versus intravenous unfractionated heparin in the initial treatment of
pulmonary embolism. The New England journal of medicine. 2003;349(18):1695-702.
8. Cohen AT, Davidson BL, Gallus AS, Lassen MR, Prins MH, Tomkowski W, et al. Efficacy
and safety of fondaparinux for the prevention of venous thromboembolism in older
acute medical patients: randomised placebo controlled trial. Bmj. 2006;332(7537):325-
9.

134
Diseksi Aorta: Satu Penyakit dengan Gambaran Klinis Kritis yang Beragam

Suko Adiarto
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Diseksi aorta merupakan penyakit yang ditandai oleh robekan yang mengakibatkan separasi
antara tunika intima dan tunika media pada aorta. Robekan ini meyebabkan terjadinya aliran
darah dari true lumen ke false lumen melalui entry tear yang kemudian dapat keluar lagi
menuju true lumen melalui exit tear. Berdasarkan lokasi entry tear dan luasnya diseksi,
penyakit ini diklasiikasikan berdasarkan klasifikasi Stanford dan DeBakey sebagai berikut:

Klasifikasi Stanford:
• Stanford A : Entry tear berada di aorta ascendens
• Stanford B : Entry tear berada di aorta descendens

Klasifikasi De Bakey
• Debakey I : Entry tear berada di aorta ascendens dan diseksi melibatkan aorta
ascendens dan descendens
• Debakey II : Entry tear berada di aorta ascendens dan diseksi melibatkan hanya
aorta ascenden
• Debakey III : Entry tear berada di aorta descendens

Diagnosis dan tatalaksana diseksi aorta kadang-kala tidak terlalu mudah, bukan saja karena
gejala nyeri dada/nyeri punggung yang hamper selalu terjadi pada diseksi aorta juga sering
terjadi pada penyakit lain, tetapi juga karena diseksi aorta dapat bermanifestasi sebagai
penyakit yang disebabkan oleh komplikasi dari diseksi aorta itu sendiri. Bahkan kadang-
kadang gejala penyakit akibat komplikasi tersebut lebih dominan dibandingkan nyeri
dada/nyeri punggung akibat diseksi tersebut.

Berikut adalah contoh-contoh kasus dimana diagnosis diseksi aorta terlewatkan dan
keterlambatan dan bahkan kesalahan dalam tatalaksana dapat berakibat fatal.

1. Seorang laki-laki berusia 44 tahun dirujuk dari Sumatera Barat (Padang) dengan
keluhan sesak napas yang berat dan tiba-tiba. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
suara nafas yang menghilang pada lapang paru kanan. Foto thorax menunjukkan
gambaran paru kiri yang praktis tidak terlihat karena tertutup effusi yang sangat luas

Sempat dilakukuan pungsi pleura pada pasien ini dengan cairan yang didapatkan
berupa darah. Untungnya, pungsi segera dihentikan dan dilakukan CT Aorta untuk
memastikan diagnosis. CT memperlihatkan adanya diseksi aorta dengan entry site di
descending aorta dan adanya rupture yang menyebabkan hematothorax.

2. Seorang wanita 55 tahun datang ke UGD dengan keluhan nyeri dada yang memberat
sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, disertai dengan keringat dingin, mual dan

135
muntah. Keluhan ini kemudian diperberat dengan sesak napas. EKG menunjukkan ST
elevasi pada lead II, III, aVF. Diagnosis yang ditegakkan adalah Akut STEMI inferior
Killip II dan pasien segera diperispakan untuk menjalani Primary PCI.
Pada saat dilakukan primary PCI, operator sangat sulit melakukan kanulasi pada RCA,
sehingga dilakukan aortografi dan terlihat adanya regurgaitasi aorta yang berat
dengan flap di ascending aorta.

3. Seorang Perwira polisi berusia 38 tahun dengan hipertensi dan obesitas dirujuk dari
RS lain dengan keluhan nyeri hebat pada kedua ekstremitas bawah. Pada
pemeriksaan fisik di RS tersebut ditemukan pulsasi pada kedua arteri femoralis
sangat melemah dengan perabaan extremitas yang dingin. Diagnosis yang ditegakkan
adalah Iskemia tungkai akut (acute limb ischemia) dengan tujuan rujukan adalah
dilakukannya revaskularisasi. Komunikasi dengan Spesialis Jantung dan Pembuluh
darah yang merujuk pasien tersebut sangat bermanfaat, karena dari anamnesis yang
cermat dari dokter yang bersangkutan diketahui bahwa sebelum terjadi nyeri pada
kedua ekstremitas, terdapat nyeri punggung yang berat, namun kemudian nyeri pada
kedua tungkai lebih mendominasi keluhan pasien.
Anamnesis yang cermat ini membuat kecurigaan iskemia tungkai akut bukan
disebabkan oleh oklusi bifurkasio Aorto-iliaka akibat tromboemboli/in-situ
thrombosis, sehingga upaya diagnostic dengan melakukan CT aorta segera dilakukan
saat pasien tiba di UGD. CT aorta kemudian memperlihatkan adanya diseksi aorta
Stanford B, DeBakey III degan true lumen yang mengecil dan praktis terkompresi
akibat tekanan dari false lumen pada level aorta abdominalis.

4. Seorang pekerja Indonesia di Kamboja dengan obesitas datang ke UGD RS Harapan


Kita dengan keluhan sesak napas berat, mual, muntah dan oligouria. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan tingginya kadar ureum/creatinine (229 / 7.7). Pasien ini
didiagnosis sebagai gagal ginjal akut (Acute Kidney Injury) dengan persiapan untuk
dilakukan Hemodialysis sesegera mungkin. Eksplorasi informasi pada pasien ini
kemudian memberikan informasi yang sangat berharga: Pasien ini memiliki
hipertensi yang tidak terkontrol dan sebelum mengalami sesak napas dan oligouria
pasien mengalami nyeri punggung yang hebat. Pasien kemudian dirujuk ke Malaysia
dan dilakukan CT Aorta.
CT Aorta memperlihatkan adanya diseksi aorta dengan flap yang menutup kedua
arteri renalis, sehingga terjadi iskemia organ. Sayangnya, upaya korektif tidak
dilakukan dan pasien justru dipulangkan.

5. Seorang laki-laki 51 tahun dirujuk ke UGD Harapan Kita dengan diagnosis Disesksi
Aorta Stanford B, Debakey III. Dari anamnesis yang seksama pada pasien ini diketahui
bahwa ia mangalami kelumpuhan ekstremitas bawah bilateral secara tiba-tiba,
sehingga rujukan awal yang diberikan adalah kepada sejawat Neurologi. Kemudian
dilakukan MRI medulla spinalis dan pada saat dilakukan evaluasi, secara tidak sengaja
terlihat adanya diseksi pada aorta descenden.

Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan diagnosis diseksi aorta kadangkala tidak terlalu
mudah ditegakkan, sehingga pertimbangan mengenai diagnosis banding dengan
pemeriksaan-pemeriksaan baik fisik maupun penunjang yang tepat sangat diperlukan.
136
Beberapa petunjuk Klinis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang sederhana
yang dapat digunakan untuk meingkatkak kecurigaan ke arah diseksi aorta diantaranya:

1. Nyeri dada/punggung
2. Perbedaan tekanan darah 4 ekstremitas
3. Murmur early diastolic
4. Foto Thorax: pelebaran mediastinum, double contour, effuse pleura
5. USG/echocardiography : adanya gambaran flap pada asceding aorta/aorta abdominal
6. D-Dimer yang tinggi

Terdapat anjuran strategi terbaik untuk memastikan diagnosis penyakit mematikan yang
ditandai dengan keluhan nyeri dada yang disebut triple rule out strategy, yaitu melakukan CT
scan pada daerah thorax untuk mengevaluasi arteri coroner, aorta dan arteri pulmonalis.
Dengan strategi ini diharapkan kegawatan berupa sindroma koroner akut, diseksi aorta dan
emboli paru tidak terlewatkan

Kepustakaan
1. Upadhye S, Schiff K. Acute aortic dissection in the emergency department: diagnostic
challenges and evidence-based management. Emerg Med Clin North Am.
2012;30(2):307-27
2. Halpern EJ, Triple-rule-out CT angiography for evaluation of acute chest pain and
possible acute coronary syndrome. Radiology. 2009; 252(2):332-45
3. Adiarto S, Taofan, Indriani S, Sunu I, Dakota I, Kaligis RWM, Diseksi aorta dengan
presentasi Klinis iskemia tungkai akut dalam Senarai Kasus Kardiovaskular, Jakarta
2018
4. Crawford TC. , Beaulieu RJ, Ehlert BA, Ratchford EV, Black JH, Malperfusion
Syndromes in Aortic Dissection. Vasc Med. 2016; 21(3): 264–273.

137
Syncope and Epigastric Pain: What Do They Have In Common?

Vienna Rossimarina
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Latar Belakang
Keluhan sinkop dan nyeri epigastrium sering sekali ditemukan dalam praktik sehari-
hari, terutama di Unit Gawat Darurat (UGD). Sinkop didefinisikan sebagai kehilangan
kesadaran sementara (onset cepat, durasi singkat, dengan pemulihan spontan dan tanpa
residual) akibat hipoperfusi serebri global.1 Sering pasien datang dalam kondisi compos
mentis tanpa gejala residual, dengan sekitar 60% etiologinya adalah reflex syncope, 15%
karena hipotensi ortostatik, dan sekitar 15% lainnya akibat masalah aritmia jantung
dan/atau struktural jantung.1 Oleh sebab itu, sinkop sering dianggap kondisi yang berisiko
rendah, kemudian pasien dipulangkan. Begitu pula halnya dengan nyeri epigastrium. Pasien
dengan nyeri epigastrium umumnya datang dengan kondisi stabil, sehingga pada triase di
UGD dikategorikan sebagai pasien zona hijau. Pada kondisi yang berat, diagnosis kerja
tersering adalah pankreatitis atau ulkus peptikum (termasuk gastritis dan spektrumnya).2
Karena etiologinya diduga sebagai masalah dari sistem pencernaan, maka pasien akan
segera dirujuk ke dokter penyakit dalam.
Meskipun pada umumnya keluhan sinkop dan nyeri epigastrium terjadi pada sistem
organ yang secara anatomi sangat jauh jaraknya, pada kasus tertentu kedua keluhan yang
tampaknya “jinak’ ini memiliki benang merah. Sayangnya hal ini sering luput oleh dokter
ataupun paramedik yang bekerja di lini pertama seperti UGD padahal pada kasus tertentu
tersebut mortalitas dan morbiditasnya tinggi. Presentasi ini akan menunjukkan benang
merah antara kedua keluhan tersebut.

Ilustrasi Kasus 1
Perempuan 71 tahun dengan riwayat pingsan 2 hari sebelumnya saat sedang
istirahat. Durasi kurang dari 5 menit, tanpa disertai gejala nyeri dada ataupun pusing
berputar sebelumnya. Tidak ada keringat dingin maupun mual. Dari RS sebelumnya pasien
didiagnosis dengan bradikardia simtomatik ec degeneratif dan mendapat terapi SA 0,5 mg
intravena (namun tidak ada respon perbaikan) sehingga diberikan Dopamin intravena 3
mcg/kg/mnt dan dirujuk untuk dilakukan pemasangan pacu jantung. Saat di UGD, pasien
tampak sakit ringan, compos mentis, dengan tekanan darah 104/51 mmHg, frekuensi nadi
40 x/mnt, frekuensi napas 14 x/mnt, pasien BB 45 kg dan tinggi badan 150 cm. Dari
pemeriksaan jantung S1-S2 normal dan regular, tidak ada murmur ataupun gallop,
ditemukan kardiomegali ringan dari pemeriksaan batas jantung. Pasien juga baru
mengetahui menderita diabetes mellitus (DM) dalam 1 bulan terakhir. Berikut ini EKG yang
dari RS pengirim (gambar 1 dan 2) dan EKG saat tiba di UGD RS tipe A (gambar 3):
138
Gambar 1. EKG dari RS pengirim

Gambar 2. EKG dari RS pengirim

139
Gambar 3. EKG di RS tipe A

Pasien didiagnosis dengan Total AV Block (TAVB) ec degeneratif, acute kidney injury
(AKI) dd/ acute on chronic kidney disease (CKD) Stadium V (Cr 3.0, eGFR 15), dan DM tipe 2.
Pasien lalu direncanakan untuk pemasangan Temporary Pace Maker (TPM). Direncanakan
pemeriksaan enzim jantung namun sayangnya belum dilakukan hingga pasien dilakukan
pemasangan TPM.
Selama observasi, pasien terpantau mengalami perbaikan hemodinamik dengan
topangan TPM. Pasien tidak ada keluhan, dan Cr perbaikan (pada hari ke-3 perawatan, Cr
1,5). Pasien juga terjadwal untuk pemasangan PPM. Berikut in EKG selama observasi selama
3 hari (gambar 4 – 5):

Gambar 4. EKG hari pertama pascapemasangan TPM

140
Gambar 5. EKG pada hari ketiga perawatan

Saat mengevaluasi ulang EKG, pasien dicurigai mengalami Infark miokard akut
dengan ST elevasi (IMA EST) anteriolateral sehingga dilakukan pemeriksaan enzim jantung
pada hari ketiga perawatan dengan hasil hs troponin T 2862 pg/dL. Pasien pun didiagnosis
dengan IMA EST anterolateral onset 5 hari Killip I dengan TAVB intermitten. Pasien pun
direncanakan untuk dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP). Sementara persiapan IKP,
pemeriksaan echokardiografi menunjukkan data yag mendukung berupa penurunan fungsi
sistolik jantung (EF 45%) dengan gangguan gerak dinding jantung segmental yaitu akinetik
pada segmen basal hingga mid anterior dan anteroseptal serta apikoanterior, ditemukan
pula efusi perikard ringan. Hasil koroangiografi menunjukkan total oklusi pada osteal LAD
dan stenosis yang tidak bermakna pada RCA, akhirnya dilakukan pemasangan 1 stent di LAD.
Pasien mengalami perbaikan dan akhirnya dipulangkan pada hari kesembilan perawatan
dengan irama jantung sudah kembali ke sinus (gambar 6) serta kadar Cr 0.8.

Gambar 6. EKG pada hari kesembilan perawatan

Pada panduan ESC telah disebutkan bahwa presentasi yang tidak khas pada Sindrom
Koroner Akut (SKA) sering terjadi pada populasi khusus seperti populasi pada usia tua, jenis

141
kelamin perempuan, penyandang DM, penyandang penyakit ginjal kronik, dan penyandang
demensia.3 Oleh sebab itu, anamnesis serta penapisan yang lebih ketat harus dilakukan pada
kelompok populasi di atas. Selain itu, panduan ESC terbaru kembali menekankan berbagai
presentasi EKG yang tidak khas untuk Infark miokard akut dengan ST elevasi (IMA EST). Yaitu
EKG dengan gambaran bundle branch block, irama pacu pada mereka yang menggunakan
pacu jantung permanen, gambaran ST depresi pada sadapan anterior pada kasus infark
miokard posterior, serta gambaran ST depresi pada 8 atau lebih sadapan disertai ST elevasi
pada aVR atau V1 yang menunjukkan obstruksi left main atau left main equivalent. 4
Pada kasus ini, telah terjadi keterlambatan diagnosis IMA EST pada pasien, karena
presentasi klinis yang tidak khas. Pasien datang dengan keluhan sinkop tanpa didahului
ataupun disertai dengan nyeri dada. Keluhan sinkop ini sekilas dapat dijelaskan dengan EKG
yang menunjukkan TAVB, sehingga mengakibatkan hipoperfusi pada serebri akibat curah
jantung yang rendah. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa curah jantung tergantung
pada komponen isi sekuncup jantung dan frekuensi nadi.5 Di saat frekuensi nadi sangat
rendah, dan isi sekuncup jantung tetap sama, maka curah jantung akan turun. Gejala
hipoperfusi juga tampak pada organ renal sehingga pada hari perawatan pertama kadar Cr
pasien naik hingga 3,0, kemudian setelah dilakukan revaskularisasi dan irama kembali ke
sinus Cr perbaikan hingga 0,8. Meskipun demikian, bila dicermati telah tampak gambaran ST
elevasi pada sadapan anterior EKG.
Di samping itu, perlu diingat bahwa pasien memiliki faktor risiko untuk mengalami
SKA yaitu usia tua dan DM. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pada kondisi
tersebut presentasi tidak khas lebih sering terjadi. Penelitian oleh Bayer dkk menemukan
sekitar 20% pasien berusia 70-75 tahun tidak mengalami nyeri dada saat terjadi IMA.6 Čulić
dkk menemukan bahwa perempuan lebih sering mengeluh nyeri bahu kanan atau nyeri
perut saat mengalami IMA.7 Mereka juga menemukan bahwa pasien DM juga sering
mengalami keluhan yang tidak khas.7 Studi oleh Scognamiglio dkk menyimpulkan bahwa
pada penyandang DM terjadi neuropati autoom dan terjadi perubahan ambang nyeri
sehingga tidak merasakan nyeri dada saat infark miokard.8 Berdasarkan data Rotterdam
Study, ditemukan pula bahwa 54% kasus infark miokard yang tidak terdeteksi terjadi pada
perempuan.9
Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya pada EKG saat presentasi awal di UGD, patut
dicurigai terjadi IMA EST. Di sana tampak sedikit ST elevasi disertai T inversi pada sadapan
anterolateral yang sesuai dengan evolusi EKG pada kasus IMA EST. Tentunya pemeriksaan
enzim jantung dapat memperkuat diagnosis tersebut. Apabila hal ini dilakukan sejak awal
tentunya tindakan IKP primer dapat dilakukan lebih cepat, sehingga diharapkan konversi
irama jantung lebih cepat terjadi dan lama rawat pasien bisa lebih singkat.

Ilustrasi Kasus 2
Pria 40 tahun datang ke UGD RS perusahaan dengan nyeri pada ulu hati sejak 2 jam
sebelumnya. Nyeri dirasakan saat bangun tidur. Pasien memiliki riwayat sakit maag yang
cukup berat sebelumnya dan sudah berobat rutin ke dokter spesialis penyakit dalam di RS
142
tersebut. Pasien juga memiliki hipertensi, namun tidak pernah minum obat rutin. Saat itu,
pasien diberikan pantoprazol intravena, dilakukan observasi selama 2 jam di UGD dan pasien
dipulangkan karena keluhan perbaikan. Setelah pulang pasien pergi bekerja, dan 4 jam
kemudian pulang untuk istirahat makan siang. Sayangnya setelah makan, pasien merasa
nyeri ulu hati kembali timbul kali ini dengan intensitas yang lebih berat, sehingga pasien
kembali ke UGD RS perusahaan itu (waktu tempuh kurang dari 10 menit dengan berjalan
kaki). Hanya berselang 15 menit observasi di UGD, pasien dilaporkan kejang dan saat
diperiksa tidak ditemukan nadi sehingga dilakukan resusitasi jantung paru selama hampir 1
jam dengan 5 kali pemberian defibrilasi. Akhirnya pasien mengalami sirkulasi spontan lalu
segera dirujuk ke RS tipe A dalam kondisi terintubasi dan mendapat obat sedasi, serta
topangan Dopamin 7 mcg/kg/mnt.
Pemeriksaan di UGD RS tipe A, saat itu onset 5 jam, ditemukan pasien koma (dengan
pemberian sedasi), tekanan darah 90/50 mmHg, dan nadi 126 x/mnt. Dari pemeriksaan fisik
tidak ada yang bermakna kecuali terdengan rhonki basah halus di basal dan akral yang masih
dingin. Hasil EKG sebagai berikut (gambar 7 dan 8):

Gambar 7. EKG saat di RS Perusahaan

143
Gambar 8. EKG di RS rujukan

Pasien didiagnosis dengan IMA EST inferoposterior akut onset 5 jam Killip IV, dengan
syok kardiogenik pada Post-Cardiac Arrest. Pasien direncanakan untuk dilakukan IKP primer.
Sayangnya saat persiapan, terjadi hipotensi sehingga dilakukan resusitasi terlebih dahulu.
Tindakan IKP primer pun akhirnya ditunda hingga 2 jam kemudian setelah pasien lebih stabil.
Hasil IKP primer juga cukup mengejutkan, yaitu total oklusi pada OM1 tanpa disertai
stenosis pada pembuluh darah lainnya. Selanjutnya dilakukan pemasangan stent di OM1 dan
pasien ditransfer ke Intensive Cardiovascular Care Unit (ICVCU). Selama di ICVCU pasien
mengalami beberapa masalah selain syok kardiogenik, seperti infeksi paru (kemungkinan
terkait penggunaan ventilator), hiperglikemia, dan delirium pascasedasi (sehingga
menyulitkan peyapihan obat sedasi dan ventilator). Akibatnya pasien baru berhasil
diekstubasi pada hari keenam perawatan. Setelah itu pasien mengalami perbaikan dan
dipulangkan pada hari ke-12 perawatan dengan hasil echokardiografi menunjukkan EF 60%
dengan global normokinetik.
Kasus ini sangat unik karena ditemukan presentasi gejala yang atipikal (nyeri
epigastrium) pada pasien laki-laki berusia muda. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan
dengan referensi-referensi yang ada, bahwa presentasi atipikal terjadi pada usia tua atau
144
perempuan.10,11 Faktor yang mungkin berkontribusi dengan gejala yang atipikal tersebut
adalah lokasi infark posterior, dengan denervasi yang lebih dekat dengan sistem
gastrointestinal dibandingkan dinding anterior.2
Dari kasus ini, tampak bahwa nyeri epigastrium ternyata dapat mengindikasikan SKA,
bahkan spektrum terberatnya yaitu IMA EST. Studi yang dilakukan Chowta dkk menemukan
bahwa nyeri epigastrium terjadi pada sekitar 10% pasien IMA EST. Mereka juga menemukan
bahwa sekitar 50% infark miokard inferior datang dengan presentasi gejala atipikal,
termasuk nyeri epigastrium. Jika merujuk pada penelitian yang lebih lama, Framingham
Study dan Honolulu Heart Program Study juga menunjukkan bahwa presentasi dengan gejala
atipikal seperti ini sering terjadi pada kasus infark miokard inferior.13,14 Oleh sebab itu, pada
kasus dengan keluhan nyeri epigastrium (apalagi bila profil pasien mendukung ke arah SKA)
maka pemeriksaan EKG untuk menyingkirkan diagnosis banding ini sebaiknya dilakukan,
dengan target IMA EST dapat terdiagnosis dalam 10 menit sesuai dengan panduan dari ESC.
Kasus ini juga menjadi contoh yang menunjukkan bahwa keterlambatan
mendiagnosis SKA karena presentasi yang atipikal dapat mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mortalitas pasien dengan
syok kardiogenik bisa mencapai 40-60%, bahkan bila diberikan topangan alat hemodinamik
seperti intraaortic balloon counterpulsation (IABP).15,16 Morbiditas pasien juga tinggi,
sehingga memperlama durasi perawatan. Delirium, seperti yang dialami oleh pasien, terjadi
pada 60-80% pasien dengan ventilasi mekanik yang dapat mengakibatkan gangguan kognitif
dan mortalitas yang lebih tinggi. Begitu juga dengan pneumonia terkait ventilator, yang juga
meningkatkan durasi perawatan dan mortalitas hingga 33-50% pada pasien dengan ventilasi
mekanik dan bergantung pada kondisi klinis dan morbiditas pasien.18 Oleh sebab itu,
pencegahan komplikasi IMA EST dengan cara mendiagnosis dengan cepat dan tepat menjadi
ujung tombak mengurangi mortalitas dan morbiditas.

Ringkasan
Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa sinkop dan nyeri epigastrium tidak selalu
“jinak” dan bisa mengakibatkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Meskipun kedua
keluhan itu memiliki lokasi yang jauh jaraknya secara anatomi, sehingga tidak saling
berhubungan, ternyata mereka bisa saja memiliki benang merah etiologi yang sama. Pada
pasien dengan sinkop dan nyeri epigastrium, terutama pada yang memiliki faktor risiko,
pemeriksaan EKG sangat penting dilakukan untuk menapis infark miokard sebagai
etiologinya.

Daftar Pustaka
1. Sutton R. Clinical Classification if Syncope. Prog Cardiovasc Dis. 2013; 55: 339-344.
2. Abdullah M, Firmansyah MA. Diagnostic Approach and Management of Acute
Abdominal Pain. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 2012; 44:344-350.

145
3. Roffi M, Patrono C, Collet JP, et al. 2015 ESC Guidelines for the Management of Acute
Coronary Syndromes in Patients Presenting Without Persistent ST-segment Elevation.
Eur Heart J. 2015; 1-59.
4. Ibanez B, James S, Agewall S, et al. 2017 ESC Guidelines for the Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-segment Elevation. Eur Heart J.
2017; 1-66.
5. Bab hemodinamik buku ajar
6. Bayer AJ, Chadha JS, Farag RR, et al. Changing Presentation of Myocardial Infarction
with Increasing Old Age. J Am Geriatr Soc. 1986; 34:263-266.
7. Čulić V, Eterović D, Mirić D, et al. Symptom Presentation of Acute Myocardial
Infarction: Influence of Gender, Age and Risk Factors. Am Heart J. 2002; 144: 1012-
1017.
8. Scognamiglio R, Negut C, Ramondo A, et al. Detection of Coronary Artery Disease in
Asymptomatic Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. J Am Coll Cardiol. 2006; 47: 65-
71.
9. de Torbal A, Boersma E, Kors JA, et al. Incidence of Recognized and Unrecognized
Myocardial Infarction in Men and Women Aged 55 and Older: the Rotterdam Study.
Eur Heart J. 2006; 27:729-736.
10. Canto JG, Fincher C, Kiefe CI, et al. Atypical Presentations Among Medicare
Beneficiaries with Unstable Angina Pectoris. Am J Cardiol. 2002; 90:248–253.
11. Mackay MH, Ratner PA, Johnson JL, et al. Gender Differences in Symptoms of
Myocardial Ischaemia. Eur Heart J. 2011; 32: 3107–3114.
12. Chowta KN, Prijith PD, Chowta MN. Modes of Presentation of Acute Myocardial
Infarction. Indian J Crit Med. 2005; 9:151-154.
13. Morgols JR. Kannel WB. Clinical Features of Unrecognised Myocardial Infarction:
Silent and Symptomatic (the Framingham Study. Am J Cardiol. 1973; 32:1-7.
14. Katsuhiko Y, MacLean CJ. The Incidence and Prognosis of Unrecognized Myocardial
Infarction in the Honoluu, Hawai Heart Program. Ann Intern Med. 1989; 149:1528-
1532.
15. Cooper HA, Panza JA. Cardiogenic Shock. Cardiol Clin. 2013; 31:567-580.
16. Fuernau G, Thiele H. Intra-aortic Balloon Pump in Cardiogenic Shock. CUrr Opin Crit
Care. 2013; 19:404-409.
17. Schenone AL, Chen K, Andress K, et al. Sedation in the Coronary Intensive Care Unit:
An Adapted Algorithm for Critically Ill Cardiovascular Patient. European Journal:
Acute Cardiovascular Care. 2018; 1-9.
18. Kalanuria AA, Zai W, Mirski M. Ventilator-associated Penumonia in the ICU. Critical
Care. 2014; 18:208-2015.

146
Penyakit Jantung Bawaan Kritis

Yovi Kurniawati
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah jenis kelainan bawaan yang sering didapatkan, dgn insiden 7-
­‐9 dari setiap 1000 bayi baru lahir (1% dari kelahiran). Penyakit jantung bawaan adalah penyebab
kematian terbesar pada bayi dengan kelainan bawaan, sebanyak 28% terjadi pada bulan pertama
dan sekitar 50% terjadi pada bulan kedua sampai 1 tahun pertama.

Penyakit Jantung Bawaan Kritis merupakan kelompok dari PJB dengan gejala dan kondisi yang berat
serta mengancam jiwa, biasanya berhubungan dengan kadar oksigen darah yang rendah
(hypoxemia) . Golongan penyakit ini memberikan memberikan kontribusi yang cukup bermakna
pada jumlah kematian akibat PJB dibandingkan dengan kelainan lain. Sebagian besar kelompok kritis
ini adalah PJB dengan duct dependent. Dengan menutupnya duktus arteriosus saat lahir akan terjadi
perburukan hemodinamik dan menimbulkan kegawatan dan kematian.

Kelainan struktural jantung yang terjadi memerlukan intervensi segera sehingga keterlambatan
dalam diagnosis dan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan tersier akan meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas. Bayi dengan PJB kritis memerlukan tindakan pembedahan atau intervensi
transkateter dalam tahun pertama kehidupan. Dengan intervensi dini, mortalitas neonatal akibat PJB
akan menurun dari 2-­‐3/1000 menjadi 0,6-­‐ 0,8/1000 kelahiran hidup. Selain itu factor-­‐faktor
penting lain yang berhubungan dengan kelainan kongenital seperti berat badan lahir rendah,
prematuritas, masalah paru, hipertensi pulmonal yang menetap, sepsis juga berpengaruh terhadap
outome bayi dengan PJB.

Bayi dengan PJB kritis mempunyai satu atau lebih kelainan jantung yang spesifik. Kelainan jantung
yang diklasifikaskan sebagai PJB kritis diantaranya; D-­‐transposition of the great arteries ,
hypoplastic left heart syndrome , pulmonary atresia with intact ventricular septum, interrupted
aortic arch, coarctation of the aorta, total anomalous pulmonary venous connection, tetralogy of
Fallot, tricuspid atresia . Pada kepustakaan lain juga juga menggolongkan double-­‐outlet right
ventricle, Ebstein anomaly, , single ventricle, critical aortic stenosis, critical pulmonary stenosis dan
truncus arteriosus sebagai PJB Kritis.

Persistent Ductus Arteriosus (PDA) pada Penyakit Jantung Bawaan Kritis


Saat periode fetal , terdapat pembuluh darah yang hubungan antara aorta dengan arteri pulmonalis
yaitu ductus arteriosus. Pembuluh darah ini merupakan bagian yang penting pada sirkulasi fetal, dan
biasanya akan menutup sesaat setelah lahir. Beberapa PJB kritis

147
merupakan kelainan jantung tipe duct dependent . Neonatus dengan PJB kritis mungkin tidak terlihat
simptomatik saat lahir karena ductus arteriosus yang tetap terbuka sesaat setelah lahir. Keluhan dan
gejala , seperti asidosis, syok, sianosis bahkan kematian , bisa terlihat setelah bayi rawat jalan (
beberapa hari ) yang disebabkan oleh penutupan ductus arteriosus. Bayi dengan duct dependent PJB
memerlukan terapi/obat untuk mempertahankan agar ductus arteriosus tetap terbuka, sehingga
aliran darah ke paru atau bagian tubuh yang lain tetap terjaga

PJB dengan Sirkulasi yang tergantung pada Ductus Arteriosus


PJB pada neonatus dengan sirkulasi yang tergantung pada duktus artreriosus ini terbagi dalam 3
grup, yaitu : (1) PJB dengan sirkulasi paru yang tergantung pada duktus arteriosus, dimana sirkulasi
paru tergantung pada pirau dari kiri ke kanan melalui duktus arteriosus, (2) PJB dengan sirkulasi
sistemik yang tergantung pada duktus arteriosus, dimana sirkulasi sistemik tergantung pada pirau
dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus, dan (3) PJB dengan percampuran darah yang tergantung
pada duktus arteriosus, dimana diperlukan percampuran aliran darah yang baik antara sirkulasi paru
dan sirkulasi sistemik melalui duktus arteriosus.

PJB dengan sirkulasi paru yang tergantung pada duktus arteriosus.


Yang masuk dalam kelompok ini adalah PJB dengan sirkulasi paru yang tergantung pada aliran pirau
dari kiri ke kanan melalui duktus arteriosus karena terdapat obstruksi aliran darah yang berat atau
buntu pada alur keluar ventrikel kanan atau dari jantung ke sirkulasi paru. Contoh PJB kelompok ini
adalah valvar pulmonary stenosis (PS) berat atau krtitikal, tetralogy of Fallot (TOF) dengan PS yang
berat, dan pulmonary atresia (PA) dengan atau tanpa ventricular septal defect (VSD). Penampilan
klinis pada kelainan ini adalah sindrom sianosis, yaitu sianosis sejak lahir yang bertambah dengan
menutupnya duktus arteriosus pada minggu pertama kehidupan. Aliran darah ke paru akan makin
berkurang dan bayi akan terlihat makin sianosis diikuti hipoksia berat dan asidosis.

PJB dengan sirkulasi sistemik yang tergantung pada duktus arteriosus.


Pada kelompok ini sirkulasi sistemik tergantung pada pirau dari kanan ke kiri melalui duktus
arteriosus karena adanya obstruksi yang berat atau buntu pada alur keluar ventrikel kiri atau dari
jantung ke sirkulasi sistemik. Contoh PJB kelompok ini adalah valvar aortic stenosis (AS) yang berat
atau kritikal, aortic atresia, coarctation of the aorta (CoA) dan hypoplastic left heart syndrome
(HLHS). Dengan menutupnya duktus arteriosus pada minggu pertama kehidupan akan terjadi
perburukan sirkulasi sistemik dan hipoperfusi perifer. Penampilan klinis bayi dengan kelainan ini
adalah sindrom distress kardio-­‐respirasi, yaitu gagal jantung dengan dispnea dan hepatomegali.
Pada keadaan yang berat dapat langsung timbul sindrom syok kardio-­‐vaskuler akibat tidak
adekwatnya aliran darah sistemik. Bayi terlihat pucat, dingin, nadi tidak teraba, takipnu dan gagal
nafas.

PJB dengan percampuran darah yang tergantung pada duktus arteriosus.


Pada kelompok ini diperlukan percampuran darah yang baik antara sirkulasi paru dan sirkulasi
sistemik melalui duktus arteriosus. Contoh PJB pada kelompok ini adalah transposition of the

148
great arteries (TGA) dengan intact ventricular septum (IVS), dimana sirkulasi darah sistemik dan
sirkulasi darah paru terpisah dan berjalan parallel. Kelangsungan hidup bayi yang lahir dengan
kelainan ini sangat tergantung dengan adanya percampuran darah balik vena sistemik dan vena
pulmonalis yang baik. Bila tidak ada percampuran yang baik melalui lubang di sekat atrium atau
sekat ventrikel maka pada saat duktus arteriosus menutup akan timbul sindrom sianosis, yaitu bayi
akan terlihat makin biru, hipoksia dan asidosis.

Penapisan PJB Kritis


Penapisan untuk PJB kritis dapat dilakukan ketika bayi berusia 1-­‐2 hari. Bayi dengan PJB kritis
memiliki risiko yang bermakna untuk terjadinya kematian atau disabilitas jika kondisi ini tidak
diketahui dengan cepat. Salah satu cara penapisan PJB kritis dilakukan dengan menggunakan pulse
oximetry dengan target penapisan dilakukan pada pasien-­‐pasien dengan kelainan:
14. Hypoplastic left heart syndrome
15. Pulmonary atresia
16. Tetralogy of Fallot
17. Total anomalous pulmonary venous return
18. Transposition of the great arteries
19. Tricuspid atresia
20. Truncus arteriosus
Penapisan dengan menggunakan pulse oxymetri dikatakan positif jika didapatkan saturasi oksigen
<90% , dan tidak diperlukan tes ulangan. Ambang batas saturasi adalah <95% dan adanya perbedaan
>4% antara saturasi tangan kanan dan kaki. Bayi dengan hasil tes pulse oximetry yang positif harus
dilakukan pemeriksaan ekokardiogram untuk menentukan diagnosis.

Presentasi Klinis PJB Kritis


Bayi baru lahir dengan PJB dapat simptomatik atau asimptomatik. Penampilan klinis bayi baru lahir
dengan PJB yang simptomatik biasanya salah satu dari 3 sindrom klinis utama, yaitu sindrom sianosis,
sindrom distres kardio-­‐respirasi dan sindrom syok kardio-­‐vaskuler.

Meskipun bayi dengan PJB kritis tampak terlihat sehat ketika lahir atau sampai beberapa hari setelah
kelahiran, keluhan dan tanda akan segera terlihat, seperti seperti murmur jantung, takipnea,
hipotensi, hipoksemia yang berat, dan sianosis/ differensial cyanosis. Jika tidak ditangani dengan
cepat kondisi ini dapat memburuk menjadi syok, koma, bahkan kematian. Sebagian besar bayi
dengan PJB yang memberikan gejala pada minggu-­‐minggu pertama kehidupan, terjadi karena
adanya perubahan hemodinamik saat kehidupan dari intra-­‐uterin ke ekstra-­‐uterin akibat
penurunan tahanan vaskuler paru, peningkatan tahanan vaskuler sistemik, penutupan duktus
arteriosus, penutupan foramen ovale dan penutupan duktus venosus. Perburukan kondisi ini akan
terjadi pada PJB dengan sirkulasi paru ataupun sistemik yang tergantung pada duktus arteriosus
(duct dependent circulation) pada saat PDA mulai mengecil dan menutup pada awal kehidupan .
Infus prostaglandin E1 (PGE1) harus segera diberikan untuk mempertahankan duktus arteriosus
tetap terbuka sambil dirujuk dan dipersiapkan untuk dilakukan intervensi non bedah ataupun bedah
sege

149
Sindrom sianosis
Umumnya bayi yang memperlihatkan sindrom sianosis pada awal kehidupan adalah PJB dengan
duct dependent, misalnya TGA, PA dengan atau tanpa ventricular septal defect (VSD), trikuspid
atresia, total anomaly pulmonary venous drainage (TAPVD), TF dengan PS berat dan PJB biru
kompleks lainnya.

Sindrom distres kardio-­‐respirasi


Presentasi klinis sindrom ini yang menonjol adalah gagal jantung dengan sesak nafas dan
hepatomegali. Sindrom ini akan timbul pada usia 2 minggu pertama kehidupan bayi dengan CoA,
IAA dan AS kritis yang semuanya adalah PJB dengan duct dependent. Dapat juga timbul pada bayi
usia 3 dan 4 minggu dengan VSD besar, complete atrio-­‐ventricular septal defect (CAVSD), trunkus
arteriosus dan single ventrikel yang tanpa hambatan aliran ke paru.

Sindrom syok kardio-­‐vaskuler


Sindrom syok kardio-­‐vaskuler pada bayi baru lahir dapat terjadi pada tahap perburukan
hemodinamik akibat PJB yang berat. Pada sindrom ini masalah utamanya adalah akibat tidak
adekwatnya aliran darah sistemik. Kadang sebelumnya ditandai sesaat dengan kemampuan
mengisap yang cepat menurun dan timbulnya pucat atau mottling diseluruh tubuh. Penyebab
utamanya adalah HLHS (AS berat atau atresia dan hipoplastik ventrikel kiri serta katup mitral), CoA
dan IAA.

DAFTAR PUSTAKA:
21. Association of State and Territorial Health Officials. Critical Congenital Heart Disease.
www.astho.org
22. Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA and Gutgesell HP. Heart Failure and
Shock. In Clinical Synopsis of Moss and Adam’s Heart Disease in Infants, Children, and
Adolescents. Williams and Wilkins Co., Baltimore, 797–827, 1998.
23. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ and Neish SR. Neonatology. In The Science and Practice
of Pediatric Cardiology. Second Edition. Williams and Wilkins Co., Baltimore, 2833–2848,
1998.
24. Harold JG. Screening for Critical Congenital Heart Disease in Newborns. Circulation,
2014;130: e79-­‐e81.
25. Marino BS, Bird GL, Wernovsky G. Diagnosis and Management of The Newborn with
Suspected Congenital Heart Disease. In Cardiovascular Disease in The Neonate. Edited
by Wernovsky G and Rubenstein SD. W.B. Saunders Co, Philadelphia, Clinics in
Perinatology: Vol 28, No 1, 91 – 136, March 2001.
26. Olney RS, Ailes EC, Sontag MK. Detection of Critical Congenital Heart Defects: Review of
Contributions from Prenatal and Newborn Screening. Semin Perinatol. 2015 Apr; 39(3):
230-­‐37.
150
27. Park MK. Manifestations of Cardiac Problems in The Newborn. In Pediatric Cardiology
for Practitioners. Third Edition. Mosby Co., St. Louis, 374–398, 1996.
28. Yun SW. Congenital Heart Disease in Newborn Requiring Early Intervention. Korean J
Pediatr.2011;54(5): 183-­‐91.

151
152

You might also like