0% found this document useful (0 votes)
134 views

Life Cycle Assessment of Sugar at PT PG Rajawali Ii Unit PG Subang

This document summarizes a life cycle assessment of sugar production at the PT PG Rajawali II Unit PG Subang sugar plant in Indonesia. The study found that sugar production efficiency was influenced by inefficiencies throughout the life cycle from the sugar cane fields to processing at the factory. Inventories of material and energy usage identified losses that decreased productivity. Effluent liquid waste exceeded standards due to suboptimal production processes. Improving the efficiency of raw material and energy usage throughout the sugar life cycle could reduce environmental impacts.

Uploaded by

lebay cok
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
134 views

Life Cycle Assessment of Sugar at PT PG Rajawali Ii Unit PG Subang

This document summarizes a life cycle assessment of sugar production at the PT PG Rajawali II Unit PG Subang sugar plant in Indonesia. The study found that sugar production efficiency was influenced by inefficiencies throughout the life cycle from the sugar cane fields to processing at the factory. Inventories of material and energy usage identified losses that decreased productivity. Effluent liquid waste exceeded standards due to suboptimal production processes. Improving the efficiency of raw material and energy usage throughout the sugar life cycle could reduce environmental impacts.

Uploaded by

lebay cok
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 161

LIFE CYCLE ASSESSMENT OF SUGAR AT PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

Ikawati Purwaningsih

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University,


IPB Dramaga Campus, PO Box 220, West Java, Indonesia.
Email: [email protected]

ABSTRACT

National sugar industry holds an important role to meet the growing demand for sugar. Along
with economic growth and technological progress, the activities of sugar production can cause an
impact on the environment. Identification life cycle of sugar production process involves the use of
raw materials and energy are needed to determine the efficiency of production and then analyzed for
the environmental impact. Based on inventory data from sugar plant, the productivity of sugar cane as
raw material was 787 tons of cane / hectare, but its realization was only 690 tons of cane / hectare or
87.67% of the target. The use of energy in the steam plant from bagasse combustion, the energy
generated by bagasse of 2.83 x 1011 kcal, but the realization of 1.94 x 1011 kcal or 68, 55% of the
target. It indicates that the efficiency of steam decreased. Effluent of liquid waste at sugar plant
exceeds the quality standard that has been established, it is associated with efficiency in production
processes that less optimal. Based on the inventory analysis showed that efficiency in the use of raw
materials and energy are influenced by the life cycle starting from the gardens until sugar processing
in the factory which will have implications on the environmental impact.

Keywords : life cycle assessment, sugar production process, energy efficiency, environmental impact

ii
Ikawati Purwaningsih. F34080053. Penilaian daur Hidup (Life Cycle Assessment) Gula Pada PT PG
Rajawali II Unit PG Subang. Dibawah bimbingan Mohamad Yani. 2012

RINGKASAN

Industri gula nasional memegang peranan penting untuk dapat memenuhi tingkat permintaan
gula yang terus meningkat dengan kualitas yang baik untuk dapat bersaing dengan gula impor yang
saat ini membanjiri pasaran di Indonesia. Permasalahan yang sedang dihadapi pabrik gula di
Indonesia adalah tidak terpenuhinya produksi gula sesuai dengan kapasitas produksinya yang
disebabkan karena terjadinya inefisiensi, baik di luar maupun di dalam pabrik. Oleh karena itu,
pemerintah menuntut industri gula untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja dari industri
gula tersebut. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, kegiatan produksi gula
dapat menyebabkan dampak terhadap lingkungan. Untuk mengurangi dampak lingkungan yang
timbul pada proses produksi gula, perlu dilakukan analisa daur hidup gula agar lebih efisien. Alat
pengelolaan lingkungan yang dapat menghitung beban lingkungan dan dampak potensialnya di dalam
seluruh daur hidup produk, proses atau kegiatannya adalah metode Life Cycle Assessment (LCA).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi siklus hidup gula di PG Subang,
menginvetarisasi konsumsi bahan tambahan dan energi pada tiap tahapan proses, dan mengidentifikasi
limbah dan dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Metode LCA dalam penelitian ini terdiri
atas 4 fase utama, yaitu definisi tujuan dan ruang lingkup (goal and scope definition),
menginventarisasi input dan output (life cycle inventory), perkiraan dampak lingkungan dari semua
input dan output (life cycle assessment), dan interpretasi hasil yang disebut improvement analysis.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer yang diperoleh dari hasil
wawancara dan observasi lapang di PG Subang, serta data sekunder yang berupa data penggunaan
bahan tambahan, dan energi di PG Subang.
Siklus hidup gula di PG Subang dimulai dari proses ekstraksi tebu hingga menghasilkan
produk gula SHS. Dalam tiap tahapan proses produksinya dihasilkan limbah dan produk samping.
Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus hidup gula di PG Subang berupa limbah padat, limbah
cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat,
ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler yang akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian
akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik
untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi gula dapat berupa uap air hasil
proses penguapan, dimana uap air tersebut akan digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler,
serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah proses produksi akan diolah di IPAL sehingga
dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu.
Analisis inventori yang dilakukan meliputi input dan output bahan baku, bahan tambahan,
energi, limbah, dan produk samping yang dihasilkan selama siklus daur hidup gula. Dengan
dilakukan analisis inventori dapat diketahui terjadinya inefisiensi yang ditunjukkan berdasarkan loss
yang ditimbulkan. Berdasarkan analisis inventori yang dilakukan, menunjukkan bahwa loss yang
dihasilkan di PG Subang pada tahun 2011 sebesar 11.734,52 ton yang berasal dari loss tiap tahapan
proses. Di stasiun gilingan loss yang dihasilkan sebesar 3.490,25 ton, hal ini disebabkan karena pol
tebu < 10 %, kotoran tebu > 5 %, pol ampas > 2 %, dan penambahan air imbibisi yang terlalu kecil
yaitu 24,84 %. Loss yang dihasilkan di stasiun pemurnian sebesar 2.516,11 ton, hal ini disebabkan
karena % pol blotong > 2 % sehingga zat gula (pol) yang terbawa pada blotong semakin banyak.

iii
Untuk penggunaan belerang dan kapur tohor sudah tepat, hanya saja untuk penggunaan flokulan
terlalu banyak yaitu 5 ppm sehingga biaya produksi semakin meningkat. Di stasiun penguapan tidak
terjadi loss, namun brix nira kental yang dihasilkan masih rendah yaitu 52,88 %, hal ini
mengakibatkan nira yang dihasilkan tidak maksimal. Loss yang dihasilkan di stasiun kristalisasi dan
sentrifugasi sebesar 5.728,16 ton, hal ini disebabkan karena banyaknya nira yang belum terkristalkan
dan rendahnya pol dalam pan masakan, hal ini dipengaruhi oleh keakuratan dalam proses kristalisasi
terhadap suhu dan waktu yang kurang optimal.
Penggunaan energi pada proses produksi gula berasal dari bahan bakar, listrik, dan uap.
Kendala yang dihadapi diantaranya terjadinya berhenti giling yang mengakibatkan pasokan ampas
untuk bahan bakar boiler menjadi berkurang sehingga diperlukan suplesi bahan bakar tambahan yaitu
IDO (Industrial Diesel Oil) yang biayanya lebih besar sehingga biaya produksi meningkat. Hal ini
dipengaruhi oleh pol dan kadar air ampas yang masih tinggi yaitu 2,66 % dan 52,08 % sehingga nilai
kalor ampas menjadi rendah dan tidak mencukupi untuk kebutuhan pembakaran di boiler. Untuk
penggunaan listrik dan uap juga dipengaruhi oleh pasokan ampas dari stasiun gilingan, efisiensi listrik
di PG Subang sebesar 18,94 %, dan efisiensi uap sebesar 58,94 %. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja di
stasiun gilingan serta terjadinya pemborosan energi yang ditunjukkan dengan masih banyaknya uap
yang terbuang dan kebocoran pada saluran uap.
Dampak yang terjadi akibat adanya loss yang dihasilkan diantaranya: produk gula SHS yang
dihasilkan menjadi lebih sedikit, banyaknya zat gula (pol) yang terbawa pada limbah maupun produk
samping seperti pada ampas tebu dan blotong, sanitasi yang kurang baik sehingga memungkinkan
timbulnya mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan, terjadinya jam
berhenti giling yang mengakibatkan rendemen menurun dan limbah yang dihasilkan semakin
meningkat, serta emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pemakaian IDO semakin tinggi. Selain
itu, banyaknya ampas yang dihasilkan tidak seluruhnya digunakan untuk pembakaran di boiler yang
mengakibatkan banyaknya ampas yang diletakkan di luar gudang ampas yang dapat menyebabkan
gangguan saluran pernafasan karena banyaknya partikel ampas yang beterbangan, hal ini juga dapat
mempengaruhi kualitas ampas untuk pembakaran di boiler karena kadar air dalam ampas dapat
menurun akibat terkena hujan jika ampas diletakkan di luar gudang ampas.
Dalam pelaksanaan proses produksi gula, diperlukan analisis pendahuluan yang tepat
khususnya terhadap kualitas tebu yang akan digiling, serta kualitas mesin dan peralatan yang akan
digunakan selama periode giling. Analisa mutu tebu yang mencakup pol tebu, kotoran tebu, dan HK
nira mentah sangat menentukan jumlah gula yang akan dihasilkan serta kebutuhan bahan tambahan
yang akan digunakan. Sanitasi di lingkungan pabrik sangat penting karena dapat mempengaruhi
kualitas gula yang dihasilkan, selain itu untuk mengurangi biaya bahan bakar tambahan untuk IDO,
dapat digunakan alternatif bahan bakar lain seperti penggunaan LNG (Liquified Natural Gas) yang
harganya lebih murah serta emisi yang rendah. Pemanfaatan limbah seperti ampas tebu dapat
dilakukan dengan memanfaatkannya sebagai arang aktif dan gasifikasi yang diharapkan dapat
meningkatkan keutungan bagi perusahaan.

iv
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagai negara agraris, Indonesia mengupayakan untuk memajukan sektor pertanian. Salah
satu komoditi yang dikembangkan adalah tebu. Komoditi tebu merupakan salah satu tanaman
penghasil gula yang di dalamnya terkandung sukrosa yang kemudian dikristalkan menjadi gula kristal.
Pemanfaatan gula tidak hanya terbatas untuk bahan konsumsi langsung tetapi juga digunakan sebagai
bahan pembantu di berbagai industri makanan, minuman, kosmetik dan farmasi. Saat ini tingkat
konsumsi gula dalam negeri belum bisa sepenuhnya dipenuhi oleh industri gula dalam negeri, oleh
karena itu impor gula masih diberlakukan. Industri gula nasional memegang peranan penting untuk
dapat memenuhi tingkat permintaan gula yang terus meningkat dengan kualitas yang baik untuk dapat
bersaing dengan gula impor dari luar negeri yang saat ini membanjiri pasaran di Indonesia.
Permasalahan yang sedang dihadapi pabrik gula di Indonesia adalah tidak terpenuhinya
produksi gula sesuai dengan kapasitas produksinya, hal ini disebabkan karena terjadinya inefisiensi
baik di luar maupun di dalam pabrik. Terjadinya inefisiensi di pabrik gula dipengaruhi oleh
produktivitas pabrik gula, salah satu faktor penyebabnya adalah teknologi yang digunakan sudah tua
dan masih ada yang berasal dari peninggalan Belanda. Oleh karena itu, pemerintah menuntut industri
gula untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja dari industri gula tersebut dengan peningkatan
penggunaan bahan baku, energi, mesin dan peralatan, serta sumber daya lain, hal ini dapat dilakukan
dengan menerapkan manajemen perusahaan yang baik.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, kegiatan produksi gula dapat
menyebabkan dampak terhadap lingkungan. Untuk mengurangi dampak lingkungan yang mungkin
timbul pada proses produksi gula, perlu dilakukan analisis daur hidup gula agar lebih efisien. Analisis
yang dilakukan yaitu dengan menghitung kebutuhan dan penggunaan bahan baku, bahan tambahan,
dan energi dengan mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Hal ini dapat
dilakukan pengkajian menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA). Metode LCA dapat
digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan yang terjadi pada seluruh siklus hidup pada gula,
hal ini akan berdampak positif karena dapat mengetahui sumber-sumber pencemaran pada industri
gula sehingga kinerja pabrik dapat optimal dan efisien.
Menurut Mattson (2003), LCA adalah suatu metoda yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk selama proses produksi atau aktivitas selama
siklus hidupnya dan aliran bahan yang terjadi di dalam proses produksi tersebut. Data yang
dibutuhkan dalam melakukan LCA terdiri dari dampak lingkungan, hasil samping, konsumsi energi
dan bahan yang digunakan pada setiap tahapan proses. Menurut Schempf (1999) dan Curran (1996),
LCA dapat menyediakan kerangka kerja untuk menganalisa dampak lingkungan, memetakan dampak
selama siklus hidup suatu produk, acuan dalam mengembangkan target lingkungan untuk
pengembangan produk selanjutnya, menyediakan pengukuran kinerja yang berlangsung untuk
mengkaji konsep desain serta dampaknya terhadap lingkungan, membantu tim pengembangan produk
dalam menentukan material dan komponen yang akan dipakai, dan mengidentifikasi dampak yang
sebelumnya tidak diketahui. Dengan menggunakan metode LCA diharapkan dapat membantu industri
gula dalam menerapkan industri yang berwawasan lingkungan.

1
B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :


1. Mengidentifikasi siklus hidup gula pada industri gula tebu.
2. Menginventarisasi konsumsi bahan tambahan dan energi pada setiap tahapan proses.
3. Mengidentifikasi limbah yang dihasilkan dan dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam menganalisis
penggunaan bahan tambahan dan energi sesuai dengan metode LCA (Life Cycle Assessment) agar
dalam proses produksi gula tebu berjalan secara efisien dan dapat mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan.

D. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada analisis terhadap data kebutuhan bahan tambahan dan konsumsi
energi pada setiap tahapan proses, serta potensi limbah dari proses produksi gula di pabrik dengan
mengevaluasi dampak lingkungan yang mungkin timbul selama siklus hidup gula.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN TEBU

Bahan baku dalam proses produksi gula adalah tanaman tebu. Komoditas tebu (Saccharum
officinarum L.) adalah tanaman industri yang tergolong musiman dan termasuk keluarga rumputan
(Graminae). Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim dimana di dalam batangnya
terdapat suatu cairan yang memiliki rasa manis yang disebut nira. Nira inilah yang kemudian akan
diolah menjadi gula. Saccharum officinarum adalah spesies tebu yang banyak digunakan untuk
produksi gula, kelebihannya adalah mengandung banyak sukrosa, kandungan sabut rendah, daunnya
lebih lebar, dan berbatang besar. Selain itu, Saccharum officinarum berdaya tunas tinggi pada
keadaan tanah dan iklim yang cocok, dan umumnya beradaptasi dengan baik di daerah tropis.
Komponen yang terdapat di dalam batang tebu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen-komponen dalam batang tebu


Komponen Jumlah (%)
Monosakarida 0,5 – 1,5
Sukrosa 11 - 19
Zat-zat organik 0,5 – 1,5
Zat-zat anorganik 0,15
Sabut 11 - 19
Air 65 - 75
Bahan lain 12

Sumber: Misran (2005)

Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula (PG). Dalam proses
produksi di pabrik gula, ampas tebu (bagasse) yang dihasilkan sebesar 35 - 40 % dari setiap tebu yang
diproses, namun yang termanfaatkan hanya 5%, sisanya berupa tetes tebu (molasses), blotong, dan air.
Selama ini, produk utama yang dihasilkan dari tebu adalah gula, sementara hasil samping yang lain
tidak begitu diperhatikan, kecuali tetes tebu yang sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan etanol
dan bahan pembuatan monosodium glutamate (MSG), serta ampas tebu yang dimanfaatkan untuk
makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di
pabrik gula. Pemanfaatan limbah dan produk samping masih terbatas dan nilai ekonomi yang
diperoleh juga belum tinggi, sedangkan limbah dalam proses produksi gula seperti blotong dan abu
ketel banyak yang terbuang percuma, bahkan untuk pembuangan limbahnya masih menimbulkan
pencemaran lingkungan sehingga dapat menambah pengeluaran di pabrik gula (Misran 2005).
Tanaman tebu dapat menghasilkan berbagai produk yang bermanfaat bagi manusia. Secara
keseluruhan, pemanfaatan hasil samping industri gula tebu dapat dilihat pada Lampiran 1. Selama ini
pemanfaatan tebu selalu diidentikan dengan industri gula, sudah saatnya paradigma tersebut bergeser
menjadi industri tebu. Dengan paradigma baru ini, diharapkan dapat memacu petani untuk kembali
mengusahakan perkebunan tebu, disamping dapat menambah pendapatan di pabrik gula, juga dapat
menambah kesempatan kerja sehingga pengangguran dapat dikurangi (Misran 2005).

3
B. GULA

Gula merupakan salah satu bahan pemanis yang dapat dihasilkan dari berbagai jenis bahan
seperti tebu, bit, jagung, kelapa, dan bahan lainnya. Gula pasir merupakan jenis yang paling banyak
diproduksi di Indonesia yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan pemurnian dari tanaman tebu
(Moerdokusumo 1993). Gula termasuk golongan karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi
aktivitas manusia, ada dua jenis gula yaitu monosakarida dan disakarida. Monosakarida adalah
bentuk paling sederhana dari karbohidrat, contohnya glukosa dan fruktosa, sedangkan disakarida
tersusun dari dua atau lebih monosakarida, contohnya sukrosa.
Sukrosa merupakan disakarida yang tersusun dari monomer-monomer berupa unit glukosa dan
fruktosa dengan rumus molekul C12H22O11. Sukrosa adalah senyawa yang mudah larut dalam air,
faktor yang mempengaruhi daya larutnya antara lain: suhu, zat lain yang terlarut, serta sifat zat
tersebut. Semakin tinggi suhu dalam air, maka semakin tinggi pula sukrosa tersebut. Kelarutan
sukrosa dalam nira tebu tidak hanya dipengaruhi oleh suhu, namun dipengaruhi pula oleh kemurnian
dan sifat bahan bukan sukrosa (Paryanto et al. 1999). Struktur molekul sukrosa dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul sukrosa (Anonim 1992)

Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk dari sebuah molekul α-D-glukosa dan molekul β-
D-fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4-glikosidik. Ketika ikatan α-1,4-glikosidik terputus
oleh reaksi hidrolisis, maka akan terbentuk campuran glukosa dan fruktosa. Sukrosa dapat dihidrolisis
dengan bantuan enzim invertase. Reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dengan
bantuan enzim invertase dapat dilihat pada Gambar 2.

enzim invertase
+ H2O +

sukrosa air glukosa fruktosa

Gambar 2. Reaksi hidrolisis sukrosa dengan bantuan enzim invertase (Anonim 1992)

C. PROSES PRODUKSI GULA

Proses produksi gula dari tebu adalah proses pemisahan sukrosa yang terdapat dalam batang
tebu dari zat-zat lain seperti air, zat organik, dan sabut. Proses pemisahan dilakukan dengan cara
menggiling tebu pada mesin penggiling sehingga diperoleh cairan yang disebut nira. Nira yang
diperoleh dari mesin penggiling dibersihkan dari zat-zat bukan gula dengan pemanasan dan
penambahan zat kimia. Secara umum proses produksi gula dilakukan dengan proses berikut ini :

4
1. Ekstraksi Nira

Nira tebu yang mengandung sukrosa diperoleh dari tebu yang diperah dalam mesin penggiling
setelah melalui proses pra-pengolahan dalam crusher atau unit pencacah tebu yang berfungsi untuk
mempermudah proses ekstraksi berikutnya. Semua zat yang larut dalam air tebu akan terperah keluar
dan yang tersisa adalah ampas (Moerdokusumo 1993).

2. Pemurnian Nira

Pelaksanaan pemurnian dalam pembuatan gula dibedakan menjadi 3 macam yaitu:


a. Proses Defekasi
Pemurnian cara defekasi adalah cara pemurnian yang paling sederhana, bahan pembantu yang
digunakan hanya berupa kapur tohor. Kapur tohor digunakan untuk menetralkan asam-asam yang
terdapat dalam nira. Nira yang telah diperoleh dari mesin penggiling diberi kapur hingga diperoleh
nilai pH sedikit alkalis (pH 7,2). Nira yang telah diberi kapur kemudian dipanaskan sampai mendidih,
kemudian endapan yang terjadi dipisahkan.

b. Proses Sulfitasi
Proses pemurnian dengan cara sulfitasi dilakukan dengan pemberian kapur secara berlebihan.
Kelebihan kapur ini dinetralkan kembali dengan gas sulfit (SO2). Penambahan gas SO2 menyebabkan
SO2 bergabung dengan CaO membentuk CaSO3 yang mengendap. Gas SO2 dapat memperlambat
reaksi antara asam amino dan gula reduksi yang dapat mengakibatkan terbentuknya zat warna gelap
pada nira. Gas SO2 dalam larutan asam dapat mereduksi ion ferri sehingga menurunkan efek oksidasi.
Pelaksanaan proses sulfitasi adalah sebagai berikut:
- Sulfitasi dingin
Nira mentah disulfitasi sampai pH 3,8 kemudian diberi kapur sampai pH 7. Setelah itu dipanaskan
sampai mendidih dan kotorannya diendapkan.
- Sulfitasi panas
Pada proses sulfitasi terbentuk garam CaSO3 yang lebih mudah larut dalam keadaan dingin
sehingga ketika dipanaskan akan terjadi endapan pada pipa pemanas. Untuk mencegah hal ini,
pelaksanaan proses sulfitasi dimodifikasi dengan cara nira mentah dipanaskan sampai 70 – 80 oC,
disulfitasi, ditambahkan kapur, dipanaskan hingga mendidih kemudian diendapkan.
- Pengapuran sebagian dan sulfitasi
Apabila pada proses sulfitasi panas tidak dapat memberikan hasil yang baik maka dilakukan
modifikasi, yaitu dengan cara pengapuran pertama sampai pH 8,0 dan pemanasan sampai 50 - 70 oC,
sulfitasi sampai pH 5,1 - 5,3 dan pengapuran kedua sampai pH 7,0 - 7,2 kemudian dilanjutkan dengan
pemanasan sampai mendidih sampai terjadi pengendapan (Hugot 1960).
Pelaksanaan sulfitasi dipandang dari sudut kimia dibagi menjadi 3 yaitu :
- Sulfitasi Asam
Nira mentah disulfitasi dengan SO2 sehingga dicapai pH nira 3,2 kemudian ditambahkan
larutan kapur hingga pH 7,0 – 7,3.
- Sulfitasi Alkalis
Pemberian larutan kapur hingga pH nira 10,5 kemudian ditambahkan SO2 hingga pH nira
menjadi 7,0 – 7,3.

5
- Sulfitasi Netral
Pemberian larutan kapur hingga pH nira 8,5 kemudian ditambahkan gas SO2 sehingga pH nira
menjadi 7,0 – 7,3 (Halim 1973).

c. Proses Karbonatasi
Proses karbonatasi merupakan metode yang paling baik dibandingkan dengan proses defekasi
dan sulfitasi. Bahan pembantu yang digunakan pada proses pemurnian nira dengan karbonatasi adalah
susu kapur dan gas CO2. Setelah ditambahkan susu kapur secara berlebihan, kemudian ditambahkan
gas CO2 yang berfungsi untuk menetralkan kelebihan susu kapur sehingga kotoran-kotoran yang
terdapat dalam nira akan diikat, reaksinya adalah sebagai berikut :

Ca(OH)2 + CO2  CaCO3_ + H2O

Terbentuknya endapan CaCO3 yang banyak, mengakibatkan endapan dapat dengan mudah
dipisahkan (Hugot 1960).

3. Penguapan

Nira yang telah mengalami proses pemurnian masih mengandung air, air ini harus dipisahkan
dengan menggunakan alat penguap. Penguapan adalah suatu proses menghilangkan zat pelarut dari
dalam larutan dengan menggunakan panas. Zat pelarut dalam proses penguapan nira adalah air,
apabila nira dipanaskan maka akan terjadi penguapan molekul air. Akibat penguapan ini, nira akan
menjadi kental. Sumber panas yang digunakan adalah uap panas (Soejardi 1977).

4. Kristalisasi

Proses kristalisasi adalah suatu proses dimana dilakukan pengkristalan gula dari larutan yang
mengandung gula. Dalam larutan encer, jarak antara molekul satu dengan yang lain masih cukup
besar, kemudian pada proses penguapan jarak antara masing-masing molekul dalam larutan tersebut
saling mendekat, apabila jaraknya sudah cukup dekat maka masing-masing molekul dapat saling tarik
menarik. Apabila di sekitarnya terdapat sukrosa yang menempel, keadaan ini disebut sebagai larutan
jenuh. Pada tahap selanjutnya, bila kepekatan naik maka molekul-molekul dalam larutan akan dapat
saling bergabung dan membentuk rantai-rantai molekul sukrosa, sedangkan pada pemekatan lebih
tinggi maka rantai-rantai sukrosa tersebut akan dapat saling bergabung pula dan membentuk suatu
kerangka atau pola kristal sukrosa.

5. Pengeringan

Gula yang keluar dari proses kristalisasi akan masuk ke stasiun putaran dengan menggunakan
sentrifuge, selanjutnya gula yang keluar dari sentrifuge ditampung dalam alat getar (talang goyang).
Talang goyang ini selain berfungsi sebagai alat pengangkut, juga sebagai alat pengering gula.
Pengeringan ini menggunakan udara yang dihembuskan dari bawah, hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi kadar air dalam gula. Setelah pengeringan, gula dimasukkan dalam karung atau kemasan
dan disimpan di gudang untuk kemudian dipasarkan.

6
D. SUMBER DAN DAMPAK PENCEMARAN DI PABRIK GULA

Pabrik gula merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian menjadi produk jadi
berupa gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih). Proses produksi gula tidak
terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by-product) yang dihasilkan selama proses berjalan.
Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh bahan-bahan organik,
walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik (persentasenya kecil).
Limbah yang dihasilkan di pabrik gula terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang
berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada
produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya
dan Beracun).
Limbah udara yang dihasilkan berasal dari pembakaran boiler serta dari alat transportasi.
Emisi partikulat dihasilkan dari gas buang boiler karena bahan bakar yang digunakan berupa padatan
(ampas). Selain itu, beberapa pabrik gula juga mengalami masalah dengan debu ampas yang cukup
halus, sedangkan limbah gas, yakni SO2, NOx, dan CO2 umumnya tidak melebihi ambang batas.
Limbah selanjutnya adalah limbah B3 yang terdiri dari oli bekas, aki bekas, lap majun, dan lampu TL
yang disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3. Oli bekas dan aki bekas berasal dari
stasiun gilingan, mesin-mesin produksi, genset dan workshop (operasional kendaraan dan alat berat).
Lap majun diperoleh dari lap bekas pembersihan mesin, pompa, oli, dan lain-lain. Lampu TL
diperoleh dari lampu yang sudah rusak atau mengalami gangguan sehingga tidak bisa digunakan
kembali.
Limbah padat yang dihasilkan diantaranya, abu, blotong, dan ampas. Abu merupakan limbah
yang dihasilkan dari pembakaran boiler, blotong merupakan limbah padat dari proses penyaringan
(Rotary Vacuum Filter), dan ampas yang merupakan limbah hasil pemerahan nira pada stasiun
gilingan. Limbah cair yang dihasilkan terbagi menjadi dua bagian, yaitu limbah cair berat dan limbah
cair ringan. Limbah cair berat merupakan limbah cair dengan kadar organik tinggi sedangkan limbah
cair ringan merupakan limbah cair yang mengandung kadar organik rendah (LPP 2006). Walaupun
menghasilkan limbah padat, cair, gas, dan B3, masalah lingkungan utama yang dihadapi pabrik gula
adalah yang berkaitan dengan limbah cair, baik karena volume maupun konsentrasi polutannya.
Pengolahan tebu menjadi gula dapat menghasilkan limbah cair sebanyak 1-2 m3/ton tebu. Daftar
limbah cair pabrik gula dan sifatnya dapat dilihat pada Tabel 2. Limbah padat pabrik gula berupa
ampas, blotong, dan sisa ampas yang tidak habis dipakai sebagai bahan bakar. Penanganan limbah
padat relatif lebih mudah dibandingkan limbah yang lain (LPP 2006). Sumber limbah di pabrik gula
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Limbah pabrik gula dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan jika tidak ditangani
secara tepat karena mengandung sejumah besar karbohidrat, protein, lemak, dan sisa-sisa bahan kimia
yang digunakan baik dalam pengolahan dan pembersihan. Masalah-masalah yang mungkin timbul
dalam operasi pabrik gula (LPP 2006) adalah :
1. Polusi pada badan air akibat kontaminasi dan deoksigenisasi oleh efluen limbah cair
2. Pabrik gula yang langsung dibuang atau tidak ditangani secara memadai
3. Bau menyengat akibat biodegradasi limbah dalam bentuk gas hidrogen sulfida (H 2S)
4. Suburnya tumbuhan ganggang sepanjang aliran sebagai akibat banyaknya sisa-sisa nutrien
seperti phospor dan nitrogen
5. Terganggunya fotosintesis pada ekosistem air karena tumpahan minyak ke badan utama air
6. Efek hujan asam akibat emisi gas SO2
7. Menurunnya kualitas udara karena emisi asap dan gas buang hasil pembakaran ampas pada
boiler

7
Tabel 2. Limbah cair di pabrik gula dan sifat-sifatnya
Sumber Pencemar Potensi Pencemaran Sifat
Stasiun gilingan
- Minyak tinggi mengapung
- Nira tinggi larut, pH < 5,5
- Air pendingin rendah suhu normal
Stasiun Pemurnian
- Nira tinggi larut, pH < 6,5
- Pendingin vacuum filter rendah suhu normal
- Pendingin sublimator tinggi suhu 60 – 70 oC
Stasiun Penguapan
- Nira tinggi pH netral
- Soda tinggi basa
- Pendingin kondensor rendah suhu > 40 oC
Stasiun Kristalisasi
- Larutan gula tinggi pH < 6
- Pendingin kondensor rendah suhu > 40 oC
Palung Pendingin
- Air rendah suhu normal
- Larutan gula tinggi pH < 6
Laboratorium
- Nira tinggi pH < 6
- Larutan gula tinggi pH < 7
- Bahan kimia lain rendah bervariasi, Pb
Boiler
- Air kurasan rendah suhu > 90 oC
- Abu dalam air rendah pH > 8, mengendap
Stasiun Pembangkit Listrik
- Minyak tinggi mengapung
Sumber : LPP (2006)

E. LIFE CYCLE ASSESSMENT (LCA)

Penilaian daur hidup (Life Cycle Assessment/LCA) adalah suatu metode pengukuran dampak
suatu produk tertentu terhadap ekosistem yang dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengukur,
menganalisis, dan menakar besarnya konsumsi energi, bahan baku, emisi serta faktor-faktor lainnya
yang berkaitan dengan produk tersebut sepanjang siklus hidupnya (Curran 1996). Siklus hidup suatu
produk dimulai dari bahan baku yang diambil dari alam, diproses di pabrik, digunakan oleh konsumen
sampai menjadi limbah yang dibuang kembali ke alam. Pada setiap tahapan siklus hidup akan
mengkonsumsi sumber daya dan menghasilkan emisi atau limbah, dan dampak lingkungan tiap
tahapan dalam siklus hidup produk tersebut perlu diketahui. Dalam suatu sistem industri terdapat
input dan output, input dalam sistem berupa material-material yang diambil dari lingkungan dan
outputnya akan dibuang ke lingkungan kembali. Input dan output sistem industri ini akan
menghasilkan dampak terhadap lingkungan. Pengambilan input material yang berlebihan akan
mengakibatkan semakin berkurangnya persediaan di alam, sedangkan hasil keluaran dari sistem
industri yang berupa limbah (padat, cair, dan udara) akan memberi dampak negatif terhadap
lingkungan. Dengan menerapkan metode LCA diharapkan dapat dilakukan evaluasi untuk
meminimalkan pengambilan material dari lingkungan dan limbah industri yang dihasilkan (Megasari
et al. 2008).

8
LCA dapat digunakan untuk menangani dampak lingkungan dari produk, proses atau aktifitas
dalam seluruh siklus hidup mulai dari ekstraksi material mentah, proses produksi, transportasi,
penggunaaan, dan pembuangan akhir. Manfaat penerapan konsep LCA (Megasari et al. 2008) adalah:
1. Perbaikan produk: LCA dapat mengidentifikasi pilihan biaya paling efisien dan efektif bagi
pengurangan dampak lingkungan dari produk atau jasa. Perbaikan ini dapat membuat produk
lebih diinginkan oleh konsumen.
2. Perbaikan proses: LCA dapat diterapkan untuk mengevaluasi operasi atau proses produksi
perusahaan. Hal ini merupakan metode yang berguna untuk menghitung sumber daya dan
penggunaan energi. Manfaat LCA dapat menawarkan pilihan bagi perbaikan efisiensi seperti
meminimalkan limbah, penggunaan sumber daya lebih sedikit, dan memperbaiki kualitas proses.
3. Perencanaan strategis: LCA dapat digunakan sebagai perencanaan strategis. Jika peraturan
lingkungan dan harapan lingkungan meningkat, akan mengakibatkan peningkatan tekanan
terhadap perusahaan untuk memperbaiki kinerja operasinya.
Komponen utama LCA dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Tujuan dan cakupan (Goal and Scoping)
Tujuan dan cakupan perlu dilakukan untuk dilakukan inventarisasi kegiatan yang diperkirakan
dapat menimbulkan dampak penting yang ditimbulkan oleh proses atau produk tertentu terhadap
lingkungan.
2. Analisis inventori (Inventory Analysis)
Analisis inventori merupakan bagian LCA yang berisi inventori input yang berupa energi
maupun bahan baku, dan output emisi maupun limbah. Pada proses ini dilakukan pengumpulan data
kuantitatif untuk menentukan level atau tipe input energi maupun material pada suatu sistem industri
dan hasil yang dilepaskan ke lingkungan.
3. Penakaran dampak (Impact Assessment)
Penakaran dampak digunakan untuk menganalisis dampak suatu proses terhadap lingkungan
dan kesehatan manusia yang telah didata secara kuantitatif pada penakaran inventori. Dalam proses
klasifikasi, data inventori yang dihubungkan dengan efek potensi terhadap ekologi dan kesehatan
manusia ditempatkan dalam kategori khusus.
4. Interpretasi atau analisis perbaikan (Improvement Analysis)
Pada tahapan ini dilakukan interpretasi hasil, evaluasi, dan analisis terhadap usaha-usaha yang
dapat dilakukan untuk perbaikan (Curran 1996).

Setiap produk mempunyai daur hidup (life cycle), mulai dari perancangan atau pengembangan
produk, diikuti oleh ekstraksi sumber daya, proses produksi, konsumsi, dan aktivitas akhir
(pengumpulan, penyortiran, pemanfaatan kembali, daur ulang, dan pembuangan limbah). Semua
aktivitas ini akan menghasilkan dampak lingkungan karena pengaruh konsumsi sumber daya, emisi
dari bahan-bahan yang digunakan ke lingkungan alam, dan perubahan lingkungan lainnya.
Pembangunan yang berkelanjutan yang baik memerlukan metode dan alat yang membantu
menghitung dan membandingkan dampak lingkungan dari barang dan jasa itu ke masyarakat
(Rebeitzer et al. 2004). Alat pengelolaan lingkungan yang dapat menghitung beban lingkungan dan
dampak potensialnya di dalam seluruh daur hidup produk, proses atau kegiatannya adalah Life Cycle
Assessment (Azapagic 1999).
LCA merupakan kerangka metodologi untuk memperkirakan dan menilai dampak lingkungan
yang dikaitkan dengan daur hidup suatu produk, seperti perubahan iklim, penipisan lapisan ozon,
penciptaan troposfir ozon, eutrofikasi, asidifikasi, keracunan pada manusia dan ekosistem, penipisan
sumber daya, penggunaan air, penggunaan lahan, kebisingan, dan lainnya (Rebitzer et al. 2004).

9
Variabel LCA yang dikaji diantaranya teknologi proses, kapasitas pabrik, jenis bahan baku, energi,
dan lokasi pabrik. Variabel tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi hasil dari
analisis LCA.
Siklus hidup (life cycle) suatu produk menitikberatkan pada faktor mengumpulkan informasi
dan menganalisis dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk. Pada LCA dibutuhkan data
mengenai input dan output secara lengkap meliputi bahan baku, proses pembuatan, distribusi,
transportasi, konsumsi, hasil samping, dan dampak lingkungan. LCA terdiri dari beberapa elemen
antara lain: (1) identifikasi dan mengukur faktor-faktor yang terlibat, (2) evaluasi faktor-faktor yang
berpotensi berdampak terhadap lingkungan, (3) analisis untuk mengurangi dampak lingkungan
(Mattson dan Sonesson 2003).
Sektor industri saat ini dituntut untuk lebih serius dalam memperhatikan dampak lingkungan
akibat aktivitasnya. Hal ini seiring bertambah buruknya kualitas lingkungan baik itu udara, air, tanah,
dan sebagainya. LCA merupakan sebuah metode yang tepat untuk mengetahui seberapa besar
dampak lingkungan yang disebabkan pada tahap daur hidup mulai dari pengambilan material sampai
dengan produk itu selesai digunakan oleh konsumen. Upaya untuk mencegah dan mengurangi
timbulnya limbah, dimulai sejak pemilihan bahan, teknologi proses, penggunaan material dan energi,
serta pemanfaatan produk samping pada suatu sistem produksi. Minimalisasi limbah dapat dilakukan
dengan cara reduce, reuse, recycle, dan recovery.
Reduce merupakan upaya untuk mengurangi pemakaian atau penggunaan bahan baku seefisien
mungkin di dalam suatu proses produksi, serta memperhatikan agar limbah yang terbuang menjadi
sedikit. Reuse merupakan upaya penggunaan limbah untuk digunakan kembali tanpa mengalami
proses pengolahan atau perubahan bentuk. Reuse dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses
produksi yang bersangkutan. Recycle merupakan upaya pemanfaatan limbah dengan cara proses daur
ulang melalui pengolahan fisik atau kimia, baik untuk menghasilkan produk yang sama maupun
produk yang berlainan. Daur ulang dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses produksi yang
bersangkutan. Recovery adalah upaya pemanfaatan limbah dengan jalan memproses untuk
memperoleh kembali materi atau energi yang terkandung di dalamnya.
Dalam melakukan pengolahan data pada metode LCA dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. Menghitung input dan output dari setiap unit proses
2. Analisa dampak lingkungan yang meliputi: klasifikasi, karakterisasi, normalisasi, pengelompokan
atau pembobotan
3. Identifikasi input dan output yang mengakibatkan dampak-dampak lingkungan pada kategori yang
sudah ditetapkan dalam LCA
4. Analisis semua kategori dampak sesuai metoda LCA
5. Mencari kategori dampak yang paling signifikan terhadap lingkungan dari hasil perbandingan
diantara kategori dampak
6. Analisa perbandingan dampak yang dihasilkan pada setiap siklus hidup untuk mengidentifikasi
siklus hidup pada bagian mana yang paling signifikan terhadap lingkungan
7. Analisis dampak lingkungan dengan menggunakan beberapa skenario yang berbeda untuk melihat
perubahan dampaknya.

10
III. METODE PENELITIAN

A. TAHAPAN PENELITIAN

Tahap penelitian yang dilakukan terdiri dari studi pustaka, observasi lapang, wawancara, serta
pengolahan data. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder
yang dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Tahap-tahap dalam melakukan analisis dampak
lingkungan dengan menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA) terdiri atas 4 fase utama, yaitu
definisi tujuan dan ruang lingkup (goal and scope definition), menginventarisasi input dan output (life
cycle inventory), perkiraan dampak lingkungan dari semua input dan output (life cycle assessment),
dan interpretasi hasil yang disebut improvement analysis (Mattson dan Sonesson 2003).
Goal and scope definition merupakan proses pertama dalam LCA yang berfungsi untuk
menentukan ruang lingkup dan batasan sistem yang akan dikaji. Life cycle inventory merupakan satu
set data dan perhitungan aliran bahan dan energi yang mengkuantifikasikan input dan output dari daur
hidup suatu produk. Dalam penelitian ini, data yang digunakan berasal dari data sekunder berupa data
kebutuhan energi, bahan baku, dan jumlah limbah yang dihasilkan. Diagram alir penelitian mengenai
LCA produksi gula tebu dapat dilihat pada Gambar 3.

OBSERVASI STUDI PUSTAKA WAWANCARA

Industri Gula PT PG Tebu, Proses Produksi Gula, Ahli Proses Produksi


Rajawali II Unit PG Energi, Limbah, LCA Gula dan LCA
Subang

KAJIAN

Penggunaan Bahan Baku, Energi, dan Analisis Dampak Lingkungan

PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT)

Gambar 3. Diagram alir metode penelitian penilaian daur hidup (Life Cycle Assessment) gula

Data primer merupakan data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan orang yang
ahli di bidang proses pengolahan tebu menjadi gula dan LCA, serta observasi lapang di PT PG
Rajawali II Unit PG Subang, sedangkan data sekunder berupa data penggunaan bahan tambahan,
energi, dan peralatan di PG Subang pada tiap tahapan proses produksi, serta deskripsi mengenai
proses pengolahan tebu menjadi gula dan dampak terhadap lingkungan.

11
B. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder yang telah
didapatkan dari pihak-pihak terkait, buku-buku acuan, jurnal, dan literatur lainnya. Selain itu, studi
pustaka juga dilakukan untuk menunjang atau memenuhi data yang kurang dari observasi lapangan.
Studi pustaka pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permodelan LCA yang biasa dilakukan
serta mengetahui dampak lingkungan yang dapat diakibatkan pada proses produksi gula.

2. Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi serta mempelajari siklus hidup dari
pabrik gula di PT PG Rajawali II Unit PG Subang untuk mendapatkan data primer.

3. Kuesioner

Tujuan pembuatan kuesioner adalah mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder
yang dibutuhkan dalam menganalisis kebutuhan bahan baku dan energi. Kuesioner yang dibuat pada
penelitian ini berisi tentang informasi mengenai kebutuhan bahan baku, tambahan, energi, serta
penanganan limbah pada industri gula. Kuesioner data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

4. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang ahli di bidang proses produksi gula tebu.
Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder
yang dibutuhkan dalam melakukan LCA pada industri gula di PT PG Rajawali II Unit PG Subang.

C. PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYLE ASSESSMENT)

Metode LCA yang digunakan adalah prosedur LCA menurut ISO 14040 yang terdiri atas
empat fase, yaitu penentuan tujuan dan ruang lingkup, analisis persediaan, analisis dampak, dan
interpretasi. Tujuan dan ruang lingkup yang telah ditetapkan dalam penelitian ini menjadi dasar
dalam penggunaan LCA. Bagian-bagian yang dikaji dalam penelitian ini adalah penggunaan bahan
dan energi selama tahapan proses serta dampak lingkungan yang terjadi akibat proses produksi gula.

1. Penggunaan Bahan

Penggunaan bahan-bahan selama proses produksi gula dikaji menggunakan analisis inventori
sesuai dengan metode LCA. Dampak yang ditimbulkan selama kegiatan berlangsung dianalisis
menggunakan analisis dampak.

12
2. Penggunaan Energi

Energi yang digunakan selama proses produksi berasal dari tenaga uap, listrik, dan bahan
bakar. Metode LCA yang digunakan untuk mengetahui besar energi yang dibutuhkan selama proses
produksi gula adalah dengan menggunakan analisis inventori. Dampak yang ditimbulkan dianalisis
menggunakan analisis dampak.

3. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan yang dianalisis adalah dampak dari limbah padat, cair, B3, dan udara yang
dilepaskan selama proses produksi gula berlangsung. Dampak lingkungan yang ditimbulkan
dianalisis secara kualitatif menggunakan analisis dampak pada metode LCA. Penelitian dengan
metode LCA di pabrik gula sebelumnya sudah pernah dilakukan, hanya saja ruang lingkup yang dikaji
berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosmeika et al. (2009), dilakukan pengkajian daur
hidup ampas tebu di Pabrik Gula Maduksimo Yogyakarta menggunakan metode LCA. Metode
penelitian yang digunakan terdiri dari empat komponen, yaitu: mendefinisikan tujuan dan ruang
lingkup kegiatan, analisis inventarisasi, analisis dampak, dan mengkaji perbaikan (interpretasi). Pada
penelitian tersebut ditentukan batasan permasalahan, antara lain: 1) proses kegiatan yang dilakukan
hanya terbatas pada satu pabrik gula tebu, 2) Life Cycle Assessment pada industri pengolahan tebu
hanya dibatasi sampai pada ampas tebu sebagai hasil samping dari stasiun gilingan dan
pemanfaatannya untuk bahan bakar boiler, 3) analisis emisi dibatasi hanya pada emisi udara (gas)
yang dihasilkan dari cerobong asap boiler (tanpa menganalisis emisi padat dan cair) dan parameter
yang dianalisis dibatasi hanya pada emisi CO2, NO2, dan SO2, 4) analisis dampak dibatasi hanya
sampai pada tahapan karakterisasi untuk potensi terjadinya efek rumah kaca, acidification, dan
eutrophication.
Selain itu, penelitian LCA pada pabrik gula juga dilakukan oleh Renouv dan Wegener (2007)
dengan melakukan LCA pada produksi dan pengolahan tebu di Australia. Metode LCA yang
digunakan meliputi: ruang lingkup kegiatan, analisis inventori, analisis dampak, dan evaluasi hasil
(interpretasi). Ruang lingkup pada penelitian tersebut mulai dari budi daya tebu hingga pengolahan
tebu menjadi gula. Analisis dampak lingkungan yang dilakukan meliputi: penggunaan energi,
eutrofikasi, penggunaan air, dan emisi gas rumah kaca. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan
analisis dampak yang ditimbulkan dari perbandingan antara tebu dengan tanaman penghasil gula yang
lain, seperti bit dan jagung.

13
IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

A. SEJARAH PERUSAHAAN

Areal PT PG Rajawali II Unit PG Subang pada tahun 1812-1833 pada awalnya merupakan
areal tanaman karet milik swasta asing (Inggris) yang kemudian pada tahun 1834-1957 dikuasai
perusahaan swasta asing (Belanda) bernama “Pamanoekan and Tjiasem Land”. Pada tahun 1958-
1967 dikuasai Perusahaaan Perkebunan Negara (PPN) dengan UU No. 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dan pada tahun 1968 menjadi PTP XXX dengan
PP No. 14 Tahun 1968. Berdasarkan instruksi Menteri Pertanian No.13/INS/UM/1979 dilakukan
konversi lahan dari tanaman karet ke tanaman tebu dengan mengadakan uji coba penanaman tebu
bersama PPIG. Penanaman tebu pertama seluas 800 ha dan digiling di PTP XIV, PG Tersana Baru.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.681/MENTERI.X/1978 tanggal 14 Oktober 1978, pengelolaan
PG Subang sepenuhnya diserahkan ke PTP XIV yang meliputi kebun Pasir Bungur, Pasir Muncang
dan Manyingsal.
Pabrik Gula Subang (Gambar 4) dibangun mulai tahun 1981 berdasarkan SK Menteri Pertanian
No.667/KTPS/8/1981 dan surat Dirjen Moneter Departemen Keuangan No. 2892/MD/1982 dengan
kontraktor Heavy Mechanical Complex (HMC) Pakistan. Pada tahun 1984 pembangunan fisik pabrik
dengan fasilitasnya telah selesai dilaksanakan. Penggilingan pertama dimulai tanggal 3 Juli 1984 dan
berakhir tanggal 18 Oktober 1984.

Gambar 4. Pabrik Gula Subang

Pada tahun 1985 dilaksanakan penyerahan pabrik gula subang dari pihak kontraktor ke PTP
XIV. Pada tahun 1989, pengelolaan PTP XIV berpindah dari Departemen Pertanian ke Departemen
Keuangan. Berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/013/1988 dilakukan pengalihan
manajemen PTP XIV kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia. Pada tanggal 30 Desember 1988
pengelolaan PG Subang dilaksanakan oleh PT PG Rajawali II yang merupakan salah satu unit
perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI).

14
B. VISI DAN MISI PERUSAHAAN

Visi : Menjadi unit usaha agroindustri berbasis tebu yang handal (reliable) di lingkungan
PT RNI
Misi : Menjadi perusahaan yang mampu tumbuh dan berkembang dengan kinerja yang sehat,
siap menghadapi kompetensi pasar bebas dan mampu memenuhi harapan stake
holders

C. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN

Pabrik gula Subang terletak di desa Pasir Bungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang,
Jawa Barat dengan jarak sekitar 22 km ke arah utara kota Subang, 25 km dari kota Subang ke arah
barat dan 12 km ke arah selatan Kecamatan Sukamandi. Secara geografis kedudukan PG Subang dan
areal perkebunannya terletak antara 107o 41’ 61’’ BT sampai 107o 41’ 18’’ BT dan 6o 24’ 46’’ LS
sampai 6o 24’48’’LS.
PT PG Rajawali II unit PG Subang memiliki luas areal Hak Guna Usaha sebesar 5.669,4 ha.
Untuk tanaman tebu 5.275 ha sedangkan untuk pabrik gula, jalan dan perumahan sekitar 405 ha.
Areal perkebunan tebu PG Subang terbagi dalam tiga rayon. Rayon 1 meliputi wilayah Pasir Bungur,
Cihambulu dan Kalijati dengan luas 1.413,34 ha. Rayon 2 meliputi wilayah Pasir Muncang dengan
luas 2.879,19 ha, sedangkan Rayon 3 meliputi wilayah Manyingsal dengan luas 1.249,31 ha. Tiap
kebun dibagi menjadi petak-petak berukuran 4 ha kecuali petak pinggir. Masing-masing petak
dipisahkan oleh jalan kebun.
PG Subang mempunyai lahan dengan jenis tanah latosol merah, alluvial kelabu, alluvial coklat
kelabu, podsolik plintik, lateritik air tanah, glei humus rendah, hidromorf kelabu, dan lateritik. Dari
jenis yang ada sebagian besar jenis tanah di PG Subang adalah jenis tanah latosol dan podzolik merah
dengan struktur porus. Suhu udara di PG Subang berkisar antara 22–31,4 oC, kelembaban nisbi adalah
81,2 % dengan curah hujan 1.200 – 2.000 Nm/tahun. Jenis tanah per rayon dan kriterianya dapat
dilihat pada Tabel 3 .

Tabel 3. Jenis tanah di PG Subang

No. Jenis Tanah Kriteria Rayon


1. Latosol a. pH tanah 4,5 – 6,5 Pasir Bungur dan Pasir
b. Drainase baik Muncang
c. Kesuburan rendah
d. Permeabilitas tinggi
2. Podzolik a. pH tanah 4,5 – 6,5 Manyingsal
b. Kesuburan tanah rendah
c. Permeabilitas rendah
Sumber : Data PG Subang (2011)

Keadaan topografi areal PG Subang berupa daerah datar hingga bergelombang dengan
kemiringan 3 - 8 % dan ketinggian rata-rata 33 m di atas permukaan laut untuk wilayah Pasir Bungur
dan Pasir Muncang, sedangkan untuk wilayah Manyingsal memiliki kemiringan 8 - 15 % dengan
ketinggian rata-rata 45 m di atas permukaan laut.

15
D. STRUKTUR ORGANISASI

PT PG Rajawali II unit PG Subang dipimpin oleh seorang General Manager yang di dalam
pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Engineering Manager, Processing Manager, Administration and
Financial Manager, Plantation Manager, dan Manager Sumber Daya Manusia dan Umum. Struktur
organisasi PT PG Rajawali II unit PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 4.

E. KETENAGAKERJAAN

Status karyawan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang dibedakan berdasarkan sifat hubungan


kerja dengan perusahaan menjadi karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. Karyawan tetap dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karyawan bulanan dan karyawan harian, sedangkan karyawan
tidak tetap terdiri dari karyawan kampanye dan musiman. Karyawan kampanye adalah karyawan
yang berhubungan langsung dengan jalannya proses produksi, sedangkan karyawan musiman dapat
dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yaitu karyawan musiman tebang yang bertugas dari mulainya
tebu ditebang sampai diangkut dan ditimbang. Karyawan musiman tanaman yang bertugas dari
pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tebu sampai siap ditebang, dan karyawan musiman
lain-lain yaitu karyawan yang bekerja di sekitar emplasemen namun tidak berhubungan langsung
dengan proses penggilingan tebu, seperti tenaga administrasi gudang.
Selain memperoleh upah (harian/bulanan) karyawan juga menerima tunjangan-tunjangan baik
untuk karyawan tetap maupun untuk karyawan tidak tetap. Karyawan tetap bulanan mendapat
tunjangan dari perusahaan berupa rumah dinas, jaminan kesehatan, asuransi tenaga kerja, sarana
olahraga dan kesenian, kendaraan bermotor, pendidikan, cuti kerja, jaminan hari tua, serta hak-hak
lain yang diatur dalam peraturan perusahaan. Karyawan tetap harian tidak mendapatkan tunjangan
perumahan. Karyawan kampanye mendapatkan pasokan giling, jaminan kesehatan, jaminan hari tua,
jaminan kecelakaan kerja, dan untuk karyawan musiman tebangan dan karyawan musiman lain-lain
hanya mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Jam kerja yang diberlakukan di PG Subang bagi karyawan terdiri dari jam kerja harian dan
shift. Jam kerja harian dilakukan pada luar masa giling atau pada masa perbaikan dan pemeliharaan.
Jam kerja shift diberlakukan selama masa giling dengan pertukaran shift dilakukan setiap tiga kali
sehari. Dalam satu hari terdapat tiga shift dengan jam kerja selama 8 jam untuk masing-masing shift.
Untuk meningkatkan keterampilan setiap staf dan karyawan, PG Subang mengadakan kerjasama
dengan Depnaker (Departemen Tenaga Kerja), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), dan Dewan
Gula Indonesia (DGI). Kerja sama yang dilakukan adalah dengan mengadakan pelatihan mengenai
keselamatan dan keterampilan kerja, selain itu juga dilakukan pelatihan kerja di lokasi pabrik. Data
tenaga kerja tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Data tenaga kerja PG Subang tahun 2011


Status tenaga kerja Jumlah tenaga kerja (orang)
Karyawan staff ( Gol. IX – XVI) 43
Karyawan KNS (Gol. I- VIII) 261
PKWT luar pabrik 341
PKWT dalam pabrik 285
Harian borong 0
Honorair 2
MPP 0
Total 932
Sumber : Data PG Subang

16
F. PROSES PRODUKSI GULA

Pabrik gula adalah pabrik yang mengelola gula (sukrosa) dan gula reduksi (glukosa dan
fruktosa) yang terkandung dalam tebu. Sifat sukrosa adalah tidak tahan asam, bila sukrosa pada
kondisi asam maka akan rusak karena adanya inversi. Hasil kerusakan gula (sukrosa) adalah gula
reduksi yaitu glukosa dan fruktosa. Sifat gula reduksi tidak tahan terhadap basa akan tereduksi
menjadi asam-asam, dan asam-asam ini akan memicu kerusakan pada sukrosa. Kerusakan inversi
sukrosa dan destruksi dari monosakarida akan lebih besar pada kondisi suhu yang tinggi dan waktu
yang lama. Reaksi pada kerusakan gula bersifat irreversible (searah), sehingga sukrosa yang sudah
menjadi gula reduksi tidak bisa kembali lagi menjadi bahan semula (sukrosa). Untuk itu perlu
dikendalikan melalui 3 variabel, yaitu pH stabil, suhu optimal, dan waktu yang singkat.
Proses produksi gula dari tebu pada hakekatnya hanyalah memisahkan gula melalui
pemerahan, penyaringan, penguapan, pemutaran, dimana yang dipisahkan adalah air, kotoran, dan zat
bukan gula. Kelemahan pengelolaan gula secara kimia adalah berubah-ubahnya kandungan sukrosa
selama proses akibat suhu, pH, waktu dan aktivitas mikroba. Reaksi perubahan tidak dapat dibolak-
balik sehingga sekali tereduksi tidak dapat kembali, dan yang dapat terkristalkan hanyalah sukrosa
(Soebekti 2001). Proses produki gula di PG Subang dilakukan melalui beberapa proses, yaitu : proses
persiapan, proses ekstraksi nira, proses pemurnian, proses penguapan, proses kristalisasi, proses
pendinginan, proses pemisahan gula, dan proses penyelesaian.

1. Proses Persiapan

Tebu yang terdapat di lahan sebelum diolah menjadi gula, terlebih dahulu ditebang dan dibawa
ke stasiun persiapan. Stasiun persiapan terdiri dari daerah ketika tebu masuk hingga tebu sebelum
masuk ke stasiun gilingan. Komponen yang terdapat di stasiun persiapan meliputi : meja tebu, tipper
(derek feeding), hillo (hidrolik feeding), cane cutter (pisau pemotong tebu), dan unigrator, serta
dilengkapi dengan penggerak-penggeraknya yaitu cane carrier dan cane elevator. Tebu yang masuk
ke areal pabrik terlebih dahulu ditimbang pada jembatan timbang. Timbangan yang digunakan ada
dua jenis yaitu timbangan bruto dan timbangan tarra. Fungsi timbangan bruto adalah untuk
mengetahui berat bruto yang terdiri dari berat truk atau trailler dan berat tebu. Setelah melewati
timbangan bruto, angkutan tebu kemudian masuk ke cane yard. Setelah tebu dibongkar di cane yard
kemudian truk atau trailler ditimbang kembali ke timbangan tarra. Fungsi timbangan tarra adalah
untuk mengetahui berat tarra yaitu berat truk atau trailer yang kosong tanpa tebu. Hasil selisih dari
timbangan bruto dan timbangan tarra adalah bobot tebu yang sebenarnya (netto).
Cane yard di Pabrik Gula Subang merupakan tempat pembongkaran tebu dari kebun, tempat
penyediaan tebu yang akan digiling dan tempat pemasukan (feeding) tebu ke dalam pabrik. Luas cane
yard PG Subang 2.230 ha yang terbagi menjadi 8 petak. Petak I – IV terletak di sebelah Timur cane
carrier dan petak V – VIII terletak di sebelah barat cane carrier. Kapasitas tampung cane yard 5.600
TCD, padahal untuk kapasitas pabrik 2.800 TCD yang ditampung di cane yard hanya 1.113,2 ton
sehingga dengan luas yang tersedia sangat cukup bahkan berlebih untuk menampung tebu. Atas dasar
pertimbangan itu, dan juga karena cane table berada di sebelah timur (petak I – IV ) maka cane yard
yang digunakan adalah petak I – IV.
Tebu yang diangkut oleh truk setelah memasuki cane yard akan dibongkar menggunakan sling
(alat pengait dari kawat) yang terdapat di pinggir cane yard. Jika alat sling sedang digunakan maka
truk yang mengangkut tebu dialihkan menuju alat hidrolik yang disebut truck tipper. Tebu yang
dibongkar dengan menggunakan sling akan diatur kembali penyimpanannya di cane yard dengan

17
menggunakan cane stacker yang kemudian akan dimasukkan ke cane table, sedangkan tebu yang
dibongkar menggunakan truck tipper langsung masuk ke side carrier yang fungsinya sama dengan
cane table yang dilengkapi dengan rantai.
Tebu yang diangkut oleh trailler tidak dibongkar di cane yard melainkan langsung dimasukkan
ke cane table dengan menggunakan hillo. Jumlah hillo yang digunakan ada dua buah yaitu hillo A
dan hillo B. Hillo A digunakan pada saat pabrik sedang melakukan proses giling,
sedangkan hillo B digunakan saat proses giling tidak berjalan. Tebu yang dibongkar menggunakan
hillo A langsung diletakkan di cane table, sedangkan tebu yang dibongkar menggunakan hillo B tidak
langsung dimasukkan ke cane table tetapi ditampung dulu di cane yard dan kemudian akan diatur
peletakkannya di cane yard menggunakan cane stacker.
Tebu yang telah disusun di cane yard kemudian diproses di stasiun gilingan. Dari cane table,
tebu dimasukkan ke dalam cane carrier. Sebelum tebu digiling, tebu dicacah menggunakan cane
cutter yang akan memotong tebu menjadi potongan tebu, kemudian tebu masuk ke unigrator yang
akan membuat potongan tebu menjadi serabut. Cara kerja cane cutter dan unigrator berbeda, pada
cane cutter, tebu yang masuk dipotong-potong menjadi serabut kasar, sedangkan pada unigrator, tebu
hasil cacahan dihantam-hantamkan dengan menggunakan hammer ke dinding unigrator sehingga
serabut tebu yang dihasilkan menjadi lebih halus.
Tebu yang masuk ke cane yard akan langsung digiling pada hari itu juga dengan sistem FIFO
(First In First Out), tebu yang ditebang di awal akan digiling di awal pula. Sistem ini tidak digunakan
pada tebu bakaran, tebu bakaran yang masuk ke cane yard akan langsung digiling tanpa menunggu
antrian untuk mengurangi resiko kehilangan rendemen dalam jumlah besar. Proses memasukkan tebu
bakaran ke cane table juga harus dicampur dengan tebu non bakaran agar tidak menurunkan
rendemen. Pada setiap akhir shift dilakukan taksasi tebu di cane yard dengan metode penghitungan
volume tebu yang tersisa. Berat tebu taksasi diperoleh dengan mengalikan volume dengan bulk
density tebu sebesar 2,5 m3/ton.
Manfaat dari adanya taksasi sisa tebu diantaranya :
1. untuk menentukan perencanaan sasaran berapa tebu yang harus digiling
2. untuk mengetahui apakah tebu cukup
3. sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan bagi Chemiker jaga
4. sebagai bahan pertimbangan untuk rapat tebangan menentukan berapa tebu yang akan ditebang.
Tebu sisa pagi pukul 06.00 disarankan sekitar 250 ton, sehingga proses giling bisa berlanjut
karena pukul 08.00 truck dan trailer dari kebun sudah berdatangan. Untuk membedakan tebu sisa
pagi dengan yang baru datang ditancapkan bendera dengan ketentuan sebagai berikut :
Bendera Hijau : tebu hari ke-1
Bendera Kuning : tebu hari ke-2
Bendera Merah : tebu hari ke-3
Bendera Hitam : tebu lebih dari 3 hari
Setelah menghitung berat tebu taksasi, dilakukan analisa pendahuluan yaitu menghitung pol
tebu, brix tebu, kotoran pada tebu untuk menghitung potensi rendemen dan efisiensi sehingga dapat
memprediksi besarnya perolehan hasil gula yang diproduksi. Analisa pendahuluan yang dilakukan
menghasilkan HPG (Harga Pemerahan Gula) sebagai efisiensi gilingan dan BHR (Boiling House
Recovery) sebagai efisiensi proses.

18
2. Proses Ekstraksi

Proses ekstraksi bertujuan untuk mengambil nira sebanyak-banyaknya yang berasal dari tebu
maupun ampas. PG Subang memiliki empat unit mesin gilingan yang tersusun secara seri, satu unit
mesin giling terdiri atas tiga buah roll yaitu roll depan, roll atas, dan roll belakang dengan arah putar
yang berbeda-beda ditambah feed roll untuk membantu mengarahkan tebu atau ampas yang akan
digiling oleh roll gilingan. Roll gilingan digerakkan dengan turbin uap dengan kecepatan dan tekanan
uap tiap unit gilingan diatur berbeda.
Pertama-tama tebu akan dibawa ke unit gilingan I. Hasil perahan gilingan I yaitu nira perahan
pertama (NPP) dan ampas gilingan I. Ampas dari gilingan I akan digiling kembali di gilingan II
dengan penambahan air imbibisi dari hasil perahan gilingan III. Ampas hasil gilingan II kemudian
akan ditambahkan air imbibisi yang berasal dari nira hasil perahan gilingan IV dan dibawa oleh
intermediate carrier (alat yang berfungsi untuk membawa ampas tebu antar gilingan) ke gilingan III
untuk diperah kembali. Nira hasil gilingan III kemudian disaring di cush-cush screen dan DSM screen
yang kemudian digunakan sebagai air imbibisi untuk campuran dengan ampas hasil gilingan I. Nira
hasil gilingan III akan dipompakan ke ampas gilingan I sebagai nira imbibisi. Ampas hasil gilingan
III sebelum masuk ke gilingan IV ditambahkan air imbibisi sebanyak 25 - 30 % dari berat tebu yang
digiling dengan suhu air imbibisi 60 – 70 oC. Nira yang dihasilkan dari gilingan IV akan ditambahkan
ke gilingan III sebagai air imbibisi sedangkan ampasnya dibawa oleh bagasse elevator untuk
dijadikan bahan bakar pada boiler. Hasil perahan unit gilingan II disebut nira perahan lanjut (NPL),
NPP dan NPL kemudian dicampur menjadi nira mentah (NM).
Nira mentah kemudian disaring dengan cush-cush screen untuk memisahkan nira dengan
ampas atau kotoran lain yang terbawa. Nira mentah yang telah disaring oleh cush-cush screen
kemudian dipompa untuk kembali disaring di DSM screen. Ukuran lubang-lubang saringan DSM
screen lebih kecil daripada cush-cush screen. Nira mentah yang telah disaring kemudian ditampung
di tangki penampung sebelum dipompa di stasiun pemurnian.

3. Proses Pemurnian

Proses pemurnian yang dilakukan oleh PG Subang adalah sulfitasi alkalis yang menggunakan
gas belerang. Tahapan proses pemurnian diawali dengan penimbangan nira mentah yang dihasilkan
dari proses gilingan. Nira ditimbang dengan menggunakan timbangan boulogne, yang mempunyai
kapasitas 3 ton nira mentah. Setiap nira mentah terukur 3 ton maka timbangan ini akan menjatuhkan
nira mentah tertimbang tersebut ke dalam bak penampungan yang tepat berada di bawah timbangan,
yang kemudian akan dipompa dan dialirkan untuk proses selanjutnya. Jika kadar fosfat (P2O5) dalam
nira mentah kurang dari 250 ppm, maka ditambahkan fosfat ke dalamnya untuk membantu proses
pengendapan. Nira mentah yang telah ditambahkan fosfat tersebut kemudian dipompa ke juice heater
I untuk dipanaskan dengan suhu 70 - 75 oC. Pemanasan ini bertujuan untuk memudahkan dan
mempercepat jalannya reaksi yang akan terjadi. Sebagai sumber panas digunakan uap sisa dari roll
gilingan, nira mentah akan mengalir dan bersirkulasi di dalam pipa-pipa tersebut sedangkan uap
dialirkan di antara pipa-pipa pemanas.
Dari juice heater I, nira dimasukkan ke tangki untuk proses defekasi dengan ditambahkan susu
kapur sampai mencapai pH 8,5. Proses pembuatan susu kapur menggunakan sebuah tombol putar
tempat membuat emulsi kapur dari kapur tohor dan air. Pemberian susu kapur dilakukan secara
otomatis melalui unit pH kontrol dan panjatah kapur. Tujuan penambahan susu kapur ini adalah untuk
membentuk inti endapan dan menaikkan pH sehingga dapat meminimalisir kerusakan nira karena

19
kondisi asam. Selain itu, lingkungan basa juga dapat mempermudah koloid-koloid yang terkandung
dalam nira untuk membentuk endapan-endapan.
Proses selanjutnya setelah defekasi adalah sulfitasi di sulfur tower. Pada proses sulfitasi ini
menggunakan gas sulfit (SO2) atau gas belerang dengan menghembuskan gas tersebut ke cairan nira
dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam tangki akan mengalami overflow. Gas
belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu
mencapai 200 oC. Proses pembuatan gas belerang terbagi menjadi dua cara, yaitu cara pertama
dengan membakar belerang langsung, sedangkan cara kedua yaitu dengan melelehkan belerang
tersebut. Gas belerang yang terbentuk akan bereaksi dengan kelebihan susu kapur membentuk CaSO4
yang juga merupakan inti endapan. Gas belerang juga menurunkan pH dari suasana basa kembali ke
suasana netral, karena jika nira tetap dalam suasana basa, nira akan berwarna coklat yang berdampak
pada hasil akhir gula yang kemerahan. Warna coklat ini terbentuk karena pada nira terdapat glukosa
yang akan rusak pada pH di atas 7,8.
Nira mentah tersulfitir dengan pH 6,8 – 7,2 kemudian dipompa untuk dipanaskan lagi pada
juice heater II sehingga mencapai suhu 100 oC. Tujuan pemanasan ini untuk mempercepat reaksi
pengendapan yang akan terjadi pada proses selanjutnya di door clarifier dan juga untuk membunuh
mikroorganisme. Nira dari juice heater II kemudian dipompa ke door clarifier melewati flash tank
yang sebelumya ditambahkan flokulan terlebih dahulu untuk membantu proses pengendapan nira.
Flash tank berguna untuk membuang gas-gas yang terbawa pada nira yang dapat menghambat proses
pengendapan, sedangkan door clarifier merupakan alat pengendap tipe kontinu. Pada proses
pengendapan ini ditambahkan flokulan sebanyak 3 ppm pada snow balling chamber untuk mengikat
koloid-koloid pada nira dan membentuk endapan. Tangki door clarifier yang digunakan bertipe
multiple tray berupa bejana silindris yang terbagi empat tingkatan dengan dasar miring.
Nira jernih hasil pengendapan akan dikeluarkan dari tiap-tiap tingkatan kemudian dialirkan ke
clear juice DSM screen untuk menyaring ampas halus yang masih tersisa dan kotoran yang terbawa
dari door clarifier. Nira jernih kemudian ditampung di clear juice tank. Clear juice (nira jernih) yang
ditampung di clear juice tank selanjutnya dipompa ke stasiun penguapan. Nira kotor hasil
pengendapan ditampung di tangki nira kotor, kemudian dipompa ke mud feed mixer dan dicampur
dengan ampas halus (bagacillo) yang berasal dari stasiun penggilingan.
Nira kotor yang telah dicampur ampas halus dialirkan ke penyaring untuk memisahkan nira
tersebut dengan kotorannya. Peralatan penyaringan yang digunakan adalah rotary vacuum filter
(RVF). RVF yang digunakan ada dua buah, RVF ini terdiri dari tromol yang dapat berputar pada as
horizontal. Drum diletakkan di atas bak nira kotor sehingga sebagian drum terendam pada nira kotor.
Drum terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bebas hampa, bagian hampa rendah, dan bagian hampa
tinggi. Pada rotary vacuum filter disemprotkan air panas bersuhu 70 oC sebanyak 2 % tebu untuk
membantu proses penyaringan nira kotor dari blotong. Pada RVF ini nira kotor menempel pada sisi
drum saat keadaan hampa tinggi, air panas ditambahkan pada saat hampa rendah dan hasil
penyaringan atau blotong dilepaskan dari drum saat kondisi bebas hampa. Selanjutnya nira hasil
penyaringan RVF ditampung di filtrat tank dan dimasukkan kembali sebagai nira tertimbang ke dalam
bak penampung nira mentah yang telah ditimbang, sedangkan kotoran yang tersaring yang biasa
disebut blotong digunakan sebagai pupuk tanaman tebu yang ditampung di tempat penampungan
blotong yang dibawa oleh truk khusus pembawa blotong.

20
4. Proses Penguapan

Stasiun penguapan bertujuan untuk menguapkan air yang masih terkandung dalam nira jernih
atau nira encer agar dapat menghasilkan nira dengan kepekatan mencapai 60 - 65 brix. Dalam proses
penguapan digunakan evaporator. Evaporator yang digunakan berbentuk silinder vertikal dengan
konstruksi antara evaporator satu dengan yang lainnya hampir sama. Pada proses penguapan hanya
evaporator I yang diberi pemanasan oleh uap panas. Uap panas yang digunakan untuk memanaskan
evaporator I berasal dari uap bekas (exhaust steam) dari stasiun gilingan. Stasiun penguapan di PG
Subang menggunakan empat unit evaporator dengan sistem penguapan empat tahap atau disebut
quadruple effect evaporation, maksudnya setiap 1 kg uap bisa menguapkan 4 kg air. PG Subang
memiliki lima buah evaporator yang disusun secara seri, tetapi yang dioperasikan hanya empat buah
dengan pemakaian secara bergantian apabila salah satunya harus dibersihkan. Pembersihan tangki
evaporator dilakukan sekitar lima hari sekali. Hal ini dilakukan untuk membersihkan kerak yang
menempel pada dinding evaporator ataupun pipa-pipa pemanas. Jika kerak atau kotoran ini tidak
dibersihkan maka akan dapat menghambat pindah panas dari pipa pemanas ke nira.
Nira jernih dari stasiun pemurnian dialirkan ke evaporator I. Nira yang masuk ke evaporator
mengalir turun melalui pipa-pipa pemanas membentuk climbing film sehingga uap nira dapat dengan
mudah dipisahkan dari cairan nira. Uap panas yang masuk ke dalam evaporator I akan keluar dalam
bentuk kondensat. Kondensat ini kemudian ditampung dan dialirkan untuk digunakan sebagai umpan
pada boiler. Dari evaporator I akan dihasilkan nira I, dan uap panas. Uap I akan digunakan sebagai
uap panas pada evaporator II. Nira dari evaporator I diuapkan kembali pada evaporator II. Hasil dari
evaporator II adalah nira II dan uap panas II. Nira dari evaporator II dipekatkan kembali di evaporator
III sedangkan uap II digunakan sebagai uap panas pada proses penguapan di evaporator III. Nira III
akan dipekatkan kembali pada evaporator IV. Uap panas yang dihasilkan di evaporator IV akan
dialirkan ke kondensor untuk dicairkan kembali dan menjadi air jatuhan. Selanjutnya air dari
kondensor dialirkan ke cooling tower untuk didinginkan dan digunakan kembali.
Di bagian tengah evaporator terdapat pipa yang berfungsi untuk terjadinya sirkulasi nira dan
tempat mengalirnya nira ke badan berikutnya. Nira akan bergerak turun melalui pipa. Ketinggian
permukaan nira di dalam evaporator diharapkan sekitar sepertiga dari tinggi pipa pemanas. Sirkulasi
nira dari satu badan penguapan ke badan penguapan lainnya terjadi karena adanya perbedaan tekanan
(driving force). Tekanan pada evaporator I sampai evaporator IV semakin kecil dan akhirnya vakum
pada bahan terakhir. Begitu juga dengan suhu, dari evaporator I ke evaporator IV juga semakin
menurun berdasarkan tekanan yang digunakan. Nira dari evaporator I hingga evaporator IV makin
kental karena ada vacuum sekitar 60 cmHg untuk menurunkan titik didih nira atau cairan. Nilai brix
nira sebelum masuk evaporator berkisar antara 12 – 14 brix. Nira hasil proses dari stasiun penguapan
berkisar antara 60 - 65 brix disebut nira kental. Nira kental masih berwarna gelap, maka perlu
dilakukan pemucatan pada proses pemurnian yang kedua atau sulfitasi 2. Tahap ini bertujuan untuk
mendapatkan warna gula yang putih bersih, proses pemucatan ini menggunakan gas belerang. Nira
kental tersulfitasi kemudian dipompa ke stasiun masakan (kristalisasi).

5. Proses Kristalisasi

Proses kristalisasi dilakukan di stasiun masakan, proses ini akan terus berlangsung sampai
kadar gula atau sukrosa dalam larutan nira menjadi rendah. Stasiun kristalisasi di PG Subang
menggunakan proses ACD. Pan masakan (alat untuk kristalisasi) yang digunakan di PG Subang ada 7
buah. Pan masakan 1,2,3, dan 4 digunakan untuk masakan A. Pan masakan 5 digunakan untuk

21
masakan C, sedangkan pan masakan 6 dan 7 digunakan untuk masakan D. Proses kristalisasi dimulai
dengan membuat semua pan masakan menjadi vakum (hampa) sekitar 60 cmHg, dengan begitu proses
kristalisasi dapat dilakukan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi hanya sekitar 60 oC sehingga tidak
akan merusak gula yang dihasilkan. Pan masakan dijalankan dengan tenaga uap bekas pakai (exhaust
steam) dari stasiun gilingan dengan suhu uap sekitar 100 - 120 oC. Uap panas dan uap larutan sukrosa
yang terbentuk dicairkan dalam kondensor dan menjadi air jatuhan.
Setelah pan masakan dalam keadaan vakum, cairan nira yang menjadi bahan pembuatan gula
ditarik ke pan masakan. Cairan nira dikentalkan sampai kejenuhan tertentu (70 - 74 brix). Gula dari
cairan nira tidak bisa berubah menjadi kristal tanpa penambahan bibit. Pada proses pengkristalan ini
akan menghasilkan magma, klare, dan stroop. Magma adalah gula kristal yang telah terbentuk yang
telah dicampur dengan air untuk menjalani proses selanjutnya pada pan berikutnya. Klare adalah
cairan nira yang belum terkristalkan, dan stroop sama dengan klare namun klare hanya terdapat pada
masakan D. Bibit gula FCS (Fine Crystal Seed) ditambahkan pada masakan D. Pada pan masakan D,
FCS dicampurkan dengan klare D dan stroop C akan menghasilkan tetes dan magma D1. Selanjutnya
gula D1 akan dikristalkan kembali pada putaran D2 yang akan dihasilkan gula D2 dan klare D. Tetes
merupakan hasil samping dari produksi gula. Klare D adalah cairan nira pada masakan D yang belum
terkristalkan tetapi masih dapat dikristalkan, oleh karena itu klare D kemudian dialirkan kembali ke
pan masakan D sedangkan magma D dialirkan ke pan C untuk dibentuk kristal yang lebih besar.
Pada pan masakan C, magma masakan D dicampurkan dengan stroop A dan menghasilkan
stroop C dan magma C. Stroop C dimasukkan ke pan masakan D untuk dicampurkan dengan FCS
dan klare D, sedangkan magma C dimasukkan ke pan masakan A. Di pan masakan A, magma C
dicampurkan dengan nira kental sehingga dihasilkan stroop A dan gula SHS. Stroop A dimasukkan
kembali ke pan masakan C untuk diubah menjadi magma C dengan bantuan magma D, sedangkan
gula SHS akan diproses menjadi gula produk.
Ukuran kristal yang dihasilkan masing-masing pan masakan berbeda. Ukuran kristal dari pan
masakan D sampai masakan A semakin besar ukurannya. Ukuran kristal D adalah 0,1 mm. Pada
masakan C adalah 0,3 mm, sedangkan pada masakan A adalah 0,9 – 1,1 mm. Lamanya waktu
pemasakan masing-masing pan berbeda. Pada masakan A membutuhkan waktu selama 2 - 3 jam,
pada masakan C membutuhkan selama 4 - 5 jam, dan pada masakan D membutuhkan waktu selama 6
-8 jam.

6. Proses Pendinginan

Gula yang keluar dari pan masakan masih dalam keadaan jenuh dan pada suhu yang relatif
tinggi yaitu sekitar 70 oC. Dari pan masakan, gula kemudian dialirkan ke dalam palung pendingin
untuk proses pendinginan. Proses pendinginan dapat mencapai suhu 50 oC bahkan di palung
pendingin masakan D, suhu bisa mencapai 38 – 48 oC. PG Subang memiliki 11 unit palung
pendingin. Empat unit palung pendingin untuk masakan A, satu unit palung pendingin untuk masakan
C, dan enam unit palung pendingin untuk masakan D. Pada palung pendingin masakan A dan C
proses pendinginan hanya dilakukan oleh udara, sedangkan pada palung pendingin untuk masakan D
selain dilakukan oleh udara juga dilakukan dengan bantuan air dingin. Palung pendingin masakan D
sebanyak enam unit disusun secara seri. Hasil masakan D sebelum ke palung pendingin 1, mengalir
secara berurutan sampai ke palung pendingin 6. Untuk hasil masakan A dan C tidak didinginkan
secara bertahap seperti hasil masakan D. Lama waktu pendinginan masakan A dan C hanya sekitar 2-
3 jam tetapi untuk masakan D proses pendinginan dapat memakan waktu hingga 24 jam.

22
Hasil masakan D sebelum masuk ke stasiun puteran untuk proses kristalisasi atau pemisahan
gula, terlebih dahulu dipanaskan kembali ke reheater sampai suhu 55 oC. Reheater yang digunakan
berbentuk peti yang di dalamnya terdapat pipa-pipa horizontal tempat saluran air panas untuk
memanaskan hasil masakan. Hal ini dilakukan untuk menurunkan viskositas hasil masakan D agar
proses pemisahan gula dari larutannya menjadi lebih mudah. Palung pendingin selain berfungsi untuk
mendinginkan gula juga dapat digunakan untuk menampung masakan sebelum diproses lebih lanjut.
Pada proses pendinginan masakan akhir, kristal yang terbentuk terus-menerus diaduk agar proses
kristalisasi menjadi lebih sempurna dan mencegah kristal menggumpal kembali.

7. Proses Pemisahan Gula

Proses pemisahan gula berfungsi untuk memisahkan antara larutan dengan kristal gula yang
dilakukan dengan cara menyaring. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kekuatan putar.
Mudah tidaknya pemisahan kristal dipengaruhi oleh kondisi kristal yang dihasilkan pada tahap
kristalisasi, viskositas hasil masakan, kekuatan putaran, tebal tipisnya lapisan gula dalam alat, dan
penyiraman. Proses pemisahan ini dilakukan dengan cara pemutaran (sentrifugasi) dengan
menggunakan alat yaitu sentrifuge. Pada sentrifuge selain dimasukkan larutan gula juga dimasukkan
air siraman sekitar 0,5 % dari larutan gula dengan suhu sekitar 80 oC kecuali untuk putaran D1, air
siraman yang ditambahkan adalah air dingin.
PG Subang menggunakan sistem putaran LGC (Low Grade Centrifugal) dan HGC (High
Grade Centrifugal). Alat puteran yang dimiliki PG Subang sebanyak 17 unit, 10 unit alat puteran
LGC, dan 7 unit alat puteran HGC. LGC yang digunakan untuk puteran D1 sebanyak 5 unit, puteran
D2 sebanyak 2 unit, dan puteran C sebanyak 3 unit. HGC yang digunakan untuk puteran A sebanyak
7 unit, 4 unit untuk putaran 1 dan 3 unit untuk putaran 2.
Cara kerja LGC menggunakan sistem kontinyu yaitu pengisian dan pemutaran dilakukan
secara bersamaan dan kecepatan putar yang digunakan sekitar 2000 rpm. Gula dan cairannya akan
terpisah dengan adanya gaya sentrifugal. Gula akan tertahan pada saringan dan cairannya akan
menembus lubang saringan. Stroop atau klare yang menembus saringan selanjutnya akan ditampung
di peti penampung, sedangkan kristal gula yang tertahan disaringan akan naik mengikuti kemiringan
saringan serta akan terlempar dari dinding saringan masuk ke ruang penampung kristal gula dan
menuju mixer melewati talang ulir. Cara kerja HGC menggunakan sistem diskontinu dan bekerja
secara otomatis. Kecepatan putaran HGC lebih lambat daripada LGC yaitu sekitar 1000 rpm. Waktu
siklus di HGC yaitu sekitar 3 menit untuk satu kali proses pemutaran.
Puteran A akan menghasilkan gula A dan stroop A. Stroop A dialirkan ke pan masakan C
sedangkan gula A dicampur dengan magma A untuk dibuat menjadi SHS. Puteran C akan
menghasilkan gula C dan stroop C. Gula C dicampur dengan air untuk membuat magma C dan
kemudian digunakan untuk bibit masakan A. Stroop C dialirkan ke pan masakan D. Puteran D1
digunakan untuk memutar hasil masakan D, puteran D1 ini akan menghasilkan gula D1 dan tetes.
Gula D1 dialirkan ke mixer untuk dibuat menjadi magma D1 kemudian dimasukkan ke puteran D2.
Hasil puteran D2 adalah gula D2 dan klare D. Gula D2 yang dihasilkan dicampurkan dengan air
untuk membuat magma D2 dan digunakan sebagai bibit masakan C. Klare D dipompa dan diproses
kembali ke masakan D bersama stroop C. Puteran SHS digunakan untuk memutar magma A untuk
menghasilkan gula SHS dan klare SHS. Klare SHS dipompa dan dimasukkan lagi ke masakan A
sedangkan gula SHS langsung dialirkan ke stasiun penyelesaian dengan menggunakan talang getar
(grasshopper).

23
8. Proses Penyelesaian

Proses penyelesaian meliputi pengeringan, penyaringan, pengemasan dan penyimpanan.


Tujuan dari proses penyelesaian adalah untuk menyelesaikan hasil dari stasiun puteran sehingga
menghasilkan gula produksi yang siap untuk dipasarkan. Selain itu stasiun penyelesaian juga
berfungsi untuk mengeringkan dan menurunkan suhu gula sampai 50 oC. Tujuan dari pengeringan
adalah untuk menghilangkan air yang masih menempel di sekitar kristal gula. Kecepatan pengeringan
akan tergantung pada lapisan atau ketebalan gula di dalam sugar dryer, ukuran kristal gula, kecepatan
udara, dan luas permukaan pengering.
Alat pengering gula yang digunakan oleh PG Subang adalah sugar dryer. Gula kristal yang
dihasikan dari stasiun puteran SHS dijatuhkan ke talang goyang yang kemudian akan dibawa oleh alat
sugar belt conveyor ke sugar dryer untuk dikeringkan sebelum dikemas. Di dalam sugar dryer, gula
dikeringkan dengan cara menghembuskan udara panas dengan suhu sekitar 80 oC ke kristal gula.
Udara panas tersebut dihembuskan menggunakan blower. Debu-debu gula tersebut kemudian
disalurkan ke dalam sugar dust dan ditambahkan air sehingga membentuk larutan gula. Larutan gula
ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki leburan untuk dilebur kembali bersama-sama dengan gula
basah dan gula kerikil. Hasil dari peleburan dipompa ke dalam masakan A untuk dikristalkan kembali
menjadi gula produk.
Gula yang sudah kering kemudian disaring untuk memisahkan gula yang sudah menjadi
produk dengan gula yang belum memenuhi persyaratan sebagai gula produk. Alat yang digunakan
untuk menyaring gula di PG Subang adalah vibrating screen. Pada vibrating screen terdapat dua
macam saringan yaitu saringan halus yang memiliki ukuran 30 mesh dan saringan kasar yang
memiliki ukuran 8 mesh. Gula halus akan lolos dari saringan halus tetapi gula produk dan gula kasar
akan tertahan. Pada saringan kasar, gula produk akan lolos sedangkan gula kasar akan tertinggal.
Setelah melewati saringan halus dan saringan kasar, gula produk akan disaring kembali dengan
menggunakan saringan yang terbuat dari logam bermagnet, sehingga kotoran halus yang tidak
tersaring pada penyaringan sebelumnya akan tertarik oleh magnet terutama kotoran yang berupa
logam. Gula produk kemudian langsung dibawa dengan menggunakan bucket elvevator dan sugar
belt conveyor ke tempat penyimpanan gula (sugar bin) untuk ditimbang, dikemas, dan disimpan
dalam gudang gula. Di PG Subang terdapat dua macam kemasan yaitu ukuran 50 kg dan 1 kg
(Gambar 5). Bahan kemasan untuk gula ukuran 50 kg adalah karung berbahan plastik jenis propilen
yang dilapisi oleh plastik jenis LDPE di dalamnya, sedangkan bahan kemasan untuk ukuran 1 kg
adalah plastik jenis polipropilen.

(a) (b)
Gambar 5. Kemasan Ragula 50 kg (a) dan 1 kg (b)

24
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. IDENTIFIKASI SIKLUS HIDUP GULA

Siklus hidup gula terjadi pada proses produksi gula di pabrik, yaitu mulai dari tebu digiling
hingga menjadi produk gula yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup gula melibatkan
komponen-komponen yang mempengaruhi proses terbentuknya gula. Dalam penelitian ini dilakukan
analisis terhadap penggunaan bahan tambahan dan energi secara kuantitatif dengan membandingkan
antara target RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi pada musim
giling tahun 2011 di PG Subang.

Boiler

Gambar 6. Siklus hidup gula di PG Subang

Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pada proses produksi gula di PG Subang menghasilkan
limbah maupun produk samping. Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus hidup gula di PG
Subang berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut dapat
dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat, ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler yang
akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan
blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari
proses produksi gula dapat berupa uap air hasil proses penguapan, dimana uap air tersebut akan
digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler, serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah
proses produksi akan diolah di IPAL sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu. Untuk
produk samping seperti molasses dimanfaatkan untuk spirtus dan pembuatan monosodium glutamate
(MSG).
Bahan baku utama yang digunakan PG Subang dalam menghasilkan gula berasal dari tanaman
tebu. Bagian tanaman (on farm) adalah tempat dibentuknya gula baik secara kualitas maupun secara
kuantitas. Penggunaan bahan baku dan tambahan pada kegiatan budi daya tebu sangat berpengaruh
terhadap rendemen dan produktivitas tebu yang dihasilkan. Pada prinsipnya untuk meningkatkan
rendemen dan produktivitas tebu dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit yang
sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang,
pengendalian hama, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan

25
menggunakan analisa kemasakan, penebangan tebu secara bersih, dan pengangkutan tebu secara
cepat. Pelaksanaan pengangkutan tebu yang telah ditebang harus sesegera mungkin karena jika tebu
yang telah ditebang dibiarkan di lahan bahkan sampai menginap maka akan terjadi penurunan
rendemen yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Perbandingan antara
data RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi musim giling tahun 2011
bagian tanaman dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Data perbandingan RKAP dan realisasi pada tahun 2011 bagian tanaman
Uraian Satuan RKAP Realisasi Persentase (%)
Luas Areal ha 5.401 5.016,47 92,88
Jumlah tebu yang dihasilkan ku 4.248.400 3.460.183,2 81,45
Produktivitas tebu ku/ha 787 690 87,67
Produk SHS ku 292.752,6 229.905 79,23
Rendemen % 6,87 6,69 97,38
Sumber : PG Subang (2011)

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produktivitas tebu yang mengakibatkan
penurunan persentase rendemen. Luas areal lahan yang rencananya akan ditebang seluas 5.401 ha,
pada realisasinya hanya seluas 5.016,47 ha yang ditebang, atau sekitar 92,88 % dari target
perencanaan. Selain itu rendemen juga mengalami penurunan dari perencanaan awal, yaitu dari 6,87
% menjadi 6,69 %, atau sekitar 97,38 % dari target. Dilihat dari segi kegiatan budi daya tebu, hal ini
dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya teknik budi daya yang kurang optimal sehingga
mempengaruhi kualitas tebu yang dihasilkan sehingga tebu tidak layak untuk ditebang, mutu bibit
bukan termasuk varietas unggul sehingga mempengaruhi kandungan gula yang terdapat pada tebu,
selain itu manajemen tebang angkut yang kurang optimal. Waktu penebangan tebu yang tepat adalah
saat pol tebu optimal yang dilakukan pada analisa pendahuluan, setelah diketahui pol tebu yang
optimal, sesegera mungkin tebu ditebang dan diangkut ke pabrik gula untuk digiling. Namun pada
kenyataannya tebu masih terlalu lama ditimbun di kebun maupun di cane yard sehingga
mengakibatkan kadar gula dalam tebu menurun karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi
penguraian sukrosa, jika tebu sudah tiba di cane yard sebaiknya langsung digiling pada hari yang
sama atau tidak boleh lebih dari 24 jam dari waktu kedatangan tebu, karena kadar gula dalam tebu
akan menurun jika lebih dari 24 jam dan kemungkinan tebu sudah mulai rusak sehingga lebih sukar
untuk diolah menjadi gula.
PG Subang memiliki kebun tebu yang tersebar di beberapa daerah, masing-masing daerah
dikelompokkan berdasarkan rayon dan radius (jarak antara kebun tebu dengan pabrik gula). Radius
dari PG Subang terdapat delapan radius, yaitu: radius 1 (1-5 km), radius 2 (6-10 km), radius 3 (11-14
km), radius 4 (15-20 km), radius 5 (21-40 km), radius 6 (41-50), radius 7 (51-60 km), dan radius 8
(61-70 km). Produktivitas masing-masing radius berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi
tanah, iklim, dan teknik budi daya yang dilakukan.

26
Gambar 7 . Produktivitas tebu rata-rata pada tiap radius tahun 2011

Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa tiap radius menghasilkan produktivitas yang berbeda.
Berdasarkan standar deviasi yang diperoleh, menujukkan bahwa radius 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 8
produktivitasnya tidak berbeda nyata, sedangkan pada radius 7 jika dibandingkan dengan radius
lainnya, produktivitas tebu tidak berbeda nyata. Pada radius 7 hanya satu wilayah yang dijadikan
kebun tebu, hal ini dapat disebabkan pengaruh kondisi tanah dan iklim yang kurang cocok untuk
ditanami tebu, selain itu dapat disebabkan karena kurangnya lahan untuk ditanami tebu.

Gambar 8. Rendemen gula rata-rata pada tiap bulan dalam masa giling (DMG) tahun 2011

Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa rendemen gula rata-rata pada bulan Mei dan Juni
dibandingkan dengan bulan Juli berbeda nyata, namun tidak berbeda nyata dengan rendemen gula
rata-rata di bulan Agustus, September, dan Oktober. Rendemen gula rata-rata pada bulan Juli
dibandingkan dengan Agustus, September, dan Oktober tidak berbeda nyata. Berdasarkan Gambar 8
dapat dilihat bahwa pada bulan Mei dan Juni rendemen gula yang dihasilkan masih rendah, namun
pada bulan Juli terjadi peningkatan rendemen gula. Pada bulan Juli menunjukkan kinerja produksi
gula terjadi peningkatan, banyaknya gula yang dihasilkan diimbangi dengan banyaknya tebu yang
digiling sehingga mempengaruhi besarnya rendemen yang dihasilkan.
Dilihat dari segi proses produksi gula di pabrik, penurunan rendemen yang terjadi dipengaruhi
oleh inefisiensi kinerja dalam produksi gula di pabrik. Proses produksi gula di pabrik melalui
beberapa tahapan proses diantaranya proses ekstraksi, pemurnian, penguapan, kristalisasi, putaran,
pengeringan, dan penyelesaian. Dalam tiap tahapan proses tersebut masih banyak terjadi inefisiensi,
hal ini dapat disebabkan karena kinerja mesin yang kurang optimal, serta sanitasi di sekitar area

27
stasiun yang kurang baik karena adanya mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas dan
kuantitas nira. Dengan terjadinya inefisiensi tersebut, mengakibatkan gula yang dihasilkan menjadi
lebih sedikit dari target yang sudah direncanakan di awal, sehingga rendemen yang dihasilkan menjadi
lebih kecil.
Siklus hidup gula di PG Subang dapat dilihat dari tebu digiling hingga menjadi produk gula
yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup tersebut, tebu hasil dari pemanenan dibawa ke pabrik
untuk digiling dan diambil niranya. Nira yang terdapat dalam tebu mengandung sukrosa yang
nantinya diproses menjadi gula. Setelah diperoleh nira kemudian dilakukan pemurnian agar menjadi
nira jernih dan terbebas dari kotoran maupun zat bukan gula lainnya dengan penambahan bahan
kimia, yaitu: belerang, kapur tohor, dan flokulan. Selanjutnya nira jernih diuapkan dan menghasilkan
nira yang lebih pekat dan kental. Nira kental kemudian dilanjutkan dengan proses kristalisasi, pada
intinya proses ini bertujuan untuk membentuk nira kental menjadi krital gula dengan menggunakan
evaporator agar air yang terkandung dalam nira diuapkan dan alat pan masakan dalam kondisi vakum.
Setelah menjadi kristal gula dilanjutkan dengan proses putaran untuk memisahkan larutan gula yang
masih terdapat pada kristal gula, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan, pengemasan, dan
penyimpanan di gudang gula. Gula yang dihasilkan oleh PG Subang adalah GKP (Gula Kristal Putih)
atau SHS (Super High Sugar) 1A yang dikemas dalam kemasan 50 kg dan 1 kg. Gula tersebut
kemudian dipasarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Siklus hidup gula berhenti hingga gula
dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak ada perlakuan reuse, recycle, maupun recovery dari gula
yang sudah dihasilkan.

B. INVENTARISASI BAHAN TAMBAHAN DAN ENERGI

Analisis inventori merupakan bagian dari komponen LCA yang meliputi input dan output
bahan baku, energi, limbah dan produk samping yang dihasilkan selama siklus daur hidup produk.
Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif yang diperoleh dari PG Subang berdasarkan
pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan. Data yang dimasukkan ke dalam data inventori ini
berisi data mengenai proses produksi gula di pabrik. Industri gula memiliki parameter atau indikator
efisiensi proses produksi terutama di bagian pabrikasi atau proses pengolahan tebu di pabrik.
Indikator efisiensi tersebut antara lain mill extraction (ME), boiling house recovery (BHR), overall
recovery (OR), pol tebu dan rendemen, yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Indikator efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun 2002-2004


Komponen Efisiensi pabrik gula (%) Efisiensi normal (%)
ME (Mill Extraction) 84 - 85 95
BHR (Boiling House Recovery) 70 - 80 90
OR (Overall Recovery) 59 - 79 85
Pol tebu 8 - 11 14
Rendemen 5 – 8,5 12
Sumber : P3GI (2001)

28
1. Penggunaan Bahan Tambahan pada Proses Produksi Gula

Proses produksi gula di PG Subang dilakukan pada beberapa stasiun, yaitu stasiun gilingan,
stasiun pemurnian, stasiun penguapan, dan stasiun kristalisasi. Kinerja pabrik gula dapat dilihat dari
persentase rendemen yang dihasilkan. Data perolehan rendemen di PG Subang pada lima periode
terakhir (2007-2011) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Data rendemen gula di PG Subang tahun 2007 – 2011

Tahun
Uraian Satuan
2007 2008 2009 2010 2011
Tebu digiling ton 298.027,63 311.849,66 296.552,03 343.725,17 343.646,88
Gula SHS ton 22.933,7 26.083,3 19.833,8 19.592,3 22.990,50
Rendemen % 7,70 8,36 6,69 5,70 6,69
Sumber : PG Subang (2011)

Berdasarkan Tabel 7 di atas, diketahui bahwa pada musim giling tahun 2008 rendemen yang
dihasilkan sangat tinggi yaitu 8,36 %, sedangkan rendemen terendah yaitu 5,70 % pada musim giling
tahun 2010. Hal ini dapat dipengaruhi oleh banyaknya tebu giling, dimana hal ini berkaitan dengan
sistem budi daya dan pemanenan tebu, selain itu dipengaruhi dari gula SHS yang dihasilkan dimana
produksi gula SHS tersebut dipengaruhi oleh kinerja pada bagian pabrikasi di tiap stasiun pengolahan.
Oleh karena itu, untuk mencapai rendemen yang tinggi perlu dilakukan optimalisasi pada proses
produksi gula. Namun berdasarkan Tabel 7, menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja produksi
pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 2010, hal ini dapat dilihat berdasarkan
jumlah tebu yang digiling terjadi penurunan dari tahun 2010, namun jumlah gula SHS yang diperoleh
lebih besar sehingga rendemen menjadi meningkat dari 5,70 % menjadi 6,69 %. Dengan
perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh
kegiatan budi daya tanaman tebu yang menghasilkan tebu untuk digiling, juga dipengaruhi oleh
kinerja proses pengolahan tebu di pabrik dalam menghasilkan gula SHS. Berikut ini akan dibahas
mengenai tiap stasiun dalam pabrik yang ada di PG Subang. Neraca bahan secara umum pada proses
produksi gula di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 7.

a. Stasiun gilingan

Tebu yang sudah dicacah dengan menggunakan cane cutter dan unigrator menghasilkan sabut
tebu yang akan diperah menggunakan mesin penggiling di stasiun gilingan. Hasil perahan sabut tebu
akan menghasilkan nira dan sisanya adalah ampas. Dalam stasiun gilingan ditambahkan air imbibisi
yang berfungsi agar proses ekstraksi nira dari tebu berlangsung secara optimal sehingga dapat
mengekstrak gula dari tebu sebanyak-banyaknya. Neraca bahan yang terdapat di stasiun gilingan
dapat dilihat pada Tabel 8.
Kinerja gilingan sangat mempengaruhi output yang dihasilkan proses penggilingan. Kendala
yang sering terjadi di stasiun gilingan adalah mesin tidak beroperasi dikarenakan rusak sehingga
mengakibatkan tebu mengalami penundaan penggilingan. Selain itu, dalam proses penggilingan
seringkali nira mentah yang dihasilkan tercecer sehingga mengakibatkan loss. Produk samping yang
dihasilkan dari proses penggilingan adalah ampas tebu (bagasse). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan

29
pada musim giling tahun 2011 di PG Subang sebesar 31,81 % dari jumlah tebu yang digiling. Ampas
tebu dimanfaatkan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler).

Tabel 8. Neraca bahan di stasiun gilingan tahun 2011

Data Satuan Input Output


Tebu digiling ton 343.646,88
Air imbibisi ton 85.362,30
Ampas ton 109.303,6
Nira mentah ton 316.215,33
Loss ton 3.490,25
Loss % 1,01
Sumber : PG Subang (2011)

Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan terjadinya loss sebesar 1,01 %, hal ini dipengaruhi oleh
kinerja gilingan. Kinerja di stasiun gilingan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: mutu tebu,
alat kerja pendahuluan, setelan gilingan, tekanan hidrolik, putaran rol gilingan, air imbibisi, umpan
tebu saat masuk gilingan, dan operator. Mutu tebu yang layak giling adalah pol tebu > 10%, HK
(Hasil bagi Kemurnian) nira mentah 74 - 84 %, kotoran tebu max 5%, dan kadar sabut 13 - 16 %.
Alat kerja pendahuluan seperti cane cutter dan unigrator mempengaruhi kinerja gilingan yang diukur
berdasarkan nilai Preparation Index (PI) dengan ketentuan nilai PI untuk cane cutter 65 - 70 %,
unigrator 80 - 85 %, dan hammer 86 - 95 %, semakin tinggi PI maka sel yang terbuka semakin
banyak dan akan diperoleh ekstraksi yang optimal. Setelan gilingan sangat mempengaruhi hasil
ekstraksi. Penyetelan gilingan bertujuan untuk mengatur kedudukan rol-rol dan ampas sehingga
pemadatan sabut optimal dan memberikan jalan untuk keluarnya nira yang telah terperah. Setelan
gilingan yang memadai akan menghasilkan pemerahan yang optimal. Faktor yang mempengaruhi
setelan gilingan diantaranya kapasitas giling, sabut % tebu, ukuran rol, jumlah rol, dan putaran rol
(Subekti 2010).
Tekanan hidrolik akan berpengaruh pada proses ekstraksi, dimana semakin besar tekanan maka
semakin besar ektraksi. Namun besarnya tekanan hidrolik harus diperhitungkan dengan pemakaian
dan kekuatan peralatan. Putaran rol gilingan dibuat sekecil mungkin agar memberi kesempatan pada
nira melepaskan diri dari rol, sehingga pada waktu ampas masuk, rol sudah kering dan melepaskan
nira dari rol dengan arah yang berlawanan dengan putarannya. Jika putarannya terlalu cepat, nira
tidak ada kesempatan melepaskan diri dari rol, rol menjadi basah dan nira terhisap kembali oleh
ampas. Jumlah imbibisi akan berpengaruh terhadap ekstraksi gilingan. Makin besar jumlah air
imbibisi, ekstraksi makin meningkat. Menurut Hugot (1960), dengan penambahan imbibisi di PG
Subang sebesar 24,84 %, maka ekstraksi yang dihasilkan sekitar 94,25 %. Umpan tebu yang masuk
ke stasiun gilingan harus sesuai dengan bukaan kerja pada mesin gilingan serta harus kontinu sehingga
dapat menghasilkan ekstraksi yang optimal. Selain itu, di stasiun gilingan juga dipengaruhi oleh
operator yang menjadi kunci keberhasilan dalam ekstraksi gilingan. Operator harus mengikuti dan
melaksanakan standar operasional yang telah ditetapkan sebelumnya (Subekti 2010).

30
Tabel 9. Kinerja di stasiun gilingan
Parameter Satuan Tolok Ukur Realisasi
Pol tebu % > 10 9,1
HK nira mentah % 74 – 84 73,2
Kotoran tebu % Maks 5 30
Sumber : Subekti (2010)

Berdasarkan Tabel 9, % pol tebu yang diperoleh PG Subang hanya sekitar 9,1 %, sedangkan
berdasarkan tolok ukur dalam penentuan tebu yang layak giling, % pol tebu sebaiknya > 10 %. Hal
ini menunjukkan banyaknya kandungan gula dalam tebu masih sedikit dan kurang layak untuk
digiling, sehingga akan berdampak terhadap perolehan gula yang dihasilkan dan rendemen akan
semakin kecil. Selain itu, untuk Hasil bagi Kemurnian (HK) nira mentah juga tidak memenuhi
standar yaitu berkisar 74 - 84 %, sedangkan untuk realisasinya di PG Subang hanya 73,2 %. Kotoran
tebu juga mempengaruhi kualitas dari tebu yang akan digiling, berdasarkan tolok ukur untuk tebu
yang layak giling, besarnya kotoran tebu maksimal 5 % (0,05), sedangkan banyaknya kotoran pada
tebu berdasarkan realisasi di PG Subang sebanyak 0,3 hal ini menunjukkan tebu yang akan digiling
kurang bersih karena masih banyak mengandung kotoran di dalamnya. Semakin tinggi kotoran dalam
tebu, maka semakin rendah kualitas nira yang akan dihasilkan, selain itu mesin dalam pengolahan tebu
akan membutuhkan lebih banyak energi untuk memisahkan zat bukan gula dengan zat gula karena
banyaknya zat bukan gula yang masih terkandung dalam nira.

Tabel 10. Angka pengawasan di stasiun gilingan


Parameter Satuan Tolok ukur Realisasi

HPB1 % > 60 57,61


HPBtotal % > 90 85,34

HPG % > 92 86,81


PSHK % 96 – 98 95,71

KNT % > 80 77,84


Faktor campur % 50 61,43

Dilution factor 0,95 – 1,05 1,27


Sumber : Subekti (2010)

Dalam proses ekstraksi tebu terdapat beberapa istilah dalam pengawasan gilingan (Tabel 10)
dalam mengevaluasi kinerja di stasiun gilingan, yaitu HPB1, HPBtotal, HPG, PSHK, KNT, faktor
campur, dan dilution factor. Perhitungan untuk pengawasan gilingan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Hasil pemerahan Brix Gilingan 1 (HPB1) menyatakan banyaknya brix nira yang terperah (terekstrak)
di gilingan 1 per 100 brix tebu giling dengan angka standar HPB1 > 60 %. Berdasarkan perhitungan
data PG Subang diperoleh HPB1 sebesar 57,61 %, hal ini menunjukkan hasil perahan brix nira pada
gilingan 1 belum optimal karena tidak mencapai angka standar. HPBtotal adalah banyaknya brix nira
mentah yang terekstrak tiap 100 brix dalam tebu giling dengan angka standar HPBtotal > 90 %.
HPBtotal di PG Subang sebesar 85,34 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai karena pengaruh
dari brix nira yang dihasilkan dari tiap gilingan. Brix nira menunjukkan banyaknya zat terlarut pada
nira, yang terdiri dari zat gula dan bukan gula. Semakin tinggi HPB menunjukkan semakin banyak zat

31
terlarut pada nira yang diperoleh dari proses penggilingan, tidak tercapainya brix nira yang diperoleh
dapat dipengaruhi oleh kinerja pada proses gilingan yang kurang optimal, seperti: kinerja mesin, mutu
tebu, sabut % tebu, dan lain-lain.
Hasil Pemerahan Gula (HPG) menyatakan banyaknya pol nira mentah yang terekstrak tiap 100
pol dalam tebu giling, dengan angka standar HPG > 92 %. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan
pada Lampiran 5, HPG yang diperoleh sebesar 86,81 %, hal ini menunjukkan banyaknya pol atau zat
gula yang terekstrak lebih sedikit. Pol atau zat gula yang tidak terekstrak kemungkinan ikut terbawa
dalam ampas tebu, pol ampas yang dihasilkan di PG Subang sebesar 2,66 %, sedangkan berdasarkan
aturan standar pol ampas adalah ≤ 2 %. Semakin tinggi pol ampas menunjukkan semakin banyak zat
gula yang terkandung dalam ampas, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya losses atau zat
gula yang hilang pada proses gilingan. Perbandingan Selaras Hasil bagi Kemurnian (PSHK)
menyatakan perbandingan adanya penurunan HK nira perahan pertama terhadap HK nira mentah
dengan range standar untuk nilai PSHK adalah 96 - 98 %. PSHK yang diperoleh di PG Subang
sebesar 95,71 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai, angka PSHK yang rendah atau < 96 %
mengidentifikasikan terjadinya kerusakan gula akibat pengasaman oleh bakteri di stasiun gilingan.
Kadar Nira Tebu (KNT) menunjukkan banyaknya nira dalam tebu yang berhasil diperah pada gilingan
1. Berdasarkan perhitungan KNT yang diperoleh di PG Subang adalah 77,84 %, hal ini menunjukkan
tidak tercapainya standar KNT yaitu > 80 %. Banyaknya nira yang tidak berhasil diperah oleh unit
gilingan menunjukkan adanya nira yang terkandung dalam ampas, sehingga terjadi inefisiensi di
stasiun gilingan.
Faktor Campur (FC) merupakan parameter untuk menilai cara pemberian imbibisi sudah tepat,
merata dan tercampur dengan sempurna, dan nilai FC standar adalah sekitar 50. Faktor campur yang
diperoleh di PG Subang adalah 61,43 %, hal ini menunjukkan bahwa cara pemberian imbibisi belum
optimal. Dilution Factor merupakan angka yang digunakan untuk menilai jumlah air imbibisi yang
diberikan di unit gilingan, standar dilution factor berkisar antara 0,95 - 1,05. Jika nilai dilution factor
≈ 1, menunjukan jumlah air imbibisi yang diberikan tepat. Nilai dilution factor < 0,95 menunjukkan
jumlah imbibisi yang diberikan terlalu besar, sedangkan untuk nilai dilution factor > 1,05
menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu kecil. Nilai dilution factor di PG Subang
diperoleh nilai 1,27, hal ini menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan untuk
proses pemerahan terlalu kecil.

b. Stasiun Pemurnian

Aliran bahan di stasiun pemurnian PG Subang terjadi proses dimana nira mentah menghasilkan
nira jernih (encer) dengan penambahan kapur tohor (CaO), gas belerang (SO2), dan flokulan. Proses
pemurnian yang digunakan oleh PG Subang adalah dengan metode sulfitasi alkalis (Gambar 9).
Pemurnian menggunakan sulfitasi alkalis dilakukan dengan pemberian larutan kapur hingga pH nira
10,5 kemudian ditambahkan gas SO2 hingga pH nira menjadi 7,0 - 7,3 (Halim 1973).
Pada proses sulfitasi alkalis menggunakan gas sulfit (SO2) atau gas belerang dengan
menghembuskan gas tersebut ke cairan nira dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam
tangki akan mengalami overflow. Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar
belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 200 oC. Setelah dilakukan proses sulfitasi alkalis,
nira mentah dilakukan pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan nira dari kotorannya
sehingga dihasilkan nira jernih dan blotong.

32
Gambar 9. Pemurnian nira proses sulfitasi alkalis

Produk samping yang dihasilkan berupa blotong dan nira tapis (filtrat) yang masih
mengandung sukrosa. Nira tapis akan diproses kembali untuk didaur ulang di dalam bak tunggu
kemudian dialirkan ke proses pemanasan pada stasiun pemurnian. Pengeluaran zat bukan gula secara
optimal terjadi apabila pH nira mentah antara 7,3 - 7,8 dan pH nira encer dipertahankan antara 7,0 –
7,4. Namun jika pH nira encer lebih dari 7,4 akan memberi dampak negatif karena terjadi perpecahan
zat gula yang mereduksi semakin besar sehingga nira encer berubah warna menjadi hitam (reaksi
browning), selain itu timbul asam organik yang mengikat kapur sehingga kandungan kapur
meningkat. Kandungan kapur yang tinggi dalam nira encer mengakibatkan timbulnya inkrustasi pada
evaporator dan pan masakan (kristalisasi) yang dapat menghambat perpindahan panas sehingga
konsumsi uap meningkat. Kandungan kapur yang tinggi juga dapat mempersulit proses kristalisasi
serta meningkatkan pembentukan molasses, hal ini mengakibatkan semakin banyak kandungan
sukrosa yang terbawa pada molasses. Dengan demikian, penentuan kandungan kapur dalam nira
encer merupakan analisa yang sangat penting dalam rangka pengawasan produksi gula. Adapun
neraca bahan di stasiun pemurnian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Neraca bahan di stasiun pemurnian tahun 2011

Data Satuan Input Output


Nira mentah ton 316.215,33
Kapur tohor ton 464,08
Flokulan ton 1.816
Belerang ton 101.887
Blotong ton 11.164,5
Nira encer ton 304.814,80
Loss ton 2.516,11
Loss % 0,79
Sumber : PG Subang (2011)

Hasil samping dari proses pemurnian adalah blotong dan filtrat. Blotong yang dihasilkan
adalah 3,5 % dari tebu yang digiling, sedangkan di PG Subang blotong yang dihasilkan sebesar 3,25
% dari tebu yang digiling. Jumlah blotong ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proses
penyaringan yang dilakukan pada alat door clarifier dan pada RVF serta nira jernih yang dihasilkan

33
dari proses pemurnian. Output dalam proses pemurnian sangat dipengaruhi oleh besarnya jumlah
kadar sukrosa (pol) dan kecilnya kerusakan kadar sukrosa yang dihasilkan. Komponen yang
terpenting pada stasiun pemurnian adalah pH, suhu, dan waktu. Apabila komponen tersebut berjalan
dengan stabil maka proses pemurnian akan lancar, hal ini pula yang akan mempengaruhi output yang
akan dihasilkan seperti nira encer, blotong, dan loss yang dihasilkan. Losses yang dihasilkan dari
stasiun pemurnian sebesar 0,79 % dari nira mentah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu
pengawasan yang tepat terhadap pH, suhu, dan waktu pada stasiun pemurnian agar berjalan secara
optimal.

Tabel 12. Angka pengawasan di stasiun pemurnian

Parameter Tolok ukur Realisasi

Pol blotong (%) <2 2,42

Belerang < 0,05 ton/100 ton tebu 0,028 ton/100 ton tebu

Kapur tohor < 0,16 ton/100 ton tebu 0,14 ton/ 100 ton tebu

Flokulan 3 - 4 ppm 5 ppm


Sumber : Soebekti (2001)

Pengawasan pada stasiun pemurnian (Tabel 12) diantaranya: % pol blotong < 2 %, belerang
< 0,05 ton/100 ton tebu, kapur < 0,16 ton/100 ton tebu, dan flokulan 3 - 4 ppm terhadap tebu.
Berdasarkan data PG Subang, % pol blotong sebesar 2,42 %, hal ini menunjukkan banyaknya zat gula
yang ikut terbawa pada blotong sehingga terjadi losses. Pemakaian kapur di PG Subang sudah tepat
yaitu 0,14 ton/100 ton tebu, fungsi penggunaan kapur tohor adalah untuk pemurnian nira mentah,
penetral asam, serta sebagai desinfektan agar mikroorganisme yang terdapat dalam nira dapat mati.
Belerang yang ditambahkan di PG Subang adalah 0,028 ton/100 ton tebu, hal ini sudah sesuai dengan
aturan standar. Fungsi penambahan belerang adalah untuk reaksi pembakaran yang menghasilkan gas
SO2 untuk proses sulfitasi, selain itu belerang juga berfungsi untuk menetralisir kelebihan susu kapur
dan menyerap atau menghilangkan zat warna pada nira. Penggunaan flokulan di PG Subang adalah 5
ppm terhadap tebu, hal ini kurang sesuai dengan standar. Fungsi penambahan flokulan adalah untuk
mempercepat proses pengendapan kotoran dalam clarifier sehingga proses pengendapan berlangsung
lebih cepat dan untuk meningkatkan densitas nira kotor sehingga akan lebih mudah untuk disaring.

c. Stasiun Penguapan

Proses yang terjadi di stasiun penguapan adalah nira encer menghasilkan nira kental dengan
menggunakan uap bekas, dari proses penguapan menghasilkan air kondensat yang dipergunakan
kembali sebagai air umpan boiler. Neraca bahan di stasiun penguapan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Neraca bahan di stasiun penguapan tahun 2011

Data Satuan Input Output


Nira encer ton 304.814.80
Nira kental ton 68.191.36
Air diuapkan ton 236.623.44
Loss ton -
Sumber : PG Subang (2011)

34
Berdasarkan data PG Subang tahun 2011, % brix nira encer yang akan dipekatkan dalam
evaporator sebesar 12,10 %, namun % brix nira kental yang dihasilkan hanya sebesar 52,88 %. Hal
ini menunjukkan tidak tercapainya brix nira kental yang dihasilkan dari aturan standar yaitu sebesar
60-64 % brix. Kendala yang sering terjadi di stasiun penguapan adalah nira kental yang dihasilkan
tidak mencapai brix yang optimal sehingga nira yang terbentuk masih belum mengental. Upaya yang
seharusnya dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menyediakan sarana untuk
mendaur-ulang nira kental agar dapat diuapkan kembali, sehingga pengontrolan kondisi badan
evaporator dan kinerja mesin evaporator dapat bekerja dengan baik. Selain itu dipengaruhi oleh
kondisi evaporator yang seharusnya dalam kondisi vakum, kondisi badan evaporator yang kurang
vakum biasanya disebabkan aliran air injeksi pada kondensor berjalan cepat sehingga terjadi
penurunan tekanan pada aliran setelah diinjeksikan dan uap hasil penguapan secara langsung akan
bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah atau mengalami peristiwa difusi. Oleh karena itu,
apabila kondisi vakum pada badan evaporator tidak berjalan secara optimal, maka air yang
diinjeksikan perlu ditambah dengan aliran yang optimum. Kurangnya jumlah steam disebabkan oleh
banyaknya pipa sebagai pelapis badan evaporator terbuka sehingga aliran uap akan kontak dengan
udara luar dan melakukan pindah panas secara konveksi. Selain itu, luas permukaan pipa kontak pada
badan evaporator perlu diperluas untuk lebih meningkatkan kontak nira dengan pipa sehingga pindah
panas akan berlangsung dengan baik. Mekanisme pindah panas badan mesin evaporator yang kurang
efisien disebabkan kurangnya jumlah steam dan banyaknya kerak yang menempel pada pipa uap
akibat dari penguraian gula pereduksi yang berubah menjadi asam organik. Kerak yang menempel
pada pipa uap dapat dikurangi apabila proses pada stasiun pemurnian dapat dioptimalkan terutama
pada pembentukan inti endapan.

d. Stasiun Kristalisasi dan Sentrifugasi

Pada stasiun masakan (kristalisasi) terjadi proses dimana nira kental yang dikristalkan,
kemudian didinginkan, dan disentrifugasi dapat menghasilkan gula SHS, tetes, stroop dan klare yang
diolah kembali menjadi gula dan bibit untuk masakan. Neraca bahan pada stasiun masakan dan
putaran dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Neraca bahan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi tahun 2011

Data Satuan Input Output


Nira kental ton 68.191,36
Tetes ton 16.887
Gula SHS ton 22.835,14
Uap nira ton 18.649,58
Air jatuhan ton 4.091,48
Loss ton 5.728,16
Sumber : PG Subang (2011)

Pada stasiun kristalisasi terdapat beberapa alternatif proses kristalisasi. Alternatif model proses
kristalisasi yang diterapkan di PG Subang adalah model A-C-D, karena lebih mengutamakan kualitas
gula dan nilai hasil kemurnian (HK) nira kental sebesar 82 - 84 %. Kandungan gula dalam molasses
yang sangat kecil menyebabkan molasses tidak bisa diolah kembali dalam proses, tetapi molasses

35
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alkohol atau spirtus, pembuatan MSG dan produk
olahan lainnya. Setelah melalui proses penggilingan, proses pemurnian, proses penguapan, proses
pemasakan, proses pengkristalan, dan proses pemutaran, gula kemudian dikemas dalam kemasan 50
kg dan kemasan kecil 1 kg. Setelah dikemas, gula siap untuk dipasarkan. SNI untuk gula kristal putih
(GKP) atau gula SHS dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. SNI 01-3140-2001 untuk Gula Kristal Putih

Kriteria Uji Satuan GKP 1


Warna kristal % min 90
Warna larutan (ICUMSA) IU maks 250
Berat jenis butir mm 0,8 – 1,2
Susut pengeringan % b/b maks 0,1
Polarisasi (oZ 20 oC) “Z” min 99,6
Gula pereduksi % b/b maks 0,10
Abu % b/b maks 0,10
Bahan asing tidak larut derajat maks 5
Belerang dioksida (SO2) mg/kg maks 30
Timbal (Pb) mg/kg maks 2
Tembaga (Cu) mg/kg maks 2
Arsen (As) mg/kg maks 1

Pada stasiun kristalisasi, besarnya loss yang dihasilkan sebesar 8,4 %, losses yang hilang bisa
diketahui dari perbandingan nilai HK (Hasil bagi Kemurnian), % brix, dan % pol. Pengawasan dalam
stasiun kristalisasi diantaranya: HK masakan D 59 – 60, HK tetes ≤ 32, HK masakan C 71-72, dan HK
klare SHS maksimal 90. Hasil bagi Kemurnian (HK) menyatakan perbandingan banyaknya pol (zat
gula) dalam 100 bagian brix. HK masakan D di PG Subang adalah 56,36 hal ini menunjukkan
rendahnya pol (zat gula) dalam brix. HK tetes di PG Subang sebesar 30,63, hal ini sudah sesuai
dengan aturan standar karena semakin rendah HK tetes maka semakin rendah zat gula yang ikut
terbawa pada tetes. HK masakan C di PG Subang adalah 69,55, hal ini menunjukkan rendahnya zat
gula yang terdapat dalam brix masakan C. HK klare SHS di PG Subang sebesar 93,59, hal ini
menunjukkan semakin banyak zat gula dalam cairan nira yang belum terkristalkan dan melebihi
aturan standar yang seharusnya yaitu maksimal 90.

2. Penggunaan Energi pada Proses Produksi Gula

Pada proses produksi gula, energi digunakan untuk menggerakkan seluruh mesin produksi.
Kegiatan produksi ini membutuhkan energi dalam jumlah yang besar, besarnya kebutuhan energi pada
produksi gula dipengaruhi oleh jumlah mesin produksi yang harus bekerja, jumlah kapasitas produksi,
dan jangka waktu proses produksi. Energi yang digunakan pada proses produksi dihasilkan dari
bahan bakar, uap, dan listrik. Energi uap yang dihasilkan berasal dari proses pembakaran ampas tebu
dari proses gilingan. Jika jumlah ampas tebu yang dihasilkan kurang, maka diperlukan bahan bakar
tambahan untuk mencukupi kebutuhan proses pembakaran seperti penggunaan IDO (Industrial Diesel
Oil), kayu bakar, dan solar. Namun hal ini dapat menurunkan efisiensi karena dengan pemakaian
bahan bakar tambahan tersebut dapat meningkatkan biaya produksi dan dapat menurunkan produksi
gula karena kebutuhan uap untuk pabrikasi tidak tercukupi disebabkan exhaust steam tidak tercapai
sehingga pabrik berhenti giling.

36
Kualitas kerja mesin-mesin produksi di PG Subang saat ini, mulai tidak optimal. Hal ini
dikarenakan usia dari mesin-mesin produksi sudah cukup tua. Perbaikan dan penggantian mesin-
mesin produksi selalu dilakukan di setiap akhir musim giling, akan tetapi tidak dapat dilakukan secara
optimal. Kondisi ini menyebabkan energi yang digunakan untuk proses produksi semakin besar,
sehingga memberikan dampak yang kurang baik bagi industri gula. Banyaknya energi yang terbuang
akibat kebocoran dan kerusakan yang terjadi pada mesin-mesin produksi akan mempengaruhi kualitas
kerja mesin-mesin produksi dan menyebabkan waktu yang digunakan cukup lama, sehingga
memberikan peluang yang cukup besar terhadap pemborosan energi. Salah satu langkah untuk
meningkatkan efisiensi energi yaitu dengan dilakukan konservasi energi, yaitu dengan melakukan
penghematan atau pengurangan pemakaian energi tanpa mengurangi produktivitas produksi karena
efisiensi penggunaan energi dapat mempengaruhi daya saing dan harga jual di pasaran.

a. Bahan Bakar

Dalam industri gula, bahan bakar merupakan kebutuhan primer dari suatu industri yang
berfungsi sebagai sumber tenaga utama penggerak proses produksi. Pada proses produksi gula, bahan
bakar yang digunakan untuk menghasilkan uap di stasiun boiler adalah ampas tebu. Pada umumnya
ampas tebu tidak mampu mencukupi kebutuhan pembakaran, maka harus disediakan bahan bakar
dalam bentuk lain dalam jumlah yang cukup untuk menghindari terhentinya penggilingan karena
kekurangan bahan bakar. Pada PG Subang bahan bakar tambahan yang digunakan adalah IDO.
Penggunaan bahan bakar pada produksi gula dipengaruhi oleh proses yang terjadi di stasiun
gilingan, antara lain ampas tebu yang dihasilkan, penambahan air imbibisi, serta tingkat pemerahan
nira. Penambahan air imbibisi pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan rendemen gula yang
dihasilkan, semakin banyak air imbibisi yang ditambahkan, maka semakin banyak pula zat gula
(sukrosa) yang terlarut dalam nira hasil perahan tebu. Namun dengan peningkatan jumlah air imbibisi
mengakibatkan peningkatan kadar air ampas yang dihasilkan, hal ini disebabkan sabut pada tebu
bersifat absorbent yang mudah menyerap cairan, sehingga semakin banyak sabut maka kemampuan
ampas menyerap cairan akan semakin besar sehingga kadar air ampas meningkat. Kadar air ampas
yang tinggi dapat mempengaruhi nilai pembakaran ampas untuk boiler. Kadar air ampas yang tinggi
menyebabkan nilai pembakaran ampas menjadi rendah karena ampas menjadi sulit terbakar. Hal ini
dapat menyebabkan kurang sempurnanya pembakaran ampas pada boiler sehingga dapat terjadi
berhenti giling akibat pasokan uap dari boiler berkurang. Untuk mengantisipasi terjadinya berhenti
giling maka diperlukan bahan bakar tambahan seperti IDO sebagai pengganti ampas tebu dan sebagai
bahan bakar tambahan untuk meningkatkan energi pembakaran pada boiler. Penggunaan IDO sebagai
bahan bakar dapat meningkatkan biaya produksi, karena biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk
IDO lebih besar daripada biaya bahan bakar ampas tebu, oleh karena itu penggunaan IDO harus
dilakukan seoptimal mungkin.
Efisiensi energi bahan bakar dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada boiler. Proses
pembakaran ampas tebu di stasiun boiler dipengaruhi oleh nilai kalori ampas, jumlah ampas, kadar air
ampas, dan pol ampas. Kandungan kalori ampas tebu sangat mempengaruhi kinerja dari boiler,
apabila kalori ampas tebu rendah maka kinerja boiler akan menurun. Nilai kalori ampas dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu kadar air dan kandungan pol ampas. Untuk meningkatkan kalori ampas tebu,
maka perlu dilakukan optimalisasi kinerja gilingan dan penambahan air imbibisi yang dapat
mempengaruhi kadar air dan kandungan pol ampas, sehingga nilai kalor ampas meningkat.
Penggunaan bahan bakar tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 16.

37
Tabel 16. Penggunaan bahan bakar pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011
Data Satuan RKAP Realisasi Persentase (%)
Ampas yang dibakar ton 140.000 101.273 72,34
IDO Liter 400.000 174.258 43,56
Gula SHS ton 34.994 22.990,5 65,7
Tebu ton 424.845 343.646,88 80,89
Solar Liter 100.000 84.820 84,82
Energi dari ampas tebu Kkal 2,83 x 1011 1,94 x 1011 68,55
Energi dari IDO Kkal 3,71 x 109 1,62 x 109 43,67
Energi dari solar Kkal 9,06 x 108 7,68 x 108 84,77
Sumber : Data PG Subang (2011)
Catatan : Nilai kalor ampas tebu sempurna = 2.018 Kkal/kg ampas
Nilai kalor ampas tebu (real) = 1.777 Kkal/kg ampas
Nilai kalor IDO = 9.270 Kkal/Liter
Nilai kalor solar = 9.063 Kkal/Liter

Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa pemakaian ampas tebu untuk bahan bakar boiler
berdasarkan RKAP musim giling tahun 2011 memiliki nilai energi sebesar 2,83 x 1011 Kkal sedangkan
realisasinya yaitu sebesar 1,94 x 10 11 Kkal atau 68,55 % dari target. Penggunaan IDO pada musim
giling tahun 2011 dianggarkan sebanyak 400.000 Liter, namun pada realisasinya tidak mencapai
anggaran IDO yang telah ditentukan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya efisiensi penggunaan
energi dari IDO, yaitu dari 3,71 x 109 Kkal menjadi 1,62 x 10 9 Kkal atau 43,67 % dari target.
Optimalisasi kinerja gilingan dapat dilakukan dengan mengatur kembali setelan gilingan, yaitu
dengan mengatur putaran dan tekanan gilingan sehingga dapat meningkatkan kemampuan perahan,
hal ini dapat mengakibatkan kadar air dan gula dalam ampas tebu dapat menurun dan nira yang
dihasilkan menjadi lebih banyak. Optimalisasi gilingan dapat mempengaruhi penggunaan ampas
sebagai bahan bakar, hal ini disebabkan ampas yang dihasilkan memiliki kadar air yang lebih rendah
sehingga lebih mudah terbakar dan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar tambahan seperti IDO.
Selain itu, pol ampas juga akan menjadi lebih rendah, sehingga jumlah gula yang terbuang dalam
ampas tebu dapat menurun. Selain itu, diperlukan optimalisasi pada mesin dan peralatan saat
maintenance dengan memodifikasi atau pergantian mesin dan peralatan.

b. Listrik

Kebutuhan energi listrik di PG Subang tidak tergantung dari PLN, karena PG Subang mampu
memenuhi kebutuhan listrik sendiri dari dua buah turbin alternator yang proses kerjanya
menggunakan turbin uap. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk mendukung proses produksi
gula di pabrik seperti menggerakkan motor-motor listrik pada mesin dan penerangan. Pemakaian
energi listrik sangat erat kaitannya dengan kinerja pabrik gula atau rendemen. Semakin rendah
pemakaian energi listrik maka semakin tinggi pula kinerja pabrik gula. Dalam menggunakan
teknologi konvensional, untuk memproduksi 1 kWh energi listrik diperlukan 10 kg ampas, tetapi
dengan teknologi modern hanya dibutuhkan 2 kg ampas (Lamonica et al. 2005).
Energi listrik yang dihasilkan berdasakan RKAP sebesar 5,48 x 1012 Kkal, sedangkan
realisasinya sebesar 5,6 x 1012 Kkal atau 97,86 % dari target. Penggunaan listrik di tiap stasiun
berbeda, tergantung dari spesifikasi mesin, jumlah mesin, efisiensi mesin, dan lama waktu operasi
mesin. Penghematan penggunaan listrik dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan peralatan,
yaitu dengan mengaktifkan alat pada kapasitas optimalnya dan menon-aktifkan alat ketika alat sedang

38
tidak digunakan. Selain itu, optimalisasi ketika maintenance dengan melakukan perawatan,
perbaikan, modifikasi atau pergantian mesin dan peralatan. Data penggunaan listrik di PG Subang
dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Data penggunaan listrik pada proses produksi gula


di PG Subang tahun 2011
Data Satuan RKAP Realisasi
Efisiensi listrik % 15 18,94
Tebu yang digiling ton 424.845 343.646,88
Konsumsi energi listrik kWh 6.372.675 6.508.040
Sumber : Data PG Subang (2011)

c. Uap

Uap merupakan sumber tenaga utama di PG Subang. Penggunaan uap sebagai sumber tenaga
memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: (1) uap dihasilkan dari air yang murah dan mudah
didapat, (2) uap tidak berbau, (3) uap sangat mudah disalurkan dan diatur, (4) uap memiliki nilai
panas yang tinggi, dan (5) panas dari uap dapat dimanfaatkan berulang-ulang. Tenaga uap di PG
Subang dihasilkan dari boiler untuk memutar turbin kemudian disambungkan ke generator yang akan
menghasilkan gaya gerak listrik. PG Subang memiliki dua buah generator yang menggunakan turbin
uap, yaitu TG1 dan TG 2. Uap baru yang dihasilkan (life steam) kemudian didistribusikan ke power
house, stasiun gilingan, dan stasiun boiler. Life steam yang digunakan kemudian menghasilkan uap
bekas (exhaust steam) yang digunakan untuk pabrikasi yaitu ke juice heater, evaporator, dan pan
masakan. Uap hasil pemakaian di pabrikasi kemudian dimasukkan ke dalam kondensat menjadi air
kondensat yang kemudian dikembalikan ke stasiun boiler sebagai air pengisi ketel. Konsumsi uap
pada musim giling tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 18 dibandingkan dengan data
perencanaan konsumsi uap tahun 2011 (RKAP 2011).

Tabel 18. Penggunaan uap di PG Subang tahun 2011

Data Satuan RKAP Realisasi


Produksi uap ton 191.180 202.547,8
Tebu yang digiling ton 424.845 343.646,88
Waktu giling hari 143 134
Efisiensi uap % 45 58,94
Sumber : Data PG Subang (2011)

Berdasarkan Tabel 18, efisiensi uap berdasarkan tebu yang digiling pada RKAP 2011 per hari
adalah 45 %, sedangkan realisasinya adalah 58,94 %. atau 76,35 % dari target. Perbedaan nilai
efisiensi uap dipengaruhi oleh adanya perbedaan jumlah tebu tergiling, lama giling, dan kadar air yang
terkandung dalam ampas tebu. Semakin banyak jumlah tebu tergiling, maka mesin produksi semakin
besar mengonsumsi uap karena proses produksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga
yang besar. Jumlah pemakaian air imbibisi juga mempengaruhi penggunaan uap karena uap juga
digunakan secara langsung pada proses produksi di stasiun penguapan. Semakin besar jumlah air

39
imbibisi yang ditambahkan di stasiun gilingan maka semakin besar pula jumlah air yang harus
diuapkan di stasiun penguapan.
Efisiensi penggunaan uap dapat mempengaruhi mutu serta jumlah produk gula SHS yang
dihasilkan. Peningkatan efisiensi penggunaan uap dapat dilakukan dengan cara peningkatan kinerja
boiler, yaitu dengan pembenahan atau penggantian saluran yang bocor pada sistem uap, penggunaan
kontrol otomatis untuk memastikan uap hanya digunakan ketika dibutuhkan. Selain itu, pembenahan
pada turbin juga perlu dilakukan dengan pengujian kinerja dan pembersihan turbin secara teratur
untuk meningkatkan efisiensi.

C. ANALISIS DAMPAK

Analisis dampak dilakukan untuk mengetahui kemungkinan dampak lingkungan yang terjadi
pada setiap tahapan dalam siklus hidup gula. Dampak terhadap lingkungan dapat mengakibatkan
berkurangnya kemampuan alam untuk mendukung kelangsungan hidup manusia. Dampak lingkungan
yang timbul dapat berupa dampak tidak langsung dan dampak langsung. Dampak tidak langsung ini
umumnya berhubungan dengan masalah sosial masyarakat seperti urbanisasi, perilaku, kriminalitas,
dan sosial budaya. Dampak langsung yang dapat timbul akibat kegiatan industri diantaranya
pencemaran udara, pencemaran air, dan pencemaran daratan atau tanah. Pencemaran tersebut perlu
dihindari untuk menjaga kelestarian lingkungan.
PG Subang merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian (agroindustri)
menjadi produk jadi berupa gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih). Proses
produksi gula tidak terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by-product) yang dihasilkan
selama proses berjalan. Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh
bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik. Hal ini
terkait dengan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan bakar yang digunakan adalah bahan-bahan
organik. Limbah yang dihasilkan di PG Subang terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan
penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang
dihasilkan pada produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun). Diagram alur limbah di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 6.

1. Limbah Padat

Limbah padat pada PG Subang pada dasarnya terdiri atas limbah padat yang dapat
dimanfaatkan kembali secara langsung atau tidak langsung (by-product) dan limbah padat yang tidak
dapat dimanfaatkan kembali (dibuang). Limbah padat dihasilkan di pabrik gula karena bahan baku
yang digunakan adalah tebu dimana tebu merupakan tanaman yang kaya serat dan serabut, sedangkan
yang dibutuhkan pabrik gula adalah nira, sehingga akan terdapat limbah padat dari tebu yang
digunakan. Limbah padat yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Subang ini adalah ampas
tebu (bagasse), blotong, abu ketel, dan limbah domestik (gabungan).
Dalam upaya pengelolaan limbah padat, PG Subang telah mengoptimalkan kinerja pengelolaan
limbah padat, yaitu melakukan pencatatan berupa log book mengenai jumlah limbah padat yang
dihasilkan dan yang dimanfaatkan, selanjutnya menyampaikan secara berkala ke KLH dan BPLHD.
Selain itu, upaya yang telah dilakukan PG Subang adalah menyediakan truk pengangkut blotong dan
abu ketel untuk dibuang ke tempat khusus di kebun untuk proses pengeringan yang selanjutnya
digunakan untuk pupuk tanaman tebu serta memanfaatkan blotong dan abu ketel sebagai pupuk

40
organik atau kompos untuk tanaman tebu sendiri. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya
di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya


di PG Subang tahun 2011
Jenis limbah Jumlah (ton) Pemanfaatan
Ampas tebu (bagasse) 109.303,6 Bahan bakar boiler
Blotong 11.164,5 Pupuk organik
Abu ketel 7.444,99 Pupuk organik
Sumber : Data PG Subang (2011)

a. Ampas tebu (bagasse)

Ampas yang dihasilkan dari stasiun gilingan langsung dikirim ke stasiun boiler untuk
digunakan sebagai umpan pembakaran, sedangkan untuk ampas yang berlebih dan belum
termanfaatkan sebagai umpan boiler disalurkan ke gudang ampas yang terletak di belakang stasiun
boiler. Hampir seluruh ampas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler, karena PG
Subang menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler. Ampas yang tersedia di gudang ampas
sangat banyak sekali sampai melebihi kapasitas penyimpanan gudang ampas sehingga banyak ampas
yang diletakkan di luar gudang penyimpanan. Kelebihan ampas tersebut diletakkan di ruangan
terbuka, hal ini mengakibatkan banyak serbuk ampas yang beterbangan di sekitar gudang ampas yang
dapat mengganggu penglihatan dan kesehatan orang yang berada di sekitar gudang ampas tersebut.
Partikel serbuk ampas tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan
apabila tidak ditangani dengan benar. Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan
terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak
penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan
tertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel berukuran 3 - 5 mikron akan tertahan pada
saluran pernafasan bagian tengah, partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron akan masuk
ke dalam kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli, partikel lebih kecil lagi yaitu kurang dari 1
mikron akan ikut keluar saat nafas dihembuskan. Pneumokoniosis adalah penyakit saluran pernafasan
yang disebabkan oleh adanya partikel yang masuk atau mengendap ke dalam paru-paru. Penyakit
pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam
paru-paru (Wardhana 1994). Komposisi ampas tebu dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 . Komposisi bagasse


Analisis Kandungan (%)
Karbon (C) 47
Hidrogen (H) 6,5
Oksigen 44
Ash (Abu) 2,5
Sumber: Anonim (2008)

41
Selain itu, terjadinya losses pada stasiun gilingan dapat disebabkan karena adanya kandungan
gula (pol) yang ikut terbawa dalam ampas. Adanya kandungan gula pada ampas dapat menimbulkan
karamel pada dinding-dinding pipa pada stasiun boiler sehingga heat transfer menjadi turun dan
pembakaran di boiler menjadi terhambat, sehingga diperlukan energi panas yang lebih besar. Kualitas
ampas sebagai bahan bakar boiler dipengaruhi oleh nilai kalorinya, semakin tinggi kualitas ampas
berarti semakin tinggi nilai kalorinya. Kualitas ampas dipengaruhi pula oleh kadar air ampas, dengan
meningkatkan efisiensi gilingan, diharapkan kadar air ampas keluar gilingan akhir lebih kecil dari 50
% dan kadar gula (pol) 2,5 % (Saechu 2009).
Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot 1986); Net Calorific Value/NCV = 4250 - 48 w – 10 pol,
dimana w menunjukkan kadar air ampas, dari perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai kalor
dipengaruhi oleh kadar air dan pol ampas, semakin rendah pol dan kadar air yang terkandung dalam
ampas, maka nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi. Nilai kalor ampas di PG Subang masih
rendah yaitu 1.777 Kkal, hal ini disebabkan oleh kadar air dan kandungan gula pada ampas yang
masih tinggi yaitu kadar air sebesar 52,08 % dan pol ampas sebesar 2,66 %. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan nilai kalor yang tinggi, diusahakan kadar air ampas < 50 % dan pol ampas < 2 %,
dengan begitu nilai kalor yang dihasilkan akan mengalami peningkatan sebesar 2,9 % yaitu menjadi
1.830 Kkal. Untuk mendapatkan nilai kalor dengan pembakaran sempurna yaitu 2.018 Kkal dengan
pol ampas sebesar 2 %, maka kadar air yang terkandung dalam ampas sebesar 46,92 % atau
penurunan kadar air sebesar 9,9 %.
Untuk optimasi kualitas ampas dapat ditempuh dengan menurunkan kadar air ampas melalui
penerapan teknologi pengeringan, yaitu dengan memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong
boiler yang masih memiliki suhu hingga di atas 225 oC. Dengan penurunan kadar air ampas dari 50 %
menjadi 40 % maka nilai bakar per kg ampas akan dapat meningkat hingga 2.305 Kkal atau nilai
bakar per kg ampas relatif akan meningkat hingga 6 %, sehingga untuk bahan bakar boiler di pabrik
gula akan dapat meningkatkan produksi uap hingga 10 %. Penerapan teknologi pengeringan ampas
tersebut telah banyak diandalkan oleh banyak pabrik gula di luar negeri (Maranhao 1980; Abilio dan
Faul 1987).
Untuk optimasi pemanfaatan energi ampas di pabrik gula juga tidak terlepas dari faktor
kehilangan panas akibat radiasi, kondensasi, kebocoran pada pipa distribusi uap dan bejana proses,
isolasi, pengerakan, dan korosi yang kurang sempurna. Kerugian panas akibat dari hal-hal tersebut
dapat mencapai 5 % dan pada kondisi terburuk dapat mencapai hingga 12 % dari produksi uap.
Melalui penanganan yang optimal, kehilangan tersebut dapat ditekan hingga kondisi normal 1 %,
keadaan tersebut antara lain dapat ditandai oleh dinginnya udara dalam pabrik sehingga para operator
dapat bekerja dengan nyaman dan tidak gerah (Saechu 2009).

b. Blotong

Sifat fisis blotong berupa padatan halus yang menyerupai tanah, berwarna hitam, namun lebih
ringan. Blotong yang dihasilkan PG Subang sekitar 3,5 ton/jam (3% tebu). Blotong yang dihasilkan
PG Subang ini ditampung di tempat khusus pembuangan kemudian diangkut menggunakan truk
khusus pengangkut blotong untuk disimpan di tempat penyimpanan blotong. Blotong di PG Subang
dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pupuk organik sebagai campuran pupuk
kompos, dan sebagai pupuk alami yang langsung dimanfaatkan untuk tanaman tebu di kebun dan
disebar ke lahan tebu secara menyeluruh. Kandungan logam pada blotong dapat dilihat pada Tabel
21.

42
Tabel 21. Kandungan logam pada blotong

Analisis Kandungan (%)


Kalium (K2O) 0,485
Natrium (Na2O) 0,082
Kalsium (Ca) 5,785
Magnesium (Mg) 0,419
Besi (Fe) 0,191
Mangan (Mn) 0,115
Sumber: Anonim (2009)

Blotong termasuk limbah organik yang pada umumnya dapat membusuk atau terdegradasi oleh
mikroorganisme. Untuk limbah seperti ini tidak dianjurkan untuk dibuang ke lingkungan karena dapat
meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam badan air sehingga akan mengakibatkan
berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu, pemanfaatan blotong
untuk dijadikan kompos sangat baik untuk dilakukan karena dengan melakukan pembuatan kompos
berarti mendaur ulang limbah organik yang tentu saja akan berdampak positif bagi lingkungan.

c. Abu ketel

Abu ketel merupakan ampas tebu yang tidak terbakar sempurna dan ikut terbawa bersama asap
cerobong. Untuk mencegah agar abu terbawa oleh asap boiler maka dipasang sebuah wet dust
collector, yaitu dengan mengalirkan air sehingga abu terbawa keluar menuju tempat penampungan.
Ada dua macam abu ketel yang dihasilkan pada pembakaran boiler yaitu abu halus yang mengendap
turun ke bawah cerobong boiler karena terbawa air hasil semprotan wet dust collector dan abu kasar
yang tersisa di bawah boiler hasil pembakaran ampas. Abu halus dari cerobong yang terbawa air ini
dibawa keluar menuju tempat penampungan dan dipisahkan antara air yang berwarna hitam dan abu.
Air hitam bekas abu disalurkan ke bak kontrol dan saluran irigasi untuk diteruskan ke IPAL,
sedangkan gumpalan abu dimanfaatkan untuk campuran pembuatan pupuk yang berfungsi sebagai
pelepas unsur fosfor ke tanah. Berbeda dengan abu halus, abu kasar disebar langsung ke lahan
perkebunan atau dibuang ke jalan-jalan kebun bahkan dimanfaatkan untuk urugan jalan, serta
digunakan untuk campuran bahan pupuk organik atau pupuk kompos dari blotong. Dalam
penanganan limbah abu ketel hampir sama dengan penanganan limbah blotong karena termasuk
limbah bahan organik yang dapat diolah menjadi bahan campuran pupuk atau pembuatan kompos.
Hal ini dapat mengakibatkan dampak postitif bagi lingkungan, selain itu dapat mengurangi biaya
produksi dalam proses budi daya tebu.

d. Limbah domestik (gabungan)

Limbah padat domestik merupakan limbah yang berasal dari kegiatan rumah tangga
perusahaan dan produksi di pabrik. Limbah domestik ini berupa kertas, plastik, karung, bahan
organik, logam, dan lain-lain. Penanganan limbah padat domestik di PG Subang ini dilakukan dengan
sederhana yaitu dilakukan pengumpulan dan ditampung untuk dibakar atau dibuang ke tempat
pembuangan akhir. Logam dan sejenisnya ditangani dengan cara pengumpulan dan penampungan di
gudang. Hal ini tidak akan berdampak negatif terhadap lingkungan apabila dilakukan penanganan

43
dengan baik dan dibuang pada tempatnya, jika tidak dilakukan maka dapat menyebabkan lingkungan
di sekitar pabrik menjadi kotor atau berdampak pada sanitasi lingkungan, apabila di lakukan terus-
menerus dan menumpuk akan mempengaruhi proses produksi karena dapat timbul berbagai
mikroorganisme maupun bakteri lain yang dapat menghambat proses produksi gula.

2. Limbah Cair

Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses produksi dalam bentuk cairan.
Limbah cair di PG Subang dihasilkan secara langsung dari kegiatan produksi atau tidak berhubungan
langsung seperti limbah domestik. Limbah cair ini merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan,
hal ini disebabkan karena hampir seluruh tahapan proses produksi membutuhkan air untuk pencucian
mesin atau peralatan produksi. Beberapa stasiun produksi gula membutuhkan air sebagai bahan
tambahan dalam proses produksi, sehingga menghasilkan air sisa atau air buangan dan menjadi limbah
cair. Limbah cair yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Subang ini berupa tetes
(molasses), air buangan pabrik (limbah proses), air limbah abu ketel, air jatuhan (limbah kondensor),
dan air limbah domestik (gabungan).

a. Tetes (molasses)

Tetes (molasses) merupakan salah satu limbah produksi gula yang dihasilkan dari proses
kristalisasi. Tetes yang dihasilkan di stasiun kristalisasi ini disalurkan langsung ke tangki penampung
molasses. Sifat fisik molasses menyerupai cairan gula merah yang kental, berwarna kecoklatan, dan
berbau gula yang dibakar. Molasses tidak termasuk bahan berbahaya yang dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan karena penggunaan molasses dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku dalam pembuatan MSG (monosodium glutamate), pembuatan alkohol, bahan pembuatan pakan
ikan, dan spirtus.

b. Air buangan pabrik (limbah proses)

Setiap stasiun menghasilkan air buangan berupa limbah cair yang berasal dari sisa pencucian
mesin atau sisa kotoran pelumas, nira, ampas, dan bahan-bahan lainnya. Sumber limbah cair buangan
pabrik ini didasarkan pada pembagian stasiun yang ada dalam pabrik. Limbah cair buangan ini
disalurkan melalui saluran yang sudah dibuat khusus untuk limbah cair buangan pabrik dengan bak
kontrol yang tersebar di masing-masing stasiun. Bak kontrol ini digunakan untuk pemantauan aliran
limbah dan pengendalian ketika terjadi tumpahan atau kelebihan limbah cair. Limbah cair buangan
yang dihasilkan di stasiun penggilingan berupa sisa pembersihan oli pelumas mesin penggiling, sisa
penyemprotan ampas, sisa nira yang terbuang atau bocor, dan air dari gilingan. Di stasiun pemurnian
menghasilkan limbah cair buangan berupa sisa pembersihan blotong, pembersihan ampas lembut sisa
penyaringan, dan nira yang berceceran. Limbah cair buangan dari stasiun penguapan berupa sisa air
pembersihan nira dan kerak nira. Di stasiun putaran dihasilkan limbah cair buangan berupa tetes, sisa
tetes yang berlebih, kebocoran timbangan tetes, dan gula ceceran yang telah dibersihkan dengan air.
Di stasiun kristalisasi, limbah cair buangan relatif sangat jarang. Limbah juga dapat dihasilkan ketika
ada kesalahan atau kebocoran nira di peti penampungan. Seluruh limbah cair buangan pabrik ini
disalurkan melalui irigasi (saluran) dan disalurkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk
diolah kembali.

44
c. Air limbah abu ketel

Air limbah abu ketel merupakan limbah cair yang dihasilkan dari air bak penampungan abu
boiler. Air abu ketel diendapkan untuk kemudian langsung dibuang ke lebung. Desain pengendapan
air abu boiler kondisinya terlalu kecil sehingga air abu boiler sudah jenuh dari desain kedalaman +/-60
cm hanya sekitar 20 cm. Hal ini karena laju pengendapan abu boiler lebih cepat dari proses
pengerukan abunya. Air abu boiler berwarna sangat pekat dan hitam. Hal ini akan mengakibatkan
baku mutu limbah cair industri gula Kep. Men. LH No. 6 tahun 2009 TSS akan terlewati. Pada parit
buangan air abu boiler terlihat sebagian oli dan tanah yang mengandung minyak masuk ke dalam parit
buangan air abu boiler.

d. Air jatuhan (limbah kondensor)

Limbah cair berupa air jatuhan dari kondensor yang bersuhu 47 oC dan memiliki pH 6 - 7. Air
kondensor ini dipompa masuk ke dalam instalasi water treatment dan dipompa dengan menggunakan
pompa ke cooling tower untuk didinginkan. Proses pendinginan dilakukan dengan mengalirkan air ke
dalam cooling fan yang berada pada cooling tower agar suhunya turun menjadi 37 oC dengan pH 6.
Air yang telah dingin kemudian dipompakan kembali sebagai air injeksi pada kondensor untuk
keperluan proses evaporasi dan proses pemasakan.

e. Air limbah domestik (limbah gabungan)

Limbah cair di PG Subang juga dapat dihasilkan dari air limbah domestik rumah tangga yang
ada di perusahan dan pabrik. Limbah ini berasal dari air parit MCK, air proses pencucian peralatan
pabrik, dan sumber lain yang berhubungan dengan limbah rumah tangga. Jumlah air limbah domestik
ini sangat sedikit dibandingkan limbah cair lainnya.
Limbah pabrik gula yang paling mendapatkan perhatian adalah limbah cair karena limbah cair
inilah yang paling banyak menimbulkan dampak lingkungan. Kemungkinan dampak yang
ditimbulkan dari buangan pabrik gula dapat dilihat pada Tabel 22. Pada umumnya proses giling
pabrik gula di Indonesia berlangsung pada saat musim kemarau saat debit air sungai rendah.
Pembuangan air limbah ke sungai akan memberikan beban pencemaran yang cukup tinggi terhadap
sungai maupun lahan pertanian sehingga sebelum pelepasan limbah harus didahului oleh
pertimbangan dan penelitian dengan seksama. Penanganan limbah cair ini dimaksudkan untuk
meminimalisasi beban limbah cair yang keluar dari pabrik sebelum masuk unit pengolahan limbah
cair.
Kualitas air merupakan salah satu faktor penting untuk mempertimbangkan supaya pengairan
dapat berjalan dengan baik dan tidak memberikan pengaruh negatif. Air yang digunakan untuk
keperluan perkebunan tebu dan pabrik gula hendaknya berkualitas baik sehingga tidak membahayakan
pertumbuhan tanaman dan merusak tanah. Untuk mendapatkan sumber air yang baik maka air yang
dihasilkan pun seharusnya memiliki kualitas yang baik pula.

45
Tabel 22. Kemungkinan dampak dari buangan pabrik gula

Kegiatan pembuangan limbah Tindakan pencegahan

Pembuangan limbah langsung ke sungai dengan


debit yang cukup besar Relatif aman. self purification

Pembuangan limbah ke sungai dengan debit


rendah Perhatikan beban pencemaran

Pembuangan langsung ke daerah sungai Pengawasan kualitas limbah cair terutama


pemisahan minyak
Pengendalian bau (odour)
Memastikan tidak ada luapan ke danau. kolam.
atau sungai dan tidak ada leaching ke air
permukaan
Sumber : Data PG Subang (2011)

Untuk menghasilkan kualitas air yang baik, diperlukan pengolahan air limbah. Teknologi
pengolahan limbah cair industri adalah salah satu alat untuk memisahkan, menghilangkan, dan atau
mengurangi unsur pencemar dalam limbah dimana seluruh limbah yang mengandung unsur pencemar
diminimalisasikan sampai memenuhi syarat baku mutu limbah dan syarat baku lingkungan. Di PG
Subang, unit yang mengelola air limbah ditangani oleh bagian IPAL (Instalasi Pengolahan air
Limbah). Instalasi pengolahan limbah pada prinsipnya bagai sebuah sistem pabrik dimana tersedia
sejumlah input untuk diolah menjadi output. Dalam kaitan ini adanya limbah sebagai bahan baku
yang diolah dalam sistem kemudian hasilnya adalah limbah yang memenuhi syarat baku mutu. Jika
limbah cair yang diolah kotor maka setelah mengalami pengolahan akan dihasilkan limbah yang
memenuhi baku mutu limbah. Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD,
partikel tercampur, serta membunuh mikroorganisme patogen. Selain itu diperlukan juga tambahan
pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat
terdegradasi agar konsentrasi yang ada menjadi rendah (Sugiharto 1987).
Limbah cair pabrik gula pada umumnya tidak mengandung limbah berbahaya atau beracun. Di
Indonesia produksi gula bersifat musiman, yaitu 5 sampai 6 bulan dalam setahun. Parameter utama
untuk pabrik penggilingan tebu dan pemurnian gula adalah BOD dan COD. Parameter sekunder
adalah TSS, pH, suhu, nitrogen, minyak dan lemak, sulfida dan padatan keseluruhan (Isyuniarto
2007). Setiap harinya kegiatan yang dilakukan di IPAL adalah menganalisis BOD, COD, pH, dan
suhu dari tiap titik pantau sumber air limbah seperti: inlet IPAL, outlet IPAL, air kondensor, air abu
ketel, kolam aerasi I, II, dan III, dan kolam equalisasi.

46
Tabel 23. Hasil pengujian outlet IPAL di PG Subang tahun 2011

Baku Tanggal pengujian limbah cair tahun 2011


Parameter Satuan
Mutu 31 Mei 07 Juni 22 Juli 04 Agust 13 Sept 03 Okt
BOD mg/L 60 14,06 14,06 45,25 49,1 41,43 48,55
COD mg/L 100 38,3 37,6 96,99 77,09 81,51 86,51
TSS mg/L 50 12 24 18 4 20 29
pH 6,0-9,0 6,57 6,92 6,42 6,05 6,16 6,32
Minyak &
Lemak mg/L 5 4,48 4,48 2,8 4,4 4,4 4,1
3
Volume m /bulan - 8.057 14.905 14.089 12.091 13.077 1.695
Sumber : Data PG Subang (2011)

Pada Tabel 23 menunjukkan bahwa outlet IPAL di PG Subang tahun 2011 telah memenuhi
baku mutu lingkungan sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan karena tidak menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan. Outlet IPAL ini akan dialirkan ke lebung yang terletak di sekitar
kebun tebu yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk pengairan pada tanaman tebu sehingga dapat
menghemat dalam pengairan tanaman. Apabila outlet IPAL sudah baik, maka tanaman tebu juga akan
tumbuh dengan baik, lain halnya apabila outlet IPAL melebihi baku mutu lingkungan, maka
diperlukan biaya yang lebih tinggi untuk pengairan tanaman karena tidak layak digunakan untuk
pengairan tebu, selain itu akan mencemari sungai, jika hal ini terjadi akan berdampak pada PROPER
di PG Subang yang menunjukkan ketaatan perusahaan terhadap dampak lingkungan yang
ditimbulkan.

3. Limbah Udara

Limbah udara yang berada di lingkungan PG Subang terdiri dari udara emisi yang berasal dari
cerobong boiler dan cerobong genset serta udara yang berada di dalam pabrik seperti di sekitar
lingkungan mesin-mesin yang ada di stasiun pabrik. Pada dasarnya emisi yang dihasilkan oleh PG
Subang ini tidak terlalu berbahaya karena menggunakan bahan bakar organik. Limbah gas secara
penyebaran dan pencemarannya yang dihasilkan oleh PG Subang terdiri atas udara emisi cerobong
boiler, udara ambien, dan udara lingkungan kerja (dalam pabrik). Penanganan limbah gas ini dengan
melakukan pengontrolan dan pengujian kualitas emisi udara setiap periode tertentu seperti pada Tabel
24.

Tabel 24. Hasil analisis emisi dari boiler di PG Subang

Parameter Satuan Hasil analisaa Baku mutub


Partikulat mg/m3 70 250
3
Sulfur dioksida mg/m 251 600
3
Nitrogen oksida mg/m 194 800
Opasitas % 15 30
a
Data PG Subang (2011)
b
Permen LH 7 tahun 2007

47
Diantara limbah udara yang dominan antara lain nitrogen oksida dan sulfur dioksida. Namun
jumlahnya tidak melebihi baku mutu, sehingga aman untuk di buang ke lingkungan, namun tetap
harus selalu diperhatikan dan dijaga agar jumlahnya tidak melebihi baku mutu karena nitrogen oksida
dan sulfur dioksida memiliki dampak negatif terhadap lingkungan apabila jumlahnya terlalu banyak.
Nitrogen oksida (NOx) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir yang terdiri dari gas nitrit
oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2). NO merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau,
sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau tajam. Pengaruh yang timbul dari
pencemaran NOx bukan disebabkan karena oksida tersebut, melainkan karena peranannya dalam
pembentukan oksidan fotokimia yang merupakan komponen berbahaya di dalam asap. Produksi
oksidan tersebut terjadi jika terdapat polutan-polutan lain yang mengakibatkan reaksi-reaksi yang
melibatkan NO dan NO2. Reaksi-reaksi tersebut disebut dengan siklus fotolitik NO2 dan merupakan
akibat langsung dari interaksi antara sinar matahari dengan NO 2. Kedua bentuk NOx, yaitu NO dan
NO2 sangat berbahaya bagi manusia. NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Pada konsentrasi
normal yang dijumpai di atmosfir, NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya, tetapi pada
konsentrasi udara ambien yang normal NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO 2 yang lebih
beracun, NO2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Pemberian sebanyak 5 ppm NO2 selama 10
menit terhadap manusia mengakibatkan sedikit kesulitan dalam bernafas. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan NOx dalam bentuk NO yaitu suhu pembakaran, adanya faktor kelebihan udara (excess
air), dan waktu tinggal reaktan-reaktan pada suhu pembakaran tersebut. Suhu pembakaran yang lebih
tinggi akan menghasilkan lebih banyak NOx, kelebihan udara yang lebih tinggi akan menghasilkan
NOx yang lebih sedikit, tetapi kelebihan udara pada konsentrasi tertentu akan mengencerkan gas-gas
pembakaran sehingga menghasilkan suhu pembakaran yang lebih rendah, akibatnya akan terjadi
penurunan konsentrasi NOx. Beberapa cara untuk mengurangi konsentrasi NOx yang diproduksi
selama pembakaran adalah dengan pembakaran dua tahap, resirkulasi gas buang, dan melakukan
injeksi dengan uap atau air.
Pada metode pembakaran dua tahap, sebagian bahan bakar dibakar dengan udara dalam jumlah
stoikiometrik lebih rendah dari yang tersedia sehingga oksigen yang tersedia tidak berlebih dan
mengurangi produksi NO. Pada tahap kedua, pembakaran dilanjutkan setelah injeksi udara ke dalam
campuran. Dengan menghilangkan panas diantara kedua tahapan tersebut, suhu dimana pembakaran
terjadi pada keadaan kelebihan udara menjadi lebih rendah sehingga konsentrasi NO yang terbentuk
juga berkurang. Resirkulasi gas buang kembali ke ruang bakar akan menurunkan suhu api dan
menurunkan konsentrasi oksigen yang tersedia. Kedua hal ini mengakibatkan penurunan produksi
NOx. Uap air atau air yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar juga dapat menurunkan suhu api dan
menurunkan produksi NOx. Injeksi dengan air lebih sering dilakukan daripada dengan uap air karena
mudah tersedia, biayanya murah dan pengaruh pendinginannya lebih besar. Metode absorbsi efektif
digunakan untuk mengabsorbsi gas yang keluar dari cerobong asap pabrik. Gas yang keluar
dilewatkan adsorber padat atau cair dimana NOx akan tertahan. Sistem adsorbsi yang mengandung air
lebih efektif digunakan, terutama jika air itu mengandung komponen alkali atau asam sulfat.
Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak
berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3). Kedua jenis gas ini dikenal dengan
nama SOx. Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak terbakar di udara,
sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif.
Sumber emisi di pabrik gula berasal dari penggunaan bahan bakar pada boiler, solar, LPG,
pengolahan limbah padat, dan limbah cair. Emisi yang dihasilkan berkaitan terhadap efek gas rumah
kaca yang dihasilkan dari emisi CO2 di pabrik gula. Potensi emisi CO2 berasal dari penggunaan bahan
bakar pada boiler, dalam hal ini yaitu pemakaian ampas tebu dan IDO, emisi CH 4 berasal dari

48
pengolahan limbah cair, dan NO2 berasal dari pengolahan limbah blotong. Total emisi CO2 yang
dihasilkan pabrik gula sebesar 105.196,70 tCO2-setara yang berasal dari emisi bahan bakar boiler
sebesar 101.927,57 tCO2, emisi penggunaan solar 2.855,45 tCO2, emisi LPG 2,51 tCO2, emisi dari
pengolahan limbah cair 7,56 tCO2, dan emisi dari pengolahan limbah padat sebesar 403,62 tCO 2-
setara (Sihombing 2012).

4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya Dan Beracun)

Limbah yang mengandung bahan polutan dan bersifat berbahaya serta beracun dikenal dengan
limbah B3, yaitu dinyatakan sebagai bahan dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk
merusak lingkungan hidup dan sumber daya. Bila ditinjau secara kimiawi, bahan-bahan tersebut
terdiri atas bahan kimia organik dan anorganik (Kristanto 2002). Limbah B3 ini merupakan hasil sisa
penggunaan bahan-bahan yang ada pada mesin-mesin pabrikasi dan alat berat yang digunakan di PG
Subang. Limbah B3 yang terdapat di PG Subang berupa oli bekas, aki bekas, lap majun, dan lampu
TL. Sumber utama aki bekas berasal dari penggunaan mesin-mesin mekanisasi, kendaran angkut dan
transport, dan instalasi listrik. Oli bekas banyak dihasilkan oleh alat-alat berat, traktor, genset, dan
sisa mesin milling di stasiun penggilingan. Lap majun merupakan lap bekas terpakai pada proses
produksi maupun kegiatan lain yang telah digunakan untuk membersihkan atau kegiatan lain yang
mengandung bahan kimia maupun bahan berbahaya lainnya seperti untuk pembersihan mesin-mesin,
pompa, dan oli. Lampu TL termasuk bahan berbahaya dikarenakan di dalamnya terdapat bahan kimia
serta komponen listrik yang apabila diletakkan sembarangan akan membahayakan orang disekitarnya.
Sumber utama dari limbah oli adalah milling. Disini hampir semua peralatan yang digunakan
membutuhkan oli dan pelumas dalam perawatannya. Pencemaran disebabkan oleh ceceran atau
tumpahan oli atau pelumas ketika sedang digunakan. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara
mengalirkan tumpahan oli dan pelumas pada suatu saluran atau ditampung dengan tangki penampung
khusus oli. Oli dikumpulkan dalam suatu kolam kecil dan dipompa ke dalam alat penangkap oli untuk
memisahkan oli dan air. Ceceran dan tumpahan oli dan aki terkadang tidak tepat jatuh disaluran yang
tersedia dan jatuh ke lantai.
Secara periodik oli diambil dan dimasukkan ke dalam drum oli bekas untuk disimpan di tempat
Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 dan selanjutnya dijual kepada pihak ke III, begitu pula
untuk penanganan aki bekas dengan surat izin langsung dari KLH. Surat izin juga disahkan untuk
pemanfaatan atau pemakaian kembali oli bekas atau aki yang ada di gudang (TPS). PG Subang sudah
memiliki Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 839 Tahun 2008 tentang Izin
Pemanfaatan serta Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 390 Tahun 2009
tentang Izin Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun kepada PT PG Rajawali II Unit PG
Subang. Namun untuk tahun 2011 belum ada surat izin yang dikeluarkan KLH sementara PG Subang
sudah mengupayakan perizinan sejak tahun 2009. Kegiatan pemanfaatan dan penyimpanan limbah
B3 ini tercatat rapih dalam pembukuan di lembar kegiatan pemanfaatan limbah B3 dan lembar
kegiatan penyimpanan limbah B3. Selain itu, dilakukan juga pencatatan terhadap neraca limbah B3
dan log book limbah B3. Penyimpanan limbah B3 di PG Subang dilakukan di gudang penyimpanan
(TPS) dengan tata ruang yang sudah disesuaikan dengan ketetapan dan peraturan dari KLH.
Kelengkapan TPS ini mencakup penyimpanan oli bekas, aki bekas, dan filter oli bekas dilakukan
penyimpanan di atas pallet, drum air bersih, kotak P3K, SOP tanggap darurat, alat pemadam
kebakaran ringan (APAR), log book, dan saluran penampung ceceran oli.
Mengingat pentingnya penanganan limbah B3 ini sesuai peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-01/BAPEDAL/09/1995

49
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan tata cara penyimpanan memliliki ketentuan
sebagai berikut :
1. Mengatur supaya seluruh limbah B3 disimpan menurut jenis dan karakteristiknya pada
tempat yang sudah ditentukan.
2. Menghindari terjadinya tumpahan dan ceceran limbah B3 yang disimpan, khususnya dari
jenis-jenis yang mudah terbakar atau meledak serta melakukan prosedur rumah tangga
(housekeeping) yang baik.
3. Mencatat setiap perpindahan limbah B3 baik yang masuk ataupun yang keluar dari tempat
penyimpanan limbah sesuai dengan jenis dan jumlahnya dalam formulir kegiatan
penyimpanan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Selain itu penanganan limbah B3 juga tidak boleh menyimpannya melebihi jangka waktu 90
hari, oleh karena itu harus segera diupayakan untuk dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut :
1. Dilakukan upaya 3R (Reuse, Recycle, Recovery) untuk keperluan sendiri sesuai sifat dan
karakteristik limbah tersebut dengan mengacu pada peraturan yang berlaku.
2. Dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai bahan baku dan/atau pendukung kegiatan industri
tertentu yang telah memiliki izin pemanfaatan dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup
atau instansi yang berwenang.
3. Diangkut ke fasilitas pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang telah mempunyai
izin dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup.

Pengelolaan limbah B3 yang telah dilakukan PG Subang sebenarnya sudah cukup baik
diantaranya pemanfaatan oli bekas untuk pelumasan gear mesin produksi, penyimpanan aki bekas
yang kurang dari 90 hari yang kemudian diserahkan kepada pembeli (pihak ke IIII) seperti PT.
Habindo Perkasa dan PT. WGI dan berbagai transaksi maupun kejadian yang berhubungan dengan
limbah B3 dilakukan pencatatan harian di log book limbah B3. Bentuk pertanggung jawaban PG
Subang terhadap limbah B3 yaitu dengan melakukan pelaporan secara rutin tiga bulan sekali ke KLH.
Bentuk pengelolaan yang dilakukan PG Subang terhadap penanganan aki bekas di antaranya,
untuk aki bekas yang akan masuk ke tempat penyimpanan sementara di pasang sticker gambar
tengkorak (lambang limbah B3), aki bekas disimpan secara bertumpuk yang beralas kayu, pemasukan
aki bekas tercatat pada log book neraca limbah B3, penyimpanan aki bekas baru dan aki bekas yang
lama dipisahkan, aki bekas disimpan paling lama 90 hari dan apabila sudah lebih dari 90 hari harus
ada izin penyimpanan atau pengelolaan dari KLH, pengeluaran limbah B3 dijual kepada pihak ke III
yang mempunyai izin pembelian atau manifest dari KLH, serta data neraca limbah B3 aki bekas setiap
3 bulan dan 6 bulan sekali dilaporkan ke KLH, BPLHD, dan BPLH.
Bentuk pengelolaan yang dilakukan PG Subang terhadap penanganan oli bekas diantaranya.
untuk oli bekas ditampung dalam drum dan ditempel sticker gambar tengkorak (lambang Limbah B3),
oli bekas disimpan dalam drum disusun berjajar yang beralas kayu, pemasukan oli bekas tercatat pada
buku loog Book Neraca Limbah B3, penyimpanan oli bekas baru dan oli bekas lama dipisahkan, oli
bekas disimpan paling lama 90 hari (apabila > 90 hari harus ada ijin dari KLH), pengeluaran Limbah
B3 di jual kepada pihak III yang mempunyai ijin pembelian dari KLH, serta data neraca limbah B3 oli
bekas setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali dilaporkan ke KLH, BPLHD, dan BPLH.
Untuk penanganan terhadap upaya tanggap darurat di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS)
Limbah B3 telah dilakukan beberapa upaya, diantaranya gudang tempat penyimpanan limbah B3 aki
bekas, oli bekas, lap majun dan lampu TL dipasang lampu penerangan untuk antisipasi terjadi

50
kebakaran dan kecelakaan di gudang tempat penyimpanan limbah B3, tersedia alat pemadam
kebakaran dan kotak P3K, apabila terjadi kebakaran pintu gudang limbah B3 bisa dibuka lebar dan
api disemprot dengan alat pemadam kebakaran yang tersedia, apabila tenaga kerja ada yang terluka
dapat dengan segera diobati dengan obat yang tersedia di kotak P3K, aki bekas atau oli bekas yang
terbakar diseleksi untuk dipisahkan. Upaya penanganan limbah B3 lebih terfokuskan terhadap aki
bekas dan oli bekas, upaya yang telah dilakukan di antaranya, menampung oli bekas di tempat
penghasil oli bekas yaitu dari bagian pool kendaraan, alat berat traktor dan lain-lain serta diesel genset
serta membuat gudang penyimpanan sementara oli bekas dan aki bekas di tempat khusus.

D. INTERPRETASI HASIL

Adanya penggunaan bahan baku, tambahan, dan energi yang tidak optimal menimbulkan
dampak negatif bagi perusahaan, diperlukan pembenahan secara maksimal di PG Subang dimulai dari
modifikasi dan perbaikan mesin-mesin proses produksi, serta penggunaan bahan dan energi yang tepat
agar tidak terjadi pemborosan yang dapat meningkatkan biaya produksi. Analisis daur hidup gula
terhadap penggunaan bahan baku, tambahan, dan energi secara sistematis dapat dilihat pada Lampiran
8 dan 9. Dengan dilakukan analisis terhadap daur hidup gula, dapat diketahui kekurangan yang terjadi
pada proses produksi gula sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan agar tidak menimbulkan
dampak negatif bagi perusahaan dalam memproduksi gula.
Pada umumnya pabrik gula di Indonesia mengolah tebu hanya untuk menghasilkan gula pasir
sebagai produk tunggal. Padahal tebu dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan
seperti, pupuk, makanan ternak, molasses, dan bagasse (Mardianto et al. 2005). Ampas tebu
merupakan sumber energi yang terbarukan dan tersedia cukup besar (Hugot 1986). Langkah yang
dapat ditempuh untuk mencegah banyaknya ampas digudang agar tidak beterbangan yaitu dengan
menutup gudang ampas sehingga gudang ampas tidak dalam keadaan terbuka dan tidak ada serbuk
ampas yang beterbangan di sekitar pabrik yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Kegiatan
pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemakaian masker di sekitar pabrik untuk mencegah
terhirupnya partikel di sekitar pabrik. Selain itu, ampas tebu dapat dijadikan bubur pulp dan dipakai
untuk pabrik kertas, untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, particle board, dan
bioetanol (Misran 2005). Selain itu, adanya kandungan polisakarida dalam ampas tebu dapat
dikonversi menjadi produk atau senyawa kimia yang digunakan untuk mendukung proses produksi
sektor industri lainnya. Salah satu polisakarida yang terdapat dalam ampas tebu adalah pentosan
dengan persentase sebesar 20-27 %. Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan
ampas tebu untuk diolah menjadi furfural. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas, diantaranya
sebagai bahan kimia pembangun dalam produksi senyawa kimia yang digunakan pada industri
farmasi, herbisida, senyawa penstabil (stabilizer), dan juga dapat disintesis menjadi turunan-
turunannya seperti: furfuril alkohol, furan, dan lain-lain.
Limbah pabrik gula berupa ampas tebu sangat mengganggu lingkungan apabila tidak
dimanfaatkan. Selama ini pemanfaatan ampas tebu hanya terbatas untuk pakan ternak, bahan baku
pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Nilai ekonomi
yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
pengembangan teknologi sehingga terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian. Kandungan
karbon yang tinggi dalam ampas tebu menjadi dasar untuk memanfaatkannya sebagai arang aktif.
Arang aktif adalah arang yang dihasilkan dari proses pengaktifan dengan menggunakan bahan
pengaktif sehingga memperluas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup sehingga
daya adsorbsinya lebih tinggi. Arang aktif memiliki daya adsorbsi yang jauh lebih besar

51
dibandingkan dengan arang yang belum mengalami proses aktifasi sebagai benda berpori luas. Selain
itu, pemanfaatan ampas tebu dapat digunakan untuk gasifikasi. Gasifikasi merupakan teknologi
proses thermo-kimia yang mengubah suatu biomassa padat menjadi flammable gas seperti gas CO, H2,
dan CH4. Aplikasi gasifikasi dari ampas tebu dapat digunakan pada elektric generator, pompa air,
dan mesin diesel. Oleh karena itu, dengan pemanfaatan ampas tebu untuk gasifikasi dapat memberi
nilai tambah bagi perusahaan, selain itu dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh ampas tebu.
Suplesi bahan bakar termasuk pemakaian listrik PLN di beberapa pabrik gula yang tidak
efisien dapat menyebabkan biaya produksi gula bertambah hingga mencapai 10 % dan bahkan lebih.
Ciri–ciri dari pabrik gula yang kurang efisien tersebut dapat ditandai mempunyai produksi uap per kg
ampas rendah mencapai sekitar 1,8 kg (normalnya > 2,2 kg) dan konsumsi uap per tebu tinggi
mencapai hingga > 60 % (normalnya < 50 %). Potensi energi yang ada di pabrik gula dapat
diwujudkan apabila dilakukan optimasi terhadap jumlah dan kualitas ampas di gilingan, produksi uap
di stasiun boiler dan penggunaan uap dalam pabrik (Saechun 2009). Permasalahan utama yang terjadi
di PG Subang adalah banyaknya jam berhenti giling, hal ini akan berdampak pada pemanfaatan energi
kurang optimal, proses produksi menjadi terhenti sehingga produk gula yang dihasilkan menjadi
semakin sedikit, selain itu limbah yang dihasilkan juga semakin banyak karena terjadi akumulasi nira
kotor pada limbah cair. Untuk mengatasi hal ini, PG Subang diharapkan dapat lebih meningkatkan
kinerja produksi agar proses produksi gula berjalan secara maksimal. Mesin dan peralatan yang
digunakan harus bekerja secara optimal, oleh karena itu diperlukan penanganan yang maksimal pada
saat maintenance agar tidak terjadi kerusakan maupun kebocoran pada saat musim giling tiba.
Dalam pemanfaatan limbah yang dihasilkan, beberapa limbah cair dapat dimanfaatkan kembali
seperti air dari jatuhan kondensor. Air jatuhan kondensor sebagian digunakan kembali untuk
kepentingan air injeksi sekitar 70 % dan sebagian dibuang ke lingkungan tanpa sirkulasi 30 % atau
didinginkan dengan cooling tower terlebih dahulu. Air jatuhan kondensor baik yang digunakan
kembali maupun kelebihannya telah disirkulasi terlebih dahulu dengan cooling tower system dalam
kondisi dioperasikan. Penanganan dalam pabrik (inhouse keeping) terhadap penanganan limbah cair
yang dilakukan PG Subang dimaksudkan untuk meminimalisasi beban limbah cair yang keluar dari
pabrik sebelum masuk unit pengolahan limbah cair. Mencegah masuknya bahan sumber pencemaran
dilakukan dengan cara: mencegah terjadinya bocoran-bocoran pada pipa-pipa, peti-peti nira dan
pompa-pompa dengan pengawasan peralatan secara rutin, membuat simparan atau injector pada
masing-masing tempat lokasi pompa, mencegah masuknya minyak atau oli pada unit pengolahan
limbah cair dengan membuat bak penangkap minyak, dan memasang tangki penampung bekas bahan
kimia (soda) untuk pembersihan juice heater dan evaporator, pembuangan secara perlahan serta
membuat saluran-saluran air limbah secara permanen dan kedap air.
Secara umum pengendalian pemcemaran air (pada limbah cair) dapat dilakukan dengan
cara:
1. Melancarkan aliran air di parit-parit dan parit jatuhan air kondensor dan proses pencucian
pabrik agar lancar mengalir ke IPAL
2. Memperbaiki v-notc pada tiap oulet yang masuk ke IPAL agar tercatat semua
3. Memindahkan kelebihan buangan pipa panas air dari proses yang mengalir ke parit kondensor
ke bak tampungan kondensor sebelum di ukur v-notc.
4. Meminimalkan nira dan endapan-endapan yang masuk kedalam air kondensor sehingga semua
baku mutu Permen LH No.5 Tahun 2010 dipenuhi, hal ini karena hasil pengukuran bulan Juni
2010 beberapa parameter BOD, COD, dan TSS > 500 % melampaui baku mutu
5. Tetap melakukan pengukuran pH dan debit harian outlet IPAL. kondensor dan abu ketel
6. Mengoptimalkan kinerja IPAL agar air limbah yang keluar sesuai dengan baku mutu.

52
7. Menandai koordinat titik sampel untuk outlet IPAL. kondensor dan air abu boiler
8. Memperbaiki parit-parit di sekitar proses pembuatan susu kapur agar air limbah kapur tidak
berceceran
9. Tetap melakukan perhitungan neraca air yang digunakan baik untuk proses maupun utilitas
sehingga dapat diketahui air baku yang masuk baik dari sungai, maupun sumber lainnya dan
total air yang dibuang atau dikeluarkan dari tiap-tiap proses.
10. Memperbaiki sistem pengendapan abu boiler sehingga laju pengendapan abu boiler seimbang
dengan laju aliran airnya serta mengoptimalkan proses pengendapan abu boiler sehingga
limbah cair memenuhi baku mutu limbah cair industri gula.
11. Melakukan pengukuran limbah cair di outlet IPAL limbah setelah perbaikan-perbaikan temuan
lapangan dan kinerja IPAL sudah optimal.

Pemanfaatan turunan dari molasses yang dihasilkan dari stasiun kristalisasi banyak
dimanfaatkan oleh berbagai industri, diantaranya oleh distilling industry, fermentation industries, dan
lain-lain. Di banyak negara, produsen gula telah melakukan diversifikasi produk gula guna
menyiasati penurunan harga gula, menekan biaya produksi, memperluas pasar, serta mengurangi
resiko kerugian pada pabrik gula (Mardianto et al. 2005). Oleh karena itu, PG Subang diharapkan
dapat meningkatkan pemanfaatan dari produk samping yang dihasilkan sehingga akan meningkatkan
pendapatan dan keuntungan pada perusahaan.
PG Subang melakukan pengendalian pencemaran udara sesuai RKL/RPL, beberapa upaya
telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pencemaran di sekitar pabrik diantaranya :
1. Memperbaiki sistem handling baggase sehingga ceceran dari serbuk bagasse tidak beterbangan
2. Menampung abu boiler agar mudah diangkut dan tidak beterbangan kemana-mana
3. Meningkatkan kinerja pengolahan emisi udara sehingga emisi yang dihasilkan dari setiap
sumber emisi tetap memenuhi baku mutu emisi sesuai dengan Peraturan Menteri LH No. 7
tahun 2007
4. Meningkatkan house keeping di sekitar sarana dan alat pengendalian pencemaran udara
sehingga debu dan jelaga di area boiler tidak beterbangan
5. Mengendalikan boiler pada saat suspensi bahan bakar non ampas sehingga asap hitam tidak
sering keluar ke cerobong

PG Subang mengupayakan agar kualitas udara direduksi di sekitar wilayah kebun hingga
pabrik agar tidak menimbulkan gangguan atau keresahan bagi masyarakat yang berada di wilayah
pabrik. Beberapa upaya untuk mereduksi dampak penurunan kualitas udara antara lain: melakukan
pengerasan jalan utama angkutan tebu di kebun ke pabrik, melakukan penyiraman secara berkala di
daerah yang berdebu dalam lingkungan pabrik dan jalan desa terutama pada musin kemarau,
melakukan penyiraman abu ketel sebelum dibuang ketempat pembuangan, menanam pohon-pohon
pelindung di lingkungan pabrik, perumahan karyawan, dan sekitar kolam limbah (secara bertahap),
ampas disimpan di tempat khusus atau gudang ampas, serta pemeriksaan kesehatan karyawan oleh
dokter perusahaan secara periodik (bagi yang sakit).

53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Metode LCA digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan pada siklus hidup gula
dengan menganalisis penggunaan bahan baku serta energi. Siklus hidup gula di PG Subang dimulai
dari proses ekstraksi tebu hingga menghasilkan produk gula SHS. Dalam tiap tahapan proses
produksinya dihasilkan limbah dan produk samping. Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus
hidup gula di PG Subang berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut
dapat dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat, ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler
yang akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan
blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari
proses produksi gula dapat berupa uap air hasil proses penguapan, dimana uap air tersebut akan
digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler, serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah
proses produksi akan diolah di IPAL sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu.
Rendemen yang dihasilkan di PG Subang pada tahun 2011 adalah 6,69 atau terjadi penurunan
2,62 % dari target RKAP yaitu 6,87. Hal ini selain dipengaruhi proses budi daya tebu yang kurang
optimal juga dipengaruhi oleh proses produksi gula di pabrik. Berdasarkan analisa inventori yang
dilakukan, pada aliran bahan yang terjadi di tiap stasiun yang ada di pabrik seperti stasiun gilingan,
stasiun pemurnian, stasiun penguapan, serta stasiun kristalisasi masih banyak terjadinya losses, hal ini
menunjukkan terjadinya inefisiensi dalam proses produksi gula. Berdasarkan analisis inventori yang
dilakukan, menunjukkan bahwa loss yang dihasilkan di PG Subang pada tahun 2011 sebesar
11.734,52 ton yang berasal dari loss tiap tahapan proses. Di stasiun gilingan loss yang dihasilkan
sebesar 3.490,25 ton, hal ini disebabkan karena pol tebu < 10 %, kotoran tebu > 5 %, pol ampas > 2
%, dan penambahan air imbibisi yang terlalu kecil yaitu 24,84 %. Loss yang dihasilkan di stasiun
pemurnian sebesar 2.516,11 ton, hal ini disebabkan karena % pol blotong > 2 % sehingga zat gula
(pol) yang terbawa pada blotong semakin banyak. Untuk penggunaan belerang dan kapur tohor sudah
tepat, hanya saja untuk penggunaan flokulan terlalu banyak yaitu 5 ppm sehingga biaya produksi
semakin meningkat. Di stasiun penguapan tidak terjadi loss, namun brix nira kental yang dihasilkan
masih rendah yaitu 52,88 %, hal ini mengakibatkan nira yang dihasilkan tidak maksimal. Loss yang
dihasilkan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi sebesar 5.728,16 ton, hal ini disebabkan karena
banyaknya nira yang belum terkristalkan dan rendahnya pol dalam pan masakan, hal ini dipengaruhi
oleh keakuratan dalam proses kristalisasi terhadap suhu dan waktu yang kurang optimal.
Penggunaan energi pada proses produksi gula berasal dari bahan bakar, listrik, dan uap.
Kendala yang dihadapi diantaranya terjadinya berhenti giling yang mengakibatkan pasokan ampas
untuk bahan bakar boiler menjadi berkurang sehingga diperlukan suplesi bahan bakar tambahan yaitu
IDO (Industrial Diesel Oil) yang biayanya lebih besar sehingga biaya produksi meningkat. Hal ini
dipengaruhi oleh pol dan kadar air ampas yang masih tinggi yaitu 2,66 % dan 52,08 % sehingga nilai
kalor ampas menjadi rendah dan tidak mencukupi untuk kebutuhan pembakaran di boiler. Untuk
penggunaan listrik dan uap juga dipengaruhi oleh pasokan ampas dari stasiun gilingan, efisiensi listrik
di PG Subang sebesar 18,94 %, dan efisiensi uap sebesar 58,94 %. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja di
stasiun gilingan serta terjadinya pemborosan energi yang ditunjukkan dengan masih banyaknya uap
yang terbuang dan kebocoran pada saluran uap.

54
Setelah dilakukan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan energi pada proses
produksi gula, selanjutnya dilakukan analisis terhadap dampak yang ditimbulkan akibat
penggunaannya yang tidak efisien, karena dengan terjadinya inefisiensi menunjukkan adanya
komponen baik bahan maupun energi yang hilang atau keluar ke lingkungan semakin banyak,
sehingga perlu dianalisa terhadap dampak lingkungannya. Dampak yang terjadi akibat adanya loss
yang dihasilkan diantaranya: produk gula SHS yang dihasilkan menjadi lebih sedikit, banyaknya zat
gula (pol) yang terbawa pada limbah maupun produk samping seperti pada ampas tebu dan blotong,
sanitasi yang kurang baik sehingga memungkinkan timbulnya mikroorganisme yang dapat
mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan, terjadinya jam berhenti giling yang mengakibatkan
rendemen menurun dan limbah yang dihasilkan semakin meningkat, serta emisi gas rumah kaca yang
dihasilkan dari pemakaian IDO semakin tinggi. Selain itu, banyaknya ampas yang dihasilkan tidak
seluruhnya digunakan untuk pembakaran di boiler yang mengakibatkan banyaknya ampas yang
diletakkan di luar gudang ampas yang dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena
banyaknya partikel ampas yang beterbangan, hal ini juga dapat mempengaruhi kualitas ampas untuk
pembakaran di boiler karena kadar air dalam ampas dapat menurun akibat terkena hujan jika ampas
diletakkan di luar gudang ampas.

B. SARAN

Adanya peningkatan manajemen budidaya tebu untuk memperoleh produktivitas tebu yang
maksimal. Selain itu, perlu dilakukan optimalisasi perbaikan mesin dan peralatan saat maintenance
untuk meminimalisasi terjadinya kerusakan maupun kebocoran alat saat musim giling. Diperlukan
peningkatan mengenai sanitasi di dalam dan luar pabrik yang baik agar terhindar dari mikroorganisme
atau bakteri yang dapat mempengaruhi kinerja proses produksi. Dalam mengurangi biaya bahan bakar
tambahan untuk menggantikan pemakaian IDO, dapat digunakan alternatif bahan bakar lain seperti
penggunaan LNG (Liquified Natural Gas) yang harganya lebih murah serta emisi yang rendah.
Pemanfaatan limbah seperti ampas tebu dapat dilakukan dengan memanfaatkannya sebagai arang aktif
dan gasifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan keutungan bagi perusahaan.

55
PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) GULA
PADA PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

SKRIPSI

IKAWATI PURWANINGSIH
F34080053

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
DAFTAR PUSTAKA

Abilio A, Faul F. 1987. Bagasse Drying. Sugar Journal 89 (1060) : 68-71.


Anonim. 1992. Gula tebu. http://warintek.progessio.or.id. [20 Juli 2012].
______. 2009. Komposisi dari blotong. http://www.risvank.com/2009/blotong. [18 Mei 2012] .
______. 2008. Potensi ampas tebu. http://malikhi.wordpress.com/2008/potensi-ampas-tebu. [18 Mei
2012].
Azapagic A. 1999. Life cycle assessment and its application to process selection, design and
optimization. Chemical Eng J 73: 1-21.
Curran M. 1996. Environmental Life Cycle Assessment. McGraw-Hill. New York.
Halim K. 1973. Rapidoor Clarifier dalam Industri Gula. LPP Yogyakarta.
Hugot E. 1960. Hand Book of Cane Sugar Engineering. Elsevier Publising Company. Amsterdam.
Hugot E. 1986. Handbook of Cane Sugar Engineering. 3rd ed. Elsevier. NewYork.
Isyuniarto. 2007. Proses Ozonisasi pada Limbah Cair Industri Gula. Pusat Teknologi Akselerator dan
Bahan – BATAN.Yogyakarta
Kristanto P. 2002. Ekologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.
[LPP] Lembaga Pendidikan Perkebunan. 2006. Pengelolaan Limbah Industri Gula. LPP Yogyakarta
Maranhao LEC. 1980. Individual Bagasse Drying System. Proc. of XVII th ISSCT congress. 3: 2000-
2011.
Mardianto S, Simatupang P, Hadi PU, Malian H, Susmiadi A. 2005. Peta jalan (Road Map) dan
Kebijakan pengembangan Industri Gula Nasional. Jurnal Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 19-
73.
Mattson B, Sonesson U. 2003. Environmentally-friendly food processing. Woohead Publishing
Limited. Cambridge. England.
Megasari K , Swantomo D, Christina M. 2008. Penakaran daur hidup pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) batubara kapasitas 50 MWatt. Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir
Yogyakarta.
Misran E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Teknologi Proses 4 (2): 6-10.
Moerdokusumo. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit
ITB. Bandung.
Paryanto LA. Fachruddin, Sumaryono W. 1999. Diversifikasi Sukrosa Menjadi Produk Lain. P3GI.
Serpong.
P3GI. 2001. Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional . Kerja Sama Ditjen Bina Produksi Perkebunan
dengan P3GI.
Rebitzer G, Finnveden G, Hauschild MZ, Ekvall T, Guine’e J, Heijungs R, Hellweg S, Koehler A,
Permington D, Suh S. 2009. Recent developments in Life Cycle Assessment: Review. J of
Environmental Manag 91: 1-21.
Renouv MK, Wegener MK. 2007. Environmental Life Cycle Assessment (LCA) of Sugarcane
Production and Processing in Australia. Proceedings of the Australian Society of Sugar Cane
Technologists 29: 1- 15.
Rosmeika, Sutiarso L, Suratmo B. 2009. Pengkajian Daur Hidup Ampas Tebu Di Pabrik Gula
Madukismo. Yogyakarta Menggunakan Metode Life Cycle Assessment (LCA). J. Enj
Pertanian 8(2) : 1-11.
Saechu M. 2009. Optimasi Pemanfaatan Energi Ampas di Pabrik Gula. Jurnal Teknik Kimia 4 (1): 1-
7.

56
Schempf NC. 1999. Economic Input-Output Life Cycle Assessment of Asphalt versus Steel Reinforced
Concrete for Pavement Construction. Pittsburgh: Posner Hall.
Sihombing SR. 2012. Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Pada Industri Gula (Studi Kasus PT
PG Rajawali II Unit PG Subang) [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Soebekti B. 2001. Pengantar Proses Pengolahan Gula. PG Subang. Subang.
Soerjadi. 1977. Peranan Komponen Batang Tebu dalam Pabrikasi Gula. LPP Yogyakarta.
Subekti B. 2010. Perhitungan Pengawasan Gilingan. LPP Yogyakarta.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

57
PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) GULA
PADA PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

SKRIPSI

IKAWATI PURWANINGSIH
F34080053

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LIFE CYCLE ASSESSMENT OF SUGAR AT PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

Ikawati Purwaningsih

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University,


IPB Dramaga Campus, PO Box 220, West Java, Indonesia.
Email: [email protected]

ABSTRACT

National sugar industry holds an important role to meet the growing demand for sugar. Along
with economic growth and technological progress, the activities of sugar production can cause an
impact on the environment. Identification life cycle of sugar production process involves the use of
raw materials and energy are needed to determine the efficiency of production and then analyzed for
the environmental impact. Based on inventory data from sugar plant, the productivity of sugar cane as
raw material was 787 tons of cane / hectare, but its realization was only 690 tons of cane / hectare or
87.67% of the target. The use of energy in the steam plant from bagasse combustion, the energy
generated by bagasse of 2.83 x 1011 kcal, but the realization of 1.94 x 1011 kcal or 68, 55% of the
target. It indicates that the efficiency of steam decreased. Effluent of liquid waste at sugar plant
exceeds the quality standard that has been established, it is associated with efficiency in production
processes that less optimal. Based on the inventory analysis showed that efficiency in the use of raw
materials and energy are influenced by the life cycle starting from the gardens until sugar processing
in the factory which will have implications on the environmental impact.

Keywords : life cycle assessment, sugar production process, energy efficiency, environmental impact

ii
Ikawati Purwaningsih. F34080053. Penilaian daur Hidup (Life Cycle Assessment) Gula Pada PT PG
Rajawali II Unit PG Subang. Dibawah bimbingan Mohamad Yani. 2012

RINGKASAN

Industri gula nasional memegang peranan penting untuk dapat memenuhi tingkat permintaan
gula yang terus meningkat dengan kualitas yang baik untuk dapat bersaing dengan gula impor yang
saat ini membanjiri pasaran di Indonesia. Permasalahan yang sedang dihadapi pabrik gula di
Indonesia adalah tidak terpenuhinya produksi gula sesuai dengan kapasitas produksinya yang
disebabkan karena terjadinya inefisiensi, baik di luar maupun di dalam pabrik. Oleh karena itu,
pemerintah menuntut industri gula untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja dari industri
gula tersebut. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, kegiatan produksi gula
dapat menyebabkan dampak terhadap lingkungan. Untuk mengurangi dampak lingkungan yang
timbul pada proses produksi gula, perlu dilakukan analisa daur hidup gula agar lebih efisien. Alat
pengelolaan lingkungan yang dapat menghitung beban lingkungan dan dampak potensialnya di dalam
seluruh daur hidup produk, proses atau kegiatannya adalah metode Life Cycle Assessment (LCA).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi siklus hidup gula di PG Subang,
menginvetarisasi konsumsi bahan tambahan dan energi pada tiap tahapan proses, dan mengidentifikasi
limbah dan dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Metode LCA dalam penelitian ini terdiri
atas 4 fase utama, yaitu definisi tujuan dan ruang lingkup (goal and scope definition),
menginventarisasi input dan output (life cycle inventory), perkiraan dampak lingkungan dari semua
input dan output (life cycle assessment), dan interpretasi hasil yang disebut improvement analysis.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer yang diperoleh dari hasil
wawancara dan observasi lapang di PG Subang, serta data sekunder yang berupa data penggunaan
bahan tambahan, dan energi di PG Subang.
Siklus hidup gula di PG Subang dimulai dari proses ekstraksi tebu hingga menghasilkan
produk gula SHS. Dalam tiap tahapan proses produksinya dihasilkan limbah dan produk samping.
Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus hidup gula di PG Subang berupa limbah padat, limbah
cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat,
ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler yang akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian
akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik
untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi gula dapat berupa uap air hasil
proses penguapan, dimana uap air tersebut akan digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler,
serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah proses produksi akan diolah di IPAL sehingga
dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu.
Analisis inventori yang dilakukan meliputi input dan output bahan baku, bahan tambahan,
energi, limbah, dan produk samping yang dihasilkan selama siklus daur hidup gula. Dengan
dilakukan analisis inventori dapat diketahui terjadinya inefisiensi yang ditunjukkan berdasarkan loss
yang ditimbulkan. Berdasarkan analisis inventori yang dilakukan, menunjukkan bahwa loss yang
dihasilkan di PG Subang pada tahun 2011 sebesar 11.734,52 ton yang berasal dari loss tiap tahapan
proses. Di stasiun gilingan loss yang dihasilkan sebesar 3.490,25 ton, hal ini disebabkan karena pol
tebu < 10 %, kotoran tebu > 5 %, pol ampas > 2 %, dan penambahan air imbibisi yang terlalu kecil
yaitu 24,84 %. Loss yang dihasilkan di stasiun pemurnian sebesar 2.516,11 ton, hal ini disebabkan
karena % pol blotong > 2 % sehingga zat gula (pol) yang terbawa pada blotong semakin banyak.

iii
Untuk penggunaan belerang dan kapur tohor sudah tepat, hanya saja untuk penggunaan flokulan
terlalu banyak yaitu 5 ppm sehingga biaya produksi semakin meningkat. Di stasiun penguapan tidak
terjadi loss, namun brix nira kental yang dihasilkan masih rendah yaitu 52,88 %, hal ini
mengakibatkan nira yang dihasilkan tidak maksimal. Loss yang dihasilkan di stasiun kristalisasi dan
sentrifugasi sebesar 5.728,16 ton, hal ini disebabkan karena banyaknya nira yang belum terkristalkan
dan rendahnya pol dalam pan masakan, hal ini dipengaruhi oleh keakuratan dalam proses kristalisasi
terhadap suhu dan waktu yang kurang optimal.
Penggunaan energi pada proses produksi gula berasal dari bahan bakar, listrik, dan uap.
Kendala yang dihadapi diantaranya terjadinya berhenti giling yang mengakibatkan pasokan ampas
untuk bahan bakar boiler menjadi berkurang sehingga diperlukan suplesi bahan bakar tambahan yaitu
IDO (Industrial Diesel Oil) yang biayanya lebih besar sehingga biaya produksi meningkat. Hal ini
dipengaruhi oleh pol dan kadar air ampas yang masih tinggi yaitu 2,66 % dan 52,08 % sehingga nilai
kalor ampas menjadi rendah dan tidak mencukupi untuk kebutuhan pembakaran di boiler. Untuk
penggunaan listrik dan uap juga dipengaruhi oleh pasokan ampas dari stasiun gilingan, efisiensi listrik
di PG Subang sebesar 18,94 %, dan efisiensi uap sebesar 58,94 %. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja di
stasiun gilingan serta terjadinya pemborosan energi yang ditunjukkan dengan masih banyaknya uap
yang terbuang dan kebocoran pada saluran uap.
Dampak yang terjadi akibat adanya loss yang dihasilkan diantaranya: produk gula SHS yang
dihasilkan menjadi lebih sedikit, banyaknya zat gula (pol) yang terbawa pada limbah maupun produk
samping seperti pada ampas tebu dan blotong, sanitasi yang kurang baik sehingga memungkinkan
timbulnya mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan, terjadinya jam
berhenti giling yang mengakibatkan rendemen menurun dan limbah yang dihasilkan semakin
meningkat, serta emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pemakaian IDO semakin tinggi. Selain
itu, banyaknya ampas yang dihasilkan tidak seluruhnya digunakan untuk pembakaran di boiler yang
mengakibatkan banyaknya ampas yang diletakkan di luar gudang ampas yang dapat menyebabkan
gangguan saluran pernafasan karena banyaknya partikel ampas yang beterbangan, hal ini juga dapat
mempengaruhi kualitas ampas untuk pembakaran di boiler karena kadar air dalam ampas dapat
menurun akibat terkena hujan jika ampas diletakkan di luar gudang ampas.
Dalam pelaksanaan proses produksi gula, diperlukan analisis pendahuluan yang tepat
khususnya terhadap kualitas tebu yang akan digiling, serta kualitas mesin dan peralatan yang akan
digunakan selama periode giling. Analisa mutu tebu yang mencakup pol tebu, kotoran tebu, dan HK
nira mentah sangat menentukan jumlah gula yang akan dihasilkan serta kebutuhan bahan tambahan
yang akan digunakan. Sanitasi di lingkungan pabrik sangat penting karena dapat mempengaruhi
kualitas gula yang dihasilkan, selain itu untuk mengurangi biaya bahan bakar tambahan untuk IDO,
dapat digunakan alternatif bahan bakar lain seperti penggunaan LNG (Liquified Natural Gas) yang
harganya lebih murah serta emisi yang rendah. Pemanfaatan limbah seperti ampas tebu dapat
dilakukan dengan memanfaatkannya sebagai arang aktif dan gasifikasi yang diharapkan dapat
meningkatkan keutungan bagi perusahaan.

iv
PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) GULA
PADA PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :

IKAWATI PURWANINGSIH
F34080053

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

v
Judul Skripsi : Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) Gula Pada PT PG Rajawali II
Unit PG Subang
Nama : Ikawati Purwaningsih
NIM : F34080053

Mengetahui,

Pembimbing,

Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng


NIP 19630805 199002 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen
Teknologi Industri Pertanian

Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti


NIP. 19621009 198903 2 001

Tanggal lulus :

vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Penilaian Daur Hidup
(Life Cycle Assessment) Gula pada PT PG Rajawali II Unit PG Subang adalah hasil karya saya sendiri
dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012


Yang membuat pernyataan

Ikawati Purwaningsih
F34080053

vii
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

viii
BIODATA PENULIS

Ikawati Purwaningsih dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 September 1990


sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Juwari dan Sri
Retno Puspito. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Muhammadiyah 12
Pamulang pada tahun 1996-2002, dan melanjutkan ke SMP Negeri 1
Pamulang pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2008, penulis lulus dari SMA
Negeri 46 Jakarta dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mengambil pilihan
mayor Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah menjadi asisten
praktikum Mikrobiologi Lingkungan di Program Diploma IPB. Selain
menjalani aktivitas akademik, penulis juga aktif mengikuti organisasi di lingkup fakultas dan
kepanitiaan. Selain itu, penulis pernah melaksanakan program praktik lapang di PT PG Rajawali II
Unit PG Subang dengan judul “Mempelajari Aspek Manajemen Lingkungan Industri Di PT PG
Rajawali II Unit PG Subang”.

ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat,
taufik, serta hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul
Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) Gula pada PT PG Rajawali II Unit PG Subang. Skripsi
ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang sejak
bulan Maret hingga Mei 2012.
Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak sekali bantuan baik
secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng, selaku dosen pembimbing akademik atas segala bantuan dalam
memberi arahan, do’a, serta kesabaran dalam membimbing penulis.
2. Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin dan Drs. Purwoko, MSi, selaku dosen penguji atas saran dan arahan
dalam penelitian ini.
3. Bapak, Ibu, Tyas, dan Rama yang telah memberi motivasi, kasih sayang, dan doa selama
penelitian berlangsung.
4. Bapak Nandang, Bapak Fajar, Bapak Soleh, dan seluruh karyawan PG Subang yang telah
membantu memperlancar penelitian yang dilaksanakan oleh penulis.
5. Keluarga Bapak H. Utarya dan Bapak Marsono, yang telah membantu memperlancar penelitian
yang dilaksanakan oleh penulis.
6. Imam Setiyadi, atas kebersamaan, semangat, do’a, kesabaran, dan bantuannya selama penelitian
berlangsung.
7. Rika Gustia, Citra Dewi WP, Elfira F, I.K Marla, dan keluarga besar TIN 45, atas kebersamaan,
semangat, dan bantuannya.
8. Siti Rida A Br Sihombing dan Faisal Fahmi, atas kebersamaan, motivasi, semangat, dan
bantuannya selama penelitian berlangsung.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Dengan segala kekurangan yang masih banyak terdapat di dalamnya, penulis berharap tulisan
ini dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang membutuhkannya. Semoga tulisan ini menjadi
salah satu amalan baik penulis di hadapan Allah SWT. Amin.

Bogor, Agustus 2012

Ikawati Purwaningsih

x
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR........................................................................................................ x

DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... xv

I. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1

B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................. 2

C. MANFAAT PENELITIAN ......................................................................................... 2

D. RUANG LINGKUP PENELITIAN ............................................................................ 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 3

A. TANAMAN TEBU ..................................................................................................... 3

B. GULA .......................................................................................................................... 4

C. PROSES PRODUKSI GULA . ................................................................................... 4

D. SUMBER DAN DAMPAK PENCEMARAN DI PABRIK GULA ............................ 7

E. LIFE CYCLE ASSESSMENT (LCA) ............................................................................ 8

III. METODE PENELITIAN .................................................................................................. 11

A. TAHAPAN PENELITIAN ........................................................................................ 11

B. METODE PENGUMPULAN DATA ......................................................................... 12

C. PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) ..................................... 12

IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN ............................................................................. 14

A. SEJARAH PERUSAHAAN ....................................................................................... 14

B. VISI DAN MISI PERUSAHAAN .............................................................................. 15

C. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN ....................................................... 15

D. STRUKTUR ORGANISASI ....................................................................................... 16

E. KETENAGAKERJAAN ............................................................................................ 16

F. PROSES PRODUKSI GULA ..................................................................................... 17

xi
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 25

A. IDENTIFIKASI SIKLUS HIDUP GULA .................................................................. 25

B. INVENTARISASI BAHAN TAMBAHAN DAN ENERGI ...................................... 28

C. ANALISIS DAMPAK ................................................................................................ 40

D. INTERPRETASI HASIL ........................................................................................... 51

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................... 54

A. KESIMPULAN ............................................................................................................ 54

B. SARAN ........................................................................................................................ 55

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 56

LAMPIRAN ....................................................................................................................... 58

xii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komponen dalam batang tebu ............................................................................... 3


Tabel 2. Limbah cair pabrik gula dan sifat-sifatnya ............................................................ 8
Tabel 3. Jenis tanah di PG Subang ...................................................................................... 15
Tabel 4. Data tenaga kerja PG Subang tahun 2011 ............................................................. 16
Tabel 5. Data perbandingan RKAP dan realisasi pada tahun 2011 bagian tanaman ........... 26
Tabel 6. Indikator efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun 2002 – 2004 ........................... 28
Tabel 7. Data rendemen gula di PG Subang tahun 2007 – 2011 ......................................... 29
Tabel 8. Neraca bahan di stasiun gilingan tahun 2011 ........................................................ 30
Tabel 9. Kinerja di stasiun gilingan ..................................................................................... 31
Tabel 10. Angka pengawasan di stasiun gilingan .................................................................. 31
Tabel 11. Neraca bahan di stasiun pemurnian tahun 2011 .................................................... 33
Tabel 12. Angka pengawasan di stasiun pemurnian............................................................... 34
Tabel 13. Neraca bahan di stasiun penguapan tahun 2011 ..................................................... 34
Tabel 14. Neraca bahan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi tahun 2011 ........................... 35
Tabel 15. SNI 01-3140-2001 untuk Gula Kristal Putih ......................................................... 36
Tabel 16. Penggunaan bahan bakar pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011 .... 38
Tabel 17. Data penggunaan listrik pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011 ..... 39
Tabel 18. Penggunaan uap di PG Subang tahun 2011 .......................................................... 39
Tabel 19. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya di PG Subang tahun 2011 ..... 41
Tabel 20. Komposisi bagasse ................................................................................................ 41
Tabel 21. Kandungan logam pada blotong ........................................................................... 43
Tabel 22. Kemungkinan dampak dan buangan pabrik gula .................................................. 46
Tabel 23. Hasil pengujian outlet IPAL di PG Subang tahun 2011 ........................................ 47
Tabel 24. Hasil analisis emisi dari boiler di PG Subang ........................................................ 47

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur molekul sukrosa ................................................................................... 4


Gambar 2. Reaksi hidrolisis sukrosa dengan bantuan enzim invertase ................................ 4
Gambar 3. Diagram alir metode penelitian penilaian daur hidup
(Life Cycle Assessment) gula .............................................................................. 11
Gambar 4. Pabrik Gula Subang ............................................................................................ 14
Gambar 5. Kemasan Ragula 50 kg dan 1 kg ....................................................................... 24
Gambar 6. Siklus hidup gula di PG Subang .......................................................................... 25
Gambar 7. Produktivitas tebu rata-rata pada tiap radius tahun 2011 .................................... 27
Gambar 8. Rendemen gula rata-rata pada tiap bulan dalam masa giling
(DMG) tahun 2011 ............................................................................................ 27
Gambar 9. Pemurnian nira proses sulfitasi alkalis ............................................................... 33

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil samping industri gula tebu ...................................................................... 59


Lampiran 2. Sumber limbah di pabrik gula ......................................................................... 60
Lampiran 3. Kuesioner data penelitian ................................................................................. 61
Lampiran 4. Struktur organisasi PG Subang ........................................................................ 63
Lampiran 5. Pengawasan kinerja gilingan di PG Subang .................................................... 64
Lampiran 6. Diagram alur limbah PG Subang ..................................................................... 66
Lampiran 7. Neraca bahan pada proses produksi gula ......................................................... 67
Lampiran 8. Daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis
inventori terhadap penggunaan bahan baku dan bahan tambahan .................. 68
Lampiran 9. Daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis
inventori terhadap penggunaan energi ............................................................ 70

xv
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagai negara agraris, Indonesia mengupayakan untuk memajukan sektor pertanian. Salah
satu komoditi yang dikembangkan adalah tebu. Komoditi tebu merupakan salah satu tanaman
penghasil gula yang di dalamnya terkandung sukrosa yang kemudian dikristalkan menjadi gula kristal.
Pemanfaatan gula tidak hanya terbatas untuk bahan konsumsi langsung tetapi juga digunakan sebagai
bahan pembantu di berbagai industri makanan, minuman, kosmetik dan farmasi. Saat ini tingkat
konsumsi gula dalam negeri belum bisa sepenuhnya dipenuhi oleh industri gula dalam negeri, oleh
karena itu impor gula masih diberlakukan. Industri gula nasional memegang peranan penting untuk
dapat memenuhi tingkat permintaan gula yang terus meningkat dengan kualitas yang baik untuk dapat
bersaing dengan gula impor dari luar negeri yang saat ini membanjiri pasaran di Indonesia.
Permasalahan yang sedang dihadapi pabrik gula di Indonesia adalah tidak terpenuhinya
produksi gula sesuai dengan kapasitas produksinya, hal ini disebabkan karena terjadinya inefisiensi
baik di luar maupun di dalam pabrik. Terjadinya inefisiensi di pabrik gula dipengaruhi oleh
produktivitas pabrik gula, salah satu faktor penyebabnya adalah teknologi yang digunakan sudah tua
dan masih ada yang berasal dari peninggalan Belanda. Oleh karena itu, pemerintah menuntut industri
gula untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja dari industri gula tersebut dengan peningkatan
penggunaan bahan baku, energi, mesin dan peralatan, serta sumber daya lain, hal ini dapat dilakukan
dengan menerapkan manajemen perusahaan yang baik.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, kegiatan produksi gula dapat
menyebabkan dampak terhadap lingkungan. Untuk mengurangi dampak lingkungan yang mungkin
timbul pada proses produksi gula, perlu dilakukan analisis daur hidup gula agar lebih efisien. Analisis
yang dilakukan yaitu dengan menghitung kebutuhan dan penggunaan bahan baku, bahan tambahan,
dan energi dengan mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Hal ini dapat
dilakukan pengkajian menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA). Metode LCA dapat
digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan yang terjadi pada seluruh siklus hidup pada gula,
hal ini akan berdampak positif karena dapat mengetahui sumber-sumber pencemaran pada industri
gula sehingga kinerja pabrik dapat optimal dan efisien.
Menurut Mattson (2003), LCA adalah suatu metoda yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk selama proses produksi atau aktivitas selama
siklus hidupnya dan aliran bahan yang terjadi di dalam proses produksi tersebut. Data yang
dibutuhkan dalam melakukan LCA terdiri dari dampak lingkungan, hasil samping, konsumsi energi
dan bahan yang digunakan pada setiap tahapan proses. Menurut Schempf (1999) dan Curran (1996),
LCA dapat menyediakan kerangka kerja untuk menganalisa dampak lingkungan, memetakan dampak
selama siklus hidup suatu produk, acuan dalam mengembangkan target lingkungan untuk
pengembangan produk selanjutnya, menyediakan pengukuran kinerja yang berlangsung untuk
mengkaji konsep desain serta dampaknya terhadap lingkungan, membantu tim pengembangan produk
dalam menentukan material dan komponen yang akan dipakai, dan mengidentifikasi dampak yang
sebelumnya tidak diketahui. Dengan menggunakan metode LCA diharapkan dapat membantu industri
gula dalam menerapkan industri yang berwawasan lingkungan.

1
B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :


1. Mengidentifikasi siklus hidup gula pada industri gula tebu.
2. Menginventarisasi konsumsi bahan tambahan dan energi pada setiap tahapan proses.
3. Mengidentifikasi limbah yang dihasilkan dan dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam menganalisis
penggunaan bahan tambahan dan energi sesuai dengan metode LCA (Life Cycle Assessment) agar
dalam proses produksi gula tebu berjalan secara efisien dan dapat mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan.

D. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada analisis terhadap data kebutuhan bahan tambahan dan konsumsi
energi pada setiap tahapan proses, serta potensi limbah dari proses produksi gula di pabrik dengan
mengevaluasi dampak lingkungan yang mungkin timbul selama siklus hidup gula.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN TEBU

Bahan baku dalam proses produksi gula adalah tanaman tebu. Komoditas tebu (Saccharum
officinarum L.) adalah tanaman industri yang tergolong musiman dan termasuk keluarga rumputan
(Graminae). Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim dimana di dalam batangnya
terdapat suatu cairan yang memiliki rasa manis yang disebut nira. Nira inilah yang kemudian akan
diolah menjadi gula. Saccharum officinarum adalah spesies tebu yang banyak digunakan untuk
produksi gula, kelebihannya adalah mengandung banyak sukrosa, kandungan sabut rendah, daunnya
lebih lebar, dan berbatang besar. Selain itu, Saccharum officinarum berdaya tunas tinggi pada
keadaan tanah dan iklim yang cocok, dan umumnya beradaptasi dengan baik di daerah tropis.
Komponen yang terdapat di dalam batang tebu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen-komponen dalam batang tebu


Komponen Jumlah (%)
Monosakarida 0,5 – 1,5
Sukrosa 11 - 19
Zat-zat organik 0,5 – 1,5
Zat-zat anorganik 0,15
Sabut 11 - 19
Air 65 - 75
Bahan lain 12

Sumber: Misran (2005)

Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula (PG). Dalam proses
produksi di pabrik gula, ampas tebu (bagasse) yang dihasilkan sebesar 35 - 40 % dari setiap tebu yang
diproses, namun yang termanfaatkan hanya 5%, sisanya berupa tetes tebu (molasses), blotong, dan air.
Selama ini, produk utama yang dihasilkan dari tebu adalah gula, sementara hasil samping yang lain
tidak begitu diperhatikan, kecuali tetes tebu yang sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan etanol
dan bahan pembuatan monosodium glutamate (MSG), serta ampas tebu yang dimanfaatkan untuk
makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di
pabrik gula. Pemanfaatan limbah dan produk samping masih terbatas dan nilai ekonomi yang
diperoleh juga belum tinggi, sedangkan limbah dalam proses produksi gula seperti blotong dan abu
ketel banyak yang terbuang percuma, bahkan untuk pembuangan limbahnya masih menimbulkan
pencemaran lingkungan sehingga dapat menambah pengeluaran di pabrik gula (Misran 2005).
Tanaman tebu dapat menghasilkan berbagai produk yang bermanfaat bagi manusia. Secara
keseluruhan, pemanfaatan hasil samping industri gula tebu dapat dilihat pada Lampiran 1. Selama ini
pemanfaatan tebu selalu diidentikan dengan industri gula, sudah saatnya paradigma tersebut bergeser
menjadi industri tebu. Dengan paradigma baru ini, diharapkan dapat memacu petani untuk kembali
mengusahakan perkebunan tebu, disamping dapat menambah pendapatan di pabrik gula, juga dapat
menambah kesempatan kerja sehingga pengangguran dapat dikurangi (Misran 2005).

3
B. GULA

Gula merupakan salah satu bahan pemanis yang dapat dihasilkan dari berbagai jenis bahan
seperti tebu, bit, jagung, kelapa, dan bahan lainnya. Gula pasir merupakan jenis yang paling banyak
diproduksi di Indonesia yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan pemurnian dari tanaman tebu
(Moerdokusumo 1993). Gula termasuk golongan karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi
aktivitas manusia, ada dua jenis gula yaitu monosakarida dan disakarida. Monosakarida adalah
bentuk paling sederhana dari karbohidrat, contohnya glukosa dan fruktosa, sedangkan disakarida
tersusun dari dua atau lebih monosakarida, contohnya sukrosa.
Sukrosa merupakan disakarida yang tersusun dari monomer-monomer berupa unit glukosa dan
fruktosa dengan rumus molekul C12H22O11. Sukrosa adalah senyawa yang mudah larut dalam air,
faktor yang mempengaruhi daya larutnya antara lain: suhu, zat lain yang terlarut, serta sifat zat
tersebut. Semakin tinggi suhu dalam air, maka semakin tinggi pula sukrosa tersebut. Kelarutan
sukrosa dalam nira tebu tidak hanya dipengaruhi oleh suhu, namun dipengaruhi pula oleh kemurnian
dan sifat bahan bukan sukrosa (Paryanto et al. 1999). Struktur molekul sukrosa dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul sukrosa (Anonim 1992)

Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk dari sebuah molekul α-D-glukosa dan molekul β-
D-fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4-glikosidik. Ketika ikatan α-1,4-glikosidik terputus
oleh reaksi hidrolisis, maka akan terbentuk campuran glukosa dan fruktosa. Sukrosa dapat dihidrolisis
dengan bantuan enzim invertase. Reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dengan
bantuan enzim invertase dapat dilihat pada Gambar 2.

enzim invertase
+ H2O +

sukrosa air glukosa fruktosa

Gambar 2. Reaksi hidrolisis sukrosa dengan bantuan enzim invertase (Anonim 1992)

C. PROSES PRODUKSI GULA

Proses produksi gula dari tebu adalah proses pemisahan sukrosa yang terdapat dalam batang
tebu dari zat-zat lain seperti air, zat organik, dan sabut. Proses pemisahan dilakukan dengan cara
menggiling tebu pada mesin penggiling sehingga diperoleh cairan yang disebut nira. Nira yang
diperoleh dari mesin penggiling dibersihkan dari zat-zat bukan gula dengan pemanasan dan
penambahan zat kimia. Secara umum proses produksi gula dilakukan dengan proses berikut ini :

4
1. Ekstraksi Nira

Nira tebu yang mengandung sukrosa diperoleh dari tebu yang diperah dalam mesin penggiling
setelah melalui proses pra-pengolahan dalam crusher atau unit pencacah tebu yang berfungsi untuk
mempermudah proses ekstraksi berikutnya. Semua zat yang larut dalam air tebu akan terperah keluar
dan yang tersisa adalah ampas (Moerdokusumo 1993).

2. Pemurnian Nira

Pelaksanaan pemurnian dalam pembuatan gula dibedakan menjadi 3 macam yaitu:


a. Proses Defekasi
Pemurnian cara defekasi adalah cara pemurnian yang paling sederhana, bahan pembantu yang
digunakan hanya berupa kapur tohor. Kapur tohor digunakan untuk menetralkan asam-asam yang
terdapat dalam nira. Nira yang telah diperoleh dari mesin penggiling diberi kapur hingga diperoleh
nilai pH sedikit alkalis (pH 7,2). Nira yang telah diberi kapur kemudian dipanaskan sampai mendidih,
kemudian endapan yang terjadi dipisahkan.

b. Proses Sulfitasi
Proses pemurnian dengan cara sulfitasi dilakukan dengan pemberian kapur secara berlebihan.
Kelebihan kapur ini dinetralkan kembali dengan gas sulfit (SO2). Penambahan gas SO2 menyebabkan
SO2 bergabung dengan CaO membentuk CaSO3 yang mengendap. Gas SO2 dapat memperlambat
reaksi antara asam amino dan gula reduksi yang dapat mengakibatkan terbentuknya zat warna gelap
pada nira. Gas SO2 dalam larutan asam dapat mereduksi ion ferri sehingga menurunkan efek oksidasi.
Pelaksanaan proses sulfitasi adalah sebagai berikut:
- Sulfitasi dingin
Nira mentah disulfitasi sampai pH 3,8 kemudian diberi kapur sampai pH 7. Setelah itu dipanaskan
sampai mendidih dan kotorannya diendapkan.
- Sulfitasi panas
Pada proses sulfitasi terbentuk garam CaSO3 yang lebih mudah larut dalam keadaan dingin
sehingga ketika dipanaskan akan terjadi endapan pada pipa pemanas. Untuk mencegah hal ini,
pelaksanaan proses sulfitasi dimodifikasi dengan cara nira mentah dipanaskan sampai 70 – 80 oC,
disulfitasi, ditambahkan kapur, dipanaskan hingga mendidih kemudian diendapkan.
- Pengapuran sebagian dan sulfitasi
Apabila pada proses sulfitasi panas tidak dapat memberikan hasil yang baik maka dilakukan
modifikasi, yaitu dengan cara pengapuran pertama sampai pH 8,0 dan pemanasan sampai 50 - 70 oC,
sulfitasi sampai pH 5,1 - 5,3 dan pengapuran kedua sampai pH 7,0 - 7,2 kemudian dilanjutkan dengan
pemanasan sampai mendidih sampai terjadi pengendapan (Hugot 1960).
Pelaksanaan sulfitasi dipandang dari sudut kimia dibagi menjadi 3 yaitu :
- Sulfitasi Asam
Nira mentah disulfitasi dengan SO2 sehingga dicapai pH nira 3,2 kemudian ditambahkan
larutan kapur hingga pH 7,0 – 7,3.
- Sulfitasi Alkalis
Pemberian larutan kapur hingga pH nira 10,5 kemudian ditambahkan SO2 hingga pH nira
menjadi 7,0 – 7,3.

5
- Sulfitasi Netral
Pemberian larutan kapur hingga pH nira 8,5 kemudian ditambahkan gas SO2 sehingga pH nira
menjadi 7,0 – 7,3 (Halim 1973).

c. Proses Karbonatasi
Proses karbonatasi merupakan metode yang paling baik dibandingkan dengan proses defekasi
dan sulfitasi. Bahan pembantu yang digunakan pada proses pemurnian nira dengan karbonatasi adalah
susu kapur dan gas CO2. Setelah ditambahkan susu kapur secara berlebihan, kemudian ditambahkan
gas CO2 yang berfungsi untuk menetralkan kelebihan susu kapur sehingga kotoran-kotoran yang
terdapat dalam nira akan diikat, reaksinya adalah sebagai berikut :

Ca(OH)2 + CO2  CaCO3_ + H2O

Terbentuknya endapan CaCO3 yang banyak, mengakibatkan endapan dapat dengan mudah
dipisahkan (Hugot 1960).

3. Penguapan

Nira yang telah mengalami proses pemurnian masih mengandung air, air ini harus dipisahkan
dengan menggunakan alat penguap. Penguapan adalah suatu proses menghilangkan zat pelarut dari
dalam larutan dengan menggunakan panas. Zat pelarut dalam proses penguapan nira adalah air,
apabila nira dipanaskan maka akan terjadi penguapan molekul air. Akibat penguapan ini, nira akan
menjadi kental. Sumber panas yang digunakan adalah uap panas (Soejardi 1977).

4. Kristalisasi

Proses kristalisasi adalah suatu proses dimana dilakukan pengkristalan gula dari larutan yang
mengandung gula. Dalam larutan encer, jarak antara molekul satu dengan yang lain masih cukup
besar, kemudian pada proses penguapan jarak antara masing-masing molekul dalam larutan tersebut
saling mendekat, apabila jaraknya sudah cukup dekat maka masing-masing molekul dapat saling tarik
menarik. Apabila di sekitarnya terdapat sukrosa yang menempel, keadaan ini disebut sebagai larutan
jenuh. Pada tahap selanjutnya, bila kepekatan naik maka molekul-molekul dalam larutan akan dapat
saling bergabung dan membentuk rantai-rantai molekul sukrosa, sedangkan pada pemekatan lebih
tinggi maka rantai-rantai sukrosa tersebut akan dapat saling bergabung pula dan membentuk suatu
kerangka atau pola kristal sukrosa.

5. Pengeringan

Gula yang keluar dari proses kristalisasi akan masuk ke stasiun putaran dengan menggunakan
sentrifuge, selanjutnya gula yang keluar dari sentrifuge ditampung dalam alat getar (talang goyang).
Talang goyang ini selain berfungsi sebagai alat pengangkut, juga sebagai alat pengering gula.
Pengeringan ini menggunakan udara yang dihembuskan dari bawah, hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi kadar air dalam gula. Setelah pengeringan, gula dimasukkan dalam karung atau kemasan
dan disimpan di gudang untuk kemudian dipasarkan.

6
D. SUMBER DAN DAMPAK PENCEMARAN DI PABRIK GULA

Pabrik gula merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian menjadi produk jadi
berupa gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih). Proses produksi gula tidak
terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by-product) yang dihasilkan selama proses berjalan.
Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh bahan-bahan organik,
walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik (persentasenya kecil).
Limbah yang dihasilkan di pabrik gula terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang
berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada
produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya
dan Beracun).
Limbah udara yang dihasilkan berasal dari pembakaran boiler serta dari alat transportasi.
Emisi partikulat dihasilkan dari gas buang boiler karena bahan bakar yang digunakan berupa padatan
(ampas). Selain itu, beberapa pabrik gula juga mengalami masalah dengan debu ampas yang cukup
halus, sedangkan limbah gas, yakni SO2, NOx, dan CO2 umumnya tidak melebihi ambang batas.
Limbah selanjutnya adalah limbah B3 yang terdiri dari oli bekas, aki bekas, lap majun, dan lampu TL
yang disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3. Oli bekas dan aki bekas berasal dari
stasiun gilingan, mesin-mesin produksi, genset dan workshop (operasional kendaraan dan alat berat).
Lap majun diperoleh dari lap bekas pembersihan mesin, pompa, oli, dan lain-lain. Lampu TL
diperoleh dari lampu yang sudah rusak atau mengalami gangguan sehingga tidak bisa digunakan
kembali.
Limbah padat yang dihasilkan diantaranya, abu, blotong, dan ampas. Abu merupakan limbah
yang dihasilkan dari pembakaran boiler, blotong merupakan limbah padat dari proses penyaringan
(Rotary Vacuum Filter), dan ampas yang merupakan limbah hasil pemerahan nira pada stasiun
gilingan. Limbah cair yang dihasilkan terbagi menjadi dua bagian, yaitu limbah cair berat dan limbah
cair ringan. Limbah cair berat merupakan limbah cair dengan kadar organik tinggi sedangkan limbah
cair ringan merupakan limbah cair yang mengandung kadar organik rendah (LPP 2006). Walaupun
menghasilkan limbah padat, cair, gas, dan B3, masalah lingkungan utama yang dihadapi pabrik gula
adalah yang berkaitan dengan limbah cair, baik karena volume maupun konsentrasi polutannya.
Pengolahan tebu menjadi gula dapat menghasilkan limbah cair sebanyak 1-2 m3/ton tebu. Daftar
limbah cair pabrik gula dan sifatnya dapat dilihat pada Tabel 2. Limbah padat pabrik gula berupa
ampas, blotong, dan sisa ampas yang tidak habis dipakai sebagai bahan bakar. Penanganan limbah
padat relatif lebih mudah dibandingkan limbah yang lain (LPP 2006). Sumber limbah di pabrik gula
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Limbah pabrik gula dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan jika tidak ditangani
secara tepat karena mengandung sejumah besar karbohidrat, protein, lemak, dan sisa-sisa bahan kimia
yang digunakan baik dalam pengolahan dan pembersihan. Masalah-masalah yang mungkin timbul
dalam operasi pabrik gula (LPP 2006) adalah :
1. Polusi pada badan air akibat kontaminasi dan deoksigenisasi oleh efluen limbah cair
2. Pabrik gula yang langsung dibuang atau tidak ditangani secara memadai
3. Bau menyengat akibat biodegradasi limbah dalam bentuk gas hidrogen sulfida (H 2S)
4. Suburnya tumbuhan ganggang sepanjang aliran sebagai akibat banyaknya sisa-sisa nutrien
seperti phospor dan nitrogen
5. Terganggunya fotosintesis pada ekosistem air karena tumpahan minyak ke badan utama air
6. Efek hujan asam akibat emisi gas SO2
7. Menurunnya kualitas udara karena emisi asap dan gas buang hasil pembakaran ampas pada
boiler

7
Tabel 2. Limbah cair di pabrik gula dan sifat-sifatnya
Sumber Pencemar Potensi Pencemaran Sifat
Stasiun gilingan
- Minyak tinggi mengapung
- Nira tinggi larut, pH < 5,5
- Air pendingin rendah suhu normal
Stasiun Pemurnian
- Nira tinggi larut, pH < 6,5
- Pendingin vacuum filter rendah suhu normal
- Pendingin sublimator tinggi suhu 60 – 70 oC
Stasiun Penguapan
- Nira tinggi pH netral
- Soda tinggi basa
- Pendingin kondensor rendah suhu > 40 oC
Stasiun Kristalisasi
- Larutan gula tinggi pH < 6
- Pendingin kondensor rendah suhu > 40 oC
Palung Pendingin
- Air rendah suhu normal
- Larutan gula tinggi pH < 6
Laboratorium
- Nira tinggi pH < 6
- Larutan gula tinggi pH < 7
- Bahan kimia lain rendah bervariasi, Pb
Boiler
- Air kurasan rendah suhu > 90 oC
- Abu dalam air rendah pH > 8, mengendap
Stasiun Pembangkit Listrik
- Minyak tinggi mengapung
Sumber : LPP (2006)

E. LIFE CYCLE ASSESSMENT (LCA)

Penilaian daur hidup (Life Cycle Assessment/LCA) adalah suatu metode pengukuran dampak
suatu produk tertentu terhadap ekosistem yang dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengukur,
menganalisis, dan menakar besarnya konsumsi energi, bahan baku, emisi serta faktor-faktor lainnya
yang berkaitan dengan produk tersebut sepanjang siklus hidupnya (Curran 1996). Siklus hidup suatu
produk dimulai dari bahan baku yang diambil dari alam, diproses di pabrik, digunakan oleh konsumen
sampai menjadi limbah yang dibuang kembali ke alam. Pada setiap tahapan siklus hidup akan
mengkonsumsi sumber daya dan menghasilkan emisi atau limbah, dan dampak lingkungan tiap
tahapan dalam siklus hidup produk tersebut perlu diketahui. Dalam suatu sistem industri terdapat
input dan output, input dalam sistem berupa material-material yang diambil dari lingkungan dan
outputnya akan dibuang ke lingkungan kembali. Input dan output sistem industri ini akan
menghasilkan dampak terhadap lingkungan. Pengambilan input material yang berlebihan akan
mengakibatkan semakin berkurangnya persediaan di alam, sedangkan hasil keluaran dari sistem
industri yang berupa limbah (padat, cair, dan udara) akan memberi dampak negatif terhadap
lingkungan. Dengan menerapkan metode LCA diharapkan dapat dilakukan evaluasi untuk
meminimalkan pengambilan material dari lingkungan dan limbah industri yang dihasilkan (Megasari
et al. 2008).

8
LCA dapat digunakan untuk menangani dampak lingkungan dari produk, proses atau aktifitas
dalam seluruh siklus hidup mulai dari ekstraksi material mentah, proses produksi, transportasi,
penggunaaan, dan pembuangan akhir. Manfaat penerapan konsep LCA (Megasari et al. 2008) adalah:
1. Perbaikan produk: LCA dapat mengidentifikasi pilihan biaya paling efisien dan efektif bagi
pengurangan dampak lingkungan dari produk atau jasa. Perbaikan ini dapat membuat produk
lebih diinginkan oleh konsumen.
2. Perbaikan proses: LCA dapat diterapkan untuk mengevaluasi operasi atau proses produksi
perusahaan. Hal ini merupakan metode yang berguna untuk menghitung sumber daya dan
penggunaan energi. Manfaat LCA dapat menawarkan pilihan bagi perbaikan efisiensi seperti
meminimalkan limbah, penggunaan sumber daya lebih sedikit, dan memperbaiki kualitas proses.
3. Perencanaan strategis: LCA dapat digunakan sebagai perencanaan strategis. Jika peraturan
lingkungan dan harapan lingkungan meningkat, akan mengakibatkan peningkatan tekanan
terhadap perusahaan untuk memperbaiki kinerja operasinya.
Komponen utama LCA dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Tujuan dan cakupan (Goal and Scoping)
Tujuan dan cakupan perlu dilakukan untuk dilakukan inventarisasi kegiatan yang diperkirakan
dapat menimbulkan dampak penting yang ditimbulkan oleh proses atau produk tertentu terhadap
lingkungan.
2. Analisis inventori (Inventory Analysis)
Analisis inventori merupakan bagian LCA yang berisi inventori input yang berupa energi
maupun bahan baku, dan output emisi maupun limbah. Pada proses ini dilakukan pengumpulan data
kuantitatif untuk menentukan level atau tipe input energi maupun material pada suatu sistem industri
dan hasil yang dilepaskan ke lingkungan.
3. Penakaran dampak (Impact Assessment)
Penakaran dampak digunakan untuk menganalisis dampak suatu proses terhadap lingkungan
dan kesehatan manusia yang telah didata secara kuantitatif pada penakaran inventori. Dalam proses
klasifikasi, data inventori yang dihubungkan dengan efek potensi terhadap ekologi dan kesehatan
manusia ditempatkan dalam kategori khusus.
4. Interpretasi atau analisis perbaikan (Improvement Analysis)
Pada tahapan ini dilakukan interpretasi hasil, evaluasi, dan analisis terhadap usaha-usaha yang
dapat dilakukan untuk perbaikan (Curran 1996).

Setiap produk mempunyai daur hidup (life cycle), mulai dari perancangan atau pengembangan
produk, diikuti oleh ekstraksi sumber daya, proses produksi, konsumsi, dan aktivitas akhir
(pengumpulan, penyortiran, pemanfaatan kembali, daur ulang, dan pembuangan limbah). Semua
aktivitas ini akan menghasilkan dampak lingkungan karena pengaruh konsumsi sumber daya, emisi
dari bahan-bahan yang digunakan ke lingkungan alam, dan perubahan lingkungan lainnya.
Pembangunan yang berkelanjutan yang baik memerlukan metode dan alat yang membantu
menghitung dan membandingkan dampak lingkungan dari barang dan jasa itu ke masyarakat
(Rebeitzer et al. 2004). Alat pengelolaan lingkungan yang dapat menghitung beban lingkungan dan
dampak potensialnya di dalam seluruh daur hidup produk, proses atau kegiatannya adalah Life Cycle
Assessment (Azapagic 1999).
LCA merupakan kerangka metodologi untuk memperkirakan dan menilai dampak lingkungan
yang dikaitkan dengan daur hidup suatu produk, seperti perubahan iklim, penipisan lapisan ozon,
penciptaan troposfir ozon, eutrofikasi, asidifikasi, keracunan pada manusia dan ekosistem, penipisan
sumber daya, penggunaan air, penggunaan lahan, kebisingan, dan lainnya (Rebitzer et al. 2004).

9
Variabel LCA yang dikaji diantaranya teknologi proses, kapasitas pabrik, jenis bahan baku, energi,
dan lokasi pabrik. Variabel tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi hasil dari
analisis LCA.
Siklus hidup (life cycle) suatu produk menitikberatkan pada faktor mengumpulkan informasi
dan menganalisis dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk. Pada LCA dibutuhkan data
mengenai input dan output secara lengkap meliputi bahan baku, proses pembuatan, distribusi,
transportasi, konsumsi, hasil samping, dan dampak lingkungan. LCA terdiri dari beberapa elemen
antara lain: (1) identifikasi dan mengukur faktor-faktor yang terlibat, (2) evaluasi faktor-faktor yang
berpotensi berdampak terhadap lingkungan, (3) analisis untuk mengurangi dampak lingkungan
(Mattson dan Sonesson 2003).
Sektor industri saat ini dituntut untuk lebih serius dalam memperhatikan dampak lingkungan
akibat aktivitasnya. Hal ini seiring bertambah buruknya kualitas lingkungan baik itu udara, air, tanah,
dan sebagainya. LCA merupakan sebuah metode yang tepat untuk mengetahui seberapa besar
dampak lingkungan yang disebabkan pada tahap daur hidup mulai dari pengambilan material sampai
dengan produk itu selesai digunakan oleh konsumen. Upaya untuk mencegah dan mengurangi
timbulnya limbah, dimulai sejak pemilihan bahan, teknologi proses, penggunaan material dan energi,
serta pemanfaatan produk samping pada suatu sistem produksi. Minimalisasi limbah dapat dilakukan
dengan cara reduce, reuse, recycle, dan recovery.
Reduce merupakan upaya untuk mengurangi pemakaian atau penggunaan bahan baku seefisien
mungkin di dalam suatu proses produksi, serta memperhatikan agar limbah yang terbuang menjadi
sedikit. Reuse merupakan upaya penggunaan limbah untuk digunakan kembali tanpa mengalami
proses pengolahan atau perubahan bentuk. Reuse dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses
produksi yang bersangkutan. Recycle merupakan upaya pemanfaatan limbah dengan cara proses daur
ulang melalui pengolahan fisik atau kimia, baik untuk menghasilkan produk yang sama maupun
produk yang berlainan. Daur ulang dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses produksi yang
bersangkutan. Recovery adalah upaya pemanfaatan limbah dengan jalan memproses untuk
memperoleh kembali materi atau energi yang terkandung di dalamnya.
Dalam melakukan pengolahan data pada metode LCA dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. Menghitung input dan output dari setiap unit proses
2. Analisa dampak lingkungan yang meliputi: klasifikasi, karakterisasi, normalisasi, pengelompokan
atau pembobotan
3. Identifikasi input dan output yang mengakibatkan dampak-dampak lingkungan pada kategori yang
sudah ditetapkan dalam LCA
4. Analisis semua kategori dampak sesuai metoda LCA
5. Mencari kategori dampak yang paling signifikan terhadap lingkungan dari hasil perbandingan
diantara kategori dampak
6. Analisa perbandingan dampak yang dihasilkan pada setiap siklus hidup untuk mengidentifikasi
siklus hidup pada bagian mana yang paling signifikan terhadap lingkungan
7. Analisis dampak lingkungan dengan menggunakan beberapa skenario yang berbeda untuk melihat
perubahan dampaknya.

10
III. METODE PENELITIAN

A. TAHAPAN PENELITIAN

Tahap penelitian yang dilakukan terdiri dari studi pustaka, observasi lapang, wawancara, serta
pengolahan data. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder
yang dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Tahap-tahap dalam melakukan analisis dampak
lingkungan dengan menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA) terdiri atas 4 fase utama, yaitu
definisi tujuan dan ruang lingkup (goal and scope definition), menginventarisasi input dan output (life
cycle inventory), perkiraan dampak lingkungan dari semua input dan output (life cycle assessment),
dan interpretasi hasil yang disebut improvement analysis (Mattson dan Sonesson 2003).
Goal and scope definition merupakan proses pertama dalam LCA yang berfungsi untuk
menentukan ruang lingkup dan batasan sistem yang akan dikaji. Life cycle inventory merupakan satu
set data dan perhitungan aliran bahan dan energi yang mengkuantifikasikan input dan output dari daur
hidup suatu produk. Dalam penelitian ini, data yang digunakan berasal dari data sekunder berupa data
kebutuhan energi, bahan baku, dan jumlah limbah yang dihasilkan. Diagram alir penelitian mengenai
LCA produksi gula tebu dapat dilihat pada Gambar 3.

OBSERVASI STUDI PUSTAKA WAWANCARA

Industri Gula PT PG Tebu, Proses Produksi Gula, Ahli Proses Produksi


Rajawali II Unit PG Energi, Limbah, LCA Gula dan LCA
Subang

KAJIAN

Penggunaan Bahan Baku, Energi, dan Analisis Dampak Lingkungan

PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT)

Gambar 3. Diagram alir metode penelitian penilaian daur hidup (Life Cycle Assessment) gula

Data primer merupakan data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan orang yang
ahli di bidang proses pengolahan tebu menjadi gula dan LCA, serta observasi lapang di PT PG
Rajawali II Unit PG Subang, sedangkan data sekunder berupa data penggunaan bahan tambahan,
energi, dan peralatan di PG Subang pada tiap tahapan proses produksi, serta deskripsi mengenai
proses pengolahan tebu menjadi gula dan dampak terhadap lingkungan.

11
B. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder yang telah
didapatkan dari pihak-pihak terkait, buku-buku acuan, jurnal, dan literatur lainnya. Selain itu, studi
pustaka juga dilakukan untuk menunjang atau memenuhi data yang kurang dari observasi lapangan.
Studi pustaka pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permodelan LCA yang biasa dilakukan
serta mengetahui dampak lingkungan yang dapat diakibatkan pada proses produksi gula.

2. Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi serta mempelajari siklus hidup dari
pabrik gula di PT PG Rajawali II Unit PG Subang untuk mendapatkan data primer.

3. Kuesioner

Tujuan pembuatan kuesioner adalah mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder
yang dibutuhkan dalam menganalisis kebutuhan bahan baku dan energi. Kuesioner yang dibuat pada
penelitian ini berisi tentang informasi mengenai kebutuhan bahan baku, tambahan, energi, serta
penanganan limbah pada industri gula. Kuesioner data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

4. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang ahli di bidang proses produksi gula tebu.
Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder
yang dibutuhkan dalam melakukan LCA pada industri gula di PT PG Rajawali II Unit PG Subang.

C. PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYLE ASSESSMENT)

Metode LCA yang digunakan adalah prosedur LCA menurut ISO 14040 yang terdiri atas
empat fase, yaitu penentuan tujuan dan ruang lingkup, analisis persediaan, analisis dampak, dan
interpretasi. Tujuan dan ruang lingkup yang telah ditetapkan dalam penelitian ini menjadi dasar
dalam penggunaan LCA. Bagian-bagian yang dikaji dalam penelitian ini adalah penggunaan bahan
dan energi selama tahapan proses serta dampak lingkungan yang terjadi akibat proses produksi gula.

1. Penggunaan Bahan

Penggunaan bahan-bahan selama proses produksi gula dikaji menggunakan analisis inventori
sesuai dengan metode LCA. Dampak yang ditimbulkan selama kegiatan berlangsung dianalisis
menggunakan analisis dampak.

12
2. Penggunaan Energi

Energi yang digunakan selama proses produksi berasal dari tenaga uap, listrik, dan bahan
bakar. Metode LCA yang digunakan untuk mengetahui besar energi yang dibutuhkan selama proses
produksi gula adalah dengan menggunakan analisis inventori. Dampak yang ditimbulkan dianalisis
menggunakan analisis dampak.

3. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan yang dianalisis adalah dampak dari limbah padat, cair, B3, dan udara yang
dilepaskan selama proses produksi gula berlangsung. Dampak lingkungan yang ditimbulkan
dianalisis secara kualitatif menggunakan analisis dampak pada metode LCA. Penelitian dengan
metode LCA di pabrik gula sebelumnya sudah pernah dilakukan, hanya saja ruang lingkup yang dikaji
berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosmeika et al. (2009), dilakukan pengkajian daur
hidup ampas tebu di Pabrik Gula Maduksimo Yogyakarta menggunakan metode LCA. Metode
penelitian yang digunakan terdiri dari empat komponen, yaitu: mendefinisikan tujuan dan ruang
lingkup kegiatan, analisis inventarisasi, analisis dampak, dan mengkaji perbaikan (interpretasi). Pada
penelitian tersebut ditentukan batasan permasalahan, antara lain: 1) proses kegiatan yang dilakukan
hanya terbatas pada satu pabrik gula tebu, 2) Life Cycle Assessment pada industri pengolahan tebu
hanya dibatasi sampai pada ampas tebu sebagai hasil samping dari stasiun gilingan dan
pemanfaatannya untuk bahan bakar boiler, 3) analisis emisi dibatasi hanya pada emisi udara (gas)
yang dihasilkan dari cerobong asap boiler (tanpa menganalisis emisi padat dan cair) dan parameter
yang dianalisis dibatasi hanya pada emisi CO2, NO2, dan SO2, 4) analisis dampak dibatasi hanya
sampai pada tahapan karakterisasi untuk potensi terjadinya efek rumah kaca, acidification, dan
eutrophication.
Selain itu, penelitian LCA pada pabrik gula juga dilakukan oleh Renouv dan Wegener (2007)
dengan melakukan LCA pada produksi dan pengolahan tebu di Australia. Metode LCA yang
digunakan meliputi: ruang lingkup kegiatan, analisis inventori, analisis dampak, dan evaluasi hasil
(interpretasi). Ruang lingkup pada penelitian tersebut mulai dari budi daya tebu hingga pengolahan
tebu menjadi gula. Analisis dampak lingkungan yang dilakukan meliputi: penggunaan energi,
eutrofikasi, penggunaan air, dan emisi gas rumah kaca. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan
analisis dampak yang ditimbulkan dari perbandingan antara tebu dengan tanaman penghasil gula yang
lain, seperti bit dan jagung.

13
IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

A. SEJARAH PERUSAHAAN

Areal PT PG Rajawali II Unit PG Subang pada tahun 1812-1833 pada awalnya merupakan
areal tanaman karet milik swasta asing (Inggris) yang kemudian pada tahun 1834-1957 dikuasai
perusahaan swasta asing (Belanda) bernama “Pamanoekan and Tjiasem Land”. Pada tahun 1958-
1967 dikuasai Perusahaaan Perkebunan Negara (PPN) dengan UU No. 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dan pada tahun 1968 menjadi PTP XXX dengan
PP No. 14 Tahun 1968. Berdasarkan instruksi Menteri Pertanian No.13/INS/UM/1979 dilakukan
konversi lahan dari tanaman karet ke tanaman tebu dengan mengadakan uji coba penanaman tebu
bersama PPIG. Penanaman tebu pertama seluas 800 ha dan digiling di PTP XIV, PG Tersana Baru.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.681/MENTERI.X/1978 tanggal 14 Oktober 1978, pengelolaan
PG Subang sepenuhnya diserahkan ke PTP XIV yang meliputi kebun Pasir Bungur, Pasir Muncang
dan Manyingsal.
Pabrik Gula Subang (Gambar 4) dibangun mulai tahun 1981 berdasarkan SK Menteri Pertanian
No.667/KTPS/8/1981 dan surat Dirjen Moneter Departemen Keuangan No. 2892/MD/1982 dengan
kontraktor Heavy Mechanical Complex (HMC) Pakistan. Pada tahun 1984 pembangunan fisik pabrik
dengan fasilitasnya telah selesai dilaksanakan. Penggilingan pertama dimulai tanggal 3 Juli 1984 dan
berakhir tanggal 18 Oktober 1984.

Gambar 4. Pabrik Gula Subang

Pada tahun 1985 dilaksanakan penyerahan pabrik gula subang dari pihak kontraktor ke PTP
XIV. Pada tahun 1989, pengelolaan PTP XIV berpindah dari Departemen Pertanian ke Departemen
Keuangan. Berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/013/1988 dilakukan pengalihan
manajemen PTP XIV kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia. Pada tanggal 30 Desember 1988
pengelolaan PG Subang dilaksanakan oleh PT PG Rajawali II yang merupakan salah satu unit
perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI).

14
B. VISI DAN MISI PERUSAHAAN

Visi : Menjadi unit usaha agroindustri berbasis tebu yang handal (reliable) di lingkungan
PT RNI
Misi : Menjadi perusahaan yang mampu tumbuh dan berkembang dengan kinerja yang sehat,
siap menghadapi kompetensi pasar bebas dan mampu memenuhi harapan stake
holders

C. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN

Pabrik gula Subang terletak di desa Pasir Bungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang,
Jawa Barat dengan jarak sekitar 22 km ke arah utara kota Subang, 25 km dari kota Subang ke arah
barat dan 12 km ke arah selatan Kecamatan Sukamandi. Secara geografis kedudukan PG Subang dan
areal perkebunannya terletak antara 107o 41’ 61’’ BT sampai 107o 41’ 18’’ BT dan 6o 24’ 46’’ LS
sampai 6o 24’48’’LS.
PT PG Rajawali II unit PG Subang memiliki luas areal Hak Guna Usaha sebesar 5.669,4 ha.
Untuk tanaman tebu 5.275 ha sedangkan untuk pabrik gula, jalan dan perumahan sekitar 405 ha.
Areal perkebunan tebu PG Subang terbagi dalam tiga rayon. Rayon 1 meliputi wilayah Pasir Bungur,
Cihambulu dan Kalijati dengan luas 1.413,34 ha. Rayon 2 meliputi wilayah Pasir Muncang dengan
luas 2.879,19 ha, sedangkan Rayon 3 meliputi wilayah Manyingsal dengan luas 1.249,31 ha. Tiap
kebun dibagi menjadi petak-petak berukuran 4 ha kecuali petak pinggir. Masing-masing petak
dipisahkan oleh jalan kebun.
PG Subang mempunyai lahan dengan jenis tanah latosol merah, alluvial kelabu, alluvial coklat
kelabu, podsolik plintik, lateritik air tanah, glei humus rendah, hidromorf kelabu, dan lateritik. Dari
jenis yang ada sebagian besar jenis tanah di PG Subang adalah jenis tanah latosol dan podzolik merah
dengan struktur porus. Suhu udara di PG Subang berkisar antara 22–31,4 oC, kelembaban nisbi adalah
81,2 % dengan curah hujan 1.200 – 2.000 Nm/tahun. Jenis tanah per rayon dan kriterianya dapat
dilihat pada Tabel 3 .

Tabel 3. Jenis tanah di PG Subang

No. Jenis Tanah Kriteria Rayon


1. Latosol a. pH tanah 4,5 – 6,5 Pasir Bungur dan Pasir
b. Drainase baik Muncang
c. Kesuburan rendah
d. Permeabilitas tinggi
2. Podzolik a. pH tanah 4,5 – 6,5 Manyingsal
b. Kesuburan tanah rendah
c. Permeabilitas rendah
Sumber : Data PG Subang (2011)

Keadaan topografi areal PG Subang berupa daerah datar hingga bergelombang dengan
kemiringan 3 - 8 % dan ketinggian rata-rata 33 m di atas permukaan laut untuk wilayah Pasir Bungur
dan Pasir Muncang, sedangkan untuk wilayah Manyingsal memiliki kemiringan 8 - 15 % dengan
ketinggian rata-rata 45 m di atas permukaan laut.

15
D. STRUKTUR ORGANISASI

PT PG Rajawali II unit PG Subang dipimpin oleh seorang General Manager yang di dalam
pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Engineering Manager, Processing Manager, Administration and
Financial Manager, Plantation Manager, dan Manager Sumber Daya Manusia dan Umum. Struktur
organisasi PT PG Rajawali II unit PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 4.

E. KETENAGAKERJAAN

Status karyawan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang dibedakan berdasarkan sifat hubungan


kerja dengan perusahaan menjadi karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. Karyawan tetap dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karyawan bulanan dan karyawan harian, sedangkan karyawan
tidak tetap terdiri dari karyawan kampanye dan musiman. Karyawan kampanye adalah karyawan
yang berhubungan langsung dengan jalannya proses produksi, sedangkan karyawan musiman dapat
dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yaitu karyawan musiman tebang yang bertugas dari mulainya
tebu ditebang sampai diangkut dan ditimbang. Karyawan musiman tanaman yang bertugas dari
pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tebu sampai siap ditebang, dan karyawan musiman
lain-lain yaitu karyawan yang bekerja di sekitar emplasemen namun tidak berhubungan langsung
dengan proses penggilingan tebu, seperti tenaga administrasi gudang.
Selain memperoleh upah (harian/bulanan) karyawan juga menerima tunjangan-tunjangan baik
untuk karyawan tetap maupun untuk karyawan tidak tetap. Karyawan tetap bulanan mendapat
tunjangan dari perusahaan berupa rumah dinas, jaminan kesehatan, asuransi tenaga kerja, sarana
olahraga dan kesenian, kendaraan bermotor, pendidikan, cuti kerja, jaminan hari tua, serta hak-hak
lain yang diatur dalam peraturan perusahaan. Karyawan tetap harian tidak mendapatkan tunjangan
perumahan. Karyawan kampanye mendapatkan pasokan giling, jaminan kesehatan, jaminan hari tua,
jaminan kecelakaan kerja, dan untuk karyawan musiman tebangan dan karyawan musiman lain-lain
hanya mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Jam kerja yang diberlakukan di PG Subang bagi karyawan terdiri dari jam kerja harian dan
shift. Jam kerja harian dilakukan pada luar masa giling atau pada masa perbaikan dan pemeliharaan.
Jam kerja shift diberlakukan selama masa giling dengan pertukaran shift dilakukan setiap tiga kali
sehari. Dalam satu hari terdapat tiga shift dengan jam kerja selama 8 jam untuk masing-masing shift.
Untuk meningkatkan keterampilan setiap staf dan karyawan, PG Subang mengadakan kerjasama
dengan Depnaker (Departemen Tenaga Kerja), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), dan Dewan
Gula Indonesia (DGI). Kerja sama yang dilakukan adalah dengan mengadakan pelatihan mengenai
keselamatan dan keterampilan kerja, selain itu juga dilakukan pelatihan kerja di lokasi pabrik. Data
tenaga kerja tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Data tenaga kerja PG Subang tahun 2011


Status tenaga kerja Jumlah tenaga kerja (orang)
Karyawan staff ( Gol. IX – XVI) 43
Karyawan KNS (Gol. I- VIII) 261
PKWT luar pabrik 341
PKWT dalam pabrik 285
Harian borong 0
Honorair 2
MPP 0
Total 932
Sumber : Data PG Subang

16
F. PROSES PRODUKSI GULA

Pabrik gula adalah pabrik yang mengelola gula (sukrosa) dan gula reduksi (glukosa dan
fruktosa) yang terkandung dalam tebu. Sifat sukrosa adalah tidak tahan asam, bila sukrosa pada
kondisi asam maka akan rusak karena adanya inversi. Hasil kerusakan gula (sukrosa) adalah gula
reduksi yaitu glukosa dan fruktosa. Sifat gula reduksi tidak tahan terhadap basa akan tereduksi
menjadi asam-asam, dan asam-asam ini akan memicu kerusakan pada sukrosa. Kerusakan inversi
sukrosa dan destruksi dari monosakarida akan lebih besar pada kondisi suhu yang tinggi dan waktu
yang lama. Reaksi pada kerusakan gula bersifat irreversible (searah), sehingga sukrosa yang sudah
menjadi gula reduksi tidak bisa kembali lagi menjadi bahan semula (sukrosa). Untuk itu perlu
dikendalikan melalui 3 variabel, yaitu pH stabil, suhu optimal, dan waktu yang singkat.
Proses produksi gula dari tebu pada hakekatnya hanyalah memisahkan gula melalui
pemerahan, penyaringan, penguapan, pemutaran, dimana yang dipisahkan adalah air, kotoran, dan zat
bukan gula. Kelemahan pengelolaan gula secara kimia adalah berubah-ubahnya kandungan sukrosa
selama proses akibat suhu, pH, waktu dan aktivitas mikroba. Reaksi perubahan tidak dapat dibolak-
balik sehingga sekali tereduksi tidak dapat kembali, dan yang dapat terkristalkan hanyalah sukrosa
(Soebekti 2001). Proses produki gula di PG Subang dilakukan melalui beberapa proses, yaitu : proses
persiapan, proses ekstraksi nira, proses pemurnian, proses penguapan, proses kristalisasi, proses
pendinginan, proses pemisahan gula, dan proses penyelesaian.

1. Proses Persiapan

Tebu yang terdapat di lahan sebelum diolah menjadi gula, terlebih dahulu ditebang dan dibawa
ke stasiun persiapan. Stasiun persiapan terdiri dari daerah ketika tebu masuk hingga tebu sebelum
masuk ke stasiun gilingan. Komponen yang terdapat di stasiun persiapan meliputi : meja tebu, tipper
(derek feeding), hillo (hidrolik feeding), cane cutter (pisau pemotong tebu), dan unigrator, serta
dilengkapi dengan penggerak-penggeraknya yaitu cane carrier dan cane elevator. Tebu yang masuk
ke areal pabrik terlebih dahulu ditimbang pada jembatan timbang. Timbangan yang digunakan ada
dua jenis yaitu timbangan bruto dan timbangan tarra. Fungsi timbangan bruto adalah untuk
mengetahui berat bruto yang terdiri dari berat truk atau trailler dan berat tebu. Setelah melewati
timbangan bruto, angkutan tebu kemudian masuk ke cane yard. Setelah tebu dibongkar di cane yard
kemudian truk atau trailler ditimbang kembali ke timbangan tarra. Fungsi timbangan tarra adalah
untuk mengetahui berat tarra yaitu berat truk atau trailer yang kosong tanpa tebu. Hasil selisih dari
timbangan bruto dan timbangan tarra adalah bobot tebu yang sebenarnya (netto).
Cane yard di Pabrik Gula Subang merupakan tempat pembongkaran tebu dari kebun, tempat
penyediaan tebu yang akan digiling dan tempat pemasukan (feeding) tebu ke dalam pabrik. Luas cane
yard PG Subang 2.230 ha yang terbagi menjadi 8 petak. Petak I – IV terletak di sebelah Timur cane
carrier dan petak V – VIII terletak di sebelah barat cane carrier. Kapasitas tampung cane yard 5.600
TCD, padahal untuk kapasitas pabrik 2.800 TCD yang ditampung di cane yard hanya 1.113,2 ton
sehingga dengan luas yang tersedia sangat cukup bahkan berlebih untuk menampung tebu. Atas dasar
pertimbangan itu, dan juga karena cane table berada di sebelah timur (petak I – IV ) maka cane yard
yang digunakan adalah petak I – IV.
Tebu yang diangkut oleh truk setelah memasuki cane yard akan dibongkar menggunakan sling
(alat pengait dari kawat) yang terdapat di pinggir cane yard. Jika alat sling sedang digunakan maka
truk yang mengangkut tebu dialihkan menuju alat hidrolik yang disebut truck tipper. Tebu yang
dibongkar dengan menggunakan sling akan diatur kembali penyimpanannya di cane yard dengan

17
menggunakan cane stacker yang kemudian akan dimasukkan ke cane table, sedangkan tebu yang
dibongkar menggunakan truck tipper langsung masuk ke side carrier yang fungsinya sama dengan
cane table yang dilengkapi dengan rantai.
Tebu yang diangkut oleh trailler tidak dibongkar di cane yard melainkan langsung dimasukkan
ke cane table dengan menggunakan hillo. Jumlah hillo yang digunakan ada dua buah yaitu hillo A
dan hillo B. Hillo A digunakan pada saat pabrik sedang melakukan proses giling,
sedangkan hillo B digunakan saat proses giling tidak berjalan. Tebu yang dibongkar menggunakan
hillo A langsung diletakkan di cane table, sedangkan tebu yang dibongkar menggunakan hillo B tidak
langsung dimasukkan ke cane table tetapi ditampung dulu di cane yard dan kemudian akan diatur
peletakkannya di cane yard menggunakan cane stacker.
Tebu yang telah disusun di cane yard kemudian diproses di stasiun gilingan. Dari cane table,
tebu dimasukkan ke dalam cane carrier. Sebelum tebu digiling, tebu dicacah menggunakan cane
cutter yang akan memotong tebu menjadi potongan tebu, kemudian tebu masuk ke unigrator yang
akan membuat potongan tebu menjadi serabut. Cara kerja cane cutter dan unigrator berbeda, pada
cane cutter, tebu yang masuk dipotong-potong menjadi serabut kasar, sedangkan pada unigrator, tebu
hasil cacahan dihantam-hantamkan dengan menggunakan hammer ke dinding unigrator sehingga
serabut tebu yang dihasilkan menjadi lebih halus.
Tebu yang masuk ke cane yard akan langsung digiling pada hari itu juga dengan sistem FIFO
(First In First Out), tebu yang ditebang di awal akan digiling di awal pula. Sistem ini tidak digunakan
pada tebu bakaran, tebu bakaran yang masuk ke cane yard akan langsung digiling tanpa menunggu
antrian untuk mengurangi resiko kehilangan rendemen dalam jumlah besar. Proses memasukkan tebu
bakaran ke cane table juga harus dicampur dengan tebu non bakaran agar tidak menurunkan
rendemen. Pada setiap akhir shift dilakukan taksasi tebu di cane yard dengan metode penghitungan
volume tebu yang tersisa. Berat tebu taksasi diperoleh dengan mengalikan volume dengan bulk
density tebu sebesar 2,5 m3/ton.
Manfaat dari adanya taksasi sisa tebu diantaranya :
1. untuk menentukan perencanaan sasaran berapa tebu yang harus digiling
2. untuk mengetahui apakah tebu cukup
3. sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan bagi Chemiker jaga
4. sebagai bahan pertimbangan untuk rapat tebangan menentukan berapa tebu yang akan ditebang.
Tebu sisa pagi pukul 06.00 disarankan sekitar 250 ton, sehingga proses giling bisa berlanjut
karena pukul 08.00 truck dan trailer dari kebun sudah berdatangan. Untuk membedakan tebu sisa
pagi dengan yang baru datang ditancapkan bendera dengan ketentuan sebagai berikut :
Bendera Hijau : tebu hari ke-1
Bendera Kuning : tebu hari ke-2
Bendera Merah : tebu hari ke-3
Bendera Hitam : tebu lebih dari 3 hari
Setelah menghitung berat tebu taksasi, dilakukan analisa pendahuluan yaitu menghitung pol
tebu, brix tebu, kotoran pada tebu untuk menghitung potensi rendemen dan efisiensi sehingga dapat
memprediksi besarnya perolehan hasil gula yang diproduksi. Analisa pendahuluan yang dilakukan
menghasilkan HPG (Harga Pemerahan Gula) sebagai efisiensi gilingan dan BHR (Boiling House
Recovery) sebagai efisiensi proses.

18
2. Proses Ekstraksi

Proses ekstraksi bertujuan untuk mengambil nira sebanyak-banyaknya yang berasal dari tebu
maupun ampas. PG Subang memiliki empat unit mesin gilingan yang tersusun secara seri, satu unit
mesin giling terdiri atas tiga buah roll yaitu roll depan, roll atas, dan roll belakang dengan arah putar
yang berbeda-beda ditambah feed roll untuk membantu mengarahkan tebu atau ampas yang akan
digiling oleh roll gilingan. Roll gilingan digerakkan dengan turbin uap dengan kecepatan dan tekanan
uap tiap unit gilingan diatur berbeda.
Pertama-tama tebu akan dibawa ke unit gilingan I. Hasil perahan gilingan I yaitu nira perahan
pertama (NPP) dan ampas gilingan I. Ampas dari gilingan I akan digiling kembali di gilingan II
dengan penambahan air imbibisi dari hasil perahan gilingan III. Ampas hasil gilingan II kemudian
akan ditambahkan air imbibisi yang berasal dari nira hasil perahan gilingan IV dan dibawa oleh
intermediate carrier (alat yang berfungsi untuk membawa ampas tebu antar gilingan) ke gilingan III
untuk diperah kembali. Nira hasil gilingan III kemudian disaring di cush-cush screen dan DSM screen
yang kemudian digunakan sebagai air imbibisi untuk campuran dengan ampas hasil gilingan I. Nira
hasil gilingan III akan dipompakan ke ampas gilingan I sebagai nira imbibisi. Ampas hasil gilingan
III sebelum masuk ke gilingan IV ditambahkan air imbibisi sebanyak 25 - 30 % dari berat tebu yang
digiling dengan suhu air imbibisi 60 – 70 oC. Nira yang dihasilkan dari gilingan IV akan ditambahkan
ke gilingan III sebagai air imbibisi sedangkan ampasnya dibawa oleh bagasse elevator untuk
dijadikan bahan bakar pada boiler. Hasil perahan unit gilingan II disebut nira perahan lanjut (NPL),
NPP dan NPL kemudian dicampur menjadi nira mentah (NM).
Nira mentah kemudian disaring dengan cush-cush screen untuk memisahkan nira dengan
ampas atau kotoran lain yang terbawa. Nira mentah yang telah disaring oleh cush-cush screen
kemudian dipompa untuk kembali disaring di DSM screen. Ukuran lubang-lubang saringan DSM
screen lebih kecil daripada cush-cush screen. Nira mentah yang telah disaring kemudian ditampung
di tangki penampung sebelum dipompa di stasiun pemurnian.

3. Proses Pemurnian

Proses pemurnian yang dilakukan oleh PG Subang adalah sulfitasi alkalis yang menggunakan
gas belerang. Tahapan proses pemurnian diawali dengan penimbangan nira mentah yang dihasilkan
dari proses gilingan. Nira ditimbang dengan menggunakan timbangan boulogne, yang mempunyai
kapasitas 3 ton nira mentah. Setiap nira mentah terukur 3 ton maka timbangan ini akan menjatuhkan
nira mentah tertimbang tersebut ke dalam bak penampungan yang tepat berada di bawah timbangan,
yang kemudian akan dipompa dan dialirkan untuk proses selanjutnya. Jika kadar fosfat (P2O5) dalam
nira mentah kurang dari 250 ppm, maka ditambahkan fosfat ke dalamnya untuk membantu proses
pengendapan. Nira mentah yang telah ditambahkan fosfat tersebut kemudian dipompa ke juice heater
I untuk dipanaskan dengan suhu 70 - 75 oC. Pemanasan ini bertujuan untuk memudahkan dan
mempercepat jalannya reaksi yang akan terjadi. Sebagai sumber panas digunakan uap sisa dari roll
gilingan, nira mentah akan mengalir dan bersirkulasi di dalam pipa-pipa tersebut sedangkan uap
dialirkan di antara pipa-pipa pemanas.
Dari juice heater I, nira dimasukkan ke tangki untuk proses defekasi dengan ditambahkan susu
kapur sampai mencapai pH 8,5. Proses pembuatan susu kapur menggunakan sebuah tombol putar
tempat membuat emulsi kapur dari kapur tohor dan air. Pemberian susu kapur dilakukan secara
otomatis melalui unit pH kontrol dan panjatah kapur. Tujuan penambahan susu kapur ini adalah untuk
membentuk inti endapan dan menaikkan pH sehingga dapat meminimalisir kerusakan nira karena

19
kondisi asam. Selain itu, lingkungan basa juga dapat mempermudah koloid-koloid yang terkandung
dalam nira untuk membentuk endapan-endapan.
Proses selanjutnya setelah defekasi adalah sulfitasi di sulfur tower. Pada proses sulfitasi ini
menggunakan gas sulfit (SO2) atau gas belerang dengan menghembuskan gas tersebut ke cairan nira
dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam tangki akan mengalami overflow. Gas
belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu
mencapai 200 oC. Proses pembuatan gas belerang terbagi menjadi dua cara, yaitu cara pertama
dengan membakar belerang langsung, sedangkan cara kedua yaitu dengan melelehkan belerang
tersebut. Gas belerang yang terbentuk akan bereaksi dengan kelebihan susu kapur membentuk CaSO4
yang juga merupakan inti endapan. Gas belerang juga menurunkan pH dari suasana basa kembali ke
suasana netral, karena jika nira tetap dalam suasana basa, nira akan berwarna coklat yang berdampak
pada hasil akhir gula yang kemerahan. Warna coklat ini terbentuk karena pada nira terdapat glukosa
yang akan rusak pada pH di atas 7,8.
Nira mentah tersulfitir dengan pH 6,8 – 7,2 kemudian dipompa untuk dipanaskan lagi pada
juice heater II sehingga mencapai suhu 100 oC. Tujuan pemanasan ini untuk mempercepat reaksi
pengendapan yang akan terjadi pada proses selanjutnya di door clarifier dan juga untuk membunuh
mikroorganisme. Nira dari juice heater II kemudian dipompa ke door clarifier melewati flash tank
yang sebelumya ditambahkan flokulan terlebih dahulu untuk membantu proses pengendapan nira.
Flash tank berguna untuk membuang gas-gas yang terbawa pada nira yang dapat menghambat proses
pengendapan, sedangkan door clarifier merupakan alat pengendap tipe kontinu. Pada proses
pengendapan ini ditambahkan flokulan sebanyak 3 ppm pada snow balling chamber untuk mengikat
koloid-koloid pada nira dan membentuk endapan. Tangki door clarifier yang digunakan bertipe
multiple tray berupa bejana silindris yang terbagi empat tingkatan dengan dasar miring.
Nira jernih hasil pengendapan akan dikeluarkan dari tiap-tiap tingkatan kemudian dialirkan ke
clear juice DSM screen untuk menyaring ampas halus yang masih tersisa dan kotoran yang terbawa
dari door clarifier. Nira jernih kemudian ditampung di clear juice tank. Clear juice (nira jernih) yang
ditampung di clear juice tank selanjutnya dipompa ke stasiun penguapan. Nira kotor hasil
pengendapan ditampung di tangki nira kotor, kemudian dipompa ke mud feed mixer dan dicampur
dengan ampas halus (bagacillo) yang berasal dari stasiun penggilingan.
Nira kotor yang telah dicampur ampas halus dialirkan ke penyaring untuk memisahkan nira
tersebut dengan kotorannya. Peralatan penyaringan yang digunakan adalah rotary vacuum filter
(RVF). RVF yang digunakan ada dua buah, RVF ini terdiri dari tromol yang dapat berputar pada as
horizontal. Drum diletakkan di atas bak nira kotor sehingga sebagian drum terendam pada nira kotor.
Drum terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bebas hampa, bagian hampa rendah, dan bagian hampa
tinggi. Pada rotary vacuum filter disemprotkan air panas bersuhu 70 oC sebanyak 2 % tebu untuk
membantu proses penyaringan nira kotor dari blotong. Pada RVF ini nira kotor menempel pada sisi
drum saat keadaan hampa tinggi, air panas ditambahkan pada saat hampa rendah dan hasil
penyaringan atau blotong dilepaskan dari drum saat kondisi bebas hampa. Selanjutnya nira hasil
penyaringan RVF ditampung di filtrat tank dan dimasukkan kembali sebagai nira tertimbang ke dalam
bak penampung nira mentah yang telah ditimbang, sedangkan kotoran yang tersaring yang biasa
disebut blotong digunakan sebagai pupuk tanaman tebu yang ditampung di tempat penampungan
blotong yang dibawa oleh truk khusus pembawa blotong.

20
4. Proses Penguapan

Stasiun penguapan bertujuan untuk menguapkan air yang masih terkandung dalam nira jernih
atau nira encer agar dapat menghasilkan nira dengan kepekatan mencapai 60 - 65 brix. Dalam proses
penguapan digunakan evaporator. Evaporator yang digunakan berbentuk silinder vertikal dengan
konstruksi antara evaporator satu dengan yang lainnya hampir sama. Pada proses penguapan hanya
evaporator I yang diberi pemanasan oleh uap panas. Uap panas yang digunakan untuk memanaskan
evaporator I berasal dari uap bekas (exhaust steam) dari stasiun gilingan. Stasiun penguapan di PG
Subang menggunakan empat unit evaporator dengan sistem penguapan empat tahap atau disebut
quadruple effect evaporation, maksudnya setiap 1 kg uap bisa menguapkan 4 kg air. PG Subang
memiliki lima buah evaporator yang disusun secara seri, tetapi yang dioperasikan hanya empat buah
dengan pemakaian secara bergantian apabila salah satunya harus dibersihkan. Pembersihan tangki
evaporator dilakukan sekitar lima hari sekali. Hal ini dilakukan untuk membersihkan kerak yang
menempel pada dinding evaporator ataupun pipa-pipa pemanas. Jika kerak atau kotoran ini tidak
dibersihkan maka akan dapat menghambat pindah panas dari pipa pemanas ke nira.
Nira jernih dari stasiun pemurnian dialirkan ke evaporator I. Nira yang masuk ke evaporator
mengalir turun melalui pipa-pipa pemanas membentuk climbing film sehingga uap nira dapat dengan
mudah dipisahkan dari cairan nira. Uap panas yang masuk ke dalam evaporator I akan keluar dalam
bentuk kondensat. Kondensat ini kemudian ditampung dan dialirkan untuk digunakan sebagai umpan
pada boiler. Dari evaporator I akan dihasilkan nira I, dan uap panas. Uap I akan digunakan sebagai
uap panas pada evaporator II. Nira dari evaporator I diuapkan kembali pada evaporator II. Hasil dari
evaporator II adalah nira II dan uap panas II. Nira dari evaporator II dipekatkan kembali di evaporator
III sedangkan uap II digunakan sebagai uap panas pada proses penguapan di evaporator III. Nira III
akan dipekatkan kembali pada evaporator IV. Uap panas yang dihasilkan di evaporator IV akan
dialirkan ke kondensor untuk dicairkan kembali dan menjadi air jatuhan. Selanjutnya air dari
kondensor dialirkan ke cooling tower untuk didinginkan dan digunakan kembali.
Di bagian tengah evaporator terdapat pipa yang berfungsi untuk terjadinya sirkulasi nira dan
tempat mengalirnya nira ke badan berikutnya. Nira akan bergerak turun melalui pipa. Ketinggian
permukaan nira di dalam evaporator diharapkan sekitar sepertiga dari tinggi pipa pemanas. Sirkulasi
nira dari satu badan penguapan ke badan penguapan lainnya terjadi karena adanya perbedaan tekanan
(driving force). Tekanan pada evaporator I sampai evaporator IV semakin kecil dan akhirnya vakum
pada bahan terakhir. Begitu juga dengan suhu, dari evaporator I ke evaporator IV juga semakin
menurun berdasarkan tekanan yang digunakan. Nira dari evaporator I hingga evaporator IV makin
kental karena ada vacuum sekitar 60 cmHg untuk menurunkan titik didih nira atau cairan. Nilai brix
nira sebelum masuk evaporator berkisar antara 12 – 14 brix. Nira hasil proses dari stasiun penguapan
berkisar antara 60 - 65 brix disebut nira kental. Nira kental masih berwarna gelap, maka perlu
dilakukan pemucatan pada proses pemurnian yang kedua atau sulfitasi 2. Tahap ini bertujuan untuk
mendapatkan warna gula yang putih bersih, proses pemucatan ini menggunakan gas belerang. Nira
kental tersulfitasi kemudian dipompa ke stasiun masakan (kristalisasi).

5. Proses Kristalisasi

Proses kristalisasi dilakukan di stasiun masakan, proses ini akan terus berlangsung sampai
kadar gula atau sukrosa dalam larutan nira menjadi rendah. Stasiun kristalisasi di PG Subang
menggunakan proses ACD. Pan masakan (alat untuk kristalisasi) yang digunakan di PG Subang ada 7
buah. Pan masakan 1,2,3, dan 4 digunakan untuk masakan A. Pan masakan 5 digunakan untuk

21
masakan C, sedangkan pan masakan 6 dan 7 digunakan untuk masakan D. Proses kristalisasi dimulai
dengan membuat semua pan masakan menjadi vakum (hampa) sekitar 60 cmHg, dengan begitu proses
kristalisasi dapat dilakukan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi hanya sekitar 60 oC sehingga tidak
akan merusak gula yang dihasilkan. Pan masakan dijalankan dengan tenaga uap bekas pakai (exhaust
steam) dari stasiun gilingan dengan suhu uap sekitar 100 - 120 oC. Uap panas dan uap larutan sukrosa
yang terbentuk dicairkan dalam kondensor dan menjadi air jatuhan.
Setelah pan masakan dalam keadaan vakum, cairan nira yang menjadi bahan pembuatan gula
ditarik ke pan masakan. Cairan nira dikentalkan sampai kejenuhan tertentu (70 - 74 brix). Gula dari
cairan nira tidak bisa berubah menjadi kristal tanpa penambahan bibit. Pada proses pengkristalan ini
akan menghasilkan magma, klare, dan stroop. Magma adalah gula kristal yang telah terbentuk yang
telah dicampur dengan air untuk menjalani proses selanjutnya pada pan berikutnya. Klare adalah
cairan nira yang belum terkristalkan, dan stroop sama dengan klare namun klare hanya terdapat pada
masakan D. Bibit gula FCS (Fine Crystal Seed) ditambahkan pada masakan D. Pada pan masakan D,
FCS dicampurkan dengan klare D dan stroop C akan menghasilkan tetes dan magma D1. Selanjutnya
gula D1 akan dikristalkan kembali pada putaran D2 yang akan dihasilkan gula D2 dan klare D. Tetes
merupakan hasil samping dari produksi gula. Klare D adalah cairan nira pada masakan D yang belum
terkristalkan tetapi masih dapat dikristalkan, oleh karena itu klare D kemudian dialirkan kembali ke
pan masakan D sedangkan magma D dialirkan ke pan C untuk dibentuk kristal yang lebih besar.
Pada pan masakan C, magma masakan D dicampurkan dengan stroop A dan menghasilkan
stroop C dan magma C. Stroop C dimasukkan ke pan masakan D untuk dicampurkan dengan FCS
dan klare D, sedangkan magma C dimasukkan ke pan masakan A. Di pan masakan A, magma C
dicampurkan dengan nira kental sehingga dihasilkan stroop A dan gula SHS. Stroop A dimasukkan
kembali ke pan masakan C untuk diubah menjadi magma C dengan bantuan magma D, sedangkan
gula SHS akan diproses menjadi gula produk.
Ukuran kristal yang dihasilkan masing-masing pan masakan berbeda. Ukuran kristal dari pan
masakan D sampai masakan A semakin besar ukurannya. Ukuran kristal D adalah 0,1 mm. Pada
masakan C adalah 0,3 mm, sedangkan pada masakan A adalah 0,9 – 1,1 mm. Lamanya waktu
pemasakan masing-masing pan berbeda. Pada masakan A membutuhkan waktu selama 2 - 3 jam,
pada masakan C membutuhkan selama 4 - 5 jam, dan pada masakan D membutuhkan waktu selama 6
-8 jam.

6. Proses Pendinginan

Gula yang keluar dari pan masakan masih dalam keadaan jenuh dan pada suhu yang relatif
tinggi yaitu sekitar 70 oC. Dari pan masakan, gula kemudian dialirkan ke dalam palung pendingin
untuk proses pendinginan. Proses pendinginan dapat mencapai suhu 50 oC bahkan di palung
pendingin masakan D, suhu bisa mencapai 38 – 48 oC. PG Subang memiliki 11 unit palung
pendingin. Empat unit palung pendingin untuk masakan A, satu unit palung pendingin untuk masakan
C, dan enam unit palung pendingin untuk masakan D. Pada palung pendingin masakan A dan C
proses pendinginan hanya dilakukan oleh udara, sedangkan pada palung pendingin untuk masakan D
selain dilakukan oleh udara juga dilakukan dengan bantuan air dingin. Palung pendingin masakan D
sebanyak enam unit disusun secara seri. Hasil masakan D sebelum ke palung pendingin 1, mengalir
secara berurutan sampai ke palung pendingin 6. Untuk hasil masakan A dan C tidak didinginkan
secara bertahap seperti hasil masakan D. Lama waktu pendinginan masakan A dan C hanya sekitar 2-
3 jam tetapi untuk masakan D proses pendinginan dapat memakan waktu hingga 24 jam.

22
Hasil masakan D sebelum masuk ke stasiun puteran untuk proses kristalisasi atau pemisahan
gula, terlebih dahulu dipanaskan kembali ke reheater sampai suhu 55 oC. Reheater yang digunakan
berbentuk peti yang di dalamnya terdapat pipa-pipa horizontal tempat saluran air panas untuk
memanaskan hasil masakan. Hal ini dilakukan untuk menurunkan viskositas hasil masakan D agar
proses pemisahan gula dari larutannya menjadi lebih mudah. Palung pendingin selain berfungsi untuk
mendinginkan gula juga dapat digunakan untuk menampung masakan sebelum diproses lebih lanjut.
Pada proses pendinginan masakan akhir, kristal yang terbentuk terus-menerus diaduk agar proses
kristalisasi menjadi lebih sempurna dan mencegah kristal menggumpal kembali.

7. Proses Pemisahan Gula

Proses pemisahan gula berfungsi untuk memisahkan antara larutan dengan kristal gula yang
dilakukan dengan cara menyaring. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kekuatan putar.
Mudah tidaknya pemisahan kristal dipengaruhi oleh kondisi kristal yang dihasilkan pada tahap
kristalisasi, viskositas hasil masakan, kekuatan putaran, tebal tipisnya lapisan gula dalam alat, dan
penyiraman. Proses pemisahan ini dilakukan dengan cara pemutaran (sentrifugasi) dengan
menggunakan alat yaitu sentrifuge. Pada sentrifuge selain dimasukkan larutan gula juga dimasukkan
air siraman sekitar 0,5 % dari larutan gula dengan suhu sekitar 80 oC kecuali untuk putaran D1, air
siraman yang ditambahkan adalah air dingin.
PG Subang menggunakan sistem putaran LGC (Low Grade Centrifugal) dan HGC (High
Grade Centrifugal). Alat puteran yang dimiliki PG Subang sebanyak 17 unit, 10 unit alat puteran
LGC, dan 7 unit alat puteran HGC. LGC yang digunakan untuk puteran D1 sebanyak 5 unit, puteran
D2 sebanyak 2 unit, dan puteran C sebanyak 3 unit. HGC yang digunakan untuk puteran A sebanyak
7 unit, 4 unit untuk putaran 1 dan 3 unit untuk putaran 2.
Cara kerja LGC menggunakan sistem kontinyu yaitu pengisian dan pemutaran dilakukan
secara bersamaan dan kecepatan putar yang digunakan sekitar 2000 rpm. Gula dan cairannya akan
terpisah dengan adanya gaya sentrifugal. Gula akan tertahan pada saringan dan cairannya akan
menembus lubang saringan. Stroop atau klare yang menembus saringan selanjutnya akan ditampung
di peti penampung, sedangkan kristal gula yang tertahan disaringan akan naik mengikuti kemiringan
saringan serta akan terlempar dari dinding saringan masuk ke ruang penampung kristal gula dan
menuju mixer melewati talang ulir. Cara kerja HGC menggunakan sistem diskontinu dan bekerja
secara otomatis. Kecepatan putaran HGC lebih lambat daripada LGC yaitu sekitar 1000 rpm. Waktu
siklus di HGC yaitu sekitar 3 menit untuk satu kali proses pemutaran.
Puteran A akan menghasilkan gula A dan stroop A. Stroop A dialirkan ke pan masakan C
sedangkan gula A dicampur dengan magma A untuk dibuat menjadi SHS. Puteran C akan
menghasilkan gula C dan stroop C. Gula C dicampur dengan air untuk membuat magma C dan
kemudian digunakan untuk bibit masakan A. Stroop C dialirkan ke pan masakan D. Puteran D1
digunakan untuk memutar hasil masakan D, puteran D1 ini akan menghasilkan gula D1 dan tetes.
Gula D1 dialirkan ke mixer untuk dibuat menjadi magma D1 kemudian dimasukkan ke puteran D2.
Hasil puteran D2 adalah gula D2 dan klare D. Gula D2 yang dihasilkan dicampurkan dengan air
untuk membuat magma D2 dan digunakan sebagai bibit masakan C. Klare D dipompa dan diproses
kembali ke masakan D bersama stroop C. Puteran SHS digunakan untuk memutar magma A untuk
menghasilkan gula SHS dan klare SHS. Klare SHS dipompa dan dimasukkan lagi ke masakan A
sedangkan gula SHS langsung dialirkan ke stasiun penyelesaian dengan menggunakan talang getar
(grasshopper).

23
8. Proses Penyelesaian

Proses penyelesaian meliputi pengeringan, penyaringan, pengemasan dan penyimpanan.


Tujuan dari proses penyelesaian adalah untuk menyelesaikan hasil dari stasiun puteran sehingga
menghasilkan gula produksi yang siap untuk dipasarkan. Selain itu stasiun penyelesaian juga
berfungsi untuk mengeringkan dan menurunkan suhu gula sampai 50 oC. Tujuan dari pengeringan
adalah untuk menghilangkan air yang masih menempel di sekitar kristal gula. Kecepatan pengeringan
akan tergantung pada lapisan atau ketebalan gula di dalam sugar dryer, ukuran kristal gula, kecepatan
udara, dan luas permukaan pengering.
Alat pengering gula yang digunakan oleh PG Subang adalah sugar dryer. Gula kristal yang
dihasikan dari stasiun puteran SHS dijatuhkan ke talang goyang yang kemudian akan dibawa oleh alat
sugar belt conveyor ke sugar dryer untuk dikeringkan sebelum dikemas. Di dalam sugar dryer, gula
dikeringkan dengan cara menghembuskan udara panas dengan suhu sekitar 80 oC ke kristal gula.
Udara panas tersebut dihembuskan menggunakan blower. Debu-debu gula tersebut kemudian
disalurkan ke dalam sugar dust dan ditambahkan air sehingga membentuk larutan gula. Larutan gula
ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki leburan untuk dilebur kembali bersama-sama dengan gula
basah dan gula kerikil. Hasil dari peleburan dipompa ke dalam masakan A untuk dikristalkan kembali
menjadi gula produk.
Gula yang sudah kering kemudian disaring untuk memisahkan gula yang sudah menjadi
produk dengan gula yang belum memenuhi persyaratan sebagai gula produk. Alat yang digunakan
untuk menyaring gula di PG Subang adalah vibrating screen. Pada vibrating screen terdapat dua
macam saringan yaitu saringan halus yang memiliki ukuran 30 mesh dan saringan kasar yang
memiliki ukuran 8 mesh. Gula halus akan lolos dari saringan halus tetapi gula produk dan gula kasar
akan tertahan. Pada saringan kasar, gula produk akan lolos sedangkan gula kasar akan tertinggal.
Setelah melewati saringan halus dan saringan kasar, gula produk akan disaring kembali dengan
menggunakan saringan yang terbuat dari logam bermagnet, sehingga kotoran halus yang tidak
tersaring pada penyaringan sebelumnya akan tertarik oleh magnet terutama kotoran yang berupa
logam. Gula produk kemudian langsung dibawa dengan menggunakan bucket elvevator dan sugar
belt conveyor ke tempat penyimpanan gula (sugar bin) untuk ditimbang, dikemas, dan disimpan
dalam gudang gula. Di PG Subang terdapat dua macam kemasan yaitu ukuran 50 kg dan 1 kg
(Gambar 5). Bahan kemasan untuk gula ukuran 50 kg adalah karung berbahan plastik jenis propilen
yang dilapisi oleh plastik jenis LDPE di dalamnya, sedangkan bahan kemasan untuk ukuran 1 kg
adalah plastik jenis polipropilen.

(a) (b)
Gambar 5. Kemasan Ragula 50 kg (a) dan 1 kg (b)

24
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. IDENTIFIKASI SIKLUS HIDUP GULA

Siklus hidup gula terjadi pada proses produksi gula di pabrik, yaitu mulai dari tebu digiling
hingga menjadi produk gula yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup gula melibatkan
komponen-komponen yang mempengaruhi proses terbentuknya gula. Dalam penelitian ini dilakukan
analisis terhadap penggunaan bahan tambahan dan energi secara kuantitatif dengan membandingkan
antara target RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi pada musim
giling tahun 2011 di PG Subang.

Boiler

Gambar 6. Siklus hidup gula di PG Subang

Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pada proses produksi gula di PG Subang menghasilkan
limbah maupun produk samping. Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus hidup gula di PG
Subang berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut dapat
dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat, ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler yang
akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan
blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari
proses produksi gula dapat berupa uap air hasil proses penguapan, dimana uap air tersebut akan
digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler, serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah
proses produksi akan diolah di IPAL sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu. Untuk
produk samping seperti molasses dimanfaatkan untuk spirtus dan pembuatan monosodium glutamate
(MSG).
Bahan baku utama yang digunakan PG Subang dalam menghasilkan gula berasal dari tanaman
tebu. Bagian tanaman (on farm) adalah tempat dibentuknya gula baik secara kualitas maupun secara
kuantitas. Penggunaan bahan baku dan tambahan pada kegiatan budi daya tebu sangat berpengaruh
terhadap rendemen dan produktivitas tebu yang dihasilkan. Pada prinsipnya untuk meningkatkan
rendemen dan produktivitas tebu dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit yang
sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang,
pengendalian hama, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan

25
menggunakan analisa kemasakan, penebangan tebu secara bersih, dan pengangkutan tebu secara
cepat. Pelaksanaan pengangkutan tebu yang telah ditebang harus sesegera mungkin karena jika tebu
yang telah ditebang dibiarkan di lahan bahkan sampai menginap maka akan terjadi penurunan
rendemen yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Perbandingan antara
data RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi musim giling tahun 2011
bagian tanaman dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Data perbandingan RKAP dan realisasi pada tahun 2011 bagian tanaman
Uraian Satuan RKAP Realisasi Persentase (%)
Luas Areal ha 5.401 5.016,47 92,88
Jumlah tebu yang dihasilkan ku 4.248.400 3.460.183,2 81,45
Produktivitas tebu ku/ha 787 690 87,67
Produk SHS ku 292.752,6 229.905 79,23
Rendemen % 6,87 6,69 97,38
Sumber : PG Subang (2011)

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produktivitas tebu yang mengakibatkan
penurunan persentase rendemen. Luas areal lahan yang rencananya akan ditebang seluas 5.401 ha,
pada realisasinya hanya seluas 5.016,47 ha yang ditebang, atau sekitar 92,88 % dari target
perencanaan. Selain itu rendemen juga mengalami penurunan dari perencanaan awal, yaitu dari 6,87
% menjadi 6,69 %, atau sekitar 97,38 % dari target. Dilihat dari segi kegiatan budi daya tebu, hal ini
dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya teknik budi daya yang kurang optimal sehingga
mempengaruhi kualitas tebu yang dihasilkan sehingga tebu tidak layak untuk ditebang, mutu bibit
bukan termasuk varietas unggul sehingga mempengaruhi kandungan gula yang terdapat pada tebu,
selain itu manajemen tebang angkut yang kurang optimal. Waktu penebangan tebu yang tepat adalah
saat pol tebu optimal yang dilakukan pada analisa pendahuluan, setelah diketahui pol tebu yang
optimal, sesegera mungkin tebu ditebang dan diangkut ke pabrik gula untuk digiling. Namun pada
kenyataannya tebu masih terlalu lama ditimbun di kebun maupun di cane yard sehingga
mengakibatkan kadar gula dalam tebu menurun karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi
penguraian sukrosa, jika tebu sudah tiba di cane yard sebaiknya langsung digiling pada hari yang
sama atau tidak boleh lebih dari 24 jam dari waktu kedatangan tebu, karena kadar gula dalam tebu
akan menurun jika lebih dari 24 jam dan kemungkinan tebu sudah mulai rusak sehingga lebih sukar
untuk diolah menjadi gula.
PG Subang memiliki kebun tebu yang tersebar di beberapa daerah, masing-masing daerah
dikelompokkan berdasarkan rayon dan radius (jarak antara kebun tebu dengan pabrik gula). Radius
dari PG Subang terdapat delapan radius, yaitu: radius 1 (1-5 km), radius 2 (6-10 km), radius 3 (11-14
km), radius 4 (15-20 km), radius 5 (21-40 km), radius 6 (41-50), radius 7 (51-60 km), dan radius 8
(61-70 km). Produktivitas masing-masing radius berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi
tanah, iklim, dan teknik budi daya yang dilakukan.

26
Gambar 7 . Produktivitas tebu rata-rata pada tiap radius tahun 2011

Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa tiap radius menghasilkan produktivitas yang berbeda.
Berdasarkan standar deviasi yang diperoleh, menujukkan bahwa radius 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 8
produktivitasnya tidak berbeda nyata, sedangkan pada radius 7 jika dibandingkan dengan radius
lainnya, produktivitas tebu tidak berbeda nyata. Pada radius 7 hanya satu wilayah yang dijadikan
kebun tebu, hal ini dapat disebabkan pengaruh kondisi tanah dan iklim yang kurang cocok untuk
ditanami tebu, selain itu dapat disebabkan karena kurangnya lahan untuk ditanami tebu.

Gambar 8. Rendemen gula rata-rata pada tiap bulan dalam masa giling (DMG) tahun 2011

Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa rendemen gula rata-rata pada bulan Mei dan Juni
dibandingkan dengan bulan Juli berbeda nyata, namun tidak berbeda nyata dengan rendemen gula
rata-rata di bulan Agustus, September, dan Oktober. Rendemen gula rata-rata pada bulan Juli
dibandingkan dengan Agustus, September, dan Oktober tidak berbeda nyata. Berdasarkan Gambar 8
dapat dilihat bahwa pada bulan Mei dan Juni rendemen gula yang dihasilkan masih rendah, namun
pada bulan Juli terjadi peningkatan rendemen gula. Pada bulan Juli menunjukkan kinerja produksi
gula terjadi peningkatan, banyaknya gula yang dihasilkan diimbangi dengan banyaknya tebu yang
digiling sehingga mempengaruhi besarnya rendemen yang dihasilkan.
Dilihat dari segi proses produksi gula di pabrik, penurunan rendemen yang terjadi dipengaruhi
oleh inefisiensi kinerja dalam produksi gula di pabrik. Proses produksi gula di pabrik melalui
beberapa tahapan proses diantaranya proses ekstraksi, pemurnian, penguapan, kristalisasi, putaran,
pengeringan, dan penyelesaian. Dalam tiap tahapan proses tersebut masih banyak terjadi inefisiensi,
hal ini dapat disebabkan karena kinerja mesin yang kurang optimal, serta sanitasi di sekitar area

27
stasiun yang kurang baik karena adanya mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas dan
kuantitas nira. Dengan terjadinya inefisiensi tersebut, mengakibatkan gula yang dihasilkan menjadi
lebih sedikit dari target yang sudah direncanakan di awal, sehingga rendemen yang dihasilkan menjadi
lebih kecil.
Siklus hidup gula di PG Subang dapat dilihat dari tebu digiling hingga menjadi produk gula
yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup tersebut, tebu hasil dari pemanenan dibawa ke pabrik
untuk digiling dan diambil niranya. Nira yang terdapat dalam tebu mengandung sukrosa yang
nantinya diproses menjadi gula. Setelah diperoleh nira kemudian dilakukan pemurnian agar menjadi
nira jernih dan terbebas dari kotoran maupun zat bukan gula lainnya dengan penambahan bahan
kimia, yaitu: belerang, kapur tohor, dan flokulan. Selanjutnya nira jernih diuapkan dan menghasilkan
nira yang lebih pekat dan kental. Nira kental kemudian dilanjutkan dengan proses kristalisasi, pada
intinya proses ini bertujuan untuk membentuk nira kental menjadi krital gula dengan menggunakan
evaporator agar air yang terkandung dalam nira diuapkan dan alat pan masakan dalam kondisi vakum.
Setelah menjadi kristal gula dilanjutkan dengan proses putaran untuk memisahkan larutan gula yang
masih terdapat pada kristal gula, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan, pengemasan, dan
penyimpanan di gudang gula. Gula yang dihasilkan oleh PG Subang adalah GKP (Gula Kristal Putih)
atau SHS (Super High Sugar) 1A yang dikemas dalam kemasan 50 kg dan 1 kg. Gula tersebut
kemudian dipasarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Siklus hidup gula berhenti hingga gula
dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak ada perlakuan reuse, recycle, maupun recovery dari gula
yang sudah dihasilkan.

B. INVENTARISASI BAHAN TAMBAHAN DAN ENERGI

Analisis inventori merupakan bagian dari komponen LCA yang meliputi input dan output
bahan baku, energi, limbah dan produk samping yang dihasilkan selama siklus daur hidup produk.
Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif yang diperoleh dari PG Subang berdasarkan
pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan. Data yang dimasukkan ke dalam data inventori ini
berisi data mengenai proses produksi gula di pabrik. Industri gula memiliki parameter atau indikator
efisiensi proses produksi terutama di bagian pabrikasi atau proses pengolahan tebu di pabrik.
Indikator efisiensi tersebut antara lain mill extraction (ME), boiling house recovery (BHR), overall
recovery (OR), pol tebu dan rendemen, yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Indikator efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun 2002-2004


Komponen Efisiensi pabrik gula (%) Efisiensi normal (%)
ME (Mill Extraction) 84 - 85 95
BHR (Boiling House Recovery) 70 - 80 90
OR (Overall Recovery) 59 - 79 85
Pol tebu 8 - 11 14
Rendemen 5 – 8,5 12
Sumber : P3GI (2001)

28
1. Penggunaan Bahan Tambahan pada Proses Produksi Gula

Proses produksi gula di PG Subang dilakukan pada beberapa stasiun, yaitu stasiun gilingan,
stasiun pemurnian, stasiun penguapan, dan stasiun kristalisasi. Kinerja pabrik gula dapat dilihat dari
persentase rendemen yang dihasilkan. Data perolehan rendemen di PG Subang pada lima periode
terakhir (2007-2011) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Data rendemen gula di PG Subang tahun 2007 – 2011

Tahun
Uraian Satuan
2007 2008 2009 2010 2011
Tebu digiling ton 298.027,63 311.849,66 296.552,03 343.725,17 343.646,88
Gula SHS ton 22.933,7 26.083,3 19.833,8 19.592,3 22.990,50
Rendemen % 7,70 8,36 6,69 5,70 6,69
Sumber : PG Subang (2011)

Berdasarkan Tabel 7 di atas, diketahui bahwa pada musim giling tahun 2008 rendemen yang
dihasilkan sangat tinggi yaitu 8,36 %, sedangkan rendemen terendah yaitu 5,70 % pada musim giling
tahun 2010. Hal ini dapat dipengaruhi oleh banyaknya tebu giling, dimana hal ini berkaitan dengan
sistem budi daya dan pemanenan tebu, selain itu dipengaruhi dari gula SHS yang dihasilkan dimana
produksi gula SHS tersebut dipengaruhi oleh kinerja pada bagian pabrikasi di tiap stasiun pengolahan.
Oleh karena itu, untuk mencapai rendemen yang tinggi perlu dilakukan optimalisasi pada proses
produksi gula. Namun berdasarkan Tabel 7, menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja produksi
pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 2010, hal ini dapat dilihat berdasarkan
jumlah tebu yang digiling terjadi penurunan dari tahun 2010, namun jumlah gula SHS yang diperoleh
lebih besar sehingga rendemen menjadi meningkat dari 5,70 % menjadi 6,69 %. Dengan
perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh
kegiatan budi daya tanaman tebu yang menghasilkan tebu untuk digiling, juga dipengaruhi oleh
kinerja proses pengolahan tebu di pabrik dalam menghasilkan gula SHS. Berikut ini akan dibahas
mengenai tiap stasiun dalam pabrik yang ada di PG Subang. Neraca bahan secara umum pada proses
produksi gula di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 7.

a. Stasiun gilingan

Tebu yang sudah dicacah dengan menggunakan cane cutter dan unigrator menghasilkan sabut
tebu yang akan diperah menggunakan mesin penggiling di stasiun gilingan. Hasil perahan sabut tebu
akan menghasilkan nira dan sisanya adalah ampas. Dalam stasiun gilingan ditambahkan air imbibisi
yang berfungsi agar proses ekstraksi nira dari tebu berlangsung secara optimal sehingga dapat
mengekstrak gula dari tebu sebanyak-banyaknya. Neraca bahan yang terdapat di stasiun gilingan
dapat dilihat pada Tabel 8.
Kinerja gilingan sangat mempengaruhi output yang dihasilkan proses penggilingan. Kendala
yang sering terjadi di stasiun gilingan adalah mesin tidak beroperasi dikarenakan rusak sehingga
mengakibatkan tebu mengalami penundaan penggilingan. Selain itu, dalam proses penggilingan
seringkali nira mentah yang dihasilkan tercecer sehingga mengakibatkan loss. Produk samping yang
dihasilkan dari proses penggilingan adalah ampas tebu (bagasse). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan

29
pada musim giling tahun 2011 di PG Subang sebesar 31,81 % dari jumlah tebu yang digiling. Ampas
tebu dimanfaatkan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler).

Tabel 8. Neraca bahan di stasiun gilingan tahun 2011

Data Satuan Input Output


Tebu digiling ton 343.646,88
Air imbibisi ton 85.362,30
Ampas ton 109.303,6
Nira mentah ton 316.215,33
Loss ton 3.490,25
Loss % 1,01
Sumber : PG Subang (2011)

Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan terjadinya loss sebesar 1,01 %, hal ini dipengaruhi oleh
kinerja gilingan. Kinerja di stasiun gilingan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: mutu tebu,
alat kerja pendahuluan, setelan gilingan, tekanan hidrolik, putaran rol gilingan, air imbibisi, umpan
tebu saat masuk gilingan, dan operator. Mutu tebu yang layak giling adalah pol tebu > 10%, HK
(Hasil bagi Kemurnian) nira mentah 74 - 84 %, kotoran tebu max 5%, dan kadar sabut 13 - 16 %.
Alat kerja pendahuluan seperti cane cutter dan unigrator mempengaruhi kinerja gilingan yang diukur
berdasarkan nilai Preparation Index (PI) dengan ketentuan nilai PI untuk cane cutter 65 - 70 %,
unigrator 80 - 85 %, dan hammer 86 - 95 %, semakin tinggi PI maka sel yang terbuka semakin
banyak dan akan diperoleh ekstraksi yang optimal. Setelan gilingan sangat mempengaruhi hasil
ekstraksi. Penyetelan gilingan bertujuan untuk mengatur kedudukan rol-rol dan ampas sehingga
pemadatan sabut optimal dan memberikan jalan untuk keluarnya nira yang telah terperah. Setelan
gilingan yang memadai akan menghasilkan pemerahan yang optimal. Faktor yang mempengaruhi
setelan gilingan diantaranya kapasitas giling, sabut % tebu, ukuran rol, jumlah rol, dan putaran rol
(Subekti 2010).
Tekanan hidrolik akan berpengaruh pada proses ekstraksi, dimana semakin besar tekanan maka
semakin besar ektraksi. Namun besarnya tekanan hidrolik harus diperhitungkan dengan pemakaian
dan kekuatan peralatan. Putaran rol gilingan dibuat sekecil mungkin agar memberi kesempatan pada
nira melepaskan diri dari rol, sehingga pada waktu ampas masuk, rol sudah kering dan melepaskan
nira dari rol dengan arah yang berlawanan dengan putarannya. Jika putarannya terlalu cepat, nira
tidak ada kesempatan melepaskan diri dari rol, rol menjadi basah dan nira terhisap kembali oleh
ampas. Jumlah imbibisi akan berpengaruh terhadap ekstraksi gilingan. Makin besar jumlah air
imbibisi, ekstraksi makin meningkat. Menurut Hugot (1960), dengan penambahan imbibisi di PG
Subang sebesar 24,84 %, maka ekstraksi yang dihasilkan sekitar 94,25 %. Umpan tebu yang masuk
ke stasiun gilingan harus sesuai dengan bukaan kerja pada mesin gilingan serta harus kontinu sehingga
dapat menghasilkan ekstraksi yang optimal. Selain itu, di stasiun gilingan juga dipengaruhi oleh
operator yang menjadi kunci keberhasilan dalam ekstraksi gilingan. Operator harus mengikuti dan
melaksanakan standar operasional yang telah ditetapkan sebelumnya (Subekti 2010).

30
Tabel 9. Kinerja di stasiun gilingan
Parameter Satuan Tolok Ukur Realisasi
Pol tebu % > 10 9,1
HK nira mentah % 74 – 84 73,2
Kotoran tebu % Maks 5 30
Sumber : Subekti (2010)

Berdasarkan Tabel 9, % pol tebu yang diperoleh PG Subang hanya sekitar 9,1 %, sedangkan
berdasarkan tolok ukur dalam penentuan tebu yang layak giling, % pol tebu sebaiknya > 10 %. Hal
ini menunjukkan banyaknya kandungan gula dalam tebu masih sedikit dan kurang layak untuk
digiling, sehingga akan berdampak terhadap perolehan gula yang dihasilkan dan rendemen akan
semakin kecil. Selain itu, untuk Hasil bagi Kemurnian (HK) nira mentah juga tidak memenuhi
standar yaitu berkisar 74 - 84 %, sedangkan untuk realisasinya di PG Subang hanya 73,2 %. Kotoran
tebu juga mempengaruhi kualitas dari tebu yang akan digiling, berdasarkan tolok ukur untuk tebu
yang layak giling, besarnya kotoran tebu maksimal 5 % (0,05), sedangkan banyaknya kotoran pada
tebu berdasarkan realisasi di PG Subang sebanyak 0,3 hal ini menunjukkan tebu yang akan digiling
kurang bersih karena masih banyak mengandung kotoran di dalamnya. Semakin tinggi kotoran dalam
tebu, maka semakin rendah kualitas nira yang akan dihasilkan, selain itu mesin dalam pengolahan tebu
akan membutuhkan lebih banyak energi untuk memisahkan zat bukan gula dengan zat gula karena
banyaknya zat bukan gula yang masih terkandung dalam nira.

Tabel 10. Angka pengawasan di stasiun gilingan


Parameter Satuan Tolok ukur Realisasi

HPB1 % > 60 57,61


HPBtotal % > 90 85,34

HPG % > 92 86,81


PSHK % 96 – 98 95,71

KNT % > 80 77,84


Faktor campur % 50 61,43

Dilution factor 0,95 – 1,05 1,27


Sumber : Subekti (2010)

Dalam proses ekstraksi tebu terdapat beberapa istilah dalam pengawasan gilingan (Tabel 10)
dalam mengevaluasi kinerja di stasiun gilingan, yaitu HPB1, HPBtotal, HPG, PSHK, KNT, faktor
campur, dan dilution factor. Perhitungan untuk pengawasan gilingan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Hasil pemerahan Brix Gilingan 1 (HPB1) menyatakan banyaknya brix nira yang terperah (terekstrak)
di gilingan 1 per 100 brix tebu giling dengan angka standar HPB1 > 60 %. Berdasarkan perhitungan
data PG Subang diperoleh HPB1 sebesar 57,61 %, hal ini menunjukkan hasil perahan brix nira pada
gilingan 1 belum optimal karena tidak mencapai angka standar. HPBtotal adalah banyaknya brix nira
mentah yang terekstrak tiap 100 brix dalam tebu giling dengan angka standar HPBtotal > 90 %.
HPBtotal di PG Subang sebesar 85,34 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai karena pengaruh
dari brix nira yang dihasilkan dari tiap gilingan. Brix nira menunjukkan banyaknya zat terlarut pada
nira, yang terdiri dari zat gula dan bukan gula. Semakin tinggi HPB menunjukkan semakin banyak zat

31
terlarut pada nira yang diperoleh dari proses penggilingan, tidak tercapainya brix nira yang diperoleh
dapat dipengaruhi oleh kinerja pada proses gilingan yang kurang optimal, seperti: kinerja mesin, mutu
tebu, sabut % tebu, dan lain-lain.
Hasil Pemerahan Gula (HPG) menyatakan banyaknya pol nira mentah yang terekstrak tiap 100
pol dalam tebu giling, dengan angka standar HPG > 92 %. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan
pada Lampiran 5, HPG yang diperoleh sebesar 86,81 %, hal ini menunjukkan banyaknya pol atau zat
gula yang terekstrak lebih sedikit. Pol atau zat gula yang tidak terekstrak kemungkinan ikut terbawa
dalam ampas tebu, pol ampas yang dihasilkan di PG Subang sebesar 2,66 %, sedangkan berdasarkan
aturan standar pol ampas adalah ≤ 2 %. Semakin tinggi pol ampas menunjukkan semakin banyak zat
gula yang terkandung dalam ampas, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya losses atau zat
gula yang hilang pada proses gilingan. Perbandingan Selaras Hasil bagi Kemurnian (PSHK)
menyatakan perbandingan adanya penurunan HK nira perahan pertama terhadap HK nira mentah
dengan range standar untuk nilai PSHK adalah 96 - 98 %. PSHK yang diperoleh di PG Subang
sebesar 95,71 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai, angka PSHK yang rendah atau < 96 %
mengidentifikasikan terjadinya kerusakan gula akibat pengasaman oleh bakteri di stasiun gilingan.
Kadar Nira Tebu (KNT) menunjukkan banyaknya nira dalam tebu yang berhasil diperah pada gilingan
1. Berdasarkan perhitungan KNT yang diperoleh di PG Subang adalah 77,84 %, hal ini menunjukkan
tidak tercapainya standar KNT yaitu > 80 %. Banyaknya nira yang tidak berhasil diperah oleh unit
gilingan menunjukkan adanya nira yang terkandung dalam ampas, sehingga terjadi inefisiensi di
stasiun gilingan.
Faktor Campur (FC) merupakan parameter untuk menilai cara pemberian imbibisi sudah tepat,
merata dan tercampur dengan sempurna, dan nilai FC standar adalah sekitar 50. Faktor campur yang
diperoleh di PG Subang adalah 61,43 %, hal ini menunjukkan bahwa cara pemberian imbibisi belum
optimal. Dilution Factor merupakan angka yang digunakan untuk menilai jumlah air imbibisi yang
diberikan di unit gilingan, standar dilution factor berkisar antara 0,95 - 1,05. Jika nilai dilution factor
≈ 1, menunjukan jumlah air imbibisi yang diberikan tepat. Nilai dilution factor < 0,95 menunjukkan
jumlah imbibisi yang diberikan terlalu besar, sedangkan untuk nilai dilution factor > 1,05
menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu kecil. Nilai dilution factor di PG Subang
diperoleh nilai 1,27, hal ini menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan untuk
proses pemerahan terlalu kecil.

b. Stasiun Pemurnian

Aliran bahan di stasiun pemurnian PG Subang terjadi proses dimana nira mentah menghasilkan
nira jernih (encer) dengan penambahan kapur tohor (CaO), gas belerang (SO2), dan flokulan. Proses
pemurnian yang digunakan oleh PG Subang adalah dengan metode sulfitasi alkalis (Gambar 9).
Pemurnian menggunakan sulfitasi alkalis dilakukan dengan pemberian larutan kapur hingga pH nira
10,5 kemudian ditambahkan gas SO2 hingga pH nira menjadi 7,0 - 7,3 (Halim 1973).
Pada proses sulfitasi alkalis menggunakan gas sulfit (SO2) atau gas belerang dengan
menghembuskan gas tersebut ke cairan nira dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam
tangki akan mengalami overflow. Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar
belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 200 oC. Setelah dilakukan proses sulfitasi alkalis,
nira mentah dilakukan pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan nira dari kotorannya
sehingga dihasilkan nira jernih dan blotong.

32
Gambar 9. Pemurnian nira proses sulfitasi alkalis

Produk samping yang dihasilkan berupa blotong dan nira tapis (filtrat) yang masih
mengandung sukrosa. Nira tapis akan diproses kembali untuk didaur ulang di dalam bak tunggu
kemudian dialirkan ke proses pemanasan pada stasiun pemurnian. Pengeluaran zat bukan gula secara
optimal terjadi apabila pH nira mentah antara 7,3 - 7,8 dan pH nira encer dipertahankan antara 7,0 –
7,4. Namun jika pH nira encer lebih dari 7,4 akan memberi dampak negatif karena terjadi perpecahan
zat gula yang mereduksi semakin besar sehingga nira encer berubah warna menjadi hitam (reaksi
browning), selain itu timbul asam organik yang mengikat kapur sehingga kandungan kapur
meningkat. Kandungan kapur yang tinggi dalam nira encer mengakibatkan timbulnya inkrustasi pada
evaporator dan pan masakan (kristalisasi) yang dapat menghambat perpindahan panas sehingga
konsumsi uap meningkat. Kandungan kapur yang tinggi juga dapat mempersulit proses kristalisasi
serta meningkatkan pembentukan molasses, hal ini mengakibatkan semakin banyak kandungan
sukrosa yang terbawa pada molasses. Dengan demikian, penentuan kandungan kapur dalam nira
encer merupakan analisa yang sangat penting dalam rangka pengawasan produksi gula. Adapun
neraca bahan di stasiun pemurnian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Neraca bahan di stasiun pemurnian tahun 2011

Data Satuan Input Output


Nira mentah ton 316.215,33
Kapur tohor ton 464,08
Flokulan ton 1.816
Belerang ton 101.887
Blotong ton 11.164,5
Nira encer ton 304.814,80
Loss ton 2.516,11
Loss % 0,79
Sumber : PG Subang (2011)

Hasil samping dari proses pemurnian adalah blotong dan filtrat. Blotong yang dihasilkan
adalah 3,5 % dari tebu yang digiling, sedangkan di PG Subang blotong yang dihasilkan sebesar 3,25
% dari tebu yang digiling. Jumlah blotong ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proses
penyaringan yang dilakukan pada alat door clarifier dan pada RVF serta nira jernih yang dihasilkan

33
dari proses pemurnian. Output dalam proses pemurnian sangat dipengaruhi oleh besarnya jumlah
kadar sukrosa (pol) dan kecilnya kerusakan kadar sukrosa yang dihasilkan. Komponen yang
terpenting pada stasiun pemurnian adalah pH, suhu, dan waktu. Apabila komponen tersebut berjalan
dengan stabil maka proses pemurnian akan lancar, hal ini pula yang akan mempengaruhi output yang
akan dihasilkan seperti nira encer, blotong, dan loss yang dihasilkan. Losses yang dihasilkan dari
stasiun pemurnian sebesar 0,79 % dari nira mentah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu
pengawasan yang tepat terhadap pH, suhu, dan waktu pada stasiun pemurnian agar berjalan secara
optimal.

Tabel 12. Angka pengawasan di stasiun pemurnian

Parameter Tolok ukur Realisasi

Pol blotong (%) <2 2,42

Belerang < 0,05 ton/100 ton tebu 0,028 ton/100 ton tebu

Kapur tohor < 0,16 ton/100 ton tebu 0,14 ton/ 100 ton tebu

Flokulan 3 - 4 ppm 5 ppm


Sumber : Soebekti (2001)

Pengawasan pada stasiun pemurnian (Tabel 12) diantaranya: % pol blotong < 2 %, belerang
< 0,05 ton/100 ton tebu, kapur < 0,16 ton/100 ton tebu, dan flokulan 3 - 4 ppm terhadap tebu.
Berdasarkan data PG Subang, % pol blotong sebesar 2,42 %, hal ini menunjukkan banyaknya zat gula
yang ikut terbawa pada blotong sehingga terjadi losses. Pemakaian kapur di PG Subang sudah tepat
yaitu 0,14 ton/100 ton tebu, fungsi penggunaan kapur tohor adalah untuk pemurnian nira mentah,
penetral asam, serta sebagai desinfektan agar mikroorganisme yang terdapat dalam nira dapat mati.
Belerang yang ditambahkan di PG Subang adalah 0,028 ton/100 ton tebu, hal ini sudah sesuai dengan
aturan standar. Fungsi penambahan belerang adalah untuk reaksi pembakaran yang menghasilkan gas
SO2 untuk proses sulfitasi, selain itu belerang juga berfungsi untuk menetralisir kelebihan susu kapur
dan menyerap atau menghilangkan zat warna pada nira. Penggunaan flokulan di PG Subang adalah 5
ppm terhadap tebu, hal ini kurang sesuai dengan standar. Fungsi penambahan flokulan adalah untuk
mempercepat proses pengendapan kotoran dalam clarifier sehingga proses pengendapan berlangsung
lebih cepat dan untuk meningkatkan densitas nira kotor sehingga akan lebih mudah untuk disaring.

c. Stasiun Penguapan

Proses yang terjadi di stasiun penguapan adalah nira encer menghasilkan nira kental dengan
menggunakan uap bekas, dari proses penguapan menghasilkan air kondensat yang dipergunakan
kembali sebagai air umpan boiler. Neraca bahan di stasiun penguapan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Neraca bahan di stasiun penguapan tahun 2011

Data Satuan Input Output


Nira encer ton 304.814.80
Nira kental ton 68.191.36
Air diuapkan ton 236.623.44
Loss ton -
Sumber : PG Subang (2011)

34
Berdasarkan data PG Subang tahun 2011, % brix nira encer yang akan dipekatkan dalam
evaporator sebesar 12,10 %, namun % brix nira kental yang dihasilkan hanya sebesar 52,88 %. Hal
ini menunjukkan tidak tercapainya brix nira kental yang dihasilkan dari aturan standar yaitu sebesar
60-64 % brix. Kendala yang sering terjadi di stasiun penguapan adalah nira kental yang dihasilkan
tidak mencapai brix yang optimal sehingga nira yang terbentuk masih belum mengental. Upaya yang
seharusnya dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menyediakan sarana untuk
mendaur-ulang nira kental agar dapat diuapkan kembali, sehingga pengontrolan kondisi badan
evaporator dan kinerja mesin evaporator dapat bekerja dengan baik. Selain itu dipengaruhi oleh
kondisi evaporator yang seharusnya dalam kondisi vakum, kondisi badan evaporator yang kurang
vakum biasanya disebabkan aliran air injeksi pada kondensor berjalan cepat sehingga terjadi
penurunan tekanan pada aliran setelah diinjeksikan dan uap hasil penguapan secara langsung akan
bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah atau mengalami peristiwa difusi. Oleh karena itu,
apabila kondisi vakum pada badan evaporator tidak berjalan secara optimal, maka air yang
diinjeksikan perlu ditambah dengan aliran yang optimum. Kurangnya jumlah steam disebabkan oleh
banyaknya pipa sebagai pelapis badan evaporator terbuka sehingga aliran uap akan kontak dengan
udara luar dan melakukan pindah panas secara konveksi. Selain itu, luas permukaan pipa kontak pada
badan evaporator perlu diperluas untuk lebih meningkatkan kontak nira dengan pipa sehingga pindah
panas akan berlangsung dengan baik. Mekanisme pindah panas badan mesin evaporator yang kurang
efisien disebabkan kurangnya jumlah steam dan banyaknya kerak yang menempel pada pipa uap
akibat dari penguraian gula pereduksi yang berubah menjadi asam organik. Kerak yang menempel
pada pipa uap dapat dikurangi apabila proses pada stasiun pemurnian dapat dioptimalkan terutama
pada pembentukan inti endapan.

d. Stasiun Kristalisasi dan Sentrifugasi

Pada stasiun masakan (kristalisasi) terjadi proses dimana nira kental yang dikristalkan,
kemudian didinginkan, dan disentrifugasi dapat menghasilkan gula SHS, tetes, stroop dan klare yang
diolah kembali menjadi gula dan bibit untuk masakan. Neraca bahan pada stasiun masakan dan
putaran dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Neraca bahan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi tahun 2011

Data Satuan Input Output


Nira kental ton 68.191,36
Tetes ton 16.887
Gula SHS ton 22.835,14
Uap nira ton 18.649,58
Air jatuhan ton 4.091,48
Loss ton 5.728,16
Sumber : PG Subang (2011)

Pada stasiun kristalisasi terdapat beberapa alternatif proses kristalisasi. Alternatif model proses
kristalisasi yang diterapkan di PG Subang adalah model A-C-D, karena lebih mengutamakan kualitas
gula dan nilai hasil kemurnian (HK) nira kental sebesar 82 - 84 %. Kandungan gula dalam molasses
yang sangat kecil menyebabkan molasses tidak bisa diolah kembali dalam proses, tetapi molasses

35
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alkohol atau spirtus, pembuatan MSG dan produk
olahan lainnya. Setelah melalui proses penggilingan, proses pemurnian, proses penguapan, proses
pemasakan, proses pengkristalan, dan proses pemutaran, gula kemudian dikemas dalam kemasan 50
kg dan kemasan kecil 1 kg. Setelah dikemas, gula siap untuk dipasarkan. SNI untuk gula kristal putih
(GKP) atau gula SHS dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. SNI 01-3140-2001 untuk Gula Kristal Putih

Kriteria Uji Satuan GKP 1


Warna kristal % min 90
Warna larutan (ICUMSA) IU maks 250
Berat jenis butir mm 0,8 – 1,2
Susut pengeringan % b/b maks 0,1
Polarisasi (oZ 20 oC) “Z” min 99,6
Gula pereduksi % b/b maks 0,10
Abu % b/b maks 0,10
Bahan asing tidak larut derajat maks 5
Belerang dioksida (SO2) mg/kg maks 30
Timbal (Pb) mg/kg maks 2
Tembaga (Cu) mg/kg maks 2
Arsen (As) mg/kg maks 1

Pada stasiun kristalisasi, besarnya loss yang dihasilkan sebesar 8,4 %, losses yang hilang bisa
diketahui dari perbandingan nilai HK (Hasil bagi Kemurnian), % brix, dan % pol. Pengawasan dalam
stasiun kristalisasi diantaranya: HK masakan D 59 – 60, HK tetes ≤ 32, HK masakan C 71-72, dan HK
klare SHS maksimal 90. Hasil bagi Kemurnian (HK) menyatakan perbandingan banyaknya pol (zat
gula) dalam 100 bagian brix. HK masakan D di PG Subang adalah 56,36 hal ini menunjukkan
rendahnya pol (zat gula) dalam brix. HK tetes di PG Subang sebesar 30,63, hal ini sudah sesuai
dengan aturan standar karena semakin rendah HK tetes maka semakin rendah zat gula yang ikut
terbawa pada tetes. HK masakan C di PG Subang adalah 69,55, hal ini menunjukkan rendahnya zat
gula yang terdapat dalam brix masakan C. HK klare SHS di PG Subang sebesar 93,59, hal ini
menunjukkan semakin banyak zat gula dalam cairan nira yang belum terkristalkan dan melebihi
aturan standar yang seharusnya yaitu maksimal 90.

2. Penggunaan Energi pada Proses Produksi Gula

Pada proses produksi gula, energi digunakan untuk menggerakkan seluruh mesin produksi.
Kegiatan produksi ini membutuhkan energi dalam jumlah yang besar, besarnya kebutuhan energi pada
produksi gula dipengaruhi oleh jumlah mesin produksi yang harus bekerja, jumlah kapasitas produksi,
dan jangka waktu proses produksi. Energi yang digunakan pada proses produksi dihasilkan dari
bahan bakar, uap, dan listrik. Energi uap yang dihasilkan berasal dari proses pembakaran ampas tebu
dari proses gilingan. Jika jumlah ampas tebu yang dihasilkan kurang, maka diperlukan bahan bakar
tambahan untuk mencukupi kebutuhan proses pembakaran seperti penggunaan IDO (Industrial Diesel
Oil), kayu bakar, dan solar. Namun hal ini dapat menurunkan efisiensi karena dengan pemakaian
bahan bakar tambahan tersebut dapat meningkatkan biaya produksi dan dapat menurunkan produksi
gula karena kebutuhan uap untuk pabrikasi tidak tercukupi disebabkan exhaust steam tidak tercapai
sehingga pabrik berhenti giling.

36
Kualitas kerja mesin-mesin produksi di PG Subang saat ini, mulai tidak optimal. Hal ini
dikarenakan usia dari mesin-mesin produksi sudah cukup tua. Perbaikan dan penggantian mesin-
mesin produksi selalu dilakukan di setiap akhir musim giling, akan tetapi tidak dapat dilakukan secara
optimal. Kondisi ini menyebabkan energi yang digunakan untuk proses produksi semakin besar,
sehingga memberikan dampak yang kurang baik bagi industri gula. Banyaknya energi yang terbuang
akibat kebocoran dan kerusakan yang terjadi pada mesin-mesin produksi akan mempengaruhi kualitas
kerja mesin-mesin produksi dan menyebabkan waktu yang digunakan cukup lama, sehingga
memberikan peluang yang cukup besar terhadap pemborosan energi. Salah satu langkah untuk
meningkatkan efisiensi energi yaitu dengan dilakukan konservasi energi, yaitu dengan melakukan
penghematan atau pengurangan pemakaian energi tanpa mengurangi produktivitas produksi karena
efisiensi penggunaan energi dapat mempengaruhi daya saing dan harga jual di pasaran.

a. Bahan Bakar

Dalam industri gula, bahan bakar merupakan kebutuhan primer dari suatu industri yang
berfungsi sebagai sumber tenaga utama penggerak proses produksi. Pada proses produksi gula, bahan
bakar yang digunakan untuk menghasilkan uap di stasiun boiler adalah ampas tebu. Pada umumnya
ampas tebu tidak mampu mencukupi kebutuhan pembakaran, maka harus disediakan bahan bakar
dalam bentuk lain dalam jumlah yang cukup untuk menghindari terhentinya penggilingan karena
kekurangan bahan bakar. Pada PG Subang bahan bakar tambahan yang digunakan adalah IDO.
Penggunaan bahan bakar pada produksi gula dipengaruhi oleh proses yang terjadi di stasiun
gilingan, antara lain ampas tebu yang dihasilkan, penambahan air imbibisi, serta tingkat pemerahan
nira. Penambahan air imbibisi pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan rendemen gula yang
dihasilkan, semakin banyak air imbibisi yang ditambahkan, maka semakin banyak pula zat gula
(sukrosa) yang terlarut dalam nira hasil perahan tebu. Namun dengan peningkatan jumlah air imbibisi
mengakibatkan peningkatan kadar air ampas yang dihasilkan, hal ini disebabkan sabut pada tebu
bersifat absorbent yang mudah menyerap cairan, sehingga semakin banyak sabut maka kemampuan
ampas menyerap cairan akan semakin besar sehingga kadar air ampas meningkat. Kadar air ampas
yang tinggi dapat mempengaruhi nilai pembakaran ampas untuk boiler. Kadar air ampas yang tinggi
menyebabkan nilai pembakaran ampas menjadi rendah karena ampas menjadi sulit terbakar. Hal ini
dapat menyebabkan kurang sempurnanya pembakaran ampas pada boiler sehingga dapat terjadi
berhenti giling akibat pasokan uap dari boiler berkurang. Untuk mengantisipasi terjadinya berhenti
giling maka diperlukan bahan bakar tambahan seperti IDO sebagai pengganti ampas tebu dan sebagai
bahan bakar tambahan untuk meningkatkan energi pembakaran pada boiler. Penggunaan IDO sebagai
bahan bakar dapat meningkatkan biaya produksi, karena biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk
IDO lebih besar daripada biaya bahan bakar ampas tebu, oleh karena itu penggunaan IDO harus
dilakukan seoptimal mungkin.
Efisiensi energi bahan bakar dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada boiler. Proses
pembakaran ampas tebu di stasiun boiler dipengaruhi oleh nilai kalori ampas, jumlah ampas, kadar air
ampas, dan pol ampas. Kandungan kalori ampas tebu sangat mempengaruhi kinerja dari boiler,
apabila kalori ampas tebu rendah maka kinerja boiler akan menurun. Nilai kalori ampas dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu kadar air dan kandungan pol ampas. Untuk meningkatkan kalori ampas tebu,
maka perlu dilakukan optimalisasi kinerja gilingan dan penambahan air imbibisi yang dapat
mempengaruhi kadar air dan kandungan pol ampas, sehingga nilai kalor ampas meningkat.
Penggunaan bahan bakar tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 16.

37
Tabel 16. Penggunaan bahan bakar pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011
Data Satuan RKAP Realisasi Persentase (%)
Ampas yang dibakar ton 140.000 101.273 72,34
IDO Liter 400.000 174.258 43,56
Gula SHS ton 34.994 22.990,5 65,7
Tebu ton 424.845 343.646,88 80,89
Solar Liter 100.000 84.820 84,82
Energi dari ampas tebu Kkal 2,83 x 1011 1,94 x 1011 68,55
Energi dari IDO Kkal 3,71 x 109 1,62 x 109 43,67
Energi dari solar Kkal 9,06 x 108 7,68 x 108 84,77
Sumber : Data PG Subang (2011)
Catatan : Nilai kalor ampas tebu sempurna = 2.018 Kkal/kg ampas
Nilai kalor ampas tebu (real) = 1.777 Kkal/kg ampas
Nilai kalor IDO = 9.270 Kkal/Liter
Nilai kalor solar = 9.063 Kkal/Liter

Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa pemakaian ampas tebu untuk bahan bakar boiler
berdasarkan RKAP musim giling tahun 2011 memiliki nilai energi sebesar 2,83 x 1011 Kkal sedangkan
realisasinya yaitu sebesar 1,94 x 10 11 Kkal atau 68,55 % dari target. Penggunaan IDO pada musim
giling tahun 2011 dianggarkan sebanyak 400.000 Liter, namun pada realisasinya tidak mencapai
anggaran IDO yang telah ditentukan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya efisiensi penggunaan
energi dari IDO, yaitu dari 3,71 x 109 Kkal menjadi 1,62 x 10 9 Kkal atau 43,67 % dari target.
Optimalisasi kinerja gilingan dapat dilakukan dengan mengatur kembali setelan gilingan, yaitu
dengan mengatur putaran dan tekanan gilingan sehingga dapat meningkatkan kemampuan perahan,
hal ini dapat mengakibatkan kadar air dan gula dalam ampas tebu dapat menurun dan nira yang
dihasilkan menjadi lebih banyak. Optimalisasi gilingan dapat mempengaruhi penggunaan ampas
sebagai bahan bakar, hal ini disebabkan ampas yang dihasilkan memiliki kadar air yang lebih rendah
sehingga lebih mudah terbakar dan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar tambahan seperti IDO.
Selain itu, pol ampas juga akan menjadi lebih rendah, sehingga jumlah gula yang terbuang dalam
ampas tebu dapat menurun. Selain itu, diperlukan optimalisasi pada mesin dan peralatan saat
maintenance dengan memodifikasi atau pergantian mesin dan peralatan.

b. Listrik

Kebutuhan energi listrik di PG Subang tidak tergantung dari PLN, karena PG Subang mampu
memenuhi kebutuhan listrik sendiri dari dua buah turbin alternator yang proses kerjanya
menggunakan turbin uap. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk mendukung proses produksi
gula di pabrik seperti menggerakkan motor-motor listrik pada mesin dan penerangan. Pemakaian
energi listrik sangat erat kaitannya dengan kinerja pabrik gula atau rendemen. Semakin rendah
pemakaian energi listrik maka semakin tinggi pula kinerja pabrik gula. Dalam menggunakan
teknologi konvensional, untuk memproduksi 1 kWh energi listrik diperlukan 10 kg ampas, tetapi
dengan teknologi modern hanya dibutuhkan 2 kg ampas (Lamonica et al. 2005).
Energi listrik yang dihasilkan berdasakan RKAP sebesar 5,48 x 1012 Kkal, sedangkan
realisasinya sebesar 5,6 x 1012 Kkal atau 97,86 % dari target. Penggunaan listrik di tiap stasiun
berbeda, tergantung dari spesifikasi mesin, jumlah mesin, efisiensi mesin, dan lama waktu operasi
mesin. Penghematan penggunaan listrik dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan peralatan,
yaitu dengan mengaktifkan alat pada kapasitas optimalnya dan menon-aktifkan alat ketika alat sedang

38
tidak digunakan. Selain itu, optimalisasi ketika maintenance dengan melakukan perawatan,
perbaikan, modifikasi atau pergantian mesin dan peralatan. Data penggunaan listrik di PG Subang
dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Data penggunaan listrik pada proses produksi gula


di PG Subang tahun 2011
Data Satuan RKAP Realisasi
Efisiensi listrik % 15 18,94
Tebu yang digiling ton 424.845 343.646,88
Konsumsi energi listrik kWh 6.372.675 6.508.040
Sumber : Data PG Subang (2011)

c. Uap

Uap merupakan sumber tenaga utama di PG Subang. Penggunaan uap sebagai sumber tenaga
memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: (1) uap dihasilkan dari air yang murah dan mudah
didapat, (2) uap tidak berbau, (3) uap sangat mudah disalurkan dan diatur, (4) uap memiliki nilai
panas yang tinggi, dan (5) panas dari uap dapat dimanfaatkan berulang-ulang. Tenaga uap di PG
Subang dihasilkan dari boiler untuk memutar turbin kemudian disambungkan ke generator yang akan
menghasilkan gaya gerak listrik. PG Subang memiliki dua buah generator yang menggunakan turbin
uap, yaitu TG1 dan TG 2. Uap baru yang dihasilkan (life steam) kemudian didistribusikan ke power
house, stasiun gilingan, dan stasiun boiler. Life steam yang digunakan kemudian menghasilkan uap
bekas (exhaust steam) yang digunakan untuk pabrikasi yaitu ke juice heater, evaporator, dan pan
masakan. Uap hasil pemakaian di pabrikasi kemudian dimasukkan ke dalam kondensat menjadi air
kondensat yang kemudian dikembalikan ke stasiun boiler sebagai air pengisi ketel. Konsumsi uap
pada musim giling tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 18 dibandingkan dengan data
perencanaan konsumsi uap tahun 2011 (RKAP 2011).

Tabel 18. Penggunaan uap di PG Subang tahun 2011

Data Satuan RKAP Realisasi


Produksi uap ton 191.180 202.547,8
Tebu yang digiling ton 424.845 343.646,88
Waktu giling hari 143 134
Efisiensi uap % 45 58,94
Sumber : Data PG Subang (2011)

Berdasarkan Tabel 18, efisiensi uap berdasarkan tebu yang digiling pada RKAP 2011 per hari
adalah 45 %, sedangkan realisasinya adalah 58,94 %. atau 76,35 % dari target. Perbedaan nilai
efisiensi uap dipengaruhi oleh adanya perbedaan jumlah tebu tergiling, lama giling, dan kadar air yang
terkandung dalam ampas tebu. Semakin banyak jumlah tebu tergiling, maka mesin produksi semakin
besar mengonsumsi uap karena proses produksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga
yang besar. Jumlah pemakaian air imbibisi juga mempengaruhi penggunaan uap karena uap juga
digunakan secara langsung pada proses produksi di stasiun penguapan. Semakin besar jumlah air

39
imbibisi yang ditambahkan di stasiun gilingan maka semakin besar pula jumlah air yang harus
diuapkan di stasiun penguapan.
Efisiensi penggunaan uap dapat mempengaruhi mutu serta jumlah produk gula SHS yang
dihasilkan. Peningkatan efisiensi penggunaan uap dapat dilakukan dengan cara peningkatan kinerja
boiler, yaitu dengan pembenahan atau penggantian saluran yang bocor pada sistem uap, penggunaan
kontrol otomatis untuk memastikan uap hanya digunakan ketika dibutuhkan. Selain itu, pembenahan
pada turbin juga perlu dilakukan dengan pengujian kinerja dan pembersihan turbin secara teratur
untuk meningkatkan efisiensi.

C. ANALISIS DAMPAK

Analisis dampak dilakukan untuk mengetahui kemungkinan dampak lingkungan yang terjadi
pada setiap tahapan dalam siklus hidup gula. Dampak terhadap lingkungan dapat mengakibatkan
berkurangnya kemampuan alam untuk mendukung kelangsungan hidup manusia. Dampak lingkungan
yang timbul dapat berupa dampak tidak langsung dan dampak langsung. Dampak tidak langsung ini
umumnya berhubungan dengan masalah sosial masyarakat seperti urbanisasi, perilaku, kriminalitas,
dan sosial budaya. Dampak langsung yang dapat timbul akibat kegiatan industri diantaranya
pencemaran udara, pencemaran air, dan pencemaran daratan atau tanah. Pencemaran tersebut perlu
dihindari untuk menjaga kelestarian lingkungan.
PG Subang merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian (agroindustri)
menjadi produk jadi berupa gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih). Proses
produksi gula tidak terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by-product) yang dihasilkan
selama proses berjalan. Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh
bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik. Hal ini
terkait dengan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan bakar yang digunakan adalah bahan-bahan
organik. Limbah yang dihasilkan di PG Subang terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan
penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang
dihasilkan pada produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun). Diagram alur limbah di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 6.

1. Limbah Padat

Limbah padat pada PG Subang pada dasarnya terdiri atas limbah padat yang dapat
dimanfaatkan kembali secara langsung atau tidak langsung (by-product) dan limbah padat yang tidak
dapat dimanfaatkan kembali (dibuang). Limbah padat dihasilkan di pabrik gula karena bahan baku
yang digunakan adalah tebu dimana tebu merupakan tanaman yang kaya serat dan serabut, sedangkan
yang dibutuhkan pabrik gula adalah nira, sehingga akan terdapat limbah padat dari tebu yang
digunakan. Limbah padat yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Subang ini adalah ampas
tebu (bagasse), blotong, abu ketel, dan limbah domestik (gabungan).
Dalam upaya pengelolaan limbah padat, PG Subang telah mengoptimalkan kinerja pengelolaan
limbah padat, yaitu melakukan pencatatan berupa log book mengenai jumlah limbah padat yang
dihasilkan dan yang dimanfaatkan, selanjutnya menyampaikan secara berkala ke KLH dan BPLHD.
Selain itu, upaya yang telah dilakukan PG Subang adalah menyediakan truk pengangkut blotong dan
abu ketel untuk dibuang ke tempat khusus di kebun untuk proses pengeringan yang selanjutnya
digunakan untuk pupuk tanaman tebu serta memanfaatkan blotong dan abu ketel sebagai pupuk

40
organik atau kompos untuk tanaman tebu sendiri. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya
di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya


di PG Subang tahun 2011
Jenis limbah Jumlah (ton) Pemanfaatan
Ampas tebu (bagasse) 109.303,6 Bahan bakar boiler
Blotong 11.164,5 Pupuk organik
Abu ketel 7.444,99 Pupuk organik
Sumber : Data PG Subang (2011)

a. Ampas tebu (bagasse)

Ampas yang dihasilkan dari stasiun gilingan langsung dikirim ke stasiun boiler untuk
digunakan sebagai umpan pembakaran, sedangkan untuk ampas yang berlebih dan belum
termanfaatkan sebagai umpan boiler disalurkan ke gudang ampas yang terletak di belakang stasiun
boiler. Hampir seluruh ampas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler, karena PG
Subang menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler. Ampas yang tersedia di gudang ampas
sangat banyak sekali sampai melebihi kapasitas penyimpanan gudang ampas sehingga banyak ampas
yang diletakkan di luar gudang penyimpanan. Kelebihan ampas tersebut diletakkan di ruangan
terbuka, hal ini mengakibatkan banyak serbuk ampas yang beterbangan di sekitar gudang ampas yang
dapat mengganggu penglihatan dan kesehatan orang yang berada di sekitar gudang ampas tersebut.
Partikel serbuk ampas tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan
apabila tidak ditangani dengan benar. Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan
terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak
penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan
tertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel berukuran 3 - 5 mikron akan tertahan pada
saluran pernafasan bagian tengah, partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron akan masuk
ke dalam kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli, partikel lebih kecil lagi yaitu kurang dari 1
mikron akan ikut keluar saat nafas dihembuskan. Pneumokoniosis adalah penyakit saluran pernafasan
yang disebabkan oleh adanya partikel yang masuk atau mengendap ke dalam paru-paru. Penyakit
pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam
paru-paru (Wardhana 1994). Komposisi ampas tebu dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 . Komposisi bagasse


Analisis Kandungan (%)
Karbon (C) 47
Hidrogen (H) 6,5
Oksigen 44
Ash (Abu) 2,5
Sumber: Anonim (2008)

41
Selain itu, terjadinya losses pada stasiun gilingan dapat disebabkan karena adanya kandungan
gula (pol) yang ikut terbawa dalam ampas. Adanya kandungan gula pada ampas dapat menimbulkan
karamel pada dinding-dinding pipa pada stasiun boiler sehingga heat transfer menjadi turun dan
pembakaran di boiler menjadi terhambat, sehingga diperlukan energi panas yang lebih besar. Kualitas
ampas sebagai bahan bakar boiler dipengaruhi oleh nilai kalorinya, semakin tinggi kualitas ampas
berarti semakin tinggi nilai kalorinya. Kualitas ampas dipengaruhi pula oleh kadar air ampas, dengan
meningkatkan efisiensi gilingan, diharapkan kadar air ampas keluar gilingan akhir lebih kecil dari 50
% dan kadar gula (pol) 2,5 % (Saechu 2009).
Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot 1986); Net Calorific Value/NCV = 4250 - 48 w – 10 pol,
dimana w menunjukkan kadar air ampas, dari perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai kalor
dipengaruhi oleh kadar air dan pol ampas, semakin rendah pol dan kadar air yang terkandung dalam
ampas, maka nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi. Nilai kalor ampas di PG Subang masih
rendah yaitu 1.777 Kkal, hal ini disebabkan oleh kadar air dan kandungan gula pada ampas yang
masih tinggi yaitu kadar air sebesar 52,08 % dan pol ampas sebesar 2,66 %. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan nilai kalor yang tinggi, diusahakan kadar air ampas < 50 % dan pol ampas < 2 %,
dengan begitu nilai kalor yang dihasilkan akan mengalami peningkatan sebesar 2,9 % yaitu menjadi
1.830 Kkal. Untuk mendapatkan nilai kalor dengan pembakaran sempurna yaitu 2.018 Kkal dengan
pol ampas sebesar 2 %, maka kadar air yang terkandung dalam ampas sebesar 46,92 % atau
penurunan kadar air sebesar 9,9 %.
Untuk optimasi kualitas ampas dapat ditempuh dengan menurunkan kadar air ampas melalui
penerapan teknologi pengeringan, yaitu dengan memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong
boiler yang masih memiliki suhu hingga di atas 225 oC. Dengan penurunan kadar air ampas dari 50 %
menjadi 40 % maka nilai bakar per kg ampas akan dapat meningkat hingga 2.305 Kkal atau nilai
bakar per kg ampas relatif akan meningkat hingga 6 %, sehingga untuk bahan bakar boiler di pabrik
gula akan dapat meningkatkan produksi uap hingga 10 %. Penerapan teknologi pengeringan ampas
tersebut telah banyak diandalkan oleh banyak pabrik gula di luar negeri (Maranhao 1980; Abilio dan
Faul 1987).
Untuk optimasi pemanfaatan energi ampas di pabrik gula juga tidak terlepas dari faktor
kehilangan panas akibat radiasi, kondensasi, kebocoran pada pipa distribusi uap dan bejana proses,
isolasi, pengerakan, dan korosi yang kurang sempurna. Kerugian panas akibat dari hal-hal tersebut
dapat mencapai 5 % dan pada kondisi terburuk dapat mencapai hingga 12 % dari produksi uap.
Melalui penanganan yang optimal, kehilangan tersebut dapat ditekan hingga kondisi normal 1 %,
keadaan tersebut antara lain dapat ditandai oleh dinginnya udara dalam pabrik sehingga para operator
dapat bekerja dengan nyaman dan tidak gerah (Saechu 2009).

b. Blotong

Sifat fisis blotong berupa padatan halus yang menyerupai tanah, berwarna hitam, namun lebih
ringan. Blotong yang dihasilkan PG Subang sekitar 3,5 ton/jam (3% tebu). Blotong yang dihasilkan
PG Subang ini ditampung di tempat khusus pembuangan kemudian diangkut menggunakan truk
khusus pengangkut blotong untuk disimpan di tempat penyimpanan blotong. Blotong di PG Subang
dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pupuk organik sebagai campuran pupuk
kompos, dan sebagai pupuk alami yang langsung dimanfaatkan untuk tanaman tebu di kebun dan
disebar ke lahan tebu secara menyeluruh. Kandungan logam pada blotong dapat dilihat pada Tabel
21.

42
Tabel 21. Kandungan logam pada blotong

Analisis Kandungan (%)


Kalium (K2O) 0,485
Natrium (Na2O) 0,082
Kalsium (Ca) 5,785
Magnesium (Mg) 0,419
Besi (Fe) 0,191
Mangan (Mn) 0,115
Sumber: Anonim (2009)

Blotong termasuk limbah organik yang pada umumnya dapat membusuk atau terdegradasi oleh
mikroorganisme. Untuk limbah seperti ini tidak dianjurkan untuk dibuang ke lingkungan karena dapat
meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam badan air sehingga akan mengakibatkan
berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu, pemanfaatan blotong
untuk dijadikan kompos sangat baik untuk dilakukan karena dengan melakukan pembuatan kompos
berarti mendaur ulang limbah organik yang tentu saja akan berdampak positif bagi lingkungan.

c. Abu ketel

Abu ketel merupakan ampas tebu yang tidak terbakar sempurna dan ikut terbawa bersama asap
cerobong. Untuk mencegah agar abu terbawa oleh asap boiler maka dipasang sebuah wet dust
collector, yaitu dengan mengalirkan air sehingga abu terbawa keluar menuju tempat penampungan.
Ada dua macam abu ketel yang dihasilkan pada pembakaran boiler yaitu abu halus yang mengendap
turun ke bawah cerobong boiler karena terbawa air hasil semprotan wet dust collector dan abu kasar
yang tersisa di bawah boiler hasil pembakaran ampas. Abu halus dari cerobong yang terbawa air ini
dibawa keluar menuju tempat penampungan dan dipisahkan antara air yang berwarna hitam dan abu.
Air hitam bekas abu disalurkan ke bak kontrol dan saluran irigasi untuk diteruskan ke IPAL,
sedangkan gumpalan abu dimanfaatkan untuk campuran pembuatan pupuk yang berfungsi sebagai
pelepas unsur fosfor ke tanah. Berbeda dengan abu halus, abu kasar disebar langsung ke lahan
perkebunan atau dibuang ke jalan-jalan kebun bahkan dimanfaatkan untuk urugan jalan, serta
digunakan untuk campuran bahan pupuk organik atau pupuk kompos dari blotong. Dalam
penanganan limbah abu ketel hampir sama dengan penanganan limbah blotong karena termasuk
limbah bahan organik yang dapat diolah menjadi bahan campuran pupuk atau pembuatan kompos.
Hal ini dapat mengakibatkan dampak postitif bagi lingkungan, selain itu dapat mengurangi biaya
produksi dalam proses budi daya tebu.

d. Limbah domestik (gabungan)

Limbah padat domestik merupakan limbah yang berasal dari kegiatan rumah tangga
perusahaan dan produksi di pabrik. Limbah domestik ini berupa kertas, plastik, karung, bahan
organik, logam, dan lain-lain. Penanganan limbah padat domestik di PG Subang ini dilakukan dengan
sederhana yaitu dilakukan pengumpulan dan ditampung untuk dibakar atau dibuang ke tempat
pembuangan akhir. Logam dan sejenisnya ditangani dengan cara pengumpulan dan penampungan di
gudang. Hal ini tidak akan berdampak negatif terhadap lingkungan apabila dilakukan penanganan

43
dengan baik dan dibuang pada tempatnya, jika tidak dilakukan maka dapat menyebabkan lingkungan
di sekitar pabrik menjadi kotor atau berdampak pada sanitasi lingkungan, apabila di lakukan terus-
menerus dan menumpuk akan mempengaruhi proses produksi karena dapat timbul berbagai
mikroorganisme maupun bakteri lain yang dapat menghambat proses produksi gula.

2. Limbah Cair

Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses produksi dalam bentuk cairan.
Limbah cair di PG Subang dihasilkan secara langsung dari kegiatan produksi atau tidak berhubungan
langsung seperti limbah domestik. Limbah cair ini merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan,
hal ini disebabkan karena hampir seluruh tahapan proses produksi membutuhkan air untuk pencucian
mesin atau peralatan produksi. Beberapa stasiun produksi gula membutuhkan air sebagai bahan
tambahan dalam proses produksi, sehingga menghasilkan air sisa atau air buangan dan menjadi limbah
cair. Limbah cair yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Subang ini berupa tetes
(molasses), air buangan pabrik (limbah proses), air limbah abu ketel, air jatuhan (limbah kondensor),
dan air limbah domestik (gabungan).

a. Tetes (molasses)

Tetes (molasses) merupakan salah satu limbah produksi gula yang dihasilkan dari proses
kristalisasi. Tetes yang dihasilkan di stasiun kristalisasi ini disalurkan langsung ke tangki penampung
molasses. Sifat fisik molasses menyerupai cairan gula merah yang kental, berwarna kecoklatan, dan
berbau gula yang dibakar. Molasses tidak termasuk bahan berbahaya yang dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan karena penggunaan molasses dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku dalam pembuatan MSG (monosodium glutamate), pembuatan alkohol, bahan pembuatan pakan
ikan, dan spirtus.

b. Air buangan pabrik (limbah proses)

Setiap stasiun menghasilkan air buangan berupa limbah cair yang berasal dari sisa pencucian
mesin atau sisa kotoran pelumas, nira, ampas, dan bahan-bahan lainnya. Sumber limbah cair buangan
pabrik ini didasarkan pada pembagian stasiun yang ada dalam pabrik. Limbah cair buangan ini
disalurkan melalui saluran yang sudah dibuat khusus untuk limbah cair buangan pabrik dengan bak
kontrol yang tersebar di masing-masing stasiun. Bak kontrol ini digunakan untuk pemantauan aliran
limbah dan pengendalian ketika terjadi tumpahan atau kelebihan limbah cair. Limbah cair buangan
yang dihasilkan di stasiun penggilingan berupa sisa pembersihan oli pelumas mesin penggiling, sisa
penyemprotan ampas, sisa nira yang terbuang atau bocor, dan air dari gilingan. Di stasiun pemurnian
menghasilkan limbah cair buangan berupa sisa pembersihan blotong, pembersihan ampas lembut sisa
penyaringan, dan nira yang berceceran. Limbah cair buangan dari stasiun penguapan berupa sisa air
pembersihan nira dan kerak nira. Di stasiun putaran dihasilkan limbah cair buangan berupa tetes, sisa
tetes yang berlebih, kebocoran timbangan tetes, dan gula ceceran yang telah dibersihkan dengan air.
Di stasiun kristalisasi, limbah cair buangan relatif sangat jarang. Limbah juga dapat dihasilkan ketika
ada kesalahan atau kebocoran nira di peti penampungan. Seluruh limbah cair buangan pabrik ini
disalurkan melalui irigasi (saluran) dan disalurkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk
diolah kembali.

44
c. Air limbah abu ketel

Air limbah abu ketel merupakan limbah cair yang dihasilkan dari air bak penampungan abu
boiler. Air abu ketel diendapkan untuk kemudian langsung dibuang ke lebung. Desain pengendapan
air abu boiler kondisinya terlalu kecil sehingga air abu boiler sudah jenuh dari desain kedalaman +/-60
cm hanya sekitar 20 cm. Hal ini karena laju pengendapan abu boiler lebih cepat dari proses
pengerukan abunya. Air abu boiler berwarna sangat pekat dan hitam. Hal ini akan mengakibatkan
baku mutu limbah cair industri gula Kep. Men. LH No. 6 tahun 2009 TSS akan terlewati. Pada parit
buangan air abu boiler terlihat sebagian oli dan tanah yang mengandung minyak masuk ke dalam parit
buangan air abu boiler.

d. Air jatuhan (limbah kondensor)

Limbah cair berupa air jatuhan dari kondensor yang bersuhu 47 oC dan memiliki pH 6 - 7. Air
kondensor ini dipompa masuk ke dalam instalasi water treatment dan dipompa dengan menggunakan
pompa ke cooling tower untuk didinginkan. Proses pendinginan dilakukan dengan mengalirkan air ke
dalam cooling fan yang berada pada cooling tower agar suhunya turun menjadi 37 oC dengan pH 6.
Air yang telah dingin kemudian dipompakan kembali sebagai air injeksi pada kondensor untuk
keperluan proses evaporasi dan proses pemasakan.

e. Air limbah domestik (limbah gabungan)

Limbah cair di PG Subang juga dapat dihasilkan dari air limbah domestik rumah tangga yang
ada di perusahan dan pabrik. Limbah ini berasal dari air parit MCK, air proses pencucian peralatan
pabrik, dan sumber lain yang berhubungan dengan limbah rumah tangga. Jumlah air limbah domestik
ini sangat sedikit dibandingkan limbah cair lainnya.
Limbah pabrik gula yang paling mendapatkan perhatian adalah limbah cair karena limbah cair
inilah yang paling banyak menimbulkan dampak lingkungan. Kemungkinan dampak yang
ditimbulkan dari buangan pabrik gula dapat dilihat pada Tabel 22. Pada umumnya proses giling
pabrik gula di Indonesia berlangsung pada saat musim kemarau saat debit air sungai rendah.
Pembuangan air limbah ke sungai akan memberikan beban pencemaran yang cukup tinggi terhadap
sungai maupun lahan pertanian sehingga sebelum pelepasan limbah harus didahului oleh
pertimbangan dan penelitian dengan seksama. Penanganan limbah cair ini dimaksudkan untuk
meminimalisasi beban limbah cair yang keluar dari pabrik sebelum masuk unit pengolahan limbah
cair.
Kualitas air merupakan salah satu faktor penting untuk mempertimbangkan supaya pengairan
dapat berjalan dengan baik dan tidak memberikan pengaruh negatif. Air yang digunakan untuk
keperluan perkebunan tebu dan pabrik gula hendaknya berkualitas baik sehingga tidak membahayakan
pertumbuhan tanaman dan merusak tanah. Untuk mendapatkan sumber air yang baik maka air yang
dihasilkan pun seharusnya memiliki kualitas yang baik pula.

45
Tabel 22. Kemungkinan dampak dari buangan pabrik gula

Kegiatan pembuangan limbah Tindakan pencegahan

Pembuangan limbah langsung ke sungai dengan


debit yang cukup besar Relatif aman. self purification

Pembuangan limbah ke sungai dengan debit


rendah Perhatikan beban pencemaran

Pembuangan langsung ke daerah sungai Pengawasan kualitas limbah cair terutama


pemisahan minyak
Pengendalian bau (odour)
Memastikan tidak ada luapan ke danau. kolam.
atau sungai dan tidak ada leaching ke air
permukaan
Sumber : Data PG Subang (2011)

Untuk menghasilkan kualitas air yang baik, diperlukan pengolahan air limbah. Teknologi
pengolahan limbah cair industri adalah salah satu alat untuk memisahkan, menghilangkan, dan atau
mengurangi unsur pencemar dalam limbah dimana seluruh limbah yang mengandung unsur pencemar
diminimalisasikan sampai memenuhi syarat baku mutu limbah dan syarat baku lingkungan. Di PG
Subang, unit yang mengelola air limbah ditangani oleh bagian IPAL (Instalasi Pengolahan air
Limbah). Instalasi pengolahan limbah pada prinsipnya bagai sebuah sistem pabrik dimana tersedia
sejumlah input untuk diolah menjadi output. Dalam kaitan ini adanya limbah sebagai bahan baku
yang diolah dalam sistem kemudian hasilnya adalah limbah yang memenuhi syarat baku mutu. Jika
limbah cair yang diolah kotor maka setelah mengalami pengolahan akan dihasilkan limbah yang
memenuhi baku mutu limbah. Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD,
partikel tercampur, serta membunuh mikroorganisme patogen. Selain itu diperlukan juga tambahan
pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat
terdegradasi agar konsentrasi yang ada menjadi rendah (Sugiharto 1987).
Limbah cair pabrik gula pada umumnya tidak mengandung limbah berbahaya atau beracun. Di
Indonesia produksi gula bersifat musiman, yaitu 5 sampai 6 bulan dalam setahun. Parameter utama
untuk pabrik penggilingan tebu dan pemurnian gula adalah BOD dan COD. Parameter sekunder
adalah TSS, pH, suhu, nitrogen, minyak dan lemak, sulfida dan padatan keseluruhan (Isyuniarto
2007). Setiap harinya kegiatan yang dilakukan di IPAL adalah menganalisis BOD, COD, pH, dan
suhu dari tiap titik pantau sumber air limbah seperti: inlet IPAL, outlet IPAL, air kondensor, air abu
ketel, kolam aerasi I, II, dan III, dan kolam equalisasi.

46
Tabel 23. Hasil pengujian outlet IPAL di PG Subang tahun 2011

Baku Tanggal pengujian limbah cair tahun 2011


Parameter Satuan
Mutu 31 Mei 07 Juni 22 Juli 04 Agust 13 Sept 03 Okt
BOD mg/L 60 14,06 14,06 45,25 49,1 41,43 48,55
COD mg/L 100 38,3 37,6 96,99 77,09 81,51 86,51
TSS mg/L 50 12 24 18 4 20 29
pH 6,0-9,0 6,57 6,92 6,42 6,05 6,16 6,32
Minyak &
Lemak mg/L 5 4,48 4,48 2,8 4,4 4,4 4,1
3
Volume m /bulan - 8.057 14.905 14.089 12.091 13.077 1.695
Sumber : Data PG Subang (2011)

Pada Tabel 23 menunjukkan bahwa outlet IPAL di PG Subang tahun 2011 telah memenuhi
baku mutu lingkungan sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan karena tidak menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan. Outlet IPAL ini akan dialirkan ke lebung yang terletak di sekitar
kebun tebu yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk pengairan pada tanaman tebu sehingga dapat
menghemat dalam pengairan tanaman. Apabila outlet IPAL sudah baik, maka tanaman tebu juga akan
tumbuh dengan baik, lain halnya apabila outlet IPAL melebihi baku mutu lingkungan, maka
diperlukan biaya yang lebih tinggi untuk pengairan tanaman karena tidak layak digunakan untuk
pengairan tebu, selain itu akan mencemari sungai, jika hal ini terjadi akan berdampak pada PROPER
di PG Subang yang menunjukkan ketaatan perusahaan terhadap dampak lingkungan yang
ditimbulkan.

3. Limbah Udara

Limbah udara yang berada di lingkungan PG Subang terdiri dari udara emisi yang berasal dari
cerobong boiler dan cerobong genset serta udara yang berada di dalam pabrik seperti di sekitar
lingkungan mesin-mesin yang ada di stasiun pabrik. Pada dasarnya emisi yang dihasilkan oleh PG
Subang ini tidak terlalu berbahaya karena menggunakan bahan bakar organik. Limbah gas secara
penyebaran dan pencemarannya yang dihasilkan oleh PG Subang terdiri atas udara emisi cerobong
boiler, udara ambien, dan udara lingkungan kerja (dalam pabrik). Penanganan limbah gas ini dengan
melakukan pengontrolan dan pengujian kualitas emisi udara setiap periode tertentu seperti pada Tabel
24.

Tabel 24. Hasil analisis emisi dari boiler di PG Subang

Parameter Satuan Hasil analisaa Baku mutub


Partikulat mg/m3 70 250
3
Sulfur dioksida mg/m 251 600
3
Nitrogen oksida mg/m 194 800
Opasitas % 15 30
a
Data PG Subang (2011)
b
Permen LH 7 tahun 2007

47
Diantara limbah udara yang dominan antara lain nitrogen oksida dan sulfur dioksida. Namun
jumlahnya tidak melebihi baku mutu, sehingga aman untuk di buang ke lingkungan, namun tetap
harus selalu diperhatikan dan dijaga agar jumlahnya tidak melebihi baku mutu karena nitrogen oksida
dan sulfur dioksida memiliki dampak negatif terhadap lingkungan apabila jumlahnya terlalu banyak.
Nitrogen oksida (NOx) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir yang terdiri dari gas nitrit
oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2). NO merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau,
sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau tajam. Pengaruh yang timbul dari
pencemaran NOx bukan disebabkan karena oksida tersebut, melainkan karena peranannya dalam
pembentukan oksidan fotokimia yang merupakan komponen berbahaya di dalam asap. Produksi
oksidan tersebut terjadi jika terdapat polutan-polutan lain yang mengakibatkan reaksi-reaksi yang
melibatkan NO dan NO2. Reaksi-reaksi tersebut disebut dengan siklus fotolitik NO2 dan merupakan
akibat langsung dari interaksi antara sinar matahari dengan NO 2. Kedua bentuk NOx, yaitu NO dan
NO2 sangat berbahaya bagi manusia. NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Pada konsentrasi
normal yang dijumpai di atmosfir, NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya, tetapi pada
konsentrasi udara ambien yang normal NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO 2 yang lebih
beracun, NO2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Pemberian sebanyak 5 ppm NO2 selama 10
menit terhadap manusia mengakibatkan sedikit kesulitan dalam bernafas. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan NOx dalam bentuk NO yaitu suhu pembakaran, adanya faktor kelebihan udara (excess
air), dan waktu tinggal reaktan-reaktan pada suhu pembakaran tersebut. Suhu pembakaran yang lebih
tinggi akan menghasilkan lebih banyak NOx, kelebihan udara yang lebih tinggi akan menghasilkan
NOx yang lebih sedikit, tetapi kelebihan udara pada konsentrasi tertentu akan mengencerkan gas-gas
pembakaran sehingga menghasilkan suhu pembakaran yang lebih rendah, akibatnya akan terjadi
penurunan konsentrasi NOx. Beberapa cara untuk mengurangi konsentrasi NOx yang diproduksi
selama pembakaran adalah dengan pembakaran dua tahap, resirkulasi gas buang, dan melakukan
injeksi dengan uap atau air.
Pada metode pembakaran dua tahap, sebagian bahan bakar dibakar dengan udara dalam jumlah
stoikiometrik lebih rendah dari yang tersedia sehingga oksigen yang tersedia tidak berlebih dan
mengurangi produksi NO. Pada tahap kedua, pembakaran dilanjutkan setelah injeksi udara ke dalam
campuran. Dengan menghilangkan panas diantara kedua tahapan tersebut, suhu dimana pembakaran
terjadi pada keadaan kelebihan udara menjadi lebih rendah sehingga konsentrasi NO yang terbentuk
juga berkurang. Resirkulasi gas buang kembali ke ruang bakar akan menurunkan suhu api dan
menurunkan konsentrasi oksigen yang tersedia. Kedua hal ini mengakibatkan penurunan produksi
NOx. Uap air atau air yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar juga dapat menurunkan suhu api dan
menurunkan produksi NOx. Injeksi dengan air lebih sering dilakukan daripada dengan uap air karena
mudah tersedia, biayanya murah dan pengaruh pendinginannya lebih besar. Metode absorbsi efektif
digunakan untuk mengabsorbsi gas yang keluar dari cerobong asap pabrik. Gas yang keluar
dilewatkan adsorber padat atau cair dimana NOx akan tertahan. Sistem adsorbsi yang mengandung air
lebih efektif digunakan, terutama jika air itu mengandung komponen alkali atau asam sulfat.
Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak
berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3). Kedua jenis gas ini dikenal dengan
nama SOx. Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak terbakar di udara,
sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif.
Sumber emisi di pabrik gula berasal dari penggunaan bahan bakar pada boiler, solar, LPG,
pengolahan limbah padat, dan limbah cair. Emisi yang dihasilkan berkaitan terhadap efek gas rumah
kaca yang dihasilkan dari emisi CO2 di pabrik gula. Potensi emisi CO2 berasal dari penggunaan bahan
bakar pada boiler, dalam hal ini yaitu pemakaian ampas tebu dan IDO, emisi CH 4 berasal dari

48
pengolahan limbah cair, dan NO2 berasal dari pengolahan limbah blotong. Total emisi CO2 yang
dihasilkan pabrik gula sebesar 105.196,70 tCO2-setara yang berasal dari emisi bahan bakar boiler
sebesar 101.927,57 tCO2, emisi penggunaan solar 2.855,45 tCO2, emisi LPG 2,51 tCO2, emisi dari
pengolahan limbah cair 7,56 tCO2, dan emisi dari pengolahan limbah padat sebesar 403,62 tCO 2-
setara (Sihombing 2012).

4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya Dan Beracun)

Limbah yang mengandung bahan polutan dan bersifat berbahaya serta beracun dikenal dengan
limbah B3, yaitu dinyatakan sebagai bahan dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk
merusak lingkungan hidup dan sumber daya. Bila ditinjau secara kimiawi, bahan-bahan tersebut
terdiri atas bahan kimia organik dan anorganik (Kristanto 2002). Limbah B3 ini merupakan hasil sisa
penggunaan bahan-bahan yang ada pada mesin-mesin pabrikasi dan alat berat yang digunakan di PG
Subang. Limbah B3 yang terdapat di PG Subang berupa oli bekas, aki bekas, lap majun, dan lampu
TL. Sumber utama aki bekas berasal dari penggunaan mesin-mesin mekanisasi, kendaran angkut dan
transport, dan instalasi listrik. Oli bekas banyak dihasilkan oleh alat-alat berat, traktor, genset, dan
sisa mesin milling di stasiun penggilingan. Lap majun merupakan lap bekas terpakai pada proses
produksi maupun kegiatan lain yang telah digunakan untuk membersihkan atau kegiatan lain yang
mengandung bahan kimia maupun bahan berbahaya lainnya seperti untuk pembersihan mesin-mesin,
pompa, dan oli. Lampu TL termasuk bahan berbahaya dikarenakan di dalamnya terdapat bahan kimia
serta komponen listrik yang apabila diletakkan sembarangan akan membahayakan orang disekitarnya.
Sumber utama dari limbah oli adalah milling. Disini hampir semua peralatan yang digunakan
membutuhkan oli dan pelumas dalam perawatannya. Pencemaran disebabkan oleh ceceran atau
tumpahan oli atau pelumas ketika sedang digunakan. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara
mengalirkan tumpahan oli dan pelumas pada suatu saluran atau ditampung dengan tangki penampung
khusus oli. Oli dikumpulkan dalam suatu kolam kecil dan dipompa ke dalam alat penangkap oli untuk
memisahkan oli dan air. Ceceran dan tumpahan oli dan aki terkadang tidak tepat jatuh disaluran yang
tersedia dan jatuh ke lantai.
Secara periodik oli diambil dan dimasukkan ke dalam drum oli bekas untuk disimpan di tempat
Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 dan selanjutnya dijual kepada pihak ke III, begitu pula
untuk penanganan aki bekas dengan surat izin langsung dari KLH. Surat izin juga disahkan untuk
pemanfaatan atau pemakaian kembali oli bekas atau aki yang ada di gudang (TPS). PG Subang sudah
memiliki Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 839 Tahun 2008 tentang Izin
Pemanfaatan serta Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 390 Tahun 2009
tentang Izin Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun kepada PT PG Rajawali II Unit PG
Subang. Namun untuk tahun 2011 belum ada surat izin yang dikeluarkan KLH sementara PG Subang
sudah mengupayakan perizinan sejak tahun 2009. Kegiatan pemanfaatan dan penyimpanan limbah
B3 ini tercatat rapih dalam pembukuan di lembar kegiatan pemanfaatan limbah B3 dan lembar
kegiatan penyimpanan limbah B3. Selain itu, dilakukan juga pencatatan terhadap neraca limbah B3
dan log book limbah B3. Penyimpanan limbah B3 di PG Subang dilakukan di gudang penyimpanan
(TPS) dengan tata ruang yang sudah disesuaikan dengan ketetapan dan peraturan dari KLH.
Kelengkapan TPS ini mencakup penyimpanan oli bekas, aki bekas, dan filter oli bekas dilakukan
penyimpanan di atas pallet, drum air bersih, kotak P3K, SOP tanggap darurat, alat pemadam
kebakaran ringan (APAR), log book, dan saluran penampung ceceran oli.
Mengingat pentingnya penanganan limbah B3 ini sesuai peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-01/BAPEDAL/09/1995

49
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan tata cara penyimpanan memliliki ketentuan
sebagai berikut :
1. Mengatur supaya seluruh limbah B3 disimpan menurut jenis dan karakteristiknya pada
tempat yang sudah ditentukan.
2. Menghindari terjadinya tumpahan dan ceceran limbah B3 yang disimpan, khususnya dari
jenis-jenis yang mudah terbakar atau meledak serta melakukan prosedur rumah tangga
(housekeeping) yang baik.
3. Mencatat setiap perpindahan limbah B3 baik yang masuk ataupun yang keluar dari tempat
penyimpanan limbah sesuai dengan jenis dan jumlahnya dalam formulir kegiatan
penyimpanan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Selain itu penanganan limbah B3 juga tidak boleh menyimpannya melebihi jangka waktu 90
hari, oleh karena itu harus segera diupayakan untuk dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut :
1. Dilakukan upaya 3R (Reuse, Recycle, Recovery) untuk keperluan sendiri sesuai sifat dan
karakteristik limbah tersebut dengan mengacu pada peraturan yang berlaku.
2. Dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai bahan baku dan/atau pendukung kegiatan industri
tertentu yang telah memiliki izin pemanfaatan dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup
atau instansi yang berwenang.
3. Diangkut ke fasilitas pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang telah mempunyai
izin dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup.

Pengelolaan limbah B3 yang telah dilakukan PG Subang sebenarnya sudah cukup baik
diantaranya pemanfaatan oli bekas untuk pelumasan gear mesin produksi, penyimpanan aki bekas
yang kurang dari 90 hari yang kemudian diserahkan kepada pembeli (pihak ke IIII) seperti PT.
Habindo Perkasa dan PT. WGI dan berbagai transaksi maupun kejadian yang berhubungan dengan
limbah B3 dilakukan pencatatan harian di log book limbah B3. Bentuk pertanggung jawaban PG
Subang terhadap limbah B3 yaitu dengan melakukan pelaporan secara rutin tiga bulan sekali ke KLH.
Bentuk pengelolaan yang dilakukan PG Subang terhadap penanganan aki bekas di antaranya,
untuk aki bekas yang akan masuk ke tempat penyimpanan sementara di pasang sticker gambar
tengkorak (lambang limbah B3), aki bekas disimpan secara bertumpuk yang beralas kayu, pemasukan
aki bekas tercatat pada log book neraca limbah B3, penyimpanan aki bekas baru dan aki bekas yang
lama dipisahkan, aki bekas disimpan paling lama 90 hari dan apabila sudah lebih dari 90 hari harus
ada izin penyimpanan atau pengelolaan dari KLH, pengeluaran limbah B3 dijual kepada pihak ke III
yang mempunyai izin pembelian atau manifest dari KLH, serta data neraca limbah B3 aki bekas setiap
3 bulan dan 6 bulan sekali dilaporkan ke KLH, BPLHD, dan BPLH.
Bentuk pengelolaan yang dilakukan PG Subang terhadap penanganan oli bekas diantaranya.
untuk oli bekas ditampung dalam drum dan ditempel sticker gambar tengkorak (lambang Limbah B3),
oli bekas disimpan dalam drum disusun berjajar yang beralas kayu, pemasukan oli bekas tercatat pada
buku loog Book Neraca Limbah B3, penyimpanan oli bekas baru dan oli bekas lama dipisahkan, oli
bekas disimpan paling lama 90 hari (apabila > 90 hari harus ada ijin dari KLH), pengeluaran Limbah
B3 di jual kepada pihak III yang mempunyai ijin pembelian dari KLH, serta data neraca limbah B3 oli
bekas setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali dilaporkan ke KLH, BPLHD, dan BPLH.
Untuk penanganan terhadap upaya tanggap darurat di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS)
Limbah B3 telah dilakukan beberapa upaya, diantaranya gudang tempat penyimpanan limbah B3 aki
bekas, oli bekas, lap majun dan lampu TL dipasang lampu penerangan untuk antisipasi terjadi

50
kebakaran dan kecelakaan di gudang tempat penyimpanan limbah B3, tersedia alat pemadam
kebakaran dan kotak P3K, apabila terjadi kebakaran pintu gudang limbah B3 bisa dibuka lebar dan
api disemprot dengan alat pemadam kebakaran yang tersedia, apabila tenaga kerja ada yang terluka
dapat dengan segera diobati dengan obat yang tersedia di kotak P3K, aki bekas atau oli bekas yang
terbakar diseleksi untuk dipisahkan. Upaya penanganan limbah B3 lebih terfokuskan terhadap aki
bekas dan oli bekas, upaya yang telah dilakukan di antaranya, menampung oli bekas di tempat
penghasil oli bekas yaitu dari bagian pool kendaraan, alat berat traktor dan lain-lain serta diesel genset
serta membuat gudang penyimpanan sementara oli bekas dan aki bekas di tempat khusus.

D. INTERPRETASI HASIL

Adanya penggunaan bahan baku, tambahan, dan energi yang tidak optimal menimbulkan
dampak negatif bagi perusahaan, diperlukan pembenahan secara maksimal di PG Subang dimulai dari
modifikasi dan perbaikan mesin-mesin proses produksi, serta penggunaan bahan dan energi yang tepat
agar tidak terjadi pemborosan yang dapat meningkatkan biaya produksi. Analisis daur hidup gula
terhadap penggunaan bahan baku, tambahan, dan energi secara sistematis dapat dilihat pada Lampiran
8 dan 9. Dengan dilakukan analisis terhadap daur hidup gula, dapat diketahui kekurangan yang terjadi
pada proses produksi gula sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan agar tidak menimbulkan
dampak negatif bagi perusahaan dalam memproduksi gula.
Pada umumnya pabrik gula di Indonesia mengolah tebu hanya untuk menghasilkan gula pasir
sebagai produk tunggal. Padahal tebu dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan
seperti, pupuk, makanan ternak, molasses, dan bagasse (Mardianto et al. 2005). Ampas tebu
merupakan sumber energi yang terbarukan dan tersedia cukup besar (Hugot 1986). Langkah yang
dapat ditempuh untuk mencegah banyaknya ampas digudang agar tidak beterbangan yaitu dengan
menutup gudang ampas sehingga gudang ampas tidak dalam keadaan terbuka dan tidak ada serbuk
ampas yang beterbangan di sekitar pabrik yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Kegiatan
pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemakaian masker di sekitar pabrik untuk mencegah
terhirupnya partikel di sekitar pabrik. Selain itu, ampas tebu dapat dijadikan bubur pulp dan dipakai
untuk pabrik kertas, untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, particle board, dan
bioetanol (Misran 2005). Selain itu, adanya kandungan polisakarida dalam ampas tebu dapat
dikonversi menjadi produk atau senyawa kimia yang digunakan untuk mendukung proses produksi
sektor industri lainnya. Salah satu polisakarida yang terdapat dalam ampas tebu adalah pentosan
dengan persentase sebesar 20-27 %. Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan
ampas tebu untuk diolah menjadi furfural. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas, diantaranya
sebagai bahan kimia pembangun dalam produksi senyawa kimia yang digunakan pada industri
farmasi, herbisida, senyawa penstabil (stabilizer), dan juga dapat disintesis menjadi turunan-
turunannya seperti: furfuril alkohol, furan, dan lain-lain.
Limbah pabrik gula berupa ampas tebu sangat mengganggu lingkungan apabila tidak
dimanfaatkan. Selama ini pemanfaatan ampas tebu hanya terbatas untuk pakan ternak, bahan baku
pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Nilai ekonomi
yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
pengembangan teknologi sehingga terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian. Kandungan
karbon yang tinggi dalam ampas tebu menjadi dasar untuk memanfaatkannya sebagai arang aktif.
Arang aktif adalah arang yang dihasilkan dari proses pengaktifan dengan menggunakan bahan
pengaktif sehingga memperluas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup sehingga
daya adsorbsinya lebih tinggi. Arang aktif memiliki daya adsorbsi yang jauh lebih besar

51
dibandingkan dengan arang yang belum mengalami proses aktifasi sebagai benda berpori luas. Selain
itu, pemanfaatan ampas tebu dapat digunakan untuk gasifikasi. Gasifikasi merupakan teknologi
proses thermo-kimia yang mengubah suatu biomassa padat menjadi flammable gas seperti gas CO, H2,
dan CH4. Aplikasi gasifikasi dari ampas tebu dapat digunakan pada elektric generator, pompa air,
dan mesin diesel. Oleh karena itu, dengan pemanfaatan ampas tebu untuk gasifikasi dapat memberi
nilai tambah bagi perusahaan, selain itu dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh ampas tebu.
Suplesi bahan bakar termasuk pemakaian listrik PLN di beberapa pabrik gula yang tidak
efisien dapat menyebabkan biaya produksi gula bertambah hingga mencapai 10 % dan bahkan lebih.
Ciri–ciri dari pabrik gula yang kurang efisien tersebut dapat ditandai mempunyai produksi uap per kg
ampas rendah mencapai sekitar 1,8 kg (normalnya > 2,2 kg) dan konsumsi uap per tebu tinggi
mencapai hingga > 60 % (normalnya < 50 %). Potensi energi yang ada di pabrik gula dapat
diwujudkan apabila dilakukan optimasi terhadap jumlah dan kualitas ampas di gilingan, produksi uap
di stasiun boiler dan penggunaan uap dalam pabrik (Saechun 2009). Permasalahan utama yang terjadi
di PG Subang adalah banyaknya jam berhenti giling, hal ini akan berdampak pada pemanfaatan energi
kurang optimal, proses produksi menjadi terhenti sehingga produk gula yang dihasilkan menjadi
semakin sedikit, selain itu limbah yang dihasilkan juga semakin banyak karena terjadi akumulasi nira
kotor pada limbah cair. Untuk mengatasi hal ini, PG Subang diharapkan dapat lebih meningkatkan
kinerja produksi agar proses produksi gula berjalan secara maksimal. Mesin dan peralatan yang
digunakan harus bekerja secara optimal, oleh karena itu diperlukan penanganan yang maksimal pada
saat maintenance agar tidak terjadi kerusakan maupun kebocoran pada saat musim giling tiba.
Dalam pemanfaatan limbah yang dihasilkan, beberapa limbah cair dapat dimanfaatkan kembali
seperti air dari jatuhan kondensor. Air jatuhan kondensor sebagian digunakan kembali untuk
kepentingan air injeksi sekitar 70 % dan sebagian dibuang ke lingkungan tanpa sirkulasi 30 % atau
didinginkan dengan cooling tower terlebih dahulu. Air jatuhan kondensor baik yang digunakan
kembali maupun kelebihannya telah disirkulasi terlebih dahulu dengan cooling tower system dalam
kondisi dioperasikan. Penanganan dalam pabrik (inhouse keeping) terhadap penanganan limbah cair
yang dilakukan PG Subang dimaksudkan untuk meminimalisasi beban limbah cair yang keluar dari
pabrik sebelum masuk unit pengolahan limbah cair. Mencegah masuknya bahan sumber pencemaran
dilakukan dengan cara: mencegah terjadinya bocoran-bocoran pada pipa-pipa, peti-peti nira dan
pompa-pompa dengan pengawasan peralatan secara rutin, membuat simparan atau injector pada
masing-masing tempat lokasi pompa, mencegah masuknya minyak atau oli pada unit pengolahan
limbah cair dengan membuat bak penangkap minyak, dan memasang tangki penampung bekas bahan
kimia (soda) untuk pembersihan juice heater dan evaporator, pembuangan secara perlahan serta
membuat saluran-saluran air limbah secara permanen dan kedap air.
Secara umum pengendalian pemcemaran air (pada limbah cair) dapat dilakukan dengan
cara:
1. Melancarkan aliran air di parit-parit dan parit jatuhan air kondensor dan proses pencucian
pabrik agar lancar mengalir ke IPAL
2. Memperbaiki v-notc pada tiap oulet yang masuk ke IPAL agar tercatat semua
3. Memindahkan kelebihan buangan pipa panas air dari proses yang mengalir ke parit kondensor
ke bak tampungan kondensor sebelum di ukur v-notc.
4. Meminimalkan nira dan endapan-endapan yang masuk kedalam air kondensor sehingga semua
baku mutu Permen LH No.5 Tahun 2010 dipenuhi, hal ini karena hasil pengukuran bulan Juni
2010 beberapa parameter BOD, COD, dan TSS > 500 % melampaui baku mutu
5. Tetap melakukan pengukuran pH dan debit harian outlet IPAL. kondensor dan abu ketel
6. Mengoptimalkan kinerja IPAL agar air limbah yang keluar sesuai dengan baku mutu.

52
7. Menandai koordinat titik sampel untuk outlet IPAL. kondensor dan air abu boiler
8. Memperbaiki parit-parit di sekitar proses pembuatan susu kapur agar air limbah kapur tidak
berceceran
9. Tetap melakukan perhitungan neraca air yang digunakan baik untuk proses maupun utilitas
sehingga dapat diketahui air baku yang masuk baik dari sungai, maupun sumber lainnya dan
total air yang dibuang atau dikeluarkan dari tiap-tiap proses.
10. Memperbaiki sistem pengendapan abu boiler sehingga laju pengendapan abu boiler seimbang
dengan laju aliran airnya serta mengoptimalkan proses pengendapan abu boiler sehingga
limbah cair memenuhi baku mutu limbah cair industri gula.
11. Melakukan pengukuran limbah cair di outlet IPAL limbah setelah perbaikan-perbaikan temuan
lapangan dan kinerja IPAL sudah optimal.

Pemanfaatan turunan dari molasses yang dihasilkan dari stasiun kristalisasi banyak
dimanfaatkan oleh berbagai industri, diantaranya oleh distilling industry, fermentation industries, dan
lain-lain. Di banyak negara, produsen gula telah melakukan diversifikasi produk gula guna
menyiasati penurunan harga gula, menekan biaya produksi, memperluas pasar, serta mengurangi
resiko kerugian pada pabrik gula (Mardianto et al. 2005). Oleh karena itu, PG Subang diharapkan
dapat meningkatkan pemanfaatan dari produk samping yang dihasilkan sehingga akan meningkatkan
pendapatan dan keuntungan pada perusahaan.
PG Subang melakukan pengendalian pencemaran udara sesuai RKL/RPL, beberapa upaya
telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pencemaran di sekitar pabrik diantaranya :
1. Memperbaiki sistem handling baggase sehingga ceceran dari serbuk bagasse tidak beterbangan
2. Menampung abu boiler agar mudah diangkut dan tidak beterbangan kemana-mana
3. Meningkatkan kinerja pengolahan emisi udara sehingga emisi yang dihasilkan dari setiap
sumber emisi tetap memenuhi baku mutu emisi sesuai dengan Peraturan Menteri LH No. 7
tahun 2007
4. Meningkatkan house keeping di sekitar sarana dan alat pengendalian pencemaran udara
sehingga debu dan jelaga di area boiler tidak beterbangan
5. Mengendalikan boiler pada saat suspensi bahan bakar non ampas sehingga asap hitam tidak
sering keluar ke cerobong

PG Subang mengupayakan agar kualitas udara direduksi di sekitar wilayah kebun hingga
pabrik agar tidak menimbulkan gangguan atau keresahan bagi masyarakat yang berada di wilayah
pabrik. Beberapa upaya untuk mereduksi dampak penurunan kualitas udara antara lain: melakukan
pengerasan jalan utama angkutan tebu di kebun ke pabrik, melakukan penyiraman secara berkala di
daerah yang berdebu dalam lingkungan pabrik dan jalan desa terutama pada musin kemarau,
melakukan penyiraman abu ketel sebelum dibuang ketempat pembuangan, menanam pohon-pohon
pelindung di lingkungan pabrik, perumahan karyawan, dan sekitar kolam limbah (secara bertahap),
ampas disimpan di tempat khusus atau gudang ampas, serta pemeriksaan kesehatan karyawan oleh
dokter perusahaan secara periodik (bagi yang sakit).

53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Metode LCA digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan pada siklus hidup gula
dengan menganalisis penggunaan bahan baku serta energi. Siklus hidup gula di PG Subang dimulai
dari proses ekstraksi tebu hingga menghasilkan produk gula SHS. Dalam tiap tahapan proses
produksinya dihasilkan limbah dan produk samping. Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus
hidup gula di PG Subang berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut
dapat dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat, ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler
yang akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan
blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari
proses produksi gula dapat berupa uap air hasil proses penguapan, dimana uap air tersebut akan
digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler, serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah
proses produksi akan diolah di IPAL sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu.
Rendemen yang dihasilkan di PG Subang pada tahun 2011 adalah 6,69 atau terjadi penurunan
2,62 % dari target RKAP yaitu 6,87. Hal ini selain dipengaruhi proses budi daya tebu yang kurang
optimal juga dipengaruhi oleh proses produksi gula di pabrik. Berdasarkan analisa inventori yang
dilakukan, pada aliran bahan yang terjadi di tiap stasiun yang ada di pabrik seperti stasiun gilingan,
stasiun pemurnian, stasiun penguapan, serta stasiun kristalisasi masih banyak terjadinya losses, hal ini
menunjukkan terjadinya inefisiensi dalam proses produksi gula. Berdasarkan analisis inventori yang
dilakukan, menunjukkan bahwa loss yang dihasilkan di PG Subang pada tahun 2011 sebesar
11.734,52 ton yang berasal dari loss tiap tahapan proses. Di stasiun gilingan loss yang dihasilkan
sebesar 3.490,25 ton, hal ini disebabkan karena pol tebu < 10 %, kotoran tebu > 5 %, pol ampas > 2
%, dan penambahan air imbibisi yang terlalu kecil yaitu 24,84 %. Loss yang dihasilkan di stasiun
pemurnian sebesar 2.516,11 ton, hal ini disebabkan karena % pol blotong > 2 % sehingga zat gula
(pol) yang terbawa pada blotong semakin banyak. Untuk penggunaan belerang dan kapur tohor sudah
tepat, hanya saja untuk penggunaan flokulan terlalu banyak yaitu 5 ppm sehingga biaya produksi
semakin meningkat. Di stasiun penguapan tidak terjadi loss, namun brix nira kental yang dihasilkan
masih rendah yaitu 52,88 %, hal ini mengakibatkan nira yang dihasilkan tidak maksimal. Loss yang
dihasilkan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi sebesar 5.728,16 ton, hal ini disebabkan karena
banyaknya nira yang belum terkristalkan dan rendahnya pol dalam pan masakan, hal ini dipengaruhi
oleh keakuratan dalam proses kristalisasi terhadap suhu dan waktu yang kurang optimal.
Penggunaan energi pada proses produksi gula berasal dari bahan bakar, listrik, dan uap.
Kendala yang dihadapi diantaranya terjadinya berhenti giling yang mengakibatkan pasokan ampas
untuk bahan bakar boiler menjadi berkurang sehingga diperlukan suplesi bahan bakar tambahan yaitu
IDO (Industrial Diesel Oil) yang biayanya lebih besar sehingga biaya produksi meningkat. Hal ini
dipengaruhi oleh pol dan kadar air ampas yang masih tinggi yaitu 2,66 % dan 52,08 % sehingga nilai
kalor ampas menjadi rendah dan tidak mencukupi untuk kebutuhan pembakaran di boiler. Untuk
penggunaan listrik dan uap juga dipengaruhi oleh pasokan ampas dari stasiun gilingan, efisiensi listrik
di PG Subang sebesar 18,94 %, dan efisiensi uap sebesar 58,94 %. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja di
stasiun gilingan serta terjadinya pemborosan energi yang ditunjukkan dengan masih banyaknya uap
yang terbuang dan kebocoran pada saluran uap.

54
Setelah dilakukan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan energi pada proses
produksi gula, selanjutnya dilakukan analisis terhadap dampak yang ditimbulkan akibat
penggunaannya yang tidak efisien, karena dengan terjadinya inefisiensi menunjukkan adanya
komponen baik bahan maupun energi yang hilang atau keluar ke lingkungan semakin banyak,
sehingga perlu dianalisa terhadap dampak lingkungannya. Dampak yang terjadi akibat adanya loss
yang dihasilkan diantaranya: produk gula SHS yang dihasilkan menjadi lebih sedikit, banyaknya zat
gula (pol) yang terbawa pada limbah maupun produk samping seperti pada ampas tebu dan blotong,
sanitasi yang kurang baik sehingga memungkinkan timbulnya mikroorganisme yang dapat
mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan, terjadinya jam berhenti giling yang mengakibatkan
rendemen menurun dan limbah yang dihasilkan semakin meningkat, serta emisi gas rumah kaca yang
dihasilkan dari pemakaian IDO semakin tinggi. Selain itu, banyaknya ampas yang dihasilkan tidak
seluruhnya digunakan untuk pembakaran di boiler yang mengakibatkan banyaknya ampas yang
diletakkan di luar gudang ampas yang dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena
banyaknya partikel ampas yang beterbangan, hal ini juga dapat mempengaruhi kualitas ampas untuk
pembakaran di boiler karena kadar air dalam ampas dapat menurun akibat terkena hujan jika ampas
diletakkan di luar gudang ampas.

B. SARAN

Adanya peningkatan manajemen budidaya tebu untuk memperoleh produktivitas tebu yang
maksimal. Selain itu, perlu dilakukan optimalisasi perbaikan mesin dan peralatan saat maintenance
untuk meminimalisasi terjadinya kerusakan maupun kebocoran alat saat musim giling. Diperlukan
peningkatan mengenai sanitasi di dalam dan luar pabrik yang baik agar terhindar dari mikroorganisme
atau bakteri yang dapat mempengaruhi kinerja proses produksi. Dalam mengurangi biaya bahan bakar
tambahan untuk menggantikan pemakaian IDO, dapat digunakan alternatif bahan bakar lain seperti
penggunaan LNG (Liquified Natural Gas) yang harganya lebih murah serta emisi yang rendah.
Pemanfaatan limbah seperti ampas tebu dapat dilakukan dengan memanfaatkannya sebagai arang aktif
dan gasifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan keutungan bagi perusahaan.

55
DAFTAR PUSTAKA

Abilio A, Faul F. 1987. Bagasse Drying. Sugar Journal 89 (1060) : 68-71.


Anonim. 1992. Gula tebu. http://warintek.progessio.or.id. [20 Juli 2012].
______. 2009. Komposisi dari blotong. http://www.risvank.com/2009/blotong. [18 Mei 2012] .
______. 2008. Potensi ampas tebu. http://malikhi.wordpress.com/2008/potensi-ampas-tebu. [18 Mei
2012].
Azapagic A. 1999. Life cycle assessment and its application to process selection, design and
optimization. Chemical Eng J 73: 1-21.
Curran M. 1996. Environmental Life Cycle Assessment. McGraw-Hill. New York.
Halim K. 1973. Rapidoor Clarifier dalam Industri Gula. LPP Yogyakarta.
Hugot E. 1960. Hand Book of Cane Sugar Engineering. Elsevier Publising Company. Amsterdam.
Hugot E. 1986. Handbook of Cane Sugar Engineering. 3rd ed. Elsevier. NewYork.
Isyuniarto. 2007. Proses Ozonisasi pada Limbah Cair Industri Gula. Pusat Teknologi Akselerator dan
Bahan – BATAN.Yogyakarta
Kristanto P. 2002. Ekologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.
[LPP] Lembaga Pendidikan Perkebunan. 2006. Pengelolaan Limbah Industri Gula. LPP Yogyakarta
Maranhao LEC. 1980. Individual Bagasse Drying System. Proc. of XVII th ISSCT congress. 3: 2000-
2011.
Mardianto S, Simatupang P, Hadi PU, Malian H, Susmiadi A. 2005. Peta jalan (Road Map) dan
Kebijakan pengembangan Industri Gula Nasional. Jurnal Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 19-
73.
Mattson B, Sonesson U. 2003. Environmentally-friendly food processing. Woohead Publishing
Limited. Cambridge. England.
Megasari K , Swantomo D, Christina M. 2008. Penakaran daur hidup pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) batubara kapasitas 50 MWatt. Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir
Yogyakarta.
Misran E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Teknologi Proses 4 (2): 6-10.
Moerdokusumo. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit
ITB. Bandung.
Paryanto LA. Fachruddin, Sumaryono W. 1999. Diversifikasi Sukrosa Menjadi Produk Lain. P3GI.
Serpong.
P3GI. 2001. Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional . Kerja Sama Ditjen Bina Produksi Perkebunan
dengan P3GI.
Rebitzer G, Finnveden G, Hauschild MZ, Ekvall T, Guine’e J, Heijungs R, Hellweg S, Koehler A,
Permington D, Suh S. 2009. Recent developments in Life Cycle Assessment: Review. J of
Environmental Manag 91: 1-21.
Renouv MK, Wegener MK. 2007. Environmental Life Cycle Assessment (LCA) of Sugarcane
Production and Processing in Australia. Proceedings of the Australian Society of Sugar Cane
Technologists 29: 1- 15.
Rosmeika, Sutiarso L, Suratmo B. 2009. Pengkajian Daur Hidup Ampas Tebu Di Pabrik Gula
Madukismo. Yogyakarta Menggunakan Metode Life Cycle Assessment (LCA). J. Enj
Pertanian 8(2) : 1-11.
Saechu M. 2009. Optimasi Pemanfaatan Energi Ampas di Pabrik Gula. Jurnal Teknik Kimia 4 (1): 1-
7.

56
Schempf NC. 1999. Economic Input-Output Life Cycle Assessment of Asphalt versus Steel Reinforced
Concrete for Pavement Construction. Pittsburgh: Posner Hall.
Sihombing SR. 2012. Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Pada Industri Gula (Studi Kasus PT
PG Rajawali II Unit PG Subang) [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Soebekti B. 2001. Pengantar Proses Pengolahan Gula. PG Subang. Subang.
Soerjadi. 1977. Peranan Komponen Batang Tebu dalam Pabrikasi Gula. LPP Yogyakarta.
Subekti B. 2010. Perhitungan Pengawasan Gilingan. LPP Yogyakarta.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

57
LAMPIRAN

58
Lampiran 1 . Hasil Samping Industri Gula Tebu

HASIL SAMPING INDUSTRI GULA TEBU

Tenaga listrik

Bahan bakar Arang briket

Ampas Gas methane dan

Gas air

Makanan ternak Pulp & kertas

Pucuk dan daun Hasil serat Kertas & karton

Bahan bakar Softboard &


hardboard

Particle Board

Furfural

Alpha cellulose

Plastik

Lain-lain Alas kandang


ayam

Campuran
makanan ternak

Campuran
dinding bangunan

Pertanian

Rabuk Bahan Chemicalia dari derivat

Makanan ternak Blotong Tebu Gula Sacarose

Lilin dan lemak export sebagai bahan mentah

Pemakaian langsung Rabuk tanaman

Makanan ternak

Destilasi Rum. alkohol (absolute)

Rabuk kalium Abu Molasses Protein untuk ternak

Protein dari nira tebu Industri fermentasi asam cuka, buthanol,ragi roti

Asam sitrun, asam laktat

Sumber : Data PG Subang Lain-lain liquid segar, vetsin.

asam askorbat

59
Lampiran 2. Sumber Limbah di Pabrik Gula

BAGAN JENIS DAN SUMBER LIMBAH PABRIK GULA

Tebu
Sisa Ampas Steam Gas Cerobong
Air imbibisi Ampas Air Kurasan
MILL Boiler

Steam
Air Pengisi Boiler (APB)
Steam
Steam PEMANASAN
Kondensat ke boiler (APB) Air

Gas
Belerang PEMURNIAN Sisa Gas Reaksi
Air Blotong
Kapur tohor
Air Menuju
Air
UPLC

Steam Kondensat ke Boiler (Apb) dan Air Proses


PENGUAPAN
Chemical cleaning Air bekas chemical cleaning
Air kondensor Kolam
Air Pendingin
Air Injeksi
Air injeksi
KRISTALISASI
Air Kondensor Air

Air SENTRIFUGASI
Molasses

Gula

Sumber : LPP (2006)

60
Lampiran 3. Kuesioner data penelitian

KUESIONER PENELITIAN
PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) GULA
PADA PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

A. Data Responden
1. Nama :…………………………………………….
2. Jenis kelamin : (L/P)
3. Umur : .............. tahun
4. Alamat :…………………………………………….
5. Jabatan :…………………………………………….

B. Data Industri
1. Nama industri :………………………………………........
2. Alamat industri :…………………………………………….
3. Luas Kebun :…………………. ha
4. Luas Pabrik :............................. ha
5. Jumlah tenaga kerja :…………………. orang

C. Data Tanaman Tebu


1. Jenis/varietas tanaman :…………………………………................
2. Jumlah panen per tahun :…………………. kali
3. Produktivitas tebu :…………………. ku/ha
4. Jenis bahan tambaha n : ...................................................................
5. Kebutuhan air irigasi : ...................................................................
6. Waktu pemanenan : ...................................................................
7. Syarat penebangan : ...................................................................
8. Teknik budi daya : ...................................................................
9. Permasalahan dalam penanaman : ...................................................................

D. Data Pabrikasi
1. Jenis bahan baku :………………………...
2. Jenis bahan pembantu :…………………………
3. Kebutuhan bahan baku /musim giling :…………………. ton
4. Kebutuhan bahan pembantu/musim giling :…………………. Ton
5. Proses produksi gula : .......................................

E. Data Mesin dan Peralatan


1. Jenis Mesin dan Peralatan :……………………………………………..
2. Jumlah Mesin dan Peralatan :……………………………………………..
3. Efisiensi peralatan : .....................................................................

61
F. Data Utilitas
1. Kebutuhan Air :………………….. m3
2. Kebutuhan Energi (per musim giling)
a. Kebutuhan Listrik :………………….. kWh
b. Kebutuhan Solar :………………….. Liter
c. Kebutuhan IDO :............................... Liter
d. Kebutuhan ampas tebu : .............................. ton
e. Kebutuhan Uap :............................... ton
f. Kebutuhan operasional :………………………………………

G. Data Produk
1. Produk utama
Jumlah Gula :……………………... ton
2. Produk samping
a. Jumlah Ampas tebu :……………………… ton
b. Jumlah Blotong :……………………… ton
c. Jumlah Tetes :………………………. ton
d. Jumlah Sisa Pucuk Tebu :.................................... ton

H. Data Limbah
1. Volume limbah cair :……………………….. m3
2. Jumlah limbah padat :……………………….. ton
3. Jenis emisi :.....................................
4. Jumlah emisi .....................................
5. Jumlah Limbah B3 :.....................................
6. Jenis penanganan limbah :………………………..
7. Pemanfaatan limbah : ......................................

62
Lampiran 4 . Struktur Organisasi PG Subang

STRUKTUR ORGANISASI PG SUBANG


General manager

Kabag Kabag Kabag Kabag Kabag


SDM & Umum tanaman Instalasi Pabrikasi TUK

Kasie SKK SKK Rayon SKK Kepala Kepala Kepala Staf Staf Staf Staf
SDM & umum Rayon PSB PSM Rayon MSL BST Teb. Mekanisasi Work Shop Lab & QC Keuangan Akunta
Angkut nsi

Staf
Kasie Staf Staf Staf
SDM SKW SKW SKW Staf
Alat berat& Gilingan Purification Gud.
Wil 1A/B Wil VI Wil XI BST
besali Material

Staf Staf
Poliklinik SKW SKW SKW Staf Staf
Wil II Wil VII Wil XII BST Staf
Kasie Boiler Evaporator
Gud. Hasil
Pompa &
Impl. Trailer
Pakam
SKW SKW SKW
Wil III A/B Wil IX Wil XIII Staf Staf Staf
Teknik sipil Vac & Crys Akuntansi
Kasie
Field
SKW SKW Operation Staf Staf
Wil IV A/B Wil X Listrik Centrifugal

Kasie Staf
Mekanisasi
Pool Kend
SKW Rayon MSL
Wil V
Staf
Instrumen

3
63
Lampiran 5. Pengawasan kinerja gilingan di PG Subang

Data bobot % brix % pol HK ZK


Tebu 343.646,88
Imbibisi 85.362,3
Nira mentah 316.215,3 12,27 8,98 73,2
Kor.kotoran 0,28
Nira perahan 1 16,14 12,13 75,2
Nira perahan 2 8,19 5,79 70,8
Nira perahan 3 5,73 3,87 67,5
Nira perahan 4 3,61 2,34 64,8
ampas 109.303,6 4.,11 47,95

Ampas % tebu = (109.303,6 : 343.646,88) x 100 % = 31,81 %


HK ampas = HK nira perahan 4 = 64,8
% pol ampas = % brix ampas x HK nira perahan 4
= 4,11 % x 64,8 = 2,66
Pol ampas = 2,66 % x 109.303,6 = 2.907,48 ton
Brix ampas = 4,11 % x 109.303,6 = 4.492,38 ton
Netto nira mentah = 316.215,3 – (0,3 x 343.646,88) = 213.121,24 ton
Pol nira mentah = 8,98 % x 213.121,24 = 19.138,29 ton
Brix nira mentah = 12,27 % x 213.121,24 = 26.149,98 ton
Pol tebu = pol nira mentah + pol ampas = 22.045,77 ton
Brix tebu = brix nira mentah + brix ampas = 30.642,36 ton
Sabut % ampas = ZK ampas - % brix ampas = 43,84
Sabut % tebu = sabut % ampas x ampas % tebu = 13,95 %
HPB1 = brix npp x 100 %
brix tebu
NPP = nmnett x % brix nm - % brix n2
% brix n1 - % brix n2
= 109.375,43 ton
Brix NPP = 17.653,19 ton
Maka HPB1 = 57,61 % (sasaran > 60 %)
HPBtotal = brix nm x 100 % = 85,34 % (sasaran > 90%)
brix tebu
HPG = pol nm x 100 % = 86,81 % (sasaran > 92 %)
pol tebu
PSHK = 1.4HKnm – 40 x 100 % = 95,71 % (sasaran 96 – 98 %)
1.4HKnpp - 40
KNT = brix tebu x 100 % = 77,84 % (sasaran > 80 %)
% brix npp x tebu
Faktor campur = 100 - sabut % ampas x % pol np4 = 61,43 % (standar ≈ 50)
% pol ampas
Dilution factor = % brix npp - % brix nm x 100 % = 1,27 (standar ≈ 1)
% brix nm x imbibisi % tebu
Df ≈ 1 = jumlah imbibisi tepat
Df < 0,95 = jumlah imbibisi terlalu kecil
Df > 1,05 = jumlah imbibisi terlalu besar

364
Kehilangan nira asli di ampas akhir
Nira asli ampas 4 = % brix np4 x 100 % = 25,46 %
% brix npp
Nira asli hilang ampas % tebu = nira asli ampas 4 x ampas % tebu = 8,1 %
Nira asli hilang ampas % sabut = nira asli ampas 4 x 100 % = 58,07 %
Sabut % ampas

465
Lampiran 6. Diagram alur limbah PG Subang

DIAGRAM ALUR LIMBAH DI PG SUBANG

PG SUBANG

Limbah cair Limbah udara Limbah padat Limbah B3

Iimbah Limbah abu Limbah Limbah Pembakaran Genset Sisa blotong ampas Kerak nira Limbah
tetes abu aki Oli Lap Lampu
proses ketel kondensor gabungan boiler listrik pucuk& / gula domestik
bekas bekas majun TL
daun tebu

Tangki IPA Air bak WTP IPAL Pengontrolan dan Dikumpul Tempat Ditampung Dikirim Ditampung Ditampung
Tempat penyimpanan
penampun L penampung pengujian kualitas kan pembua di Tempat ke dan dan dibakar
sementara limbah B3
g abu boiler emisi udara menjadi ngan pembua- stasiun dibuang
pupuk ngan boiler

Pembuatan Kembali ke IPAL Pupuk Menjadi bahan


Buang ke
MSG, pabrik untuk organik, bakar boiler
lebung
alkohol proses campuran
pupuk
kompos

3
66
Lampiran 7. Diagram neraca bahan pada proses produksi gula

NERACA BAHAN PADA PRODUKSI GULA DI PG SUBANG

Tebu 343.646,88 ton

Air imbibisi 24,84 %


85.362,30 ton Ampas 31,81 %
Unit Gilingan
109.303,6 ton

316.215,33 ton Nira Mentah

Pemanas I (750 C)

464,08 ton Defekator (pH : 8,5)


kapur tohor

Sulfitir I (pH : 7,2)


SO2

Pemanas II (1000 C)

Flash Tank Nira Tapis


Flokulan
1.816 ton
Door Clarifier
Nira Kotor RVF

Nira Jernih
304,814.80 ton 11.164,5 ton blotong

Penguapan 23.623,44 ton air

Nira Kental 68.191,36 ton

SO2 Sulfitir II (pH : 5,6)


6,0 % Air Jatuhan

Unit masakan dan


sentrifugasi
16.887 ton molasses

22.990,50 ton GULA SHS

67
Lampiran 8. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan bahan tambahan

Stasiun Losses Penyebab Dampak Interpretasi hasil


Ekstraksi 3.490,25 ton *Tebu tidak layang untuk digiling * Zat gula atau nira yang dihasilkan lebih * Perlu analisis pendahuluan yang baik
/gilingan atau 1,01 % (pol tebu < 10 %) sedikit terhadap kualitas tebu sebelum digiling
* Tebu masih dalam keadaan * Mesin bekerja lebih maksimal untuk * Optimalisasi mesin gilingan dengan
kotor (0,3) memisahkan nira dan kotoran pembenahan yang maksimal saat
* Jumlah penambahan air imbibisi * Perlu bahan tambahan yang lebih banyak maintenance
terlalu sedikit untuk memurnikan nira * Perlu perhitungan yang cermat dalam
* Kinerja mesin giling yang * Ekstraksi nira tidak maksimal karena penambahan air imbibisi
belum optimal penambahan air imbibisi yang terlalu sedikit * Perlu alat penampung oli yang berukuran
* Banyaknya zat gula (pol) yang * Adanya zat gula yang terbawa ampas akan lebih besar dan diperbanyak agar tidak
ikut terbawa ampas menghambat kinerja boiler terjadi tumpahan oli dari mesin gilingan
* Banyaknya oli yang berceceran * Lantai menjadi licin, sanitasi kurang baik
Pemurnian 2.516,11 ton * Kandungan gula ( pol) pada * Nira encer/ nira jernih yang dihasilkan * Optimalisasi mesin pada stasiun pemurnian
atau 0,79 % blotong yang tinggi ( > 2%) menjadi lebih sedikit karena banyaknya zat * Lebih teliti dalam pengaturan suhu, pH dan
* Penggunaan flokulan yang gula yang ikut terbawa blotong waktu di stasiun pemurnian
berlebihan (5 ppm) * Perlu biaya yang lebih tinggi untuk pembelian * Penggunaan bahan tambahan seperti
flokulan belerang, kapur tohor, serta flokulan yang
tepat
Penguapan brix nira * Pengontrolan kinerja evaporator * Brix nira kental belum memenuhi aturan * Menyediakan sarana untuk mendaur ulang
kental tidak belum maksimal standar yaitu 60 - 64 %, sehingga nira kental nira kental agar dapat diuapkan kembali
optimal * Aliran air injeksi yang terlalu yang dihasilkan tidak maksimal * Pengontrolan kondisi dan kinerja mesin
cepat dan tidak optimum * Kurangnya jumlah steam untuk menguapkan evaporator secara optimal
* Banyaknya pipa pelapis pada nira encer di evaporator * Perlu optimalisasi di stasiun pemurnian
badan evaporator yang terbuka * Kondisi vakum pada evaporator tidak optimal terutama dalam pembentukan inti endapan
* Banyaknya kerak pada badan * Mekanisme pindah panas pada evaporator agar tidak terjadi penempelan kerak pada
evaporator tidak efisien pipa uap di badan evaporator

3
68
Lampiran 8. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan bahan tambahan
(lanjutan)

Stasiun Losses Penyebab Dampak Interpretasi hasil


Kristalisasi 5.728,16 ton * Rendahnya zat gula (pol) dalam * Gula SHS yang dihasilkan menjadi lebih * Para chemiker dituntut menguasai
dan atau 8,4 % brix pada proses kristalisasi sedikit perhitungan cepat pada setiap kondisi yang
sentrifugasi dalam pan masakan * Adanya gula yang masih tercecer selalu berubah
* Kinerja mesin yang kurang * Kristal gula yang dihasilkan tidak homogen * Petugas dalam masakan harus selalu
optimal * HK pada tiap masakan tidak optimal mengikuti perkembangan HK bahan yang
* Sanitasi yang kurang baik ada di stasiun masakan, untuk stroop dan
* Keakuratan dalam proses klare harus tahu HK bahan yang ada di tiap
masakan/ kristalisasi terhadap peti stroop dan klare
suhu dan waktu yang kurang * Optimalisasi perbaikan mesin pada saat
optimal maintenance
* Banyaknya zat gula dalam nira
yang belum terkristalkan

69
Lampiran 9. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan energi

Sumber Bentuk
Penyebab Dampak Interpretasi hasil
energi Inefisiensi
Bahan Penggunaan * Penggunaan ampas tebu tidak * Diperlukan bahan bakar tambahan lain seperti * Penggunaan bahan bakar full ampas atau
bakar IDO, pol mampu mencukupi kebutuhan IDO yang biayanya sangat tinggi bahan bakar tambahan lain, misalnya
ampas > 2 pembakaran pada boiler dibandingkan ampas tebu yang diperolah dengan bahan bakar gas (Liquified Natura
%, kadar air * Adanya zat gula yang terbawa secara gratis dari hasil ekstraksi tebu Gas/LNG) yang biayanya dan emisi lebih
> 50 %, pada ampas * Timbulnya kerak (inkrustasi) pada pipa boiler rendah dibandingkan dengan IDO
* Nilai kalor ampas yang rendah sehingga menghambat heat transfer pada * Optimalisasi stasiun gilingan agar pol
* Ampas yang dihasilkan tidak boiler ampas rendah sehingga tidak ada zat gula
seluruhnya digunakan untuk * Nilai kalor ampas menjadi rendah karena yang ikut terbawa dalam ampas
pembakaran sehingga masih ada kadar air ampas yang tinggi sehingga * Gudang ampas diusahakan dalam keadaan
sisa di gudang ampas pembakaran tidak optimal tertutup agar tidak menurunkan kualitas
* Kadar air ampas tinggi karena adanya ampas ampas tebu yang akan digunakan untuk
yang masih diletakkan di ruang terbuka pembakaran di boiler
sehingga bisa terkena air hujan sehingga tidak * Pemakaian masker di sekitar gudang ampas
optimal untuk digunakan pembakaran di boiler * Usahakan tidak terjadi berhenti giling
* Banyaknya ampas yang beterbangan di sekitar * Optimalisasi mesin boiler agar kebutuhan
gudang ampas karena gudang ampas tidak uap terpenuhi untuk proses produksi di
dalam keadaan tertutup sehingga timbul pabrik
penyakit pada saluan pernafasan * Pemanfaatan ampas untuk bubur pulp,
* Emisi gas rumah kaca lebih besar dengan particle board, arang aktif, dan gasifikasi
penggunaan IDO

70
Lampiran 9. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan energi (lanjutan)

Sumber Bentuk
Penyebab Dampak Interpretasi hasil
energi Inefisiensi
Listrik dan Efisiensi * Kinerja di stasiun boiler tidak * Heat transfer menurun karena adanya uap * Optimalisasi stasiun gilingan dan boiler
Uap listrik > 15 optimal yang terbuang yang disebabkan sistem uap * Menghindari terjadinya kebocoran uap
% yaitu * Kualitas tebu yang digiling yang yang bocor dan adanya kerak pada badan uap * Dilakukan sistem bleeding
18,94 %, kurang optimal serta *Tingginya kebutuhan uap yang diperlukan * Optimalisasi penggunaan peralatan dalam
Efisiensi uap penggunaan bahan tambahan pada tiap stasiun dalam proses produksi gula pelaksanaan proses produksi gula di pabrik
> 45 % yaitu yang tidak sesuai karena mesin dituntut bekerja lebih maksimal yaitu dengan mengaktifkan alat pada
58,94 % *Kurang efektif dalam dalam menghasilkan nira, memisahkan nira kapasitas optimalnya dan menon-aktifkan
pelaksanaan proses pengolahan dari kotoran atau zat bukan gula, memurnikan alat ketika alat sedang tidak digunakan
tebu di tiap stasiun nira, menguapkan nira dan menghasilkan * Optimalisasi saat maintenance dengan
* Kinerja mesin- mesin produksi kristal gula melakukan perawatan, perbaikan,
yang kurang optimal seperti * Dapat terjadi berhenti giling karena uap yang modofikasi, atau pergantian mesin dan
efisiensi mesin dan spesifikasi dihasilkan boiler untuk proses produksi gula peralatan
dari mesin tersebut di pabrik tidak terpenuhi * Penggunaan kontrol otomatis untuk
* Adanya kebocoran pada sistem memastikan uap hanya digunakan ketika
uap dibutuhkan
* Pembenahan pada turbin dengan pengujian
kinerja dan pembersihan turbin secara
teratur untuk meningkatkan efisiensi

4
71
LAMPIRAN

58
Lampiran 1 . Hasil Samping Industri Gula Tebu

HASIL SAMPING INDUSTRI GULA TEBU

Tenaga listrik

Bahan bakar Arang briket

Ampas Gas methane dan

Gas air

Makanan ternak Pulp & kertas

Pucuk dan daun Hasil serat Kertas & karton

Bahan bakar Softboard &


hardboard

Particle Board

Furfural

Alpha cellulose

Plastik

Lain-lain Alas kandang


ayam

Campuran
makanan ternak

Campuran
dinding bangunan

Pertanian

Rabuk Bahan Chemicalia dari derivat

Makanan ternak Blotong Tebu Gula Sacarose

Lilin dan lemak export sebagai bahan mentah

Pemakaian langsung Rabuk tanaman

Makanan ternak

Destilasi Rum. alkohol (absolute)

Rabuk kalium Abu Molasses Protein untuk ternak

Protein dari nira tebu Industri fermentasi asam cuka, buthanol,ragi roti

Asam sitrun, asam laktat

Sumber : Data PG Subang Lain-lain liquid segar, vetsin.

asam askorbat

59
Lampiran 2. Sumber Limbah di Pabrik Gula

BAGAN JENIS DAN SUMBER LIMBAH PABRIK GULA

Tebu
Sisa Ampas Steam Gas Cerobong
Air imbibisi Ampas Air Kurasan
MILL Boiler

Steam
Air Pengisi Boiler (APB)
Steam
Steam PEMANASAN
Kondensat ke boiler (APB) Air

Gas
Belerang PEMURNIAN Sisa Gas Reaksi
Air Blotong
Kapur tohor
Air Menuju
Air
UPLC

Steam Kondensat ke Boiler (Apb) dan Air Proses


PENGUAPAN
Chemical cleaning Air bekas chemical cleaning
Air kondensor Kolam
Air Pendingin
Air Injeksi
Air injeksi
KRISTALISASI
Air Kondensor Air

Air SENTRIFUGASI
Molasses

Gula

Sumber : LPP (2006)

60
Lampiran 3. Kuesioner data penelitian

KUESIONER PENELITIAN
PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) GULA
PADA PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

A. Data Responden
1. Nama :…………………………………………….
2. Jenis kelamin : (L/P)
3. Umur : .............. tahun
4. Alamat :…………………………………………….
5. Jabatan :…………………………………………….

B. Data Industri
1. Nama industri :………………………………………........
2. Alamat industri :…………………………………………….
3. Luas Kebun :…………………. ha
4. Luas Pabrik :............................. ha
5. Jumlah tenaga kerja :…………………. orang

C. Data Tanaman Tebu


1. Jenis/varietas tanaman :…………………………………................
2. Jumlah panen per tahun :…………………. kali
3. Produktivitas tebu :…………………. ku/ha
4. Jenis bahan tambaha n : ...................................................................
5. Kebutuhan air irigasi : ...................................................................
6. Waktu pemanenan : ...................................................................
7. Syarat penebangan : ...................................................................
8. Teknik budi daya : ...................................................................
9. Permasalahan dalam penanaman : ...................................................................

D. Data Pabrikasi
1. Jenis bahan baku :………………………...
2. Jenis bahan pembantu :…………………………
3. Kebutuhan bahan baku /musim giling :…………………. ton
4. Kebutuhan bahan pembantu/musim giling :…………………. Ton
5. Proses produksi gula : .......................................

E. Data Mesin dan Peralatan


1. Jenis Mesin dan Peralatan :……………………………………………..
2. Jumlah Mesin dan Peralatan :……………………………………………..
3. Efisiensi peralatan : .....................................................................

61
F. Data Utilitas
1. Kebutuhan Air :………………….. m3
2. Kebutuhan Energi (per musim giling)
a. Kebutuhan Listrik :………………….. kWh
b. Kebutuhan Solar :………………….. Liter
c. Kebutuhan IDO :............................... Liter
d. Kebutuhan ampas tebu : .............................. ton
e. Kebutuhan Uap :............................... ton
f. Kebutuhan operasional :………………………………………

G. Data Produk
1. Produk utama
Jumlah Gula :……………………... ton
2. Produk samping
a. Jumlah Ampas tebu :……………………… ton
b. Jumlah Blotong :……………………… ton
c. Jumlah Tetes :………………………. ton
d. Jumlah Sisa Pucuk Tebu :.................................... ton

H. Data Limbah
1. Volume limbah cair :……………………….. m3
2. Jumlah limbah padat :……………………….. ton
3. Jenis emisi :.....................................
4. Jumlah emisi .....................................
5. Jumlah Limbah B3 :.....................................
6. Jenis penanganan limbah :………………………..
7. Pemanfaatan limbah : ......................................

62
Lampiran 4 . Struktur Organisasi PG Subang

STRUKTUR ORGANISASI PG SUBANG


General manager

Kabag Kabag Kabag Kabag Kabag


SDM & Umum tanaman Instalasi Pabrikasi TUK

Kasie SKK SKK Rayon SKK Kepala Kepala Kepala Staf Staf Staf Staf
SDM & umum Rayon PSB PSM Rayon MSL BST Teb. Mekanisasi Work Shop Lab & QC Keuangan Akunta
Angkut nsi

Staf
Kasie Staf Staf Staf
SDM SKW SKW SKW Staf
Alat berat& Gilingan Purification Gud.
Wil 1A/B Wil VI Wil XI BST
besali Material

Staf Staf
Poliklinik SKW SKW SKW Staf Staf
Wil II Wil VII Wil XII BST Staf
Kasie Boiler Evaporator
Gud. Hasil
Pompa &
Impl. Trailer
Pakam
SKW SKW SKW
Wil III A/B Wil IX Wil XIII Staf Staf Staf
Teknik sipil Vac & Crys Akuntansi
Kasie
Field
SKW SKW Operation Staf Staf
Wil IV A/B Wil X Listrik Centrifugal

Kasie Staf
Mekanisasi
Pool Kend
SKW Rayon MSL
Wil V
Staf
Instrumen

3
63
Lampiran 5. Pengawasan kinerja gilingan di PG Subang

Data bobot % brix % pol HK ZK


Tebu 343.646,88
Imbibisi 85.362,3
Nira mentah 316.215,3 12,27 8,98 73,2
Kor.kotoran 0,28
Nira perahan 1 16,14 12,13 75,2
Nira perahan 2 8,19 5,79 70,8
Nira perahan 3 5,73 3,87 67,5
Nira perahan 4 3,61 2,34 64,8
ampas 109.303,6 4.,11 47,95

Ampas % tebu = (109.303,6 : 343.646,88) x 100 % = 31,81 %


HK ampas = HK nira perahan 4 = 64,8
% pol ampas = % brix ampas x HK nira perahan 4
= 4,11 % x 64,8 = 2,66
Pol ampas = 2,66 % x 109.303,6 = 2.907,48 ton
Brix ampas = 4,11 % x 109.303,6 = 4.492,38 ton
Netto nira mentah = 316.215,3 – (0,3 x 343.646,88) = 213.121,24 ton
Pol nira mentah = 8,98 % x 213.121,24 = 19.138,29 ton
Brix nira mentah = 12,27 % x 213.121,24 = 26.149,98 ton
Pol tebu = pol nira mentah + pol ampas = 22.045,77 ton
Brix tebu = brix nira mentah + brix ampas = 30.642,36 ton
Sabut % ampas = ZK ampas - % brix ampas = 43,84
Sabut % tebu = sabut % ampas x ampas % tebu = 13,95 %
HPB1 = brix npp x 100 %
brix tebu
NPP = nmnett x % brix nm - % brix n2
% brix n1 - % brix n2
= 109.375,43 ton
Brix NPP = 17.653,19 ton
Maka HPB1 = 57,61 % (sasaran > 60 %)
HPBtotal = brix nm x 100 % = 85,34 % (sasaran > 90%)
brix tebu
HPG = pol nm x 100 % = 86,81 % (sasaran > 92 %)
pol tebu
PSHK = 1.4HKnm – 40 x 100 % = 95,71 % (sasaran 96 – 98 %)
1.4HKnpp - 40
KNT = brix tebu x 100 % = 77,84 % (sasaran > 80 %)
% brix npp x tebu
Faktor campur = 100 - sabut % ampas x % pol np4 = 61,43 % (standar ≈ 50)
% pol ampas
Dilution factor = % brix npp - % brix nm x 100 % = 1,27 (standar ≈ 1)
% brix nm x imbibisi % tebu
Df ≈ 1 = jumlah imbibisi tepat
Df < 0,95 = jumlah imbibisi terlalu kecil
Df > 1,05 = jumlah imbibisi terlalu besar

364
Kehilangan nira asli di ampas akhir
Nira asli ampas 4 = % brix np4 x 100 % = 25,46 %
% brix npp
Nira asli hilang ampas % tebu = nira asli ampas 4 x ampas % tebu = 8,1 %
Nira asli hilang ampas % sabut = nira asli ampas 4 x 100 % = 58,07 %
Sabut % ampas

465
Lampiran 6. Diagram alur limbah PG Subang

DIAGRAM ALUR LIMBAH DI PG SUBANG

PG SUBANG

Limbah cair Limbah udara Limbah padat Limbah B3

Iimbah Limbah abu Limbah Limbah Pembakaran Genset Sisa blotong ampas Kerak nira Limbah
tetes abu aki Oli Lap Lampu
proses ketel kondensor gabungan boiler listrik pucuk& / gula domestik
bekas bekas majun TL
daun tebu

Tangki IPA Air bak WTP IPAL Pengontrolan dan Dikumpul Tempat Ditampung Dikirim Ditampung Ditampung
Tempat penyimpanan
penampun L penampung pengujian kualitas kan pembua di Tempat ke dan dan dibakar
sementara limbah B3
g abu boiler emisi udara menjadi ngan pembua- stasiun dibuang
pupuk ngan boiler

Pembuatan Kembali ke IPAL Pupuk Menjadi bahan


Buang ke
MSG, pabrik untuk organik, bakar boiler
lebung
alkohol proses campuran
pupuk
kompos

3
66
Lampiran 7. Diagram neraca bahan pada proses produksi gula

NERACA BAHAN PADA PRODUKSI GULA DI PG SUBANG

Tebu 343.646,88 ton

Air imbibisi 24,84 %


85.362,30 ton Ampas 31,81 %
Unit Gilingan
109.303,6 ton

316.215,33 ton Nira Mentah

Pemanas I (750 C)

464,08 ton Defekator (pH : 8,5)


kapur tohor

Sulfitir I (pH : 7,2)


SO2

Pemanas II (1000 C)

Flash Tank Nira Tapis


Flokulan
1.816 ton
Door Clarifier
Nira Kotor RVF

Nira Jernih
304,814.80 ton 11.164,5 ton blotong

Penguapan 23.623,44 ton air

Nira Kental 68.191,36 ton

SO2 Sulfitir II (pH : 5,6)


6,0 % Air Jatuhan

Unit masakan dan


sentrifugasi
16.887 ton molasses

22.990,50 ton GULA SHS

67
Lampiran 8. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan bahan tambahan

Stasiun Losses Penyebab Dampak Interpretasi hasil


Ekstraksi 3.490,25 ton *Tebu tidak layang untuk digiling * Zat gula atau nira yang dihasilkan lebih * Perlu analisis pendahuluan yang baik
/gilingan atau 1,01 % (pol tebu < 10 %) sedikit terhadap kualitas tebu sebelum digiling
* Tebu masih dalam keadaan * Mesin bekerja lebih maksimal untuk * Optimalisasi mesin gilingan dengan
kotor (0,3) memisahkan nira dan kotoran pembenahan yang maksimal saat
* Jumlah penambahan air imbibisi * Perlu bahan tambahan yang lebih banyak maintenance
terlalu sedikit untuk memurnikan nira * Perlu perhitungan yang cermat dalam
* Kinerja mesin giling yang * Ekstraksi nira tidak maksimal karena penambahan air imbibisi
belum optimal penambahan air imbibisi yang terlalu sedikit * Perlu alat penampung oli yang berukuran
* Banyaknya zat gula (pol) yang * Adanya zat gula yang terbawa ampas akan lebih besar dan diperbanyak agar tidak
ikut terbawa ampas menghambat kinerja boiler terjadi tumpahan oli dari mesin gilingan
* Banyaknya oli yang berceceran * Lantai menjadi licin, sanitasi kurang baik
Pemurnian 2.516,11 ton * Kandungan gula ( pol) pada * Nira encer/ nira jernih yang dihasilkan * Optimalisasi mesin pada stasiun pemurnian
atau 0,79 % blotong yang tinggi ( > 2%) menjadi lebih sedikit karena banyaknya zat * Lebih teliti dalam pengaturan suhu, pH dan
* Penggunaan flokulan yang gula yang ikut terbawa blotong waktu di stasiun pemurnian
berlebihan (5 ppm) * Perlu biaya yang lebih tinggi untuk pembelian * Penggunaan bahan tambahan seperti
flokulan belerang, kapur tohor, serta flokulan yang
tepat
Penguapan brix nira * Pengontrolan kinerja evaporator * Brix nira kental belum memenuhi aturan * Menyediakan sarana untuk mendaur ulang
kental tidak belum maksimal standar yaitu 60 - 64 %, sehingga nira kental nira kental agar dapat diuapkan kembali
optimal * Aliran air injeksi yang terlalu yang dihasilkan tidak maksimal * Pengontrolan kondisi dan kinerja mesin
cepat dan tidak optimum * Kurangnya jumlah steam untuk menguapkan evaporator secara optimal
* Banyaknya pipa pelapis pada nira encer di evaporator * Perlu optimalisasi di stasiun pemurnian
badan evaporator yang terbuka * Kondisi vakum pada evaporator tidak optimal terutama dalam pembentukan inti endapan
* Banyaknya kerak pada badan * Mekanisme pindah panas pada evaporator agar tidak terjadi penempelan kerak pada
evaporator tidak efisien pipa uap di badan evaporator

3
68
Lampiran 8. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan bahan tambahan
(lanjutan)

Stasiun Losses Penyebab Dampak Interpretasi hasil


Kristalisasi 5.728,16 ton * Rendahnya zat gula (pol) dalam * Gula SHS yang dihasilkan menjadi lebih * Para chemiker dituntut menguasai
dan atau 8,4 % brix pada proses kristalisasi sedikit perhitungan cepat pada setiap kondisi yang
sentrifugasi dalam pan masakan * Adanya gula yang masih tercecer selalu berubah
* Kinerja mesin yang kurang * Kristal gula yang dihasilkan tidak homogen * Petugas dalam masakan harus selalu
optimal * HK pada tiap masakan tidak optimal mengikuti perkembangan HK bahan yang
* Sanitasi yang kurang baik ada di stasiun masakan, untuk stroop dan
* Keakuratan dalam proses klare harus tahu HK bahan yang ada di tiap
masakan/ kristalisasi terhadap peti stroop dan klare
suhu dan waktu yang kurang * Optimalisasi perbaikan mesin pada saat
optimal maintenance
* Banyaknya zat gula dalam nira
yang belum terkristalkan

69
Lampiran 9. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan energi

Sumber Bentuk
Penyebab Dampak Interpretasi hasil
energi Inefisiensi
Bahan Penggunaan * Penggunaan ampas tebu tidak * Diperlukan bahan bakar tambahan lain seperti * Penggunaan bahan bakar full ampas atau
bakar IDO, pol mampu mencukupi kebutuhan IDO yang biayanya sangat tinggi bahan bakar tambahan lain, misalnya
ampas > 2 pembakaran pada boiler dibandingkan ampas tebu yang diperolah dengan bahan bakar gas (Liquified Natura
%, kadar air * Adanya zat gula yang terbawa secara gratis dari hasil ekstraksi tebu Gas/LNG) yang biayanya dan emisi lebih
> 50 %, pada ampas * Timbulnya kerak (inkrustasi) pada pipa boiler rendah dibandingkan dengan IDO
* Nilai kalor ampas yang rendah sehingga menghambat heat transfer pada * Optimalisasi stasiun gilingan agar pol
* Ampas yang dihasilkan tidak boiler ampas rendah sehingga tidak ada zat gula
seluruhnya digunakan untuk * Nilai kalor ampas menjadi rendah karena yang ikut terbawa dalam ampas
pembakaran sehingga masih ada kadar air ampas yang tinggi sehingga * Gudang ampas diusahakan dalam keadaan
sisa di gudang ampas pembakaran tidak optimal tertutup agar tidak menurunkan kualitas
* Kadar air ampas tinggi karena adanya ampas ampas tebu yang akan digunakan untuk
yang masih diletakkan di ruang terbuka pembakaran di boiler
sehingga bisa terkena air hujan sehingga tidak * Pemakaian masker di sekitar gudang ampas
optimal untuk digunakan pembakaran di boiler * Usahakan tidak terjadi berhenti giling
* Banyaknya ampas yang beterbangan di sekitar * Optimalisasi mesin boiler agar kebutuhan
gudang ampas karena gudang ampas tidak uap terpenuhi untuk proses produksi di
dalam keadaan tertutup sehingga timbul pabrik
penyakit pada saluan pernafasan * Pemanfaatan ampas untuk bubur pulp,
* Emisi gas rumah kaca lebih besar dengan particle board, arang aktif, dan gasifikasi
penggunaan IDO

70
Lampiran 9. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan energi (lanjutan)

Sumber Bentuk
Penyebab Dampak Interpretasi hasil
energi Inefisiensi
Listrik dan Efisiensi * Kinerja di stasiun boiler tidak * Heat transfer menurun karena adanya uap * Optimalisasi stasiun gilingan dan boiler
Uap listrik > 15 optimal yang terbuang yang disebabkan sistem uap * Menghindari terjadinya kebocoran uap
% yaitu * Kualitas tebu yang digiling yang yang bocor dan adanya kerak pada badan uap * Dilakukan sistem bleeding
18,94 %, kurang optimal serta *Tingginya kebutuhan uap yang diperlukan * Optimalisasi penggunaan peralatan dalam
Efisiensi uap penggunaan bahan tambahan pada tiap stasiun dalam proses produksi gula pelaksanaan proses produksi gula di pabrik
> 45 % yaitu yang tidak sesuai karena mesin dituntut bekerja lebih maksimal yaitu dengan mengaktifkan alat pada
58,94 % *Kurang efektif dalam dalam menghasilkan nira, memisahkan nira kapasitas optimalnya dan menon-aktifkan
pelaksanaan proses pengolahan dari kotoran atau zat bukan gula, memurnikan alat ketika alat sedang tidak digunakan
tebu di tiap stasiun nira, menguapkan nira dan menghasilkan * Optimalisasi saat maintenance dengan
* Kinerja mesin- mesin produksi kristal gula melakukan perawatan, perbaikan,
yang kurang optimal seperti * Dapat terjadi berhenti giling karena uap yang modofikasi, atau pergantian mesin dan
efisiensi mesin dan spesifikasi dihasilkan boiler untuk proses produksi gula peralatan
dari mesin tersebut di pabrik tidak terpenuhi * Penggunaan kontrol otomatis untuk
* Adanya kebocoran pada sistem memastikan uap hanya digunakan ketika
uap dibutuhkan
* Pembenahan pada turbin dengan pengujian
kinerja dan pembersihan turbin secara
teratur untuk meningkatkan efisiensi

4
71

You might also like