Pemutusan Kontrak Dalam Kontrak Kerja Kontruksi Yang Berdimensi Publik

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

PEMUTUSAN KONTRAK DALAM KONTRAK KERJA KONTRUKSI

YANG BERDIMENSI PUBLIK

Abdul Muin, H. Bastianon, Yoyon M. Darusman


Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum (S2) Pasca Sarjana Universitas Pamulang
Email: [email protected]

Abstract :
The issue of Government development projects financed by the APBN of the fiscal year 2018 was
abandoned as the background of the author conducting this research. This study analyzes the basis legal
issues and procedures for termination of contracts as well as the implementation of the base/principle of
proportionality towards service users and service providers due to termination of contracts in the
Construction Contract Number: 07.24 / HK-02.03 / PKP-CK / 2018 Date March 27, 2018. The method
used was Juridical research empirically by conducting qualitative analysis. Termination of the contract is
done unilaterally by the Commitment Making Officer (CMO) based on Letter Number HK.02.03 / PKP-CK
/ 28.07 dated November 30, 2018. The Service Provider performs a default by ignoring Article 1266 and
Article 1267 of the Civil Code, through the stages of the proof meeting (Show Cause Meeting) and warning
letters for 3 (three) times. CMO does not use its discretion to provide Service Providers with the opportunity
to extend time to finish work after the end of the contract period on December 23, 2018, referring to Article
93 point (1a) of Presidential Regulation Number 4 year 2015 and Article 4 of Minister of Finance
Regulation Number: 243 / PKM.05/2015 dated December 28, 2015 for 50 (fifty) calendar days or 90
(ninety) calendar days. The implementation of the principle of proportionality due to termination of
contracts which implies private law and public law has not been implemented adequately and in balance,
because the determination of sanctions is only charged to the Service Provider in the form of disbursement
of guarantees (advanced money and implementation) and the determination of the blacklist with cumulative
sanctions, whereas sanctions against Service Users are not regulated either in the contract documents or
in the provisions of the legislation.

Keywords: Termination of Contract, Construction Work Contract, Public Dimension

Abstrak :
Isu adanya proyek pembangunan Pemerintah yang dibiayai oleh APBN Tahun Anggaran 2018 terbengkalai
sebagai latar belakang penulis melakukan penelitian. Penelitian ini menganalisa masalah dasar hukum dan
prosedur pemutusan kontrak serta penerapan asas/prinsip proporsionalitas terhadap pengguna jasa dan
Penyedia Jasa akibat pemutusan kontrak dalam Kontrak Kerja Konstruksi Nomor : 07.24/HK-02.03/PKP-
CK/2018 Tanggal 27 Maret 2018. Metode yang digunakan penelitian yuridis emprisi dengan melakukan
analisa kualitatif. Pemutusan kontrak dilakukan sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
berdasarkan Surat Nomor HK.02.03/PKP-CK/28.07 Tanggal 30 November 2018. Penyedia Jasa
melakukan wanprestasi dengan mengenyampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KHUPerdata, melalui
tahapan rapat pembuktian (Show Cause Meeting) dan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali. PPK tidak
menggunakan diskresinya memberikan kesempatan perpanjangan waktu kepada Penyedia Jasa untuk
menyelesaikan pekerjaan setelah berakhirnya masa kontrak tanggal 23 Desember 2018, mengacu pada
Pasal 93 butir (1a) Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor : 243/PKM.05/2015 Tanggal 28 Desember 2015, yaitu selama 50 (lima puluh) hari kalender atau
selama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Penerapan prinsip proporsionalitas akibat pemutusan kontrak
yang berimplikasi hukum privat dan hukum publik belum di implementasikan secara memadai dan
seimbang, karena penetapan sanksi hanya dibebankan kepada Penyedia Jasa berupa pencairan jaminan
(uang muka dan pelaksanaan) dan penetapan daftar hitam (black list) dengan sanksi yang bersifat
komulatif, sedangkan sanksi terhadap Pengguna Jasa tidak diatur secara jelas baik dalam dokumen kontrak,
maupun yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci : Pemutusan Kontrak, Kontrak Kerja Konstruksi, Dimensi Publik

49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penelitian dilakukan berkenaan dengan adanya isu bahwa PT. Konirisa selaku penyedia jasa tidak
dapat menyelesaikan pekerjaan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak kerja kontruksi
Nomor:07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal 27 Maret 2018 sehingga proyek pembangunan
permukiman perdesaan Kawasan Jawai Selatan Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat telah
dilakukan pemutusan kontrak oleh PPK selaku Pengguna Jasa.
Akibat pemutusan kontrak maka proyek pembanguna tersebut menjadi terbengkalai. Atas
dasar hal tersebut telah dilakukan audit oleh Ispektorat Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat. Disamping itu juga telah menimbulkan protes keberatan dari masyarakat Kawasan Jawai Selatan,
dengan dilaporkannya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kementrian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat selaku Pengguna Jasa dan PT. Konirisa selaku Penyedia Jasa telah dilaporkan kepada
Aparat Penegak Hukum (APH) berdasarkan Laporan Polisi Nomor : L1 / 31 / III / 2019 / Ditreskrimsus-3,
tanggal 18 Maret 2019.
Dasar hukum kontrak kerja konstruksi Nomor: 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal
27 Maret 2018 adalah Pasal 1 butir 8 jo Pasal 46 Ayat (1)(2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Jasa Konstruksi, yaitu keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan
penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan kontruksi. Kontrak kerja konstruksi dalam KUHPerdata
diatur dalam Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1615 KUHPerdata Buku Ke Tiga Tentang Perikatan pada
Bagian Ke Enam Tentang Pemborongan Pekerjaan digunakan istilah perjanjian pemborongan untuk
kontrak kerja konstruksi.
Sebagai suatu bentuk kontrak kerja, kontrak tersebut harus dibuat sesuai dengan
ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu kontrak diperlukan empat
syarat, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Dengan telah memenuhi unsur-unsur syarat sahnya
kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata, maka secara hukum berlakulah asas Pacta
Sunt Servanda, sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang berarti bahwa atas segala kontrak yang telah
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Dengan demikian, para
pihak yang membuat kontrak tersebut harus tunduk dan patuh isi kontrak.
Dalam perpektif hukum perdata, pemutusan kontrak secara sepihak yang dilakukan oleh
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) selaku pengguna jasa, merupakan salah satu cara untuk memutuskan
perjanjian, yang diakibatkan adanya perbuatan wanprestasi yang dilakukan PT. Konirisa selaku penyedia
jasa, hal ini diatur dalam pasal 1267 KUHPerdata yang mengatur bahwa terhadap pihak yang perikatannya
tidak dapat dipenuhi dapat memilih apakah ia jika hal itu masih dapat dilakukan memaksa pihak yang lain
untuk memenuhi perjanjian ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian disertai pergantian biaya
kerugian dan bunga.
Pembatalan perjanjian yang bersifat timbal balik yang diatur dalam pasal 1266
KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal ini wanprestasi dari debitur tidak menyebabkan perjanjian batal
demi hukum, namun pembatalan ini harus diajukan kepada hakim. Menurut Subekti pembatalan perjanjian
dalam pasal 1266 KUHPerdata dapat dikaitkan dalam perikatan bersyarat, hal ini disebabkan adanya
pandangan undang-undang bahwa kelalaian debitur merupan suatu syarat batal. Kelalaian atau wanprestasi
tidak secara langsung menyebabkan batal atau membatalkan suatu perjanjian, seperti halnya dengan syarat
batal dalam suatu perikatan bersyarat, sebab dalam kelanjutan pasal 1266 KUHPerdata terdapat keharusan
untuk meminta pembatalan perjanjian kepada hakim, sehingga dapat dipahami bahwa kelalaian debitur
bukanlah suatu syarat batal, melainkan suatu putusan hakim.1
“Pemutusan kontrak kerja kontruksi bila dilihat dari ketentuan Pasal 93 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2015 yang telah diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dapat dilakukan
bukan hanya disebabkan penyedia jasa melakukan wanprestasi, tetapi juga pemutusan kontrak bisa terjadi
bila penyedia jasa kontruksi terbukti melakukan KKN, kecurangan dan atau pemalsuan dalam proses
pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang dan atau adanya pengaduan tentang
penyimpangan prosedur, dugaan KKN, dan atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan
pengadaan barang/jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang”. 2
Dalam perjanjian Nomor: 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal 27 Maret 2018 yang dibuat
antara Pemerintah yang diwakili oleh PPK dengan PT. Konirisa bersumber dari Anggaran Belanja Negara
(APBN) murni tahun anggaran 2018. Oleh karenanya, tidak cukup dilihat dalam perspektif hukum perdata,

1
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 12 (Jakarta:Intermasa,1990) hal.50
2
Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat atas Perpres No. 54 Tahun 2010
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 93 (1)

53
tetapi juga harus dilakukan pendalaman. Dalam perspektif hukum publik, apakah dalam pemutusan kontrak
tersebut terdapat penyimpangan prosedur administrasi yang dilakukan oleh PPK sebagai pejabat publik dan
apakah ada terjadi kerugian keuangan negara. Adanya keterlibatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
sebagai wakil pemerintah yang melibatkan sebagai subjek hukum dalam kontrak, dan adanya penggunaan
Keuangan Negara (APBN), serta adanya kepentingan umum, merupakan karakteristik pemutusan kontrak
dalam kontrak kerja kontruksi terdapat dimensi publik.

Rumusan Masalah
a. Bagaimana dasar hukum dan prosedur pemutusan kontrak dalam kontrak kerja kontruksi yang
berdimensi publik pada perjanjian (Kontrak Harga Satuan) pekerjaan pengembangan permukiman
perdesaan Kawasan Jawai Selatan Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat Nomor:
07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal 27 Maret 2018?
b. Bagaimana penerapan prinsip proporsionalitas terhadap Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa akibat
pemutusan kontrak kerja dalam kontrak kontruksi yang berdimensi publik pada perjanjian (Kontrak
Harga Satuan) pekerjaan pengembangan permukiman pedesaan Kawasan Jawai Selatan Kabupaten
Sambas Provinsi Kalimantan Barat Nomor: 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal 27 Maret 2018?

Tujuan Dan Manfaat Penelitian


Tujuan Penelitian ini terdiri dari Melakukan analisa tentang dasar hukum dan prosedur pemutusan
kontrak dalam kontrak kerja kontruksi pada perjanjian (Kontrak Harga Satuan) pekerjaan pengembangan
permukiman perdesaan Kawasan Jawai Selatan Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat Nomor:
07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal 27 Maret 2018.
Menganalisa penerapan prinsip proporsionalitas terhadap Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa akibat
pemutusan kontrak dalam kontrak kerja konstruksi pada perjanjian (Kontrak Harga Satuan) pekerjaan
pengembangan permukiman pedesaan Kawasan Jawai Selatan Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan
Barat Nomor: 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal 27 Maret 2018.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum baik dalam kajian teoritis, maupun dapat
diaplikasikan dalam praktek. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi dalam
bidang ilmu hukum khususnya dalam kontrak bisnis.
Manfaat teoritis Bagi mahasiswa ilmu hukum ataupun akademisi lainnya dapat dijadikan studi
perbandingan dalam melakukan penelitian tentang kontrak kerja
Manfaat praktis Dapat dijadikan sebagai kajian dan bahan perbandingan dalam diklat-diklat dan
pelatihan pengadaan jasa konstruksi bagi pejabat pemerintah (Pejabat pengguna anggaran, kuasa pengguna
anggaran, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengelola teknis kegiatan, dan pejabat lainnya sebagai
pengelola pengadaan barang dan jasa.),Dapat bermanfaat bagi penyedia jasa dalam melaksanakan kegiatan
pekerjaan kontrak kerja kontruksi, Dapat bermanfaat bagi apparat penegak hukum dan aparat pengawas
internal pemerintah (APIP).

54
Kajian Teori
Terdapat tiga teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari:
Teori Utama (Grand Theory) Teori Negara Kesejahteraan (welfare state) oleh Prof. Mr. R.
Kranenburg. Prof. Mr. R. Kranenburg mengungkapkan “negara harus secara aktif mengupayakan
kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan
mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.”3
Teori Menengah (Middle Theory) Teori Perjanjian dari Subekti “Perjanjian adalah suatu peristiwa
di mana seseorang berjanji kepada orang lian, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal”.4
Teori Penerapan (Applied Theory) Teori Tentang Tanggung Jawab Hukum dari Hans Kelsen dan
Satjipto Rahardjo. “Konsep tanggung jawab hukum berkaitan erat dengan konsep hak dan kewajiban.
Konsep hak merupakan suatu konsep yang menekankan pada pengertian hak yang berpasangan dengan
pengertian kewajiban. Pendapat yang umum mengatakan bahwa hak pada seseorang senantiasa berkorelasi
dengan kewajiban pada orang lain”. 5

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan hukum empiris dengan
spesifikasi bersifat deskriptif. Yang dapat dilihat dari permasalahan yang akan dibahas mengenai
pemutusan kontrak dan akibat hukum dalam Kontrak Kerja Kontruksi Pengembangan Permukiman
Perdesaan Kws. Jawai Selatan, Kab. Sambas, Prov. Kalimantan Barat Nomor: 07.24/HK.02.03/PKP-
CK/2018 tanggal 27 Maret 2018. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan
kualitatif. Sumber data primer mencakup wawancara dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) selaku
pengguna jasa dan PT. Konirisa selaku penyedia jasa terkait dengan permasalahan yang akan diteliti.

PEMBAHASAN
Pengorganisasian Kegiatan Kerja Konstruksi atau Pengorganisasian pelaksanaan kontrak
pekerjaan konstruksi bertujuan untuk membentuk hubungan atau ikatan berbagai pihak yang terlibat dalam
pekerjaan konstruksi untuk mencapai tujuan yang sama (berkaitan dengan Biaya yang tersedia. Mutu yang
harus dicapai, Waktu yang telah ditetapkan). Penyelenggaraan konstruksi terdiri yaitu :
1. Pengguna Anggaran (PA);
2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
4. Tim Pendukung Teknis (PPTK Pengawas) dan
5. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.

Hubungan / ikatan dalam Organisasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yaitu :


1. Hubungan Fungsional
Yaitu hubungan / ikatan yang terbentuk atas dasar keterkaitan pekerjaan, baik berdasarkan
kontrak maupun tidak. yaitu : hubungan antara konsultan perencanaan dengan kontraktor,
Kontraktor dengan Konsultan Pengawasan.
2. Hubungan Kontraktual
Yaitu hubungan / ikatan yang terbentuk melalui mekanisme kontrak sehingga memiliki
kekuatan hukum. yaitu : hubungan antara Pemilik bangunan konstruksi dengan Kontraktor,
Kontraktor dengan Sub Kontraktor.

3
Prabu Bathara Kresno, Implementasi Teori Negara Kesejahteraan di Indonesia,
https://www.indonesiana.id/read/127150/implementasi-teori-negara-kesejahteraan-di-indonesia, Tanggal
10 Maret 2020 Pukul 09.52.
4
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 12, (Jakarta : Intermasa, 1990), Hal. 1.
5
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 55

55
Hubungan Kontraktual
Hubungan Fungsional / Komunikasi
- (Wakil / Penuh) Pemil /
SATKER / PPK Owner
- Pengendalian Pelaksanaan

KONSULTAN KONTRAKTOR
SUPERVISI

Berdasarkan Hasil Penelitian, bahwa Kontrak Kerja Nomor: 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018


tanggal 27 Maret 2018 antara PPK pada Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat selaku
Pengguna Jasa dengan PT. Konirisa selaku Penyedia Jasa dalam Pekerjaan Pengembangan Kawasan
Permukiman Perdesaan Kawasan Jawai Selatan Kabupaten Sambas. Nilai kontrak tersebut adalah sebesar
Rp 9.938.889.000,00- (sembilan milyar sembilan ratus tiga puluh delapan juta delapan ratus delapan puluh
sembilan ribu rupiah) yang dilakukan pada tahun paket pekerjaan anggaran tahun 2018 dengan masa
pelaksanaan selama 270 hari kalender (29 Maret 2018 s/d 23 Desember 2018), dengan disertai persentase
realisasi pekerjaan sebesar 50,88%. PT. Konirisa selaku Penyedia Jasa tidak dapat menyelesaikan
pekerjaan sesuai dengan target penyelesaian pekerjaan yang tertera di dalam kontrak (wanprestasi) karena
berdasarkan Hasil Rapat Pembuktian (Show-Cause Meeting) Tahap 1, Tahap 2 dan Tahap 3. PT. Konirisa
selaku Penyedia Jasa tidak dapat memenuhi kewajibannya sehingga dilakukan teguran atau somasi ke-1,
ke-2 dan ke-3 oleh PPK.
Atas dasar hal tersebut maka PPK telah melakukan pemutusan sepihak berdasarkan surat dari PPK
Pengembangan Kawasan Permukiman Provinsi Kalimantan Barat Nomor Hk.02.03/PKP-CK/28.07
Tanggal 30 November 2018 karena penyedia tidak menyelesaikan pekerjaan sebagaimana tertuang dalam
kontrak nomor 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 Tanggal 27 Maret 2018 beserta addendumnya.
Progress pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh PT. Konirisa selaku Penyedia Jasa, berdasarkan
pemeriksaan (opname) yang dilaksanakan pada tanggal 06 Desember 2018 sampai dengan 07 Desember
2018 yang dilaksanakan bersama oleh Tim Satker, PPHP, Konsultan Supervisi dan perwakilan Penyedia
Jasa Konstruksi dan dinyatakan bahwa realisasi fisik pekerjaan sampai dengan tanggal 6 Desember 2018
adalah 50,88% dari kontrak dan realisasi pembayaran sampai dengan tanggal 6 Desember 2018 sebesar Rp
5.258.575.817,.
Akibat pemutusan kontrak, maka PT. Konirisa selalu Penyedia Jasa telah dikenakan sanksi berupa
pencairan uang muka dan pencairan jaminan pelaksanaan serta selaku Penyedia Jasa dimasukkan ke dalam
daftar hitam (black list).
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi ketentuan yang mengatur
pemutusan kontrak hanya diketemukan dalam ketentuan Pasal 47 ayat 1 butir i, yang berbunyi :
“Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja
Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak”. Dilihat dari aspek
hukum perdata, pemutusan kontrak merupakan salah satu cara untuk memutuskan perjanjian yang
diakibatkan dari wanprestasi yang dilakukan oleh debitur. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1267 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KHUPerdata) yang mengatur, bahwa terhadap pihak
yang perikatannya tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian,
disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.
Y. Sogar Simanora (2017) mengatakan, “dalam kontrak yang dibuat oleh pemerintah, keabsahan
merupakan isu hukum yang sangat penting. Di samping ditentukan oleh persyaratan pelelangan (tender),
keabsahan kontrak juga ditentukan oleh isinya dan terpenuhinya syarat kewenangan pada pejabat dalam
membuat dan menandatangani kontrak mewakili organ publik atau lembaga pemerintahan. Demikian juga
hal-hal yang menyangkut aspek pelaksanaan kontrak”.6
Kontrak Kerja Konstruksi Nomor 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018 tanggal 27 Maret 2018
ditandatangani oleh PPK dan oleh PT. Konirisa pada 27 Maret 2018, yang mana PPK bertindak mewakili

6
Y. Sogar Simanora, Hukum Kontrak : Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah di Indonesia, (Surabaya : LaksBang PRESSindo, 2017), Hlm. 10.

56
pemerintah sebagai pejabat yang diberikan kewenangan peraturan perundang-undangan untuk
menandatangani kontrak pengadaan pemerintah.
“Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa” 7
Atas dasar uraian tersebut dapat dipahami bahwa kontrak kerja konstruksi antara PPK selaku
Pengguna Jasa dan PT. Konirisa sebagai Penyedia Jasa telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KHUPerdata.
yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Cukup untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Adapun dasar/alasan pemutusan kontrak karena Penyedia Jasa tidak dapat menyelesaikan
pekerjaan sesuai yang diperjanjikan dalam kontrak (wanprestasi). Setelah dilakukan Rapat Pembuktian
Test Cause Meeting (SCM) 3 dan telah diberikan teguran (somasi) ke 3 (tiga) atas kegagalan prestasi
pekerjaan dan tidak dapat memenuhi action plan sesuai SCM ke-3 (tiga).
Pemutusan kontrak secara sepihak dengan mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal
1267 KHUPerdata diatur dalam syarat-syarat umum kontrak (SSUK) yaitu suatu dokumen yang merupakan
satu kesatuan dan bagian yang tak terpisahkan dari kontrak Nomor : 07.24/HK.02.03/PKP-CK/2018
tanggal 27 Maret 2018.
Dari hasil analisa walaupun tahapan dan prosedur pemutusan kontrak telah dilalui melalui Test
Cause Meeting (SCM) dan somasi, ternyata bahwa PPK tidak ada menggunakan diskresinya dengan
memberikan kesempatan berupa “perpanjangan kontrak” maupun berupa “pemberian kesempatan waktu”
untuk melaksanakan pekerjaan kepada PT. Konirisa selaku Penyedia Jasa, sampai batas waktu berakhirnya
kontrak tanggal 23 Desember 2018 dan memberikan kesempatan waktu selama 90 (sembilan puluh) hari
kalender, terhitung dari batas waktu berakhirnya kontrak (tanggal 23 Desember 2018).
Diskresi dari PPK yang berorientasi pada asas pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi dan Pasal 93
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.05/2015 Tanggal 28 Desember 2015 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/Pmk.05/2014 Tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam
Rangka Penyelesaian Pekerjaan Yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran. Dalam
upaya untuk mengurangi resiko terbengkalainya kegiatan proyek kontruksi. Kebijakan/diskresi sejalan
dengan ketentuan pasal 1267 KHUPerdata yang menyatakan bahwa “terhadap pihak yang perikatannya
tidak dipenuhi dapat memilih apakah jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain
untuk memenuhi perjanjian. Ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggatian biaya
kerugian dan bunga”.
Aturan yang mengatur tentang pemberian kesempatan melanjutkan pekerjaan bila penyedia tidak
mampu menyelesaikan pekerjaan hingga berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan, yaitu :
a. Pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang intinya menyatakan bahwa PPK dapat memberikan kesempatan selama
50 hari untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan kepada penyedia yang wanprestasi,
namun diserta dengan denda. Pemberian kesempatan ini dapat melewati tahun anggaran.
b. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.05/2015 Tanggal 28 Desember
2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/Pmk.05/2014
Tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan Yang Tidak
Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran, yang pada intinya menyatakan
penyelesaian sisa pekerjaan dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya, dengan cara
pemberian kesempatan menyelesaikan keseluruhan pekerjaan sampai dengan 90
(sembilan puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan. Syaratnya
:PPK yakin, Penyedia merasa mampu, dan KPA (dapat berkonsultasi dengan APIP)
bersedia menyediakan anggaran di tahun berikutnya.
Dalam pemutusan kontrak kerja konstruksi yang berdimensi publik mempunyai aspek hukum
yang kompleks, karena dalam kontrak kerja konstruksi terdapat beberapa aspek hukum yang terkait. Aspek
hukum yang terkait dengan kontrak kerja konstruksi pemerintah diantaranya aspek hukum perdata, aspek
hukum pidana dan aspek hukum Administrasi.
Untuk menentukan tanggung jawab para pihak sebagai akibat dari pemutusan kontrak sebagai
akibat hukum sering kali terjadi kesulitan dalam menentukan batasan antara fakta-fakta hukum yang
merupakan cidera janji (wanprestasi) yang terkait dengan dimensi hukum privat, dan fakta-fakta hukum

7
Perpres No. 4/2015. Pasal 1 butir 7.

57
berupa melawan hukum pidana korupsi yang terkait dengan dimensi hukum publik. Yang membedakan
antara perbuatan melawan hukum perdata dengan perbuatan pidana adalah bahwa sesuai dengan sifatnya
sebagai hukum publik, maka dalam perbuatan pidana ada kepentingan umum yang dilanggar, disamping
kepentingan individu. Sedangkan dengan perbuatan melawan hukum perdata maka yang dilanggar hanya
kepentingan pribadi saja. Batasan fakta-fakta hukum yang termasuk cidera janji (wanprestasi), yaitu jika
penyedia jasa konstruksi dalam melaksanaan pekerjaan konstruksi tidak sesuai isi kontrak menyangkut :
waktu penyelesaian pekerjaan, kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan yang diserahkan kepada pengguna
jasa sesuai dengan fakta yang tertuang dalam spesifikasi isi kontrak. Sedangkan aspek hukum administrasi
bisa berupa denda administrasi, penarikan kembali keputusan TUN ataupun sanksi kepegawaian.
Adanya tanggung jawab Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa tersebut harus diimbangi dengan
kepastian hukum bahwa setiap kesalahan dapat dituntut, serta dapat diberi sanksi agar pihak-pihak yang
terlibat dalam kontrak terhindar atau tidak mau melakukan kesalahan yang dapat merugikan pihak lain.
Dalam hal pemberian sanksi atas kesalahan yang terjadi itu perlu diatur dalam regulasi yang memuat
keseimbangan antara kesalahan yang terjadi dengan sanksi yang hendak diterima. Dengan cara demikian,
maka hubungan kontraktual akan berjalan dengan proporsional karena dilandasi oleh suatu kepastian
hukum.
Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan oleh karena kesalahan penyedia, maka konsekuensinya
adalah :
a. Jaminan Pelaksanaan;
- Dicairkan dan disetorkan ke Kas Daerah dan Negara;
- Pencairan yang jaminan pelaksanaan yang habis masa berlakunya diminta
diperpanjang atau di potong dari hak pembayaran oleh penyedia 5% atau
dilakukan pembayaran oleh penyedia;
- Bila bank/asuransi tidak bersedia mencairkan jaminan meskipun jaminan masih
berlaku maka dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
- Bila jaminannya paslu maka diproses sebagai perbuatan pidana.
b. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia atau jaminan uang muka dicairkan;
- Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia;
- Pembayaran dipotong uang muka yang telah diterima;
- Jika tidak ada pembayaran atau kurang pembayarannya, maka dicairkan
jaminan uang muka;
- Apabila terdapat kelebihan pencairan, maka sisanya dikembalikan kepada
penyedia.
c. Penyedia jasa dikenakan Sanksi Daftar Hitam (black list).
Sanksi Daftar Hitam adalah sanksi yang diberikan kepada Peserta
pemilihan/Penyedia berupa larangan mengikuti Pengadaan Barang/Jasa di seluruh
Kementrian/Lembaga/Perangkat Daerah dalam jangka waktu tertentu. Daftar Hitam
Nasional adalah kumpulan sanksi daftar hitam yang ditayangkan pada Portal
Pengadaan Nasional. Menurut ketentuan Pasal 91 ayat (1) huruf v dan huruf w
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, LKPP akan menetapkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah tentang Sanksi Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Dari uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dipahami bahwa implikasi dan resiko hukum
akibat pemutusan kontrak dalam kontrak kerja konstruksi yang berdimensi publik, walaupun berlaku asas-
asas hukum perjanjian (kontrak), akan tetapi melekat kepentingan publik yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan, sehingga asas kebebasan berkontrak yang bersifat terbatas.Penerapan
sanksi terhadap Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa bukan hanya perdata, tetapi juga bisa sanksi administrasi
dan pidana (pidana korupsi) yang bersifat kumulatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hanya berupa
sanksi administratif yang kumulatif dikenakan pada PT. Konirisa selaku Penyedia Jasa. Akibat melakukan
wanprestasi yaitu sanksi pencairan jaminan uang muka, pencairan jaminan pelaksanaan dan dimasukannya
daftar hitam (black list)

58
PENUTUP
Kesimpulan
Dasar dan Prosedur Pemutusan Kontrak dilakukan dengan mengenyampingkan ketentuan Pasal
1266 dan Pasal 1267 KHUPerdata dengan terlebih dahulu dilakukan rapat pembuktian atau Show Case
Meeting (SCM ke 1,2 dan 3) dan dilakukan teguran secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali oleh PPK kepada
Penyedia Jasa (PT. Konirisa). PPK tidak memberikan kesempatan perpanjangan waktu setelah berakhirnya
masa kontrak (tanggal 23 Desember 2018) selama 90 (semilan puluh) hari kalender, sebagaimana diatur
dalam Pasal 93 Ayat (1) butir a2. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK-05/2015 Tanggal 28 Desember 2015 akibat
tidak diberikan kesempatan perpanjangan waktu maka kegiatan proyek menjadi terbengkalai.
Berkenaan penerapan asas proporsionalitas sebagai akibat hukum pemutusan kontrak, belum
mencerminkan asas proporsionalitas, karena penetapan sanksi hanya bersifat sepihak, dibebankan kepada
Penyedia Jasa dengan sanksi yang cukup berat karena sanksi yang dijatuhkan kepada Penyedia Jasa bersifat
komulatif, yaitu berupa pencairan uang jaminan (uang muka, uang jaminan pelaksanaan) dan
dimasukannya Penyedia Jasa dalam daftar hitam (black list). Sedangkan penetapan sanksi terhadap
Pengguna Jasa bila PPK melaksanakan suatu kesalahan/kelalaian tidak diatur secara jelas baik dalam
kontrak yang telah disepakati oleh para pihak, maupun yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Saran
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi yang sampai saat ini belum ada
peraturan pemerintahnya. Peraturan yang bersifat teknis masih mempergunakan Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2000 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2015 jo Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2016 Tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang implementasinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan jasa
konstruksi yang terus berkembang secara cepat. Atas dasar hal tersebut, pemerintah harus segera membuat
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jas Konstruksi.
Kedudukan pemerintah sebagai pemilik kegiatan (Pengguna Jasa) dalam Pengadaan Jasa
Konstruksi, harus menempatkan posisi bukan hanya sebagai badan hukum privat, akan tetapi sebagai badan
hukum publik yang berkewajiban untuk memberikan pelayanan bagi kepentingan masyarakat (publik).

DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, M. (2017). Perkembangan Kejahatan Dalam Upaya Penegakan Hukum Pidana: Penanggulangan
Kejahatan Profesional Perdagangan Organ Tubuh Manusia. PROCEEDINGS HUMANIS
UNIVERSITAS PAMULANG, 2(1).
Iqbal, M. (2018). Implementasi Efektifitas Asas Oportunitas di Indonesia Dengan Landasan Kepentingan
Umum. Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, 9(1), 87-100.
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2017).
Simamora Y. Sogar, Hukum Kontrak : Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah di Indonesia, (Surabaya : LaksBang PRESSindo, 2017).
Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, (Bandung : 1995).
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Buryerlyk wetboek), (Jakarta: Peradnya Paramita, 2004).
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 12, (Jakarta : Intermasa, 1990).
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 1987).
SUSANTO, S., Sarwani, S., & Afandi, S. (2018). Analisis Kinerja Keuangan Untuk Mengetahui Tingkat
Kesehatan, Pertumbuhan Dan Prospek Usaha Pada Unit Usaha Koperasi (Studi Kasus Koperasi
Awak Pesawat Garuda Indonesia di Tangerang). INOVASI, 1(1).
Susanto, S. (2018). Kedudukan Hasil Audit Investigatif Pada Kekayaan Badan Usaha Milik Negara Persero
Dalam Hukum Pembuktian Pidana di Indonesia. Jurnal Cita Hukum, 6(1), 139-162.
Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, (Jakarta : Kencana, 2017).
Suswinanrno, Mengantisipasi Resiko Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta : Visimedia,
2013).
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

59
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi; Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 54 Tahun 1999 Tanggal 7 Mei 1999.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyalahgunaan Yang Bersih dan Bebas Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Tanggal 30 Mei
Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi; Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 95 Tahun 2010 Tanggal 5 Agustus 2010.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ketiga Atas Tanggal
21 November 2016.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Tanggal 2 November 2015.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat atas Perpres
No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 172 Tahun 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 243/PMK.05/2015 Tanggal 28 Desember 2015
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 194/PMK-05/2014 Tentang
Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan Yang Tidak Terselesaikan Sampai
Dengan Akhir Tahun Anggaran.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 07/PRT/M/2011 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan
Konstruksi dan Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultasi.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor : 31/RT/M/2015 Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor : 07/PRT/M/2011 Tentang
Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultasi.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor : 12/PR/M/2017 Tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun (Design and Build).
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 Tentang
Layanan Penyelesaian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa.

60

You might also like