Gelombang 6 - PPDH FKH UB - RESUME BUKU

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 49

TUGAS KEGIATAN PPDH

ROTASI DIAGNOSA LABORATORIK


MIKROBIOLOGI DAN IMUNOLOGI VETERINER
“Resume E-Book”
Veterinary Immunology Principles And Practice

Oleh:
GELOMBANG VI
KELOMPOK 1, 2, 3, 5

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

NAMA MAHASISWA

KELOMPOK 1
Addin Naufalisa F. 190130100111072 Intan Kirana I. 190130100111034
Andi Citra S. 190130100111024 M. Lubbabul Azhar 190130100111041
Anris Alfani P. 190130100111001 Olenka Putri W. 190130100111093
Arinda Fauzia I. 190130100111089 Praynaksaka A. D. 190130100111076
Dinul Hamdi 190130100111027 Puan Nurrahmah 190130100111025
Dyah Kusumaning W. 190130100111057 Rida Damayanti 190130100111021
Endang Rosidayanti 190130100111087 Ristia Mahfuzah 190130100111046
Ernita Widyasari 190130100111056 Veronika Julie V. 190130100111066

KELOMPOK 2
Adeka Yunanza 190130100111097 Mirda Dwistira 190130100111073
Anwarifan 190130100111062 Nayo Diah Fauziah 190130100111098
Atiqoh Rozana Amalia 190130100111013 Rahmi Elfira 190130100111071
Basofi Andra Aditama 190130100111022 Rizky Ayu Nur 190130100111029
Caesarin Asgita N. 190130100111012 Sari Murni Indah A. 190130100111075
Dini Aprilia Wulandari 190130100111031 Sayfuddin Arief H. 190130100111043
Erike Fitriyani 190130100111079 Septian Vidya P. 190130100111084
Hazra Maulidina 190130100111077 Wafa Agya Filhayat 190130100111081
Iva Pandu Kusuma 190130100111028

KELOMPOK 3
Aisyah Inayatillah 190130100111055 Flora Wahyu Kusuma D190130100111037
Al Meisar Pramayanti 190130100111048 Intan Nabila 190130100111083
Aulia Dyasti Maurenda 190130100111085 Nurfitriyana Firsty 190130100111002
Bagas Abrianto 190130100111005 Olfivesen Purba 190130100111099
Desrizal Wildan 190130100111026 Silvira Tri Purnama S. 190130100111016
Devi Intan Dyah Ayu O 190130100111019 Theresa Lidya Pramesti 190130100111014
Dhiya Ulfagiarli 190130100111030 Triyana Yulia Armanto 190130100111008
Eka Wulandari 190130100111091 Yanuriya Yala Puspita 190130100111039

KELOMPOK 5

Adik Putri Fatma 190130100111078 Mufid Hadi Raharjo 190130100111045


Anisa Fitria Nur R. 190130100111074 Ninik Fitri Rahayu 190130100111035
Atma Hiyal Ulya A. 190130100111086 Ratna Anggraeni 190130100111058
Ayu Mahanisa Sanjoyo 190130100111051 Riera Indah F. P. 190130100111096
Brian Permadi W. P. 190130100111094 Rifen Prabawan K.T.W 190130100111092
Diah Vita Wijayanti 190130100111070 Rohmatul Lailiyah 190130100111007
Indra Darpa Kusuma 190130100111032 Sari Mentari Tarigan 190130100111095
Miranti Rachma P. S. 190130100111082 Yurisa Noviaji Pranoto 190130100111018

BAB I

An Overview of the Immune System: Innate and Adaptive Immunity and the
Inflammatory Response

Pendahuluan
Imunologi merupakan aspek yang relatif masih muda dan cepat, ilmu dasar tentang
kekebalan tubuh makhluk hidup. Tujuan dari buku ini adalah untuk memberikan dasar ini
pengetahuan tentang fungsi kekebalan, tetapi juga untuk jelas hubungkan ini dengan
praktik klinis.Bab ini akan mengulas secara singkat sejarah imunologi dan secara luas
mempertimbangkan perbedaannya elemen sistem kekebalan dan bagaimana mereka
berinteraksi untuk membuat satu kesatuan yang utuh. Fokusnya di sini adalah sistem
kekebalan bawaan, dengan pengantar kekebalan adaptif, yang akan dibahas secara rinci di
bab selanjutnya.
Sejarah Imunologi
Banyaknya laporan mengenai sejarah lahirnya imunologi berasal dari negara-
negara barat dimana hal tersebut diduga terkait dengan pengenalan konsep vaknisasi oleh
Edward Jenner. Pada tahun 1796, Edward Jenner melakukan eksperimen dimana ia
mengkoleksi cairan dari vesikula cacar (cowpox) seorang perkerja ternak sapi perah
bernama Sarah Nelmes dan menginokulasikan ke lengan seorang anak lelaki berusia 8
tahun bernama James Phipps. Setelahnya, timbul lesi dan luka cacar pada lengan James,
namun dua bulan berikutnya saat dipaparkan kembali dengan virus cacar (smallpox), James
tidak menunjukan gejala cacar seperti sebelumnya. Eksperimen serupa dilakukan oleh
Benjamin Testy 20 tahun sebelumnya. Perkembangan besar mengenai imunologi setelah
era Jenner yaitu Louis Pasteur yang mengembangkan vaksim fowl cholera (1879), anthrax
(1881), swine erysipelas (1892) dan rabies (1885). Perlu dicatat bahwa awal mula
perkembangan imunologi terkait dengan penyakit pada hewan. Faktanya, sejarah
perkembangan imunologi dapat terlihat pada daftar penghargaan Nobel yang dapat dilihat
pada Tabel 1. Tercatat pada tahun 1996 penghargaan kepada Peter Doherty, seorang
lulusan Queensland Veterinary School pada tahun 1962 yang melanjutkan studi mengenai
Ovine Louping-Ill pada Penilitian di Moredun Research Institure di Skotlandia menunjukan
bahwa peran dokter hewan sangat penting pada perkembangan imunologi.

Tabel 1. Penghargaan Nobel di Bidang Imunologi


Tahu Peraih Penghargaan Penemuan
n

1901 Von Behring Penemuan Antibodi Serum

1905 Koch Respo Imun pada Tuberkulosis

1908 Mechnikov dan Ehrlich Fagositosis dan Antitoksin

1913 Richet Anafilaksis


1919 Bordet Komplemen

1960 Burnet dan Medawar Toleransi Imunologi

1972 Edelman dan Porterr Struktur Antibodi

1977 Yalow Perkembangan Radioimmunoassay

1980 Benacerraf, Dausset dan Snell Penemuan Kompleks Histokompabilitas


Major

1984 Jerne, Kohler dan Milstein Produksi antibodi monoklonal

1987 Tonegawa Mekanisme Diversitas Antibodi

1990 Murray dan Thomas Transplantasi

1996 Doherty dan Zinkernagel Restriksi Kompleks Histokompailitas Major

Sistem Imun: Overview


Tujuan utama dari sistem imun adalah untuk memberikan perlindungan dari berbagai
agen infeksi yang bertanggung jawab atas morbiditas dan mortalitas manusia dan hewan.
Sistem imun mampu merespon dengan berbagai tingkat kemanjuran terhadap semua
pathogen bakteri, virus, jamur, protozoa, dan cacing. Sistem kekebalan secara intrinsik
terlibat dalam proses inflamasi dan perbaikan jaringan tubuh, dapat memulai respon
terhadap sel abnormal yang muncul selama transformasi neoplastik atau yang mungkin
ditransplantasikan secara tidak tepat ke dalam tubuh. Sistem biologis yang begitu kuat
membutuhkan manajemen yang cermat dan seluruh rangkaian mekanisme regulasi untuk
memastikan bahwa respon imun dimatikan saat tidak diperlukan, agar tidak menyebabkan
kerusakan yang tidak disengaja pada jaringan tubuh normal. Terkadang keseimbangan
rumit ini menjadi kacau dan sistem imun membuat respon yang tidak tepat terhadap
antigen lingkungan yang tidak berbahaya, antigen makanan atau komponen tubuh, yang
mengarah ke berbagai penyakit alergi dan autoimun yang dimediasi oleh kekebalan yang
sangat penting dalam pengobatan manusia dan hewan peliharaan.
Sistem imun pada semua spesies hewan terdiri dari seperangkat blok bangunan
standard yang berinteraksi satu sama lain dengan cara yang dapat diprediksi.
Eksperimental dan imunologi pada hewan pengerat dan manusia lebih banyak daripada
hewan peliharaan, namun dimungkinkan untuk dapat mengekstrapolasi banyak prinsip
dasar dari spesies yang dieksplorasi lebih baik pada hewan. Namun demikian, ada banyak
perbedaan spesies menarik yang muncul selama evolusi yang akan di bahas dalam bab-bab
selanjutnya.
Secara umum, sistem umum terbagi menjadi dua yaitu respon imun Innate dan
Adaptive. Sistem imun innate merupakan imunitas bawaan. Seiring dengan perkembangan
evolusi, dahulu agen patogen memiliki target terhadap spesies tertentu. Namun saat ini,
beberapa agen patogen dapat menyerang berbagai spesies. Hal ini mampu meningkatkan
perkembangan sistem imunitas hospes terhadap agen patogen. Sistem imunitas hospes
meningkat secara kompleks yang disebabkan oleh proses duplikasi genetic dan
peningkatan molekul imunologikal. Oleh karena itu, sistem imun innate merupakan bentuk
pertahanan paling awal baik pada kondisi respon inflamasi akut maupun kronis.
Respon sistem imun innate dan adaptive terhadap agen patogen berbeda-beda
(Gambar 1). Sistem immune adaptive memiliki epitel sebagai barrier, fagositik residensi,
sel limfoid, polireaktif antibody dari sistem komplemen. Sel dendrit berfungsi sebagai
penghubung antara sistem imunitas innate dan adaptive serta media transportasi untuk
membawa antigen menuju ke jaringan limfoid. Kemudian, limfosit T dan B dari sistem
imunitas adaptive diaktifkan jaringan limfoid dan sel-sel antigen-spesifik yang akan
bermigrasi ke area yang terpapar melalui sistem vascular untuk meningkatkan respon imun
efektor. Setelah antigen sudah di elminasi, fungsi sistem tersebut digantikan oleh limfosit.

Gambar 1. Sistem Imun Innate dan Adaptive (Day and Ronald, 2011).

Imunitas Innate
Sistem kekebalan innate sangat aktif di lokasi yang kemungkinan menjadi titik
kontak dengan patogen potensial sperti: kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan,
saluran urogenital, kelenjar susu, dan mukosa mata. Pertahanan epitel yang menutupi
permukaan sebagai bagian dari sistem kekebalan innate. Banyak dari pertahanan fisik ini
memiliki berbagai modifikasi spesifik di lokasi yang berkontribusi pada kemampuannya
untuk mengecualikan patogen, misalnya:
● Epidermis skuamosa keratinisasi kulit adalah lingkungan yang relatif tidak ramah
bermandikan sebum dan keringat, keduanya mengandung banyak zat antimikroba
(Gambar 2).
● Mukosa pernapasan dilapisi oleh sel epitel kolumnar bersilia, silia yang berdenyut
serempak untuk mengangkut lendir dan kotoran ke atas dari cabang bronkial bawah
ke orofaring (Gambar 3 a, b). Sekresi kelenjar yang dilepaskan ke permukaan
pernapasan mengandung zat antimikroba dan populasi makrofag alveolar menyebar di
paru-paru untuk menghilangkan puing-puing partikulat dari fagositosis (Gambar 4).
● Mukosa usus halus memiliki penghalang epitel yang serupa, dengan sel goblet
penghasil lendir dan zat antimikroba yang disekresikan, termasuk berbagai enzim
yang terkandung di dalam empedu (Gambar 5). Tindakan peristaltik dari dinding usus
memberikan pergerakan terarah lanjutan dari isi lumen, yang mencegah kolonisasi
lokal oleh patogen. Saluran usus memiliki flora mikroba yang kaya, yang kembali
hadir untuk bersaing dengan patogen untuk mendapatkan ruang dan nutrisi.

Gambar 2. Cutaneus innate immunity Gambar 3 a, b. Innate immunity


saluran pernafasan
Gambar 4. Alveolar Makrofage Gambar 5. Innate immunity intestinal

Seperti pembahasan di atas, barrier fisik ini sering kali dipertahankankan oleh
sekresi molekul antimikroba yang dapat menyebabkan kerusakan langsung pada patogen
(misalnya sistem pencernaan dinding sel bakteri). Molekul-molekul ini termasuk enzim,
seperti lisozim dan fosfolipase A, dan peptida antimikroba kecil seperti α-defensins yang
diproduksi oleh sel-sel Paneth di kriptus usus dan oleh permukaan epitel kulit, mukosa
mulut dan saluran pernafasan dan saluran urogenital.
Garis pertama dari sistem imun adalah barier epitel yang kedua adalah sistem imun
didapat yang harus memiliki mekanisme protektif sebagai backup untuk melawan antigen
tersebut. Kunci dari imunitas didapat adalah mekanisme harus sudah siap dan tersedia
secara terus menerus untuk kerja cepat ketika dibutuhkan. Mekanisme sistem imun ini
harus tersedia untuk menghandle atau melawan setiap patogen yang berpotensi masuk ke
dalam tubuh lewat berbagai rute, seperti yang dijelaskan sebelumnya dan kerja dari sistem
imun didapat ini tidak spesifik biasanya. Sejumlah tipe leukosit dapat terus menerus ada
dan tersedia sangat cepat diaktivasi dan menyerang patogen non spesifik termasuk sel
fagosit contohnya neutrofil, makrofag, sel dendritik, sel mast, sel natural killer, dan
subpopulasi sel khusus seperti limfosit T yang tesedia di barier epitel contohnya limfosit
intraepiteliel atau IEL bersamaan dengan ini sel dan molukel dari sistem imun didapat ini
dapat memberikan mekanisme protektif instan atau cepat untuk melawan infeksi namun
mekanisme dari sistem imun ini tergolong lemah dan hanya tersedia untuk melawan
patogen pada periode yang singkat saja. Efek dari molekul dan sel sistem imun didapat
secara keseluruhan ini yang berespon terhadap patogen baik trauma atau respon imun lokal
disebut dengan inflamasi. Respon inflamasi sendiri seperti stimulus terhadap adanya
kerusakan jaringan atau sentinel.
Peradangan akut terjadi setelah adanya kerusakan jaringan yang ditandai dengan
raasa sakit, kebengkakan, panas, kemerahan dan hilangnya fungsi pada jaringan yang
terkena. Perubahan tersebut terkait dengan perubahan pembuluh darah kapiler di daerah
jaringan. Vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan peningkatan aliran darah dan
penurunan kecepatan aliran darah, sementara peningkatan permeabilitas menyebabkan
hilangnya cairan dari darah menuju jaringan (edema) serta hilangnya protein plasma. Sel
endotel yang melapisi permukaan pembuluh darah menyebabkan terjadinya molekul
adhesi, dimana terjadi adesi leukosit dan migrasi sel antara sel endotel yang pada jaringan.
Leukosit pertama kali yang mengalami ekstravasasi adalah neutrofil dan migrasi neutrofil
terjadi beberapa jam setelah adanya respon inflamasi akut (Gambar.6). Sejalan dengan
perubahan, pelebaran dinding pembuluh darah mengekspos kolagen dibawah endotelium
menuju aliran darah dan mengakibatkan terjadinya koagulasi oleh trombosit dan faktor
koagulasi. Relevansi dari mekanisme ini adalah menyediakan sarana untuk mencegah
penyebaran patogen ke dalam aliran darah.
Kumpulan neutrofil bermigrasi secara terarah menuju patogen target dalam
jaringan melalui proses kemotaksis (lihat Bab 3). Neutrofil kemudian harus mengenali dan
mengikat target, suatu proses yang melibatkan keterlibatan reseptor permukaan pada
neutrofil oleh molekul yang diekspresikan patogen. Ini mungkin komponen dinding sel
organisme atau protein serum (misalnya antibodi dan komplemen) yang telah melapisi
organisme yang meningkatkan untuk dikenali(opsonisasi; lihat Bab 3). Setelah dikenali,
organisme dimakan oleh ekstensi sitoplasma dan ditarik ke dalam sitoplasma neutrofil
yang dikenal sebagai fagositosis. Dalam sitoplasma neutrofil, organisme bungkus dalam
vakuola (fagosom). Organisme di fagositosis dihancurkan melalui efek pernapasan burst
atau dengan pelepasan enzim litik dan peptida antimikroba ke dalam vakuola.
Gambar 6. Peradangan akut. (pada kulit anjing menunjukan adanya perubahan inflamasi
akut terlihat adanya vasodilatasi dan edema jaringan dengan migrasi dan
keluarnya leukosit (terutama neutrofil) dari pembuluh darah menuju jaringan.
Neutrofil yang keluar dari pembuluh darah bermigrasi menuju respon inflamasi (
misalnya infeksi bakteri lokal).

Semburan pernapasan melibatkan perakitan Nikotinamide Adenine Dinukleotide


Fosfat (NADPH) kompleks dan penyerapan oksigen oleh Neutrofil. Hal ini mengarah
secara berurutan ke generasi hidrogen peroksida (dikatalisasi oleh superoxide dismutase)
dalam jumlah besar dan kemudian hiphalida, seperti OCl-, ketika myeloperoxidase
mengkatalis reaksi antara H2O2 dan ion halida seperti Cl- atau SCN-. Kemudian, neutrofil
dapat menghancurkan target phagocytosed yang melibatkan perpaduan butiran sitoplasma
(lysosome) dengan phagosome membentuk phagolysosome. Proses ini menghasilkan
pelepasan enzim lisosomal (misalnya lisozim, protease dan hidrolas asam) dan peptida
antimikroba (misalnya. defensin) ke dalam phagolysosome. Enzim mampu mencerna
dinding organisme dan peptida antimikroba bekerja dengan masuk ke dalam dan
mengganggu struktur dinding sel target.
Seperti yang disarankan di atas, respon inflamasi akut berlangsung dengan jaringan
kompleks mediator inflamasi larut yang dilepaskan di lokasi peradangan. Hal ini termasuk
inisiasi alarmin, histamin (diturunkan dari sel mast dan vasodilator poten), kinin (seperti
bradykinin), kemokines (terbawa oleh leukosit dari aliran darah) dan sitokin (aktivasi
leukosit), molekul jalur alternatif pelengkap, faktor koagulasi dan lipid vasoaktif (secara
kolektif eicosanoids). Eicosanoids berasal dari asam arachidonic yang dilepaskan dari
fosfospid sel yang merusak membran oleh kerja fosfolipase.
Tahap kedua respon inflamasi (inflamasi kronis) berlangsung selama 24-48 jam
setelah inisisai dan ditandai dengan rekrut monosit ke jaringan. Sel monosit tersebut
berdifferensiasi menjadi makrofag jaringan dan merancang garis pertahanan imun kedua.
Meskipun neutrofil memiliki mobilitas tinggi dan sel yang efektif sebagai fagosit, neutrofil
memiliki umur yang pendek dan tidak dapat melakukan aktifitas fagosit dan penghancuran
target berulang. Walaupun makrofag lamban direkrut, ia lebih potensial dan memiliki umur
yang panjang dalam aktifitas fagosit dan memiliki kemampuan fagosit berulang. Makrofag
memiliki peran dalam mengaktifkan imunitas adaptif. Selain itu, makrofag juga memiliki
peran dalam perbaikan jaringan dengan aktifitas apoptosis debris jaringan yang mati dan
rilis enzim yang berkemampuan untuk membantu remodelling jaringan.
Makrofag mengenali dan dan memfagosit organisme dengan cara yang mirip
dengan neutrofil. Salah satu dari mayoritas jalur enzimatik melibatkan pembentukan nitric
oxide synthase (NOS), yang berasal dari nitrit oxide (NO), dari arginin. NO selanjutnya
bereaksi dengan superoxide anion untuk pemproduksi substansi seperti radikal nitrogen
dioksida, yang toksik bagi organisme fagosit. Makrofag mampu mengembangkan NO yang
dikenal sebagai sel M1 dan penting bagi respon inflamasi kronis. Substansi kedua dari
makrifag (M2) menggunakan arginase untuk mengubah arginin menjadi ornithine. Sel-sel
itu merupakan agen noninflamatori, namun membantu dalam perbaikan jaringan dan
memiliki peran dalam proses post inflamasi.
Respon inflamasi kronis dapat disertai dengan gejala penyakit sistemik selain
inflamasi jaringan lokal. Efek ini sebagian besar berkaitan dengan pelepasan serangkaian
sitokin proinflamasi dari makrofag yang diaktifkan, termasuk interleukin (IL) -1, IL-6
dan tumor nekrosis faktor (TNF) -α. Mereka berinteraksi langsung dengan sel-sel saraf di
jaringan yang rusak dan diserap ke dalam sirkulasi, di mana mereka dapat mengakses otak
untuk mengikat molekul reseptor yang memediasi pireksia (mengubah mekanisme
pengaturan suhu tubuh hipotalamus), kelesuan (mendorong molekul penginduksi tidur) dan
anoreksia (bekerja di pusat rasa kenyang hipotalamus ). Sitokin yang bersirkulasi akan
merangsang produksi protein fase akut seperti protein C-reaktif (CRP) sebagai fagositosis
pemicu opsonin, serum amiloid A (SAA), dan chemoattractant leukosit serta memiliki
beberapa fungsi imunosupresif, dan haptoglobin, yang mengikat besi dan memisahkannya
dari bakteri yang memiliki kebutuhan metabolisme obligat. Protein fase akut dapat
dideteksi di dalam darah dan merupakan indikator yang berguna dari adanya peradangan.
Efek keseluruhan dari respon inflamasi akut dan kronis, seringkali bersamaan
dengan respon imun adaptif yakni untuk menghilangkan patogen dan meningkatkan
perbaikan jaringan. Namun, beberapa penyebab peradangan sulit untuk dihilangkan. Hal
tersebut berkaitan dengan patogen intraseluler yang dapat bertahan terhadap mekanisme
perlindungan (Mycobacterium bovis), antigen yang strukturnya besar (parasit jaringan),
atau inert iritasi seperti partikel logam, bahan jahitan, dan adjuvan vaksin. substansi
tersebut cenderung memicu inflamasi kronis dan persisten dan berakhir pada pembentukan
granuloma. Granuloma steril yang dapat diinduksi oleh bahan jahitan memiliki
karakteristik dan komposisi yang khas, sedangkan granuloma infeksius ditandai dengan
adanya antigen disertai banyak limfosit. Tahap terakhir dari respon inflamasi adalah
perbaikan jaringan yang sebagian besar diatur oleh makrofag M2. Sel ini akan
menghasilkan fibroblast dan sitokin TGF-ß yang akan mendorong deposit kolagen dan
pertumbuhan pembuluh darah baru untuk menggantikan area jaringan nekrotik. Sel
dendritik juga memiliki peran dalam dalam sistem imun innate dan adaptif. Sel ini
memiliki peran penting dalam pengangkutan antigen melalui pembuluh limfatik dari
tempat infeksi ke area terdekat dari jaringan limfoid. Pengangkutan antigen
memungkinkan aktifasi dari respon imun adaptif sehingga sel dendritik menyediakan
hubungan antara dua imunitas ini.

Gambar (7) Inflamasi kronis. merupakan bagian paru-paru dari Alpaca dengan infeksi
Mycobacterium. Lesi granuloma dengan inti nekrotik mengandung neutrofil
dan bakteri (yang tertutupi oleh makrofag) dan tersebar limfosit. (8) :
Multinucleate giant cell. Merupakan bagian kulit dari kucing yang
mengalami dermatitis piogranulomatosa. Terlihat terdapat sel raksasa dengan
inti banyak (multinucleate giant cell) merupakan makrofag yang menyatu.
Dan pada gambar terlihat sel mengandung 2 vakuola sitoplasma yang besar.
Tidak ada penyebab spesifik dan mungkin dipicu karena benda asing.

Imunitas Adaptif
Respon imun adaptif merupakan respon imun yang lebih spesifik dan jauh lebih
kuat di dalamnya efeknya dari pada sistem imun bawaan. Komponen dari sistem imun
adaptif adalah sel limfoid yaitu :
a. Limfosit T dan sitokin serta kemokin yang mengantarkan protein yang dilepaskan
oleh sel secara langsung dan mengatur respon imun adaptif.
b. Limfosit B, yang akan berubah menjadi sel plasma yang memproduksi dan
mengeluarkan antibodi.
Sel-sel limfoid dari respon imun adaptif bersirkulasi di antara jaringan limfoid
tubuh (kelenjar getah bening, limpa dan jaringan limfoid di mukosa). Antigen dibawa dari
tempat infeksi oleh sel dendritik ke jaringan limfoid regional. Sel dendritik akan
mengaktifkan antigen spesifik limfosit T, yang selanjutnya mengaktifkan antigen spesifik
limfosit B. Antigen spesifik limfosit yang aktif kemudian dimobilisasi dari jaringan limfoid
regional dan dikirim ke tempat infeksi, suatu proses yang melibatkan sel-sel ini bergerak
dalam sirkulasi darah dan limfatik akan berinteraksi dengan lapisan endotel pembuluh
darah. Begitu sel-sel ini mencapai tempat infeksi, mereka mampu memasang respons
'efektor' skala penuh yang lebih kuat dari sistem kekebalan innate. Proses ini membutuhkan
waktu antara 4–7 hari, komponen terakhir dari system imun adaptif adalah pengembangan
dari respon regulasi yang akan mematikan sistem apabila tidak diperlukan (yaitu ketika
patogen telah dieliminasi) sehingga tidak menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Setelah
selesai, sistem imun menyimpan memori terhadap respon imun tersebut. Memori
imunologis adalah fitur dari respons imun adaptif. Memori akan membentuk respons imun
sekunder yang jauh lebih efektif jika antigen yang sama ditemukan kembali, hal ini
mendukung penerapan vaksinasi dalam pengobatan klinis.

Analogi militer sering dipergunakan untuk menganalogikan gambaran sistem


kekebalan tubuh. Dalam konteks imunologi, sistem imun bawaan disamakan dengan
perbatasan pertahanan tubuh dan sel dendrik ke utusan dikirim dari dalam jaringan limfoid
yang merupakan tempat dari pasukan respon imun disusun. Pasukan yang diutus dikirim
dari perbatasan untuk memilih pasukan yang paling siap untuk menghadapi musuh.
Pasukan adaptif dibubarkan jika mendapat instruksi oleh sel regulator yang masuk setelah
memenangkan pertempuran.

Evolusi Sistem Imun


Semua makhluk hidup termasuk organisme yang sangat primitif juga memiliki
sistem imun bawaan (innate imunity) yang berfungsi untuk melindungi dirinya dari agen
patogen. Sistem kekebalan suatu spesies tergantung kepada aktivitas molekul antimikroba
bawaan nonspesifik, aksi fagosit dan suatu protein yang mirip dengan sitokin. Tubuh
cacing dan starfish mampu menolak apabila saat dilakukan pencangkokan tidak terjadi
kecocokan antar jaringan namun hal tersebut dapat dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh
bawaan (innate imunity). Contoh imunologi yang mengalami evolusi adalah Toll-like
receptor (akan dibahas di Bab 7).
Organisme dan agen patogen akan menjadi target evolusi secara bersamaan
sehingga memerlukan persyaratan yang lebih lanjut untuk melakukan pengembangan
sistem kekebalan yang lebih kompleks. Perkembangan kekebalan adaptif digambarkan
sebagai big bang yang diperkirakan telah terjadi sejak zaman nenek moyang. Fitur utama
dari kekebalan adaptif adalah kemampuan untuk menghasilkan keragaman reseptor antigen
sehingga nantinya akan menyebabkan perkembangan pada integrase lingkaran DNA
ekstra-kromosom. Integrase lingkaran DNA ekstra-kromosom mengandung RAG-1 dan
RAG-2 yang nantinya akan menyebabkan gen akan mirip dengan reseptor sel T atau B.
Proses duplikasi gen akan didiskusikan di Bab 6 dan Bab 8. Tahapan evolusi dari sistem
kekebalan terlihat dalam Tabel 2.

BAB II
Antigen Dan Antibodi

Pendahuluan
Pembahasan mengenai dua elemen yang sangat mendasar dari respon kekebalan
tubuh (antigen dan antibodi) dan molekul-molekul ini berinteraksi dalam vivo dan secara
in vitro.
Antigen
Antigen didefinisikan sebagai sebuah zat yang berikatan dengan reseptor limfosit.
Antigen tidak selalu dapat merangsang respon imun, hal ini ditentukan oleh kemapuan
antigen untuk terikat dengan antibodi spesifik, namun beberapa antigen gagal untuk
merangsang pembentukan antibodi. Imunogen merupakan substansi yang dapat
menginduksi respon imun ketika diinjeksikan pada inang. Menurut spesifitasnya antigen
dapat dibedakan menjadi beberapa kelas molekul yang berbeda antara lain:
- Heteroantigen merupakan antigen yang berasal dari satu spesies yang mampu
merangsang respons kekebalan pada spesies atau individu lain. Antigen dapat
berupa benda asing yang kemudian masuk ke tubuh inang melalui berbagai rute
seperti absorpsi perkutan, injeksi, ingesti, inhalasi dan melalui kontak seksual.
Contohnya adalah agen infeksius (virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing), substansi
yang berasal dari lingkungan (pollen, polutan), dan bahan kimiawi (obat).
- Alloantigen merupakan antigen yang berasal dari jaringan atau sel. Antigen dibawa
oleh sel atau jaringan asing yang berbeda secara genetik namun berasal dari spesies
yang sama, contohnya adalah transplantasi organ pada spesies yang sama.
- Xenoantigen merupakan antigen dari jaringan transplantasi yang berasal dari
spesies yang berbeda.
- Autoantigen atau self-antigen merupakan kondisi dimana sistem imun mengenali
komponen dari tubuh inang itu sendiri sebagai antigen. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya penyakit autoimun.
Faktor yang menentukan keberhasilan antigen untuk menginduksi respon imun, hal
ini disebut dengan antigenisitas. Beberapa hal yang berhubungan dengan antigenisitas
antigen adalah:
- Antigen harus dikenali sebagai benda asing oleh inang
- Memiliki berat molekul lebih dari 10 kD
- Mampu terpartikulasi atau teragregrasi
- Memiliki struktur molekul yang kompleks (tersier)
- Memiliki struktur kimiawi yang kompleks
- Aktif secara biologis
Sebagian besar antigen merupakan struktur kompleks, yang mana secara individual
mampu berinteraksi dengan sistem kekebalan. Satu antigen dapat terdiri dari banyak epitop
atau determinan, yang masing-masing mungkin terikat oleh antibodi atau molekul reseptor
seluler tertentu (Gambar 10a–d). Beberapa epitop pada antigen mungkin memiliki
kemampuan tinggi dalam mendorong respon kekebalan yang dikenal sebagai epitop
imunodominan.

Gambar 10a – d . Epitop Antigen (a) Antigen kompleks dapat terdiri dari banyak epitop individu
yang masing-masing mampu berinteraksi dengan sistem imun inang. Epitop
yang paling kuat dianggap sebagai imunodominan. (b, c) Anjing Jerman
Sheperd dengan infeksi Staphylococcus pada folikel rambut (deep pyoderma)
dan koloni Staphylococcus yang terlihat dalam lumen folikel pada hasil biopsi.
(d) Setiap individu Staphylococcus dianggap sebagai antigen terdiri dari epitop
yang mampu menginduksi respons antibodi. Staphylococcus terganggu dan
komponen epitope dipisahkan berdasarkan berat molekul melalui poliakrilamid
gel elektroforesis. Secara elektoforetik, epitop ditransfer ke membran inert dan
ditunjukkan penggunaan antiserum dalam teknik western blotting.

Hapten adalah kelompok kimia kecil bagian dari antigen yang apabila berdiri
sendiri tidak dapat menimbulkan respons imun, namun ketika berikatan dengan protein
pembawa yang lebih besar mampu menghasilkan antibodi atau respons imun seluler.
Fenomena tersebut berhubungan dengan kinerja beberapa obat yang dapat mengikat
protein pembawa sehingga reaksi obat akan bekerja secara tidak tepat.
Imunologi mempelajari tentang ikatan antigen dengan sistem imun. Penelitian ini
sering dilakukan dengan cara pemberian antigen pada hewan dan melihat respon imun
yang terjadi. Dalam penelitian tersebut respon imun yang dihasilkan dapat ditentukan oleh
sejumlah faktor yaitu :
- Metode penyiapan antigen.
- Spesies dan genetik resipien.
- Dosis antigen yang diberikan.
- Rute administrasi.
- Penggunaan adjuvan.
Adjuvan merupakan suatu zat atau substansi yang bila dikombinasikan dengan
antigen secara nonspesifik akan meningkatkan respon imun selanjutnya terhadap antigen
tersebut. Adjuvan seperti Freund’s adjuvant (minyak dalam emulsi air), Freund’s
complete adjuvant (memasukkan mikobakteri yang mati ke dalam emulsi) atau minyak
kacang adalah zat yang sangat mengiritasi yang menyebabkan respons inflamasi lokal dan
akan merangsang presentasi antigen. Banyak vaksin yang saat ini digunakan dalam
kedokteran hewan dan manusia diperlukan untuk meningkatkan imunogenisitas komponen
antigenik vaksin. Adjuvan untuk vaksin yang paling umum digunakan adalah aluminium
hidroksida atau aluminium fosfat. Bentuk lain dari adjuvan adalah liposom atau iscom
(kompleks perangsang imun) dimana antigen ditahan beberapa waktu dalam vesikel yang
terdiri dari membran lipid. Pencarian adjuvan yang lebih efektif dan lebih aman terus
dilakukan. Adjuvan generasi terbaru mungkin memiliki efek yang lebih bertarget yaitu
meningkatkan aspek imunitas tertentu. Fragmen kecil DNA bakteri yang kaya akan sitosin
dan guanidin (motif CpG) atau sitokin modulator imun rekombinan adalah zat yang dapat
digunakan. Komponen-komponen tersebut disebut sebagai adjuvan molekuler.
Antibodi
Fraksi darah yang tersisa setelah pembekuan merupakan serum (plasma tanpa
fibrinogen). Hal tersebut dapat dipisahkan secara elektroforesis menjadi protein penyusun
yaitu albumin dan alfa, beta dan gamma globulin (Gambar 13). Gamma globulin terdiri
dari immunoglobulin atau yang disebut sebagai antibodi.
Struktur molekul dasar dari molekul tunggal imunoglobulin dikarakterisasi dengan
baik (Gambar 14). Ini terdiri dari empat rantai protein glikosilasi yang disatukan oleh
ikatan disulfida antar rantai dalam konformasi berbentuk Y. Dua rantai memiliki massa
molekul yang lebih tinggi (light chains, sekitar 50 kD) dan dua rantai lainnya yang lebih
kecil ukurannya (heavy chains, sekitar 25 kD). Dari segi struktur dan urutan asam amino,
dua rantai berat di salah satu imunoglobulin identik satu sama lain, seperti halnya dua
rantai ringan. Ini berarti dua 'bagian' dari molekul pada dasarnya adalah bayangan cermin
masing-masing lain. Meskipun biasanya menggambarkan imunoglobulin secara diagram
sebagai linier struktur, molekul ini memiliki struktur tersier yang kompleks. Setiap rantai
terbentuk dari serangkaian domain yang memiliki struktur bulat kasar yang dibuat oleh
adanya ikatan disulfida intrachain. Ciri dasar lebih lanjut dari imunoglobulin adalah bahwa
struktur dan urutan asam amino ke arah ujung terminal relatif seragam (dikonservasi) dari
satu molekul ke molekul lainnya, sedangkan struktur menuju ujung terminal-N memiliki
variasi yang cukup besar antara imunoglobulin. Dalam masing-masing dari empat rantai ini
menimbulkan adanya daerah variabel terminal-N dan serangkaian daerah konstan menuju
terminal C. Oleh karena itu, setiap rantai cahaya terdiri dari dua domain, daerah variabel
rantai cahaya VL dan daerah konstan dari rantai cahaya CL. Demikian pula, setiap rantai
berat terdiri dari daerah variabel rantai berat VH dan serangkaian domain daerah konstan
bernama CH1, CH2 dan CH3. Daerah variabel mengandung subareas lebih lanjut di mana
ada tingkat variasi terbesar dalam urutan asam amino antara imunoglobulin yang berbeda.
Subareas ini dikenal sebagai daerah hipervariasi. Sebagian besar imunoglobulin memiliki
daerah yang berbeda antara domain CH1 dan CH2, yang melibatkan ikatan disulphide
interchain yang dikenal sebagai daerah engsel. Ini menganugerahkan pada molekul
kemampuan lengan pendek struktur berbentuk Y untuk bergerak melalui sekitar 180o.

Gambar 13. Elektroforesis protein serum. Protein penyusun serum yaitu albumin dan alfa,
beta dan gamma globulin. Yang terakhir setara dengan molekul antibodi atau
immunoglobulin.

Domain globular molekul imunoglobulin memiliki atribut fungsional yang berbeda.


Struktur yang dibentuk oleh daerah variabel (VL dan VH) adalah bagian dari molekul yang
mengikat epitope antigenik (situs antigen-mengikat). Domain CH2 terlibat dalam aktivasi
jalur pelengkap dan domain CH3 yang mengikat molekul ke reseptor imunoglobulin seluler
yang disebut reseptor Fc.
Penelitian imunologis awal mencirikan cara di mana molekul imunoglobulin
berbentuk Y dapat terfragmentasi oleh inkubasi dengan enzim proteolitik tertentu. Enzim
papain membelah molekul di sisi N-terminal wilayah engsel, menciptakan tiga fragmen:
rantai berat Cterminal yang bergabung ('tubuh' dari bentuk Y), yang dikenal sebagai daerah
Fc; (untuk 'fragment crystallizable'); dan rantai berat N-terminal yang bergabung dan rantai
cahaya ('lengan' dari bentuk Y), masing-masing dikenal sebagai fragmen Fab ('fragmen
antigen-mengikat'). Sebaliknya, enzim pepsin membelah molekul di sisi C-terminal
daerah engsel, menciptakan dua fragmen: daerah Fc dan kedua fragmen Fab masih
bergabung melalui ikatan disulam daerah engsel utuh (Fab' Fab’2).
Kelas Immunoglobulin
Kelas immunoglobulin terbagi menjadi 5 bentuk dari untai immunoglobulin
dituliskan menggunakan Greek letter, yaitu : Ig A : rantai α (alpha), Ig E : rantai ε
(epsilon), Ig D : rantai δ (delta), Ig G : rantai γ (gamma), dan Ig M : rantai µ(mu). Khusus
untuk Ig dan Ig A pengkodean berdasarkan subklas dari immunoglobulin yang sedikit
berbeda pada bagian susunan asam amino dan stuktur regio konstan.
Hewan memiliki 5 kelas yang sama dengan manusia hanya saja ada variasi pada
subklas Ig G dan Ig A dengan spesifikasi unik, contohnya : 4 subklas Ig G ( IgG1-IgG4)
ditemukan pada manusia dan anjing, pada kuda ada 7 (IgG1-IgG7). Pada manusia ada 2
subklas Ig A (IGHA) dan pada kelinci ada 13 gen Ig A dan pada hewan lainnya kuda dan
babi punya gen berbeda. Pada ayam punya immunoglobulin utama yaitu Ig Y 4 4 rantai
lain yang strukturnya tidak sama dengan manusia. Pada ungags struktur Ig Y berbeda
molekulnya pada regio Fc, diketahui sebagai IgY (ΔFc) tetapi fungsinya tidak diketahui.
Gambar 14. Struktur Imunoglobulin

IgG
IgG terdiri dari satu unit γ rantai berat yang berpasangan dengan rantai ringan κ
atau λ. IgG dominan ditemukan pada serum. Ketika terjadi peningkatan permeabilitas
endotel vaskuler (seperti respon inflamasi), IgG akan memasuki jaringan ekstravaskuler.
IgG umumnya melapisi mikroorganisme sehingga partikel itu lebih mudah difagositosis.
Molekul IgG mampu menetralisir toksin dan virus. Molekul IgG secara efektif mengikat
dan menetralkan racun dan merupakan imunoglobulin dominan dalam respons imun
sekunder.
IgM
Molekul IgM merupakan imunoglobulin terbesar yang terdiri dari pentamer lima
unit imunoglobulin dasar berbentuk Y yang dihubungkan bersama dengan rantai
penghubung (J) dan ikatan disulfida tambahan antara domain C-terminal. Masing-masing
unit komponen terdiri dari rantai berat μ berpasangan dan masing-masing membawa
domain tambahan C-terminal CH4.
Molekul IgM tidak memiliki engsel yang berbeda wilayah, tetapi terdapat
mobilitas pada level CH2 ke CH3. Massa molekul IgM yang besar membuat IgM ditemukan
terutama pada sirkulasi yang tidak mudah berdifusi di antara vaskular endotel untuk
memasuki ruang jaringan. Oleh karena itu, IgM berperan penting dalam respon imun untuk
infeksi darah (misalnya bakteremia). IgM mampu memperbaiki komplemen karena
pengikatan antigennya valensi 10, ia mampu menempel dan menggabungkan beberapa
antigen partikular yang dikenal sebagai aglutinasi. IgM memiliki peranan yang sangat
penting dalam respon imun primer.
IgA
IgA dapat ditemui sebagai immunoglobulin monomer berbentuk Y yang
memanfaatkan rantai α (alpha) atau dimer dari unit yang sama yang dihubungkan oleh
rantai J. Keberadaan versi monomer maupun dimer dari IgA tergantung pada spesies dan
lokasinya. Sebagai contoh, sejumlah kecil IgA dapat ditemukan pada sirkulasi dalam
bentuk monomer pada manusia dan berbentuk dimer pada sebagian besar hewan domestik.
Konsentrasi tertinggi dari IgA dapat ditemui pada permukaan mukosa tubuh seperti
gastrointestinal, saluran respirasi dan urogenital, mata, dan kelenjar mamae atau sekresi
yang berkaitan dengan organ-organ ini seperti empedu, air mata, kolostrum, dan susu. IgA
diproduksi di permukaan mukosa dan memerankan fungsi penting dalam pertahanan sistem
imun pada area tersebut dengan cara mencegah kolonisasi bakteri patogen dengan
menghambat perlekatan bakteri pada reseptor di permukaan mukosa (Gambar 18a, b).

Gambar 18a, b. Fungsi IgA. (a) mikroskop elektron menunjukkan gambaran vili usus
yang berbentuk seperti jari. (b) perbesaran lebih tinggi menunjukkan usus
hewan yang mengalami diare akibat infeksi Escherichia coli. Terdapat
bakteri berbentuk batang pada permukaan mukosa. Perlekatan patogen
pada mukosa normalnya akan dihambat dengan sekresi IgA.
Bentuk IgA yang tersekresi berupa dimerik pada semua spesies. Karena permukaan
mukosa kaya akan enzim proteolikit, maka sekresi IgA dimerik termodifikasi sehingga
terhindar dari degradasi enzimatik saat disekresikan. Modifikasi ini menimbulkan adanya
secretory component yakni selubung di sekitar ujung terminal C dari subunit dan
menempel pada domain CH2 dengan ikatan disulfida. Alur sekresi IgA mukosa seperti yang
dijelaskan pada Gambar 19. Sama seperti semua imunoglobulin, IgA disekresikan oleh sel
plasma di lamina propria di bawah epitel mukosa. IgA diikat dengan polymeric
immunoglobulin receptor (pIgR) pada permukaan epitel dan ikatan kompleks antara pIgR
dengan dimer IgA terletak di sitoplasma epitel. Ikatan kompleks ini akan berpindah
melalui sitoplasma dan terekspresikan pada permukaan mukosa sel, dimana IgA dilepaskan
dari permukaan dengan pIgR yang menjadi komponen sekresi.

Gambar 19. Sekresi IgA. Sebagian besar IgA diproduksi pada permukaan mukosa dan
disekresikan melalui epitel sebagai molekul dimer. Selama proses ini, sekresi
IgA memerlukan komponen sekresi sebagai proteksi saat melintasi barrier
epitel.
IgD
Molekul IgD merupakan unit imunoglobulin yang berbentuk Y tunggal, di mana
molekul ini terdiri dari dua rantai berat δ dengan valensi pengikat antigen 2. Adapun IgD
memiliki distribusi yang sangat terbatas di dalam tubuh untuk diekspresikan pada
permukaan limfosit B naif.
Terdapat banyak perbedaan spesies dalam struktur imunoglobulin ini. Murine IgD
terdiri dari dua bagian wilayah yang tetap sehingga membuat rentan terhadap proteolisis.
Imunoglobulin D pada hewan peliharaan, manusia, dan primata terdiri dari tiga bagian
wilayah yang konstan atau tetap. Selain itu, kebanyakan dari spesies tersebut pada bagian
engsel relatif panjang jika dibandingkan dengan kelas imunoglobulin lainnya, kecuali babi.
IgE
Molekul IgE merupakan imunoglobulin berbentuk Y yang terdiri dari 2 rantai dan
memiliki domain CH4. IgE ditemukan pada konsentrasi tinggi sirkulasi hewan peliharaan.
Hal ini terkait dengan tingkat parasit endogen hewan domestik yang umum terjadi. Peran
utama IgE berperan dalam respons imun terhadap endoparasit. IgE dapat menempel pada
reseptor Fcε spesifik di permukaan jaringan sel mast dan sirkulasi basofil dimana disebut
sebagau reaksi hipersensitivitas tipe I. Mekanisme peran IgE dalam mediasi berbagai
penyakit alergi seperti asma dan atopik dermatitis.
Gambar 20. IgE pada penyakit alergi. Asma merupakan penyakit yang dimediasi
oleh produksi antibodi spesifik IgE

Interaksi Antigen-Antibodi
Interaksi antara antigen dan antibodi secara khusus melibatkan pengenalan epitop
antigenik dengan daerah variabel N-terminal (Fab) molekul antibodi. Pada tiga dimensi, V L
dan VH membentuk celah atau alur, yang dibatasi oleh daerah hipervariabel dari rantai
asam amino menjadi slot epitop atau, sebagai alternatif, domain ini diratakan untuk
membentuk suatu area interaksi yang memungkinkan area kontak ini akan meluas dengan
antigen. Interaksi ini sangat tepat dan spesifik poin (residu kontak) antara epitop dengan
sisi pengikatan antigen (antigen-binding) (21 a,b). Beberapa epitop antigen akan memiliki
kecocokan yang sempurna bagi sisi pengikatan antigen imunoglobulin dan berinteraksi
seperti ‘ lock and key’ untuk menghasilkan pengikatan afinitas yang tinggi. Afinitas
antibodi mengacu pada kekuatan pengikatan dari satu Fab antibodi ke satu epitop
antigenik. Dalam situasi ini, antigen dipegang erat oleh interaksi yang melibatkan
pembentukan gaya van der Waal, ikatan hidrogen, gaya elektrostatis, dan gaya hidrofobik.
Epitop antigenik lain akan berinteraksi dengan situs pengikatan antigen dengan afinitas
rendah atau tidak menampilkan interaksi sama sekali. Istilah kedua yang digunakan untuk
menggambarkan kekuatan interaksi antara antigen dan antibodi adalah aviditas. Aviditas
mengacu pada kekuatan pengikatan keseluruhan dua molekul, sehingga interaksi aviditas
rendah mungkin melibatkan pengikatan satu Fab dalam imunoglobulin ke satu epitop pada
antigen, sedangkan interaksi aviditas yang lebih tinggi akan melibatkan beberapa
pengikatan Fab-epitope.
Gambar 21 a,b. Pengikatan antigen –antibodi. (a) Epitop antigen teletak didalam celah
atau alur yang dibentuk oleh domain variabel heavy and light dan dibatasi
oleh daerah hipervariabel yang membentuk residu kontak diantara dua
molekul. (b) Digambar tiga dimensi, daerah hipervariabel menunjukkan
warna merah diantara warna kuning cerah dan daerah variabel biru yang
memberikan residu kontak dengan epitop merah dari antigen yang
berwarna hijau. Antigen hijau dalam model ini akan bergerak melalui 90˚
untuk duduk diatas daerah Fab yang ditunjukkan.

Gambar 22 Afinitas pengikatan antigen-antibodi. Afinitas adalah jumlah gaya tarik dan
tolak antara epitop antigenik dan situs pengikatan antigen Fab dari antibodi.
Interaksi afinitas tinggi dan rendah yang ditunjukkan.

Gambar 23 Aviditas pengikatan antigen-antibodi. Interaksi antara antigen yang terdiri


dari unit berulang epitop dan antibodi spesifik ditampilkan. Semakin besar
jumlah interaksi, semakin tinggi aviditas pengikatan.
Key Point
▪ Antigen menginisiasi respons imun.
▪ Kebanyakan antigen asing bagi tubuh (heteroantigen).
▪ Antigen yang paling kuat adalah senyawa kimiawi kompleks dan bahan biologi
aktif.
▪ Antigen mungkin memiliki banyak epitop, beberapa di antaranya yang merupakan
imunodominan.
▪ Adjuvan bisa dicampur dengan antigen untuk meningkatkan respon imun non
spesifik
▪ Antibodi adalah unit berbentuk Y yang terdiri dari dua rantai berat identik dan dua
rantai ringan.
▪ Rantai molekul antibodi memiliki struktur domain globular, dengan fungsi yang
berbeda-beda di setiap domainnya.
▪ Antibodi mengikat epitop antigen, mengaktifkan komplemen dan mengikat sel
reseptor
▪ Lima kelas antibodi (IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE) memiliki struktur, target
distribusi dan fungsi yang berbeda.
BAB III
Sistem Komplemen

Pendahuluan
Komplemen merupakan kata yang menggambarkan suatu rangkaian dari sekitar 30
protein plasma. Saat diaktifkan, protein ini akan berinteraksi secara berurutan membentuk
kaskade enzimatik dan secara aktif menghasilkan molekul biologis yang memediasi
berbagai proses akhir dalam respon imun dan inflamasi. Prinsip dasar dari sistem kaskade
ini dapat dilihat pada Gambar 24 yang secara umum mirip dengan jalur regulasi yang
terlibat di hemostasis sekunder. Jalur instrinsik dari sistem regulasi dapat mematikan
kaskade apabila tidak diperlukan untuk menghindari kerusakan pada jaringan normal.

Gambar 24. Sistem Kaskade Enzimatik. Jalur komplemen merupakan sistem kaskade
enzimatik yang mirip dengan jalur koagulasi hemostasis. Kaskade
membutuhkan inisiasi pemicu yang daoat menyebabkan konversi proenzim
menjadi enzim aktif. Enzim aktif 1 kemudian bekerja oada dua molekul
proenzim 2, mengubahnya menjadi enzim aktif 2 dan seterusnya. Pada setiap
tahap reaksi ada efek amplifikasi sevagai enzim yang menghasilkan molekul
yang lebih aktif. Sistem ini akan mengontrol kaskade dengan cara
menghentikannya untuk menghindari konsekuensi patologis dari aktivasi
yang tidak tepat.

Ada empat jalur komplemen yang diketahui yaitu klasik, lektin, alternatif dan jalur
terminal. Tiga jalur pertama membagi titik akhir yang sama dimana dimulai dari aktivasi
jalur yang dimediasi oleh empat kunci efek biologis pada sistem yang dideskripsikan pada
Gambar 25. Komplemen dikenali di semua spesies hewan. Sebagian besar komponen
dijelaskan menggunakan singkatan “C” (untuk pelengkap), dengan angka menunjukkan
komponen spesifik (misalnya C4) serta huruf kecil mengindikasikan subfraksi dari
komponen tersebut (C4a dan C4b). Penomoran dari komponen tidak selalu diikuti oleh
sekuen karena setiap komponen diberi nomor pada urutan penemuannya. Beberapa
komponen dan protein tidak sesuai dengan nomenklatur “C”. Nomenklatur yang digunakan
di Amerika Utara dan Eropa biasanya berbeda, contohnya C3 convertase adalah C4bC2b di
Eropa dan C4bC2a di Amerika Utara.

Gambar 25. Jalur komplemen. Titik akhir dari jalur klasik dan alternative yaitu
pembuatan molekul, faktor pelengkap C3b. Jalur lektin membagi elemen
dengan jalur klasik. Varian unik dari jalur alternative yaitu umpan balik
loop amplifikasi.Jalur terminal umum dimulai dengan faktor C3b. Faktor
komplemen yang dihasilkan selama aktivasi jalur ini memediasi empat
efek akhir biologis utama.

The Classical and Lectin Pathway


The Clasiccal Pathway, dinamakan demikian karena merupakan yang pertama kali
ditemukan, The Clasiccal Pathway dipicu oleh pengikatan komponen komplemen pertama
atau the first component of complement (C1) ke permukaan antigen (misalnya patogen). C1
mengikat protein C-reaktif yang kemudian melekat pada polisakarida bakteri. Paling
sering, C1 menempel pada kompleks imun antigen dan antibodi (IgG atau IgM) dengan
mengikat area spesifik dari komponen imunoglobulin kompleks (misalnya ke domain CH2
dari IgG). Hal tersebut memungkinkan bagi C1 untuk mengikat agregat molekul antibodi
tanpa antigen. Antigen umumnya berukuran relatif besar (misalnya sel atau mikroba) dan
menyediakan luas permukaan tempat deposit molekul komplemen saat diaktifkan. C1
terdiri dari tiga subunit enzimatik, C1q, C1r dan C1s, yang diaktifkan dalam rangkaian
tersebut setelah pelekatan ke molekul imunoglobulin.

Gambar 26. The Classical and Lectin Pathway. The classical pathway biasanya dipicu
oleh ikatan antibodi ke antigen dan berlanjut melalui tahapan yang ditunjukkan
(dari atas ke bawah) untuk menghasilkan C5 convertase yang terhubung
dengan membrane sel. Deposisi sekuensial dari komponen komplemen ini
terjadi pada permukaan antigen. Titik-titik kendali system ditunjukkan di
sebelah kiri diagram dengan panah merah. Lectin pathway dimulai oleh
dimulai dari mannan-binding protein, yang menghasilkan C3 convertase
melalui aktivasi MASP-2.
C1 bekerja pada komponen berikutnya dalam rangkaian tersebut, yaitu C4, dan
membaginya menjadi dua subunit, C4a dan C4b. Fraksi C4b menempel pada permukaan
antigen dan mengikat C2, yang juga dibelah oleh C1s menjadi C2a dan C2b. Fragmen C2b
yang tetap terhubung dengan fraksi C4b kemudian menjadi jalur klasik C4bC2b (C3
convertase). C4bC2b (C3 convertase) bekerja pada C3 untuk memecah molekul C3
menjadi C3a dan C3b. C3a memiliki peran biologis utama, tetapi tidak menempel pada
permukaan antigen. Sebaliknya, endapan C3b yang berdekatan dengan kompleks C4bC2b
membentuk kompleks baru C4bC2bC3b (C5 convertase). Pembentukan C4bC2bC3b
convertase C5 ini adalah tahap terakhir dari The Clasiccal Pathway.
Pada semua jalur komplemen, regulatory control system dibangun ke dalam
classical pathway untuk menonaktifkan sistem saat tidak lagi diperlukan. Cara kontrol
pertama relatif sederhana, komponen pelengkap ini memiliki waktu paruh yang pendek
saat dihasilkan. Selain itu, molekul komplemen sangat rentan terhadap panas dan secara in
vitro, molekul tersebut dapat dinonaktifkan dengan memanaskan sampel serum (yang
mengandung molekul) hingga 56oC untuk periode waktu yang singkat (proses yang dikenal
sebagai heat-inactivation komplemen). Sarana tambahan untuk mengontrol classical
pathway berhubungan dengan adanya serangkaian faktor penghambat spesifik yang
bekerja pada jalur yang berbeda. Inhibitor C1 membelah C1r dari C1, sehingga
mengganggu aktivitas kompleks ini. Protein pengikat C4 menggantikan C2b dari C4b dan
bekerja dalam kombinasi dengan Faktor I, yang kemudian membelah C4b menjadi dua
subfraksi tidak aktif, C4c dan C4d. Faktor I juga dapat membagi C3b menjadi subfraksi
tidak aktif C3c dan C3d.
Karena molekul komplemen ini memiliki potensi biologis yang tinggi, harus ada
cara untuk melindungi sel normal yang terletak di sekitar classical pathway yang
teraktivasi dan mungkin rentan terhadap fragmen komplemen yang menyebar jauh dari
lokasi aktivasi. Faktanya, sel normal memiliki mekanisme perlindungan bawaan, karena
membran selnya mencakup serangkaian protein yang diekspresikan secara konstitutif yang
dapat mengganggu C3 convertase. Protein tersebut antara lain decay accelerating factor
(DAF), complement receptor 1 (CR1) dan membrane cofactor protein (MCP). The lectin
pathway adalah yang paling baru ditemukan dan berbagi elemen dari classical pathway.
Pada dasarnya, serum mannan-binding lektin (MBL) awalnya berikatan dengan
karbohidrat permukaan bakteri dan kemudian mampu mengaktifkan ikatan MBL-
assosiated serine protease-2 (MASP-2). MASP-2 yang diaktifkan mereplikasi efek C1
dengan mengaktifkan C4 dan C2 untuk membentuk C3 convertase kompleks.

The Alternative Pathway


Jalur alternatif dari sistem komplement dianggap sebagai bagian dari innate
immunity system. Jalur alternative tersebut memiliki dua fase berbeda. Fase pertama
disebut sebagai ‘tick over’ fase yakni siklus yang terjadi secara terus-menerus pada hewan
normal. fase tick over terjadi dalam ruang cairan ekstraseluler dan tidak terkait dengan
permukaan sel. Kedua fase mencerminkan aktivasi penuh dari sistem dan membutuhkan
adanya faktor pemicu yang tepat, yang mana dalam kasus jalur alternatif adalah adanya
'permukaan pemicu' yang memungkinkan pengendapan molekul kaskade enzimatik.
Pemicunya antara lain mikroba (khususnya bakteri atau ragi), sel jaringan abnormal
(misalnya virus terinfeksi atau sel neoplastik), agregat dari imunoglobulin atau bahan asing
(misalnya asbes) (27).

Gambar 27. yang mengaktifasi alternatif pathway

Fase tick over (28) diinisiasi oleh C3 di dalam cairan ekstraseluler, yang
mengalami spontan hidrolisis untuk membentuk C3i. Dalam mempresentasikan Mg2 +,
beberapa C3i terikat oleh Faktor B untuk membentuk kompleks C3iB. Faktor Terikat B
ditindaklanjuti oleh Faktor D, yaitu memecah molekul menjadi Bb dan Ba. Bb tetap terkait
dengan C3i untuk membentuk C3 convertase, yang dalam format giliran membagi molekul
C3 lebih lanjut dalam fase fluida menjadi C3a dan C3b. Di jalur tick over, mayoritas dari
C3b yang dihasilkan mengalami spontan hidrolisis dan inaktivasi. Haruskah ada setoran
C3b ke permukaan sel normal yang berdekatan, itu akan dinonaktifkan oleh kombinasi
MCP, DAF, CR1, Faktor H dan Faktor I.
Gambar 28 Jalur alternatif fase 'tick over'.

Setelah jalur alternatif C3 convertase (C3bBb) telah disimpan, kemudian dikaitkan


dengan molekul Properdin (P) yang menstabilkan kompleks seperti PC3bBb. Convertase
C3 yang stabil ini memulai loop amplifikasi umpan balik, yang menghasilkan C3b lebih
lanjut, yang disimpan pada pemicu permukaan. Langkah terakhir dalam fase aktivasi file
jalur alternatif adalah penambahan C3b lebih lanjut ke yang C3 convertase (PC3bBbC3b)
untuk membentuk file jalur alternatif C5 convertase.
Gambar 29 Fase aktivasi jalur alternatif. Kehadiran file permukaan pemicu yang tepat
memungkinkan pengendapan C3 convertase, yang distabilkan oleh Properdin
untuk mengaktifkan umpan balik loop amplifikasi. Titik akhir dari jalur
tersebut adalah pembentukan kompleks PC3bBbC3b, yang merupakan
convertase C5.

The Terminal Pathway


Berbeda dengan Pathway atau jalur yang telah dijelaskan diatas, terminal pathway
atau jalur terminal relatif langsung dan benefit dari the fact yang mengkonstituensi molekul
dinamakan pada penomoran sekuens yang benar (Gambar 30). Sesuai dengan jalur yang
diinisiasi oleh C5 convertase membagi C5 menjadi subfraksi C5a dan C5b. C5a
mempunyai aktivitas potensi biologis mirip dengan C3a, tetapi mempunyai efek jauh
dengan dasar sel yang merupakan target dari aktivasi komplemen.
Gambar 30. Jalur terminal (Terminal pathway) yang diinisiasi ketika C5 konvertase
membelah C5 menjadi C5a dan C5b merekrut C6 dan C7 dan kompleks ini
berasosisasi denga sel membrane yang merupakan target dari sistem
komplemen. Rekruitmen subsekuens dari C8 dan beberapa molekul C9
menyebabkan formasi dari pori dari transmembran atau MAC

Aktivasi C5b merekrut C6 dan C7 untuk menghasilkan kompleks dari C5bC6C7


yang berasosiasi dengan membrane sel target. Kompleks ini mengubah perlekatan C8 yang
mempenetrasi sel membrane dan merekrut molekul nomor C9 yang dimasukkan kedalam
membrane menjadi pori transmembran bentuk seperti donat. Ini diketahui sebagai
membrane attack complex (MAC). Formasi dari MAC ini merepresentasikan jalur terakhir
dari jalur terminal atau terminal pathway.

Pengaruh Biologis Aktivasi Komplemen Sitolisis


Sitolisis merupakan pecahnya sel yang disebabkan oleh ketidakseimbangan tekanan
osomotik. Ketidakseimbangan tekanan osmosik terjadi karena adanya membran attack
complex (MAC) pada membran sel yang membentuk pori sebagai akibat aktivasi
komplemen melalui jalur terminal (Gambar 31 a,b). Pori pada membran sel menyebabkan
sel membengkak dan pecah sehingga disebut “osmotic lysis”. Pengaruh ini dapat bersifat
positif apabila target selnya berupa sel abnormal atau bakteri.
Gambar 31. Sitolisis. (a) MAC pada membran sel. (b) Lisisnya eritrosit.

Generasi Zat Bioaktif


Konsekuensi utama kedua dari aktivasi komplemen adalah pembentukan fragmen
komplemen yang tidak berasosiasi dengan membran sel target. Dua yang terpenting adalah
C3a dan C5a. C5a lebih kuat daripada C3a, tetapi jumlah C3a yang dihasilkan jauh lebih
besar. Molekul-molekul ini kadang-kadang dikenal sebagai anaphylatoxins atau
chemoattractants setelah efek fundamental yang dimediasi.
C3a dan C5a memiliki peran kunci dalam respon inflamasi jaringan melalui
sejumlah mekanisme (Gambar 32). Molekul-molekul ini memediasi vasodilatasi
pembuluh kecil di dalam jaringan tempat mereka dihasilkan. Pembuluh darah yang
melebar serta sel endotel yang bocor memungkinkan keluarnya cairan, protein, dan sel dari
sirkulasi ke jaringan. Jika pembentukan C3a dan C5a disebabkan oleh infeksi atau
kerusakan di dalam jaringan itu, proses tersebut bermanfaat bagi jaringan. Kehilangan
cairan vaskular menyebabkan edema jaringan, yang mungkin penting dalam mengencerkan
toksin yang diproduksi secara lokal. Kebocoran protein darah (imunoglobulin dan molekul
komplemen) mungkin bermanfaat jika molekul ini berpartisipasi dalam respon imun lokal.
Migrasi leukosit, terutama sel fagositik seperti neutrofil dan makrofag, mungkin
bermanfaat dalam menghilangkan agen infeksi atau puing-puing jaringan. C3a dan C5a
tambahan mungkin memiliki efek pengaktifan langsung pada neutrofil untuk
meningkatkan fungsi fagositik mereka dan pelepasan mediator inflamasi lebih lanjut. Peran
kemotaktik dari C3a dan C5a selanjutnya dapat meningkatkan nilai rekrutmen jaringan
lokal dari leukosit. Setelah bermigrasi dari sirkulasi ke jaringan, sel fagositik dapat
diarahkan ke lokasi patogen atau sel yang rusak dengan bergerak ke atas 'gradien
kemotaktik'. Gradien ini dibentuk oleh molekul komplemen, yang berada pada konsentrasi
tertingginya pada titik pembentukannya dan pada konsentrasi yang semakin rendah
semakin jauh dari sumber tersebut mereka berada di dalam jaringan tersebut.
Dalam beberapa keadaan, aksi C3a dan C5a dapat melintasi batas antara peran yang
berguna dalam inflamasi lokal dan induksi respon inflamasi patologis. Kedua molekul
dapat bekerja pada sel mast jaringan, menyebabkannya mengalami degranulasi dan
selanjutnya memperluas respon inflamasi jaringan. Di saluran pernapasan hal ini dapat
menyebabkan kontraksi otot polos bronkiolus (bronkokonstriksi).

Gambar 32. Peran komplemen dalam peradangan. Fragmen komplemen C3a dan C5a
memiliki efek yang besar pada respon inflamasi jaringan lokal. Molekul-
molekul ini memediasi vasodilatasi, dengan edema jaringan terkait dan
keluarnya leukosit dan protein plasma ke dalam jaringan. Peristiwa ini dapat
diperkuat melalui degranulasi sel mast yang mungkin juga secara langsung
dimediasi oleh C3a dan C5a. Fragmen komplemen ini selanjutnya dapat
mengaktifkan leukosit yang direkrut dan membentuk gradien kemotaktik, yang
mengarahkan sel-sel ini ke lokasi agen infeksi atau sel yang rusak di dalam
jaringan.

Penghapusan Antigen Tertentu Atau Kompleks Imun


Konsekuensi ketiga dari aktivasi komplemen adalah meningkatkan adanya
kehancuran dan penghapusan antigen partikulat atau kompleks antigen oleh sel fagosit
seperti neutrofil dan makrofag. Antigen partikulat akan semakin mudah di fagosit ketika
terkumpul bersama antibody (terutama IgM) karena menjadi lebih besar. Interaksi antara
target antigen dan fagosit juga dapat meningkat dengan sistem komplemen dengan proses
opsonisasi dan ketaatan dari sistem imun.
Fenomena opsonisasi meningkat karena sel fagosit mengekspresikan pada resepttol
membrane untuk IgG (Reseptor Fcγ) dan reseptor dari molekul komplemen C3b (C3bR).
Sehingga, jika antigen sudah dilapisin IgG maka akan lebih mudah di fagositosit karena
interaksi IgG-FcR. Akan lebih baik ketiga antigen juga di lapisi C3b, maka akan terjadi
interaksi antara IgG-FcR dan C3b-C3bR.
Ketaatan sistem imun sangat penting untuk mengeliminasi antigen pada aliran
darah, yang meningkat saat eritrosit mengekspresikan C3bR, yang menyebabkan antigen
yang dilapisi C3b dapat menempel pada permukaan eritrosit. Ketika eritrosit yang sarat
antigen melewati sinusoid hati dan limpa, mereka akan menghadapi sel fagosit di jaringan
tersebut yang mengikat antigen dengan C3bR mereka dan menghapus antigen dari eritosit
dan dihancurkan.

Gambar 33. Penghilangan antigen (a) Sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag. (b)
Interaksi sel fagosit dengan antigen. (c) Ikatan eritrosit dengan reseptor C3b.

Interaksi Dengan Jalur Inflamatori


Komplemen memiliki pengaruh penting terhadap inflamasi dan respon imun.
Komplemen memiliki pengaruh terhadap kinin, koagulasi, dan fibrinolisis.
Uji Fungsi Komplemen
Pada sebagian besar spesies hewan domestik jalur komplemen telah ditentukan
meskipun jarang digunakan tetapi dimungkinkan untuk menguji fungsi komplemen.
Molekul komplemen tidak stabil terhada panas (hancur pada suhu 56 oC selama 30 menit).
Serum yang digunakan adalah serum yang segera dikoleksi dan dibekukan dengan cepat
pada suhu -70oC untuk pengawetan komponen. Pada uji ini dilakukan inkubasi serum
pasien dengan indikator sel eritrosit berlapis antibodi. Komplemen yang ada di dalam
serum akan menyebabkan eritrosit lisis. Titrasi sampel serum dilakukan dan nilai CH 50
untuk sampel ditentukan sebagai kebalikan dari pengenceran serum yang menghasilkan
50% hemolisis. Alternatif untuk uji CH 50 berbasis tabung adalah melakukan pengujian
dengan menambahkan serum ke sumur yang dipotong dalam gel agarosa yang
mengandung eritrosit peka. Setelah inkubasi yang sesuai, hemolisis pada lempeng tersebut
diindikasikan dengan terbentuknya zona bening di sekitar sumur. Diameter cincin yang
dibersihkan ini sebanding dengan log konsentrasi komplemen dalam sampel serum.
Kemudian diukur konsentrasi komponen komplemen individu menggunakan imunodifusi
radial tunggal (SRID) atau uji hemolitik di mana kelebihan semua komponen komplemen,
kecuali yang sedang diuji, disediakan, sedemikian rupa sehingga komponen yang hilang
berasal dari sampel uji.

34 a, b Opsonisasi. Neutrofil yang diisolasi dari darah anjing dimasukkan ke dalam dua
tabung. Suspensi bakteri stafilokokus dimasukkan ke dalam tabung pertama dan
suspensi bakteri yang sebelumnya telah diinkubasi dengan serum anjing
ditempatkan ke dalam tabung kedua. (a)Tabung pertama menunjukkan jumlah
organisme yang rendah pada sitoplasma beberapa netrofil. (b) Tabung kedua
sebagian besar neutrofil memiliki banyak bakteri di dalam sitoplasma. Ini karena
bakteri di tabung kedua telah diopsonisasi dengan melapisi dengan antibodi dan
komplemen yang ada dalam serum anjing, dan ini telah menyebabkan fagositosis
yang jauh lebih efisien.
35 a-c Uji komplemen hemolitik total.
(a) Pengenceran serial serum uji disiapkan dan diinkubasi dengan volume standar sel eritrosit
berlapis antibodi. Jumlah lisis di setiap tabung ditentukan oleh konsentrasi komplemen yang ada
dan dapat diukur dengan spektrofotometri dengan mendeteksi pelepasan hemoglobin. Jumlah
hemolisis di setiap tabung dapat dikaitkan dengan kontrol 0% (hanya buffer) atau kontrol
hemolisis 100% (air). Konsentrasi serum dibanding persentase lisis menghasilkan kurva
sigmoidal, dan 50% lisis umumnya berada dalam area paling curam dari kurva ini.
(b) % lisis untuk setiap pengenceran serum dihitung dengan rumus:
% = absorbance test – absorbance (0% control) x100
absorbance (100% control) – absorbance (0% control)
nilai y/1-y dihitung untuk pengenceran serum di mana y antara 10 dan 90%.
(c) Nilai ini kemudian diplotkan terhadap titer CH50 pada skala log-log dan titer sampel
yang memotong kurva pada nilai y / 1-y = 1,0 adalah CH50 untuk sampel serum tersebut.
BAB 4
Serological Test

Pendahuluan
Serologi adalah studi tentang pengikatan antigen-antibodi secara in vitro dan
memiliki signifikansi utama dalam pengobatan klinis. Kebanyakan dokter hewan yang
berpraktik akan melakukan pengujian serologis diagnostik setidaknya sekali setiap hari.
Salah satu aplikasi serologi yang paling umum adalah dalam diagnosis penyakit menular.
Tes serologis dapat digunakan untuk mendeteksi sejumlah kecil antigen mikroba dalam
sampel atau, lebih umum, mencari bukti antibodi spesifik untuk organisme tersebut sebagai
bukti bahwa hewan telah terpapar agen tersebut. Tes serologi yang lebih halus dapat
digunakan untuk mengukur jumlah antibodi yang ada, dan dengan mengumpulkan sampel
berpasangan dari pasien (misalnya berjarak dua minggu) seseorang dapat menentukan
apakah jumlah antibodi mungkin meningkat (seperti pada infeksi yang sedang berlangsung
aktif) atau menurun. Beberapa tes serologis dirancang untuk mendeteksi antibodi IgG atau
IgM dan proporsi relatifnya dapat menunjukkan stadium infeksi. Tes serologis paling
sering dilakukan pada sampel darah atau fraksi serum darah, tetapi memiliki penerapan
yang sama untuk berbagai cairan tubuh lainnya.

Tingkat aktivitas antibodi spesifik yang ada dalam sampel didefinisikan sebagai
titer antibodi tersebut. Titer didefinisikan sebagai kebalikan dari pengenceran serum
tertinggi yang memberikan reaksi yang sangat positif dalam uji serologis.Semua tes
serologi melibatkan interaksi in vitro dari antigen dan antibodi. Dalam beberapa tes,
antigen berukuran besar dan partikulat, memungkinkan visualisasi langsung dari reaksi
ketika dicampur dengan antibodi, tetapi dalam banyak tes kedua komponen (antigen dan
antibodi) dapat larut dan penentuan interaksinya memerlukan sistem indikator sekunder.
Serangkaian sistem seperti itu telah dikembangkan, tetapi sebagian besar memerlukan
penggunaan antiserum yang mampu mendeteksi dan mengikat komponen antibodi pada
reaksi.
Gambar 36 Titer antibodi.
Gambar 36, menjelaskan prinsip titer antibodi. Sampel serum diambil dari dua
hewan, A dan B. Kedua hewan tersebut telah terpapar antigen yang sama, namun serum
dari hewan A mengandung lebih banyak antibodi dibandingkan dengan hewan B. Pada
percobaan serologis ini, serangkaian tabung reaksi disiapkan. Untuk setiap sampel serum.
Satu volume serum ditambahkan ke tabung pertama dalam seri dan satu volume pengencer
yang sama (misalnya garam) ditambahkan ke masing-masing tabung yang tersisa. Satu
volume pengencer yang sama ditambahkan ke tabung pertama, yang akan mengencerkan
jumlah molekul antibodi dengan faktor 2. Satu volume sekarang dikeluarkan dari tabung
pertama dan dipindahkan ke tabung kedua. Saat dicampur, jumlah asli molekul antibodi
sekarang diencerkan dengan faktor 4. Proses ini diulangi di sepanjang garis tabung reaksi
untuk menghasilkan 'seri pengenceran ganda' di mana tabung akhir memiliki pengenceran
1/512 dari aslinya Sampel. Volume akhir yang diambil dari tabung terakhir dibuang.
Kandungan setiap tabung reaksi sekarang digunakan dalam uji serologis yang cukup
sensitif untuk mendeteksi satu molekul antibodi (dalam contoh ini). Untuk serum dari
hewan A hasil tes akan positif dan termasuk tabung yang berisi pengenceran 1/256 serum.
Untuk serum dari hewan B hasil tes akan positif dan termasuk tabung yang berisi
pengenceran 1/16 serum. Titer setiap sampel dinyatakan sebagai kebalikan dari
pengenceran serum positif terakhir (yaitu titer 256 untuk hewan A dan 16 untuk hewan B).
Serum dengan titrasi yang lebih tinggi mengandung lebih banyak molekul antibodi.

Antiserum adalah serum yang dikumpulkan dari hewan yang telah terpapar antigen
tertentu dan oleh karena itu mengandung antibodi terhadap antigen tersebut. Untuk
sebagian besar tes serologis, antiserum diproduksi secara artifisial dengan sengaja
mengimunisasi hewan (paling sering tikus, kelinci, domba atau kambing) dengan antigen
yang diinginkan dan kemudian mengumpulkan darah (serum) dari hewan yang diimunisasi
itu. Jika antigen imunisasi membawa sejumlah epitop, kemungkinan hewan yang
merespons akan menghasilkan antibodi terhadap beberapa epitop ini. Antiserum semacam
itu dikatakan bersifat poliklonal. Dimungkinkan juga untuk menghasilkan antiserum
dengan spesifisitas antibodi tunggal dan produksi antibodi monoklonal tersebut akan
dibahas pada selanjutnya.

Uji Serologis
Terdapat berbagai uji serologis yang digunakan untuk membantu diagnosa dalam
ilmu kedokteran hewan, antara lain adalah uji aglutinasi, uji presipitasi, complement
fixation test (CFT), haemagglutination inhibition (HAI), immunofluorescent antibody test
(IFA), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), immunochromatography dan
western blotting. Seorang dokter hewan harus mengetahui sensitivitas dan spesifisitas uji
yang digunakan dalam prosedur diagnostik laboratorium. Sensitivitas diartikan sebagai
kemampuan uji dalam mengidentifikasi hewan atau individu yang sakit dari seluruh
populasi yang benar-benar sakit, sedangkan spesifisitas adalah kemampuan uji dalam
menunjukkan hewan atau individu yang tidak sakit dari yang benar-benar tidak sakit.

Hasil uji diagnostik umumnya menunjukkan nilai positif dan nilai negatif, namun tidak
menutup kemungkinan adanya hasil false-positive dan false-negative. Perlu diketahui
bahwa interpretasi pada uji serologis selalu didasarkan pada usia, riwayat vaksin dan status
klinis hewan sehingga akan memberikan alasan yang jelas pada hasil false-positive dan
false-negative. Uji untuk mendeteksi antibodi serum sebagai bukti paparan antigen tertentu
mungkin menghasilkan false-negative apabila hewan mengalami kondisi seperti dibawah
ini:

1. Hewan memiliki titer antibodi yang sangat rendah sehingga uji tidak cukup sensitif
untuk mendeteksi antibodi.
2. Hewan yang diuji baru saja terpapar antigen sehingga belum cukup waktu untuk
mengembangkan antibodi serum.
3. Hewan tidak mampu membuat respon antibodi yang disebabkan oleh neonatal,
mengalami imunodefisiensi, atau imunosupresi.
Sedangkan, hasil uji akan menunjukkan false-positive apabila hewan mengalami
kondisi seperti dibawah ini:

1. Hewan memiliki antibodi reaktif silang sehingga menimbulkan respon antigen yang
tidak terkait dalam memberikan beberapa epitop pada antigen yang diinginkan.
2. Hewan yang telah divaksinasi dengan patogen yang dilemahkan.
3. Hewan memiliki respon serologis yang persisten terhadap antigen yang telah ditemui
beberapa waktu lalu, tetapi tidak lagi relevan dengan status penyakit saat ini.
Aglutinasi
Aglutinasi adalah prosedur sederhana yang terjadi ketika antibodi mendeteksi
antigen dan mengikatnya yang akhirnya menyebabkan sejumlah besar antigen dan antibodi
yang berkelompok. Aglutinasi biasanya digunakan untuk menguji sampel (misalnya sel
darah merah, bakteri) untuk jenis patogen tertentu. Manik-manik lateks dilapisi antibodi
dan tetes sampel dimasukkan ke dalam campuran manik antibodi. Jika tes positif untuk
patogen, aglutinasi akan terjadi dan manik-manik akan menggumpal bersama dengan
antigen.

Gambar 37. Produksi antiserum. Untuk menghasilkan antiserum yang mampu mengikat
IgG anjing darah diambil dari anjing, IgG secara biokimia diekstrak dari
serum dan IgG tersebut kemudian disuntikkan ke kelinci. Setelah kelinci
meningkatkan respons imun, serum yang diambil dari kelinci akan
mengandung antibodi khusus kelinci untuk IgG anjing.
Gambar 38. Aglutinasi. Tiga well di kartu tersebut pertama kali diberikan penambahan
pengencer. Setetes darah dari kucing tersebut ditambahkan ke setiap well dan
dicampur dengan spatula. Well paling atas tidak mengandung antiserum dan
berfungsi sebagai kontrol untuk memastikan eritrosit dalam sampel darah
tidak menggumpal secara spontan. Well kedua diisi dengan antiserum yang
mampu mendeteksi antigen golongan darah kucing A dan well ketiga dengan
reagen yang mampu mendeteksi antigen golongan darah kucing B. Dalam tes
ini, sel darah merah kucing mengekspresikan A tetapi tidak B, seperti yang
terlihat oleh penggumpalan (aglutinasi) sel darah merah di well kedua setelah
inkubasi. Karena itu kucing itu bergolongan darah A.
Precipitation
Uji ini untuk mengetahui kemampuan antibodi untuk melakukan presipitasi pada
antigen di dalam cairan atau media agar gel. Uji ini masih banyak digunakan untuk
diagnosis kasus penyakit infeksius pada dunia kedokteran hewan (39). Pembentukan
presipitasi tergantung dari antibodi dan antigen yang mempunyai konsentrasi optimum
untuk membentuk struktur klasik “lattice-like”.

Gambar 39. Presipitasi pada media agar masih sering digunakan untuk diagnosis penyakit
infeksius. Agar yang berada di dalam cawan petri diberikan beberapa lubang.
Pada gambar tersebut uji presipitasi dilakukan untuk mendeteksi serum
antibodi Aspergillus fumigatus pada anjing yang diduga terinfeksi nasal
aspergillosis. Antigen Aspergillus dimasukkan ke dalam lubang bagian tengah
dan lubang sekeliling diberikan serum dari anjing yang berbeda. Gel yang
telah disiapkan diinkubasi selama 24 jam dan pada saat inkubasi akan terjadi
proses difusi antigen menuju lubang sekeliling yang berisi antibodi. Garis
putih yang merupakan hasil presipitasi gel yang terdapat antibodi dan antigen
pada konsentrasi yang optimum. Teknik ini juga disebut agar gel diffusion
(AGD) atau teknik Ouchterlony. Empat anjing pada penelitian ini mempunyai
serum antibodi terhadap Aspergillus .
Complement Fixation Test (CFT)
CFT merupakan uji yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit menular seperti
sapi yang terkena antigen Brucella. Prinsip kerja yaitu antigen ditambahkan ke tabung a
yang berisi serum dari hewan uji, jika hasil positif maka akan terbentuk kompleks antigen-
antibodi. Sumber komplemen seperti plasma segar ditambahkan pada tabung dan ketika
ditemukan adanya komplek antigen-antibodi maka komplemen akan teraktivasi. Jika hasil
negatif maka komplemen tidak akan teraktivasi. Kompleks antigen-antibodi tidak dapat
dilihat oleh mata, sehingga uji ini membutuhkan indicator untuk mengetahui hasilnya. Uji
ini menggunakan eritosit (kebanyakan yang dipakai adalah eritosit domba) yang dilapisi
dengan anti eritrosit (antiserum). Antiserum adalah eritrosit yang dilapisi oleh antibody dan
ditambahkan ke tabung CFT. Hasil seronegatif hewan akan menunjukkan hemolisis
eritrosit, kurangnya hemolisis akan menunjukkan reaksi postif dilihat pada Gambar 40.

Gambar 40. Complement fixation test.


Hemaglutinasi inhibisi (HI)
Uji HAI merupakan uji yang sering digunakan dalan virologi. Prinsipnya yaitu
dengan melihat kemampuan partikel virus untuk menyebabkan aglutinasi eritrosit pada
hewan tertentu. Jika pasien memiliki antibodi terhadap virus maka akan menghambat
kemampuan virus dalam menghemaglutinasi eritrosit.

ELISA Untuk Deteksi Antibodi


Dalam pengaturan laboratorium, ELISA paling sering dilakukan di 96 well
microtitration plate dengan flat bottom. Contoh penggunaan ELISA untuk mendeteksi
antibodi serum terlihat pada Gambar 42a-d.

Gambar 42 a-d ELISA untuk mendeteksi antibodi serum. (a) Anjing dengan hidung
bernanah ini mungkin memiliki sejumlah gangguan saluran pernapasan
bagian atas. Salah satu diagnosis banding adalah infeksi rongga hidung
atau sinus oleh jamur Aspergillus fumigatus.

Salah satu prosedur diagnostik yang digunakan untuk menentukan apakah ada
infeksi ini adalah deteksi antibodi serum terhadap Aspergillus. (b) Dalam teknik ELISA,
antigen Aspergillus dilapisi ke dalam lubang nampan mikrotitrasi dan area sumur plastik
yang tidak dilapisi oleh antigen 'diblokir' dengan protein yang tidak relevan. Serum dari
pasien (dengan pengenceran yang sesuai) ditambahkan ke dalam sumur dan diinkubasi.
Setelah mencuci protein serum yang tidak terikat, antiserum kelinci khusus untuk IgG
anjing yang secara kimiawi terkonjugasi dengan enzim alkali fosfatase ditambahkan ke
setiap sumur untuk periode inkubasi kedua. Antiserum yang tidak terikat dicuci dari sumur,
dan substrat yang sesuai ditambahkan untuk menghasilkan perubahan warna (kuning) pada
sumur positif. (c) Pelat ELISA setelah pengujian selesai. Sumur dengan pewarnaan kuning
merupakan reaksi positif. Pembaca pelat ELISA digunakan untuk menentukan secara
spektrofotometri absorbansi (kerapatan optik) pada panjang gelombang cahaya tertentu. (d)
Dalam penelitian ini, serum dari anjing normal (CTRL) dan anjing dengan aspergillosis
hidung (ASP), tumor hidung (NT) atau rinitis limfoplasma idiopatik (LPR) diuji dalam
ELISA. ELISA ini jelas memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang baik untuk diagnosis
aspergillosis nasal anjing.
Antigen yang diinginkan pertama-tama dilapisi ke dasar flat bottom dan protein
kedua yang tidak terkait dapat digunakan untuk memblokir area “bebas plastik” yang tidak
dilapisi oleh antigen. Serum yang diencerkan dengan benar dari pasien ditambahkan ke
satu well serum kontrol positif dan negatif yang mungkin juga digunakan. Jika serum uji
mengandung antibodi yang relevan, antibodi ini akan mengikat antigen pada fase primer
reaksi. Karena antigen dan antibodi tidak terlihat oleh mata, sistem deteksi sekunder
diperlukan untuk menentukan apakah pengikatan tersebut telah terjadi. Dalam hal ini,
setelah antibodi yang tidak terikat dicuci dari well, antiserum yang diencerkan dengan tepat
ditambahkan imunoglobulin spesifik yang diinginkan (misalnya Ig G) dari spesies pasien.
Dalam ELISA, antibodi ini secara kimiawi dikonjugasikan ke enzim. Berbagai enzim dapat
digunakan, tetapi yang paling umum digunakan adalah alkali fosfatase. Jika serum pasien
mengandung antibodi khusus untuk antigen yang diinginkan, antiserum yang terkait
dengan enzim akan mendeteksi dan mengikat imunoglobulin pasien tersebut (pada antigen
yang terikat). Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan antiserum sekunder
terkonjugasi yang tidak terikat, substrat yang sesuai ditambahkan ke setiap well untuk
memulai perubahan warna yang diukur secara spektrofotometri pada titik waktu tertentu
ketika reaksi enzim-substrat mungkin dengan sengaja dihentikan. Perubahan warna yang
sama akan terjadi pada well yang diinkubasi dengan serum kontrol positif, tetapi tidak ada
warna yang berkembang pada kontrol negatif. Kondisi optimal untuk kinerja ELISA
(misalnya pengenceran antigen, serum dan antiserum, waktu dan suhu inkubasi) harus
ditentukan terlebih dahulu secara eksperimental.

Penggunaan ELISA untuk Deteksi Antigen


ELISA dapat digunakan untuk melakukan deteksi dan kuantifikasi antigen pada
sampel cairan yang berasal dari agen infeksius atau menjadi molekul inang
(immunoglobulin atau sitokin). ELISA berperan untuk melakukan penangkapan. Pada well
atau sumuran dari mikrotitrasi dilapisi oleh antibody (antiserum) khusus yang disesuaikan
dengan antigen yang diinginkan. Selanjutnya ditambahkan sampel uji ke dalam sumuran
dan jika terdapat antigen yang sesuai maka akan ditangkap dan diikat oleh antiserum,
untuk antigen yang tidak terikat maka dilakukan pencucian pada sumuran. Interaksi ini
dapat dideteksi dengan mekalukan deteksi sekunder. Pada ELISA, antibody kedua juga
merupakan antibody yang spesifik terhadap antige yang dibutuhkan , namun umumnya
dirancang untuk berinteraksi dengan epitope yang terpisah yang sudah diterikat pada
antiserum primer. Kedua antibody ini secara kimiawi dapat dikonjugasikan dengan enzim.
Setelahnya dilakukan proses inkubasi dan pencucian kembali. Ditambahkan subtrat yang
sesuai untuk menimbulkan perubahan warna pada sumuran positif. Beberapa jenis ELISA
agar dapat memanfaatkan proses deteksi yang lebih kompleks maka ditambhakan
antiserum sekunder dan antiserum tersier yang mengandung enzim.

Gambar 43 (a)(b) dilakukan percobaan untuk mengetahui konsentrasi IgA dalam feses
pada beberapa ras anjing. (a) sumuran dari pelat microtiter dilapisi oleh
antiserum khusus untuk IgA anjing (1). Dilakukan blok dengan
ireelevant protein (2). Ditambahkan ekstrak dari sampel fese anjing ke
setiap sumuran. IgA yang terdapat pada sampel akan ditangkap oleh
antiserum (3). Sumuran dicuci untuk menghilangkan ikatan protein
feses, IgA yang ditangkap dideteksi dengan antiserum sekunder (4).
Ditambahkan antiserum tersier secara kimiawi terkonjugasi enzim (5).
Dilakukan pencucian padauntuk melepas antiserum sekunder, lalu
ditambahkan substrat untuk menghasilkan perubahan warna yang akan
diukur secara spektrofotometri (6). (b) Grafik ini menyajikan
pengukuran IgA pada feses dari beberapa ras anjing yang berbeda.
Miniatur Schnauzer memiliki kadar IgA feses yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan German Shepherd Dogs (GSDs), Labradors atau
Beagle. (Data berasal dari Peters IR, Calvert EL, Hall EJ dkk. (2004)
Measurement of immunoglobulin concentrations in the feces of healthy
dogs. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology 11:841–848).
Imunokromatografi
Prinsip ELISA merupakan tes serodiagnostik yang cepat, internal, dan itu telah
dipergunakan di dunia dokter hewan. Salah satu varian dari jenis tes ini adalah rapid
imunomigration atau sistem imunokromatografi yang ditunjukkan pada gambar 44a-c
Western Blotting
Penyempurnaan lebih lanjut dari ELISA adalah proses western blotting, yang
memberikan informasi spesifik tentang protein spesifik untuk ikatan antibodi pasien (45).
Hail ini memiliki relevansi khusus dalam penyakit menular dan dapat digunakan untuk
membedakan antara antibodi vaksin dan antibodi yang dihasilkan melalui paparan patogen
lapangan. Pada metode westteren blotting, campuran antigenik yang dimaksud dipisahkan
secara elektroforesis (menurut berat molekul) pada gel akrilamida dan protein yang
dipisahkan kemudian ditransfer (blotted) ke membran (misalnya nitroselulosa). Membran
dapat dipotong strip kecil, dan setiap strip diinkubasi (setelah blocking) dengan serum
pasien yang diencerkan. Antibodi serum mengikat secara selektif ke spesifik determinan
antigenik, dan pengikatan ini divisualisasikan dengan menggunakan antiserum sekunder
yang terkonjugasi ke enzim seperti untuk ELISA. Reaksi akhirnya ditunjukkan melalui
perubahan warna atau emisi cahaya (Chemiluminescence). Gambar 44 a-c.

Gambar 44a – c Imunokromatografi. (a) Prinsip imunokromatografi digunakan dalam hal


ini kit uji yang diproduksi secara komersial, yang menentukan apakah
hewan memiliki serum antibodi terhadap Borrelia, penyebabnya penyakit
Lyme. (b) Setetes serum pasien dimasukkan ke dalam sumur A di mana
akan menemukan kompleks gold particles dan protein stafilokokus A
(SPA). SPA memiliki kemampuan untuk mengikat IgG menjadi suatu
kompleks Antibodi SPA – gold – IgG terbentuk dan bermigrasi bersama
strip membran yang memanjang melalui plastik kaset dari sumur A ke C.
(c) Ketika Kompleks SPA – gold – IgG mencapai jendela B, maka akan
bertemu antigen Borrelia dan jika IgG memilikinya spesifisitas untuk
bakteri ini, kompleksnya akan diendapkan dan membentuk garis yang
terlihat di jendela B. The garis yang terbentuk di jendela C adalah kontrol
positif pasien yang menunjukkan bahwa tes berfungsi dengan benar.

Gambar 45. Western Blotting. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah IgA
anjing berhubungan dengan komponen sekretori. Tahap pertama, serangkaian
protein dipisahkan secara elektroforesis oleh massa molekul dalam gel
akrilamida. Jalur bernomor dalam gel berisi sampel berikut: (1) komponen
sekretori manusia yang dimurnikan, (2) IgA sekretori manusia yang
dimurnikan, (3) empedu anjing, (4) air liur anjing, (5) serum anjing, (6) massa
molekul protein marker, dan (7) empedu anjing. Protein yang dipisahkan
kemudian ditransfer secara elektroforesis ke membran. Setelah tahap
blocking, membran diperiksa dengan antiserum khusus untuk komponen
sekretori manusia dan kemudian antiserum sekunder yang dikonjugasikan
menjadi alkali fosfatase. Pengikatan antiserum primer dikenali dengan
penambahan substrat yang menghasilkan perubahan warna pada membran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antiserum terhadap komponen sekretori
manusia bereaksi silang serta ekuivalen dengan molekul anjing, dan bahwa
saliva anjing dan IgA bilier memiliki komponen sekretorik yang tidak
terdapat dalam sirkulasi IgA (serum).

Poin Penting
1. Uji serologi adalah studi mengenai ikatan antigen dan antibodi secara in vitro yang
banyak diterapkan dalam membantu diagnosa dalam bidang kedokteran hewan.
2. Kadar antibody di dalam sample serum dinamakan titer
3. Uji serologis kebanyakan menggunakan antiserum yang dibuat dengan
menginduksi hewan dengan antigen yang terdiri dari serum spesifik dari hewan
lainnya.
4. Sensitivitas yang dilakukan pada uji diagnostic adalah probabilitas kebenaran,
sedangkan spesifisitas adalah probabilitas kekhususan dalam mengidentifikasi
suatu penyakit
5. Hasil false positif dan negative mungin terjadi dalam uji serologis
6. Uji aglutinasi dan presipitasi merupakan uji yang digunakan untuk melihat ikatan
langsung dari antigen dan antibody, sedangkan CFT, tes HAI, tes IFA, ELISA,
Imunokromatografi, dan western blott merupakan uji yang digunakan untuk melihat
ikatan antigen dan antibody namun memerlukan suatu indikator dalam proses
identifikasinya.

You might also like