Telaah Tafsir Sufi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

INTERPRETASI SUFISTIK DALAM AL-QUR’AN

(Telaah Kritis Penafsiran Sufistik Atas Ayat-ayat Al-Qur'an)

Ahmad Syatori
Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah Surabaya
Email: [email protected]

Abstract
This scientific study contains various commentaries on Sufism and
patterns of Sufistic ijtihad thought patterns in understanding the
content of the Qur'anic meaning in Ishari (cues) through intuitive
approaches (Inspiration). As we know, that interpretation is an
instrument of knowledge tools that studies and discusses the various
maqoshids (aims and objectives) contained in the Qur'an in accordance
with the limits of human ability through methods of interpretation with
various disciplines of interpretation. For this reason, interpretation is
one of ushuludin's most basic and major sciences and has a very high
position among other ushuludin sciences. Because, the object of study
and discussion is kalamullah (al-Qur'an al-Karim). The existence of
diverse interpretations is as evidence of freedom in the interpretation of
the Qur'an. However, of course it remains within the boundaries of the
corridor standard rules for the interpretation of disciplines. In the
world of interpretation, the types of interpretation that exist and are
known so far are language patterns, philosophical-theological patterns,
schemes of scientific interpretation, fiqh-tasawuf features and literary
styles of social culture and other features. Along with the development
of Sufism and its flow, Sufists also participate and participate in
contributing and contributing to the values of existing Islamic
teachings. They try to interpret the Qur'an in accordance with the
ideology of Sufism that they profess, namely by using a particular
method of interpretation called Ishari or Sufi interpretation. In general,
interpreters in the context of interpreting the Qur'an textually are more
inclined to understanding meanings in a dzohir (explicit) manner.
However, in contrast to the normal interpretation of Sufis, they besides
understanding the Qur'anic side in terms of its outwardness textually,
also place more emphasis on understanding the inner contextual
(implied).

Keywords: sufism, sufi, tafsir, al-qur'an.

Volume 10, Nomor 2 (Agustus 2020) 208


Abstrak
Kajian ilmiah ini di dalamnya memuat berbagai ulasan tentang sisi
tasawuf dan corak pola pemikiran ijtihad para sufistik dalam
memahami isi kandungan makna al-Qur'an secara ishari melalui
pendekatan-pendekatan intuitif. Sebagaimana kita ketahui, bahwa tafsir
adalah merupakan instrumen alat pengetahuan yang mengkaji dan
membahas tentang berbagai maqasid (maksud dan tujuan) yang
terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan batasan kemampuan
manusia melalui metode penafsiran dengan berbagai disiplin ilmu tafsir.
Oleh karena itulah, tafsir adalah salah satu ilmu ushuludin yang paling
pokok dan utama serta memiliki kedudukan yang sangat tinggi di
antara ilmu-ilmu ushuludin lainnya. Sebab, objek kajian
pembahasannya adalah wahyu Allah. Adanya corak penafsiran yang
beraneka-ragam adalah sebagai bukti akan kebebasan dalam penafsiran
al-Quran. Namun demikian, tentu tetap dalam batas-batas koridor
pakem aturan disiplin ilmu tafsir. Dalam dunia tafsir, corak-corak tafsir
yang ada dan dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat-
teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih-tasawuf dan corak sastra
budaya kemasyarakatan serta corak-corak lainnya. Seiring dengan
perkembangan tasawuf dan alirannya, para sufi juga ikut berperan serta
dan berpartisipasi dalam memberikan sumbangan dan kontribusi
terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang ada. Mereka berusaha
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan faham tasawuf yang mereka anut,
yaitu dengan menggunakan metode tafsir secara khusus yang disebut
tafsir ishari atau tafsir sufi. Pada umumnya, para ahli tafsir dalam
rangka menafsirkan al-Qur'an secara tekstual lebih cenderung pada
pemahaman-penahaman makna secara tersurat. Akan tetapi berbeda
dengan kelaziman penafsiran para sufistik, mereka di samping
memahami sisi al-Qur'an dari segi tekstual, juga lebih menekankan
pada pemahaman batiniyah secara tersirat.

Kata kunci: tasawuf, sufi, tafsir, al-qur'an

Pendahuluan
Pertumbuhan ilmu tafsir dapat dikatakan sejak diturunkannya
al-Qur'an. Sebab, begitu al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhamad
Saw. sejak itulah beliau melakukan tafsir. Dalam pengertian yang
sederhana yaitu memahamkan dan menjelaskannya kepada para sahabat.

209 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH


Beliau adalah orang pertama yang menguraikan al-Qur’an dan
menjelaskannya kepada umat.1
Berkembangnya ilmu tafsir memiliki banyak versi sesuai
perkembangan zaman. Setiap mufassir yang memiliki potensi keahlian
dalam bidang keilmuan tertentu, akan menghasilkan tafsiran yang
sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Inilah yang menyebabkan
munculnya berbagai macam corak penafsiran yang ada selama ini,
salah satunya adalah tafsir yang bercorak sufi. Akan tetapi, tafsir sufi
tidak dapat berkembang seperti halnya tafsir fiqh dan tafsir lainnya. Hal
ini disebabkan karena banyak orang yang merasa berat untuk menerima
tafsir sufi dengan alasan bahwa tafsir sufi dicurigai sebagai ajaran yang
menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah.
Di Indonesia penulisan kitab tafsir telah dimulai sejak abad XVI
dan masih berlanjut hingga saat sekarang. Setiap penafsiran pada abad
yang berbeda akan menghasilkan corak penafsiran yang berbeda pula.
Oleh karenanya, penulis akan membahas tentang tafsir yang bercorak
sufi. Pertama, penulis akan membahas tentang pengertian tafsir sufi,
“ Apasih tafsir sufi itu?” . Kemudian tentang latar belakang munculnya
tafsir sufi dan karakternya. Selanjutnya, akan penulis sebutkan juga
beberapa tokoh tafsir sufi, dan yang terakhir penulis akan paparkan
salah satu contoh tafsir sufi dan model penafsirannya.

Pengertian Tafsir Sufi


Kata sufi ini mempunyai banyak pengertian salah satunya ialah
bahwa suf (‫ ) صوف‬berasal dari madli dan mudlari’ ‫ ي صوف صاف‬yang
mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah
yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana.
Namun, tidak semua orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal dari madli dan
mudlari’‫ ي ص فو ص فا‬yang mempunyai arti jirnih, bersih. Hal ini
menaruh penekanan pada pemurnian hati dan jiwa. Dapat diambil
kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme
yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan
memurnikan hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tafsir sufi adalah penafsiran al-Qur’an yang berlainan dengan
dzahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal
itu dilakukan oleh orang-orang sufi, orang yang berbudi luhur dan
terlatih jiwanya, yang diberi nur cahaya oleh Allah Swt. sehingga dapat

1
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. III, (Yogyakarta: Teras, 2010), 27.
Volume 10, Nomor 2 (Agustus 2020) 210
menjangkau rahasia-rahasia al- Qur’ an. Mereka menafsirkan ayat-ayat
al Qur’ an sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang
berhubungan dengan kesufian yang kadang-kadang berlawanan dengan
“ Syari’ at Islam” dan terkadang pula pemikiran mereka tertuju pada
hal yang berbeda tentang Islam.2
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi. 3 Sesuai
dengan pembagian dalam dunia tasawuf, tafsir ini juga dibagi menjadi
dua, yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawuf al-Nazari disebut juga
dengan Tafsir al-Shufi al-Nazari, dan yang sejalan dengan tasawuf
amali disebut tafsir al faidhi atau tafsir al-ishari.

Perkembangan Tafsir Sufi


Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah Saw.
yang berbunyi:
ْ ‫ط ٌن َو ِل ُك ِّل َح ْرفٍ َحدٌّ َو ِل ُك ِّل َح ٍدّ َم‬
‫طلَ ٌع‬ ْ ‫ظ ْه ٌر َو َب‬
َ ‫ِل ُك ِّل ا َي ٍة‬
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf
memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki
tempat untuk melihatnya.”

Hadits di atas, adalah dalil yang digunakan oleh para sufi untuk
menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik
makna dzahir, dalam redaksi teks al-Qur’an tersimpan makna batin.
Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru
misalnya, mengibaratkan makna dzahir seperti badan, sedang makna
batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati. Tidak
heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam
teks al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu
bukanlah unsur asing (Gharib).4
Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau
diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab
dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali
menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( ‫ا‬ ) yang secara
dzahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-
Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa)
kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah

2
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al- Qur’ an Perkenalan dengan Metode
Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1987), 76-77.
3
Moh Quraish Shihab, Sejarah & Ulum al Qur’ an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001),
180.
4
Ahmad asy-Syibashi, Sejarah Qur’ an, (Jakarta: pustaka Firdaus,1994), 133.
211 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH
engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari
pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata” . 5 Kita boleh setuju
atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan
memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya
seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran
yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa
bisa mempertanyakan penalaran dibalik penafsiran tersebut. Tidak ada
penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash al-Qur’an
dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi
itu melihat nash al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu.
Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir ishari, yang
pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “ menafsirkan al-
Qur’an tidak dengan makna dzahir, melainkan dengan makna batin,
karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun
demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan
makna zahirnya.

Corak Tafsir Sufi


Sufi adalah nama bagi para pengamal ajaran tasawuf. Tasawuf
merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam,
karena di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu yang
dikenal luas di dunia Timur dan Barat, tasawuf juga mempunyai
banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik. Para ulama
berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi
karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Qur’an
ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau
tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para
ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya
dalam bidang sufistik. Di samping itu, telah banyak bermunculan
karya-karya tafsir produk ulama sufi, namun corak tafsir sufi masih
sering dicurigai secara berlebihan oleh para pengikut aliran lain. Corak
tafsir sufi/ishari terlampau menekankan pada makna batin dan sering
dianggap mengabaikan makna lahir. Corak tafsir sufi semacam ini lebih
dekat dengan tafsir simbolik, yaitu tafsir yang berusaha menguak
hakikat dasar sebuah makna di balik teks atau nash.6 Di antara karya
5
Ahmad al-Syurbasi, Qishashah al-Tafsir, (Beirut: Dar-al-Jayl, 1988), 89.
6
Titus Burchardt, Mengenal Ajaran Tasawuf, terj. Bachtiar Effendi dan Azyumardi
Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 17.
Volume 10, Nomor 2 (Agustus 2020) 212
tafsir ulama sufi yang paling terkenal adalah al-Futuhat karya Ibn al-
Arabi, Tafsir al-Qur’an al-Azim karya al-Tastari dan Haqaiq al-Tafsir
karya al-Salmi.7

Karakteristik Tafsir Sufi


Dalam metodologi penafsiran al-Qur’ ’an, bentuk ataupun
metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi
oleh latar belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya
itu sangat kental dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun
karekteristik yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal
dengan istilah corak (laun).Kata “ laun” yang dalam arti dasarnya
adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau
karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam
tafsir.
Karakteristik tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya
gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak
terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang
membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi
paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah
menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha
penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi
atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
Dari kecenderungan gerakan tasawuf yang telah disebutkan di
atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Qur’an,
sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nazari dan
tafsir sufi ishari.

Tafsir Sufi Nazari


Tafsir Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk
mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut
mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir menekankan makna
yang tidak terikat, terutam jika berkaitan dengan tujuan utamanya yaitu
untuk kemaslahatan manusia. Dalam kitab al-Jabiri, Al-Dhahabii
mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam prakteknya adalah
pensyarahan Al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta
apa yang dimaksudkan oleh syara’ .8

7
Ignas Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar, (Baerut Libanon:
Dar Iqra’ , 1983 ), 31.
8
Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘ Aql al-‘ Arabi, (Baerut: Markaz Dirasat al-
Wahdat al-Arabiyah, 1990), 137.
213 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu
Syaikh Muhyiddin Ibn al-Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir
sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan
Al-Qur’ ’an. Karya tafsir Ibn al-‘ Arabi di antaranya al-Futuhat al-
Makiyat dan al-Fushush al-Hikam. Ibnu al-‘ Arabi adalah seorang sufi
yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud
dalam teori sufi adalah paham adanya penyatuan antara manusia
dengan Tuhan.
Dalil al-Qur’an tentang paham ini di antaranya: Pertama, al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186: "Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". Kata do’ a
yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’ a
dalam arti doa’ yang lazim kita dipakai. Kata itu bagi mereka adalah
mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan
Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada
mereka.
Kedua, yaitu ayat 115 dari surat Al-Baqarah: "Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi
Maha mengetahui. Dalam keterangan dijelaskan, kata “ disitulah wajah
Allah” maksudnya adalah kekuasaan Allah meliputi seluruh alam.
Sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya,
karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
Kaum sufi yang menganut tafsir sufi nazari menafsirkannya
dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai.
Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat
dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada. Ibn al-‘ Arabi dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham
wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam
tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas
pahamnya. Al-Dhahabii berpendapat bahwa Ibn ‘ Arabi dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari isi madlul ayat yang
dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Dhahabii kelihatan

Volume 10, Nomor 2 (Agustus 2020) 214


tidak setuju atas penafsiran Ibn al-Arabi yang telah keluar dari maksud
dilalah ayat.9
Menurut Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya yang kemudian
dibukukan, Ibn ‘ Arabi tidak menyimpang. Ia masih dalam garis-garis
yang ditetspkan oleh Islam. Bahwa paham wahdat al-wujud-nya sama
sekali tidak dimaksudkan untuk mensejajarkan manusia dengan Tuhan.
Contoh penafsiran Ibn al-‘ Arabi sebagai landasan untuk memperkuat
paham wahdat al- wujud-nya di antaranya ketika menafsirkan ayat 29-
30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi: "Wadkhuli jannati", menurut
tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk
mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri
(manusia). Manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada
dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia
yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya
maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan
keberadaan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan kata lain bahwa
kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.10
Selanjutnya al-Dhahabii secara lebih panjang lebar menjelaskan
karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nazari yang dapat diringkas
sebagai berikut : Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir
nadhori sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Dhahabii
memberikan contoh tafsir nazari yang dipengaruhi filsafat yaitu
penafsiran Ibn al-’ Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam, Allah
Swt. berfirman : ,‫و َرفَ ْع َٰنَهُ َمكَانًا َع ِليًّا‬yang artinya: "Dan Kami telah
mengangkatnya ke martabat yang tinggi". Menurut al-Dhahabii
penafsiran Ibn al-Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran
filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lapadz makaanan ‘ aliyyan
dengan antariksa (alam bintang). Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-
hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak.
Dengan perkataan lain, mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata. Ketiga,
terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya
menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Nampaknya apa yang dimaksud dalam tafsir sufi nazari adalah
tafsir yang berdasarkan pada penafsiran takwil, yang berbeda dengan
tafsir pada umumnya. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nazari pada
hakikatnya adalah tafsir ishari yang secara umum dipakai oleh kaum
9
Muhammad Husein Al-Dhahabii, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II. (Kairo:
Maktabat wa Hibbah, 1995), 108.
10
Kautsar Zhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta :
Paramadina, 1995), 345.
215 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH
sufi. Tetapi tafsir nazari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan
kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang
dimaksudkan ayat secara eksoterik karena terlampau menekankan pada
sisi esoterik. Padahal keseimbangan keduanya amat dibutuhkan, tapi
tafsir sufi nazari tampak hanya menekankan makna batin di atas makna
lahir. Perlu diketahui bahwa pandangan-pandangan ataupun pendapat
yang nadanya tidak sejalan dengan pemahaman tafsir sufi secara umum
adalah merupakan bagian dari kritik terhadap mufassir sufi dengan
pandangan mereka tanpa mengetahui dan memahami makna rahasia
yang diketahui oleh para mufassir sufi. Dan hal itu dalam dunia tafsir
adalah sesuatu yang wajar.

Tafsir Sufi Ishari


Tafsir sufi atau tafsir ishari adalah pentakwilan ayat-ayat al-
Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk
khusus yang diterima para tokoh sufisme, tetapi di antara kedua makna
tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka
dalam menggunakan tafsir sufi/ishari adalah bahwa Al-Qur’ ’an
mencakup apa yang dzahir dan yang batin. Makna dzahir dari al-
Qur’ ’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna
isyarat yang ada dibalik makna tersebut. Menurut Jalaluddin Rakhmat,
Al-Sulami dan Ibn Arabi adalah bintang cemerlang dalam dunia
tasawuf, tapi dalam hal ini keduanya tampak masih berhaluan nazari.
Kedua sufi inilah yang berjasa melahirkan keragaman tafsir sufi beserta
corak dan karakteristiknya masing-masing.
Penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat dzohirnya hanya
merupakan badan atau pakaian akidah, sehingga diperlukan tafsir atau
penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut
dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup
tanpa ruh. Keseimbangan tentu ditekankan dalam tafsir ini. Untuk bisa
memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’ y,
sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’ y atau
akal.
Menurut hemat penulis metode yang dipakai dalam tafsir
tasawuf secara umum adalah takwil metode isyarat. Isyarah di sini
maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir
suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya secara batin. Mereka
menggunakan kata “ Isyarat” adalah untuk membedakannya dari
ta’ wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode
isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak
Volume 10, Nomor 2 (Agustus 2020) 216
sama dengan takwil. Sementara Jalaluddin Rakhmat sendiri secara
tegas membedakan antara tafsir dan takwil.11
Semua tafsir Ishari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus
memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.Penafsiran Ishari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan
makna zhahir.
2. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4.Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan
memungkinkan adanya makna lain selain makan zahir.
Sayyed Hoesin mengutip perkataan Al-Dhahabi yang
memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nazari
dengan tafsir sufi ishari sebagai berikut :
Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya
yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an
yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi ishari
bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi
didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu
sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
Dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua
ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna
lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi ishari asumsi dasarnya
bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik
makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna
zahir dan batin.12

Kesimpulan
Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak
lepas dari epistimogi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu
epistemology irfani yang dalam cara kerja epistimologi ini adalah
adanya konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an sebagai
makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an
adalah teks al-Qur’ ’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di
balik teks.

11
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Surat al-Fatihah, (Bandung: Rosda Krya,1999), 7.
12
Seyyed Hoesin Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hdi WM, (Jakarta,
Pustaka Firdaus: 1984), 118.
217 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH
Berdasarkan corak dan karakteristik tafsir sufi nazari dan tafsir
sufi ishari, tampak keduanya berbeda. Kalau tafsir sufi nazari terlampau
menekankan pencarian makna ayat-ayat al-Qur’an secara batin, dan
mengabaikan makna lahir, tafsir sufi ishari justru menggunakan
keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik.
Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi ishari (atau tafsir yang
menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan
batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat al-Qur’an.

Daftar Pustaka
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al- Qur’ an Perkenalan dengan
Metode Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 1987.
Shihab, Moh Quraish, Sejarah & Ulum al Qur’ an, Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2001.
Asy-Syibashi Ahmad, Sejarah Qur’ an, Jakarta: pustaka Firdaus, 1994.
Anwar, Rosihon M. Solihin dan, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008.
al-Syurbasi, Ahmad. Qishashah al-Tafsir, Beirut: Dar-al-Jayl, 1988.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,
Jakarta : UI-Press, 1986.
Rachman, Budhi Munawar, Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasr, Seyyed Hoesin, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hdi
WM, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1984.
Burchardt, Titus, Mengenal Ajaran Tasawuf, terj. Bachtiar Effendi dan
Azyumardi Azra, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Goldziher, Ignas, Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar,
Baerut Libanon: Dar Iqra’ , 1983.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-‘ Aql al-‘ Arabi, Baerut:
Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990.
Al-Dhahabii, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II.
Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995.
Zhari Noer, Kautsar, Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam
Perdebatan, Jakarta : Paramadina, 1995.
Rakhmat, Jalaluddin, Tafsir Sufi Surat al-Fatihah, Bandung : Rosda
Krya, 1999.

Volume 10, Nomor 2 (Agustus 2020) 218

You might also like