Telaah Tafsir Sufi
Telaah Tafsir Sufi
Telaah Tafsir Sufi
Ahmad Syatori
Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah Surabaya
Email: [email protected]
Abstract
This scientific study contains various commentaries on Sufism and
patterns of Sufistic ijtihad thought patterns in understanding the
content of the Qur'anic meaning in Ishari (cues) through intuitive
approaches (Inspiration). As we know, that interpretation is an
instrument of knowledge tools that studies and discusses the various
maqoshids (aims and objectives) contained in the Qur'an in accordance
with the limits of human ability through methods of interpretation with
various disciplines of interpretation. For this reason, interpretation is
one of ushuludin's most basic and major sciences and has a very high
position among other ushuludin sciences. Because, the object of study
and discussion is kalamullah (al-Qur'an al-Karim). The existence of
diverse interpretations is as evidence of freedom in the interpretation of
the Qur'an. However, of course it remains within the boundaries of the
corridor standard rules for the interpretation of disciplines. In the
world of interpretation, the types of interpretation that exist and are
known so far are language patterns, philosophical-theological patterns,
schemes of scientific interpretation, fiqh-tasawuf features and literary
styles of social culture and other features. Along with the development
of Sufism and its flow, Sufists also participate and participate in
contributing and contributing to the values of existing Islamic
teachings. They try to interpret the Qur'an in accordance with the
ideology of Sufism that they profess, namely by using a particular
method of interpretation called Ishari or Sufi interpretation. In general,
interpreters in the context of interpreting the Qur'an textually are more
inclined to understanding meanings in a dzohir (explicit) manner.
However, in contrast to the normal interpretation of Sufis, they besides
understanding the Qur'anic side in terms of its outwardness textually,
also place more emphasis on understanding the inner contextual
(implied).
Pendahuluan
Pertumbuhan ilmu tafsir dapat dikatakan sejak diturunkannya
al-Qur'an. Sebab, begitu al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhamad
Saw. sejak itulah beliau melakukan tafsir. Dalam pengertian yang
sederhana yaitu memahamkan dan menjelaskannya kepada para sahabat.
1
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. III, (Yogyakarta: Teras, 2010), 27.
Volume 10, Nomor 2 (Agustus 2020) 210
menjangkau rahasia-rahasia al- Qur’ an. Mereka menafsirkan ayat-ayat
al Qur’ an sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang
berhubungan dengan kesufian yang kadang-kadang berlawanan dengan
“ Syari’ at Islam” dan terkadang pula pemikiran mereka tertuju pada
hal yang berbeda tentang Islam.2
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi. 3 Sesuai
dengan pembagian dalam dunia tasawuf, tafsir ini juga dibagi menjadi
dua, yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawuf al-Nazari disebut juga
dengan Tafsir al-Shufi al-Nazari, dan yang sejalan dengan tasawuf
amali disebut tafsir al faidhi atau tafsir al-ishari.
Hadits di atas, adalah dalil yang digunakan oleh para sufi untuk
menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik
makna dzahir, dalam redaksi teks al-Qur’an tersimpan makna batin.
Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru
misalnya, mengibaratkan makna dzahir seperti badan, sedang makna
batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati. Tidak
heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam
teks al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu
bukanlah unsur asing (Gharib).4
Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau
diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab
dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali
menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( ا ) yang secara
dzahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-
Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa)
kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah
2
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al- Qur’ an Perkenalan dengan Metode
Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1987), 76-77.
3
Moh Quraish Shihab, Sejarah & Ulum al Qur’ an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001),
180.
4
Ahmad asy-Syibashi, Sejarah Qur’ an, (Jakarta: pustaka Firdaus,1994), 133.
211 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH
engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari
pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata” . 5 Kita boleh setuju
atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan
memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya
seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran
yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa
bisa mempertanyakan penalaran dibalik penafsiran tersebut. Tidak ada
penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash al-Qur’an
dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi
itu melihat nash al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu.
Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir ishari, yang
pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “ menafsirkan al-
Qur’an tidak dengan makna dzahir, melainkan dengan makna batin,
karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun
demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan
makna zahirnya.
7
Ignas Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar, (Baerut Libanon:
Dar Iqra’ , 1983 ), 31.
8
Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘ Aql al-‘ Arabi, (Baerut: Markaz Dirasat al-
Wahdat al-Arabiyah, 1990), 137.
213 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu
Syaikh Muhyiddin Ibn al-Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir
sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan
Al-Qur’ ’an. Karya tafsir Ibn al-‘ Arabi di antaranya al-Futuhat al-
Makiyat dan al-Fushush al-Hikam. Ibnu al-‘ Arabi adalah seorang sufi
yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud
dalam teori sufi adalah paham adanya penyatuan antara manusia
dengan Tuhan.
Dalil al-Qur’an tentang paham ini di antaranya: Pertama, al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186: "Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". Kata do’ a
yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’ a
dalam arti doa’ yang lazim kita dipakai. Kata itu bagi mereka adalah
mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan
Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada
mereka.
Kedua, yaitu ayat 115 dari surat Al-Baqarah: "Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi
Maha mengetahui. Dalam keterangan dijelaskan, kata “ disitulah wajah
Allah” maksudnya adalah kekuasaan Allah meliputi seluruh alam.
Sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya,
karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
Kaum sufi yang menganut tafsir sufi nazari menafsirkannya
dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai.
Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat
dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada. Ibn al-‘ Arabi dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham
wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam
tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas
pahamnya. Al-Dhahabii berpendapat bahwa Ibn ‘ Arabi dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari isi madlul ayat yang
dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Dhahabii kelihatan
Kesimpulan
Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak
lepas dari epistimogi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu
epistemology irfani yang dalam cara kerja epistimologi ini adalah
adanya konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an sebagai
makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an
adalah teks al-Qur’ ’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di
balik teks.
11
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Surat al-Fatihah, (Bandung: Rosda Krya,1999), 7.
12
Seyyed Hoesin Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hdi WM, (Jakarta,
Pustaka Firdaus: 1984), 118.
217 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH
Berdasarkan corak dan karakteristik tafsir sufi nazari dan tafsir
sufi ishari, tampak keduanya berbeda. Kalau tafsir sufi nazari terlampau
menekankan pencarian makna ayat-ayat al-Qur’an secara batin, dan
mengabaikan makna lahir, tafsir sufi ishari justru menggunakan
keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik.
Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi ishari (atau tafsir yang
menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan
batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al- Qur’ an Perkenalan dengan
Metode Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 1987.
Shihab, Moh Quraish, Sejarah & Ulum al Qur’ an, Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2001.
Asy-Syibashi Ahmad, Sejarah Qur’ an, Jakarta: pustaka Firdaus, 1994.
Anwar, Rosihon M. Solihin dan, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008.
al-Syurbasi, Ahmad. Qishashah al-Tafsir, Beirut: Dar-al-Jayl, 1988.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,
Jakarta : UI-Press, 1986.
Rachman, Budhi Munawar, Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasr, Seyyed Hoesin, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hdi
WM, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1984.
Burchardt, Titus, Mengenal Ajaran Tasawuf, terj. Bachtiar Effendi dan
Azyumardi Azra, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Goldziher, Ignas, Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar,
Baerut Libanon: Dar Iqra’ , 1983.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-‘ Aql al-‘ Arabi, Baerut:
Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990.
Al-Dhahabii, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II.
Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995.
Zhari Noer, Kautsar, Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam
Perdebatan, Jakarta : Paramadina, 1995.
Rakhmat, Jalaluddin, Tafsir Sufi Surat al-Fatihah, Bandung : Rosda
Krya, 1999.