Digital - 20251221-RB00S443j-Jong Sumatranen

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 152

fib

2010-04-08 11:45:04
JONG SUMATRANEN BOND : --------------------------------------------
DARI NASIONALISME ETNIK MENUJU NASIONALISME
Silakan klik bookmarks untuk link ke
halaman isi
INDONESIA (1917 -1931)

TESIS

Diajukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora


Pada Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahun
Budaya
Universitas Indonesia

EDY SUWARDI
670404011X

UNIVERSITAS INDONESIA
2007

Jong Sumatranen..., Edy Suwardi, FIB UI, 2007


much of the modern literature on Indonesia has been coloured by the pervasive but
elusive idea of the nation. Even writers on precolonial Indonesia have sometimes been
influenced by this consept, applying it to indigenous polities and ethnic groups. Both Reid
(1969:250) and Syamsuddin (1985:39), for example, have described precolonial Aceh as
a nation. Resink (1968) has written extensively on 'nationality' and 'international relation'
in nineteenth-century Indonesia.
Some authors have also seen contemporary Indonesia as a multinational
phenomenon. Bachtiar (1974:7), defining nations as 'ethnic societal communities' argues
that 'there are many old nations in Indonesia'. The geographer Missen (1972:89) agrees
that "in a sense, Indonesia is still a collection of local nations' . Multiple nations are
conspicuously absent, however, from studies of the period in which Indonesians began to
define their own nationhood in nationalist writings and movements. Nobody asks whether
early political assosiations like Pasundan and Sarekat Ambon indicated the awakening of
Sundanese or Ambonnese nations.. Sometimes such organizations have been described
in etnic term - Petrus Blumb erger (1931:17), for instance, treats them as 'modern
movements of a racial or etnic nature'. Alternatively, they have attreacted regional
terminologies. . Pluvier (1953:79) deals with them under rubric of 'regional particularism'.
O'Malley (1980:610) describes them as 'particularist organistations relying upon 'regiopnal
bases' and dwelling upon local interests'. Others have discussed them in terms of
straigforward 'regionalism' (Pringgodigdo 1964:14; klooster 1985:32). At most, they are
represented as 'local nationalism' or reghional nationalism', with the implication of
subordinacy to the genuine 'national nationalisms'.
Indeed, if such movements are allowed any greater dignity, it is usually because they
have been subsumed within the grander story of Indonesian nationalism. This tendency is
epitomized by the fact that Nagazumi’s authoritative work on the early years of Budi
Utomo (1972) is entitled The Dawn of Indonesian nationalism. Budi Utomo, as Nagazumi
himself shows, was an explicitly Javanese organization which appeared before the idea of
an Indonesian nation had even been moved. Despite some initial ambiguity in ethnic and
geographic identification, its leaders consistenly refused to extend the scope of the group
to embrace tanah sabrang, the land overseas. At one point, even Nagazumi (1972:54) is
obliged to describe its official standpoint as ‘Javanese nastionalism’. And Reid
(11979:282-6) and Van Mier (1995:19:64, 92-128) have shown, an explicit, exclusive
Javanese nationalism was indeed current among many Javanese intellectuals in the
years before 1920. It reached a considerable degree of elaboration as a rejection both of
Dutch cultural dominance and of the artificial political framework created by the colonial
state.

Terjemaahan :

Sebagian besar literatur yang modern pada [atas] Indonesia telah diwarnai oleh yang
menyebar hanyalah gagasan yang terabaikan bangsa [itu]. Bahkan para penulis pada
[atas] Precolonial Indonesia sudah kadang-kadang mempengaruhi oleh consept ini,
penerapan [itu] ke pemerintahan yang berasal dari/pribumi dan kelompok yang kesukuan.
Kedua-Duanya Orang yang tak punya naluri kembali ( 1969:250) dan Syamsuddin
( 1985:39), sebagai contoh, sudah uraikan Precolonial Aceh sebagai bangsa. Karam
kembali ( 1968) telah menulis secara ekstensif terpasang ' kebangsaan' dan ' hubungan
yang internasional' di (dalam) nineteenth-century Indonesia. Beberapa pengarang juga
telah melihat Indonesia yang jaman ini sebagai peristiwa yang multinasional. Bachtiar
( 1974:7), melukiskan negara-negara [sebagai/ketika] ' masyarakat masyarakat kesukuan'
membantah bahwa ' ada banyak negara-negara yang tua di (dalam) Indonesia'. Missen
Ahli bumi [itu] ( 1972:89) setuju bahwa " dalam beberapa hal, Indonesia masih suatu
koleksi dari lokal milik bangsa. Berbagai negara-negara adalah dengan jelas absen,
bagaimanapun, dari studi dari periode di mana Indonesians mulai untuk menggambarkan
kedudukan sebagai negara merdeka mereka sendiri di (dalam) tulisan nasionalis dan
pergerakan. Tidak Ada Orang [minta;tanya] apakah awal politis assosiations seperti
Pasundan dan Sarekat Ambon yang ditandai kebangkitan dari Sundanese/Orang Sunda
atau Ambonnese negara-negara.. Kadang-Kadang organisasi seperti (itu) telah diuraikan
di (dalam) istilah yang etnic- Petrus Blumb ergon ( 1931:17), sebagai contoh, perlakukan
[mereka/nya] sebagai ' moderen bergeraknya suatu sifat yang etnic atau rasial'. Sebagai
alternatif, mereka mempunyai istilah regional attreacted.. Pluvier ( 1953:79) hadapi
dengan [mereka/nya] di bawah rubrik dari ' partikularisme regional'. O'Malley ( 1980:610)
menjeniskan [mereka/nya] ' particularist organistations mempercayakan [atas/ketika] '
regiopnal basis' dan tinggal [atas/ketika] minat yang lokal'. Others/(Orang) Yang Lain
sudah membahas [mereka/nya] dalam kaitan dengan straigforward ' kedaerahan'
( Pringgodigdo 1964:14; klooster 1985:32). Paling banyak, mereka diwakili [ketika;seperti]
' nasionalisme lokal' atau reghional nasionalisme', dengan implikasi dari subordinacy
[bagi/kepada] yang asli ' nasionalisme yang nasional'. Tentu saja, jika pergerakan seperti
(itu) diijinkan manapun martabat yang lebih besar, [itu] adalah pada umumnya sebab
mereka telah digolongkan di dalam agung cerita dari Nasionalisme Indonesia.

Tentu saja, jika pergerakan seperti (itu) diijinkan manapun martabat yang lebih besar,
[itu] adalah pada umumnya sebab mereka telah digolongkan di dalam agung cerita dari
Nasionalisme Indonesia. Kecenderungan ini dilambangkan oleh fakta bahwa pekerjaan
berwenang/berwibawa Nagazumi dengan diam-diam awal tahun dari Budi Utomo ( 1972)
diberi hak/judul Dinihari dari Nasionalisme Indonesia. Budi Utomo, [sebagai/ketika/sebab]
Nagazumi [sen]dirinya pertunjukan, adalah suatu dengan tegas Jawa organisasi yang
nampak [sebelum/di depan] gagasan untuk suatu Bangsa Indonesia yang bahkan telah
yang dipindahkan. Di samping beberapa memaraf kerancuan di (dalam) identifikasi yang
ilmu bumi dan kesukuan, para pemimpin nya [yang] [yang] [yang] consistenly menolak
untuk meluas lingkup dari menggolongkan untuk memeluk tanah sabrang, daratan luar
negeri. Sependapat menunjuk, bahkan Nagazumi ( 1972:54) boleh;berkewajiban
menjeniskan sudut pandang pejabat nya ' Jawa nastionalism'. Dan Orang yang tak punya
naluri kembali ( 11979:282-6) dan Van Mier ( 1995:19:64, 92-128) sudah menunjukkan,
suatu Jawa nasionalisme yang eksklusif tegas/eksplisit adalah tentu saja sekarang di
antara banyak Jawa intelektual di tahun [sebelum/di depan] 1920. [Itu] mencapai sebuah
derajad yang bisa dipertanggung jawabkan dari pengembangan sebagai penolakan
kedua-duanya dari kekuasaan Dutch/Belanda yang budaya dan [tentang] kerangka politis
tiruan yang diciptakan oleh status kolonial.

n effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.

What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.

Historical teleology

n effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.

What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.

Historical teleology

n effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.

What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.

Historical teleology
In effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.

What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.

Historical teleology

Pada hakekatnya, kekolotan nasionalis yang tertentu, yang [itu] dari kesatuan Kedudukan
sebagai negara merdeka Indonesia, telah mendominasi historigrafy dari ' nasional yang
awekwning di (dalam) Indonesia. Konsep dari suatu Bangsa Indonesia- walaupun [ia]
tidak pada mulanya membawa nama itu- adalah tak dapat disangkal dari suatu secara
mengerut berpengaruh dari sekitar 1912 maju ke depan. Tidak pernah, conflation
Nagazumi dari ' nasionalisme di (dalam) Indonesia dengan , Nasionalisme Indonesia'
Represnt [adalah] suatu masalah yang tersebar luas di (dalam) penulisan sejarah yang
ada. yang dikombinasikan Dengan penggunaan yang tanpa kritik dari istilah dari bangsa
dan daerah, [itu] telah sering mencegah [kita/kami] dari mencoba untuk memahami '
nasionalisme yang regional' dari awal abad ke duapuluh candi-candi tua itu masih dapat
dilihat, tetapi memiliki terminologi. Di (dalam) bab I yang berikut akan menunjukkan
bagaimana satu pergerakan seperti (itu) lebih nasional dibanding regional, dan mewakili
puncak [itu], sebanyak . seperti permulaan, dari suatu proses dari formasi bangsa. Apa
yang buatan pernyataan seperti itu nampak ganjil bukanlah kredibilitas dari sejarah
nasional unitarian_ Majapahit dan semua_ ditulis dengan Nasionalis Indonesia selama
dan setelah tahun peperangan. Sebagian besar, [itu] adalah pengaruh dari suatu sering
kerangka tak diakui yang konseptual yang ditentukan oleh kenyataan dari Nasional
Indonesia masa kini menyatakan. Kenyataan ini mempunyai suatu dorongan yang kuat
mempengaruhi [atas/ketika] pandangan [kita/kami] dari kolonial, dan bahkan precolonial,
sejarah. Istilah yang geografis dari Indonesia yang modern telah (menjadi) suatu sumber
yang komplementer tentang penempatan secara salah, dan suatu kesukaran lebih lanjut
berasal dari daya gerak moral dari itu kekolotan nasional dibentuk/mapan. Permasalahan
ini adalah mendiskusikan berharga, karena mereka menggambarkan [bunga/minat] dan
arti dari studi atau nasionalisme dan kedaerahan di bawah kolonial kondisi-kondisi.
Teleologi yang histories

Historical teleology

The successful struggle for political independence from 1945 to 1949 was fought, at
least as far as its leaders were concerned, in name of a unified Indonesian nation.
Historians are attentive to victory, and it is hard to believe that if this particular victory had
not transpired, the tiny Indonesian nationalist partie of the period from 1927 to 1942 would
subsequently have attractive so much scholarly attention. The present, of course, must
grow out of the past. The national revolution built upon tendencies latent in the prewar
Nederlands Indies, and it would be perverse to deny its retrospective value in the
interpretation of what preceded it, or indeed to deny that chain of connected events links
the foundation of Budi Utomo with the declaration of independence. But events are
always interconnected, and the question for the student of prewar Indonesia is whether
this particular chain really reflects the temper of the intervening years.

Perjuangan yang sukses untuk kemerdekaan politis dari 1945 sampai 1949 telah
dilancarkan, sedikitnya sejauh para pemimpin nya adalah terkait, di (dalam) nama dari
suatu mempersatukan Bangsa Indonesia. Sejarawan adalah penuh perhatian ke
kemenangan, dan [itu] adalah susah untuk percaya bahwa jika kemenangan tertentu ini
tidak [pernah] berlangsung, kecil Partie nasionalis Indonesia dari periode dari 1927
sampai 1942 akan sesudah itu mempunyai menarik banyak perhatian yang ilmiah.
Hadiah, tentu saja, harus tumbuh ke luar dari masa lalu. Revolusi yang nasional
membangun [atas/ketika] kecenderungan tersembunyi di yang sebelum perang
Nederlands Indies, dan [itu] akan bersifat suka menentang untuk menyangkal nilai yang
retrospektif nya di penafsiran dari apa [yang] didahului itu, atau tentu saja menyangkal
rantai itu dari lapangan untuk bermain golf peristiwa dihubungkan pondasi bagi Budi
Utomo dengan pemyataan kemerdekaan [itu]. Tetapi peristiwa adalah selalu saling
behubungan, dan pertanyaan untuk siswa dari Indonesia yang sebelum perang adalah
apakah rantai tertentu ini [yang] benar-benar mencerminkan perangai/penusuk dari
campurtangan tahun.

‘Indonesia before 1942’, Reid has written , ‘was less clearly or consciously a nation than most
colinies’ (Reid 1986:196). It is perhaps unnecessary here to reirate the low level of political
mobilization in the late colonial Indies. State pressure, direct and indirect, helped restrict the
membership of radical parties, and the socially marginal character of mo9st nationalis groups is
widely acknowleged. Less well know, however, is the extent to which the organization expressing
local identities, interests and causes were the most successful mobilizers.
LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini telah diujikan pada hari Senin tanggal 7 Januari 2008, pukuL 12.30 -
14.30 WIB dengan susunan penguji sebagai berikut :

1. Dr. Priyanto Wibowo


Ketua Penguji ……………………..

2. Prof. Dr. R.Z. Leirissa


Pembimbing/penguji ……………………..

3. Dr. Magdalia Alfian


Pembaca/penguji ………………………

4. Wardiningsih, Ph.D
Penguji ………………………

5. Dr. Suharto
Penguji ………………………

6. Tri Wahyuning M. Irsyam, M.Si


Panitera .....................................

Disahkan oleh

Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Dekan


Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahun Budaya
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Universitas Indonesia

Dr. Priyanto Wibowo Prof. Dr. Ida Sundari Husen


NIP 131689560

Jong Sumatranen..., Edy Suwardi, FIB UI, 2007


LEMBAR PERNYATAAN

Seluruh isi tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

Depok, 7 Januari 2008

Penulis

Edy Suwardi
NPM 670404011X
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena

atas rahmat dan karunia yang Allah berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Leirissa,

yang telah memberi waktu untuk berdiskusi, mengarahkan dan membimbing,

sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud dengan baik. Begitu juga kepada Ibu

Dr. Magdalia Alfian yang di sela-sela kesibukannya sebagai Dosen dan Direktur

Nilai Sejarah pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, telah menyempatkan

berdiskusi, mengarahkan dan membimbing serta membaca dan mengoreksi tesis

ini. Atas perbaikannya penulis sampaikan terima kasih.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Prof. Dr.

Susanto Zuhdi, Bu Titi, Bu Lili dan para Dosen serta karyawan di lingkungan

Departemen Sejarah FIB, Karyawan Perpustakaan FIB, Perpustakaan Pusat UI-

Depok, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, Perpustakaan Museum Sumpah

Pemuda dan Perpustakaan Museum Kebangkitan Nasional.

Penulis juga tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada istri tercinta

yang dengan sabar memberi semangat selama perkuliahan hingga penulisan tesis

ini. Begitu juga kepada teman-teman sekuliah seperti Pak Dasman Djamaludin,

Bu Yasmis, Dwiana, Vera dan lain-lain. Kehadiran mereka semasa perkuliahan

maupun dalam proses penulisan tesis ini telah memberikan semangat tersendiri

bagi penulis sehingga tesis ini dapat selesai.

Jong Sumatranen..., Edy Suwardi, FIB UI, 2007


Demikian juga kepada beberapa pihak yang tidak dapat disebutkan satu per

satu atas segala motivasi dan bantuannya sehingga penulis berhasil

menyelesaikan tesis ini.

Penulis sadar, bahwa tesis ini jauh dari sempurna, hal ini karena keterbatasan

kemampuan dan waktu yang penulis miliki. Oleh karena itu untuk menutupi

kekurangan yang ada segala kritik membangun penulis terima dengan senang hati.

Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kemajuan

ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu sejarah.

Depok, 19 Desember 2007

Edy Suwardi
DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................iii

ABSTRAK.................................................................................................................iv

DAFTAR SINGKATAN...........................................................................................vii

KATA PENGANTAR................................................................................................ix

DAFTAR ISI................................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Permasalahan 5

C. Tujuan Penelitian….................................................................................8

D. Kerangka Teori........................................................................................9

E. Metodologi Pendekatan...........................................................................13

G. Sumber Penelitian..................................................................................14

H. Sistematika Penulisan.............................................................................15

BAB II ORGANISASI-ORGANISASI PEMUDA MASA PERGERAKAN

NASIONAL...............................................................................................16

A. Peranan Pemuda Pada Masa Awal Pergerakan....................................16

B. Berdirinya Jong Sumatranen Bond.......................................................29

BAB III PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI JSB..........................43

A. Masalah Keanggotaan dan Organisasi..................................................43

B. Permasalahan Budaya..........................................................................60
BAB IV KIPRAH JONG SUMATRANEN BOND..............................................73

A. JSB Pada Kongres Pemuda Pertama...................................................73

B. JSB Pada Kongres Pemuda Kedua.....................................................84

C. JSB di dalam Indonesia Muda.............................................................90

BAB V KESIMPULAN.........................................................................................99

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................103

LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN :

BO : Boedi Oetomo

BIS : Bandungse Inlandse Studerendenbond

ELS : Europesche Legere School

HBS : Hoogere Burger School

HIS : Holand Inland School

IC : Indonesische Clubgebouw

IM : Indonesia Muda

IP : Indische Partij

IV (1) : Indische Vereeniging

IV (2) : Indonesische Vereeniging

JIB : Jong Islamieten Bond

JJ : Jong Java

JJB : Jong Batak Bond

JSB : Jong Sumatranen Bond

KWS : Kweek School

KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat

MULO : Meer Uitgebrerd Lager Onderwijs

NO : Nahdlatoel Oelama

PI : Perhimpunan Indonesia

PERPRI : Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia

PERTIMOE : Persatoean Timoer Moeda

PPPI : Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia


PPPK : Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen

PPK : Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan

PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

PPTS : Persatuan Pemuda Taman Siswa

PKI : Partai Komunis Indonesia

PKN : Pakempalan Kawulo Ngajogjakarta

PNI : Partai Nasional Indonesia

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

RTA : Raden Tumenggung Ario

SAAM : Sjarikat Adat Alam Minangkabau

SDI : Sarekat Dagang Islam

SI : Sarekat Islam

SPI : Suluh Pemuda Indonesia

STOVIA : School Tot Opleiding Van Inlands Artsen

TKD : Tri Koro Dharmo


IKHTISAR

EDY SUWARDI. Jong Sumatranen Bond : dari Nasionalisme Etnik ke


Nasionalisme Indonesia (1917-1930). (di bawah bimbingan Prof. Dr. R.Z. Leirissa
dan Dr. Magdalia Alfian). 108 + xx + 22 Lampiran. Program Studi Ilmu Sejarah
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Depok, 2007.

Boedi Oetomo (BO) adalah organisasi pergerakan yang didirikan oleh


pemuda pelajar STOVIA pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya organisasi ini
merintis lahirnya organisasi-organisasi pergerakan lainnya seperti Serikat Islam
(SI), Muhammadiyah, Indische Partij (IP) dan lain lain. Juga munculnya
organisasi pemuda kedaerahan seperti Tri Koro Dharmo, Jong Sumatranen Bond
(JSB), Jong Minahasa dan lain-lain merupakan dampak dari berdirinya BO.
JSB merupakan salah satu organisasi pergerakan pemuda, didirikan pada
tanggal 9 Desember 1917 oleh pemuda pelajar Sumatera yang sedang belajar di
Jakarta. JSB memiliki tujuan sangat berbeda dengan tujuan organisasi-organisasi
pemuda yang ada pada masa itu. Perbedaan itu terlihat dari Anggaran Dasarnya
yang yang menyatakan bahwa JSB bertujuan menumbuhkan kesadaran di antara
para anggotanya dan menjaga agar mereka terpanggil untuk tampil sebagai
pemimpin dan pemandu rakyatnya. Tujuan tersebut dapat terwujud dan dibuktikan
oleh para anggotanya yang kebanyakan orang Minangkabau yang tampil menjadi
tokoh-tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Muhammad Yamin dan lain-lain.
Melalui wadah organisasi dan pemikiran tokoh-tokohnya, JSB dalam arah
gerakannya mengalami transformasi atau perubahan, yang semula bersifat sangat
lokal atau kedaerahan kemudian menjadi yang bersifat nasional Indonesia dan itu
juga terjadi pada penamaan organisasi yang semula Jong Sumtranen Bond
berubah menjadi Pemuda Sumatra. Perubahan gerakan itu sudah tampak sejak
awal perkembangannya untuk mencoba membentuk federasi dengan Jong Java,
kemudian pada Kongres Pemuda pertama tahun 1926 mengupayakan bahasa
Melayu menjadi Bahasa Persatuan, dan secara tegas pada Kongres Pemuda Kedua
tahun 1928 bahasa Melayu yang sebagian besar dipergunakan oleh masyarakat
Sumatera menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kesatuan, dan
terakhir memfusi dalam Indonesia Muda tahun 1931 sebagai wujud pedulinya JSB
terhadap persatuan dan kesatuan pemuda Indonesia.
Jadi dalam pergerakannya JSB yang dipelopori oleh pemuda pelajar
Minangkabau tetap konsisten, dari awal tujuannya untuk kemajuan Sumatera,
akhirnya untuk kepentingan Bangsa Indonesia, tidak untuk kepentingan suku
tertentu atau wilayah tertentu.
ABSTRACT

EDY SUWARDI, Jong Somatranen Bond: From ethnic Nationalism To Indonesia


Nationalism (1917- 1930)(Under supervised by Pof. Dr. R.Z. Leirissa and Dr.
magdalia Alfian). 108 pages + xx + 22 appendices. Post Graduate Program Studi
in Historical Science Program, Fakulty of Cultural Science, 2007

Boedi Oetomo (BO) is movement organization established by STOVIA


student youth on May 20th, 1908. The establishment of this organization
pioneered the birth of other movement organizations such as Serikat Islam (SI),
Muhammadiyah, Indische Partij (IP) and etcetera. Also the rising of local youth
organization such as Tri Koro Dharmo, Jong sumatranen Bond (JSB), Jong
Minahasa and etcetera is the effect of BO establisment.
JSB was one of youth movement organizations, established on Desember
9th, 1917 by Sumatera’s student youth studying in Jakarta. JSB hasvery defferent
objective from the objectives of youth organizations existing at that period. The
difference is seen from its Articles of Association stating that JSB has the
objective to grow awareness among its members and maintain the sentiment of
their calling to come forward as leaders and guides for their people. That objective
can be manifested and proved by its members most of them are Minangkabau
people come forward as national figures such as Muhammad Hatta, Muhammad
Yamin, and etcetera.
Through the vessel of organization and thoughts of its figures, JSB its
movement direction experiencing transformation or changes, initially very local
and area-oriented in its characteristic then it became nationally Indonesia in tis
characteristic and it also happened at the naming of the organization initially Jong
Sumatranen Bond changed into Pemuda Sumatera. The changes in the movement
had appeared since its initial development trying to form federation with Jong
Java, then at first Youth Congress in 1926 made the efforts to make Malay
language becoming the Unifying Language, and firmly at the Second Youth
Congress in 1928, Malay language, most used by Sumatera peoples, became
Indonesian language as the unifying and integration language, and last fusing it
with other youth organizations became Indonesia Muda in 1931 as the
manifestation of JSB’s concern on the unity and integrity of Indonesian youth.
So, in its movement, JSB pioneered by Minangkabau student youths, is
still consistent, from its initial objective for the progress of Sumatra, finally for
the interest of Indonesian Nation, not for the interest of certain tribe or certain
area.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Boedi Oetomo (BO) adalah organisasi pergerakan yang didirikan oleh pemuda

pelajar STOVIA pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian tanggal berdirinya diperingati

menjadi hari lahirnya kebangkitan nasional Indonesia. Sejak itu mulai babak baru bagi

perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuannya yaitu kemerdekaan bangsa.

Berdirinya BO kemudian merintis lahirnya organisasi-organisasi lain, seperti Sarekat

Dagang Islam (SDI) tahun 1911 setahun kemudian berubah namanya menjadi Sarekat

Islam (SI).1, Muhammadiyah 1912 di Yogyakarta. Pada tahun yang sama (1912) berdiri

Indische Partij (IP) di Bandung. Bersamaan dengan tahun berdirinya BO (1908), berdiri

Indische Vereeniging (IV) yang diprakarsai oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang

belajar di negeri Belanda. Sesuai dengan arus pergerakan organisasi ini, nama

perhimpunan berubah dari IV menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1925.

Di samping organisasi-organisasi tadi para pemuda pelajar mendirikan

organisasi-organisasi pemuda dari daerah masing-masing. Organisasi pemuda yang

pertama kali lahir adalah Tri Koro Dharmo (TKD), tahun 1915. Kemudian berubah

nama menjadi Jong Java (JJ). Lalu muncul Jong Sumatranen Bond (JSB), Jong

Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes dan sebagainya.

1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) hal. 117.

Jong Sumatranen..., Edy Suwardi, FIB UI, 2007


2

Pada waktu Simposium “Kebangkitan Semangat 66” yang diselenggarakan

Universitas Indonesia pada 6-9 Mei 1966, Muhammad Hatta seorang di antara tokoh-

tokoh pergerakan nasional aktif di JSB dan pernah menjadi Ketua PI di negeri Belanda

pada tahun 1926, meyampaikan pemikiran-pemikirannya melalui pidato mengenai

kebangkitan semangat pemuda-pemuda pada masa perjuangan. Di dalam pidatonya itu

Muhammad Hatta mengungkapkan :

“Pelajar dan mahasiswa di tanah air juga tidak tinggal diam, menanam dan menghidupi cita-cita
yang dianjurkan oleh Perhimpunan Indonesia di atas persada tanah air, yaitu Indonesia satu dan
tidak dapat dibagi-bagi. Dalam tahun 1928 pergerakan pemuda yang bersifat kedaerahan, seperti
Jong Java, Jong Sumatranen Bond,. Jong Ambon, Jong Celebes, dan lain-lain, bergabung menjadi
satu, menjadi Pemuda Indonesia, dengan mengambil suatu keputusan yang bersejarah, yang
menentukan bentuk Indonesia untuk masa datang.2

Isi pidato Hatta itu oleh Anhar Gonggong, pada makalahnya berjudul “Angkatan Baru,

Berdialog dengan Sejarah dalam Menatap hari ini dan Esok”, yang disampaikan pada

peringatan 46 tahun kemerdekaan Indonesia di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta,

tanggal 22 Agustus 1991, menyimpulkan :

1. Bahwa peranan pemuda pelajar dan mahasiswa di dalam perjuangan pergerakan

kebangsaaan sangat penting;

2. Menunjukkan peranan penting dari organisasi-organisasi pemuda pelajar di dalam

nama diri bangsa yang baru, yakni Indonesia;

3. Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi.3

2
Muhammad Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan ( Jakarta: UI-Press, 1992),
hal. 174
3
Anhar Gonggong, Angkatan Baru: Berdialog dengan Sejarah dalam Menatap hari ini dan Esok
(Makalah pada peringatan 46 tahun kemerdekaan Indonesia di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta
tgl. 22 Agustus 1991) hal. 1
3

Terkait dengan pidato Mohammad Hatta dan kesimpulan yang dikemukakan

Anhar Gonggong tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa Jong Sumatranen Bond

bersama organisasi-organisasi pemuda kedaerahan lainnya seperti Jong Java, Jong

Minahasa dan lain-lain mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan

nasionalisme Indonesia.

Jong Sumatranen Bond (JSB) adalah sebuah organisasi yang didirikan pada 7

Desember 1917 oleh pemuda pelajar Sumatra di Jakarta.4 Munculnya JSB adalah sebagai

reaksi pemuda pelajar Sumatera dari berdirinya organisasi BO 20 Mei 1908 dan Tri

Koro Dharmo tahun 1915 oleh para pemuda pelajar Jawa. Boleh dikatakan bahwa JSB

lahir di tengah-tengah suasana kebangkitan nasional, karena didirikan di tempat lahirnya

organisasi besar tadi, yaitu di Jakarta.

Keberadaan pemuda pelajar Sumatera di kota-kota besar pulau Jawa seperti di

kota Jakarta pada waktu itu memperlihatkan keinginan yang cukup besar terhadap dunia

sekitar. Mereka sering berdiskusi tentang perkembangan yang terjadi di Hindia Belanda

(Indonesia), juga tentang daerahnya masing-masing. Pada umumnya, mereka

mengungkapkan gagasan dan perasaannya demi membangun masa depan bangsa dan

negara yang dicita-citakan, yaitu bangsa dan negara Indonesia. Dalam berbagai diskusi

yang sering mereka lakukan, maka organisasi pemuda pelajar Sumatera khususnya

pemuda pelajar Minangkabau sering mengaktualisasikan dirinya dan lebih banyak

berperan di JSB bila dibandingkan dengan pemuda pelajar lainnya yang berasal dari

Sumatera. Di samping itu, karena banyaknya orang Minangkabau (Sumatera Barat) yang
4
A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia ( Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hal. 21
4

menjadi pelajar, maka anggota-anggota JSB sebagian besar adalah berasal dari

Minangkabau tersebut5.

Sejak awal, orang Minangkabau sering diidentikkan dengan orang perantau.

Bagi orang Minangkabau, alasan meninggalkan daerahnya memiliki alasan tersendiri.

Ada yang berkaitan dengan mencari ilmu pengetahuan dan ada pula karena

pertimbangan ekonomi. Di negeri orang yang disebut dengan rantau inilah muncul suatu

tekad dari orang Minangkabau agar kelak bila berhasil sudah menjadi orang dengan

berbekal ilmu pengetahuan atau membawa kekayaan dari hasil perjuangannya yang ulet

di rantau. Biasanya jika merantau tidak membawa hasil, mereka enggan pulang ke

kampung halamannya. Perjuangan yang sangat keras orang Minangkabau di dalam

mencapai tujuannya tentu tidak mudah, perlu beradaptasi dengan orang-orang lain yang

berlatar belakang suku dan adat istiadat yang berbeda. Namun cara yang ditempuh oleh

orang Minangkabau dalam bergaul dengan suku-suku lain adalah dengan menjalankan

pepatah orang Minangkabau yang telah diikuti secara turun menurun, yaitu : “Di mana

bumi di pijak, di situ langit dijunjung.”. Sehingga kalau dipelajari pepatah orang

Minangkabau tersebut sangatlah jelas bahwa hal utama yang dilakukan oleh orang

Minangkabau agar berhasil di rantau adalah dengan menyesuaikan diri dengan

masyarakat setempat. Mochtar Naim, sosiolog asal Sumatera Barat menyebutkan

penyesuaian diri orang Minangkabau dengan orang di daerah rantau tidak bersifat

ekslusif. Orang Minangkabau bergaul dengan lapisan masyarakat mana saja, tidak perlu

5
T. Abdullah, Schools and Politics. The Kaum Muda Movement in West Sumatra (`1927-1933),
(Itacha, 1971), hal. 68
5

membentuk komunitas sendiri sebagaimana migrasi orang Cina dengan kampung

Cinanya dan orang Jawa (di luar daerah Jawa) dengan kampung Jawanya.6

Di Pulau Jawa, para perantau tidak hanya terdiri dari orang Minangkabau,

melainkan juga berasal dari tanah Batak, Aceh, Palembang dan daerah-daerah lain di

luar pulau Jawa. Pada umumnya mereka terdiri dari para pemuda yang biasanya berasal

dari anak-anak bangsawan dan datang ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan, dan tentu

saja juga membawa Kebudayaan yang berbeda-beda.

Salah satu tujuan pemuda pelajar Sumatera mendirikan organisasi JSB, yaitu

bagaimana mempersatukan semua pemuda pelajar, khususnya yang berasal dari

Sumatera. Jiwa untuk mempersatukan seluruh pemuda pelajar Sumatera tersebut juga

menyatu dalam upaya memajukan pendidikan dan budaya mereka.

Setahun setelah JSB berdiri, bermunculan cabang-cabang di berbagai tempat,

di pulau Jawa seperti Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Sukabumi dan lain-lain,

sedangkan di Sumatera seperti di Fort de Kock (Bukit Tinggi), Padang, Medan dan lain-

lain7.

B. Permasalahan

Penelitian ini memusatkan kajiannya pada pergerakan pemuda, khususnya

pemuda Sumatera (Jong Sumatranen Bond) dalam rangka menggerakkan rasa

nasionalisme yang sudah muncul di kalangan pemuda-pemuda pada saat itu.

6
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1979) hal. 126
7
Jong Sumatranen Bond, 1918, Nomor 6-8, hal. 101
6

Tokoh pemuda pelajar Sumatera yang berperan dalam organisasi ini di

antaranya Mohammad Yamin, yang menjadi pelajar di sekolah pertanian di Buitenzorg

(Bogor). Dia aktif menggerakan rasa nasionalisme melalui tulisan-tulisan berbentuk

sajak dan sering dimuat di dalam majalah Sumatranen Bond atau menggerakan rasa

nasionalisme itu di dalam berbagai pertemuan.

Pada tahun 1920 Mohammad Yamin menyusun syair lagu organisasi, untuk

dinyanyikan pada acara-acara tertentu. Adapun bunyi syair lagu itu adalah sebagai

berikut :

Tanah Air
Pada batasan, Boekit Barisan,
Memandang akoe, kebawah memandang;
Tampaklah hoetan rimba dan ngarai;
Lagipoen sawah, soengai jang permai;
Serta gerangan, lihatlah poela,
Langit jang hijaoe bertoekar warna;
Oleh poentjoek, daoen kelapa;
Itoelah tanah, tanah airkoe;
Soematra namanja, toempah darahkoe;

Sesajoep mata, hoetan semata,


Bergoenoeng bukit, lembah sedikit;
Djaoeh disana, sebelah sitoe;
Dipagari goenoeng, satoe persatoe
Adalah gerangan seboeah soerga,
Bukannja djahat boemi kedoenia!
Firdaoes Melajoe diatas doenia!
Itoelah tanah jang koesajangi,
Soematra namanja jang koejoenjoengi

Pada batasan, Boekit Barisan,


Memandang kepantai, teloek permai,
Tampaklah air, air segala,
Itoelah laoet, Samoedra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memetjah kepasir, laloe berderai,
Ia memekik, berandai-randai
”Wahai Andalas, poelaoe Soematra,
7

Harumkan nama, Selatan Oetara”8

Bunyi syair yang ditulis di atas menunjukkan bahwa pada waktu itu wawasan

satu kesatuan masih terbatas pada satu wilayah tertentu yaitu ‘Soematra’ atau masih

bersifat lokal, sesuai dengan pekembangan suasana kolonialisme dan perkembangan

cara pandang dari tokoh-tokoh pemuda pelajar Sumatera itu sendiri terhadap kondisi

pada waktu itu, maka perubahan pun berpengaruh terhadap gerak dari organisasi

tersebut, semula dalam lingkup wilayah yang sempit atau nasionalisme lokal,

selanjutnya sudah mengarah pada lingkup yang lebih luas yaitu awalnya hanya untuk

kepentingan wilayah Sumatera kemudian berubah pada kepentingan nasionalisme

Indonesia. Hal ini diperlihatkan oleh Muhammad Yamin dalam sajaknya yang dibuat

pada tahun 1928, sebagai berikut :

INDONESIA TANAH TUMPAH DARAH

Duduk di pantai tanah yang pernai


Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung indah rupanya
Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatlah nyiur melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman keliatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya, TANAH AIRKU9

8
Jong Sumatranen Bond, 1920, hal. 52
9
Jong Sumatranen Bond, 1928, hal. 1
8

Selain Mohammad Yamin, anggota JSB lainnya yaitu Muhammad Hatta, dalam

menggerakan semangat nasionalisme melalui tulisan-tulisan maupun pidato-pidatonya

yang tenang dan penuh makna. Begitu juga dengan tokoh-tokoh lain seperti Bahder

Djohan dan Mohammad Amir, dan Nazir Datuk Pamuntjak.

Permasalahan yang perlu dikemukakan terkait dalam penulisan tesis ini, yaitu

sejauh mana perubahan gerakan nasionalisme dalam JSB, dari nasionalisme etnik ke

nasionalisme Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian.

Menelusuri perkembangan ide atau ideologi nasionalisme Indonesia sangatlah

menarik. Nasionalisme di Indonesia dan di dunia ketiga yaitu negara-negara yang

sebagian besar memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia II, umumnya tidak

terlepas dari perkembangan kolonialisme di daerah jajahan dengan eksploitasi

kolonialisme, diskriminasi ras, dominasi politik dengan otorianisme, paternalisme,

otokrasi sentralisasi yang mau tidak mau menimbulkan reaksi dalam pelbagai bentuk

mulai dari emansipasi, progesivisme, demokrasi, otonomi hingga revolusionisme.

Nasionalisme adalah tingkat perkembangan cakrawala mental yang dicapai

setelah melampaui parokhialisme dan etnosentrisme. Ideologi itu diperoleh sebagai

dampak modernisasi pada umumnya dan integrasi politik golongan intelegensia

khususnya. Pertumbuhan nasionalisme sebagai ideologi di Indonesia secara mencolok

menunjukan betapa pentingnya peranan ide dan kesadaran sebagai dasar transformasi

masyarakat. Pada awalnya nasionalisme hidup sebagai ide terbatas pada kelompok kecil
9

pemuda10. Ide-ide yang muncul di kalangan intelegensia ini diwujudkan dalam suatu

wadah atau perkumpulan sehingga bermunculanlah organisasi yang bergerak dalam

berbagai aspek dan ruang lingkup. Satu diantara organisasi itu adalah Jong Sumatranen

Bond.

Terkait dengan itu, tujuan penelitian ini adalah :

1. Ingin mengetahui perkembangan Jong Sumatranen Bond sebagai organisasi pemuda

kedaerahan yang anggota-anggota berasal dari Sumatera mulai berdiri hingga

dibubarkannya organisasi ini;

2. Menelusuri aktivitas dan pemikiran tokoh-tokoh Jong Sumatranen Bond dalam

mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia.

3. Untuk mengkritisi tentang pemahaman nasionalisme antara nasionalisme nasional

(Indonesia) dan nasionalisme etnis (lokal/ daerah).

D. Kerangka Teori

David E.F.Henley di dalam bukunya: “Nationalism and Regionalism in a

Colonial Context, Minahasa in the Dutch East Indies”., menguraikan bahwa para

penulis tentang Indonesia di masa kolonial sering dipengaruhi oleh berbagai konsep

tentang politik dan kelompok-kelompok etnis. Di dalam hal ini, David E.F. Henley

10
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah (Jakarta : Gramedia,
1992), hal. 182
10

mencontohkan bahwa penulis seperti Anthony Reid dan Nazaruddin Sjamsuddin telah

menganggap Aceh sebagai sebuah bangsa. 11

Henley juga mencontohkan para penulis lainnya, seperti Harsya Bachtiar yang

mendifinisikan bahwa suatu bangsa adalah kesatuan dari beberapa etnis yang banyak

sekali terdapat di Indonesia. Bahkan G.J. Missen seorang ahli ilmu bumi setuju sekali

mengenai pandangan bahwa Indonesia masih disebut sebagai sebuah kumpulan bangsa-

bangsa lokal. Henley berkesimpulan, pada dasarnya mereka sudah memulai

mendifinisikan nasionalisme sebagai bentuk nasionalisme kedaerahan. “Jadi

nasionalisme di Indonesia sudah ada sejak munculnya upaya membentuk satu kesatuan

etnik sebagai suatu bangsa, di mana konsep ini telah berkembang sekitar tahun 1912.12

Penulis berpendapat yang dimaksud David E.F.Henley dengan perkembangan sekitar

tahun 1912 adalah berdirinya organisasi berideologi nasional pada tanggal 25

Desember 1912, yaitu Indische Partij.

Anthony D. Smith di dalam bukunya: The ethnic origins of nations (Oxford,

1986: 130-52,209) mengelompokan dua tipe dasar nasionalisme, yaitu nasional wilayah

(civic-territorial) dan nasion etnis (ethnic-genealogical13. Di dalam rumusan itu , Jong

Sumatranen Bond memakai kedua tipe dasar tersebut. Jong Sumatranen Bond bercirikan

nasional wilayah yaitu adanya berbagai etnik yang mendiami dalam satu wilayah yaitu

Sumatera.

11
David E.F.Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context, Minahasa in the Dutch
East Indies (Leiden: KITLV Press, 1996), hal.1.
12
Ibid, hal. 1-2
13
Ibid, hal.36
11

Tentang nasionalisme ini juga diperjelas oleh Prof.Dr. R.Z Leirissa, dengan

mengemukakan perbedaan antara konsep nasionalisme dan konsep nasional state

(negara kebangsaan). Menurut Leirissa, nasionalisme lebih terkait dengan masyarakat

dari pada dengan negara, walau negara kadang-kadang juga berkepentingan untuk

mengobarkan nasionalisme, tetapi walau nasionalisme bisa sengaja disebarluaskan oleh

negara, namun pada umumnya nasionalisme tertanam dalam bagian terbesar dari warga

negara yang membentuk suatu komunitas. Hal ini terbukti dalam sejarah bangsa

Indonesia, yaitu sebelum Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia terbentuk pada

tahun 1945, sudah ada nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia muncul justru

dalam bagian pertama dari Abad ke-20. Munculnya nasionalisme Indonesia sejak awal

Abad ke-20 itu berkaitan dengan suatu perubahan sosial yang terjadi pada saat itu.14

Sartono Kartodirdjo mengemukakan pula tentang rumusan nasionalisme.

Menurut Sartono, nasionalisme merupakan suatu gejala historis yang telah berkembang

sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial khususnya, yang

ditimbulkan oleh situasi kolonial. Menurutnya, karena adanya diskriminasi masyarakat

yang dimunculkan oleh situasi kolonial memaksa rakyat menjadi sadar akan

ketidaksamaan hak-hak yang dimilikinya dan akan keadaannya yang terjajah, maka

timbul keinginan untuk maju dan kebutuhan akan pendidikan15.

14
R.Z. Leirissa, “ Nasionalisme,” makalah disampaikan dalam ceramah pada peringatan hari
Kebangkitan Nasional 2006 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 24 Mei 2006
15
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999 ), hal. 58-59
12

Keinginan untuk meningkatkan derajat kehidupan sesama telah menumbuhkan

organisasi kebangsaan. Berdirinya Boedi Oetomo hingga lahirnya Jong Soematranen

Bond di dalamnya terdapat keinginan untuk meningkatkan kehidupan bangsa.

Kesadaran terhadap penindasan kolonial telah mengarahkan pada pemahaman bersama

tentang kebersamaan. Rasa nasionalisme telah menjadi pijakan mengarah pada

keinginan untuk bersatu untuk membangun kehidupan bangsa. Kebangsaan merupakan

jiwa dari terbetuknya sebuah bangsa16.

Pergerakan Nasional sebagai aktivitas politik menentang kolonialisme di

Indonesia menjadikan sebagai perilaku yang senantiasa dirumuskan oleh pelaku maupun

wadah organisasinya. Rumusan-rumusan yang dihasilkan dari pertemuan-pertemuan,

rapat-rapat, kongres-kongres dan sebagainya merupakan landasan gerak maupun

gambaran dari perkembangan aktivitas.

Pemikiran-pemikiran pergerakan nasional senantiasa menjadi penilaian terhadap

strategi pergerakan nasional. Tokoh-tokoh pergerakan nasional selain melontarkan ide-

ide dalam pertemuan baik resmi maupun tidak resmi sering menggunakan wahana media

massa cetak sebagai landasan pandangan sebagaimana yang dilakukan oleh Jong

Sumatranen Bond.

Memperhatikan secara seksama fenomena pergerakan menghasilkan adanya

strategi pemimpin atau tokoh yang mempengaruhi keanggotaan organisasi dan langkah

perjuangan. Dengan demikian pengamatan terhadap perkembangan nasionalisme

Indonesia, akan mengarah pada sejarah pemikiran atau intelektual history. Berawal dari
16
Ernest Renan. Terj. Apakah Bangsa Itu (Jakarta : Pena), hal. 31
13

pergerakan nasional menentang pemerintah kolonial, tesis ini akan mengungkapkan

hendak diungkap formulasi dasar kekuatan yang beragam pada berbagai organisasi

dalam upaya merajut persatuan nasional.

E. Metode Pendekatan

R.Z. Leirissa dalam buku perkuliahan tentang Teori dan Metodelogi sejarah,

mengemukakan bahwa sejak tahun 1930-an sejarah terbagi dalam dua domain, yaitu

domain peristiwa dan domain struktural. Dua domain sejarah tersebut menandakan

munculnya dikotomi di kalangan sejarawan. Ada yang mempertahankan peristiwa

sebagai obyek penelitian sejarah, ada pula yang mengabaikan peristiwa dan menekankan

pentingnya struktur. Adanya dua domain dan munculnya dikotomi antara sejarah

sebagai peristiwa dan sejarah sebagai struktur tidak berhenti disitu saja, melainkan terus

berkembang. Perkembangan itu adalah berupa perpaduan kedua domain tersebut dengan

istilah ”simbiosis”. Upaya memadukan kedua domain sejarah itu sudah mulai terwujud

seperti yang dilakukan oleh Anthony Giddens ahli sosiologi Inggris. Bentuk perpaduan

itu dinamakan ”structuration” dan menyebutnya ”structurist” (strukturis).

Dalam pendekatan strukturis pelaku sejarah yang kongrit sebagai faktor yang

menentukan dalam sejarah sosial, namun individu atau pelaku sejarah tidak bisa

dipisahkan dari struktur. Dalam pendekatan strukturis individu atau pelaku sejarah yang

terkait dengan struktur disebut dengan istilah ”agency”.

Pada pendekatan strukturis, agency mendapat tempat yang dominan sebagai

faktor yang menentukan dalam perubahan atau tranformasi, karena strukturis


14

mengandung makna perubahan, dan ilmu sejarah itu sendiri mempelajari perubahan atau

transformasi.

Mengacu pada pendekatan metode seperti diuraikan di atas, dalam penelitian ini

penulis berupaya untuk dapat mengarahkan kepada pendekatan tersebut, sebab apa yang

dikemukakan dalam penulisan ini, adalah mengandung unsur-unsur metode pendekatan

tersebut. Salah satu contoh adalah tercetusnya ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober

1928 oleh organisasi pemuda kedaerahan yang di antaranya adalah Jong Sumatranen

Bond. Dan terbentuknya fusi organisasi pergerakan pemuda kedaerahan ke dalam

Indonesia Muda (IM) tahun 1931, menunjukkan realita ide persatuan yang

menampakkan fase pemikiran yang menakjubkan dari sebuah masayarakat yang multi

etnik dan kedaerahan menjadi satu fusi.

F. Sumber Penelitian

Sumber penelitian ini berdasarkan pada dua jenis sumber penting, yaitu sumber

primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh melalui penelaahan dokumen tertulis,

terutama media cetak yang diterbitkan oleh Jong Sumatranen Bond berupa majalah

yang diterbitkan setiap bulan, namun majalah ini sudah tidak lengkap lagi, disamping

kondisinya sudah rusak sehingga tulisannya banyak yang tidak dapat terbaca. Sumber

primer tersebut hanya dapat ditemukan pada satu tempat yaitu di Perpustakaan Nasional

Jakarta, sedangkan perpustakaan lainnya juga di Arsip Nasional Jakarta tidak ditemukan.

Sedangkan sumber sekunder berupa sumber tertulis yang ada kaitannya dengan

masalah yang sedang diteliti, di antaranya dalam bentuk majalah, surat kabar, artikel dan
15

makalah yang tidak diterbitkan di samping itu sumber-sumber tertulis lain, seperti buku-

buku, dipergunakan untuk membantu dalam memproses dan menganalisa.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing-masing bab terdiri dari :

1. Bab I berisikan, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan

penelitian, kerangka teori, metode pendekatan, sumber penelitian, dan sistematika

penulisan;

2. Bab II, menjelaskan mengenai perkembangan organisasi-organisasi pemuda pada

masa pergerakan nasional yang berisikan tentang perkembangan awal perkumpulan-

perkumpulan berdasarkan nasional dan etnis, serta sejarah berdiri dan

berkembangnya Jong Sumatranen Bond ;

3. Bab III, Persoalan-persoalan yang dihadapi Jong Sumatranen Bond, berisikan

tentang masalah interen, yakni persoalan dalam keanggotaan dan organisasi itu

sendiri, serta permasalahan budaya, terutama yang terkait dengan masalah adat di

Minangkabau (Sumatera Barat).

4. Bab IV, Kiprah Jong Sumatranen Bond dalam pergerakannya, berisikan tentang

gerakan Jong Sumatranen Bond dari yang bersifat lokal atau kedaerahan hingga

menuju pada nasionalisme Indonesia, peranan Jong Sumatranen Bond pada kongres

pemuda yang pertama dan kongres pemuda kedua, hingga memfusi dalam I.M.

5. Bab V, merupakan penutup, berisikan tentang kesimpulan-kesimpulan dari hasil

penelitian.
BAB II

ORGANISASI-ORGANISASI PEMUDA MASA PERGERAKAN NASIONAL

A. Peranan Pemuda Pada Masa Awal Pergerakan

Pergerakan pemuda di Indonesia tidak terlepas dari peristiwa sosial-ekonomis,

yang telah mulai secara kualitatif memperjuangkan masyarakat Indonesia sejak awal

Abad XX. Melebarnya jaringan pendidikan, terjadinya urbanisasi, mulai melebarnya

diferensi kerja, dan tak kurang penting, makin kelihatannya katagori ras dalam hubungan

sosial, adalah faktor-faktor yang ikut berpengaruh.

Di samping itu faktor-faktor yang ikut mempengaruhi adalah pendidikan

moderen, pertumbuhan kesadaran akan harga diri dan akan kenyataan hidup di bawah

dominasi kolonial, yang makin didemontrasikan oleh perbedaan hak-hak hukum

berdasarkan ras.

Faktor lain yang turut mempengaruhi pergerakan pemuda yaitu yang terkait

dengan perkembangan luar negeri, seperti berita-berita kebangkitan Dunia Timur

(Asia), yang ditunjukkan oleh keberhasilan armada Jepang menghancurkan armada

Rusia dalam perang tahun 1904-1905. Mitos seakan-akan bangsa Eropa tidak dapat

dikalahkan menjadi sirna. Begitu juga munculnya Revolusi Turki pada permulaan tahun

1908 yang digerakkan oleh The Young Turks atau Gearakan Turki Muda, oleh pemuda-

pemuda Turki, juga berpengaruh besar di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pada

pelajarnya yang pada waktu itu jumlahnya masih sangat sedikit dan terbatas.
17

Pergerakan pemuda tidaklah terlepas dari pada pergerakan nasional. Pergerakan

pemuda adalah bagian yang terkait erat dengan perjuangan nasional dalam menuju

“kemerdekaan” dan “persatuan bangsa”. Prof. Dr.Suhartono menjelaskan bahwa

Sejarah Pergerakan Nasional adalah bagian dari Sejarah Indonesia yang meliputi periode

sekitar empat puluh tahun, yang dimulai sejak lahirnya Budi Utomo, sebagai organisasi

nasional yang pertama tahun 1908 sampai terbentuknya bangsa Indonesia pada tahun

1945. 17

Sedangkan istilah “Pergerakan Indonesia” menurut A.K.Pringgodigdo meliputi

segala macam aksi yang dilakukan oleh organisasi secara moderen ke arah perbaikan

hidup untuk bangsa Indonesia karena tidak puasnya mereka dengan keadaan masyarakat

yang ada.18 Oleh karena itu, menurut A.K.Pringgodigdo, istilah “pergerakan” sangat

luas artinya:

“Ia tidak saja mengenal gerakan yang menuju ke perbaikan derajat hidup
semuanya (aksi Politik), akan tetapi juga mengenai hal yang hanya merupakan
sebagian saja (umpamanya hanya perekonomian, hanya kebudayaan, hanya
keagamaan, hanya pengajaran, hanya soal kewanitaan, hanya pemuda, dsb)” 19

Berdirinya Boedi Oetomo (BO) 20 Mei 1908, merupakan perintis kebangkitan

pergerakan nasional di Indonesia, sehingga pemerintah menetapkan tanggal berdiri Bo

20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional. Pada saat itu para pemuda pelajar

STOVIA (Sekolah Kedokteran Bumi Putra) bergerak di luar birokrasi kolonial. Pada

waktu itu pula birokrasi kolonial selalu memerintah daerah jajahannya, termasuk di

17
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.3
18
Pringgodigdo, Op.cit. hal. VIII
19
Ibid
18

Hindia Belanda, secara tidak langsung mereka menggunakan tenaga para priyayi sebagai

alat penghubung (schakel).

Mengenai lahirnya Boedi Oetomo, Roeslan Abdulgani dalam bukunya yang

berjudul ”Almarhum Soetomo yang Saya Kenal” mengacu pada buku “Soembangsih,

Gedenkboek Boedi Oetomo 1908- 20 Mei 1918”, yaitu buku Peringatan 10 tahun

berdirinya Boedi Oetomo yang diterbitkan pada tanggal 20 Mei 1918, memaparkan

pernyataan Goenawan Mangoenkoesoemo sebagai berikut :

“…maka tekanan-tekanan di udara masyarakat luar dan dalam negeri sejak


beberapa bulan lamanya telah menyentuh jiwa para pemuda pelajar STOVIA,
terutama jiwa Soetomo. Berita-berita luar negeri menjadi bahan pembicaraan.
Demikian juga kepincangan-kepincangan di dalam negeri, terutama di bidang
pengajaran, pendidikan, perekonomian dan kepangrehprajaan kolonial menjadi
bahan renungan. Dirasakan oleh Soetomo dan kawan-kawan perlunya suatu
organisasi sendiri untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa pemuda pelajar
ingin memajukan rakyatnya di segala bidang, ingin menjadi penuntun bagi
rakyatnya dari alam gelap ke alam terang…ditetapkan kemudian untuk
berkumpul bersama pada suatu hari tertentu untuk membulatkan pendapat. Hari
itu adalah hari Rabu tanggal 20 Mei 1908. Tempatnya ialah in de zaal van het
eerste jaar der geneeskundige afdeeling (ruang pelajaran kelas satu). Ruangan ini
sekarang setelah dipugar diberinama Ruang Boedi Oetomo.Tepat pukul 9 pagi
semua sudah berkumpul. Pemuda Soetomo mulai bicara dan menjelaskan
maksud dan tujuan pertemuan pagi itu…reaksinya adalah hebat sekali. Semua
tepuk tangan gegap gempita, tanda setuju sepenuhnya. Gagasan Soetomo dan
kawan-kawan berhasil. Didirikanlah saat itu juga perkumpulan Boedi Oetomo,
organisasi modern yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Ketuanya
adalah Soetomo…ketika mendirikan Boedi Oeomo ini, umur Soetomo masih 19
tahun. Dia dilahirkan di Desa Ngepeh, Kabupaten Nganjuk 30 Juli 1888”20

Berita lahirnya Boedi Oetomo juga terasa di negeri Belanda. Majalah De Gids,

sebuah majalah ternama yang memuat tulisan-tulisan orang ternama pada saat itu,

memuat tulisan Mr.Van Deventer yang mengatakan tentang lahirnya Boedi Oetomo:

20
Roeslan Abdulgani, Almarhum Dr.Soetomo yang Saya Kenal (Jakarta: Yayasan Idayu, 1976),
hal. 20-21.
19

“Het wonder is geschied. Insulinde de schoone slaapster, is ontwaakt” ( Sesuatu hal yang

ajaib terjadi. Insulinde putri cantik yang tidur sudah terbangun). 21

Pada 3 - 5 Oktober 1908, Boedi Oetomo menyelenggarakan kongresnya yang

pertama di Yogyakarta. Adapun tentang jalannya kongres pertama itu, arsip

Perpustakaan Museum Pusat (sekarang Perpustakaan Nasional) di Jakarta mempunyai

fotocopy dari “Verslag Kongres Budy Atama (begitu Boedi Oetomo pada waktu itu

ditulisnya) di Djokjakarta pada 3 ,4 dan 5 Oktober 1908 terboeat oleh Afdeeling Djokja

(dalam bahasa Melayu-Djawa)” ditandatangani oleh M.NG.D Sewaja” sebagai

Secretaris dan dicetak oleh:”Pertjetakan H.Buning, Djokjakarta th.1909.”22

Hadir di dalam kongres pertama tersebut lebih dari 400 peserta, datang dari

Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya, Probolinggo dan dari Jogya sendiri. Ikut

menunjukkan perhatian adalah para bangsawan dari Pakualaman, pembesar-pembesar

Belanda, para Bupati, seperti dari Temanggung, Blora dan Magelang. Untuk

pertamakalinya bangsawan, priyayi tinggi dan menengah serta kaum intelektual Jawa

bangkit dan berkumpul bersatu; dibangkitkan, dikumpulkan, dan dipersatukan oleh

pemuda-pemuda pelajarnya.23

Kongres dipimpin dan dibuka oleh Dr.Wahidin Soediro Hoesodo yang

menjelaskan keinginannya agar Boedi Oetomo menjadi suatu Studiefonds (beasiswa)

yang kuat untuk membantu para pelajar pribumi dan untuk memelihara tata krama

Jawa. Kemudian pemuda Soetomo dipersilahkan menjelaskan gagasan-gagasannya.

21
Mohammad Hatta, Permulaan Pergerakan Nasional ( Jakarta: Idayu Press, 1977), hal. 7
22
Abdulgani, op.cit., hal 23
23
Ibid, hal.25
20

Karena Soetomo tidak begitu pandai berbicara dalam bahasa Jawa (kromo inggil) juga

tidak mendalami bahasa Melayu, maka pimpinan Kongres mohon maaf lebih dulu dan

minta Soetomo berbicara dalam bahasa Belanda. Permintaan ini disetujui oleh Kongres,

mengingat para kaum bangsawan dan kaum priyayi tinggi serta hadirin lainnya

kebanyakan sudah mengerti bahasa Belanda. Soetomo menegaskan “hendaknya Boedi

Oetomo menjadi organisasi yang mendorong kita semua ke arah kemajuan, terutama

penduduk pribumi dari Pulau Jawa dan Madura. Jangan sampai kita ketinggalan

zaman… dan ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain”. Pendidikan dan pengajaran

sebagai jalan utama untuk mendorong ke arah kemajuan harus diperluas dan

diperbanyak, karena usaha pemerintah sendiri adalah belum cukup. Pada intinya

Soetomo menekankan bahwa kita tidak bisa “nerimo” saja. Kita sendiri harus berbuat.24

Kongres pertama di Yoyakarta ini menghasilkan keputusan, yaitu memilih

anggota Pengurus Besar (Hoofdbestuur) Boedi Oetomo dengan ketuanya R.T.A. Tirto

Koesoemo dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Boedi

Oetomo.25 Dengan terbentuknya Pengurus Besar Boedi Oetomo hasil kongres tersebut,

maka peran pemuda pelajar STOVIA sebagai pendiri Boedi Oetomo 20 Mei 1908, tidak

tampak lagi, karena kepengurusan sudah dijabat oleh para priyayi dan pegawai

pemerintah. Ada kesan bahwa anak-anak muda apabila mengendalikan organisasi tidak

akan berhasil karena belum berpengalaman sehingga peranannya diambil alih oleh

kalangan orang tua (bangsawan atau Priyayi). Tetapi Abdurrachman Soerjomihardjo

24
Ibid, hal.26
25
S.Z. Hadi Sutjipto, Gedung STOVIA sebagai Cagar Sejarah , (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996) hal. 54
21

berpendapat bahwa mundurnya para pemuda dari kepengurusan Boedi Oetomo,

dikarenakan keinginan sebagian besar pengurus agar generasi yang lebih tua memegang

peranan, secara tidak langsung berarti memberikan kesempatan kepada anak-anak muda

agar terus melanjutkan pendidikannya.26 Dengan demikian, mereka dianggap tidak

perlu duduk dalam Pengurus Besar Boedi Oetomo yang berpusat di Yogyakarta.

Dengan adanya peralihan kepengurusan BO dari kalangan pemuda ke kalangan

priyayi, secara langsung berpengaruh terhadap perjalanan organisasi BO. Sebagian besar

program yang telah ditetapkan para priyayi yang tetap mempertahankan adat istiadat dan

kebudayaan Jawa serta tekanan pada pentingnya pendidikan pada pemuda Jawa,

akhirnya mendapat reaksi dari kalangan pemuda seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan

R.M. Soewardi Soerjaningrat. Menurut R.Z.Leirissa, itulah awal ketidakpuasan

kelompok muda terhadap kelompok tua, sehingga pada tahun 1912 kedua pemuda

tersebut bergabung dengan Douwes Dekker di dalam Indische Partij (IP).27

Dalam perkembangannya IP lebih menampakkan adanya semangat nasional dari

pada semangat biasa. Pemikiran kesadaran semakin mengarah pada pembentukan

bangsa dan tujuan bangsa. Keanggotaan IP yang melibatkan heterogen kemasyarakatan

Hindia Belanda (Indonesia) semakin memperjelas keinginan merdeka. Dalam IP muncul

semangat memandang masyarakat Hindia Belanda sebagai bangsa.

Disisi lain pemerintah kolonial mulai bersikap hati-hati terhadap perkembangan

kehidupan organisasi ini. Pengawasan secara seksama dilakukan terhadap aktivitas

26
Abdurrachman Soerjomihardjo, Budi Utomo Cabang Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya,1980), hal. 6
27
R.Z. Lerissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat di Indonesia 1900-1950
(Jakarta:Akademika Pressindo, 1985) hal. 44
22

tokoh IP. Semangat kemerdekaan Hindia Belanda merupakan bahaya bagi pemerintah

kolonial karena secara nyata anti kolonial. Pemerintah kolonial beranggapan bahwa IP

merupakan gerakan radikal. Dalam pernyataannya jelas memang bahwa IP berkeinginan

untuk mempersiapkan seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai merdeka.

Saat akan diadakannya peringatan hari besar pemerintahan kerajaan Belanda di

Hindia Belanda (Indonesia), Soewardi Soerjaningrat membuat tulisan yang berbunyi ‘…

Als ik Netherlander was…’. Tulisan tersebut oleh para pejabat pemerintah kolonial

dianggap suatu pembangkangan dan penghinaan bagi kewibawaan pemerintah kolonial,

sehingga ketiga tokoh Tiga Serangkai itu ditangkap, dan diasingkan ke negeri

Belanda.28.

Kedatangan ketiga tokoh IP yang di buang pemerintah kolonial ke negeri

Belanda merubah suasana dan semangat kegitan Indische Vereeniging (I.V.) yaitu

organisasi pemuda pelajar yang didirikan oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di

negeri Belanda. Mereka membawa suasana politik ke dalam pikiran tokoh-tokoh I.V. 29

Disamping itu mereka memberi beban dan dimensi pikiran baru pada para mahasiswa di

negeri Belanda, bahwa mereka bukan hanya menuntut ilmu tetapi juga memikirkan

bagaimana mereka dapat memperbaiki kehidupan bangsanya sendiri.

Cetusan semangat cinta tanah air muncul dalam diri pemuda-pemuda Indonesia

yang telah mengenyam pendidikan secara Barat. Pengenalan pada perkembangan ilmu

28
Ahhaddani G Martha, et.all. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa
(Jakarta:Yayasan Sumpah Pemuda, 1984) hal. 38
29
Ki Hadjar Dewantara, Dari Kebangsaan Nasional Ke Proklamasi Kemerdekaan (Jakarta:Endang,
1962) hal. 88
23

pengetahuan telah mengasah pemikiran dan kepribadian sebagai insan dengan karunia

hak. Terlebih lagi artikel yang ditulis Soewardi Soerjaningrat memperjelas perbedaan

bangsa Indonesia dengan pemerintah kolonial.

Sementara itu, masyarakat Islam di Indonesia tidak mau ketinggalan untuk

berorganisasi. Pada umumnya mereka mengembangkan kehidupan dengan perdagangan.

Usaha-usaha perdagangan dengan dinamikanya telah menyadarkan perlunya

kebersamaan. Persaingan keras dan perbedaan hak dalam strata kehidupan kolonial

semakin membuka kesadaran tentang perlunya suatu serikat. Pada awalnya serikat ini

ditujukan untuk melawan saingan dagang yang paling kuat, yaitu saudagar Cina,

sehingga sentimen anti-Cina tersebar di seluruh Jawa Timur, dan khususnya sangat kuat

di Surabaya. Solidaritas para pengusaha batik di Surakarta sangat diperkokoh oleh

perasaan adanya musuh bersama ini.30

Langkah-langkah kebersamaan ini mulai dikembangkan dengan inisiatif Haji

Samanhoedi untuk membentuk Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta pada tahun

1911. Bagi para pedagang Islam, kehadiran SDI dipandang sangat menguntungkan,

sehingga dengan masuknya Tjokroaminoto sebagai tokoh yang progresif, organisasi ini

semakin berkembang dan merubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Organisasi ini

maju dengan pesat dan memiliki anggota yang sangat banyak. Akan tetapi,

Tjokroaminoto sebagai pemimpin menekankan bahwa SI bukanlah partai. Dalam

kongres pertamanya pada bulan Januari 1913, dan program yang yang diumumkan pada

30
Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-1918 (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1989), hal.146.
24

waktu itu adalah : (a) memajukan perdagangan di kalangan orang Indonesia;(b) saling

membantu antar anggota yang mengalami kesulitan-kesulitan ekonomi;(c) meningkatkan

perkembangan intelektual dan kepentingan-kepentingan material bangsa Indonesia;(d)

menentang konsep-konsep agama yag salah bertalian dengan agama Islam dan

meningkatkan kehidupan beragama di kalangan orang Indonesia.31

Sementara itu perkembangan pergerakan dalam bidang keagamaan terutama di

kalangan masyarakat Islam muncul gerakan-gerakan pembaharuan seperti yang

dilakukan Muhammadiyah, Aisyiah dan Nahdlalatul Oelama (N.O.) merupakan

lembaga-lembaga Islam yang bertujuan mengembangkan peradaban masyarakat Islam di

tengah perkembangan masyarakat kolonial.

Hingga tahun 1912 belum nampak tanda-tanda nyata ke arah formulasi kekuatan

menuju gerakan terorganisir mencapai kemerdekaan. Organisasi-organisasi yang

terbentuk, selain IP, menampakkan semangat pengabdian. Dalam bentuknya yang belum

mengarah pada kekuatan kemerdekaan, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah

kolonial telah mulai nampak. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa tidak ada

keinginan untuk mencapai kemerdekaan.

Demikianlah gelombang pergerakan pada masa awal pergerakan nasional terus

berkembang bagai cendawan tumbuh di musim hujan. Di sisi lain muncul kepermukaan

perkumpulan kepemudaan lain, seperti Jong Java (yang semula bernama Tri Koro

Darmo) tahun 1915, Jong Sumatranen Bond tahun 1917, Jong Minahasa dan Jong

31
George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi
di Indonesia (Nationlism And Revolution In Indonesia) Cornel University Press, 1952, diterjemahkan oleh
Nin Bakti Soemanto (Jakarta:UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995) hal. 87-89
25

Ambon tahun 1918, Jong Batak, dan lain-lain. Aspek lain dari periode yang menyadari

kedudukan sebagai generasi muda ini nampak pada kecendrungan untuk bertolak dari

suatu kerangka solidaritas lebih terbatas pada ruang lingkup kewilayahan “Sumatra”,

“Jawa”, “Batak”, Ambon” dan dianggap jelas serta mengarah kepada satu kesatuan dari

wilayah-wilayah itu. Hal ini sudah tentu berbeda dengan Boedi Oetomo yang mulai

dengan cita-cita “Hindia” dan tujuannya dianggap samar-samar. Begitu pula nantinya

akan terlihat perbedaan di antara organisasi pemuda-pemuda pelajar, khususnya antara

Jong Java, Batak, Ambon, Minahasa dengan Jong Sumatranen Bond.

Disamping merupakan ikatan solidaritas, penyalur berbagai aktivitas

kepemudaan (mulai dari olah raga dan seni sampai dengan kelompok studi) dan

kekeluargaan, teman sesekolah atau sedaerah, organisasi pemuda pelajar juga

memperlihatkan ciri-ciri yang khas dengan zamannya. Pertama seperti halnya dengan

organisasi wanita dan istri, organisasi pemuda pelajar adalah ekspresi atau pancaran dari

hasrat emansipasi suatu generasi. Kedua, organisasi-organisasi itu merupakan

perpanjangan dari berbagai kegiatan kebangsaan, yang secara implisit bercita-cita

“maju” dan “merdeka” ataupun lebih sering sebagai wadah di mana calon peserta

pergerakan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman.

Kelahiran Jong Java pada awal kelahirannya bernama “Tri Koro Dharmo”,

didirikan pada tanggal 7 Maret 1915 oleh pemuda Satiman Wirjosandjojo, Kadarman

dan Soenardi.32 Tri Koro Dharmo berarti Tiga tujuan mulia yaitu pertama, menimbulkan

pertalian antara murid Boemi poetra pada sekolah menengah, dan kursus perguruan
32
Jong Java’s Jaarboekje, 1923, hal. 115-116
26

perguruan uitgebreid dan vak onderwijs (yang lebih luas = menengah dan pendidikan).

Kedua, menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya. Ketiga,

membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan

Indonesia.33

nggota-anggota pertama Tri Koro Dharmo adalah lima puluh pelajar dari

STOVIA, Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari (Jakarta) dan Konongin

Wilhelmina School (KWS).34

Perhimpunan pemuda Jawa ini kemudian menerima pelajar Sunda dan Madura

untuk ikut di dalamnya. Namun, perhimpunan ini tetap didominasi oleh pelajar dari

Jawa, terhadap pelajar Sunda terjadi berbagai aturan yang ketat. Contohnya, apabila

pelajar Sunda ingin mengirimkan artikel –artikel berbahasa Sunda ke Majalah Tri Koro

Dharmo, maka syaratnya harus terdapat 50 anggota Sunda dalam perhimpunan itu. Jika

tidak memenuhi 50 anggota, maka artikel-artikel berbahasa Sunda tersebut tidak

mungkin dimuat.35

Diskriminasi yang dilakukan pelajar Jawa ini membuat pemuda Sunda

memisahkan diri dengan Tri Koro Dharmo. Di Bandung muncul perhimpunan pelajar

Sunda yang bernama Bandungse Inlandse Studerendenbond atau BIS (Perserikatan

Pelajar Pribumi Bandung) yang diketuai Wiwoho, pelajar dari HBS (Hoogere Burger

School) Bandung.

33
Pitoet Soeharto dan A.Zainoel Ihsan, Maju Setapak ( Jakarta: Aksara Jayasakti, 1981), hal. 25
34
Jong Java’s Jaarboekje. loc.cit.
35
Ibid, hal. 50
27

Pada saat Soekiman Wirjosandjojo dipercaya menjadi Ketua Tri Koro Dharmo,

maka dalam Kongres Pertama 12 Juni 1918, terjadilah perubahan nama perhimpunan

pelajar Jawa ini dari Tri Koro Dharmo menjadi Jong Java. Perubahan ini sebetulnya

ingin mengambil hati para pelajar dari Sunda dan Madura. Perhimpunan pemuda Jawa

pada waktu ini tidak lagi memakai nama Jawa, tetapi nama Belanda. Walaupun begitu

para pelajar Jawa Tengah tetap mendominasi perhimpunan. Bahkan Soekiman

memperingatkan rekan-rekannya dari Sunda :

“Jangan menolak tangan persaudaraan yang diulurkan kepada Anda. Kita Tidak
dapat menerima nasionalisme Sunda di samping nasionalisme Jawa di bumi
Jawa. Cita-cita kita ialah satu nasionalisme saja untuk putra-putra Jawa.” 36

Juga dalam majalah perhimpunan diperdebatkan sifat-sifat yang menurut mereka

menjadi ciri mereka dan dalam hal ini yang diungkapkan adalah rasa superioritas Jawa

Tengah, di mana dikatakan bahwa: “ Perempuan (Sunda) biasa mandi telanjang di kali

dan di pancuran, ketika banyak orang lewat dan waktu bertemu mereka selalu bicara

keras dan itu tidak pantas menurut kami.” 37

Tuduhan miring terhadap orang Sunda ini mendapat tanggapan lansung seperti

yang ditulis di dalam Majalah Tri Koro Dharmo, Mei 1918, no.7 dengan judul: De

Javaan en de Soendanees (Arti Bersatu dan Satu) :

“Kalau engkau melihat, betapa perempuan-perempuan mereka mandi telanjang


begitu saja di sungai atau di bawah pancuran, sedang begitu banyak orang lalu
lalang di situ, dan bila bertemu mereka berbicara dan tertawa keras-keras, itu
tidak boleh di kalangan kami. O, ini rupanya yang menjadi sebab jadi orang
menganggap sangat buruk bila seorang perempuan mandi di sungai dalam
keadaan telanjang ? Akan tetapi sahabatku, apakah menghisap madat di kalangan

36
Tri Koro Dharmo, 1918, no..7,97-99
37
Tri Koro Dharmo, 1918, no. .7, 116-118.
28

kalian orang-orang Jawa Tengah, tidak seribu kali lebih buruk dari pada itu
?...Dan mengenai keceriaan mereka bila bertemu, merupakan tabiat mereka.
Orang Soenda sifatnya memang periang dan tak mengenal susah, tawa mereka
mungkin kedengarannya agak aneh bagi telinga orang-orang Jawa Tengah yang
selalu berat hati dan senantiasa memperhatikan tata cara sopan santun itu.”38

Tahun 1918, cita-cita budaya dan politik Jong Java menjadi lebih ambisius,

yaitu bagaimana menciptakan tentang Jawa Raya yang termaktub dalam Anggaran

Dasar Jong Java. Di dalamnya Jawa digambarkan sebagai tritunggal orang Jawa, Sunda

dan Madura. Lebih jauh Majalah Klub Jong- Java menghiasi sampulnya dengan

simbolis gambar peta Jawa yang ditengahnya terdapat keris menyala dengan cahaya

menyebar ke seluruh penjuru Jawa dan Madura. 39

Melihat kenyataan seperti ini pemuda pelajar Sunda pada tanggal 26 Oktober

1919 di Jakarta membentuk sebuah perkumpulan baru bernama “Sekar Roekoen”.

Maksud didirikannya perkumpulan ini adalah untuk memajukan kesenian orang Sunda,

mempersatukan murid orang Sunda di Jakarta, memperbaiki bahasa Sunda dan

menghibur hati. Caranya adalah dengan mengumpulkan bunyi-bunyian orang Sunda

seperti gamelan, kecapi, celempong, dan seterusnya, dengan belajar dan mengajarkan

keahlian orang Sunda seperti misalnya; tembang (nyanyi), pencak silat, menari, dan lain-

lain. Juga membuat suatu balai pertemuan untuk tempat berkumpul supaya bersatu, di

samping mengharuskan berbicara bahasa Sunda dalam perkumpulan-perkumpulan atau

pertemuan-pertemuan, mengadakan perpustakaan dan surat kabar bahasa Sunda.

38
Soeharto, hal.205
39
Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di
Indonesia , 1918-1930 (Jakarta: Hasta Mitra, Pustka Utan Kayu, KITLV, 2003) hal.50,51.
29

Pada saat bersamaan muncul organisasi pergerakan pemuda pelajar lainnya,

seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Bataks Bond , Jong

Celebes, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut menggambarkan heterogenitas

suku bangsa yang ada, dan menunjukkan wilayah yang berbeda-beda pula. Berada pada

satu wilayah yang sama yaitu Jakarta dan bersatu dalam satu wadah dengan nama sesuai

dengan suku (etnik) dan wilayah atau daerahnya masing-masing. Mereka memiliki

tujuan yang tidak jauh berbeda, yaitu ingin memajukan daerah dan budayanya masing-

masing. Disamping itu ada juga pemuda pelajar yang ingin mendirikan organisasi

pemuda berdasarkan agama tertentu, seperti Jong Islamieten Bond.

B. Berdirinya Jong Sumatranen Bond

Jong Sumatranen Bond (JSB) merupakan salah satu organisasi pemuda

kedaerahan yang didirikan oleh pemuda-pelajar Sumatera di Batavia (Jakarta) pada hari

Minggu 9 Desember 1917. JSB didirikan tidak jauh dari Gedung STOVIA (tempat

didirikan BO, Tri Koro Dharmo dan organisasi pemuda kedaerahan lainnya) yaitu di

gedung Volkslectuur Weltevreden.40 Tentang tempat rapat sekaligus tempat didirikan

JSB ini, menurut Magdalia Alfian bahwa di tempat itulah kemungkinan banyak para

pemuda Sumatera yang bekerja pada Volkslectuur, yang pada waktu itu dipimpin oleh

Sutan Pamuntjak yang berasal dari Minangkabau.41

40
Jong Sumatra, No. 6,7 dan 8, Juni, Juli dan Agustus 1918 : 11, Adapun yang dimaksud gedung
Volkslectuur tersebut pada saat itu berada di dekat jalan Dr. Wahidin Lapangan Banteng Jakarta Pusat.
41
Magdalia Alfian adalah yang pernah mewancarai salah seorang tokoh anggota Jong Sumatranen
Bond yaitu Mohammad Rasyid. Sumber ini diperoleh pada saat penulis memintakan pendapatnya tentang
Jong Sumatranen Bond
30

Sasaran didirikannya JSB adalah sebagai sarana untuk memperkokoh hubungan

antara sesama pelajar Sumatera di Jakarta. Menanamkan kesadaran bahwa mereka

nantinya menjadi pemimpin, dan untuk membangkitkan perhatian terhadap adat istiadat,

seni, bahasa, kerajinan, pertanian dan sejarah Sumatera. Jadi diharapkan pemuda-

pemuda Sumatera bersatu untuk memajukan daerahnya di berbagai bidang.

Berdirinya organisasi kedaerahan ini memperoleh dukungan penuh dari pemuda-

pemuda Sumatera yang melanjutkan pelajarannya di Jakarta.. Pada mulanya berkumpul

beberapa pemuda pelajar asal Sumatera yang menginginkan adanya suatu perkumpulan

pemuda. Setelah adanya suatu kesepakatan, maka para pemuda tersebut membuat surat

edaran yang akan diedarkan ke sekolah-sekolah menengah yang ada di Jakarta. Surat

edaran tersebut berisi beberapa gagasan dari beberapa orang pemuda Sumatera yang

menginginkan dibentuknya suatu perkumpulan pemuda dan M.Anas adalah pimpinan

yang menggagas rencana tersebut.42

Melalui surat edaran tersebut, maka ditetapkanlah hari dan tanggal untuk

mengadakan pertemuan. Pertemuan atau rapat tersebut diselenggarakan di Gedung

Volkslectuur (sekarang menjadi Gedung Balai Pustaka Jakarta) pada tanggal 9

Desember 1917..

Volkslectuur adalah suatu badan yang memberikan pertimbangan kepada

pimpinan Departemen van Onderwijs en Eerediest (Departemen Pendidikan) tentang

buku-buku bacaan yang belum diterbitkan. Juga diberi wewenang untuk menerbitkan

42
Jong Sumatra, jaarg 1, no.1, Januari 1918, hal.11-12.
31

buku-bukunya sendiri, menerbitkan majalah dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah

lainnya.43

Pada pertemuan tanggal 9 Desember 1917 tepatnya pada hari Minggu, Jong

Sumatranen Bond dibentuk, dengan dihadiri oleh tokoh-tokoh dari Sumatera seperti,

Abdoel Muis, Soetan Temenggoeng dan lain-lain. Haji Agus Salim yang juga turut

diundang, tetapi karena ada halangan, pada hari itu tidak dapat hadir. Di samping itu,

pertemuan tersebut juga dihadiri murid-murid sekolah menengah di Jakarta (Batavia)

seperti dari Rechtschool, STOVIA, K.W.S, Kweekschool dan sekolah MULO,

keseluruhan yang hadir lebih kurang 90 orang.44

Pada waktu itu, rapat dimulai kira-kira pukul 10 pagi dan dibuka oleh Tengkoe

Mansoer dengan didahului ucapan selamat datang kepada yang hadir. Selanjutnya T.

Mansoer menjelaskan mengenai ide pembentukan JSB dan manfaat organisasi tersebut.

Juga dilontarkan kecaman mengenai campur tangan pemerintah Belanda yang telah

banyak sekali merubah keadaan. Oleh karena itu cara penyesuaian kepada lembaga-

lembaga masyarakat merupakan cara yang sungguh tepat. Dalam hal ini T.Mansoer

menjelaskan :

“Campur tangan pemerintah Belanda telah banyak sekali merubah keadaan pada
umumnya. Oleh karena tujuannya yang utama pada saat menanamkan kekuasaan,
ialah agar peralihan susunan hukum lama kepada susunan hukum yang baru
dapat berlaku tanpa menimbulkan goncangan-goncangan, maka cara penyesuaian
kepada lembaga-lembaga masyarakat yang telah ada cara yang sungguh tepat.”

43
P.N.Balai Pustaka, P.N. Balai Pustaka Selayang Pandang (Jakarta: Departemen P dan K,
1978), hal.8-9.
44
Jong Sumatra, loc.cit. 11
32

Berbicara mengenai perkembangan masyarakat pada waktu itu T. Mansoer

menegaskan :

“Namun untuk memperoleh gambaran yang tepat mengenai taraf keadaan kita
pada saat ini kita harus mengorbankan cita-cita nasional kita untuk tuntutan-
tuntutan yang klita hadapi dewasa ini. Barang siapa sepenuhnya memperhatikan
kehidupan di sekelilingnya dan menyaksikan dari dekat perkembangan asuku-
suku bangsa di Sumatra, akan merasa bahwa mereka belum maju setapakpun
dalam perjalanan ke arah.45

Setelah T. Mansoer berpidato, M.Anas dari STOVIA menjelaskan lebih rinci

tujuan didirikannya JSB dan dia sendiri menceritakan mengenai suka duka menjelang

persiapan dibentuknya organisasi tersebut dan mengatakan :“Sesungguhnya pekerjaan

ini amat berat, akan tetapi alangkah nikmatnya mencicipi rasa buah pohon ini kelak

apabila tanaman itu hidup dengan subur.”, artinya bahwa pendirian organisasi ini akan

dirasakan manfaatnya bila sudah tumbuh dan berkembang.

Berikutnya yang menyampaikan pidato penjelasan adalah Alinoedin dari

Rechtschool. Dia pun menjelaskan tujuan didirikannya Jong Sumatranen Bond :

“Sudah waktunya kita penduduk Pulau Sumatra membuka pelupuk mata.


Lihatlah saudara-saudara dari tanah Jawa dan Minahasa. Seharusnya kita
bersama-sama di sisi mereka turut serta bergerak. Akan tetapi untuk penduduk
Sumatra sangat sulit untuk mencapai ke tempat tujuan tersebut karena masing-
masing organisasi saling menganggap dirinya lebih baik. Hal tersebut tidak
mengherankan bagi kita karena dari nenek moyang turun temurun hal tersebut
telah berurat berakar, sehingga kita tidak dapat memajukan Sumatra. Itulah
kewajiban kita (generasi muda) menghilangkan kelemahan tersebut, cepat atau
lambat, pekerjaan tersebut pasti berhasil.” 46

Terakhir yang memberi sambutan adalah Jahja dari STOVIA. Dia menegaskan

pentingnya organisasi seperti Jong Sumatranen Bond tersebut bagi penduduk Sumatera.

45
Ibid. hal. 11
46
Ibid.
33

Setelah satu persatu pembicara menyampaikan paparannya, selanjutnya Amir

dari STOVIA membacakan Anggaran Dasar Jong Sumatranen Bond (Lampiran I). Lebih

lanjut di dalam Anggaran Dasar JSB dinyatakan bahwa JSB merupakan sebuah

perserikatan bagi para pemuda Sumatra yang telah menerima pendidikan lanjutan atau

menengah atau kejuruan. Berkedudukan di Weltevreden dan memiliki cabang dengan

pengurusnya sendiri di bawah pengawasan pengurus pusat.47

Sedangkan apa yang diinginkan JSB sangat jelas terlihat di dalam tulisan salah

seorang pengurusnya Nazief di Jong Sumatra, yang antara lain menulis :

“Bila kita melemparkan seluruh suku bangsa yang ada di Sumatera ke dalam
sebuah kawah pelebur untuk kemudian memperoleh seorang khas model
Sumatera, maka hal ini akan menimbulkan kekecewaan dan kegagalan saja. Jadi
tujuan kita bukan untuk memoles licin semua ciri khas penghidupan suku-suku
bangsa di Sumatera yang sudah seharusnya dimiliki oleh masing-masing suku
bangsa itu; sebab melebur kesemuanya itu supaya menjadi sama bentuknya
tidak baik akibatnya.” 48

Dari kutipan tersebut dapat diartikan bahwa keberadaan suku-suku di Sumatera tetap

akan dilestarikan dan dikembangkan, bukan untuk disatukan menjadi seragam, karena

hal ini akan menjadi sia-sia dan menimbulkan kekacauan. Jadi tujuan didirikan JSB

bukan untuk menghilangkan ciri khas penghidupan suku-suku bangsa di Sumatera atau

ingin mencari seseorang yang bercirikan model Sumatera, tetapi tujuannya adalah

mendekatkan seluruh anggota masyarakat dan mengumpulkannya di bawah satu panji

untuk berjuang bersama mencapai tujuan yang sama dan cita-cita yang sama.

Di dalam Anggaran Dasar JSB bagian 2 tentang tujuan JSB dinyatakan bahwa :

47
Jong-Sumatra, No.1, Januari 1918 : 5
48
Soeharto dan A.Zainoel Ihsan, Op. Cit. hal. 133
34

Tujuan serikat ini adalah:

Pasal 1 : memperkuat ikatan antara para pemuda pelajar Sumatra, dengan menyisihkan
semua perbedaan ras, dengan menumbuhkan dan memperkuat saling
menghargai di antara para pelajar Sumatra, dan dengan mengajukan suatu
tuntutan mutlak kepada setiap anggotanya agar dia menyebut dirinya sebagai
orang Sumatra.
Pasal 2 : membangkitkan perhatian bagi tanah dan penduduk Sumatra.
Pasal 3 : menumbuhkan kesadaran di antara para anggotanya dan menjaga agar mereka
terpanggil untuk tampil sebagai pemimpin dan pemandu rakyatnya.
Pasal 4 : membangkitkan perhatian bagi dan menyebarkan bahasa Sumatra dan
melestarikan serta memajukan seni dan kerajinan Sumatra.49

Sedangkan cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan :

Pasal 1 : mempelajari dan menekuni sejarah, bahasa, budaya dan seni Sumatra.
Pasal 2 : dengan mengundang orang-orang yang berwenang untuk memberikan ceramah,
kuliah atua menulis artikel tentang geografi, etnografi, sosial dan sebagainya
yang menyangkut bagian daerah Sumatra.
Pasal 3 : dengan menerbitkan lembaran Serikat untuk menerbitkan ceramah, kuliah dan
monografi yang untuk itu diperlukan bagi diskusi.50

Lebih rinci dinyatakan bahwa sebagai anggota biasa JSB, bisa diterima para

siswa Sumatra dari lembaga pendidikan menengah, pendidikan kejuruan dan MULO di

Hindia. Sedangkan sebagai anggota luar biasa adalah mereka yang sudah lulus baik yang

tinggal di Jakarta atau tempat lain.

Bagi setiap yang mau menyumbang, Pengurus Pusat JSB berhak untuk

memberikan status anggota kehormatan kepada orang-orang yang menurut pendapatnya

layak diperhitungkan untuk itu.

Juga dinyatakan bahwa dana diperoleh dari iuran, sumbangan cabang dan

sumbangan sukarela. Cabang-cabang memiliki pengurus sendiri di bawah pengawasan

49
Jong-Sumatra, loc.cit.
50
Ibid.
35

pengurus pusat. Sebuah peraturan rumahtangga yang tidak dianggap bertentangan

dengan anggaran dasar Serikat akan mengatur persoalan cabang. Pendaftaran sebagai

anggota dilakukan secara tertulis kepada sekretaris cabang. Keanggotaan berakhir

karena penunggakan pembayaran selama 3 bulan. Hanya anggota biasa yang memiliki

hak bersuara. Pengurus pusat terdiri atas seorang ketua, wakil ketua, sekretaris,

bendahara dan anggota pengurus. Dalam pemilihan pengurus pusat akan diperhatikan

berbagai kelompok penduduk dan tidak boleh mengakibatkan suatu kelompok penduduk

lebih kuat terwakili dari pada kelompok lain, khususnya sekretaris di satu sisi dan ketua

di sisi lain tidak boleh berasal dari kelompok penduduk yang sama. Organisasi akan

dibubarkan apabila dalam rapat umum yang diadakan oleh pengurus pusat setidaknya ¾

jumlah anggota menyetujui pembubaran itu. Tentang kekayaan Serikat setelah

dibubarkan, rapat umum akan memutuskan. Dengan pembubaran cabang, kekayaannya

akan diserahkan kepada Serikat.

Sementara mengenai Pengurus Pusat dinyatakan bahwa : pengurus pusat setiap

tahun akan berganti dan bisa dipilih kembali. Pengurus pusat mewakili Serikat baik di

dalam maupun di luar organisasi. Pengurus pusat harian dipilih oleh dan dari pengurus

pusat yang dibebani dengan pelaksanaan aktivitas sehari-hari dari organisasi dan

bertanggung jawab kepada pengurus pusat. Dalam kasus kemacetan dalam pemungutan

suara, ketua akan menentukan. Sementara seorang sekretaris memperhatikan pembukuan

organisasi, membuat notulen rapat dan ditugasi dengan semua surat-menyurat. Semua

berkas pengurus pusat ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. Begitu pula bendahara

dinyatakan bahwa tugasnya adalah memperhatikan urusan keuangan. Pada akhir tahun
36

organisasi, dia harus mempertanggungjawabkan keuangan dalam laporan keuangan

tahunan. Semua usul dari siapapun juga yang menyangkut kepentingan Serikat harus

dimuat dalam majalah. Sebagai sebuah sebutan, maka rapat yang diadakan oleh

pengurus pusat disebut rapat umum. Selanjutnya harus dibedakan antara rapat cabang

dan rapat pengurus. Apabila lebih dari 1/3 bagian jumlah anggota hadir di dalam rapat,

maka mereka bisa menuntut rapat umum diadakan.

Sebagai sebuah organisasi yang berkeinginan untuk berkembang, maka JSB juga

memiliki apa yang dinamakan Lembaran Serikat. Lembaran Serikat ini terbit dalam

bentuk majalah yang diberi nama “Jong-Sumatra” dan terbit sekali dalam satu bulan.

Selain tulisan yang bernuansa Sumatra, tulisan yang bersifat umum juga bisa dimuat.

Tentang keanggotaan, pengurus pusat menjadi redaksi kepala, tetapi menunjuk orang-

orang yang khususnya dibebani dengan pekerjaan redaksi. Selanjutnya pengurus pusat

memilih beberapa anggota biasa sebagai pengurus bagi Lembaran Organisasi. Tentang

kelanjutan lembaran serikat ini, sebagian tertentu dari uang iuran yang disetorkan, juga

dari cabang, akan disisihkan.

Setelah pembacaan Anggaran Dasar JSB, dilakukan pemilihan pengurus.

Sebagai calon ketua (president) diajukan dua orang yaitu Alinoedin dan T,Mansoer.

Pilihan kemudian jatuh kepada T.Mansoer. Keputusan pemilihan tersebut selengkapnya

adalah sebagai berikut :

Ketua : Tengkoe Mansoer (seorang pangeran dari Asahan/ Sumatra


Timur)
Wakil Ketua : Abd.Moenir Nst.
Sekretaris : M.Anas dan Amir.dan Amir dari STOVIA
37

Bendahara : Marzoeki I dari STOVIA51

Pada saat itu masih banyak para pemuda pelajar yang tidak hadir, tetapi sidang

terus dilanjutkan. Akhirnya kepengurusan menjadi lengkap setelah nama-nama anggota

pengurus ditentukan, sehingga secara keseluruhan pengurus adalah sebagai berikut :

Ketua : Tengku Mansoer


Wakil : Abdoel Munir Nasoetion
Sekretaris : M. Anas dan Amir
Bendahara : Marzuki II
Anggota Pengurus : Latif Panei, Zainal Abidin, Achmad Djonap, Merari Sr.,
Regen., Osman, Hasan Sr.52

Nama-nama lain yang ikut bersidang antara lain Latif Panei dan Zainal Abidin

dari Rechschool, Merari Sr. dan Achmad Djonap dari Kweekschool, Hassan Sr. dari

M.U.L.O. dan Regen Sr. dari K.W.S 53

Biasanya di dalam sebuah organisasi, yang pertama kali ditentukan adalah nama

organisasi tersebut, tetapi di dalam membentuk organisasi pemuda Sumatra ini,

penguruslah yang dipilih terlebih dulu baru kemudian pemberian nama terhadap

organisasi itu. Nama yang disepakati adalah “ Jong Sumatrenen Bond” (Himpunan

Pemuda Sumatera).

Pada satu sisi, keinginan mendirikan JSB adalah dilatarbelakangi oleh

timbulnya kesadaran di kalangan pemuda-pelajar Sumatera di Jakarta akan pentingnya

organisasi dan adanya rangsangan yang timbul setelah terbentuknya Boedi Otomo dan

Jong Java. Tetapi pada sisi lain, perlu digarisbawahi bahwa munculnya JSB tidak

51
Ibid
52
Jong Sumatranen Bond 2, 1919, No. 2 hal. 25
53
Jong Sumatra, loc.cit. hal. 12
38

semata-mata dikarenakan munculnya Jong Java atau organisasi lain itu.. Banyak

perbedaan di antara JSB dengan organisasi pemuda pelajar lain itu. Misalnya perbedaan

antara Jong Java dan JSB. Jong Java lebih mengutamakan kemajuan budaya dan

anggota-anggotanya yang etnik Jawa, tidak mencakup etnik lain yang terdapat dalam

satu wilayah di Pulau Jawa. Sedangkan JSB adalah untuk kemajuan budaya Sumatera,

mencakup semua etnik yang terdapat dalam satu wilayah di Pulau Sumatera. Perbedaan

lain antara JSB dengan organisasi pemuda pelajar lainnya terletak dari tujuan

didirikannya organisasi pemuda pelajar tersebut.. Tujuan ketiga di dalam Anggaran

Dasar JSB, yaitu menumbuhkan kesadaran di antara para anggotanya dan menjaga agar

mereka terpanggil untuk tampil sebagai pemimpin dan pemandu rakyatnya tidak

terdapat di dalam tujuan organisasi pemuda pelajar lain. Kedua ciri khas ini yang

membedakan antara JSB dengan organisasi pemuda pelajar lainnya.

Dengan berdirinya JSB oleh pemuda pelajar Sumatera di Jakarta yang juga

merupakan kedudukan dari Pengurus Besar JSB, maka para anggota yang kembali ke

daerah masing-masing, diharuskan untuk membawa kabar atau melakukan propaganda

ke daerah asalnya tersebut dengan sasaran untuk dapat mengembangkan organisasi ini

melalui pembukaan cabang-cabang. Nazir Datuk Pamuntjak salah seorang anggota JSB

Pusat yang baru selesai menamatkan pelajarannya di Hoogere Burgerschool (HBS) di

Jakarta dan akan melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden di negeri Belanda dalam

bidang ilmu hukum.54 Karena keberangkatannya tertunda, maka sambil menunggu, ia ke

54
Amura, et.al. Bahder Djohan Pengabdi Kemanusiaan (Jakarta: Penerbit PT. GUnung Agung,
1980) hal. 17
39

kampung halamannya di Padang untuk menemui sanak saudara. Pada saat itulah Nazir

Datuk Pamuntjak diminta oleh Pengurus Pusat untuk mempropagandakan JSB ke

Sumatera Barat.

Setibanya di Padang, Nazir Dt Pamuntjak bertemu Taher Marah Sutan yaitu

Sekretaris Sarekat Usaha (yang bergerak dalam bidang usaha dagang) dan menceritakan

maksud kedatangannya yang ternyata mendapat sambutan baik dari Marah Sutan

sehingga dengan persetujuannya diselenggarakanlah suatu pertemuan di gedung milik

Sarekat Usaha tersebut. Pada pertemuan itu Nazir menguraikan panjang lebar tentang

maksud dan tujuan JSB kepada para hadirin yang terdiri dari murid-murid sekolah

menengah yang ada di Padang. Uraian pidato Nazir mendapat sambutan yang sangat

menggembirakan dari para hadirin, sehingga terbentuknya JSB cabang Padang.

Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu hanya dalam setahun, jumlah anggota

JSB sudah mencapai 419 orang yang tersebar dari berbagai wilayah yaitu :

1. Batavia : 138 orang.


2. Soekaboemi : 17 orang.
3. Buitezorg (Bogor) : 30 orang..
4. Padang : 37 orang
5. Fort de Kock (Bukit Tinggi) : 126 orang
6. Serang : 48 orang
7. Medan : 12 orang
8. Purworedjo (Afd. Batavia) : 7 orang
9. Bandoeng (idem) : 4 orang 55.

JSB diakui banyak cabang di Jawa dan Sumatera. Di antara cabang-cabang

tersebut cabang Jakarta yang sekaligus sebagai tempat Pengurus Besar JSB berpusat

55
Jong Sumatra (Juni, Juli dan Agustus 1918) : hal. 106
40

adalah yang paling maju. Pada tingkat Pengurus Pusat ini terdapat organisasi wanitanya

yang diaberi nama Perserikatan Gadis Sumatra dan organisasi kepanduan dengan nama

Pandu Pemuda Sumatra, serta perkumpulan sepak bola yang bernama Sumatra

Sepakat.56 Perkumpulan sepakbola ini kemudian banyak digemari oleh para anggota

JSB di berbagai cabang, di samping bertujuan untuk memupuk jiwa sportif di antara

para sesama anggota, perkumpulan ini juga dijadikan sebagai alat yang mudah untuk

mengumpulkan para anggota di berbagai cabang. Oleh karena itu tidak mengherankan

bila pada waktu-waktu tertentu para anggota sering mengadakan pertandingan sepakbola

antar organisasi maupun antar cabang di dalam JSB.

Di samping itu dengan berdirinya sebuah organisasi wanita JSB yang bernama

Perserikatan Gadis Sumatra merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa terdapat

partisipasi aktif yang dilakukan para pelajar wanita dalam rangka mengembangkan

organisasi ini. Perserikatan ini berdiri pada tanggal 11 November 1928. Juga

dibentuknya Pandu Pemuda Sumatera oleh cabang Betawi pada tahun 1928 yang

diketuai oleh Mr.Nazif dan beberapa orang anggota seperti: Ridwan, Zakar, Rosmali,

Achmad Bachri dan Toha ,57 memberi arti bahwa organisasi pergerakan seperti JSB tidak

mau ketinggalan dari Jong Java yang sebelumnya juga telah membentuk lembaga seperti

ini.

Anggota JSB yang setiap tahun kian bertambah, sehingga membuat organisasi

pemuda pelajar ini menganggap perlu untuk menyelenggarakan Kongres, maka pada

56
Pemoeda Sumatra, no.3, Weltevreden, tahun 1928.
57
Ibid.
41

tanggal 4 - 6 Juli 1919, diselenggarakanlah kongresnya yang pertama itu. Meskipun

pengurus organisasi berada di Jakarta, namun berdasarkan pertimbangan para anggota

kebanyakan adalah orang Minangkabau (Sumatera Barat), maka kongres di adakan di

Padang. Kongres hari pertama dihadiri sekitar 3000 peserta. Mereka datang ke tempat

Kongres di lapangan fancy-fair milik Sarekat Oesaha. Di antara yang hadir terdapat

wakil tinggi pemerintahan seperti Residen Sumatra Barat J.D.I. Le Febvre yang

bersimpati kepada kaum muda.58 Di dalam pertemuan ini, Pengurus Besar (Pusat)

mengutus Bahder Djohan, Anas dan Marzuki ke Padang untuk menghadiri kongres

tersebut sekaligus mewakili Ketua Pengurus JSB Tengku Mansyur yang tidak dapat

datang ke Padang, karena sedang ujian. Mohammad Hatta juga tidak dapat menghadiri

acara kongres pertama ini karena sedang mempersiapkan diri berangkat ke Jakarta

untuk melanjutkan sekolahnya.

Kongres hari kedua dibahas mengenai cita-cita Sumatra Raya, azas-azas JSB,

tugas para pemuda, pendidikan bebas untuk para gadis dan masa depan bahasa Melayu.

Pada waktu ini jumlah hadirin semakin berkurang, walau sekolah MULO meliburkan

para muridnya. Di samping itu banyak di antara anggota JSB tidak hadir dan

menggunakan waktu ini untuk kepentingan pribadi.

Pada hari ketiga jumlah yang hadir sekitar 500 - 600 orang, meningkat dari hari

kedua. Pada kongres ini sudah menggunakanakan bahasa Melayu sebagai bahasa

pengantar.

58
van Miert, op.cit, hal.89.
42

Selesai Kongres JSB yang pertama itu dibuatlah sebuah tugu peringatan yang

didirikan tidak jauh dari tepi pantai kota Padang, tepatnya di lapangan segitiga di depan

Oranje Hotel di Lapangan Michiels (sekarang halaman Hotel Muara). Monumen itu

berupa sebuah tugu, puncaknya berbentuk piramid dan di atas piramid bertengger

sebuah bola batu. Di atas tugu itu ditulis dalam bahasa Belanda “Ter herinnering aan

het 1 ste Congres van de Jong Sumatranen Bond 1919”.59 Tanda tahun 1917 dan 1930

yang ditambahkan pada monument itu menunjukkan tahun pembentukan dan

pembubaran JSB. Ini merupakan tugu peringatan pertama bagi pergerakan pemuda di

seluruh Indonesia.

Selanjutnya Kongres JSB kedua diselenggarakan pada tanggal 24 dan 25

Desember 1921 di Weltevreden.. Dalam Kongres ini Amir berbicara tentang

“Sumatraansche Volksontwikeling” (Pengembangan Bangsa Sumatra), Djohan tentang

tambo Minangkabau dan pembentukan Letterkundige Kring (Kelompok Sastra) dan

Muhammad Yamin mengucapkan pidato ilmiah yang lamanya lebih dari dua setengah

jam mengenai bahasa dan sastra Melayu.60

59
Ibid, hal. 93
60
Ibid, hal. 107.
BAB III

PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI JSB

A. Masalah Keanggotaan dan Organisasi JSB

Jong Sumatranen Bond (JSB) pada awal berdirinya sudah memiliki

Anggaran Dasar dan kepengurusan sendiri, baik kepengurusan besar atau pusat

maupun pengurus cabang. Dalam Anggaran Dasar seperti yang telah

dikemukakan dalam bab sebelumnya, tujuan JSB mencerminkan upaya orang-

orang Sumatera untuk kemajuan Sumatera61, hal itu terlihat dari keanggotaan

dan kepengurusan JSB yang terdiri atas berbagai etnis suku yang ada di pulau

Sumatera.

Di samping itu, JSB juga berusaha menghindari dominasi suku-suku

tertentu dan tidak memandang perbedaan agama. Di dalam keanggotaan JSB

terdapat beragam suku dan agama. Misalnya suku Minangkabau, Aceh dan

Batak Karo. Bukti lainnya dapat dilihat pada saat pemilihan kepemimpinan

pertama JSB, di mana yang terpilih sebagai ketua bukan orang Minangkabau,

walaupun jumlah suku Minangkabau sebagai anggota JSB lebih banyak dari

suku-suku lain. Terpilih sebagai ketua pertama adalah Tengkoe Mansoer pelajar

STOVIA asal Asahan Sumatera Timur. 62 Dia terpilih karena berhasil

mempersatukan dan menanam benih-benih idealisme di antara sesama pemuda

Sumatera. Periode kepemimpinannya dianggap berhasil menumbuhkan citra

JSB sebagai organisasi

61
Jong Sumatra, No. 1, Januari , 1918, hal. 5
62
Ibid, hal.12
44

pemuda Sumatera. Sehingga keberhasilan ini memperoleh dampak terhadap

dirinya, dan pada akhirnya terpilih menjadi ketua pertama JSB.

Dalam kepengurusan JSB, pemuda pelajar dari suku Minangkabau

(Sumatera Barat) lebih sering muncul ke permukaan bila dibandingkan dengan

suku-suku lainya di Sumatera. Begitu juga dalam beraktivitas di organisasi,

sehingga terkesan orang-orang Minangkabau selalu mendominasi. Faktor

jumlah ini sangat berpengaruh besar di dalam keanggotaan, sehingga wajar pula

kalau orang-orang Minangkabau dalam JSB lebih menonjol dan bahkan dari

sebagian mereka muncul sebagai tokoh-tokoh nasionalis. Adapun anggota JSB

dari Minangkabau yang muncul sebagai tokoh-tokoh nasionalis antara lain

sebagai berikut :

1. Mohammad Hatta adalah tokoh terkemuka Minangkabau, bersama Ir.

Soekarno, dikenal sebagai tokoh proklamator. Lahir di Bukittinggi,

Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Mengenal pertama kali JSB,

sewaktu bertemu dengan Datuk Pamoentjak, salah seorang utusan Pengurus

Besar JSB yang ditugaskan mendirikan cabangnya di Padang. Pada saat JSB

cabang Padang berdiri, Mohammad Hatta duduk sebagai Bendahara.

Kedudukannya sebagai bendahara juga dipegangnya ketika menjadi

pengurus Pusat JSB di Jakarta. Selama menjadi pengurus JSB, peranan Hatta

yang menonjol adalah memajukan organisasi terutama dalam menghindari

bangkrutnya dana organisasi. Hatta juga banyak menulis artikel yang dimuat

di majalah atau Surat kabar Jong Sumatra, walaupun ia menjadi pengurus

di Perhimpunan
45

Indonesia, ia tetap menyempatkan membuat tulisan yang dimuat pada surat

kabar tersebut.

2. Mohammad Amir, lahir pada 27 Januari 1900 di kota kecil Talawi,

Sawahlunto Sumatera Barat. Aktif di JSB ketika melanjutkan sekolah di

ELS (Europesche Legere School) di Bukittinggi. Pernah menjadi Sekretaris

II, Wakil Ketua dan Ketua JSB Cabang Bukittinggi periode 1920-1921. Di

daerah ini, untuk pertama kalinya Mohammad Amir berkenalan dengan

Mohammad Hatta, Abdullah Ahmad dan M.Thaher Marah Sutan. Di

samping itu, Mohammad Amir terkenal pula sebagai penyair. Pada masa

menjelang kemerdekaan diangkat sebagai anggota Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan ikut serta menyaksikan perumusan

Naskah Proklamasi di kediaman Maeda. Setelah Indonesia merdeka, pernah

menjadi menteri negara yang berkedudukan di Sumatera Timur dan menjadi

Wakil Gubernur Sumatera. Sedangkan jabatan terakhir yang diembannya

adalah sebagai Ketua Balai Penerangan dan Penyelidikan Provinsi Sumatera

pada 16 Januari 1945.

3. Bahder Djohan, lahir di Padang, Sumatera Barat pada 30 Juli 1902. Dalam

JSB, ia pernah menjadi sekretaris pada pengurus cabang di Padang bersama-

sama dengan Mohammad Hatta yang pada waktu itu diangkat sebagai

bendahara. Sewaktu menjadi pelajar STOVIA di Jakarta, pernah diutus

Pengurus Pusat JSB untuk menghadiri Kongres Pertama organisasi itu pada

bulan Juni 1919. Menjelang pergantian Pengurus Pusat (Besar) JSB pada

tahun 1920, Bahder Djohan dipercaya sebagai sekretaris dan Mohamaad

Hatta sebagai bendahara. Pada tahun 1921, Bahder Djohan dipercaya lagi
46

duduk sebagai Bendahara II Pengurus Pusat JSB dan pada Kongres Pemuda

I tahun 1926, dipercaya menjadi Wakil Ketua Kongres. Selanjutnya pada

masa Perang Kemerdekaan (1945-1950) diangkat menjadi anggota Komite

Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1950, 1952 diangkat menjadi

Menteri PPK. Pernah juga menjadi Direktur RSUP dan Rektor Universitas

Indonesia.

4. Abu Hanifah, lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 6 Januari 1906.

Belajar di STOVIA pada tahun 1922 hingga tamat pada tahun 1932. Selama

menjadi pelajar STOVIA, ia menjadi anggota JSB bersama-sama

Muhammad Yamin, Bahder Djohan dan lain-lain. Pernah menjadi Sekretaris

Umum Pemuda Sumatra (JSB) dengan turut mengambil inisiatif untuk

mengadakan pendekatan-pendekatan yang lebih mantap lagi terhadap

pimpinan organisasi daerah lainnya. Melalui bulletin berkala ”Pemuda

Sumatra” yang dipimpinnya, ia menyebarkan ide-ide persatuan Indonesia. 63

Di samping itu, pernah menjadi Menteri PPK pada Kabinet RIS.

5. Djamaluddin (Adinegoro), lahir pada 14 Agustus 1904 di Talawi,

Sawahlunto, Sumatera Barat. Menjadi anggota JSB di Jakarta, sewaktu

sekolah di STOVIA, ketika Panitia Kongres Pemuda I terbentuk ia duduk

sebagai Sekretaris Panitia.64 Djamaluddin yang lebih dikenal dengan nama

samaran ”Adinegoro” meninggalkan tanah air untuk mencari ilmu

pengetahuan di benua Eropah. Ia mengubah studinya dari bidang kedokteran

ke bidang jurnalistik. Selama menimba ilmu di Eropah Barat, Djamaluddin

63
G.A. Ohorella, Prof. Dr. Abu Hanifah DT. M.E. Karya dan Pengabdiannya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, hal. 27
64
Soebagio.I.N., Adinegoro Pelopor Jurnalistik Indonesia, Haji Masagung, Jakarta, 1987,
hal. 13
47

menyempatkan diri membuat tulisan-tulisan dan kemudian dimuat di media

Panji Pustaka, Bintang Timur dan Pewarta Deli65 dengan menggunakan

nama samaran ”Adinegoro”, sehingga nama lengkapnya menjadi

Djamaluddin Adinegoro yang kemudian menjadi salah seorang pelopor

wartawan Indonesia.

6. Muhammad Yamin, adalah tokoh terkenal di dalam kancah pergerakan

bangsa Indonesia. Dia lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada tanggal 23

Agustus 1903. Muhammad Yamin merupakan pimpinan yang efektif dalam

JSB. Nama Yamin erat sekali hubungannya dengan pembinaan faham dan

rasa kebangsaan Indonesia. Walaupun demikian, pada tahun 1920, cita-cita

kebangsaan Indonesia masih samar-samar. Bahkan Muhammad Yamin

sendiri pada tahun 1920 itu, belum berpegang pada faham dan rasa

kebangsaan Indonesia. Ia masih bergerak dalam lingkungan daerah, seperti

dalam bunyi sajaknya yang dibuat pada tahun 1920 ”Andalas, Tanah Airku”.

Yamin pada waktu itu masih menyebut Andalas atau Sumatra sebagai Nusa

Harapan. Namun dengan bertambahnya usia, dan makin luasnya segi-segi

sosial, intelektual dan pergaulan umumnya, maka cakrawala pemikiran

Muhammad Yamin juga semakin luas. Sejak semula, Muhammad Yamin

sudah percaya pada kekuatan yang menuju Indonesia Raya. Pada Lustrum I

JSB yang diadakan di Jakarta pada tahun 1923, Muhammad Yamin sudah

mengemukakan gagasannya dengan pidatonya berjudul ”De Maleische Taal

in het verleden, heden en in de toekomst”, artinya ”Bahasa Melayu pada

masa

65
Soebagio.I.N., Ibid, hal 29
48

lampau, masa sekarang, dan masa depan. 66 Yamin sudah melihat datangnya

bahasa kebangsaan Indonesia, yaitu berasal dari bahasa Melayu, walaupun

pidatonya sendiri masih dibawakan dalam bahasa Belanda pada tahun 1923.

Pada Lustrum I JSB juga, dia membuat medali peringatan yang ada Nyiur

Melambai. Di samping Nyiur Melambai, kembang Melati merupakan

lambang keindahan Indonesia. Pada waktu itu pula panji Perhimpunan JSB

diresmikan. Panji itu bergambarkan suatu pelita yang menyala, dengan

semboyan “Pelita Bangsa, Senantiasa”.

Munculnya orang-orang Minangkabau sebagai tokoh nasionalis di JSB

tidak dapat pula dilepaskan dari latar belakang mereka sebagai orang perantau.

Budaya merantau bagi pemuda Minangkabau merupakan keharusan, sebab

berkaitan dengan harga diri dan prestasi. Kepergian pemuda umumnya didorong

oleh dua faktor, pertama ingin menuntut ilmu, kedua hendak mencari nafkah.

Adalah suatu kebanggaan bagi pemuda Minangkabau yang merantau bila pulang

ke kampung halaman dengan menyandang ilmu atau gelar sarjana. Apalagi bila

sudah bekerja dan berekonomi baik. Ada pepatah Minangkabau yang

menyatakan “Karatau madang di hulu-babuah-bababungo balun. Merantau

bujang dahulu-di rumah paguno balun”, artinya kaum muda hendaklah

menimba ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya di perantauan, karena pemuda

tidak bisa membangun di kampung halaman jika belum ada ilmu yang

dimilikinya. Pepatah ini memacu semangat merantau bagi pemuda untuk

menjadi orang yang berguna, mencari ilmu, mencari nafkah lalu berumah

tangga, mengurus keluarga dan kaumnya, serta

66
Sutrisno Kutoyo, Op. Cit. hal. 20
49

membangun kampung halaman. Sebaliknya bila seorang pemuda mendekam di

kampung halaman, tampaknya ia akan menjadi kurang berguna, tidak memiliki

ilmu, pengalaman, juga harta benda. Apalagi sistem Matriachaat di

Minangkabau melimpahkan seluruh warisan orang tua kepada pihak keturunan

garis ibu, yaitu ibu dan anak perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki tidak

mendapat warisan apapun, bahkan sejak usia kanak-kanak mereka sudah


67
diwajibkan menuntut ilmu dan tidur di surau.

Munculnya nama-nama tokoh Minangkabau yang terkesan mendominasi

JSB, menjadi masalah terhadap anggota JSB yang ber-etnis lain, seperti yang

dialami oleh pemuda pelajar dari Batak. Perbedaan sikap suku Batak di dalam

rangka menilai JSB yang terkesan didominir suku Minangkabau adalah sesuatu

yang wajar apabila melihat ke kebudayaan Batak selama ini. Perbedaan sikap ini

menurut suku Batak adalah sesuatu yang dinamis dan berkonflik itu bukanlah

sesuatu yang aib.

“Tingkat kesediaan orang Batak terhadap konflik cukup tinggi, tetapi


sekaligus tingkat untuk berkonsensus juga sangat tinggi. Konsep dasar
kebudayaan Batak adalah sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Pada
tahap paling tinggi, Dalihan Na Tolu dihayati sebagai sistim kognitif
(berdasarkan kepada pengetahuan faktual yang empiris).” 68

Jadi dapat dikatakan, suku Batak memiliki dua sikap yang kedua-duanya

bisa diterapkan pada posisi tertentu. Atau dengan perkataan lain, bahwa pada

tingkat tertentu, kemandirian yang diharapkan dalam Dalihan Na Tolu dapat

menghasilkan potensi konflik yang tinggi, tetapi pada pihak lain, Dalihan Na

Tolu

67
www_idesa_net-my_Berita_files
68
Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M.Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak
Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), hal.5
50

merupakan potensi yang meredusir atau mengelimir konflik. Hanya yang

menjadi permasalahan di dalam organisai JSB, sehingga permasalahn

keanggotaan bercampur baur dengan permasalah etnik (budaya).

Suku Batak memiliki adat Dalihan Na Tolu yang mengatur hak dan

kewajiban dalam hubungan antara tiga marga yang kedudukannya terkait erat

sebagai unsur kesatuan. Dalam statusnya sebagai anggota Dalihan Na Tolu,

seseorang harus dihormati oleh anggota-anggota lainnya. Sebaliknya, ada pula

hak dan kewajiban dari dan terhadap unsur kedua dan ketiga. Hak dan

kewajiban dalam keseluruhan aturan adat Batak itu cukup kompleks. Ada

sesuatu hal yang membuat suku Batak tidak mau terlangkahi oleh suku-suku

lain. Orientasi semacam ini disalurkan dalam pranata Dalihan Na Tolu tersebut,

di mana dikatakan bahwa setiap orang adalah “raja” pada waktunya. Oleh

karena itu tidak mengherankan bila suku Batak tidak dapat menerima suku

Minangkabau mendominir organisasi JSB.

Di samping itu, ketaatan suku Batak terhadap agama memupus habis

anggapan bahwa pada masa lalu suku Batak adalah pemakan orang.

“Sesungguhnya orang Batak ditakdirkan beragama dalam arti mereka

menggunakan Agama Islam (bagi Angkola Mandailing) pada umumnya dan

Kristen Protestan Lutheran (bagi Toba) umumnya. 69

Sanoesi Pane dalam surat kabar Jong Batak, Januari 1916, nomor 1

halaman 12 mengakui bahwa sangat sulit menyatukan dua kebudayaan antara

Batak dan Minangkabau. Selanjutnya Sanoesi Pane menegaskan: “Sejarah

rakyat

69
Ibid, hal.55
51

Minangkabau dan Batak, dua bangsa yang pada saat ini paling terkemuka di

Sumatera, terlalu berjauhan satu sama lain, untuk mengharapkan berhasilnya


70
pekerjaan Jong Sumatranen Bond secara nyata.”

Pernyataan ketidakserasian antara suku Batak dan Minangkabau ini dipertegas

oleh Aminoedin Pohan di dalam Majalah Jong Batak, Januari 1916 no.1, hal.30 :

“Siapakah di antara kita yang tidak merasa sedih bahwa hingga kini
pekerjaan kenasionalan para Pemuda Sumatera hanya dilakukan oleh
satu pihak saja, yaitu oleh saudara-sudara kita dari Minangkabau,
sedangkan kelompok-kelompok lainnya malu-malu tinggal di belakang
terus ? Apakah orang-orang tidak menyadari bahwa pemberian
penerangan dari satu pihak saja mengenai masalah-masalah Sumatera
akan memberikan kesan yang menyesatkan dan mereka yang menaruh
minat tertentu akan mendapat gambaran yang salah mengenai masalah
ini sehingga mereka yang berkepentingan akan menjadi korban ? “ 71

Pernyataan Aminoedin Pohan ini, pada dasarnya tetap mengkritik

dominasi orang Minangkabau. Pada akhirnya anggota JSB yang kebanyakan

orang Batak itu membentuk organisasi sendiri bernama Jong Batak Bond (JBB)

pada tahun 1925. Tentang lahirnya JBB ini, Gindo Siregar, salah seorang

pengurus JBB menulis di dalam surat kabar Jong Batak, Januari 1926, 1ste

Jaargang, no.1, hal.3 dengan judul: “Hak berdirinya J.B.B” (Bestaansrecht van

een Jong Bataks Bond):

...Tanpa sedikit pun mengurangi pentingnya Jong Sumatranen Bond


(Persatuan Pemuda Sumatera) sebagai sarana untuk mencapai
terbentuknya suatu Sumatera Raya, saya terpaksa meniadakan arti
perhimpunan tersebut sebagai suatu organisasi yang dapat menuntun
anak-anak Batak kepada kesadaran bahwa sebagai anggota suatu
keluarga besar mereka seyogyanya harus bekerjasama dengan anggota-
anggota lainnya untuk kebesaran tanah air yang mereka cintai... 72

70
Soeharto, op.cit, hal.241
71
Ibid, hal.246-247
72
Ibid, hal.220
52

Secara langsung pernyataan Gindo Siregar ini lebih keras lagi. Anak-

anak Batak, menurut Gindo Siregar, tidak akan pernah bekerjasama dengan

anggota-anggota lainnya di JSB di dalam rangka mencapai tujuan demi

kebesaran tanah air . JBB kemudian terbentuk dan tidak berapa lama pada

tanggal 24 Oktober 1926 diselenggarakan pertemuan di Bandung untuk

membahas berbagai persoalan penting.

Pertemuan tersebut dibuka pada pukul 8.15 pagi dengan agenda utama

merubah formasi kepengurusan, sehingga susunan Pengurus Pusat JBB sebagai

berikut : 73

Ketua : Diapari Siregar

Wakil Ketua : Amir Hoesin

Sekretaris : G.L. Tobing

Sekretaris-2 : Ali Akbar

Bendahara : Mahjoedin

Loebis

Administrasi : Moerad Tandjoeng, A. Abbas.

Di dalam pertemuan ini juga dipertegas, bahwa ketika orang Batak

hanya memperhatikan budaya Batak saja, tanpa mau melihat budaya bangsa lain

sebagai sarana pembanding, maka pengurus rapat tidak yakin bahwa rakyat

tersebut dalam menumbuhkan budayanya akan meraih keberhasilan. Dengan

bertumpu pada penelitian dan penilaian beberapa orang ahli, budaya Batak bisa

disamakan dengan budaya bangsa India Depan dan Jawa. Pengkajian

Sansekerta, Jawa Kuno dan Melayu akan memberikan unsur-unsur yang

diperlukan bagi orang Batak


73
Jong Batak, No.10, tahun 1926
53

demi budayanya sendiri. Di dalam hal ini suku Batak ingin menyatakan bahwa

budayanya lebih tinggi dari budaya suku lain, namun demikian yang lebih

penting, mereka harus bisa menerima kebudayaan suku-suku lain. Setelah

diselenggarakan pemungutan suara, maka usul ini dapat diterima. 74

Lahirnya JBB tidak berpengaruh besar terhadap keberadaan JSB. Pada

satu sisi, diakui bahwa penyatuan pemuda-pemuda Sumatera boleh dikatakan

tidak berhasil, tetapi pada sisi lain, JSB terus melakukan gerakan-gerakannya

yang pada bulan September 1926 menggabungkan diri ke dalam sebuah wadah

bernama: Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia atau disingkat dengan PPPI.

Tujuan dari perhimpunan tersebut adalah Indonesia Merdeka dan berusaha

untuk mendidik para anggotanya menjadi pemimpin rakyat yang insaf dan sadar

akan kewajiban-kewajiban sebagai putra-putri Indonesia.

Namun masih terdapat perbedaan pandangan pada pertemuan-pertemuan

yang melibatkan JSB dan JJB sebagai yang diundang oleh Pengurus Pusat Jong

Java dalam pembentukan Jong Indonesia pada 20 Pebruari 1927, seperti yang

diungkapkan pada Media Jong Batak, tahun 1927 sebagai berikut : 75

“Seperti yang terbukti dari perubahan anggaran dasar, JBB bertujuan di


samping mengembangkan kesadaran solidaritas pada bangsa Batak,
juga menumbuhkan solidaritas di antara semua kelompok penduduk
pribumi Indonesia. Dengan memperhatikan hal ini juga rapat umum
terakhir memutuskan bahwa Serikat akan terwakili dalam Jong
Indonesia yang mungkin dibentuk.
Jadi pada hari Minggu pagi tanggal 20 Pebruari sebuah rapat diadakan
yang berasal dari undangan pengurus pusat Jong Java di mana
pembentukan sebuah lembaga bernama Jong Indonesia dibicarakan.
Mereka yang hadir adalah pengurus pusat Jong Jawa, dan para wakil

74
Ibid.
75
Jong Batak, no. 2, 1927
54

organisasi pemuda berikut ini: Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong


Sumatra, Pasundan, Jong Batak, Studenten unie.
JBB diwakili oleh ketua pengurus pusatnya. Karena setelah
pembentukan organisasi itu tentang ini banyak ditulis dalam organ ini,
kita di sini cukup dengan menyebutkan sejumlah persoalan yang
dibicarakan. Para wakil Jong Sumatra mengusulkan untuk
menggabungkan sejumlah organisasi yang terwakili dalam rapat itu,
dan di sini termasuk juga JBB. Sebagai alasan ketua pengurus pusat
JSB menyampaikan bahwa bila JSB terwakili, tidak perlu menyuruh
utusan JBB ikut duduk karena JBB memang penting tetapi toh
merupakan kelompok penduduk khusus di Sumatra. Pembicara
selanjutnya menyampaikan bahwa JSB mengakui hak keberadaan JBB,
tetapi sebagian anggota JBB toh juga menjadi anggota JSB.
Utusan kita menjawab bahwa dia tidak memandang rapat ini perlu
untuk berdebat dengan para utusan JSB tentang kenyataan apakah JBB
berhak bergabung dalam suatu organisasi, yang bertujuan untuk
memajukan kesatuan di antara semua orang Indonesia dan
mengusulkan untuk membentuk sebuah serikat yang dalam
anggarannya disebutkan bahwa organisasi di samping memperhatikan
kepentingan kelompok penduduk tertentu juga bertujuan untuk
mewujudkan pandangan kesatuan Indonesia. Pembicara selanjutnya
mencurahkan perhatian bahwa bila di sini ada suatu karya yang sulit,
tidak bisa dipastikan bahwa berbagai organisasi bersedia untuk
menanggungnya. Pencantuman JBB dan juga Pasundan yang ingin
bergabung dengan JSB berarti beban kerja di pundak lebih banyak
orang, yang berarti mendukung bagi penyelesaian persoalan.”

Permasalahan lain di dalam keanggotaan JSB, yaitu tidak tetapnya

keanggotaan dalam organisasi, terutama bagi mereka yang duduk sebagai

pengurus baik pada cabang-cabang maupun pada pengurus pusat., karena

diantara mereka ada yang berpindah tempat, baik yang dari daerah Sumatera ke

Jakarta (Jawa) atau ke luar negeri seperti ke negeri Belanda. Hal ini pada

umumnya mereka bertujuan untuk melajutkan pendidikannya ke jenjang yang

lebih tinggi. Akibatnya, ketika berlangsung rapat-rapat atau kongres-kongres

dalam membahas perkembangan organisasi, mereka tidak dapat mengikutinya.

Padahal
55

diharapkan mereka terutama pengurus yang merupakan tokoh kunci diharapkan

dapat menghidupkan jalannya organisasi.

Walaupun demikian, Hatta termasuk di antara salah seorang tokoh JSB

yang sering memberi semangat organisasi itu. Pada saat sedang menuntut ilmu

di Negeri Belanda, Rotterdam, Hatta secara teratur mengirim tulisannya ke

Majalah Jong Sumatra. Pada dasarnya Hatta ingin memberi semangat kepada

para anggota JSB tentang keadaan yang pada waktu itu sedang berkembang di

Barat, di mana mereka sedang terpecah-pecah. Waktunya sekarang, menurut

Hatta, Timur harus bangkit. Walaupun demikian, tetap saja semangat anggota-

anggota JSB jauh ketinggalan dari Jong Java, karena organisasi ini tidak ada

perwakilannya di Semarang dan Surabaya, karena jumlah pemuda pelajar

Sumatera di dua kota tersebut tidak begitu banyak. Kota Semarang dan

Surabaya adalah kota kedua dan ketiga setelah Jakarta, yang menjadi barometer

bagi sebuah organisasi, pakah sudah maju atau belum. Sebaliknya, para anggota

Jong Java yang radikal justru terdapat di kedua kota yang bergejolak itu,

sehingga di dalam berbagai aktivitas, gerakannya lebih terlihat dari pada JSB. 76.

Masalah keuangan juga menjadi persoalan tersendiri di dalam JSB.

Hatta yang menjadi bendahara ketika terjadi kesulitan keuangan di tahun 1920

itu mengerahkan seluruh tenaganya agar masalah keuangan JSB dapat teratasi.

Di dalam Majalah Jong Sumatra diumumkan agar anggota-anggota yang

menunggak iuran segera melunasinya (Lampiran IV). Pada waktu ini JSB masih

punya 325 anggota (hampir setengahnya di Batavia), tetapi justeru kurang

76
Jong Sumatra ,1922, no.4,5
56

berkembang. Pada saat kesulitan ini, komisi kongres dibubarkan, ceramah-

ceramah hampir tidak diadakan, kelompok-kelompok studi tidak terbentuk dan

Majalah Jong Sumatra hanya 5 kali terbit. Cabang Batavia disebut “sakit”, dan

cabang Padang tidak pernah menjawab surat-surat pengurus besar. Oleh karena

pada tanggal 24 Juli 1920, dengan terpaksa, pengurus cabang secara resmi

diberhentikan sementara. Mengenai cabang Medan dan kelompok-kelompok


77
anggota di Bandung dan Surabaya tidak ada lagi kabarnya. Jadi boleh

dikatakan perkembangan organisasi JSB pada saat ini mengalami masa suram.

Akhirnya, perbaikan di bidang keuangan teratasi juga di masa

kepemimpinan Mohammad Amir di JSB. Hal itu dikarenakan nama para

penunggak di antara anggota, anggota luar biasa, donatur dan pelanggan majalah

tanpa pandang bulu dimuat di Majalah Jong Sumatra, seringkali dengan

menyebut jabatan yang mereka pegang. Cabang-cabang pun mulai dibenahi

dengan baik. Di samping itu Pengurus pusat bertindak juga sebagai pengurus

cabang Batavia. Sementara cabang-cabang JSB di berbagai daerah mulai

kembali menggeliat.78 Di dalam tulisannya, Bahder Djohan mengemukakan

bahwa:

“Jika pada waktu Hatta mulai menjabat sebagai bendahara, JSB


mengalami hutang hampir 1.000 gulden, maka pada akhir tahun 1920,
menjelang Hatta meletakkan jabatannya, keadaan keuangan menjadi
sebaliknya. Sisa uang menjadi hampir satu setengah kali. Hal ini dapat
terjadi, karena tindakan Hatta yang cukup tegas dan berani. Ia
menyiarkan suatu daftar hitam dari mereka yang sesudah waktu tertentu,
tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota atau penderma. Kejadian
ini menggoncangkan masyarakat pada waktu itu, karena dalam daftar itu
banyak dimuat nama-nama orang yang terkemuka dan terhormat.79...

77
Jong Sumatra, 1920, hal. 95-102, 103-109
78
Jong Sumatra, 1922, hal. 5-10
79
Djohan, op.cit., hal.36
57

dengan tindakan itu, JSB pada tahun itu dapat menutup keuangan dengan
kelebihan 700 gulden. Suatu jumlah yang cukup besar pada saat itu.” 80

Salah satu permasalahan di dalam JSB yang patut menjadi catatan

adalah gagalnya membentuk sebuah federasi antara JSB di bawah pimpinan

Mohammad Amir dengan Jong Java pimpinan Soekiman. Semula, buat JSB,

federasi kedua belah pihak diharapkan dapat lebih memperkokoh persatuan

lebih tinggi. Pembentukan “Indonesia” hanyalah satu pijakan antara dalam

usaha bersama segala bangsa untuk membentuk “Jiwa Dunia”. Sebaliknya

Soekiman tidak menginginkan seperti apa yang dicita-citakan Amir. Kerjasama

bisa dilakukan hanya dengan pertimbangan taktis, berarti tidak menginginkan

sintese budaya, tetapi menekankan kekuatan budaya Jawa sendiri.81

Walaupun demikian, rencana untuk mempersatukan kedua perhimpunan

yang sudah dimulai sejak awal tahun 1921, tetap saja gagal karena perbedaan

yang lebih teknis, yaitu mengenai susunan pengurus federasi. Jong Java

menginginkan pengurus menurut besarnya jumlah keanggotaan. Logikanya,

Jong Java yang telah memiliki jumlah anggota lebih besar dari JSB, akan

banyak menempati posisi-posisinya di pengurusan. Sebaliknya JSB berpendapat

lain. Organisasi pemuda pelajar Sumatera ini menginginkan agar setiap

organisasi memiliki perwakilan yang sama besarnya di dalam pengurus.82

Walaupun gagal membentuk federasi, kedua organisasi tersebut telah

membuat rencana mereka dengan matang. Mereka telah membuat dasar-dasar

federasi sebagaimana tertuang dalam kesepakatan pertama kali. Dinyatakan

dalam

80
Ibid, hal. 32
81
Ibid, hal. 95.
82
Ibid, hal.112.
58

kesepakatan itu, bahwa setiap organisasi kolonial perlu berjuang demi

kemerdekaan tanah airnya. Usaha ini bisa dibenarkan karena hak penentuan

nasib sendiri penduduk.

Pandangan ini pada prinsipnya diterima oleh JSB dan Jong Java. Dari

uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dua organisasi pelajar ini

memiliki sifat politik yang tegas. Untuk mencegah kesalahpahaman, dinyatakan

dengan tegas bahwa organisasi tersebut bukan merupakan partai politik.

Penegasan ini diuraikan dalam struktur organisasi, yaitu :

a. Dalam persoalan yang menyangkut kepentingan organisasi terkait,


aksi dilancarkan di bawah pimpinan pemerintahan federasi yang
terdiri atas para wakil dari organisasi yang terkait sesuai dengan
jumlah penduduknya.
b. Dalam persoalan yang menyangkut setiap organisasi, semua yang
bergabung di dalamnya masih bisa mempertahankan kebebasannya
sendiri.Pengurus harian federasi dibentuk oleh baik anggota individu
maupun organisasi yang bergabung, dengan setidaknya seorang ketua
dan seorang sekretaris bendahara, yang sekaligus harus menduduki
fungsi yang sama dalam pengurus federasi. Pengurus federasi bisa
mengeluarkan brosur, di mana persoalan yang dibahas sangat penting
secara sosial. Setiap organisasi wajib untuk menampung informasi
dan aturan-aturan dalam federasi pada organnya. Organisasi yang
bergabung di dalamnya setiap bulan menyumbang setidaknya lima
gulden untuk menutup pengeluaran sehari-hari. Biaya brosur yang
dikeluarkan bersama-sama ditanggung oleh organisasi yang
bergabung. Menurut perbandingannya, jumlah eksemplar yang
dikehendaki oleh setiap organisasi. Rencana dasar-dasar dan
persyaratan yang disebutkan di atas diserahkan kepada pengurus
pusat JSB. Suatu rapat terpadu antara pengurus pusat JSB dan Jong
Java bisa diadakan, dengan tujuan bersama-sama untuk menyusun
anggaran dasar dan program prinsip yang akan diajukan untuk
disetujui oleh Kongres Jong Java ke-4. 83

83
Jong-Sumatra, No.4 dan 5 : 49 dan 50
59

Mengenai perkembangan cabang-cabang JSB selanjutnya, Abu Hanifah

yang menjadi Juru Pengarang (Sekretaris) JSB di dalam rapat tahunan

1928/1929 mengatakan :

...Perkoempoelan kita, jang bernama sampai sekarang, Jong Sumatranen


Bond ada mempoenjai beberapa tjabang-tjabang, jaitoe: Soerabaja, Solo,
Djokja, Salatiga, Bandoeng, Soekabumi, Bogor, Betawi, Padang dan
Boekit Tinggi. Tidak berapa boelan jang terlampaui ini besarlah harapan
kami, tentang pendirian tjabang Medan kembali, tetapi roepanja harapan
itoe tidak dapat dilakoekan sebab koempoelan jang didirikan orang-
orang Medan itu , jang dinamainja Jong Sumatranen Bond djoega
menerima anggota jang soedah bekerdja, dan oleh sebab didalam
perkoempoelan kita boleh diterima sebagai anggota hanja pemoeda-
pemoeda jang masih dalam peladjaran, terpaksalah kami memberitakan
kepada perkoempoelan di Medan tadi, bahasa ia tidak dapat diterima
sebagai anggota tjabang biasa, melainkan sebagai anggota-anggota loear
biasa. Tiada lama setelah itoe, maka perkoempoelan itoe bertoekarlah
nama. Ini sebab-sebabnja
J.S.B tak bertjabang di Medan.84

Mengenai cabang-cabang JSB ini, terutama untuk cabang Medan sejak

dari awal perkembangannya sudah dihadapkan pada permasalahan keanggotaan,

hal ini seperti yang ditunjukkan oleh anggota JSB yang berasal dari Batak, yang

akhirnya mendirikan Jong Bataks Bond. Jika dikaitkan dengan hasil laporan

Abu Hanifah, maka pembukaan cabang JSB di Medan ini terlalu dipaksakan

padahal respon dari maasyarakat Medan sendiri agak kurang terutama minat dari

pemuda pelajar yang ada di kota tersebut. Tidak adanya regenerasi

mengakibatkan kasus keanggotaan di atas wajar mengemuka.

Adanya kemandekan perkembangan JSB baik yang dialami di pusat

maupun di beberapa cabang Medan, Surabaya, Bandung dan lain-lain, yang

dialami pada periode kepemimpinan Bahder Djohan (1926-1928), sehingga

mengalami penurunan dalam keanggotaan, ini bukan berarti karena

84
Pemoeda Soematera, Januari-Februari 1929, hal.2
60

ketidakmampuan pengurus dalam mengelola organisasi, melainkan karena

kondisi masa itu bagi organisasi pemuda kedaerahan pada umumnya berada

pada tahapan menuju pencarian identitas nasional, hal ini terlihat dengan adanya

menyelenggarakan kongres pemuda yang berlangsung selama dua periode yaitu

kongres pemuda pertama tahun 1926 dan kongres pemuda kedua berlangsung

pada tahun 1928. Pada Kongres Pemuda kedua inilah konsentrasi organisasi

pemuda lebih terpokuskan, karena masa-masa itulah merupakan puncak

semangat pemuda yang dihasilkan dalam putusan kongresnya yang terkenal

dengan ikrar Sumpah Pemudanya.

B. Permasalahan Budaya

Karena sebagian besar anggota JSB orang-orang Minangkabau, maka

budaya yang melakat pada anggota orang-orang Minangkabau ini pun tidak

dapat terlepas. Dalam cerita-cerita sejarah Minangkabau yang disebut Tambo

yaitu cerita yang disampaikan dari mulut-ke mulut, dikemukakan bahwa

wilayah Minangkabau dibedakan atas “darek” dan “rantau”. Darek adalah

daerah asal pusat kebudayaan Minangkabau yang terletak di daerah

pedalaman.85 Daerah ini merupakan daerah yang subur, tempat nenek moyang

orang Minangkabau pada mulanya menetap. Dari sana pulalah konon lahirnya

sistem adat ”matrilineal” atau “matrriaakhat” dimana pertalian keluarga atau

keturunan diatur menurut garis ibu. Hal ini sangat erat hubungannya dengan

kedudukan perkawinan dan

85
Ohorella, op.cit., hal. 15
61

hukumpewarisan. Dalam hal ini paman atau mamak dan ibu mempunyai suara

yang menentukan.86 Sebaliknya tidak demikian dengan laki-laki.

Sedang rantau adalah daerah perbatasan sepanjang pantai barat dan

pantai timur Sumatera bagian tengah. Melihat hubungan ini, walau dewasa ini

Sumatera bagian tengah terdiri atas dua provinsi namun populasi penduduknya

hampir sama. Hampir sebagian besar penduduk di Provinsi Riau berasal dari

Bukit Tinggi, Batu Sangkar, Padang Panjang, atau daerah lainya di Sumatera

Barat. Hal ini terlihat pula dari segi kebudayaan dan adat istiadat sampai dewasa

ini. 87

Budaya merantau juga dilakukan pemuda-pemuda hampir dari setiap

daerah di Sumatera Barat, termasuk negeri asal anggota-anggota JSB.

Kebanyakan mereka merantau sampai ke provinsi lainnya di Sumatera juga ke

Jawa, bahkan ke luar negeri seperti Belanda. Apabila pemuda di negeri lainnya

di Minangkabau merantau untuk mengubah nasib, misalnya dari petani menjadi

pedagang, tukang jahit, atau pengrajin, maka pemuda pelajar tentunya lebih

banyak merantau untuk mencari ilmu.

Untuk mendukung anak laki-lakinya merantau, orang tua dan ninik

mamak, bahu membahu membantu dalam hal dana. Kalau perlu mereka

menggadaikan sawah-ladang atau meminjam. Seluruh keluarga bila anak laki-

laki disarankan bersekolah di luar negerinya dan pulang apabila sudah jadi

sarjana.

Sebenarnya pendidikan di Sumatera Barat tidak jauh tertinggal dari

daerah-daerah lain di Jawa, bahkan pendidikan di Sumatera Barat sudah terlebih

dahulu berkembang. Misalnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda sudah


86
loc.cit
87
ibid.
62

terdapat Kweekschool atau Sekolah Raja. Murid-murid dari sekolah ini adalah

anak-anak dari kaum bangsawan dan hartawan : itulah sebabnya disebut sekolah

Raja. Selain Sekolah Raja juga terdapat Noumaarlschool, dan lembaga

pendidikan moderen Islam yang sudah lama berdiri, yaitu “Sekolah Thawalib”

yang terkenal dan “Dinijjah School”, yang pertama dipimpin oleh Syekh

Dr.Karim Amarullah dan Syekh A.Hamid Hakim, sedangkan yang kedua

dipimpin oleh Zainudin Labai El Yunusy. Kedua perguruan ini bertempat di

Padang Panjang dan dikunjungi oleh pemuda-pemuda dari segala penjuru tanah

air yang berminat belajar di sekolah Islam.88

Masyarakat Minangkabau pada umumnya sudah menyadari kegunaan

dan manfaat ilmu di sekolah setinggi-tingginya. Beberapa keluarga seakan-akan

berlomba mengirimkan putra-putranya ke berbagai jenis sekolah mulai yang

terendah sampai yang setinggi mungkin. Adanya anak yang diterima di sekolah

Belanda, kemudian dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi, lalu

meneruskan ke perguruan yang lebih tinggi lagi. Pemuda-pemuda Minangkabau

juga menyadari bahwa kemenangan dalam kehidupan harus direbut. Perjuangan

hidup harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan umum yang kala itu hanya

bisa diperoleh di berbagai sekolah yang sudah mulai banyak dibuka oleh

pemerintah Belanda. Karena perguruan yang lebih tinggi sebagian besar

didirikan di Jawa, sedangkan setiap pemuda Sumatera atau dari bagian lain dari

Hindia apabila ingin menuntut pelajaran yang luas dan lebih tinggi, maka

haruslah mereka meninggalkan kampung halaman. Pada umumnya mereka

adalah pemuda-pemuda

88
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen PD & K, Sejarah Perjuangan Pemuda
Indonesia (Jakarta: PN.Balai Pustaka, 1965), hal.39
63

yang memiliki tekad keras, berhati baja serta berani menghadapi tantangan-

tantangan hidup.

Pendidikan moderen di Indonesia pada abad ke-20 sudah menunjukan

kemajuan, seperti lazimnya berlaku di dunia Barat, awal perkembangan ini

menunjukan suatu harapan. Tidaklah mengherankan apabila justeru pada tahun

1908, pemuda pelajar mendirikan perkumpulan Budi Utomo di Jakarta, yang

diakui sebagai awal kebangkitan nasional di kalangan bangsa Indonesia.

Di Tanah Minangkabau sendiri, juga mulai hidup semangat kebangsaan

yang makin lama makin berkembang dengan semarak. Pada tahun 1910 di

Tanah Minangkabau sudah berdiri perkumpulan Adabiah yang dipelopori oleh

kaum muda Islam antara lain Haji Abdullah Ahmad dan Haji Karim Abdullah 89.

Perkumpulan ini kemudian mendirikan Sekolah Adabiah yang mengajarkan

pengetahuan umum dan pelajaran agama Islam.

Bagi daerah Minangkabau yang sebagian besar penduduknya penganut

agama Islam yang setia pada ibadahnya, maka perkembangan perkumpulan

Adabiah ini adalah suatu kewajaran. Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun

1914 Haji Abdullah Ahmad dan Mohammad Taher Marah Sutan mendirikan

H.I.S. Adabiah yang diakui dan diberi subsidi oleh pemerintah Hindia Belanda 90 .

Tokoh Mohammad Taher Marah Sutan, Sekretaris Sjarikat Oesaha,

sebuah perkumpulan kaum muda di Padang yang bergerak di bidang ekonomi,

menduduki posisi yang penting dalam perkembangan faham kebangsaan dan

kemajuan di Ranah Minangkabau. Dalam banyak hal Taher Marah Sutan

89
Kutoyo, op.cit, hal . 15
90
Ibid
64

merupakan penabur benih, pendorong semangat, dan pencipta iklim

perkembangan faham kebangsaaan, terutama di kalangan anak-anak muda

dewasa itu seperti Mohammad Hatta, Bahder Djohan, Nazir Datuk Pamuntjak,

Muhammad Yamin dan lain-lainWalaupun pada saat bersamaan lembaga-

lembaga pendidikan di Sumatera Barat sudah lama berkembang. Berkat

merantau untuk mencari ilmu, tidak heran jika mereka banyak yang menjadi

kaum intelektual yang bekerja pada pemerintah, menjadi dokter, guru, notaris,

dan lain-lain.91

Sejak awal, alam Minangkabau terkenal dengan adat istiadatnya, yaitu

sebagai salah satu corak dari kebudayaan nasional.. Menurut bahasa daerah

tersebut, adat adalah : sawah diagiah bapambatang, ladang dibari bamintalak,

Padang dibari baligundi, Bukik dibari bakaratau, Rimbo dibari bajiluang, nak

Babezo tapuang jo sadah, nan babiteh minyak jo aia, nak balain kundua jo

labu.

Artinya dalam bahasa Indonesia adalah norma-norma yang mengatur

tata nilai dan struktur masyarakat yang membedakan secara tajam antara

manusia dengan hewani dalam tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Di

mana pepatah- petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam ada yang kalimat-

kalimatnya mengandung pengertian kiasan Adat Minangkabau mengatur

tingkah laku anggota masyarakat dari tingkah laku yang sekecil-kecilnya sampai

tingkah laku yang luas dan besar seperti suatu nagari. Manusia dan hewani

banyak persamaan dalam tingkah laku, terutama tingkah laku dalam mencapai

kepentingan biologis. Sebagai contoh: kalau manusia membutuhkan makanan

dan minum, tidur, berjalan, buang air kecil dan besar, mandi, bergaul, nafsu sex,

kawin,
91
Ibid.
65

berketurunan, duduk dan sebagainya, hewan pun juga demikian. Oleh karena itu,

untuk membedakan tingkah laku manusia dengan hewan dalam mencapai

kebutuhan biologis dalam pergaulan hidup, maka nenek-moyang orang

Minangkabau menciptakan adat-istiadat sebelum agama Islam masuk ke


92
Minangkabau Sumatera Barat) di penghujung Abad ke-14.

Setelah Agama Islam masuk ke Minangkabau dan menjadi panutan

masyarakat, ternyata ajaran Islam banyak mempunyai persamaan dengan ajaran

Adat Minangkabau, kecuali tentang Aqidah dan Syari'at. Sejak masuknya agama

Islam di Minangkabau, masyarakat sadar akan nilai-nilai agama tersebut. Sejak

itu pula agama tidak dapat dipisahkan dari adat. Kedua unsur itu terjalin dengan

begitu kuatnya.Dalam waktu yang tidak begitu lama, Islam diterima oleh Adat

Minangkabau tanpa menimbulkan benturan yang berarti, lahirlah Pepatah Adat

sebagai filsafat hidup masyarakatnya : "Adat basandi Syara', Syara' Basandi

Kitabullah" Artinya : "Adat Minangkabau disempurnakan, diperkokoh oleh

ajaran Islam, seperti kokoh rumah karena sandinya " ( rumah gadang basandi

batu, kuek rumah karano sandi, rusak sandi rumah binaso).

Jadi jelas fungsi Adat Minangkabau dalam pergaulan sehari-hari adalah

membedakan secara tajam tingkah laku manusia dan hewan, dengan mengatur

segalanya dengan aturan adat Minangkabau. Jadi singkatnya orang beradat itu

adalah orang-orang yang bertingkah laku dalam pergaulan dengan baik yang

senantiasa memikirkan orang lain, bukan memikirkan kepentingan dirinya

sendiri, seperti kata pepatah : "Elok dek awak katuju dek urang".

92
Ibid
66

Di dalam masalah adat ini, pengurus JSB pernah menghadapi kasus

pertentangan adat. Hal ini terjadi pada tahun 1920, di mana pada waktu itu
93
terkenal dengan istilah Kasus Daena, yang nama lengkapnya Pomo Daena.

Gadis Kota Gedang, sebuah desa kecil dekat Bukittinggi, Sumatera Barat ini

ketika bekerja sebagai asisten di kantor pos di Medan menikah dengan seorang

Jawa. Masyarakat Kota Gedang yang ini tidak mengizinkan gadis-gadisnya

menikah dari suku luar menjadi heboh. Orang tua si selama gadis lalu mengirim

pakaian gadis tersebut ke Medan yang dibungkus dengan kain putih sebagai

tanda bahwa sejak itu, mereka menganggapnya telah meninggal dunia.

Permasalahan ini menjadi bahan diskusi di antara sesama redaksi

Majalah Jong Sumatra. Redaktur majalah, Mohammad Amir, yang juga ketua

JSB memutuskan untuk membuat angket. Setiap anggota boleh menuliskan

pendapatnya. Dua artikel yang berpihak pada Dean dimuat bulan Agustus 1920.

Sementara seseorang yang namanya Raihoel Amar berasal dari Kota Gedang

melancarkan tuduhan dengan kata-kata kasar dan artikelnya dimuat dalam

Majalah Jong-Sumatra, No.5, tahun 1920, hal. 94 dan 95. Lengkapnya sebagai

berikut :

KONTRA DAENA

Nyonya Pomo (Daena):


Saya meragukan kebenaran dan kepalsuan Anda. Saya Raihoel Amar,
seorang warga desa Anda. Saya menyerang Anda karena Anda telah
bersalah kepada semua orang, apa yang menjadi hal suci dan tidak
tersentuh. Anda telah berhubungan dengan seorang bukan warga Kota
Gedang, dan ini tidak pernah menjadi keinginan kita. Tidak ada putra
dari suku kita yang melakukan tindak kesalahan begitu saja tanpa

93
Jong-Sumatra, No.5 (1920) : 94-95
.
67

dihukum. Tidak ada saudari kita yang bisa melanggar tindakan kita di
mana kita berusaha mempertahankannya sejak dahulu, tanpa
mengalami denda atau akibatnya. Kita tidak bisa melepaskan diri dari
ikatan itu, karena kita merasa batin kita lemah. Kita kuat dan kita ingin
tetap bertahan bila perlu. Sebanyak 24 orang penghulu telah melihat
badai besar yang terlepas di atas kepala mereka. Sehingga melalui
tindakan ini putri mereka bisa mempelajari kondisi itu.
Nyonya, Anda telah melakukan perbuatan pelanggaran selain
melanggar ikatan ini. Anda telah menumpahkan darah. Anda telah
menjauhkan diri dari ibu dan saudari Anda. Kesalahan terbesar tidak
Anda lakukan. Di mana nilai kebenaran ini berada? Selain Tuhan bagi
manusia tidak ada yang lebih berharga kecuali ibu. Nama ibu disucikan
baik di langit maupun di bumi. Seorang ibu akan mernderita dan
dilanggar kehormatannya, karena tindakan yang barbar”.
Tetapi Anda tidak melihat apa yang suci di sana (yaitu ibunya)
sementara dari seorang pria. Kini jalan itu telah saya tempuh dan juga
dari setiap orang Kota Gedang. Tetapi kita merasa bangga. Tampak
bahwa anda menyuruh agar orang lain mengikuti Anda seperti hantu.
Anda merasa terusir dari desa kita. Kini Anda telah terusir. Tidak
pernah lagi nda melakukan sesuatu (ta’ sahino, ta’ samulio). Kota
Gedang telah berpisah dari Anda, dan tidak akan kehilangan Anda.
Saya sebaliknya sedih ketika mengetahui bahwa rekan-rekan desa saya,
para wanita yang terhormat: Nyonya S.N.N., Zakir Salim dan Nyonya
S.D. Salim menunjukkan simpatiknya terhadap cara bertindak Nyonya
Pomo, ya bahkan mereka bisa membenarkan hatinya.
Bila demikian, ketika kita tidak lagi bisa mempertahankan kewajiban
anak-anak kita terhadap ibu kita, ketika kita berani melepaskan semua
ikatan keluarga demi “nafsu hidup” yang kasihnya terhadap kita tidak
mungkin melebihi kasih ibu kita dan jarang bisa menyamainya.
Apakah di sini tujuan juga bisa menghalalkan cara? Ini toh bukan
merupakan tujuan Anda? Tidak, tidak mungkin. Tetapi saya pikir
bahwa alasan pembenaran ini terletak pada dugaan apabila Nyonya
Pomo bertindak karena kasihnya. Kasih? Oh, dalam korps itu, di mana
tidak ada kasih ibu yang bisa disembunyikan. Gejolak hati telah ada.
Anda menduga telah melihat semua itu?
Apakah Anda berpikir bahwa “fajar telah merekah”? Kita berkata:
pandangan ini merupakan kedok bagi semua pengkhianatan, suatu
pembenaran bagi putusnya ikatan paling suci. Jika kehidupan tidak
memiliki kewajiban, maka kasih bisa menjadi tanda bahwa dua orang
akan saling berhadapan. Semoga kita berharap dan Tuhan berkenan,
agar Nyonya Pomo merupakan satu-satunya saja dan tidak seorangpun
mengikuti contoh buruknya. Tunjukkan saudari-saudariku, bahwa
kalian merasakan kasih pada tanah kelahiran dan ini bisa dilakukan
ketika kalian tetap setia pada tradisi matriakat, pembentukan gaung:
Datu Katemanggungan dan Perpatiah nan Sabatang. Tunjukkan kepada
keturunan kalian, apa yang diperdebatkan dua orang Minangkabau.
68

Dipertahankannya adat merupakan suatu sarana untuk saling


berhubungan, menegakkan matriakat di desa itu. Kita merasa perlu
untuk mempertahankan adat lama, karena para gadis Kota Gedang
tidak lagi tinggal di kampung (95). Ketika itu kita tetap melihat bahwa
orang asing akan kalah: orang-orang yang menganut patriakat.
Matriakat tidak mungkin lenyap dari Kota Gedang. Untuk itu penghulu
kita wajib memperhatikan dan bersama mereka, “dansanak nan tigo
jurai, nan ampek suku”. Wewenang penghulu terutama dengan mudah
bisa dilihat oleh mereka, yang ingin melakukan pembaharuan dan
wajib menyesali moral seksual. Mereka lupa bahwa moral seksual ini
sangat diperlukan, mengingat sangat sedikit orang yang benar-benar
gigih berkeliaran di lembah ini.
Jadi sampai sekarang aturan-aturan yang saling terkait bisa tetap
bertahan berkat para penghulu yang memahami kebaikan yang
ditawarkan bagi putri-putri mereka. (96) Mereka menghendaki
kebaikan dalam adat lama, tidak menghargai sesuatu yang baru yang
mereka ragukan. Mereka cenderung berubah prinsip, ketika orang lain
memberikan contohnya dan menyatakan bahwa mereka perlu
mengikuti. Ini bisa dihargai bagaikan melihat kucing dari balik pohon.
Tetapi Nyonya Pomo yang bertindak menyimpang tidak berpikir
tentang kewajibannya dan berkata:”Apa yang saya miliki bagi seorang
ibu”, dan yang tidak ingin bertanya apa yang berguna bagi seorang
putri, kebrutalan telah melanggar adat dan mengkhianati kampungnya.
Mereka juga diusir oleh para pembela adat dan kebiasaan di Kota
Gedang. Kesalahan Nyonya Pomo diperlukan untuk menunjukkan
bahwa matriakat masih ada dan para penghulu di Kota Gedang masih
memiliki kekuasaan, meskipun mereka tidak terlalu banyak tampak
belakangan ini, meskipun mereka mampu menghadapi tuntutan zaman
– biasanya, bila mereka melihat manfaatnya. Tetapi semua itu masih
ada batas- batasnya. Kini penghulu telah memanggil: sampai di sini
saja dan tidak perlu diperpanjang lagi.
Kita wajib mengikat semua gadis dengan pursang Kota Gedang, karena
kita bisa saling terkait. Kita tidak suka bila orang lain memasuki rumah
kita sebagai kepala keluarga. “Kita ingin adanya ikatan” di desa kita. 94

Ada kegamangan di dalam pikiran Amir untuk memutuskan siapa yang

benar dalam kasus tersebut. Tulisan berisikan kecaman itu, juga diizinkan Amir

untuk dimuat. Tetapi karena keberpihakan Amir terhadap Daena, dia merasa

menyesal artikel tersebut sempat lolos. Amir pun memberikan perintah kepada

94
Ibid.
69

percetakan Evolutie di Weltevreden untuk menempel halaman bersangkutan di

dalam Majalah Jong Sumatra. Karena terjadi kesah pahaman, sebagian dari

terbitan itu dikirimkan tanpa ditempel, hingga tulisan berisi kecaman itu dibaca

juga oleh banyak pelanggan. Dalam hal ini Amir tidak menggunakan pena

merah untuk menyensor, melainkan dengan lem. Menurut Amir, hal tersebut

perlu dilakukannya untuk menghindari terjadinya debat sengit dalam JSB

mengenai adat.

Dari kasus ini sangat jelas terlihat bahwa Amir tidak ingin memutuskan

masalah ini. Sifat gamang yang penuh kehati-hatian dari sifat orang

Minangkabau mengenai adatnya, sudah tentu berbeda dengan pemuda pelajar di

Jong Java yang dengan percaya diri dan dengan gamblang memaparkan masalah

adatnya. Para pemuda pelajar JSB tidak begitu banyak bertolak dari warisan

masa lalu. Mereka memang tidak dapat melakukannaya, karena tidak adanya

tradisi Sumatera yang mempersatukan.95

Dalam kasus Daena ini, Mohammad Amir sebagai ketua bukannya ragu-

ragu dalam memutuskan persoalan, tapi karena ia sebagai orang Minangkabau

dalam bertindak selalu berhati-hati dan tidak terburu-buru. Ia tidak berkata

langsung ke pokok persoalan tetapi memberikan arahan agar suatu masalah

dibicarakan bersama dengan hati-hati dan persoalan tersebut tidak semakin

meruncing.

Permasalahan JSB yang lain di bidang budaya adalah terhambatnya

perkembangan JSB di Padang (Sumatera Barat) yang mendapat pertentangan

dari

95
Ibid, hal. 88
70

pemuka adat. Keinginan JSB membentuk cabang pertamanya di daerah itu, pada

bulan Januari 1918 memperoleh perlawanan dari pimpinan adat yang juga

adalah seorang wartawan bernama Datuk Soetan Maharaja (1860-1921).

Kedatangan Nazir Datuk Pamuntjak, tidak memperoleh dukungan dari

Maharaja. Hal ini dikarenakan :

1. masih terlalu kuatnya kelompok-kelompok tua yang diwakili Maharaja

dalam hal memegang adat ;

2. muncul rasa cemas di kalangan kelompok tua bahwa adat tersebut akan

lentur ketika melihat persoalan-persoalan baru yang sedang berkembang

dari kelompok anak-anak muda JSB..

Ketika Datuk Soetan Maharaja mengepalai sebuah lembaga adat

bernama Sjarikat Adat Alam Minangkabau (SAAM), pertentangan antara

kelompok pemuda pelajar berpendidikan modern dengan tokoh-tokoh adat di

Minangkabau tidak dapat dihindari. Di dalam artikelnya yang berjudul: “

Pergerakan oemoem di Soematera Barat,” Amir menyebut Datuk Soetan

Maharaja sebagai seorang sphynx dan gila adat. 96

Pertentangan antara JSB dengan kelompok adat tersebut juga

dikemukakan melalui ditulisan B.Dj, nama pendek dari penulisnya yaitu Bahder

Djohan, di dalam Jong Sumatra, no. 6,7, 8, edisi Juni, Juli dan Agustus tahun

1918, hal.119 - 121 dengan judul artikel: “Adakah Kaoem Koeno dan Kaoem

Moeda dipoelau Soematera dapat bekerja bersama-sama memadjoekan

Soematra

?”.

96
Jong Sumatra, No. 6,7 dan 8, Juni, Juli dan Agustus 1918 : 124
71

Bahder Djohan di dalam tulisannya ini menjelaskan tentang adat istiadat,

menurutnya adat istiadat merupakan kebiasaan umum saja. Kebiasaan itu

hendaklah mengikuti perubahan zaman. Perlu diakui, jelas bahwa di dalam dua

tiga abad ini sudah terjadi perubahan besar. Diperjelas oleh Bahder Djohan,

lahirnya JSB menurut sebagian pikiran orang akan menambah jarak antara kaum

muda dan kaum tua. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.

”Kelahiran JSB tiadalah akan menambah besarnya perantaraan Kaoem Koeno dan
Kaum Moeda, adalah kedua pihak itoe sama-sama bermaksud akan memperharoem
namanya poelau Soematra, walaupoen kedoea pihak itoe masing-masing menoeroeti
djalannja sendiri akan mentjapai tjita-tjitanja itoe. Pergerakan Kaoem Koeno adalah
beralasan: Memadjoekan Soematra dengan menegoehkan adat-adat, agar pendoedoek
Soematra selaloe hidoep dalam roekoen dan damai. Sedang JSB (Kaoem Moeda) adalah
alasannja: Dengan menjatoekan segala pendoedoek Soematera, beroesaha akan
mentjapai Soematera jang ditjita-tjita, jaitoe seboeah Soematera jang berpendoedoek
jang menghargakan tinggi adat istiadat tanah Soematra tetapi beradab dan berpe’adjaran
tjara Barat.” 97

Tulisan Bahder Djohan yang berkeinginan mempersatukan dua kalangan

yang berebeda pandangan pada kenyataannya tidak memperoleh sambutan.

Berarti langkah Nazir di Padang yang memperoleh perlawanan dari Maharaja

merupakan langkah mundur JSB di Padang. Tetapi usaha-usaha untuk

mengembangkan JSB di Padang dan Bukittinggi tetap dilakukan oleh Nazir

Pamuntjak yaitu dengan mencari dukungan seorang tokoh kharismatik yang

berpengaruh di kota Padang, dalam hal ini adalah Taher Marah Sutan. Karena

beliaulah akhirnya pada bulan Januari 1918 terbentuk cabang JSB pertama di

Padang ( Sumatera Barat).

Dalam mengamati berbagai permasalahan budaya terutama pertentangan

antara tokoh JSB dengan pemuka adat di Minangkabau, yaitu antara kaum tua

dan muda. Pertentangan ini sebenarnya wajar muncul karena sifat ketertutupan

dari
97
Ibid : 120.
72

pemuka adat yang menganggap adat harus dipertahankan apa adanya. Namun

bagi para tokoh JSB terutama yang bersuku Minangkabau bersikap demokratis,

tidak terlalu membedakan kelompok-kelompok yang ada, sehingga persoalan

sesulit apa pun akan mampu diatasi dengan musyawarah. Hal ini seperti yang

ditempuh oleh Nazir D Pamoentjak dengan memintakan pendapat dan dukungan

dari pemuka masyarakat lainnya yang berpengaruh di kota Padang dalam hal ini

yaitu Taher Marah Sutan.


BAB III

PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI JSB

A. Masalah Keanggotaan dan Organisasi JSB

Jong Sumatranen Bond (JSB) pada awal berdirinya sudah memiliki

Anggaran Dasar dan kepengurusan sendiri, baik kepengurusan besar atau pusat

maupun pengurus cabang. Dalam Anggaran Dasar seperti yang telah

dikemukakan dalam bab sebelumnya, tujuan JSB mencerminkan upaya orang-

orang Sumatera untuk kemajuan Sumatera61, hal itu terlihat dari keanggotaan dan

kepengurusan JSB yang terdiri atas berbagai etnis suku yang ada di pulau

Sumatera.

Di samping itu, JSB juga berusaha menghindari dominasi suku-suku

tertentu dan tidak memandang perbedaan agama. Di dalam keanggotaan JSB

terdapat beragam suku dan agama. Misalnya suku Minangkabau, Aceh dan Batak

Karo. Bukti lainnya dapat dilihat pada saat pemilihan kepemimpinan pertama JSB,

di mana yang terpilih sebagai ketua bukan orang Minangkabau, walaupun jumlah

suku Minangkabau sebagai anggota JSB lebih banyak dari suku-suku lain.

Terpilih sebagai ketua pertama adalah Tengkoe Mansoer pelajar STOVIA asal

Asahan Sumatera Timur.62 Dia terpilih karena berhasil mempersatukan dan

menanam benih-benih idealisme di antara sesama pemuda Sumatera. Periode

kepemimpinannya dianggap berhasil menumbuhkan citra JSB sebagai organisasi

61
Jong Sumatra, No. 1, Januari , 1918, hal. 5
62
Ibid, hal.12

Jong Sumatranen..., Edy Suwardi, FIB UI, 2007


44

pemuda Sumatera. Sehingga keberhasilan ini memperoleh dampak terhadap

dirinya, dan pada akhirnya terpilih menjadi ketua pertama JSB.

Dalam kepengurusan JSB, pemuda pelajar dari suku Minangkabau

(Sumatera Barat) lebih sering muncul ke permukaan bila dibandingkan dengan

suku-suku lainya di Sumatera. Begitu juga dalam beraktivitas di organisasi,

sehingga terkesan orang-orang Minangkabau selalu mendominasi. Faktor jumlah

ini sangat berpengaruh besar di dalam keanggotaan, sehingga wajar pula kalau

orang-orang Minangkabau dalam JSB lebih menonjol dan bahkan dari sebagian

mereka muncul sebagai tokoh-tokoh nasionalis. Adapun anggota JSB dari

Minangkabau yang muncul sebagai tokoh-tokoh nasionalis antara lain sebagai

berikut :

1. Mohammad Hatta adalah tokoh terkemuka Minangkabau, bersama Ir.

Soekarno, dikenal sebagai tokoh proklamator. Lahir di Bukittinggi, Sumatera

Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Mengenal pertama kali JSB, sewaktu

bertemu dengan Datuk Pamoentjak, salah seorang utusan Pengurus Besar JSB

yang ditugaskan mendirikan cabangnya di Padang. Pada saat JSB cabang

Padang berdiri, Mohammad Hatta duduk sebagai Bendahara. Kedudukannya

sebagai bendahara juga dipegangnya ketika menjadi pengurus Pusat JSB di

Jakarta. Selama menjadi pengurus JSB, peranan Hatta yang menonjol adalah

memajukan organisasi terutama dalam menghindari bangkrutnya dana

organisasi. Hatta juga banyak menulis artikel yang dimuat di majalah atau

Surat kabar Jong Sumatra, walaupun ia menjadi pengurus di Perhimpunan


45

Indonesia, ia tetap menyempatkan membuat tulisan yang dimuat pada surat

kabar tersebut.

2. Mohammad Amir, lahir pada 27 Januari 1900 di kota kecil Talawi, Sawahlunto

Sumatera Barat. Aktif di JSB ketika melanjutkan sekolah di ELS (Europesche

Legere School) di Bukittinggi. Pernah menjadi Sekretaris II, Wakil Ketua dan

Ketua JSB Cabang Bukittinggi periode 1920-1921. Di daerah ini, untuk

pertama kalinya Mohammad Amir berkenalan dengan Mohammad Hatta,

Abdullah Ahmad dan M.Thaher Marah Sutan. Di samping itu, Mohammad

Amir terkenal pula sebagai penyair. Pada masa menjelang kemerdekaan

diangkat sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

dan ikut serta menyaksikan perumusan Naskah Proklamasi di kediaman

Maeda. Setelah Indonesia merdeka, pernah menjadi menteri negara yang

berkedudukan di Sumatera Timur dan menjadi Wakil Gubernur Sumatera.

Sedangkan jabatan terakhir yang diembannya adalah sebagai Ketua Balai

Penerangan dan Penyelidikan Provinsi Sumatera pada 16 Januari 1945.

3. Bahder Djohan, lahir di Padang, Sumatera Barat pada 30 Juli 1902. Dalam

JSB, ia pernah menjadi sekretaris pada pengurus cabang di Padang bersama-

sama dengan Mohammad Hatta yang pada waktu itu diangkat sebagai

bendahara. Sewaktu menjadi pelajar STOVIA di Jakarta, pernah diutus

Pengurus Pusat JSB untuk menghadiri Kongres Pertama organisasi itu pada

bulan Juni 1919. Menjelang pergantian Pengurus Pusat (Besar) JSB pada

tahun 1920, Bahder Djohan dipercaya sebagai sekretaris dan Mohamaad

Hatta sebagai bendahara. Pada tahun 1921, Bahder Djohan dipercaya lagi
46

duduk sebagai Bendahara II Pengurus Pusat JSB dan pada Kongres Pemuda I

tahun 1926, dipercaya menjadi Wakil Ketua Kongres. Selanjutnya pada masa

Revolusi (1945-1950) diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia

Pusat (KNIP). Pada tahun 1950, 1952 diangkat menjadi Menteri PPK. Pernah

juga menjadi Direktur RSUP dan Rektor Universitas Indonesia.

4. Abu Hanifah, lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 6 Januari 1906.

Belajar di STOVIA pada tahun 1922 hingga tamat pada tahun 1932. Selama

menjadi pelajar STOVIA, ia menjadi anggota JSB bersama-sama Muhammad

Yamin, Bahder Djohan dan lain-lain. Pernah menjadi Sekretaris Umum

Pemuda Sumatra (JSB) dengan turut mengambil inisiatif untuk mengadakan

pendekatan-pendekatan yang lebih mantap lagi terhadap pimpinan organisasi

daerah lainnya. Melalui bulletin berkala ”Pemuda Sumatra” yang

dipimpinnya, ia menyebarkan ide-ide persatuan Indonesia.63 Di samping itu,

pernah menjadi Menteri PPK pada Kabinet RIS.

5. Djamaluddin (Adinegoro), lahir pada 14 Agustus 1904 di Talawi, Sawahlunto,

Sumatera Barat. Menjadi anggota JSB di Jakarta, sewaktu sekolah di

STOVIA, ketika Panitia Kongres Pemuda I terbentuk ia duduk sebagai

Sekretaris Panitia.64 Djamaluddin yang lebih dikenal dengan nama samaran

”Adinegoro” meninggalkan tanah air untuk mencari ilmu pengetahuan di

benua Eropah. Ia mengubah studinya dari bidang kedokteran ke bidang

jurnalistik. Selama menimba ilmu di Eropah Barat, Djamaluddin

63
G.A. Ohorella, Prof. Dr. Abu Hanifah DT. M.E. Karya dan Pengabdiannya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, hal. 27
64
Soebagio.I.N., Adinegoro Pelopor Jurnalistik Indonesia, Haji Masagung, Jakarta, 1987,
hal. 13
47

menyempatkan diri membuat tulisan-tulisan dan kemudian dimuat di media

Panji Pustaka, Bintang Timur dan Pewarta Deli65 dengan menggunakan nama

samaran ”Adinegoro”, sehingga nama lengkapnya menjadi Djamaluddin

Adinegoro yang kemudian menjadi salah seorang pelopor wartawan

Indonesia.

6. Muhammad Yamin, adalah tokoh terkenal di dalam kancah pergerakan bangsa

Indonesia. Dia lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada tanggal 23 Agustus

1903. Muhammad Yamin merupakan pimpinan yang efektif dalam JSB.

Nama Yamin erat sekali hubungannya dengan pembinaan faham dan rasa

kebangsaan Indonesia. Walaupun demikian, pada tahun 1920, cita-cita

kebangsaan Indonesia masih samar-samar. Bahkan Muhammad Yamin sendiri

pada tahun 1920 itu, belum berpegang pada faham dan rasa kebangsaan

Indonesia. Ia masih bergerak dalam lingkungan daerah, seperti dalam bunyi

sajaknya yang dibuat pada tahun 1920 ”Andalas, Tanah Airku”. Yamin pada

waktu itu masih menyebut Andalas atau Sumatra sebagai Nusa Harapan.

Namun dengan bertambahnya usia, dan makin luasnya segi-segi sosial,

intelektual dan pergaulan umumnya, maka cakrawala pemikiran Muhammad

Yamin juga semakin luas. Sejak semula, Muhammad Yamin sudah percaya

pada kekuatan yang menuju Indonesia Raya. Pada Lustrum I JSB yang

diadakan di Jakarta pada tahun 1923, Muhammad Yamin sudah

mengemukakan gagasannya dengan pidatonya berjudul ”De Maleische Taal in

het verleden, heden en in de toekomst”, artinya ”Bahasa Melayu pada masa

65
Soebagio.I.N., Ibid, hal 29
48

lampau, masa sekarang, dan masa depan.66 Yamin sudah melihat datangnya

bahasa kebangsaan Indonesia, yaitu berasal dari bahasa Melayu, walaupun

pidatonya sendiri masih dibawakan dalam bahasa Belanda pada tahun 1923.

Pada Lustrum I JSB juga, dia membuat medali peringatan yang ada Nyiur

Melambai. Di samping Nyiur Melambai, kembang Melati merupakan lambang

keindahan Indonesia. Pada waktu itu pula panji Perhimpunan JSB diresmikan.

Panji itu bergambarkan suatu pelita yang menyala, dengan semboyan “Pelita

Bangsa, Senantiasa”.

Munculnya orang-orang Minangkabau sebagai tokoh nasionalis di JSB

tidak dapat pula dilepaskan dari latar belakang mereka sebagai orang perantau.

Budaya merantau bagi pemuda Minangkabau merupakan keharusan, sebab

berkaitan dengan harga diri dan prestasi. Kepergian pemuda umumnya didorong

oleh dua faktor, pertama ingin menuntut ilmu, kedua hendak mencari nafkah.

Adalah suatu kebanggaan bagi pemuda Minangkabau yang merantau bila pulang

ke kampung halaman dengan menyandang ilmu atau gelar sarjana. Apalagi bila

sudah bekerja dan berekonomi baik. Ada pepatah Minangkabau yang menyatakan

“Karatau madang di hulu-babuah-bababungo balun. Merantau bujang dahulu-di

rumah paguno balun”, artinya kaum muda hendaklah menimba ilmu pengetahuan

sebanyak-banyaknya di perantauan, karena pemuda tidak bisa membangun di

kampung halaman jika belum ada ilmu yang dimilikinya. Pepatah ini memacu

semangat merantau bagi pemuda untuk menjadi orang yang berguna, mencari

ilmu, mencari nafkah lalu berumah tangga, mengurus keluarga dan kaumnya, serta

66
Sutrisno Kutoyo, Op. Cit. hal. 20
49

membangun kampung halaman. Sebaliknya bila seorang pemuda mendekam di

kampung halaman, tampaknya ia akan menjadi kurang berguna, tidak memiliki

ilmu, pengalaman, juga harta benda. Apalagi sistem Matriachaat di Minangkabau

melimpahkan seluruh warisan orang tua kepada pihak keturunan garis ibu, yaitu

ibu dan anak perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki tidak mendapat warisan

apapun, bahkan sejak usia kanak-kanak mereka sudah diwajibkan menuntut ilmu
67
dan tidur di surau.

Munculnya nama-nama tokoh Minangkabau yang terkesan mendominasi

JSB, menjadi masalah terhadap anggota JSB yang ber-etnis lain, seperti yang

dialami oleh pemuda pelajar dari Batak. Perbedaan sikap suku Batak di dalam

rangka menilai JSB yang terkesan didominir suku Minangkabau adalah sesuatu

yang wajar apabila melihat ke kebudayaan Batak selama ini. Perbedaan sikap ini

menurut suku Batak adalah sesuatu yang dinamis dan berkonflik itu bukanlah

sesuatu yang aib.

“Tingkat kesediaan orang Batak terhadap konflik cukup tinggi, tetapi


sekaligus tingkat untuk berkonsensus juga sangat tinggi. Konsep dasar
kebudayaan Batak adalah sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Pada
tahap paling tinggi, Dalihan Na Tolu dihayati sebagai sistim kognitif
(berdasarkan kepada pengetahuan faktual yang empiris).” 68

Jadi dapat dikatakan, suku Batak memiliki dua sikap yang kedua-duanya

bisa diterapkan pada posisi tertentu. Atau dengan perkataan lain, bahwa pada

tingkat tertentu, kemandirian yang diharapkan dalam Dalihan Na Tolu dapat

menghasilkan potensi konflik yang tinggi, tetapi pada pihak lain, Dalihan Na Tolu

67
www_idesa_net-my_Berita_files
68
Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M.Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak
Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), hal.5
50

merupakan potensi yang meredusir atau mengelimir konflik. Hanya yang menjadi

permasalahan di dalam organisai JSB, sehingga permasalahn keanggotaan

bercampur baur dengan permasalah etnik (budaya).

Suku Batak memiliki adat Dalihan Na Tolu yang mengatur hak dan

kewajiban dalam hubungan antara tiga marga yang kedudukannya terkait erat

sebagai unsur kesatuan. Dalam statusnya sebagai anggota Dalihan Na Tolu,

seseorang harus dihormati oleh anggota-anggota lainnya. Sebaliknya, ada pula hak

dan kewajiban dari dan terhadap unsur kedua dan ketiga. Hak dan kewajiban

dalam keseluruhan aturan adat Batak itu cukup kompleks. Ada sesuatu hal yang

membuat suku Batak tidak mau terlangkahi oleh suku-suku lain. Orientasi

semacam ini disalurkan dalam pranata Dalihan Na Tolu tersebut, di mana

dikatakan bahwa setiap orang adalah “raja” pada waktunya. Oleh karena itu tidak

mengherankan bila suku Batak tidak dapat menerima suku Minangkabau

mendominir organisasi JSB.

Di samping itu, ketaatan suku Batak terhadap agama memupus habis

anggapan bahwa pada masa lalu suku Batak adalah pemakan orang.

“Sesungguhnya orang Batak ditakdirkan beragama dalam arti mereka

menggunakan Agama Islam (bagi Angkola Mandailing) pada umumnya dan

Kristen Protestan Lutheran (bagi Batak Toba) umumnya.69

Sanoesi Pane dalam majalah kabar Jong Batak, Januari 1926, nomor 1

halaman 12 mengakui bahwa sangat sulit menyatukan dua kebudayaan antara

Batak dan Minangkabau. Selanjutnya Sanoesi Pane menegaskan: “Sejarah rakyat

69
Ibid, hal.55
51

Minangkabau dan Batak, dua bangsa yang pada saat ini paling terkemuka di

Sumatera, terlalu berjauhan satu sama lain, untuk mengharapkan berhasilnya

pekerjaan Jong Sumatranen Bond secara nyata.” 70

Pernyataan ketidakserasian antara suku Batak dan Minangkabau ini dipertegas

oleh Aminoedin Pohan di dalam Majalah Jong Batak, Januari 1926 no.1, hal.30 :

“Siapakah di antara kita yang tidak merasa sedih bahwa hingga kini
pekerjaan kenasionalan para Pemuda Sumatera hanya dilakukan oleh
satu pihak saja, yaitu oleh saudara-sudara kita dari Minangkabau,
sedangkan kelompok-kelompok lainnya malu-malu tinggal di belakang
terus ? Apakah orang-orang tidak menyadari bahwa pemberian
penerangan dari satu pihak saja mengenai masalah-masalah Sumatera
akan memberikan kesan yang menyesatkan dan mereka yang menaruh
minat tertentu akan mendapat gambaran yang salah mengenai masalah
ini sehingga mereka yang berkepentingan akan menjadi korban ? “71

Pernyataan Aminoedin Pohan ini, pada dasarnya tetap mengkritik

dominasi orang Minangkabau. Pada akhirnya anggota JSB yang kebanyakan

orang Batak itu membentuk organisasi sendiri bernama Jong Batak Bond (JBB)

pada tahun 1925. Tentang lahirnya JBB ini, Gindo Siregar, salah seorang

pengurus JBB menulis di dalam surat kabar Jong Batak, Januari 1926, 1ste

Jaargang, no.1, hal.3 dengan judul: “Hak berdirinya J.B.B” (Bestaansrecht van

een Jong Bataks Bond):

...Tanpa sedikit pun mengurangi pentingnya Jong Sumatranen Bond


(Persatuan Pemuda Sumatera) sebagai sarana untuk mencapai
terbentuknya suatu Sumatera Raya, saya terpaksa meniadakan arti
perhimpunan tersebut sebagai suatu organisasi yang dapat menuntun
anak-anak Batak kepada kesadaran bahwa sebagai anggota suatu
keluarga besar mereka seyogyanya harus bekerjasama dengan anggota-
anggota lainnya untuk kebesaran tanah air yang mereka cintai... 72

70
Soeharto, op.cit, hal.241
71
Ibid, hal.246-247
72
Ibid, hal.220
52

Secara langsung pernyataan Gindo Siregar ini lebih keras lagi. Anak-

anak Batak, menurut Gindo Siregar, tidak akan pernah bekerjasama dengan

anggota-anggota lainnya di JSB di dalam rangka mencapai tujuan demi kebesaran

tanah air . JBB kemudian terbentuk dan tidak berapa lama pada tanggal 24

Oktober 1926 diselenggarakan pertemuan di Bandung untuk membahas berbagai

persoalan penting.

Pertemuan tersebut dibuka pada pukul 8.15 pagi dengan agenda utama

merubah formasi kepengurusan, sehingga susunan Pengurus Pusat JBB sebagai


73
berikut :

Ketua : Diapari Siregar

Wakil Ketua : Amir Hoesin

Sekretaris : G.L. Tobing

Sekretaris-2 : Ali Akbar

Bendahara : Mahjoedin Loebis

Administrasi : Moerad Tandjoeng, A. Abbas.

Di dalam pertemuan ini juga dipertegas, bahwa ketika orang Batak hanya

memperhatikan budaya Batak saja, tanpa mau melihat budaya bangsa lain sebagai

sarana pembanding, maka pengurus rapat tidak yakin bahwa rakyat tersebut dalam

menumbuhkan budayanya akan meraih keberhasilan. Dengan bertumpu pada

penelitian dan penilaian beberapa orang ahli, budaya Batak bisa disamakan

dengan budaya bangsa India Depan dan Jawa. Pengkajian Sansekerta, Jawa Kuno

dan Melayu akan memberikan unsur-unsur yang diperlukan bagi orang Batak

73
Jong Batak, No.10, tahun 1926
53

demi budayanya sendiri. Di dalam hal ini suku Batak ingin menyatakan bahwa

budayanya lebih tinggi dari budaya suku lain, namun demikian yang lebih

penting, mereka harus bisa menerima kebudayaan suku-suku lain. Setelah

diselenggarakan pemungutan suara, maka usul ini dapat diterima.74

Lahirnya JBB tidak berpengaruh besar terhadap keberadaan JSB. Pada

satu sisi, diakui bahwa penyatuan pemuda-pemuda Sumatera boleh dikatakan

tidak berhasil, tetapi pada sisi lain, JSB terus melakukan gerakan-gerakannya yang

pada bulan September 1926 menggabungkan diri ke dalam sebuah wadah

bernama: Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia atau disingkat dengan PPPI.

Tujuan dari perhimpunan tersebut adalah Indonesia Merdeka dan berusaha untuk

mendidik para anggotanya menjadi pemimpin rakyat yang insaf dan sadar akan

kewajiban-kewajiban sebagai putra-putri Indonesia.

Namun masih terdapat perbedaan pandangan pada pertemuan-pertemuan

yang melibatkan JSB dan JJB sebagai yang diundang oleh Pengurus Pusat Jong

Java dalam pembentukan Jong Indonesia pada 20 Pebruari 1927, seperti yang

diungkapkan pada Media Jong Batak, tahun 1927 sebagai berikut : 75

“Seperti yang terbukti dari perubahan anggaran dasar, JBB bertujuan di


samping mengembangkan kesadaran solidaritas pada bangsa Batak, juga
menumbuhkan solidaritas di antara semua kelompok penduduk pribumi
Indonesia. Dengan memperhatikan hal ini juga rapat umum terakhir
memutuskan bahwa Serikat akan terwakili dalam Jong Indonesia yang
mungkin dibentuk.
Jadi pada hari Minggu pagi tanggal 20 Pebruari sebuah rapat diadakan
yang berasal dari undangan pengurus pusat Jong Java di mana
pembentukan sebuah lembaga bernama Jong Indonesia dibicarakan.
Mereka yang hadir adalah pengurus pusat Jong Jawa, dan para wakil

74
Ibid.
75
Jong Batak, no. 2, 1927
54

organisasi pemuda berikut ini: Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong


Sumatra, Pasundan, Jong Batak, Studenten unie.
JBB diwakili oleh ketua pengurus pusatnya. Karena setelah
pembentukan organisasi itu tentang ini banyak ditulis dalam organ ini,
kita di sini cukup dengan menyebutkan sejumlah persoalan yang
dibicarakan. Para wakil Jong Sumatra mengusulkan untuk
menggabungkan sejumlah organisasi yang terwakili dalam rapat itu, dan
di sini termasuk juga JBB. Sebagai alasan ketua pengurus pusat JSB
menyampaikan bahwa bila JSB terwakili, tidak perlu menyuruh utusan
JBB ikut duduk karena JBB memang penting tetapi toh merupakan
kelompok penduduk khusus di Sumatra. Pembicara selanjutnya
menyampaikan bahwa JSB mengakui hak keberadaan JBB, tetapi
sebagian anggota JBB toh juga menjadi anggota JSB.
Utusan kita menjawab bahwa dia tidak memandang rapat ini perlu untuk
berdebat dengan para utusan JSB tentang kenyataan apakah JBB berhak
bergabung dalam suatu organisasi, yang bertujuan untuk memajukan
kesatuan di antara semua orang Indonesia dan mengusulkan untuk
membentuk sebuah serikat yang dalam anggarannya disebutkan bahwa
organisasi di samping memperhatikan kepentingan kelompok penduduk
tertentu juga bertujuan untuk mewujudkan pandangan kesatuan
Indonesia. Pembicara selanjutnya mencurahkan perhatian bahwa bila di
sini ada suatu karya yang sulit, tidak bisa dipastikan bahwa berbagai
organisasi bersedia untuk menanggungnya. Pencantuman JBB dan juga
Pasundan yang ingin bergabung dengan JSB berarti beban kerja di
pundak lebih banyak orang, yang berarti mendukung bagi penyelesaian
persoalan.”

Permasalahan lain di dalam keanggotaan JSB, yaitu tidak tetapnya

keanggotaan dalam organisasi, terutama bagi mereka yang duduk sebagai

pengurus baik pada cabang-cabang maupun pada pengurus pusat., karena diantara

mereka ada yang berpindah tempat, baik yang dari daerah Sumatera ke Jakarta

(Jawa) atau ke luar negeri seperti ke negeri Belanda. Hal ini pada umumnya

mereka bertujuan untuk melajutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Akibatnya, ketika berlangsung rapat-rapat atau kongres-kongres dalam

membahas perkembangan organisasi, mereka tidak dapat mengikutinya. Padahal


55

diharapkan mereka terutama pengurus yang merupakan tokoh kunci diharapkan

dapat menghidupkan jalannya organisasi.

Walaupun demikian, Hatta termasuk di antara salah seorang tokoh JSB

yang sering memberi semangat organisasi itu. Pada saat sedang menuntut ilmu di

Negeri Belanda, Rotterdam, Hatta secara teratur mengirim tulisannya ke Majalah

Jong Sumatra. Pada dasarnya Hatta ingin memberi semangat kepada para anggota

JSB tentang keadaan yang pada waktu itu sedang berkembang di Eropah Barat, di

mana mereka sedang terpecah-pecah. Menurut Hatta, Timur (Asia) harus bangkit.

Walaupun demikian, tetap saja semangat anggota-anggota JSB jauh ketinggalan

dari Jong Java, karena organisasi ini tidak ada perwakilannya di Semarang dan

Surabaya, karena jumlah pemuda pelajar Sumatera di dua kota tersebut tidak

begitu banyak. Kota Semarang dan Surabaya adalah kota kedua dan ketiga

setelah Jakarta, yang menjadi barometer bagi sebuah organisasi, pakah sudah

maju atau belum. Sebaliknya, para anggota Jong Java yang radikal justru terdapat

di kedua kota yang bergejolak itu, sehingga di dalam berbagai aktivitas,

gerakannya lebih terlihat dari pada JSB. 76.

Masalah keuangan juga menjadi persoalan tersendiri di dalam JSB. Hatta

yang menjadi bendahara ketika terjadi kesulitan keuangan di tahun 1920 itu

mengerahkan seluruh tenaganya agar masalah keuangan JSB dapat teratasi. Di

dalam Majalah Jong Sumatra diumumkan agar anggota-anggota yang

menunggak iuran segera melunasinya (Lampiran IV). Pada waktu ini JSB masih

punya 325 anggota (hampir setengahnya di Batavia), tetapi justeru kurang

76
Jong Sumatra ,1922, no.4,5
56

berkembang. Pada saat kesulitan ini, komisi kongres dibubarkan, ceramah-

ceramah hampir tidak diadakan, kelompok-kelompok studi tidak terbentuk dan

Majalah Jong Sumatra hanya 5 kali terbit. Cabang Batavia disebut “sakit”, dan

cabang Padang tidak pernah menjawab surat-surat pengurus besar. Oleh karena

pada tanggal 24 Juli 1920, dengan terpaksa, pengurus cabang secara resmi

diberhentikan sementara. Mengenai cabang Medan dan kelompok-kelompok

anggota di Bandung dan Surabaya tidak ada lagi kabarnya. 77 Jadi boleh dikatakan

perkembangan organisasi JSB pada saat ini mengalami masa suram.

Akhirnya, perbaikan di bidang keuangan teratasi juga di masa

kepemimpinan Mohammad Amir di JSB. Hal itu dikarenakan nama para

penunggak di antara anggota, anggota luar biasa, donatur dan pelanggan majalah

tanpa pandang bulu dimuat di Majalah Jong Sumatra, seringkali dengan menyebut

jabatan yang mereka pegang. Cabang-cabang pun mulai dibenahi dengan baik. Di

samping itu Pengurus pusat bertindak juga sebagai pengurus cabang Batavia.

Sementara cabang-cabang JSB di berbagai daerah mulai kembali menggeliat. 78 Di

dalam tulisannya, Bahder Djohan mengemukakan bahwa:

“Jika pada waktu Hatta mulai menjabat sebagai bendahara, JSB mengalami
hutang hampir 1.000 gulden, maka pada akhir tahun 1920, menjelang
Hatta meletakkan jabatannya, keadaan keuangan menjadi sebaliknya. Sisa
uang menjadi hampir satu setengah kali. Hal ini dapat terjadi, karena
tindakan Hatta yang cukup tegas dan berani. Ia menyiarkan suatu daftar
hitam dari mereka yang sesudah waktu tertentu, tidak memenuhi
kewajibannya sebagai anggota atau penderma. Kejadian ini
menggoncangkan masyarakat pada waktu itu, karena dalam daftar itu
banyak dimuat nama-nama orang yang terkemuka dan terhormat.79...

77
Jong Sumatra, 1920, hal. 95-102, 103-109
78
Jong Sumatra, 1922, hal. 5-10
79
Djohan, op.cit., hal.36
57

dengan tindakan itu, JSB pada tahun itu dapat menutup keuangan dengan
kelebihan 700 gulden. Suatu jumlah yang cukup besar pada saat itu.” 80

Salah satu permasalahan di dalam JSB yang patut menjadi catatan adalah

gagalnya membentuk sebuah federasi antara JSB di bawah pimpinan Mohammad

Amir dengan Jong Java pimpinan Soekiman. Semula, buat JSB, federasi kedua

belah pihak diharapkan dapat lebih memperkokoh persatuan lebih tinggi.

Pembentukan “Indonesia” hanyalah satu pijakan antara dalam usaha bersama

segala bangsa untuk membentuk “Jiwa Dunia”. Sebaliknya Soekiman tidak

menginginkan seperti apa yang dicita-citakan Amir. Kerjasama bisa dilakukan

hanya dengan pertimbangan taktis, berarti tidak menginginkan sintese budaya,

tetapi menekankan kekuatan budaya Jawa sendiri.81

Walaupun demikian, rencana untuk mempersatukan kedua perhimpunan

yang sudah dimulai sejak awal tahun 1921, tetap saja gagal karena perbedaan yang

lebih teknis, yaitu mengenai susunan pengurus federasi. Jong Java menginginkan

pengurus menurut besarnya jumlah keanggotaan. Logikanya, Jong Java yang telah

memiliki jumlah anggota lebih besar dari JSB, akan banyak menempati posisi-

posisinya di pengurusan. Sebaliknya JSB berpendapat lain. Organisasi pemuda

pelajar Sumatera ini menginginkan agar setiap organisasi memiliki perwakilan

yang sama besarnya di dalam pengurus.82

Walaupun gagal membentuk federasi, kedua organisasi tersebut telah

membuat rencana mereka dengan matang. Mereka telah membuat dasar-dasar

federasi sebagaimana tertuang dalam kesepakatan pertama kali. Dinyatakan dalam

80
Ibid, hal. 32
81
Ibid, hal. 95.
82
Ibid, hal.112.
58

kesepakatan itu, bahwa setiap organisasi kolonial perlu berjuang demi

kemerdekaan tanah airnya. Usaha ini bisa dibenarkan karena hak penentuan nasib

sendiri penduduk.

Pandangan ini pada prinsipnya diterima oleh JSB dan Jong Java. Dari

uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dua organisasi pelajar ini

memiliki sifat politik yang tegas. Untuk mencegah kesalahpahaman, dinyatakan

dengan tegas bahwa organisasi tersebut bukan merupakan partai politik.

Penegasan ini diuraikan dalam struktur organisasi, yaitu :

a. Dalam persoalan yang menyangkut kepentingan organisasi terkait, aksi


dilancarkan di bawah pimpinan pemerintahan federasi yang terdiri atas
para wakil dari organisasi yang terkait sesuai dengan jumlah
penduduknya.
b. Dalam persoalan yang menyangkut setiap organisasi, semua yang
bergabung di dalamnya masih bisa mempertahankan kebebasannya
sendiri.Pengurus harian federasi dibentuk oleh baik anggota individu
maupun organisasi yang bergabung, dengan setidaknya seorang ketua
dan seorang sekretaris bendahara, yang sekaligus harus menduduki
fungsi yang sama dalam pengurus federasi. Pengurus federasi bisa
mengeluarkan brosur, di mana persoalan yang dibahas sangat penting
secara sosial. Setiap organisasi wajib untuk menampung informasi dan
aturan-aturan dalam federasi pada organnya. Organisasi yang
bergabung di dalamnya setiap bulan menyumbang setidaknya lima
gulden untuk menutup pengeluaran sehari-hari. Biaya brosur yang
dikeluarkan bersama-sama ditanggung oleh organisasi yang
bergabung. Menurut perbandingannya, jumlah eksemplar yang
dikehendaki oleh setiap organisasi. Rencana dasar-dasar dan
persyaratan yang disebutkan di atas diserahkan kepada pengurus pusat
JSB. Suatu rapat terpadu antara pengurus pusat JSB dan Jong Java bisa
diadakan, dengan tujuan bersama-sama untuk menyusun anggaran
dasar dan program prinsip yang akan diajukan untuk disetujui oleh
Kongres Jong Java ke-4. 83

83
Jong-Sumatra, No.4 dan 5 : 49 dan 50
59

Mengenai perkembangan cabang-cabang JSB selanjutnya, Abu Hanifah

yang menjadi Juru Pengarang (Sekretaris) JSB di dalam rapat tahunan 1928/1929

mengatakan :

...Perkoempoelan kita, jang bernama sampai sekarang, Jong Sumatranen


Bond ada mempoenjai beberapa tjabang-tjabang, jaitoe: Soerabaja, Solo,
Djokja, Salatiga, Bandoeng, Soekabumi, Bogor, Betawi, Padang dan
Boekit Tinggi. Tidak berapa boelan jang terlampaui ini besarlah harapan
kami, tentang pendirian tjabang Medan kembali, tetapi roepanja harapan
itoe tidak dapat dilakoekan sebab koempoelan jang didirikan orang-orang
Medan itu , jang dinamainja Jong Sumatranen Bond djoega menerima
anggota jang soedah bekerdja, dan oleh sebab didalam perkoempoelan
kita boleh diterima sebagai anggota hanja pemoeda-pemoeda jang masih
dalam peladjaran, terpaksalah kami memberitakan kepada perkoempoelan
di Medan tadi, bahasa ia tidak dapat diterima sebagai anggota tjabang
biasa, melainkan sebagai anggota-anggota loear biasa. Tiada lama setelah
itoe, maka perkoempoelan itoe bertoekarlah nama. Ini sebab-sebabnja
J.S.B tak bertjabang di Medan.84

Mengenai cabang-cabang JSB ini, terutama untuk cabang Medan sejak

dari awal perkembangannya sudah dihadapkan pada permasalahan keanggotaan,

hal ini seperti yang ditunjukkan oleh anggota JSB yang berasal dari Batak, yang

akhirnya mendirikan Jong Bataks Bond. Jika dikaitkan dengan hasil laporan Abu

Hanifah, maka pembukaan cabang JSB di Medan ini terlalu dipaksakan padahal

respon dari maasyarakat Medan sendiri agak kurang terutama minat dari pemuda

pelajar yang ada di kota tersebut. Tidak adanya regenerasi mengakibatkan kasus

keanggotaan di atas wajar mengemuka.

Adanya kemandekan perkembangan JSB baik yang dialami di pusat

maupun di beberapa cabang Medan, Surabaya, Bandung dan lain-lain, yang

dialami pada periode kepemimpinan Bahder Djohan (1926-1928), sehingga

mengalami penurunan dalam keanggotaan, ini bukan berarti karena

84
Pemoeda Soematera, Januari-Februari 1929, hal.2
60

ketidakmampuan pengurus dalam mengelola organisasi, melainkan karena kondisi

masa itu bagi organisasi pemuda kedaerahan pada umumnya berada pada tahapan

menuju pencarian identitas nasional, hal ini terlihat dengan adanya

menyelenggarakan kongres pemuda yang berlangsung selama dua periode yaitu

kongres pemuda pertama tahun 1926 dan kongres pemuda kedua berlangsung

pada tahun 1928. Pada Kongres Pemuda kedua inilah konsentrasi organisasi

pemuda lebih terpokuskan, karena masa-masa itulah merupakan puncak semangat

pemuda yang dihasilkan dalam putusan kongresnya yang terkenal dengan ikrar

Sumpah Pemudanya.

B. Permasalahan Budaya

Karena sebagian besar anggota JSB orang-orang Minangkabau, maka

budaya yang melekat pada anggota orang-orang Minangkabau ini pun tidak dapat

terlepas. Dalam cerita-cerita sejarah Minangkabau yang disebut Tambo yaitu

cerita yang disampaikan dari mulut-ke mulut, dikemukakan bahwa wilayah

Minangkabau dibedakan atas “darek” dan “rantau”. Darek adalah daerah asal

pusat kebudayaan Minangkabau yang terletak di daerah pedalaman. 85 Daerah ini

merupakan daerah yang subur, tempat nenek moyang orang Minangkabau pada

mulanya menetap. Dari sana pulalah konon lahirnya sistem adat ”matrilineal” atau

“matriakhat” dimana pertalian keluarga atau keturunan diatur menurut garis ibu.

Hal ini sangat erat hubungannya dengan kedudukan perkawinan dan

85
Ohorella, op.cit., hal. 15
61

hukumpewarisan. Dalam hal ini paman atau mamak dan ibu mempunyai suara

yang menentukan.86 Sebaliknya tidak demikian dengan laki-laki.

Sedang rantau adalah daerah perbatasan sepanjang pantai barat dan pantai

timur Sumatera bagian tengah. Melihat hubungan ini, walau dewasa ini Sumatera

bagian tengah terdiri atas dua provinsi namun populasi penduduknya hampir

sama. Hampir sebagian besar penduduk di Provinsi Riau berasal dari Bukit

Tinggi, Batu Sangkar, Padang Panjang, atau daerah lainya di Sumatera Barat. Hal

ini terlihat pula dari segi kebudayaan dan adat istiadat sampai dewasa ini. 87

Budaya merantau juga dilakukan pemuda-pemuda hampir dari setiap

daerah di Sumatera Barat, termasuk negeri asal anggota-anggota JSB.

Kebanyakan mereka merantau sampai ke provinsi lainnya di Sumatera juga ke

Jawa, bahkan ke luar negeri seperti Belanda. Apabila pemuda di negeri lainnya di

Minangkabau merantau untuk mengubah nasib, misalnya dari petani menjadi

pedagang, tukang jahit, atau pengrajin, maka pemuda pelajar tentunya lebih

banyak merantau untuk mencari ilmu.

Untuk mendukung anak laki-lakinya merantau, orang tua dan ninik

mamak, bahu membahu membantu dalam hal dana. Kalau perlu mereka

menggadaikan sawah-ladang atau meminjam. Seluruh keluarga bila anak laki-laki

disarankan bersekolah di luar negerinya dan pulang apabila sudah jadi sarjana.

Sebenarnya pendidikan di Sumatera Barat tidak jauh tertinggal dari

daerah-daerah lain di Jawa, bahkan pendidikan di Sumatera Barat sudah terlebih

dahulu berkembang. Misalnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda sudah

86
loc.cit
87
ibid.
62

terdapat Kweekschool atau Sekolah Raja. Murid-murid dari sekolah ini adalah

anak-anak dari kaum bangsawan dan hartawan : itulah sebabnya disebut sekolah

Raja. Selain Sekolah Raja juga terdapat Nourmalschool, dan lembaga pendidikan

moderen Islam yang sudah lama berdiri, yaitu “Sekolah Thawalib” yang terkenal,

dan “Dinijjah School.” Yang pertama dipimpin oleh Syekh Dr.Karim Amarullah

dan Syekh A.Hamid Hakim, sedangkan yang kedua dipimpin oleh Zainudin Labai

El Yunusy. Kedua perguruan ini bertempat di Padang Panjang dan dikunjungi

oleh pemuda-pemuda dari segala penjuru tanah air yang berminat belajar di

sekolah Islam.88

Masyarakat Minangkabau pada umumnya sudah menyadari kegunaan dan

manfaat ilmu di sekolah setinggi-tingginya. Beberapa keluarga seakan-akan

berlomba mengirimkan putra-putranya ke berbagai jenis sekolah mulai yang

terendah sampai yang setinggi mungkin. Adanya anak yang diterima di sekolah

Belanda, kemudian dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi. Pemuda-

pemuda Minangkabau juga menyadari bahwa kemenangan dalam kehidupan harus

direbut. Perjuangan hidup harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan umum yang

kala itu hanya bisa diperoleh di berbagai sekolah yang sudah mulai banyak dibuka

oleh pemerintah Belanda. Karena perguruan yang lebih tinggi sebagian besar

didirikan di Jawa, sedangkan setiap pemuda Sumatera atau dari bagian lain dari

Hindia apabila ingin menuntut pelajaran yang luas dan lebih tinggi, maka haruslah

mereka meninggalkan kampung halaman. Pada umumnya mereka adalah pemuda-

88
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen PD & K, Sejarah Perjuangan Pemuda
Indonesia (Jakarta: PN.Balai Pustaka, 1965), hal.39
63

pemuda yang memiliki tekad keras, berhati baja serta berani menghadapi

tantangan-tantangan hidup.

Pendidikan moderen di Indonesia pada abad ke-20 sudah menunjukan

kemajuan, seperti lazimnya berlaku di dunia Barat, awal perkembangan ini

menunjukan suatu harapan. Tidaklah mengherankan apabila justeru pada tahun

1908, pemuda pelajar mendirikan perkumpulan Budi Utomo di Jakarta, yang

diakui sebagai awal kebangkitan nasional di kalangan bangsa Indonesia.

Di Tanah Minangkabau sendiri, juga mulai hidup semangat kebangsaan

yang makin lama makin berkembang dengan semarak. Pada tahun 1910 di Tanah

Minangkabau sudah berdiri perkumpulan Adabiah yang dipelopori oleh kaum

muda Islam antara lain Haji Abdullah Ahmad dan Haji Karim Abdullah 89.

Perkumpulan ini kemudian mendirikan Sekolah Adabiah yang mengajarkan

pengetahuan umum dan pelajaran agama Islam.

Bagi daerah Minangkabau yang sebagian besar penduduknya penganut

agama Islam yang setia pada ibadahnya, maka perkembangan perkumpulan

Adabiah ini adalah suatu kewajaran. Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun

1914 Haji Abdullah Ahmad dan Mohammad Taher Marah Sutan mendirikan

H.I.S. Adabiah yang diakui dan diberi subsidi oleh pemerintah Hindia Belanda90 .

Tokoh Mohammad Taher Marah Sutan, Sekretaris Sjarikat Oesaha,

sebuah perkumpulan kaum muda di Padang yang bergerak di bidang ekonomi,

menduduki posisi yang penting dalam perkembangan faham kebangsaan dan

kemajuan di Ranah Minangkabau. Dalam banyak hal Taher Marah Sutan

89
Kutoyo, op.cit, hal . 15
90
Ibid
64

merupakan penabur benih, pendorong semangat, dan pencipta iklim

perkembangan faham kebangsaaan, terutama di kalangan anak-anak muda dewasa

itu seperti Mohammad Hatta, Bahder Djohan, Nazir Datuk Pamuntjak,

Muhammad Yamin dan lain-lainWalaupun pada saat bersamaan lembaga-lembaga

pendidikan di Sumatera Barat sudah lama berkembang. Berkat merantau untuk

mencari ilmu, tidak heran jika mereka banyak yang menjadi kaum intelektual

yang bekerja pada pemerintah, menjadi dokter, guru, notaris, dan lain-lain.91

Sejak awal, alam Minangkabau terkenal dengan adat istiadatnya, yaitu

sebagai salah satu corak dari kebudayaan nasional.. Menurut bahasa daerah

tersebut, adat adalah : sawah diagiah bapambatang, ladang dibari bamintalak,

Padang dibari baligundi, Bukik dibari bakaratau, Rimbo dibari bajiluang, nak

Babezo tapuang jo sadah, nan babiteh minyak jo aia, nak balain kundua jo labu.

Artinya dalam bahasa Indonesia adalah norma-norma yang mengatur tata

nilai dan struktur masyarakat yang membedakan secara tajam antara manusia

dengan hewani dalam tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Di mana pepatah-

petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam ada yang kalimat-kalimatnya

mengandung pengertian kiasan Adat Minangkabau mengatur tingkah laku anggota

masyarakat dari tingkah laku yang sekecil-kecilnya sampai tingkah laku yang luas

dan besar seperti suatu nagari. Manusia dan hewani banyak persamaan dalam

tingkah laku, terutama tingkah laku dalam mencapai kepentingan biologis.

Sebagai contoh: kalau manusia membutuhkan makanan dan minum, tidur,

berjalan, buang air kecil dan besar, mandi, bergaul, nafsu sex, kawin,

91
Ibid.
65

berketurunan, duduk dan sebagainya, hewan pun juga demikian. Oleh karena itu,

untuk membedakan tingkah laku manusia dengan hewan dalam mencapai

kebutuhan biologis dalam pergaulan hidup, maka nenek-moyang orang

Minangkabau menciptakan adat-istiadat sebelum agama Islam masuk ke

Minangkabau Sumatera Barat) di penghujung Abad ke-14. 92

Setelah Agama Islam masuk ke Minangkabau dan menjadi panutan

masyarakat, ternyata ajaran Islam banyak mempunyai persamaan dengan ajaran

Adat Minangkabau, kecuali tentang Aqidah dan Syari'at. Sejak masuknya agama

Islam di Minangkabau, masyarakat sadar akan nilai-nilai agama tersebut. Sejak itu

pula agama tidak dapat dipisahkan dari adat. Kedua unsur itu terjalin dengan

begitu kuatnya.Dalam waktu yang tidak begitu lama, Islam diterima oleh Adat

Minangkabau tanpa menimbulkan benturan yang berarti, lahirlah Pepatah Adat

sebagai filsafat hidup masyarakatnya : "Adat basandi Syara', Syara' Basandi

Kitabullah" Artinya : "Adat Minangkabau disempurnakan, diperkokoh oleh ajaran

Islam, seperti kokoh rumah karena sandinya " ( rumah gadang basandi batu, kuek

rumah karano sandi, rusak sandi rumah binaso).

Jadi jelas fungsi Adat Minangkabau dalam pergaulan sehari-hari adalah

membedakan secara tajam tingkah laku manusia dan hewan, dengan mengatur

segalanya dengan aturan adat Minangkabau. Jadi singkatnya orang beradat itu

adalah orang-orang yang bertingkah laku dalam pergaulan dengan baik yang

senantiasa memikirkan orang lain, bukan memikirkan kepentingan dirinya sendiri,

seperti kata pepatah : "Elok dek awak katuju dek urang".

92
Ibid
66

Di dalam masalah adat ini, pengurus JSB pernah menghadapi kasus

pertentangan adat. Hal ini terjadi pada tahun 1920, di mana pada waktu itu
93
terkenal dengan istilah Kasus Daena, yang nama lengkapnya Pomo Daena.

Gadis Kota Gedang, sebuah desa kecil dekat Bukittinggi, Sumatera Barat ini

ketika bekerja sebagai asisten di kantor pos di Medan menikah dengan seorang

Jawa. Masyarakat Kota Gedang yang ini tidak mengizinkan gadis-gadisnya

menikah dari suku luar menjadi heboh. Orang tua si gadis lalu mengirim pakaian

gadis tersebut ke Medan yang dibungkus dengan kain putih sebagai tanda bahwa

sejak itu, mereka menganggapnya telah meninggal dunia.

Permasalahan ini menjadi bahan diskusi di antara sesama redaksi Majalah

Jong Sumatra. Redaktur majalah, Mohammad Amir, yang juga ketua JSB

memutuskan untuk membuat angket. Setiap anggota boleh menuliskan

pendapatnya. Dua artikel yang berpihak pada Deana dimuat bulan Agustus 1920.

Sementara seseorang yang namanya Raihoel Amar berasal dari Kota Gedang

melancarkan tuduhan dengan kata-kata kasar dan artikelnya dimuat dalam

Majalah Jong-Sumatra, No.5, tahun 1920, hal. 94 dan 95. Lengkapnya sebagai

berikut :

KONTRA DAENA

Nyonya Pomo (Daena):


Saya meragukan kebenaran dan kepalsuan Anda. Saya Raihoel Amar,
seorang warga desa Anda. Saya menyerang Anda karena Anda telah
bersalah kepada semua orang, apa yang menjadi hal suci dan tidak
tersentuh. Anda telah berhubungan dengan seorang bukan warga Kota
Gedang, dan ini tidak pernah menjadi keinginan kita. Tidak ada putra
dari suku kita yang melakukan tindak kesalahan begitu saja tanpa

93
Jong-Sumatra, No.5 (1920) : 94-95
.
67

dihukum. Tidak ada saudari kita yang bisa melanggar tindakan kita di
mana kita berusaha mempertahankannya sejak dahulu, tanpa mengalami
denda atau akibatnya. Kita tidak bisa melepaskan diri dari ikatan itu,
karena kita merasa batin kita lemah. Kita kuat dan kita ingin tetap
bertahan bila perlu. Sebanyak 24 orang penghulu telah melihat badai
besar yang terlepas di atas kepala mereka. Sehingga melalui tindakan ini
putri mereka bisa mempelajari kondisi itu.
Nyonya, Anda telah melakukan perbuatan pelanggaran selain melanggar
ikatan ini. Anda telah menumpahkan darah. Anda telah menjauhkan diri
dari ibu dan saudari Anda. Kesalahan terbesar tidak Anda lakukan. Di
mana nilai kebenaran ini berada? Selain Tuhan bagi manusia tidak ada
yang lebih berharga kecuali ibu. Nama ibu disucikan baik di langit
maupun di bumi. Seorang ibu akan mernderita dan dilanggar
kehormatannya, karena tindakan yang barbar”.
Tetapi Anda tidak melihat apa yang suci di sana (yaitu ibunya)
sementara dari seorang pria. Kini jalan itu telah saya tempuh dan juga
dari setiap orang Kota Gedang. Tetapi kita merasa bangga. Tampak
bahwa anda menyuruh agar orang lain mengikuti Anda seperti hantu.
Anda merasa terusir dari desa kita. Kini Anda telah terusir. Tidak pernah
lagi anda melakukan sesuatu (ta’ sahino, ta’ samulio). Kota Gedang telah
berpisah dari Anda, dan tidak akan kehilangan Anda. Saya sebaliknya
sedih ketika mengetahui bahwa rekan-rekan desa saya, para wanita yang
terhormat: Nyonya S.N.N., Zakir Salim dan Nyonya S.D. Salim
menunjukkan simpatiknya terhadap cara bertindak Nyonya Pomo, ya
bahkan mereka bisa membenarkan hatinya.
Bila demikian, ketika kita tidak lagi bisa mempertahankan kewajiban
anak-anak kita terhadap ibu kita, ketika kita berani melepaskan semua
ikatan keluarga demi “nafsu hidup” yang kasihnya terhadap kita tidak
mungkin melebihi kasih ibu kita dan jarang bisa menyamainya. Apakah
di sini tujuan juga bisa menghalalkan cara? Ini toh bukan merupakan
tujuan Anda? Tidak, tidak mungkin. Tetapi saya pikir bahwa alasan
pembenaran ini terletak pada dugaan apabila Nyonya Pomo bertindak
karena kasihnya. Kasih? Oh, dalam korps itu, di mana tidak ada kasih
ibu yang bisa disembunyikan. Gejolak hati telah ada. Anda menduga
telah melihat semua itu?
Apakah Anda berpikir bahwa “fajar telah merekah”? Kita berkata:
pandangan ini merupakan kedok bagi semua pengkhianatan, suatu
pembenaran bagi putusnya ikatan paling suci. Jika kehidupan tidak
memiliki kewajiban, maka kasih bisa menjadi tanda bahwa dua orang
akan saling berhadapan. Semoga kita berharap dan Tuhan berkenan, agar
Nyonya Pomo merupakan satu-satunya saja dan tidak seorangpun
mengikuti contoh buruknya. Tunjukkan saudari-saudariku, bahwa kalian
merasakan kasih pada tanah kelahiran dan ini bisa dilakukan ketika
kalian tetap setia pada tradisi matriakat, pembentukan gaung: Datu
Katemanggungan dan Perpatiah nan Sabatang. Tunjukkan kepada
keturunan kalian, apa yang diperdebatkan dua orang Minangkabau.
68

Dipertahankannya adat merupakan suatu sarana untuk saling


berhubungan, menegakkan matriakat di desa itu. Kita merasa perlu untuk
mempertahankan adat lama, karena para gadis Kota Gedang tidak lagi
tinggal di kampung (95). Ketika itu kita tetap melihat bahwa orang asing
akan kalah: orang-orang yang menganut patriakat. Matriakat tidak
mungkin lenyap dari Kota Gedang. Untuk itu penghulu kita wajib
memperhatikan dan bersama mereka, “dansanak nan tigo jurai, nan
ampek suku”. Wewenang penghulu terutama dengan mudah bisa dilihat
oleh mereka, yang ingin melakukan pembaharuan dan wajib menyesali
moral seksual. Mereka lupa bahwa moral seksual ini sangat diperlukan,
mengingat sangat sedikit orang yang benar-benar gigih berkeliaran di
lembah ini.
Jadi sampai sekarang aturan-aturan yang saling terkait bisa tetap
bertahan berkat para penghulu yang memahami kebaikan yang
ditawarkan bagi putri-putri mereka. (96) Mereka menghendaki kebaikan
dalam adat lama, tidak menghargai sesuatu yang baru yang mereka
ragukan. Mereka cenderung berubah prinsip, ketika orang lain
memberikan contohnya dan menyatakan bahwa mereka perlu mengikuti.
Ini bisa dihargai bagaikan melihat kucing dari balik pohon. Tetapi
Nyonya Pomo yang bertindak menyimpang tidak berpikir tentang
kewajibannya dan berkata:”Apa yang saya miliki bagi seorang ibu”, dan
yang tidak ingin bertanya apa yang berguna bagi seorang putri,
kebrutalan telah melanggar adat dan mengkhianati kampungnya. Mereka
juga diusir oleh para pembela adat dan kebiasaan di Kota Gedang.
Kesalahan Nyonya Pomo diperlukan untuk menunjukkan bahwa
matriakat masih ada dan para penghulu di Kota Gedang masih memiliki
kekuasaan, meskipun mereka tidak terlalu banyak tampak belakangan
ini, meskipun mereka mampu menghadapi tuntutan zaman – biasanya,
bila mereka melihat manfaatnya. Tetapi semua itu masih ada batas-
batasnya. Kini penghulu telah memanggil: sampai di sini saja dan tidak
perlu diperpanjang lagi.
Kita wajib mengikat semua gadis dengan pursang Kota Gedang, karena
kita bisa saling terkait. Kita tidak suka bila orang lain memasuki rumah
kita sebagai kepala keluarga. “Kita ingin adanya ikatan” di desa kita.94

Ada kegamangan di dalam pikiran Amir untuk memutuskan siapa yang

benar dalam kasus tersebut. Tulisan berisikan kecaman itu, juga diizinkan Amir

untuk dimuat. Tetapi karena keberpihakan Amir terhadap Daena, dia merasa

menyesal artikel tersebut sempat lolos. Amir pun memberikan perintah kepada

94
Ibid.
69

percetakan Evolutie di Batavia (Jakarta) untuk menempel halaman bersangkutan

di dalam Majalah Jong Sumatra. Karena terjadi kesalahpahaman, sebagian dari

terbitan itu dikirimkan tanpa ditempel, hingga tulisan berisi kecaman itu dibaca

juga oleh banyak pelanggan. Dalam hal ini Amir tidak menggunakan pena merah

untuk menyensor, melainkan dengan lem. Menurut Amir, hal tersebut perlu

dilakukannya untuk menghindari terjadinya debat sengit dalam JSB mengenai

adat.

Dari kasus ini sangat jelas terlihat bahwa Amir tidak ingin memutuskan

masalah ini. Sifat gamang yang penuh kehati-hatian dari sifat orang

Minangkabau mengenai adatnya, sudah tentu berbeda dengan pemuda pelajar di

Jong Java yang dengan percaya diri dan dengan gamblang memaparkan masalah

adatnya. Para pemuda pelajar JSB tidak begitu banyak bertolak dari warisan masa

lalu. Mereka memang tidak dapat melakukannaya, karena tidak adanya tradisi

Sumatera yang mempersatukan.95

Dalam kasus Daena ini, Mohammad Amir sebagai ketua bukannya ragu-

ragu dalam memutuskan persoalan, tapi karena ia sebagai orang Minangkabau

dalam bertindak selalu berhati-hati dan tidak terburu-buru. Ia tidak berkata

langsung ke pokok persoalan tetapi memberikan arahan agar suatu masalah

dibicarakan bersama dengan hati-hati dan persoalan tersebut tidak semakin

meruncing.

Permasalahan JSB yang lain di bidang budaya adalah terhambatnya

perkembangan JSB di Padang (Sumatera Barat) yang mendapat pertentangan dari

95
Ibid, hal. 88
70

pemuka adat. Keinginan JSB membentuk cabang pertamanya di daerah itu, pada

bulan Januari 1918 memperoleh perlawanan dari pimpinan adat yang juga adalah

seorang wartawan bernama Datuk Soetan Maharaja (1860-1921). Kedatangan

Nazir Datuk Pamuntjak, tidak memperoleh dukungan dari Maharaja. Hal ini

dikarenakan :

1. masih terlalu kuatnya kelompok-kelompok tua yang diwakili Maharaja

dalam hal memegang adat ;

2. muncul rasa cemas di kalangan kelompok tua bahwa adat tersebut akan

lentur ketika melihat persoalan-persoalan baru yang sedang berkembang

dari kelompok anak-anak muda JSB..

Ketika Datuk Soetan Maharaja mengepalai sebuah lembaga adat bernama

Sjarikat Adat Alam Minangkabau (SAAM), pertentangan antara kelompok

pemuda pelajar berpendidikan moderen dengan tokoh-tokoh adat di Minangkabau

tidak dapat dihindari. Di dalam artikelnya yang berjudul: “ Pergerakan oemoem

di Soematera Barat,” Amir menyebut Datuk Soetan Maharaja sebagai seorang

sphynx dan gila adat. 96

Pertentangan antara JSB dengan kelompok adat tersebut juga

dikemukakan melalui ditulisan B.Dj, nama pendek dari penulisnya yaitu Bahder

Djohan, di dalam Jong Sumatra, no. 6,7, 8, edisi Juni, Juli dan Agustus tahun

1918, hal.119 - 121 dengan judul artikel: “Adakah Kaoem Koeno dan Kaoem

Moeda di poelau Soematera dapat bekerja bersama-sama memadjoekan

Soematra ?”.

96
Jong Sumatra, No. 6,7 dan 8, Juni, Juli dan Agustus 1918 : 124
71

Bahder Djohan di dalam tulisannya ini menjelaskan tentang adat istiadat,

menurutnya adat istiadat merupakan kebiasaan umum saja. Kebiasaan itu

hendaklah mengikuti perubahan zaman. Perlu diakui, jelas bahwa di dalam dua

tiga abad ini sudah terjadi perubahan besar. Diperjelas oleh Bahder Djohan,

lahirnya JSB menurut sebagian pikiran orang akan menambah jarak antara kaum

muda dan kaum tua. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.

”Kelahiran JSB tiadalah akan menambah besarnya perantaraan Kaoem Koeno dan Kaum
Moeda, adalah kedua pihak itoe sama-sama bermaksud akan memperharoem namanya
poelau Soematra, walaupoen kedoea pihak itoe masing-masing menoeroeti djalannja
sendiri akan mentjapai tjita-tjitanja itoe. Pergerakan Kaoem Koeno adalah beralasan:
Memadjoekan Soematra dengan menegoehkan adat-adat, agar pendoedoek Soematra
selaloe hidoep dalam roekoen dan damai. Sedang JSB (Kaoem Moeda) adalah alasannja:
Dengan menjatoekan segala pendoedoek Soematera, beroesaha akan mentjapai Soematera
jang ditjita-tjita, jaitoe seboeah Soematera jang berpendoedoek jang menghargakan tinggi
adat istiadat tanah Soematra tetapi beradab dan berpe’adjaran tjara Barat.” 97

Tulisan Bahder Djohan yang berkeinginan mempersatukan dua kalangan

yang berebeda pandangan pada kenyataannya tidak memperoleh sambutan.

Berarti langkah Nazir di Padang yang memperoleh perlawanan dari Maharaja

merupakan langkah mundur JSB di Padang. Tetapi usaha-usaha untuk

mengembangkan JSB di Padang dan Bukittinggi tetap dilakukan oleh Nazir

Pamuntjak yaitu dengan mencari dukungan seorang tokoh kharismatik yang

berpengaruh di kota Padang, dalam hal ini adalah Taher Marah Sutan. Karena

beliaulah akhirnya pada bulan Januari 1918 terbentuk cabang JSB pertama di

Padang ( Sumatera Barat).

Dalam mengamati berbagai permasalahan budaya terutama pertentangan

antara tokoh JSB dengan pemuka adat di Minangkabau, yaitu antara kaum tua dan

muda. Pertentangan ini sebenarnya wajar muncul karena sifat ketertutupan dari

97
Ibid : 120.
72

pemuka adat yang menganggap adat harus dipertahankan apa adanya. Namun bagi

para tokoh JSB terutama yang bersuku Minangkabau bersikap demokratis, tidak

terlalu membedakan kelompok-kelompok yang ada, sehingga persoalan sesulit

apa pun akan mampu diatasi dengan musyawarah. Hal ini seperti yang ditempuh

oleh Nazir D Pamoentjak dengan memintakan pendapat dan dukungan dari

pemuka masyarakat lainnya yang berpengaruh di kota Padang dalam hal ini yaitu

Taher Marah Sutan.


BAB IV

KIPRAH JONG SUMATRANEN BOND

A. JSB pada Kongres Pemuda Pertama

Kegagalan membentuk federasi antara Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond

(JSB) tidak mematahkan semangat para pemimpin organisasi pemuda di dalam mewujudkan

rasa persatuan, di dukung dengan semakin gencarnya semangat persatuan bangsa yang

disuarakan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda melalui Majalah Indonesia

Merdeka dan kembalinya tokoh-tokoh PI ke tanah air, mendorong pemuda-pemuda untuk

tetap bersemangat melanjutkan cita-citanya ke arah persatuan bangsa.

Mohammad Tabrani dari Jong Java yang pada itu merupakan wartawan muda di

Surat Kabar Hindia Baroe berusaha merealisasikan persatuan para pemuda dengan

menyelenggarakan Konferensi Organisasi Pemuda Nasional Pertama pada 15 November

1925 di Gedung Lux Orientis Jakarta, yang sekaligus sebagai persiapan untuk

diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia Pertama.

Konferensi tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari Jong Java, Jong Sumatranen

Bond, Pelajar Minahasa (Minahassische Studeerenden), Sekar Roekoen,dan peminat

perorangan. Konferensi juga membentuk sebuah panitia yang mempunyai tugas

menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia Pertama dengan susunan sebagai berikut :

Ketua : Mohammad Tabrani (Jong Java)


Wakil Ketua : Soemarto (Jong Java)
Sekretaris : Djamaloedin (JSB)

Jong Sumatranen..., Edy Suwardi, FIB UI, 2007


74

Bendahara : Suwarso (Jong Java)


Anggota : Bahder Djohan (JSB), Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon), Paul Pinontoan
( Jong Celebes), Achmad Hamami (Sekar Roekoen), Sanoesi Pane (Jong
Bataks Bond) dan Sarbaini (JSB).98

Peranan JSB dalam mewujudkan Kongres Pemuda Pertama ini sangat besar. Hal

tersebut terlihat dari susunan panitia persiapan kongres yang banyak melibatkan perwakilan

dari JSB (berjumlah tiga orang :Djamaloedin, Bahder Djohan dan Sarbaini).

Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan di Gedung Vrijmetselaarsloge (sekarang

Gedung Kimia Farma, Jalan Budi Utomo Jakarta Pusat) yang berlangsung dari tanggal 30

April hingga 2 Mei 1926. Meskipun kongres pemuda ini hanya baru berhasil menimbulkan

kesadaran tentang perlu adanya persatuan di kalangan pemuda dan perlu adanya satu bahasa

kesatuan dan belum berhasil mewujudkannya, tetapi menunjukkan kemajuan-kemajuan

dengan terselenggarakannya kongres tersebut.

Kongres Pemuda Pertama yang berlangsung selama tiga hari itu dibagi dalam tiga

kali rapat. Rapat pertama, berlangsung pada hari Jumat, 30 April 1926, bertempat di Gedung

Vrijmetselaarsloge. Rapat berlangsung selama 4 jam, yaitu dari pukul 20.00 sampai dengan

pukul 24.15 WIB. Acara rapar pertama meliputi:

1. Pembukaan Kongres.

2. Pidato Ketua Kongres Pemuda Pertama, Mohammad Tabrani.

3. Pidato Soemarto: Gagasan Persatuan Indonesia.99

98
Momon Abdul Rahman et.al., Sumpah pemuda Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan
Nasional (Jakarta:Museum Sumpah Pemuda, 2005), hal.35 dan 36.
99
Ibid, hal.38.
75

Pidato-pidato para pemuda disampaikan dalam bahasa Belanda. Pidato pembukaan

disampaikan oleh M.Tabrani selaku ketua panitia. Dalam pidatonya Tabrani mengatakan

agar pemuda dapat memajukan pertumbuhan semangat persatuan nasional dengan

menghindari segala sesuatu yang dapat menceraiberaikan pemuda. Oleh sebab itu, panitia

memilih acara yang mengandung unsur pemersatu dan menjauhkan diri dari perpecahan.

Selanjutnya Tabrani mengharapkan agar kongres menyuarakan generasi muda pda waktu itu

yang nantinya terpanggil untuk bekerja, berjuang dan meninggal untuk kemerdekaan nusa

dan bangsa, sebagaimana dikutip oleh R.Z.Leirissa dari Laporan Kongres Pemuda Pertama.

Di Weltecreden, 1926, terjemahan Muh.Nur, Penerbit CV.Takari, Jakarta, 1981, hal.37 :

“Kita semua orang-orang Jawa, Sumatra, Minahasa, Ambon dan lainnya, oleh
sejarah dijadikan mahluk yang harus saling mengulurkan tangan, bilamana kita ingin
mencapai apa yang menjadi cita-cita kita semua, yaitu kemerdekaan Indonesia, tanah
air yang tercinta dan penutup menyerukan , “Rakyat Indonesia Bersatulah” 100

Masalah persatuan selalu ditekankan oleh para pemuda dan menjadi pokok persoalan

apabila para pemuda ingin mengadakan pertemuan-pertemuan. Tidak terbayangkan oleh

bangsa Indonesia di kemudian hari bahwa persatuan yang diperjuangkan sebatas ide itu,

kelak menjadi sebuah kenyataan.

Berikutnya yang mengucapkan pidato adalah tokoh pemuda yang bernama Sumarto.

Dalam pidatonya Sumarto mengatakan bahwa semangat kemerdekaan, mengandung cita-cita

Indonesia merdeka. Menurut pendapat Sumarto, Indonesia adalah pengertian politik yang

harus dibedakan dalam pengertian bukan politik atau pengertian lain. Sumarto juga

memaparkan pandangannya mengenai Indonesia dalam arti luas. Pada bagian akhir dari

100
R.Z.Leirissa, et.al, Sejarah Pemikiran tentang Sumpah Pemuda (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989), hal. 55
76

pidatonya, Sumarto mengajak para pemuda Indonesia harus bangun menuju persatuan,

bangkit menuju Indonesia merdeka. 101

Sumarto dengan pidatonya berjudul: “Persatuan Indonesia” menjelaskan :

“Gagasan persatuan Indonesia pada pokoknya dan dasarnya ialah gagasan politik,
yaitu cita-cita menuju negara kesatuan Indonesia. Karena Indonesia mengandung
pengertian politik yang harus dibedakan dari Indonesia dalam pengertian bukan
politik. Dilihat dari pengertian ethnologi, philologi dan geografis, Indonesia
mengandung arti yang lebih luas lagi…Menurut Dr.Ratulangi dalam Kongres seluruh
Hindia Al-Indie Congres di Bandung: Indonesia harus diartikan wilayah di Asia dan
Australia yang dikenal dengan nama Hindia Belanda. Maka itu orang atau bangsa
Indonesia ialah mereka yang termasuk penduduk asli Indonesia.” 102

Rapat Kedua berlangsung, pada hari Sabtu, 1 Mei 1926 bertempat di

Vrijmetselaarsloge. Seperti rapat pertama, rapat kedua berlangsung selama 4 jam, yaitu dari

pukul 20.00 sampai dengan pukul 24.15 WIB. Topik utama rapat kedua adalah Kedudukan

Wanita Indonesia. Rapat menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu :

1. Bahder Djohan dengan pidato berjudul: “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat

Indonesia.”

2. Stientje Adams dengan pidato berjudul:”Kedudukan Wanita.”

3. R.T. Djaksodipoero dengan pidato berjudul: “ Rapak Lumuh.”103

Rapat Ketiga berlangsung pada hari Minggu, 2 Mei 1926. Tempat rapat ketiga masih

tetap di Vrijmetselaarsloge. Rapat dimulai pukul 09.00 WIB. Dalam rapat ketiga ini tampil

dua orang pembicara, yaitu Muhammad Yamin dan Paul Pinontoan.104

101
Ibid.
102
Ibid.
103
Abdul Rahman,et.al. op.cit, hal.40
104
Ibid, hal.41
77

Pidato Muhammad Yamin (anggota JSB), disampaikan dalam bahasa Belanda

dengan judul:”Kemungkinan-kemungkinan Masa Depan Bahasa-bahasa dan Sastra

Indonesia.” Pidato ini memberi peluang kepada anggota yang hadir untuk mencerna apa

yang dikemukakan Yamin.“ Yamin mengatakan, sejarah kini membekali kita menuju

nasionalisme yang dalam dan luas kearah kemerdekaan dan tujuan yang lebih luhur, yaitu

kebudayaan yang lebih tinggi nilainya, agar Indonesia dapat mempersembahkan kepada

dunia hadiah yang lebih berharga dan lebih indah selaras dengan kita. “ 105

Menyinggung hari depan bahasa dan sastra Indonesia, Yamin yakin bahwa dari

sekian banyak bahasa-bahasa yang dipakai, maka bahasa Melayu dan bahasa Jawa

mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Suatu pemikiran yang tak jauh dari

kebenaran sejarah.

Selanjutnya Yamin memaparkan keunggulan-keunggulan dari bahasa Melayu:

“Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan
bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia
memiliki suatu sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah
menjadi bahasa pengantar di kalangan orang-orang Indonesia., antara bangsa-
bangsa Barat dan Timur dan antara bangsa-bangsa Timur Asing sendiri. Posisinya
di masa depan akan lebih menarik perhatian, jika orang-orang muda makin
menguasainya, dan masyarakat makin kuat bercorak Indonesia. Kenyataan bahwa
sekarang banyak yang kurang mengerti bahasa itu, hanya harus dipandang sebagai
suatu peringatan yang serius untuk mempelajari bahasa Melayu dengan baik.” 106

Pidato Yamin memperoleh komentar dari Prof.Dr. Hooykaas yang mengatakan

bahwa pemuda Sumatera itu (Yamin) akan menjadi pelopor dari usaha pemakaian bahasa

105
Martha, op.cit, hal. 61.
106
Leirissa, op.cit., hal.36
78

Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia. Sedangkan bahasa Belanda

lambat laun pasti akan terdesak karenanya. 107

Yamin sebagai anggota JSB, terlihat dengan jelas bagaimana peranan Yamin sebagai

anggota JSB dalam hal memperjuangkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Sebelum

Kongres Pemuda I berlangsung, Yamin dalam Lustrum I JSB tahun 1923 di Jakarta pernah

pula menyampaikan pidato mengenai pentingnya bahasa Melayu tersebut. Pada waktu itu,

Yamin berpidato dengan judul:” De Malaische Taal in het verleden, heden en in de toekomst

(Bahasa Melayu di masa lampau, sekarang dan masa mendatang). Dalam pidato tersebut,

Yamin berusaha mengemukakan betapa pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa perantara

dan bahasa persatuan, yaitu persatuan dari bermacam-macam suku bangsa bumi putera yang

mendiami kepulauan Nusantara ini. Pada waktu menyampaikan pidato saat ini, Yamin

merupakan salah seorang anggota JSB Cabang Bogor dan masih meneruskan sekolahnya di

sekolah pertanian (Landbouwschool) di Bogor.

Dalam kesempatan ini pula, Muhammad Yamin mengusulkan agar diterbitkan

majalah bernama Malaya dengan tujuan agar masyarakat pembacanya dapat menjangkau

Semenanjung Melayu. Tetapi atas beberapa pertimbangan, pada saat ini usul menerbitkan

majalah tersebut tidak diterima.

Pada kenyataannya bahasa Melayu telah lama dipakai di seluruh Kepulauan Indonesia.

Bahasa tersebut sering digunakan untuk saling berhubungan di antara suku-suku bangsa

yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Aceh, Dayak, Banjar dan suku

lainnya. Demikian juga ketika orang-orang Eropa datang ke Indonesia, mereka juga
107
Kutoyo, op.cit, hal. 25
79

mempergunakan bahasa Melayu untuk berhubungan dengan penduduk pribumi. Bahkan

perjanjian-perjanjian dagang dan politik antara kerajaan-kerajaan Indonesia dengan Belanda

juga memakai Bahasa Melayu.

Pada mulanya Pemerintah Belanda di Indonesia, bermaksud memakai bahasa

Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera. Tetapi di pihak lain,

karena Pemerintah Belanda membutuhkan tenaga-tenaga Indonesia yang mampu berbahasa

Belanda, maka bahasa Belanda mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan dijadikan sebagai

bahasa pengantar. Hal itu terjadi pada awal Abad XX dan dalam perkembangan lebih lanjut,

kedudukan bahasa Belanda menjadi sangat penting, karena seseorang yang menguasai

bahasa Belanda akan dianggap lebih tinggi derajat dan pengetahuannya. Dengan demikian

bergeserlah pandangan masyarakat saat itu. Untuk mencapai status yang lebih tinggi, banyak

orang tua ingin memasukan anaknya ke sekolah yang mengajarkan bahasa Belanda.

Akibatnya di kalangan bangsa Indonesia tumbuh segolongan pemuda yang dalam kegiatan

sehari-harinya selalu berbahasa Belanda. Mereka ini tidak berminat lagi terhadap bahasanya

sendiri. Di tengah-tengah perkembangan seperti ini, Yamin tidak henti-hentinya berusaha

untuk meyakinkan bangsanya agar selalu memakai bahasa Melayu sebagai bahasa

pengantar.

Mengapa Yamin mengemukakan bahasa sebagai perekat persatuan para pemuda di

seluruh Indonesia ? Hal ini dikarenakan selain tujuan didirikannya JSB adalah untuk

memusatkan diri pada ikatan perhimpunan, bahasa, dan budaya, juga dapat dikatakan bahwa

bahasa dan nasionalisme berkaitan erat satu dengan yang lain.


80

Dalam hal ini, Kroeber (1963 dikutip di dalam buku Roger Bell: Sociolinguistics:

Goals, Approaches and Problems.London:B.T.Batsfor Ltd,1976) beranggapan bahwa bahasa

merupakan faktor, sering yang utama, dalam menanamkan kebangsaan seseorang. Peran

bahasa dalam nasionalisme dapat dilihat pada perjuangan kemerdekaan Irlandia dan

Kerajaan Ingeris. Di Irlandia, di bawah Liga Gaelik yang didirikan pada tahun 1893, gerakan

bahasa Irlandia menyadarkan orang Irlandia sebagai bangsa. Meskipun sebagai gerakan

kebahasaan dapat dipertanyakan hasilnya, secara politis gerakan tersebut memegang peranan

penting dalam menggalang semangat kemerdekaan dan telah melahirkan tokoh-tokoh politik

Irlandia. 108

Contoh lain adalah di India, pada tahun 1925, bahasa Hindi diangkat menjadi bahasa

utama Kongres Nasional India dan mempelajari bahasa ini merupakan simbol patriotisme

dan dukungan terhadap gerakan kemerdekaan.109 Begitu pula di Indonesia, bahasa Indonesia

yang berasal dari bahasa Melayu itu sangat berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan

Indonesia, apalagi di dalam mempersatukan suku-suku bangsa dengan latar belakang bahasa

yang beragam dan tersebar di berbagai pelosok tanah air. Di kemudian hari bahasa Melayu,

cikal bakal terbentuknya bahasa Indonesia itu, berhasil menjadi bahasa resmi antara

berbagai suku di Indonesia 110

108
John Edward, Language, Society and Identity (New York: Basil Blackwell, 1985), hal.55
109
S.N.Sridar, Language variation, attitudes, and rivalry the spread of Hindi in India dalam Languages
Spread and Language Policy: Issues, Implication and Case Studies, disunting oleh Peter H.Lewenberg
(Washington D.C: Georgetown University Press, 1987), hal. 303.
110
J.A.C, Mackie, Integrating and centrifugal factors in Indonesian Politics since 1954 dalam
Indonesia: Australian Perspectives, disunting oleh James J.Fox, Ross Garnaut, Peter McCawley, and
J.A.C.Mackie (Canberra: Research School of Pasific Studies, the Australian National University, 1980), hal..
679.
81

Bahasa Melayu yang dipopulerkan Yamin pada Kongres Pemuda Indonesia I

termasuk dalam rumpun Malayo-Polinesia. Rumpun ini tersebar dari Madagaskar sampai

kepulauan Polinesia di Samudera Pasifik.

Menurut buku Hans Lapoliwa, A.Generative Approach to the Phonology of Bahasa

Indonesia. Pasific Linguistics Series D – No.34, disunting oleh W.A.L.Stokhof (Canberra:

Department of Linguistics, Research School of Pasific Studies, 1981), istilah Malayo-

Polinesia diperkenalkan oleh K.W. van Humboldt, sedangkan Brand-stettler

memperkenalkan istilah Austronesia untuk rumpun bahasa yang sama.

Berikut buku A.Teeuw berjudul: A.Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa

Indonesia (S Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1987) menjelaskan bahwa penutur aslinya

semula mendiami Semenanjung Malaya, pantai timur Sumatera dan pulau-pulau di antara

keduanya. Perkembangan dan kebesaran Sriwijaya dari Abad VI sampai dengan Abad XIII

memperluas sebaran bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di kepulauan

nusantara. Prasasti Gandasuli, Jawa Tengah, (bertahun 827 dan 832) bertuliskan bahasa yang

diperkirakan sebagai salah satu bentuk bahasa Melayu.

Lebih lanjut di dalam buku Sutan Takdir Alisjahbana berjudul: Indonesia: Social

and Cultural Revolution (London: Oxford University Press, 1966), menyebutkan bahwa

sebaran bahasa Melayu ini pada tahun 1521 sudah mencapai Tidore. Pigafetta, peserta

rombongan penjelajah dunia Maggelan, menulis semacam daftar kata bahasa Melayu yang

dijumpainya di sana. Fransiscus Xaverius, seorang misionaris agama Khatolik, juga

menyiapkan kotbah dan pelajarannya dalam bahasa Melayu, karena bahasa tersebut sudah di
82

kenal di sana. Pada tahun 1614 Huygen van Linschoten menyebutkan bahwa bahasa Melayu

mutlak diperlukan di kepulauan Nusantara seperti halnya bahasa Perancis diperlukan di

negeri Belanda.

Di dalam memaparkan asal bahasa Melayu ini, Muhammad Yamin di dalam Jong

Sumatra edisi Januari 1920 halaman 29 - 34 menulis artikel berjudul: “Pemandangan dalam

Basa Melajoe”. Yamin mengatakan bahwa bahasa Melayu masuk rumpun bahasa Indonesia.

terutama telah dipraktekkan di Sumatera, Semenanjung Malaka, pantai-pantai pulau Hindia

dan Ceylon (Sri Langka). Semenjak dahulu, ungkap Yamin, bahasa Melayu menjadi bahasa

persamaan, apalagi dalam perdagangan dan pergaulan antara pengusaha bangsa lain dengan

Bumi Putera…Pada Abad kedua belas (1160 M) banyak orang dari Sumatera Tengah, yaitu

tanah Minangkabau yang sekarang ini, berpindah ke Sumatera Timur. Mereka biasanya

menelusuri aliran sungai Batang Kampar dan Kuantan. Mereka bercerai berai hingga ke

Jazirah Malaka…Bangsa yang tinggal tetap di Sumatera Tengah itulah nenek moyang orang

Minangkabau.

Setelah Kongres pemuda Pertama selesai, terdapat perdebatan tentang fusi dan

federasi di kalangan organisasi pemuda. Masing-masing pihak mempertahankan pendapat

dan keinginannya, namun atas inisiatif Jong Java pada 15 Agustus 1926 diadakan Nationale

Conferentie di Jakarta yang dihadiri oleh wakil-wakil Jong Java, JSB, Sekar Roekoen, Jong

Bataks Bond, Jong Minahasa, Vereeniging voor Ambonsche Studeerenden, Jong Islamieten

Bond Cabang Jakarta dan Komite Kongres Pemuda Pertama. Pertemuan ini tidak

menghasilkan kesepakatan untuk membentuk fusi. Menjelang Kongres Pemuda Kedua, cita-
83

cita persatuan pemuda dikejutkan dengan terjadinya pemberontakan Partai Komunis

Indonesia (PKI) terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada bulan September 1926.

Selanjutnya pada tanggal 21-22 Mei 1927, JSB langsung menanggapi terjadinya

pemberontakan komunis tersebut dengan menyelenggarakan rapat terbuka di Jakarta yang

dihadiri lebih kurang 300 orang.111 Di dalam rapat tersebut, JSB menyatakan diri menentang

adanya komunis. Sejauh ini cita-cita yang diperjuangkan organisasi pemuda tersebut bukan

cita-cita negara Indonesia berpaham komunis, tetapi negara Indonesia dengan sebuah

perwakilan rakyat demokratis.

Terkait dengan Kongres Pemuda Pertama seperti yang diuraikan di atas, penulis

berkesimpulan bahwa JSB terutama melalui para anggotanya seperti Bahder Djohan dan

Muhammad Yamin mempunyai peranan yang sangat besar dalam mewujudkan gagasan dan

ide kebangsaan yaitu dengan munculnya pikiran-pikiran yang cemerlang dan jauh ke depan

dari para anggota JSB, seperti terungkap dari pidato Bahder Djohan (JSB) dalam rapat kedua

dengan judul:” Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia,” dan pidato Muhammad

Yamin (JSB) dalam rapat ketiga, berjudul: “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-bahasa

dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang.”

Pidato Bahder Djohan memiliki visi jauh ke depan, yaitu menginginkan adanya

persamaan hak di antara kaum laki-laki dan perempuan. Dampak pidato Bahder Djohan

tersebut sangat dirasakan pada masa sekarang ini di bidang politik. Di mana pemenuhan 30

persen quota perempuan di dalam berpolitik harus dipenuhi oleh setiap partai politik. Begitu

111
J.Th.Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indie (Haarlem-
H.D.Tjeenk Willnk & Zoon N.V, 1931), hal.299
84

pula dengan dampak dari pidato, Muhammad Yamin yang mengusulkan agar bahasa Melayu

dipakai sebagai bahasa Indonesia, juga sudah terwujud. Oleh karena itu, pemikiran-

pemikiran kedua anggota JSB tersebut patut diperhitungkan pada saat itu.

B. JSB pada Kongres Pemuda Kedua

Dorongan untuk mewujudkan fusi terus bergulir, Persatuan Pemuda Pelajar

Indonesia (PPPI) berupaya tampil untuk mewujudkan fusi tersebut. PPPI berpendapat, fusi

harus dicapai melalui sebuah kerapatan yang dihadiri para wakil seluruh organisasi pemuda.

Gagasan ini kemudian dibicarakan pada pertemuan tanggal 3 Mei 1928 dan kemudian

dilanjutkan dengan pertemuan tanggal 12 Agustus 1928.112

Pertemuan terakhir ini berlangsung di Gedung Indonesische Clubgebouw (IC) jalan

Kramat 106, Weltevreden (Jakarta). Hadir dalam pertemuan tersebut utusan Jong Islamieten

Bond, Pemuda Indonesia, Jong Java, JSB, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond,

dan Pemoeda Kaoem Betawi dan PPPI. Pertemuan membicarakan masalah waktu, tempat

dan biaya persiapan Kongres Pemuda Kedua. Susunan Panitia Persiapan Kongres terbentuk

sebagai berikut :

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)

Wakil Ketua : R.M.Djoko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris : Muhammad Yamin (JSB).

Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)

112
Abdul Rahman.et.al., op.cit., hal. 53. PPPI mulai didirikan pada tahun 1925, tetapi baru tahun 1926
diresmikan. JSB menggabungkan diri ke dalam PPPI pada bulan September 1926. Tujuan PPPI adalah
Indonesia Merdeka dan berusaha untuk mendidik para anggotanya menjadi pemimpin rakyat yang insaf dan
sadar akan kewajiban-kewajiban sebagai putra-putri Indonesia.
85

Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond).

Pembantu II : R.Katjasoengkana (Pemuda Indonesia)

Pembantu III : R.C.L.Senduk (Jong Celebes)

Pembantu IV : Johannes Leimena (Jong Ambon).

Pembantu V : Mohamad Rocjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi).113

Awal Oktober 1928 Panitia Kongres Pemuda Kedua mengumumkan

penyelenggaraan Kongres dan sesuai dengan jadual yang telah ditentukan Kongres

berlangsung selama dua hari, yaitu pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta selama tiga kali

sidang 114 :

Sidang Pertama diselenggarakan pada Hari Sabtu malam tanggal 27 Oktober 1928,

dimulai pukul 19.30 dan berakhir pada pukul 23.30 WIB, bertempat di Gedung Khatolieke

Yongelingen Bond, Waterlooplein (Jalan Lapangan Banteng Sekarang).

Susunan acara pada hari pertama ini adalah:

1. menjamu utusan dan tamu

2. pembukaan rapat oleh Soegondo Djojopoespito

3. membicarakan masalah kebangsaan dengan mendengar pidato dari Muhammad

Yamin, Martokusumo, Maamoen Rasid, Mr.Sartono, Kartosuwirjo, Nona Siti

Sundari dan Nona Puradiredja.

113
Ibid, hal.54.
114
Sutrisno Kutoyo dan M.Soenyoto, Suatu Catatan Tentang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
(Jakarta: Lembaga Sejarah dan Antropologi Direktoral Jenderal Kebudayaan P & K, 1970), hal.51. Lihat juga
Mardanas Safwan, Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (Jakarta:
Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum & Sejarah, 1979), hal.33.
86

Pada pidato pembukaan rapat kongres, Sugondo Djojopuspito memaparkan uraian

singkat tentang munculnya Budi Otomo 1908, penguraian tentang timbulnya perkumpulan

pemuda bersifat kedaerahan, kemudian dilanjutkan dengan keterangan mengenai kongres

Pemuda Indonesia I tahun 1926.

Setelah mendengarkan uraian singkat dari Ketua Kongres, kemudian dilanjutkan

dengan pidato Muhammad Yamin (anggota JSB), berjudul:”Persatuan dan Kebangsaan

Indonesia.” Pidato Yamin ini mempunyai nilai-nilai tinggi dan merupakan salah satu pidato

brilian dari para pemimpin pemuda Indonesia. Waktu itu Yamin baru berusia 25 tahun dan

duduk di Fakultas Hukum tingkat I di Jakarta. Dalam pidatonya, Yamin menjelaskan arti

yang terkandung dalam kongres kali ini. Menurut Yamin, kongres ini bercita-cita

menegakkan bangsa yang satu. “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia ialah hasil pikiran dan

kemauan sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya. Semangat yang selama ini masih

tidur, sekarang telah bangun dan sadar, dan inilah yang dinamai roh Indonesia,” ujar

Yamin.115

Tentang kebangsaan, Yamin berpendapat bahwa kebangsaan Indonesia berlandaskan

persatuan, dan persatuan bersendi kepada kemauan. “Selama kemauan ini masih ada dalam

dada anak Indonesia, selama itu pulalah ada persatuan di antara kita. Oleh karena itu simpan

dan tanamlah kemauan hendak bersatu, supaya selamat bangsa dan tanah air kita, tumpah

darah Indonesia,” lanjut Yamin lagi.116

115
Safwan, Ibid, hal.34
116
Ibid.
87

Di dalam pidato selanjutnya, Yamin juga membahas mengenai hukum adat, ia

mngatakan dalam pidatonya itu : “…kita percaya bahwa hidupnya bangsa kita sebagian

besar diatur oleh hukum kebangsaan kita, hukum adat atau adatrecht. Benar zaman sekarang

pengaruh hukum Barat lama-lama bertambah di tanah kita, tetapi sebagian besar dari pada

bangsa kita hidupnya bernaung di bawah adanya dan masih percaya akan hukum yang

berurat berakar dalam adat. Hukum yang tertulis dan disahkan, tiada bersimaharajalela di

tanah kita, melainkan terletak dan dipakai di sebelah hukum adat,” 117

Selanjutnya Sidang II diselenggarakan pada Hari Minggu pagi, 28 Oktober 1928,

pukul 8.00-12.00 WIB bertempat di Geding Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord,

sekarang jalan Medan Merdeka Utara 14 (kemudian menjadi Gedung Pemuda, sekarang

sudah dibongkar). Sidang ini membicarakan masalah wanita dan pendidikan yang

disampaikan oleh Nona Poernomowoelan, Sarmidi Mangunsarkoro, Djokosarwono dan Ki

Hadjar Dewantara.

Sidang III diselenggarakan pada Hari Minggu malam tanggal 28 Oktober 1928,

pukul 17.30 – 23.30 WIB, bertempat di Gedung Indonesische Clubgebouw (IC), Jalan

Kramat 106 (sekarang menjadi Gedung Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya 106),

membicarakan masalah kepanduan (Padvinderij) oleh Ramelan dan Theo Pangamanan, arti

pergerakan pemuda-pemuda, Indonesia dalam internasionalisme oleh Mr.Sunario mengambil

keputusan dan acara penutupan.

117
A.Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto, Aku Pemuda Kemarin Di Hari Esok (Jakarta: Jayasakti, 1981),
hal.149.
88

Hal yang perlu dicatat adalah bahwa pada Kongres Pemuda Sidang III ini

diperdengarkan lagu Indonesia Raya ciptaan W.R.Supratman. Awal mulanya di sela-sela

kongres, yaitu pada waktu istirahat, W.R.Supratman seorang wartawan yang gemar musik

dan sering datang di Gedung IC Kramat 106 menghampiri ketua Sugondo dan minta izin

untuk memperdengarkan lagu gubahannya yang dinamakan Indonesia Raya seraya

memberikan syairnya. Sugondo membaca syair Indonesia Raya sambil melirik ke arah

komisaris polisi Belanda yang menghadiri atau mengawasi repat ketiga pada waktu itu. 118

Karena dalam syair Indonesia Raya terdapat banyak perkataan Indonesia dan

Sugondo khawatir nantinya terjadi insiden lagi dengan polisi Belanda, maka Sugondo

menyatakan kepada W.R.Supratman bahwa ia boleh memperdengarkan lagunya tetapi

jangan menyanyikan syairnya. Insiden dengan polisi sudah terjadi sejak Sidang I, di mana

setelah Yamin mengucapkan pidatonya dan ditambah dengan komentar Inoe

Martokoesoemo, di saat itulah polisi menghentikan pidato Inoe Martokoesoemo.

Kemudian Sugondo minta perhatian hadirin tentang lagu yang akan diperdengarkan

W.R.Supratman yang segera memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya.

Setelah selesai ia membungkukkan badannya di muka hadirin seperti “dirigent” (pemimpin)

suatu concert besar. Dan hadirin bertepuk tangan dengan ramainya serta berteriak: “Bis,

bis,bis.”

Pengurus Majalah Pemoeda Soematera juga memberikan pujian terhadap

pengarang lagu Indonesia Raya yaitu W. R. Soepratman. Pujian tersebut dikemukakan

sebagai berikut :
118
Ibid, hal.139
89

”Kami sidang pengarang ”Pemoeda Soematera” meoetjapkan banjak selamat


kepada sidang pengarang Indonesia-Raja dan berharapan besar atas kedatangan
karang-karangan, jang beharga bagi bangsa kita jang masih dalam kegelap-
goelitaan ini, karangan sebagai penoendjoek djalan arah ke persatoean, soepaja
naik soemarak Iboe Indonesia kita sekalian! “119

Pada rapat terakhir sesudah istirahat sebentar, rapat dibuka kembali oleh Sugondo dan

dengan suara keras membaca rumusan Yamin :

Poetoesan
Kerapatan pemoeda Indonesia

jang diadakan oleh perkoempoelan pemuda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan


dengan namanja: Jong-Java , Jong- Sumatra (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia,
Sekar- Roekoen, Jong- Islamiten Bond, Jong-Batakbond, Jong- Selebes, Pemoeda Kaoem
Betawi dan Perhimpoenan peladjar-peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober, tahoen 1928 dinegeri Djakarta;
Sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan dalam
kerapatan tadi.
Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
Kerapatan laloe mengambil poetoesan:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe, bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe, berbangsa jang satoe, bangsa
Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan peteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.
Setelah mendengar poetoesan ini kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai
oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar
persatoean:
Kemaoean
Sedjarah
Bahasa
Hoekoem adat

119
Pemuda Soematra, Desember 1929, hal. 4 . Dalam majalah ini tidak memuat lagu Indonesia Raya
yang diciptakan oleh W.R. Soepratman dengan alasan pertimbangan karena terbatasnya ruangan halaman pada
majalah tersebut.
90

Pendidikan dan Kepandoean (Padvinderij)


Dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala
soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan2 kita.120

Hasil pemikiran Yamin tersebut kemudian langsung disetujui dan disahkan sebagai

keputusan kongres.

Dengan demikian jelaslah bahwa kongres pemuda tahun 1928 ini merupakan kelanjutan

dari kongres pemuda tahun 1926, dan yang telah berhasil merumuskan suatu keputusan dan

yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Soempah Pemoeda. Sejak saat itu ide tentang

persatuan bangsa telah diwujudkan dalam sikap dan tindak tanduk. Apabila di dalam

Kongres Pemuda Pertama, persatuan baru sebatas ide, maka di dalam Kongres Pemuda

Kedua, ide tersebut mulai menjadi kenyataan. Selanjutnya terealisir di dalam pembentukan

organisasi pemuda Indonesia Moeda yang sering disebut-sebut sebagai simbol kemenangan

dari persatuan itu sendiri. Bahasa Melayu yang diperjuangkan oleh Muhammad Yamin

untuk dapat menjadi bahasa persatuan, telah menjadi kenyataan dalam putusan kongres

Pemuda kedua ini. Jelaslah bahwa peranan Muhammad Yamin sebagai anggota JSB

kiprahnya dalam kongres ini begitu nyata.

C. JSB di dalam Indonesia Moeda

Sebagai kelanjutan dari Kongres Pemuda Indonesia II tahun 1928 dan menjelang

didirikannya Indonesia Moeda, maka JSB telah mengganti namanya menjadi Pemoeda

Soematera, tepatnya pada tanggal 17 Februari 1929 di dalam rapat tahunan JSB yang

diselenggarakan di Jakarta. Putusan rapat tahunan JSB tersebut mempertegas pergantian

120
Madjalah Pemoeda Soematera, hal.2
91

nama dari Jong Sumatra menjadi Pemoeda Soematrera. Juga kepengurusan Pengurus Besar

Pemoeda Soematera dicantumkan dalam poetoesan itu. Poetoesan menyimpulkan bahwa

poetoesan perubahan nama ini berdasarkan pikiran persatoean. Isi lengkap putusan tersebut

berbunyi sebagai berikut :

Poetoesan
Rapat tahoenan jang diadakan di Djakarta,
17 Februari 1929
I. Nama perserikatan Jong-Sumatra diganti dengan Pemoeda Soematera
II. Djadi anggota Perserikatan Gadis Soematera dan Pandoe boleh barang siapa sadja, asal
mendapat izin dari Pedoman Besar (Art.34 sub.2)
III. Pedoman Besar sekarang (1929).
Ketoea: Moehammad Jamin, jur.student.
Pengganti Ketoea: Tengkoe Hassan, A.M.S.
Djoeroe Pengarang I: Kroeng Raba Nasoetion, jur.student.
Djoeroe Pengarang II : Sjahrial, Stovia.
Djoeroe orang I : Ibrahim, jur.student.
Djoeroe orang II : Karani, Stovia.
Pembantoe: entjik Noeratin, Adnan dan Toha.
IV. Rapat telah mendjatoehkan poetoesan tjotjok dengan fikiran persatoean (fusie);
bagaimana akan dilakoekan dan bagaimana boektinja diserahkan dengan seloeas-
loeasnja kepada Pedoman Besar 1929.121

Setelah itu Pemoeda Soematera pada pertengahan bulan Pebruari 1929 itu juga

memutuskan untuk berkeinginan melakukan fusi sebagai salah satu amanat dari Kongres

Pemuda II di Jakarta. Kemudian pada tanggal 23 April 1929, wakil organisasi-organisasi

yang menyetujui fusi, seperti Pemoeda Soematra, Jong Java, Jong Celebes dan Pemuda

Indonesia menyelenggarakan pertemuan di Jakarta. Pertemuan tersebut mereka namakan

”Sidang fusi yang pertama”.122 Di dalam sidang tersebut, organisasi-organisasi pemuda ini

121
Soerat Kabar Pemoeda Soematra, Januari-Februari 1929, hal. 1
122
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P.D.&K, Sedjarah Perdjuangan Pemuda Indonesia
(Djakarta: P.N.Balai Pustaka, 1965), hal.66,67.
92

menyetujui membentuk Komisi Besar yang bertugas melaksanakan fusi di antara organisasi

pemuda. Di samping itu dibentuk pula Komisi Kecil yang bertugas menyusun Anggaran

Dasar dan Rumah Tangga organisasi baru yang akan lahir dan diberi nama “Indonesia

Moeda.”

Pada akhirnya, kedua komisi ini telah menyelesaikan tugasnya pada bulan Oktober

1929. Kemudian pada tanggal 23 Maret 1930, Pemoeda Soematera dilebur ke dalam

Indonesia Moeda. Upacara pembubaran itu berlangsung di Gedung pertemuan, Gang Kenari,

Jakarta. Naskah pembubaran yang disusun secara panjang lebar oleh Muhammad Yamin

merupakan sebagai kertas bergulung, di sebelahnya putih dan di baliknya berwarna merah.

Sayang sekali sampai saat ini tidak diketahui siapa yang menyimpan kertas itu sebagai suatu

dokumen bersejarah yang tidak ternilai harganya. Alasan pembubaran Pemoeda Soematera

ini dikarenakan ingin menyesuaikan dengan perkembangan zaman. “Kalau dipandang

artinja zaman Indonesia jang akan bermoela lebih lebar dari perkoempoelan Indonesia

Moeda, tampaklah oleh kita dengan djelas bagaimana soeatoe zaman tertoetoep, jaitu zaman

berpoelau-poelau dan berganti dengan zaman baroe jang membawa pesanan jang tinggi-

tinggi, ” ujar komentar surat kabar Pemoeda Soematera123

Demikianlah akhir perjalanan Jong Sumatranen Bond dan telah melalui masa lebih

kurang 12 tahun dalam sebuah perjuangan, yang kemudian melebur diri ke dalam Indonesia

Moeda, sebagai wadah perjuangan pemuda Indonesia untuk seterusnya.

123
Amura, et.al.op.cit., hal.41 dan lihat juga Soerat Kabar Pemoeda Soematra Tahoen ke XII No.7-8,
1929, hal.2
93

Indonesia Moeda (IM) suatu organisasi Pemuda Indonesia, hasil fusi antara beberapa

organisasi pemuda yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 1930. Berawal dari

keinginan tiga organisasi pemuda, yaitu Jong Java, Pemuda Indonesia dan Jong Sumatranen

Bond (Pemuda Sumatra) pada tanggal 23 April 1929 untuk menyelenggarakan rapat di

Gedung IC Kramat Raya 106 (Gedung Sumpah Pemuda). Jong Java diwakili oleh Kuntjoro

Purbopranoto, Djaksudipuro dan Sudiman. Pemuda Indonesia mengirimkan Jusupadi,

Muljadi Dwidjodarmo dan Tamzil. Sedangkan Pemuda Sumatra diwakili oleh Muhammad

Yamin, Krung Raba Nasution dan A.K.Gani. Dalam rapat ini dicapai persetujuan

dibentuknya Komisi Besar yang bertugas merencanakan organisasi fusi yang dimaksudkan.

Komisi Besar ini beranggotakan wakil perkumpulan pemuda yang akan berfusi dengannya

ketua Kuntjoro Purbopranoto dari Jong Java.

Pada waktu itu dibentuk sebuah Komisi Besar dan Komisi Kecil. Juga disetujui

nama Indonesia Moeda sebagai nama organisasi. Untuk mewujudkan adanya wadah gerakan

pemuda Indonesia Moeda ini, sebelumnya Komisi Besar Indonesia Moeda

menyelenggarakan kongres untuk mendirikan badan fusi yang bernama Indonesia Moeda di

Gedung Habiprojo Surakarta dari tanggal 28 Desember 1930-2 Januari 1931. Ketika mencari

lambang baru sebagai citra baru nasion Indonesia, Komisi Besar lalu mempertimbangkan

berbagai panji-panji dan lambang-lambang perhimpunan yang baru dibubarkan, yaitu: Keris

(Jong Java), Obor (Pemuda Sumatra), Kepala Banteng (Pemuda Indonesia) dan Babi Rusa

(Jong Celebes). Hasil dari rapat Komisi Besar, yaitu lahirnya lambang baru, di mana keris

kembali menjadi titik pusat panji-panji warna biru. Biru melambangkan “langit Indonesia
94

124
yang cantik”. Lambang itu berbentuk hati yang melambangkan cinta pemuda kepada Ibu

Indonesia. Keris melambangkan satunya haluan dan tujuan yaitu Indonesia Raya. Senjata

tajam itu berdiri di atas kuntum “bunga teratai” merah bersusun tiga yang melambangkan

tiga landasan Indonesia Muda: kesatuan nusa, bangsa dan bahasa. Keris menunjuk ke atas ke

arah cahaya matahari. Dari kanan dan kiri diapit bulu burung garuda. Garuda itu adalah

elang raksasa kendaraan Wishnu. Ia melambangkan Perhimpunan Indonesia Muda dan

Pemuda Indonesia dalam mencapai kemerdekaan tanah air. Garuda kemudian menggantikan

keris yang Jawa sentris.

Kemudian Komisi Kecil diberi tugas menyiapkan konsep Anggaran Dasar Indonesia

Muda, di mana tugas tersebut sudah selesai pada tanggal 27 Oktober 1929 dan kemudian

disahkan pada saat peresmian lahirnya Indonesia Muda pada 31 Desember 1930 di Solo.

Peresmian ini diselenggarakan dengan meriah sebagai pertanda peralihan dari zaman

kegelapan ke zaman Indonesia Raya. Lima panji-panji kelima perhimpunan yang berdiri

berjajar di atas podium tempat duduk Komisi Besar diturunkan. Selanjutnya setiap cabang

secara khusus ditanya, apakah “siap” mendirikan Indonesia Moeda ? 125

Tepat pukul dua belas semua hadirin diminta berdiri dan piagam pendirian

Indonesia Moeda dibacakan, yaitu :

...dan pada saat ini pada petang Rebo malam Kemis tanggal 31 Desember 1930
masoek 1 Janoeari 1931, sampailah kami pada waktoe yang paling akhir
melakoekan kewadjiban, seperti jang terserah kepada kami Komisi Besar, dan
terboekalah zaman baharoe tempat dasar jang tiga dan toedjoean jang satoe menjala
dalam hati sanoebari segala poetera dan poeteri, baik jang bernaoeng dibawah
pandji-pandji perkoempoelan Indonesia Moeda, atau jang pertjaja kepada dasar dan

124
van Miert, op.cit., hal. 514
125
Ibid.
95

toedjoeannja, sehingga ternjatalah dengan seterang-terangnja keperloean dan hak


Indonesia Moeda akan berdiri...jaitoe setelah memperhatikan segala jang
termaksoed dalam Soerat siaran kami Komisi Besar dengan namanja Atoeran
mendirikan perkoempoelan Indonesia Moeda...126

Juga ikut dibacakan, tujuan dan usaha Indonesia Moeda, yaitu :


1. Memperkuat perasaan persatuan di antara pemuda-pemuda Indonesia yang
masih belajar, serta membangkitkan keinsyafan dan memperingatkan mereka
berbangsa satu dan bertumpah darah yang satu supaya sampai ke Indonesia
Raya;
2. Selain dari pada mengaku dan memajukan kebudayaan tiap-tiap bagian
penduduk Indonesia, baik yang rohani maupun jasmani, perkumpulan akan
mengikhtiarkan supaya mempunyai kebudayaan Indonesia yang satu, dan
memakai bahasa persatuan di dalam pergaulan, yaitu bahasa Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia Moeda akan berusaha dengan cara :
1. Membangkitkan keinsyafan dan memperkuat perasaan harga menghargai dan
perasaan persatuan di antara segala anak Indonesia;
2. Mengeluarkan majalah dan menerbitkan surat siaran yang lain;
3. Mengadakan persidangan dan kursus;
4. Mengusahakan sport dan lain-lainnya;
5. Menimbulkan perhatian untuk tanah dan bangsa Indonesia pada orang asing;
6. Segala usaha lain yang tiada dilarang oleh Undang-Undang. 127

Setelah pembacaan piagam pendirian Indonesia Moeda, kemudian panji-panji

Indonesia Moeda yang baru, dinaikkan ke podium, sehingga panji-panji Indonesia Moeda

berkibar dengan iringan bunyi gamelan. Sesudah Pangeran Koesoemojoedo menyerahkan

sumbangan uang – sebagai tanda bahwa Indonesia Moeda memperoleh perkenan dari

Kraton Solo – gamelan berhenti, dan semua pemuda yang hadir menyanyikan lagu

kebangsaan “Indonesia Raya.” Dan bendera berlambang Garuda dinaikkan.

Perlu menjadi catatan bahwa Indonesia Moeda membuat satu pasal khusus dalam

anggaran dasarnya mengenai sifat organisasi yang tidak menjalankan politik serta melarang

126
Piagam mendirikan perkoempoelan Indonesia Moeda pada tanggal 31 Desember 1930 masoek
Januari1931 dikota Soerakarta, dalam Majalah Indonesia Raja, No.5,6,7, Mei, Juni, Juli, 1932 Tahun ke-4,
hal.347-348, Katalog B 1370, 1937.
127
Martha, op.cit, hal.100
96

anggotanya untuk menjalankan politik. Hal tersebut terungkap dari laporan pemuda Yamin

tentang Anggaran Dasar sebagai hasil dari Komisi Kecil. Pada waktu ini Mohammad Yamin

memberikan tekanan pada suatu azas bahwa Indonesia Moeda tidak boleh ikut serta dalam

politik, sedangkan anggota-anggotanya tidak diperkenankan ikut serta dalam politik.128

Pengertian politik yang dicantumkan dalam pasal khusus Anggaran Dasar Indonesia

Moeda ini memunculkan penafsiran berbeda-beda, baik dari pemerintah kolonial Belanda

maupun dari organisasi pemuda-pemuda lainnya. Bagi pemerintah kolonial Belanda,

penafsiran politik selalu dikaitkan dengan mengumpulkan massa. Sedangkan bagi

organisasi-organisasi pemuda lainnya yang berkeinginan berpolitik, tidak berkeinginan

bergabung dengan Indonesia Moeda. Ada pula yang beralasan bahwa Indonesia Moeda

hanya diperuntukan bagi pemuda yang sedang belajar saja, tidak termasuk mereka yang

sudah selesai atau yang putus sekolah. Ada pula yang menolak masuk Indonesia Moeda,

karena organisasi itu tidak menjalankan syariat Islam sebagai dasar perjuangannya.

Adapun organisasi-organisasi pemuda yang tidak mau bergabung dengan Indonesia

Moeda, antara lain :

1. Organisasi Pemuda yang berdasarkan kedaerahan yang telah lahir sejak tahun
1915, seperti: Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak Bond, Pemuda Betawi,
Pemuda Timor. Termasuk organisasi-organisasi pemuda yang lahir kemudian
pada tahun 1930-an seperti: Putera-Puteri Tjirebon, Jeugdorganisatie Sriwidjaja,
Minangkabau Muda dan Kebangunan Sulawesi.
2. Organisasi pemuda yang berdasarkan keagamaan yang muncul sejak tahun 1920-
an seperti perkumpulan-perkumpulan Jong Islamieten Bond, Pemuda Kristen
(PPPK). Termasuk organisasi-organisasi yang lahir kemudian seperti Pemuda
Islam Indonesia, Pemuda Perserikatan Ulama, Pemuda Persatuan Islam,
Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen dan Muda Katolik.

128
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P.D.&K, op.cit., hal.68.
97

3. Organisasi pemuda yang merupakan bagian organisasi orang dewasa atau partai
politik seperti:
a. Pemuda Muslimin Indonesia
b. Pemuda Muhammadiyah
c. Pemuda Ansor (NU)
d. Suluh Pemuda Indonesia (SPI) oleh mantan anggota PNI.
e. Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (Perpi oleh Pertindo).
f. Pemuda Marhaen Indonesia.
g. Barisan Pemuda Gerindo yang dinamakan Pertimu (Persatuan Timur Muda).
h. Jajasan Obor Pasundan (Pasundan).
i. PKN Muda (Pakempalan Kawulo Ngajogjakarta).
4. Organisasi pemuda lingkungan sekolah yang baru muncul seperti Persatuan
Pemuda Taman Siswa (PPTS).
5. Organisasi Pemuda yang bersifat nasional yang tidak termasuk dalam kategori di
atas adalah: Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, Pertindom di Mekkah,
Perpindom di Kairo, Makindom di Baghdad, Persindom di New Delhi, PPPI di
Indonesia.
6. Organisasi Kepanduan yang baru muncul, seperti PAPI, KBI, BPPKI (ketiganya
gabungan dari sejumlah organisasi kepanduan), Kepanduan Masehi Indonesia
(KMI), Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI), Ansor bagian Kepanduan,
Pandu Indonesia, Pandu Kesultanan, Kepanduan Rakyat Indonesia, Al Watoni
Hizbul Islam, Kepanduan Islam Indonesia, Sinar Pandu Kita.
7. Di kalangan organisasi pemudi, seperti Perikatan Perkoempulan Isteri Indonesia
dan Kongres Perempuan.129

Di dalam perjalanan sejarahnya. Indonesia Moeda sempat mengadakan kongres

sebanyak tujuh kali. Tetapi munculnya organisasi-organisasi pemuda bernafaskan Islam di

kemudian hari lambat laun memperlemah keberadaan Indonesia Moeda. Eksistensi

organisasi ini semakin hilang ketika Jepang masuk ke Indonesia, karena di awal

pemerintahannya, Pemerintah Pendudukan Militer Jepang mengeluarkan peraturan

pembubaran seluruh organisasi yang berdiri sejak Zaman Hindia Belanda, termasuk

Indonesia Moeda.

129
Ibid, hal. 88- 90.
98

Perjalanan pergerakan dan kiprah JSB menjadi bukti sejarah, bahwa kehadiran JSB

di tengah-tengah organisasi pemuda lainnya memberi warna tersendiri dalam perjalanan

bangsa Indonesia. Berawal dari keinginan untuk menyatukan berbagai suku yang ada di

Sumatera, kemudian melebur ke Indonesia Moeda adalah bukti bahwa JSB lebih mencintai

persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari pada keinginan untuk kepentingan sendiri

sebagaimana dislogankan dalam pantun berjudul: “Zaman Indonesia-Moeda” :

Toempah darah Noesa Hindia


Dalam hatikoe selaloe moelia;
Didjoendjoeng tinggi atas kepala
Semendjak diri lahir keboemi
Sampai bertjerai badan dan njawa,
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di-Indonesia.

(Indonesia, toempah darahkoe,hal.6, pantoen II).130


.

130
Pemoeda Soematera, No.7-8, 1929, hal.1
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tesis ini, seperti yang diuraikan dalam penjelasan

bab-bab sebelumnya, maka dapat di tarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

Dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya, yang

berlangsung pada periode pergerakan nasional terjadi proses yang unik yaitu adanya

peranan menonjol dari golongan pemuda pelajar dalam perjuangan untuk penyatuan

bangsa. Berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908, merintis berdinya organisasi-

organisasi pemuda yang berlatar belakang dari berbagai suku dan daerah. Oleh karena

itu, organisasi yang didirikan diberi nama sesuai dengan nama suku dan daerah asal,

seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes (Sulawesi) ,

Jong Batak, Jong Ambon, dan lain-lain;

Jong Sumatranen Bond adalah organisasi pergerakan pemuda, didirikan oleh

pemuda Sumatera yang belajar di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1917. Tujuan utama

organisasi tersebut adalah untuk menumbuhkan kesadaran diantara para anggotanya dan

menjaga agar pemuda pelajar Sumatera terpanggil untuk tampil sebagai pemimpin dan

pemandu rakyat. Dari tujuan yang yang terdapat dalam Jong Sumatranen Bond, bahwa

setiap anggota di arahkan untuk menjadi pemimpin bangsanya, maka muncullah tokoh-

tokoh nasionalis Sumatera terutama dari suku Minangkabau (Sumatera Barat), karena

anggota dan pengurusnya sebagian besar berasal dari Minangkabau seperti Mohammad

Hatta, Mohammad Yamin, Nazir Datuk Pamoentjak, Mohammad Amir dan lain-lain.
100

Melalui peranan mereka dalam wadah Jong Sumatranen Bond telah memberikan

sumbangan pemikiran terhadap perubahan pandangan, semula dari yang bersifat

kesukuan dan kedaerahan menuju pada persatuan dan kesatuan bangsa yaitu

Nasionalisme Indonesia.

Gagasan nasionalisme Indonesia tercetus tahun 1925 pada saat pemuda

pelajar Indonesia sedang melanjutkan pendidikan di negeri Belanda, yang terhimpum

dalam Indische Vereeneging atau Perhimpunan Indonesia. Pencetus Nasionalisme

Indonesia yaitu Mohammad Hatta yang juga pernah menjadi anggota Jong Sumatranen

Bond. Manifestasi Mohammad Hatta melalui Perhimpunan Indonesia tersebut

berdampak luas terhadap dunia internasional, karena digerakannya pada saat konferensi

internasional seperti yang diselenggarakan di Paris (Perancis), Brusel (Belgia) dan lain-

lain. Dampak tersebut tentunya dirasakan di tanah air termasuk pada organisasi Jong

Sumatranen Bond, baik melalui anggota Perhimpunan Indonesia yang kembali ke

Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan, maupun melalui media cetak yang

diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia yang diberi nama Indonesia Merdeka.

Pengaruh Perhimpunan Indonesia yang melekat pada organisasi pemuda,

kemudian digerakkan oleh Jong Sumatranen dan organisasi pemuda pelajar lainnya

dalam upaya mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui penyelenggaraan

kongres pemuda pertama tahun 1926. Pada kongres pemuda pertama tersebut tidak

menghasilkan keputusan penting. Namun pada kongres kedua tahun 1928 sebagai

kelanjutan kongres pemuda pertama, menghasilkan keputusan yang sangat penting

sebagai penegasan identitas bangsa Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
101

Namun pada kongres pemuda kedua tahun 1928, masih belum terbentuk fusi organisasi

pemuda kedaerahan, karena masih kuatnya rasa kesukuan dan kedaerahan.

Demikian juga keinginan Jong Sumateranen (yang namanya sudah berubah

menjadi Pemuda Sumatra tahun 1929) dan organisasi pemuda lainya seperti Jong Java,

Jong Indonesia dan lain-lain untuk memfusi semakin kuat, maka melalui keputusan

rapat yang dilanjutkan dengan sidang-sidang komisi, sehingga menghasilkan keputusan

fusi organisasi-organisasi pemuda pelajar termasuk Pemuda Sumatra menjadi Indonesia

Muda, yang secara resmi badan fusi terbentuk pada 1 Januari 1931. Sedang Jong

Sumatranen Bond (Pemuda Sumatra) dibubarkan pada tahun 1930 melalui suatu upacara

yang pimpin oleh Mohammad Yamin, bertempat di gedung Gang Kenari Jakarta pada

tahun 1930. Dengan demikian, berkahirlah perjuangan yang dilakukan oleh Jong

Sumtranen Bond (Pemuda Sumatra). Bagi Jong Sumatra pembubaran dan memfusinya

dengan Indonesia Muda adalah merupakan keinginan untuk menyesuaikan dengan

kemajuan zaman dan mengarah pada suatu perkembangan yang lebih besar.

Namun perkembangan Indonesia Muda selanjutnya bukan semakin kokoh dan

berkembang semakin besar, melainkan semakin melemah, padahal pada saat itu

bermunculan organisasi-organisasi kepemudaan dari berbagai dimensi ada oragnisasi

berdasarkan kedaerahan, keagamaan, organisasi orang dewasa atau partai politik dan

lain-lain seperti jong Ambon, Jong Islamieten, Pemuda Kristen, Pemuda

Muhammadiyah, dan lain-lain. Terdapat Ke-engganan organisasi-organisasi pemuda

tersebut untuk bergabung dengan Indonesia Muda. Hal ini keterbatasan keanggotaan

Indonesia Muda yang hanya untuk pemuda pelajar. Disamping itu masuk pendudukan
102

Jepang yang melakaukan pengawasan secara ketat terhadap organisasi pergerakan

menjadikan Indonesia Muda semakin melemah.

Ada suatu hal menarik pada pergerakan pemuda pada saat itu, dikala usia

sekelah menengah, melalui pemikran-pemikiran mereka sudah melakukan kontribusi

upaya mewujudkan suatu negara bangsa yang lepas dari penindasan kolonialisme asing,

dan jauh berbeda dengan kondisi pemuda pelajar sekarang, yang lebih terbawa oleh arus

globalisasi.

Mudah-mudahan dengan tulisan tesis ini dapat menghasilkan sesuatu yang

bermanfaat dalam perbandingan masa lalu, sekarang dan di masa yang akan datang.

You might also like