Digital - 20251221-RB00S443j-Jong Sumatranen
Digital - 20251221-RB00S443j-Jong Sumatranen
Digital - 20251221-RB00S443j-Jong Sumatranen
2010-04-08 11:45:04
JONG SUMATRANEN BOND : --------------------------------------------
DARI NASIONALISME ETNIK MENUJU NASIONALISME
Silakan klik bookmarks untuk link ke
halaman isi
INDONESIA (1917 -1931)
TESIS
EDY SUWARDI
670404011X
UNIVERSITAS INDONESIA
2007
Terjemaahan :
Sebagian besar literatur yang modern pada [atas] Indonesia telah diwarnai oleh yang
menyebar hanyalah gagasan yang terabaikan bangsa [itu]. Bahkan para penulis pada
[atas] Precolonial Indonesia sudah kadang-kadang mempengaruhi oleh consept ini,
penerapan [itu] ke pemerintahan yang berasal dari/pribumi dan kelompok yang kesukuan.
Kedua-Duanya Orang yang tak punya naluri kembali ( 1969:250) dan Syamsuddin
( 1985:39), sebagai contoh, sudah uraikan Precolonial Aceh sebagai bangsa. Karam
kembali ( 1968) telah menulis secara ekstensif terpasang ' kebangsaan' dan ' hubungan
yang internasional' di (dalam) nineteenth-century Indonesia. Beberapa pengarang juga
telah melihat Indonesia yang jaman ini sebagai peristiwa yang multinasional. Bachtiar
( 1974:7), melukiskan negara-negara [sebagai/ketika] ' masyarakat masyarakat kesukuan'
membantah bahwa ' ada banyak negara-negara yang tua di (dalam) Indonesia'. Missen
Ahli bumi [itu] ( 1972:89) setuju bahwa " dalam beberapa hal, Indonesia masih suatu
koleksi dari lokal milik bangsa. Berbagai negara-negara adalah dengan jelas absen,
bagaimanapun, dari studi dari periode di mana Indonesians mulai untuk menggambarkan
kedudukan sebagai negara merdeka mereka sendiri di (dalam) tulisan nasionalis dan
pergerakan. Tidak Ada Orang [minta;tanya] apakah awal politis assosiations seperti
Pasundan dan Sarekat Ambon yang ditandai kebangkitan dari Sundanese/Orang Sunda
atau Ambonnese negara-negara.. Kadang-Kadang organisasi seperti (itu) telah diuraikan
di (dalam) istilah yang etnic- Petrus Blumb ergon ( 1931:17), sebagai contoh, perlakukan
[mereka/nya] sebagai ' moderen bergeraknya suatu sifat yang etnic atau rasial'. Sebagai
alternatif, mereka mempunyai istilah regional attreacted.. Pluvier ( 1953:79) hadapi
dengan [mereka/nya] di bawah rubrik dari ' partikularisme regional'. O'Malley ( 1980:610)
menjeniskan [mereka/nya] ' particularist organistations mempercayakan [atas/ketika] '
regiopnal basis' dan tinggal [atas/ketika] minat yang lokal'. Others/(Orang) Yang Lain
sudah membahas [mereka/nya] dalam kaitan dengan straigforward ' kedaerahan'
( Pringgodigdo 1964:14; klooster 1985:32). Paling banyak, mereka diwakili [ketika;seperti]
' nasionalisme lokal' atau reghional nasionalisme', dengan implikasi dari subordinacy
[bagi/kepada] yang asli ' nasionalisme yang nasional'. Tentu saja, jika pergerakan seperti
(itu) diijinkan manapun martabat yang lebih besar, [itu] adalah pada umumnya sebab
mereka telah digolongkan di dalam agung cerita dari Nasionalisme Indonesia.
Tentu saja, jika pergerakan seperti (itu) diijinkan manapun martabat yang lebih besar,
[itu] adalah pada umumnya sebab mereka telah digolongkan di dalam agung cerita dari
Nasionalisme Indonesia. Kecenderungan ini dilambangkan oleh fakta bahwa pekerjaan
berwenang/berwibawa Nagazumi dengan diam-diam awal tahun dari Budi Utomo ( 1972)
diberi hak/judul Dinihari dari Nasionalisme Indonesia. Budi Utomo, [sebagai/ketika/sebab]
Nagazumi [sen]dirinya pertunjukan, adalah suatu dengan tegas Jawa organisasi yang
nampak [sebelum/di depan] gagasan untuk suatu Bangsa Indonesia yang bahkan telah
yang dipindahkan. Di samping beberapa memaraf kerancuan di (dalam) identifikasi yang
ilmu bumi dan kesukuan, para pemimpin nya [yang] [yang] [yang] consistenly menolak
untuk meluas lingkup dari menggolongkan untuk memeluk tanah sabrang, daratan luar
negeri. Sependapat menunjuk, bahkan Nagazumi ( 1972:54) boleh;berkewajiban
menjeniskan sudut pandang pejabat nya ' Jawa nastionalism'. Dan Orang yang tak punya
naluri kembali ( 11979:282-6) dan Van Mier ( 1995:19:64, 92-128) sudah menunjukkan,
suatu Jawa nasionalisme yang eksklusif tegas/eksplisit adalah tentu saja sekarang di
antara banyak Jawa intelektual di tahun [sebelum/di depan] 1920. [Itu] mencapai sebuah
derajad yang bisa dipertanggung jawabkan dari pengembangan sebagai penolakan
kedua-duanya dari kekuasaan Dutch/Belanda yang budaya dan [tentang] kerangka politis
tiruan yang diciptakan oleh status kolonial.
n effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.
What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.
Historical teleology
n effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.
What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.
Historical teleology
n effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.
What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.
Historical teleology
In effect, one particular nationalist orthodoxy, that of unitary Indonesian nationhood, has
dominated the historigrafy of the 'national awekwning in Indonesia. The concept of an
Indonesian nation - although it did not at first bear that name - was undeniably of an
creasingly influential one from about 1912 onward. Never, Nagazumi's conflation of
'nationalism in Indonesia with ,Indonesian nationalism' Represnt a widespread problem in
existing historiography. Combined with uncritical use of the terminology of nation and
region, it has often prevented us from attempting to understand the 'regional nationalisms'
of the early twentieth century in their own terms. In subsequent chapters I will show how
one such movement was more national than regional, and represented the culmination,
as much as the beginning, of a process of nation formation.
What makes such an assertion appear peculiar is not the credibility of the unitarian
national history _ Majapahit and all _ written by Indonesian nationalists during and after
the war years. In large measure, it is the influence of an often unacknowledged
conceptual framework determined by the reality of today's Indonesian national state. This
reality has a strong teleological effect upon our views of colonial, and even precolonial,
history. The geographical terminology of modern Indonesia has been a complementary
source of anachronism, and a further difficulty stems from the moral momentum of the
established national orthodoxy. These problems are worth discussing, for they illustrate
the interest and significance of the study or nationalism and regionalism under colonial
conditions.
Historical teleology
Pada hakekatnya, kekolotan nasionalis yang tertentu, yang [itu] dari kesatuan Kedudukan
sebagai negara merdeka Indonesia, telah mendominasi historigrafy dari ' nasional yang
awekwning di (dalam) Indonesia. Konsep dari suatu Bangsa Indonesia- walaupun [ia]
tidak pada mulanya membawa nama itu- adalah tak dapat disangkal dari suatu secara
mengerut berpengaruh dari sekitar 1912 maju ke depan. Tidak pernah, conflation
Nagazumi dari ' nasionalisme di (dalam) Indonesia dengan , Nasionalisme Indonesia'
Represnt [adalah] suatu masalah yang tersebar luas di (dalam) penulisan sejarah yang
ada. yang dikombinasikan Dengan penggunaan yang tanpa kritik dari istilah dari bangsa
dan daerah, [itu] telah sering mencegah [kita/kami] dari mencoba untuk memahami '
nasionalisme yang regional' dari awal abad ke duapuluh candi-candi tua itu masih dapat
dilihat, tetapi memiliki terminologi. Di (dalam) bab I yang berikut akan menunjukkan
bagaimana satu pergerakan seperti (itu) lebih nasional dibanding regional, dan mewakili
puncak [itu], sebanyak . seperti permulaan, dari suatu proses dari formasi bangsa. Apa
yang buatan pernyataan seperti itu nampak ganjil bukanlah kredibilitas dari sejarah
nasional unitarian_ Majapahit dan semua_ ditulis dengan Nasionalis Indonesia selama
dan setelah tahun peperangan. Sebagian besar, [itu] adalah pengaruh dari suatu sering
kerangka tak diakui yang konseptual yang ditentukan oleh kenyataan dari Nasional
Indonesia masa kini menyatakan. Kenyataan ini mempunyai suatu dorongan yang kuat
mempengaruhi [atas/ketika] pandangan [kita/kami] dari kolonial, dan bahkan precolonial,
sejarah. Istilah yang geografis dari Indonesia yang modern telah (menjadi) suatu sumber
yang komplementer tentang penempatan secara salah, dan suatu kesukaran lebih lanjut
berasal dari daya gerak moral dari itu kekolotan nasional dibentuk/mapan. Permasalahan
ini adalah mendiskusikan berharga, karena mereka menggambarkan [bunga/minat] dan
arti dari studi atau nasionalisme dan kedaerahan di bawah kolonial kondisi-kondisi.
Teleologi yang histories
Historical teleology
The successful struggle for political independence from 1945 to 1949 was fought, at
least as far as its leaders were concerned, in name of a unified Indonesian nation.
Historians are attentive to victory, and it is hard to believe that if this particular victory had
not transpired, the tiny Indonesian nationalist partie of the period from 1927 to 1942 would
subsequently have attractive so much scholarly attention. The present, of course, must
grow out of the past. The national revolution built upon tendencies latent in the prewar
Nederlands Indies, and it would be perverse to deny its retrospective value in the
interpretation of what preceded it, or indeed to deny that chain of connected events links
the foundation of Budi Utomo with the declaration of independence. But events are
always interconnected, and the question for the student of prewar Indonesia is whether
this particular chain really reflects the temper of the intervening years.
Perjuangan yang sukses untuk kemerdekaan politis dari 1945 sampai 1949 telah
dilancarkan, sedikitnya sejauh para pemimpin nya adalah terkait, di (dalam) nama dari
suatu mempersatukan Bangsa Indonesia. Sejarawan adalah penuh perhatian ke
kemenangan, dan [itu] adalah susah untuk percaya bahwa jika kemenangan tertentu ini
tidak [pernah] berlangsung, kecil Partie nasionalis Indonesia dari periode dari 1927
sampai 1942 akan sesudah itu mempunyai menarik banyak perhatian yang ilmiah.
Hadiah, tentu saja, harus tumbuh ke luar dari masa lalu. Revolusi yang nasional
membangun [atas/ketika] kecenderungan tersembunyi di yang sebelum perang
Nederlands Indies, dan [itu] akan bersifat suka menentang untuk menyangkal nilai yang
retrospektif nya di penafsiran dari apa [yang] didahului itu, atau tentu saja menyangkal
rantai itu dari lapangan untuk bermain golf peristiwa dihubungkan pondasi bagi Budi
Utomo dengan pemyataan kemerdekaan [itu]. Tetapi peristiwa adalah selalu saling
behubungan, dan pertanyaan untuk siswa dari Indonesia yang sebelum perang adalah
apakah rantai tertentu ini [yang] benar-benar mencerminkan perangai/penusuk dari
campurtangan tahun.
‘Indonesia before 1942’, Reid has written , ‘was less clearly or consciously a nation than most
colinies’ (Reid 1986:196). It is perhaps unnecessary here to reirate the low level of political
mobilization in the late colonial Indies. State pressure, direct and indirect, helped restrict the
membership of radical parties, and the socially marginal character of mo9st nationalis groups is
widely acknowleged. Less well know, however, is the extent to which the organization expressing
local identities, interests and causes were the most successful mobilizers.
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini telah diujikan pada hari Senin tanggal 7 Januari 2008, pukuL 12.30 -
14.30 WIB dengan susunan penguji sebagai berikut :
4. Wardiningsih, Ph.D
Penguji ………………………
5. Dr. Suharto
Penguji ………………………
Disahkan oleh
Penulis
Edy Suwardi
NPM 670404011X
KATA PENGANTAR
atas rahmat dan karunia yang Allah berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud dengan baik. Begitu juga kepada Ibu
Dr. Magdalia Alfian yang di sela-sela kesibukannya sebagai Dosen dan Direktur
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Prof. Dr.
Susanto Zuhdi, Bu Titi, Bu Lili dan para Dosen serta karyawan di lingkungan
Penulis juga tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada istri tercinta
yang dengan sabar memberi semangat selama perkuliahan hingga penulisan tesis
ini. Begitu juga kepada teman-teman sekuliah seperti Pak Dasman Djamaludin,
maupun dalam proses penulisan tesis ini telah memberikan semangat tersendiri
Penulis sadar, bahwa tesis ini jauh dari sempurna, hal ini karena keterbatasan
kemampuan dan waktu yang penulis miliki. Oleh karena itu untuk menutupi
kekurangan yang ada segala kritik membangun penulis terima dengan senang hati.
Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kemajuan
Edy Suwardi
DAFTAR ISI
Hal
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................iii
ABSTRAK.................................................................................................................iv
DAFTAR SINGKATAN...........................................................................................vii
KATA PENGANTAR................................................................................................ix
DAFTAR ISI................................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Permasalahan 5
C. Tujuan Penelitian….................................................................................8
D. Kerangka Teori........................................................................................9
E. Metodologi Pendekatan...........................................................................13
G. Sumber Penelitian..................................................................................14
H. Sistematika Penulisan.............................................................................15
NASIONAL...............................................................................................16
B. Permasalahan Budaya..........................................................................60
BAB IV KIPRAH JONG SUMATRANEN BOND..............................................73
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................99
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................103
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN :
BO : Boedi Oetomo
IC : Indonesische Clubgebouw
IM : Indonesia Muda
IP : Indische Partij
JJ : Jong Java
NO : Nahdlatoel Oelama
PI : Perhimpunan Indonesia
SI : Sarekat Islam
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Boedi Oetomo (BO) adalah organisasi pergerakan yang didirikan oleh pemuda
pelajar STOVIA pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian tanggal berdirinya diperingati
menjadi hari lahirnya kebangkitan nasional Indonesia. Sejak itu mulai babak baru bagi
Dagang Islam (SDI) tahun 1911 setahun kemudian berubah namanya menjadi Sarekat
Islam (SI).1, Muhammadiyah 1912 di Yogyakarta. Pada tahun yang sama (1912) berdiri
Indische Partij (IP) di Bandung. Bersamaan dengan tahun berdirinya BO (1908), berdiri
belajar di negeri Belanda. Sesuai dengan arus pergerakan organisasi ini, nama
pertama kali lahir adalah Tri Koro Dharmo (TKD), tahun 1915. Kemudian berubah
nama menjadi Jong Java (JJ). Lalu muncul Jong Sumatranen Bond (JSB), Jong
1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) hal. 117.
Universitas Indonesia pada 6-9 Mei 1966, Muhammad Hatta seorang di antara tokoh-
tokoh pergerakan nasional aktif di JSB dan pernah menjadi Ketua PI di negeri Belanda
“Pelajar dan mahasiswa di tanah air juga tidak tinggal diam, menanam dan menghidupi cita-cita
yang dianjurkan oleh Perhimpunan Indonesia di atas persada tanah air, yaitu Indonesia satu dan
tidak dapat dibagi-bagi. Dalam tahun 1928 pergerakan pemuda yang bersifat kedaerahan, seperti
Jong Java, Jong Sumatranen Bond,. Jong Ambon, Jong Celebes, dan lain-lain, bergabung menjadi
satu, menjadi Pemuda Indonesia, dengan mengambil suatu keputusan yang bersejarah, yang
menentukan bentuk Indonesia untuk masa datang.2
Isi pidato Hatta itu oleh Anhar Gonggong, pada makalahnya berjudul “Angkatan Baru,
Berdialog dengan Sejarah dalam Menatap hari ini dan Esok”, yang disampaikan pada
2
Muhammad Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan ( Jakarta: UI-Press, 1992),
hal. 174
3
Anhar Gonggong, Angkatan Baru: Berdialog dengan Sejarah dalam Menatap hari ini dan Esok
(Makalah pada peringatan 46 tahun kemerdekaan Indonesia di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta
tgl. 22 Agustus 1991) hal. 1
3
Anhar Gonggong tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa Jong Sumatranen Bond
Minahasa dan lain-lain mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan
nasionalisme Indonesia.
Jong Sumatranen Bond (JSB) adalah sebuah organisasi yang didirikan pada 7
Desember 1917 oleh pemuda pelajar Sumatra di Jakarta.4 Munculnya JSB adalah sebagai
reaksi pemuda pelajar Sumatera dari berdirinya organisasi BO 20 Mei 1908 dan Tri
Koro Dharmo tahun 1915 oleh para pemuda pelajar Jawa. Boleh dikatakan bahwa JSB
kota Jakarta pada waktu itu memperlihatkan keinginan yang cukup besar terhadap dunia
sekitar. Mereka sering berdiskusi tentang perkembangan yang terjadi di Hindia Belanda
mengungkapkan gagasan dan perasaannya demi membangun masa depan bangsa dan
negara yang dicita-citakan, yaitu bangsa dan negara Indonesia. Dalam berbagai diskusi
yang sering mereka lakukan, maka organisasi pemuda pelajar Sumatera khususnya
berperan di JSB bila dibandingkan dengan pemuda pelajar lainnya yang berasal dari
Sumatera. Di samping itu, karena banyaknya orang Minangkabau (Sumatera Barat) yang
4
A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia ( Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hal. 21
4
menjadi pelajar, maka anggota-anggota JSB sebagian besar adalah berasal dari
Minangkabau tersebut5.
Ada yang berkaitan dengan mencari ilmu pengetahuan dan ada pula karena
pertimbangan ekonomi. Di negeri orang yang disebut dengan rantau inilah muncul suatu
tekad dari orang Minangkabau agar kelak bila berhasil sudah menjadi orang dengan
berbekal ilmu pengetahuan atau membawa kekayaan dari hasil perjuangannya yang ulet
di rantau. Biasanya jika merantau tidak membawa hasil, mereka enggan pulang ke
mencapai tujuannya tentu tidak mudah, perlu beradaptasi dengan orang-orang lain yang
berlatar belakang suku dan adat istiadat yang berbeda. Namun cara yang ditempuh oleh
orang Minangkabau dalam bergaul dengan suku-suku lain adalah dengan menjalankan
pepatah orang Minangkabau yang telah diikuti secara turun menurun, yaitu : “Di mana
bumi di pijak, di situ langit dijunjung.”. Sehingga kalau dipelajari pepatah orang
Minangkabau tersebut sangatlah jelas bahwa hal utama yang dilakukan oleh orang
penyesuaian diri orang Minangkabau dengan orang di daerah rantau tidak bersifat
ekslusif. Orang Minangkabau bergaul dengan lapisan masyarakat mana saja, tidak perlu
5
T. Abdullah, Schools and Politics. The Kaum Muda Movement in West Sumatra (`1927-1933),
(Itacha, 1971), hal. 68
5
Cinanya dan orang Jawa (di luar daerah Jawa) dengan kampung Jawanya.6
Di Pulau Jawa, para perantau tidak hanya terdiri dari orang Minangkabau,
melainkan juga berasal dari tanah Batak, Aceh, Palembang dan daerah-daerah lain di
luar pulau Jawa. Pada umumnya mereka terdiri dari para pemuda yang biasanya berasal
dari anak-anak bangsawan dan datang ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan, dan tentu
Salah satu tujuan pemuda pelajar Sumatera mendirikan organisasi JSB, yaitu
Sumatera. Jiwa untuk mempersatukan seluruh pemuda pelajar Sumatera tersebut juga
di pulau Jawa seperti Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Sukabumi dan lain-lain,
sedangkan di Sumatera seperti di Fort de Kock (Bukit Tinggi), Padang, Medan dan lain-
lain7.
B. Permasalahan
6
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1979) hal. 126
7
Jong Sumatranen Bond, 1918, Nomor 6-8, hal. 101
6
sajak dan sering dimuat di dalam majalah Sumatranen Bond atau menggerakan rasa
Pada tahun 1920 Mohammad Yamin menyusun syair lagu organisasi, untuk
dinyanyikan pada acara-acara tertentu. Adapun bunyi syair lagu itu adalah sebagai
berikut :
Tanah Air
Pada batasan, Boekit Barisan,
Memandang akoe, kebawah memandang;
Tampaklah hoetan rimba dan ngarai;
Lagipoen sawah, soengai jang permai;
Serta gerangan, lihatlah poela,
Langit jang hijaoe bertoekar warna;
Oleh poentjoek, daoen kelapa;
Itoelah tanah, tanah airkoe;
Soematra namanja, toempah darahkoe;
Bunyi syair yang ditulis di atas menunjukkan bahwa pada waktu itu wawasan
satu kesatuan masih terbatas pada satu wilayah tertentu yaitu ‘Soematra’ atau masih
cara pandang dari tokoh-tokoh pemuda pelajar Sumatera itu sendiri terhadap kondisi
pada waktu itu, maka perubahan pun berpengaruh terhadap gerak dari organisasi
tersebut, semula dalam lingkup wilayah yang sempit atau nasionalisme lokal,
selanjutnya sudah mengarah pada lingkup yang lebih luas yaitu awalnya hanya untuk
Indonesia. Hal ini diperlihatkan oleh Muhammad Yamin dalam sajaknya yang dibuat
8
Jong Sumatranen Bond, 1920, hal. 52
9
Jong Sumatranen Bond, 1928, hal. 1
8
Selain Mohammad Yamin, anggota JSB lainnya yaitu Muhammad Hatta, dalam
yang tenang dan penuh makna. Begitu juga dengan tokoh-tokoh lain seperti Bahder
Permasalahan yang perlu dikemukakan terkait dalam penulisan tesis ini, yaitu
sejauh mana perubahan gerakan nasionalisme dalam JSB, dari nasionalisme etnik ke
nasionalisme Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian.
sebagian besar memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia II, umumnya tidak
otokrasi sentralisasi yang mau tidak mau menimbulkan reaksi dalam pelbagai bentuk
menunjukan betapa pentingnya peranan ide dan kesadaran sebagai dasar transformasi
masyarakat. Pada awalnya nasionalisme hidup sebagai ide terbatas pada kelompok kecil
9
pemuda10. Ide-ide yang muncul di kalangan intelegensia ini diwujudkan dalam suatu
berbagai aspek dan ruang lingkup. Satu diantara organisasi itu adalah Jong Sumatranen
Bond.
D. Kerangka Teori
Colonial Context, Minahasa in the Dutch East Indies”., menguraikan bahwa para
penulis tentang Indonesia di masa kolonial sering dipengaruhi oleh berbagai konsep
tentang politik dan kelompok-kelompok etnis. Di dalam hal ini, David E.F. Henley
10
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah (Jakarta : Gramedia,
1992), hal. 182
10
mencontohkan bahwa penulis seperti Anthony Reid dan Nazaruddin Sjamsuddin telah
Henley juga mencontohkan para penulis lainnya, seperti Harsya Bachtiar yang
mendifinisikan bahwa suatu bangsa adalah kesatuan dari beberapa etnis yang banyak
sekali terdapat di Indonesia. Bahkan G.J. Missen seorang ahli ilmu bumi setuju sekali
mengenai pandangan bahwa Indonesia masih disebut sebagai sebuah kumpulan bangsa-
nasionalisme di Indonesia sudah ada sejak munculnya upaya membentuk satu kesatuan
etnik sebagai suatu bangsa, di mana konsep ini telah berkembang sekitar tahun 1912.12
1986: 130-52,209) mengelompokan dua tipe dasar nasionalisme, yaitu nasional wilayah
Sumatranen Bond memakai kedua tipe dasar tersebut. Jong Sumatranen Bond bercirikan
nasional wilayah yaitu adanya berbagai etnik yang mendiami dalam satu wilayah yaitu
Sumatera.
11
David E.F.Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context, Minahasa in the Dutch
East Indies (Leiden: KITLV Press, 1996), hal.1.
12
Ibid, hal. 1-2
13
Ibid, hal.36
11
Tentang nasionalisme ini juga diperjelas oleh Prof.Dr. R.Z Leirissa, dengan
dari pada dengan negara, walau negara kadang-kadang juga berkepentingan untuk
negara, namun pada umumnya nasionalisme tertanam dalam bagian terbesar dari warga
negara yang membentuk suatu komunitas. Hal ini terbukti dalam sejarah bangsa
Indonesia, yaitu sebelum Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia terbentuk pada
tahun 1945, sudah ada nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia muncul justru
dalam bagian pertama dari Abad ke-20. Munculnya nasionalisme Indonesia sejak awal
Abad ke-20 itu berkaitan dengan suatu perubahan sosial yang terjadi pada saat itu.14
Menurut Sartono, nasionalisme merupakan suatu gejala historis yang telah berkembang
sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial khususnya, yang
yang dimunculkan oleh situasi kolonial memaksa rakyat menjadi sadar akan
ketidaksamaan hak-hak yang dimilikinya dan akan keadaannya yang terjajah, maka
14
R.Z. Leirissa, “ Nasionalisme,” makalah disampaikan dalam ceramah pada peringatan hari
Kebangkitan Nasional 2006 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 24 Mei 2006
15
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999 ), hal. 58-59
12
Indonesia menjadikan sebagai perilaku yang senantiasa dirumuskan oleh pelaku maupun
ide dalam pertemuan baik resmi maupun tidak resmi sering menggunakan wahana media
massa cetak sebagai landasan pandangan sebagaimana yang dilakukan oleh Jong
Sumatranen Bond.
strategi pemimpin atau tokoh yang mempengaruhi keanggotaan organisasi dan langkah
Indonesia, akan mengarah pada sejarah pemikiran atau intelektual history. Berawal dari
16
Ernest Renan. Terj. Apakah Bangsa Itu (Jakarta : Pena), hal. 31
13
hendak diungkap formulasi dasar kekuatan yang beragam pada berbagai organisasi
E. Metode Pendekatan
R.Z. Leirissa dalam buku perkuliahan tentang Teori dan Metodelogi sejarah,
mengemukakan bahwa sejak tahun 1930-an sejarah terbagi dalam dua domain, yaitu
domain peristiwa dan domain struktural. Dua domain sejarah tersebut menandakan
sebagai obyek penelitian sejarah, ada pula yang mengabaikan peristiwa dan menekankan
pentingnya struktur. Adanya dua domain dan munculnya dikotomi antara sejarah
sebagai peristiwa dan sejarah sebagai struktur tidak berhenti disitu saja, melainkan terus
berkembang. Perkembangan itu adalah berupa perpaduan kedua domain tersebut dengan
istilah ”simbiosis”. Upaya memadukan kedua domain sejarah itu sudah mulai terwujud
seperti yang dilakukan oleh Anthony Giddens ahli sosiologi Inggris. Bentuk perpaduan
Dalam pendekatan strukturis pelaku sejarah yang kongrit sebagai faktor yang
menentukan dalam sejarah sosial, namun individu atau pelaku sejarah tidak bisa
dipisahkan dari struktur. Dalam pendekatan strukturis individu atau pelaku sejarah yang
mengandung makna perubahan, dan ilmu sejarah itu sendiri mempelajari perubahan atau
transformasi.
Mengacu pada pendekatan metode seperti diuraikan di atas, dalam penelitian ini
penulis berupaya untuk dapat mengarahkan kepada pendekatan tersebut, sebab apa yang
tersebut. Salah satu contoh adalah tercetusnya ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober
1928 oleh organisasi pemuda kedaerahan yang di antaranya adalah Jong Sumatranen
Indonesia Muda (IM) tahun 1931, menunjukkan realita ide persatuan yang
menampakkan fase pemikiran yang menakjubkan dari sebuah masayarakat yang multi
F. Sumber Penelitian
Sumber penelitian ini berdasarkan pada dua jenis sumber penting, yaitu sumber
primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh melalui penelaahan dokumen tertulis,
terutama media cetak yang diterbitkan oleh Jong Sumatranen Bond berupa majalah
yang diterbitkan setiap bulan, namun majalah ini sudah tidak lengkap lagi, disamping
kondisinya sudah rusak sehingga tulisannya banyak yang tidak dapat terbaca. Sumber
primer tersebut hanya dapat ditemukan pada satu tempat yaitu di Perpustakaan Nasional
Jakarta, sedangkan perpustakaan lainnya juga di Arsip Nasional Jakarta tidak ditemukan.
Sedangkan sumber sekunder berupa sumber tertulis yang ada kaitannya dengan
masalah yang sedang diteliti, di antaranya dalam bentuk majalah, surat kabar, artikel dan
15
makalah yang tidak diterbitkan di samping itu sumber-sumber tertulis lain, seperti buku-
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing-masing bab terdiri dari :
1. Bab I berisikan, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan
penulisan;
tentang masalah interen, yakni persoalan dalam keanggotaan dan organisasi itu
sendiri, serta permasalahan budaya, terutama yang terkait dengan masalah adat di
4. Bab IV, Kiprah Jong Sumatranen Bond dalam pergerakannya, berisikan tentang
gerakan Jong Sumatranen Bond dari yang bersifat lokal atau kedaerahan hingga
menuju pada nasionalisme Indonesia, peranan Jong Sumatranen Bond pada kongres
pemuda yang pertama dan kongres pemuda kedua, hingga memfusi dalam I.M.
penelitian.
BAB II
yang telah mulai secara kualitatif memperjuangkan masyarakat Indonesia sejak awal
diferensi kerja, dan tak kurang penting, makin kelihatannya katagori ras dalam hubungan
moderen, pertumbuhan kesadaran akan harga diri dan akan kenyataan hidup di bawah
berdasarkan ras.
Faktor lain yang turut mempengaruhi pergerakan pemuda yaitu yang terkait
Rusia dalam perang tahun 1904-1905. Mitos seakan-akan bangsa Eropa tidak dapat
dikalahkan menjadi sirna. Begitu juga munculnya Revolusi Turki pada permulaan tahun
1908 yang digerakkan oleh The Young Turks atau Gearakan Turki Muda, oleh pemuda-
pemuda Turki, juga berpengaruh besar di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pada
pelajarnya yang pada waktu itu jumlahnya masih sangat sedikit dan terbatas.
17
pemuda adalah bagian yang terkait erat dengan perjuangan nasional dalam menuju
Sejarah Pergerakan Nasional adalah bagian dari Sejarah Indonesia yang meliputi periode
sekitar empat puluh tahun, yang dimulai sejak lahirnya Budi Utomo, sebagai organisasi
nasional yang pertama tahun 1908 sampai terbentuknya bangsa Indonesia pada tahun
1945. 17
segala macam aksi yang dilakukan oleh organisasi secara moderen ke arah perbaikan
hidup untuk bangsa Indonesia karena tidak puasnya mereka dengan keadaan masyarakat
yang ada.18 Oleh karena itu, menurut A.K.Pringgodigdo, istilah “pergerakan” sangat
luas artinya:
“Ia tidak saja mengenal gerakan yang menuju ke perbaikan derajat hidup
semuanya (aksi Politik), akan tetapi juga mengenai hal yang hanya merupakan
sebagian saja (umpamanya hanya perekonomian, hanya kebudayaan, hanya
keagamaan, hanya pengajaran, hanya soal kewanitaan, hanya pemuda, dsb)” 19
20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional. Pada saat itu para pemuda pelajar
STOVIA (Sekolah Kedokteran Bumi Putra) bergerak di luar birokrasi kolonial. Pada
waktu itu pula birokrasi kolonial selalu memerintah daerah jajahannya, termasuk di
17
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.3
18
Pringgodigdo, Op.cit. hal. VIII
19
Ibid
18
Hindia Belanda, secara tidak langsung mereka menggunakan tenaga para priyayi sebagai
berjudul ”Almarhum Soetomo yang Saya Kenal” mengacu pada buku “Soembangsih,
Gedenkboek Boedi Oetomo 1908- 20 Mei 1918”, yaitu buku Peringatan 10 tahun
berdirinya Boedi Oetomo yang diterbitkan pada tanggal 20 Mei 1918, memaparkan
Berita lahirnya Boedi Oetomo juga terasa di negeri Belanda. Majalah De Gids,
sebuah majalah ternama yang memuat tulisan-tulisan orang ternama pada saat itu,
memuat tulisan Mr.Van Deventer yang mengatakan tentang lahirnya Boedi Oetomo:
20
Roeslan Abdulgani, Almarhum Dr.Soetomo yang Saya Kenal (Jakarta: Yayasan Idayu, 1976),
hal. 20-21.
19
“Het wonder is geschied. Insulinde de schoone slaapster, is ontwaakt” ( Sesuatu hal yang
fotocopy dari “Verslag Kongres Budy Atama (begitu Boedi Oetomo pada waktu itu
ditulisnya) di Djokjakarta pada 3 ,4 dan 5 Oktober 1908 terboeat oleh Afdeeling Djokja
Hadir di dalam kongres pertama tersebut lebih dari 400 peserta, datang dari
Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya, Probolinggo dan dari Jogya sendiri. Ikut
Belanda, para Bupati, seperti dari Temanggung, Blora dan Magelang. Untuk
pertamakalinya bangsawan, priyayi tinggi dan menengah serta kaum intelektual Jawa
pemuda-pemuda pelajarnya.23
yang kuat untuk membantu para pelajar pribumi dan untuk memelihara tata krama
21
Mohammad Hatta, Permulaan Pergerakan Nasional ( Jakarta: Idayu Press, 1977), hal. 7
22
Abdulgani, op.cit., hal 23
23
Ibid, hal.25
20
Karena Soetomo tidak begitu pandai berbicara dalam bahasa Jawa (kromo inggil) juga
tidak mendalami bahasa Melayu, maka pimpinan Kongres mohon maaf lebih dulu dan
minta Soetomo berbicara dalam bahasa Belanda. Permintaan ini disetujui oleh Kongres,
mengingat para kaum bangsawan dan kaum priyayi tinggi serta hadirin lainnya
Oetomo menjadi organisasi yang mendorong kita semua ke arah kemajuan, terutama
penduduk pribumi dari Pulau Jawa dan Madura. Jangan sampai kita ketinggalan
sebagai jalan utama untuk mendorong ke arah kemajuan harus diperluas dan
diperbanyak, karena usaha pemerintah sendiri adalah belum cukup. Pada intinya
Soetomo menekankan bahwa kita tidak bisa “nerimo” saja. Kita sendiri harus berbuat.24
anggota Pengurus Besar (Hoofdbestuur) Boedi Oetomo dengan ketuanya R.T.A. Tirto
Koesoemo dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Boedi
Oetomo.25 Dengan terbentuknya Pengurus Besar Boedi Oetomo hasil kongres tersebut,
maka peran pemuda pelajar STOVIA sebagai pendiri Boedi Oetomo 20 Mei 1908, tidak
tampak lagi, karena kepengurusan sudah dijabat oleh para priyayi dan pegawai
pemerintah. Ada kesan bahwa anak-anak muda apabila mengendalikan organisasi tidak
akan berhasil karena belum berpengalaman sehingga peranannya diambil alih oleh
24
Ibid, hal.26
25
S.Z. Hadi Sutjipto, Gedung STOVIA sebagai Cagar Sejarah , (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996) hal. 54
21
dikarenakan keinginan sebagian besar pengurus agar generasi yang lebih tua memegang
peranan, secara tidak langsung berarti memberikan kesempatan kepada anak-anak muda
perlu duduk dalam Pengurus Besar Boedi Oetomo yang berpusat di Yogyakarta.
priyayi, secara langsung berpengaruh terhadap perjalanan organisasi BO. Sebagian besar
program yang telah ditetapkan para priyayi yang tetap mempertahankan adat istiadat dan
kebudayaan Jawa serta tekanan pada pentingnya pendidikan pada pemuda Jawa,
akhirnya mendapat reaksi dari kalangan pemuda seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan
kelompok muda terhadap kelompok tua, sehingga pada tahun 1912 kedua pemuda
26
Abdurrachman Soerjomihardjo, Budi Utomo Cabang Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya,1980), hal. 6
27
R.Z. Lerissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat di Indonesia 1900-1950
(Jakarta:Akademika Pressindo, 1985) hal. 44
22
tokoh IP. Semangat kemerdekaan Hindia Belanda merupakan bahaya bagi pemerintah
kolonial karena secara nyata anti kolonial. Pemerintah kolonial beranggapan bahwa IP
Als ik Netherlander was…’. Tulisan tersebut oleh para pejabat pemerintah kolonial
sehingga ketiga tokoh Tiga Serangkai itu ditangkap, dan diasingkan ke negeri
Belanda.28.
Belanda merubah suasana dan semangat kegitan Indische Vereeniging (I.V.) yaitu
organisasi pemuda pelajar yang didirikan oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di
negeri Belanda. Mereka membawa suasana politik ke dalam pikiran tokoh-tokoh I.V. 29
Disamping itu mereka memberi beban dan dimensi pikiran baru pada para mahasiswa di
negeri Belanda, bahwa mereka bukan hanya menuntut ilmu tetapi juga memikirkan
Cetusan semangat cinta tanah air muncul dalam diri pemuda-pemuda Indonesia
yang telah mengenyam pendidikan secara Barat. Pengenalan pada perkembangan ilmu
28
Ahhaddani G Martha, et.all. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa
(Jakarta:Yayasan Sumpah Pemuda, 1984) hal. 38
29
Ki Hadjar Dewantara, Dari Kebangsaan Nasional Ke Proklamasi Kemerdekaan (Jakarta:Endang,
1962) hal. 88
23
pengetahuan telah mengasah pemikiran dan kepribadian sebagai insan dengan karunia
hak. Terlebih lagi artikel yang ditulis Soewardi Soerjaningrat memperjelas perbedaan
kebersamaan. Persaingan keras dan perbedaan hak dalam strata kehidupan kolonial
semakin membuka kesadaran tentang perlunya suatu serikat. Pada awalnya serikat ini
ditujukan untuk melawan saingan dagang yang paling kuat, yaitu saudagar Cina,
sehingga sentimen anti-Cina tersebar di seluruh Jawa Timur, dan khususnya sangat kuat
Samanhoedi untuk membentuk Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta pada tahun
1911. Bagi para pedagang Islam, kehadiran SDI dipandang sangat menguntungkan,
sehingga dengan masuknya Tjokroaminoto sebagai tokoh yang progresif, organisasi ini
semakin berkembang dan merubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Organisasi ini
maju dengan pesat dan memiliki anggota yang sangat banyak. Akan tetapi,
kongres pertamanya pada bulan Januari 1913, dan program yang yang diumumkan pada
30
Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-1918 (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1989), hal.146.
24
waktu itu adalah : (a) memajukan perdagangan di kalangan orang Indonesia;(b) saling
menentang konsep-konsep agama yag salah bertalian dengan agama Islam dan
Hingga tahun 1912 belum nampak tanda-tanda nyata ke arah formulasi kekuatan
terbentuk, selain IP, menampakkan semangat pengabdian. Dalam bentuknya yang belum
kolonial telah mulai nampak. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa tidak ada
berkembang bagai cendawan tumbuh di musim hujan. Di sisi lain muncul kepermukaan
perkumpulan kepemudaan lain, seperti Jong Java (yang semula bernama Tri Koro
Darmo) tahun 1915, Jong Sumatranen Bond tahun 1917, Jong Minahasa dan Jong
31
George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi
di Indonesia (Nationlism And Revolution In Indonesia) Cornel University Press, 1952, diterjemahkan oleh
Nin Bakti Soemanto (Jakarta:UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995) hal. 87-89
25
Ambon tahun 1918, Jong Batak, dan lain-lain. Aspek lain dari periode yang menyadari
kedudukan sebagai generasi muda ini nampak pada kecendrungan untuk bertolak dari
suatu kerangka solidaritas lebih terbatas pada ruang lingkup kewilayahan “Sumatra”,
“Jawa”, “Batak”, Ambon” dan dianggap jelas serta mengarah kepada satu kesatuan dari
wilayah-wilayah itu. Hal ini sudah tentu berbeda dengan Boedi Oetomo yang mulai
dengan cita-cita “Hindia” dan tujuannya dianggap samar-samar. Begitu pula nantinya
kepemudaan (mulai dari olah raga dan seni sampai dengan kelompok studi) dan
memperlihatkan ciri-ciri yang khas dengan zamannya. Pertama seperti halnya dengan
organisasi wanita dan istri, organisasi pemuda pelajar adalah ekspresi atau pancaran dari
“maju” dan “merdeka” ataupun lebih sering sebagai wadah di mana calon peserta
Kelahiran Jong Java pada awal kelahirannya bernama “Tri Koro Dharmo”,
didirikan pada tanggal 7 Maret 1915 oleh pemuda Satiman Wirjosandjojo, Kadarman
dan Soenardi.32 Tri Koro Dharmo berarti Tiga tujuan mulia yaitu pertama, menimbulkan
pertalian antara murid Boemi poetra pada sekolah menengah, dan kursus perguruan
32
Jong Java’s Jaarboekje, 1923, hal. 115-116
26
perguruan uitgebreid dan vak onderwijs (yang lebih luas = menengah dan pendidikan).
Indonesia.33
nggota-anggota pertama Tri Koro Dharmo adalah lima puluh pelajar dari
Perhimpunan pemuda Jawa ini kemudian menerima pelajar Sunda dan Madura
untuk ikut di dalamnya. Namun, perhimpunan ini tetap didominasi oleh pelajar dari
Jawa, terhadap pelajar Sunda terjadi berbagai aturan yang ketat. Contohnya, apabila
pelajar Sunda ingin mengirimkan artikel –artikel berbahasa Sunda ke Majalah Tri Koro
Dharmo, maka syaratnya harus terdapat 50 anggota Sunda dalam perhimpunan itu. Jika
mungkin dimuat.35
memisahkan diri dengan Tri Koro Dharmo. Di Bandung muncul perhimpunan pelajar
Pelajar Pribumi Bandung) yang diketuai Wiwoho, pelajar dari HBS (Hoogere Burger
School) Bandung.
33
Pitoet Soeharto dan A.Zainoel Ihsan, Maju Setapak ( Jakarta: Aksara Jayasakti, 1981), hal. 25
34
Jong Java’s Jaarboekje. loc.cit.
35
Ibid, hal. 50
27
Pada saat Soekiman Wirjosandjojo dipercaya menjadi Ketua Tri Koro Dharmo,
maka dalam Kongres Pertama 12 Juni 1918, terjadilah perubahan nama perhimpunan
pelajar Jawa ini dari Tri Koro Dharmo menjadi Jong Java. Perubahan ini sebetulnya
ingin mengambil hati para pelajar dari Sunda dan Madura. Perhimpunan pemuda Jawa
pada waktu ini tidak lagi memakai nama Jawa, tetapi nama Belanda. Walaupun begitu
“Jangan menolak tangan persaudaraan yang diulurkan kepada Anda. Kita Tidak
dapat menerima nasionalisme Sunda di samping nasionalisme Jawa di bumi
Jawa. Cita-cita kita ialah satu nasionalisme saja untuk putra-putra Jawa.” 36
menjadi ciri mereka dan dalam hal ini yang diungkapkan adalah rasa superioritas Jawa
Tengah, di mana dikatakan bahwa: “ Perempuan (Sunda) biasa mandi telanjang di kali
dan di pancuran, ketika banyak orang lewat dan waktu bertemu mereka selalu bicara
Tuduhan miring terhadap orang Sunda ini mendapat tanggapan lansung seperti
yang ditulis di dalam Majalah Tri Koro Dharmo, Mei 1918, no.7 dengan judul: De
36
Tri Koro Dharmo, 1918, no..7,97-99
37
Tri Koro Dharmo, 1918, no. .7, 116-118.
28
kalian orang-orang Jawa Tengah, tidak seribu kali lebih buruk dari pada itu
?...Dan mengenai keceriaan mereka bila bertemu, merupakan tabiat mereka.
Orang Soenda sifatnya memang periang dan tak mengenal susah, tawa mereka
mungkin kedengarannya agak aneh bagi telinga orang-orang Jawa Tengah yang
selalu berat hati dan senantiasa memperhatikan tata cara sopan santun itu.”38
Tahun 1918, cita-cita budaya dan politik Jong Java menjadi lebih ambisius,
yaitu bagaimana menciptakan tentang Jawa Raya yang termaktub dalam Anggaran
Dasar Jong Java. Di dalamnya Jawa digambarkan sebagai tritunggal orang Jawa, Sunda
dan Madura. Lebih jauh Majalah Klub Jong- Java menghiasi sampulnya dengan
simbolis gambar peta Jawa yang ditengahnya terdapat keris menyala dengan cahaya
Melihat kenyataan seperti ini pemuda pelajar Sunda pada tanggal 26 Oktober
Maksud didirikannya perkumpulan ini adalah untuk memajukan kesenian orang Sunda,
seperti gamelan, kecapi, celempong, dan seterusnya, dengan belajar dan mengajarkan
keahlian orang Sunda seperti misalnya; tembang (nyanyi), pencak silat, menari, dan lain-
lain. Juga membuat suatu balai pertemuan untuk tempat berkumpul supaya bersatu, di
38
Soeharto, hal.205
39
Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di
Indonesia , 1918-1930 (Jakarta: Hasta Mitra, Pustka Utan Kayu, KITLV, 2003) hal.50,51.
29
seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Bataks Bond , Jong
suku bangsa yang ada, dan menunjukkan wilayah yang berbeda-beda pula. Berada pada
satu wilayah yang sama yaitu Jakarta dan bersatu dalam satu wadah dengan nama sesuai
dengan suku (etnik) dan wilayah atau daerahnya masing-masing. Mereka memiliki
tujuan yang tidak jauh berbeda, yaitu ingin memajukan daerah dan budayanya masing-
masing. Disamping itu ada juga pemuda pelajar yang ingin mendirikan organisasi
kedaerahan yang didirikan oleh pemuda-pelajar Sumatera di Batavia (Jakarta) pada hari
Minggu 9 Desember 1917. JSB didirikan tidak jauh dari Gedung STOVIA (tempat
didirikan BO, Tri Koro Dharmo dan organisasi pemuda kedaerahan lainnya) yaitu di
JSB ini, menurut Magdalia Alfian bahwa di tempat itulah kemungkinan banyak para
pemuda Sumatera yang bekerja pada Volkslectuur, yang pada waktu itu dipimpin oleh
40
Jong Sumatra, No. 6,7 dan 8, Juni, Juli dan Agustus 1918 : 11, Adapun yang dimaksud gedung
Volkslectuur tersebut pada saat itu berada di dekat jalan Dr. Wahidin Lapangan Banteng Jakarta Pusat.
41
Magdalia Alfian adalah yang pernah mewancarai salah seorang tokoh anggota Jong Sumatranen
Bond yaitu Mohammad Rasyid. Sumber ini diperoleh pada saat penulis memintakan pendapatnya tentang
Jong Sumatranen Bond
30
nantinya menjadi pemimpin, dan untuk membangkitkan perhatian terhadap adat istiadat,
seni, bahasa, kerajinan, pertanian dan sejarah Sumatera. Jadi diharapkan pemuda-
beberapa pemuda pelajar asal Sumatera yang menginginkan adanya suatu perkumpulan
pemuda. Setelah adanya suatu kesepakatan, maka para pemuda tersebut membuat surat
edaran yang akan diedarkan ke sekolah-sekolah menengah yang ada di Jakarta. Surat
edaran tersebut berisi beberapa gagasan dari beberapa orang pemuda Sumatera yang
Melalui surat edaran tersebut, maka ditetapkanlah hari dan tanggal untuk
Desember 1917..
buku-buku bacaan yang belum diterbitkan. Juga diberi wewenang untuk menerbitkan
42
Jong Sumatra, jaarg 1, no.1, Januari 1918, hal.11-12.
31
buku-bukunya sendiri, menerbitkan majalah dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah
lainnya.43
Pada pertemuan tanggal 9 Desember 1917 tepatnya pada hari Minggu, Jong
Sumatranen Bond dibentuk, dengan dihadiri oleh tokoh-tokoh dari Sumatera seperti,
Abdoel Muis, Soetan Temenggoeng dan lain-lain. Haji Agus Salim yang juga turut
diundang, tetapi karena ada halangan, pada hari itu tidak dapat hadir. Di samping itu,
Pada waktu itu, rapat dimulai kira-kira pukul 10 pagi dan dibuka oleh Tengkoe
Mansoer dengan didahului ucapan selamat datang kepada yang hadir. Selanjutnya T.
Mansoer menjelaskan mengenai ide pembentukan JSB dan manfaat organisasi tersebut.
Juga dilontarkan kecaman mengenai campur tangan pemerintah Belanda yang telah
banyak sekali merubah keadaan. Oleh karena itu cara penyesuaian kepada lembaga-
lembaga masyarakat merupakan cara yang sungguh tepat. Dalam hal ini T.Mansoer
menjelaskan :
“Campur tangan pemerintah Belanda telah banyak sekali merubah keadaan pada
umumnya. Oleh karena tujuannya yang utama pada saat menanamkan kekuasaan,
ialah agar peralihan susunan hukum lama kepada susunan hukum yang baru
dapat berlaku tanpa menimbulkan goncangan-goncangan, maka cara penyesuaian
kepada lembaga-lembaga masyarakat yang telah ada cara yang sungguh tepat.”
43
P.N.Balai Pustaka, P.N. Balai Pustaka Selayang Pandang (Jakarta: Departemen P dan K,
1978), hal.8-9.
44
Jong Sumatra, loc.cit. 11
32
menegaskan :
“Namun untuk memperoleh gambaran yang tepat mengenai taraf keadaan kita
pada saat ini kita harus mengorbankan cita-cita nasional kita untuk tuntutan-
tuntutan yang klita hadapi dewasa ini. Barang siapa sepenuhnya memperhatikan
kehidupan di sekelilingnya dan menyaksikan dari dekat perkembangan asuku-
suku bangsa di Sumatra, akan merasa bahwa mereka belum maju setapakpun
dalam perjalanan ke arah.45
tujuan didirikannya JSB dan dia sendiri menceritakan mengenai suka duka menjelang
ini amat berat, akan tetapi alangkah nikmatnya mencicipi rasa buah pohon ini kelak
apabila tanaman itu hidup dengan subur.”, artinya bahwa pendirian organisasi ini akan
Terakhir yang memberi sambutan adalah Jahja dari STOVIA. Dia menegaskan
pentingnya organisasi seperti Jong Sumatranen Bond tersebut bagi penduduk Sumatera.
45
Ibid. hal. 11
46
Ibid.
33
dari STOVIA membacakan Anggaran Dasar Jong Sumatranen Bond (Lampiran I). Lebih
lanjut di dalam Anggaran Dasar JSB dinyatakan bahwa JSB merupakan sebuah
perserikatan bagi para pemuda Sumatra yang telah menerima pendidikan lanjutan atau
Sedangkan apa yang diinginkan JSB sangat jelas terlihat di dalam tulisan salah
“Bila kita melemparkan seluruh suku bangsa yang ada di Sumatera ke dalam
sebuah kawah pelebur untuk kemudian memperoleh seorang khas model
Sumatera, maka hal ini akan menimbulkan kekecewaan dan kegagalan saja. Jadi
tujuan kita bukan untuk memoles licin semua ciri khas penghidupan suku-suku
bangsa di Sumatera yang sudah seharusnya dimiliki oleh masing-masing suku
bangsa itu; sebab melebur kesemuanya itu supaya menjadi sama bentuknya
tidak baik akibatnya.” 48
Dari kutipan tersebut dapat diartikan bahwa keberadaan suku-suku di Sumatera tetap
akan dilestarikan dan dikembangkan, bukan untuk disatukan menjadi seragam, karena
hal ini akan menjadi sia-sia dan menimbulkan kekacauan. Jadi tujuan didirikan JSB
bukan untuk menghilangkan ciri khas penghidupan suku-suku bangsa di Sumatera atau
ingin mencari seseorang yang bercirikan model Sumatera, tetapi tujuannya adalah
untuk berjuang bersama mencapai tujuan yang sama dan cita-cita yang sama.
Di dalam Anggaran Dasar JSB bagian 2 tentang tujuan JSB dinyatakan bahwa :
47
Jong-Sumatra, No.1, Januari 1918 : 5
48
Soeharto dan A.Zainoel Ihsan, Op. Cit. hal. 133
34
Pasal 1 : memperkuat ikatan antara para pemuda pelajar Sumatra, dengan menyisihkan
semua perbedaan ras, dengan menumbuhkan dan memperkuat saling
menghargai di antara para pelajar Sumatra, dan dengan mengajukan suatu
tuntutan mutlak kepada setiap anggotanya agar dia menyebut dirinya sebagai
orang Sumatra.
Pasal 2 : membangkitkan perhatian bagi tanah dan penduduk Sumatra.
Pasal 3 : menumbuhkan kesadaran di antara para anggotanya dan menjaga agar mereka
terpanggil untuk tampil sebagai pemimpin dan pemandu rakyatnya.
Pasal 4 : membangkitkan perhatian bagi dan menyebarkan bahasa Sumatra dan
melestarikan serta memajukan seni dan kerajinan Sumatra.49
Pasal 1 : mempelajari dan menekuni sejarah, bahasa, budaya dan seni Sumatra.
Pasal 2 : dengan mengundang orang-orang yang berwenang untuk memberikan ceramah,
kuliah atua menulis artikel tentang geografi, etnografi, sosial dan sebagainya
yang menyangkut bagian daerah Sumatra.
Pasal 3 : dengan menerbitkan lembaran Serikat untuk menerbitkan ceramah, kuliah dan
monografi yang untuk itu diperlukan bagi diskusi.50
Lebih rinci dinyatakan bahwa sebagai anggota biasa JSB, bisa diterima para
siswa Sumatra dari lembaga pendidikan menengah, pendidikan kejuruan dan MULO di
Hindia. Sedangkan sebagai anggota luar biasa adalah mereka yang sudah lulus baik yang
Bagi setiap yang mau menyumbang, Pengurus Pusat JSB berhak untuk
Juga dinyatakan bahwa dana diperoleh dari iuran, sumbangan cabang dan
49
Jong-Sumatra, loc.cit.
50
Ibid.
35
dengan anggaran dasar Serikat akan mengatur persoalan cabang. Pendaftaran sebagai
karena penunggakan pembayaran selama 3 bulan. Hanya anggota biasa yang memiliki
hak bersuara. Pengurus pusat terdiri atas seorang ketua, wakil ketua, sekretaris,
bendahara dan anggota pengurus. Dalam pemilihan pengurus pusat akan diperhatikan
berbagai kelompok penduduk dan tidak boleh mengakibatkan suatu kelompok penduduk
lebih kuat terwakili dari pada kelompok lain, khususnya sekretaris di satu sisi dan ketua
di sisi lain tidak boleh berasal dari kelompok penduduk yang sama. Organisasi akan
dibubarkan apabila dalam rapat umum yang diadakan oleh pengurus pusat setidaknya ¾
tahun akan berganti dan bisa dipilih kembali. Pengurus pusat mewakili Serikat baik di
dalam maupun di luar organisasi. Pengurus pusat harian dipilih oleh dan dari pengurus
pusat yang dibebani dengan pelaksanaan aktivitas sehari-hari dari organisasi dan
bertanggung jawab kepada pengurus pusat. Dalam kasus kemacetan dalam pemungutan
organisasi, membuat notulen rapat dan ditugasi dengan semua surat-menyurat. Semua
berkas pengurus pusat ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. Begitu pula bendahara
dinyatakan bahwa tugasnya adalah memperhatikan urusan keuangan. Pada akhir tahun
36
tahunan. Semua usul dari siapapun juga yang menyangkut kepentingan Serikat harus
dimuat dalam majalah. Sebagai sebuah sebutan, maka rapat yang diadakan oleh
pengurus pusat disebut rapat umum. Selanjutnya harus dibedakan antara rapat cabang
dan rapat pengurus. Apabila lebih dari 1/3 bagian jumlah anggota hadir di dalam rapat,
Sebagai sebuah organisasi yang berkeinginan untuk berkembang, maka JSB juga
memiliki apa yang dinamakan Lembaran Serikat. Lembaran Serikat ini terbit dalam
bentuk majalah yang diberi nama “Jong-Sumatra” dan terbit sekali dalam satu bulan.
Selain tulisan yang bernuansa Sumatra, tulisan yang bersifat umum juga bisa dimuat.
Tentang keanggotaan, pengurus pusat menjadi redaksi kepala, tetapi menunjuk orang-
orang yang khususnya dibebani dengan pekerjaan redaksi. Selanjutnya pengurus pusat
memilih beberapa anggota biasa sebagai pengurus bagi Lembaran Organisasi. Tentang
kelanjutan lembaran serikat ini, sebagian tertentu dari uang iuran yang disetorkan, juga
Sebagai calon ketua (president) diajukan dua orang yaitu Alinoedin dan T,Mansoer.
Pada saat itu masih banyak para pemuda pelajar yang tidak hadir, tetapi sidang
Nama-nama lain yang ikut bersidang antara lain Latif Panei dan Zainal Abidin
dari Rechschool, Merari Sr. dan Achmad Djonap dari Kweekschool, Hassan Sr. dari
Biasanya di dalam sebuah organisasi, yang pertama kali ditentukan adalah nama
penguruslah yang dipilih terlebih dulu baru kemudian pemberian nama terhadap
organisasi itu. Nama yang disepakati adalah “ Jong Sumatrenen Bond” (Himpunan
Pemuda Sumatera).
organisasi dan adanya rangsangan yang timbul setelah terbentuknya Boedi Otomo dan
Jong Java. Tetapi pada sisi lain, perlu digarisbawahi bahwa munculnya JSB tidak
51
Ibid
52
Jong Sumatranen Bond 2, 1919, No. 2 hal. 25
53
Jong Sumatra, loc.cit. hal. 12
38
semata-mata dikarenakan munculnya Jong Java atau organisasi lain itu.. Banyak
perbedaan di antara JSB dengan organisasi pemuda pelajar lain itu. Misalnya perbedaan
antara Jong Java dan JSB. Jong Java lebih mengutamakan kemajuan budaya dan
anggota-anggotanya yang etnik Jawa, tidak mencakup etnik lain yang terdapat dalam
satu wilayah di Pulau Jawa. Sedangkan JSB adalah untuk kemajuan budaya Sumatera,
mencakup semua etnik yang terdapat dalam satu wilayah di Pulau Sumatera. Perbedaan
lain antara JSB dengan organisasi pemuda pelajar lainnya terletak dari tujuan
Dasar JSB, yaitu menumbuhkan kesadaran di antara para anggotanya dan menjaga agar
mereka terpanggil untuk tampil sebagai pemimpin dan pemandu rakyatnya tidak
terdapat di dalam tujuan organisasi pemuda pelajar lain. Kedua ciri khas ini yang
Dengan berdirinya JSB oleh pemuda pelajar Sumatera di Jakarta yang juga
merupakan kedudukan dari Pengurus Besar JSB, maka para anggota yang kembali ke
ke daerah asalnya tersebut dengan sasaran untuk dapat mengembangkan organisasi ini
melalui pembukaan cabang-cabang. Nazir Datuk Pamuntjak salah seorang anggota JSB
Jakarta dan akan melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden di negeri Belanda dalam
54
Amura, et.al. Bahder Djohan Pengabdi Kemanusiaan (Jakarta: Penerbit PT. GUnung Agung,
1980) hal. 17
39
kampung halamannya di Padang untuk menemui sanak saudara. Pada saat itulah Nazir
Sumatera Barat.
Sekretaris Sarekat Usaha (yang bergerak dalam bidang usaha dagang) dan menceritakan
maksud kedatangannya yang ternyata mendapat sambutan baik dari Marah Sutan
Sarekat Usaha tersebut. Pada pertemuan itu Nazir menguraikan panjang lebar tentang
maksud dan tujuan JSB kepada para hadirin yang terdiri dari murid-murid sekolah
menengah yang ada di Padang. Uraian pidato Nazir mendapat sambutan yang sangat
JSB sudah mencapai 419 orang yang tersebar dari berbagai wilayah yaitu :
tersebut cabang Jakarta yang sekaligus sebagai tempat Pengurus Besar JSB berpusat
55
Jong Sumatra (Juni, Juli dan Agustus 1918) : hal. 106
40
adalah yang paling maju. Pada tingkat Pengurus Pusat ini terdapat organisasi wanitanya
yang diaberi nama Perserikatan Gadis Sumatra dan organisasi kepanduan dengan nama
Pandu Pemuda Sumatra, serta perkumpulan sepak bola yang bernama Sumatra
Sepakat.56 Perkumpulan sepakbola ini kemudian banyak digemari oleh para anggota
JSB di berbagai cabang, di samping bertujuan untuk memupuk jiwa sportif di antara
para sesama anggota, perkumpulan ini juga dijadikan sebagai alat yang mudah untuk
mengumpulkan para anggota di berbagai cabang. Oleh karena itu tidak mengherankan
bila pada waktu-waktu tertentu para anggota sering mengadakan pertandingan sepakbola
Di samping itu dengan berdirinya sebuah organisasi wanita JSB yang bernama
partisipasi aktif yang dilakukan para pelajar wanita dalam rangka mengembangkan
organisasi ini. Perserikatan ini berdiri pada tanggal 11 November 1928. Juga
dibentuknya Pandu Pemuda Sumatera oleh cabang Betawi pada tahun 1928 yang
diketuai oleh Mr.Nazif dan beberapa orang anggota seperti: Ridwan, Zakar, Rosmali,
Achmad Bachri dan Toha ,57 memberi arti bahwa organisasi pergerakan seperti JSB tidak
mau ketinggalan dari Jong Java yang sebelumnya juga telah membentuk lembaga seperti
ini.
Anggota JSB yang setiap tahun kian bertambah, sehingga membuat organisasi
pemuda pelajar ini menganggap perlu untuk menyelenggarakan Kongres, maka pada
56
Pemoeda Sumatra, no.3, Weltevreden, tahun 1928.
57
Ibid.
41
Padang. Kongres hari pertama dihadiri sekitar 3000 peserta. Mereka datang ke tempat
Kongres di lapangan fancy-fair milik Sarekat Oesaha. Di antara yang hadir terdapat
wakil tinggi pemerintahan seperti Residen Sumatra Barat J.D.I. Le Febvre yang
bersimpati kepada kaum muda.58 Di dalam pertemuan ini, Pengurus Besar (Pusat)
mengutus Bahder Djohan, Anas dan Marzuki ke Padang untuk menghadiri kongres
tersebut sekaligus mewakili Ketua Pengurus JSB Tengku Mansyur yang tidak dapat
datang ke Padang, karena sedang ujian. Mohammad Hatta juga tidak dapat menghadiri
acara kongres pertama ini karena sedang mempersiapkan diri berangkat ke Jakarta
Kongres hari kedua dibahas mengenai cita-cita Sumatra Raya, azas-azas JSB,
tugas para pemuda, pendidikan bebas untuk para gadis dan masa depan bahasa Melayu.
Pada waktu ini jumlah hadirin semakin berkurang, walau sekolah MULO meliburkan
para muridnya. Di samping itu banyak di antara anggota JSB tidak hadir dan
Pada hari ketiga jumlah yang hadir sekitar 500 - 600 orang, meningkat dari hari
kedua. Pada kongres ini sudah menggunakanakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar.
58
van Miert, op.cit, hal.89.
42
Selesai Kongres JSB yang pertama itu dibuatlah sebuah tugu peringatan yang
didirikan tidak jauh dari tepi pantai kota Padang, tepatnya di lapangan segitiga di depan
Oranje Hotel di Lapangan Michiels (sekarang halaman Hotel Muara). Monumen itu
berupa sebuah tugu, puncaknya berbentuk piramid dan di atas piramid bertengger
sebuah bola batu. Di atas tugu itu ditulis dalam bahasa Belanda “Ter herinnering aan
het 1 ste Congres van de Jong Sumatranen Bond 1919”.59 Tanda tahun 1917 dan 1930
pembubaran JSB. Ini merupakan tugu peringatan pertama bagi pergerakan pemuda di
seluruh Indonesia.
Muhammad Yamin mengucapkan pidato ilmiah yang lamanya lebih dari dua setengah
59
Ibid, hal. 93
60
Ibid, hal. 107.
BAB III
Anggaran Dasar dan kepengurusan sendiri, baik kepengurusan besar atau pusat
orang Sumatera untuk kemajuan Sumatera61, hal itu terlihat dari keanggotaan
dan kepengurusan JSB yang terdiri atas berbagai etnis suku yang ada di pulau
Sumatera.
terdapat beragam suku dan agama. Misalnya suku Minangkabau, Aceh dan
Batak Karo. Bukti lainnya dapat dilihat pada saat pemilihan kepemimpinan
pertama JSB, di mana yang terpilih sebagai ketua bukan orang Minangkabau,
walaupun jumlah suku Minangkabau sebagai anggota JSB lebih banyak dari
suku-suku lain. Terpilih sebagai ketua pertama adalah Tengkoe Mansoer pelajar
61
Jong Sumatra, No. 1, Januari , 1918, hal. 5
62
Ibid, hal.12
44
jumlah ini sangat berpengaruh besar di dalam keanggotaan, sehingga wajar pula
kalau orang-orang Minangkabau dalam JSB lebih menonjol dan bahkan dari
sebagai berikut :
Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Mengenal pertama kali JSB,
Besar JSB yang ditugaskan mendirikan cabangnya di Padang. Pada saat JSB
pengurus Pusat JSB di Jakarta. Selama menjadi pengurus JSB, peranan Hatta
bangkrutnya dana organisasi. Hatta juga banyak menulis artikel yang dimuat
di Perhimpunan
45
kabar tersebut.
II, Wakil Ketua dan Ketua JSB Cabang Bukittinggi periode 1920-1921. Di
samping itu, Mohammad Amir terkenal pula sebagai penyair. Pada masa
3. Bahder Djohan, lahir di Padang, Sumatera Barat pada 30 Juli 1902. Dalam
sama dengan Mohammad Hatta yang pada waktu itu diangkat sebagai
Pengurus Pusat JSB untuk menghadiri Kongres Pertama organisasi itu pada
bulan Juni 1919. Menjelang pergantian Pengurus Pusat (Besar) JSB pada
Hatta sebagai bendahara. Pada tahun 1921, Bahder Djohan dipercaya lagi
46
duduk sebagai Bendahara II Pengurus Pusat JSB dan pada Kongres Pemuda
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1950, 1952 diangkat menjadi
Menteri PPK. Pernah juga menjadi Direktur RSUP dan Rektor Universitas
Indonesia.
4. Abu Hanifah, lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 6 Januari 1906.
Belajar di STOVIA pada tahun 1922 hingga tamat pada tahun 1932. Selama
63
G.A. Ohorella, Prof. Dr. Abu Hanifah DT. M.E. Karya dan Pengabdiannya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, hal. 27
64
Soebagio.I.N., Adinegoro Pelopor Jurnalistik Indonesia, Haji Masagung, Jakarta, 1987,
hal. 13
47
wartawan Indonesia.
JSB. Nama Yamin erat sekali hubungannya dengan pembinaan faham dan
sendiri pada tahun 1920 itu, belum berpegang pada faham dan rasa
dalam bunyi sajaknya yang dibuat pada tahun 1920 ”Andalas, Tanah Airku”.
Yamin pada waktu itu masih menyebut Andalas atau Sumatra sebagai Nusa
sudah percaya pada kekuatan yang menuju Indonesia Raya. Pada Lustrum I
JSB yang diadakan di Jakarta pada tahun 1923, Muhammad Yamin sudah
masa
65
Soebagio.I.N., Ibid, hal 29
48
lampau, masa sekarang, dan masa depan. 66 Yamin sudah melihat datangnya
pidatonya sendiri masih dibawakan dalam bahasa Belanda pada tahun 1923.
Pada Lustrum I JSB juga, dia membuat medali peringatan yang ada Nyiur
lambang keindahan Indonesia. Pada waktu itu pula panji Perhimpunan JSB
tidak dapat pula dilepaskan dari latar belakang mereka sebagai orang perantau.
berkaitan dengan harga diri dan prestasi. Kepergian pemuda umumnya didorong
oleh dua faktor, pertama ingin menuntut ilmu, kedua hendak mencari nafkah.
Adalah suatu kebanggaan bagi pemuda Minangkabau yang merantau bila pulang
ke kampung halaman dengan menyandang ilmu atau gelar sarjana. Apalagi bila
tidak bisa membangun di kampung halaman jika belum ada ilmu yang
menjadi orang yang berguna, mencari ilmu, mencari nafkah lalu berumah
66
Sutrisno Kutoyo, Op. Cit. hal. 20
49
garis ibu, yaitu ibu dan anak perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki tidak
JSB, menjadi masalah terhadap anggota JSB yang ber-etnis lain, seperti yang
dialami oleh pemuda pelajar dari Batak. Perbedaan sikap suku Batak di dalam
rangka menilai JSB yang terkesan didominir suku Minangkabau adalah sesuatu
yang wajar apabila melihat ke kebudayaan Batak selama ini. Perbedaan sikap ini
menurut suku Batak adalah sesuatu yang dinamis dan berkonflik itu bukanlah
Jadi dapat dikatakan, suku Batak memiliki dua sikap yang kedua-duanya
bisa diterapkan pada posisi tertentu. Atau dengan perkataan lain, bahwa pada
menghasilkan potensi konflik yang tinggi, tetapi pada pihak lain, Dalihan Na
Tolu
67
www_idesa_net-my_Berita_files
68
Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M.Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak
Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), hal.5
50
Suku Batak memiliki adat Dalihan Na Tolu yang mengatur hak dan
kewajiban dalam hubungan antara tiga marga yang kedudukannya terkait erat
hak dan kewajiban dari dan terhadap unsur kedua dan ketiga. Hak dan
kewajiban dalam keseluruhan aturan adat Batak itu cukup kompleks. Ada
sesuatu hal yang membuat suku Batak tidak mau terlangkahi oleh suku-suku
lain. Orientasi semacam ini disalurkan dalam pranata Dalihan Na Tolu tersebut,
di mana dikatakan bahwa setiap orang adalah “raja” pada waktunya. Oleh
karena itu tidak mengherankan bila suku Batak tidak dapat menerima suku
anggapan bahwa pada masa lalu suku Batak adalah pemakan orang.
Sanoesi Pane dalam surat kabar Jong Batak, Januari 1916, nomor 1
rakyat
69
Ibid, hal.55
51
Minangkabau dan Batak, dua bangsa yang pada saat ini paling terkemuka di
oleh Aminoedin Pohan di dalam Majalah Jong Batak, Januari 1916 no.1, hal.30 :
“Siapakah di antara kita yang tidak merasa sedih bahwa hingga kini
pekerjaan kenasionalan para Pemuda Sumatera hanya dilakukan oleh
satu pihak saja, yaitu oleh saudara-sudara kita dari Minangkabau,
sedangkan kelompok-kelompok lainnya malu-malu tinggal di belakang
terus ? Apakah orang-orang tidak menyadari bahwa pemberian
penerangan dari satu pihak saja mengenai masalah-masalah Sumatera
akan memberikan kesan yang menyesatkan dan mereka yang menaruh
minat tertentu akan mendapat gambaran yang salah mengenai masalah
ini sehingga mereka yang berkepentingan akan menjadi korban ? “ 71
orang Batak itu membentuk organisasi sendiri bernama Jong Batak Bond (JBB)
pada tahun 1925. Tentang lahirnya JBB ini, Gindo Siregar, salah seorang
pengurus JBB menulis di dalam surat kabar Jong Batak, Januari 1926, 1ste
Jaargang, no.1, hal.3 dengan judul: “Hak berdirinya J.B.B” (Bestaansrecht van
70
Soeharto, op.cit, hal.241
71
Ibid, hal.246-247
72
Ibid, hal.220
52
Secara langsung pernyataan Gindo Siregar ini lebih keras lagi. Anak-
anak Batak, menurut Gindo Siregar, tidak akan pernah bekerjasama dengan
kebesaran tanah air . JBB kemudian terbentuk dan tidak berapa lama pada
Pertemuan tersebut dibuka pada pukul 8.15 pagi dengan agenda utama
berikut : 73
Bendahara : Mahjoedin
Loebis
hanya memperhatikan budaya Batak saja, tanpa mau melihat budaya bangsa lain
sebagai sarana pembanding, maka pengurus rapat tidak yakin bahwa rakyat
bertumpu pada penelitian dan penilaian beberapa orang ahli, budaya Batak bisa
demi budayanya sendiri. Di dalam hal ini suku Batak ingin menyatakan bahwa
budayanya lebih tinggi dari budaya suku lain, namun demikian yang lebih
tidak berhasil, tetapi pada sisi lain, JSB terus melakukan gerakan-gerakannya
yang pada bulan September 1926 menggabungkan diri ke dalam sebuah wadah
untuk mendidik para anggotanya menjadi pemimpin rakyat yang insaf dan sadar
yang melibatkan JSB dan JJB sebagai yang diundang oleh Pengurus Pusat Jong
Java dalam pembentukan Jong Indonesia pada 20 Pebruari 1927, seperti yang
74
Ibid.
75
Jong Batak, no. 2, 1927
54
diantara mereka ada yang berpindah tempat, baik yang dari daerah Sumatera ke
Jakarta (Jawa) atau ke luar negeri seperti ke negeri Belanda. Hal ini pada
Padahal
55
yang sering memberi semangat organisasi itu. Pada saat sedang menuntut ilmu
Majalah Jong Sumatra. Pada dasarnya Hatta ingin memberi semangat kepada
para anggota JSB tentang keadaan yang pada waktu itu sedang berkembang di
Hatta, Timur harus bangkit. Walaupun demikian, tetap saja semangat anggota-
anggota JSB jauh ketinggalan dari Jong Java, karena organisasi ini tidak ada
Sumatera di dua kota tersebut tidak begitu banyak. Kota Semarang dan
Surabaya adalah kota kedua dan ketiga setelah Jakarta, yang menjadi barometer
bagi sebuah organisasi, pakah sudah maju atau belum. Sebaliknya, para anggota
Jong Java yang radikal justru terdapat di kedua kota yang bergejolak itu,
sehingga di dalam berbagai aktivitas, gerakannya lebih terlihat dari pada JSB. 76.
Hatta yang menjadi bendahara ketika terjadi kesulitan keuangan di tahun 1920
itu mengerahkan seluruh tenaganya agar masalah keuangan JSB dapat teratasi.
menunggak iuran segera melunasinya (Lampiran IV). Pada waktu ini JSB masih
76
Jong Sumatra ,1922, no.4,5
56
Majalah Jong Sumatra hanya 5 kali terbit. Cabang Batavia disebut “sakit”, dan
cabang Padang tidak pernah menjawab surat-surat pengurus besar. Oleh karena
pada tanggal 24 Juli 1920, dengan terpaksa, pengurus cabang secara resmi
dikatakan perkembangan organisasi JSB pada saat ini mengalami masa suram.
penunggak di antara anggota, anggota luar biasa, donatur dan pelanggan majalah
dengan baik. Di samping itu Pengurus pusat bertindak juga sebagai pengurus
bahwa:
77
Jong Sumatra, 1920, hal. 95-102, 103-109
78
Jong Sumatra, 1922, hal. 5-10
79
Djohan, op.cit., hal.36
57
dengan tindakan itu, JSB pada tahun itu dapat menutup keuangan dengan
kelebihan 700 gulden. Suatu jumlah yang cukup besar pada saat itu.” 80
Mohammad Amir dengan Jong Java pimpinan Soekiman. Semula, buat JSB,
yang sudah dimulai sejak awal tahun 1921, tetap saja gagal karena perbedaan
yang lebih teknis, yaitu mengenai susunan pengurus federasi. Jong Java
Jong Java yang telah memiliki jumlah anggota lebih besar dari JSB, akan
dalam
80
Ibid, hal. 32
81
Ibid, hal. 95.
82
Ibid, hal.112.
58
kemerdekaan tanah airnya. Usaha ini bisa dibenarkan karena hak penentuan
Pandangan ini pada prinsipnya diterima oleh JSB dan Jong Java. Dari
uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dua organisasi pelajar ini
83
Jong-Sumatra, No.4 dan 5 : 49 dan 50
59
1928/1929 mengatakan :
hal ini seperti yang ditunjukkan oleh anggota JSB yang berasal dari Batak, yang
akhirnya mendirikan Jong Bataks Bond. Jika dikaitkan dengan hasil laporan
Abu Hanifah, maka pembukaan cabang JSB di Medan ini terlalu dipaksakan
padahal respon dari maasyarakat Medan sendiri agak kurang terutama minat dari
84
Pemoeda Soematera, Januari-Februari 1929, hal.2
60
kondisi masa itu bagi organisasi pemuda kedaerahan pada umumnya berada
pada tahapan menuju pencarian identitas nasional, hal ini terlihat dengan adanya
kongres pemuda pertama tahun 1926 dan kongres pemuda kedua berlangsung
pada tahun 1928. Pada Kongres Pemuda kedua inilah konsentrasi organisasi
B. Permasalahan Budaya
budaya yang melakat pada anggota orang-orang Minangkabau ini pun tidak
pedalaman.85 Daerah ini merupakan daerah yang subur, tempat nenek moyang
orang Minangkabau pada mulanya menetap. Dari sana pulalah konon lahirnya
keturunan diatur menurut garis ibu. Hal ini sangat erat hubungannya dengan
85
Ohorella, op.cit., hal. 15
61
hukumpewarisan. Dalam hal ini paman atau mamak dan ibu mempunyai suara
pantai timur Sumatera bagian tengah. Melihat hubungan ini, walau dewasa ini
Sumatera bagian tengah terdiri atas dua provinsi namun populasi penduduknya
hampir sama. Hampir sebagian besar penduduk di Provinsi Riau berasal dari
Bukit Tinggi, Batu Sangkar, Padang Panjang, atau daerah lainya di Sumatera
Barat. Hal ini terlihat pula dari segi kebudayaan dan adat istiadat sampai dewasa
ini. 87
Jawa, bahkan ke luar negeri seperti Belanda. Apabila pemuda di negeri lainnya
pedagang, tukang jahit, atau pengrajin, maka pemuda pelajar tentunya lebih
mamak, bahu membahu membantu dalam hal dana. Kalau perlu mereka
laki disarankan bersekolah di luar negerinya dan pulang apabila sudah jadi
sarjana.
terdapat Kweekschool atau Sekolah Raja. Murid-murid dari sekolah ini adalah
anak-anak dari kaum bangsawan dan hartawan : itulah sebabnya disebut sekolah
pendidikan moderen Islam yang sudah lama berdiri, yaitu “Sekolah Thawalib”
yang terkenal dan “Dinijjah School”, yang pertama dipimpin oleh Syekh
Padang Panjang dan dikunjungi oleh pemuda-pemuda dari segala penjuru tanah
terendah sampai yang setinggi mungkin. Adanya anak yang diterima di sekolah
Belanda, kemudian dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi, lalu
hidup harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan umum yang kala itu hanya
bisa diperoleh di berbagai sekolah yang sudah mulai banyak dibuka oleh
didirikan di Jawa, sedangkan setiap pemuda Sumatera atau dari bagian lain dari
Hindia apabila ingin menuntut pelajaran yang luas dan lebih tinggi, maka
adalah pemuda-pemuda
88
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen PD & K, Sejarah Perjuangan Pemuda
Indonesia (Jakarta: PN.Balai Pustaka, 1965), hal.39
63
yang memiliki tekad keras, berhati baja serta berani menghadapi tantangan-
tantangan hidup.
yang makin lama makin berkembang dengan semarak. Pada tahun 1910 di
kaum muda Islam antara lain Haji Abdullah Ahmad dan Haji Karim Abdullah 89.
Adabiah ini adalah suatu kewajaran. Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun
1914 Haji Abdullah Ahmad dan Mohammad Taher Marah Sutan mendirikan
H.I.S. Adabiah yang diakui dan diberi subsidi oleh pemerintah Hindia Belanda 90 .
89
Kutoyo, op.cit, hal . 15
90
Ibid
64
dewasa itu seperti Mohammad Hatta, Bahder Djohan, Nazir Datuk Pamuntjak,
merantau untuk mencari ilmu, tidak heran jika mereka banyak yang menjadi
kaum intelektual yang bekerja pada pemerintah, menjadi dokter, guru, notaris,
dan lain-lain.91
sebagai salah satu corak dari kebudayaan nasional.. Menurut bahasa daerah
Padang dibari baligundi, Bukik dibari bakaratau, Rimbo dibari bajiluang, nak
Babezo tapuang jo sadah, nan babiteh minyak jo aia, nak balain kundua jo
labu.
tata nilai dan struktur masyarakat yang membedakan secara tajam antara
mana pepatah- petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam ada yang kalimat-
tingkah laku anggota masyarakat dari tingkah laku yang sekecil-kecilnya sampai
tingkah laku yang luas dan besar seperti suatu nagari. Manusia dan hewani
banyak persamaan dalam tingkah laku, terutama tingkah laku dalam mencapai
dan minum, tidur, berjalan, buang air kecil dan besar, mandi, bergaul, nafsu sex,
kawin,
91
Ibid.
65
berketurunan, duduk dan sebagainya, hewan pun juga demikian. Oleh karena itu,
Adat Minangkabau, kecuali tentang Aqidah dan Syari'at. Sejak masuknya agama
itu pula agama tidak dapat dipisahkan dari adat. Kedua unsur itu terjalin dengan
begitu kuatnya.Dalam waktu yang tidak begitu lama, Islam diterima oleh Adat
ajaran Islam, seperti kokoh rumah karena sandinya " ( rumah gadang basandi
membedakan secara tajam tingkah laku manusia dan hewan, dengan mengatur
segalanya dengan aturan adat Minangkabau. Jadi singkatnya orang beradat itu
adalah orang-orang yang bertingkah laku dalam pergaulan dengan baik yang
sendiri, seperti kata pepatah : "Elok dek awak katuju dek urang".
92
Ibid
66
pertentangan adat. Hal ini terjadi pada tahun 1920, di mana pada waktu itu
93
terkenal dengan istilah Kasus Daena, yang nama lengkapnya Pomo Daena.
Gadis Kota Gedang, sebuah desa kecil dekat Bukittinggi, Sumatera Barat ini
ketika bekerja sebagai asisten di kantor pos di Medan menikah dengan seorang
menikah dari suku luar menjadi heboh. Orang tua si selama gadis lalu mengirim
pakaian gadis tersebut ke Medan yang dibungkus dengan kain putih sebagai
Majalah Jong Sumatra. Redaktur majalah, Mohammad Amir, yang juga ketua
pendapatnya. Dua artikel yang berpihak pada Dean dimuat bulan Agustus 1920.
Sementara seseorang yang namanya Raihoel Amar berasal dari Kota Gedang
Majalah Jong-Sumatra, No.5, tahun 1920, hal. 94 dan 95. Lengkapnya sebagai
berikut :
KONTRA DAENA
93
Jong-Sumatra, No.5 (1920) : 94-95
.
67
dihukum. Tidak ada saudari kita yang bisa melanggar tindakan kita di
mana kita berusaha mempertahankannya sejak dahulu, tanpa
mengalami denda atau akibatnya. Kita tidak bisa melepaskan diri dari
ikatan itu, karena kita merasa batin kita lemah. Kita kuat dan kita ingin
tetap bertahan bila perlu. Sebanyak 24 orang penghulu telah melihat
badai besar yang terlepas di atas kepala mereka. Sehingga melalui
tindakan ini putri mereka bisa mempelajari kondisi itu.
Nyonya, Anda telah melakukan perbuatan pelanggaran selain
melanggar ikatan ini. Anda telah menumpahkan darah. Anda telah
menjauhkan diri dari ibu dan saudari Anda. Kesalahan terbesar tidak
Anda lakukan. Di mana nilai kebenaran ini berada? Selain Tuhan bagi
manusia tidak ada yang lebih berharga kecuali ibu. Nama ibu disucikan
baik di langit maupun di bumi. Seorang ibu akan mernderita dan
dilanggar kehormatannya, karena tindakan yang barbar”.
Tetapi Anda tidak melihat apa yang suci di sana (yaitu ibunya)
sementara dari seorang pria. Kini jalan itu telah saya tempuh dan juga
dari setiap orang Kota Gedang. Tetapi kita merasa bangga. Tampak
bahwa anda menyuruh agar orang lain mengikuti Anda seperti hantu.
Anda merasa terusir dari desa kita. Kini Anda telah terusir. Tidak
pernah lagi nda melakukan sesuatu (ta’ sahino, ta’ samulio). Kota
Gedang telah berpisah dari Anda, dan tidak akan kehilangan Anda.
Saya sebaliknya sedih ketika mengetahui bahwa rekan-rekan desa saya,
para wanita yang terhormat: Nyonya S.N.N., Zakir Salim dan Nyonya
S.D. Salim menunjukkan simpatiknya terhadap cara bertindak Nyonya
Pomo, ya bahkan mereka bisa membenarkan hatinya.
Bila demikian, ketika kita tidak lagi bisa mempertahankan kewajiban
anak-anak kita terhadap ibu kita, ketika kita berani melepaskan semua
ikatan keluarga demi “nafsu hidup” yang kasihnya terhadap kita tidak
mungkin melebihi kasih ibu kita dan jarang bisa menyamainya.
Apakah di sini tujuan juga bisa menghalalkan cara? Ini toh bukan
merupakan tujuan Anda? Tidak, tidak mungkin. Tetapi saya pikir
bahwa alasan pembenaran ini terletak pada dugaan apabila Nyonya
Pomo bertindak karena kasihnya. Kasih? Oh, dalam korps itu, di mana
tidak ada kasih ibu yang bisa disembunyikan. Gejolak hati telah ada.
Anda menduga telah melihat semua itu?
Apakah Anda berpikir bahwa “fajar telah merekah”? Kita berkata:
pandangan ini merupakan kedok bagi semua pengkhianatan, suatu
pembenaran bagi putusnya ikatan paling suci. Jika kehidupan tidak
memiliki kewajiban, maka kasih bisa menjadi tanda bahwa dua orang
akan saling berhadapan. Semoga kita berharap dan Tuhan berkenan,
agar Nyonya Pomo merupakan satu-satunya saja dan tidak seorangpun
mengikuti contoh buruknya. Tunjukkan saudari-saudariku, bahwa
kalian merasakan kasih pada tanah kelahiran dan ini bisa dilakukan
ketika kalian tetap setia pada tradisi matriakat, pembentukan gaung:
Datu Katemanggungan dan Perpatiah nan Sabatang. Tunjukkan kepada
keturunan kalian, apa yang diperdebatkan dua orang Minangkabau.
68
benar dalam kasus tersebut. Tulisan berisikan kecaman itu, juga diizinkan Amir
untuk dimuat. Tetapi karena keberpihakan Amir terhadap Daena, dia merasa
menyesal artikel tersebut sempat lolos. Amir pun memberikan perintah kepada
94
Ibid.
69
dalam Majalah Jong Sumatra. Karena terjadi kesah pahaman, sebagian dari
terbitan itu dikirimkan tanpa ditempel, hingga tulisan berisi kecaman itu dibaca
juga oleh banyak pelanggan. Dalam hal ini Amir tidak menggunakan pena
merah untuk menyensor, melainkan dengan lem. Menurut Amir, hal tersebut
mengenai adat.
Dari kasus ini sangat jelas terlihat bahwa Amir tidak ingin memutuskan
masalah ini. Sifat gamang yang penuh kehati-hatian dari sifat orang
Jong Java yang dengan percaya diri dan dengan gamblang memaparkan masalah
adatnya. Para pemuda pelajar JSB tidak begitu banyak bertolak dari warisan
masa lalu. Mereka memang tidak dapat melakukannaya, karena tidak adanya
Dalam kasus Daena ini, Mohammad Amir sebagai ketua bukannya ragu-
meruncing.
dari
95
Ibid, hal. 88
70
pemuka adat. Keinginan JSB membentuk cabang pertamanya di daerah itu, pada
bulan Januari 1918 memperoleh perlawanan dari pimpinan adat yang juga
2. muncul rasa cemas di kalangan kelompok tua bahwa adat tersebut akan
dikemukakan melalui ditulisan B.Dj, nama pendek dari penulisnya yaitu Bahder
Djohan, di dalam Jong Sumatra, no. 6,7, 8, edisi Juni, Juli dan Agustus tahun
1918, hal.119 - 121 dengan judul artikel: “Adakah Kaoem Koeno dan Kaoem
Soematra
?”.
96
Jong Sumatra, No. 6,7 dan 8, Juni, Juli dan Agustus 1918 : 124
71
hendaklah mengikuti perubahan zaman. Perlu diakui, jelas bahwa di dalam dua
tiga abad ini sudah terjadi perubahan besar. Diperjelas oleh Bahder Djohan,
lahirnya JSB menurut sebagian pikiran orang akan menambah jarak antara kaum
”Kelahiran JSB tiadalah akan menambah besarnya perantaraan Kaoem Koeno dan
Kaum Moeda, adalah kedua pihak itoe sama-sama bermaksud akan memperharoem
namanya poelau Soematra, walaupoen kedoea pihak itoe masing-masing menoeroeti
djalannja sendiri akan mentjapai tjita-tjitanja itoe. Pergerakan Kaoem Koeno adalah
beralasan: Memadjoekan Soematra dengan menegoehkan adat-adat, agar pendoedoek
Soematra selaloe hidoep dalam roekoen dan damai. Sedang JSB (Kaoem Moeda) adalah
alasannja: Dengan menjatoekan segala pendoedoek Soematera, beroesaha akan
mentjapai Soematera jang ditjita-tjita, jaitoe seboeah Soematera jang berpendoedoek
jang menghargakan tinggi adat istiadat tanah Soematra tetapi beradab dan berpe’adjaran
tjara Barat.” 97
berpengaruh di kota Padang, dalam hal ini adalah Taher Marah Sutan. Karena
beliaulah akhirnya pada bulan Januari 1918 terbentuk cabang JSB pertama di
antara tokoh JSB dengan pemuka adat di Minangkabau, yaitu antara kaum tua
dan muda. Pertentangan ini sebenarnya wajar muncul karena sifat ketertutupan
dari
97
Ibid : 120.
72
pemuka adat yang menganggap adat harus dipertahankan apa adanya. Namun
bagi para tokoh JSB terutama yang bersuku Minangkabau bersikap demokratis,
sesulit apa pun akan mampu diatasi dengan musyawarah. Hal ini seperti yang
dari pemuka masyarakat lainnya yang berpengaruh di kota Padang dalam hal ini
Anggaran Dasar dan kepengurusan sendiri, baik kepengurusan besar atau pusat
orang Sumatera untuk kemajuan Sumatera61, hal itu terlihat dari keanggotaan dan
kepengurusan JSB yang terdiri atas berbagai etnis suku yang ada di pulau
Sumatera.
terdapat beragam suku dan agama. Misalnya suku Minangkabau, Aceh dan Batak
Karo. Bukti lainnya dapat dilihat pada saat pemilihan kepemimpinan pertama JSB,
di mana yang terpilih sebagai ketua bukan orang Minangkabau, walaupun jumlah
suku Minangkabau sebagai anggota JSB lebih banyak dari suku-suku lain.
Terpilih sebagai ketua pertama adalah Tengkoe Mansoer pelajar STOVIA asal
61
Jong Sumatra, No. 1, Januari , 1918, hal. 5
62
Ibid, hal.12
ini sangat berpengaruh besar di dalam keanggotaan, sehingga wajar pula kalau
orang-orang Minangkabau dalam JSB lebih menonjol dan bahkan dari sebagian
berikut :
Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Mengenal pertama kali JSB, sewaktu
bertemu dengan Datuk Pamoentjak, salah seorang utusan Pengurus Besar JSB
Jakarta. Selama menjadi pengurus JSB, peranan Hatta yang menonjol adalah
organisasi. Hatta juga banyak menulis artikel yang dimuat di majalah atau
kabar tersebut.
2. Mohammad Amir, lahir pada 27 Januari 1900 di kota kecil Talawi, Sawahlunto
Legere School) di Bukittinggi. Pernah menjadi Sekretaris II, Wakil Ketua dan
3. Bahder Djohan, lahir di Padang, Sumatera Barat pada 30 Juli 1902. Dalam
sama dengan Mohammad Hatta yang pada waktu itu diangkat sebagai
Pengurus Pusat JSB untuk menghadiri Kongres Pertama organisasi itu pada
bulan Juni 1919. Menjelang pergantian Pengurus Pusat (Besar) JSB pada
Hatta sebagai bendahara. Pada tahun 1921, Bahder Djohan dipercaya lagi
46
duduk sebagai Bendahara II Pengurus Pusat JSB dan pada Kongres Pemuda I
tahun 1926, dipercaya menjadi Wakil Ketua Kongres. Selanjutnya pada masa
Pusat (KNIP). Pada tahun 1950, 1952 diangkat menjadi Menteri PPK. Pernah
4. Abu Hanifah, lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 6 Januari 1906.
Belajar di STOVIA pada tahun 1922 hingga tamat pada tahun 1932. Selama
63
G.A. Ohorella, Prof. Dr. Abu Hanifah DT. M.E. Karya dan Pengabdiannya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, hal. 27
64
Soebagio.I.N., Adinegoro Pelopor Jurnalistik Indonesia, Haji Masagung, Jakarta, 1987,
hal. 13
47
Panji Pustaka, Bintang Timur dan Pewarta Deli65 dengan menggunakan nama
Indonesia.
Nama Yamin erat sekali hubungannya dengan pembinaan faham dan rasa
pada tahun 1920 itu, belum berpegang pada faham dan rasa kebangsaan
sajaknya yang dibuat pada tahun 1920 ”Andalas, Tanah Airku”. Yamin pada
waktu itu masih menyebut Andalas atau Sumatra sebagai Nusa Harapan.
Yamin juga semakin luas. Sejak semula, Muhammad Yamin sudah percaya
pada kekuatan yang menuju Indonesia Raya. Pada Lustrum I JSB yang
65
Soebagio.I.N., Ibid, hal 29
48
lampau, masa sekarang, dan masa depan.66 Yamin sudah melihat datangnya
pidatonya sendiri masih dibawakan dalam bahasa Belanda pada tahun 1923.
Pada Lustrum I JSB juga, dia membuat medali peringatan yang ada Nyiur
keindahan Indonesia. Pada waktu itu pula panji Perhimpunan JSB diresmikan.
Panji itu bergambarkan suatu pelita yang menyala, dengan semboyan “Pelita
Bangsa, Senantiasa”.
tidak dapat pula dilepaskan dari latar belakang mereka sebagai orang perantau.
berkaitan dengan harga diri dan prestasi. Kepergian pemuda umumnya didorong
oleh dua faktor, pertama ingin menuntut ilmu, kedua hendak mencari nafkah.
Adalah suatu kebanggaan bagi pemuda Minangkabau yang merantau bila pulang
ke kampung halaman dengan menyandang ilmu atau gelar sarjana. Apalagi bila
sudah bekerja dan berekonomi baik. Ada pepatah Minangkabau yang menyatakan
rumah paguno balun”, artinya kaum muda hendaklah menimba ilmu pengetahuan
kampung halaman jika belum ada ilmu yang dimilikinya. Pepatah ini memacu
semangat merantau bagi pemuda untuk menjadi orang yang berguna, mencari
ilmu, mencari nafkah lalu berumah tangga, mengurus keluarga dan kaumnya, serta
66
Sutrisno Kutoyo, Op. Cit. hal. 20
49
melimpahkan seluruh warisan orang tua kepada pihak keturunan garis ibu, yaitu
ibu dan anak perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki tidak mendapat warisan
apapun, bahkan sejak usia kanak-kanak mereka sudah diwajibkan menuntut ilmu
67
dan tidur di surau.
JSB, menjadi masalah terhadap anggota JSB yang ber-etnis lain, seperti yang
dialami oleh pemuda pelajar dari Batak. Perbedaan sikap suku Batak di dalam
rangka menilai JSB yang terkesan didominir suku Minangkabau adalah sesuatu
yang wajar apabila melihat ke kebudayaan Batak selama ini. Perbedaan sikap ini
menurut suku Batak adalah sesuatu yang dinamis dan berkonflik itu bukanlah
Jadi dapat dikatakan, suku Batak memiliki dua sikap yang kedua-duanya
bisa diterapkan pada posisi tertentu. Atau dengan perkataan lain, bahwa pada
menghasilkan potensi konflik yang tinggi, tetapi pada pihak lain, Dalihan Na Tolu
67
www_idesa_net-my_Berita_files
68
Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M.Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak
Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), hal.5
50
merupakan potensi yang meredusir atau mengelimir konflik. Hanya yang menjadi
Suku Batak memiliki adat Dalihan Na Tolu yang mengatur hak dan
kewajiban dalam hubungan antara tiga marga yang kedudukannya terkait erat
seseorang harus dihormati oleh anggota-anggota lainnya. Sebaliknya, ada pula hak
dan kewajiban dari dan terhadap unsur kedua dan ketiga. Hak dan kewajiban
dalam keseluruhan aturan adat Batak itu cukup kompleks. Ada sesuatu hal yang
membuat suku Batak tidak mau terlangkahi oleh suku-suku lain. Orientasi
dikatakan bahwa setiap orang adalah “raja” pada waktunya. Oleh karena itu tidak
anggapan bahwa pada masa lalu suku Batak adalah pemakan orang.
Sanoesi Pane dalam majalah kabar Jong Batak, Januari 1926, nomor 1
69
Ibid, hal.55
51
Minangkabau dan Batak, dua bangsa yang pada saat ini paling terkemuka di
oleh Aminoedin Pohan di dalam Majalah Jong Batak, Januari 1926 no.1, hal.30 :
“Siapakah di antara kita yang tidak merasa sedih bahwa hingga kini
pekerjaan kenasionalan para Pemuda Sumatera hanya dilakukan oleh
satu pihak saja, yaitu oleh saudara-sudara kita dari Minangkabau,
sedangkan kelompok-kelompok lainnya malu-malu tinggal di belakang
terus ? Apakah orang-orang tidak menyadari bahwa pemberian
penerangan dari satu pihak saja mengenai masalah-masalah Sumatera
akan memberikan kesan yang menyesatkan dan mereka yang menaruh
minat tertentu akan mendapat gambaran yang salah mengenai masalah
ini sehingga mereka yang berkepentingan akan menjadi korban ? “71
orang Batak itu membentuk organisasi sendiri bernama Jong Batak Bond (JBB)
pada tahun 1925. Tentang lahirnya JBB ini, Gindo Siregar, salah seorang
pengurus JBB menulis di dalam surat kabar Jong Batak, Januari 1926, 1ste
Jaargang, no.1, hal.3 dengan judul: “Hak berdirinya J.B.B” (Bestaansrecht van
70
Soeharto, op.cit, hal.241
71
Ibid, hal.246-247
72
Ibid, hal.220
52
Secara langsung pernyataan Gindo Siregar ini lebih keras lagi. Anak-
anak Batak, menurut Gindo Siregar, tidak akan pernah bekerjasama dengan
tanah air . JBB kemudian terbentuk dan tidak berapa lama pada tanggal 24
persoalan penting.
Pertemuan tersebut dibuka pada pukul 8.15 pagi dengan agenda utama
Di dalam pertemuan ini juga dipertegas, bahwa ketika orang Batak hanya
memperhatikan budaya Batak saja, tanpa mau melihat budaya bangsa lain sebagai
sarana pembanding, maka pengurus rapat tidak yakin bahwa rakyat tersebut dalam
penelitian dan penilaian beberapa orang ahli, budaya Batak bisa disamakan
dengan budaya bangsa India Depan dan Jawa. Pengkajian Sansekerta, Jawa Kuno
dan Melayu akan memberikan unsur-unsur yang diperlukan bagi orang Batak
73
Jong Batak, No.10, tahun 1926
53
demi budayanya sendiri. Di dalam hal ini suku Batak ingin menyatakan bahwa
budayanya lebih tinggi dari budaya suku lain, namun demikian yang lebih
tidak berhasil, tetapi pada sisi lain, JSB terus melakukan gerakan-gerakannya yang
Tujuan dari perhimpunan tersebut adalah Indonesia Merdeka dan berusaha untuk
mendidik para anggotanya menjadi pemimpin rakyat yang insaf dan sadar akan
yang melibatkan JSB dan JJB sebagai yang diundang oleh Pengurus Pusat Jong
Java dalam pembentukan Jong Indonesia pada 20 Pebruari 1927, seperti yang
74
Ibid.
75
Jong Batak, no. 2, 1927
54
pengurus baik pada cabang-cabang maupun pada pengurus pusat., karena diantara
mereka ada yang berpindah tempat, baik yang dari daerah Sumatera ke Jakarta
(Jawa) atau ke luar negeri seperti ke negeri Belanda. Hal ini pada umumnya
yang sering memberi semangat organisasi itu. Pada saat sedang menuntut ilmu di
Jong Sumatra. Pada dasarnya Hatta ingin memberi semangat kepada para anggota
JSB tentang keadaan yang pada waktu itu sedang berkembang di Eropah Barat, di
mana mereka sedang terpecah-pecah. Menurut Hatta, Timur (Asia) harus bangkit.
dari Jong Java, karena organisasi ini tidak ada perwakilannya di Semarang dan
Surabaya, karena jumlah pemuda pelajar Sumatera di dua kota tersebut tidak
begitu banyak. Kota Semarang dan Surabaya adalah kota kedua dan ketiga
setelah Jakarta, yang menjadi barometer bagi sebuah organisasi, pakah sudah
maju atau belum. Sebaliknya, para anggota Jong Java yang radikal justru terdapat
yang menjadi bendahara ketika terjadi kesulitan keuangan di tahun 1920 itu
menunggak iuran segera melunasinya (Lampiran IV). Pada waktu ini JSB masih
76
Jong Sumatra ,1922, no.4,5
56
Majalah Jong Sumatra hanya 5 kali terbit. Cabang Batavia disebut “sakit”, dan
cabang Padang tidak pernah menjawab surat-surat pengurus besar. Oleh karena
pada tanggal 24 Juli 1920, dengan terpaksa, pengurus cabang secara resmi
anggota di Bandung dan Surabaya tidak ada lagi kabarnya. 77 Jadi boleh dikatakan
penunggak di antara anggota, anggota luar biasa, donatur dan pelanggan majalah
tanpa pandang bulu dimuat di Majalah Jong Sumatra, seringkali dengan menyebut
jabatan yang mereka pegang. Cabang-cabang pun mulai dibenahi dengan baik. Di
samping itu Pengurus pusat bertindak juga sebagai pengurus cabang Batavia.
“Jika pada waktu Hatta mulai menjabat sebagai bendahara, JSB mengalami
hutang hampir 1.000 gulden, maka pada akhir tahun 1920, menjelang
Hatta meletakkan jabatannya, keadaan keuangan menjadi sebaliknya. Sisa
uang menjadi hampir satu setengah kali. Hal ini dapat terjadi, karena
tindakan Hatta yang cukup tegas dan berani. Ia menyiarkan suatu daftar
hitam dari mereka yang sesudah waktu tertentu, tidak memenuhi
kewajibannya sebagai anggota atau penderma. Kejadian ini
menggoncangkan masyarakat pada waktu itu, karena dalam daftar itu
banyak dimuat nama-nama orang yang terkemuka dan terhormat.79...
77
Jong Sumatra, 1920, hal. 95-102, 103-109
78
Jong Sumatra, 1922, hal. 5-10
79
Djohan, op.cit., hal.36
57
dengan tindakan itu, JSB pada tahun itu dapat menutup keuangan dengan
kelebihan 700 gulden. Suatu jumlah yang cukup besar pada saat itu.” 80
Salah satu permasalahan di dalam JSB yang patut menjadi catatan adalah
Amir dengan Jong Java pimpinan Soekiman. Semula, buat JSB, federasi kedua
yang sudah dimulai sejak awal tahun 1921, tetap saja gagal karena perbedaan yang
lebih teknis, yaitu mengenai susunan pengurus federasi. Jong Java menginginkan
pengurus menurut besarnya jumlah keanggotaan. Logikanya, Jong Java yang telah
memiliki jumlah anggota lebih besar dari JSB, akan banyak menempati posisi-
80
Ibid, hal. 32
81
Ibid, hal. 95.
82
Ibid, hal.112.
58
kemerdekaan tanah airnya. Usaha ini bisa dibenarkan karena hak penentuan nasib
sendiri penduduk.
Pandangan ini pada prinsipnya diterima oleh JSB dan Jong Java. Dari
uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dua organisasi pelajar ini
83
Jong-Sumatra, No.4 dan 5 : 49 dan 50
59
yang menjadi Juru Pengarang (Sekretaris) JSB di dalam rapat tahunan 1928/1929
mengatakan :
hal ini seperti yang ditunjukkan oleh anggota JSB yang berasal dari Batak, yang
akhirnya mendirikan Jong Bataks Bond. Jika dikaitkan dengan hasil laporan Abu
Hanifah, maka pembukaan cabang JSB di Medan ini terlalu dipaksakan padahal
respon dari maasyarakat Medan sendiri agak kurang terutama minat dari pemuda
pelajar yang ada di kota tersebut. Tidak adanya regenerasi mengakibatkan kasus
84
Pemoeda Soematera, Januari-Februari 1929, hal.2
60
masa itu bagi organisasi pemuda kedaerahan pada umumnya berada pada tahapan
kongres pemuda pertama tahun 1926 dan kongres pemuda kedua berlangsung
pada tahun 1928. Pada Kongres Pemuda kedua inilah konsentrasi organisasi
pemuda yang dihasilkan dalam putusan kongresnya yang terkenal dengan ikrar
Sumpah Pemudanya.
B. Permasalahan Budaya
budaya yang melekat pada anggota orang-orang Minangkabau ini pun tidak dapat
Minangkabau dibedakan atas “darek” dan “rantau”. Darek adalah daerah asal
merupakan daerah yang subur, tempat nenek moyang orang Minangkabau pada
mulanya menetap. Dari sana pulalah konon lahirnya sistem adat ”matrilineal” atau
“matriakhat” dimana pertalian keluarga atau keturunan diatur menurut garis ibu.
85
Ohorella, op.cit., hal. 15
61
hukumpewarisan. Dalam hal ini paman atau mamak dan ibu mempunyai suara
Sedang rantau adalah daerah perbatasan sepanjang pantai barat dan pantai
timur Sumatera bagian tengah. Melihat hubungan ini, walau dewasa ini Sumatera
bagian tengah terdiri atas dua provinsi namun populasi penduduknya hampir
sama. Hampir sebagian besar penduduk di Provinsi Riau berasal dari Bukit
Tinggi, Batu Sangkar, Padang Panjang, atau daerah lainya di Sumatera Barat. Hal
ini terlihat pula dari segi kebudayaan dan adat istiadat sampai dewasa ini. 87
Jawa, bahkan ke luar negeri seperti Belanda. Apabila pemuda di negeri lainnya di
pedagang, tukang jahit, atau pengrajin, maka pemuda pelajar tentunya lebih
mamak, bahu membahu membantu dalam hal dana. Kalau perlu mereka
disarankan bersekolah di luar negerinya dan pulang apabila sudah jadi sarjana.
86
loc.cit
87
ibid.
62
terdapat Kweekschool atau Sekolah Raja. Murid-murid dari sekolah ini adalah
anak-anak dari kaum bangsawan dan hartawan : itulah sebabnya disebut sekolah
Raja. Selain Sekolah Raja juga terdapat Nourmalschool, dan lembaga pendidikan
moderen Islam yang sudah lama berdiri, yaitu “Sekolah Thawalib” yang terkenal,
dan “Dinijjah School.” Yang pertama dipimpin oleh Syekh Dr.Karim Amarullah
dan Syekh A.Hamid Hakim, sedangkan yang kedua dipimpin oleh Zainudin Labai
oleh pemuda-pemuda dari segala penjuru tanah air yang berminat belajar di
sekolah Islam.88
terendah sampai yang setinggi mungkin. Adanya anak yang diterima di sekolah
Belanda, kemudian dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi. Pemuda-
direbut. Perjuangan hidup harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan umum yang
kala itu hanya bisa diperoleh di berbagai sekolah yang sudah mulai banyak dibuka
oleh pemerintah Belanda. Karena perguruan yang lebih tinggi sebagian besar
didirikan di Jawa, sedangkan setiap pemuda Sumatera atau dari bagian lain dari
Hindia apabila ingin menuntut pelajaran yang luas dan lebih tinggi, maka haruslah
88
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen PD & K, Sejarah Perjuangan Pemuda
Indonesia (Jakarta: PN.Balai Pustaka, 1965), hal.39
63
pemuda yang memiliki tekad keras, berhati baja serta berani menghadapi
tantangan-tantangan hidup.
yang makin lama makin berkembang dengan semarak. Pada tahun 1910 di Tanah
muda Islam antara lain Haji Abdullah Ahmad dan Haji Karim Abdullah 89.
Adabiah ini adalah suatu kewajaran. Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun
1914 Haji Abdullah Ahmad dan Mohammad Taher Marah Sutan mendirikan
H.I.S. Adabiah yang diakui dan diberi subsidi oleh pemerintah Hindia Belanda90 .
89
Kutoyo, op.cit, hal . 15
90
Ibid
64
mencari ilmu, tidak heran jika mereka banyak yang menjadi kaum intelektual
yang bekerja pada pemerintah, menjadi dokter, guru, notaris, dan lain-lain.91
sebagai salah satu corak dari kebudayaan nasional.. Menurut bahasa daerah
Padang dibari baligundi, Bukik dibari bakaratau, Rimbo dibari bajiluang, nak
Babezo tapuang jo sadah, nan babiteh minyak jo aia, nak balain kundua jo labu.
nilai dan struktur masyarakat yang membedakan secara tajam antara manusia
dengan hewani dalam tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Di mana pepatah-
masyarakat dari tingkah laku yang sekecil-kecilnya sampai tingkah laku yang luas
dan besar seperti suatu nagari. Manusia dan hewani banyak persamaan dalam
berjalan, buang air kecil dan besar, mandi, bergaul, nafsu sex, kawin,
91
Ibid.
65
berketurunan, duduk dan sebagainya, hewan pun juga demikian. Oleh karena itu,
Adat Minangkabau, kecuali tentang Aqidah dan Syari'at. Sejak masuknya agama
Islam di Minangkabau, masyarakat sadar akan nilai-nilai agama tersebut. Sejak itu
pula agama tidak dapat dipisahkan dari adat. Kedua unsur itu terjalin dengan
begitu kuatnya.Dalam waktu yang tidak begitu lama, Islam diterima oleh Adat
Islam, seperti kokoh rumah karena sandinya " ( rumah gadang basandi batu, kuek
membedakan secara tajam tingkah laku manusia dan hewan, dengan mengatur
segalanya dengan aturan adat Minangkabau. Jadi singkatnya orang beradat itu
adalah orang-orang yang bertingkah laku dalam pergaulan dengan baik yang
92
Ibid
66
pertentangan adat. Hal ini terjadi pada tahun 1920, di mana pada waktu itu
93
terkenal dengan istilah Kasus Daena, yang nama lengkapnya Pomo Daena.
Gadis Kota Gedang, sebuah desa kecil dekat Bukittinggi, Sumatera Barat ini
ketika bekerja sebagai asisten di kantor pos di Medan menikah dengan seorang
menikah dari suku luar menjadi heboh. Orang tua si gadis lalu mengirim pakaian
gadis tersebut ke Medan yang dibungkus dengan kain putih sebagai tanda bahwa
Jong Sumatra. Redaktur majalah, Mohammad Amir, yang juga ketua JSB
pendapatnya. Dua artikel yang berpihak pada Deana dimuat bulan Agustus 1920.
Sementara seseorang yang namanya Raihoel Amar berasal dari Kota Gedang
Majalah Jong-Sumatra, No.5, tahun 1920, hal. 94 dan 95. Lengkapnya sebagai
berikut :
KONTRA DAENA
93
Jong-Sumatra, No.5 (1920) : 94-95
.
67
dihukum. Tidak ada saudari kita yang bisa melanggar tindakan kita di
mana kita berusaha mempertahankannya sejak dahulu, tanpa mengalami
denda atau akibatnya. Kita tidak bisa melepaskan diri dari ikatan itu,
karena kita merasa batin kita lemah. Kita kuat dan kita ingin tetap
bertahan bila perlu. Sebanyak 24 orang penghulu telah melihat badai
besar yang terlepas di atas kepala mereka. Sehingga melalui tindakan ini
putri mereka bisa mempelajari kondisi itu.
Nyonya, Anda telah melakukan perbuatan pelanggaran selain melanggar
ikatan ini. Anda telah menumpahkan darah. Anda telah menjauhkan diri
dari ibu dan saudari Anda. Kesalahan terbesar tidak Anda lakukan. Di
mana nilai kebenaran ini berada? Selain Tuhan bagi manusia tidak ada
yang lebih berharga kecuali ibu. Nama ibu disucikan baik di langit
maupun di bumi. Seorang ibu akan mernderita dan dilanggar
kehormatannya, karena tindakan yang barbar”.
Tetapi Anda tidak melihat apa yang suci di sana (yaitu ibunya)
sementara dari seorang pria. Kini jalan itu telah saya tempuh dan juga
dari setiap orang Kota Gedang. Tetapi kita merasa bangga. Tampak
bahwa anda menyuruh agar orang lain mengikuti Anda seperti hantu.
Anda merasa terusir dari desa kita. Kini Anda telah terusir. Tidak pernah
lagi anda melakukan sesuatu (ta’ sahino, ta’ samulio). Kota Gedang telah
berpisah dari Anda, dan tidak akan kehilangan Anda. Saya sebaliknya
sedih ketika mengetahui bahwa rekan-rekan desa saya, para wanita yang
terhormat: Nyonya S.N.N., Zakir Salim dan Nyonya S.D. Salim
menunjukkan simpatiknya terhadap cara bertindak Nyonya Pomo, ya
bahkan mereka bisa membenarkan hatinya.
Bila demikian, ketika kita tidak lagi bisa mempertahankan kewajiban
anak-anak kita terhadap ibu kita, ketika kita berani melepaskan semua
ikatan keluarga demi “nafsu hidup” yang kasihnya terhadap kita tidak
mungkin melebihi kasih ibu kita dan jarang bisa menyamainya. Apakah
di sini tujuan juga bisa menghalalkan cara? Ini toh bukan merupakan
tujuan Anda? Tidak, tidak mungkin. Tetapi saya pikir bahwa alasan
pembenaran ini terletak pada dugaan apabila Nyonya Pomo bertindak
karena kasihnya. Kasih? Oh, dalam korps itu, di mana tidak ada kasih
ibu yang bisa disembunyikan. Gejolak hati telah ada. Anda menduga
telah melihat semua itu?
Apakah Anda berpikir bahwa “fajar telah merekah”? Kita berkata:
pandangan ini merupakan kedok bagi semua pengkhianatan, suatu
pembenaran bagi putusnya ikatan paling suci. Jika kehidupan tidak
memiliki kewajiban, maka kasih bisa menjadi tanda bahwa dua orang
akan saling berhadapan. Semoga kita berharap dan Tuhan berkenan, agar
Nyonya Pomo merupakan satu-satunya saja dan tidak seorangpun
mengikuti contoh buruknya. Tunjukkan saudari-saudariku, bahwa kalian
merasakan kasih pada tanah kelahiran dan ini bisa dilakukan ketika
kalian tetap setia pada tradisi matriakat, pembentukan gaung: Datu
Katemanggungan dan Perpatiah nan Sabatang. Tunjukkan kepada
keturunan kalian, apa yang diperdebatkan dua orang Minangkabau.
68
benar dalam kasus tersebut. Tulisan berisikan kecaman itu, juga diizinkan Amir
untuk dimuat. Tetapi karena keberpihakan Amir terhadap Daena, dia merasa
menyesal artikel tersebut sempat lolos. Amir pun memberikan perintah kepada
94
Ibid.
69
terbitan itu dikirimkan tanpa ditempel, hingga tulisan berisi kecaman itu dibaca
juga oleh banyak pelanggan. Dalam hal ini Amir tidak menggunakan pena merah
untuk menyensor, melainkan dengan lem. Menurut Amir, hal tersebut perlu
adat.
Dari kasus ini sangat jelas terlihat bahwa Amir tidak ingin memutuskan
masalah ini. Sifat gamang yang penuh kehati-hatian dari sifat orang
Jong Java yang dengan percaya diri dan dengan gamblang memaparkan masalah
adatnya. Para pemuda pelajar JSB tidak begitu banyak bertolak dari warisan masa
lalu. Mereka memang tidak dapat melakukannaya, karena tidak adanya tradisi
Dalam kasus Daena ini, Mohammad Amir sebagai ketua bukannya ragu-
meruncing.
95
Ibid, hal. 88
70
pemuka adat. Keinginan JSB membentuk cabang pertamanya di daerah itu, pada
bulan Januari 1918 memperoleh perlawanan dari pimpinan adat yang juga adalah
Nazir Datuk Pamuntjak, tidak memperoleh dukungan dari Maharaja. Hal ini
dikarenakan :
2. muncul rasa cemas di kalangan kelompok tua bahwa adat tersebut akan
dikemukakan melalui ditulisan B.Dj, nama pendek dari penulisnya yaitu Bahder
Djohan, di dalam Jong Sumatra, no. 6,7, 8, edisi Juni, Juli dan Agustus tahun
1918, hal.119 - 121 dengan judul artikel: “Adakah Kaoem Koeno dan Kaoem
Soematra ?”.
96
Jong Sumatra, No. 6,7 dan 8, Juni, Juli dan Agustus 1918 : 124
71
hendaklah mengikuti perubahan zaman. Perlu diakui, jelas bahwa di dalam dua
tiga abad ini sudah terjadi perubahan besar. Diperjelas oleh Bahder Djohan,
lahirnya JSB menurut sebagian pikiran orang akan menambah jarak antara kaum
”Kelahiran JSB tiadalah akan menambah besarnya perantaraan Kaoem Koeno dan Kaum
Moeda, adalah kedua pihak itoe sama-sama bermaksud akan memperharoem namanya
poelau Soematra, walaupoen kedoea pihak itoe masing-masing menoeroeti djalannja
sendiri akan mentjapai tjita-tjitanja itoe. Pergerakan Kaoem Koeno adalah beralasan:
Memadjoekan Soematra dengan menegoehkan adat-adat, agar pendoedoek Soematra
selaloe hidoep dalam roekoen dan damai. Sedang JSB (Kaoem Moeda) adalah alasannja:
Dengan menjatoekan segala pendoedoek Soematera, beroesaha akan mentjapai Soematera
jang ditjita-tjita, jaitoe seboeah Soematera jang berpendoedoek jang menghargakan tinggi
adat istiadat tanah Soematra tetapi beradab dan berpe’adjaran tjara Barat.” 97
berpengaruh di kota Padang, dalam hal ini adalah Taher Marah Sutan. Karena
beliaulah akhirnya pada bulan Januari 1918 terbentuk cabang JSB pertama di
antara tokoh JSB dengan pemuka adat di Minangkabau, yaitu antara kaum tua dan
muda. Pertentangan ini sebenarnya wajar muncul karena sifat ketertutupan dari
97
Ibid : 120.
72
pemuka adat yang menganggap adat harus dipertahankan apa adanya. Namun bagi
para tokoh JSB terutama yang bersuku Minangkabau bersikap demokratis, tidak
apa pun akan mampu diatasi dengan musyawarah. Hal ini seperti yang ditempuh
pemuka masyarakat lainnya yang berpengaruh di kota Padang dalam hal ini yaitu
Kegagalan membentuk federasi antara Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond
(JSB) tidak mematahkan semangat para pemimpin organisasi pemuda di dalam mewujudkan
rasa persatuan, di dukung dengan semakin gencarnya semangat persatuan bangsa yang
Mohammad Tabrani dari Jong Java yang pada itu merupakan wartawan muda di
Surat Kabar Hindia Baroe berusaha merealisasikan persatuan para pemuda dengan
1925 di Gedung Lux Orientis Jakarta, yang sekaligus sebagai persiapan untuk
Konferensi tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari Jong Java, Jong Sumatranen
Peranan JSB dalam mewujudkan Kongres Pemuda Pertama ini sangat besar. Hal
tersebut terlihat dari susunan panitia persiapan kongres yang banyak melibatkan perwakilan
dari JSB (berjumlah tiga orang :Djamaloedin, Bahder Djohan dan Sarbaini).
Gedung Kimia Farma, Jalan Budi Utomo Jakarta Pusat) yang berlangsung dari tanggal 30
April hingga 2 Mei 1926. Meskipun kongres pemuda ini hanya baru berhasil menimbulkan
kesadaran tentang perlu adanya persatuan di kalangan pemuda dan perlu adanya satu bahasa
Kongres Pemuda Pertama yang berlangsung selama tiga hari itu dibagi dalam tiga
kali rapat. Rapat pertama, berlangsung pada hari Jumat, 30 April 1926, bertempat di Gedung
Vrijmetselaarsloge. Rapat berlangsung selama 4 jam, yaitu dari pukul 20.00 sampai dengan
1. Pembukaan Kongres.
98
Momon Abdul Rahman et.al., Sumpah pemuda Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan
Nasional (Jakarta:Museum Sumpah Pemuda, 2005), hal.35 dan 36.
99
Ibid, hal.38.
75
disampaikan oleh M.Tabrani selaku ketua panitia. Dalam pidatonya Tabrani mengatakan
menghindari segala sesuatu yang dapat menceraiberaikan pemuda. Oleh sebab itu, panitia
memilih acara yang mengandung unsur pemersatu dan menjauhkan diri dari perpecahan.
Selanjutnya Tabrani mengharapkan agar kongres menyuarakan generasi muda pda waktu itu
yang nantinya terpanggil untuk bekerja, berjuang dan meninggal untuk kemerdekaan nusa
dan bangsa, sebagaimana dikutip oleh R.Z.Leirissa dari Laporan Kongres Pemuda Pertama.
“Kita semua orang-orang Jawa, Sumatra, Minahasa, Ambon dan lainnya, oleh
sejarah dijadikan mahluk yang harus saling mengulurkan tangan, bilamana kita ingin
mencapai apa yang menjadi cita-cita kita semua, yaitu kemerdekaan Indonesia, tanah
air yang tercinta dan penutup menyerukan , “Rakyat Indonesia Bersatulah” 100
Masalah persatuan selalu ditekankan oleh para pemuda dan menjadi pokok persoalan
bangsa Indonesia di kemudian hari bahwa persatuan yang diperjuangkan sebatas ide itu,
Berikutnya yang mengucapkan pidato adalah tokoh pemuda yang bernama Sumarto.
Indonesia merdeka. Menurut pendapat Sumarto, Indonesia adalah pengertian politik yang
harus dibedakan dalam pengertian bukan politik atau pengertian lain. Sumarto juga
memaparkan pandangannya mengenai Indonesia dalam arti luas. Pada bagian akhir dari
100
R.Z.Leirissa, et.al, Sejarah Pemikiran tentang Sumpah Pemuda (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989), hal. 55
76
pidatonya, Sumarto mengajak para pemuda Indonesia harus bangun menuju persatuan,
“Gagasan persatuan Indonesia pada pokoknya dan dasarnya ialah gagasan politik,
yaitu cita-cita menuju negara kesatuan Indonesia. Karena Indonesia mengandung
pengertian politik yang harus dibedakan dari Indonesia dalam pengertian bukan
politik. Dilihat dari pengertian ethnologi, philologi dan geografis, Indonesia
mengandung arti yang lebih luas lagi…Menurut Dr.Ratulangi dalam Kongres seluruh
Hindia Al-Indie Congres di Bandung: Indonesia harus diartikan wilayah di Asia dan
Australia yang dikenal dengan nama Hindia Belanda. Maka itu orang atau bangsa
Indonesia ialah mereka yang termasuk penduduk asli Indonesia.” 102
Vrijmetselaarsloge. Seperti rapat pertama, rapat kedua berlangsung selama 4 jam, yaitu dari
pukul 20.00 sampai dengan pukul 24.15 WIB. Topik utama rapat kedua adalah Kedudukan
Indonesia.”
Rapat Ketiga berlangsung pada hari Minggu, 2 Mei 1926. Tempat rapat ketiga masih
tetap di Vrijmetselaarsloge. Rapat dimulai pukul 09.00 WIB. Dalam rapat ketiga ini tampil
101
Ibid.
102
Ibid.
103
Abdul Rahman,et.al. op.cit, hal.40
104
Ibid, hal.41
77
Indonesia.” Pidato ini memberi peluang kepada anggota yang hadir untuk mencerna apa
yang dikemukakan Yamin.“ Yamin mengatakan, sejarah kini membekali kita menuju
nasionalisme yang dalam dan luas kearah kemerdekaan dan tujuan yang lebih luhur, yaitu
kebudayaan yang lebih tinggi nilainya, agar Indonesia dapat mempersembahkan kepada
dunia hadiah yang lebih berharga dan lebih indah selaras dengan kita. “ 105
Menyinggung hari depan bahasa dan sastra Indonesia, Yamin yakin bahwa dari
sekian banyak bahasa-bahasa yang dipakai, maka bahasa Melayu dan bahasa Jawa
mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Suatu pemikiran yang tak jauh dari
kebenaran sejarah.
“Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan
bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia
memiliki suatu sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah
menjadi bahasa pengantar di kalangan orang-orang Indonesia., antara bangsa-
bangsa Barat dan Timur dan antara bangsa-bangsa Timur Asing sendiri. Posisinya
di masa depan akan lebih menarik perhatian, jika orang-orang muda makin
menguasainya, dan masyarakat makin kuat bercorak Indonesia. Kenyataan bahwa
sekarang banyak yang kurang mengerti bahasa itu, hanya harus dipandang sebagai
suatu peringatan yang serius untuk mempelajari bahasa Melayu dengan baik.” 106
bahwa pemuda Sumatera itu (Yamin) akan menjadi pelopor dari usaha pemakaian bahasa
105
Martha, op.cit, hal. 61.
106
Leirissa, op.cit., hal.36
78
Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia. Sedangkan bahasa Belanda
Yamin sebagai anggota JSB, terlihat dengan jelas bagaimana peranan Yamin sebagai
anggota JSB dalam hal memperjuangkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Sebelum
Kongres Pemuda I berlangsung, Yamin dalam Lustrum I JSB tahun 1923 di Jakarta pernah
pula menyampaikan pidato mengenai pentingnya bahasa Melayu tersebut. Pada waktu itu,
Yamin berpidato dengan judul:” De Malaische Taal in het verleden, heden en in de toekomst
(Bahasa Melayu di masa lampau, sekarang dan masa mendatang). Dalam pidato tersebut,
Yamin berusaha mengemukakan betapa pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa perantara
dan bahasa persatuan, yaitu persatuan dari bermacam-macam suku bangsa bumi putera yang
mendiami kepulauan Nusantara ini. Pada waktu menyampaikan pidato saat ini, Yamin
merupakan salah seorang anggota JSB Cabang Bogor dan masih meneruskan sekolahnya di
majalah bernama Malaya dengan tujuan agar masyarakat pembacanya dapat menjangkau
Semenanjung Melayu. Tetapi atas beberapa pertimbangan, pada saat ini usul menerbitkan
Pada kenyataannya bahasa Melayu telah lama dipakai di seluruh Kepulauan Indonesia.
Bahasa tersebut sering digunakan untuk saling berhubungan di antara suku-suku bangsa
yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Aceh, Dayak, Banjar dan suku
lainnya. Demikian juga ketika orang-orang Eropa datang ke Indonesia, mereka juga
107
Kutoyo, op.cit, hal. 25
79
Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera. Tetapi di pihak lain,
Belanda, maka bahasa Belanda mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan dijadikan sebagai
bahasa pengantar. Hal itu terjadi pada awal Abad XX dan dalam perkembangan lebih lanjut,
kedudukan bahasa Belanda menjadi sangat penting, karena seseorang yang menguasai
bahasa Belanda akan dianggap lebih tinggi derajat dan pengetahuannya. Dengan demikian
bergeserlah pandangan masyarakat saat itu. Untuk mencapai status yang lebih tinggi, banyak
orang tua ingin memasukan anaknya ke sekolah yang mengajarkan bahasa Belanda.
Akibatnya di kalangan bangsa Indonesia tumbuh segolongan pemuda yang dalam kegiatan
sehari-harinya selalu berbahasa Belanda. Mereka ini tidak berminat lagi terhadap bahasanya
untuk meyakinkan bangsanya agar selalu memakai bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar.
seluruh Indonesia ? Hal ini dikarenakan selain tujuan didirikannya JSB adalah untuk
memusatkan diri pada ikatan perhimpunan, bahasa, dan budaya, juga dapat dikatakan bahwa
Dalam hal ini, Kroeber (1963 dikutip di dalam buku Roger Bell: Sociolinguistics:
merupakan faktor, sering yang utama, dalam menanamkan kebangsaan seseorang. Peran
bahasa dalam nasionalisme dapat dilihat pada perjuangan kemerdekaan Irlandia dan
Kerajaan Ingeris. Di Irlandia, di bawah Liga Gaelik yang didirikan pada tahun 1893, gerakan
bahasa Irlandia menyadarkan orang Irlandia sebagai bangsa. Meskipun sebagai gerakan
kebahasaan dapat dipertanyakan hasilnya, secara politis gerakan tersebut memegang peranan
penting dalam menggalang semangat kemerdekaan dan telah melahirkan tokoh-tokoh politik
Irlandia. 108
Contoh lain adalah di India, pada tahun 1925, bahasa Hindi diangkat menjadi bahasa
utama Kongres Nasional India dan mempelajari bahasa ini merupakan simbol patriotisme
dan dukungan terhadap gerakan kemerdekaan.109 Begitu pula di Indonesia, bahasa Indonesia
yang berasal dari bahasa Melayu itu sangat berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia, apalagi di dalam mempersatukan suku-suku bangsa dengan latar belakang bahasa
yang beragam dan tersebar di berbagai pelosok tanah air. Di kemudian hari bahasa Melayu,
cikal bakal terbentuknya bahasa Indonesia itu, berhasil menjadi bahasa resmi antara
108
John Edward, Language, Society and Identity (New York: Basil Blackwell, 1985), hal.55
109
S.N.Sridar, Language variation, attitudes, and rivalry the spread of Hindi in India dalam Languages
Spread and Language Policy: Issues, Implication and Case Studies, disunting oleh Peter H.Lewenberg
(Washington D.C: Georgetown University Press, 1987), hal. 303.
110
J.A.C, Mackie, Integrating and centrifugal factors in Indonesian Politics since 1954 dalam
Indonesia: Australian Perspectives, disunting oleh James J.Fox, Ross Garnaut, Peter McCawley, and
J.A.C.Mackie (Canberra: Research School of Pasific Studies, the Australian National University, 1980), hal..
679.
81
termasuk dalam rumpun Malayo-Polinesia. Rumpun ini tersebar dari Madagaskar sampai
Berikut buku A.Teeuw berjudul: A.Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa
semula mendiami Semenanjung Malaya, pantai timur Sumatera dan pulau-pulau di antara
keduanya. Perkembangan dan kebesaran Sriwijaya dari Abad VI sampai dengan Abad XIII
memperluas sebaran bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di kepulauan
nusantara. Prasasti Gandasuli, Jawa Tengah, (bertahun 827 dan 832) bertuliskan bahasa yang
Lebih lanjut di dalam buku Sutan Takdir Alisjahbana berjudul: Indonesia: Social
and Cultural Revolution (London: Oxford University Press, 1966), menyebutkan bahwa
sebaran bahasa Melayu ini pada tahun 1521 sudah mencapai Tidore. Pigafetta, peserta
rombongan penjelajah dunia Maggelan, menulis semacam daftar kata bahasa Melayu yang
menyiapkan kotbah dan pelajarannya dalam bahasa Melayu, karena bahasa tersebut sudah di
82
kenal di sana. Pada tahun 1614 Huygen van Linschoten menyebutkan bahwa bahasa Melayu
negeri Belanda.
Di dalam memaparkan asal bahasa Melayu ini, Muhammad Yamin di dalam Jong
Sumatra edisi Januari 1920 halaman 29 - 34 menulis artikel berjudul: “Pemandangan dalam
Basa Melajoe”. Yamin mengatakan bahwa bahasa Melayu masuk rumpun bahasa Indonesia.
dan Ceylon (Sri Langka). Semenjak dahulu, ungkap Yamin, bahasa Melayu menjadi bahasa
persamaan, apalagi dalam perdagangan dan pergaulan antara pengusaha bangsa lain dengan
Bumi Putera…Pada Abad kedua belas (1160 M) banyak orang dari Sumatera Tengah, yaitu
tanah Minangkabau yang sekarang ini, berpindah ke Sumatera Timur. Mereka biasanya
menelusuri aliran sungai Batang Kampar dan Kuantan. Mereka bercerai berai hingga ke
Jazirah Malaka…Bangsa yang tinggal tetap di Sumatera Tengah itulah nenek moyang orang
Minangkabau.
Setelah Kongres pemuda Pertama selesai, terdapat perdebatan tentang fusi dan
dan keinginannya, namun atas inisiatif Jong Java pada 15 Agustus 1926 diadakan Nationale
Conferentie di Jakarta yang dihadiri oleh wakil-wakil Jong Java, JSB, Sekar Roekoen, Jong
Bataks Bond, Jong Minahasa, Vereeniging voor Ambonsche Studeerenden, Jong Islamieten
Bond Cabang Jakarta dan Komite Kongres Pemuda Pertama. Pertemuan ini tidak
menghasilkan kesepakatan untuk membentuk fusi. Menjelang Kongres Pemuda Kedua, cita-
83
Indonesia (PKI) terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada bulan September 1926.
Selanjutnya pada tanggal 21-22 Mei 1927, JSB langsung menanggapi terjadinya
dihadiri lebih kurang 300 orang.111 Di dalam rapat tersebut, JSB menyatakan diri menentang
adanya komunis. Sejauh ini cita-cita yang diperjuangkan organisasi pemuda tersebut bukan
cita-cita negara Indonesia berpaham komunis, tetapi negara Indonesia dengan sebuah
Terkait dengan Kongres Pemuda Pertama seperti yang diuraikan di atas, penulis
berkesimpulan bahwa JSB terutama melalui para anggotanya seperti Bahder Djohan dan
Muhammad Yamin mempunyai peranan yang sangat besar dalam mewujudkan gagasan dan
ide kebangsaan yaitu dengan munculnya pikiran-pikiran yang cemerlang dan jauh ke depan
dari para anggota JSB, seperti terungkap dari pidato Bahder Djohan (JSB) dalam rapat kedua
dengan judul:” Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia,” dan pidato Muhammad
Pidato Bahder Djohan memiliki visi jauh ke depan, yaitu menginginkan adanya
persamaan hak di antara kaum laki-laki dan perempuan. Dampak pidato Bahder Djohan
tersebut sangat dirasakan pada masa sekarang ini di bidang politik. Di mana pemenuhan 30
persen quota perempuan di dalam berpolitik harus dipenuhi oleh setiap partai politik. Begitu
111
J.Th.Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indie (Haarlem-
H.D.Tjeenk Willnk & Zoon N.V, 1931), hal.299
84
pula dengan dampak dari pidato, Muhammad Yamin yang mengusulkan agar bahasa Melayu
dipakai sebagai bahasa Indonesia, juga sudah terwujud. Oleh karena itu, pemikiran-
pemikiran kedua anggota JSB tersebut patut diperhitungkan pada saat itu.
Indonesia (PPPI) berupaya tampil untuk mewujudkan fusi tersebut. PPPI berpendapat, fusi
harus dicapai melalui sebuah kerapatan yang dihadiri para wakil seluruh organisasi pemuda.
Gagasan ini kemudian dibicarakan pada pertemuan tanggal 3 Mei 1928 dan kemudian
Kramat 106, Weltevreden (Jakarta). Hadir dalam pertemuan tersebut utusan Jong Islamieten
Bond, Pemuda Indonesia, Jong Java, JSB, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond,
dan Pemoeda Kaoem Betawi dan PPPI. Pertemuan membicarakan masalah waktu, tempat
dan biaya persiapan Kongres Pemuda Kedua. Susunan Panitia Persiapan Kongres terbentuk
sebagai berikut :
112
Abdul Rahman.et.al., op.cit., hal. 53. PPPI mulai didirikan pada tahun 1925, tetapi baru tahun 1926
diresmikan. JSB menggabungkan diri ke dalam PPPI pada bulan September 1926. Tujuan PPPI adalah
Indonesia Merdeka dan berusaha untuk mendidik para anggotanya menjadi pemimpin rakyat yang insaf dan
sadar akan kewajiban-kewajiban sebagai putra-putri Indonesia.
85
penyelenggaraan Kongres dan sesuai dengan jadual yang telah ditentukan Kongres
berlangsung selama dua hari, yaitu pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta selama tiga kali
sidang 114 :
Sidang Pertama diselenggarakan pada Hari Sabtu malam tanggal 27 Oktober 1928,
dimulai pukul 19.30 dan berakhir pada pukul 23.30 WIB, bertempat di Gedung Khatolieke
113
Ibid, hal.54.
114
Sutrisno Kutoyo dan M.Soenyoto, Suatu Catatan Tentang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
(Jakarta: Lembaga Sejarah dan Antropologi Direktoral Jenderal Kebudayaan P & K, 1970), hal.51. Lihat juga
Mardanas Safwan, Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (Jakarta:
Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum & Sejarah, 1979), hal.33.
86
singkat tentang munculnya Budi Otomo 1908, penguraian tentang timbulnya perkumpulan
Indonesia.” Pidato Yamin ini mempunyai nilai-nilai tinggi dan merupakan salah satu pidato
brilian dari para pemimpin pemuda Indonesia. Waktu itu Yamin baru berusia 25 tahun dan
duduk di Fakultas Hukum tingkat I di Jakarta. Dalam pidatonya, Yamin menjelaskan arti
yang terkandung dalam kongres kali ini. Menurut Yamin, kongres ini bercita-cita
menegakkan bangsa yang satu. “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia ialah hasil pikiran dan
kemauan sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya. Semangat yang selama ini masih
tidur, sekarang telah bangun dan sadar, dan inilah yang dinamai roh Indonesia,” ujar
Yamin.115
persatuan, dan persatuan bersendi kepada kemauan. “Selama kemauan ini masih ada dalam
dada anak Indonesia, selama itu pulalah ada persatuan di antara kita. Oleh karena itu simpan
dan tanamlah kemauan hendak bersatu, supaya selamat bangsa dan tanah air kita, tumpah
115
Safwan, Ibid, hal.34
116
Ibid.
87
mngatakan dalam pidatonya itu : “…kita percaya bahwa hidupnya bangsa kita sebagian
besar diatur oleh hukum kebangsaan kita, hukum adat atau adatrecht. Benar zaman sekarang
pengaruh hukum Barat lama-lama bertambah di tanah kita, tetapi sebagian besar dari pada
bangsa kita hidupnya bernaung di bawah adanya dan masih percaya akan hukum yang
berurat berakar dalam adat. Hukum yang tertulis dan disahkan, tiada bersimaharajalela di
tanah kita, melainkan terletak dan dipakai di sebelah hukum adat,” 117
pukul 8.00-12.00 WIB bertempat di Geding Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord,
sekarang jalan Medan Merdeka Utara 14 (kemudian menjadi Gedung Pemuda, sekarang
sudah dibongkar). Sidang ini membicarakan masalah wanita dan pendidikan yang
Hadjar Dewantara.
Sidang III diselenggarakan pada Hari Minggu malam tanggal 28 Oktober 1928,
pukul 17.30 – 23.30 WIB, bertempat di Gedung Indonesische Clubgebouw (IC), Jalan
Kramat 106 (sekarang menjadi Gedung Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya 106),
membicarakan masalah kepanduan (Padvinderij) oleh Ramelan dan Theo Pangamanan, arti
117
A.Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto, Aku Pemuda Kemarin Di Hari Esok (Jakarta: Jayasakti, 1981),
hal.149.
88
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa pada Kongres Pemuda Sidang III ini
kongres, yaitu pada waktu istirahat, W.R.Supratman seorang wartawan yang gemar musik
dan sering datang di Gedung IC Kramat 106 menghampiri ketua Sugondo dan minta izin
memberikan syairnya. Sugondo membaca syair Indonesia Raya sambil melirik ke arah
komisaris polisi Belanda yang menghadiri atau mengawasi repat ketiga pada waktu itu. 118
Karena dalam syair Indonesia Raya terdapat banyak perkataan Indonesia dan
Sugondo khawatir nantinya terjadi insiden lagi dengan polisi Belanda, maka Sugondo
jangan menyanyikan syairnya. Insiden dengan polisi sudah terjadi sejak Sidang I, di mana
Kemudian Sugondo minta perhatian hadirin tentang lagu yang akan diperdengarkan
suatu concert besar. Dan hadirin bertepuk tangan dengan ramainya serta berteriak: “Bis,
bis,bis.”
sebagai berikut :
118
Ibid, hal.139
89
Pada rapat terakhir sesudah istirahat sebentar, rapat dibuka kembali oleh Sugondo dan
Poetoesan
Kerapatan pemoeda Indonesia
119
Pemuda Soematra, Desember 1929, hal. 4 . Dalam majalah ini tidak memuat lagu Indonesia Raya
yang diciptakan oleh W.R. Soepratman dengan alasan pertimbangan karena terbatasnya ruangan halaman pada
majalah tersebut.
90
Hasil pemikiran Yamin tersebut kemudian langsung disetujui dan disahkan sebagai
keputusan kongres.
Dengan demikian jelaslah bahwa kongres pemuda tahun 1928 ini merupakan kelanjutan
dari kongres pemuda tahun 1926, dan yang telah berhasil merumuskan suatu keputusan dan
yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Soempah Pemoeda. Sejak saat itu ide tentang
persatuan bangsa telah diwujudkan dalam sikap dan tindak tanduk. Apabila di dalam
Kongres Pemuda Pertama, persatuan baru sebatas ide, maka di dalam Kongres Pemuda
Kedua, ide tersebut mulai menjadi kenyataan. Selanjutnya terealisir di dalam pembentukan
organisasi pemuda Indonesia Moeda yang sering disebut-sebut sebagai simbol kemenangan
dari persatuan itu sendiri. Bahasa Melayu yang diperjuangkan oleh Muhammad Yamin
untuk dapat menjadi bahasa persatuan, telah menjadi kenyataan dalam putusan kongres
Pemuda kedua ini. Jelaslah bahwa peranan Muhammad Yamin sebagai anggota JSB
Sebagai kelanjutan dari Kongres Pemuda Indonesia II tahun 1928 dan menjelang
didirikannya Indonesia Moeda, maka JSB telah mengganti namanya menjadi Pemoeda
Soematera, tepatnya pada tanggal 17 Februari 1929 di dalam rapat tahunan JSB yang
120
Madjalah Pemoeda Soematera, hal.2
91
nama dari Jong Sumatra menjadi Pemoeda Soematrera. Juga kepengurusan Pengurus Besar
poetoesan perubahan nama ini berdasarkan pikiran persatoean. Isi lengkap putusan tersebut
Poetoesan
Rapat tahoenan jang diadakan di Djakarta,
17 Februari 1929
I. Nama perserikatan Jong-Sumatra diganti dengan Pemoeda Soematera
II. Djadi anggota Perserikatan Gadis Soematera dan Pandoe boleh barang siapa sadja, asal
mendapat izin dari Pedoman Besar (Art.34 sub.2)
III. Pedoman Besar sekarang (1929).
Ketoea: Moehammad Jamin, jur.student.
Pengganti Ketoea: Tengkoe Hassan, A.M.S.
Djoeroe Pengarang I: Kroeng Raba Nasoetion, jur.student.
Djoeroe Pengarang II : Sjahrial, Stovia.
Djoeroe orang I : Ibrahim, jur.student.
Djoeroe orang II : Karani, Stovia.
Pembantoe: entjik Noeratin, Adnan dan Toha.
IV. Rapat telah mendjatoehkan poetoesan tjotjok dengan fikiran persatoean (fusie);
bagaimana akan dilakoekan dan bagaimana boektinja diserahkan dengan seloeas-
loeasnja kepada Pedoman Besar 1929.121
Setelah itu Pemoeda Soematera pada pertengahan bulan Pebruari 1929 itu juga
memutuskan untuk berkeinginan melakukan fusi sebagai salah satu amanat dari Kongres
yang menyetujui fusi, seperti Pemoeda Soematra, Jong Java, Jong Celebes dan Pemuda
”Sidang fusi yang pertama”.122 Di dalam sidang tersebut, organisasi-organisasi pemuda ini
121
Soerat Kabar Pemoeda Soematra, Januari-Februari 1929, hal. 1
122
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P.D.&K, Sedjarah Perdjuangan Pemuda Indonesia
(Djakarta: P.N.Balai Pustaka, 1965), hal.66,67.
92
menyetujui membentuk Komisi Besar yang bertugas melaksanakan fusi di antara organisasi
pemuda. Di samping itu dibentuk pula Komisi Kecil yang bertugas menyusun Anggaran
Dasar dan Rumah Tangga organisasi baru yang akan lahir dan diberi nama “Indonesia
Moeda.”
Pada akhirnya, kedua komisi ini telah menyelesaikan tugasnya pada bulan Oktober
1929. Kemudian pada tanggal 23 Maret 1930, Pemoeda Soematera dilebur ke dalam
Indonesia Moeda. Upacara pembubaran itu berlangsung di Gedung pertemuan, Gang Kenari,
Jakarta. Naskah pembubaran yang disusun secara panjang lebar oleh Muhammad Yamin
merupakan sebagai kertas bergulung, di sebelahnya putih dan di baliknya berwarna merah.
Sayang sekali sampai saat ini tidak diketahui siapa yang menyimpan kertas itu sebagai suatu
dokumen bersejarah yang tidak ternilai harganya. Alasan pembubaran Pemoeda Soematera
artinja zaman Indonesia jang akan bermoela lebih lebar dari perkoempoelan Indonesia
Moeda, tampaklah oleh kita dengan djelas bagaimana soeatoe zaman tertoetoep, jaitu zaman
berpoelau-poelau dan berganti dengan zaman baroe jang membawa pesanan jang tinggi-
Demikianlah akhir perjalanan Jong Sumatranen Bond dan telah melalui masa lebih
kurang 12 tahun dalam sebuah perjuangan, yang kemudian melebur diri ke dalam Indonesia
123
Amura, et.al.op.cit., hal.41 dan lihat juga Soerat Kabar Pemoeda Soematra Tahoen ke XII No.7-8,
1929, hal.2
93
Indonesia Moeda (IM) suatu organisasi Pemuda Indonesia, hasil fusi antara beberapa
organisasi pemuda yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 1930. Berawal dari
keinginan tiga organisasi pemuda, yaitu Jong Java, Pemuda Indonesia dan Jong Sumatranen
Bond (Pemuda Sumatra) pada tanggal 23 April 1929 untuk menyelenggarakan rapat di
Gedung IC Kramat Raya 106 (Gedung Sumpah Pemuda). Jong Java diwakili oleh Kuntjoro
Muljadi Dwidjodarmo dan Tamzil. Sedangkan Pemuda Sumatra diwakili oleh Muhammad
Yamin, Krung Raba Nasution dan A.K.Gani. Dalam rapat ini dicapai persetujuan
dibentuknya Komisi Besar yang bertugas merencanakan organisasi fusi yang dimaksudkan.
Komisi Besar ini beranggotakan wakil perkumpulan pemuda yang akan berfusi dengannya
Pada waktu itu dibentuk sebuah Komisi Besar dan Komisi Kecil. Juga disetujui
nama Indonesia Moeda sebagai nama organisasi. Untuk mewujudkan adanya wadah gerakan
menyelenggarakan kongres untuk mendirikan badan fusi yang bernama Indonesia Moeda di
Gedung Habiprojo Surakarta dari tanggal 28 Desember 1930-2 Januari 1931. Ketika mencari
lambang baru sebagai citra baru nasion Indonesia, Komisi Besar lalu mempertimbangkan
berbagai panji-panji dan lambang-lambang perhimpunan yang baru dibubarkan, yaitu: Keris
(Jong Java), Obor (Pemuda Sumatra), Kepala Banteng (Pemuda Indonesia) dan Babi Rusa
(Jong Celebes). Hasil dari rapat Komisi Besar, yaitu lahirnya lambang baru, di mana keris
kembali menjadi titik pusat panji-panji warna biru. Biru melambangkan “langit Indonesia
94
124
yang cantik”. Lambang itu berbentuk hati yang melambangkan cinta pemuda kepada Ibu
Indonesia. Keris melambangkan satunya haluan dan tujuan yaitu Indonesia Raya. Senjata
tajam itu berdiri di atas kuntum “bunga teratai” merah bersusun tiga yang melambangkan
tiga landasan Indonesia Muda: kesatuan nusa, bangsa dan bahasa. Keris menunjuk ke atas ke
arah cahaya matahari. Dari kanan dan kiri diapit bulu burung garuda. Garuda itu adalah
Pemuda Indonesia dalam mencapai kemerdekaan tanah air. Garuda kemudian menggantikan
Kemudian Komisi Kecil diberi tugas menyiapkan konsep Anggaran Dasar Indonesia
Muda, di mana tugas tersebut sudah selesai pada tanggal 27 Oktober 1929 dan kemudian
disahkan pada saat peresmian lahirnya Indonesia Muda pada 31 Desember 1930 di Solo.
Peresmian ini diselenggarakan dengan meriah sebagai pertanda peralihan dari zaman
kegelapan ke zaman Indonesia Raya. Lima panji-panji kelima perhimpunan yang berdiri
berjajar di atas podium tempat duduk Komisi Besar diturunkan. Selanjutnya setiap cabang
Tepat pukul dua belas semua hadirin diminta berdiri dan piagam pendirian
...dan pada saat ini pada petang Rebo malam Kemis tanggal 31 Desember 1930
masoek 1 Janoeari 1931, sampailah kami pada waktoe yang paling akhir
melakoekan kewadjiban, seperti jang terserah kepada kami Komisi Besar, dan
terboekalah zaman baharoe tempat dasar jang tiga dan toedjoean jang satoe menjala
dalam hati sanoebari segala poetera dan poeteri, baik jang bernaoeng dibawah
pandji-pandji perkoempoelan Indonesia Moeda, atau jang pertjaja kepada dasar dan
124
van Miert, op.cit., hal. 514
125
Ibid.
95
Indonesia Moeda yang baru, dinaikkan ke podium, sehingga panji-panji Indonesia Moeda
sumbangan uang – sebagai tanda bahwa Indonesia Moeda memperoleh perkenan dari
Kraton Solo – gamelan berhenti, dan semua pemuda yang hadir menyanyikan lagu
Perlu menjadi catatan bahwa Indonesia Moeda membuat satu pasal khusus dalam
anggaran dasarnya mengenai sifat organisasi yang tidak menjalankan politik serta melarang
126
Piagam mendirikan perkoempoelan Indonesia Moeda pada tanggal 31 Desember 1930 masoek
Januari1931 dikota Soerakarta, dalam Majalah Indonesia Raja, No.5,6,7, Mei, Juni, Juli, 1932 Tahun ke-4,
hal.347-348, Katalog B 1370, 1937.
127
Martha, op.cit, hal.100
96
anggotanya untuk menjalankan politik. Hal tersebut terungkap dari laporan pemuda Yamin
tentang Anggaran Dasar sebagai hasil dari Komisi Kecil. Pada waktu ini Mohammad Yamin
memberikan tekanan pada suatu azas bahwa Indonesia Moeda tidak boleh ikut serta dalam
Pengertian politik yang dicantumkan dalam pasal khusus Anggaran Dasar Indonesia
Moeda ini memunculkan penafsiran berbeda-beda, baik dari pemerintah kolonial Belanda
bergabung dengan Indonesia Moeda. Ada pula yang beralasan bahwa Indonesia Moeda
hanya diperuntukan bagi pemuda yang sedang belajar saja, tidak termasuk mereka yang
sudah selesai atau yang putus sekolah. Ada pula yang menolak masuk Indonesia Moeda,
karena organisasi itu tidak menjalankan syariat Islam sebagai dasar perjuangannya.
1. Organisasi Pemuda yang berdasarkan kedaerahan yang telah lahir sejak tahun
1915, seperti: Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak Bond, Pemuda Betawi,
Pemuda Timor. Termasuk organisasi-organisasi pemuda yang lahir kemudian
pada tahun 1930-an seperti: Putera-Puteri Tjirebon, Jeugdorganisatie Sriwidjaja,
Minangkabau Muda dan Kebangunan Sulawesi.
2. Organisasi pemuda yang berdasarkan keagamaan yang muncul sejak tahun 1920-
an seperti perkumpulan-perkumpulan Jong Islamieten Bond, Pemuda Kristen
(PPPK). Termasuk organisasi-organisasi yang lahir kemudian seperti Pemuda
Islam Indonesia, Pemuda Perserikatan Ulama, Pemuda Persatuan Islam,
Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen dan Muda Katolik.
128
Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P.D.&K, op.cit., hal.68.
97
3. Organisasi pemuda yang merupakan bagian organisasi orang dewasa atau partai
politik seperti:
a. Pemuda Muslimin Indonesia
b. Pemuda Muhammadiyah
c. Pemuda Ansor (NU)
d. Suluh Pemuda Indonesia (SPI) oleh mantan anggota PNI.
e. Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (Perpi oleh Pertindo).
f. Pemuda Marhaen Indonesia.
g. Barisan Pemuda Gerindo yang dinamakan Pertimu (Persatuan Timur Muda).
h. Jajasan Obor Pasundan (Pasundan).
i. PKN Muda (Pakempalan Kawulo Ngajogjakarta).
4. Organisasi pemuda lingkungan sekolah yang baru muncul seperti Persatuan
Pemuda Taman Siswa (PPTS).
5. Organisasi Pemuda yang bersifat nasional yang tidak termasuk dalam kategori di
atas adalah: Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, Pertindom di Mekkah,
Perpindom di Kairo, Makindom di Baghdad, Persindom di New Delhi, PPPI di
Indonesia.
6. Organisasi Kepanduan yang baru muncul, seperti PAPI, KBI, BPPKI (ketiganya
gabungan dari sejumlah organisasi kepanduan), Kepanduan Masehi Indonesia
(KMI), Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI), Ansor bagian Kepanduan,
Pandu Indonesia, Pandu Kesultanan, Kepanduan Rakyat Indonesia, Al Watoni
Hizbul Islam, Kepanduan Islam Indonesia, Sinar Pandu Kita.
7. Di kalangan organisasi pemudi, seperti Perikatan Perkoempulan Isteri Indonesia
dan Kongres Perempuan.129
organisasi ini semakin hilang ketika Jepang masuk ke Indonesia, karena di awal
pembubaran seluruh organisasi yang berdiri sejak Zaman Hindia Belanda, termasuk
Indonesia Moeda.
129
Ibid, hal. 88- 90.
98
Perjalanan pergerakan dan kiprah JSB menjadi bukti sejarah, bahwa kehadiran JSB
bangsa Indonesia. Berawal dari keinginan untuk menyatukan berbagai suku yang ada di
Sumatera, kemudian melebur ke Indonesia Moeda adalah bukti bahwa JSB lebih mencintai
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari pada keinginan untuk kepentingan sendiri
130
Pemoeda Soematera, No.7-8, 1929, hal.1
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tesis ini, seperti yang diuraikan dalam penjelasan
berlangsung pada periode pergerakan nasional terjadi proses yang unik yaitu adanya
peranan menonjol dari golongan pemuda pelajar dalam perjuangan untuk penyatuan
bangsa. Berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908, merintis berdinya organisasi-
organisasi pemuda yang berlatar belakang dari berbagai suku dan daerah. Oleh karena
itu, organisasi yang didirikan diberi nama sesuai dengan nama suku dan daerah asal,
seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes (Sulawesi) ,
pemuda Sumatera yang belajar di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1917. Tujuan utama
organisasi tersebut adalah untuk menumbuhkan kesadaran diantara para anggotanya dan
menjaga agar pemuda pelajar Sumatera terpanggil untuk tampil sebagai pemimpin dan
pemandu rakyat. Dari tujuan yang yang terdapat dalam Jong Sumatranen Bond, bahwa
setiap anggota di arahkan untuk menjadi pemimpin bangsanya, maka muncullah tokoh-
tokoh nasionalis Sumatera terutama dari suku Minangkabau (Sumatera Barat), karena
anggota dan pengurusnya sebagian besar berasal dari Minangkabau seperti Mohammad
Hatta, Mohammad Yamin, Nazir Datuk Pamoentjak, Mohammad Amir dan lain-lain.
100
Melalui peranan mereka dalam wadah Jong Sumatranen Bond telah memberikan
kesukuan dan kedaerahan menuju pada persatuan dan kesatuan bangsa yaitu
Nasionalisme Indonesia.
Indonesia yaitu Mohammad Hatta yang juga pernah menjadi anggota Jong Sumatranen
berdampak luas terhadap dunia internasional, karena digerakannya pada saat konferensi
internasional seperti yang diselenggarakan di Paris (Perancis), Brusel (Belgia) dan lain-
lain. Dampak tersebut tentunya dirasakan di tanah air termasuk pada organisasi Jong
kemudian digerakkan oleh Jong Sumatranen dan organisasi pemuda pelajar lainnya
kongres pemuda pertama tahun 1926. Pada kongres pemuda pertama tersebut tidak
menghasilkan keputusan penting. Namun pada kongres kedua tahun 1928 sebagai
sebagai penegasan identitas bangsa Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
101
Namun pada kongres pemuda kedua tahun 1928, masih belum terbentuk fusi organisasi
menjadi Pemuda Sumatra tahun 1929) dan organisasi pemuda lainya seperti Jong Java,
Jong Indonesia dan lain-lain untuk memfusi semakin kuat, maka melalui keputusan
Muda, yang secara resmi badan fusi terbentuk pada 1 Januari 1931. Sedang Jong
Sumatranen Bond (Pemuda Sumatra) dibubarkan pada tahun 1930 melalui suatu upacara
yang pimpin oleh Mohammad Yamin, bertempat di gedung Gang Kenari Jakarta pada
tahun 1930. Dengan demikian, berkahirlah perjuangan yang dilakukan oleh Jong
Sumtranen Bond (Pemuda Sumatra). Bagi Jong Sumatra pembubaran dan memfusinya
kemajuan zaman dan mengarah pada suatu perkembangan yang lebih besar.
berkembang semakin besar, melainkan semakin melemah, padahal pada saat itu
berdasarkan kedaerahan, keagamaan, organisasi orang dewasa atau partai politik dan
tersebut untuk bergabung dengan Indonesia Muda. Hal ini keterbatasan keanggotaan
Indonesia Muda yang hanya untuk pemuda pelajar. Disamping itu masuk pendudukan
102
Ada suatu hal menarik pada pergerakan pemuda pada saat itu, dikala usia
upaya mewujudkan suatu negara bangsa yang lepas dari penindasan kolonialisme asing,
dan jauh berbeda dengan kondisi pemuda pelajar sekarang, yang lebih terbawa oleh arus
globalisasi.
bermanfaat dalam perbandingan masa lalu, sekarang dan di masa yang akan datang.