Gelombang 6 - PPDH FKH UB - RESUME BUKU
Gelombang 6 - PPDH FKH UB - RESUME BUKU
Gelombang 6 - PPDH FKH UB - RESUME BUKU
Oleh:
GELOMBANG VI
KELOMPOK 1, 2, 3, 5
NAMA MAHASISWA
KELOMPOK 1
Addin Naufalisa F. 190130100111072 Intan Kirana I. 190130100111034
Andi Citra S. 190130100111024 M. Lubbabul Azhar 190130100111041
Anris Alfani P. 190130100111001 Olenka Putri W. 190130100111093
Arinda Fauzia I. 190130100111089 Praynaksaka A. D. 190130100111076
Dinul Hamdi 190130100111027 Puan Nurrahmah 190130100111025
Dyah Kusumaning W. 190130100111057 Rida Damayanti 190130100111021
Endang Rosidayanti 190130100111087 Ristia Mahfuzah 190130100111046
Ernita Widyasari 190130100111056 Veronika Julie V. 190130100111066
KELOMPOK 2
Adeka Yunanza 190130100111097 Mirda Dwistira 190130100111073
Anwarifan 190130100111062 Nayo Diah Fauziah 190130100111098
Atiqoh Rozana Amalia 190130100111013 Rahmi Elfira 190130100111071
Basofi Andra Aditama 190130100111022 Rizky Ayu Nur 190130100111029
Caesarin Asgita N. 190130100111012 Sari Murni Indah A. 190130100111075
Dini Aprilia Wulandari 190130100111031 Sayfuddin Arief H. 190130100111043
Erike Fitriyani 190130100111079 Septian Vidya P. 190130100111084
Hazra Maulidina 190130100111077 Wafa Agya Filhayat 190130100111081
Iva Pandu Kusuma 190130100111028
KELOMPOK 3
Aisyah Inayatillah 190130100111055 Flora Wahyu Kusuma D190130100111037
Al Meisar Pramayanti 190130100111048 Intan Nabila 190130100111083
Aulia Dyasti Maurenda 190130100111085 Nurfitriyana Firsty 190130100111002
Bagas Abrianto 190130100111005 Olfivesen Purba 190130100111099
Desrizal Wildan 190130100111026 Silvira Tri Purnama S. 190130100111016
Devi Intan Dyah Ayu O 190130100111019 Theresa Lidya Pramesti 190130100111014
Dhiya Ulfagiarli 190130100111030 Triyana Yulia Armanto 190130100111008
Eka Wulandari 190130100111091 Yanuriya Yala Puspita 190130100111039
KELOMPOK 5
BAB I
An Overview of the Immune System: Innate and Adaptive Immunity and the
Inflammatory Response
Pendahuluan
Imunologi merupakan aspek yang relatif masih muda dan cepat, ilmu dasar tentang
kekebalan tubuh makhluk hidup. Tujuan dari buku ini adalah untuk memberikan dasar ini
pengetahuan tentang fungsi kekebalan, tetapi juga untuk jelas hubungkan ini dengan
praktik klinis.Bab ini akan mengulas secara singkat sejarah imunologi dan secara luas
mempertimbangkan perbedaannya elemen sistem kekebalan dan bagaimana mereka
berinteraksi untuk membuat satu kesatuan yang utuh. Fokusnya di sini adalah sistem
kekebalan bawaan, dengan pengantar kekebalan adaptif, yang akan dibahas secara rinci di
bab selanjutnya.
Sejarah Imunologi
Banyaknya laporan mengenai sejarah lahirnya imunologi berasal dari negara-
negara barat dimana hal tersebut diduga terkait dengan pengenalan konsep vaknisasi oleh
Edward Jenner. Pada tahun 1796, Edward Jenner melakukan eksperimen dimana ia
mengkoleksi cairan dari vesikula cacar (cowpox) seorang perkerja ternak sapi perah
bernama Sarah Nelmes dan menginokulasikan ke lengan seorang anak lelaki berusia 8
tahun bernama James Phipps. Setelahnya, timbul lesi dan luka cacar pada lengan James,
namun dua bulan berikutnya saat dipaparkan kembali dengan virus cacar (smallpox), James
tidak menunjukan gejala cacar seperti sebelumnya. Eksperimen serupa dilakukan oleh
Benjamin Testy 20 tahun sebelumnya. Perkembangan besar mengenai imunologi setelah
era Jenner yaitu Louis Pasteur yang mengembangkan vaksim fowl cholera (1879), anthrax
(1881), swine erysipelas (1892) dan rabies (1885). Perlu dicatat bahwa awal mula
perkembangan imunologi terkait dengan penyakit pada hewan. Faktanya, sejarah
perkembangan imunologi dapat terlihat pada daftar penghargaan Nobel yang dapat dilihat
pada Tabel 1. Tercatat pada tahun 1996 penghargaan kepada Peter Doherty, seorang
lulusan Queensland Veterinary School pada tahun 1962 yang melanjutkan studi mengenai
Ovine Louping-Ill pada Penilitian di Moredun Research Institure di Skotlandia menunjukan
bahwa peran dokter hewan sangat penting pada perkembangan imunologi.
Gambar 1. Sistem Imun Innate dan Adaptive (Day and Ronald, 2011).
Imunitas Innate
Sistem kekebalan innate sangat aktif di lokasi yang kemungkinan menjadi titik
kontak dengan patogen potensial sperti: kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan,
saluran urogenital, kelenjar susu, dan mukosa mata. Pertahanan epitel yang menutupi
permukaan sebagai bagian dari sistem kekebalan innate. Banyak dari pertahanan fisik ini
memiliki berbagai modifikasi spesifik di lokasi yang berkontribusi pada kemampuannya
untuk mengecualikan patogen, misalnya:
● Epidermis skuamosa keratinisasi kulit adalah lingkungan yang relatif tidak ramah
bermandikan sebum dan keringat, keduanya mengandung banyak zat antimikroba
(Gambar 2).
● Mukosa pernapasan dilapisi oleh sel epitel kolumnar bersilia, silia yang berdenyut
serempak untuk mengangkut lendir dan kotoran ke atas dari cabang bronkial bawah
ke orofaring (Gambar 3 a, b). Sekresi kelenjar yang dilepaskan ke permukaan
pernapasan mengandung zat antimikroba dan populasi makrofag alveolar menyebar di
paru-paru untuk menghilangkan puing-puing partikulat dari fagositosis (Gambar 4).
● Mukosa usus halus memiliki penghalang epitel yang serupa, dengan sel goblet
penghasil lendir dan zat antimikroba yang disekresikan, termasuk berbagai enzim
yang terkandung di dalam empedu (Gambar 5). Tindakan peristaltik dari dinding usus
memberikan pergerakan terarah lanjutan dari isi lumen, yang mencegah kolonisasi
lokal oleh patogen. Saluran usus memiliki flora mikroba yang kaya, yang kembali
hadir untuk bersaing dengan patogen untuk mendapatkan ruang dan nutrisi.
Seperti pembahasan di atas, barrier fisik ini sering kali dipertahankankan oleh
sekresi molekul antimikroba yang dapat menyebabkan kerusakan langsung pada patogen
(misalnya sistem pencernaan dinding sel bakteri). Molekul-molekul ini termasuk enzim,
seperti lisozim dan fosfolipase A, dan peptida antimikroba kecil seperti α-defensins yang
diproduksi oleh sel-sel Paneth di kriptus usus dan oleh permukaan epitel kulit, mukosa
mulut dan saluran pernafasan dan saluran urogenital.
Garis pertama dari sistem imun adalah barier epitel yang kedua adalah sistem imun
didapat yang harus memiliki mekanisme protektif sebagai backup untuk melawan antigen
tersebut. Kunci dari imunitas didapat adalah mekanisme harus sudah siap dan tersedia
secara terus menerus untuk kerja cepat ketika dibutuhkan. Mekanisme sistem imun ini
harus tersedia untuk menghandle atau melawan setiap patogen yang berpotensi masuk ke
dalam tubuh lewat berbagai rute, seperti yang dijelaskan sebelumnya dan kerja dari sistem
imun didapat ini tidak spesifik biasanya. Sejumlah tipe leukosit dapat terus menerus ada
dan tersedia sangat cepat diaktivasi dan menyerang patogen non spesifik termasuk sel
fagosit contohnya neutrofil, makrofag, sel dendritik, sel mast, sel natural killer, dan
subpopulasi sel khusus seperti limfosit T yang tesedia di barier epitel contohnya limfosit
intraepiteliel atau IEL bersamaan dengan ini sel dan molukel dari sistem imun didapat ini
dapat memberikan mekanisme protektif instan atau cepat untuk melawan infeksi namun
mekanisme dari sistem imun ini tergolong lemah dan hanya tersedia untuk melawan
patogen pada periode yang singkat saja. Efek dari molekul dan sel sistem imun didapat
secara keseluruhan ini yang berespon terhadap patogen baik trauma atau respon imun lokal
disebut dengan inflamasi. Respon inflamasi sendiri seperti stimulus terhadap adanya
kerusakan jaringan atau sentinel.
Peradangan akut terjadi setelah adanya kerusakan jaringan yang ditandai dengan
raasa sakit, kebengkakan, panas, kemerahan dan hilangnya fungsi pada jaringan yang
terkena. Perubahan tersebut terkait dengan perubahan pembuluh darah kapiler di daerah
jaringan. Vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan peningkatan aliran darah dan
penurunan kecepatan aliran darah, sementara peningkatan permeabilitas menyebabkan
hilangnya cairan dari darah menuju jaringan (edema) serta hilangnya protein plasma. Sel
endotel yang melapisi permukaan pembuluh darah menyebabkan terjadinya molekul
adhesi, dimana terjadi adesi leukosit dan migrasi sel antara sel endotel yang pada jaringan.
Leukosit pertama kali yang mengalami ekstravasasi adalah neutrofil dan migrasi neutrofil
terjadi beberapa jam setelah adanya respon inflamasi akut (Gambar.6). Sejalan dengan
perubahan, pelebaran dinding pembuluh darah mengekspos kolagen dibawah endotelium
menuju aliran darah dan mengakibatkan terjadinya koagulasi oleh trombosit dan faktor
koagulasi. Relevansi dari mekanisme ini adalah menyediakan sarana untuk mencegah
penyebaran patogen ke dalam aliran darah.
Kumpulan neutrofil bermigrasi secara terarah menuju patogen target dalam
jaringan melalui proses kemotaksis (lihat Bab 3). Neutrofil kemudian harus mengenali dan
mengikat target, suatu proses yang melibatkan keterlibatan reseptor permukaan pada
neutrofil oleh molekul yang diekspresikan patogen. Ini mungkin komponen dinding sel
organisme atau protein serum (misalnya antibodi dan komplemen) yang telah melapisi
organisme yang meningkatkan untuk dikenali(opsonisasi; lihat Bab 3). Setelah dikenali,
organisme dimakan oleh ekstensi sitoplasma dan ditarik ke dalam sitoplasma neutrofil
yang dikenal sebagai fagositosis. Dalam sitoplasma neutrofil, organisme bungkus dalam
vakuola (fagosom). Organisme di fagositosis dihancurkan melalui efek pernapasan burst
atau dengan pelepasan enzim litik dan peptida antimikroba ke dalam vakuola.
Gambar 6. Peradangan akut. (pada kulit anjing menunjukan adanya perubahan inflamasi
akut terlihat adanya vasodilatasi dan edema jaringan dengan migrasi dan
keluarnya leukosit (terutama neutrofil) dari pembuluh darah menuju jaringan.
Neutrofil yang keluar dari pembuluh darah bermigrasi menuju respon inflamasi (
misalnya infeksi bakteri lokal).
Gambar (7) Inflamasi kronis. merupakan bagian paru-paru dari Alpaca dengan infeksi
Mycobacterium. Lesi granuloma dengan inti nekrotik mengandung neutrofil
dan bakteri (yang tertutupi oleh makrofag) dan tersebar limfosit. (8) :
Multinucleate giant cell. Merupakan bagian kulit dari kucing yang
mengalami dermatitis piogranulomatosa. Terlihat terdapat sel raksasa dengan
inti banyak (multinucleate giant cell) merupakan makrofag yang menyatu.
Dan pada gambar terlihat sel mengandung 2 vakuola sitoplasma yang besar.
Tidak ada penyebab spesifik dan mungkin dipicu karena benda asing.
Imunitas Adaptif
Respon imun adaptif merupakan respon imun yang lebih spesifik dan jauh lebih
kuat di dalamnya efeknya dari pada sistem imun bawaan. Komponen dari sistem imun
adaptif adalah sel limfoid yaitu :
a. Limfosit T dan sitokin serta kemokin yang mengantarkan protein yang dilepaskan
oleh sel secara langsung dan mengatur respon imun adaptif.
b. Limfosit B, yang akan berubah menjadi sel plasma yang memproduksi dan
mengeluarkan antibodi.
Sel-sel limfoid dari respon imun adaptif bersirkulasi di antara jaringan limfoid
tubuh (kelenjar getah bening, limpa dan jaringan limfoid di mukosa). Antigen dibawa dari
tempat infeksi oleh sel dendritik ke jaringan limfoid regional. Sel dendritik akan
mengaktifkan antigen spesifik limfosit T, yang selanjutnya mengaktifkan antigen spesifik
limfosit B. Antigen spesifik limfosit yang aktif kemudian dimobilisasi dari jaringan limfoid
regional dan dikirim ke tempat infeksi, suatu proses yang melibatkan sel-sel ini bergerak
dalam sirkulasi darah dan limfatik akan berinteraksi dengan lapisan endotel pembuluh
darah. Begitu sel-sel ini mencapai tempat infeksi, mereka mampu memasang respons
'efektor' skala penuh yang lebih kuat dari sistem kekebalan innate. Proses ini membutuhkan
waktu antara 4–7 hari, komponen terakhir dari system imun adaptif adalah pengembangan
dari respon regulasi yang akan mematikan sistem apabila tidak diperlukan (yaitu ketika
patogen telah dieliminasi) sehingga tidak menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Setelah
selesai, sistem imun menyimpan memori terhadap respon imun tersebut. Memori
imunologis adalah fitur dari respons imun adaptif. Memori akan membentuk respons imun
sekunder yang jauh lebih efektif jika antigen yang sama ditemukan kembali, hal ini
mendukung penerapan vaksinasi dalam pengobatan klinis.
BAB II
Antigen Dan Antibodi
Pendahuluan
Pembahasan mengenai dua elemen yang sangat mendasar dari respon kekebalan
tubuh (antigen dan antibodi) dan molekul-molekul ini berinteraksi dalam vivo dan secara
in vitro.
Antigen
Antigen didefinisikan sebagai sebuah zat yang berikatan dengan reseptor limfosit.
Antigen tidak selalu dapat merangsang respon imun, hal ini ditentukan oleh kemapuan
antigen untuk terikat dengan antibodi spesifik, namun beberapa antigen gagal untuk
merangsang pembentukan antibodi. Imunogen merupakan substansi yang dapat
menginduksi respon imun ketika diinjeksikan pada inang. Menurut spesifitasnya antigen
dapat dibedakan menjadi beberapa kelas molekul yang berbeda antara lain:
- Heteroantigen merupakan antigen yang berasal dari satu spesies yang mampu
merangsang respons kekebalan pada spesies atau individu lain. Antigen dapat
berupa benda asing yang kemudian masuk ke tubuh inang melalui berbagai rute
seperti absorpsi perkutan, injeksi, ingesti, inhalasi dan melalui kontak seksual.
Contohnya adalah agen infeksius (virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing), substansi
yang berasal dari lingkungan (pollen, polutan), dan bahan kimiawi (obat).
- Alloantigen merupakan antigen yang berasal dari jaringan atau sel. Antigen dibawa
oleh sel atau jaringan asing yang berbeda secara genetik namun berasal dari spesies
yang sama, contohnya adalah transplantasi organ pada spesies yang sama.
- Xenoantigen merupakan antigen dari jaringan transplantasi yang berasal dari
spesies yang berbeda.
- Autoantigen atau self-antigen merupakan kondisi dimana sistem imun mengenali
komponen dari tubuh inang itu sendiri sebagai antigen. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya penyakit autoimun.
Faktor yang menentukan keberhasilan antigen untuk menginduksi respon imun, hal
ini disebut dengan antigenisitas. Beberapa hal yang berhubungan dengan antigenisitas
antigen adalah:
- Antigen harus dikenali sebagai benda asing oleh inang
- Memiliki berat molekul lebih dari 10 kD
- Mampu terpartikulasi atau teragregrasi
- Memiliki struktur molekul yang kompleks (tersier)
- Memiliki struktur kimiawi yang kompleks
- Aktif secara biologis
Sebagian besar antigen merupakan struktur kompleks, yang mana secara individual
mampu berinteraksi dengan sistem kekebalan. Satu antigen dapat terdiri dari banyak epitop
atau determinan, yang masing-masing mungkin terikat oleh antibodi atau molekul reseptor
seluler tertentu (Gambar 10a–d). Beberapa epitop pada antigen mungkin memiliki
kemampuan tinggi dalam mendorong respon kekebalan yang dikenal sebagai epitop
imunodominan.
Gambar 10a – d . Epitop Antigen (a) Antigen kompleks dapat terdiri dari banyak epitop individu
yang masing-masing mampu berinteraksi dengan sistem imun inang. Epitop
yang paling kuat dianggap sebagai imunodominan. (b, c) Anjing Jerman
Sheperd dengan infeksi Staphylococcus pada folikel rambut (deep pyoderma)
dan koloni Staphylococcus yang terlihat dalam lumen folikel pada hasil biopsi.
(d) Setiap individu Staphylococcus dianggap sebagai antigen terdiri dari epitop
yang mampu menginduksi respons antibodi. Staphylococcus terganggu dan
komponen epitope dipisahkan berdasarkan berat molekul melalui poliakrilamid
gel elektroforesis. Secara elektoforetik, epitop ditransfer ke membran inert dan
ditunjukkan penggunaan antiserum dalam teknik western blotting.
Hapten adalah kelompok kimia kecil bagian dari antigen yang apabila berdiri
sendiri tidak dapat menimbulkan respons imun, namun ketika berikatan dengan protein
pembawa yang lebih besar mampu menghasilkan antibodi atau respons imun seluler.
Fenomena tersebut berhubungan dengan kinerja beberapa obat yang dapat mengikat
protein pembawa sehingga reaksi obat akan bekerja secara tidak tepat.
Imunologi mempelajari tentang ikatan antigen dengan sistem imun. Penelitian ini
sering dilakukan dengan cara pemberian antigen pada hewan dan melihat respon imun
yang terjadi. Dalam penelitian tersebut respon imun yang dihasilkan dapat ditentukan oleh
sejumlah faktor yaitu :
- Metode penyiapan antigen.
- Spesies dan genetik resipien.
- Dosis antigen yang diberikan.
- Rute administrasi.
- Penggunaan adjuvan.
Adjuvan merupakan suatu zat atau substansi yang bila dikombinasikan dengan
antigen secara nonspesifik akan meningkatkan respon imun selanjutnya terhadap antigen
tersebut. Adjuvan seperti Freund’s adjuvant (minyak dalam emulsi air), Freund’s
complete adjuvant (memasukkan mikobakteri yang mati ke dalam emulsi) atau minyak
kacang adalah zat yang sangat mengiritasi yang menyebabkan respons inflamasi lokal dan
akan merangsang presentasi antigen. Banyak vaksin yang saat ini digunakan dalam
kedokteran hewan dan manusia diperlukan untuk meningkatkan imunogenisitas komponen
antigenik vaksin. Adjuvan untuk vaksin yang paling umum digunakan adalah aluminium
hidroksida atau aluminium fosfat. Bentuk lain dari adjuvan adalah liposom atau iscom
(kompleks perangsang imun) dimana antigen ditahan beberapa waktu dalam vesikel yang
terdiri dari membran lipid. Pencarian adjuvan yang lebih efektif dan lebih aman terus
dilakukan. Adjuvan generasi terbaru mungkin memiliki efek yang lebih bertarget yaitu
meningkatkan aspek imunitas tertentu. Fragmen kecil DNA bakteri yang kaya akan sitosin
dan guanidin (motif CpG) atau sitokin modulator imun rekombinan adalah zat yang dapat
digunakan. Komponen-komponen tersebut disebut sebagai adjuvan molekuler.
Antibodi
Fraksi darah yang tersisa setelah pembekuan merupakan serum (plasma tanpa
fibrinogen). Hal tersebut dapat dipisahkan secara elektroforesis menjadi protein penyusun
yaitu albumin dan alfa, beta dan gamma globulin (Gambar 13). Gamma globulin terdiri
dari immunoglobulin atau yang disebut sebagai antibodi.
Struktur molekul dasar dari molekul tunggal imunoglobulin dikarakterisasi dengan
baik (Gambar 14). Ini terdiri dari empat rantai protein glikosilasi yang disatukan oleh
ikatan disulfida antar rantai dalam konformasi berbentuk Y. Dua rantai memiliki massa
molekul yang lebih tinggi (light chains, sekitar 50 kD) dan dua rantai lainnya yang lebih
kecil ukurannya (heavy chains, sekitar 25 kD). Dari segi struktur dan urutan asam amino,
dua rantai berat di salah satu imunoglobulin identik satu sama lain, seperti halnya dua
rantai ringan. Ini berarti dua 'bagian' dari molekul pada dasarnya adalah bayangan cermin
masing-masing lain. Meskipun biasanya menggambarkan imunoglobulin secara diagram
sebagai linier struktur, molekul ini memiliki struktur tersier yang kompleks. Setiap rantai
terbentuk dari serangkaian domain yang memiliki struktur bulat kasar yang dibuat oleh
adanya ikatan disulfida intrachain. Ciri dasar lebih lanjut dari imunoglobulin adalah bahwa
struktur dan urutan asam amino ke arah ujung terminal relatif seragam (dikonservasi) dari
satu molekul ke molekul lainnya, sedangkan struktur menuju ujung terminal-N memiliki
variasi yang cukup besar antara imunoglobulin. Dalam masing-masing dari empat rantai ini
menimbulkan adanya daerah variabel terminal-N dan serangkaian daerah konstan menuju
terminal C. Oleh karena itu, setiap rantai cahaya terdiri dari dua domain, daerah variabel
rantai cahaya VL dan daerah konstan dari rantai cahaya CL. Demikian pula, setiap rantai
berat terdiri dari daerah variabel rantai berat VH dan serangkaian domain daerah konstan
bernama CH1, CH2 dan CH3. Daerah variabel mengandung subareas lebih lanjut di mana
ada tingkat variasi terbesar dalam urutan asam amino antara imunoglobulin yang berbeda.
Subareas ini dikenal sebagai daerah hipervariasi. Sebagian besar imunoglobulin memiliki
daerah yang berbeda antara domain CH1 dan CH2, yang melibatkan ikatan disulphide
interchain yang dikenal sebagai daerah engsel. Ini menganugerahkan pada molekul
kemampuan lengan pendek struktur berbentuk Y untuk bergerak melalui sekitar 180o.
Gambar 13. Elektroforesis protein serum. Protein penyusun serum yaitu albumin dan alfa,
beta dan gamma globulin. Yang terakhir setara dengan molekul antibodi atau
immunoglobulin.
IgG
IgG terdiri dari satu unit γ rantai berat yang berpasangan dengan rantai ringan κ
atau λ. IgG dominan ditemukan pada serum. Ketika terjadi peningkatan permeabilitas
endotel vaskuler (seperti respon inflamasi), IgG akan memasuki jaringan ekstravaskuler.
IgG umumnya melapisi mikroorganisme sehingga partikel itu lebih mudah difagositosis.
Molekul IgG mampu menetralisir toksin dan virus. Molekul IgG secara efektif mengikat
dan menetralkan racun dan merupakan imunoglobulin dominan dalam respons imun
sekunder.
IgM
Molekul IgM merupakan imunoglobulin terbesar yang terdiri dari pentamer lima
unit imunoglobulin dasar berbentuk Y yang dihubungkan bersama dengan rantai
penghubung (J) dan ikatan disulfida tambahan antara domain C-terminal. Masing-masing
unit komponen terdiri dari rantai berat μ berpasangan dan masing-masing membawa
domain tambahan C-terminal CH4.
Molekul IgM tidak memiliki engsel yang berbeda wilayah, tetapi terdapat
mobilitas pada level CH2 ke CH3. Massa molekul IgM yang besar membuat IgM ditemukan
terutama pada sirkulasi yang tidak mudah berdifusi di antara vaskular endotel untuk
memasuki ruang jaringan. Oleh karena itu, IgM berperan penting dalam respon imun untuk
infeksi darah (misalnya bakteremia). IgM mampu memperbaiki komplemen karena
pengikatan antigennya valensi 10, ia mampu menempel dan menggabungkan beberapa
antigen partikular yang dikenal sebagai aglutinasi. IgM memiliki peranan yang sangat
penting dalam respon imun primer.
IgA
IgA dapat ditemui sebagai immunoglobulin monomer berbentuk Y yang
memanfaatkan rantai α (alpha) atau dimer dari unit yang sama yang dihubungkan oleh
rantai J. Keberadaan versi monomer maupun dimer dari IgA tergantung pada spesies dan
lokasinya. Sebagai contoh, sejumlah kecil IgA dapat ditemukan pada sirkulasi dalam
bentuk monomer pada manusia dan berbentuk dimer pada sebagian besar hewan domestik.
Konsentrasi tertinggi dari IgA dapat ditemui pada permukaan mukosa tubuh seperti
gastrointestinal, saluran respirasi dan urogenital, mata, dan kelenjar mamae atau sekresi
yang berkaitan dengan organ-organ ini seperti empedu, air mata, kolostrum, dan susu. IgA
diproduksi di permukaan mukosa dan memerankan fungsi penting dalam pertahanan sistem
imun pada area tersebut dengan cara mencegah kolonisasi bakteri patogen dengan
menghambat perlekatan bakteri pada reseptor di permukaan mukosa (Gambar 18a, b).
Gambar 18a, b. Fungsi IgA. (a) mikroskop elektron menunjukkan gambaran vili usus
yang berbentuk seperti jari. (b) perbesaran lebih tinggi menunjukkan usus
hewan yang mengalami diare akibat infeksi Escherichia coli. Terdapat
bakteri berbentuk batang pada permukaan mukosa. Perlekatan patogen
pada mukosa normalnya akan dihambat dengan sekresi IgA.
Bentuk IgA yang tersekresi berupa dimerik pada semua spesies. Karena permukaan
mukosa kaya akan enzim proteolikit, maka sekresi IgA dimerik termodifikasi sehingga
terhindar dari degradasi enzimatik saat disekresikan. Modifikasi ini menimbulkan adanya
secretory component yakni selubung di sekitar ujung terminal C dari subunit dan
menempel pada domain CH2 dengan ikatan disulfida. Alur sekresi IgA mukosa seperti yang
dijelaskan pada Gambar 19. Sama seperti semua imunoglobulin, IgA disekresikan oleh sel
plasma di lamina propria di bawah epitel mukosa. IgA diikat dengan polymeric
immunoglobulin receptor (pIgR) pada permukaan epitel dan ikatan kompleks antara pIgR
dengan dimer IgA terletak di sitoplasma epitel. Ikatan kompleks ini akan berpindah
melalui sitoplasma dan terekspresikan pada permukaan mukosa sel, dimana IgA dilepaskan
dari permukaan dengan pIgR yang menjadi komponen sekresi.
Gambar 19. Sekresi IgA. Sebagian besar IgA diproduksi pada permukaan mukosa dan
disekresikan melalui epitel sebagai molekul dimer. Selama proses ini, sekresi
IgA memerlukan komponen sekresi sebagai proteksi saat melintasi barrier
epitel.
IgD
Molekul IgD merupakan unit imunoglobulin yang berbentuk Y tunggal, di mana
molekul ini terdiri dari dua rantai berat δ dengan valensi pengikat antigen 2. Adapun IgD
memiliki distribusi yang sangat terbatas di dalam tubuh untuk diekspresikan pada
permukaan limfosit B naif.
Terdapat banyak perbedaan spesies dalam struktur imunoglobulin ini. Murine IgD
terdiri dari dua bagian wilayah yang tetap sehingga membuat rentan terhadap proteolisis.
Imunoglobulin D pada hewan peliharaan, manusia, dan primata terdiri dari tiga bagian
wilayah yang konstan atau tetap. Selain itu, kebanyakan dari spesies tersebut pada bagian
engsel relatif panjang jika dibandingkan dengan kelas imunoglobulin lainnya, kecuali babi.
IgE
Molekul IgE merupakan imunoglobulin berbentuk Y yang terdiri dari 2 rantai dan
memiliki domain CH4. IgE ditemukan pada konsentrasi tinggi sirkulasi hewan peliharaan.
Hal ini terkait dengan tingkat parasit endogen hewan domestik yang umum terjadi. Peran
utama IgE berperan dalam respons imun terhadap endoparasit. IgE dapat menempel pada
reseptor Fcε spesifik di permukaan jaringan sel mast dan sirkulasi basofil dimana disebut
sebagau reaksi hipersensitivitas tipe I. Mekanisme peran IgE dalam mediasi berbagai
penyakit alergi seperti asma dan atopik dermatitis.
Gambar 20. IgE pada penyakit alergi. Asma merupakan penyakit yang dimediasi
oleh produksi antibodi spesifik IgE
Interaksi Antigen-Antibodi
Interaksi antara antigen dan antibodi secara khusus melibatkan pengenalan epitop
antigenik dengan daerah variabel N-terminal (Fab) molekul antibodi. Pada tiga dimensi, V L
dan VH membentuk celah atau alur, yang dibatasi oleh daerah hipervariabel dari rantai
asam amino menjadi slot epitop atau, sebagai alternatif, domain ini diratakan untuk
membentuk suatu area interaksi yang memungkinkan area kontak ini akan meluas dengan
antigen. Interaksi ini sangat tepat dan spesifik poin (residu kontak) antara epitop dengan
sisi pengikatan antigen (antigen-binding) (21 a,b). Beberapa epitop antigen akan memiliki
kecocokan yang sempurna bagi sisi pengikatan antigen imunoglobulin dan berinteraksi
seperti ‘ lock and key’ untuk menghasilkan pengikatan afinitas yang tinggi. Afinitas
antibodi mengacu pada kekuatan pengikatan dari satu Fab antibodi ke satu epitop
antigenik. Dalam situasi ini, antigen dipegang erat oleh interaksi yang melibatkan
pembentukan gaya van der Waal, ikatan hidrogen, gaya elektrostatis, dan gaya hidrofobik.
Epitop antigenik lain akan berinteraksi dengan situs pengikatan antigen dengan afinitas
rendah atau tidak menampilkan interaksi sama sekali. Istilah kedua yang digunakan untuk
menggambarkan kekuatan interaksi antara antigen dan antibodi adalah aviditas. Aviditas
mengacu pada kekuatan pengikatan keseluruhan dua molekul, sehingga interaksi aviditas
rendah mungkin melibatkan pengikatan satu Fab dalam imunoglobulin ke satu epitop pada
antigen, sedangkan interaksi aviditas yang lebih tinggi akan melibatkan beberapa
pengikatan Fab-epitope.
Gambar 21 a,b. Pengikatan antigen –antibodi. (a) Epitop antigen teletak didalam celah
atau alur yang dibentuk oleh domain variabel heavy and light dan dibatasi
oleh daerah hipervariabel yang membentuk residu kontak diantara dua
molekul. (b) Digambar tiga dimensi, daerah hipervariabel menunjukkan
warna merah diantara warna kuning cerah dan daerah variabel biru yang
memberikan residu kontak dengan epitop merah dari antigen yang
berwarna hijau. Antigen hijau dalam model ini akan bergerak melalui 90˚
untuk duduk diatas daerah Fab yang ditunjukkan.
Gambar 22 Afinitas pengikatan antigen-antibodi. Afinitas adalah jumlah gaya tarik dan
tolak antara epitop antigenik dan situs pengikatan antigen Fab dari antibodi.
Interaksi afinitas tinggi dan rendah yang ditunjukkan.
Pendahuluan
Komplemen merupakan kata yang menggambarkan suatu rangkaian dari sekitar 30
protein plasma. Saat diaktifkan, protein ini akan berinteraksi secara berurutan membentuk
kaskade enzimatik dan secara aktif menghasilkan molekul biologis yang memediasi
berbagai proses akhir dalam respon imun dan inflamasi. Prinsip dasar dari sistem kaskade
ini dapat dilihat pada Gambar 24 yang secara umum mirip dengan jalur regulasi yang
terlibat di hemostasis sekunder. Jalur instrinsik dari sistem regulasi dapat mematikan
kaskade apabila tidak diperlukan untuk menghindari kerusakan pada jaringan normal.
Gambar 24. Sistem Kaskade Enzimatik. Jalur komplemen merupakan sistem kaskade
enzimatik yang mirip dengan jalur koagulasi hemostasis. Kaskade
membutuhkan inisiasi pemicu yang daoat menyebabkan konversi proenzim
menjadi enzim aktif. Enzim aktif 1 kemudian bekerja oada dua molekul
proenzim 2, mengubahnya menjadi enzim aktif 2 dan seterusnya. Pada setiap
tahap reaksi ada efek amplifikasi sevagai enzim yang menghasilkan molekul
yang lebih aktif. Sistem ini akan mengontrol kaskade dengan cara
menghentikannya untuk menghindari konsekuensi patologis dari aktivasi
yang tidak tepat.
Ada empat jalur komplemen yang diketahui yaitu klasik, lektin, alternatif dan jalur
terminal. Tiga jalur pertama membagi titik akhir yang sama dimana dimulai dari aktivasi
jalur yang dimediasi oleh empat kunci efek biologis pada sistem yang dideskripsikan pada
Gambar 25. Komplemen dikenali di semua spesies hewan. Sebagian besar komponen
dijelaskan menggunakan singkatan “C” (untuk pelengkap), dengan angka menunjukkan
komponen spesifik (misalnya C4) serta huruf kecil mengindikasikan subfraksi dari
komponen tersebut (C4a dan C4b). Penomoran dari komponen tidak selalu diikuti oleh
sekuen karena setiap komponen diberi nomor pada urutan penemuannya. Beberapa
komponen dan protein tidak sesuai dengan nomenklatur “C”. Nomenklatur yang digunakan
di Amerika Utara dan Eropa biasanya berbeda, contohnya C3 convertase adalah C4bC2b di
Eropa dan C4bC2a di Amerika Utara.
Gambar 25. Jalur komplemen. Titik akhir dari jalur klasik dan alternative yaitu
pembuatan molekul, faktor pelengkap C3b. Jalur lektin membagi elemen
dengan jalur klasik. Varian unik dari jalur alternative yaitu umpan balik
loop amplifikasi.Jalur terminal umum dimulai dengan faktor C3b. Faktor
komplemen yang dihasilkan selama aktivasi jalur ini memediasi empat
efek akhir biologis utama.
Gambar 26. The Classical and Lectin Pathway. The classical pathway biasanya dipicu
oleh ikatan antibodi ke antigen dan berlanjut melalui tahapan yang ditunjukkan
(dari atas ke bawah) untuk menghasilkan C5 convertase yang terhubung
dengan membrane sel. Deposisi sekuensial dari komponen komplemen ini
terjadi pada permukaan antigen. Titik-titik kendali system ditunjukkan di
sebelah kiri diagram dengan panah merah. Lectin pathway dimulai oleh
dimulai dari mannan-binding protein, yang menghasilkan C3 convertase
melalui aktivasi MASP-2.
C1 bekerja pada komponen berikutnya dalam rangkaian tersebut, yaitu C4, dan
membaginya menjadi dua subunit, C4a dan C4b. Fraksi C4b menempel pada permukaan
antigen dan mengikat C2, yang juga dibelah oleh C1s menjadi C2a dan C2b. Fragmen C2b
yang tetap terhubung dengan fraksi C4b kemudian menjadi jalur klasik C4bC2b (C3
convertase). C4bC2b (C3 convertase) bekerja pada C3 untuk memecah molekul C3
menjadi C3a dan C3b. C3a memiliki peran biologis utama, tetapi tidak menempel pada
permukaan antigen. Sebaliknya, endapan C3b yang berdekatan dengan kompleks C4bC2b
membentuk kompleks baru C4bC2bC3b (C5 convertase). Pembentukan C4bC2bC3b
convertase C5 ini adalah tahap terakhir dari The Clasiccal Pathway.
Pada semua jalur komplemen, regulatory control system dibangun ke dalam
classical pathway untuk menonaktifkan sistem saat tidak lagi diperlukan. Cara kontrol
pertama relatif sederhana, komponen pelengkap ini memiliki waktu paruh yang pendek
saat dihasilkan. Selain itu, molekul komplemen sangat rentan terhadap panas dan secara in
vitro, molekul tersebut dapat dinonaktifkan dengan memanaskan sampel serum (yang
mengandung molekul) hingga 56oC untuk periode waktu yang singkat (proses yang dikenal
sebagai heat-inactivation komplemen). Sarana tambahan untuk mengontrol classical
pathway berhubungan dengan adanya serangkaian faktor penghambat spesifik yang
bekerja pada jalur yang berbeda. Inhibitor C1 membelah C1r dari C1, sehingga
mengganggu aktivitas kompleks ini. Protein pengikat C4 menggantikan C2b dari C4b dan
bekerja dalam kombinasi dengan Faktor I, yang kemudian membelah C4b menjadi dua
subfraksi tidak aktif, C4c dan C4d. Faktor I juga dapat membagi C3b menjadi subfraksi
tidak aktif C3c dan C3d.
Karena molekul komplemen ini memiliki potensi biologis yang tinggi, harus ada
cara untuk melindungi sel normal yang terletak di sekitar classical pathway yang
teraktivasi dan mungkin rentan terhadap fragmen komplemen yang menyebar jauh dari
lokasi aktivasi. Faktanya, sel normal memiliki mekanisme perlindungan bawaan, karena
membran selnya mencakup serangkaian protein yang diekspresikan secara konstitutif yang
dapat mengganggu C3 convertase. Protein tersebut antara lain decay accelerating factor
(DAF), complement receptor 1 (CR1) dan membrane cofactor protein (MCP). The lectin
pathway adalah yang paling baru ditemukan dan berbagi elemen dari classical pathway.
Pada dasarnya, serum mannan-binding lektin (MBL) awalnya berikatan dengan
karbohidrat permukaan bakteri dan kemudian mampu mengaktifkan ikatan MBL-
assosiated serine protease-2 (MASP-2). MASP-2 yang diaktifkan mereplikasi efek C1
dengan mengaktifkan C4 dan C2 untuk membentuk C3 convertase kompleks.
Fase tick over (28) diinisiasi oleh C3 di dalam cairan ekstraseluler, yang
mengalami spontan hidrolisis untuk membentuk C3i. Dalam mempresentasikan Mg2 +,
beberapa C3i terikat oleh Faktor B untuk membentuk kompleks C3iB. Faktor Terikat B
ditindaklanjuti oleh Faktor D, yaitu memecah molekul menjadi Bb dan Ba. Bb tetap terkait
dengan C3i untuk membentuk C3 convertase, yang dalam format giliran membagi molekul
C3 lebih lanjut dalam fase fluida menjadi C3a dan C3b. Di jalur tick over, mayoritas dari
C3b yang dihasilkan mengalami spontan hidrolisis dan inaktivasi. Haruskah ada setoran
C3b ke permukaan sel normal yang berdekatan, itu akan dinonaktifkan oleh kombinasi
MCP, DAF, CR1, Faktor H dan Faktor I.
Gambar 28 Jalur alternatif fase 'tick over'.
Gambar 32. Peran komplemen dalam peradangan. Fragmen komplemen C3a dan C5a
memiliki efek yang besar pada respon inflamasi jaringan lokal. Molekul-
molekul ini memediasi vasodilatasi, dengan edema jaringan terkait dan
keluarnya leukosit dan protein plasma ke dalam jaringan. Peristiwa ini dapat
diperkuat melalui degranulasi sel mast yang mungkin juga secara langsung
dimediasi oleh C3a dan C5a. Fragmen komplemen ini selanjutnya dapat
mengaktifkan leukosit yang direkrut dan membentuk gradien kemotaktik, yang
mengarahkan sel-sel ini ke lokasi agen infeksi atau sel yang rusak di dalam
jaringan.
Gambar 33. Penghilangan antigen (a) Sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag. (b)
Interaksi sel fagosit dengan antigen. (c) Ikatan eritrosit dengan reseptor C3b.
34 a, b Opsonisasi. Neutrofil yang diisolasi dari darah anjing dimasukkan ke dalam dua
tabung. Suspensi bakteri stafilokokus dimasukkan ke dalam tabung pertama dan
suspensi bakteri yang sebelumnya telah diinkubasi dengan serum anjing
ditempatkan ke dalam tabung kedua. (a)Tabung pertama menunjukkan jumlah
organisme yang rendah pada sitoplasma beberapa netrofil. (b) Tabung kedua
sebagian besar neutrofil memiliki banyak bakteri di dalam sitoplasma. Ini karena
bakteri di tabung kedua telah diopsonisasi dengan melapisi dengan antibodi dan
komplemen yang ada dalam serum anjing, dan ini telah menyebabkan fagositosis
yang jauh lebih efisien.
35 a-c Uji komplemen hemolitik total.
(a) Pengenceran serial serum uji disiapkan dan diinkubasi dengan volume standar sel eritrosit
berlapis antibodi. Jumlah lisis di setiap tabung ditentukan oleh konsentrasi komplemen yang ada
dan dapat diukur dengan spektrofotometri dengan mendeteksi pelepasan hemoglobin. Jumlah
hemolisis di setiap tabung dapat dikaitkan dengan kontrol 0% (hanya buffer) atau kontrol
hemolisis 100% (air). Konsentrasi serum dibanding persentase lisis menghasilkan kurva
sigmoidal, dan 50% lisis umumnya berada dalam area paling curam dari kurva ini.
(b) % lisis untuk setiap pengenceran serum dihitung dengan rumus:
% = absorbance test – absorbance (0% control) x100
absorbance (100% control) – absorbance (0% control)
nilai y/1-y dihitung untuk pengenceran serum di mana y antara 10 dan 90%.
(c) Nilai ini kemudian diplotkan terhadap titer CH50 pada skala log-log dan titer sampel
yang memotong kurva pada nilai y / 1-y = 1,0 adalah CH50 untuk sampel serum tersebut.
BAB 4
Serological Test
Pendahuluan
Serologi adalah studi tentang pengikatan antigen-antibodi secara in vitro dan
memiliki signifikansi utama dalam pengobatan klinis. Kebanyakan dokter hewan yang
berpraktik akan melakukan pengujian serologis diagnostik setidaknya sekali setiap hari.
Salah satu aplikasi serologi yang paling umum adalah dalam diagnosis penyakit menular.
Tes serologis dapat digunakan untuk mendeteksi sejumlah kecil antigen mikroba dalam
sampel atau, lebih umum, mencari bukti antibodi spesifik untuk organisme tersebut sebagai
bukti bahwa hewan telah terpapar agen tersebut. Tes serologi yang lebih halus dapat
digunakan untuk mengukur jumlah antibodi yang ada, dan dengan mengumpulkan sampel
berpasangan dari pasien (misalnya berjarak dua minggu) seseorang dapat menentukan
apakah jumlah antibodi mungkin meningkat (seperti pada infeksi yang sedang berlangsung
aktif) atau menurun. Beberapa tes serologis dirancang untuk mendeteksi antibodi IgG atau
IgM dan proporsi relatifnya dapat menunjukkan stadium infeksi. Tes serologis paling
sering dilakukan pada sampel darah atau fraksi serum darah, tetapi memiliki penerapan
yang sama untuk berbagai cairan tubuh lainnya.
Tingkat aktivitas antibodi spesifik yang ada dalam sampel didefinisikan sebagai
titer antibodi tersebut. Titer didefinisikan sebagai kebalikan dari pengenceran serum
tertinggi yang memberikan reaksi yang sangat positif dalam uji serologis.Semua tes
serologi melibatkan interaksi in vitro dari antigen dan antibodi. Dalam beberapa tes,
antigen berukuran besar dan partikulat, memungkinkan visualisasi langsung dari reaksi
ketika dicampur dengan antibodi, tetapi dalam banyak tes kedua komponen (antigen dan
antibodi) dapat larut dan penentuan interaksinya memerlukan sistem indikator sekunder.
Serangkaian sistem seperti itu telah dikembangkan, tetapi sebagian besar memerlukan
penggunaan antiserum yang mampu mendeteksi dan mengikat komponen antibodi pada
reaksi.
Gambar 36 Titer antibodi.
Gambar 36, menjelaskan prinsip titer antibodi. Sampel serum diambil dari dua
hewan, A dan B. Kedua hewan tersebut telah terpapar antigen yang sama, namun serum
dari hewan A mengandung lebih banyak antibodi dibandingkan dengan hewan B. Pada
percobaan serologis ini, serangkaian tabung reaksi disiapkan. Untuk setiap sampel serum.
Satu volume serum ditambahkan ke tabung pertama dalam seri dan satu volume pengencer
yang sama (misalnya garam) ditambahkan ke masing-masing tabung yang tersisa. Satu
volume pengencer yang sama ditambahkan ke tabung pertama, yang akan mengencerkan
jumlah molekul antibodi dengan faktor 2. Satu volume sekarang dikeluarkan dari tabung
pertama dan dipindahkan ke tabung kedua. Saat dicampur, jumlah asli molekul antibodi
sekarang diencerkan dengan faktor 4. Proses ini diulangi di sepanjang garis tabung reaksi
untuk menghasilkan 'seri pengenceran ganda' di mana tabung akhir memiliki pengenceran
1/512 dari aslinya Sampel. Volume akhir yang diambil dari tabung terakhir dibuang.
Kandungan setiap tabung reaksi sekarang digunakan dalam uji serologis yang cukup
sensitif untuk mendeteksi satu molekul antibodi (dalam contoh ini). Untuk serum dari
hewan A hasil tes akan positif dan termasuk tabung yang berisi pengenceran 1/256 serum.
Untuk serum dari hewan B hasil tes akan positif dan termasuk tabung yang berisi
pengenceran 1/16 serum. Titer setiap sampel dinyatakan sebagai kebalikan dari
pengenceran serum positif terakhir (yaitu titer 256 untuk hewan A dan 16 untuk hewan B).
Serum dengan titrasi yang lebih tinggi mengandung lebih banyak molekul antibodi.
Antiserum adalah serum yang dikumpulkan dari hewan yang telah terpapar antigen
tertentu dan oleh karena itu mengandung antibodi terhadap antigen tersebut. Untuk
sebagian besar tes serologis, antiserum diproduksi secara artifisial dengan sengaja
mengimunisasi hewan (paling sering tikus, kelinci, domba atau kambing) dengan antigen
yang diinginkan dan kemudian mengumpulkan darah (serum) dari hewan yang diimunisasi
itu. Jika antigen imunisasi membawa sejumlah epitop, kemungkinan hewan yang
merespons akan menghasilkan antibodi terhadap beberapa epitop ini. Antiserum semacam
itu dikatakan bersifat poliklonal. Dimungkinkan juga untuk menghasilkan antiserum
dengan spesifisitas antibodi tunggal dan produksi antibodi monoklonal tersebut akan
dibahas pada selanjutnya.
Uji Serologis
Terdapat berbagai uji serologis yang digunakan untuk membantu diagnosa dalam
ilmu kedokteran hewan, antara lain adalah uji aglutinasi, uji presipitasi, complement
fixation test (CFT), haemagglutination inhibition (HAI), immunofluorescent antibody test
(IFA), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), immunochromatography dan
western blotting. Seorang dokter hewan harus mengetahui sensitivitas dan spesifisitas uji
yang digunakan dalam prosedur diagnostik laboratorium. Sensitivitas diartikan sebagai
kemampuan uji dalam mengidentifikasi hewan atau individu yang sakit dari seluruh
populasi yang benar-benar sakit, sedangkan spesifisitas adalah kemampuan uji dalam
menunjukkan hewan atau individu yang tidak sakit dari yang benar-benar tidak sakit.
Hasil uji diagnostik umumnya menunjukkan nilai positif dan nilai negatif, namun tidak
menutup kemungkinan adanya hasil false-positive dan false-negative. Perlu diketahui
bahwa interpretasi pada uji serologis selalu didasarkan pada usia, riwayat vaksin dan status
klinis hewan sehingga akan memberikan alasan yang jelas pada hasil false-positive dan
false-negative. Uji untuk mendeteksi antibodi serum sebagai bukti paparan antigen tertentu
mungkin menghasilkan false-negative apabila hewan mengalami kondisi seperti dibawah
ini:
1. Hewan memiliki titer antibodi yang sangat rendah sehingga uji tidak cukup sensitif
untuk mendeteksi antibodi.
2. Hewan yang diuji baru saja terpapar antigen sehingga belum cukup waktu untuk
mengembangkan antibodi serum.
3. Hewan tidak mampu membuat respon antibodi yang disebabkan oleh neonatal,
mengalami imunodefisiensi, atau imunosupresi.
Sedangkan, hasil uji akan menunjukkan false-positive apabila hewan mengalami
kondisi seperti dibawah ini:
1. Hewan memiliki antibodi reaktif silang sehingga menimbulkan respon antigen yang
tidak terkait dalam memberikan beberapa epitop pada antigen yang diinginkan.
2. Hewan yang telah divaksinasi dengan patogen yang dilemahkan.
3. Hewan memiliki respon serologis yang persisten terhadap antigen yang telah ditemui
beberapa waktu lalu, tetapi tidak lagi relevan dengan status penyakit saat ini.
Aglutinasi
Aglutinasi adalah prosedur sederhana yang terjadi ketika antibodi mendeteksi
antigen dan mengikatnya yang akhirnya menyebabkan sejumlah besar antigen dan antibodi
yang berkelompok. Aglutinasi biasanya digunakan untuk menguji sampel (misalnya sel
darah merah, bakteri) untuk jenis patogen tertentu. Manik-manik lateks dilapisi antibodi
dan tetes sampel dimasukkan ke dalam campuran manik antibodi. Jika tes positif untuk
patogen, aglutinasi akan terjadi dan manik-manik akan menggumpal bersama dengan
antigen.
Gambar 37. Produksi antiserum. Untuk menghasilkan antiserum yang mampu mengikat
IgG anjing darah diambil dari anjing, IgG secara biokimia diekstrak dari
serum dan IgG tersebut kemudian disuntikkan ke kelinci. Setelah kelinci
meningkatkan respons imun, serum yang diambil dari kelinci akan
mengandung antibodi khusus kelinci untuk IgG anjing.
Gambar 38. Aglutinasi. Tiga well di kartu tersebut pertama kali diberikan penambahan
pengencer. Setetes darah dari kucing tersebut ditambahkan ke setiap well dan
dicampur dengan spatula. Well paling atas tidak mengandung antiserum dan
berfungsi sebagai kontrol untuk memastikan eritrosit dalam sampel darah
tidak menggumpal secara spontan. Well kedua diisi dengan antiserum yang
mampu mendeteksi antigen golongan darah kucing A dan well ketiga dengan
reagen yang mampu mendeteksi antigen golongan darah kucing B. Dalam tes
ini, sel darah merah kucing mengekspresikan A tetapi tidak B, seperti yang
terlihat oleh penggumpalan (aglutinasi) sel darah merah di well kedua setelah
inkubasi. Karena itu kucing itu bergolongan darah A.
Precipitation
Uji ini untuk mengetahui kemampuan antibodi untuk melakukan presipitasi pada
antigen di dalam cairan atau media agar gel. Uji ini masih banyak digunakan untuk
diagnosis kasus penyakit infeksius pada dunia kedokteran hewan (39). Pembentukan
presipitasi tergantung dari antibodi dan antigen yang mempunyai konsentrasi optimum
untuk membentuk struktur klasik “lattice-like”.
Gambar 39. Presipitasi pada media agar masih sering digunakan untuk diagnosis penyakit
infeksius. Agar yang berada di dalam cawan petri diberikan beberapa lubang.
Pada gambar tersebut uji presipitasi dilakukan untuk mendeteksi serum
antibodi Aspergillus fumigatus pada anjing yang diduga terinfeksi nasal
aspergillosis. Antigen Aspergillus dimasukkan ke dalam lubang bagian tengah
dan lubang sekeliling diberikan serum dari anjing yang berbeda. Gel yang
telah disiapkan diinkubasi selama 24 jam dan pada saat inkubasi akan terjadi
proses difusi antigen menuju lubang sekeliling yang berisi antibodi. Garis
putih yang merupakan hasil presipitasi gel yang terdapat antibodi dan antigen
pada konsentrasi yang optimum. Teknik ini juga disebut agar gel diffusion
(AGD) atau teknik Ouchterlony. Empat anjing pada penelitian ini mempunyai
serum antibodi terhadap Aspergillus .
Complement Fixation Test (CFT)
CFT merupakan uji yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit menular seperti
sapi yang terkena antigen Brucella. Prinsip kerja yaitu antigen ditambahkan ke tabung a
yang berisi serum dari hewan uji, jika hasil positif maka akan terbentuk kompleks antigen-
antibodi. Sumber komplemen seperti plasma segar ditambahkan pada tabung dan ketika
ditemukan adanya komplek antigen-antibodi maka komplemen akan teraktivasi. Jika hasil
negatif maka komplemen tidak akan teraktivasi. Kompleks antigen-antibodi tidak dapat
dilihat oleh mata, sehingga uji ini membutuhkan indicator untuk mengetahui hasilnya. Uji
ini menggunakan eritosit (kebanyakan yang dipakai adalah eritosit domba) yang dilapisi
dengan anti eritrosit (antiserum). Antiserum adalah eritrosit yang dilapisi oleh antibody dan
ditambahkan ke tabung CFT. Hasil seronegatif hewan akan menunjukkan hemolisis
eritrosit, kurangnya hemolisis akan menunjukkan reaksi postif dilihat pada Gambar 40.
Gambar 42 a-d ELISA untuk mendeteksi antibodi serum. (a) Anjing dengan hidung
bernanah ini mungkin memiliki sejumlah gangguan saluran pernapasan
bagian atas. Salah satu diagnosis banding adalah infeksi rongga hidung
atau sinus oleh jamur Aspergillus fumigatus.
Salah satu prosedur diagnostik yang digunakan untuk menentukan apakah ada
infeksi ini adalah deteksi antibodi serum terhadap Aspergillus. (b) Dalam teknik ELISA,
antigen Aspergillus dilapisi ke dalam lubang nampan mikrotitrasi dan area sumur plastik
yang tidak dilapisi oleh antigen 'diblokir' dengan protein yang tidak relevan. Serum dari
pasien (dengan pengenceran yang sesuai) ditambahkan ke dalam sumur dan diinkubasi.
Setelah mencuci protein serum yang tidak terikat, antiserum kelinci khusus untuk IgG
anjing yang secara kimiawi terkonjugasi dengan enzim alkali fosfatase ditambahkan ke
setiap sumur untuk periode inkubasi kedua. Antiserum yang tidak terikat dicuci dari sumur,
dan substrat yang sesuai ditambahkan untuk menghasilkan perubahan warna (kuning) pada
sumur positif. (c) Pelat ELISA setelah pengujian selesai. Sumur dengan pewarnaan kuning
merupakan reaksi positif. Pembaca pelat ELISA digunakan untuk menentukan secara
spektrofotometri absorbansi (kerapatan optik) pada panjang gelombang cahaya tertentu. (d)
Dalam penelitian ini, serum dari anjing normal (CTRL) dan anjing dengan aspergillosis
hidung (ASP), tumor hidung (NT) atau rinitis limfoplasma idiopatik (LPR) diuji dalam
ELISA. ELISA ini jelas memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang baik untuk diagnosis
aspergillosis nasal anjing.
Antigen yang diinginkan pertama-tama dilapisi ke dasar flat bottom dan protein
kedua yang tidak terkait dapat digunakan untuk memblokir area “bebas plastik” yang tidak
dilapisi oleh antigen. Serum yang diencerkan dengan benar dari pasien ditambahkan ke
satu well serum kontrol positif dan negatif yang mungkin juga digunakan. Jika serum uji
mengandung antibodi yang relevan, antibodi ini akan mengikat antigen pada fase primer
reaksi. Karena antigen dan antibodi tidak terlihat oleh mata, sistem deteksi sekunder
diperlukan untuk menentukan apakah pengikatan tersebut telah terjadi. Dalam hal ini,
setelah antibodi yang tidak terikat dicuci dari well, antiserum yang diencerkan dengan tepat
ditambahkan imunoglobulin spesifik yang diinginkan (misalnya Ig G) dari spesies pasien.
Dalam ELISA, antibodi ini secara kimiawi dikonjugasikan ke enzim. Berbagai enzim dapat
digunakan, tetapi yang paling umum digunakan adalah alkali fosfatase. Jika serum pasien
mengandung antibodi khusus untuk antigen yang diinginkan, antiserum yang terkait
dengan enzim akan mendeteksi dan mengikat imunoglobulin pasien tersebut (pada antigen
yang terikat). Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan antiserum sekunder
terkonjugasi yang tidak terikat, substrat yang sesuai ditambahkan ke setiap well untuk
memulai perubahan warna yang diukur secara spektrofotometri pada titik waktu tertentu
ketika reaksi enzim-substrat mungkin dengan sengaja dihentikan. Perubahan warna yang
sama akan terjadi pada well yang diinkubasi dengan serum kontrol positif, tetapi tidak ada
warna yang berkembang pada kontrol negatif. Kondisi optimal untuk kinerja ELISA
(misalnya pengenceran antigen, serum dan antiserum, waktu dan suhu inkubasi) harus
ditentukan terlebih dahulu secara eksperimental.
Gambar 43 (a)(b) dilakukan percobaan untuk mengetahui konsentrasi IgA dalam feses
pada beberapa ras anjing. (a) sumuran dari pelat microtiter dilapisi oleh
antiserum khusus untuk IgA anjing (1). Dilakukan blok dengan
ireelevant protein (2). Ditambahkan ekstrak dari sampel fese anjing ke
setiap sumuran. IgA yang terdapat pada sampel akan ditangkap oleh
antiserum (3). Sumuran dicuci untuk menghilangkan ikatan protein
feses, IgA yang ditangkap dideteksi dengan antiserum sekunder (4).
Ditambahkan antiserum tersier secara kimiawi terkonjugasi enzim (5).
Dilakukan pencucian padauntuk melepas antiserum sekunder, lalu
ditambahkan substrat untuk menghasilkan perubahan warna yang akan
diukur secara spektrofotometri (6). (b) Grafik ini menyajikan
pengukuran IgA pada feses dari beberapa ras anjing yang berbeda.
Miniatur Schnauzer memiliki kadar IgA feses yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan German Shepherd Dogs (GSDs), Labradors atau
Beagle. (Data berasal dari Peters IR, Calvert EL, Hall EJ dkk. (2004)
Measurement of immunoglobulin concentrations in the feces of healthy
dogs. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology 11:841–848).
Imunokromatografi
Prinsip ELISA merupakan tes serodiagnostik yang cepat, internal, dan itu telah
dipergunakan di dunia dokter hewan. Salah satu varian dari jenis tes ini adalah rapid
imunomigration atau sistem imunokromatografi yang ditunjukkan pada gambar 44a-c
Western Blotting
Penyempurnaan lebih lanjut dari ELISA adalah proses western blotting, yang
memberikan informasi spesifik tentang protein spesifik untuk ikatan antibodi pasien (45).
Hail ini memiliki relevansi khusus dalam penyakit menular dan dapat digunakan untuk
membedakan antara antibodi vaksin dan antibodi yang dihasilkan melalui paparan patogen
lapangan. Pada metode westteren blotting, campuran antigenik yang dimaksud dipisahkan
secara elektroforesis (menurut berat molekul) pada gel akrilamida dan protein yang
dipisahkan kemudian ditransfer (blotted) ke membran (misalnya nitroselulosa). Membran
dapat dipotong strip kecil, dan setiap strip diinkubasi (setelah blocking) dengan serum
pasien yang diencerkan. Antibodi serum mengikat secara selektif ke spesifik determinan
antigenik, dan pengikatan ini divisualisasikan dengan menggunakan antiserum sekunder
yang terkonjugasi ke enzim seperti untuk ELISA. Reaksi akhirnya ditunjukkan melalui
perubahan warna atau emisi cahaya (Chemiluminescence). Gambar 44 a-c.
Gambar 45. Western Blotting. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah IgA
anjing berhubungan dengan komponen sekretori. Tahap pertama, serangkaian
protein dipisahkan secara elektroforesis oleh massa molekul dalam gel
akrilamida. Jalur bernomor dalam gel berisi sampel berikut: (1) komponen
sekretori manusia yang dimurnikan, (2) IgA sekretori manusia yang
dimurnikan, (3) empedu anjing, (4) air liur anjing, (5) serum anjing, (6) massa
molekul protein marker, dan (7) empedu anjing. Protein yang dipisahkan
kemudian ditransfer secara elektroforesis ke membran. Setelah tahap
blocking, membran diperiksa dengan antiserum khusus untuk komponen
sekretori manusia dan kemudian antiserum sekunder yang dikonjugasikan
menjadi alkali fosfatase. Pengikatan antiserum primer dikenali dengan
penambahan substrat yang menghasilkan perubahan warna pada membran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antiserum terhadap komponen sekretori
manusia bereaksi silang serta ekuivalen dengan molekul anjing, dan bahwa
saliva anjing dan IgA bilier memiliki komponen sekretorik yang tidak
terdapat dalam sirkulasi IgA (serum).
Poin Penting
1. Uji serologi adalah studi mengenai ikatan antigen dan antibodi secara in vitro yang
banyak diterapkan dalam membantu diagnosa dalam bidang kedokteran hewan.
2. Kadar antibody di dalam sample serum dinamakan titer
3. Uji serologis kebanyakan menggunakan antiserum yang dibuat dengan
menginduksi hewan dengan antigen yang terdiri dari serum spesifik dari hewan
lainnya.
4. Sensitivitas yang dilakukan pada uji diagnostic adalah probabilitas kebenaran,
sedangkan spesifisitas adalah probabilitas kekhususan dalam mengidentifikasi
suatu penyakit
5. Hasil false positif dan negative mungin terjadi dalam uji serologis
6. Uji aglutinasi dan presipitasi merupakan uji yang digunakan untuk melihat ikatan
langsung dari antigen dan antibody, sedangkan CFT, tes HAI, tes IFA, ELISA,
Imunokromatografi, dan western blott merupakan uji yang digunakan untuk melihat
ikatan antigen dan antibody namun memerlukan suatu indikator dalam proses
identifikasinya.