Pasak Bumi
Pasak Bumi
Pasak Bumi
KA
HURIP PRATOMO
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
KA
BU
Bogor, November 2011
R
TE
Hurip Pratomo
NRP B061050011
S
TA
SI
E R
IV
N
U
i
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
ABSTRACT
Pasak bumi is popular in the traditional medical herb that is believed can
increase the secondary reproduction characters such as: 1. libido and 2. the
duration of erection. Here a reported the research that focus on: 1. sexual
behavior of the male white rat treated by pasak bumi. and the better dose of pasak
bumi that indicated highest libido. 2. mechanism of pasak bumi in the hypophysis
cells that produce reproduction hormones including: acidophile and basophile
cells distribution, the response of luteinizing hormone (LH) cells and the response
of follicle stimulating hormone(FSH) cells. 3. The works of pasak bumi in the
KA
production of testosteron 4. The works of pasak bumi in the development stage of
spermatogenesis in the seminiferous tubule. 5. The works of pasak bumi in the
quality of semen in cauda epididymis including profile of cauda epididymis ductus
BU
diameter, some parameters of macroscopical and microscopical semen quality.
Research carried out in five experiments; experiment 1. using the designed cage
R
to observe the male white rat behavior seduced by female oestrus in separating
TE
wire net. Then, the male white rat administered orally by various doses of pasak
bumi to find out the best dose. Experiment 2, using HE staining method to study
micromorphological distribution of the acidophile and basophile cells in
S
response of LH cells of the male rat hypophysis treated by pasak bumi, also using
immunohistochemical staining method to study the response of FSH cells.
SI
Experiment 3.using the RIA method to measure testosterone level in blood serum.
Experiment 4.using HE staining method to study micromorphological of the
R
reflected the male white rat libido were: a. face to face meeting, b. moving close
U
to wire net partition, c. scratching the wire net partition. 2.The optimal dose of
pasak bumi resulted highest libido was 18 mg/200 g bw (body weight) compared
with 100 mg/200 g bw, 200 mg/200 g bw, and the control (1 ml aquadest). 3.
Basophyle cells increased significantly in the third day of pasak bumi
administration; LH cells strongly significantly response to produce LH hormone
within cells in the third day; FSH cells weakly response (non significantly) to
produce FSH hormone within cells in the third day. 4. The level of testosterone in
plasma increased significantly in the third day of pasak bumi administration. 5.
The last spermatid actively increased in the third day. 6. The quality of semen in
the cauda of epididymis increased significantly in the third day of pasak bumi
administration.
Keywords: pasak bumi, libido, LH cells, FSH cells, testosterone, semen quality.
ii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
RINGKASAN
Pasak bumi sudah lama dikenal masyarakat sebagai obat tradisionil untuk
afrodisiaka. Seduhan serbuk akar pasak bumi dengan air jika diminum beberapa
kali dipercaya dapat meningkatkan libido, ketahanan ereksi pria, dan memulihkan
kesegaran tubuh. Serbuk akar pasak bumi seberat 1 g dengan air seduhan 100 ml
diminum pria dewasa sekali setiap hari selama tiga hari dipercaya oleh
masyarakat tradisionil dapat meningkatkan libido dan nafsu makan. Diketahui dari
penelitian bahwa pasak bumi membangkitkan libido tikus jantan tua berumur 24
KA
bulan yang lemah daya seksual dengan pemberian minum fraksi air pasak bumi
dua kali sehari selama 10 hari dengan dosis 100 mg/200 g bobot badan
(bb).Walaupun demikian informasi/data dari kerja pasak bumi yang berkaitan
BU
dengan fungsinya sebagai afrodisiaka masih sangat sedikit. Dengan demikian,
perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap kinerja pasak bumi (Eurycoma
R
longifolia Jack) pada beberapa aspek terkait fungsinya dalam fisiologi
TE
reproduksi jantan yang dapat menjadi model dalam memahami alur kerja pasak
bumi pada manusia.
Tujuan penelitian adalah menentukan kerja pasak bumi pada:1. Tingkah
S
laku libido tikus putih jantan pada kandang pengamatan yang meliputi: 1).
TA
indikator tingkah laku libido, dan 2) dosis terbaik diantara dosis yang telah ada;2.
Aktivitas sel hipofisis yang meliputi: 1). sebaran sel-sel asidofil dan basofil pada
SI
epididimis dan kualitas semen di dalam kauda epididimis yang meliputi: 1).
perubahan diameter kauda epididimis, 2) kualitas semen secara makroskopis
N
mikroskopis).
Metode penelitian untuk menentukan kerja pasak bumi dilakukan dalam
lima tahap sebagai berikut:1. Penentuan tingkah laku libidodan dosis terbaik
melalui pengamatan individual tikus jantan yang digoda tikus betina estrus di
dalam kandang bersekat jaring kawat selama 10 menit. Hewan coba menggunakan
tikus putih jantan dewasa Rattus norvegicus strain Sprague Dawley berumur 3
½ bulan dan tikus betina untuk penggoda berumur 3 ½ bulan. Metode untuk
menentukan dosis terpilih dilakukan dengan membandingkan frekuensi tertinggi
yang mencerminkan tingkah laku libido diantara empat kelompok perlakuan
dosis. Kelompok1 dosis seduhan serbuk pasak bumi 18 mg/200g bb
tikus,kelompok 2 dosis seduhan 100 mg/200 g bb dalam 1 ml aquades, kelompok3
dosis seduhan 200 mg/200 g bb dalam 1 ml aquades,sebagai kontrol kelompok 4
dengan pemberian 1 ml aquades. Perlakuan pemberian per oral pasak bumi pada
hari ke-1, 2, dan 3.Dosis optimal terbaik digunakan untuk penelitian tahap
iii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
lanjutan. 2. Metode untuk menentukan kerja pasak bumi pada aktivitas sel
hipofisis dilakukan dengan pendekatan histologi dan imunohistokimia
menggunakan teknik pewarnaan hematoksilin eosin (HE), pewarnaan
imunohistokimia anti-antibodi hormon FSH, pewarnaan imunohistokimia anti-
antibodi hormon LH; 3. Penentuan taraf konsentrasi testosteron di dalam darah
menggunakan metode radioimmunoassay (RIA); 4. Pengukuran kerja pasak bumi
pada perkembangan tahap spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi dilakukan
dengan pendekatan teknik pewarnaan HE pada beberapa tingkat perkembangan
sel-sel spermatozoa; 5. Pengukuran diameter saluran-saluran dalam kauda
epididimis dilakukan dengan pendekatan histologi menggunakan pewarnaan HE,
evaluasi kualitas semen kauda epididimis dilakukan secara makroskopis (evaluasi
makroskopis) dan mikroskopis (evaluasi mikroskopis).
Temuan hasil penelitian sebagai berikut:1. Terdapat 15 tingkah laku
libidotikus selama 10 menit dalam kandang pengamatan kelompok kontrol tanpa
perlakuan pasak bumi dan dengan betina estrus. Tingkah laku tersebut adalah:
KA
mendekati sekat/betina, berdiri bertumpu dengan kaki belakang, berputar,
mengendus sekeliling, mengusap muka dengan kaki depan, mengais/ menggigit
sekat betina, bertemu muka/hadapan muka,mengendus-endus
BU
atas,mengais/mendorong sekam, menggaruk muka dengan kaki belakang, diam di
pojok, menjilat kaki depan, menjilat kaki belakang, menjilat pangkal ekor, dan
R
makan sekam.Tiga tingkah laku utama yang mencerminkan libido yaitu:
TE
mendekat betina, mengais/ menggigit sekat betina, dan bertemu muka/ hadapan
muka. Analisis membandingkan perlakuan dosis kelompok 1, 2, 3, dan 4
menemukan bahwa dosis yang meningkatkan libido secara nyata ditimbulkan oleh
S
pemberian minum akar pasak bumi dosis seduhan 1 sebesar 18 mg/200g bb(=90
TA
mg/kg bb) pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-3; 2. Hasil penentuan kerja
pasak bumi pada aktivitas sel hipofisis menemukan yaitu: 1) sel-sel basofil
SI
meningkat aktivitasnya secara nyata pada hari ke-3 pemberian pasak bumi
dibanding kontrol hari ke-1 dan 3 serta pemberian pasak bumi hari ke-1, 2)
R
aktivitasnya secara nyata pada hari ke-3 dibanding kontrol hari ke-1 dan 3 serta
IV
pemberian pasak bumi hari ke-1, 3) aktivitas sel-sel hormonal FSH dengan
pemberian pasak bumi sampai hari ke-3 tidak berbeda nyata dengan kontrol hari
N
ke-3;3. Pengukuran kerja pasak bumi pada produksi testosteron serum darah
U
memperoleh temuan bahwa kadar testosteron diproduksi lebih tinggi secara nyata
setelah pemberian pasak bumi hari ke-3 (9,73 ng/ml) dibanding hari ke 1 (4,00
ng/ml) dan kontrol hari ke-1(0,5 ng/ml) dan hari ke-3 (2,46 ng/ml); 4.Penentuan
kerja pasak bumi pada tahapan spermatogenesis dalam tubuli seminiferi
menemukan bahwa proses pembentukan spermatid akhir meningkat secara nyata
pada hari ke-3 dibanding tahap sel sperma lainnya pada hari ke-1 dan kontrol hari
ke-1 dan 3; 5. Pengukuran diameter kauda epididimis dan kualitas semen
memperoleh temuan bahwa: 1) diameter saluran-saluran kauda epididimis tidak
berbeda nyata secara statistik pada hari ke-3 pemberian pasak bumi dibanding hari
ke-1 dan kontrol, 2) evaluasi makroskopis menunjukkan pH semen tidak berbeda
nyata sampai hari ke-3 perlakuan pasak bumi.Warna semen putih susu sampai
hari ke-3 perlakuan pasak bumi dibanding hari ke-1 dan kontrol, konsistensi
semen kental tidak berbeda nyata sampai hari ke-3 bumi dibanding hari ke-1 dan
kontrol. 3) evaluasi mikroskopik memperoleh: persentase motilitas spermatozoa
iv
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
tidak berbeda nyata setelah pemberian pasak bumi hari ke-3 dibanding hari ke-1
dan kontrol, konsentrasi spermatozoa (juta/ml) meningkat secara nyata setelah
pemberian pasak bumi hari ke-3 dibanding kontrol hari ke-1 dan 3, persentase
hidup spermatozoa meningkat nyata setelah pemberian pasak bumi hari ke-3
dibanding kontrol, persentase abnormalitas spermatozoa menurun jumlahnya
secara nyata setelah pemberian pasak bumi hari ke-3 dan hari ke-1 dibanding
kontrol.Secara keseluruhan dari semua tahapan penelitian yang telah dilakukan
menjelaskan bahwa kerja pasak bumi dengan dosis seduhan 18 mg/200g bb
meningkatkan kualitas libido dan organ-organ yang berfungsi dalam reproduksi
jantan secara nyata pada hari ke-3 dibanding kontrol hari ke-1 dan 3.
Kata kunci: pasak bumi, libido, sel-sel LH, sel-sel FSH, testosteron, kualitas
semen.
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
v
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
KA
BU
HURIP PRATOMO
R
TE
S
Disertasi
TA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
vii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
Penguji Luar pada Ujian Tertutup : 1. Dr. dra. R. Iis Arifiantini, M.Si.
U
viii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
KA
Disetujui
Komisi Pembimbing
BU
R
TE
Diketahui
Dr. drh. M. Agus Setiadi Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
ix
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
PRAKATA
KA
lingkungan FKH IPB saudara Iwan, Maman, Soleh, Bondan, mahasiswa tingkat
akhir 2010 FKH IPB Alimansyah, Ridi Arif dan Tamy, kakak dan adik tingkat di
Program Studi BRP Pascasarjana IPB, serta teman sejawat di Program Studi S-1
BU
Biologi dan FMIPA UT.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta:
R
almarhumah Hj. Werdiyati dan almarhum H. Hendro Prayitno (Purn TNI dan
TE
Veteran RI) yang selama hidupnya tidak terhitung jasanya kepada penulis.Terima
kasih juga kepada istri:Evy Sylvia dan anak-anak: Fauzan, Hibban, Hasnan, dan
adik-adik penulis: Hugeng, Heni, Ira, Ida, Handayani, dan paman: H. Sudibjo
S
Soepardi yang telah mendukung penuh keikhlasan untuk kelangsungan studi dan
TA
penyelesaiannya.
Terima kasih kepada pihak berwenang di Kementrian Pendidikan Nasional
SI
yang telah membantu dana melalui Hibah Bersaing tahun 2009 dan beasiswa
BPPS Dikti (tahun 2005-2008). Serta terima kasih kepada Dekan FKH IPB dan
R
wakilnya, para penguji luar komisi pada sidang tertutup dan sidang terbuka, dan
E
semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu studi
IV
berlipat ganda. Serta hasil penelitian ini bisa berguna bagi yang memerlukannya,
Amin.
xi
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
RIWAYAT HIDUP
KA
meneruskan studi pada jenjang S-3 di Program Studi Biologi Reproduksi (BRP)
IPB pada bulan September tahun 2005 dengan bantuan beasiswa BPPS Dikti
BU
Kemendiknas.
R
Penulis diterima sebagai dosen pada Jurusan Biologi, FMIPA, UT sejak
TE
tahun 1988, dan menjadi PNS tahun 1989. Sebelum itu penulis aktif dalam
Biological Science Club (BScC) UNAS tahun 1984-1986, Ketua INSECTA di
S
TA
1988 di Jl. Abdul Rahman Saleh Jakarta. Penulis pernah menjadi Ketua Program
R
Studi S-1 Biologi FMIPA UT, tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Penulis
E
pernah menjadi dosen tidak tetap pada FIKES UHAMKA di Jl. Limau V Radio
IV
FKUI), tahun 2000 sampai 2003. Juga pernah menjadi dosen tidak tetap pada
STIKES Kesosi Jakarta dan Akbid Primahusada Bogor tahun 2006-2007.
Selama menempuh progam pendidikan jenjang S-3 (doktor), penulis
telah menyajikan karya ilmiah yang berjudul: Kemungkinan Mekanisme Pasak
Bumi Pada Tubuh, pada Seminar Nasional FMIPA UT Tahun 2009. Menulis
artikel ilmiah yang akan dimuat pada Jurnal Matematik Sains dan Teknologi
volume 12 nomor 2, 2012 berjudul: Perubahan Sebaran Sel-Sel Asidofil dan
Basofil Hipofisis Pengaruh Pemberian Pasak Bumi (Eurycoma longifoliaJack).
Penulis juga menulis artikel ilmiah yang akan dimuat pada Jurnal Kefarmasian
Indonesia volume 2 nomor 2 Tahun 2012 berjudul: Tingkat Aktivitas Sel
xii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
xiii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
DAFTAR ISI
Halaman
KA
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 5
Feromon pada Hewan .................................................................... 5
BU
Afrodisiaka untuk Manusia dan Efek Kerjanya ............................. 5
Tumbuhan Pasak Bumi ................................................................. 8
R
Khasiat Pasak Bumi pada Reproduksi Hewan Coba ....................... 9
Kandungan Kimia Pasak Bumi ..................................................... 12
TE
Tikus Putih Rattus norvegicus Strain Sprague Dawley ................. 13
Morfologi Hipofisis Anterior dan Hormon yang Dihasilkan........... 15
S
Testosteron ................................................................................... 20
Struktur Morfologi Testis .............................................................. 22
Semen ......................................................................................... 25
SI
JANTAN .................................................................................................. 30
N
Abstrak ....................................................................................... 30
U
Pendahuluan .................................................................................. 31
Bahan dan Metode ........................................................................ 32
Hasil dan Pembahasan ................................................................... 38
Kesimpulan .................................................................................. 44
Daftar Pustaka ............................................................................... 44
xiv
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
KA
Kesimpulan .................................................................................. 88
Daftar Pustaka ............................................................................... 89
BU
KINERJA PASAK BUMI PADA DIAMETER DAN KUALITAS
SEMEN DALAM KAUDA EPIDIDIMIS ...............................................
R 90
Abstrak ....................................................................................... 90
TE
Pendahuluan ................................................................................. 91
Bahan dan Metode ........................................................................ 92
Hasil dan Pembahasan ................................................................ 97
S
xv
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kadar FSH, LH, dan testosteron dalam serum darah menurut umur
tikus jantan Sprague Dawley ................................................................ 20
KA
6. Distribusi sel-sel asidofil dan basofil pada hipofisis setelah perlakuan
pasak bumi dan kontrol aquades pada hari ke-1 sampai ke-3 ................. 56
BU
7. Jumlah sel penghasil LH pada hipofisis setelah perlakuan kontrol R
aquades dan pasak bumi pada hari ke-1 sampai hari ke-3 ...................... 59
TE
aquades dan pasak bumi pada hari ke-1 sampai hari ke-3 ..................... 85
U
xvi
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
DAFTAR GAMBAR
Halaman
KA
6. Ilustrasi tahapan proses spermatogenesis pada tubuli seminiferi ........... 19
BU
7. Testosteron .......................................................................................... 21
R
8. Ilustrasi potongan membujur testis ....................................................... 23
TE
xvii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
KA
5. Sebaran sel penghasil hormon LH pada hipofisis anterior
A. kontrol hari ke-3 dan B. perlakuan pasak bumi pada hari ke-3 ......... 130
BU
6. Grafik rerata jumlah sel penghasil FSH pada hipofisis anterior R
setelah perlakuan kontrol dan pasak bumi pada hari ke-1 dan ke-3 ........ 131
TE
xviii
Koleksi Perpustakaan Universitas terbuka
40645.pdf
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdagangan sediaan bahan tanaman obat atau disebut simplisia obat
herbal di dunia semakin penting. Sebagai contoh di Amerika Serikat telah
diformulasikan obat herbal sejumlah 45 macam. Dari sejumlah 45 macam obat
herbal yang diperdagangkan tersebut, 14 spesies berasal dari Indonesia
(Sampoerno 2003). Perdagangan obat herbal di Asia membutuhkan simplisia
tanaman obat dalam jumlah banyak, mengingat jumlah penduduk Asia yang lebih
dari tiga milyar orang. Peluang perdagangan obat herbal yang besar sudah
dimanfaatkan oleh Cina yang merupakan pusat produksi obat herbal terbesar di
KA
Asia dan mampu menghasilkan devisa untuk Asia sebesar enam milyar dolar AS
BU
pada tahun 1998 (Depkes 2003). Walaupun demikian untuk nilai ekspor tanaman
obat dan olahannya pada tahun 2003 Indonesia meraih 35 juta dolar AS. Nilai
R
perolehan itu masih sedikit dibandingkan nilai ekspor yang diperoleh Cina pada
TE
tahun 2002, yaitu sekitar 250 juta dolar AS (Menteri Pertanian RI 2004).
S
Penderita gangguan ereksi pada tahun 2001 tercatat sekitar 1000 – 2000
TA
pria yang datang ke RSCM untuk berobat. Jumlah tersebut mungkin lebih banyak
lagi karena sebagian pria malu untuk berkonsultasi ke dokter (Sampoerno 2003).
SI
Sementara itu afrodisiaka yang berasal dari Indonesia dan cukup lama dikenal
E R
Kata afrodisiaka berasal dari kata Aphrodite, yaitu nama dewi cinta seks
N
bagian tumbuhan, bagian hewan, obat, bau-bauan, atau bahan lain yang dapat
menimbulkan atau meningkatkan secara nyata keinginan seksual (libido).
Afrodisiaka juga meningkatkan potensi seks coendi yang antara lain meliputi
kemampuan ereksi dan ejakulasi (Nordenberg 2000; Ningsih 2005).
Pasak bumi atau dengan nama lain tongkat Ali adalah tumbuhan famili
Simaroubaceae, merupakan tumbuhan asli Indonesia dan Malaysia. Pohon pasak
bumi ramping dapat mencapai tinggi 15 m, dengan daun tipe pinatus berderet
menyirip teratur. Bunga pasak bumi adalah dioecious, bunga jantan dan betina
berada pada pohon berbeda. Buah masak berwarna hijau gelap kemerahan
(Kardono et al. 2003; Lemmens 2003).
Ekstrak pasak bumi dengan pelarut air didapati kandungan antara lain
komponen fenol, tanin, polisakarida, glikoprotein, dan mukopolisakarida,
juga di dalamnya termasuk eurikomanon dan longilakton (Ang & Lee 2002). Di
samping itu, tiga jenis kuasinoid, yaitu eurikolakton A, B, dan C berhasil diisolasi
dari akar pasak bumi (Ang et al. 2000), sedangkan dari batang dan kayu pasak
bumi diperoleh kandungan yang sitotoksik terhadap sel karsinoma dalam
percobaan, yaitu 11 dehidroklainenon, eurikomalakton, dan 5,6
dehidroeurikomalakton (Itokawa et al. 1992).
Wijayakusuma (1994) dan Kardono et al. (2003) menyatakan bahwa
seduhan serbuk akar pasak bumi dengan air jika diminum beberapa kali dapat
KA
meningkatkan libido dan ketahanan ereksi pria. Kandungan kimia akar pasak
bumi secara keseluruhan digunakan untuk memulihkan kemampuan ereksi dan
BU
kesegaran tubuh (Adimoelja 2000). Serbuk akar pasak bumi seberat 1 g dengan
R
air seduhan 100 ml diminum pria dewasa sekali setiap hari selama tiga hari dapat
TE
meningkatkan libido dan nafsu makan. (Soedibyo 1998; Kardono et al. 2003;
Biotech 2007).
S
Peranan pasak bumi dalam membangkitkan libido tikus jantan tua yang
TA
lemah daya seksual berumur 24 bulan dikaji oleh Ang et al. (2004). Pemberian
SI
minum dengan dosis 50 mg/100 g bobot badan (bb) fraksi air pasak bumi yang
R
diberikan dua kali sehari selama 10 hari dilanjutkan pengamatan melalui tingkah
E
laku menguap atau yawning dan meregangkan tubuh atau stretching. Gerakan
IV
timbul nafsu libido tikus tua. Diperoleh hasil bahwa pasak bumi berperan sebagai
U
Tujuan Penelitian
KA
penghasil hormon-hormon reproduksi pada hipofisis yang meliputi: 1). sebaran
BU
sel-sel asidofil dan basofil pada hipofisis, 2). perubahan aktivitas sel-sel penghasil
hormon FSH, 3) perubahan aktivitas sel-sel penghasil hormon LH.
R 3. Efek
pasak bumi pada peningkatan produksi hormon testosteron. 4. Kerja pasak bumi
TE
pasak bumi pada perubahan diameter kauda epididimis dan kualitas semen yang
TA
meliputi: 1). perubahan diameter kauda epididimis, 2). kualitas semen secara
makroskopis, dan 3). kualitas semen secara mikroskopis.
SI
E R
Kerangka Pemikiran
IV
KA
kerja pasak bumi pada tubuh, yaitu pada jalur hormonal sehingga dianalisis
produksi hormon testosteron oleh sel-sel Leydig dalam testis yang disekresikan
BU
masuk peredaran darah, yang berlanjut pada pengamatan perkembangan tahapan
R
spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi serta pengkajian kauda epididimis dan
TE
kualitas semen/spermatozoa di dalamnya.
S
Hipotesis
TA
Manfaat Penelitian
Hasil temuan akan menjadi salah satu konsep dasar dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi biologi reproduksi, dan sebagai landasan
penerapan dalam penelitian herbal lainnya. Di samping itu, pemahaman kerja
pasak bumi pada tubuh akan meningkatkan kepercayaan pengguna tanaman obat
herbal khususnya jamu afrodisiaka Indonesia. Dengan demikian, dalam
aplikasinya nanti diharapkan dapat menjadi obat herbal alternatif untuk
memperbaiki kualitas organ reproduksi primer dan sekunder.
TINJAUAN PUSTAKA
KA
Connell et al. 1981).
Senyawa sekresi vaginal seperti p-hidroksibenzoat adalah salah satu
BU
komponen yang penting dari sejumlah sekresi vagina anjing dan berefek kuat
R
untuk anjing jantan mengawini segera setelah membaui senyawa tersebut,
TE
demikian pula vaginal fluids pada tikus dan hamster yang sedang estrus. Tetapi
ketika p-hidroksibenzoat tersebut diletakkan di lapangan terbuka dan tidak
S
menempel pada genital anjing betina, maka tidak ada respons dari anjing jantan.
TA
mempunyai daya tarik untuk hamster jantan mendekati tetapi tidak kuat untuk
R
bukan oleh satu senyawa saja tetapi oleh gabungan senyawa sekresi genital betina
IV
(Singer et al. 1976; O. Connell et al. 1981; Johnson & Barry 1998).
N
U
kekencangan otot dan menguatkan untuk tidak mudah lelah. Ditemukan bahwa
rangga rusa banyak mengandung insulin growth factor-1 (IGF-1).
Mempertahankan keberadaan IGF-1 dalam tubuh manusia dapat berfungsi
mempertahankan sebagai “antipenuaan”, daya tahan aktivitas fisik, fungsi otot,
kadar testosteron, dan dehidroepiandrosterone (DHEA). Rangga rusa juga
mengandung aneka asam amino, seperti valin, leucin, dan isoleucin, yang juga
berfungsi dalam regenerasi sel-sel tubuh ( Allen et al. 2002; Gerard 1989).
Som Jawa
Peran som jawa (Talinum paniculatum Gaertn) secara legenda di
KA
masyarakat adalah sebagai afrodisiaka pada pria (Wijayakusuma et al. 1996,
Kardono et al. 2003). Peranan som jawa sebagai afrodisiaka antara lain
BU
ditunjukkan dengan peningkatan libido pada tikus putih jantan yang diberikan
R
secara oral serbuk akar som jawa dalam aquades dengan dosis 100 mg /200 g
TE
bobot badan (bb). Sebagai stimulan, som jawa dengan dosis 70 mg/200 g bb
mempengaruhi susunan saraf pusat sehingga dapat memperpanjang waktu tidur
S
setengah bulan menggunakan aquades ialah 38,50 ± 6,98 x 106 per ml,
SI
meningkat dengan pemberian som jawa 50 mg/200 g bb, yaitu menjadi 62,12 ±
R
6,24 x 106 per ml. Diperoleh juga dosis LD 50 ekstrak som jawa, yaitu 644,5
E
Ginseng
U
Dosis biasa konsumsi ginseng untuk pria dewasa adalah 500-1000 mg per hari
(Allen et al. 2002; Murphy & Lee 2002).
Buah Lyci
Buah Lyci bernama ilmiah Lycium barbarum, dikenal juga dengan
sebutan wolfberry. Buah lyci yang kecil dikeringkan dan dihaluskan disajikan
seperti minuman teh. Hasil suatu studi menyebutkan lyci menghasilkan
polisakarida yang dapat melindungi organ kelamin pria dan wanita dari kerusakan
sel akibat oksidan atau radikal bebas. Kompleks protein-polisakarida Lycium
barbarum (LBP(3p)) terbukti meningkatkan ekspresi interleukin-2, sejenis protein
KA
sitokinin yang disekresikan sebagian besar oleh makrofag dan limfosit B untuk
stimulan pembentukan sel limfosit T. Kompleks protein-polisakarida Lycium
BU
barbarum juga mencegah kelelahan serta meningkatkan daya adaptasi terhadap
R
beban latihan fisik. Tetapi, harus dihindari konsumsi oleh wanita hamil dan
TE
menyusui, karena kandungan betain dapat menyebabkan keguguran (Kamhi
2004; Allen et al. 2002; Yim et al. 2003).
S
TA
Tribulus terrestris
SI
dijual di pasar yang diproduksi oleh Sidomuncul. Satu sachet jamu tersebut pada
E
Arginin
Arginin adalah senyawa asam amino non esensial yang diproduksi oleh
hati. Arginin dapat terkandung di dalam buah cokelat, daging, kacang-kacangan,
telur, santan kelapa, dan keju. Arginin di tubuh manusia mempunyai banyak
fungsi. Arginin di dalam sel tubuh mengalami perubahan menjadi nitric oxide
(atau Nitrogen Monoksida =NO) yang dapat meningkatkan jumlah aliran darah ke
dalam alat genital. Arginin juga disebutkan sebagai faktor antipenuaan karena
KA
kemampuannya memadatkan dan mengencangkan otot. Di samping itu, arginin
juga diketahui dapat meningkatkan motilitas sperma dan kesuburan wanita.
BU
Setelah melalui beberapa penelitian, arginin dipatenkan sebagai L-Arginine untuk
R
digunakan manusia (Allen et al. 2002; Meston & Worcel 2002).
TE
Yohimbin
S
Yohimbin dengan resep dokter digunakan untuk mengobati pria dan para suami
E
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
diminum pria dewasa sekali setiap hari selama tiga hari dapat meningkatkan nafsu
makan dan libido. Dosis tersebut setara dengan 1 g/ 70 kg bobot badan rata-rata
pria dewasa, jika dikonversi dengan indeks konversi dosis dari manusia ke tikus
putih, yaitu 0,018 (Donatus et al. 1998) maka dosisnya menjadi 18 mg/200 g
bobot badan tikus putih (Soedibyo 1998; Kardono et al. 2003; Biotech 2007).
Peranan pasak bumi atau Eurycoma longifolia pada kualitas seksual
dipelajari pada perilaku hewan coba, yaitu tikus putih jantan dewasa dengan
pemberian dosis 500 mg/kg bobot badan dengan berbagai fraksi pasak bumi.
Sementara grup kontrol menerima NaCl fisiologis 3 ml/kg bobot badan setiap
hari selama 12 minggu. Hasil menunjukkan bahwa pasak bumi meningkatkan
KA
kualitas seksual dengan penurunan “waktu keraguan-raguan” untuk mengawini
tikus betina dibanding kontrol, hasil grup perlakuan, yaitu dengan kisaran waktu
BU
segera kawin setelah rata-rata 600 detik pemberian pasak bumi. Berbeda nyata
R
dengan grup kontrol yang lebih lama “waktu keragu-raguan” untuk kawin rata-
TE
rata 900 detik melalui pengamatan periode waktu (Ang & Lee 2002).
Peranan pasak bumi untuk meningkatkan libido dikaji juga dengan
S
pemberian dosis 800 mg/kg bb tikus putih dan beberapa dosis lebih tinggi,
TA
pemberian dilakukan dua kali sehari selama 10 hari. Hasil menunjukkan bahwa
SI
libido tikus jantan meningkat seiring dengan peningkatan dosis serbuk pasak bumi
R
yang diberikan. Jumlah frekuensi jantan menaiki tikus betina meningkat seiring
E
dengan peningkatan dosis. Di samping itu, tikus jantan perlakuan lebih bernafsu
IV
dengan lebih sering menjilat dan menciumi organ genital betina reseptif atau
N
betina siap kawin. Para tikus jantan perlakuan juga sering kali mengusap dan
U
menjilati alat kelaminnya dengan waktu yang lebih lama dibanding hewan kontrol
yang sering menjelajah di dalam kandang. Tingkah laku seperti itu menunjukkan
libido mereka aktif dengan menikmati sensasi melalui sentuhan dan jilatan pada
organ genital jantan mereka sendiri (Ang & Lee 2002).
Pasak bumi menurut beberapa kajian oleh University Science Malaysia
mempunyai peranan meningkatkan beberapa karakter seksual, kekuatan dan
ukuran otot pada hewan coba dibanding kontrol. Di beberapa negara Asia
Tenggara pasak bumi digunakan untuk antimalaria, antidemam, antiperadangan
dan sedang diteliti kemungkinan sebagai suplemen antikanker. Selain itu, suatu
10
KA
kimia tanaman pasak bumi yang disebut alkaloid kuasinoid mempunyai
kemampuan untuk membunuh parasit malaria (Kardono et al. 2003).
BU
Peranan pasak bumi dalam menimbulkan atau membangkitkan daya
R
seksual yang lemah bagi tikus putih tua dikaji oleh Ang et al. (2004). Penelitian
TE
ini bertujuan untuk mengevaluasi daya seksual pada tikus jantan tua yang lemah
secara seksual, berumur 24 bulan dan sudah tidak dipakai untuk pejantan.
S
Perlakuan secara oral dengan dosis 20, 50, 80 mg/100 g bb (konversi dari 200,
TA
500, 800 mg/1 kg bb) seduhan serbuk akar pasak bumi yang diberikan dua kali
SI
sehari selama 10 hari. Tikus kontrol menerima 0,3 ml/100 g bb larutan garam
R
menguap dan meregangkan tubuh atau stretching karena menguap, juga gerakan
IV
yang mencerminkan adanya timbul nafsu libido yang secara turun temurun
U
11
KA
suhu tubuh yang tidak baik. Sebagian di antara pengguna dosis tinggi merasa
gelisah dan tidak sabar, akan menjadi mudah marah. Dengan demikian, akan lebih
BU
baik mengkonsumsi pasak bumi dalam dosis rendah pada periode waktu 2 sampai
7 hari (Wiart 2006). R
TE
bumi dalam berbagai pelarut seperti metanol, diklorometan atau kloroform dan
R
12
KA
BU
R
TE
(jantan)
E
13
sore hari. Tindakan pemeriksaan untuk menentukan status fase estrus dengan
vaginal smear sangat diperlukan. Perkawinan biasanya dilakukan malam hari,
walaupun kadang-kadang pada pagi atau siang hari pada suasana kandang yang
agak gelap atau remang-remang. Terjadinya perkawinan dapat dikonfirmasi
dengan adanya vaginal plug setelah 12 – 14 jam kopulasi, walaupun indikator ini
tidak sebaik yang muncul pada mencit. Keberadaan spermatozoa ketika
dilakukan vaginal smear merupakan indikator terbaik telah terjadi perkawinan
(Donatus 1998; Wilkinson et al. 2000).
Rata-rata periode kebuntingan strain Sprague Dawley adalah 22 hari,
postpartum estrus setelah melahirkan pada seekor betina subur terjadi dalam 48
KA
jam. Penyusuan yang simultan dan kebuntingan mengakibatkan implantasi
berikut tertunda 3 – 5 hari. Jumlah anak yang dihasilkan setiap induk sekitar 6 –
BU
12 ekor, anak tikus disebut pup dan bobotnya 5 – 6 g ketika lahir. Anak tikus
R
disapih setelah 3 minggu penyusuan dengan bobot menjadi 40 – 50 g. Jika
TE
postpartum estrus tidak berfungsi, tikus betina induk akan kembali mengalami
fase-fase siklus estrus kembali setelah 2 – 4 hari penyapihan (Uchino et al. 1990;
S
Siklus kelamin pada tikus betina dan mamalia betina secara alami terjadi
SI
atas empat fase yang kronologisnya berurutan, yaitu dari 1). Proestrus, 2). Estrus,
R
3). Metestrus, sampai 4). Diestrus. Di antara empat fase tersebut, fase estrus
E
Hewan betina pada fase estrus bertingkah laku ingin kawin dan penerimaan
N
yang besar terhadap hewan jantan. Pada fase estrus, folikel de Graaf menjadi
U
14
Beberapa organ dan objek yang diteliti kerja atau efeknya sebagai
respons/tanggapan terhadap pemberian bahan pasak bumi antara lain adalah:
hipofisis anterior, testosteron, testis, semen dan spermatozoa. Berikut ini uraian
mengenai organ dan objek tersebut.
KA
tepat di belakang kiasma optikum dan merupakan bagian penonjolan dari dasar
BU
hipotalamus. Hipofisis anterior adalah lobus anterior dari hipofisis yang
merupakan bagian paling besar dan penting dari organ hipofisis (Gambar 4). Pada
R
mamalia dan manusia, lobus ini kira-kira hampir 70 % dari bobot total kelenjar.
TE
Hipofisis anterior secara histologi terdiri atas sel-sel epitel kelenjar dari berbagai
S
ukuran dan bentuk tersusun dalam jalur-jalur yang relatif luas dan sirkuler serta
TA
diwarnai, 2. sel kromatin mengambil warna asam (eosinofil), seperti sel penghasil
E R
prolaktin adalah asidofilik sehingga berkaitan dengan itu disebut sel asidofil dan
IV
3. sel kromatin mengambil warna basa (basofil), sel penghasil LH dan FSH
N
adalah basofilik sehingga berkaitan dengan itu disebut sel basofil. Sel-sel
U
kromatin terletak di luar jalur dan oleh karena itu berdekatan dengan sinusoid-
sinusoid darah dan relatif mudah diwarnai (Harper et al. 1979; Norman &
Litwack 1987).
15
3
3
KA
BU
4
R
TE
Gambar 4 Skema hubungan hipotalamus dan hipofisis (Lucky 2010).
Keterangan : 1. Stimuli dari sistem saraf, releasing hormones disekresi dari
S
berurutan aktif bekerja untuk pelepasan thyroid stimulating hormone dari sel-sel
U
tirotropik pada hipofisis anterior atau anterior pituitary sebagai reaksi stimulasi
oleh TRH. Hormon prolaktin dari sel-sel laktotropik pada hipofisis anterior
sebagai reaksi stimulasi oleh TRH. Hormon LH dari sel-sel luteotropik pada
hipofisis anterior sebagai reaksi stimulasi oleh GnRH-LH. Hormon FSH dari sel-
sel folikulotroik pada hipofisis anterior sebagai reaksi stimulasi oleh GnRH-FSH.
Adrenokortikotropin dari sel-sel kortikotropik pada hipofisis anterior sebagai
reaksi stimulasi oleh CRH. Berdasarkan beberapa bukti menunjukkan bahwa LH
dan FSH dapat dikeluarkan dari sel yang sama, sehingga mungkin sel-sel
luteotropik dan sel-sel folikulotropik adalah satu dan sel yang sama, tetapi juga
16
dapat muncul dengan kedua jenis sel (Norman & Litwack 1987; Bearden et al.
2004).
KA
Gambar 5 berikut:
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
17
diteruskan dengan sintesis testosteron yang meningkat dalam waktu 20-30 menit.
Peran LH dalam meningkatkan proses sintesis testosteron tidak berjalan sendirian,
walaupun LH sebagai faktor utama tetapi diduga juga dibantu oleh peran aktivitas
hormon prolaktin dari hipofisis anterior dan inhibin yang membantu pengikatan
ke reseptor sel Leydig dalam perangsangan sintesis testosteron. Hormon
testosteron lalu menembus tubuli seminiferi dan mengikat ke reseptor-reseptor
androgen di dalam sel-sel Sertoli yang berfungsi mendukung proses
spermatogenesis. Sebagian testosteron diikat oleh androgen binding protein
(ABP), sebagian lagi akan menuju sel/jaringan target untuk perkembangan
karakter seksual sekunder (Vandenberg 1983; Norman & Litwack 1987;
KA
Johnson & Barry 1998).
Pada sisi lain, setelah GnRH-FSH disekresikan oleh hipotalamus sampai
BU
ke hipofisis, maka hipofisis anterior selanjutnya mensintesis FSH. Hormon FSH
R
terikat ke reseptor-reseptor yang berada pada bagian basal membran sel Sertoli.
TE
Lalu, merangsang kegiatan enzim adenil siklase; sintesis RNA dan protein;
memobilisasi sumber-sumber energi; pembuatan cairan testis; dan output sintesis
S
protein-protein sel Sertoli seperti ABP dan inhibin. Secara nyata, produksi protein
TA
reseptor pengikat androgen intrasel juga dirangsang oleh FSH, yang menguatkan
SI
tanggapan sel Sertoli kepada aksi dari hormon androgen. Hormon androgen pada
R
dan FSH beraksi bersama bersinergi di dalam sel Sertoli untuk mendukung penuh
IV
terjadi di dalam tubuli seminiferi tikus jantan terdiri atas lima bentuk sel secara
berurutan, yaitu: spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder,
spermatid awal, spermatid akhir (elongated). (Norman & Litwack 1987; Johnson
& Barry 1998). Skema spermatogenesis seperti berikut:
18
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
19
Tabel 1 Kadar FSH, LH, dan testosteron dalam serum darah menurut umur tikus jantan
Sprague Dawley
KA
tinggi/meningkat (660 ng/ml) yang berperan meningkatkan pembentukan
BU
spermatogonia dari sel calon spermatogonia. Kadar FSH menurun ketika tikus
jantan berumur 11-15 hari (282 ng/ml), pada saat itu penampilan histologi
R
spermatogenesis pada tubuli seminiferi tidak mengalami perubahan dibanding
TE
kontrol. Kadar FSH kembali tinggi/meningkat (421 ng/ml) pada tikus umur 26-30
S
ng/ml) dan ini berkaitan dengan penurunan jumlah spermatozoa karena sebagian
E R
Testosteron
U
20
KA
BU
R
TE
Gambar 7 Testosteron (Greenspan & Strewler 1997; Morgentaler & Schulman 2009).
S
rambut. Sementara itu, sekitar 0,3 % testosteron diubah menjadi estradiol oleh
IV
enzim aromatase (CYP19A1) suatu enzim yang diekspresikan pada otak, hati, dan
N
jaringan adiposa. Senyawa DHT adalah bentuk yang lebih poten dibanding
U
21
KA
Struktur Morfologi Testis
BU
Testis pada semua mamalia dan manusia dibungkus oleh selubung tunika
R
vaginalis suatu jaringan serosa yang merupakan perluasan dari peritonium.
TE
Jaringan serosa ini menyelubungi testis sampai turun ke skrotum dan menyentuh
sepanjang epididimis. Lapisan luar testis adalah tunika albugenia suatu membran
S
TA
putih tipis dan merupakan jaringan pengisi yang elastis. Pembuluh kapiler darah
banyak tampak persis di bawah tunika albugenia. Lapisan di bawah tunika
SI
22
KA
BU
Gambar 8 Ilustrasi potongan membujur testis. Segmen- segmen jaringan
terdiri atas: kauda epididimis, tubulus seminiferus, rete testis,
R
vasa eferentia, caput epididimis, dan saluran skrotum vas
TE
deferen (Bearden et al. 2004).
dan tingkah laku kawin normal. Di samping itu, testosteron dibutuhkan untuk
E
23
Sementara itu, FSH akan diterima oleh reseptor sel Sertoli yang terletak di
dalam tubulus seminiferus testis. Sel Sertoli di bawah pengaruh FSH akan
memicu sel-sel germinal melakukan proses awal spermatogenesis dan bekerja
merawat dan mensuplai nutrisi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan
spermatogonia. Di samping itu, sel Sertoli memproduksi inhibin, ABP dan aktifin.
Mengenai proses ereksi terjadi pada jaringan organ penis yang melibatkan antara
lain: sistem pembuluh darah, persarafan dan otot polos korpus kavernosum
(Harper et al. 1979; Norman & Litwack 1987).
Berkaitan dengan testosteron, Squires (2003) dan Bearden et al. (2004)
menjelaskan bahwa testosteron disintesis di dalam testis, yaitu oleh sel-sel
KA
Leydig di bawah kontrol LH dari kelenjar hipofisis. Setelah masuk ke dalam sel-
sel target pada hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan testis, testosteron langsung
BU
diikat oleh reseptor androgen (AR). Selanjutnya kompleks testosteron dan AR
R
mengikat gen pada rantai urutan DNA tertentu dan mengatur kejadian transkripsi
TE
gen. Proses tersebut dapat memicu dan mengatur proses spermatogenesis,
merangsang libido. Pada tahapan embrional berpengaruh pada proses diferensiasi
S
dan perkembangan dari duktus wolfian menjadi epididimis dan vas deferen. Di
TA
dari sintesis dan sekresi gonadotropin setelah mencapai kadar tertentu, sehingga
R
Testosteron setelah masuk ke dalam sel-sel target pada bagian organ sinus
IV
24
HIPOTALAMUS
GnRH
Anterior Pituitary/
Hipofisis anterior
Umpan balik
Umpan balik
negatif
negatif
FSH LH
KA
BU
Sel Sertoli Sel Leydig
dlm Tubulus seminiferus R /intertisial sel
Testis Testis
TE
Pengikatan
S
*INHIBIN *TESTOSTERON:
TA
2. Libido
R
3. Spermatogenesis
E
4. Kelenjar asesori
Gambar 9 Skema kerja hormonal reproduksi pria/jantan (Squires 2003).
IV
N
U
Semen
25
KA
semen. Spermatozoa dapat bergerak menggunakan satu ekor (flagel). Enzim-
enzim glikolitik terikat pada pembungkus ekor spermatozoa. Krisfalosi et al.
BU
(2006) menemukan bahwa pada pembungkus ekor spermatozoa terdapat enzim
R
glyceraldehydes 3 phospate dehydrogenase spermatogenic (GAPDHS), enzim ini
TE
khusus berfungsi sebagai enzim glikolitik yang dibutuhkan untuk pergerakan
spermatozoa. Enzim GAPDHS diketahui terikat pada pembungkus elastik ekor
S
spermatozoa mamalia seperti kelinci, hamster, tikus, mencit, dan oposum. Enzim
TA
Spermatozoa tikus putih jantan pada keadaan biasa atau normal dapat mengalami
U
26
KA
ekor tanpa kepala (Barth & Oko 1989; Kuster et al. 2004; Yudi et al. 2010).
Morfologi spermatozoa tikus yang abnormal dan normal menurut Saether et al.
BU
(2007) tampak pada Gambar 10.
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
27
Urutan tingkah laku libido (sexual behaviour) yang lengkap dari seekor
tikus jantan baik strain Sprague Dawley maupun Wistar terdiri atas: 1) tingkah
laku prakawin, 2) kopulasi, dan akhirnya 3) ejakulasi. 1) tingkah laku prakawin
terdiri atas: membaui senyawa feromon dan melihat betina estrus dari relatif
dekat, mendekati betina, kontak fisik dengan betina antara lain bertemu
muka/moncong, mengendus area genital betina, menjilat area genital betina. Lalu
menjilati penisnya sendiri, mengikuti betina dan sekali-sekali mencoba menaiki
betina tanpa intromisi, pada tingkah laku ini hampir semua tikus betina estrus
menerima dinaiki tikus jantan. Walaupun begitu ada sedikit betina estrus yang
KA
pada awalnya menolak halus ketika dinaiki. Setelah percobaan menaiki
BU
(mounting) beberapa kali, dilanjutkan dengan 2) kopulasi yang berlangsung
sebentar saja dan diakhiri dengan 3) ejakulasi. Berdasarkan pengamatan diperoleh
R
bahwa tikus-tikus jantan yang pernah kawin dengan kata lain berpengalaman
TE
kawin akan lebih berhasil melakukan mounting, kopulasi dan ejakulasi
dibandingkan tikus jantan yang belum pernah kawin (Dissanayake et al. 2009;
S
TA
Sprague Dawley dilakukan oleh Ang et al. (2004). Temuannya bahwa waktu 10
R
menit adalah rerata waktu yang dibutuhkan oleh tikus jantan tua berumur 24
E
bulan untuk melakukan mounting awal atau menaiki setelah digabung dengan
IV
tikus betina estrus. Dengan dasar itu, waktu 10 menit menjadi waktu yang
N
U
memadai untuk mengkaji tingkah laku tikus jantan dewasa yang sedang digoda
libidonya oleh kehadiran tikus betina estrus. Di samping itu, Dissanayake et al.
(2009) menemukan bahwa tikus jantan strain Wistar dewasa dalam suatu
pengamatan selama 15 menit ketika digabung dengan betina estrus menunjukkan
tingkah laku libido yang aktif. Tikus jantan melakukan ejakulasi samar paling
awal pada rerata detik 489,50 ± 67,66. Selanjutnya, ketika pengamatan diteruskan
20-30 menit maka tikus jantan dapat melakukan percobaan intromisi ataupun
kopulasi dengan frekuensi lebih banyak.
Peranan pasak bumi dalam membangkitkan libido tikus jantan tua yang
lemah daya seksual berumur 24 bulan dikaji oleh Ang et al. (2004). Pemberian
28
minum dengan dosis 50 mg/100 g bobot badan (bb) fraksi air pasak bumi yang
diberikan dua kali sehari selama 10 hari dilanjutkan pengamatan melalui tingkah
laku menguap atau yawning dan meregangkan tubuh atau stretching. Gerakan
stretching dan yawning dianggap suatu gerakan yang mencerminkan adanya
peningkatan libido tikus tua. Diperoleh hasil bahwa pasak bumi berperan sebagai
afrodisiaka pada tikus putih tua (Ang et al. 2004). Sebelum itu, ditemukan
bahwa pemberian fraksi air pasak bumi dengan dosis 400 mg/kg bb pada jantan
dewasa Sprague Dawley dapat menampilkan fekuensi tingkah laku mounting
sejumlah 4,8 ± 0,7 dalam pengamatan 20 menit bersama betina estrus (Ang &
Sim 1997).
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
29
Abstrak
Pasak bumi dikenal sebagai afrodisiaka di dalam pengobatan herbal tradisional
Indonesia. Berkaitan dengan itu, penelitian telah dikerjakan untuk mengamati
tingkah laku libido atau libido tikus jantan tanpa perkawinan setelah perlakuan
pemberian seduhan pasak bumi. Pengamatan dilakukan menggunakan kandang
yang dirancang dengan seekor tikus betina estrus di dalamnya yang dipisahkan
dengan jaring kawat. Terdapat tiga perlakuan dosis seduhan pasak bumi yang
KA
diberikan kepada tikus putih jantan dewasa. Dosis 1 adalah 18 mg/200 g bobot
badan (bb), dosis 2 adalah 100 mg/200 g bb, dosis 3 adalah 200 mg/200 g bb, dan
BU
kontrol diberikan akuades 1 ml. Tingkah laku kelamin yang mencerminkan
libido diperoleh adalah: 1). mendekati sekat betina, 2). bertemu muka dengan
muka 3). mengais atau menggigit sekat. Disimpulkan bahwa libido meningkat
R
dipicu oleh pemberian seduhan pasak bumi. Efek libido yang meningkat
TE
signifikan terbaik dalam penelitian ini adalah pemberian seduhan pasak bumi
dosis 1=18 mg/200 g bb. Sementara efek dosis 2=100 mg/200 g bb dan dosis
3=200 g bb lebih baik daripada kontrol tetapi lebih rendah dibandingkan efek
S
Abstract
IV
receiving Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) was conducted to evaluate its
effect. Observation was done by using a wire partitioned designed cage which
allow Pasak bumi treated male rat to express their interested to an estrus female
without mounting section. The doses of Pasak bumi evaluated were 18 mg/200 g
bw, 100 mg/200 g bw, 200 mg/200 g bw, and a control whicht received orally 1
ml distilled water. The result indicated that there were 3 mayor activities were
strongly noted; 1) get closed to female, 2) meeting face to face, 3).
scratching/nipping partition. The data analysis showed that Pasak bumi
stimulated the libido of experimental animals. Concern to the administrated dose
effect on libido dose of 18 mg/200 g bw is the first choice then followed by 100
mg/200 g bw and 200 mg.
Keywords: Pasak bumi, Eurycoma longifolia, libido, dose
30
PENDAHULUAN
Khasiat pasak bumi pada beberapa buku tanaman obat tradisional antara
lain dinyatakan oleh Wijayakusuma (1994) dan Kardono et al. (2003) bahwa
serbuk akar pasak bumi dengan air seduhan jika diminum beberapa kali dapat
meningkatkan libido dan ketahanan ereksi pria. Kandungan kimia akar pasak
bumi secara keseluruhan digunakan untuk memulihkan kemampuan ereksi dan
kesegaran tubuh (Adimoelja 2000). Serbuk akar pasak bumi seberat 1 g dengan
air seduhan 100 ml diminum pria dewasa sekali setiap hari selama tiga hari dapat
meningkatkan nafsu makan dan libido. (Soedibyo 1998; Kardono et al. 2003;
KA
Biotech 2007).
Peranan pasak bumi dalam membangkitkan libido tikus jantan tua yang
BU
lemah daya seksual berumur 24 bulan dikaji oleh Ang et al. (2004). Pemberian
R
minum dengan dosis 40 mg/200 g bb (bobot badan) fraksi air pasak bumi yang
TE
diberikan dua kali sehari selama 10 hari dilanjutkan pengamatan melalui tingkah
laku menguap atau yawning dan meregangkan tubuh atau stretching. Gerakan
S
timbul nafsu libido tikus tua. Diperoleh hasil bahwa pasak bumi mempunyai
SI
pinatus dengan panjang dari pangkal tangkai 20-40 cm, setiap deret terdiri atas 13-
N
41 lembar daun atau anak daun. Bunga pasak bumi adalah dioecious atau berumah
U
dua, dengan bunga jantan dan bunga betina berada pada pohon yang berbeda.
Bunga dihasilkan oleh suatu kelopak besar, masing-masing bunga terdiri atas 5-6
daun bunga sangat kecil. Buah yang masak berwarna hijau gelap kemerahan,
panjang 1-2 cm dan lebarnya 0.5-1 cm (Lemmens 2003; Bhat & Karim 2010).
Berdasarkan informasi ilmiah dari kerja pasak bumi berkaitan dengan
peningkatan libido masih sangat sedikit, maka perlu konfirmasi lebih jelas dengan
melakukan penelitian untuk mengungkap kerja pasak bumi (Eurycoma longifolia
Jack) pada tingkah laku libido hewan coba (tikus putih jantan) yang dapat
menjadi model dalam memahami kerja pasak bumi pada manusia. Penggunaan
31
hewan coba sebagai model dapat menghindari biasnya data yang muncul dari
faktor sugesti dan subjektivitas. Dua faktor tersebut kadang-kadang dianggap
dapat membiaskan data (menjadi data bias) ketika yang diberi perlakuan untuk
kajian tingkah laku libido adalah manusia.
Tujuan penelitian adalah 1) menjelaskan kerja pasak bumi sebagai
afrodisiaka, khususnya berhubungan dengan parameter tingkah laku libido. 2).
menetapkan dosis terbaik seduhan pasak bumi yang menimbulkan libido, untuk
tahapan penelitian selanjutnya.
Manfaat pemahaman kerja pasak bumi pada tubuh akan meningkatkan
kepercayaan pengguna tanaman obat herbal Indonesia (Menteri Pertanian RI
KA
2004) dan mendukung pembuatan jamu afrodisiaka dalam skala industri yang
bermanfaat ganda, yaitu: 1). melestarikan sumber plasma nutfah dan 2).
BU
mendatangkan devisa yang bernilai ekonomi.
R
TE
BAHAN DAN METODE
Bogor. Pengamatan tingkah laku dan pembuatan preparat sitologi cheking estrus
N
U
32
A B C
KA
Gambar 11 Akar kering pasak bumi.
A. Akar tanpa kulit
BU
B. Potongan akar untuk digiling
C. Serbuk pasak bumi
R
TE
Bahan Penelitian
S
Hewan coba berupa tikus putih jantan dewasa Rattus norvegicus strain
TA
Sejumlah 20 ekor tikus jantan dibagi dalam empat kelompok, yaitu: kelompok
IV
1 (dosis seduhan 18 mg/200 g bobot badan (bb)), kelompok 2 (dosis seduhan 100
N
mg/200 g bb), kelompok 3 (dosis seduhan 200 mg/200 g bb), dan kelompok 4 (
U
kontrol, 1 ml aquades/200 g bb). Setiap kelompok terdiri atas 5 ekor tikus sebagai
ulangan. Hewan penggoda libido digunakan satu ekor tikus betina yang sedang
estrus dipilih dari sejumlah 6 ekor tikus betina dengan umur dan strain yang sama.
Tikus diperoleh dari laboratorium hewan coba Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (POM) di Jakarta.
33
dalam oven pada suhu 50º C selama lima hari, selanjutnya dipotong kecil-kecil
menggunakan pisau stainless tajam. Potongan akar kayu tersebut lalu digiling
sampai halus menggunakan alat giling khusus untuk membuat tepung merk Wiley
mill USA, lalu diayak dengan pengayak Mesh 50. Simplisia selanjutnya
dimasukkan ke dalam kemasan kaca kedap udara disimpan di lemari kering.
Determinasi mikroskopik serbuk akar pasak bumi juga dilakukan menggunakan
pewarna Giemsa 10 % tampak pada Gambar 12.
KA
1 2 3
BU
R
TE
S
TA
4 5
SI
R
34
kawat. 4). tidak terjadi ejakulasi karena dibutuhkan untuk pengukuran lanjutan
kualitas semen/spermatozoa, dan 5). penghematan penggunaan kelompok tikus
betina, karena tidak sampai terjadi perkawinan sehingga tidak terjadi fertilisasi
dan kebuntingan, tetapi tetap mendapatkan tingkah laku khusus yang
mencerminkan libido tikus jantan.
KA
menghindari biasnya data karena tikus adalah hewan nokturnal; yang tanpa
pemberian apapun akan aktif pada malam hari. Setelah diberi seduhan pasak
BU
bumi peroral pada pukul 9.00. WIB, setelah selang waktu 5 jam kemudian
R
tingkah laku diamati per individu pada pukul 14.00 WIB selama 10 menit. Selama
TE
pengamatan berlangsung tidak disediakan pakan dan minum di dalam kandang.
Data tingkah laku setiap tikus yang diberi perlakuan dicatat dalam lembar
S
pengamatan frekuensi tingkah laku. Pengamatan tingkah laku libido tikus jantan
TA
dilakukan pada hari ke-1, 2, dan 3. Ulangan perlakuan setiap variasi dosis
SI
sama per oral. Sebagai pemicu tingkah laku libido digunakan tikus betina estrus
E
penggoda yang ditetapkan dari enam tikus betina yang telah dipersiapkan.
IV
N
35
KA
a
BU
a
R
TE
Gambar 13 Tampilan sitologi fase estrus (pembesaran: 100 X). Sel-sel epitel
S
vagina mengalami kornifikasi (a), pada fase ini tikus betina siap
TA
Fraksi air seduhan pasak bumi berupa: aquades setelah dipanaskan 80ºC
E
IV
didiamkan 1 menit lalu ditambahkan ke serbuk pasak bumi dengan dosis tertentu
(18 mg/200 g bb, 100 mg/200 g bb, 200 mg /200 g bb per 1 ml aquades). Setiap
N
U
dosis disiapkan secara terpisah, lalu diaduk merata dan didiamkan sampai dingin.
Selanjutnya supernatan dipisahkan untuk digunakan dalam penelitian.
36
KA
ditambah dengan aquades sampai 1 ml. Sebagai kontrol, diadakan perlakuan
dengan pemberian 1 ml aquades per oral.
BU
Analisis Data R
TE
Dosis terbaik dari perlakuan yang diberikan akan diperoleh dengan
membandingkan mean (rerata) dari frekuensi tingkah laku libido/libido
S
berdasarkan perlakuan dosis seduhan 1=18 mg/200 g bb, 2=100 mg/200 g bb,
TA
3=200 mg/200 g bb, dan kontrol=aquades 1 ml pada hari ke-1, 2, dan 3. Mean
SI
frekuensi tingkah laku libido yang tertinggi dari semua pengamatan pada hari ke-
R
Perlakuan variasi dosis seduhan 1, 2, 3 pasak bumi dan periode hari ke-1,
N
2, 3 terhadap tingkah laku libido akan diuji dengan RAL faktorial dan bila ada
U
pengaruh nyata pasak bumi akan diuji lanjut dengan uji Duncan sehingga
menemukan dosis terbaik untuk libido dari variasi dosis yang diberikan.
37
KA
belakang, 14). menjilat pangkal ekor, dan 15). makan sekam
Dari lima belas gerakan tingkah laku itu, berdasarkan pengamatan tingkah
BU
laku (dalam 20 kali pengamatan pada jam 14.00 WIB., selama 10 menit) yang
R
menunjukkan perhatian tikus kepada lingkungan luar kandang adalah:
TE
1). mengendus atau membaui sekeliling dengan moncong ditempelkan ke
lubang-lubang sekeliling kandang, dan 2). mengendus-endus atas dengan
S
sekam. Sekam diberikan sebagai alas kandang yang terdiri atas hancuran kulit
R
gabah kering.
E
oleh suatu bagian di otak yang disebut sistem limbik (Guyton 1983). Sistem
N
38
langsung indra penciuman, 9). mengendalikan libido (Guyton 1983; Ang & Sim
1997; Ang et al. 2004).
Berkaitan dengan tingkah laku libido, pada tikus jantan tua berumur 24
bulan tingkah laku libido yang menonjol ketika dihadirkan dengan tikus betina
estrus menurut Ang & Lee (2002) dan Ang et al. (2004) adalah: 1.menjilati organ
genitalnya sendiri, 2. stretching (peregangan), 3. yawning (menguap), dan 4.
mengusap muka dengan kaki depan yang telah dijilat (seakan-akan bersolek).
Tetapi berbeda dari hasil pengamatan dalam penelitian ini, tikus jantan dewasa
berumur 3 ½ bulan yang terpicu libidonya karena kehadiran betina estrus yang
disekat di dalam kandang, empat tingkah laku atau gerakan tersebut sangat jarang
KA
muncul. Hal demikian mungkin disebabkan bahwa jantan muda dewasa: 1)
adanya sekat yang mencegah terjadinya jantan mencium area genital betina
BU
sehingga tidak menimbulkan tingkah laku urutan berikutnya seperti menjilati
R
organ genitalnya sendiri. 2) oleh karena koordinasi persarafan motorik tikus
TE
jantan dewasa lebih kuat dibanding tikus jantan tua, sehingga libido pada tikus
jantan dewasa muncul dalam bentuk aksi gerakan-gerakan kegiatan langsung
S
mendekati betina walaupun telah disekat pemisah. Pada tikus jantan tua karena
TA
lebih lemah koordinasi persarafan motorik maka libido muncul dalam bentuk
SI
tidak langsung tetapi lebih mengarah pada sensasi seksual individual diri sendiri.
E R
Tingkah laku tikus putih jantan yang menonjol dengan kehadiran tikus
N
betina estrus yang disekat ketika diberi perlakuan variasi dosis pasak bumi, yaitu:
U
39
Tabel 2 Pengaruh dosis seduhan pasak bumi pada tingkah laku tikus jantan yang
menonjol pada hari ke-1, 2, dan 3
Keterangan : Notasi huruf kecil superskript berbeda di dalam setiap kolom yang sama
menyatakan perbedaan nyata (α = 5 % , uji Duncan). 1, 3, 4 di arsir = menunjukkan
tingkah laku keinginan kawin atau libido. 1= Mendekati sekat/betina , 2= Mengendus
sekeliling, 3= Mengais/ menggigit sekat betina, 4= Bertemu muka / hadapan muka,
5= Mengendus-endus atas, 6= Mengais/mendorong sekam, 7= Makan sekam.
KA
bb= bobot badan tikus putih ♂
BU
Berdasarkan frekuensi tingkah laku yang menunjukkan perhatian terhadap
lingkungan dalam dan luar kandang, maka dosis seduhan 100 mg/200 g bb dan
R
200 mg/200 g bb tampak cenderung mempengaruhi peningkatan perhatian tikus
TE
jantan terhadap lingkungan luar dengan rerata (mean) frekuensi mengendus
S
sekeliling tertinggi, yaitu 8,5 kali dan mengendus-endus atas, yaitu 8,1 kali
TA
(Tabel 2). Meskipun untuk frekuensi mengendus atas tidak berbeda nyata dengan
perlakuan kontrol. Mengendus sekeliling mungkin indikator secara tidak langsung
SI
adanya libido.
R
meningkatkan perhatian tikus jantan pada lingkungan dalam dan nafsu makan
N
dengan rerata frekuensi makan sekam, yaitu 10,5 kali dan mengais/medorong
U
40
yang tidak signifikan antara perlakuan dosis seduhan 18 mg/200 g bb, 100
mg/200 g bb dan 200 mg/200 g bb dengan kontrol.
Dosis Terbaik
Pemberian seduhan pasak bumi peroral pada jam 9.00 pagi dilanjutkan
dengan pengamatan tingkah laku libido tikus putih jantan pada jam 14.00 siang
selama 10 menit. Waktu 10 menit adalah rerata waktu yang dibutuhkan oleh
tikus jantan tua berumur 24 bulan untuk melakukan percobaan mounting setelah
digabung dengan tikus betina estrus (Ang et al. 2004). Dengan demikian, waktu
10 menit menjadi waktu yang memadai untuk mengkaji tingkah laku tikus jantan
KA
yang sedang digoda libidonya oleh kehadiran tikus betina estrus. Di samping itu
juga karena penelitian ini menggunakan tikus jantan dewasa lebih muda (berumur
BU
3 ½ bulan), tentu akan lebih singkat lagi selang waktu yang dibutuhkan untuk
R
melakukan mounting atau mengawini tikus betina estrus jika kandang tidak
TE
disekat pemisah.
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 2, tingkah laku libido yang
S
muncul dengan pemberian pasak bumi peroral dosis seduhan 18 mg/200 g bb,
TA
100 mg/200 g bb dan 200 mg/200 g bb mempunyai nilai mean frekuensi lebih
SI
secara nyata dengan pemberian pasak bumi dibanding kontrol adalah: mendekati
E
♂ ♀ ♂ ♀
41
dan 3 ( 13,4; dan 3,6 kali) dan (10,7; dan 2,7 kali). Dengan demikian dosis
seduhan 1 = 18 mg/200 g bb ditambah 1 ml aquades adalah dosis efektif untuk
menimbulkan libido di dalam penelitian ini.
Komponen fitokimia yang diekstrak dari akar pasak bumi dalam berbagai
pelarut seperti air, metanol, diklorometan atau kloroform adalah: terpenoid,
stigmasterol, sitosterol, sterol, saponin, quassinoid, campesterol, benzOkoinpon,
alkaloid, skopoletin, piskidinol, nilositin, metoksisantin-mono-oksida,
metoksisantin, melian, longilen, longilakton A dan B, hidroksieurikomalakton,
KA
hidroksisantin - mono-oksida, hidroksi dehidro eurikomalakton, hispidon,
BU
eurilene, durilakton, erikomanol-oD-glikopiranosid, eurikomanol,
dihidroeurikomalakton (Kardono et al. 2003; Lemmens 2003). Ekstrak dengan
pelarut air pasak bumi didapati kandungan
R
utama: komponen fenol, tanin,
TE
polisakarida dengan bobot molekul tinggi, glikoprotein dan mukopolisakarida
(Ang & Lee 2002). Di samping itu, tiga jenis kuasinoid, yaitu eurikolakton A, B
S
TA
dan C berhasil diisolasi dari akar pasak bumi (Ang et al. 2000), sedangkan dari
batang dan kayu pasak bumi diperoleh kandungan tiga kuasinoid yang sitotoksik
SI
Pada penelitian kajian tingkah laku dan libido ini diduga kuat pasak bumi
IV
42
KA
sendiri atau reseptor estrogen (RE) sendiri, atau mengandung dua tipe reseptor RA
dan RE dalam neuron yang sama. Tingkah laku libido atau libido jantan atau pria
BU
dirubah atau dikurangi ketika senyawa antagonis hormon steroid androgen
R
(antagonis RA) atau antagonis RE diberikan kepada MPO atau MEA dan juga
TE
BST. Tingkah laku libido/libido juga dikurangi dengan menonaktifkan enzim
aromatase yang mengubah testosteron menjadi estradiol (E2). Region area yang
S
saling berhubungan antara MEA, MPO dan BST merupakan jaringan yang sensitif
TA
terhadap hormon steroid (androgen dan estrogen). Tiga area tadi bekerja
SI
dan organ-organ reproduksi lainnya yang bekerja dalam proses kopulasi dan
IV
inseminasi (Greco et al. 2003; Coolen et al. 1998; Johnson & Barry 1998;
N
43
KESIMPULAN
KA
lingkungan dalam kandang dan nafsu makan lebih tinggi dari pada dosis
seduhan 18 mg/200 g bb dan kontrol. Tingkah laku tersebut adalah: mengendus
BU
sekeliling, mengendus-endus atas, mengais/mendorong sekam dan makan
sekam. R
TE
DAFTAR PUSTAKA
S
TA
6849-6853
IV
Ang HH, Lee KL. 2002. Effect of Eurycoma longifolia Jack on orientation
N
16 (6): 479
Ang HH, Lee KL, Kiyoshi M. 2004. Sexual arousal in sexually sluggish old
male rats after oral administration of Eurycoma longifolia Jack - tongkat
Ali [Abstract]. J Basic Clin Physiol Pharmacol 15(3-4):303-9.
Ang HH, Sim MK. 1997. Eurycoma longifolia Jack enhances libido in sexually
experienced male rats. Exp Anim 6(4):287-90.
Bergman A. 2000. Molecular Biology of the Cell 4th ed. Texas, New York:
Garland Science.
44
Depkes 2003. Standarisasi Sediaan Obat Herba. Makalah Seminar Dan Pameran
Nasional. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta
25-26 Maret 2003.
Guyton AC. 1983. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 5, Alih bahasa Adji
Dharma dan P Lukmanto. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
KA
Harper HA, Rodwell VW, Mayes PA. 1979. Review of Physiologycal
Chemistry 17th Ed. Drawer L, Los Altos, California: Lange Medical
BU
Publications.
R
Itokawa H, Kishi E, Morita H, Takeya K. 1992. Cytotoxic quassinoids and
TE
tirucallane type triterpenes from the woods of Eurycoma longifolia. Chem
Pharm Bull 40(4): 1053-1055.
S
Science Ltd.
SI
Nadelhaft I, Miranda, Sousa AJ, Vera PL. 2002. Separate urinary bladder and
prostate neurons in the central nervous system of the rat: simultaneous
labeling with two immunhistochemically distinguishable pseudorabies
viruses. BMC Neurosci 3: 1–11.
Paisley JC, Huddleston GG, Denman HN, Carruth LL, Grober MS,
Petrulis A, Clancy AN. 2005. Inhibition of estrogen receptor synthesis
in the medial preoptic area, but not the medial amygdala, reduces male rat
mating behavior. Horm Behav 48: 94-101
Pratomo H. 1987. Efek rimpang kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai anti
piretik pada tikus putih jantan yang didemamkan [skripsi]. Jakarta:
Fakultas Biologi UNAS.
45
Soedibyo BRAM. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan. Jakarta:
Balai pustaka.
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
46
Abstrak
KA
proporsi jumlah sel basofil pada hipofisis daripada sel asidofil pada hipofisis. Sel
basofil yang meningkat jumlahnya tersebut setelah dideteksi dengan pewarnaan
BU
imunohistokimia ternyata adalah sel yang mensintesis hormon LH intrasel setelah
pemberian pasak bumi dosis seduhan 90 mg/kg bb sampai hari ke-3. Sementara
itu, tingkat aktivitas sel yang memproduksi FSH intrasel dipertahankan dan tidak
R
meningkat secara signifikan.
TE
Kata kunci: pasak bumi, sel hipofisis, asidofil, basofil, LH intrasel, FSH intrasel
Abstract
S
TA
Further study on the effect of pasak bumi at the dose of 18 mg/200 g (=90 mg/kg)
body weight (bw) in 1 ml distilled water was done in order to understand its effect
SI
LH antibody and anti-FSH antibody was aimed to evaluate LH and FSH cells
IV
compared to those in control. Meanwhile, the basophile cells producing FSH was
affected by the pasak bumi administration
Keywords: pasak bumi, hypophysis cells, acidophile, basophile, intracellular LH,
intracellular FSH.
47
PENDAHULUAN
KA
pasak bumi dosis seduhan 18 mg/200 g bb dalam 1 ml aquades meningkatkan
BU
libido yang tertinggi dibanding dosis seduhan 100 mg/200 g bb, dosis seduhan
200 mg/200 g bb, dan kontrol (aquades 1 ml). Tingkah laku libido tikus putih
R
jantan yang menonjol dengan kehadiran betina estrus yang dipisah/disekat jaring
TE
kawat di dalam kandang pengamatan adalah: 1). mendekati sekat/betina, 2).
bertemu muka/hadapan muka, 3). mengais/menggigit sekat betina.
S
TA
Peningkatan libido tikus jantan yang dikontrol di otak pada region area
yang saling berhubungan, yaitu MEA, MPO dan BST akan mempengaruhi proses
SI
ditanggapi oleh sel-sel targetnya di hipofisis. Oleh karena itu perlu untuk diteliti
N
U
48
Bahan Penelitian
Hewan percobaan menggunakan tikus putih jantan dewasa Rattus
norvegicus strain Sprague Dawley berumur 3 ½ bulan dengan bobot 121-194
g. Tikus tersebut diperoleh dari Laboratorium Hewan Coba, Badan POM
sejumlah 18 ekor jantan dan 6 betina, dengan rincian sebagai berikut: 9 ekor
jantan dengan perlakuan pasak bumi yang akan dikorbankan 6 ekor
KA
menggunakan anastesi masing-masing 3 ekor (n=ulangan=3) pada hari ke-1 dan
BU
3 ekor pada hari ke-3. Selebihnya 9 ekor jantan digunakan sebagai kontrol
dengan pemberian aquades yang juga dikorbankan 6 ekor masing-masing 3 ekor
R
pada hari ke-1 dan 3 ekor pada hari ke-3. Sejumlah 6 ekor tikus betina dipilih
TE
seekor yang sedang estrus untuk digunakan sebagai penggoda. Sebelum diberi
S
seperti pada pembuatan serbuk jamu lainnya (Depkes 2003; Pratomo 1987).
IV
bagian kayu dari akar pasak bumi yang relatif keras dicuci bersih lalu ditiriskan
N
dan dipotong-potong dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 2 cm dan tebal 2 cm.
U
Potongan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC selama 5 hari, selanjutnya
dipotong kecil-kecil menggunakan pisau stainless tajam. Potongan akar kayu
tersebut lalu digiling sampai halus menggunakan alat giling khusus untuk
membuat tepung lalu disaring dengan pengayak Mesh 50 (ukuran pori = 300
µm). Simplisia selanjutnya disimpan dalam toples-toples di lemari kering.
Sebelum diambil jaringan hipofisis untuk analisis: 1) sebaran sel asidofil
basofil, 2) tingkat aktivitas sel penghasil hormon FSH dan 3) tingkat aktivitas sel
penghasil hormon LH, terlebih dahulu dilakukan perlakuan pemberian seduhan
pasak bumi dan kontrol pada pukul 9.00 WIB. Selanjutnya pada pukul (pkl) 14.00
WIB diamati tingkah laku libido dengan digoda tikus betina estrus. Setelah itu
49
KA
3 10 menit jaringan
BU
Sebelum sampling jaringan, tikus putih dianastesi intraperitoneal dengan
R
Ketamil yang berisi Ketamine 100 mg/ml dengan dosis 0,2 cc untuk 100-200 g bb.
TE
Penggunaan tikus dikorbankan untuk sampling jaringan sebagai berikut:
Hari ke-1 9 ekor tikus diberikan pasak bumi, 3 ekor dikorbankan untuk
S
sampling jaringan.
TA
Hari ke-3 3 ekor tikus diberikan pasak bumi, 3 ekor dikorbankan untuk
R
sampling jaringan.
E
Sebagai kontrol dilakukan pemberian aquades 1 ml per oral per ekor tikus
IV
putih dengan ulangan sejumlah 3 ekor tikus setiap hari pada hari ke-1 sampai hari
N
ke-3. Pengambilan sampel jaringan tikus kontrol dilakukan seperti kegiatan pada
U
perlakuan pasak bumi, yaitu pada hari ke-1 dan ke-3. Semua sampel jaringan yang
diperoleh difiksasi dalam larutan formaldehid 4 % dalam NaCl fisiologis 0,9 %
disimpan selama 1 minggu dan selanjutnya dilakukan tahapan untuk evaluasi
secara histologis (analisis mikromorfologi)
Analisis Mikromorfologi
Setelah jaringan sampel difiksasi selama 1 minggu, dilakukan dehidrasi
dengan alkohol bertingkat selama 4 hari, kemudian diclearing dengan xylol dan
dibloking dengan parafin histo, lalu disimpan dalam lemari pendingin beberapa
50
hari, dan selanjutnya diiris dengan alat mikrotom secara hati-hati berukuran tipis
4-5 μm. Analisis mikromorfologi dilakukan terhadap: aktivitas sel-sel hipofisis
anterior berupa sel-sel asidofil dan basofil yang selanjutnya dilanjutkan dengan
mengkaji sel-sel yang berperan dalam memproduksi hormon-hormon reproduksi
LH dan FSH setelah pemberian pasak bumi. Sebaran sel-sel asidofil dan basofil
dikaji dengan pewarnaan histokimia HE sedangkan penentuan aktivitas sel-sel
hipofisis yang memproduksi hormon LH dan FSH melalui pewarnaan
imunohistokimia.
Langkah Pewarnaan HE
KA
Langkah-langkah pewarnaan HE (Kiernan 1990) adalah sebagai berikut:
1. Deparafinasi – rehidrasi (1-2 menit) , direndam di air kran selama 10
BU
menit
R
2. Destilated water (DW)/Aquadest 3 - 5 menit
TE
3. Pewarnaan dengan hematoksilin 1-2 menit
4. Perendaman di air kran 10 menit, lalu di aquades atau DW 5 menit
S
(Merck).
U
51
KA
Tabel 4 Rancangan kegiatan untuk pengambilan sampel sel FSH hipofisis
BU
Waktu Pkl 9.00 WIB Selang 5 jam Pkl. 14.00 Pkl
WIB 14.12
R WIB
Pemberian Tikus ♂istirahat Pengamatan tingkah Anastesi,
TE
Hari
ke-1, 2, pasak bumi laku libido10 menit sampling
3 Jaringan
S
TA
bumi pada hari ke-1 dan hari ke-3. Perlakuan yang dilakukan untuk analisis
respons sel penghasil FSH hipofisis, yaitu: 1) pemberian aquades 1 ml pada
E R
kelompok kontrol pada hari ke-1 sampai hari ke-3. 2) pemberian dosis seduhan
IV
pasak bumi terpilih, yaitu 18 mg/200 g bb pada kelompok perlakuan pada hari ke-
N
52
1). slide preparat hipofisis hasil pemotongan dengan mikrotom (telah melewati
tahapan dehidrasi, clearing, parafinasi, embbeding, dan blocking) yang telah
disimpan di inkubator 40ºC dikeluarkan lalu diletakkan dalam jajaran kotak rak
logam perendaman dengan posisi tidur di dalam inkubator 65ºC selama 3 menit
untuk pencairan parafin, 2). rehidrasi/deparafinasi, dengan langkah-langkah,
yaitu: perendaman masing-masing slide selama 3 menit dipindahkan dari satu
botol ke botol berikutnya secara berurutan xylol 3, xylol 2, xylol 1, lalu alkohol
absolut 3, alkohol absolut 2, alkohol absolut 1, diteruskan ke dalam botol alkohol
95 %, 90 %, 80 %, 70 %, dan aquades (perendaman di dalam aquades lebih
lama ± 20 menit), 3). bagian bawah slide dikeringkan dengan kertas saring, lalu
KA
ditandai lingkaran pada bawah slide hipofisis dengan marker, (marker yang
digunakan adalah immEdge vector laboratories Inc.Burlingame CA 94010),
BU
direndam lagi di dalam aquades 30 menit, 4). diangkat lalu slide dijajarkan
R
dengan bagian yang ditandai marker di bawahnya, dan ditetesi larutan phosphate
TE
buffered saline (PBS) 0,1 N didiamkan selama 5 menit, hal ini dilakukan tiga kali
(dengan cara ditetesi PBS 0,1 N didiamkan 5 menit, PBS dibuang, lalu penetesan
S
PBS ke dua dan didiamkan 5 menit, PBS dibuang, lalu penetesan PBS ke tiga dan
TA
sejumlah 5-10 % dalam PBS dan didiamkan 30 menit dalam perendaman tetesan
R
NGS, lalu kotak tempat jajaran slide ditutup untuk mencegah kontaminasi
E
eksternal 6). pencucian dengan PBS dilakukan lagi tiga kali seperti no 4), 7).
IV
ditetesi antibodi primer hormon follicle stimulating hormone (FSH) yang telah
N
diencerkan 500 kali, dan didiamkan pada kotak tertutup tanpa cahaya selama satu
U
53
KA
titik paling atas lingkaran dilanjutkan ke kanan memutar sesuai arah jarum jam
terus melingkar ke arah dalam. Data kemudian dihitung reratanya untuk setiap
BU
perlakuan. Pengamatan dan analisis mikromorfologi sel-sel penghasil hormon
R
FSH pada hipofisis menggunakan mikroskop cahaya binokuler dengan
TE
pembesaran 400 kali. Setelah tahap penentuan aktivitas sel-sel penghasil hormon
FSH dilakukan, selanjutnya dilakukan tahapan berikutnya, yaitu menentukan kerja
S
pasak bumi pada tingkat aktivitas sel penghasil hormon LH pada hipofisis.
TA
3). Menentukan Kerja Pasak Bumi pada Tingkat Aktivitas Sel Penghasil LH
SI
pada Hipofisis
E R
Waktu Pkl 9.00 WIB Selang 5 jam Pkl. 14.00 Pkl 14.12
WIB WIB
Hari ke- Pemberian Tikus ♂istirahat Pengamatan tingkah Anastesi,
1, 2, 3 pasak bumi laku libido10 menit sampling
Jaringan
54
1 sampai hari ke-3. Sampling hipofisis dilakukan pada kelompok kontrol dan
perlakuan pasak bumi pada hari ke-1 dan hari ke-3.
Sebelum pendeteksian dilakukan pengambilan atau sampling hipofisis
dengan menggunakan pinset ujung runcing dengan bantuan penglihatan di bawah
mikroskop Olympus binokuler dengan tambahan lampu cahaya yang cukup kuat.
Sebelum itu, tengkorak kepala tikus dibuka dengan menggunakan gunting bedah
secara hati-hati, organ hipofisis yang berukuran lebih kecil dari ujung pentol
korek api terletak di dasar di bawah cerebelum. Hipofisis yang telah diambil
untuk sementara disimpan difiksasi di dalam alkohol 70 % dalam tabung
ependorf. Selanjutnya di trimming di basket histo di dalam Paraformaldehid 4 %
KA
dalam NaCl fisiologis 0,9 %.
Prosedur pendeteksian sel-sel penghasil hormon LH dengan metode
BU
imunohistokimia mengikuti cara Kiernan (1990) yang dimodifikasi. Pendeteksian
R
analisis respons sel penghasil luteinizing hormone (LH) hipofisis dilakukan
TE
dengan langkah-langkah hampir sama seperti yang dilakukan pada metode
pendeteksian sel-sel penghasil hormon FSH. Tetapi berbeda pada langkah no 7)
S
dan no 10) dengan menggunakan antibodi antihormon LH. Evaluasi sebaran sel
TA
pada setiap perlakuan didata dari sepuluh area lapang pandang pada sejumlah
U
slide ulangan (tiga ulangan) yang dipilih. Penghitungan sel dimulai dari titik
paling atas lingkaran dilanjutkan ke kanan memutar sesuai arah jarum jam terus
melingkar ke arah dalam. Data kemudian dihitung reratanya untuk setiap
perlakuan. Pengamatan dan analisis mikromorfologi sel-sel penghasil hormon LH
pada hipofisis menggunakan mikroskop cahaya binokuler dengan pembesaran 400
kali.
55
KA
bumi dosis terbaik hasil dari kajian bagian pertama, yaitu dosis seduhan pasak
bumi = 18 mg/200 g bb dalam 1 ml aquades. Kajian mikromorfologi sel-sel
BU
hipofisis tikus putih jantan yang diamati adalah pada perlakuan: 1). Pemberian
R
aquades 1 ml pada hari ke-1, 2). Pemberian aquades 1 ml sampai hari ke-3. 3).
TE
Pemberian dosis seduhan terbaik pasak bumi (18 mg/200 g bb) hari 1, 4).
Pemberian dosis seduhan terbaik pasak bumi 18 mg/200 g bb sampai hari ke-3.
S
Hasil analisis distribusi sel-sel asidofil dan basofil dari setiap kelompok 50 sel
TA
Tabel 6 Distribusi jumlah sel-sel asidofil dan basofil pada hipofisis setelah
perlakuan pasak bumi dan kontrol/aquades.
E R
(rerata±SD) (rerata±SD)
N
a a
1 Aquades hari ke-1 21,2±1,3 28,8±1,3
U
a a
2 Aquades hari ke-3 21,9±0,5 28,1±0,5
a a
3 Pasak bumi hari ke-1 22,1±0,7 27,9± 0,7
b b
4 Pasak bumi hari ke-3 14,8±0,9 35,2±0,8
Keterangan: Notasi huruf kecil superskrip berbeda pada kolom yang
sama menyatakan perbedaan nyata pada taraf 5 %, Uji Duncan α = 0,05.
SD=Standar deviasi
56
bersifat basa sehingga mengikat pewarna asam. Sel-sel basofil merupakan sel-sel
yang menyerap warna basa dari HE sehingga akan tampak sitoplasmanya
berwarna keunguan atau kebiruan, secara keseluruhan sitoplasma sel-sel basofil
bersifat asam sehingga mengikat pewarna basa.
Sebaran sel asidofil pada hipofisis dengan perlakuan aquades pada hari ke-
1 sampai hari ke-3 terjadi sedikit peningkatan, yaitu dari rerata 21,2 sel menjadi
21,9 sel, tetapi tidak signifikan secara statistik (uji Duncan, α = 0,05). Sedangkan
sebaran sel asidofil pada hipofisis dengan perlakuan pasak bumi dosis seduhan 1
pada hari ke-1 sampai hari ke-3 terjadi penurunan, yaitu dari rerata 22,1 sel
menjadi 14,8 sel yang secara statistik dengan uji Duncan berbeda nyata (Tabel
KA
5, uji Duncan, α = 0,05).
Sebaliknya, sebaran sel basofil pada hipofisis dengan perlakuan aquades
BU
pada hari ke-1 sampai hari ke-3 terjadi sedikit penurunan, yaitu dari rerata 28,8
R
sel menjadi 28,1 sel, tetapi tidak signifikan secara statistik (uji Duncan taraf nyata
TE
5 % , α = 0,05). Sebaran sel basofil pada hipofisis dengan perlakuan pasak bumi
dosis seduhan 1 pada hari ke-1 sampai hari ke-3 terjadi peningkatan signifikan,
S
yaitu dari rerata 27,9 sel menjadi 35,2 sel (uji Duncan, α = 0,05).
TA
bagian paling besar dan penting dari organ hipofisis. Pada mamalia dan manusia
R
lobus ini kira-kira hampir 70 % dari bobot total kelenjar. Hipofisis anterior secara
E
histologi terdiri atas sel-sel epitel kelenjar dari berbagai ukuran dan bentuk yang
IV
tersusun dalam jalur-jalur yang relatif luas dan sirkuler serta dipisahkan oleh
N
dibedakan atas tiga jenis sel, yaitu: sel kromofob (neutrofil) sukar diwarnai, sel
kromatin mengambil warna asam (eosinofil) seperti sel penghasil prolaktin adalah
asidofilik, dan sel kromatin mengambil warna basa (basofil). Sel penghasil LH
dan FSH pada hipofisis adalah basofilik (Harper et al. 1979; Norman &
Litwack 1987; Bergman 2000).
Mekanisme pasak bumi yang berfungsi sebagai trigger hormonal tertentu
sehingga meningkatkan sebaran sel-sel basofil penghasil hormon LH dan FSH
pada hari ke-3 sebagai kinerja pasak bumi yang mekanismenya diduga melalui
pengaktifan sumbu hipotalamus-hipofisis/hipofisis anterior dan adrenal (HPA)
57
tikus jantan. Secara khusus, feromon tikus betina estrus dapat merangsang
pelepasan GnRH dari hipotalamus tikus jantan. Pengaktifan aksis sumbu HPA
oleh pasak bumi dengan adanya pelepasan GnRH selanjutnya merangsang atau
memicu pelepasan hormon gonadotropin LH dan FSH dari kelenjar hipofisis/
hipofisis anterior yang ditunjukkan oleh peningkatan sel-sel basofil. Kerja sinergi
dari LH dan FSH selanjutnya bekerja pada jaringan testis khususnya pada tubulus
seminiferus dan sel target, yaitu sel-sel Leydig dan sel-sel Sertoli (Squires 2003).
Kedua sel-sel tersebut selanjutnya bersinergi misalnya dalam pembentukan
hormon testosteron dan meningkatkan perkembangan sel-sel spermatogonia dalam
proses spermatogenesis, yang akan menjadi spermatozoa pada jantan dewasa.
KA
Sementara itu, Harper et al. (1979) dan Norman & Litwack (1987) menyebutkan
kelimpahan jumlah spermatozoa dan peningkatan kadar testosteron akan juga
BU
menimbulkan peningkatan libido.
R
TE
2). Tingkat Aktivitas Sel-Sel Penghasil Hormon LH
Berdasarkan temuan bahwa pada hari ke-3 pemberian seduhan pasak bumi
S
hipofisis. Sementara itu diketahui bahwa sel-sel basofil adalah sel-sel yang
SI
tikus putih jantan yang diamati adalah pada perlakuan: kontrol pada hari ke-1,
N
dan hari ke-3, Serta pemberian dosis seduhan pasak bumi 18 mg/200 g pada hari
U
58
2 dan warna cokelat muda untuk positif 1, rerata jumlah sel-sel penghasil LH
sesuai dengan tingkat kelompok respons/kerja terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah sel-sel penghasil LH pada hipofisis setelah perlakuan aquades
dan pasak bumi pada hari ke-1 sampai hari ke-3.
hari ke-1
2 Aquades 14,4±0,7 b 24,5±1,6 a 17,8±1,0 a,b 56,7± 1,6 b
hari ke-3
3 Pasak bumi 8,0± 0,3 a 21,2±1,8 a 17,1±1,6 a,b 46,3±1,2 a
hari ke-1
4 Pasak bumi 32,4±4,5 c 28,0± 2,7 b 23,4±3,4 b 82,8±4,9 c
KA
hari ke-3
Keterangan: huruf kecil superskrip berbeda pada kolom yang sama menyatakan
BU
perbedaan nyata pada taraf 5 %, Uji Duncan α = 0,05.
R
Data pada Tabel 7, menunjukkan bahwa pemberian pasak bumi dosis
TE
seduhan 1 meningkatkan aktivitas respons/kerja sel-sel penghasil hormon LH
secara nyata pada hari ke-3 (uji Duncan α = 0,05). Sel-sel penghasil LH
S
LH positif 3 dari hari ke-1 ke hari ke-3 (8,0 menjadi 32,4 sel), yang meningkat
SI
lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol (pemberian aquades) dari
R
7,2 sel menjadi sejumlah 14,4 sel. Demikian pula terjadi peningkatan yang
E
nyata jumlah sel-sel penghasil LH positif 2 dan positif 1 dari hari ke-1 sampai
IV
hari ke-3 dibandingkan dengan kontrol dari hari ke-1 sampai hari ke-3. Secara
N
hipofisis setelah pemberian pasak bumi sampai hari ke-3. Total sel yang positif
LH hari ke-3 adalah 82,8 sel dibandingkan kontrol pada hari ke-3, yaitu 56,7 sel
(uji Duncan, α = 0,05).
Sintesis produksi LH hipofisis pada hari ke-1 setelah pemberian pasak
bumi telah terjadi peningkatan dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan sintesis
LH pada hari ke-1 ditunjukkan pada semua tingkatan kelompok respons/kerja
baik positif 3, 2, maupun 1. Jumlah sel LH perlakuan semua tingkatan
respons/kerja pada hari ke-1 adalah: 8,0; 21,2; 17,1; dan 46,3 sel, lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol (perlakuan aquades) hari ke-1, yaitu: 7,2; 19,9;
59
15,6; dan 41,8 sel . Walaupun demikian, peningkatan produksi LH pada hari ke-
1 secara statistik tidak berbeda nyata dengan kontrol hari ke-1 (Tabel 7).
Berdasarkan temuan hasil (Tabel 7) maka dapat disebutkan bahwa pasak
bumi merupakan trigger yang kuat untuk sintesis/produksi hormon LH.
Mekanisme pengaktifan respons kerja sel-sel hipofisis yang memproduksi LH
biasanya didahului oleh peningkatan kadar GnRH untuk LH (GnRH-LH) yang
disekresikan oleh hipotalamus. Berkaitan dengan perlakuan pasak bumi sampai
hari ke-3 yang meningkatkan kadar LH dapat diduga disebabkan oleh suatu
senyawa kandungan pasak bumi (secara sendiri-sendiri atau bersinergi) yang
memerankan fungsi GnRH-LH dari hipotalamus sehingga merangsang sel-sel
KA
produsen LH di hipofisis untuk melakukan peningkatan sintesis LH. Jadi,
kandungan pasak bumi tersebut antara lain eurikomanon beserta derivatnya
BU
(Gambar 15) dan atau longilakton berperan sebagai GnRH-LH.
R
Mekanisme pasak bumi yang lain mungkin melalui jalan: Setelah dikenali
TE
adanya feromon dari tikus betina estrus ditambah dengan kehadiran tikus betina
tersebut, maka reseptor feromon pada mukosa olfactori tikus jantan diperkuat
S
kerjanya. Penguatan respons/kerja diduga dilakukan oleh salah satu atau beberapa
TA
atau longilakton. Reaksi sinyal dari reseptor feromon yang sudah diperkuat oleh
R
pasak bumi ke areal medial preoptik area (MPO), medial amigdala (MEA), dan
E
bagian bed nukleus dari stria terminalis (BST) yang berfungsi sebagai pengendali
IV
libido, dapat merangsang pelepasan GnRH-LH dari hipotalamus dan lebih lanjut
N
60
KA
Luteinizing hormone (LH) adalah suatu hormon reproduksi dengan bobot
BU
molekul 28.500-30.000 dalton (28,5-30,0 kDa). Hormon LH pada wanita dan
R
hewan betina merangsang pematangan tahap akhir dari folikel graaf, terjadinya
TE
ovulasi dan perkembangan corpus luteum. Sekresi estrogen dan progesteron
dirangsang oleh LH, sedangkan fungsi LH pada laki-laki dan hewan jantan
S
seperti ductus deferen, prostat, dan vesica seminalis (Harper et al. 1979; Squires
N
2003).
U
61
KA
Squires 2003).
BU
3). Tingkat Aktivitas Sel-Sel Penghasil Hormon FSH
R
Berdasarkan temuan bahwa pada hari ke-3 pemberian seduhan pasak bumi
TE
dosis 18 mg/200 g bb terjadi peningkatan bermakna sel-sel basofil pada hipofisis.
Sel basofil diketahui sebagai sel yang memproduksi hormon LH dan FSH.
S
Selanjutnya setelah ditemukan bahwa pasak bumi merupakan trigger yang kuat
TA
tikus putih jantan yang diamati adalah pada perlakuan: pemberian aquades 1 ml
IV
pada hari ke-1, dan pemberian aquades 1 ml sampai hari ke-3 sebagai kontrol.
N
Pemberian dosis seduhan pasak bumi 18 mg/200 g bb pada hari ke-1, dan
U
pemberian dosis seduhan pasak bumi 18 mg/200 g bb sampai hari ke-3 sebagai
perlakuan.
Tingkat aktivitas respons kerja sel-sel penghasil hormon FSH
diekspresikan dalam gradasi warna kromogen yang diikat oleh kompleks antigen-
antibodi FSH pada sel-sel hipofisis penghasil hormon FSH. Respons/kerja sel-sel
penghasil FSH yang sangat aktif/kuat ditandai dengan visualisasi warna cokelat
tua (positif 3) yang berarti di dalam sel tersebut disintesis hormon FSH dalam
konsentrasi maksimal secara kualitatif. Urutan berikutnya tingkatan yang sedikit
lebih rendah kandungan hormon FSH ditunjukkan dengan visualisasi warna
62
cokelat untuk positif 2 dan warna cokelat muda untuk positif 1, rerata jumlah sel-
sel penghasil FSH sesuai dengan tingkat kelompok respons/kerja terdapat pada
Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah sel-sel penghasil FSH pada hipofisis setelah perlakuan kontrol
aquades dan pasak bumi pada hari ke-1 sampai hari ke-3.
KA
ke-1
4 Pasak bumi hari 0,6±0,3 b 10,6±1,2 b 70,9±3,9 c 82,1±5,2c
ke-3
BU
Keterangan: huruf kecil superskrip berbeda pada kolom yang sama menyatakan
perbedaan nyata pada taraf 5 %, Uji Duncan α = 0,05.
R
TE
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian pasak bumi dosis
seduhan 18 mg/200 g bb meningkatkan respons/kerja sel-sel penghasil hormon
S
FSH positif 1 secara nyata pada hari ke-3 (uji Duncan α = 0,05). Sel-sel penghasil
TA
FSH diaktifkan kerjanya dengan peningkatan jumlah sel-sel FSH positif 1 dari
SI
hari ke-1 ke hari ke-3 (25,4 menjadi 70,9 sel), yang meningkat dibandingkan
R
penghasil FSH positif 2 dan positif 3 dari hari ke-1 sampai hari ke-3
IV
dibandingkan dengan kontrol pemberian aquades dari hari ke-1 sampai hari ke-3
N
tidak berbeda nyata secara statistik (uji Duncan α = 0,05). Jumlah sel-sel FSH
U
positif 3 pengaruh pemberian pasak bumi hari ke-1 (0,6 sel) sampai hari ke-3 (0,6
sel) tetap tidak meningkat. Sedangkan jumlah sel penghasil FSH yang positif 2
perlakuan pasak bumi hari ke-1 sampai hari ke-3 8,9 menjadi 10,6 sel) tidak
berbeda nyata secara statistik dengan kontrol sampai hari ke-3 (4,3 menjadi 5,6
sel). Secara keseluruhan terjadi peningkatan aktifitas yang lemah atau sedikit
produksi hormon FSH pada hipofisis setelah pemberian pasak bumi sampai hari
ke-3. Total sel positif FSH yang lemah aktivitasnya (didominasi positif 1) hari
ke-3 adalah 82,1 dibandingkan kontrol pada hari ke-3, yaitu 41,6 sel (uji Duncan,
α = 0,05).
63
KA
bobot molekul kira2 30.000 dalton (30 kDa). Kerja FSH melakukan ikatan
dengan reseptor spesifik pada membran plasma sel target, selanjutnya
BU
menyebabkan peningkatan adenilat siklase dan cAMP. Fungsi FSH pada wanita
dan hewan betina: 1). R
memperlancar pertumbuhan folikel, 2). menyiapkan
TE
folikel untuk fungsi LH, dan 3). memperbesar pengeluaran estrogen yang
dirangsang oleh LH. Kadar FSH pada wanita mengalami puncak 10 X daripada
S
kadar yang basal yang dicapai pada atau sebelum masa ovulasi (Harper et al.
TA
saluran seminalis dan testis, dan berperan penting pada tingkat permulaan
E
yang rendah pada masa anak-anak. Sekresi FSH dihambat oleh pemberian
N
testosteron, progesteron dan mungkin FSH sendiri. FSH terikat pada sel-sel
U
Sertoli. Inhibin, aktifin, dan folistatin (aktifin binding protein) dihasilkan oleh
gonad dan mengatur pengeluaran FSH oleh hipofisis. Inhibin dan aktifin adalah
anggota keluarga group TGF β polipeptida, inhibin mengurangi produksi FSH.
Sementara aktifin meningkatkan produksi FSH dan tidak terpengaruh GnRH.
Folistatin adalah kelompok dari glikoprotein monomer yang mengikat aktifin
dan mencegah stimulasi produksi FSH (Harper et al. 1979; Bergman 2000;
Squires 2003).
Releasing hormone (RH) untuk hormon LH dan FSH (LH/FSH-RH)
dipakai untuk meningkatkan fertilitas pada pasien-pasien dengan amenorrheae.
64
Berdasarkan struktur umum kimiawi hormon LH, FSH, tirotropin, dan human
chorionic gonadotropin (hCG) terdiri atas 2 rantai α & β. Rantai β panjangnya
110-120 asam amino, mempunyai aktivitas biologi yang spesifik. Rantai α
sedikit lebih pendek, kurang-lebih 90 rantai asam amino. Karbohidrat yang
terdapat pada gonadotropin terdiri atas asam siklat, heksosa, heksosamin (Harper
et al. 1979; Norman & Litwack 1987; Squires 2003).
KESIMPULAN
KA
pemberian pasak bumi dosis seduhan 18 mg/200 g bb. Peningkatan yang
nyata jumlah sel-sel basofil terjadi pada hari ke-3 pemberian pasak bumi
BU
dibandingkan dengan kontrol sampai hari ke-3. Sebaliknya, sebaran sel-sel
R
asidofil mengalami penurunan yang nyata pada hari ke-3 dibandingkan dengan
TE
kontrol sampai hari ke-3.
2) Identifikasi lanjutan secara imunohistokimia memperoleh bahwa sel-sel
S
basofil yang menanggapi atau bereaksi kuat terhadap pemberian pasak bumi
TA
hormon LH intrasel yang nyata pada hipofisis setelah pemberian pasak bumi
R
rerata jumlah sel-sel LH positif 3 dari hari ke-1 ke hari ke-3 yang meningkat
IV
lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Berkaitan dengan itu
N
dapat disebutkan bahwa pasak bumi merupakan trigger kuat untuk hormon
U
LH.
3) Sementara itu, sel-sel penghasil FSH pada hipofisis diaktifkan kerjanya
dengan lemah (positif 1), tidak terjadi peningkatan nyata jumlah sel-sel
penghasil FSH positif 2 dan positif 3 sampai hari ke-3 dibandingkan dengan
kontrol sampai hari ke-3 (uji Duncan α = 0,05).
65
DAFTAR PUSTAKA
Bergman A. 2000. Molecular Biology of the Cell 4th ed. Texas, New York:
Garland Science.
Bhat R, Karim AA. 2010. Tongkat Ali (Eurycoma longifolia Jack) a review on its
etnobotany and pharmacological importance. Fitoterapia 81(7): 669-679
KA
Depkes 2003. Standarisasi Sediaan Obat Herba. Makalah Seminar Dan Pameran
Nasional. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta
BU
25-26 Maret 2003.
Science Ltd.
TA
Kiernan JA. 1990. Histological and histochemical methods: Theory and Practice.
IV
Pratomo H. 1987. Efek rimpang kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai anti
piretik pada tikus putih jantan yang didemamkan [skripsi]. Jakarta:
Fakultas Biologi UNAS.
Soedibyo BRAM. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan. Jakarta:
Balai pustaka.
66
KA
BU
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
67
Abstrak
Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa pemberian pasak bumi dosis
seduhan 18 mg/200 g bb telah meningkatkan aktivitas sel yang memproduksi
hormon LH intrasel pada hipofisis anterior. Penelitian dilanjutkan dengan tujuan
untuk menentukan kadar testosteron serum darah setelah pemberian pasak bumi
sampai hari ke-3. Sampel darah diambil dari jantung pada hari tikus dikorbankan.
Pengukuran testosteron dilakukan dengan menggunakan metode
radioimmunoassay (RIA). Hasil penelitian menjelaskan bahwa terjadi peningkatan
kadar testosteron pada serum darah pada hari ke-3 (=9,73 ng/ml) pemberian
KA
seduhan pasak bumi dosis 18 mg/200 g (=90 mg/kg) bb secara nyata dibanding
kontrol hari ke-3 (=2,46 ng/ml) (uji Duncan, α=0,05). Hal ini menjelaskan bahwa
BU
peningkatan LH telah direspons oleh sel-sel Leydig dengan mensintesis dan
mensekresikan testosteron ke dalam darah.
Kata kunci: Pasak bumi, dosis 90 mg/kg bb, testosteron
R
TE
Abstract
In conjunction with the study on the effect of Pasak Bumi as aphrodisiac this
S
blood circulation. Since Pasak Bumi increased the number of basophile cells
producing LH, it may induce a release of related hormone. Blood samples were
SI
collected from intra cardiac. All collected serums were then analysed using
radioimmunoassay (RIA) to measure the testosterone concentrations. The result
R
control. This result was in line with the theory of testosterone hormone synthesis
in the Leydig cells which was triggered by elevating release of LH to the blood
N
circulation. It can be conclude that Pasak bumi may play an important role in
U
68
PENDAHULUAN
KA
memproduksi hormon FSH pada hipofisis tetap dipertahankan dan tidak
meningkat aktivitasnya secara nyata pada hari ke-3 pemberian pasak bumi
BU
dibanding kontrol.
R
Penelitian pasak bumi pada efek lainnya telah dikerjakan misalnya
TE
sebagai hepatoprotektor oleh Panjaitan (2008). Kerusakan hati akibat terpapar
senyawa yang bersifat toksik dan karsinogenik akan mengganggu fungsi hati
S
(Cotran et al. 1999). Hepatoprotektor adalah senyawa atau zat yang berkhasiat
TA
melindungi sel sekaligus memperbaiki jaringan hati yang rusak akibat pengaruh
SI
zat toksik. Panjaitan (2008) menemukan bahwa pemberian akar pasak bumi fraksi
R
Ekstrak pasak bumi dengan pelarut air didapati kandungan antara lain
IV
juga di dalamnya termasuk eurikomanon dan longilakton (Ang & Lee 2002).
U
69
KA
dilakukan di laboratorium klinik Mandapa Jl. Raya Pajajaran Bogor. Tikus putih
jantan terlebih dahulu diperlakukan seperti pada Tabel 9 sebelum dianastesi
BU
menggunakan ketamin (berisi ketamil) dan diambil darahnya untuk pengukuran
hormon testosteron. R
TE
Tabel 9 Rancangan kegiatan untuk analisis kadar testosteron
Waktu Pkl 9.00 WIB Selang 5 jam Pkl. 14.00 Pkl 14.12
S
WIB WIB
TA
dan ke-3
E R
pemberian aquades 1 ml/200 g bb pada kelompok kontrol pada hari ke-1 sampai
N
hari ke-3. 2) pemberian dosis seduhan pasak bumi terpilih, yaitu 18 mg/200 g bb
U
pada kelompok perlakuan pada hari ke-1 sampai hari ke-3. Sampling darah yang
diambil dari jantung dilakukan pada kelompok kontrol dan perlakuan pasak bumi
pada hari ke-1 dan hari ke-3.
Bahan Penelitian
Hewan percobaan menggunakan tikus putih jantan dewasa Rattus
norvegicus strain Sprague Dawley berumur 3 ½ bulan dengan bobot 121-194
g. Tikus tersebut diperoleh dari laboratorium hewan coba badan POM sejumlah
18 ekor, untuk perlakuan dengan rincian sebagai berikut: 9 ekor jantan diberi
perlakuan pasak bumi setiap hari sekali, pada hari ke-1 dan ke-3 setelah perlakuan
70
KA
Pratomo 1987). Bagian kayu dari akar pasak bumi yang relatif keras dicuci
bersih lalu ditiriskan dan dipotong-potong dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 2
BU
cm dan tebal 2 cm. Potongan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC selama 5
hari, R
selanjutnya dipotong kecil-kecil menggunakan pisau stainless tajam.
TE
Potongan akar kayu tersebut lalu digiling sampai halus menggunakan alat giling
khusus untuk membuat tepung lalu disaring dengan pengayak Mesh 50 (ukuran
S
kering.
SI
R
Pengukuran hormon testosteron dilakukan pada hari ke-1 dan hari ke-3
IV
radioimmunoassay (RIA). Tikus jantan diberi perlakuan pasak bumi dan kontrol
U
pada pukul 9.00 pagi, lalu pada pukul 14.00 digoda dengan tikus betina estrus di
dalam kandang pengamatan bersekat. Selanjutnya dilakukan pembiusan tikus
putih jantan menggunakan ketamil, tikus putih lalu diambil darahnya dari jantung
menggunakan spuit sejumlah 1 cc, darah tersebut didiamkan 2 jam pada suhu
kamar. Lalu darah disentrifus 2500 rpm selama 15 menit, serumnya diambil dan
disimpan di dalam ependorf dengan diberi label catatan diselotip dan disimpan di
dalam freezer. Serum tadi dipipet 50 µl kemudian di tambahkan isotop Jodium
131 (131 I) testosteron 1,0 ml untuk setiap tube, lalu di vortex. Selanjutnya
diinkubasikan selama 3 jam pada suhu 37°C. Setelah itu dilakukan decant dan
71
pembacaan kadar hormon di laboratorium dengan alat pembaca sinar Gamma dari
isotop Jodium 131 (131 I) testosteron.
Metode radioimmunoassay (RIA) mempunyai prinsip kerja, yaitu: antara
lain prinsip yang paling banyak digunakan adalah sandwich. Prinsip kerja dari
sandwich adalah reaksi suatu antibodi dalam konsentrasi yang terbatas dengan
berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang bebas dan yang terikat
yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antibodi dalam kadar yang terbatas
ditentukan dengan menggunakan antigen yang diberi label radio isotop
(Greenspan & Strewler 1997; Rusmana 2005). Jumlah antigen berlabel yang
terikat, antibodi pada fase padat, dan konyugat dapat ditentukan dengan suatu
KA
radiation counter atau gamma counter. Pada pengukuran hormon, label radio
125
isotop yang digunakan adalah isotop I untuk hormon LH, progesteron,
BU
131 3 57
estrogen. Isotop I untuk testoteron. H dan Co untuk hormon FSH.
R
Kelebihan metode RIA adalah : Sensitivitas dan presisi yang tinggi, sedangkan
TE
kekurangan metode RIA adalah : Reagen kurang stabil, memerlukan proteksi
terhadap bahan radioaktif (radioactive hazardous) (Greenspan & Strewler 1997;
S
terjadi peningkatan produksi hormon LH intrasel yang nyata pada hipofisis setelah
U
pemberian pasak bumi sampai hari ke-3. Total sel yang positif LH hari ke-3
adalah 82,8 sel dibandingkan kontrol pada hari ke-3, yaitu 56,7 sel (uji Duncan,
α = 0,05). Berdasarkan peningkatan yang signifikan tersebut, maka diperlukan
informasi tentang keadaan kadar hormon testosteron di dalam serum darah
sebagai kelanjutan proses fisiologi dari peningkatan kadar hormon LH.
Kadar hormon testosteron di dalam darah yang disampling dari jantung
diukur pada hari ke-1 sampai hari ke-3. Kadar testosteron hari ke-1 dan ke-3 pada
tikus jantan yang digoda betina estrus pada kandang pengamatan yang didahului
dengan perlakuan pasak bumi dibanding kontrol terdapat pada Tabel 10.
72
KA
pasak bumi dosis 18 mg/200 g bb sampai hari ke-3, yaitu 9, 73 ng/ml dibanding
perlakuan kontrol sampai hari ke-3, yaitu 4,00 ng/ml (Uji Duncan, α = 0,05).
BU
Peningkatan kadar rerata testosteron pada perlakuan kontrol dari hari ke-1 sampai
hari ke-3, yaitu 0,5 meningkat menjadi 2,46 ng/ml masih di bawah peningkatan
R
TE
kadar rerata testosteron pada perlakuan pasak bumi hari ke-1 sampai hari ke-3,
yaitu 4,00 ng/ml meningkat menjadi 9,73 ng/ml (Tabel 10).
S
Kadar testosteron tidak berbeda nyata pada kontrol hari ke-3 secara
TA
bahwa di bawah pengaruh perlakuan godaan dari betina estrus secara berlanjut
R
pada jam 14.00 selama 10 menit sekali setiap hari selama 3 hari tidak signifikan
E
pemberian seduhan pasak bumi 18 mg/200 g bb. Kadar testosteron yang terjadi
U
pada perlakuan pasak bumi meningkat dari hari ke-1 sampai hari ke-3 lebih tinggi
dari kontrol dan secara statistik berbeda nyata (Uji Duncan α = 0,05). Secara nyata
pasak bumi mempengaruhi peningkatan sintesis testosteron di dalam sel-sel
Leydig, dilanjutkan dengan sekresi testosteron ke dalam sirkulasi darah. Kadar
testoteron meningkat secara nyata setelah perlakuan pasak bumi hari ke-1 sampai
pada hari ke-3 (Tabel 10).
Temuan pada penelitian tahap yang lebih dulu telah menjelaskan bahwa
terjadi peningkatan aktivitas sel-sel penghasil LH pada hipofisis tikus perlakuan
pasak bumi. Kemudian diikuti dengan peningkatan pelepasan LH ke dalam darah,
73
dan didistribusikan sehingga sampai pada sel-sel Leydig sebagai sel tujuan LH.
Tanggapan berikutnya adalah terjadi peningkatan aktivitas sel-sel Leydig,
sehingga aktif memproduksi testosteron yang dibuktikan dengan telah terjadi
peningkatan kadar hormon testosteron di dalam serum darah pada hari ke-3
perlakuan pasak bumi dibanding hari ke-1 (4,00 ng/ml meningkat menjadi 9,73
ng/ml, Tabel 10). Pada keadaan normal, kadar testosteron total pada tikus putih
jantan dewasa bervariasi dari 0,5 ng/ml sampai dengan 5,4 ng/ml (Favig & Foad
2009).
Testosteron dibutuhkan untuk perkembangan normal spermatozoa.
Testosteron mengaktifkan gen-gen di dalam sel-sel Sertoli yang memicu
KA
diferensiasi sel-sel spermatozoa dalam perkembangan spermatogenesis misalnya
diferensiasi spermatogonia. Testosteron juga berpengaruh pada respons tanggapan
BU
jalur sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (Hypothalamic-pituatary-adrenal axis
R
atau HPA) (Mehta et al. 2008). Sejumlah besar testosteron kira-kira 95 % atau
TE
lebih diproduksi oleh testis pada jantan. Testosteron juga disintesis dalam jumlah
yang jauh lebih sedikit pada betina oleh sel-sel teka dari ovarium, oleh plasenta,
S
dan juga oleh zona reticularis dari korteks adrenal pada jantan dan betina. Pada
TA
testis, testosteron diproduksi oleh sel-sel Leydig. Kelenjar generatif jantan juga
SI
Kadar testosteron total pada tikus putih jantan dewasa bervariasi dari
IV
rerata 0,5 ng/ml sampai dengan 5,4 ng/ml pada keadaan normal. Tantawi et al.
N
(2007) menyebutkan kadar testosteron total tikus putih jantan strain Sprague
U
Dawley dewasa berumur 3 ½ bulan pada keadaan normal diukur dengan metode
RIA reratanya adalah 0,5 ng/ml. Tantawi et al. (2007) dengan metode yang sama
pada penelitian tikus putih jantan strain Sprague Dawley dewasa berumur 4
bulan pada keadaan normal mendapatkan kadar testosteron total reratanya adalah
0,8 ng/ml. Sementara itu, kadar testosteron total pada tikus putih jantan Sprague
Dawley dewasa berumur 4-5 bulan pada keadaan normal diukur dengan metode
RIA temuan Favig dan Foad (2009) reratanya adalah 5,4 ng/ml. Kadar testosteron
total tikus putih jantan strain Wistar dewasa berumur 3 bulan pada keadaan
normal diukur dengan metode RIA temuan pada penelitian Kaspul (2007)
74
KA
Sintesis testostron di dalam sel Leydig dipengaruhi oleh hormon LH yang
juga disebut hormon intertitial cell stimulating hormone (ICSH). Sekresi LH dari
BU
hipofisis anterior diperantarai oleh perangsangan siklik AMP dan sintesis
R
kalmodulin (Squires 2003). Perangsangan itu diduga diperankan oleh salah satu
TE
senyawa kandungan dan atau dari beberapa senyawa kandungan seduhan pasak
bumi yang diberikan pada hari ke-1 sampai hari ke-3 misalnya eurikomanon dan
S
aliran darah sehingga dalam waktu 1 sampai 3 hari telah dapat ditentukan
N
75
KA
mempengaruhi inti sel agar gen–gen yang mengatur biosintesis testosterone
menjadi aktif dan mulailah terjadi sintesis testosteron. Tahap pertama dalam
BU
biosintesis melibatkan pembelahan oksidasi dari satu sisi rantai kolesterol oleh
CYP11A suatu enzim oksidase sitokrom R
P450 pada mitokondria dengan
TE
hilangnya enam atom karbon untuk menjadi pregnenolon. Tahap berikutnya dua
atom karbon dipindah oleh enzim CYP17A di dalam retikulum endoplasma untuk
S
menghasilkan variasi dari steroid C19. Di samping itu, grup 3-hidroksil dioksidasi
TA
oleh 3-β-HSD untuk menghasilkan androstenedion. Pada tahap akhir, atom C-17
SI
globulin (SHBG) atau dengan nama lain androgen binding protein (ABP) dan
albumin. Dengan demikian kadar SHBG menentukan kadar testosteron bebas
dalam plasma dan waktu paruhnya. Waktu paruh testosteron kira-kira 20 menit,
di sisi lain testosteron menurunkan sintesis SHBG. Sementara estrogen
meningkatkan sintesis SHBG sehingga kadar SHBG pada betina dua kali lipat
kadarnya daripada jantan (Ganiswara et al. 2000; Squires 2003). Ekskresi
testosteron 90 % melalui urin, 6 % melalui tinja dalam bentuk asal, metabolit
dan konyugat. Sebagian besar ekskresi dari urin menggambarkan sekresi
76
KESIMPULAN
KA
Pemberian seduhan pasak bumi sampai hari ke-3 meningkatkan aktivitas
BU
sel-sel Leydig dalam mensintesis testosteron. Kadar testosteron dalam serum
R
darah meningkat signifikan pada kelompok perlakuan pemberian seduhan pasak
TE
bumi lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol sampai hari ke-3.
S
TA
SI
E R
IV
N
U
77
DAFTAR PUSTAKA
Ang HH, Lee KL. 2002. Effect of Eurycoma longifolia Jack on orientation
activities in middle-aged male rats. [Abstract] Fund & Clin Pharmacol
16 (6): 479
KA
Cotran RS, Kumar V, Collins T. 1999. Robbins Pathologic Basis of Diseases.
8th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co
BU
Depkes 2003. Standarisasi Sediaan Obat Herba. Makalah Seminar Dan Pameran
Nasional. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta
R
25-26 Maret 2003.
TE
Favig EM, Foad O. 2009. Serum and plasma levels of total and free testosterone
and of sex hormone binding globulins in rats growing in the below sea
S
Greenspan FS, Strewler GD. 1997. Appendix, in Francis S.G and Gordon J. S
E
International Inc.
N
th
Chemistry 17 Ed. Drawer L, Los Altos, California: Lange Medical
Publications.
Mehta PH, Jones AC, Josephs RA. 2008. The social endocrinology of
dominance: basal testosterone predicts cortisol changes and behavior
following victory and defeat. J Pers Soc Psychol 94 (6): 1078–93.
78
Panjaitan Ruqiah GP. 2008. Pengujian aktivitas hepatoprotektor akar pasak bumi
(Eurycoma longifolia Jack) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Pratomo H. 1987. Efek rimpang kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai anti
piretik pada tikus putih jantan yang didemamkan [skripsi]. Jakarta:
Fakultas Biologi UNAS.
KA
Reproduksi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unpad.
BU
Squires EJ. 2003. Applied animal endocrinology. Wallingford UK: Cabi
Publishing.
R
Tantawy WHE, Abeer T, Omayma DE. 2007. Free serum testosterone in male
TE
rats treated with Tribulus alatus extract. Int Braz J Urol 33: 554-9.
Waterman MR, Keeney DS. 1992. Genes involved in androgen biosynthesis and
S
Zuber MX, Simpson ER, Waterman MR. 1986. Expression of bovine 17 alpha-
SI
79
Abstrak
Dalam rangka mempelajari kerja atau peranan pasak bumi pada organ reproduksi
primer, dilakukan kajian morfologi perkembangan spermatozoa tikus putih jantan
dewasa. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasak bumi berperan
dalam sintesis testosteron pada sel-sel intertisial Leydig. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkonfirmasi efek peningkatan aktivitas sel LH intraseluler dan
testosterone pada perkembangan sel spermatozoa dalam spermatogenesis pada
tubuli seminiferi. Grup tikus jantan sejumlah 9 ekor diperlakukan dengan pasak
KA
bumi dosis 18 mg/200 g (=90 mg/kg) bb selama tiga hari, demikian juga 9 ekor
untuk kontrol. Pada hari ke-1 dan ke-3 masing-masing disampel tiga ekor
BU
dikorbankan untuk memperoleh jaringan testis. Fiksasi dilakukan dengan 4 %
paraformaldehid dan diproses menggunakan metode histologi dengan pewarnaan
HE. Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya pada tubuli seminiferi
R
mendapatkan tahapan sel sperma dalam proses spermatogenesis. Hasilnya
TE
menjelaskan bahwa pemberian pasak bumi sampai hari ke-3: 1) meningkatkan
jumlah spermatid akhir secara nyata. dan 2) mempertahankan jumlah
spermatogonia, walaupun terjadi peningkatan bentuk spermatogonia tetapi sedikit
S
dan tidak berbeda nyata secara statistik. Disimpulkan bahwa pasak bumi berperan
TA
Abstract
IV
reproductive organ, a morphological study was done on mature male rats. Since
U
80
PENDAHULUAN
KA
hingga 92,34 g/kg bb fraksi metanol-air mematikan hewan coba. Dari temuan itu
dinyatakan bahwa LD50 fraksi metanol-air pasak bumi adalah setara dengan 34,65
BU
g/kg bb tikus putih. Suatu sediaan yang mempunyai nilai LD50 lebih besar dari 15
R
g/kg bb dinyatakan praktis tidak toksik (Lu 1995). Dengan demikian, pasak bumi
TE
merupakan bahan tidak toksik karena mempunyai LD50 yang nilainya lebih besar
dari 15 g/kg bb.
S
yang menanggapi atau bereaksi kuat terhadap pemberian pasak bumi adalah sel-
R
0,05) setelah pemberian pasak bumi sampai hari ke-3 yang ditunjukan dengan
N
peningkatan jumlah sel-sel LH positif 3 dari hari ke-1 ke hari ke-3 yang
U
81
penelitian ini dengan telah terjadi peningkatan kadar hormon testosteron di dalam
serum darah pada hari ke-3 perlakuan pasak bumi (4,00 ng/ml meningkat menjadi
9,73 ng/ml). Pada keadaan normal, kadar testosteron total pada tikus putih jantan
dewasa bervariasi dari rerata 0,5 ng/ml sampai dengan 5,4 ng/ml (Favig & Foad
2009).
Beberapa perolehan penelitian ini sebelumnya menjelaskan bahwa
pemberian pasak bumi meningkatkan libido, jumlah sel-sel basofil, tingkat
aktivitas sel-sel yang memproduksi LH, mempertahankan tingkat aktivitas sel-sel
yang memproduksi FSH, dan meningkatkan kadar testosteron serum. Hormon-
hormon LH, FSH, dan testosteron telah dilaporkan berperan dalam perkembangan
KA
spermatogenesis (Bearden et al. 2004; Krisfalosi et al. 2006), sehingga lebih
lanjut perlu dijelaskan bagaimana kinerja pasak bumi pada tahap perkembangan
BU
spermatogenesis. Penelitian dilanjutkan dengan meneliti: kinerja pasak bumi pada
R
perkembangan tahap spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi. Tahap sel
TE
spermatozoa yang dianalisis dan dihitung adalah: spermatogonium utuh (SPM),
spermatosit primer utuh (SPST1), dan spermatid akhir (SPTDAKHR).
S
TA
ketamil dan diambil sampel jaringan testis, tikus putih jantan terlebih dahulu
diperlakukan seperti pada Tabel 11 berikut:
Tabel 11 Rancangan kegiatan untuk analisis tahap spermatogenesis dalam tubuli
seminiferi testis
Waktu Pkl 9.00 WIB Selang 5 jam Pkl. 14.00 Pkl 14.12
WIB WIB
Hari ke- Pemberian Tikus ♂istirahat Pengamatan tingkah sampling
1, 2, 3 pasak bumi laku libido 10 menit testis
peroral hari ke-1
dan ke-3
82
Bahan Penelitian
Hewan percobaan menggunakan tikus putih jantan dewasa Rattus
norvegicus strain Sprague Dawley berumur 3 ½ bulan dengan bobot 121-194 g
KA
bulan. Tikus tersebut diperoleh dari Laboratorium Hewan Coba Badan POM
sejumlah 18 ekor, untuk perlakuan dengan rincian sebagai berikut: sembilan
BU
ekor jantan dengan perlakuan pasak bumi yang akan dikorbankan masing-masing
R
3 ekor (n=ulangan=3) pada hari ke-1 dan 3 menggunakan anastesi. Sembilan
TE
ekor jantan digunakan sebagai kontrol dengan pemberian aquades yang juga
dikorbankan 6 ekor masing-masing 3 ekor pada hari ke-1 dan 3. Satu ekor tikus
S
betina dipilih yang sedang estrus digunakan sebagai penggoda dari sejumlah 5
TA
ekor tikus betina persediaan . Sebelum diberi perlakuan pasak bumi, tikus putih
SI
seperti pada pembuatan serbuk jamu lainnya (Depkes 2003; Pratomo 1987).
U
Bagian kayu dari akar pasak bumi yang relatif keras dicuci bersih lalu ditiriskan
dan dipotong-potong dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 2 cm, dan tebal 2 cm.
Potongan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC selama 5 hari, selanjutnya
dipotong kecil-kecil menggunakan pisau stainless tajam. Potongan akar kayu
tersebut lalu digiling sampai halus menggunakan alat giling khusus untuk
membuat tepung lalu disaring dengan pengayak Mesh 50 (1 inchi berisi 50
lubang, dengan ukuran pori = 300 µm). Simplisia selanjutnya disimpan dalam
toples-toples di lemari kering.
83
KA
dikorbankan untuk sampling jaringan sebagai berikut:
Hari ke-1 9 ekor tikus diberikan pasak bumi, 3 ekor untuk sampling testis.
BU
Hari ke 2 6 ekor tikus diberikan pasak bumi.
R
Hari ke-3 3 ekor tikus diberikan pasak bumi, 3 ekor untuk sampling testis.
TE
Sebagai kontrol dilakukan pemberian aquades 1 ml per oral per ekor tikus
putih, dengan ulangan sejumlah 3 ekor tikus (n=3). Demikian pula setiap
S
perlakuan pasak bumi diulang sebanyak tiga kali. Pengambilan sampel jaringan
TA
tikus kontrol dilakukan seperti kegiatan pada perlakuan, yaitu pada hari ke-1 dan
SI
ke-3. Semua sampel jaringan yang diperoleh difiksasi dalam larutan formaldehid
R
84
KA
Tahapan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi yang diamati setelah
BU
perlakuan pasak bumi dosis seduhan 18 mg/200 g bb dalam 1 ml aquades dan
kontrol pada hari ke-1 dan ke-3 adalah: Jumlah sel spermatogonium, spermatosit
R
primer, dan spermatid akhir. Profil tahapan sel-sel spermatozoa di dalam tubuli
TE
seminiferi setelah perlakuan tampak pada Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah sel-sel tahapan spermatogenesis setelah perlakuan aquades dan
S
a a a
E
ab a b
2 Aquades hari ke-3 28,5±4,2 56,9±5,4 29,2± 2,8
33,7±3,6 a b 34,2±3,5 b 52,0±7,7 a
N
85
menurun secara nyata dari hari ke-1 sampai hari ke-3 (51,0 sel menjadi 29,2 sel).
Jumlah spermatid akhir pada kelompok kontrol dari hari ke-1 sampai hari ke-3
mengalami penurunan, kejadian ini mungkin dikarenakan oleh berpindahnya
sebagian sejumlah spermatid akhir dari saluran tubuli seminiferi ke dalam
epididimis. Sementara itu, terjadi peningkatan jumlah spermatid akhir pada
perlakuan pasak bumi dari hari ke-1 sampai hari ke-3 secara nyata yang
dimungkinkan oleh adanya proses pembentukan spermatosit sekunder menjadi
spermatid. Peningkatan pembentukan spermatid akhir mungkin terjadi karena
pengaruh hormon LH dan hormon testosteron yang meningkat nyata setelah
pemberian pasak bumi sampai hari ke-3.
KA
Berdasarkan data Tabel 12, perkembangan spermatogenesis pada tahapan
spermatosit primer, tampak bahwa jumlah sel spermatosit primer pada kelompok
BU
perlakuan pasak bumi mengalami penurunan secara nyata. Penurunan jumlah sel
R
spermatosit dari hari ke-1 sampai hari ke-3 perlakuan ( 34,2 sel menjadi 31,3
TE
sel) berbeda nyata dibanding kelompok kontrol (61,5 sel menjadi 56,9 sel).
Fenomena ini menjelaskan bahwa pasak bumi mendorong proses
S
spermatid awal yang dirangsang untuk berkembang lebih aktif setelah perlakuan
E
peningkatan jumlah spermatogonium secara nyata terjadi pada hari ke-3 ( 39,6
U
sel) dibanding kontrol hari ke-1 (25,1 sel) tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan
dengan perlakuan kontrol sampai hari ke-3 (28,5 sel) dan pasak bumi hari ke-1
(33,7 sel). Walaupun demikian, secara relatif tampak terjadi peningkatan
spermatogonium yang sedikit pada perlakuan pasak bumi sampai hari ke-3
dibanding kontrol tetapi tidak berbeda nyata secara statistik. Perlakuan pasak
bumi pada tahapan perkembangan spermatogonium, tidak mempunyai pengaruh
yang meningkatkan jumlah spermatogonium. Tetapi pasak bumi mempertahankan
jumlah atau keberadaan spermatogonium yang stabil dibanding kontrol.
86
KA
Spesies Waktu untuk Waktu untuk siklus
spermatogenesis lengkap spermatogenesis di
BU
(hari) Tubuli seminiferi (hari)
Pria 64 16
Sapi jantan 54 R 13,5
Kambing jantan 49 12,25
TE
Babi jantan 34 8,5
Tikus jantan 48 12
Sumber: Johnson & Barry 1998.
S
temuan bahwa pemberian pasak bumi sampai hari ke-3 dengan dosis seduhan 18
SI
sama dengan kontrol. Di samping itu, juga ditemukan bahwa pemberian pasak
N
bumi sampai hari ke-3 meningkatkan secara nyata kadar hormon testosteron di
U
87
KA
spermatogenesis berdasarkan umur tikus jantan, Lee et al. (1975) menemukan
bahwa pada tikus Sprague Dawley jantan umur 0-5 hari memiliki kadar FSH yang
BU
tinggi/meningkat (660 ng/ml) yang berperan meningkatkan pembentukan
R
spermatogonia dari sel calon spermatogonia. Kadar FSH menurun ketika tikus
TE
jantan berumur 11-15 hari (282 ng/ml), pada saat itu penampilan histologi
spermatogenesis pada tubuli seminiferi tidak mengalami perubahan di banding
S
kontrol. Kadar FSH kembali tinggi/meningkat (421 ng/ml) pada tikus umur 26-30
TA
(Matthiesson et al. 2006). Selanjutnya pada tikus umur 51-60 hari menunjukkan
IV
kadar FSH menurun (193 ng/ml) dan ini berkaitan dengan penurunan jumlah
N
spermatozoa karena sebagian besar telah dilepas dari tubuli seminiferi (Lee et al.
U
1975).
KESIMPULAN
Pemberian pasak bumi sekali setiap hari selama 3 hari mendorong proses
spermatogenesis, khususnya pada pembentukan spermatid akhir secara nyata (uji
Duncan α = 0,05). Pada tahapan spermatogonium, pasak bumi mempertahankan
jumlah spermatogonium sampai hari ke-3 setara dibanding kontrol.
88
DAFTAR PUSTAKA
Bearden HJ, John W Fukuay, Scott TW. 2004. Applied animal reproduction 6Th
ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Cox RM and John AHB. 2005. Testosterone has opposite effects on male growth
in lizards (Sceloporus spp.) with opposite patterns of sexual size
dimorphism. J Exp Biol 208 (24): 4679–87.
Depkes 2003. Standarisasi Sediaan Obat Herba. Makalah Seminar Dan Pameran
Nasional. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta
25-26 Maret 2003.
Favig EM, Foad O. 2009. Serum and plasma levels of total and free testosterone
KA
and of sex hormone binding globulins in rats growing in the below sea
level environtment of the Jordan valley. J Endocr 5(2): 1-6.
BU
Johnson MH, Barry JE. 1998. Essential reproduction. London: Blackwell
Science Ltd. R
TE
Kiernan JA. 1990. Histological and histochemical methods: Theory and Practice.
2nd ed. New York: Pergamon Pr.
S
enzymes are tighly bound to the fibrous sheath of rat spermatozoa. Biol
Reprod 75:270-278.
SI
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ sasaran, dan penilaian resiko. Ed
ke empat. Nugroho E, penerjemah; Jakarta: UI Press, Terjemahan dari:
N
85-105
Matthiesson KL, Robert IM, Liza OD, Mark F, David MR, Peter GS, and Sarah
JM. 2006. The relative roles of FSH and LH in maintaining
spermatogonial maturation and spermiation in normal men. The J of Clin
Endocrinol and Metab. 91(10):3962-3969
Panjaitan Ruqiah GP. 2008. Pengujian aktivitas hepatoprotektor akar pasak bumi
(Eurycoma longifolia Jack) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Pratomo H. 1987. Efek rimpang kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai anti
piretik pada tikus putih jantan yang didemamkan [skripsi]. Jakarta:
Fakultas Biologi UNAS.
89
Abstrak
Penelitian tahapan sebelumnya menemukan bahwa sel-sel hipofisis yang
memproduksi LH lebih aktif dibanding sel-sel yang memproduksi FSH setelah
pemberian seduhan pasak bumi dosis 18 mg//20 g bb. Penelitian selanjutnya
menemukan bahwa kadar testosteron serum pada hari ke-3 perlakuan pasak bumi
meningkat nyata dibanding kontrol. Lebih lanjut menemukan bahwa pemberian
seduhan pasak bumi sampai hari ke-3 mengakibatkan pembentukan spermatid
akhir meningkat nyata. Hasil-hasil tersebut mendorong peneliti untuk melanjutkan
KA
penelitian. Maka sebagai end point penelitian kinerja pasak bumi dilanjutkan
dengan menentukan profil diameter kauda epididimis dan mengukur kualitas
BU
semen dan spermatozoa di dalam kauda epididimis. Tujuan penelitian selanjutnya
adalah: 1). mengukur perubahan diameter kauda epididimis. 2). mengukur
kualitas semen dari kauda epididimis dan 3). mengukur kualitas spermatozoa dari
R
kauda epididimis. Metode untuk 1) pengukuran diameter kauda epididimis
TE
dilakukan dengan cara mengukur diameter saluran-saluran di dalam kauda
epididimis setelah diwarnai menggunakan HE; 2) pengukuran kualitas semen
kauda epididimis dilakukan dengan mengambil semen dari kauda epididimis lalu
S
pada hari ke-3 tidak meningkat, sama dengan kontrol. 2). Kualitas semen kauda
E
meningkat setelah perlakuan pasak bumi sampai hari ke-3. Walaupun demikian,
3). kinerja pasak bumi meningkatkan secara nyata konsentrasi spermatozoa dan
N
Abstract
Previous result showed that the hypophysis cells produced LH hormone more
active than FSH cells. Moreover by the same treatment found that testosterone
synthesis increased, that could improve the development of the late spermatid
stage in the tubulus seminiferous. Based on the results, research continued to
document “the end point” of male reproduction were 1). to determine the
diameter change of cauda epididymis tubule. 2). to measure the quality of semen
of cauda epididymis and 3). to measure the quality of spermatozoon inner cauda
epididymis. Methods: 1) the diameter change of inner canals of cauda epidydimis
90
KA
PENDAHULUAN
BU
Serbuk akar pasak bumi seberat 1 g dengan air seduhan 100 ml diminum
R
pria dewasa sekali setiap hari selama 3 hari dapat meningkatkan nafsu makan dan
TE
libido. (Soedibyo 1998; Kardono et al. 2003; Biotech 2007). Dosis tersebut
S
dengan indeks konversi dosis 0,018 (Donatus et al. 1998) menjadi 18 mg/200 g
bobot badan tikus putih. Sumber lain menyebutkan khasiat pasak bumi pada
SI
Wijayakusuma (1994) dan Kardono et al. (2003) bahwa serbuk akar pasak
IV
bumi dengan air seduhan jika diminum beberapa kali dapat meningkatkan libido
N
91
yang menemukan bahwa kadar testosteron serum pada hari ke-3 meningkat nyata
dibanding kontrol.
Peningkatan kadar hormon testosteron, tingkat aktivitas sel penghasil LH,
dan kestabilan tingkat aktivitas sel penghasil FSH mempengaruhi perkembangan
tahapan proses spermatogenesis. Selanjutnya, penelitian menemukan bahwa
pemberian seduhan pasak bumi sampai hari ke-3 mengakibatkan pembentukan
spermatid akhir meningkat nyata. Pada hari ke-3 juga disertai dengan
pembentukan spermatosit primer menurun, dan mempertahankan jumlah
spermatogonium dibanding kontrol. Matthiesson et al. (2006) juga menemukan
bahwa pembelahan spermatogonia dipengaruhi oleh FSH, sedangkan proses
KA
spermiogenesis nampak jelas dipengaruhi oleh LH dan testosteron testis.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian pada tahapan sebelumnya
BU
memperoleh temuan kinerja pasak bumi pada tikus jantan yang menghasilkan
peningkatan libido, hormon-hormon R
reproduksi dan gambaran tahapan
TE
spermatogenesis. Maka sebagai end point penelitian, perlu dilanjutkan dengan
menentukan profil diameter kauda epididimis dan mengukur kualitas semen dan
S
92
Bahan Penelitian
Hewan percobaan menggunakan tikus putih jantan dewasa Rattus
norvegicus strain Sprague Dawley berumur 3 ½ bulan dengan bobot 121-194
g. Tikus tersebut diperoleh dari Laboratorium Hewan Coba Badan POM di Jakarta
sejumlah 18 ekor, untuk perlakuan dengan rincian sebagai berikut: 9 ekor jantan
dengan perlakuan pasak bumi yang akan dikorbankan 6 ekor menggunakan
anastesi masing-masing 3 ekor (n=ulangan=3) pada hari ke-1 dan 3 ekor pada
hari ke-3. Selebihnya 9 ekor jantan digunakan sebagai kontrol dengan pemberian
aquades yang juga dikorbankan 6 ekor masing-masing 3 ekor pada hari ke-1 dan
3 ekor pada hari ke-3. Sejumlah tikus betina dipilih yang sedang estrus digunakan
KA
sebagai penggoda. Sebelum diberi perlakuan pasak bumi, tikus putih
diadaptasikan di kandang hewan percobaan di Laboratorium Anatomi dan
BU
Histologi FKH. Waktu adaptasi masing-masing selama 2 minggu. Selama
R
penelitian tikus diberi pakan dan minum ad libitum.
TE
Simplisia akar tanaman pasak bumi (Eurycomae longifolia Jack) dikuliti
seperti pada pembuatan serbuk jamu lainnya (Depkes 2003; Pratomo 1987).
S
Bagian kayu dari akar pasak bumi yang relatif keras dicuci bersih lalu ditiriskan
TA
dan dipotong-potong dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 2 cm, dan tebal 2 cm.
SI
Potongan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC selama 5 hari, selanjutnya
R
tersebut lalu digiling sampai halus menggunakan alat giling khusus untuk
IV
membuat tepung lalu disaring dengan pengayak Mesh 50 (ukuran pori = 300
N
93
Tabel 14 Rancangan kegiatan untuk analisis kinerja pasak bumi pada kauda
epididimis
Waktu Pkl 9.00 WIB Selang 5 jam Pkl. 14.00 Pkl 14.12
WIB WIB
Hari ke-1, Pemberian Tikus ♂istirahat Pengamatan tingkah sampling
2, 3 pasak bumi laku libido 10 menit epididimis
Peroral hari ke-1
dan ke-3
Perlakuan yang diberikan untuk analisis kerja pasak bumi pada kauda
epididimis dan kualitas semen, ialah: 1) pemberian aquades 1 ml/200 g bb pada
kelompok kontrol pada hari ke-1 sampai hari ke-3. 2) pemberian dosis seduhan
pasak bumi terpilih, yaitu 18 mg/200 g bb pada kelompok perlakuan pada hari ke-
KA
1 sampai hari ke-3. Sampling kauda epididimis dilakukan pada kelompok kontrol
BU
dan perlakuan pasak bumi pada hari ke-1 dan hari ke-3. Kajian kerja pasak bumi
pada kualitas semen di dalam kauda epididimis dilakukan setelah perlakuan,
R
seperti pada Tabel 14, lalu tikus jantan dianastesi menggunakan ketamil dan
TE
mendorong sisi bagian dalam dinding kauda epididimis menjadi lebih luas
N
perubahan volume yang dialami setelah perlakuan pasak bumi dan kontrol
aquades. Pengukuran diameter dilakukan terhadap 20 saluran kauda epididimis
dari 3 slide ulangan untuk setiap perlakuan. Jaringan kauda epididimis dipotong
di bagian tengah secara melintang lalu dilakukan pewarnaan HE. Selanjutnya
pengukuran dilakukan menggunakan alat eyepiece dan micrometer 2 µm yang
dipasang pada mikroskop binokuler.
94
Semen dikoleksi dengan terlebih dahulu memotong testis dan dikuliti sehingga
memperoleh dua belahan testis. Dua belah testis tersebut diletakkan dalam cawan
petri yang diisi NaCl fisiologis. Bagian kauda epididimis dari salah satu testis
disayat dengan silet lalu ditekan untuk mengeluarkan semen dan diletakkan pada
alat tabung atau cawan petri yang lain.
Warna Semen
Pengukuran warna semen dilakukan dengan cara: semen yang diambil dari
torehan kauda epididimis diletakkan di cawan petri. Lalu dilihat dengan
menggunakan mata telanjang dan diamati warnanya. Indikator warna dari putih
KA
jernih sampai agak kuning . Warna putih jernih = kurang/tidak baik; Putih-krem
susu = baik; krem-keabu abuan = sangat baik; agak kuning = normal cenderung
BU
kurang baik.
R
TE
Konsistensi Semen
Pengukuran konsistensi atau kekentalan semen dengan cara memiringkan
S
tabung penampung semen, sebagai indikator adalah kecepatan semen untuk turun
TA
dari dinding tabung penampung semen tersebut. Semakin cepat semen turun
SI
waktu yang diperlukan semen turun dari dinding tabung penampung semen maka
E
pH Semen
U
95
Motilitas Spermatozoa
Pengamatan motilitas spermatozoa dilakukan dengan cara, mencampurkan
satu tetes semen dari kauda epididimis dengan dua tetes NaCl fisiologis di atas
kaca objek secara merata. Lalu diambil sedikit dan ditutup dengan cover glass.
KA
Motilitas atau gerakan spermatozoa diamati dengan mikroskop pada pembesaran
40 kali. Spermatozoa yang bergerak ke depan diamati dibandingkan dengan yang
BU
tidak bergerak atau bergerak di tempat. Spermatozoa yang bergerak maju
R
dinyatakan dalam persentase. Penghitungan dilakukan dari beberapa lapang
TE
pandang.
S
Konsentrasi Spermatozoa
TA
dilakukan dengan cara: mencampurkan semen dari kauda epididimis tikus jantan
R
96
KA
ulangan (tiga tikus setiap perlakuan), hasil penghitungan selanjutnya dirata-rata.
BU
Persentase Abnormalitas Spermatozoa
R
Spermatozoa abnormal diamati dengan cara: satu tetes semen dari kauda
TE
epididimis diteteskan di atas kaca objek dan diteteskan pula (tiga tetes) eosin
negrosin disitu. Lalu dicampurkan dengan ujung kaca objek yang lain dan dibuat
S
preparat ulas pada kaca objek yang lainnya. Hasil preparat ulas diletakkan di atas
TA
spermatozoa yang ada dalam lapang pandang dan dinyatakan dalam persentase.
IV
Penghitungan dilakukan pada beberapa lapang pandang dari ulangan tiga kali (tiga
N
Efek pasak bumi pada kauda epididimis dan kualitas semen meliputi
kajian: 1). Perubahan diameter kauda epididimis setelah perlakuan pasak bumi,
Bagian 2). Kerja Pasak bumi pada kualitas semen secara makroskopis, dan 3).
Kerja Pasak bumi pada kualitas spermatozoa secara mikroskopis.
97
KA
Berdasarkan data pada Tabel 15, diameter kauda epididimis meningkat
BU
secara nyata pada hari ke-3 (366,00 µm) pemberian pasak bumi dibanding
kontrol/aquades pada hari ke-1 (195, 26 µm) dan pasak bumi hari ke-1 (308, 01
R
µm), tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol pada hari ke-3 (332, 35 µm). Hal
TE
ini menjelaskan bahwa pemberian pasak bumi sekali setiap hari selama tiga hari
tidak meningkatkan secara nyata diameter kauda epididimis yang juga secara
S
TA
Diameter kauda epididimis tampak meningkat nyata hanya pada hari ke-1
U
98
ionnya. Selanjutnya dibawa oleh cairan vasa eferentia dan masuk ke duktus
epididimis.
KA
BU
Gambar 16 Potongan melintang saluran – saluran di dalam
kauda epididimis. Bagian lumen diisi oleh
R
sejumlah besar spermatozoa (pewarnaan HE).
TE
(Norman & Litwack 1987; Johnson & Barry 1998): Cairan dari vasa eferentia
TA
(reabsorpsi) sehingga konsentrasi spermatozoa menjadi lebih pekat, yaitu 100 kali
R
99
KA
spermatozoa berada dalam bentuk sangat kental. Transpor spermatozoa mengikuti
pergerakan cairan yang terutama ditimbulkan oleh kegiatan otot (muscular
BU
activity) dari epididimis dan vas deferen. Pada ketiadaan ejakulasi, spermatozoa
R
akan bergerak menuju terminal ampula dari vas deferen ke dalam urethra dan
TE
selanjutnya dialirkan keluar bersama dalam urin (Norman & Litwack 1987;
Johnson & Barry 1998).
S
TA
Kajian kerja pasak bumi pada kualitas semen pada kauda epididimis secara
R
semen yang meliputi: 1. warna, 2. konsistensi dan 3. pH. Kajian kinerja pasak
IV
bumi dilakukan setelah perlakuan pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-3, hasil
N
Perlakuan Rerata
No pH Warna Konsistensi
100
KA
parameter kualitas semen secara makroskopis yang menunjukkan tikus dalam
keadaan sehat normal (Juniarto 2004; Iswara 2009).
BU
Berkaitan dengan hasil kualitas semen perlakuan pasak bumi maupun
R
kontrol pada hari ke-1 sampai hari ke-3 secara makroskopis dapat dijelaskan
TE
sebagai berikut:
1. Kerja pasak bumi tidak berbeda nyata dalam meningkatkan kualitas
S
meningkatkan kerja sel hormonal LH pada hipofisis secara nyata (disebut sebagai
E
trigger sel hormonal LH). Pasak bumi juga telah meningkatkan produksi hormon
IV
testosteron serum secara nyata. Maka dalam proses fisiologi pada kauda
N
101
pH = 6,8 pada hari ke-1 menjadi pH =6,9 pada hari ke-3. Demikian pula pada
kelompok perlakuan pasak bumi terjadi peningkatan yang tidak nyata secara
statistik dari rerata pH=6,8 pada hari ke-1 menjadi pH=6,9 pada hari ke-3.
Peningkatan yang tidak signifikan tersebut mungkin dipengaruhi oleh adanya
sedikit peningkatan kerja pada sel-sel dinding kauda epididimis. Mungkin dalam
hal keseimbangan volume cairan ekstraseluler yang menimbulkan terjadi
peningkatan sedikit kation natrium untuk mengimbangi sedikit peningkatan
konsentrasi cairan ekstra seluler karena peningkatan libido. Berdasarkan
terjadinya sedikit peningkatan kation natrium maka akan diikuti oleh sedikit
peningkatan pH pada lumen saluran-saluran kauda epididimis, walaupun
KA
peningkatan pH tersebut tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05).
BU
3). Kerja Pasak Bumi pada Kualitas Semen Secara Mikroskopis
R
Sebagai lanjutan pengukuran kualitas semen secara makroskopis dilakukan
TE
pengukuran kualitas spermatozoa di dalam kauda epididimis secara mikroskopis
yang mendapatkan informasi kualitas secara kuantitatif. Pengukuran kualitas
S
perlakuan kontrol dan pasak bumi pada hari ke-1 sampai ke-3.
IV
Perlakuan
N
No Parameter
Kontrol Kontrol Pasak bumi Pasak bumi
U
yang dikaji
hari ke-1 sampai hari ke-1 sampai
hari ke-3 hari ke-3
1 Motilitas 71,67 70,00 76,67 76,67
Spermatozoa ±2,88 a ±0,00 a ±2,88 a ±5,77 a
(%)
2 Konsentrasi 287,57 290,62 310,62 335,40
Spermatozoa ±3,82 a ±7,50 a ±0,66 ab ±8,32 b
(Juta/ml)
3 Persentase hidup 88.95 87,29 90,85 90,12
sperma ±0,73 ab ±2,72 a ±0,77 b ±0,93 ab
4 Persentase
abnormalitas 21,39 15,28 13,02 12,77
spermatozoa ±1,60 c ±0,45 b ±1,18 a ±1,15 a
Keterangan: huruf superskrip berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan
nyata pada taraf 5 % (Uji Duncan, α = 0,05).
102
Motilitas Spermatozoa
Data hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa motilitas
spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis sedikit meningkat pada kelompok
perlakuan pasak bumi hari ke-1 sampai hari ke-3 dibandingkan dengan kelompok
kontrol pada hari ke-1 sampai hari ke-3. Persentase motilitas spermatozoa pada
kelompok kontrol hari ke-1 dan hari ke-3, yaitu 71,67 % dan 70,00 % meningkat
relatif sedikit menjadi 76, 67 % pada hari ke-1 dan hari ke-3 pada kelompok
perlakuan pasak bumi. Walaupun demikian, peningkatan tersebut tidak berbeda
nyata secara statistik (uji Duncan, α = 0,05).
Berdasarkan data bahwa dengan perlakuan pasak bumi (18 mg/200 g bb
KA
dalam 1 ml aquades) memperoleh motilitas spermatozoa pada hari ke-3 sebesar
76,67 % (Tabel 17) adalah lebih tinggi dibandingkan dengan temuan dalam
BU
penelitian Juniarto (2004) yang menggunakan tumbuhan purwoceng dan pasak
R
bumi. Juniarto (2004) memperoleh rerata motilitas spermatozoa dengan perlakuan
TE
purwoceng (Pimpinella alpina, 25 mg dalam 2 ml aquades), yaitu 62,7 %, dan
rerata motilitas spermatozoa 64,8 % dengan perlakuan pasak bumi (Eurycoma
S
masing-masing perlakuan diberikan sekali setiap pagi selama 53 hari pada tikus
R
Pada kelompok kontrol, setelah 3 hari terjadi relatif sedikit menurun, yaitu dari
U
103
atau lama waktu yang diterapkan dalam penelitian Juniarto (2004) dan Iswara
(2009).
Kinerja pasak bumi pada kauda epididimis yang berkaitan dengan
motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh adanya peningkatan energi yang berkaitan
dengan peningkatan kadar hormon testosteron serum yang tampak pada hari ke-3
perlakuan pasak bumi. Bearden et al. (2004) menjelaskan bahwa testosteron
memicu kerja sel-sel kelenjar seminal vesikel dan kauda epididimis untuk
mensintesis senyawa-senyawa sumber energi, yaitu: fruktosa dan sorbitol yang
diproduksi oleh kelenjar seminal vesikel, dan gliserilposporilkolin (GPC) yang
diproduksi oleh epididimis. Senyawa sumber energi yang utama untuk motilitas
KA
dan daya hidup spermatozoa adalah fruktosa, Di samping sorbitol dan GPC.
Metabolisme energi di dalam spermatozoa, yaitu mengubah substrat
BU
berenergi menjadi senyawa bentuk energi siap pakai. Enzim-enzim untuk
R
pengubahan tersebut berada pada selubung mitokondria. Di samping fruktosa,
TE
sorbitol (gula alkohol) dan GPC yang berada di dalam plasma semen yang disebut
dengan plasmalogen. Lipid ditemukan dalam spermatozoa sebagai cadangan
S
energi yang dapat digunakan ketika substrat lain terbatas (Bearden et al. 2004).
TA
SI
Konsentrasi Spermatozoa
R
spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis meningkat nyata pada kelompok
IV
perlakuan pasak bumi hari ke-1 sampai hari ke-3 dibandingkan dengan kelompok
N
kontrol pada hari ke-1 sampai hari ke-3 (uji Duncan, α=0,05). Perlakuan pasak
U
bumi telah meningkatkan konsentrasi spermatozoa dari 287,57 juta/ml dan 290,62
juta/ml kelompok kontrol hari ke-1 dan ke-3 menjadi 310,62 juta/ml dan 335,40
juta/ml pada hari ke-1 dan ke-3 pada kelompok perlakuan pasak bumi. Sementara
itu, penelitian pada tahapan sebelumnya menjelaskan bahwa setelah pemberian
pasak bumi selama 3 hari, terjadi peningkatan aktivitas sel produsen LH di
hipofisis dan kadar testosteron serum darah. Dengan demikian, seperti temuan
Matthiesson et al. (2006) bahwa proses spermiogenesis secara nyata dipengaruhi
oleh LH dan testosteron testis, maka konsentrasi spermatozoa pada kauda
104
epididimis pada penelitian ini juga meningkat setelah pemberian pasak bumi
sampai hari ke-3.
Temuan penelitian dengan perlakuan pasak bumi dosis seduhan 18 mg/200
g bb yang memperoleh konsentrasi spermatozoa sampai pada hari ke-3 sebesar,
yaitu 335,40 juta/ml. Konsentrasi spermatozoa dengan perlakuan pasak bumi
temuan pada penelitian ini (Tabel 16) juga masih lebih tinggi dibandingkan
dengan konsentrasi spermatozoa kelompok kontrol dalam penelitian Juniarto
(2004), yaitu 106,7 juta/ml. Sedangkan hasil konsentrasi spermatozoa pada
perlakuan kontrol dengan pemberian aquades hari ke-1 sampai hari ke-3 pada
penelitian ini tidak mengalami peningkatan nyata/non signifikan. Konsentrasi
KA
spermatozoa pada kelompok kontrol setelah 3 hari tidak berbeda nyata secara
statistik dengan kelompok kontrol hari ke-1 (uji Duncan, α = 0,05). Peningkatan
BU
sedikit dari sejumlah 287,57 juta/ml menjadi 290,62 juta/ml mungkin disebabkan
R
oleh penggunaan individu yang berbeda antara hari ke-1 dengan hari ke-3.
TE
Kerja pasak bumi pada kauda epididimis yang berkaitan dengan
konsentrasi spermatozoa yang meningkat nyata pada hari ke-3 (Tabel 17)
S
akhir di dalam tubulus seminiferus seperti yang ditunjukkan hasil (uji Duncan, α =
SI
0,05) yang berkaitan dengan peningkatan hormon testosteron yang tampak pada
R
hari ke-3 perlakuan pasak bumi. Melalui pengaruhnya pada jantan/pria maka
E
105
perlakuan pasak bumi hari ke-1 sampai hari ke-3 dibandingkan dengan kelompok
kontrol pada hari ke-1 sampai hari ke-3. Peningkatan persentase hidup
spermatozoa, yaitu dari 88,95 % dan 87,29 % pada kelompok kontrol hari ke-1
dan hari ke-3 menjadi 90,85 % dan 90,12 % pada hari ke-1 dan hari ke-3 pada
kelompok perlakuan pasak bumi. Peningkatan persentase hidup spermatozoa
berbeda nyata secara statistik terutama antara kelompok perlakuan pasak bumi
hari 1 dan hari ke-3 dengan kelompok kontrol hari ke-3 (uji Duncan, α = 0,05).
Kemungkinan mekanisme kerja pasak bumi pada peningkatan persentase
hidup spermatozoa bermula dari adanya tingkat aktivitas sel-sel produsen LH
pada hipofisis yang dirangsang oleh senyawa kandungan pasak bumi misalnya:
KA
eurikomanon, longilakton, atau lainnya secara sendiri ataupun bersinergi. Kerja
pasak bumi pada peningkatan persentase hidup spermatozoa berkaitan dengan
BU
peningkatan nyata sel-sel produsen hormon LH pada hipofisis temuan penelitian
R
Pada tahapan sebelumnya dan peningkatan testosteron serum pada hari ke-3
TE
perlakuan pasak bumi. Kedua hormon tersebut mengaktifkan sel-sel epididimis
untuk mensekresikan senyawa-senyawa antara lain carnitin, gliseroposporilkolin,
S
spermatozoa (Norman & Litwack 1987; Johnson & Barry 1998). Kemampuan
SI
dengan kecukupan nutrisi dan energi di dalam semen. Plasma semen mengandung
E
protein dan natrium terdapat cukup besar (Nurcholidah et al. 2008; Safarinejad et
N
al. 2010).
U
Bentuk energi yang dapat dipakai oleh spermatozoa, yaitu senyawa ATP
dalam keadaan 1). aerob maupun 2). anaerob. ATP diproduksi/diubah dari bahan
fruktosa dalam reaksi sebagai berikut (Bearden et al. 2004):
1). Aerob ( jumlah energi yang dihasilkan tinggi) dengan persamaan
reaksi, yaitu:
O2
Fruktosa CO2 + H2O + 38 ATP (mengandung 266.000 kal)
2). Anaerob (jumlah energi yang dihasilkan relatif rendah) dengan
persamaan reaksi, yaitu:
106
Tanpa O2
Fruktosa 2 Asam laktat + 2 ATP (mengandung 14.000 kal)
Pemecahan ATP untuk memperoleh energi secara ringkas melalui reaksi sebagai
berikut:
ATP + H2O ADP + H3PO4 + 7000 kalori/mol
KA
dibandingkan dengan kelompok kontrol pada hari ke-1 sampai hari ke-3.
Penurunan rerata persentase abnormalitas spermatozoa, yaitu dari 21,39 % dan
BU
15,28 % pada kelompok kontrol hari ke-1 dan hari ke-3 menjadi 13,02 % dan
R
12,77 % pada hari ke-1 dan hari ke-3 pada kelompok perlakuan pasak bumi.
TE
Penurunan rerata persentase abnormalitas spermatozoa berbeda nyata
secara statistik antara kelompok kontrol hari ke-1 dan hari ke-3 dengan kelompok
S
perlakuan pasak bumi hari 1 dan hari ke-3 (uji Duncan, α = 0,05) menjelaskan
TA
spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis yang tampak di bawah mikroskop
E
melingkar, juga dijumpai ekor putus, dan ekor bercabang. Di samping itu
N
kelainan pada bentuk kepala spermatozoa yang tampak adalah kepala tanpa ekor,
U
kepala berbentuk pisang, kepala tidak berbentuk lengkung agak sabit tetapi
cenderung lurus seperti tombak, dan kepala kecil.
Mekanisme kinerja pasak bumi terhadap penurunan abnormalitas
spermatozoa dimungkinkan melalui jalur rangkaian proses fisiologi melalui jalur:
1) peningkatan aktivitas sel hipofisis untuk memproduksi LH dan selanjutnya
terjadi 2) peningkatan testosteron serum dan lebih lanjut terjadi 3) peningkatan
proses pembentukan spermatid akhir, yang ketiga hal itu telah terbukti dari hasil
penelitian sebelumnya. Penyempurnaan bentuk morfologi sperma makin
meningkat terkait dengan adanya peningkatan pada: tingkat aktivitas sel LH
107
hipofisis, kadar testosteron serum dan pembentukan spermatid akhir tadi sehingga
terjadi penurunan rerata persentase abnormalitas spermatozoa. Fenomena yang
berhubungan tersebut juga dikuatkan oleh temuan Matthiesson et al. (2006)
bahwa kesempurnaan proses spermiogenesis nampak jelas dipengaruhi oleh LH
dan testosteron testis. Sedangkan Matthiesson et al. (2006) juga menyebutkan
bahwa khusus untuk kesempurnaan proses tahap pematangan spermatogonia
dipengaruhi oleh hormon FSH.
Sementara itu, Barth & Oko (1989); Kuster et al. ( 2004); dan Yudi et al.
(2010) menyebutkan kelainan spermatozoa yang dijumpai pada ejakulat hewan
lain, yaitu sapi dan anoa antara lain pada ekor spermatozoa, yaitu: abaxial
KA
(penempelan ekor tidak pada titik tengah dasar kepala), around the head (ekor
melingkari kepala), abnormal piece (kelainan pada mid piece), droplet
BU
sitoplasma proksimal dan distal. Sedangkan Hellstrom et al. (2006) menyebutkan
R
bentuk – bentuk morfologi spermatozoa abnormal pada manusia yang ditemui
TE
pada ejakulat adalah: bentuk kepala spermatozoa makro, kepala mikro, kepala
taper, kepala piri, kepala double, kepala amorf, kepala round, kepala pin, midpiece
S
juga dijumpai ekor putus, dan ekor bercabang. Di samping itu kelainan pada
N
bentuk kepala spermatozoa yang tampak adalah kepala tanpa ekor, kepala
U
berbentuk pisang, kepala tidak berbentuk lengkung agak sabit tetapi cenderung
lurus seperti tombak, dan kepala kecil Berdasarkan hal itu, abnormalitas
spermatozoa tikus jantan yang diperoleh dari perlakuan pasak bumi dan kontrol
berkisar antara 12,77 % - 21,39 % masih berada di bawah 30 %, sehingga tikus-
tikus tersebut berdasarkan kualitas spermatozoanya dapat dinyatakan sehat.
Sedangkan kualitas spermatozoa pria yang sehat menurut temuan
Hellstrom et al. (2006) sebagai berikut: 1) untuk kelompok umur 45-47 tahun,
yaitu volume spermatozoa satu kali ejakulat 2-2,8 ml, motilitas spermatozoa 55
%, morfologi spermatozoa normal 59 %, total spermatozoa 145 juta, konsentrasi
108
spermatozoa 60,5 juta/ml semen. 2) untuk kelompok umur 56-80 tahun, yaitu
volume spermatozoa satu kali ejakulat 1,40-1,95 ml, motilitas spermatozoa 50 %,
morfologi spermatozoa normal 55 %, total spermatozoa 114 juta, dan konsentrasi
spermatozoa 52,9 juta/ml semen.
KESIMPULAN
KA
2. Pasak bumi tidak mempengaruhi perubahan diameter tubulus pada kauda
BU
epididimis dan kualitas semen/spermatozoa tikus pada nilai: 1)., 2) warna,
3). konsistensi, 4). pH, 5). motilitas spermatozoa dan 6). persentase hidup
spermatozoa.
R
TE
S
TA
SI
E R
IV
N
U
109
DAFTAR PUSTAKA
Bearden HJ, John W Fukuay, Scott TW. 2004. Applied animal reproduction 6Th
ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Depkes 2003. Standarisasi Sediaan Obat Herba. Makalah Seminar Dan Pameran
Nasional. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta
25-26 Maret 2003.
KA
Donatus IA, Nurlaila, Djoko S, Lukman H, Mulyono, Djoko W, Sugiyanto. 1998.
BU
Petunjuk praktikum toksikologi. Jogyakarta: Lab. Farmakologi dan
Toksikologi, Fakultas Farmasi UGM.
R
Ganiswara SG, Rianto S, Frans D, Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. 2000.
TE
Farmakologi dan terapi. Ed ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.
Hellstrom WJG, James WO, Suresh CS, Jonathan D, Sanjeev A, Amy MH,
S
Gregory DS. 2006. Semen and sperm reference ranges for men 45 years of
TA
110
Matthiesson KL, Robert IM, Liza OD, Mark F, David MR, Peter GS, and Sarah
JM. 2006. The relative roles of FSH and LH in maintaining
spermatogonial maturation and spermiation in normal men. The J of Clin
Endocrinol and Metab. 91(10):3962-3969
Nurcholidah S, Rohiyat Idi, Siti Darodjah, Muhammad Rizal, Maya Fitriati, 2008.
Kualitas spermatozoa kauda epididimis sapi peranakan Ongol (PO) dalam
pengencer susu, tris, sitrat kuning telur pada penyimpanan 4-50C. Anim
Prod 10(1): 22-29.
Pratomo H. 1987. Efek rimpang kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai anti
piretik pada tikus putih jantan yang didemamkan [skripsi]. Jakarta:
KA
Fakultas Biologi UNAS (disamakan).
BU
Safarinejad MR, Seyyed YH, Farid D, Majid AA. 2010. Relationship of omega 3
and omega 6 fatty acids with semen characteristics and antioxidant status
of seminal plasma: comparison between fertile and infertile men. Clin
R
Nutri 29: 100-105.
TE
Soedibyo BRAM. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan. Jakarta:
Balai pustaka.
S
TA
Uchino E, Toshibumi T, Katsuhiro I. 1990. The effect of age and sex on seven
elements in Sprague Dawley rat organs. Lab Anim 24: 253-264.
SI
111
DAFTAR PUSTAKA
Allen SP, Maden M, Price JS. 2002. A role for retinoic acid in regulating the
regeneration of deer antlers. Dev Biol 251 (2):409-423
KA
6849-6853
BU
Ang HH and Lee KL. 2002. Effect of Eurycoma longifolia Jack on orientation
activities in middle-aged male rats. [Abstract] Fund & Clin Pharmacol
16 (6): 479 R
TE
Ang HH, Lee KL, Kiyoshi M. 2004. Sexual arousal in sexually sluggish old
male rats after oral administration of Eurycoma longifolia Jack - tongkat
Ali [Abstract]. J Basic Clin Physiol Pharmacol 15(3-4):303-9.
S
TA
Ang HH and Sim MK. 1997. Eurycoma longifolia Jack enhances libido in
sexually experienced male rats. Exp Anim 6(4):287-90.
SI
Barth AD and Oko RJ. 1989. Abnormal morphology of bovine spermatozoa. Iowa:
N
Bearden HJ, John W Fukuay, Scott TW. 2004. Applied animal reproduction 6Th
ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Bergman A. 2000. Molecular Biology of the Cell 4th ed. Texas, New York:
Garland Science.
Bhat R and Karim AA. 2010. Tongkat Ali (Eurycoma longifolia Jack) a review
on its etnobotany and pharmacological importance. Fitoterapia 81(7):
669-679
119
Cox RM and John AHB. 2005. Testosterone has opposite effects on male growth
in lizards (Sceloporus spp.) with opposite patterns of sexual size
dimorphism. J Exp Biol 208 (24): 4679–87.
Depkes 2003. Standarisasi Sediaan Obat Herba. Makalah Seminar Dan Pameran
Nasional. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta
25-26 Maret 2003.
KA
Dissanayake DMAB, PS Wijesinghe, WD Ratnasooriya, and S Wimalasena.
BU
2009. Zinc consumption boosts sexual activity in male rat. J Hum Reprod
Sci 2(2): 57–61.
R
Donatus IA, Nurlaila, Djoko S, Lukman H, Mulyono, Djoko W, Sugiyanto. 1998.
TE
Petunjuk praktikum toksikologi. Jogyakarta: Lab. Farmakologi dan
Toksikologi, Fakultas Farmasi UGM.
S
Ekaluo UB, Ekei VI, Aniekan EU. 2009. Sperm head abnormal and mutagenic
TA
Fauzi TM. 2009. Pengaruh pemberian timbal asetat dan vitamin C terhadap kadar
R
Favig EM and Foad O. 2009. Serum and plasma levels of total and free
N
below sea level environtment of the Jordan valley. J Endocr 5(2): 1-6.
Gerard DF. 1989. Clinical evaluation of New Zealand deer velvet antler on
muscle strength and endurance in healthy male university athletes. New
Zealand: Ag search Invermay.
120
Greenspan FS and Strewler GD. 1997. Appendix, in Francis S.G and Gordon J.
S (Eds), Basic and Clinical Endocrinology. 5th Ed. London: Prentice-Hall
International Inc.
Guyton AC. 1983. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 5, Alih bahasa Adji
Dharma dan P Lukmanto. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hellstrom WJG, James WO, Suresh CS, Jonathan D, Sanjeev A, Amy MH,
Gregory DS. 2006. Semen and sperm reference ranges for men 45 years of
age and older. J of Androl 27(30):51-56.
KA
Iswara A. 2009. Pengaruh pemberian antioksidan vitamin C dan E terhadap
kualitas spermatozoa tikus putih terpapar allethrin [skripsi], Semarang.
BU
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Science Ltd.
TA
com/naturalaphro.htm. [30/08/2007]
N
Kaspul. 2007. Buah Kadar Testosteron Tikus Putih (Rattus norvegicus L) Setelah
Mengkonsumsi Terong Tukak (Solanum Torvum Sw). Bioscientiae 4(1):
1-8
Kiernan JA. 1990. Histological and histochemical methods: Theory and Practice.
2nd ed. New York: Pergamon Pr.
121
KA
Lin B Z, Kan H, Calvin HK. 2000. Effect of a lipidic ectract from Lepidium
meyenii on sexual behaviour in mice and rats. Urology 55(4):598-602
BU
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ sasaran, dan penilaian resiko. Ed
ke empat. Nugroho E, penerjemah; Jakarta: UI Press, Terjemahan dari:
R
Basic toxicology: Fundamentals, target organs, and risk assessment. Hal
TE
85-105
Matthiesson KL, Robert IM, Liza OD, Mark F, David MR, Peter GS, and Sarah
E
th
Mc Donald LE. 1989. Veterinary endocrinology and reproduction. 4 ed.
Great Britain London: Bailliere Tindall.
Mehta PH, Jones AC, Josephs RA. 2008. The social endocrinology of
dominance: basal testosterone predicts cortisol changes and behavior
following victory and defeat. J Pers Soc Psychol 94 (6): 1078–93.
Meinhardt U and Mullis PE. 2002. The essential role of the aromatase/p450arom.
Semin Reprod Med 20 (3): 277–84.
122
Murphy LL and Lee TJ. 2002. Ginseng, sex behavior and nitric oxide. Ann N Y
Acad Sci 962:372-377.
KA
Nadelhaft I, Miranda, Sousa AJ, Vera PL. 2002. Separate urinary bladder and
BU
prostate neurons in the central nervous system of the rat: simultaneous
labeling with two immunhistochemically distinguishable pseudorabies
viruses. BMC Neurosci 3: 1–11. R
TE
Ningsih, 2005. Pria dan impotensi. Topik Kesehatan. Pos Kesehatan Jaktim.
http://www.poskes~jaktim.or.id. [12/9/2007]
S
Nordenberg T. 2000. The facts about Aphrodisiacs. FDA’s Center for drug
TA
Nugroho YA, Oentung Soeradi, Hernani 2000. Khasiat dan keamanan som jawa
IV
Nurcholidah S, Rohiyat Idi, Siti Darodjah, Muhammad Rizal, Maya Fitriati, 2008.
Kualitas spermatozoa kauda epididimis sapi peranakan ongol (PO) dalam
pengencer susu, tris, sitrat kuning telur pada penyimpanan 4-50C. Anim
Prod 10(1): 22-29.
O. Connell RJ, Singer AG, Stern FL. 1981. Aphrodisiac. Behav Neural Biol
31:457-464.
Paisley JC, Huddleston GG, Denman HN, Carruth LL, Grober MS,
Petrulis A, Clancy AN. 2005. Inhibition of estrogen receptor synthesis
in the medial preoptic area, but not the medial amygdala, reduces male rat
mating behavior. Horm Behav 48: 94-101
123
Panjaitan Ruqiah GP. 2008. Pengujian aktivitas hepatoprotektor akar pasak bumi
(Eurycoma longifolia Jack) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Pratomo H. 1987. Efek rimpang kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai anti
piretik pada tikus putih jantan yang didemamkan [skripsi]. Jakarta:
Fakultas Biologi UNAS.
Reed WL, Clark ME, Parker PG, Raouf SA, Arguedas N, Monk DS, Snajdr E,
Nolan V, Ketterson ED. 2006. Physiological effects on demography: a
long-term experimental study of testosterone's effects on fitness. Am Nat
Sci 167 (5): 667–83.
KA
Roselli CF, Cross E, Poonyagariyagorn HK, Stadelman HL.2003. Role of
aromatization in anticipatory and consummatory aspects of sexual
BU
behavior in male rats. Horm Behav 44: 14-16
Saether T, Thien NT, Helge R, Hans JG, Bjørn OC and Trine B. 2007. Essential
S
Safarinejad MR, Seyyed YH, Farid D, Majid AA. 2010. Relationship of omega 3
and omega 6 fatty acids with semen characteristics and antioxidant status
R
Singer AG, Agosta WC, O’ Connell RJ. 1976. Chemical signals in vertebrates.
Science 191:948-950.
Soedibyo BRAM. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan. Jakarta:
Balai pustaka.
124
Tantawy WHE, Abeer T, Omayma DE. 2007. Free serum testosterone in male rats
treated with Tribulus alatus extract. Int Braz J Urol 33: 554-9.
Uchino E, Toshibumi T, Katsuhiro I. 1990. The effect of age and sex on seven
elements in Sprague Dawley rat organs. Lab Anim 24: 253-264.
KA
rat sperm motility, integrity of acrosome, and plasma membrane J Androl
30:1-20.
BU
Waterman MR and Keeney DS. 1992. Genes involved in androgen biosynthesis
and the male phenotype. Horm Res 38 (5-6): 217–21.
R
TE
Wiart C. 2006. Medicinal Plants of Asia and the Pacific. London, New York:
Taylor and Francis group.
S
Yim TK, Wu WK, Pak WF. 2003. The radical scavenging effect of stilbene
glucosides from Polygonum multiflorum. Arch Pharm Res 25(5):636-
639.
Zuber MX, Simpson ER, Waterman MR. 1986. Expression of bovine 17 alpha-
hydroxylase cytochrome P-450 cDNA in nonsteroidogenic (COS 1) cells.
Science 234 (4781): 1258–61.
125
LAMPIRAN
KA
2. Dehidrasi: Basket histo dan isi sampling dipindahkan ke wadah botol/tabung
BU
bertutup yang berisi alkohol 70 %, direndam selama 3 jam lalu ke konsentrasi
alkohol lebih tinggi secara bertingkat, yaitu 80 %, 90 %, 95 %, masing-
R
masing 3 jam dilanjutkan ke tabung alkohol absolut 1, 2, 3 masing-masing 1
TE
jam.
3. Clearing: Melanjutkan tahapan dehidrasi dengan perendaman basket histo
S
TA
0
inkubator selama 20 menit pada suhu 65 C. Pemindahan dilakukan di luar
E
IV
hangat. Basket di buka, sampling diambil dengan pinset khusus parafin dan
U
126
KA
mikrotom. Sebelum dipotong block tersebut diletakkan pada bantalan es.
Setelah diperoleh potongan slide sampling yang baik di apungkan pada air
BU
hangat ditempelkan pada kaca objek. Setiap kaca objek/slide sampling diberi
R
label dan ditaruh dalam kotak preparat disimpan dalam inkubator 400C selama
TE
beberapa hari sampai 1 minggu.
8. Deparafinasi dan rehidrasi untuk pewarnaan: Kaca objek /slide diletakkan
S
127
DOSIS
3
1.00
2
2.00
Mean G
1
3.00
KA
0 4.00
1.00 2.00 3.00
1
BU
HARI
18 R
TE
16
S
TA
14
SI
12
DOSIS
E R
10 1.00
IV
2.00
8
N
Mean A
3.00
U
6 4.00
1.00 2.00 3.00
2
HARI
128
A B
KA
Gambar lampiran 2 Sebaran sel asidofil dan basofil hipofisis (pewarnaan HE).
BU
Lingkaran merah=sel basofil; lingkaran hitam=sel
asidofil
A.Perlakuan kontrol hari ke-3
R
TE
B.Perlakuan pasak bumi hari ke-3
S
50
45
TA
40
35
30
SI
25
Asidofil
20
R
15 Basofil
E
10
5
IV
0
N
129
100
80
60
Positif 1
40
20 Positif 2
0 Positif 3
Kontrol Kontrol Pasak Pasak
hari ke-1 hari ke-3 bumi hari bumi hari
ke-1 ke-3
KA
Gambar lampiran 4 Grafik rerata jumlah sel penghasil LH pada hipofisis anterior
BU
setelah perlakuan kontrol dan pasak bumi pada hari ke-1
dan ke-3.
Keterangan: Positif 3=aktivitas produksi LH intrasel kuat,
R
Positif 2=sedang, Positif 1= lemah.
TE
S
TA
A B
SI
E R
IV
N
U
3µm
130
KA
Gambar lampiran 6 Grafik rerata jumlah sel penghasil FSH pada hipofisis
anterior setelah perlakuan kontrol dan pasak bumi pada
BU
hari ke-1 dan ke-3. Keterangan: Positif 3=aktivitas
produksi FSH intrasel kuat (tidak tampak karena sangat
sedikit), Positif 2=sedang, Positif 1= lemah.
R
TE
A B
S
TA
SI
E R
IV
N
U
3µm
Gambar lampiran 7 Sebaran sel penghasil hormon FSH hipofisis pada: A. kontrol
hari ke-3, dan B. perlakuan pasak bumi sampai hari ke-3.
Sel berwarna cokelat tua=positif 3= aktivitas produksi FSH
intrasel kuat (sangat jarang). Sel berwarna cokelat =positif 2=
aktivitas produksi FSH intrasel sedang. Sel berwarna cokelat
muda/samar=positif 1= aktivitas produksi FSH intrasel lemah
(banyak dijumpai). (pewarnaan imunohistokimia dengan
antibodi anti FSH).
131
Spermatogonium
Spermatosit
primer
Spermatid
awal
Spermatid
akhir
KA
BU
Gambar lampiran 8 Perkembangan tahapan spermatogenesis
dalam tubuli seminiferi testis pada kontrol
R
hari ke-3. (pewarnaan HE).
TE
S
TA
SI
E R
Spermatid
IV
akhir
N
U
132