31st WECOC 2019 PDF
31st WECOC 2019 PDF
31st WECOC 2019 PDF
Penerbit:
Yayasan Kardiovaskular Indonesia
1
KOMPILASI MAKALAH
31st WEEKEND COURSE ON CARDIOLOGY (WECOC) 2019
Panitia Pelaksana:
Steering Committee:
2
dr. Rarsari Soerarso, SpJP
Prof.Dr.dr. Bambang Budi Siswanto, SpJP(K)
dr. Poppy S. Roebiono, SpJP(K)
dr. Siska Suridanda Dani, SpJP
Prof.Dr.dr. Budhi Setianto, SpJP(K)
Dr.dr. Anwar Santoso, SpJP(K)
Dr. Amir Aziz Alkatiri, SpJP
Reviewer:
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)
Prof. Dr. dr. Bambang B. Siswanto, SpJP(K)
Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K)
Dr. dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP(K)
Dr. dr. Doni Firman, SpJP(K)
dr. B. R. M. Ario S. Kuncoro, SpJP(K)
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K)
dr. Renan Sukmawan, ST, PhD, SpJP(K)
dr. Sunu B. Raharjo, PhD, SpJP(K)
dr. Siska S. Danny, SpJP(K)
Editor:
dr. Ade M. Ambari, SpJP
dr. Amir. A. Alkatiri, SpJP
Dr. dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP(K)
Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP(K)
Prof. Dr. dr. Bambang B. Siswanto, SpJP(K)
dr. Bambang Dwiputra, SpJP
dr. Celly A. Atmadikoesoemah, SpJP
dr. Dafsah A. Juzar, SpJP(K)
Dr. dr. Doni Firman, SpJP(K)
dr. Elen, SpJP
dr. Estu Rudiktyo, SpJP
Dr. dr. Indriwant S. Atmosudigdo, SpJP(K)
dr. Nani Hersunarti, SpJP(K)
dr. Oktavia Lilyasari, SpJP(K)
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K)
dr. Rakhmad Hidayat, SpS(K)
dr. Rarsari S. Pratikto, SpJP(K)
dr. Renan Sukmawan, ST, SpJP(K), PhD., MARS
dr. Rina Ariani, SpJP(K)
dr. Siti E. Nauli, SpJP(K)
3
dr. Sony H. Wicaksono, SpJP(K)
dr. Suci Indriani, SpJP(K)
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)
dr. Yovi Kurniawati, SpJP
Managing Editor:
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)
Penerbit:
Yayasan Kardiovaskular Indonesia
Redaksi:
Jl. Let. Jend S. Parman Kav. 87, Slipi Jakarta Barat 11420
Telp: (021) 5684093
Fax : (021) 5608902
Website : www.wecoc.id
Email: [email protected]
Hak cipta dipegang oleh WECOC dan dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian maupun seluruh isi buku ini
dengan cara maupun bentuk apapun tanpa seizin dari panitia WECOC.
4
KATA PENGANTAR KETUA PANITIA
Salam kepada semua peserta!
Mewakili seluruh jajaran panitia, saya mengucapkan selamat datang di Weekend Course on
Cardiology (WECOC) ke-31 Acara ini selenggarakan oleh Yayasan Kardiovaskular
Indonesia da didukung oleh Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Universitas
Indonesia. Melalui pertemuan tahunan ini, kami berharap dapat menjalin kerja sama untuk
mengurangi permasalahan penyakit jantung di Indonesia.
Tidak lupa kami ingin mengungkapkan rasa terima kasih kami kepada seluruh jajaran
Fakultas Kedokteran, tamu kehormatan kami dari rumah sakit jejaring dan ilmu kesehatan
lainnya seperti kedokteran olahraga, rekan industri kami, serta seluruh pihak yang telah
memberikan dukungan untuk terlaksananya WECOC yang ke-31. Tentunya seluruh
rangkaian acara tidak dapat terlaksana tanpa kehadiran seluruh peserta, yang telah datang
dari seluruh penjuru Indonesia untuk menghadiri WECOC ke-31. Merupakan suatu
kehormatan bagi Kami, Anda semua dapat bergabung dengan kami.
Kami berharap agar acara ini dapat dinikmati oleh seluruh pihak dan dapat bermanfaat
dalam perkembangan pelayanan kedokteran jantung dan pembuluh darah di Indonesia.
Salam Hangat
5
KATA PENGANTAR
Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Program ilmiah akan membahas tentang ilmu pengetahuan yang mutakhir dan terdepan
dalam penanganan kardiovaskular untuk para SpJP serta spesialis dalam bidang lain dan
dokter umum dengan menekankan pada pentingnya kolaborasi dan profesionalisme untuk
penanganan serta memperbaiki luaran tatalaksana kardiovaskular yang holistik. Berbagai
workshop dan program lain seperti Cardiology in Jeopardy akan membuat acara ini semakin
meriah.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih sebesar – besarnya kepada para ahli
dari Departemen Neurologi FK UI dan University of Malaya Medical Centre (UMMC), juga
kepada para pembicara sekalian yang berkenan untuk berpartisipasi dan berbagi
pengalaman serta pengetahuan melalui simposium ini. Kami juga sangat menghargai
segenap panitia dan seluruh pihak yang telah bekerja keras demi suksesnya acara ini
Saya yakin simposium ini akan menjadi forum yang efektif untuk para peserta untuk berbagi
pengetahuan dan meningkatkan kolaborasi baru. Saya merasa terhormat Anda dapat
mengikuti acara bergengsi ini dan mengucapkan selamat datang.
Salam Hormat
6
DAFTAR ISI
Halaman judul 2
Kata pengantar ketua panitia 5
Kata pengantar Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI 6
Daftar isi 7
Chest Pain 14
dr. Amir. A. Alkatiri, SpJP
The Role of Neprilysin Inhibitor to Achieve Long Term Chronic Heart Failure 48
Treatment Goal
dr. Celly A. Atmadikoesoemah, SpJP
7
Antihypertensive Drugs and Risk of Cancer 68
Dr. Elen, SpJP
80
Managing Chronic Heart Failure in Special Population
dr. Nani Hersunarti, SpJP(K)
Tatalaksana Hipertensi Terkini Peran Monitor Pengukuran Tekanan Darah di Rumah 104
dr. Rarsari S. Pratikto, SpJP(K)
8
Diseksi Aorta: Satu Penyakit dengan Gambaran Klinis Kritis yang Beragam 135
dr. Suko Adiarto, PhD, SpJP(K)
9
EECP Therapy in Coronary Artery Disease: Does It Really Work?
Ade Meidian Ambari
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Mekanisme yang mendasari efek terapeutik dari EECP berasal dari perbaikan
hemodinamik sentral dan perifer, hal ini disebabkan oleh: perbaikan fungsi endotel,
peningkatan angiogenesis dan kolateral baru, perlambatan aterosklerosis, dan perbaikan
fungsi ventrikel, dan efek latihan pada ekstremitas yang analog dengan latihan gerak pasif.6
Selama fase diastolik, EECP meningkatkan aliran darah balik sehingga meningkatkan aliran
oksigen ke jantung dan arteri koroner. Kemudian, sesaat sebelum fase sistolik, 3 manset
deflasi secara bersamaan, menyebabkan penurunan beban jantung secara signifikan. Urutsn
deflasi inflasi ini akan meningkatkan puncak tekanan diastolik, menurunkan tekanan sistolik,
dan menurunkan resistensi vaskuler sistemik.2 Gloecker dkk tahun 2010 melalui uji klinisnya
menunjukkan bahwa EECP secara efektif meningkatkan pertumbuhan kolateral arteri
koroner, sehingga meningkatkan penghantaran oksigen ke miokardium.10 Perbaikan
hemodinamik perifer ditunjukkan dengan peningkatan vaskularisasi perifer, beberapa uji
klinis menunjkkan peningkatan aliran dan dilatasi dari arteri brakialis dan arteri femoralis.8
ECCP menurunkan kekakuan dinding pembuluh darah baik pada pembuluh darah sentral
11
maupun perifer, ditunjukkan dengan penurunan indeks augmentasi dan PVW (Pulse Wave
Velocity ) secara signifikan setelah 35 sesi ECCP.11 Selain itu, ECCP meningkatkan fungsi
endotel dengan mempelambat progresi dari aterosklerosis dan dengan menurunkan
inflamasi pada pembuluh darah. Penelitian oleh Zhang dkk tahun 2010 menunjukkan adanya
perlambatan aterosklerosis setelah ECCP, dibuktikan dengan penurunan ekspresi gen
proinflamasi. Penelitian ini merupakan studi in vivo pada hewan coba. Arteri pada hewan
coba aterosklerosis mengalami penurunan ukuran lesi aterosklerosis, baik pada arteri
koroner maupun pada aorta abdominalis, juga terdapat penurunan signifikan dari akumulasi
makrofag dan ekspresi gen pro-inflamasi (CRP, komplemen 3a, VCAM-1 dan i-NOS, MAPK-
p38 fosforilasi, dan NF-κB).12
REFERENSI:
1. Braith, R. B., Casey, Darren P., Beck, Darren T. 2012. Enhanced External
Counterpulsation for Ischemic Heart Disease: A Look Behind the Curtain. Exerc Sport
Sci Rev. Vol 40 (3) : 145–152. doi:10.1097/JES.0b013e318253de5e
2. Manchanda, A dan Soran, Ozlem. 2007. Enhanced External Counterpulsation and
Future Directions: Step Beyond Medical Management for Patients With Angina and
Heart Failure. Journal of the American College of Cardiology. Vol. 50, No. 16.
doi:10.1016/j.jacc.2007.07.024.
3. Qin, X., Yanye Deng, Dandong Wu, Lehua Yu, Rongzhong Huang. 2016. Does
Enhanced External Counterpulsation (EECP) Significantly Affect Myocardial
Perfusion?: A Systematic Review & Meta-Analysis. PLoS ONE 11 (4): e0151822.
doi:10.1371/journal.pone.0151822.
4. Thakkar, Bhavik V., Alan T Hirsch1, Daniel Satran, Bradley A Bart, Gregory Barsness,
Peter A McCullough, Elizabeth D Kennard, Sheryl F Kelsey and Timothy D Henry.
2009. The efficacy and safety of enhanced external counterpulsation in patients with
peripheral arterial disease. Vascular Medicine. Vol 15(1) 15–20. DOI:
10.1177/1358863X09106549.
5. Prasad, G. N., S. Ramasamy, Joy M.Thomas, Pradeep G. Nayar, Madhu N. Sankar , N.
Sivakadaksham, K. M. Cherian. 2010. Enhanced External Counterpulsation (EECP)
Therapy: Current Evidence For Clinical Practice And Who Will Benefit? Indian Heart J.
Vol 62:296-302.
6. Raza, Anoshia, Kate Steinberg, Joseph Tartaglia, William H. Frishman, Tanush Gupta.
2016. Enhanced External Counterpulsation Therapy: Past, Present, and Future.
Cardiology in Review 2017;25: 59–67). DOI: 10.1097/CRD.0000000000000122.
7. Beck, Darren T., Darren P. Casey, Jeffrey S. Martin, Paloma D. Sardina, M., Randy W.
Braith. 2015. Enhanced External Counterpulsation Reduces Indices Of Central Blood
Pressure And Myocardial Oxygen Demand In Patients With Left Ventricular
Dysfunction. Clin Exp Pharmacol Physiol. Vol 42(4): 315–320. doi:10.1111/1440-
1681.12367.
12
8. Beck, D.T., JS Martin, DP Casey, JC Avery, PD Sardina, M.S., Braith B.W. 2014
Enhanced External Counterpulsation Reduces Indices Of Central Blood Pressure And
Myocardial Oxygen Demand In Patients With Left Ventricular Dysfunction. Clin Exp
Pharmacol Physiol. Vol 41(9): 628–636. doi:10.1111/1440-1681.12263
9. Braith, Randy W. Richard Conti, Wilmer W. Nichols, Calvin Y. Choi, Matheen A.
Khuddus, Darren T. Beck, Darren P. Casey. 2010. Enhanced External Counterpulsation
Improves Peripheral Artery Flow-Mediated Dilation in Patients With Chronic Angina.
Circulation Vol 122: 1612-1620. doi: 10.1161/ CIRCULATIONAHA.109.923482
10. Gloekler, S., Pascal Meier, Stefano F de Marchi, Tobias Rutz, Tobias Traupe, Stefano F
Rimoldi, Kerstin Wustmann, He´le`ne Steck, Ste´phane Cook, Rolf Vogel, Mario Togni,
Christian Seiler. 2009. Coronary collateral growth by external counterpulsation: a
randomised controlled trial. Heart Vol 96 :202e207. doi:10.1136/hrt.2009.184507
11. Casey, Darren P., Darren T. Beck, Wilmer W. Nichols, C. Richard Conti, Calvin Y. Choi,
Matheen A. Khuddus, Randy W. Braith. 2011. Effects of Enhanced External
Counterpulsation on Arterial Stiffness and Myocardial Oxygen Demand in Patients
with Chronic Angina Pectoris. Am J Cardiol. Vol 15; 107 (10): 1466–1472.
doi:10.1016/j.amjcard.2011.01.021.
12. Zhang, Y. Xiaohong He, Donghong Liu, Guifu Wu, Xiaolin Chen, Hong Ma, Zhimin Du,
Yugang Dong, Yafei Jin, Wen He, Kuijian Wang, William E. Lawson, John C.K. Hui,
Zhensheng Zheng. 2010. Enhanced External Counterpulsation Attenuates
Atherosclerosis Progression Through Modulation of Proinflammatory Signal Pathway
Arterioscler Thromb Vasc Biol.Vol 30:773-780. DOI: 10.1161/ATVBAHA.109.197806
13
Chest Pain
PENDAHULUAN
Evaluasi dan tatalaksana pasien dengan sindroma sakit dada merupakan tantangan
diagnostik tiap dokter, terutama yang bekerja di unit gawat darurat. Data amerika serikat
menunjukkan ada 5 juta pasien datang ke UGD dengan keluhan utama sakit dada, mayoritas
penyebabnya non kardiak (lebih dari 55%. Lebih dari 5% dari semua kunjungan unit gawat
darurat berhubungan dengan keluhan yang berkaitan dengan sakit dada. Untuk alasan ini,
perlu dibuat prioritas triase dengan delay minimal dan evaluasi EKG 12 sadapan.
Diagnosis diferensial sindroma sakit dada sangat luas, meliputi kasus yang ringan hingga
yang mengancam nyawa. Diantara penyebab yang mengancam nyama diantaranya sindrom
koroner akut, emboli paru, diseksi aorta, ruptur aorta, penumotoraks dan ruptur esofagus.
Ada diagnosis lain yang tidak kritis, diantaranya sakit muskuloskeletal, herpes zoster,
pneumonia atau refluks gastroesofagus.
DEFINISI
Perbedaan sakit dada dan angina
Angina pektoris adalah sakit dada, tekanan atau ketidaknyamanan substernal yang
dicetuskan oleh aktivitas dan atau stres emosional, berlangsung lebih dari 30-60 detik, dan
berkurang dengan istirahat dan nitrat. 1
ETIOLOGI
Nyeri viseral biasanya memiliki pola distribusi yang tidak jelas, sehingga pasien tidak dapat
menunjukkan lokasi yg spesifik. Ketika menanyakan pasien untuk menunjuk dengan satu jari
lokasi nyeri yang dirasakan, biasanya pasien akan menunjuk ke daerah yg luas dan tidak
spesifik. Sifat nyeri viseral biasanya tumpul, dalam dan rasa seperti tertekan. Nyeri viseral
juga bisa meliputi daerah lain sesuai jalur saraf, meliputi punggung, rahang atau lengan kiri.
Keluhan seperti mual dan muntah juga tanda dari nyeri viseral. Sebalinya nyeri somatik
bersifat lebih spesifik dibandingkan nyeri viseral dan biasanya pasien dapat menunjuk ke
lokasi spesifik. Nyeri somatik juga biasanya tidak menjalar ke bagian lain. Deskripsi nyeri
somatik ini biasanya tajam, stabbing dan poking. 2
EPIDEMIOLOGI
Saat mengevaulasi sakit dada, setiap dokter harus mempertimbangkan penyebab sakit dada
yang mengancam nyawa. Diantaranya dibawah ini beserta prosentase terjadinya di unit
gawat darurat: 3
• Sindrom koroner akut (SKA), 31%
14
• Emboli paru, 2%
• Pneumotoraks
• Tamponade perikard (perikarditis, 4%)
• Diseksi aorta, 1%
• Perforasi esofagus
Penyebab lain yang tidak mengancam nyawa diantaranya:
• Penyakit refluks gastrointestinal, 30%
• Muskuloskeletal, 28%
• Pneumonia/pleuritis, 2%
• Herpes Zoster, 0,5%
• Perikarditis
15
Gambar 1. Penyebab sakit dada selain jantung 4
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus meliputi:
• Tanda vital, termasuk tekanan darah di kedua lengan
• Penampakan umum,meliputi keringat dingin dan distress
• Pemeriksaan distensi vena juguler
• Palpasi dada untuk mengecek nyeri dada dan krepitasi
• Pemeriksaan jantung dan paru
• Pemeriksaan abdomen
• Pemeriksaan ekstremitas (edema nyeri,pulsasi)
Evaluasi
Banyak fasilitas memiliki protokol untuk evaluasi keluhan sakit dada, namun rekomendasi
beberapa fasilitas yang diperlukan:
• Elektrokardiogram (EKG)
• Rontgen thorax
• Pemeriksaan laboratorium darah, terutama enzim jantung Troponin
• MSCT scan
• Ultrasound bedside untuk memastikan tamponade perikard
TATALAKSANA
Sindrom koroner akut
Tatalaksana awal sindrom koroner akut perlu dipahami oleh semua dokter, diantaranya
akses intravena, pemberian oksigen, monitor ekg, pemberian aspirin dan clopidogrel atau
tikagrelor dan kontrol nyeri dengan nitrat ataupun morfin. Pasien dengan STEMI perlu
segera ditangani dengan reperfusi akut, baik trombolitik atau intervensi koroner perkutan
primer (Primary PCI).
Emboli paru
16
Pemeriksaan MSCT scan merupakan pemeriksaan terbaik untuk mengkonfirmasi diagnosis,
selain V/Q scan. Pasien emboli paru dengan hemodinamik yang tidak stabil perlu diberikan
trombolitik. Pasien yang stabil diberikan antikoagulan.
Pneumotoraks
Pasien pneumothoraks harus dilakukan dekompresi dengan tabung plastik kecil (chest tube).
Tamponade perikardium
Ultrasound bedside sangat bermanfaat menegakkan diagnosis. Perlu dilakukan
perikardiosentesis atau dibuat pericardial window untuk mengeluarkan cairan dan
menurunkan tekanan perikardium.
Diseksi Aorta
Seringkali pembedahan emergensi diperlukan, sehingga perlu konsultasi dengan ahli bedah
toraks jantung sesegera mungkin. CT Scan Aorta merupakan pemeriksaan terbaik untuk
mendiagnosis diseksi aorta. Tatalaksana awal meliputi pemberian anti hipertensi intravena
untuk menurunkan tekanan darah dan denyut jantung secepat mungkin.
Perforasi Esofagus
Adanya gambaran efusi pleura kiri pada rontgen dada dapat menjadi tanda ruptur esofagus.
Esofagogram kontras merupakan pemeriksaan terbaik. Diperlukan tindakan bedah segera
untuk mengkoreksi kelainan ini. 5
Rujukan:
1. Kloner RA, Chaitman B. Angina and its management. Journal of Cardiovascular
Pharmacology and Therapeutics
2016; 1-11.
2. Fruergaard P, Launbjerg J, Hesse B. Frequency of pulmonary embolism in patients
admitted with chest pain and suspicion of acute myocardial infarction but in whom
this diagnosis is ruled out. Cardiology. 1996 Jul-Aug; 87(4): 331-4.
3. Fruergaard P, Launbjerg J, Hesse B, Jørgensen F, Petri A, Eiken P, Aggestrup S, Elsborg
L, Mellemgaard K. The diagnoses of patients admitted with acute chest pain but
without myocardial infarction. Eur Heart J 1996 Jul; 17(7): 1028-34.
17
4. Rushton S, Carman MJ. Chest pain. If it is not the Heart, What is it? . Nurs Clin N Am -
2018
5. Shokoohi H, Boniface KS, Zaragoza M, Pourmand A, Earls JP. Point-of-care ultrasound
leads to diagnostic shifts in patients with undifferentiated hypotension. Am J Emerg
Med 2017 Dec;35(12): 1984.e3-1984.e7.
18
Ekokardiografi untuk Sindroma Koroner Akut
Amiliana M. Soesanto
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Pendahuluan
Ekokardiografi merupakan alat diagnostik yang mempunyai peranan penting dalam kasus-
kasus kegawatan di unit gawat darurat (UGD) maupun kasus kritikal di perawatan intensif.
Lebih jauh ekokardiografi juga sudah dimasukkan dalam definisi universal dari akut
miokardial infark1, dan panduan internasional untuk tatalaksana henti jantung.2 Istilah
Sindroma Koroner Akut (SKA) mencakup angina tidak stabil, infark tanpa peningkatan
segmen ST (NSTEMI), dan infark dengan peningkatan segmen ST (STEMI). Diagosis SKA
ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), dan
pemeriksaan biomarker jantung. Tidak jarang diagnosis SKA cukup sulit ditegakkan karena
gejala dan tanda klinis yang ditemukan tidak saling mendukung, bahkan meragukan. Pada
kondisi tersebut ekokardiografi mempunyai peran untuk membantu menegakkan diagnosis
atau menyingkarkan diagnosis. Gejala utama dari SKA adalah sakit dada yang khas.
Kaskade Iskemia
Iskemia akut berkaitan dengan beberapa perubahan biokimiawi dan fisiologis pada jaringan
miokardium. Kaskade iskemi bermula dari perubahan biokimia yang diikuti oleh
abnormalitas fungsi diastolik dan kemudian fungsi sistolik ventrikel kiri.3 Gangguan tersebut
kemudian akan diikuti oleh timbulnya peningkatan biomarker jantung, perubahan EKG, dan
akhirnya timbulnya gejala. Kemampuan mendeteksi adanya iskemia pada fase awal dapat
dilakukan oleh ekokardiografi dengan melihat gangguan diastolic dan sistolik. Hal tersebut
membuat ekokardiografi menjadi hal yang dapat digunakan pada kasus dengan sakit dada
tanpa keluhan dan tanda yang khas untuk SKA. 3
Anamnesis
19
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop4, 5.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral
akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa
untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup
mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik
disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan
diagnosis banding SKA.4, 5
Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia
harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang
gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam
pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior
(II, III, aVF). Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10
menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.4, 5
Pemeriksaan Ekokardiografi
Diagnosis infark miokard akut secara sederhana dapat ditegakkan dengan adanya gejala
klasik dan perubahan EKG. Namun, hanya sepertiga pasien yang mengalami sakit dada tipikal
SKA yang mengalami perubahan EKG. Ekokardiografi 2D telah terbukti bermanfaat untuk
mengidentifikasi abnormalitas gerakan dinding regional jantung dan lebih unggul daripada
metode konvensional untuk mendeteksi infark miokard akut dalam keadaan darurat.7
Temuan abnormalitas gerakan dinding regional jantung merupakan indikator yang relatif
akurat, yaitu sekitar 50%. Selain itu, ekokardiografi berperan untuk mengevaluasi perluasan
disfungsi regional, mendokumentasikan perubahan serial fungsi ventrikel, dan mendiagnosis
komplikasi penting. Pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis SKA dilakukan
terutama saat temuan klinis dan temuan EKG meragukan untuk penegakan diagnosis SKA.8
20
Berdasarkan panduan dari ACCF/ASE/AHA/ASNC/HFSA/HRS/SCAI/SCCM/ SCCT/SCMR
Appropriate Use Criteria for Echocardiography tahun 2011 disebutkan bahwa TTE pada
kondisi sakit dada akut sedang berlangsung dengan kecurigaan infark miokard dan EKG tidak
bersifat diagnostik, maka ekokardiografi saat istirahat (resting echocardiography) dapat
dilakukan (Appropriate Use Score A-9). TTE juga dapat dilakukan untuk evaluasi pasien tanpa
sakit dada namun dengan gambaran lain yang sesuai dengan gambaran iskemia. (ischemic
equivalent) atau marka laboratorium menandakan adanya iskemia (Appropriate Use Score A-
8).9
Keterbatasan utama dari ekokardiografi adalah tidak dapat memvisualisasikan semua
segmen ventrikel, sehingga mempengaruhi keakuratannya dalam menilai penebalan dinding.
Ekokardiografi harmonik jaringan (tissue harmonic echocardiography/THE) menggunakan
transduser yang hanya menerima harmonisasi dari frekuensi yang dipancarkan. THE
mengurangi artefak dan meningkatkan delineasi batas endokardial sehingga dapat
meningkatkan penilaian ketebalan dinding sistolik.7 Pada pasien dengan kecurigaan kuat
SKA, yaitu dengan gejala nyeri dada lebih dari 30 menit, onset kurang dari 6 jam, dan
terdapat abnormalitas EKG, THE dapat menjadi alat untuk menilai risiko (risk assessment)
dengan nilai prediksi negatif 97%, nilai prediksi positif 24% dan sensitivitas 92% dan
spesifisitas 48%. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada iskemia miokard transien, iskemia
kronis (hibernating myocardium), atau skar miokard, miokarditis, kardiomiopati non-
epidemik atau kondisi lain yang tidak terkait dengan oklusi koroner.7 Fungsi sistolik normal
yang didapatkan pada kondisi istirahat tidak dapat meng-eksklusi diagnosis SKA. Pada
keadaan infark subendokardial, mungkin tidak terlihat kelainan pergerakan dinding miokard,
sehingga pemeriksaan ekokardiografi saja dapat menjadi negatif palsu.7
Berdasarkan panduan dari ESC 2017, saat dirawat di rumah sakit, ekokardiografi rutin
direkomendasikan pada semua pasien untuk menilai fungsi ventrikel kiri saat istirahat dan
fungsi ventrikel kanan, mendeteksi awal kompilikasi mekanik paska infark miokard, dan
mengeksklusi keberadaan trombus ventrikel kiri (Kelas I; LOC B). Ekokardiografi gawat
darurat diindikasikan untuk pasien dengan hemodinamik tidak stabil (Kelas I; LOC C). Ketika
21
ekokardiografi suboptimal atau inkonklusif, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pencitraan
lain seperti MRI (Kelas II A; LOC C). Stress echocardiography, MRI, SPECT, atau PET dapat
digunakan untuk menilai iskemia miokardial dan viabilitas terutama pada kasus
penyempitan pembuluh darah koroner multipel (Kelas II B; LOC C). Setelah pulang dari
rumah sakit, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% ekokardiografi
direkomendasikan untuk dapat diulang 6-12 minggu setelah infark miokard, dan setelah
revaskularisasi komplit dan terapi medikamentosa optimal, untuk menilai apakah perlu
dilakukan pemasangan ICD sebagai prevensi primer (Kelas I; LOC C). Ketika ekokardiografi
suboptimal atau inkonklusif, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pencitraan lain seperti MRI
untuk menilai fungsi ventrikel kiri (Kelas II A; LOC C).5
Ekokardiografi dapat digunakan untuk menilai penyebab lain dari sakit dada seperti diseksi
aorta, penyakit jantung katup, perikarditis, miokaditis, emboli paru takotsubo
kardiomiopati/stress induced cardiomyopathy. Pada takotasubo kardiomiopati, sekitar 2%
pasien datang ke UGD dengan presentasi SKA. Pasien biasanya wanita (0,9%) dan
perimenopause. Takotsubo kardiomiopati dapat menyerupai SKA, dengan presentasi sakit
dada disertai dengan perubahan EKG, namun tanpa bukti angiografi SKA. Kasus ini ditandai
dengan disfungsi LV reversibel dengan abnormalitas gerakan dinding regional yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan regio yang diperdarahi arteri koroner. Pada takotsubo, terdapat
akinesia apikal LV yang dinilai melalui ekokardiografi, sehingga ekokardiografi menjadi salah
satu alat diagnostik klinis yang ideal.5
Stratifikasi Risiko dan Analisa terhadap Luaran Klinis pada Sindroma Koroner Akut
22
Ekokardiografi memiliki peran yang penting dalam stratifikasi risiko pada SKA. Secara umum,
ekokardiografi akan sangat membantu untuk menilai fungsi ventrikel kiri sebelum angiografi.
Ekokardiografi dapat memberikan penilaian biplane yang non-invasif, mengidentifikasi
kelainan katup, dan mengevaluasi fungsi jantung kanan. Angiografi ventrikel kiri mungkin
tidak sesuai pada pasien yang sakit kritis dan lebih mudah untuk mendapatkan informasi
yang akurat sebelum dilakukan tindakan invasive dengan melakukan ekokardiografi. Selain
itu, stratifikasi risiko dengan ekokardiografi sangat relevan jika terdapat rencana manajemen
konservatif.11
Pasien dengan abnormalitas gerakan dinding regional yang persisten memiliki tingkat
iskemia kronis yang lebih parah dan berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi.
Ekokardiografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosi dan juga dapat membantu
menentukan keputusan untuk reperfusi, yaitu dengan melihat lokasi dan severitas
abnormalitas gerakan dinding regional. Ekokardiografi juga berperan penting pada pasien
yang tidak berisiko tinggi, tanpa bukti disfungsi ventrikel kiri namun memiliki abnormalitas
gerakan dinding regional yang signifikan. Pasien dengan abnormalitas gerakan dinding
regional yang luas sebaiknya dilakukan ekokardiografi berkelanjutan (follow up) untuk
mendeteksi remodelling LV awal dan komplikasi lainnya, sehingga dapat memengaruhi
penatalaksanaan medis selanjutnya.11
Ekokardiografi dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi adverse event SKA.
Pada sebuah studi oleh Hickman, dkk. sidapatkan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif
positif dan negatif untuk prediksi cardiac event seperti ditunjukkan pada tabel 17
Pada studi ini, grafik Kaplan Meier (Gambar 1) menunjukkan pemisahan yangsignifikan (uji
log rank p = 0,002) dalam angka kesintasan antara pasien dengan dan tanpa kelainan
penebalan dinding jantung yang dinilai dengan ekokardiografi harmonik jaringan/THE.7
Ekokardiografi harmonik jaringan/THE dapat memberikan informasi tambahan, melebihi
temuan klinis dan EKG dalam memprediksi kejadian komplikasi selanjutnya akibat SKA
(Gambar 2).7
Sebuah studi oleh Badetti et all mendapatkan bahwa terdapat tiga variabel prediksi skor
ekokardiografi yang dipilih berdasarkan analisis multivariat Cox, berkisar dari 0 (normal)
hingga 9 (abnormalitas berat fraksi ejeksi, ultrasound lung comets, dan TAPSE) yang secara
akurat dapat memprediksi kesintasan bebas infark (Tabel 2).11
Pada studi ini, grafik Kaplan-Meier menunjukkan hasil kesintasan yang lebih baik untuk
pasien dengan skor ekokardiografi risiko rendah dibandingkan dengan skor ekokardiografi
risiko menengah atau risiko tinggi (log-rank 99,28, p <0,0001; Gambar 3). Selain itu, hasil
stratifikasi risiko SKA yang efektif menggunakan ekokardiografi dan USG paru sebanding
dengan skor TIMI dan GRACE. 11
23
Spesifisitas Sensitivitas Nilai Nilai Univariat Signifikansi
(%) (%) Prediksi Prediksi (X2)
Positif (%) Negatif (%)
Riwayat MI 71 55 52 73 3.9 <0.05
Hipertensi 59 41 36 64 0.0 >0.1
Riwayat 44 55 36 63 0.0 >0.1
merokok
Diabetes 75 24 35 63 0.1 >0.1
EKG 41 72 41 72 1.6 >0.1
abnormal
Deviasi ST 88 14 40 64 0.0 >0.1
T-wave 59 38 64 63 0.1 >0.1
inversion
FE abnormal 46 71 43 74 2.1 >0.1
THE 55 83 51 85 10.0 0.002
abnormal
Tabel 1. Akurasi dari Variabel Klinis, EKG dan Ekokardiografi untuk Memprediksi Cardiac
Event
24
Gambar 2. Grafik Perbandingan Peningkatan Nilai Diagnostik Temuan Klinis, EKG dan
Ekokardiografi dalam Prediksi Cardiac Event pada SKA.
Skor 0 1 2 3
EF >=50% 49-40 39-30% <30%
TAPSE >20 mm 20-15 mm 14-10 mm <10 mm
ULCs <= 5 6-15 16-30 >=30
Daftar Pustaka:
1. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Chaitman BR, Bax JJ, Morrow DA and White HD. Fourth
Universal Definition of Myocardial Infarction (2018). Journal of the American College of
Cardiology. 2018;72:2231-2264.
2. Ancion A, Lancellotti P, Dulgheru R, Galderisi M, Cardim N, Zamorano J-L, Donal E,
Bueno H, Habib G, Price S, Haugaa KH, Edvardsen T, Cosyns B, Neskovic AN, Flachskampf
FA, Hassager C, Pasquet A and Gargani L. The use of echocardiography in acute
cardiovascular care: Recommendations of the European Association of Cardiovascular
Imaging and the Acute Cardiovascular Care Association. European Heart Journal -
Cardiovascular Imaging. 2014;16:119-146.
3. Aboulhosn J, Child J and Otto C. The Role of Echocardiographic Evaluation in Patients
Presenting with Acute Chest Pain to the Emergency Department. In: C. Otto, ed. The
Practice of Clinical Echocardiography Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.
4. Torbicki A, Kastrati A, Vahanian A, Auricchio A, Hoes A, Merkely B, Popescu BA, Deaton
C, Vrints CJ, Funck-Brentano C, Hamm CW, Ceconi C, Moulin C, Dudek D, Hasdai D, Gulba
D, Poldermans D, Zahger D, Boersma E, Falk E, Swahn E, Crea F, Romeo F, Sonntag F,
Neumann F-J, Montalescot G, Bøtker HE, Bueno H, Baumgartner H, Collet J-P, Bassand J-
P, Bax J, Bax JJ, Perk J, Herrmann J, Goudevenos J, Knuuti J, Mehilli J, Kjeldsen K, Huber
K, Badimon L, Neyses L, Ohman M, Roffi M, Valgimigli M, Petrie MC, Bertrand M, Uva
MS, Ruda M, Danchin N, Lancellotti P, Sirnes PA, Widimsky P, Kolh P, Caso P, Hambrecht
R, Fagard R, Storey RF, Kristensen SD, Agewall S, Achenbach S, Gielen S, Windecker S,
Windecker S, McDonagh T, Sechtem U, Dean V, Wijns W, Reiner Ž, Members ATF,
Reviewers D and Guidelines ECfP. ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation: The Task
26
Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
European Heart Journal. 2011;32:2999-3054.
5. Torbicki A, Kastrati A, Fuat A, Maggioni AP, Vahanian A, Budaj A, Gershlick AH, Hoes A,
van't Hof A, Merkely B, Popescu BA, Lundqvist CB, Di Mario C, Deaton C, Funck-Brentano
C, Hamm CW, Ceconi C, Moulin C, Atar D, Hasdai D, Hasdai D, Zahger D, Astin F,
Fernandez-Aviles F, Van de Werf F, Neumann F-J, Verheugt F, Ducrocq G, Baumgartner
H, Collet J-P, Bax JJ, Knuuti J, Knuuti J, Åström-Olsson K, Fox KA, Dickstein K, Mahaffey
KW, Huber K, Wallentin L, Badano LP, Valgimigli M, Piepoli MF, Lenzen MJ, Borger MA,
Tendera M, Gustiene O, Giannuzzi P, Lancellotti P, Kirchhof P, Sirnes PA, Clemmensen P,
Juni P, Kala P, Widimsky P, Steg PG, Kolh P, Fagard R, Halvorsen S, Windecker S,
McDonagh T, Sechtem U, Dean V, Reiner Ž, James SK, Members ATF, Reviewers D and
Guidelines ECfP. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force on the management of
ST-segment elevation acute myocardial infarction of the European Society of Cardiology
(ESC). European Heart Journal. 2012;33:2569-2619.
6. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Perhimpuan Kardiologi
Indonesia; 2018.
7. Swinburn JMA, Hickman M and Senior R. Wall thickening assessment with tissue
harmonic echocardiography results in improved risk stratification for patients with non-
ST-segment elevation acute chest pain. European Journal of Echocardiography.
2004;5:142-148.
8. Cheitlin MD, Armstrong WF, Aurigemma GP, Beller GA, Bierman FZ, Davis JL, Douglas PS,
Faxon DP, Gillam LD, Kimball TR, Kussmaul WG, Pearlman AS, Philbrick JT, Rakowski H,
Thys DM, Antman EM, Smith SC, Alpert JS, Gregoratos G, Anderson JL, Hiratzka LF, Faxon
DP, Hunt SA, Fuster V, Jacobs AK, Gibbons RJ and Russell RO. ACC/AHA/ASE 2003
guideline update for the clinical application of echocardiography: summary article. a
report of the American college of cardiology/American heart association task force on
practice guidelines (ACC/AHA/ASE committee to update the 1997 guidelines for the
clinical application of echocardiography). 2003;42:954-970.
9. Douglas PS, Garcia MJ, Haines DE, Lai WW, Manning WJ, Patel AR, Picard MH, Polk DM,
Ragosta M, Ward RP and Weiner RB.
ACCF/ASE/AHA/ASNC/HFSA/HRS/SCAI/SCCM/SCCT/SCMR 2011 Appropriate Use Criteria
for Echocardiography. <span class="subtitle">A Report of the American College of
Cardiology Foundation Appropriate Use Criteria Task Force, American Society of
Echocardiography, American Heart Association, American Society of Nuclear Cardiology,
Heart Failure Society of America, Heart Rhythm Society, Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions, Society of Critical Care Medicine, Society of
Cardiovascular Computed Tomography, and Society for Cardiovascular Magnetic
Resonance <em>Endorsed by the American College of Chest Physicians</em></span>.
2011;57:1126-1166.
27
10. Bedetti G, Gargani L, Sicari R, Gianfaldoni ML, Molinaro S and Picano E. Comparison of
Prognostic Value of Echocardiacgraphic Risk Score With the Thrombolysis In Myocardial
Infarction (TIMI) and Global Registry In Acute Coronary Events (GRACE) Risk Scores in
Acute Coronary Syndrome. The American Journal of Cardiology. 2010;106:1709-1716.
11. Greaves SC. Role of echocardiography in acute coronary syndromes. Heart.
2002;88:419-425.
12. Gibbons RJ, Abrams J, Chatterjee K, Daley J, Deedwania PC, Douglas JS, Ferguson TB,
Fihn SD, Fraker TD, Gardin JM, O’Rourke RA, Pasternak RC, Williams SV, Gibbons RJ,
Alpert JS, Antman EM, Hiratzka LF, Fuster V, Faxon DP, Gregoratos G, Jacobs AK and
Smith SC. ACC/AHA 2002 guideline update for the management of patients with chronic
stable angina—summary article. a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on practice guidelines (Committee on
the Management of Patients With Chronic Stable Angina). 2003;41:159-168.
28
Addressing Challenges in Hypertension and Related Comorbidities: a look at
Nebivolol
Anwar Santoso
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Hipertensi merupakan salah satu fakto risiko yang harus selalu kita pertimbangkan karena
jika tidak kita perbaiki sejak awal, hipertensi ini mengarah pada kematian akibat kegagalan
organ tahap akhir1. Di Asia sendiri, >70% pasien dengan hipertensi ternyata tidak
terkontrol2. Berdasarkan panduan ESC 2018 untuk hipertensi, beta-bloker masih menjadi
pilihan obat untuk hipertensi yang disertai penyakit kardiovaskular3. Walaupun memang,
beta-bloker generasi pertama dan kedua masih dipertanyakan kemampuannya dalam
melindungi kardiovaskular.
Beta-bloker generasi ketiga, terlihat tidak memiliki bagian negatif yang berbeda dengan
beta-bloker generasi sebelumnya. Hal ini mengapa ditekankan pemilihan beta-bloker
sangatlah penting, sebagai contoh disarankan untuk memilih yang beta1 selektif, memiliki
kemampuan vasodilatasi dimana keduanya dapat meningkatkan efikasi, menurunkan efek
samping dan juga profil metabolik yang baik.
Nebivolol sebagai beta-bloker generasi ketiga, yang memiliki etaniomer dekstro dan
etaniomer levo, sehingga lebih kardioseletif dibandingkan beta-bloker lainnya dan juga
memiliki kemampuan vasodilatasi oleh perangsangan pelepasan NO di endothelial4. Selain
itu, nebivolol juga cukup nyaman dipergunakan dan dapat meningkatkan kepatuhan minum
obat karena cukup diminum 1x1 hari.
Dapat disimpulkan disini bahwa nebivolol berbeda dengan beta-bloker lainnya, baik dari
mekanisme kerja yang berbeda maupun profil keamanan.
29
Referensi:
1. Dzau et al. Circulation. 2006;114:2850-2870
2. Rahman Ar, et al. Asia Pac Fam Med 2015;14:2
3. Eur Heart J 2018
4. Kim C-H, et al. Heart Asia 2016;8:22-26
5. McEniery et al. Hypertension;2004; 44:305
6. Cleophas TJ. J Clinical Medicine 1998; vol 11:2-8
7. Mohammed AF. Drug Invest 1991;3(S1):1996-8
8. Pesant et al. Amer J Therap 1999
9. Schmidt A et al. Clin Drug Investig 2007; 27: 841-9
30
Kembali Bekerja Setelah Hospitalisasi Gagal Jantung
(Return to Work After Heart Failure Hospitalization)
Secara umum obat-obatan yang diberikan antara lain: ACE-I atau ARB/ARNI, Penyekat beta,
MRA (antagonis reseptor mineralo-kortikoid), ivabradine, dan diuretik. Antagonis Neurohormonal
seperti ACE-I, MRA dan Penyekat Beta telah menunjukkan keandalannya dalam meningkatkan
survival pada pasien dengan Gagal jantung disertai dengan penurunan ejeksi fraksi (HfrEF) dan
31
direkomendasikan pada pengobatan setiap pasien kecuali terdapat kontraindikasi atau tidak toleran
terhadap obat tersebut. 4
Obat baru yaitu kombinasi ARB (Valsartan) dan Nephrilisin Inhibitor (Sacubitril) juga telah
menunjukkan superioritasnya terhadap obat ACE-I dalam mencegah kematian dan re-hospitalisasi
pasien dengan gagal jantung. Penggunaan Sacubitril / Valsartan ini direkomendasikan dapat
menggantikan posisi ACE-I pada pasien HfrEF yang masih simptomatis meskipun sudah mendapat
terapi optimal. Penyekat beta mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan HFrEF dan
dapat diberikan segera pada pasien dengan keadaan klinis yang stabil pada dosis permulaan yang
rendah dan dapat ditingkatkan bertahap sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Ivabradine
dapat mengurangi laju jantung melalui peranannya pada If-channel, dan diindikasikan pada HfrEF
dengan medikamentosa sudah optimal, namun laju jantung masih lebih dari 70x/menit dan irama
sinus. Obat-obatan gagal jantung yang optimal harus dikombinasikan dengan diuretik pada pasien
dengan tanda dan gejala kongesti, yang penggunaanya disesuaikan dengan keadaan klinis pasien.4
Disamping medikamentosa optimal, penggunaan device seperti ICD dan CRT juga mulai
dikembangkan akhir-akhir ini. ICD direkomendasikan sebagai prevensi primer pada pasien dengan
LVEF < 35% ataupun simptomatik dengan kelas fungsional III/IV meskipun sudah mendapat
medikamentosa optimal. Juga untuk prevensi sekunder untuk mengurangi kejadian henti jantung
mendadak dan semua penyebab kematian pada pasien yang mengalami aritmia ventrikel disertai
hemodinamik tidak stabil, dan juga yang diharapkan untuk dapat bertahan hidup dengan status
fungsional yang baik lebih dari 1 tahun. Pada pasien yang masih simptomatis mesikpun sudah
mendapat medikamentosa optimal, irama ekg sinus, dan durasi QRS > 130 msec ataupun pada
pasien yang sudah memakai ICD namun masih mengalami perburukan gejala gagal jantung dapat
dipertimbangkan penggunaan CRT. 4,6
Polifarmasi merupakan isu yang sedang berkembang dalam penatalaksanaan pasien dengan
gagal jantung, dan dapat pula mempengaruhi prognosis pasien. Dalam memberikan obat, dokter
sebaiknya tidak meresepkan obat-obatan yang tidak diperlukan, menilai kembali dosis yang
diperlukan dan mereview daftar obat yang diberikan pada pasien pada setiap kunjungan supaya
terhindar dari pemberian obat yang tidak jelas manfaatnya untuk pasien. Sebagai contoh pemberian
suplemen dapat diberikan sesuai kebutuhan seperti golongan laksatif untuk mencegah konstipasi
pada jangka waktu tertentu saja. Tidak ada manfaat yang terbukti dari suplementasi vitamin atau
antioksidan ( kecuali untuk keadaan anemia defisiensi besi atau diabetes atau hiperurisemia).
Polifarmasi akan menyebabkan pengobatan yang tidak terarah pada guideline dan membingungkan
keluarga, pasien, dan pengasuh pasien. 5,6
Pendekatan penatalaksaan pasien berbasis tim yaitu terdiri dari dokter, perawat, farmasi, ahli
gizi, fisioterapi, dan pekerja sosial akan memberikan outcome yang baik pula kepada pasien dan
keluarganya. Pemberian obat gagal jantung yang beragam tersebut harus teroganisir dalam rangka
mengembalikan pasien pada kondisi kerjanya sehari-hari. Penggunaan telemedicine atau telemonitor
juga dapat membantu dokter dalam memonitor kondisi gagal jantung pasien dari tempat yang jauh.
Juga dapat diberikan paspor gagal jantung pada pasien, yang merupakan catatan klinis mengenai
pelaporan kondisi gagal jantung kepada perawat ataupun dokter, sehingga kondisi perburukan dini
dan intervensi awal dapat diberikan. Juga telah dikembangkan berbagai aplikasi berbasis mobile
phone yang dapat membantu pasien dalam memantau perkembangan penyakitnya, mengingatkan
dalam konsumsi obat yg diperlukan, serta jadwal kontrol ke dokter, dan kunjungan rumah oleh tim
home-care gagal jantung jika diperlukan.7
32
Dari berbagai penanganan gagal jantung yang diupayakan tersebut, pasien -pasien dengan
gagal jantung masih memiliki resiko tinggi untuk mengalami re-hospitalisasi berulang. Rentang waktu
dini setelah perawatan Gagal jantung yang juga disebut sebagai fase rentan/vulnerable, adalah masa
bagi penderita gagal jantung dengan resiko yang cukup tinggi, ditandai dengan resiko rehospitalisasi
pada lebih dari 50 % dalam waktu 6 bulan pertama atau kematian. Karena problem rehospitalisasi ini
juga merupakan problem dengan beban ekonomi yang besar pada sistem kesehatan nasional, maka
salah satu tujuan pengobatan saat ini adalah dengan upaya menurunkan admisi dini pasca
perawatan gagal jantung /rehospitalisasi berulang. Salah satu upaya dalam memperbaiki outcome
pasien gagal jantung dengan diabetes tipe II yaitu penggunaan Sodium-Glucose Cotransporter-2
(Empaglifozin), yang terbukti dalam EMPA-REG OUTCOME Trial dapat menurunkan tingkat
hospitalisasi sebanyak 35% dibandingkan dengan placebo. Peranan empaglifozin yaitu mengurangi
resiko pada post-acute HF period yang berperan besar terhadap readmisi/ rehospitalisasi dan
mortalitas pasien yang dirawat. 8
33
Tenaga medis (baik dokter dan perawat) dalam tugas nya pada evaluasi psikososial dan
konseling disarankan bisa menskrining pasien dengan faktor risiko berkaitan dengan keamanan
kembali ke dunia kerja. Meskipun demikian, ada beberapa pasien dengan gagal jantung yang
memang tidak memungkinkan kembali ke dunia kerja, dan hal ini dapat berdampak positif atau
negatif bagi mereka. Tenaga medis harus menilai dampak yang ditimbulkan terhadap setiap pasien
beserta keluarganya. Sebagian pasien mungkin dapat kembali bekerja, sehingga pada kelompok ini
harus dievaluasi dan diperhatikan dengan baik. 10 Berikut adalah daftar pertanyaan yang dinilai
dalam konseling pasien gagal jantung untuk RTW.
Pertanyaan untuk tenaga medis yang memeriksa pasien dengan gagal jantung sebelum kembali
ke pekerjaan.12
Apakah pasien memiliki gejala yang dapat mengganggu pekerjaannya?
Apakah pasien telah diizinkan kembali bekerja oleh atasannya?
Apakah pekerjaan yang akan dijalani pasien memiliki risiko memperberat gejala gagal jantung
yang diderita?
Apa persepsi pasien terhadap pekerjaannya saat ini serta seberapa besar harapannya untuk
kembali ke pekerjaan?
Apa persepsi pasien terhadap bayaran yang akan ia diterima, kemampuannya dalam mengambil
keputusan untuk bekerja?
Apa sikap atasan terhadap pekerjanya yang baru kembali ke dunia kerja?
Tenaga medis harus menyadari bahwa gagal jantung dapat menjadi progresif sehingga
membutuhkan pemeriksaan berulang terus menerus. Meskipun demikian, juga sangat mungkin
bahwa fungsi jantung pasien dapat meningkat dan pasien dapat memiliki kualitas hidup yang baik.
Mereka yang awalnya dianggap tidak dapat lagi bekerja mungkin akan mampu kembali ke dunia kerja
seiring berjalannya waktu. Salah satu tujuan utama yang mungkin dimiliki oleh setiap pasien dengan
gagal jantung adalah harapan agar dapat kembali bekerja. Perawat dapat membantu mereka
mencapai tujuan tersebut dengan memberikan dorongan serta menyediakan hal-hal yang mereka
butuhkan untuk mengembalikan kepercayaan diri.12-13
Kembali bekerja mungkin merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup seseorang dengan
keterbatasan fisik akibat penyakit tertentu. Sebuah pekerjaan barangkali tampak tidak mungkin
mereka dapatkan oleh karena kebijakan-kebijakan terkait persyaratan pekerjaan bagi penyandang
disabilitas. Orang dengan gagal jantung yang tidak membaik sangat mungkin merasa takut ketika
mereka kembali bekerja dan mereka tidak akan mendapatkan bayaran yang cukup, sehingga mereka
menyerah dan tidak memiliki semangat berjuang lagi untuk kedua kalinya. Mereka juga mungkin
tidak menyadari akan tersedianya lapangan pekerjaan atau perundang-undangan yang menjamin hak
mereka sebagai pekerja ketika mereka masuk ke dunia pekerjaan. Lebih lagi, mereka mungkin tidak
bisa menemukan pekerjaan atau jaminan yang sepadan dengan apa yang mereka dapatkan dari
jaminan sosial sebagai penyandang disabilitas. Tenaga medis yang berhadapan dengan pasien gagal
jantung harus menyadari halangan administratif yang dihadapi oleh pasien gagal jantung berkenaan
dengan masa depan ketika mereka kembali bekerja. 14
E. Kesimpulan
34
Sebagai ringkasan, pada pasien dengan gagal jantung kronik yang sudah diterapi dengan
pendekatan berbasis guideline dan etiologi gagal jantung telah dikoreksi, dapat kembali bekerja
dengan monitoring ketat. Diperlukan rehabilitasi jantung yang optimal disamping pengobatan
medikamentosa, penggunaan device, penatalaksaanaan etiologi, dan kontrol faktor resiko secara
optimal. Pendekatan tatalaksana berbasis tim dan edukasi yang baik akan memperbaiki outcome
pasien gagal jantung secara keseluruhan. Hanya sedikit penelitian yang tersedia saat ini bagi tenaga
medis untuk dapat mempersiapkan pasien gagal jantung untuk dapat kembali bekerja (return to
work). Diperlukan sebuah konsensus bersama tentang pasien gagal jantung yang sedang dalam
transisi kembali ke dunia kerja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yap J, Tay WT, Lam CSP, Teng T-HK, Yu C-M, Ngarmukos T, et al. Regional and ethnic differences
among patients with heart failure in Asia: the Asian sudden cardiac death in heart failure
registry. European Heart Journal. 2016;37(41):3141-53.
2. Siswanto BB. Heart Failure in Indonesia. Journal of Cardiac Failure. 2013;19(10):S108.
3. Phillips L, Harrison T, Houck P. Return to work and the person with heart failure. Heart & Lung.
2005;34(2):79-88.
4. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, et al. 2016 ESC guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure: the task force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure of the European Society of Cardiology (ESC) developed with the special
contribution of the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J 2016; 37: 2129–200.
5. Teng T, Tromp J, Tay W. Prescribing patterns of evidence-based heart failure
pharmacotherapy and outcomes in the ASIAN-HF registry: a cohort study. Lancet Glob Health
2018; 6: e1008–18.
6. Chia M, Teng T, Tan E, et al. Disparity Between Indications for and Utilization of Implantable
Cardioverter Defibrillators in Asian Patients With Heart Failure. Circulation: Cardiovascular
Quality and Outcomes. 2017;10(11):e003651.
7. Athilingam P, Jenkins B. Mobile Phone Apps to Support Heart Failure Self-Care Management:
Integrative Review. JMIR Cardio 2018;2(1):e10057
8. Savarese G, Sattar N, Januzzi J. Empaglifozin is associated with a lower risk of Post Acute Heart
Failure Rehospitalization and Mortality. Circulation. 2019;139:1458–1460.
9. Rorth R, Wong C, Kragholm K, Fosbøl Emil L, Mogensen Ulrik M, Lamberts M, et al. Return to the
Workforce After First Hospitalization for Heart Failure. Circulation. 2016;134(14):999-1009.
10. Cowie Martin R. Returning to Work. Circulation. 2016;134(14):1010-2.
11. Bitsch BL, Nielsen CV, Stapelfeldt CM, Lynggaard V. Effect of the patient education - Learning
and Coping strategies - in cardiac rehabilitation on return to work at one year: a randomised
controlled trial show (LC-REHAB). BMC Cardiovascular Disorders. 2018;18(1):101.
12. Bitsh BL, Nielsen CV, Stapelfeldt CM, Lynggaard V. Effect of the patient education - Learning and
Coping strategies - in cardiac rehabilitation on return to work at one year: a randomised
controlled trial show (LC-REHAB). BMC Cardiovascular Disorders. 2018;18(1):101.
13. Phillips L, Harrison T, Houck P. Return to work and the person with heart failure. Heart & Lung.
2005;34(2):79-88.
14. Peterson PN, Shetterly SM, Clarke CL, Bekelman DB, Chan PS, Allen LA, et al. Health Literacy and
Outcomes Among Patients With Heart Failure. JAMA. 2011;305(16):1695-701.
35
36
Kembali Bekerja pasca Sindroma Koroner Akut
Bambang Dwiputra
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Latar Belakang
Banyaknya kejadian sindroma koroner akut (SKA) di usia produktif menjadikan isu “kembali
bekerja setelah SKA” menjadi hal yang penting.1 Kembalinya pasien ke rutinitas pekerjaan
merupakan indikator penting dari rehabilitasi fungsional dan kualitas hidup.2 Faktor yang
mempengaruhi kembalinya pasien bekerja pasca SKA semata-mata bukan hanya dari status
klinis, namun dipengaruhi oleh faktor demografis, sosial, dan psikologis.
Rehabilitasi Kardiovaskular
Rehabilitasi kardiovaskular (RK) merupakan intervensi multidisiplin yang bertujuan untuk
meningkatkan fungsi fisik, sosial, dan psikologis pasien kardiovaskular.3 Program RK ini dapat
meningkatkan kualitas hidup, kapasitas latihan, serta menurunkan kejadian serangan
jantung ulang dan kematian pasien pasca SKA.4
Program rehabilitasi ini dipimpin oleh dokter, fisioterapis yang terspesialisasi, perawat
dan pekerja sosial. Durasi suatu program rehabilitasi ditentukan oleh tim multidisiplin
bersama dengan pasien, dengan minimum durasi 6 minggu. Pasien dianggap sudah
mengikuti program rehabilitasi jantung secara tuntas apabila minimal mengikuti 75% dari
keseluruhan program.
Terdapat 6 komponen inti untuk program prevensi dan rehabilitasi kardiovaskular, yaitu:6
1. Perubahan dan edukasi perilaku hidup
2. Manajemen faktor risiko dan gaya hidup (aktivitas fisik, diet, stop merokok)
3. Kesehatan psikososial
4. Manajemen faktor risiko medis
5. Manajemen jangka panjang
6. Evaluasi dan audit program
Dalam melaksanakan keenam komponen ini, diperlukan ekspertise dari berbagai macam
profesi seperti: (1) dokter di bidang prevensi dan rehabilitasi; (2) perawat spesialis; (3)
fisioterapis; (4) dietisien; (5) psikologis ; (6) spesialis exercise; (7) terapis okupasional; (8)
farmasi.6
Pasien yang menjadi target rehabilitasi kardiovaskular:7
1. Pasien dengan sindroma koroner akut, termasuk STEMI, non-STEMI, dan angina
pektoris tidak stabil serta semua pasien yang menjalani reperfusi (bedah pintas arteri
37
koroner (BPAK), intervensi koroner perkutan primer (IKPP), dan intervensi koroner
perkutan (IKP)
2. Pasien dengan gagal jantung yang baru atau gagal jantung dengan perburukan gejala;
3. Pasien pasca-transplantasi jantung atau ventricular assist device;
4. Pasien yang menjalani implantasi defibrillator intrakardiak atau terapi resinkronisasi
jantung untuk alasan selain sindroma koroner akut dan gagal jantung;
5. Pasien yang menjalani penggantian katup karena alasan selain sindroma koroner akut
dan gagal jantung;
6. Pasien dengan diagnosis angina pada aktivitas
Pasien SKA pasca IKPP yang menjalani RK memiliki angka mortalitas dalam 10 tahun yang
lebih rendah dibandingkan yang tidak mengikuti RK.5 Selain itu, pasien yang menyelesaikan
program RK memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien yang tidak
menyelesaikan program RK. Pasien yang menyelesaikan RK memiliki angka mortalitas 10
tahun sebesar 13,6% dibandingkan 18,9% pada kelompok pasien yang tidak menyelesaikan
RK.
Studi lain juga menunjukan pasien pasca BPAK yang menjalani RK <25% program
memiliki risiko mortalitas dua kali lipat dibandingkan pasien yang mengikuti lebih dari 75%
program. Alasan terpenting yang dapat menentukan terselesaikannya program RK yaitu
motivasi pasien.5
Berikut adalah algoritme yang disusun untuk menilai pasien pasca SKA sebelum kembali
bekerja (Gambar 1).6 Algoritme ini belum divalidasi maupun dipublikasi, namun dapat
dgunakan pada praktek klinis sehari-hari.
Keterangan:
1: Komplit atau bermakna secara klinis, baik
revaskularisasi perkutan atau pembedahan
2: Tidak dilakukan revaskularisasi, suboptimal atau
tidak dapat dilakukan karena klinis atau masalah
anatomis
3: Penting dilakukan symptom-limited stress test;
dikatakan negatif jika tidak terdapat abnormalitas
secara klinis atau perubahan EKG (ST depresi > 1
mm atau aritmia ventrikular), setara > 7 METs
A: boleh mengikuti jenis pekerjaan apapun
M5: dapat melakukan aktivitas < 5 METs
M3: dapat melakukan aktivitas < 3 METs;
I: tidak sesuai untuk melakukan pekerjaan apapun
Gambar 1. Algoritme penilaian kardiovaskular pasien pasca SKA sebelum kembali bekerja.6
38
Umumnya waktu terbaik yang dianjurkan untuk kembali bekerja adalah, antara 3 dan 6
bulan pasca SKA atau BPAK. Panduan terbaru menganjurkan waktu 1-3 bulan pasca SKA,
walaupun masih diperlukan penelitian lebih lanjut lagi.6
Suatu studi menunjukan bahwa depresi yang muncul segera setelah pasien dirawat
karena SKA merupakan prediktor penting kembalinya seseorang bekerja setelah SKA.7
Penatalaksanaan depresi yang lebih awal dapat meningkatkan keberhasilan kembali bekerja
dan meningkatkan kualitas hidup paska SKA.
39
• Pemakaian evaluasi tertulis yang ditulis sendiri oleh pasien tidak memberikan
peningkatan secara bermakna terhadap tingkat kehadiran di program rehabilitasi
jantung.
• Adanya sesi dimana pasien dapat mengkomunikasikan pikiran dan perasaan
mereka dalam melakukan perubahan perilaku kesehatan dapat meningkatkan
tingkat kehadiran di sesi aktivitas fisik.
Kesimpulan
Kembali bekerja paska SKA merupakan indikator utama keberhasilan pelayanan medis dan
rehabilitasi kardiovaskular pada pasien SKA. Tidak hanya status klinis, namun faktor
demografis, sosial, dan psikologis dapat mempengaruhi kembalinya pasien ke rutinitas
pekerjaan. Program rehabilitasi kardiovaskular berperan dalam mempersiapkan pasien SKA
kembali bekerja serta terbukti menurunkan angka mortalitas 10 tahun paska SKA. Waktu
yang dianjurkan untuk kembali bekerja paska SKA yakni 1 atau 3-6 bulan paska SKA.
Penilaian dengan uji latih diakhir program rehabilitasi dapat menentukan kapasitas
fungsional seseorang serta jenis pekerjaan yang sesuai untuk individu tersebut.
Daftar Pustaka
40
7. Bhattacharyya MR, Linda PP, Daisy LW, Steptoe A. Psychological and clinical predictors
of return to work after acute coronary syndrome. European Heart Journal. 2007;28:160-
5.
8. British Association for Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. BACPR standards
and core components for cardiovascular disease prevention and rehabilitation 2017. 3rd
ed. UKBACPR.
http://www.bacpr.com/resources/AC6_BACPRStandards&CoreComponents2017.pdf
9. Dalal HM, Doherty P, Taylor RS. Cardiac rehabilitation. BMJ. 2015;29:5000.
10. Beswick AD, Rees K, West RR, Taylor FC, Burke M, Griebsch I, et al. Improving uptake
and adherence in cardiac rehabilitation: literature review. Journal of Advanced Nursing.
2005;49(5):538-55.
41
Kembali Bekerja Pasca Operasi Bypass Arteri Koroner
Basuni Radi
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Pendahuluan
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada pekerja
di negara-negara industri dan sering menyebabkan ketidakmamuan baik prematur maupn
permanen dan menyebabkan kerugian sosioekonomis yang besar di negara-negara industri.
[1]
Coronary artery bypass graft/ bedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan salah satu
tindakan pilihan yang dianggap efektif dan aman dalam tatalaksana revaskularisasi pasien
dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Tindakan ini dapat mengurangi gejala angina dan meningkatkan usia harapan hidup,
meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup.[2]
Pasien-pasien yang menjalani BPAK, sebagian merupakan individu yang masih aktif bekerja
dan sebagian lagi sudah pensiun. Pada kenyataannya beberapa pasien yang sebelumnya
dapat bekerja malah tidak lagi bekerja setelah menjalani BPAK karena berbagai hal seperti
masih merasakan adanya angina, adanya luka operasi, kekhawatiran atau mengalami
komplikasi akibat tindakan bedah seperti stroke dan lain lain. [3-5]
Pasien dengan PJK tersebut, boleh jadi sebelumnya merupakan individu tanpa gejala atau
tanda apapun, pernah mengalami infark miokardium, telah mengalami gagal jantung atau
mungkin baru muncul gejala angina. Kondisi klinis sebelum dilakukan tindakan BPAK akan
memengaruhi kapasitas fungsional pasien tersebut, ditambah dengan perlakuan BPAK itu
sendiri akan menambah menurunnya kapasitas fungsional pasien tersebut.
Segera setelah menjalani tindakan BPAK, pasien tersebut akan menghadapi beberapa
kondisi yang menyebabkan keluhan atau menurunnya kemampuan fisik, seperti adanya luka
di sternum, tungkai bawah, anemia, fungsi pernafasan yang belum kembali pulih seperti
kondisi pra-operasi, dan juga adanya masalah psikologis, atau overproteksi dari pasangan
atau keluarga yang menyebabkan penurunan kapasitas fungsional.
Banyak faktor pra-operasi, saat operasi maupun pasca operasi yang menyebabkan pasien
dapat kembali bekerja atau tidak kembali bekerja pasca tindakan BPAK.
Kondisi pra bedah yang memengaruhi
42
Sebelum menjalani BPAK, pasien dengan PJK bisa saja tanpa gejala sama sekali, atau dengan
keluhan angina on effort dari ringan sampai berat, pernah mengalami infark miokard akut,
atau sudah menunjukkan gejala dan tanda gagal jantung.
Kebiasaan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari dan sikap mental yang berbeda pada tiap
pasien juga menyebabkan perbedaan dalam kemampuan perorangan. Pasien akan
mengalami kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan tertentu, berhenti bekerja,
menyesuaikan aktifitasnya dengan kapasitas fungsional dan gejalanya, atau melanjutkan
pekerjaannya seperti biasa tergantung dari jenis dan tuntutan pekerjaan. Mungkin pasien
masih bekerja secara penuh, atau sudah mengurangi beban kerjanya atau memilih tidak
bekerja lagi, tergantung dari kondisi fisik dan sosioekonominya.
Pasien dengan gagal jantung atau angina pektoris yang kronis tentu akan merasakan
penurunan kapasitas fungsional secara bertahap, atau tidak merasakannya karena secara
bertahap pasien tersebut menyesuaikan aktifitasnya dengan kemampuannya, terutama
pada pasien yang tidak bekerja atau pasien yang dapat mengatur sendiri jenis dan beban
pekerjaannya.
Hal-hal ini harus ditanyakan dan dianalisa saat menetapkan rencana kembali bekerja pada
pasien setelah menjalani BPAK.
Adanya luka atau mungkin infeksi pada luka operasi dapat menyebabkan kekhawatiran,
perasaan nyeri karena pergerakan, keterbatasan gerak. Selain itu ada efek dari perubahan
fungsi otot otot pernafasan, atelektasis paru atau adanya cairan baik di intra pleura atau
intra pericardium. Selain itu keadaan mood, sikap dan perasaan pasca operasi, overproteksi
dari pasangan dan keluarga sangat memengaruhi kondisi pasien.
43
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penurunan kapasitas fungisonal
dengan CPB time, tipe operasi, tingkat kebugaran sebelumnya, indeks masa tubuh, usia,
jenis kelamin atau faktor komorbid lainnya.
Kembali bekerja pasca kejadian koroner merupakan proses yang kompleks dan
multidimensional yang tampaknya sangat dipengaruhi faktor-faktor psikososial
dibandingkan masalah klinis seperti fungsi ventikel, tindakan intervensi, tingkat pendidikan,
usia, status pekerjaan, depresi, dan persepsi pasien terhadap kondisi sakitnya.
Selain itu terdapat faktor-faktor klinis dan sosial yang memengaruhi pasien kembali ke
tempat kerja pasca BPAK seperti usia yang lebih muda, jenis kelamin laki-laki, tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, tingkat pendapatan lebih tinggi, dan tidak adanya komorbid.
[3]. Ada juga faktor-faktor yang menyebabkan pasien tidak segera kembali ke pekerjaannya
seperti jenis operasi yang urgen dibanding yang elektif, komorbid kardiovaskuler, penyakit
ginjal kronis, penyakit hati, dan perawatan ulang dalam tahun pertama. [7]
Status pekerjaan sebelum tindakan BPAK dan jenis pekerjaan juga merupakan prediktor
pasien kembali bekerja. Mereka yang sebelumnya bekerja dan jenis pekerjaan “kerah biru”
paling memungkinkan kembali bekerja. [8,9]
44
Pasca program rehabilitasi, pengukuran kapasitas fungsional baik dengan six-minute walking
test, treadmill atau ergocycle test sangat penting untuk mengetahui kapasitas aerobik
maksimal, adanya angina on effort atau adanya aritmia dapat memberi petunjuk untuk
pembatasan atau anjuran saat kembali bekerja. Tingkat kebugaran maksimal pada uji latih
jantung dapat memberikan petunjuk berapa beban kardiopulmoner yang dapat diberikan
saat yang bersangkutan bekerja.
Pastikan bahwa faktor risiko pasien sudah terkontrrol baik pasca perawatan, dan pasien
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai cara pengontrolan faktor risikonya secara
mandiri melalui edukasi yang dilakukan secara adekuat baik kepada pasien maupun kepada
keluarga. Selain itu perlu disampaikan pula batasan-batasan atau restriksi gerak dan aktivitas
agar aman bagi pasien, namun perlu didorong agar pasien tidak merasa khawatir berlebihan
untuk memulai aktifitas hariannya sehingga yang bersangkutan dapat menolong dirinya
sendiri.
Program rehabilitasi jantung fase II perlu dilakukan kepada pasien pasca BPAK, agar
mengembalikan kepercayaan dirinya, tidak merasakan kekhawatiran berlebihan, dapat
memulai aktivitas harian dengan aman, dan melakukan latihan fisik yang sesuai kondisinya
dan yang dapat memberikan manfaat dalam menghadapi pekerjaannya.
Informasi hasil uji latih jantung dapat dipergunakan untuk menentukan kapasitas aerobik
dan kemungkinan beban kardiopulmoner yang dapat diberikan saat bekerja, adanya keluhan
angina atau gagal jantung serta aritmia dapat diperkirakan thresholdnya dan menjadi
pertimbangan pada saat menentukan pasien kembali bekerja. Peranan dokter spesialis
jantung dan pembuluh darah diperlukan untuk melakukan pengkajian kondisi pasca operasi,
adanya angina atau tanda dan gejala gagal jantung, keterkontrolan faktor-faktor risiko,
tingkat kapasitas aerobik yang dapat dipakai untuk memberikan rekomendasi mengenai
beban kerja maksimal.
Konsultasi dengan dokter bedah jantung sangat diperlukan untuk mendapat informasi
mengenai akibat tindakan operasi yang telah dilakukan, seperti kondisi luka operasi dan
lainnya.
45
Pengkajian kesiapan bekerja dan membuat program kembali bekerja harus dilakukan dengan
memberikan informasi yang memadai kepada perusahaannya atau kepada dokter
perusahaan, sehingga pihak perusahaan tidak melakukan restriksi terhadap yang
bersangkutan dan tidak memberikan pekerjaan yang dianggap melebihi kapasitasnya dan
yang membahayakan dirinya dan lingkungannya. Perlu didiskusikan dengan dokter
perusahaan atau perusahaannya mengenai kemungkinan pengalihan sementara
pekerjaannya bila pekerjaan yang harus dilakukan dapat membahayakan, memperlambat
penyembuhan atau dapat menyebabkan infeksi, terutama bila masih ada potensi infeksi
karena adanya luka operasi yang masih belum sembuh total.
Peranan dokter perusahaan atau dokter spesialis kedokteran okupasi untuk mengkaji
kesiapan pasien untuk kembali dan menentukan program pengalihan sementara bila
diperlukan. Standar-standar keselamatan kerja, peraturan perusahaan, karakteristik tiap
tugas dan pekerjaan serta lingkungan kerja harus dikaji juga untuk keselamatan pasien dan
produktivitas perusahaan disamping memastikan bahwa pasien pasca BPAK dapat kembali
bekerja.
Kesimpulan:
Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang efektif dalam upaya revaskularisasi
pasien dengan PJK. Tindakan tersebut dapat menyebabkan perubahan kondisi pasien setelah
menjalaninya. Beberapa karakteristik klinis, jenis pekerjaan, dan sosioekonomis sangat
berpengaruh pada kemungkinan pasien kembali bekerja. Peranan rehabilitasi jantung pasca
tindakan CABG, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dokter bedah jantung, dokter
spesialis okupasi dan dokter perusahaan perlu melakukan pengkajian kondisi pasien,
karakteristik pekerjaan, standar keselamatan, dan peraturan perusahaan yang memadai
untuk menilai kesiapan pasien pasca BPAK untuk kembali bekerja.
Kepustakaan:
[1] Leal J, Luengo-Fernandez R, Gray A, Petersen S, Rayner M (2006) Economic burden of
cardiovascular diseases in the enlarged European Union. Eur Heart J 27:1610–1619.
46
[2] Coronary artery surgery study (CASS). A randomized trial of coronary artery bypass
surgery. Quality of life in patients randomly assigned to treatment groups. Circulation.
1983;68: 95160
[3] Skinner JS, Farrer M, Albers CJ, Neil HAW, Adams PC. Patient-related outcomes five years
after coronary artery bypass graft surgery. QJM. 1999;92:8796.
[4]. van Brussel BL, Plokker HW, Voors AA, Ernst JM, Ernst NM, Knaepen PJ, et al.
Multivariate risk factor analysis of clinical outcome 15 years after venous coronary artery
bypass graft surgery. Eur Heart J. 1995;16:12006.
[5]. Sellman M, Holm L, Ivert T, Semb BK. A randomized study of neuropsychological function
in patients undergoing coronary bypass surgery. Thorac Cardiovasc Surg. 1993;41: 34954.
[6] Fiabane E, Argentero P, Calsamiglia G, Candura SM, Giorgi I, Scafa F, et al. Does job
satisfaction predict early return to work after coronary angioplasty or cardiac surgery. Int
Arch Occup Environ Health 2013; 86: 561-9.
[7] Butt JH, Roth R, Kragholm K, Kristensen SL, Torp-Pedersen C, Gislason GH, et al. Return to
workforce following coronary artery bypass grafting: A Danish nationwide cohort study. Int J.
Cardiol 2017. doi:10.1016/j.ijcard.2017.10.03
[8] Hallberg V, Palomaki A, Kataja M, Tarkka M. Return to work after coronary artery bypass
surgery: A 10-year follow-up study. Scand Cardiovasc J. 2000; 43:277-84.
[9] Pinto N, Shah P, Haluska B, Griffin R, Holliday J, Mundy J. Return to work after coronary
artery bypass in patients aged under 50 years. Asian Cardiovascular & Thoracic Annals, 2012;
20(4) 387-91.
[10] Blokzijl F, Dieperink W, Keus F, Reneman MF, Mariani MA, van de Horst I CC. Cardiac
rehabilitation for patients having cardiac surgery: a systematic review.Journal of
cardiovascular Surgery 2018. DOI: 10..23736/S0021-9509.18.10462-9
47
The Role of Neprilysin Inhibitor to Achieve Long Term Chronic Heart Failure
Treatment Goal
Chronic Heart Failure (CHF) is progressive condition with high mortality and high risk of
rehospitalisation. Increasing frequency of acute episode together with disease progression
leads to high rates of hospitalisation and mortality. In the every acute event, myocardial
injury may contribute to the progressivity of left ventricular dysfunction.
Although it looks silent or in “stable condition” but the disease is active. The
neurohormonal activation is still on going lead to myocytes injury, myocardial stretch, and
remodelling. The highest cause of death in patient with stable HF (NYHA II and III) are due to
sudden death. Even though there are reduction in all cause mortality with the current
therapies, however mortality remains significant, about 50% patients HF die within 5 years
of diagnosis, worse than cancer patient.
Sympathetic nervous system (SNS), renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS), and
natriuretic peptide (NP) are three neurohormonal systems that build the core of heart
failure pathophysiology. Activation of NP system induces vasodilation, increase
natriuresis/diuresis, reduce fibrosis and hypertrophy. Unfortunately, the cardio-protective
effect of NP is rapidly neutralized by neprilysin, an enzyme which degrade NP. A new class of
phamacological therapy called Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI) attempts to
both inhibit RAAS over activation and prolong NP cardioprotective effect. Sacubitril valsartan
is the first ARNI to be tested in patients which was proven by recent findings of PARADIGM-
HF trial.
PARADIGM-HF trial was double-blind trial, randomized, with 8442 patients an ejection
fraction of 40% or less (HF-rEF) with NYHA class II, III, or IV. The PARADIGM-HF trial has been
stopped at a median follow-up of 27 months because the boundary for an overwhelming
benefit with sacubitril valsartan had been crossed. At the time of study closure, the results
showed 20% superior reduction in death from cardiovascular causes or first hospitalization
for heart failure (P <0.001) and decreased the symptoms and physical limitations of heart
failure (P = 0.001) compared to enalapril. The results also showed us that sacubitril valsartan
significantly reduce the risk of sudden death for 20%.
ARNI is now recomended by ESC and AHA guideline as replacement of ACEi/ARB in
symptomatic HFrEF patient.
Keyword: ARNI, Sacubitril-Valsartan, Heart Failure
48
A. Latar Belakang
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu kondisi yang memiliki karakteristik
progresif dengan mortalitas yang tinggi serta risiko rehospitalisasi yang meningkat terus.
Secara umum, menurut Yancy et al, gagal jantung dibagi menjadi empat stage: Stage A
dimana ada risiko yang tinggi pasien mengalami gagal jantung, namun tidak disertai dengan
gejala yang signifikan maupun masalah struktural yang serius. Stage B didefinisikan sebagai
adanya masalah jantung struktural, namun belum ditemukan adanya gejala pada pasien.
Sedangkan pada stage C didapatkan ada gejala CHF pada masalah struktural yang dialami
pasien. Stage D adalah masalah gagal jantung berulang yang perlu penanganan
terspesialisasi. Semakin tinggi tingkatan gejala CHF ini maka akan semakin tinggi tingkat
rehospitalisasinya. Ada peningkatan signifikan pula terhadap risiko mortalitas pasien. 1
Penyakit gagal jantung ini disebabkan oleh komorbid dan juga proses patofisiologi
yang berbeda-beda. Dapat dilihat bahwa usia, merokok, obesitas, hipertensi, riwayat
penyakit jantung coroner, diabetes dan dislipidemia adalah faktor-faktor risiko yang
berperan signifikan dalam menyebabkan masalah gagal jantung ini. Faktor risiko ini
kemudian akan menyebabkan masalah struktural jantung dalam bentuk infark miokard dan
juga hipertrofi ventrikel kiri. Kedua penyakit ini kemudian akan menyebabkan masalah
disfungsi baik pada sistolik maupun diastolik yang akan menyebabkan gagal jantung.1
Mereka dengan gagal jantung NYHA Class II atau yang dikenal dengan nama Stable
heart failure memiliki risiko kematian mendadak yang tinggi. Didapatkan bahwa pada follow
up 1 tahun sebagai bagian dari studi MERIT-HF, mereka dengan NYHA class II memiliki
insidensi gagal jantung yang cukup tinggi. Didapatkan dari follow up selama 2.3 tahun dari
791 total pasien ada 44.9% pasien yang mengalami kematian mendadak, 27.1% pasien yang
mengalami perburukan CHF dan juga kematian akibat sebab yang lain didapatkan pada
28.2% sampel.2
Terapi saat ini yang berkaitan dengan pasien CHF kronik mayoritas menggunakan
obat-obatan yang menargetkan system RAAS dan SNS. Penelitian yang dilakukan
menunjukan bahwa pemberian obat Beta blocker digabungkan dengan ACE inhibitor/ARB
memiliki penurunan angka mortalitas yang signifikan dibandingkan kombinasi obat-obatan
yang lainnya: ACE inhibitor saja, Angiotensin receptor blocker dan juga Ace-Inhibitor
dikombinasikan dengan beta blocker. Namun, penanganan pasien dengan CHF ini masih
tetap tidak cukup baik: 50% paien CHF mengalami mortalitas 5 tahun setelah diagnosis CHF
ini ditegakkan. Perlu farmakoterapi yang lebih baik untuk meningkatkan angka harapan
hidup pasien dengan CHF.2
B. Penanganan Gagal Jantung Secara Umum
Penanganan kasus gagal jantung ini berhubungan dengan patofisiologi dari masalah
jantung yang akan menyebabkan penurunan fungsi jantug ini. Ada 3 mekanisme dimana
penurunan fungsi jantung akan terlihat: disfungsi system SNS, RAAS dan juga NP. Sistem SNS
dan RAAS ini berfungsi untuk mengaktifkan respons terhadap penurunan output jantung.
Efek jangka pendeknya adalah menjaga agar output jantung tetap optimal, namun pada
49
jangka panjang akan menyebabkan penurunan fungsi jantung. Untuk system NP, akan
menjadi antagonis terhadap sitsem RAAs dan juga SNS. 3
Terapi farmakologi dari kasus gagal jantung ini berkaitan erat dengan patofisiologi
masalah jantung ini. Terapi farmakologi yang menyasar system saraf simpatis adalah beta
blocker, dimana biasanya diberikan obat-obatan seperti bisoprolol, carvedilol atau nebivolol.
Terapi yang menyasar system RAAS ini adalah Ace Inhibitor, ARB dan juga MRA seperti
spironolakton. Sedangkan, sampai sekarang terapi yang menyasar system Natriuretic
Peptide masih belum jelas. Padahal sistem Natriuretic Peptide ini memiliki manfaat yang
berpotensi sangat membantu pasien dengan gagal jantung. Peningkatan kadar Natriuretic
Peptide ini akan menurunkan outflow simpatetik, menurunkan kadar vasopressin dan
menurunkan konsumsi garam dan air. Modifikasi sistem NP ini juga akan menurunkan
kondisi hipertrofi jantung, menurunkan proliferasi fibroblast dan juga akan meningkatkan
vasodilasi pembuluh darah. Disinilah peranan dari golongan obat baru yang disebut sebagai
Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI)3
C. Peranan ARNI dalam terapi gagal jantung
Beberapa penelitian terakhir menunjukan bahwa masalah gagal jantung ini juga
merupakan masalah neurohormonal yang serius. Disinilah peranan dari obat baru yang
disebut sebagai Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor atau yang dikenal dengan nama
ARNI ini. Salah satu obat pertama golongan ARNI ini dikenal dengan nama Sacubitril
Valsartan (LCZ696) yang memiliki fungsi dalam melakukan bloking AT1 receptor dan juga
inhibisi dari neprilysin. ARNI memiliki manfaat untuk meningkatkan peptide natriuretic dan
juga peptide-peptida vasoaktif yang lainnya serta menurunkan ekspresi dari RAAS. RAAS ini
memliki beberapa efek seperti vasokonstriksi, peningkatan tekanan darah, peningkatan
tonus simpatetik, peningkatan kadar aldosterone, hipertrofi, fifbrosis, dan juga retensi
sodium serta air. 4
Peranan ARNI dalam penanganan kasus-kasus gagal jantung ini sudah terbukti secara
bermakna dimana penggunaan ARNI ini sesuai dengan penelitian PARADIGM-HF yaitu
sebuah penelitian multicenter, randomized, double blind, parallel group untuk
memperlihatkan efektivitas obat ini dibandingkan dengan enalapril dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien dengan gagal jantung kronis disertai penurunan fraksi
ejeksi. Penelitian PARADIGM-HF ini adalah penelitian terbesar yang melibatkan pasien-
pasien gagal jantung. Penelitian yang diselenggarakan dari tahun 2009-2013 ini memiliki
sample terbesar dibandingkan studi-studi yang lain. Subjek penelitian PARADIGM-HF adalah
8442, lebih besar dari studi SHIFT yang diselenggarakan tahun 2006-2009 dan melibatkan
6505 sampel dan juga EMPHASIS-HF yang diselenggarakan tahun 2006-2010 yang
melibatkan 2737 pasien.5
Penelitian PARADIGM-HF ini mencoba mengevaluasi efek dari obat LCZ696 200 mg BID yang
dibandingkan dengan enalapril 10 mg BID pada HFrEF, dengan endpoint yang diukur adalah
kematian akibat masalah kardiovaskular dan juga hospitalisasi akibat gagal jantung. 6
50
Gambar 1. Skema Penelitian PARADIGM-HF 5
Metodologi penelitian pada PARADIGM-HF adalah sebagai berikut: ada periode
active run in dimana diberikan enalapril 10 mg selama 2 minggu yang dilanjutkan dengan
LCZ696 yang diberikan selama 1-2 minggu dan LCZ696 yang diberikan selama 2-4 minggu.
Selanjutnya, dilakukan follow up selama 27 minggu membandingkan LCZ696 200 mg BID
dengan Enalapril 10 mg BID. Hasil penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:6
51
Gambar 3. Kurva Kaplan Meier ARNI terhadap Resiko Kematian Jantung Mendadak 5
Dari kurva Kaplan-meier diatas yang mencoba membandingkan pemberian Enalapril
dan Sacubritil/valsartan. Dapat dilihat bahwa pemberian Sacubtiril/valsartan akan
menurunkan risiko kematian mendadak sebesar 20% dibandingkan pemberian Enalapril,
perbedaan kematian mendadak saat follow up 42 bulan ini dinilai signifikan secara statistik. 5
Selain perbedaan tingkat kematian mendadak, pemberian kombinasi obat
Sacubtiril/valsartan ini juga akan menyebabkan penurunan yang signifikan dari hospitalisasi
gagal jantung pada pasien. Pada pasien yang diberikan kombinasi obat Sacubtiril/Valsartan
didapatkan bahwa tingkat hospitalisasi tahunan pasien dengan CHF adalah 12.8%, jauh
dibawah mereka yang diberikan Enalapril yaitu 15.6%. Perbedaan dari kedua grup ini
memiliki HR 0.79 dan signifikan secara statistik. Didapatkan bahwa hospitalisasi berulang
berkurang secara signifikan yaitu 29% pada grup yang dibeirkan obat kelompok treatment
dibandingkan kelompok kontrol.5
Beberapa manfaat lainnya yang diperlihatkan dengan pemberian obat pada golongan
treatment dibandingkan dengan kontrol adalah sebagai berikut: pemberian obat ini akan
menurunan jumlah kunjungan ke IGD sebesar 30%, menurunkan jumlah masuknya pasien ke
ICU sebesar 18% dan juga menurunkan hospitalisasi dengan sebab apapun sebesar 12%.
Perubahan-perubahan ini signifikan secara statistik dengan p<0.05. 7
Terkait dengan keamanan obat-obatan, efek samping yang dilihat dari studi
PARADIGM-HF ini memiliki profil yang mirip antara kedua obat ini, beberapa efek samping
yang diteliti dalam kesempatan ini adalah sebagai berikut: batuk, didaptakan lebih tinggi
pada golongan Enalapril dibandingkan pada Sacubtiril/ valsartan, masalah gagal ginjal
didapatkan lebih tinggi pada golongan Enalapril dengan 4.5% yang mengalami gagal ginjal
dan 3.3% yang mengalami gagal ginjal pada grup Sacubtiril/valsartan. Untuk masalah
hiperkalemia, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua grup. Penelitian profil
keamanan obat ini juga menunjukan bahwa Sacubtiril/valsartan meningkatkan ketaatan
minum obat karena efek samping yang dirasakan lebih sedikit pada pasien dengan p=0.03.8
Performa yang baik pada obat Sacubtiril//valsartan ini dalam studi PARADIGM-HF ini
menyebabkan pemberian obat-obatan Sacubtiril/valsartan ini menjadi obat yang
direkomendasikan pada guidelines ESC 2016, dimana dinyatakan bahwa Sacubtiril/valsartan
52
direkomendasikan sebagai pengganti ACE-inbitor dalam menurunkan hospitalisasi dari
pasien-pasien gagal jantung yang tetap siptomatik setelah pemberian obat ACE-inhibitor,
Beta blocker dan MRA dalam dosis maksimal. 8
D. Penggunaan Praktis ARNI
Pemberian Obat ARNI dapat dimulai pada pasien dengan HFrEF (LVEF<=40%),
simptomatik dan ditatalaksana dengan ACE-I/ARB, SBP >=100 mmHG, eGFR >30 ml/min/1.73
m2, Kalium <5.2mmol/l. Sebelumnya perlu dilakukan wash out dari ACE inhibitor dengan
minimal waktu 36 jam atau 1.5 hari sebelum dimulainya ARNI ini. Pemberian ARNI ini juga
baiknya diberikan pada dosis rendah 50 mg apabila kekuatan ACE inhibitor/ARB ini rendah,
dapat diberikan 100 mg apabila dosis ACEi/ARB sebelumnya dosis tinggi. Obat-obatan ini
dapat dilakukan uptitrasi, peningkatan dosis 2 kali lipat setiap 2-4 minggu sampai mencapai
dosis maksimum yang dapat ditolerasi oleh pasien. 9
Referensi
1. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management
of Heart Failure: executive summary: a report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation
2013;128:1810–1852.
2. Desai Akshay S, Solomon S, Claggett B, et al. Factors Associated With Noncompletion
During the Run-In Period Before Randomization and Influence on the Estimated Benefit of
LCZ696 in the PARADIGM-HF Trial. Circulation: Heart Failure. 2016;9:e002735.
3. Volpe M, Carnovali M and Mastromarino V. The natriuretic peptides system in the
pathophysiology of heart failure: from molecular basis to treatment. Clinical Science.
2016;130:57-77.
4. Kristensen Søren L, Preiss D, Jhund Pardeep S, et al. Risk Related to Pre–Diabetes
Mellitus and Diabetes Mellitus in Heart Failure With Reduced Ejection Fraction. Circulation:
Heart Failure. 2016;9:e002560.
5. McMurray JJV, Packer M, Desai AS, et al. Baseline characteristics and treatment of
patients in Prospective comparison of ARNI with ACEI to Determine Impact on Global
Mortality and morbidity in Heart Failure trial (PARADIGM-HF). European Journal of Heart
Failure. 2014;16:817-825.
6. Packer M. Let Us Not Forget the Long-term Safety Concerns of Sacubitril/Valsartan—
ReplyLet Us Not Forget the Long-term Safety Concerns of Sacubitril/Valsartan—ReplyLetters.
JAMA Cardiology. 2017;2:819-819.
7. Böhm M, Young R, McMurray JJV, et al. Systolic blood pressure, cardiovascular
outcomes and efficacy and safety of sacubitril/valsartan (LCZ696) in patients with chronic
heart failure and reduced ejection fraction: results from PARADIGM-HF. Eur Heart J.
2017;38:1132-1143.
8. Jhund PS, McMurray JJV, Rouleau JL, et al. Efficacy and safety of LCZ696 (sacubitril-
valsartan) according to age: insights from PARADIGM-HF. Eur Heart J. 2015;36:2576-2584.
53
9. Entresto (Sacubitril/ Valsartan) [package insert]. East Hanover, NJ: Novartis
Pharmaceuticals Corp; August 2015.
54
Anticoagulant for Acute Coronary Syndrome
Sindroma koroner akut merupakan penyebab utama dari mortalitas penyakit kardiovaskular.
Pasien sindroma koroner akut tetap berisiko mengalami kejadian kardiovaskular berulang
walaupun telah mendapat terapi medikamentosa dan revaskularisasi. Proses utama pada
SKA yang menyebabkan iskemia miokard hingga nekrosis adalah oklusi akut akibat thrombus
yang ukurannya bervariasi. Thrombus yang terbentuk akibat ruptur plak sebagaian besar
adalah terdiri trombosit (platelets). Ruptur plak dan agregasi trombosit akan mengaktikan
sistim koagulasi.
55
Gambar 1. Mekanisme thrombogenesis dan lokasi kerja antikoagulan AT (Antithrombin)
Terapi antikoagulan
Jalur pembentukan thrombus secara sederhana terjadi melalui dua jalur , jalur platelet dan
jalur thrombin. Pada kasus NSTE SKA terbukti terapi kombinasi agen antikoagulan dengan
antiplatelet lebih efektif dalam menurunkan kejadian trombotik berulang.3
UFH mempunyai jendela terapi yang sempit dan mempunyai perbedaan pharmakokinetik
pada masing-masing individu bervariasi. Sehingga penggunaannya untuk mencapai dosis
terapi memerlukan pemantauan ketat dengan pemeriksaan Activated clotting time (ACT) di
laboratorium katerisasi atau activated partial thromboplasmin time (aPTT) di ruang lain.
Kegunaan UFH pada SKA telah divalidasi oleh beberpa studi randomisasi terkontrol.4,5 Semua
studi-studi secara konsisiten menunjukan adanya efektivitas bermakna UFH dibanding
placebo dalam mengurangi kejadian iskemia berulang pada pasien SKA. Dosis pemberiaan
UFH berdasarkan berat badan, dan sesuai rekomendasi panduan ESC dan PERKI dosis awal
bolus 60–70 IU/kg maksimum 5000 IU dengan dosis rumatan 5000 IU, followed by an
infusion of 12–15 IU/kg/jam maksimal 1000 IU/jam dititrasi sesuai target aPTT 1,5-2
x/kontrol. Saat tindakan PCI dengan panduan ACT, target ACT bila menggunakan Gp IIbIIIa
200-250 detik, sedangkan target ACT tanpa GPIIbIIIa ACT 250-350. Alternatifnya bila tidak
dipandu dengan pemeriksaan ACT, UFH bolus 60-70 u/kg dengan GPIIbIIIa atau UFH bolus
70-100 u/kg tanpa GPIIbIIIa. Penggunaan UFH tidak dilanjutkan setelah revaskularisasi,
kecuali ada indikasi lain seperti Atrial fibrilasi , Penyakit arteri perifer.
Untuk pasien yang mendapat fibrinolitik sesuai rekomendasi ESC dan PERKI, antikoagulan
diberikan sebelum dan sesudah fibrinolysis pada pasien STE-SKA. Pemberiaan antikoagulan
inini dilanjutkan hingga revaskularisasi dilakukan. Sedangkan pasien SKA yang ditangan
56
secara medikamentosa tanpa revaskularisasi, pemberian UFH direkomendasikan selama 48
jam.
Studi randomisasi control teracak untuk penggunaan UFH pada pasien intervensi koroner
perkutan primer tidak ada, namun pengunaannya umum dan direkomendasikan dengan
dosis seperti tindakan PCI lainnya. Penggunaan Enoxaparin dapat dilanjutkan tanpa UFH
atau sebagai alternatif. Pada tindakan intervensi koroner primer penaduan penggunaan UFH
dengan ACT belum ada studinya dan intinya untuk terjadi keterpambatan karena perlu
memeriksa ACT.
Penggunaan UFH pada studi randomisasi teracak memperlihatkan agka kejadian perdarahan
yang lebih tinggi dibanding anticoagulant lainnya. Walaupun mempunyai angka kejadian
perdarahan lebih tinggi, UFH tetap masih umum digunakan, karena dengan kombinasi terapi
terbukti efektif dan ekonomis, waktu paruh yang singkat dan mudah di reverse dengan
antidote protamine.
Enoxaparin merupakan LWMH yang paling sering digunakan dan mempunyai banyak studi.
Pada studi SYNERGY, Enoxaparin pada pasien SKA berisiko tinggi menjalani strategi invasf
sebanding dengan UFH untuk kejadian gabungan kematian dan infark miokard pada hari ke
30.7 Namun kejadian perdarahan mayor berdasarkan kriteria TIMI pada kelompok
enoxaparin lebih tinggi. Pada studi ini penanganan SKA menggunakan antiplatelet tambahan
GPIIbIIIa. Pada studi selanjutnya ATOLL trial, pada pasien SKA yang menjalani intervensi
koroner perkutan primer enoxaparin dibandingkan UFH, menurunkan angka kematian,
kejadian SKA berulang dan keperluan revaskularisasi urgen (30 % versus 52 %; p=0.015),
tanpa peningkatan rate perdarahan.8
Pada satu metanalisis dengan populasi SKA keunggulan enoxaparine di banding UFH dalam
menurunkan mortalitas pada hari ke 30 hanya marginal dan risiko perdarahan mayor pada
hari ke 7 tidak ada perbedaan bermakna lebih.9 Pada metaanalisis dengan skala jumlah studi
dan subyek yang lebih besar, 23 trial dengan jumlah subyek sekitar 30 ribu, memperlihatkan
keunggulan enoxaparin dibanding UFH dalam menurunkan kejadian gabungan dari
kematian, MI, komplikasi infark miokard dan perdarahan.
Studi kontrol acak, EXTRACT TIMI 25, pasien STEMI yang menjalani fibrinolysis enoxaparin
lebih unggul dibanding UFH untuk mencegah kematian (RRR 17%) dan infark miokard yang
57
tidak fatal (RRR 33%). Insidens Kejadian gabungan untuk kematian, infark miokard non fatal
dan revaskularisasi urgen lebih rendah pada kelompok pasien yang mendapatkan
antikoagulan enoxaparine. Keunggulan enoxaparine dibanding UFH konsisten pada
fibrinolitik fibrin spesifik, alteplase, maupun fibrin non sepesifik, streptokinase. Namun
untuk pasien usia diatas 75 tahun, dosis enoxaparine perlu disesuaikan tanpa bolus dengan
dosis rumatan enoxaparin lebih rendah dua kali 0.75 mg/kg. Untuk pasien dengan gangguan
ginjal, estimasi laju filtrasi glomerulus kurang dari 15-29 ml/min/1,73 m2, dosis rumatan 1
mg/kg subkutan satu kali/hari.10
Fondaparinux
Fondaparinux merupakan penyekat factor Xa dengan waktu setengah paruh 17 jam
sehingga pengunaanya cukup satu kali sehari. Agen ini mencegah pembentukan thrombin
dengan mengikat antithrombin secara reversible. Seperti enoxaparin, fondaparinux janrang
berikatan dengan protein plasma, sehingga efek antikoagulannya lebih mudah di prediksi
dan tidak memerlukan pemantauan efeknya. Penggunaan agen ini tidak menimbulkan
rissiko terjadi heparin induced thrombocytopenia (HIT), tapi di ekskresi melalui ginjal.
Penggunaannya tidak direkomendasikan pada estimasi eGFR kurtang dari 20
ml/mnt/1,73m2.
Fondaparinux dengan dosis 2,5 mg telah terbukti mempunyai efektif perdarahan paling
rendah dengan efektifitas iskemik yang sama dengan dosis yang lebih tinggi.11
Studi OASIS 5, dilakukan pada sekitar dua puluh ribu subyek, memperlihatkan efektifitas
untuk mencegah kematian dan kejadian iskemik pada pasien NSTE SKA hari ke IX tidak
berbeda dibanding enoxaparine, namun pada hari ke XXX secara bermakna mereduksi
mortalitas secara bermakana sebesar 17% kejadian dengan ratio hazard 0,83 dan risiko
komposit kematian, infark miokard dan stroke sebesar 11 % denmgan ratio hazard 0,89.
58
Keunggulannya diperlihatkan pada penurunan risiko perdarahan mayor pada hari ke IX
sebesar 48%. Hasil ini independent dari waktu intervensi dilakukan dan waktu terakhir
pemberiaan dosis antikoagulan. Kejadian peri kateter thrombosis pada pasien yang
menjalani intervensi koroner angka kejadian lebih tinggi pada subyek menerima
fondaparinux sehingga direkomendasikan untuk memberi UFH bolus saat melakukan
intervensi koroner.12 Hasil temuan pada studi ini di replikasi pada pengalaman sesungguhnya
(real world) dengan menanalisa 40.616 subyek dari registri SCAAR di Scandinavia,
menurunkan rate perdarahan dan kematian pada pasien NSTE SKA dibanding dengan
enoxaparine.13 Risiko perdarahan mayor di seluruh spektrum berdasarkan estimasi GFR,
fondaparinux lebih superior terutama pada eGFR 20-30 ml/mnt/1,73 m2.14
Pada pasien dengan STE – SKA yang menjalani PPCI berdasarkan OASIS 6, penggunaan
fondaparinux tidak direkomendasi. Namun untuk pasien yang menjalani fibrinolisis dengan
streptokinase, rate infark miokard berulang dan kematian lebih rendah apabila antikoagulan
yang digunakan fondaparinux dibanding penggunaan UFH atau placebo.15
Setelah menimbang antara efektifitas dan risiko perdarahannya, ESC dan PERKI
merekomendasikan penggunaan fondaparinux 2,5 mg 1x/hr subkutan menjadi pilihan
pertama pada pasien NSTE-SKA dengan strategi invasive maupun konservatif. Pada pasien
yang NSTE-SKA yang menjalani tindakan strategi invasif di rekomendasikan untuk
menuggunakan UFH bolus dengan dosis cukup 50 u/kg.16
Rangkuman
Penggunaan anticoagulant kombinasi dengan dual antiplatelets untuk tatalaksana fase akut
SKA sangat penting dan terbatas hanya untuk terapi awal dan saat revaskularisasi.
Antikoagulan yang ada dan dapat di pergunakan pada pasien SKA pada fase akut adalah
UFH, Enoxaparine, Fondaparinux. Rivaroxaban adalah NOAC yang dapat digunakan untuk
prevensi sekunder bukan fase akut. Studi randomisasi teracak yang besar telah
memperlihatkan keunggulan fondaparinux sebagai agen antikoagulan yang lebih aman
59
dibanding enoxaparine dan UFH untuk penggunaan fase akut saat admisi pada pasien SKA
kecuali STE -SKA. Saat pasien dengan terapi antikoagulan fondaparinux menjalani strategi
invasive perlu di berikan bolus UFH tambahan untuk mencegah terjadinya thrombosis di
sekitar sheath kateter saat prosedur dilakukan. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal
eGFR 20-30 ml/mnt/1,73m2, fondaparinux lebih aman dari risiko perdarahan dibanding
enoxaparine.
Pendekatan secara individual diperlukan untuk mencapai keseimbangan risiko iskemia dan
risiko perdarahan dan dapat dicapai dengan penggunaan antiplatelet dengan potensi yang
sesuai dan penggunaan anti koagulan fondaparinux. Hingga saat ini pengunaan anti Xa direk
dapat digunakan sebagai prevensi sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gailani D, Renne T. Intrinsic pathway of coagulation and arterial thrombosis. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 2007;27:2507-13.
2. Pesarini G, Ariotti S, Ribichini F. Current Antithrombotic Therapy in Patients with Acute
Coronary Syndromes Undergoing Percutaneous Coronary Interventions. Interventional
cardiology (London, England) 2014;9:94-101.
3. Eikelboom JW, Anand SS, Malmberg K, Weitz JI, Ginsberg JS, Yusuf S. Unfractionated
heparin and low-molecular-weight heparin in acute coronary syndrome without ST
elevation: a meta-analysis. Lancet (London, England) 2000;355:1936-42.
4. Theroux P, Ouimet H, McCans J, et al. Aspirin, heparin, or both to treat acute unstable
angina. The New England journal of medicine 1988;319:1105-11.
5. Cohen M, Adams PC, Parry G, et al. Combination antithrombotic therapy in unstable rest
angina and non-Q-wave infarction in nonprior aspirin users. Primary end points analysis
from the ATACS trial. Antithrombotic Therapy in Acute Coronary Syndromes Research
Group. Circulation 1994;89:81-8.
6. Weitz JI. Low-molecular-weight heparins. The New England journal of medicine
1997;337:688-98.
7. Ferguson JJ, Califf RM, Antman EM, et al. Enoxaparin vs unfractionated heparin in high-
risk patients with non-ST-segment elevation acute coronary syndromes managed with
an intended early invasive strategy: primary results of the SYNERGY randomized trial.
Jama 2004;292:45-54.
8. Montalescot G, Zeymer U, Silvain J, et al. Intravenous enoxaparin or unfractionated
heparin in primary percutaneous coronary intervention for ST-elevation myocardial
infarction: the international randomised open-label ATOLL trial. Lancet (London,
England) 2011;378:693-703.
9. Murphy SA, Gibson CM, Morrow DA, et al. Efficacy and safety of the low-molecular
weight heparin enoxaparin compared with unfractionated heparin across the acute
coronary syndrome spectrum: a meta-analysis. European heart journal 2007;28:2077-
86.
60
10. Giraldez RR, Nicolau JC, Corbalan R, et al. Enoxaparin is superior to unfractionated
heparin in patients with ST elevation myocardial infarction undergoing fibrinolysis
regardless of the choice of lytic: an ExTRACT-TIMI 25 analysis. European heart journal
2007;28:1566-73.
11. Simoons ML, Bobbink IW, Boland J, et al. A dose-finding study of fondaparinux in
patients with non-ST-segment elevation acute coronary syndromes: the
Pentasaccharide in Unstable Angina (PENTUA) Study. Journal of the American College of
Cardiology 2004;43:2183-90.
12. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, et al. Comparison of fondaparinux and enoxaparin in
acute coronary syndromes. The New England journal of medicine 2006;354:1464-76.
13. Szummer K, Oldgren J, Lindhagen L, et al. Association between the use of fondaparinux
vs low-molecular-weight heparin and clinical outcomes in patients with non-ST-segment
elevation myocardial infarction. Jama 2015;313:707-16.
14. Fox KA, Bassand JP, Mehta SR, et al. Influence of renal function on the efficacy and
safety of fondaparinux relative to enoxaparin in non ST-segment elevation acute
coronary syndromes. Annals of internal medicine 2007;147:304-10.
15. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, et al. Effects of fondaparinux on mortality and
reinfarction in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction: the
OASIS-6 randomized trial. Jama 2006;295:1519-30.
16. Steg PG, Jolly SS, Mehta SR, et al. Low-dose vs standard-dose unfractionated heparin for
percutaneous coronary intervention in acute coronary syndromes treated with
fondaparinux: the FUTURA/OASIS-8 randomized trial. Jama 2010;304:1339-49.
17. Mega JL, Braunwald E, Wiviott SD, et al. Rivaroxaban in patients with a recent acute
coronary syndrome. The New England journal of medicine 2012;366:9-19.
61
Manfaat Penilaian Fungsional Secara Invasif Pada Tindakan Intervensi
Koroner Perkutan Pada Angina Pektoris Stabil
Doni Firman
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Terdapat tiga langkah dalam menentukan tata-laksana APS. Langkah pertama analisis pada pasien
dengan angina pektoris stabil (APS) adalah dengan melakukan analisa pre-test probablility dengan
data klinis sederhana. Langkah berikut adalah melakukan pemeriksaan laboratorik sederhana,
Elektrokardiografi istirahat, jika diperlukan- elektrokardiografi ambulatoar, foto toraks pada kondisi
tertentu. Semua pemeriksaan bisa dilakukan di poliklinik. Langkah selanjutnya adalah melakukan
pemeriksaan non invasif untuk menegakkan diagnosis. Setelah diagnosis APS ditegakkan,
pengobatan segera diberikan ( Optimal Medical Therapy / OMT ) sambil melakukan pemeriksaan
lanjut dengan tujuan untuk menentukan apakah tindakan revaskularisasi akan memberikan manfaat.
Langkah-langkah tersebut di atas dapat dipintas tergantung kepada kondisi klinis pasien. (2, 3)
Lesi yang menyebabkan iskemia dapat dibagi dua yaitu lesi dengan functionally significant stenosis
dan lesi functionaly non-significant stenosis. Functionally significant stenosis adalah lesi yang
menyebabkan angina pektoris dan tindakan IKP akan menghilangkan keluhan lebih baik
dibandingkan dengan hanya terapi medikal. Functionally non-significant stenosis tidak menyebabkan
keluhan dan tidakan IKP pada lesi ini akan tidak akan memperbaiki keluhan dan luaran. (1)
62
Gambar 1. Tatalaksana angina pektoris stabil (3)
Limitasi angiografi
Angiografi koroner telah lama dipakai sebagai satu-satunya alat untuk menentukan pilihan
revaskularisasi. Pada kenyataannya angiografi sering kali menghasilkan kesimpulan over atau
underestimated. Analisa dari sub studi FAME memperlihatkan bahwa pada dua pertiga populasi
dengan stenosis lebih dari 50 persen secara angiografi ternyata tidak signifikan menyebabkan
iskemia. Ketidak sesuaian ini dinamakam mismatches yang didefinisikan sebagai lesi yang 50
persen dan FFR > 0.8 Pada studi lain ditemukan fenomena ini ditemukan pada 57% pada lesi non left-
main dan 35% pada lesi left-main ( p = 0.032 ). Sebaliknya pada lesi dengan stenosis < 50% tapi FFR <
0.8 ( reverse mismatch ), ditemukan pada 16 % pada lesi non left-main dan 40% pada lesi left main (
p < 0.001 ). Prediktor independen untuk terjadinya mismatch adalah usia tua, non LAD arteri, bukan
plak yang rupture, lesi pendek, lumen area yang besar, plak yang kecil, diameter minimal lumen yang
besar. Sebaliknya prediktor independen terjadinya reverse mismatch adalah usia muda, lesi di arteri
LAD, ruptur plak, area lumen kecil, dan plak yang besar.(4)
Prinsip FFR
FFR didefinisikan sebagai rasio aliran darah miokardial di arteri koroner yang mempunyai
penyempitan dibandingkan dengan aliran darah di arteri yang sama pada keadaan tanpa
penyempitan.(5)
Rumus FFR didapatkan dari turunan pada gambar di bawah.
63
Gambar 2. Turunan rumus FFR(5)
FFR didapatkan dengan mengukur rerata tekanan koroner distal dengan menggunakan pressure wire
dibandingkan dengan tekanan rerata di proksimal arteri koroner pada keadaan hiperemia.
Pengukuran FFR telah dibadingkan dengan pemeriksaan non invasif lain seperti exercise testing,
dobutamine stress echocardiography dan exercise thallium scintigraphy dengan akurasi mendekati
100 persen.(5)
Nilai baku normal FFR bervariasi dari tiap studi berkisar antara 0.75 samai 0.8 dengan nilai spesifitas
yang tinggi. Jika FFR di atas 0.8 maka kecil kemungkinan lesi tersebut mengakibatkan iskemia. FFR
terbukti berhubungan langsung dengan aliran darah dan suplai oksigen ke miokardium. Nilai FFR 0.6
berarti distribusi oksigen ke miokardium yamg didarahi arteri koroner tersebut hanya mencapai 60%
jika dibandingkan dengan aliran pada arteri koroner yang sama tanpa stenosis. Peningkatan FFR
menjadi 0.9 mempunyai arti peningkatan aliran sebanyak 50%. FFR juga independen terhadap
kondisi mikrovaskular dan spesifik untuk lesi epikardia. Miokardium yang sudah infark juga akan
mempengaruhi nilai FFR, pada kondisi ini nilai FFR yang tinggi diakibatkan oleh otot jantung yang
sudah mengalami kematian. (6)
Keadaan hiperemia mutlak didapatkan jika kita akan mengukur FFR. Berbagai obat dapat digunakan
untuk mencapai keadaan tersebut seperti pada tabel 1.
64
Tabel 1. Obat-obat yang digunakan untuk mencapai keadaan hiperemia(7)
Saat ini pemeriksaan FFR dan iFR direkomendasikan kelas IA pada ESC Guidelines on myocardial
revascularization untuk lesi intermediate.(1)
Pengamatan selama 24 bulan menunjukkan event-free survival pada kelompok yang dilakukan IKP
dengan FFR > 0,75 sebanyak 83 % dan 89% pada kelompok yang ditunda (p= 0.27). penelitian ini
menyimpulan bahwa jika IKP dilakukan pada FFR > 0,75 tidak akan memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan jika ditunda.(8)
Data ini tetap konsisten dalam pengamatan selama lima tahun yang makin membuktikan bahwa jika
FFR > 0.75 maka menunda tindakan IKP adalah aman (9)
Penelitian lain adalah FAME study, yang membandingkan tindakan IKP dengan bantuan angiografi
saja atau dengan tambahan FFR pada lesi intermediet. Pangamatan selama satu tahun membuktikan
kajadian kardiovaskular yang lebih tinggi pada kelompok yang hanya menggunakan angiografi saja (
18.3 % vs 13.2% ( p=0.02 ).(10)
Penelitian lain adalah FAME 2 yang membandingkan apakah pada lesi dengan FFR 0.8 , tindakan
IKP akan memperbaiki luaran klinis dibandingkan dengan terapi medikamentosa saja. Rekrutmen
pasien dihentikan ketika pasien mencapai 1220 karena target penelitian sudah tercapai. Terlihat
luaran klinis lebih tinggi terjadi pada kelompok dengan medikamentosa dibandingkan dengan
kelompok yang menjalani IKP ( 4.3% vs 12.7% p < 0.001). (6)
65
Resting index
Pemeriksaan FFR dilakukan pada keadaan hiperemia dengan menggunakan obat vasodilator.
Umumnya obat yang dipakai adalah adenosine. Permasalahannya adalah timbulnya efek samping,
bertambahnya waktu prosedur dan masalah biaya. Karena masalah di atas mulai diperkenalkan
berbagai resting index yang tidak membutuhkan obat vasodilator.(11, 12)
Indeks yang paling popular saat ini adalah instantaneous wave-free ratio (iFR). Indeks ini didapatkan
dengan menghitung rasio tekanan koroner distal (Pd) dan tekanan aorta (Pa) pada periode tertentu
saat late diastole yang dinamakan wave free period (WFP). Pada periode ini dianggap resisten paling
rendah dan konstan. Penelitian yang membuktikan manfaat iFR adalah DEFINE-FLAIR dan SWEDE-
HEART. Indeks lain adalah resting pd/pa yang didefinisikan sebagai rasio tekanan arteri koroner
distal dibagi dengan tekanan aorta selama siklus kardiak. (13)
Kesimpulan
Penilaian iskemia pada lesi intermediet dengan menggunakan FFR terbukti memberikan manfaat
terhadap luaran klinis pasien pada prosedur intervensi koroner perkutan.
Daftar Pustaka:
1. Neumann FJ, Sousa-Uva M, Ahlsson A, Alfonso F, Banning AP, Benedetto U, et al. [2018
ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization]. Kardiologia polska. 2018;76(12):1585-
664. PubMed PMID: 30566213. 2018 ESC/EACTS Guidelines onmyocardial revascularization.
2. Task Force M, Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, et al. 2013 ESC
guidelines on the management of stable coronary artery disease: the Task Force on the
management of stable coronary artery disease of the European Society of Cardiology. European
heart journal. 2013 Oct;34(38):2949-3003. PubMed PMID: 23996286.
3. Patel MR, Calhoon JH, Dehmer GJ, Grantham JA, Maddox TM, Maron DJ, et al.
ACC/AATS/AHA/ASE/ASNC/SCAI/SCCT/STS 2017 Appropriate Use Criteria for Coronary
Revascularization in Patients With Stable Ischemic Heart Disease: A Report of the American
College of Cardiology Appropriate Use Criteria Task Force, American Association for Thoracic
Surgery, American Heart Association, American Society of Echocardiography, American Society of
Nuclear Cardiology, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society of
Cardiovascular Computed Tomography, and Society of Thoracic Surgeons. Journal of the American
College of Cardiology. 2017 May 2;69(17):2212-41. PubMed PMID: 28291663.
4. Park SJ, Kang SJ, Ahn JM, Shim EB, Kim YT, Yun SC, et al. Visual-functional mismatch between
coronary angiography and fractional flow reserve. JACC Cardiovascular interventions. 2012
Oct;5(10):1029-36. PubMed PMID: 23078732.
5. Fearon WF. Percutaneous coronary intervention should be guided by fractional flow reserve
measurement. Circulation. 2014 May 6;129(18):1860-70. PubMed PMID: 24799502. Pubmed
Central PMCID: 5544937.
6. De Bruyne B, Pijls NH, Kalesan B, Barbato E, Tonino PA, Piroth Z, et al. Fractional flow reserve-
guided PCI versus medical therapy in stable coronary disease. The New England journal of
medicine. 2012 Sep 13;367(11):991-1001. PubMed PMID: 22924638.
66
7. Pijls NH, Tanaka N, Fearon WF. Functional assessment of coronary stenoses: can we live without
it? European heart journal. 2013 May;34(18):1335-44. PubMed PMID: 23257950.
8. Bech GJ, De Bruyne B, Pijls NH, de Muinck ED, Hoorntje JC, Escaned J, et al. Fractional flow reserve
to determine the appropriateness of angioplasty in moderate coronary stenosis: a randomized
trial. Circulation. 2001 Jun 19;103(24):2928-34. PubMed PMID: 11413082.
9. Pijls NH, van Schaardenburgh P, Manoharan G, Boersma E, Bech JW, van't Veer M, et al.
Percutaneous coronary intervention of functionally nonsignificant stenosis: 5-year follow-up of
the DEFER Study. Journal of the American College of Cardiology. 2007 May 29;49(21):2105-11.
PubMed PMID: 17531660.
10.Tonino PA, De Bruyne B, Pijls NH, Siebert U, Ikeno F, van' t Veer M, et al. Fractional flow reserve
versus angiography for guiding percutaneous coronary intervention. The New England journal of
medicine. 2009 Jan 15;360(3):213-24. PubMed PMID: 19144937.
11.Van't Veer M, Pijls NHJ, Hennigan B, Watkins S, Ali ZA, De Bruyne B, et al. Comparison of Different
Diastolic Resting Indexes to iFR: Are They All Equal? Journal of the American College of Cardiology.
2017 Dec 26;70(25):3088-96. PubMed PMID: 29268922.
12.Heusch G. Adenosine and maximum coronary vasodilation in humans: myth and misconceptions
in the assessment of coronary reserve. Basic research in cardiology. 2010 Jan;105(1):1-5. PubMed
PMID: 19941145.
13.Picard F, Pighi M, Ly HQ. Fractional flow reserve and resting indices for coronary physiologic
assessment: Practical guide, tips, and tricks. Catheterization and cardiovascular interventions :
official journal of the Society for Cardiac Angiography & Interventions. 2017 Oct 1;90(4):598-611.
PubMed PMID: 28160376.
67
Antihypertensive Drugs and Risk of Cancer
Elen
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Penurunan tekanan darah dengan obat antihipertensi mengurangi morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit kardiovaskular. Namun setelah senyawa anatihipertensi pertama beredar di
pasaran, muncul kekhawatiran bahwa obat hipetensi dapat meningkatkan risiko kanker. Hal
ini diawali dengan adanya kasus reserpin dan risiko kanker payudara, diuretik dan risiko
karsinoma sel ginjal, serta penyekat kanal kalsium (calcium channel blockers - CCB), penyekat
beta (beta blocker – BB), penghambat enzim pengkonversi angiotensin (angiotensin
converting enzyme inhibitor - ACEI) dan penyekat reseptor angiotensin (angiotensin receptor
blocker - ARB) dan risiko berbagai kanker.1-3 Pengamatan awal ini telah menimbulkan
kekhawatiran bagi pasien maupun dokter serta perdebatan dalam komunitas ilmiah.
Secara umum, asosiasi antihipertensi dan risiko kanker yang dilaporkan bersifat lemah dan
risiko absolut relatif rendah dibandingkan dengan manfaatnya terhadap penyakit
kardiovaskular dari obat-obat tersebut. Lebih lanjut, efek protektif dari ACEI lebih besar
daripada efek risikonya terhadap kanker.4 Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan kesehatan
setelah menimbang rasio risiko dan manfaatnya pada umumnya sangat mendukung
penggunaan obat antihipertensi. Ketika menilai hubungan antara obat antihipertensi dan
kanker sangat sulit untuk memisahkan faktor lainnya seperti merokok, obesitas, dan
paparan zat toksik. Hipertensi juga telah ditemukan sebagai faktor risiko kanker.5 Kanker dan
hipertensi memiliki beberapa faktor risiko dan mekanisme patogenik yang umum: termasuk
peradangan, stres oksidatif, dan faktor pertumbuhan, yang dapat menjelaskan hubungan
antara dua entitas klinis tersebut. Sehingga sangat sulit untuk memisahkan efek
hipertensi dan efek terapi antihipertensi terhadap kanker.6, 7
Terdapat beberapa studi baru yang meneliti hubungan obat antihipertensi dan kanker. Yang
pertama meneliti hubungan antara penggunaan hidroklorotiazid (HCT) dengan risiko
karsinoma sel basal (BCC) dan karsinoma sel skuamosa (SCC) dalam studi kasus-kontrol
menggunakan data Registri Kanker Denmark dan Registry Peresepan Denmark.8 Dalam
analisis ini, penggunaan HCTZ dosis kumulatif tinggi (> 50 g) dikaitkan dengan peningkatan
risiko terkait dosis terhadap BCC (OR 1,29; 95% CI: 1,23-1,35) dan SCC (OR 3,84; 95% CI:
3,68–4,31). Proporsi kanker kulit yang dikaitkan dengan penggunaan HCT adalah 0,6% untuk
BCC dan 9,0% untuk SCC. Risiko lebih tinggi pada wanita daripada pria dan pada pasien <50
tahun. Peningkatan risiko ini tidak didapatkan pada penggunaan
klortalidon atau indapamid. Mekanisme yang dihipotesiskan adalah efek fotosensitisasi dari
HCT, efek yang tidak didapatkan dari diuretik lainnya. Keterbatasan utama dari analisis ini
adalah tidak adanya informasi tentang paparan sinar matahari dan ultraviolet, yang
merupakan faktor risiko utama terjadinya SCC. Selain itu, Denmark dengan populasi berkulit
putih dengan rambut pirang, diketahui berisiko tinggi terkena kanker kulit. Tingkat risiko ini
68
pada populasi-populasi lainnya perlu diselidiki lebih lanjut. Dalam analisis lainnya
menggunakan database yang sama, didapatkan peningkatan risiko melanoma nodular pada
penggunaan HCT.9 Risiko BCC dan nodular melanoma relatif rendah. Dari kajian terbaru dari
literatur dan meta-analisis kanker kulit dan penggunaan obat antihipertensi, CCB dikaitkan
dengan peningkatan risiko kanker kulit (OR 1,14; 95% CI 1,07-1,21), dan BB dikaitkan dengan
melanoma kulit (OR 1,21; 95% CI 1,05-1,40). 10 Berbeda dengan studi Denmark yang
disebutkan di atas, tidak ada asosiasi antara penggunaan thiazide, ACEI atau ARB dan risiko
kanker kulit.
Saat ini tidak ada penulis publikasi maupun kebijakan kesehatan yang menyarankan
penghentian HCT karena pada pertimbangan risiko-manfaat didapatkan manfaat yang lebih
besar bagi pasien. Pasien yang menggunakan HCT harus diinformasikan tentang risiko
potensial dan diedukasi untuk memeriksa kulit secara teratur dan menghindari paparan
ultraviolet. Dalam kasus riwayat positif kanker kulit atau kekhawatiran pasien yang
berlebihan, penggantian ke klortalidon atau indapamid dapat diusulkan. Kemudian jika
dikhawatirkan risiko kanker paru pada penggunaan obat antihipertensi, maka terlebih
dahulu harus dilakukan untuk berhenti merokok dan upaya menjaga kebersihan udara di
lingkungan.
Masalah lain yang terkait dengan risiko kanker pada penggunaan hipertensi adalah
ditemukannya zat pengotor/impurities yang kadarnya melebihi batas aman, yaitu: N-
69
Nitrosodimethylamine (NDMA), N-Nitrosodiethylamine (NDEA), dan N-Nitroso-N-methyl-4-
aminobutyric acid (NMBA) pada beberapa produksi bahan baku farmasi aktif (active
pharmaceutical ingredient) obat golongan ARB (Irbesartan, Losartan, dan Valsartan). Saat ini
baik European Medicines Agency (EMA), US Food and Drug Administration (FDA), Medicines
and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) maupun BPOM RI terus menerus
melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap bahan baku tersebut. Beberapa perusahaan
yang memproduksi bahan baku yang terkontaminasi tersebut telah diidentifikasi. Penarikan
terhadap obat-obat yang produksinya terdapat impurities tersebut telah dilakukan.
Daftar Pustaka:
1. Heinonen OP, Shapiro S, Tuominen L, Turunen MI. Reserpine use in relation to breast
cancer. Lancet. 1974;2:675-7
2. Grossman E, Messerli FH, Goldbourt U. Does diuretic therapy increase the risk of
renal cell carcinoma? Am J Cardiol. 1999;83:1090-3
3. Sipahi I, Debanne SM, Rowland DY, Simon DI, Fang JC. Angiotensin-receptor blockade
and risk of cancer: meta-analysis of randomised controlled trials. Lancet Oncol.
2010;11:627-36
4. Lever AF, Hole DJ, Gillis CR, McCallum IR, McInnes GT, MacKinnon PL, et al. Do
inhibitors of angiotensin-I-converting enzyme protect against risk of cancer? Lancet.
1998;352:179-84
5. Dyer AR, Stamler J, Berkson DM, Lindberg HA, Stevens E. High blood-pressure: a risk
factor for cancer mortality? Lancet. 1975;1:1051-6
6. Messerli FH. Risk factors for renal cell carcinoma: hypertension or diuretics? Kidney
Int. 2005;67:774-5
7. Koene RJ, Prizment AE, Blaes A, Konety SH. Shared Risk Factors in Cardiovascular
Disease and Cancer. Circulation. 2016;133:1104-14
8. Pedersen SA, Gaist D, Schmidt SAJ, Holmich LR, Friis S, Pottegard A.
Hydrochlorothiazide use and risk of nonmelanoma skin cancer: A nationwide case-
control study from Denmark. J Am Acad Dermatol. 2018;78:673-81 e9
9. Pottegard A, Pedersen SA, Schmidt SAJ, Holmich LR, Friis S, Gaist D. Association of
Hydrochlorothiazide Use and Risk of Malignant Melanoma. JAMA Intern Med.
2018;178:1120-2
10. Gandini S, Palli D, Spadola G, Bendinelli B, Cocorocchio E, Stanganelli I, et al. Anti-
hypertensive drugs and skin cancer risk: a review of the literature and meta-analysis.
Crit Rev Oncol Hematol. 2018;122:1-9
11. Hicks BM, Filion KB, Yin H, Sakr L, Udell JA, Azoulay L. Angiotensin converting enzyme
inhibitors and risk of lung cancer: population based cohort study. BMJ.
2018;363:k4209
12. Shen J, Huang YM, Wang M, Hong XZ, Song XN, Zou X, et al. Renin-angiotensin system
blockade for the risk of cancer and death. J Renin Angiotensin Aldosterone Syst.
2016;17
70
13. Bangalore S, Kumar S, Kjeldsen SE, Makani H, Grossman E, Wetterslev J, et al.
Antihypertensive drugs and risk of cancer: network meta-analyses and trial
sequential analyses of 324,168 participants from randomised trials. Lancet Oncol.
2011;12:65-82
71
Tatalaksana Gangguan Fungsi Ginjal pada Pasien dengan Penyakit
Kardiovaskular
Estu Rudiktyo
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Abstract
Cardiovascular disease (CVD) and chronic kidney disease (CKD) are important public health
problem in the world, including Indonesia. Epidemiological study in Indonesia demonstrating
that CVD and CKD are main causes of mortality and morbidity, also, both conditions draw
significant amount of national insurance system resources. CVD and CKD share traditional
risk factors such as hypertension and diabetes. Moreover, abnormality of the heart may
induce worsening of renal function through several mechanism and vice versa. There are
several points that must be take into consideration in managing CKD in CVD in patients:
evaluation of renal dysfuncyion etiology, monitoring and intervention of hemodynamic
changes caused by CVD, adverse effect of cardiovascular drugs to renal function and effect of
cardiovascular diagnostic and therapeutic procedure that may worsen existeing kidney
disease.
Pendahuluan
Gangguan fungsi ginjal merupakan salah satu kondisi yang sering dijumpai pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular dan akan sangat meningkatkan mortalitas dan morbiditas
pasien. Kedua kondisi ini merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai di berbagai
negara, termasuk di Indonesia. Penyakit kardiovaskular dan gangguan fungsi ginjal adalah
dua penyakit yang paling banyak menghabiskan sumber daya kesehatan di Indonesia.
Terjadinya gangguan fungsi ginjal, baik yang bersifat akut maupun kronik akan membuat
tatalaksana penyakit kardiovaskular menjadi lebih rumit karena terdapat beberapa
modalitas diagnostik dan tatalaksana yang tidak dapat digunakan dengan optimal. Oleh
karena itu diperlukan pemahaman terkait aspek diagnosis dan tatalaksana penyakit
kardiovaskular pada pasien yang memiliki komorbid gangguan fungsi ginjal, agar prosedur
pemeriksaan dan terapi tersebut tidak memperburuk gangguan ginjal yang sudah ada dan
sebaliknya.
Epidemiologi
Prevalensi penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease, CKD) pada populasi umum di Eropa,
Amerika, Asia dan Australia adalah sekitar 7.2% pada penduduk yang berusia lebih dari 30
tahun, dan bervariasi antara 23 hingga 35% pada penduduk yang berusia di atas 64 tahun.1
Penyebab utama CKD adalah hipertensi dan diabetes mellitus, yang juga merupakan faktor
72
risiko utama penyakit jantung koroner. Sebuah studi melaporkan bahwa separuh kematian
pada pasien dengan CKD adalah disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.2 Studi ini juga
menyebutkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular pada pasien dengan
hemodialisis mencapai 50 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Prevalensi CKD di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 0.2% dari populasi atau sekitar 500
ribu orang,3 suatu angka yang sangat besar. Data BPJS tahun 2018 menyebutkan bahwa
penyakit jantung dan gagal ginjal merupakan dua penyakit yang menghabiskan biaya sangat
besar yakni Rp 6.67 triliun dan 1.5 triliun berturut-turut.
Tatalaksana
Tatalaksana gangguan fungsi ginjal pada pasien dengan penyakit kardiovaskular harus
dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya berupa pemberian medikamentosa, akan tetapi
mencakup aspek lain seperti terapi nutrisi dan pemberian cairan. Tatalaksana ditujukan agar
pemeriksaan diagnostik dan tatalaksana kelainan kardiovaskular tetap dapat dilakukan
seoptimal mungkin sehingga diikuti perbaikan fungsi ginjal atau setidaknya tidak
memperparah kerusakan ginjal yang sudah terjadi. Tatalaksana gangguan fungsi ginjal secara
73
spesifik harus dikonsultasikan dengan dokter spesialis penyakit dalam, konsultan nefrologi,
spesialis urologi atau spesialis lainnya sesuai indikasi. Pada artikel ini akan dibahas lebih
lanjut upaya untuk memperbaiki fungsi ginjal atau mencegah perburukan fungsi ginjal lebih
lanjut dari sisi kardiovaskular.
Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi
tatalaksana pada populasi ini, yakni: (1) evaluasi penyebab lain gangguan fungsi ginjal; (2)
pengawasan dan intervensi perubahan parameter hemodinamik akibat penyakit
kardiovaskular yang dapat mengganggu fungsi ginjal; (3) efek obat kardiovaskular pada
fungsi ginjal; dan (4) pengaruh berbagai modalitas diagnostik dan intervensi di bidang
kardiovaskular terhadap ginjal.
74
vital, keseimbangan cairan, perfusi perifer serta penggunaan alat pengukuran hemodinamik
invasif dan non-invasif dapat dijadikan panduan untuk menentukan strategi terapi.
Daftar Pustaka
1. Zhang QL, Rothenbacher D. Prevalence of chronic kidney disease in population-based
studies: systematic review. BMC Public Health. 2008;8:117.
2. Hou FF. Cardiovascular risk in Chinese patients with chronic kidney diseases: where
do we stand? Chin Med J (Engl). 2005;118(11):883-886.
3. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2013.
4. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal syndrome. J Am
Coll Cardiol. 2008;52(19):1527-1539.
5. Khawaja AZ, Cassidy DB, Al Shakarchi J, McGrogan DG, Inston NG, Jones RG.
Revisiting the risks of MRI with Gadolinium based contrast agents-review of literature
and guidelines. Insights Imaging. 2015;6(5):553-558.
76
Recognize Critical Congenital Heart Disease:
Prenatal and post Natal Evaluation
Indriwanto S Atmosudigdo
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Introduksi
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan yang banyak di temukan pada kelainan bawaan pada bayi baru
lahir , diperkirakan dengan insiden 8 sampai 9 kasus per 1000 kelahiran hidup. Sekitar 25 % dari bayi dengan
kelainan jantung bawaan adalah bayi yang mempunyai kelainan jantung bawaan yang kritis, dimana kelainan
structural tersebut berhubungan dengan hipoksemia pada bayi baru lahir yang memerlukan intervensi baik non
bedah maupun bedah sebelum usia 1 tahun dan bila tanpa intervensi tersebut maka akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.(1.2.3.4)
Diagnosis pre natal dan tatalaksana post natal yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas dan
memperbaiki luaran dalam jangka panjang pada bayi dengan penyakit jantung bawaan kritis (3).
Kelainan utama dari penyakit jantung bawaan dapat terdeteksi secara fetal echocardiography berdasarkan
sudut pengambian / view ( tabel 2) .
Bila kelainan jantung bawaan sudah dapat dideteksi , informasi kepada keluarga dapat diberikan , diskusi
bersama dengan multi displin, rencana tempat melahirkan sesuai dengan kelainan dan fasiitas yang tersedia.
78
Tabel 2. Deteksi kelainan pada skrining fetal echo (5)
Reference
1. Rachel Klausner, BS, Eugene D. Shapiro, MD, Robert W. Elder, MD, Eve Colson, MD, MHPE, Jaspreet Loyal,
MD, MS, Evaluation of a Screening Program to Detect Critical Congenital Heart Defects in Newborns in
HOSPITAL PEDIATRICS Volume 7, Issue 4, April 2017.
2. Role of Pulse Oximetry in Examining Newborns for Congenital Heart Disease: A Scientific
Statement from the AHA and AAP in PEDIATRICS Volume 124, Number 2, August 2009
3. Khoshnoodfib, et al. BMJ Open 2017;7:e018285. doi:10.1136/bmjopen-2017-018285
4. Richard S O, Elizabeth CA and Marci KS: Detection of critical congenital heart defect:
review of contributions from prenatal and newborn screening, Semin Perinatol. 2015
April ; 39(3): 230–237
5. Guidelines for fetal echocardiography,Pediatrics International (2015) 57, 1–21
6. Donofrio et al Diagnosis and Treatment of Fetal Cardiac Disease A Scientific Statement
From the American Heart Association, Circulation. 2014;129:2183–2242.
79
Managing Chronic Heart Failure in Special Population
Nani Hersunarti
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Gagal Jantung Kronis dapat terjadi pada berbagai
rentang usia, dari usia 30 – 90 tahun1. Memang jika kita perhatikan prevalensi kejadian
berdasarkan usia menurut Framingham, yang terbanyak terjadi pada pasien wanita berusia
80-89 tahun. Tetapi jika kita lihat prevalensi berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, sekitar
12% wanita memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 60-64%. Untuk fraksi ejeksi yang <40%,
terbanyak terjadi pada pasien pria2.
Membandingkan usia pasien yang ikut serta dalam penelitian besar dari BB dalam gagal
jantung, rata-rata usia pasien adalah 61 tahun dimana 21,5% adalah wanita dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri 24,9%. Hal ini berbeda dari hasil survey populasi di Amerika dimana rata-
rata usia adalah 77 tahun, wanita adalah 50% dengan fraksi ejeksi >50%3-8.
Salah satu panduan internasional untuk gagal jantung, yaitu panduan dari ESC tahun 2016
yang membagi gagal jantung menjadi 3 bagian, yaitu gagal jantung diastolik, gagal jantung
sistolik dan gagal jantung yang mid-range (MR) berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Dikatakan bahwa dengan identifikasi gagal jantung yang mid-range sebagai suatu grup yang
berbeda justru akan semakin menstimulasi penelitian terkait dengan karakteristik,
patofisiologi dan pengobatan untuk populasi ini9.
Rekomendasi pengobatan CHF berdasarkan panduan ESC ini adalah ACE-i dan BB, atau
kombinasi dengan MRA, yang termasuk dalam kelas 1 dan level rekomendasi A. ACE-i
memang terbukti efektif untuk pasien CHF, tetapi untuk pasien usia tua dengan CHF ternyata
angka kematian maupun re-hopitalisasi dengan penggunaan ACE-i tidak terlalu signifikan.
Banyak penelitian besar untuk CHF selalu mengeluarkan pasien usia tua. Tetapi CHF semakin
meningkat jumlahnya pada usia lanjut. Selain itu ko-morbiditas juga semakin banyak, seperti
atrial fibrilasi, hipertensi, kencing manis, penyakit serebrovaskular, anemia, penyakit paru,
keganasan, penyakit ginjal maupun osteoarthritis.
Nebivolol, merupakan BB generasi ketiga yang memiliki kelebihan kardioseletif sekitar 3,5
kali lebih tinggi dari bisoprolol dan juga memiliki kemampuan vasodilatasi karena mampu
merangsang pengeluaran NO. Nebivolol juga memiliki manfaat terhadap parameter
metabolic dimana nebivolol menurunkan resistensi insulin, sehingga angka kejadian kencing
manis yang baru juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan BB tradisional.
80
Penelitian SENIORS yang dilakukan pada pasien CHF usia diatas 70 tahun tanpa
memperhatikan berapa jumlah EF dilakukan dengan beberapa alasan, seperti sudah adanya
bukti yang telah diketahui sejak lama bahwa BB efektif untuk CHF, para dokter yakin
manfaat BB untuk pasien CHF10.
Pada penilitian ini terbukti bahwa nebivolol mampu menurunkan angka kematian dan re-
hospitalisasi sebanyak 14% dan juga menunjukkan bahwa penurunan detak jantung menjadi
salah satu indikator dosis yang adekuat yaitu penurunan sebanyak 10,3 kali per menit.
Nebivolol juga mampu memperbaiki fraksi ejeksi pada pasien dengan gagal jantung diastolik,
buka hanya pasien dengan gagal jantung sistolik saja.
Algoritma pengobatan untuk pasien dengan gagal jantung diastolik yang berbeda dengan
gagal jantung sistolik dimana berdasarkan panduan ESC dikatakan hingga saat ini tidak ada
pengobatan yang dapat menurunkan angka kematian dan re-hospitalisasi untuk pasien gagal
jantung diastolik. Tetapi, nebivolol mampu menurunkan baik angka kematian maupun re-
hospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung diastolik.
Referensi:
1. Lakatta & Levy, Circulation 2003;107:pp139-146
2. Cleland et al Euroheart Survey EHJ 2003
3. Lancet. 1999;353:2001-2007
4. Packer N Engl J Med. 2001;344:1651-1658
5. Colucci WS. Circulation. 1996;94:2800-2806
6. Lancet 1999;353:9-13
7. N Engl J Med. 2001;344:1659-1667
8. Heiat et al. Arch Intern Med. 2002;162:1682-1688.
9. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis of acute and chronic heart failure
10. Flather et al Eur Heart J 2005;26:215-225
81
Advances in Pediatric Cardiology Imaging: State of the Art
Oktavia Lilyasari
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Penyakit jantung bawaan masih menjadi masalah utama kesehatan global dan merupakan
penyebab utama anomali kongenital mayor. Dua puluh delapan persen dari seluruh kelainan
bawaan adalah PJB. Prevalensi PJB di seluruh dunia bervariasi berkisar antara 6 sampai 8
kasus per 1000 kelahiran hidup, dan prevalensi ini terus meningkat seiring dengan
perkembangan diagnosis dan tatalaksana penyakit tersebut. 1 Kemajuan di bidang ilmu
jantung anak dan juga bedah jantung dalam beberapa dekade terakhir telah menimbulkan
perubahan besar pada tatalaksana pasien, sehingga saat ini banyak pasien yang hidup hingga
usia dewasa. Hal ini telah menimbulkan persoalan baru dikarenakan jumlah pasien dengan
PJB yang terus meningkat akan membutuhkan pelayanan perawatan penyakit jantung saat
usia dewasa. Terdapat banyak pasien usia dewasa dengan PJB yang telah mendapatkan
tindakan bedah yang bersifat paliatif ataupun reparatif pada usia muda, namun tindakan-
tindakan tersebut jarang bersifat kuratif, sehingga dibutuhkan tindak lanjut yang bertujuan
untuk mengoptimalisasi kualitas hidup dan angka harapan hidup pasien. 2
Pencitraan merupakan hal yang fundamental dalam diagnosis PJB. Pencitraan dapat
menguraikan anatomi dan fisiologi tubuh, menyempurnakan penanganan, mengevaluasi
akibat dari intervensi yang diberikan, dan juga membantu penentuan prognosis pasien. Akan
tetapi sampai saat ini belum ada satu modalitas pencitraan yang dapat menjalankan seluruh
peranan tersebut tanpa bantuan modalitas pencitraan lain. Oleh sebab itu, penilaian
diagnostik PJB harus melibatkan beberapa modalitas pencitraan yang fungsinya saling
melengkapi satu sama lain, sensitif, akurat, reprodusibel, hemat biaya, dengan efek samping
yang minimal.3,4,5
Selama ini diagnosis dan tatalaksana malformasi kongenital sangat bergantung kepada
tindakan kateterisasi jantung. Di berbagai institusi, kateterisasi jantung masih merupakan
baku emas dibandingkan dengan modalitas lainnya. Akan tetapi sejak beberapa dekade yang
lalu, metode pencitraan yang lebih diutamakan mengalami pergeseran ke arah metode yang
sifatnya lebih non-invasif. Meskipun ekokardiografi merupakan modalitas pencitraan yang
paling sering digunakan untuk diagnosis dan tindak lanjut pasien dengan PJB, perkembangan
teknologi di bidang Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT)
jantung menyediakan cara yang baru untuk memvisualisasikan jantung dan pembuluh-
pembuluh besar. 3,4,5
Sebuah pernyataan ilmiah yang dikeluarkan dari American Heart Association (AHA) di tahun
2011 merekomendasikan bahwa pencitraan ekokardiografi jantung ataupun modalitas
82
pencitraan lain yang sifatnya non-invasif seperti MRI atau CT diindikasikan sebelum
dilakukannya tindakan kateterisasi jantung yang bersifat invasif, untuk membantu
perencanaan pengumpulan data dan pelaksanaan intervensi (Class I Level of Evidence A).
Kateterisasi jantung yang bersifat diagnostik tidak lagi diindikasikan pada pemeriksaan rutin
preoperasi sebagian besar malformasi kongenital demi mencegah timbulnya risiko dan
pajanan terhadap radiasi. 6
83
• Karakterisasi jaringan (MRI)
6. Edema/ inflamasi
Triple inversion black blood breath-hold scan dengan asymmetric TSE (T2-weighted)
digunakan untuk menilai edema miokard terutama untuk kasus fase akut miokarditis atau
infark miokard. Infiltrasi limfosit dan miositolisis yang terjadi pada pasien dengan
miokarditis akan meningkatkan myocardial free water content. Hal ini akan menyebabkan
pemanjangan waktu relaksasi proton terutama T2 relaxation time, sehingga akan
memberikan gambaran hiperdensitas pada daerah miokard yang mengalami
edema/inflamasi.
7. Contrast Enhancement
Teknik ini utamanya digunakan untuk mendeteksi kerusakan miokardium yang ireversibel
(infark atau fibrosis) yang biasanya terjadi pada kardiomiopati, tetapi kemudian juga
digunakan sebagai penunjang dalam menilai karakteristik jaringan, seperti tumor. Teknik
ini menggunakan cairan kontras gadolinium yang distribusinya terbatas pada jaringan
ekstraseluler. Pada kondisi yang mana integritas membran sel normal dan miokard viabel,
jaringan ektraselular akan menjadi minimal, volume distribusi gadolinium akan sedikit,
sehingga tidak ditemukan contrast enhancement pada miokard yang viabel.
8. Perfusi Miokard
Penilaian perfusi miokard dengan CMR merupakan salah satu pendekatan komprehensif
untuk studi pasien dengan penyakit jantung iskemia dan merupakan suatu modalitas yang
menjanjikan untuk mendeteksi dan menilai severiti penyakit jantung koroner (PJK).
Sekuen ultrafast merupakan salah satu teknik ideal untuk penilaian perfusi miokard
dengan menggunakan CMR, yang dapat mencakup seluruh fase mulai dari awal
pemberian contrast sampai dengan yielding high contrast antara miokard normal dan
miokard yang hipoperfusi. Walaupun penilaian perfusi semikuantitatif dan kuantitatif
memungkinkan untuk dilakukan, tetapi penilaian visual tetap digunakan dalam
melakukan analisis.
85
Indikasi Pemeriksaan CMR pada PJB berdasarkan Consensus Panel Report (Eur Hear
Journal 2004 ; 24, 1940-65)
CT memiliki keuntungan dapat memberikan gambaran dengan resolusi spasial yang tidak
terbatas dalam waktu yang singkat, namun kurang serba guna jika dibandingkan dengan
CMR dan juga adanya efek radiasi yang bisa memiliki efek kurang baik pada pasien-pasien
berusia muda yang membutuhkan pemeriksaan berulang. Akan tetapi, dengan
menggunakan strategi untuk meminimalisir dosis radiasi, CT jantung bukan lagi menjadi
modalitas yang memiliki tingkat radiasi tinggi.
CT memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan MRI. CT selalu siap dipakai, sehingga
dapat mengurangi penundaan dalam menentukan jadwal pemeriksaan. Waktu pemeriksaan
CT yang singkat juga sangat bermanfaat, terutama pada pasien yang sakit berat. CT juga
sangat bermanfaat pada situasi tertentu, contohnya pada pasien dengan alat pacu jantung
permanen, untuk pengamatan pada bagian lumen stent dan aneurisma yang mungkin
terbentuk setelah dilakukan dilatasi dengan balon, stenting pada koarktasio aorta, dan pada
keadaan dimana pembuluh darah yang kecil seperti arteri koroner atau kolateral aorta-
pulmoner perlu divisualisasikan dengan jelas. Selain itu, evaluasi 3 dimensi pada kelainan
saluran napas yang dapat timbul pada pasien dengan PJB melalui MSCT merupakan
kelebihan yang tidak dimiliki oleh ekokardiografi ataupun MRI.
86
•
87
Keunggulan pemeriksaan Cardiovascular CT scan pada Penyakit Jantung Bawaan
• kombinasi gambar 2 dimensi dan 3 dimensi dapat menunjukkan kelainan
struktur ekstrakardiak dan anomali arteri koroner
• hanya membutuhkan jumlah kontras yang lebih sedikit dibandingkan dengan
pemeriksaan diagnostik secara kateterisasi
• Waktu pemeriksaan cepat, sehingga tidak diperlukan adanya sedasi, kecuali pada
beberapa pasien bayi atau anak yang tidak koperatif
• Gambaran artefak minimal
• Baik digunakan untuk menggambarkan saluran nafas dan paru-paru
• Dapat digunakan untuk evaluasi diagnostik pada pasien-pasien yang
menggunakan alat pacu jantung, ICD, dan preparata metal, serta pada pasien
yang non kooperatif dan pasien dengan klaustrofobia.
88
i. Kelainan lain seperti agenesis paru, dll
Kesimpulan
MRI dan contrast-enhanced CT merupakan modalitas non-invasif yang dapat memberikan
visualisasi dari perubahan morfologis pada pasien PJB, dan juga perubahan fungsi yang
disebabkan oleh kelainan morfologis yang ada. Pengalaman klinis menggunakan MRI lebih
banyak dibandingkan dengan penggunaan CT yang cepat, namun CT dapat memberikan
pencitraan yang akurat dan berkualitas. Kedua modalitas tersebut bersifat saling
melengkapi. Anatomi dalam jantung digambarkan dengan baik oleh MRI, sedangkan CT
memberikan gambaran pembuluh darah besar dengan sangat baik. Selain itu, MRI dan CT
juga bermanfaat dalam memberikan gambaran serta mengukur perubahan fisiologis yang
timbul akibat penyakit jantung dan pembuluh darah didapat pada pasien dengan malformasi
kongenital. Setelah ekokardiografi transtorakal yang merupakan modalitas pencitraan lini
pertama untuk PJB, pilihan pencitraan lebih lanjut tergantung kepada pertanyaan klinis yang
belum terjawab pada kasus penyakit jantung bawaan.
Daftar Rujukan
1. van der Linde et al. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease. Journal of the
American College of Cardiology. Vol 58,No.21, 2011. Doi:10.1016/j.jacc.2011.08.025
89
2. Orwat S, Diller G.P. Baumgartner H. Imaging of Congenital Heart Disease in adult: Choice
of modalities. Eur Heart Journal-Cardiovascular Imaging doi:10.1093/ehjci/jet124, 2013
3. Windram J.D et al. New Directives in Cardiac Imaging: Imaging in adult with Congenital
Heart Disease. Canadian Jurnal of Cardiology 29 (2013) 830-40
4. Han B.K. et al. Cardiovascular imaging trends in Congenital Heart Disease: A Single
center experience . Journal of Cardiovascular Computed Tomography 7(2013)361-6
5. Yang J.C.T et al. Trends in utilization of computed tomography and cardiac
catheterization among children with congenital heart disease. Journal of the Formosan
Medical Association (2015) 114: 1061-8
6. Eckardt S. 2011 AHA Scientific Statement: Diagnostic Pediatric Catheterization Not
Routinely Indicated , Circulation May 2, 2011
7. Dacher J.N. et al. CT and MR Imaging in Congenital Cardiac Malformation: Where do we
come from and where are we going? http://dx.doi.org/10.1016/j.diii.2016.02.009
8. Kilner Philip J. The Role of Cardiovascular Magnetic Resonance in Adult Congenital Heart
Disease. ProgCardiovasc Dis 2011;54(3): 295-304
9. Kilner P.J., Geva T., Kaemmere H., et al. Recommendation for cardiovascular Magnetic
Resonance in adult with congenital heart disease from the respective working group of
the European Society of Cardiology. Eur Heart Journal 2010; 31:794-805
10. Fratz et al. Guidelines and Protocols for Cardiovascular Magnetic Resonance in Children
and Adults with Congenital Heart Disease. Journal of Cardiovascular Magnetic
Resonance 2013,15:51
11. Bonnemain L. et al. Specifics of cardiac Magnetic Resonance Imaging in Children.
Archives of Cardiovascular Disease (2016) 109,143-149.
12. Lapierre C et al. Cardiac CT and MRI of Cardiac Malformation: How to interpret.
Diagnostic and Interventional Imaging (2016) 97, 519—530
13. Hui P.K.T et al. Asian Consortium on Radiation Dose of Pediatric Cardiac CT (ASCI-
REDCARD). Pediatr Radiol(2017) 47:899-910
14. Raimondi F et al. Computed Tomography Imaging in Children with Congenital Heart
Disease: Indications and Radiation Dose Optimization.
http://dx.doi.org/10.1016/j.acvd.2015.11.003
15. Han B.K. et al. Computed Tomography Imaging in Patient with Congenital Heart Disease
part2: Rationale and Utility. An expert Consensus Document of the Society of
Cardiovascular Computed Tomography (SCCT). Journal of Cardiovascular Computed
Tomography 9 (2015) 493e513
16. Han B.K. et al. Computed Tomography Imaging in Patient with Congenital Heart Disease
part1: Technical Recommendations. An expert Consensus Document of the Society of
Cardiovascular Computed Tomography (SCCT). Journal of Cardiovascular Computed
Tomography 9 (2015) 493e513
17. Ou P., Celermajer D S., Calcagni G., et al. 3Diensional CT Scanning : a new diagnostic
modality in congenital heart disease. Heart 2007; 93:908-913
90
18. Gilkeson C. CT evaluation of adult congenital heart disease “ a practical
approach.Supplement to apllied radiology, Dec 2006. www.appliedradiology.com
19. Goo H W. State of the Art CT imaging Technic for Congenital Heart Disease. Korean J
Radiol 2010;11: 4-18
91
The Practical Approach of Patient with Critical Congenital Heart Disease
(CCHD)
Radityo Prakoso
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi. Penyakit
jantung bawaan dapat terjadi pada 9 dari 1000 kelahiran hidup.1 Penyakit jantung bawaan kritis atau
critical congenital heart disease (CCHD) didefinisikan sebagai penyakit jantung bawaan yang
memerlukan tatalaksana bedah atau intervensi transkateter dalam tahun pertama kehidupannya,
terjadi pada sekitar 25% pasien dengan penyakit jantung bawaan.2 Pasien dengan CCHD memiliki
risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama apabila terlambat didiagnosis dan dirujuk ke
fasilitas tersier yang mampu untuk menatalaksanakan pasien ini. Secara umum, terminologi penyakit
jantung bawaan kritis merujuk pada penyakit jantung bawaan sianotik dan duct-dependent lesion.3
Penyakit jantung bawaan sianotik merupakan penyakit jantung bawaan yang menyebabkan darah
terdeoksigenasi masuk ke sirkulasi sistemik melalui shunt intra-kardiak atau ekstra-kardiak.
Duct-dependent lesion merupakan penyakit jantung yang bergantung pada ductus arteriosus paten
untuk mensuplai aliran darah sistemik atau pulmonal atau mixing antara sirkulasi parallel. Hampir
sebagian besar, namun tidak semua penyakit jantung bawaan sianotik merupakan duct-dependent.1,3
Skrining CCHD
Meskipun pasien dengan CCHD umumnya menunjukkan gejala dan dapat diidentifikasi segera
setelah lahir, namun dalam beberapa kasus, pasien dengan CCHD dapat tidak terdeteksi hingga
dipulangkan dari rumah sakit. Oleh karena itu diperlukan metode skrining yang efektif, efisien, dan
murah. CCHD berkaitan erat dengan hipoksemia dan hipoksemia dapat ditemukan pada 17-31%
pasien PJB.4 Oleh karena CCHD berkaitan dengan hipoksemia maka pulse oximetry dianggap sebagai
salah satu metode skrining utama untuk mendeteksi CCHD pada neonatus, termasuk fetal
ekokardiografi.2 Pulse oximetry merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperkirakan
kadar hemoglobin dalam darah yang tersaturasi oksigen.2 Tujuh target utama dari skrining CCHD
adalah hypoplastic left heart syndrome (HLHS), atresia pulmonal dengan septum ventricular yang
intak (PA-IVS), tetralogi of Fallot (ToF), anomaly total aliran balik vena pulmonalis (TAPVR),
transposition of the great arteries (TGA), tricuspid atresia, dan trunkus arteriosus.2
The American Academy of Pediatrics, American College of Cardiology, dan American Heart
Association, merekomendasikan pemeriksaan pulse oximetry sebaiknya dilakukan 24 jam setelah
bayi dilahirkan dan sebelum bayi dipulangkan dari rumah sakit. Skrining pulse oximetry dikategorikan
positif apabila saturasi oksigen pasien <90%, dan tidak diperlukan pemeriksaan ulang.2 Threshold
saturasi oksigen adalah <95% atau perbedaan >4% diantara ekstrimitas atas dan bawah dalam 3 kali
pemeriksaan, masing-masing berbeda 1 jam.2 Pasien dengan hasil skrining positif sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi diagnostik.
93
kasus, stenosis pulmonal atau atresia pulmonal berkaitan dengan septum interventrikularis yang
intak dan pirau kanan ke kiri didapatkan dari ASD kecil atau PFO.
• Penurunan aliran darah paru dengan VSD
Pasien pada kategori ini memiliki sianosis sentral yang progresif sejak lahir. Tidak mengalami
infeksi saluran nafas berulang dan tidak ada tanda-tanda gagal jantung kongestif. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan sianosis, tekanan vena jugularis tidak meningkat, dan bunyi jantung
S2 tunggal yang disertai outflow murmur. Pada EKG akan didapatkan deviasi aksis ke kanan
(RAD), hipertrofi ventrikel kanan (RVH) tanpa strain, sementara pada ToF dapat ditemukan
adanya transisi awal di lead precordial atau ‘abrupt’ R wave. Pembesaran atrium kanan bukan
merupakan karakteristik dari kelompok ini. Pada gambaran radiologi dapat ditemukan rasio CTR
yang normal, paru yang oligemia, ukuran arteri pulmonal yang kecil, dan kadang disertai arkus
aorta di sisi kanan. PJB pada kelompok ini mecakup tetralogy of fallot (ToF), atresia pulmonal
dengan VSD (PA-VSD), trikuspid atresia, double outlet right ventricle dengan VSD dan stenosis
pulmonal (DORV, VSD, PS), transposisi arteri besar dengan VSD dan PS (dTGA/ccTGA dengan VSD
PS), defek septum atrioventricular disertai PS (AVSD PS), single ventricle (SV) dengan PS, trunkus
arteriosus dan PS.
95
Referensi:
1. Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, et al. Moss & Adams’ Heart Disease in Infants, Children, and
Adolescents: Including the Fetus and Young Adult. Lippincott Williams & Wilkins, 2016.
2. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, et al; American Heart Association Congenital Heart
Defects Committee of the Council on Cardiovascular Disease in the Young, Council on
Cardiovascular Nursing, and Interdisciplinary Council on Quality of Care and Outcomes Research;
American Academy of Pediatrics Section on Cardiology And Cardiac Surgery; Committee on Fetus
and Newborn. Role of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a
scientific statement from the AHA and AAP. Pediatrics. 2009; 124:823–836.
3. Oster ME, Aucott SW, Glidewell J, et al. Lessons learned from newborn screening for critical
congenital heart defects. Pediatrics. 2016; 137.
4. Association of State and Territorial Health Officials. Critical congenital heart disease. 2013.
5. Ahamed MZ, Ahmad ZS, Abhilash TG. Approachto infants and children with cyanotic congenital
heart disease. Kerala Heart J. 2015; 5(2): 30-35.
6. Rilantono, L R. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular. FKUI. 2012.
96
Interventional Approach in Cerebro Vascular Disease
Rakhmad Hidayat
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Tatalaksana Neurointervensi
Pada akhir 2014 dan 2015, terdapat 5 penelitian yang menjawab puzzle ruang kebingungan
penatalaksanaan stroke akut dalam 20 tahun terakhir ini. Hasil dari kelima penelitian inilah
yang membuat AHA/ASA mengeluarkan guideline baru untuk tatalaksana neurointervensi
pada kasus stroke akut.3
Agen Trombolisis
Agen trombolisis saat ini sudah memasuki generasi ketiga, walaupun generasi ketiga belum
dimanfaatkan secara luas.4
Trombolisis Intraarterial
Riwayat Perjalanan Evolusi
Trombolisis intraarterial (IA), pertama kali dilaporkan 1982, memiliki keuntungan, yaitu
visualisasi lesi vaskuler yang tersumbat secara real–time, rentang waktu terapi <6 jam, dosis
yang dimasukkan lebih kecil untuk medikasi trombolisis sehingga ideal untuk pasien yang
tidak memenuhi kualifikasi trombolisis intravena, dan memungkinkan dilakukannya
97
kombinasi trombolisis farmakologis dengan disrupsi mekanik bekuan darah (trombektomi
mekanik).4
Teknik Trombolisis
Trombolisis IA dilakukan dengan memasukkan obat trombolisis melalui prosedur
neurointervensi menggunakan obat yang dimasukkan melalui kateter yang dipasang dari
area inguinal. Teknik trombolisis IA dilakukan melalui beberapa teknik. Teknik pertama yaitu
trombolisis IA sebagai terapi tunggal. Penelitian PROACT dan PROACT II menunjukkan bahwa
angka rekanalisasi lebih baik, namun keluaran tidak jauh berbeda dengan trombolisis IV, dan
didapatkan risiko perdarahan intrakranial lebih tinggi. Teknik kedua adalah kombinasi
trombolisis IA dengan trombolisis IV. Algoritma tatalaksana alternatif untuk pasien yang
datang dalam 3 jam dari onset gejala adalah memasukkan r-tPA intravena dosis rendah (2/3
dosis), sehingga terdapat cadangan jatah dosis r-tPA untuk dimasukkan IA (1/3 dosis).
Sebuah konsep baru yang sedang dalam penelitian pendahuluan adalah dengan
memasukkan dosis penuh r-tPA intravena diikuti dosis kecil Reteplase dikombinasikan
dengan trombolisis mekanik. Teknik terakhir adalah kombinasi terapi IA dengan
antitrombotik Abciximab, yaitu sebuah antibodi monoklonal yang mengikat reseptor
Glycoprotein IIb/IIIa dari platelet yang akan membentuk ikatan ireversibel dengan platelet
dan efektif menginaktivasi platelet secara permanen.1
Trombektomi Mekanik
Riwayat Perjalanan Evolusi
Teknik intervensi neurologi untuk tatalaksana stroke iskemik akut telah berevolusi maju
sejak dilakukannya penelitian trombolisis IA PROACT pasca persetujuan FDA terhadap
trombolisis IV. Berbagai pendekatan metode dilakukan, dimulai dari fibrinolisis intraarterial
pada PROACT II yang kemudian dilanjutkan dengan EKOS. Setelah itu, berkembang teknik
retriever dengan coil yaitu MERCI dan PENUMBRA yang disetujui FDA, meskipun hasil
penelitiannya tidak spektakuler Penelitian terakhir dilakukan dengan Stent retriever, dimana
hasil dari berbagai penelitian terbaru 2015 menyarankan trombektomi mekanik untuk stroke
iskemik akut. 1,6
Tujuan Trombektomi
99
Trombektomi mekanik awalnya
ditujukan sebagai tatalaksana lini
kedua pasca gagalnya trombolisis IV
yang masih dalam rentang <6 jam
paska onset. Trombektomi dijadikan
sebagai tatalaksana lini pertama jika
terdapat kontraindikasi trombolisis
IV/IA yang melewati batas waktu
trombolisis IV >4,5 jam tetapi masih
dalam rentang waktu <6 jam paska
Gambar 1. Evolusi Teknik Intervensi Neurologi onset gejala dengan beberapa
Stroke Iskemik persyaratan lainnya. Indikasi lain
adalah paska trombolisis IV dengan
perbaikan NIHSS tidak <10 yang
berisiko terjadi oklusi arteri besar dan
memerlukan rekanalisasi.1
Teknik Trombektomi
Saat ini, device yang disarankan oleh AHA/ASA
untuk trombektomi adalah stent retriever Solitaire
atau Trevo. Gambar A menggambarkan oklusi
arteri MCA kanan pada angiografi pertama.
Kemudian microwire dijalankan menembus
emboli/trombus ke arah distal dari
emboli/trombus, diikuti oleh mikrokateter.
Setelah mikrokateter tiba di distal, dilakukan
angiografi kedua. Terlihat MCA distal terbuka
(Gambar B). Kemudian mikrokateter ditarik
kembali ke proksimal dengan meninggalkan stent
retriever tepat di lokasi emboli/trombus (Gambar
C). Anak panah menunjukkan awal dan akhir dari
Gambar 2. Trombektomi pada Oklusi stent. Selanjutnya, stent ditarik ke arah proksimal
Akut MCA Kanan dengan membawa emboli/trombus yang
dicengkeramnya ke arah kateter di proksimal.
Kemudian dilakukan angiografi terakhir. Terlihat
MCA sudah terbuka dan terjadi rekanalisasi
(gambar D). 1
100
Tabel 2. Studi Stroke Akut 2015
Trial r-TPA
MR CLEAN 90%
ESCAPE 76%
EXTEND IA 100%
SWIFT PRIME 98%
REVASCAT 73%
Sebagaimana dijelaskan diatas, lima penelitian besar yang baru saja dipublikasikan hasilnya
secara berdekatan waktunya, telah memberikan implikasi yang luas didalam penerapan
tatalaksana intervensional neurologi pada stroke akut. Terlihat pada tabel dibawah, hanya 2
dari 5 penelitian yang pasiennya menerima trombolisis intravena dibawah 90%.3
Pada penelitian MR CLEAN, trombektomi dilakukan 2 jam setelah r-TPA IV yang dinyatakan
gagal membuat revaskularisasi. Penelitian ini menggambarkan model praktik sehari-hari,
yaitu perlakuan lanjutan menunggu tindakan pertama dinyatakan tidak berhasil. Pada
penelitian ESCAPE, meskipun rentang waktu jendela terapi paling lama, yaitu 12 jam,
penatalaksanaan intervensi neurologinya adalah yang tercepat, yakni dari mendapatkan
imaging hingga ke puncture groin hanya <1 jam. Hal ini dikarenakan manajemen tatalaksana
yang efektif. Angka kematian lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan yang tidak
dilakukan. Penelitian EXTEND IA adalah penelitian dengan jumlah subjek terkecil, dengan
seluruh subjek mendapatkan trombolisis intravena serta dilakukan studi imaging penumbra.
Penelitian ini mendapatkan hasil terbaik meskipun pasien yang dikerjakan trombektomi
memiliki NIHSS yang lebih buruk daripada kontrol. Penelitian SWIFT PRIME adalah penelitian
yang memiliki angka rekanalisasi tertinggi dengan angka persentase pasien yang independen
cukup tinggi. Penelitian REVASCAT memiliki sisi unik dimana memakai rentang waktu jendela
terapi hingga mencapai 8 jam.4,7
Daftar Pustaka
1. Pierot Laurent, Soize Sébastien, Benaissa Azzedine, Wakhloo Ajay K. Techniques for
Endovascular Treatment of Acute Ischemic Stroke. Stroke. 2015 Mar 1;46(3):909–14.
2. Pierot L, Derdeyn C. Interventionalist perspective on the new endovascular trials.
Stroke. 2015 Jun;46(6):1440–6.
3. Powers WJ, Derdeyn CP, Biller J, Coffey CS, Hoh BL, Jauch EC, et al. 2015 American Heart
Association/American Stroke Association Focused Update of the 2013 Guidelines for the
Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke Regarding Endovascular
Treatment: A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke. 2015 Oct;46(10):3020–35.
4. Handbook of cerebrovascular disease and neurointerventional technique. New York, NY:
Springer Berlin Heidelberg; 2018.
5. Powers WJ, Rabinstein AA, Ackerson T, Adeoye OM, Bambakidis NC, Becker K, et al.
2018 Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: A
Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke [Internet]. 2018 Mar [cited 2019 Mar 18];49(3). Available
from: https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/STR.0000000000000158
6. Smith WS, Furlan AJ. Brief History of Endovascular Acute Ischemic Stroke Treatment.
Stroke. 2016 Feb;47(2):e23-26.
7. Grotta JC, Hacke W. Stroke Neurologist’s Perspective on the New Endovascular Trials.
Stroke. 2015 Jun;46(6):1447–52.
103
Tatalaksana Hipertensi Terkini Peran Monitor Pengukuran Tekanan Darah di
Rumah
Hipertensi telah diketahui secara luas akan mengakibatkan peningkatan risiko serangan jantung,
gagal jantung, penyakit ginjal, gangguan saraf dan penglihatan. Saat ini hipertensi merupakan faktor
risiko utama penyakit kardiovaskular yang dapat dihindari di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia, pada tahun 2013 prevalensi hipertensi mencapai
25.8% dan meningkat pada tahun 2018 menjadi 34.1 % pada penduduk dewasa Indonesia berumur >
18 th.1 Hal ini merupakan suatu beban yang sangat berat bagi pemerintah dan masayarakat
Indonesia, mengingat bahwa hipertensi dapat mengakibatkan gangguan yang berat terhadap organ
lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian tatalaksana hipertensi harus dapat
dilakukan dengan sebaik-baiknya dari mulai penegakan diagnosis hingga prevensi dan terapi.
Tatalaksana hipertensi dimulai dari penegakan diagnosis yang tepat. Karena terapi hipertensi
merupakan terapi seumur hidup dan bukan merupakan terapi sesaat saja. Dari berbagai panduan
tatalaksana hipertensi baik nasional maupun internasional, telah menganjurkan pengukuran tekanan
darah (TD) di luar klinik/ rumah sakit atau yang saat ini disebut sebagai pengukuran tekanan darah di
rumah (Home Blood Pressure Monitirong / HBPM) untuk penegakan diagnosis dan juga untuk
penentuan tatalaksana hipertensi selanjutnya
Dari beberapa penduan atau konsensus internasional terakhir mengenai hipertensi baik dari
European Society of Hypertension, American Heart Association ataupun Canadian Society of
Hypertension, telah menekankan pentingnya peran pengurukuran darah di luar rumah sakit/ klinik,
dalam menegakan diagnosis dan tatalaksana hipertensi. Terdapat banyak kondisi dimana TD darah
seorang pasien itu sangat bervariasi, dikarenakan terdapat banyak hal yang sangat mempengaruhi
TD seseorang baik fisik maupun psikis. (3,4,5) TD yang bervariasi inilah yang sangat mempengaruhi
diagnosis dan tatalaksana ke depannya. Langkah selanjutnya dalam tatalaksana hipertensi yang baik,
setelah penegakan diagnosis, adalah pengobatan baik secara farmakologis maupun non
farmakologis, dan mencari ada tidaknya gangguan organ lain akibat hipertensi ini.
104
Gambar 1. Algoritma penegakan diagnosis hipertensi. Konsensus Penatalaksanaan Hiperetensi InasH
– PERHI 2019
ABPM : Ambulatory Blood Pressure Monitoring; HBPM : Home Blood Pressure Monitoring
Panduan Hipertensi dari American Heart Association tahun 2017, telah mengeluarkan suatu
algoritme (gambar 2) untuk membedakan diagnosis masked hypertension (hipertensi terselubung),
white coat hypertension, peningkatan TD atau hipertensi (4). Mereka dengan detail membedakan
keempat kondisi ini, karena hal ini akan berpengaruh pada tatalaksana yang tepat dan berbeda bagi
masing masing kondisi ini.
Gambar 2. Algoritma deteksi white-coat hypertension/ masked hypertension pada pasien tanpa
pengobatan 4
105
Dari algoritme di atas, terlihat jelas pentingnya mengetahui pola atau kurva TD pasien secara rinci,
pada pasien dengan TD di klinik/ rumah sakit antara 120-160/<80 – 100 mmHg, sebellum
memastikan normotensi ataupun hipertensi yang sebenarnya, karena sangat mungkin terdapat
konsisi hipertensi terselubung, atau bahkan hanya sekitar TD yang meningkat yang bukan termasuk
kategori hipertensi.
Pengukuran TD di luar klinik ini memegang peran yang sangat penting juga dalam penentuan
tatalaksana farmakologis bagi pasien hipertensi. Dengan mengetahui kurva atau pola TD harian yang
sebenarnya dari setiap pasien, maka dapat diatur waktu pemberian dan jenis obat yang akan
diberikan. Kelebihan lain dari pengukuran TD di luar klinik adalah pasien dapat lebih mudah
mengontrol pola hidup / pola makan mereka sendiri, serta kemajuan terapi mereka, dan hal ini
sangat penting dalam memperbaiki luaran tatalaksana pasien hipertensi.
Sebenarnya pengukuran TD diluar klinik/ rumah sakit yang dianjurkan adalah pengukuran darah
dengan alat otomatis 24 jam atau yang disebut sebagai Ambulatory Blood Pressure Monitoring
(ABPM) dan juga pengukuran dengan tensimeter secara mandiri di rumah atau disebut Home Blood
Pressure Monitoring (HBPM), Bila dilihat dari segi ketersediaan dan kepraktisannya, maka HBPM
merupakan cara monitor TD yang paing mudah dilakukan bagi setiap pasien. Dengan mengentahui
pola atau kurva TD per harinya, maka diharapkan, baik dokter maupun pasien, dapat mengatur
tatalaksana hipertensi yang lebih baik secara kontinu. Dengan demikan akan tercapai TD yang
diharapkan sesuai target tertentu bagi setiap pasien, dan hal ini yang akan memperbaiki luaran pada
pasien hipertensi baik dari mortalitas maupun morbiditasnya.
Kepustakaan :
1. Riset Dasar Kesehatan Indonesia 2018
2. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, InaSH – Perhimpunan Hipertensi Indonesia
3. Williams B, Mancia G, SpieringW, Agabiti RE, Azizi M, Burnier M, et al; ESC Scientific
Document Group. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension.
Eur Heart J. 2018;39:3021-104.
4. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, CaseyJr DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA. Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation,and Management of High Blood Pressure in
Adults:Executive Summary: A Report of the American College of Cardiology/American
Heart Association TaskForce on Clinical Practice Guidelines. Hypertension.2018;71:1269-
1324.
5. Leung AL, Narenberg K, Daskalopoulou SS, et al. Hypertension Canada’s 2016 Canadian
Hypertension Education Program Guidelines for Blood Pressure Measurement, Diagnosis,
Assessment of Risk, Prevention, and Treatment of Hypertension. Canadian Journal of
Cardiology 32 (2016) 569e588
106
Menurunkan Kejadian Kardiovaskular dengan Statin: Perspektif Terkini *)
Renan Sukmawan
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Abstrak
Kejadian kardiovaskular mayor (major cardiovascular events) seperti infark miokard dan
stroke merupakan penyebab utama kematian di Indonesia dan dunia. Aterosklerosis
merupakan patofisiologi utama dan awal untuk terjadinya kejadian kardiovaskular tersebut.
Proses aterosklerosis dimulai dengan LDL-cholesterol (LDL-C) yang bermigrasi ke subintima
kemudian menyebabkan pembentukan plak dan progresifitasnya. Statin, suatu obat dalam
kelompok penghambat enzym HMG Co-a reductase telah dikenal lama sebagai obat yang
efektif menurunkan total cholesterol dan LDL. Penurunan LDL-C oleh statin berbanding lurus
dengan penurunan kejadian kardioaskular major baik pada setting prevensi primer maupun
prevensi sekunder, sesuai hasil dari ratusan studi dengan berbagai jenis statin yang berbeda.
Pitavastatin salah satu statin original produksi Asia yang terbukti setara dengan atorvastatin
dalam menurunkan kolesterol. Profil safetynya bahkan lebih baik daripada beberapa statin
jenis lainnya. Beberapa studi menunjukkan kesetaraan Pitavastatin dalam menurunkan
kolesterol dibandingkan sttain pada kelompok moderate intensity lainnya, juga dalam hal
kemampuannya dalam meregresi plak koroner. Studi REAL-CAD membandingkan Pitvastatin
4 mg dan 1 mg pada pasien Asia dengan penyakit jantung koroner (PJK) stabil menunjukkan
efektifitasnya dalam menurunkan kejadian kardiovaskular mayor dengan profil keamanan
yang baik. Dapat disimpulkan bahwa terapi dislipidemia dengan statin secara konsisten
menunjukkan penurunan kejadian kardiovaskular. Pitavastatin sebagai statin produksi Asia
telah menunjukkan efektifitasnya menurunkan kejadian kardiovaskular pada populasi Asia
dengan profil keamanan yang baik.
Pendahuluan
107
Proses aterogenesis sudah dimulai terjadi sejak dekade pertama kehidupan, diawali
dengan disfungsi endotel. Proses ini terus berkembang hingga terbentuk plak yang signifikan
pada dekade ketiga dan terjadi event koroner pada dekade keempat.2 Oleh karena itu,
pencegahan seharusnya dimulai sedini mungkin, setidaknya sejak dekade ketiga kehidupan
untuk mengontrol faktor risiko yang bisa dikendalikan sehingga plak yang telah terbentuk
dapat dihambat progresivitasnya dan mencegah kejadian akut kardiovaskular karena ruptur
plak. Bila ruptur plak telah terjadi, maka upaya pencegahan sekunder dilakukan untuk
mencegah atau meminimalisir remodelling miokard agar tidak tejadi gagal jantung di
kemudian hari.
Berbagai clinical trial besar telah menunjukkan bahwa terapi dengan statin
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari kejadian kardiovaskular, baik pada pencegahan
primer maupun pencegahan sekunder. Oleh karena itu, terapi dengan statin telah menjadi
salah satu terapi standard dan lini pertama pada pasien dengan penyakit jantung koroner
(PJK).
Statin merupakan inhibitor poten sintesis kolesterol. Namun efek protektif statin
tampak jauh melebihi efek dari penurunan kadar kolesterol semata. Statin ditunjukkan
memiliki efek pleiotropfik yang dapat memperbaiki disfungsi endotel, menurunkan kadar
inflamasi dan radikal bebas, menghambat aktivasi platelet dan koagulasi, menghambat
degradasi matriks dan stabilisasi plak, menekan proliferasi dan migrasi otot polos, serta
meningkatkan sel progenitor endotel di sirkulasi.3
Selaras dengan NCEP-III, rekomendasi ESC tahun 2016 menyebutkan bahwa pasien
dengan resiko sangat tinggi memiliki target LDL-C <70 mg/dL atau minimal reduksi 50% dari
baseline bila baseline antara 70-135 mg/dl.7 Pasien-pasien ini membutuhkan terapi statin
intensitas tinggi, yang setara dengan Atorvastatin 40-80 mg dan Rosuvastatin 20-40 mg.6 Di
Ameriksa Serikat, NCEP mengestimasi bahwa setiap 1% penurunan LDL-C menghasilkan 1%
reduksi pada resiko PJK. Selain itu, setiap 1% peningkatan HDL-C akan menghasilkan 3%
reduksi pada resiko PJK.
108
Pitavastatin merupakan statin sintetis yang poten menurunkan kolesterol dan telah
disetujui untuk terapi hiperlipidemia. Pitavastatin memiliki absorbsi oral yang baik dan
bioavailibilitas yang tinggi, hampir seluruhnya berikatan dengan protein di plasma, dan
waktu paruh yang panjang. Selain itu, pitavastatin hanya sedikit sekali dipengaruhi oleh
metabolisme CYP 450 sehingga tingkat interaksi dengan obat lain yang juga dimetabolisme
oleh CYP 450 sangat rendah yang menyebabkan kadarnya di dalam plasma relatif stabil.8
IB IVUS mengidentifikasi adanya reduksi yang signifikan pada persentase indeks volume lipid
pada kelompok pitavastatin (34.9±12.2% ke 28.2 ± 7.5%; p 0.020), namun tidak dijumpai
pada kelompok diet (31.0±10.7% ke 33.8 ± 12.4%; p NS).
109
Sementara itu, OCT menunjukkan peningkatan ketebalan fibrous cap secara
signifikan pada kelompok pitavastatin (140±42 µm ke 189 ± 46 µm; p 0.001), yang juga tidak
dijumpai pada kelompok diet saja (140±35 µm ke 142±36 µm; p NS). Terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok Pitavastatin dan kelompok diet dalam perubahan pada
persentase indeks volume lipid ( 6.8±8.0% vs. 2.8±9.9%, p 0.031) dan ketebalan fibrous cap
(52±32 µm vs. 2±22 µm, p 0.001). Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa terapi dengan
Pitavastatin pada pasien dengan angina stabil menginduksi regresi plak yang signifikan dan
stabilisasi plak melalui penurunan kadar lipid plak dan peningkatan ketebalan fibrous cap.
Berbagai penelitian di Eropa dan Amerika telah menunjukkan bahwa statin intensitas
tinggi lebih bermanfaat menurunkan kejadian kardiovaskular dibandingkan statin intensitas
rendah/tanpa statin. Oleh karena itu, ACC/AHA merekomendasikan terapi dengan statin
intensitas tinggi pada pasien-pasien dengan resiko sangat tinggi dan target LDL-C yang lebih
agresif. Namun ternyata terapi dengan statin intensitas tinggi tidak luas digunakan di dalam
praktik klinis sehari-hari, terutama di Asia sehingga tidak ada bukti yang jelas manfaat statin
intensitas tinggi pada populasi Asia.
Sebagian besar dosis statin intensitas tinggi yang direkomendasikan oleh ACC/AHA
tidak disetujui penggunaannya di Jepang. Bahkan, dosis tertinggi yang disetujui
penggunaannya di Jepang pun sangat jarang digunakan di dalam praktik sehari-hari. Oleh
karena itu, studi Randomized Evaluation of Aggressive or Moderate Lipid Lowering Therapy
with Pitavastatin in Coronary Artery Disease (REAL-CAD) dilakukan pada 13,054 pasien
dengan PJK stabil di Jepang bertujuan untuk mengevaluasi apakah terapi statin intensitas
tinggi akan bermanfaat bagi pasien-pasien di Jepang.13 Studi ini merupakan studi terbesar
yang pernah dilakukan untuk membandingkan efektivitas statin dosis tinggi terhadap statin
dosis rendah pada pasien dengan diagnosis PJK.13
Pemeriksaan serial parameter lipid dan marker inflamasi menunjukkan bahwa Pitavastatin 4
mg menurunkan kadar LDL-C, trigliserida dan hs-CRP secara bermakna dibandingkan
terhadap kelompok Pitavastatin 1 mg. Selain itu, terjadi peningkatan kadar HDL-C secara
110
bermakna pada kelompok Pitavastatin 4 mg dibandingkan terhadap kelompok Pitavastatin 1
mg.
Kelompok Pitavastatin dosis tinggi menurunkan insiden kumulatif dari target primer sebesar
19% (HR 0.81 (95% CI, 0.69-0.95), Cox P=0.01) dibandingkan kelompok dengan dosis rendah
selama follow-up hingga 5 tahun. Selain itu, insiden kumulatif target sekunder pun menurun
sebesar 17% pada kelompok Pitavastatin dosis tinggi dibanding Pitavastatin dosis rendah
(H.83 (95% CI, 0.73-0.93), Cox P=0.002). All-cause mortality menurun secara signifikan (HR
0.81 (0.68-0.98), p=0.03), demikian pula dengan infark miokard (HR 0.57 (0.38-0.83),
p=0.004) dan revaskularisasi koroner (HR 0.86 (0.76-0.96), p =0.008) pada kelompok
Pitavastatin 4 mg dibandingkan terhadap Pitavastatin 1 mg.
Dari sisi safety analysis, Pitavastatin 4 mg menyebabkan sedikit lebih banyak keluhan
nyeri otot (1.9% vs 0.7%, p<0.001) dibandingkan Pitavastatin 1 mg. Selain itu, sedikit lebih
banyak pasien yang menghentikan penggunaan obat pada kelompok Pitavastatin 4 mg (9.8%
vs 8.1%, p <0.001) yang mungkin berhubungan dengan keluhan nyeri otot yang dialami. 13
Dapat ditarik kesimpulan dari studi ini bahwa Pitavastatin dosis tinggi (4mg/hari)
menurunkan kejadian kardiovaskular serta all-cause mortality secara bermakna
dibandingkan kelompok dengan dosis rendah (1mg/hari) pada populasi pasien di Jepang. Ini
merupakan bukti pertama dari efektivitas statin intensitas tinggi sebagai pencegahan
sekunder pada pasien di Asia. Selain itu, Pitavastatin dosis tinggi pun relatif dapat ditoleransi
dengan baik. Selama ini terdapat keengganan untuk menggunakan statin dosis tinggi pada
populasi pasien di Asia. Studi ini dapat menjadi bukti bahwa strategi statin intensitas tinggi
adalah aman, relatif ditoleransi dengan baik dan bermanfaat bagi pasien. Sebuah
rekomendasi yang dikhususkan bagi populasi Asia akan dibutuhkan.
Kesimpulan
Aterosklerosis merupakan sebuah kontinuum yang dimulai dari dari akumulasi faktor
resiko kardiovaskular yang menyebabkan disfungsi endotel dan kaskade kejadian yang
berujung pada terbentuknya plak aterosklerosis, ruptur plak, kematian sel miokard,
remodelling dan gagal jantung. Intervensi dapat dilakukan di tahap mana saja dalam
kontinuum ini untuk memutus rantai patofisiologis dan progresi penyakit.
Statin merupakan terapi standar dan lini pertama pada pasien dengan penyakit
jantung koroner (PJK), baik sebagai pencegahan primer maupun sekunder. Statin terbukti
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari kejadian kardiovaskular.
Diantara berbagai jenis statin, Pitavastatin merupakan statin sintetis yang sangat
poten menurunkan kolesterol, memiliki absorbsi oral yang baik, bioavailibilitas yang tinggi,
waktu paruh yang panjang dan kadar plasma yang stabil. Pitavastatin ditunjukkan non-
inferior terhadap Atorvastatin dalam menurunkan LDL-C dan non-HDL-C, dan lebih superior
dibandingkan Simvastatin dalam menurunkan berbagai parameter lipid. Pitavastatin juga
ditunjukkan dapat menginduksi regresi plak yang signifikan dan stabilisasi plak. Selain itu,
studi keluaran kardiovaskular terbesar di Asia menunjukkan bahwa Pitavastatin dosis tinggi
111
aman dan bermanfaat menurunkan angka kejadian kardiovaskular dalam jangka panjang
pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
Daftar Pustaka
113
Symptom Based Approached in Cardiovascular Medicine: Shortness of Breath
Rina Ariani
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Sesak napas, atau dalam terminasi medis disebut dyspnea, merupakan sensasi tidak nyaman
saat bernapas. Beberapa terminasi lain juga mendefinisikan sebagai “kesulitan dan
ketidaknyamanan bernapas, sensasi rasa kekurangan udara atau “air hunger”, atau
kesadaran adanya distress pernapasan.
American Thoracic Society mendefinisikan sesak napas menjadi “keluhan subjektif dari
ketidaknyamanan bernapas yang dapat berbeda secara kualitatif dan bervariasi dalam
intensitas”.1
Sesak napas merupakan preditor penting dalam penilaian kualitas hidup, tolerasi latihan dan
mortalitas dalam berbagai kondisi. Keluhan ini sering menimbulkan keterbatasan seorang
individu, dan menempati urutan yang kedua setelah keluhan nyeri. Sekitar seperempat
populasi secara umum pernah mengeluhkan sesak napas, dan sekitar setengah dari pasien
dengan kondisi sakit berat mempunyai keluhan ini.2 Keluhan sesak juga merupakan
prediktor yang lebih kuat daripada keluhan angina atau keluhan lainnya dalam memprediksi
mortalitas pada pasien yang menjalani uji latih jantung.3 Pada populasi yang tidak
mempunyai riwayat penyakit kardiopulmoner-pun, keluhan sesak napas, walaupun dengan
intensitas ringan, merupakan prediktor penting terhadapt timbulnya gagal jantung, serangan
jantung, dan kematian dalam evaluasi jangka panjang.4
Pemeriksaaan fisik harus dikerjakan secara menyeluruh. Evaluasi ada tidaknya stridor,
wheezing, ronki, menurun/menghilangnya suara napas, tachycardia, aritmia, edema tungkai,
murmur, gallop, kelemahan suara jantung, dan lain sebagainya. Sayangnya tidak ada satu
gejala atau tanda yang secara eksklusif dapat meinklusi atau mengksklusi diagnosis gagal
jantung, walaupun terdapatnya peningkatan JVP, ronki basah, dan S3 gallop dapat
membantu untuk me-rule in diagnosis gagal jantung.12 Tabel 3. merangkum beberapa tanda
dan gejala yang datap mengarahkan/membantu membuat diagnosis.
117
Ansietas Ensefalitis
Serangan Panik Trauma kepala
dll Gangguan neuromuskular
Tabel 1. Penyebab sesak napas akut. Dimodifikasi dari 12
Ada banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mengevaluasi sesak napas.
Pemilihan jenis dan banyaknya pemeriksaaan penunjang yang akan dikerjakan sangat
tergantung dari data awal yang didapat saat anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada tahapan
awal, pemeriksaan standar seperti hematologi, Rontgen thoraks, profil metabolik dan
118
saturasi oksigen dapat memberikan petunjuk dan kadang cukup untuk membuat diagnosis.
Pemeriksaan spirometri sangat bermanfaat dalam membedakan keluhan sesak dari sistem
kardiovaskular dan sistem respirasi. Elektrokardiografi bermanfaat untuk menilai adanya
aritmia, gambaran iskemik/infark miokardium, dan tanda emboli paru, atau gambaran
tamponade. Pemeriksaan biomarker yang cukup penting dalam evaluasi pasien dengan
sesak napas adalah pemeriksaan Natriuretic peptide (NT-pro BNP atau pro BNP), Troponin,
dan D-Dimer. Natriuretic peptide akan meningkat pada kondisi gagal jantung, troponin
diperlukan dalam menilai ada tidaknya infark miokardium, sedangkan D-dimer, yang
merupakan penanda adanya thrombosis, diperlukan untuk mengevaluasi kecurigaan ke arah
emboli paru. Pemeriksaaan ekokardiografi sangat membantu dalam membuat diagnosis
gagal jantung. Dari ekokardiografi dapat diketahui dimensi-dimensi ruang jantung, fungsi
sistolik dan diastolic ventrikel, ada tidaknya kelaianan katup, ada gangguan gerakan
segmental dari ventrikel, melihat ada tidaknya kemungkinan emboli paru, dan menilai ada
tidaknya gambaran tamponade. Pemeriksaan penunjang lain yang lebih canggih dapat
dipertimbangkan bila terdapat keraguan dalam membuat diagnosis. Salah satu pendekatan
klinis sesak napas dapat dilihat pada gambar 2.
Tabel 3. Beberapa tanda dan gejala yang dapat membantu membuat diagnosis klinis.
Dikutip dari13
119
Gambar 2. Pendekatan klinis sesak napas. Dikutip dari 14
Penutup
Sesak napas merupakan keluhan yang sering ditemui dalam praktek klinis, dengan variasi
kasus yang cukup luas dan beragam. Terdapat banyak sekali faktor yang berperan dalam
menimbulkan sensasi sesak napas pada seseorang. Pemahaman mengenai faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap timbulnya sesak napas, serta pendekatan klinis yang sistematik
dan holistik akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan etiologi yang tepat,
dan pada akhirnya memberikan terapi dan manajemen yang sesuai.
Daftar Pustaka
1. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, Banzett RB, Manning HL, Bourbeau J, et al.
An official American Thoracic Society statement: update on the mechanisms,
assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit Care Med.
2012;185(4):435
120
2. Grønseth R, Vollmer WM, Hardie JA, et al. . Predictors of dyspnoea prevalence:
results from the BOLD study. Eur Respir J 2014; 43: 1610–1620)
3. Abidov A, Rozanski A, Hachamovitch R, et al. Prognostic significance of dyspnea in
patients referred for cardiac stress testing. N Engl J Med 2005; 353: 1889–1898)
4. Santos M, Kitzman DW, Matsushita K, Loehr L, Sueta CA , Shah AM. Prognostic
Importance of Dyspnea for Cardiovascular Outcomes and Mortality in Persons
without Prevalent Cardiopulmonary Disease: The Atherosclerosis Risk in
Communities Study. PLoS One. 2016; 11(10): e0165111
5. Shiber JR, Santana J. Dyspnea. , 2006; May;90(3):453-79.
6. Manning HL, Schwartzstein RM. Pathophysiology of dyspnea. N Engl J Med 1995;
333:1547-1553
7. Schwartzstein RM. Physiology of Dyspnea. In Stroller JK, ed. www.uptodate.com . last
updated Nov 02, 2017.
8. Ukerji V. Dyspnea, Orthopnea, and Paroxysmal Nocturnal Dyspnea. In: Walker HK,
Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990. Chapter 11.
9. Dubé, B.-P., Agostoni, P., & Laveneziana, P. Exertional dyspnoea in chronic heart
failure: the role of the lung and respiratory mechanical factors. European Respiratory
Review, 2015; 25(141), 317–332.
10. Rials, S. J., Hatlestad, J. D., Smith, A., Pubbi, D., Slotwiner, D. J., & Boehmer, J. P.
Night-time Elevation Angle in Heart Failure Patients Indicates Orthopnea and
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea. Journal of Cardiac Failure, 2017; 23(8), S81
11. Laviolette L, Laveneziana P. Dyspnoea: a multidimensional and multidisciplinary
approach. Eur Respir J 2014; 43: 1750–1762
12. Berliner D, Schneider N, Welte T, Bauersachs J. The Differential Diagnosis of
Dyspnea.Dtsch Arztebl Int. 2016 Dec; 113(49): 834–845
13. Ewert R, Gläser S. Dyspnea. From the concept up to diagnostics. Internist (Berl). 2015
Aug;56(8):865-71
14. Stein JH, ed. Internal Medicine. 5th ed. St. Louis: Mosby, 1998:401,406
121
How to Use AVP Antagonist in Heart Failure Setting
KEPUSTAKAAN
1. Dupont M, Mullens W, Wilson WH. Impact of systemic venous congestion in heart
failure. Curr Heart Fail Rep. 2011;8:233-241.
2. Gheorghiade M, Vaduganatham M, Fonarow GC, Bonow RO. Rehospitalization for
heart failure. J Am Coll Cardiol. 2013; 61:391-403.
3. Metra M, Davison B, Bettari L, et al. Is worsening renal function an ominous
126
prognostic sign in patients with acute heart failure? The role of congestion and its
interaction with renal function. Circ Heart Fail. 2012;5:54-62.
4. Matsue Y, Suzuki M, Seya M, Iwatsuka R, Mizukami A, Nagahori W, et al. Tolvaptan
reduces the risk of worsening renal function in patients with acute decompensated
heart failure in high-risk population. J Cardiol 2013; 61: 169 – 174.
5. Dohi K, Ito M. Novel Diuretic Strategies for the Treatment of Heart Failure in Japan.
Circ J 2014; 78: 1816 – 1823
6. Ellison DH, Felker GM. Diuretic Treatment in Heart Failure. N Engl J Med
2017;377:1964-75.
7. Kazory A. Cardiorenal syndrome: ultrafiltration therapy for heart failure: trials and
tribulations. Clin J Am Soc Nephrol. 2013;8:1816-1828.
127
Cardiovascular Protection of Calcium Channel Blockers in Hypertension
Management
Sony H. Wicaksono
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Pendahuluan
Tekanan darah tinggi adalah penyebab utama global penyakit kardiovaskular yang bisa dicegah. Data
Riskesdas Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 mendapatkan prevalensi pada
angka 34.1% pada usia di atas 18 tahun berdasarkan data pengukuran tekanan darah dengan
prevalensi yang minum obat antihipertensi adalah 8.8%.1
Proteksi Kardiovaskular
Proteksi kardiovaskular dapat didefinisikan sebagai semua mekanisme dan cara, baik yang bersifat
adaptif ataupun kompensatori yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada
pemeliharaan sistem kardiovaskular.2 Proteksi kardiovaskular pada penatalaksanaan hipertensi
bertujuan menurunkan angka kematian akibat kejadian kardiovaskular dan kejadian kardiovaskular.
Terdapat dua hal yang terbukti menurunkan angka kematian dan kejadian, pertama melalui
menurunkan tekanan darah, menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg atau 5 mmHg
tekanan darah diastolik terbukti menurunkan secara bermakna semiua kejadian kardiovaskular
sebesar 20%. Kedua melalui manfaat obat antihipertensi selain menurunkan tekanan darah.
Berdasarkan definisi proteksi kardiovaskular, maka peningkatan laju nadi dan peningkatan kadar
norepinefrin plasma yang timbul akibat penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dan drastis,
adalah yang termasuk harus dihindari, sehingga penurunan tekanan darah yang kardioprotektif
adalah yang bersifat lambat dan bertahap.
128
Panduan penggunaan obat antihipertensi
Konsensus penatalaksanaan hipertensi 2019 merekomendasikan obat Angiotensin Converting
Enzyme inhibitor (ACEi), Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Beta Blocker, Calcium Channel Blockers
(CCB) dan diuretik sebagai lini pertama. Strategi penatalaksanaan hipertensi tanpa komplikasi
menganjurkan terapi inisial kombinasi dua obat sekaligus, bisa ACEi atau ARB dikombinasi dengan
CCB atau diuretik untuk mencapai target tekanan darah yang ditentukan panduan.8,9
129
Proteksi renal nifedipine GITS
Renal adalah sistem vaskular yang juga terkena dampak dari hipertensi. Parameter awal
terdampaknya renal adalah dari mikroalbuminuria. Studi di tahun 2004 oleh Jerums et al
membandingkan nifedipine GITS dengan perindopril dan plasebo pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dan mikroalbuminuria, didemonstrasikan nifedipine GITS dan perindopril dapat mencegah terjadinya
mikroalbuminuria secara bermakna dibanding dengan plasebo dan nifedipine GITS lebih baik dalam
mencegah kenaikan albumin excretion rate (AER) dibandingkan perindopril dan plasebo.13
Kesimpulan
Proteksi kardiovaskular CCB yang ditampilkan Nifedipine GITS meliputi efektivitas penurunan
tekanan darah mencapai target yang direkomendasikan panduan, dan manfaat selain penurunan
tekanan darah. Manfaat yang ditampilkan nifedipine GITS selain penurunan tekanan darah adalah
menurunkan kadar katekolamin yang bersirkulasi, menekan overaktivitas simpatis jantung,
memperbaiki fungsi diastolik jantung, menekan respons vasokonstriksi koroner, menekan inflamasi
dan menekan progresi kalsifikasi arteri koroner. Manfaat tersebut kemungkinan didapat melalui
perbaikan struktur dan fungsi arteriol dan perbaikan profil inflamasi.
Referensi:
1. Kesehatan BP dan P. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehat Republik
Indones. 2018;
2. Kübler W, Haass M. Cardioprotection: Definition, classification, and fundamental principles.
Heart. 1996;
3. Kleinbloesem CH, Van Brummelen P, van de Linde JA, Voogd PJ, Breimer DD. Nifedipine:
Kinetics and dynamics in healthy subjects. Clin Pharmacol Ther. 1984;
4. De Champlain J, Karas M, Nguyen P, Cartier P, Wistaff R, Toal CB, Nadeau R, Larochelle P.
Different effects of nifedipine and amlodipine on circulating catecholamine levels in essential
hypertensive patients. J Hypertens. 1998;
5. Kosaka T, Nakagawa M, Ishida M, Iino K, Watanabe H, Hasegawa H, Ito H. Cardioprotective
effect of an L/N-type calcium channel blocker in patients with hypertensive heart disease. J
Cardiol. 2009;
6. Tsuburaya R, Takahashi J, Nakamura A, Nozaki E, Sugi M, Yamamoto Y, Hiramoto T, Horiguchi
S, Inoue K, Goto T, Kato A, Shinozaki T, Ishida E, Miyata S, Yasuda S, Shimokawa H. Beneficial
effects of long-acting nifedipine on coronary vasomotion abnormalities after drug-eluting
stent implantation: The NOVEL study. Eur Heart J. 2016;
7. Motro M, Shemesh J. Calcium channel blocker nifedipine slows down progression of coronary
calcification in hypertensive patients compared with diuretics. Hypertension. 2001;
8. Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, Clement DL, Coca A, De
Simone G, Dominiczak A, Kahan T, Mahfoud F, Redon J, Ruilope L, Zanchetti A, Kerins M,
Kjeldsen SE, Kreutz R, Laurent S, Lip GYH, McManus R, Narkiewicz K, Ruschitzka F, Schmieder
RE, Shlyakhto E, Tsioufis C, Aboyans V, Desormais I, De Backer G, Heagerty AM, Agewall S,
Bochud M, Borghi C, Boutouyrie P, Brguljan J, Bueno H, Caiani EG, Carlberg B, Chapman N,
Cífková R, Cleland JGF, Collet JP, Coman IM, De Leeuw PW, Delgado V, Dendale P, Diener HC,
Dorobantu M, Fagard R, Farsang C, Ferrini M, Graham IM, Grassi G, Haller H, Hobbs FDR,
Jelakovic B, Jennings C, Katus HA, Kroon AA, Leclercq C, Lovic D, Lurbe E, Manolis AJ,
McDonagh TA, Messerli F, Muiesan ML, Nixdorff U, Olsen MH, Parati G, Perk J, Piepoli MF,
Polonia J, Ponikowski P, Richter DJ, Rimoldi SF, Roffi M, Sattar N, Seferovic PM, Simpson IA,
Sousa-Uva M, Stanton A V., Van De Borne P, Vardas P, Volpe M, Wassmann S, Windecker S,
Zamorano JL. 2018 ESC/ESH Guidelines for themanagement of arterial hypertension. Eur.
Heart J. 2018;
9. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Ovbiagele B, Casey DE, Smith SC, Collins KJ, Spencer CC,
Himmelfarb CD, Stafford RS, Depalma SM, Taler SJ, Gidding S, Thomas RJ, Jamerson KA,
130
Williams KA, Jones DW, Williamson JD, Maclaughlin EJ, Wright JT, Mauri L. 2017 Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults A
Report of the American College of Cardiology / American Heart Association T. 2017.
10. Grant AO. Basic Science for the Clinical Electrophysiologist Cardiac Ion Channels. Circ
Arrhythmia Electrophysiol. 2009;
11. Godfraind T. Discovery and development of calcium channel blockers. Front. Pharmacol.
2017;
12. Hu H, Zhang J, Wang Y, Tian Z, Liu D, Zhang G, Gu G, Zheng H, Xie R, Cui W. Impact of baseline
blood pressure on the magnitude of blood pressure lowering by nifedipine gastrointestinal
therapeutic system: Refreshing the wilder’s principle. Drug Des Devel Ther. 2017;
13. Jerums G, Allen TJ, Campbell DJ, Cooper ME, Gilbert RE, Hammond JJ, O’Brien RC, Raffaele J,
Tsalamandris C. Long-term renoprotection by perindopril or nifedipine in non-hypertensive
patients with Type 2 diabetes and microalbuminuria. Diabet Med. 2004;
131
Update on the Management of Venous Thromboembolism
Suci Indriani
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Tromboemboli vena (VTE) merupakan penyakit yang mencakup trombosis vena dalam (DVT)
dan/atau emboli paru (PE). Angka insidensi tromboemboli vena cukup tinggi, yaitu sebesar
0,75-2,69 kasus per 1000 subjek per tahunnya, yang meningkat sampai ke 2,0-7,0 kasus per
1000 subjek per tahunnya pada populasi dengan usia 70 tahun ke atas.1 Kondisi tersebut
berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan, dengan mortalitas
30 hari pertama tanpa terapi sebesar 3% pada pasien DVT dan 31% pada pasien PE.2
Komplikasi jangka panjang VTE adalah sindroma post-trombotik (PTS) yang terjadi pada 20-
50% pasien dengan DVT dan chronic thromboembolic pulmonary hypertension (CTEPH) yang
terjadi pada 2-4% pasien dengan emboli paru. Pasien dengan CTEPH mengalami sesak nafas
progresif dan intoleransi latihan serta pasien dengan PTS akan mengalami nyeri kaki kronik
dan bengkak dan sebagian akan mengalami ulkus vena. Terapi utama VTE adalah
antikoagulan yang diberikan dalam beberapa fase, dengan tujuan untuk mencegah rekurensi
trombosis, mencegah pembentukan emboli, dan mencegah kematian.3
Pengobatan antikoagulan pada VTE dilakukan dalam 3 fase, yaitu fase inisiasi (5-21 hari
setelah penegakkan diagnosis), fase jangka panjang (3-6 bulan setelah penegakkan
diagnosis), dan fase lanjutan (setelah 3-6 bulan sejak diagnosis ditegakkan). Pengobatan
pada fase inisial dan fase jangka panjang wajib diberikan pada seluruh pasien VTE. Namun,
pengobatan untuk fase lanjutan diberikan berdasarkan pertimbangan klinis pasien dan
keuntungan maupun kerugian yang didapat dari pemberian antikoagulan tersebut.
Pemilihan jenis dan durasi antikoagulan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
pasien, lokasi trombosis pada DVT (proksimal/distal), ada/tidak adanya PE, status kehamilan,
maupun ada atau tidaknya komorbid lain seperti kanker.4
Pada pasien DVT yang tidak disertai PE, pilihan terapi yang direkomendasikan adalah terapi
antikoagulan parenteral yang dilanjutkan dengan antagonis vitamik K (VKA) atau
penggunaan direct oral anticoagulants (DOACs) dosis tinggi. Jenis antikoagulan parenteral
yang dapat digunakan adalah fondaparinux, low-molecular weight heparin (LMWH), dan
unfractionated heparin (UFH). Fondaparinux dan LMWH lebih direkomendasikan
dikarenakan UFH berhubungan dengan risiko mengalami trombositopenia akibat heparin.4
Fondaparinux memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang relatif sama dengan
enoxaparin (LMWH), namun fondaparinux hanya membutuhkan satu kali administrasi setiap
harinya dengan dosis 7,5 mg secara subkutan (5,0 mg pada pasien < 50 kg, dan 10,0 mg pada
pasien > 100 kg), dibandingkan dengan enoxaparin yang harus diberikan sebanyak dua kali
sehari, dengan dosis yang bergantung berat badan yaitu sebesar 1 mg/kgBB.5 Namun, pasien
132
dengan gangguan fungsi ginjal lebih direkomendasikan untuk menggunakan UFH
dikarenakan memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih singkat. Pilihan DOACs yang dapat
digunakan adalah apiksaban, rivaroksaban, edoksaban, dan dabigatran. Apiksaban dan
rivaroksaban dapat digunakan secara langsung sejak terapi awal, namun edoksaban dan
dabigatran harus didahului dengan terapi antikoagulan parenteral selama 5-10 hari. Direct
oral anticoagulants dikontraindikasikan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal (klirens
kreatinin < 30 mL/min). Durasi pengobatan antikoagulan pada DVT proksimal adalah minimal
3 bulan, sedangkan durasi pengobatan pada DVT distal terisolasi ditentukan berdasarkan
risiko mengalami rekurensi. Pasien yang memiliki risiko rekurensi tinggi harus menjalani
pengobatan selama minimal 3 bulan, namun pasien dengan risiko rekurensi rendah dapat
diberikan pengobatan selama 4-6 minggu dengan dosis yang lebih rendah.4
Pada pasien VTE dengan PE, pengobatan diberikan berdasarkan stratifikasi risiko PE yang
dialami pasien. Pada pasien dengan PE risiko tinggi (disertai syok atau hipotensi),
pengobatan yang diberikan berupa antikoagulan parenteral dengan UFH secepatnya, yang
dilanjutkan dengan terapi trombolitik sistemik. Apabila terapi trombolisis gagal atau
dikontraindikasikan, maka dapat dilakukan pembedahan embolektomi pulmoner maupun
percutaneous catheter-directed treatment. Pada pasien dengan PE risiko menengah/rendah
(tanpa syok atau hipotensi), pengobatan yang diberikan berupa antikoagulan parenteral
dengan fondaparinux atau LMWH kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat.6
Pemberian fondaparinux yang hanya memerlukan satu kali pemberian setiap harinya dengan
dosis 7,5 mg secara subkutan (5,0 mg pada pasien < 50 kg, dan 10,0 mg pada pasien > 100
kg) tanpa memerlukan monitoring terbukti memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang
relative sama dengan pemberian UFH yang diberikan dengan infus kontinyu dan
memerlukan monitoring.7 VKA juga diberikan secara paralel dengan antikoagulan parenteral,
dengan target INR sebesar 2,5 (rentang INR 2,0-3,0). Direct oral anticoagulants juga dapat
digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk PE dengan risiko menengah/rendah.
Apiksaban dan rivaroksaban dapat diberikan secara langsung, namun edoksaban dan
dabigatran harus didahului oleh pemberian antikoagulan parenteral. Direct oral
anticoagulants tidak direkomendasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat.
Secara umum, pemberian antikoagulan pada PE dilanjutkan selama minimal 3 bulan. Fase
lanjutan diberikan pada pasien dengan episode unprovoked PE pertama dengan risiko
perdarahan rendah, episode unprovoked PE yang kedua, dan pada pasien dengan kanker.4, 6
Pemilihan jenis antikoagulan untuk VTE pada pasien kanker maupun ibu hamil berbeda
dengan antikoagulan yang direkomendasikan untuk pasien pada umumnya. Pada pasien
kanker, rekomendasi utama adalah terapi antikoagulan parenteral menggunakan LMWH.
Fondaparinux direkomendasikan pada pasien dengan riwayat trombositopenia akibat
heparin, dan UFH direkomendasikan pada pasien dengan gagal ginjal. Fase jangka panjang
pada pasien kanker juga dilanjutkan menggunakan terapi parenteral. Pemberian terapi fase
lanjutan harus mempertimbangkan kondisi klinis pasien, keuntungan dan kerugian, toleransi
133
pasien, preferensi pasien, dan aktivitas kanker. Pada ibu hamil, terapi yang diberikan adalah
antikoagulan berbasis heparin dikarenakan tidak dapat menembus sawar darah-plasenta
dan tidak ditemukan dalam jumlah signifikan pada air susu ibu. Low-molecular weight
heparin merupakan agen terapi yang direkomendasikan pada ibu hamil, dan diberikan
sampai 6 minggu post-natal dengan durasi minimal pemberian selama 3 bulan.4, 6
Terapi pencegahan VTE dapat dilakukan pada pasien-pasien berisiko tinggi, terutama pasien
usia dengan penyakit akut yang mengalami imobilisasi. Pemberian fondaparinux dengan
dosis 1 x 2,5 mg subkutan selama 6-14 hari terbukti efektif dalam mencegah pembentukan
VTE simptomatik maupun asimptomatik apabila dibandingkan dengan plasebo, dengan risiko
perdarahan yang sama antara kedua kelompok.8
Daftar Pustaka:
1. Becattini C, Agnelli G. Treatment of Venous Thromboembolism With New Anticoagulant
Agents. J Am Coll Cardiol. 2016;67(16):1941-55.
2. Piran S, Schulman S. Management of venous thromboembolism: an update. Thromb J.
2016;14(Suppl 1):23.
3. Streiff MB, Agnelli G, Connors JM, Crowther M, Eichinger S, Lopes R, et al. Guidance for
the treatment of deep vein thrombosis and pulmonary embolism. J Thromb
Thrombolysis. 2016;41(1):32-67.
4. Mazzolai L, Aboyans V, Ageno W, Agnelli G, Alatri A, Bauersachs R, et al. Diagnosis and
management of acute deep vein thrombosis: a joint consensus document from the
European Society of Cardiology working groups of aorta and peripheral vascular
diseases and pulmonary circulation and right ventricular function. European Heart
Journal. 2018;39(47):4208-18.
5. Buller HR, Davidson BL, Decousus H, Gallus A, Gent M, Piovella F, et al. Fondaparinux or
enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep venous thrombosis: a
randomized trial. Annals of internal medicine. 2004;140(11):867-73.
6. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, et al. 2014
ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur
Heart J. 2014;35(43):3033-69, 69a-69k.
7. Buller HR, Davidson BL, Decousus H, Gallus A, Gent M, Piovella F, et al. Subcutaneous
fondaparinux versus intravenous unfractionated heparin in the initial treatment of
pulmonary embolism. The New England journal of medicine. 2003;349(18):1695-702.
8. Cohen AT, Davidson BL, Gallus AS, Lassen MR, Prins MH, Tomkowski W, et al. Efficacy
and safety of fondaparinux for the prevention of venous thromboembolism in older
acute medical patients: randomised placebo controlled trial. Bmj. 2006;332(7537):325-
9.
134
Diseksi Aorta: Satu Penyakit dengan Gambaran Klinis Kritis yang Beragam
Suko Adiarto
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Diseksi aorta merupakan penyakit yang ditandai oleh robekan yang mengakibatkan separasi
antara tunika intima dan tunika media pada aorta. Robekan ini meyebabkan terjadinya aliran
darah dari true lumen ke false lumen melalui entry tear yang kemudian dapat keluar lagi
menuju true lumen melalui exit tear. Berdasarkan lokasi entry tear dan luasnya diseksi,
penyakit ini diklasiikasikan berdasarkan klasifikasi Stanford dan DeBakey sebagai berikut:
Klasifikasi Stanford:
• Stanford A : Entry tear berada di aorta ascendens
• Stanford B : Entry tear berada di aorta descendens
Klasifikasi De Bakey
• Debakey I : Entry tear berada di aorta ascendens dan diseksi melibatkan aorta
ascendens dan descendens
• Debakey II : Entry tear berada di aorta ascendens dan diseksi melibatkan hanya
aorta ascenden
• Debakey III : Entry tear berada di aorta descendens
Diagnosis dan tatalaksana diseksi aorta kadang-kala tidak terlalu mudah, bukan saja karena
gejala nyeri dada/nyeri punggung yang hamper selalu terjadi pada diseksi aorta juga sering
terjadi pada penyakit lain, tetapi juga karena diseksi aorta dapat bermanifestasi sebagai
penyakit yang disebabkan oleh komplikasi dari diseksi aorta itu sendiri. Bahkan kadang-
kadang gejala penyakit akibat komplikasi tersebut lebih dominan dibandingkan nyeri
dada/nyeri punggung akibat diseksi tersebut.
Berikut adalah contoh-contoh kasus dimana diagnosis diseksi aorta terlewatkan dan
keterlambatan dan bahkan kesalahan dalam tatalaksana dapat berakibat fatal.
1. Seorang laki-laki berusia 44 tahun dirujuk dari Sumatera Barat (Padang) dengan
keluhan sesak napas yang berat dan tiba-tiba. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
suara nafas yang menghilang pada lapang paru kanan. Foto thorax menunjukkan
gambaran paru kiri yang praktis tidak terlihat karena tertutup effusi yang sangat luas
Sempat dilakukuan pungsi pleura pada pasien ini dengan cairan yang didapatkan
berupa darah. Untungnya, pungsi segera dihentikan dan dilakukan CT Aorta untuk
memastikan diagnosis. CT memperlihatkan adanya diseksi aorta dengan entry site di
descending aorta dan adanya rupture yang menyebabkan hematothorax.
2. Seorang wanita 55 tahun datang ke UGD dengan keluhan nyeri dada yang memberat
sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, disertai dengan keringat dingin, mual dan
135
muntah. Keluhan ini kemudian diperberat dengan sesak napas. EKG menunjukkan ST
elevasi pada lead II, III, aVF. Diagnosis yang ditegakkan adalah Akut STEMI inferior
Killip II dan pasien segera diperispakan untuk menjalani Primary PCI.
Pada saat dilakukan primary PCI, operator sangat sulit melakukan kanulasi pada RCA,
sehingga dilakukan aortografi dan terlihat adanya regurgaitasi aorta yang berat
dengan flap di ascending aorta.
3. Seorang Perwira polisi berusia 38 tahun dengan hipertensi dan obesitas dirujuk dari
RS lain dengan keluhan nyeri hebat pada kedua ekstremitas bawah. Pada
pemeriksaan fisik di RS tersebut ditemukan pulsasi pada kedua arteri femoralis
sangat melemah dengan perabaan extremitas yang dingin. Diagnosis yang ditegakkan
adalah Iskemia tungkai akut (acute limb ischemia) dengan tujuan rujukan adalah
dilakukannya revaskularisasi. Komunikasi dengan Spesialis Jantung dan Pembuluh
darah yang merujuk pasien tersebut sangat bermanfaat, karena dari anamnesis yang
cermat dari dokter yang bersangkutan diketahui bahwa sebelum terjadi nyeri pada
kedua ekstremitas, terdapat nyeri punggung yang berat, namun kemudian nyeri pada
kedua tungkai lebih mendominasi keluhan pasien.
Anamnesis yang cermat ini membuat kecurigaan iskemia tungkai akut bukan
disebabkan oleh oklusi bifurkasio Aorto-iliaka akibat tromboemboli/in-situ
thrombosis, sehingga upaya diagnostic dengan melakukan CT aorta segera dilakukan
saat pasien tiba di UGD. CT aorta kemudian memperlihatkan adanya diseksi aorta
Stanford B, DeBakey III degan true lumen yang mengecil dan praktis terkompresi
akibat tekanan dari false lumen pada level aorta abdominalis.
5. Seorang laki-laki 51 tahun dirujuk ke UGD Harapan Kita dengan diagnosis Disesksi
Aorta Stanford B, Debakey III. Dari anamnesis yang seksama pada pasien ini diketahui
bahwa ia mangalami kelumpuhan ekstremitas bawah bilateral secara tiba-tiba,
sehingga rujukan awal yang diberikan adalah kepada sejawat Neurologi. Kemudian
dilakukan MRI medulla spinalis dan pada saat dilakukan evaluasi, secara tidak sengaja
terlihat adanya diseksi pada aorta descenden.
Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan diagnosis diseksi aorta kadangkala tidak terlalu
mudah ditegakkan, sehingga pertimbangan mengenai diagnosis banding dengan
pemeriksaan-pemeriksaan baik fisik maupun penunjang yang tepat sangat diperlukan.
136
Beberapa petunjuk Klinis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang sederhana
yang dapat digunakan untuk meingkatkak kecurigaan ke arah diseksi aorta diantaranya:
1. Nyeri dada/punggung
2. Perbedaan tekanan darah 4 ekstremitas
3. Murmur early diastolic
4. Foto Thorax: pelebaran mediastinum, double contour, effuse pleura
5. USG/echocardiography : adanya gambaran flap pada asceding aorta/aorta abdominal
6. D-Dimer yang tinggi
Terdapat anjuran strategi terbaik untuk memastikan diagnosis penyakit mematikan yang
ditandai dengan keluhan nyeri dada yang disebut triple rule out strategy, yaitu melakukan CT
scan pada daerah thorax untuk mengevaluasi arteri coroner, aorta dan arteri pulmonalis.
Dengan strategi ini diharapkan kegawatan berupa sindroma koroner akut, diseksi aorta dan
emboli paru tidak terlewatkan
Kepustakaan
1. Upadhye S, Schiff K. Acute aortic dissection in the emergency department: diagnostic
challenges and evidence-based management. Emerg Med Clin North Am.
2012;30(2):307-27
2. Halpern EJ, Triple-rule-out CT angiography for evaluation of acute chest pain and
possible acute coronary syndrome. Radiology. 2009; 252(2):332-45
3. Adiarto S, Taofan, Indriani S, Sunu I, Dakota I, Kaligis RWM, Diseksi aorta dengan
presentasi Klinis iskemia tungkai akut dalam Senarai Kasus Kardiovaskular, Jakarta
2018
4. Crawford TC. , Beaulieu RJ, Ehlert BA, Ratchford EV, Black JH, Malperfusion
Syndromes in Aortic Dissection. Vasc Med. 2016; 21(3): 264–273.
137
Syncope and Epigastric Pain: What Do They Have In Common?
Vienna Rossimarina
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Latar Belakang
Keluhan sinkop dan nyeri epigastrium sering sekali ditemukan dalam praktik sehari-
hari, terutama di Unit Gawat Darurat (UGD). Sinkop didefinisikan sebagai kehilangan
kesadaran sementara (onset cepat, durasi singkat, dengan pemulihan spontan dan tanpa
residual) akibat hipoperfusi serebri global.1 Sering pasien datang dalam kondisi compos
mentis tanpa gejala residual, dengan sekitar 60% etiologinya adalah reflex syncope, 15%
karena hipotensi ortostatik, dan sekitar 15% lainnya akibat masalah aritmia jantung
dan/atau struktural jantung.1 Oleh sebab itu, sinkop sering dianggap kondisi yang berisiko
rendah, kemudian pasien dipulangkan. Begitu pula halnya dengan nyeri epigastrium. Pasien
dengan nyeri epigastrium umumnya datang dengan kondisi stabil, sehingga pada triase di
UGD dikategorikan sebagai pasien zona hijau. Pada kondisi yang berat, diagnosis kerja
tersering adalah pankreatitis atau ulkus peptikum (termasuk gastritis dan spektrumnya).2
Karena etiologinya diduga sebagai masalah dari sistem pencernaan, maka pasien akan
segera dirujuk ke dokter penyakit dalam.
Meskipun pada umumnya keluhan sinkop dan nyeri epigastrium terjadi pada sistem
organ yang secara anatomi sangat jauh jaraknya, pada kasus tertentu kedua keluhan yang
tampaknya “jinak’ ini memiliki benang merah. Sayangnya hal ini sering luput oleh dokter
ataupun paramedik yang bekerja di lini pertama seperti UGD padahal pada kasus tertentu
tersebut mortalitas dan morbiditasnya tinggi. Presentasi ini akan menunjukkan benang
merah antara kedua keluhan tersebut.
Ilustrasi Kasus 1
Perempuan 71 tahun dengan riwayat pingsan 2 hari sebelumnya saat sedang
istirahat. Durasi kurang dari 5 menit, tanpa disertai gejala nyeri dada ataupun pusing
berputar sebelumnya. Tidak ada keringat dingin maupun mual. Dari RS sebelumnya pasien
didiagnosis dengan bradikardia simtomatik ec degeneratif dan mendapat terapi SA 0,5 mg
intravena (namun tidak ada respon perbaikan) sehingga diberikan Dopamin intravena 3
mcg/kg/mnt dan dirujuk untuk dilakukan pemasangan pacu jantung. Saat di UGD, pasien
tampak sakit ringan, compos mentis, dengan tekanan darah 104/51 mmHg, frekuensi nadi
40 x/mnt, frekuensi napas 14 x/mnt, pasien BB 45 kg dan tinggi badan 150 cm. Dari
pemeriksaan jantung S1-S2 normal dan regular, tidak ada murmur ataupun gallop,
ditemukan kardiomegali ringan dari pemeriksaan batas jantung. Pasien juga baru
mengetahui menderita diabetes mellitus (DM) dalam 1 bulan terakhir. Berikut ini EKG yang
dari RS pengirim (gambar 1 dan 2) dan EKG saat tiba di UGD RS tipe A (gambar 3):
138
Gambar 1. EKG dari RS pengirim
139
Gambar 3. EKG di RS tipe A
Pasien didiagnosis dengan Total AV Block (TAVB) ec degeneratif, acute kidney injury
(AKI) dd/ acute on chronic kidney disease (CKD) Stadium V (Cr 3.0, eGFR 15), dan DM tipe 2.
Pasien lalu direncanakan untuk pemasangan Temporary Pace Maker (TPM). Direncanakan
pemeriksaan enzim jantung namun sayangnya belum dilakukan hingga pasien dilakukan
pemasangan TPM.
Selama observasi, pasien terpantau mengalami perbaikan hemodinamik dengan
topangan TPM. Pasien tidak ada keluhan, dan Cr perbaikan (pada hari ke-3 perawatan, Cr
1,5). Pasien juga terjadwal untuk pemasangan PPM. Berikut in EKG selama observasi selama
3 hari (gambar 4 – 5):
140
Gambar 5. EKG pada hari ketiga perawatan
Saat mengevaluasi ulang EKG, pasien dicurigai mengalami Infark miokard akut
dengan ST elevasi (IMA EST) anteriolateral sehingga dilakukan pemeriksaan enzim jantung
pada hari ketiga perawatan dengan hasil hs troponin T 2862 pg/dL. Pasien pun didiagnosis
dengan IMA EST anterolateral onset 5 hari Killip I dengan TAVB intermitten. Pasien pun
direncanakan untuk dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP). Sementara persiapan IKP,
pemeriksaan echokardiografi menunjukkan data yag mendukung berupa penurunan fungsi
sistolik jantung (EF 45%) dengan gangguan gerak dinding jantung segmental yaitu akinetik
pada segmen basal hingga mid anterior dan anteroseptal serta apikoanterior, ditemukan
pula efusi perikard ringan. Hasil koroangiografi menunjukkan total oklusi pada osteal LAD
dan stenosis yang tidak bermakna pada RCA, akhirnya dilakukan pemasangan 1 stent di LAD.
Pasien mengalami perbaikan dan akhirnya dipulangkan pada hari kesembilan perawatan
dengan irama jantung sudah kembali ke sinus (gambar 6) serta kadar Cr 0.8.
Pada panduan ESC telah disebutkan bahwa presentasi yang tidak khas pada Sindrom
Koroner Akut (SKA) sering terjadi pada populasi khusus seperti populasi pada usia tua, jenis
141
kelamin perempuan, penyandang DM, penyandang penyakit ginjal kronik, dan penyandang
demensia.3 Oleh sebab itu, anamnesis serta penapisan yang lebih ketat harus dilakukan pada
kelompok populasi di atas. Selain itu, panduan ESC terbaru kembali menekankan berbagai
presentasi EKG yang tidak khas untuk Infark miokard akut dengan ST elevasi (IMA EST). Yaitu
EKG dengan gambaran bundle branch block, irama pacu pada mereka yang menggunakan
pacu jantung permanen, gambaran ST depresi pada sadapan anterior pada kasus infark
miokard posterior, serta gambaran ST depresi pada 8 atau lebih sadapan disertai ST elevasi
pada aVR atau V1 yang menunjukkan obstruksi left main atau left main equivalent. 4
Pada kasus ini, telah terjadi keterlambatan diagnosis IMA EST pada pasien, karena
presentasi klinis yang tidak khas. Pasien datang dengan keluhan sinkop tanpa didahului
ataupun disertai dengan nyeri dada. Keluhan sinkop ini sekilas dapat dijelaskan dengan EKG
yang menunjukkan TAVB, sehingga mengakibatkan hipoperfusi pada serebri akibat curah
jantung yang rendah. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa curah jantung tergantung
pada komponen isi sekuncup jantung dan frekuensi nadi.5 Di saat frekuensi nadi sangat
rendah, dan isi sekuncup jantung tetap sama, maka curah jantung akan turun. Gejala
hipoperfusi juga tampak pada organ renal sehingga pada hari perawatan pertama kadar Cr
pasien naik hingga 3,0, kemudian setelah dilakukan revaskularisasi dan irama kembali ke
sinus Cr perbaikan hingga 0,8. Meskipun demikian, bila dicermati telah tampak gambaran ST
elevasi pada sadapan anterior EKG.
Di samping itu, perlu diingat bahwa pasien memiliki faktor risiko untuk mengalami
SKA yaitu usia tua dan DM. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pada kondisi
tersebut presentasi tidak khas lebih sering terjadi. Penelitian oleh Bayer dkk menemukan
sekitar 20% pasien berusia 70-75 tahun tidak mengalami nyeri dada saat terjadi IMA.6 Čulić
dkk menemukan bahwa perempuan lebih sering mengeluh nyeri bahu kanan atau nyeri
perut saat mengalami IMA.7 Mereka juga menemukan bahwa pasien DM juga sering
mengalami keluhan yang tidak khas.7 Studi oleh Scognamiglio dkk menyimpulkan bahwa
pada penyandang DM terjadi neuropati autoom dan terjadi perubahan ambang nyeri
sehingga tidak merasakan nyeri dada saat infark miokard.8 Berdasarkan data Rotterdam
Study, ditemukan pula bahwa 54% kasus infark miokard yang tidak terdeteksi terjadi pada
perempuan.9
Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya pada EKG saat presentasi awal di UGD, patut
dicurigai terjadi IMA EST. Di sana tampak sedikit ST elevasi disertai T inversi pada sadapan
anterolateral yang sesuai dengan evolusi EKG pada kasus IMA EST. Tentunya pemeriksaan
enzim jantung dapat memperkuat diagnosis tersebut. Apabila hal ini dilakukan sejak awal
tentunya tindakan IKP primer dapat dilakukan lebih cepat, sehingga diharapkan konversi
irama jantung lebih cepat terjadi dan lama rawat pasien bisa lebih singkat.
Ilustrasi Kasus 2
Pria 40 tahun datang ke UGD RS perusahaan dengan nyeri pada ulu hati sejak 2 jam
sebelumnya. Nyeri dirasakan saat bangun tidur. Pasien memiliki riwayat sakit maag yang
cukup berat sebelumnya dan sudah berobat rutin ke dokter spesialis penyakit dalam di RS
142
tersebut. Pasien juga memiliki hipertensi, namun tidak pernah minum obat rutin. Saat itu,
pasien diberikan pantoprazol intravena, dilakukan observasi selama 2 jam di UGD dan pasien
dipulangkan karena keluhan perbaikan. Setelah pulang pasien pergi bekerja, dan 4 jam
kemudian pulang untuk istirahat makan siang. Sayangnya setelah makan, pasien merasa
nyeri ulu hati kembali timbul kali ini dengan intensitas yang lebih berat, sehingga pasien
kembali ke UGD RS perusahaan itu (waktu tempuh kurang dari 10 menit dengan berjalan
kaki). Hanya berselang 15 menit observasi di UGD, pasien dilaporkan kejang dan saat
diperiksa tidak ditemukan nadi sehingga dilakukan resusitasi jantung paru selama hampir 1
jam dengan 5 kali pemberian defibrilasi. Akhirnya pasien mengalami sirkulasi spontan lalu
segera dirujuk ke RS tipe A dalam kondisi terintubasi dan mendapat obat sedasi, serta
topangan Dopamin 7 mcg/kg/mnt.
Pemeriksaan di UGD RS tipe A, saat itu onset 5 jam, ditemukan pasien koma (dengan
pemberian sedasi), tekanan darah 90/50 mmHg, dan nadi 126 x/mnt. Dari pemeriksaan fisik
tidak ada yang bermakna kecuali terdengan rhonki basah halus di basal dan akral yang masih
dingin. Hasil EKG sebagai berikut (gambar 7 dan 8):
143
Gambar 8. EKG di RS rujukan
Pasien didiagnosis dengan IMA EST inferoposterior akut onset 5 jam Killip IV, dengan
syok kardiogenik pada Post-Cardiac Arrest. Pasien direncanakan untuk dilakukan IKP primer.
Sayangnya saat persiapan, terjadi hipotensi sehingga dilakukan resusitasi terlebih dahulu.
Tindakan IKP primer pun akhirnya ditunda hingga 2 jam kemudian setelah pasien lebih stabil.
Hasil IKP primer juga cukup mengejutkan, yaitu total oklusi pada OM1 tanpa disertai
stenosis pada pembuluh darah lainnya. Selanjutnya dilakukan pemasangan stent di OM1 dan
pasien ditransfer ke Intensive Cardiovascular Care Unit (ICVCU). Selama di ICVCU pasien
mengalami beberapa masalah selain syok kardiogenik, seperti infeksi paru (kemungkinan
terkait penggunaan ventilator), hiperglikemia, dan delirium pascasedasi (sehingga
menyulitkan peyapihan obat sedasi dan ventilator). Akibatnya pasien baru berhasil
diekstubasi pada hari keenam perawatan. Setelah itu pasien mengalami perbaikan dan
dipulangkan pada hari ke-12 perawatan dengan hasil echokardiografi menunjukkan EF 60%
dengan global normokinetik.
Kasus ini sangat unik karena ditemukan presentasi gejala yang atipikal (nyeri
epigastrium) pada pasien laki-laki berusia muda. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan
dengan referensi-referensi yang ada, bahwa presentasi atipikal terjadi pada usia tua atau
144
perempuan.10,11 Faktor yang mungkin berkontribusi dengan gejala yang atipikal tersebut
adalah lokasi infark posterior, dengan denervasi yang lebih dekat dengan sistem
gastrointestinal dibandingkan dinding anterior.2
Dari kasus ini, tampak bahwa nyeri epigastrium ternyata dapat mengindikasikan SKA,
bahkan spektrum terberatnya yaitu IMA EST. Studi yang dilakukan Chowta dkk menemukan
bahwa nyeri epigastrium terjadi pada sekitar 10% pasien IMA EST. Mereka juga menemukan
bahwa sekitar 50% infark miokard inferior datang dengan presentasi gejala atipikal,
termasuk nyeri epigastrium. Jika merujuk pada penelitian yang lebih lama, Framingham
Study dan Honolulu Heart Program Study juga menunjukkan bahwa presentasi dengan gejala
atipikal seperti ini sering terjadi pada kasus infark miokard inferior.13,14 Oleh sebab itu, pada
kasus dengan keluhan nyeri epigastrium (apalagi bila profil pasien mendukung ke arah SKA)
maka pemeriksaan EKG untuk menyingkirkan diagnosis banding ini sebaiknya dilakukan,
dengan target IMA EST dapat terdiagnosis dalam 10 menit sesuai dengan panduan dari ESC.
Kasus ini juga menjadi contoh yang menunjukkan bahwa keterlambatan
mendiagnosis SKA karena presentasi yang atipikal dapat mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mortalitas pasien dengan
syok kardiogenik bisa mencapai 40-60%, bahkan bila diberikan topangan alat hemodinamik
seperti intraaortic balloon counterpulsation (IABP).15,16 Morbiditas pasien juga tinggi,
sehingga memperlama durasi perawatan. Delirium, seperti yang dialami oleh pasien, terjadi
pada 60-80% pasien dengan ventilasi mekanik yang dapat mengakibatkan gangguan kognitif
dan mortalitas yang lebih tinggi. Begitu juga dengan pneumonia terkait ventilator, yang juga
meningkatkan durasi perawatan dan mortalitas hingga 33-50% pada pasien dengan ventilasi
mekanik dan bergantung pada kondisi klinis dan morbiditas pasien.18 Oleh sebab itu,
pencegahan komplikasi IMA EST dengan cara mendiagnosis dengan cepat dan tepat menjadi
ujung tombak mengurangi mortalitas dan morbiditas.
Ringkasan
Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa sinkop dan nyeri epigastrium tidak selalu
“jinak” dan bisa mengakibatkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Meskipun kedua
keluhan itu memiliki lokasi yang jauh jaraknya secara anatomi, sehingga tidak saling
berhubungan, ternyata mereka bisa saja memiliki benang merah etiologi yang sama. Pada
pasien dengan sinkop dan nyeri epigastrium, terutama pada yang memiliki faktor risiko,
pemeriksaan EKG sangat penting dilakukan untuk menapis infark miokard sebagai
etiologinya.
Daftar Pustaka
1. Sutton R. Clinical Classification if Syncope. Prog Cardiovasc Dis. 2013; 55: 339-344.
2. Abdullah M, Firmansyah MA. Diagnostic Approach and Management of Acute
Abdominal Pain. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 2012; 44:344-350.
145
3. Roffi M, Patrono C, Collet JP, et al. 2015 ESC Guidelines for the Management of Acute
Coronary Syndromes in Patients Presenting Without Persistent ST-segment Elevation.
Eur Heart J. 2015; 1-59.
4. Ibanez B, James S, Agewall S, et al. 2017 ESC Guidelines for the Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-segment Elevation. Eur Heart J.
2017; 1-66.
5. Bab hemodinamik buku ajar
6. Bayer AJ, Chadha JS, Farag RR, et al. Changing Presentation of Myocardial Infarction
with Increasing Old Age. J Am Geriatr Soc. 1986; 34:263-266.
7. Čulić V, Eterović D, Mirić D, et al. Symptom Presentation of Acute Myocardial
Infarction: Influence of Gender, Age and Risk Factors. Am Heart J. 2002; 144: 1012-
1017.
8. Scognamiglio R, Negut C, Ramondo A, et al. Detection of Coronary Artery Disease in
Asymptomatic Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. J Am Coll Cardiol. 2006; 47: 65-
71.
9. de Torbal A, Boersma E, Kors JA, et al. Incidence of Recognized and Unrecognized
Myocardial Infarction in Men and Women Aged 55 and Older: the Rotterdam Study.
Eur Heart J. 2006; 27:729-736.
10. Canto JG, Fincher C, Kiefe CI, et al. Atypical Presentations Among Medicare
Beneficiaries with Unstable Angina Pectoris. Am J Cardiol. 2002; 90:248–253.
11. Mackay MH, Ratner PA, Johnson JL, et al. Gender Differences in Symptoms of
Myocardial Ischaemia. Eur Heart J. 2011; 32: 3107–3114.
12. Chowta KN, Prijith PD, Chowta MN. Modes of Presentation of Acute Myocardial
Infarction. Indian J Crit Med. 2005; 9:151-154.
13. Morgols JR. Kannel WB. Clinical Features of Unrecognised Myocardial Infarction:
Silent and Symptomatic (the Framingham Study. Am J Cardiol. 1973; 32:1-7.
14. Katsuhiko Y, MacLean CJ. The Incidence and Prognosis of Unrecognized Myocardial
Infarction in the Honoluu, Hawai Heart Program. Ann Intern Med. 1989; 149:1528-
1532.
15. Cooper HA, Panza JA. Cardiogenic Shock. Cardiol Clin. 2013; 31:567-580.
16. Fuernau G, Thiele H. Intra-aortic Balloon Pump in Cardiogenic Shock. CUrr Opin Crit
Care. 2013; 19:404-409.
17. Schenone AL, Chen K, Andress K, et al. Sedation in the Coronary Intensive Care Unit:
An Adapted Algorithm for Critically Ill Cardiovascular Patient. European Journal:
Acute Cardiovascular Care. 2018; 1-9.
18. Kalanuria AA, Zai W, Mirski M. Ventilator-associated Penumonia in the ICU. Critical
Care. 2014; 18:208-2015.
146
Penyakit Jantung Bawaan Kritis
Yovi Kurniawati
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah jenis kelainan bawaan yang sering didapatkan, dgn insiden 7-
‐9 dari setiap 1000 bayi baru lahir (1% dari kelahiran). Penyakit jantung bawaan adalah penyebab
kematian terbesar pada bayi dengan kelainan bawaan, sebanyak 28% terjadi pada bulan pertama
dan sekitar 50% terjadi pada bulan kedua sampai 1 tahun pertama.
Penyakit Jantung Bawaan Kritis merupakan kelompok dari PJB dengan gejala dan kondisi yang berat
serta mengancam jiwa, biasanya berhubungan dengan kadar oksigen darah yang rendah
(hypoxemia) . Golongan penyakit ini memberikan memberikan kontribusi yang cukup bermakna
pada jumlah kematian akibat PJB dibandingkan dengan kelainan lain. Sebagian besar kelompok kritis
ini adalah PJB dengan duct dependent. Dengan menutupnya duktus arteriosus saat lahir akan terjadi
perburukan hemodinamik dan menimbulkan kegawatan dan kematian.
Kelainan struktural jantung yang terjadi memerlukan intervensi segera sehingga keterlambatan
dalam diagnosis dan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan tersier akan meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas. Bayi dengan PJB kritis memerlukan tindakan pembedahan atau intervensi
transkateter dalam tahun pertama kehidupan. Dengan intervensi dini, mortalitas neonatal akibat PJB
akan menurun dari 2-‐3/1000 menjadi 0,6-‐ 0,8/1000 kelahiran hidup. Selain itu factor-‐faktor
penting lain yang berhubungan dengan kelainan kongenital seperti berat badan lahir rendah,
prematuritas, masalah paru, hipertensi pulmonal yang menetap, sepsis juga berpengaruh terhadap
outome bayi dengan PJB.
Bayi dengan PJB kritis mempunyai satu atau lebih kelainan jantung yang spesifik. Kelainan jantung
yang diklasifikaskan sebagai PJB kritis diantaranya; D-‐transposition of the great arteries ,
hypoplastic left heart syndrome , pulmonary atresia with intact ventricular septum, interrupted
aortic arch, coarctation of the aorta, total anomalous pulmonary venous connection, tetralogy of
Fallot, tricuspid atresia . Pada kepustakaan lain juga juga menggolongkan double-‐outlet right
ventricle, Ebstein anomaly, , single ventricle, critical aortic stenosis, critical pulmonary stenosis dan
truncus arteriosus sebagai PJB Kritis.
147
merupakan kelainan jantung tipe duct dependent . Neonatus dengan PJB kritis mungkin tidak terlihat
simptomatik saat lahir karena ductus arteriosus yang tetap terbuka sesaat setelah lahir. Keluhan dan
gejala , seperti asidosis, syok, sianosis bahkan kematian , bisa terlihat setelah bayi rawat jalan (
beberapa hari ) yang disebabkan oleh penutupan ductus arteriosus. Bayi dengan duct dependent PJB
memerlukan terapi/obat untuk mempertahankan agar ductus arteriosus tetap terbuka, sehingga
aliran darah ke paru atau bagian tubuh yang lain tetap terjaga
148
great arteries (TGA) dengan intact ventricular septum (IVS), dimana sirkulasi darah sistemik dan
sirkulasi darah paru terpisah dan berjalan parallel. Kelangsungan hidup bayi yang lahir dengan
kelainan ini sangat tergantung dengan adanya percampuran darah balik vena sistemik dan vena
pulmonalis yang baik. Bila tidak ada percampuran yang baik melalui lubang di sekat atrium atau
sekat ventrikel maka pada saat duktus arteriosus menutup akan timbul sindrom sianosis, yaitu bayi
akan terlihat makin biru, hipoksia dan asidosis.
Meskipun bayi dengan PJB kritis tampak terlihat sehat ketika lahir atau sampai beberapa hari setelah
kelahiran, keluhan dan tanda akan segera terlihat, seperti seperti murmur jantung, takipnea,
hipotensi, hipoksemia yang berat, dan sianosis/ differensial cyanosis. Jika tidak ditangani dengan
cepat kondisi ini dapat memburuk menjadi syok, koma, bahkan kematian. Sebagian besar bayi
dengan PJB yang memberikan gejala pada minggu-‐minggu pertama kehidupan, terjadi karena
adanya perubahan hemodinamik saat kehidupan dari intra-‐uterin ke ekstra-‐uterin akibat
penurunan tahanan vaskuler paru, peningkatan tahanan vaskuler sistemik, penutupan duktus
arteriosus, penutupan foramen ovale dan penutupan duktus venosus. Perburukan kondisi ini akan
terjadi pada PJB dengan sirkulasi paru ataupun sistemik yang tergantung pada duktus arteriosus
(duct dependent circulation) pada saat PDA mulai mengecil dan menutup pada awal kehidupan .
Infus prostaglandin E1 (PGE1) harus segera diberikan untuk mempertahankan duktus arteriosus
tetap terbuka sambil dirujuk dan dipersiapkan untuk dilakukan intervensi non bedah ataupun bedah
sege
149
Sindrom sianosis
Umumnya bayi yang memperlihatkan sindrom sianosis pada awal kehidupan adalah PJB dengan
duct dependent, misalnya TGA, PA dengan atau tanpa ventricular septal defect (VSD), trikuspid
atresia, total anomaly pulmonary venous drainage (TAPVD), TF dengan PS berat dan PJB biru
kompleks lainnya.
DAFTAR PUSTAKA:
21. Association of State and Territorial Health Officials. Critical Congenital Heart Disease.
www.astho.org
22. Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA and Gutgesell HP. Heart Failure and
Shock. In Clinical Synopsis of Moss and Adam’s Heart Disease in Infants, Children, and
Adolescents. Williams and Wilkins Co., Baltimore, 797–827, 1998.
23. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ and Neish SR. Neonatology. In The Science and Practice
of Pediatric Cardiology. Second Edition. Williams and Wilkins Co., Baltimore, 2833–2848,
1998.
24. Harold JG. Screening for Critical Congenital Heart Disease in Newborns. Circulation,
2014;130: e79-‐e81.
25. Marino BS, Bird GL, Wernovsky G. Diagnosis and Management of The Newborn with
Suspected Congenital Heart Disease. In Cardiovascular Disease in The Neonate. Edited
by Wernovsky G and Rubenstein SD. W.B. Saunders Co, Philadelphia, Clinics in
Perinatology: Vol 28, No 1, 91 – 136, March 2001.
26. Olney RS, Ailes EC, Sontag MK. Detection of Critical Congenital Heart Defects: Review of
Contributions from Prenatal and Newborn Screening. Semin Perinatol. 2015 Apr; 39(3):
230-‐37.
150
27. Park MK. Manifestations of Cardiac Problems in The Newborn. In Pediatric Cardiology
for Practitioners. Third Edition. Mosby Co., St. Louis, 374–398, 1996.
28. Yun SW. Congenital Heart Disease in Newborn Requiring Early Intervention. Korean J
Pediatr.2011;54(5): 183-‐91.
151
152